You are on page 1of 4

Indonesia merupakan negara yang terdiri atas ribuan pulau dengan tanah yang subur dan kaya akan

sumber daya alam. Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang terdiri dari bermacam-macam flora dan fauna. Indonesia yang merupakan negara maritim yang memiliki kawasan perairan yang sangat luas. Dengan ini semua Indonesia seharusnya memiliki potensi yang besar dalam menyediakan pangan bagi rakyatnya, namun masih banyak kasus busung lapar dan gizi buruk yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Hal ini dikarenakan kurangnya asupan dari bahan makanan yang bergizi. Masih banyak rumah tangga yang belum mampu mewujudkan ketersediaan pangan yang cukup, terutama dalam hal mutu dan tingkat gizinya. Dalam hal ini keaneka-ragarnan pangan menjadi salah satu pilar utarna dalam ketahanan pangan. Diversifikasi pangan memang merupakan salah satu prasyaratan pokok dalam konsumsi pangan yang cukup mutu dan gizinya. Dan usaha menganeka-ragamkan pangan masyarakat sebenarnya bukan merupakan hal yang baru. Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau dengan keragaman sosial, ekonomi, kesuburan tanah dan potensi daerah, memungkinkan untuk tercipta diversifikasi konsumsi pangan. Pangan lokal seperti jagung dan umbi-umbian ditinggalkan masyarakat, sebaliknya pangan global seperti mi semakin banyak digemari. Beberapa faktor yang menjadi penghambat diversifikasi konsumsi pangan adalah karena rasa beras lebih enak dan mudah diolah, konsep makan, merasa belum makan kalau belum makan nasi, beras sebagai komoditas superior ketersediaannya melimpah dengan harga yang murah, pendapatan masyarakat masih rendah, teknologi pengolahan dan promosi pangan non beras masih rendah, kebijakan pangan yang tumpang tindih, serta kebijakan impor gandum dan promosi produk mi yang gencar. Keberhasilan kebijakan diversifikasi konsumsi pangan penting tidak hanya untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, tetapi juga berdampak positif pada ketahanan pangan, pendapatan petani dan agroindustri pangan serta menghemat devisa. Pangan adalah komoditas strategis karena merupakan kebutuhan dasar manusia. Pangan tidak saja berarti strategis secara ekonomi, tetapi juga sangat berarti dari segi pertahanan dan keamanan, sosial, dan politis. Itulah adalah sekelumit permasalahan yang dialami bangsa ini, dimana pemerintahnya salah urus mengenai dunia pangan, yang sebenarnya merupakan

kebutuhan yang sangat hakiki yang harus dipenuhi bagi setiap warga negara. Hal ini tentunya dapat diantisipasi jika pemerintah serius dalam mengurus masalah pangan dengan penekanan dan memperhatikan kepada kearifan lokal dalam artian meningkatkan program diversifikasi pangan. Pangan merupakan kebutuhan manusia yang paling asasi, sehingga ketersediaan pangan bagi masyarakat harus selalu terjamin. Manusia dengan segala kemampuannya selalu berusaha mencukupi kebutuhannya dengan berbagai cara. Dalam perkembangan peradaban masyarakat untuk memenuhi kualitas hidup yang maju, mandiri, dalam suasana tentram, serta sejahtera lahir dan bathin, oleh karena itu semakin dituntut penyediaan pangan yang cukup, berkualitas, dan merata. Oleh karena itu, kecukupan pangan bagi suatu bangsa merupakan suatu hal yang sangat strategis. Oleh karena itu sudah kewajiban pemerintah untuk menyediakan pangan yang cukup baik dari segi jumlah, mutu dan ketersediaannya yang terjangkau. Sehingga Kondisi ketahanan pangan dapat terpenuhi, sesuai dengan undang-undang No. 7 Tahun 1996 menyatakan bahwa pengertian ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan yang tercermin dari : (1) tersedianya pangan secara cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya; (2) aman; (3) merata; dan (4) terjangkau. Dari pengertian tersebut jelas sekali kalau pemerintah diamanahi untuk bisa mengisi perut-perut rakyatnya secara cukup baik dari segi jumlah dan kualitasnya. Masalah busung lapar dan kondisi gizi buruk mungkin saja dapat tidak terjadi jikalau saja, pemerintah baik pusat dan daerah memenuhi kewajibannya bedasarkan UU No. 7 Tahun 1996. Ketahanan pangan merupakan kunci dari hal itu, dimana untuk memenuhi kondisi itu harus memacu peningkatan produktivitas pertanian, melakukan impor ataupun melakukan diversifikasi pangan yang merupakan alternatif yang sangat relevan pada saat sekarang. Mewujudkan kondisi ketahanan pangan melalui peningkatan produktivitas pertanian bukan suatu hal yang sangat sederhana, karena membutuhkan waktu perencanaan yang mantap, apalagi membutuhkan waktu yang relatif cukup lama. Jika, pemerintah mengambil kebijaksanaan untuk melakukan impor pangan dari luar negeri guna memasok makanan yang bergizi kedaerah-daerah yang rawan busung lapar, memang tindakan yang cukup tepat dan cepat untuk menanggulangi

bahaya kelaparan tersebut. Namun, satu hal yang kita mungkin lupa bahwa dengan melakukan impor secara terus menerus kita akan mengalamai ketergantungan kepada pihak luar, pasar akan terdistorsi dengan merebaknya produk-produk impor karena kran impor yang dibuka oleh pemerintah dengan pajak rendah. Impor juga akan membebani pengeluaran negara, memang langkah cepat sebagai tindakan awal, pemerintah bisa saja melakukan impor baru diikuti oleh program diversifikasi pangan. Pemerintah sebagai penjamin terhadap ketersediaan pangan bagi warga negaranya, tidak bisa hanya terpaku kepada ketersediaan beras saja. Harus ada suatu diversifikasi pangan untuk menjamin ketahanan pangan, karena ketika kita berbicara mengenai pangan yang terpikirkan oleh kita adalah beras dan beras. Mindset manusia Indonesia harus mampu dirubah bahwa pangan itu hanya beras saja, sehingga budaya kalau belum makan nasi sama saja belum makan yang melekat di warga kita bisa kita tanggalkan. Diversifikasi harus digalakkan dengan berusaha mengkonsumsi atau mengganti pola makan nasi dengan pangan lainnya seperti ubi, sagu, jagung dan lainnya yang nilai gizi dan kalorinya setara denga nasi. Jumlah penduduk Indonesia yang pada saat sekarang ini berjumlah 220 juta jiwa lebih merupakan suatu angka yang cukup besar untuk memenuhi kebutuhan pangannnya, sehingga tak heran bila ketahanan pangan kita yang tidak pernah beres akan menimbulkan ancaman kelaparan yang akhirnya dapat menimbulkan kerawanan terhadap kestabilan keamanan bangsa. Meski hambatan-hambatan itu nyata, mengembalikan kejayaan pangan lokal tidaklah sulit. Hanya diperlukan perhatian dan dukungan semestinya dari pemerintah. Potensi ketersediaan pangan lokal sangat melimpah. Misalnya umbiumbian. Tidak seperti beras, umbi-umbian dapat tumbuh dengan baik di hampir seluruh wilayah di Indonesia, bahkan dapat ditanam di lantai hutan sebagai tanaman sela. Sebagai gambaran jika satu persen lantai hutan Indonesia ditanami ubi kayu berpotensi menghasilkan 20 juta ton ubi kayu segar atau setara 7 juta ton tepung ubi kayu. Biaya investasi untuk mengembangkan lahan sehingga siap ditanami umbi-umbian jauh lebih kecil dibandingkan dengan investasi pembukaan lahan untuk padi.

Bisa dibayangkan, dari satu persen lantai hutan saja, kita dapat menghasilkan 7 juta ton tepung ubi kayu, suatu jumlah yang dapat menambal kekurangan beras secara signifikan sehingga kita tidak lagi harus mengimpor. Kita juga dapat mengganti penggunaan terigu, bahan pangan yang setiap tahun juga kita impor sekitar 4 juta ton. Belum lagi efek lain, seperti penciptaan banyak lapangan kerja baru di sektor budidayasektor ini umumnya padat karya, industri pengolahan dan pemasaran. Jadi jelas sekali bahwa fenomena bahaya kelaparan, kurang gizi, busung lapar bahkan sampai bahaya kematian dapat dicegah dengan program diversifikasi ini menuju ketahanan pangan yang dicita-citakan. Oleh karena itu dituntut keseriusan pemerintah dalam mewujudkan masyarakat yang menikmati pemerataan pembangunan. Hanya dengan memberi perhatian cukup ke pengembangan pangan lokal, kita dapat menuntaskan masalah impor beras yang selama ini dialami bangsa kita.

You might also like