You are on page 1of 22

PENDAHULUAN Latar Belakang Sebahagian besar lahan sawah irigasi telah banyak berubah fungsi menjadi areal nonpertanian

seperti kawasan pemukiman, industri, jalan raya atau memproduksi komoditas lain (Adjid, 1993). Sehingga pemanfaatan sawah tadah hujan dapat dijadikan alternatif untuk penyediaan pangan khususnya beras, dikarenakan kebutuhan beras setiap tahun semakin bertambah. Namun demikian sampai saat ini produksi rata-rata padi sawah tadah hujan yang merupakan lumbung padi kedua setelah lahan sawah irigasi; serta penghasil tanaman pangan terutama beras terbesar setelah sawah irigasi masih jauh dari produksi lahan sawah irigasi. Produksi padi sawah tadah hujan relatif rendah dengan rata rata hasil 2,0 - 2,5 ton ha-1, atau sekitar separuh dari hasil padi sawah beririgasi (Balittan Sukamandi, 1988; Ismunadji & Suprapto, 1990; Mamaril et al., 1995). Menurut IRRI (1993) hasil gabah dari sawah tadah hujan rata-rata hanya 2-3 ton ha-1. Fakta tersebut di atas disebabkan oleh beberapa masalah utama pada produksi lahan sawah tadah hujan yakni cekaman abiotik seperti curah hujan yang tidak menentu dan kesuburan tanah yang rendah. Hal ini merupakan masalah serius yang harus diatasi agar produksi padi dapat ditingkatkan. Secara umum, semua lahan sawah tadah hujan memiliki status kesuburan tanah yang rendah karena pertanaman terus menerus dengan sedikit atau tidak ada penggantian hara, dan/atau kesuburan tanah yang rendah secara alami. Penggunaan bahan organik seperti sisa-sisa tanaman, seperti sekam padi, secara nyata dapat memperbaiki hasil padi dan produktivitas lahan sawah tadah hujan (Supapoj; H. Muhammad, 1998). Namun kenyataannya sumber bahan organik seperti jerami dibakar atau diangkut ke luar lahan karena alasan untuk menghilangkan kesulitan pada saat pengolahan tanah, mengendalikan hama dan penyakit, menghemat tenaga atau untuk pakan ternak serta untuk keperluan lainnya. Padahal, rata-rata pembakaran mengakibatkan kehilangan hara C 94%, N 91%, P 45%, K 75%, S 70%, Ca 30%, dan Mg 20% dari total kandungan hara dalam jerami (Anonimous, 2009).

Pengelolaan Lahan Spesifik Lingkungan/Tugas dari Dr. Ir. Hamidah Hanum, MP

Permasalahan Menurut K. Permadi et al. (2005) Lahan sawah tadah hujan ditandai dengan ketergantungan air dari hujan yang tidak menentu sehingga tanaman rawan kekeringan. Disamping itu, dicirikan sifat fisik tanah jelek, kadar hara N, P, K serta pH tanah rendah. Lahan ini didominasi oleh kandungan Al dan Fe tinggi yang dapat menfiksasi hara P serta berpengaruh jelek pada pertumbuhan tanaman, (Soepartini, 1995; K. Permadi, 2005). Kesuburan tanah, keracunan besi, kekahatan posfor, dan kandungan bahan organik rendah merupakan kendala dalam pengelolaan lahan sawah tadah hujan (Mackill et al. 1996; Yahya et al., 1990; Hatta M, 2005). Fakta tersebut antara lain disebabkan oleh faktor kesalahan dalam pengelolaan lahan, yakni : 1) pencemaran akibat penggunaan pupuk kimia/anorganik secara berlebih terutama pupuk urea dan pestisida kimiawi; 2) kebiasaan petani mengangkut ke luar lahan atau membakar jerami limbah panen; 3) rendahnya penggunaan pupuk organik kompos pada lahan sawah tadah hujan. Sebagai contoh, pada sistem usahatani yang intensif, jerami dianggap sebagai sisa tanaman yang mengganggu pengolahan tanah. Sebahagian besar petani membakar jerami di tempat setelah padi dipanen atau menimbun lalu membakarnya di pinggir petakan sawah. Parasit dan predator yang berfungsi sebagai musuh alami hama dan penyakit justru mati pada saat jerami terbakar sehingga berpengaruh negatif terhadap keseimbangan hayati. Demikian juga mikroba yang berguna dalam proses biologis, seperti perombak bahan organik, pengikat nitrogen dan mikroba yang memiliki fungsi biologis lain akan ikut mati dan sukar menggantikan keberadaanya. Masalah-masalah tersebut mendorong untuk melaksanakan pertanian berkelanjutan berinput luar rendah (Low External Input Sustainable Agriculture, LEISA) atau pertanian organik yang memaksimalkan penggunaan hara dari sumber alami. Jerami merupakan salah satu sumber hara alami yang sekaligus bahan organik perlu diberdayakan penggunaannya. Makalah ini akan membahas sejauh mana dampak pengelolaan jerami sebagai sisa panen yang dapat memperbaiki kesuburan tanah sawah tadah hujan.

Pengelolaan Lahan Spesifik Lingkungan/Tugas dari Dr. Ir. Hamidah Hanum, MP

KARAKTERISTIK JERAMI DAN LAHAN SAWAH TADAH HUJAN Karakteristik dan Produktivitas Lahan Sawah Tadah Hujan Sawah merupakan tipe penggunaan lahan yang pengelolaannya memerlukan genangan air. Oleh karena itu sawah selalu mempunyai permukaan datar atau yang didatarkan (dibuat teras), di samping itu mempunyai pematang untuk menahan air genangan. Berdasarkan sumber air yang digunakan dan keadaan genangannya, sawah dapat dibedakan menjadi sawah irigasi, sawah tadah hujan, sawah lebak dan sawah pasang surut. Tanaman utama lahan sawah adalah padi. Tanah sawah tadah hujan adalah tanah yang digunakan untuk bertanam padi sawah, baik terus menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija dengan menggunakan sumber air dari tadah hujan. Lahan sawah tadah hujan di Indonesia diperkirakan 26% dari total sawah (IRRI, 1992; Sastrosoedardjo dan Tohari, 2001).Cekaman kekeringan dan kesuburan tanah yang rendah umumnya sebagai faktor pembatas produktifitas sawah tadah hujan, yang mungkin terjadi di awal musim pertanaman atau saat berbunga hingga pengisian gabah. Kesuburan tanah rendah juga merupakan masalah kompleks, kerena pasokan hara biasanya terbatas, atau terjadi kondisi toksik terutama pada tanah masam atau salin. Fluktuasi kondisi tanah dari aerobic ke anaerobic juga mempunyai konsekwensi terbesar bagi ketersediaan hara (Wade et al., 1999; anonymous, 2002).

Karaktristik Jerami Sebagai Bahan Organik Jerami padi adalah bagian vegetatif dari tanaman padi yang terdiri dari batang, pelepah daun, daun dan tangkai malai. Pada waktu dipanen jerami adalah bagian tanaman yang tidak dipungut. Bagian dari jerami relatif kuat karena mengandung silica, lignin, dan selulosa yang tinggi serta pelapukannya membutuhkan waktu yang lama. Namun demikian, hal ini justru bermanfaat pada lahan sawah tadah hujan sebagai penyimpan air, karena jerami atau bagian yang setengah melapuk dapat menyimpan air dan menjaga kelembaban tanah lebih baik. Selanjutnya dekomposisi bahan organik dari jerami ini akan memperkecil volume bahan

Pengelolaan Lahan Spesifik Lingkungan/Tugas dari Dr. Ir. Hamidah Hanum, MP

dasar dan termineralisasinya sehingga menjadi pupuk.dan hara yang segera tersedia bagi tanaman. Adapun kisaran kandungan hara kompos jerami yang dapat disumbangkan ke tanah adalah sebagai berikut (Anisuryani, 2008). Tabel 1. Kandungan hara jerami alami dan yang telah dikomposkan selama tiga minggu Kandungan Hara Parameter Tidak dikomposkan (%) 44,4 43 0,5 0,8 0,07 0,12 1,2 1,7 0,05 0,10 4-7 46,93 Dikomposkan tiga minggu (Biodekomposer) (%) 14,50 35,95 2,48 0,33 4,50 Tidak ada data Tidak ada data 55

Rasio C/N C N P2O5 K2O S Si Air

Pada sawah tadah hujan adakalanya tanaman mengalami kekurangan air pada fase tumbuh tertentu. Tanaman yang kekurangan air pada fase vegetative sangat berpengaruh terhadap bobot jerami. Bobot jerami yang dihasilkan padi sawah lebih tinggi (7,4 ton ha-1 jerami dari 4,9 ton gabah ha-1) dibandingkan dengan padi sawah tadah hujan (3 ton ha-1 jerami dari 2 ton gabah ha-1)( Makarim, 2007). Bobot jerami padi merupakan fungsi dari (a) rejim air, (b) varietas, nisbah gabah/jerami, (c) cara budidaya, (d) kesuburan tanah, dan (e) musim/iklim (Makarim, 2007). Bobot jerami antar varietas berbeda-beda meskipun tumbuh pada rejim air, tanah, dan musim yang sama. Hasil gabah dan jerami sangat dipengaruhi cara budi daya seperti jarak tanam atau populasi tanaman, takaran pupuk, dan pemeliharaan tanaman untuk mencegah kehilangan biomas akibat hama dan penyakit; serta kesuburan tanah. Jerami yang diperoleh merupakan indikasi tingkat kesuburan tanah secara umum. Iklim dan tinggi tempat

Pengelolaan Lahan Spesifik Lingkungan/Tugas dari Dr. Ir. Hamidah Hanum, MP

berpengaruh terhadap bobot jerami sehubungan dengan tinggi rendahnya radiasi surya selama pertumbuhan tanaman, yang mempengaruhi kecepatan fotosintesis dan akumulasi biomassa tanaman. PENGELOLAAN HARA LAHAN SAWAH TADAH HUJAN DENGAN JERAMI Manfaat Pemberian Jerami Terhadap Ketersediaan Hara Pada Lahan Sawah Tadah Hujan Menurut Foth (1988) dalam Ridwan (2009): pengolahan tanah yang dilakukan secara terus menerus sepanjang musim tanam akan menyebabkan penurunan agregasi tanah, tanah menjadi lebih padat akibat total pori tanah menurun, dan kerapatan massa tanah naik. Pada kondisi ini pemberian bahan organik sangat diperlukan. Bahan organik merupakan penyangga biologi yang mempunyai fungsi memperbaiki sifat-sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, sehingga tanah dapat menyediakan hara dalam jumlah yang berimbang dan lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman.Terdapat hubungan yang linier antara kandungan C-organik tanah dengan hasil padi sawah tanpa pupuk N-anorganik (Karama et al., 1990; H.Muhammad, 2005). Tanah yang miskin bahan organik akan berkurang daya sangganya terhadap pupuk anorganik, sehingga efisiensi pemupukan menurun, karena sebagian besar pupuk hilang melalui pencucian, fiksasi atau penguapan. Pengembalian jerami padi atau pemberian bahan organic diharapkan dapat memperbaiki keseimbangan unsur hara sehingga kelestarian kesuburan lahan sawah dapat dipertahankan. Solusi mengatasi permasalahan ini adalah dengan menambahkan bahan organik/kompos ke lahan sawah. Bahan organik harus ditambahkan dalam jumlah yang cukup hingga kandungan bahan organik kembali ideal seperti semula. Pemanfaatan jerami sisa panen padi untuk kompos secara bertahap dapat mengembalikan kesuburan tanah dan meningkatkan produktivitas padi. Efesiensi penambahan hara anorganik Penurunan hasil padi pada lahan sawah tadah hujan yang terus menerus diusahakan sering terjadi terutama bila jeraminya ikut terangkut. Pengangkutan jerami pada saat panen

Pengelolaan Lahan Spesifik Lingkungan/Tugas dari Dr. Ir. Hamidah Hanum, MP

mengurangi tingkat kesuburan tanah karena sebagian besar bahan organik dan unsur hara tanah diangkut ke tempat lain sehingga dalam jangka panjang kesuburan tanah akan menurun. Kondisi miskin bahan organik ini menimbulkan banyak masalah, antara lain: efisiensi pupuk yang rendah, aktivitas mikroba tanah yang rendah, dan struktur tanah yang kurang baik. Akibatnya produksi padi cenderung turun dan kebutuhan pupuk terus meningkat. Tanaman padi yang memproduksi 5 ton ha-1 gabah kering panen mengangkut hara dari tanah sekitar 150 kg N, 20 Kg P, 150 Kg K dan 20 Kg S. Pada saat panen jerami mengandung sekitar sepertiga jumlah hara N, P, dan S dari total hara tanaman padi, sedangkan kandungan K rata-rata 89% (berkisar antara 85 92%) (Tirtoutomo et al,. 2001; Makarim, 2007). Oleh karena itu jerami padi dapat dijadikan sumber hara makro tanaman. Pada tingkat hasil 5 ton ha-1 dihasilkan 2 ton C ha-1 yang secara tidak langsung merupakan sumber hara N. Efesiensi pupuk Posfat dan Kalium. Kebutuhan pupuk Posfat dan Kalium setiap tanah sawah untuk tanaman padi berbedabeda antara lain tergantung dari status hara Posfat dan Kalium, selain kandungan dan tipe mineral liat,kandungan bahan organik, varietas padi dan iklim. Bila status hara Posfat dan Kalium cukup tinggi sehingga tidak mencukupi maka tanaman padi tidak akan memberikan respon terhadap pemupukan Posfat dan Kalium. Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 1/Kpts/SR.130/1/ 2006 tentang Rekomendasi Pemupukan, khususnya pemupukan SP-36 dan KCl (Tabel 4 dan 5) ditetapkan menjadi 3 kelompok rekomendasi ; (a) Tanpa bahan orgaik, (b) dengan 5 ton jerami/ha dan (c) dengan 2 ton pupuk kandang/ha. Dengan 5 ton jerami/ha kebutuhan pupuk P dan K dalam kelompok ini lebih rendah dibandingkan dengan alokasi kebutuhan pupuk tanpa bahan organik. (M. Muljady D.et al. 2008) Pengembalian jerami ke tanah sawah tadah hujan berarti mengurangi kehilangan (pengeluaran) unsur-unsur hara dari tanah sawah. Oleh karena itu dosis pupuk dan alokasi kebutuhan pupuk setiap musim dapat dikurangi. Mengingat produktivitas tanah sawah (intensifikasi) tingkat nasional mendekati 5 ton GKP/ha, maka produksi jeramiya diperkirakan juga mendekati 5 ton/ha, maka produksi jerami mengandung unsur hara K yang setara dengan 50 kg KCl.

Pengelolaan Lahan Spesifik Lingkungan/Tugas dari Dr. Ir. Hamidah Hanum, MP

Tabel 2. Penentuan Dosis Pupuk P tanaman Padi Sawah

Status Hara P Tanah

Kadar P2O5 (ekstrak HCl 25%) (mg/100gr tanah)

Dosis Pupuk P(Kg SP-36 ha -1musim-1) Tanpa Bahan organik 100 75 50 Dengan jerami 5 tha-1 100 75 50 Dengan Pupuk kandang 2 t ha-1 50 25 0

Rendah Sedang Tinggi

20 20-40 40

Tabel 3. Penentuan Dosis Pupuk K tanaman Padi Sawah

Status Hara K Tanah

Kadar K2O (ekstrak HCl 25%) (mg/100gr tanah)

Dosis Pupuk K(KgKCl ha -1musim-1) Tanpa Bahan organik 100 50 50 Dengan jerami 5 t ha-1 50 0 0 Dengan Pupuk kandang 2 t ha-1 80 30 30

Rendah Sedang Tinggi

10 10-20 20

Sumber: Keputusan Menteri Pertanian No.01/Kpts/SR.130/1/2006

Efesiensi penggunaan air Perlakuan kompos jerami menimbulkan perubahan sifat fisik tanah, berupa volume tanah, bobot isi, ketersediaan air, dan kemantapan agregat. Volume tanah terkait dengan volume padatan, pori, dan air dalam tanah. Semakin besar volume padatan tanah berarti semakin kecil ruang pori tanah yang berisi air dan udara. Dari hasil penelitian pembenaman kompos jerami, terlihat bahwa umumnya volume tanah berkurang pada bulan ketiga ke bulan keenam dengan adanya aplikasi kompos. Hal ini menunjukkan bahwa aplikasi bahan kompos mampu mengurangi jumlah padatan dalam tanah.

Pengelolaan Lahan Spesifik Lingkungan/Tugas dari Dr. Ir. Hamidah Hanum, MP

Fakta tersebut sangat berhubungan dengan ketersediaan air atau kelembaban tanah sawah tadah hujan sehingga efesiensi penggunaan air hujan dapat ditingkatkan. Pentingnya bahan organik yang dapat diperoleh dari jerami pada lahan sawah tadah hujan dapat memperbaiki kesuburan tanah umumnya dan ketersediaan hara dan air khususnya. Karena akibat yang ditimbulkan dari pemberian jerami sebagai bahan organik berupa (Tisdale et al. 1993; Makarim, 2007): y y sebagai cadangan sekaligus sumber hara makro dan mikro mengikat kation yang mudah tersedia bagi tanaman tetapi menahan kehilangan hara akibat pencucian (leaching) y y meningkatkan nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah pembentukan ikatan organik atau chelat dengan hara mikro seperti Fe, Mn, dan Zn sehingga tetap tersedia bagi tanaman menyediakan energi bagi kehidupan mikroba tanah y meningkatkan kesehatan biologis tanah akibat perkembangan dan aktivitas mikroba tanah yang bermanfaat y meningkatkan daya simpan air tanah (water holding capacity), sehingga kondisi air yang terbatas tanaman tidak cepat mengalami kekeringan y memperbaiki struktur tanah dan mencegah pengerasan tanah, sehingga memudahkan pengolahan tanah serta meleluasakan perkembangan akar tanaman Teknik produksi yang menganjurkan penggunaan pupuk organic dan anorganik secara komplementer dalam agroekoteknologi dan PTT (Fagi dan Kartaatmadja 2003) menempatkan pentingnya pengembalian sisa tanaman, termasuk jerami sebagai sumber hara dan pemeliharaan kesuburan tanah.

Mekanisme Pemberian Jerami Pada Lahan Sawah Tadah Hujan Jerami yang mengandung sekitar 40% C dan mudah dirombak secara biologis merupakan substrat untuk pertumbuhan mikroorganisme tanah. Ketika jerami dibenamkan ke sawah, maka dalam tanah terjadi berbagai reaksi biokimia seperti : (a) reduksi tanah yang berkaitan dengan perubahan kimia listrik

Pengelolaan Lahan Spesifik Lingkungan/Tugas dari Dr. Ir. Hamidah Hanum, MP

(b) immobilisasi dan fikssi N (c) produksi asam-asam organic (d) Pelepasan gas seperti CO2,. Reduksi tanah yang berkaitan dengan perubahan kimia listrik. Pembenaman jerami dapat mempercepat dan mengintensifkan kondisi reduktif tanaman, menaikkan pH dan daya hantar listrik tanah masam (Beye et al dalam A.K. Makarim, 2007). Dengan berubahnya kimia listrik tanah terjadi kenaikan konsentrasi Fe, Mn, NH4, K, asam-asam organic, zat-zat tereduksi, dan CO2 dalam larutan tanah. Peristiwa ini lebih jelas pada tanah berpasir dibandingkan dengan tanah liat. Kenaikan pH tanah menyebabkan konsentrasi Fe menurun dan keracunan Fe dapat dihindari. Adanya interaksi antara bahan organik dengan mineral tanah dapat meningkatkan ketersediaan hara lainmya seperti yang terikat oleh A1 atau Fe. Proses tersebut secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi ketersediaan dan penyerapan hara oleh tanaman. (Makarim et al., 2007). Percepatan dan intensifnya perubahan reduksi-oksisidasi (Eh) dan pH tanah, serta puncak konsentrasi Fe, Mn dan CO2 larut air akibat pemberian jerami tidak berlangsung lebih dari tiga minggu (Katyal 1977;. Makarim et al., 2007). Untuk menghindari pengaruh buruk pembenaman jerami ke dalam tanah berpasir diperlukan waktu lebih lama (satu bulan setelah pembenaman jerami) sebelum tanam bibit padi dilakukan. Immobilisasi Nitrogen.Jerami padi yang dibenamkan pada lahan sawah tadah hujan awalnya mengimobilisasi N tersedia di tanah. Kondisi ini bersifat sementara. Proses dekomposisi jerami selanjutnya adalah adalah melepas N (remineralisasi) yang berlangsung hingga 100 hari (Lin et al. 1980; Makarim, et al., 2007). Fiksasi N. Dengan adanya jerami sebagai sumber energi dari jerami peningkatan fiksasi N secara heterotrofik dan fototropik oleh mikroba tanah lebih aktif yang dapat diukur dengan metoda reduksi asetilen (Malsuguchi. 1979; Makarim, et al., 2007). Produksi asam-asam organic. Dekomposisi jerami dalam tanah secara anaerobic menghasilkan asam asam lemak dan fenol yang mudah menguap (Tsutsuki. 1983; Makarim, et al., 2007). Asam-asam organic ini dapat mengchelat Al atau Fe pada tanah bereaksi masam sehingga P atau Ca tersedia.dapat ditingkatkan.

Pengelolaan Lahan Spesifik Lingkungan/Tugas dari Dr. Ir. Hamidah Hanum, MP

Produksi gas Pada tanah sawah tadah hujan produksi gas-gas beracun akibat dekomposisi dapat diperkecil karena kecilnya penggenangan pada lahan sawah tadah hujan. Jadi pengaruh dekomposisi awal yang merugikan lebih dapat dihindari (Makarim et al., 2007).

Teknis Aplikasi Jerami Pada Lahan Sawah Tadah Hujan Anjuran untuk mengembalikan jerami ke tanah sawah sering menemui beberapa kendala. Umumnya petani membakar jerami karena beberapa alasan, antara lain mengejar waktu tanam. Bila indeks pertanaman tiga kali atau lebih, petani tidak memiliki cukup waktu untuk mengomposkan jerami di lahan. Sehingga, teknologi pengelolaan jerami yang tepat perlu dikembangkan. Kegiatan pengembalian/pembenaman jerami ke lahan dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara, yaitu : a. pemberian langsung, yaitu setelah panen dan jerami tercacah semua selanjutnya dikembalikan ke lapisan olah tanah sawah yang dilakukan bersama kegiatan pengolahan tanah pertama, atau ditebar langsung ke lahan dan dibiarkan hingga pengolahan tanah berikutnya (atau musim tanam selanjutnya) (Anonimous, 2009). Cara ini dapat dilakukan bila indeks pertanaman di bawah tiga kali. Atau apabila jarak antara panen pada musim sebelumnya dengan saat musim berikutnya minimal ada tenggang waktu selama dua bulan. Artinya jerami memiliki masa pengomposan secara alami di lahan sebelum penanaman dilakukan. Cara ini dapat dilakukan saat panen, jerami langsung disebar ke petakan sawah kemudian dibiarkan tergenang saat hujan turun, maka jerami akan terdekomposisi dalam jangka waktu dua bulan. Namun apabila pemanfaatan jerami dilakukan kurang dari dua bulan, akan dapat menghambat pertumbuhan tanaman padi (Tim PTT Balitpa, 2001) . Penggunaan jerami segar sebagai pupuk dapat menghambat pertumbuhan tanaman terutama pada awal pertumbuhan karena adanya persaingan pengambilan hara dengan mikroba. Penumpukan jerami selama satu musim tanam akan mengurangi luas areal tanam. Namun, keuntungan pengembalian jerami ke tanah sawah akan mengkompensasi masalah berkurangnya areal tanam, seperti takaran pupuk yang perlu diberikan berkurang, meningkatkan produksi, dan memperbaiki kesuburan tanah.

Pengelolaan Lahan Spesifik Lingkungan/Tugas dari Dr. Ir. Hamidah Hanum, MP

10

Cara pemberian langsung dapat pula dilakukan dengan mengumpulkan jerami di bagian pinggir petakan sawah atau di tempat lain dan dibiarkan melapuk secara alami. Lamanya dekomposisi secara alami sangat tergantung pada kondisi biologi tanah setempat atau aktivitas organisme tanahnya. Seperti ditunjukkan dari hasil dekomposisi berbagai jenis isolat bakteri terhadap jerami selama enam minggu memberikan hasil yang berbeda pada kenampakan substrat dan kandungan hara makro-mikro. (lihat tabel 4, dan gambar 1)( H.S. Nur et al., 2009)
Tabel 4. Kandungan hara makro-mikro substrat selama dekomposisi. Kandungan hara substrat pada akhir dekomposisi Perlakuan Kontrol A B C D N 1,32 1,46 1,52 1,75 1,29 P 0,09 0,12 0,16 0,13 0,12 K
(%)

Ca 0,20 0,28 0,32 0,27 0,27

Mg 0,09 0,12 0,14 0,13 0,12

Fe 359,2 470,0 1760,0 1368,3 2228,0

Cu
Mg l
-1

Zn 7,1 11,1 58,6 65,0 44,8

Mn 186,8 213,9 306,6 608,3 680,0

0,33 0,57 0,92 0,59 0,76

5,4 6,8 20,3 12,6 17,8

D C B A Kontrol Gambar 9. Kenampakan substrat jerami padi pada akhir dekomposisi. Perlakuan A adalah kombinasi isolat bakteri selulolitik C4-4 + xilanolitik; B = C5-1 + xilanolitik; C =C11-1 + xilanolitik dan D = xilanolitik. Kombinasi perlakuan A dan B berpeluang sebagai bioaktivator potensial untuk dekomposisi jerami padi.

Adapun besarnya jumlah jerami yang diberikan tergantung kondisi pengelolaan tanah dan hara pada lahan tersebut, atau mengacu pada Rekomendasi Pemupukan PerMentan (lihat Tabel 2 dan 3) Menurut Arifin et al. (1993); Hadiwigeno (1993); Basyir dan Suyamto (1996), pemberian 5,0 t/ha jerami dapat menghemat pemakaian pupuk KCl sebesar 100 kg/ha. Sedangkan Adiningsih (1984); Arafah et al., 2003 melaporkan bahwa penggunaan kompos

Pengelolaan Lahan Spesifik Lingkungan/Tugas dari Dr. Ir. Hamidah Hanum, MP

11

jerami sebanyak 5 t/ha selama 4 musim tanam dapat menyumbang hara sebesar 170 kg K, 160 kg Mg, dan 200 kg Si. Hal ini disebabkan karena sekitar 80 % kalium yang diserap tanaman berada dalam jerami (Rochayati et al., 1991; Arafah et al., 2003). b. pemberian secara tidak langsung, yaitu jerami yang telah dicacah dilakukan pengomposan terlebih dahulu di luar lahan, setelah matang kompos jerami dibenam ke lapisan olah saat pengolahan tanah (Anonimous, 2009). Ini dilakukan bila indeks pertanaman pada lahan tersebut adalah lebih dari tiga kali. Menurut Tisdale, Nelson, dan Beaton,1990; Makarim et al., 2007), bahan organik yang mempunyai nisbah C/N yang tinggi bila dibenamkan ke dalam tanah akan segera mengalami mineralisasi. Selanjutnya Haryanto dan Idawati, 1990; Arafah et al., 2003 : menyatakan bahwa sebagian N-mineral dalam tanah, baik yang berasal dari pelapukan jerami, N-mineral tanah maupun N-mineral pupuk diimmobilisasi oleh jasad renik untuk memenuhi kebutuhan unsur N dalam perkembangbiakannya. Dengan demikian antara tanaman padi dan jasad renik terjadi persaingan dalam penggunaan nitrogen. Hasil analisis Ekawati. 2003; Anisuryanii. 2008: memperlihatkan bahwa jerami padi mengandung: 36.65% selulosa, 6.55% lignin, dan 0.3152% polifenol. Tingginya kandungan selulosa dan lignin pada jerami padi menyebabkan bahan tersebut sulit terdekomposisi secara alami. Oleh karena itu, perlu dicarikan dekomposer yang mampu menghsilkan enzim selulase. Untuk mempercepat proses pengomposan dapat pula digunakan dekomposer (inokulan mikroba), baik yang dibuat sendiri berupa mikroba lokal atau membeli biodekomposer di pasaran. Pelapukan jerami dapat dipercepat dengan teknik pengomposan yang mudah, cepat, dan murah dengan menggunakan decomposer lokal buatan sendiri atau Mikro Organisme Lokal (MOL). Lamanya pengomposan tergantung pada bahan decomposer yang digunakan (umumnya satu minggu), tetapi bila menggunakan pengomposan secara alami membutuhkan waktu selama 50 hari (Anisuryanii, 2008). Kematangan kompos dapat dilihat dari kandungan karbon dan nitrogen melalui rasio C/N. Menurut Leaon (1995); Anisuryanii. 2008: nisbah C/N kompos yang stabil antara 10-30. Rasio C/N yang tinggi (>30) menunjukkan nitrogen yang belum termineralisasi sehingga belum tersedia bagi tanaman.Kandungan nitrogen tertinggi dimiliki oleh kompos dari jerami padi. kompos memiliki nilai C/N yang lebih kecil

Pengelolaan Lahan Spesifik Lingkungan/Tugas dari Dr. Ir. Hamidah Hanum, MP

12

dari 30 ini menunjukkan kompos sudah termineralisasi, dan nitrogen yang tersedia siap dimanfaatkan tanaman (Anisuryanii. 2008). Apabila rasio C/N terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan nitrogen untuk sintesis protein sehingga dekomposisi akan berjalan lambat (Isroi, 2004; H.M. Junaidi et al., 2010). Jerami padi mengandung nitrogen sekitar 0,5 % sampai 0,8 % (Dobermann and Fairhurst, 2002; Makarim, 2007). Untuk mencapai C/N ideal dapa dilakukan pengomposan dengan kombinasi bahan organik lainnya, yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 4 berikut:
Tabel 5. Rasio C/N pada awal dan akhir pembuatan kompos

Perlakuan Awal Jerami + Ca-Cyanamide (88 : 1w/w) Jerami + kotoran sapi (2 : 1 w/w) Jermi + air seni (1 : 4 w/w) Jerami + air (1 : 4w/w)
Sumber : Tangendjaja, 1991; Makarim, 2007

Rasio C/N Akhir 18 20 23 28

48 41 54 20

Hasil penelitian Duong et al. (2006) yang memberikan kompos berupa jerami pada tanaman padi sudah memberikan pengaruh setelah 30 hari diaplikasikan. Selain itu, juga ditemukan dampak positif lain seperti meningkatkan ketersediaan makro dan mikronutrien bagi tanaman (Aguilar et al.,1997; Anisuryanii 2008)) Cara pembuatan kompos jerami.  Bahan-bahan antara lain :
y y y y

Jerami padi Kotoran ternak (Sapi, Ayam, atau Domab) sebanyak 10% dari berat jerami Larutan UREA 10% atau MOL Plastik cover

Pengelolaan Lahan Spesifik Lingkungan/Tugas dari Dr. Ir. Hamidah Hanum, MP

13

 Cara Pembuatan :
y y

Jerami padi kering dicelupkan/dipercikkan larutan UREA 10% atau MOL Jerami basah dihamparkan dilantai atau pematang sawah dengan ukuran panjang m, lebar 0,8, tebal 0,3 m. 3

y y y

Permukaan atas tumpukan jerami basah ditaburi kotoran ternak. Langkah ke 2 dan 3 diulangi sampai ketinggian 1,80 m. Tutup bagian atas jerami denga plastik cover atau jerami kering yang berfungsi untuk menahan panas.

Setelah 2 minggu, jerami dibalik, kemudian tumpukan jerami ditutup kembali dan diperkirakan 1 bulan setelah itu jerami sudah menjadi kompos. Produk akhir dari dekomposisi yang berupa kompos, dapat memacu keberadaan

plantgrowth promoting-rhizobacteria (PGPR) dengan tersedianya sumber karbon sebagai sumber energi. Keberadaan PGPR secara langsung meningkatkan pertumbuhan tanaman melalui beberapa mekanisme:fiksasi nitrogen, produksi siderofor, pelarutan mineral-mineral, seperti fosfor dan sintesis fitohormon (Glick, 1995; H.S. Nur et al 2008). Dari dua ton bahan mentah berupa jerami dapat dijadikan kompos seberat 432 kg kompos yang dapat diberikan/dibenamkan kepada 0,2 hektar lahan sawah. Hasil penelitian Adiningsih, 1984; Arafah et al., 2003 : menunjukkan bahwa kompos jerami memiliki kandungan hara setera dengan 41,3 kg urea, 5,8 kg SP36, dan 89,17 kg KCl per ton kompos atau total 136,27 kg NPK per ton kompos kering. Cara praktis aplikasi jerami. Pemanfaatan jerami yang selama ini menjadi hambatan adalah sulitnya dalam aplikasi pada lahan sawah, sehingga perlu dilakukan pendekatan yang lebih mudah dan praktis untuk pengaplikasian jerami pada lahan sawah. Dibawah ini disajikan secara praktis aplikasi jerami pada lahan sawah seperti berikut : 1. Lakukan pengolaan tanah dengan cara bajak dan satu minggu kemudian diikuti dengan cara rotari (menghan-curkan tanah).

Pengelolaan Lahan Spesifik Lingkungan/Tugas dari Dr. Ir. Hamidah Hanum, MP

14

2. Biarkan air hujan masuk ke kedalam petakan sawah yang tanahnya sudah diolah dua kali (tanah sudah hancur) sampai tergenang. 3. Masukkan jerami yang sudah difermentasi / dikomposkan ke dalam petakan sawah. 4. Sebarkan jerami-jerami tersebut, dengan menggunakan garpu atau alat apa saja yang bisa digunakan untuk menarik/menyebar-kan jerami-jerami tersebut pada genangan air. 5. Setelah jerami sudah tersebar merata, keluarkan air dari petakan sawah sampai macakmacak. 6. Lakukan kembali pengolahan tanah sampai jerami tersebut tercampur merata dengan tanah. Pengaruh Pemberian Jerami Pada Beberapa Musim Tanam Dari hasil penelitian PTT Maros MT 2001 pada tabel 6 menunjukkan bahwa perbedaan presentase jerami yang diberikan, akan berpengaruh pada hasil gabah kering panen yang diperoleh. Hasil gabah kering panen tertinggi yaitu sebesar 7,24 t/ha diperoleh dengan perlakuan 220 kg UREA/ha + 50 kg ZA/ha + 50 kg SP36/ha + 50 kg KCL/ha + Jerami 100% (dikemabalikan) dan yang terendah adalah 5,77 t/ha denga perlakuan 240 kg UREA/ha + 70 kg ZA/ha + 35 kg SP36/ha + 30 kg KCL/ha (perlakuan petani pada umunya).
Tabel 6. Pengaruh Jerami Terhadap Hasil Padi Sawah, PTT Maros, MK 2001

No UREA 1 2 3 4 5 220 220 220 240 213

Pemupukan (Kg/ha) ZA 50 50 50 70 60 SP36 50 50 50 35 30 KCL 50 50 50 30 30

Jerami *) 100 75 50 0 0

Hasil GKP (t/ha) 7.24 6.56 5.84 5.77 5.72

Sumber : Arafah et al, 2001 *) Persentase jerami insitu yang diberikan

Pengelolaan Lahan Spesifik Lingkungan/Tugas dari Dr. Ir. Hamidah Hanum, MP

15

Tidak adanya perbedaan yang nyata antara pemberian jerami dengan tanpa jerami disebabkan karena penelitian ini dilaksanakan pada musim pertama, sedangkan pengaruh pemberian jerami biasanya berdampak secara signifikan pada musim berikutnya, karena jerami yang diberikan hanya 2 t/ha. (Tabel 1). Hasil analisis terhadap sifat kimia tanah dengan perlakuan kompos jerami setelah tiga bulan menunjukkan adanya beberapa perbedaan kandungan hara dengan setelah enam bulan aplikasi (Tabel 8). Hal ini menunjukkan ada hubungan lamanya pembenaman kompos jerami terhadap perubahan sifat kimia tanah dan hasil tanaman. Tabel 8.Pengaruh perlakuan kompos terhadap sifat kimia tanah setelah tiga dan enam bulan aplikasi Para meter/ satuan pH H Al Corg N P K Na Ca Mg Mg/100g Mg/100g % % Ppm Me/100g Me/100g Me/100g Me/100g Lamanya Pengomposan (bulan) Tiga Enam 4,28bc 4,26a 0,83a 0,72b 0,90a 1,92abc 3,89b 3,87ab 0,32b 0,30abcd 132,5b 108,7b 0,62b 1,20b 3,73c 0,68b 7,89b 5,10a 6,09c 5,58ab

Sumber : Anisuryanii, 2008


Keterangan: angka pada baris yang diikuti dengan notasi huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji Duncan

Hasil penelitian lainnya pada tabel 3 dapat dilihat bahwa pemberian jerami selama 3 (tiga) musim tanam secara berturut mampu memberikan hasil yang tidak berbeda nyata dengan adanya pemupukan SP-36 dan KCL dosis masing-masing 50kg/ha. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak perlu lagi dilakukan pemupukan SP-36 dan KCL pada lahan yang sudah diberikan kompos jerami insitu selama 3 (tiga) musim tanam secara berturutturut.
Tabel 7 . Pengaruh Pemupukan P dan K pada Pemberian Jerami Selama 3 MT pada Tanaman Padi, Mattoanging, Maros, MK 2002.

Parameter Tinggi Jumlah Gabah Jumlah Berat Hasil

Pengelolaan Lahan Spesifik Lingkungan/Tugas dari Dr. Ir. Hamidah Hanum, MP

16

Tanaman (cm) 1. 50 kg SP36 + 50 kg KCL/ha 90.07tn 89,87 89,17 89,10 88,83

Anakan (batang) 14.17tn 12,87 12,53 12,23 12,80

hampa (%) 127,33tn 126,00 124,33 132,00 123,67

gabah/malai (butir) 9,79tn 15,82 11,48 11,57 14,05

1000 butir (t/ha) (gr) 23,86tn 23,18 23,38 23,17 23,33 5.22tn 5.11 5.04 5.04 4.89

2. 50 kg SP36 + 0 kg KCL/ha 3. 0 kg SP36 + 50 kg KCL/ha 4. 25 kg SP36 + 25 kg KCL/ha 5. 0 kg SP36 + 0 kg KCL/ha (kontrol) KK (%)

1,59

7,52

8,63

54,20

2,66

5,84

Sumber : Arafah, et al., 2002

Pengelolaan Lahan Spesifik Lingkungan/Tugas dari Dr. Ir. Hamidah Hanum, MP

17

PENUTUP Kesimpulan
1.

Secara umum, semua lahan sawah tadah hujan memiliki status kesuburan tanah yang rendah karena pertanaman terus menerus dengan sedikit atau tidak ada penggantian hara, dan/atau kesuburan tanah yang rendah secara alami.

2.

Kesuburan tanah berupa keracunan besi, kekahatan posfor, ketersediaan air, dan kandungan bahan organik rendah merupakan kendala dalam pengelolaan lahan sawah tadah hujan.

3.

Pengelolaan tanah sawah tadah hujan dengan pembenaman jerami dapat memperbaiki sifat kesuburan fisik, kimia dan biologi tanah tersebut, serta efesiensi penggunaan pupuk anorganik.

4.

Aplikasi jerami dapat dilakukan dengan cara langsung maupun tidak langsung ke lahan tergantung indeks pertanaman setempat. Saran Diperlukan penyuluhan dan pembelajaran kontinu pada petani tentang perlunya pengembalian sisa panen seperti jerami sebagai upaya pengelolaan lahan sawah tadah hujan khususnya.

Pengelolaan Lahan Spesifik Lingkungan/Tugas dari Dr. Ir. Hamidah Hanum, MP

18

DAFTAR PUSTAKA

Adiningsih, 1984; Arafah et al., 2003. Kajian Penggunaan Jerami dan Pupuk N, P, dan K pada Lahan Sawah Irigasi. Jurnal tanah dan Lingkungan Vol 4 (1) (2003) pp 15-24. BPTP Sulawesi Selatan. http://soil.faperta.ugm.ac.id/jitl/4.1%202003%201524%20arafah.pdf diakses tanggal 18 Juni 2011. Adjid, D.A. 1993; K. Permadi et al,. 2005. Penampilan Padi Gogo Rancah Varietas Singkil dan Ciherang Melalui Model Teknologi Pengelolaan Tanaman dan Sumber Daya Terpadu di sawah Tadah Hujan. Grivigor 4 (3): 227-233; Agustus 2005; ISSN:14122286. BPTP Jawa Barat. http://www.litbang.deptan.go.id/berkas/Bg2-TadahHujan.pdf diakses tanggal 18 Juni 2011 Ali Jamil et al., 2005. Dinamika Fosfor dan Karbon Organik Pada Lahan Sawah Tadah Hujan di Sumatera Utara. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15552/1/kpt-agu2006%20%286%29.pdf diakses tanggal 18 Juni 2011 Anisuryani, 2008. Perbaikan Tanah Media Tanaman Jeruk dengan Berbagai Bahan Organik dalam Bentuk Kompos. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor. 2007. http://pdfbe.com/ke/kebon-jeruk-book5.pdf. diakses tanggal 18 Juni 2011 Anonymous, 2002. Tinjauan Pustaka. Institut Pertanian Bogor. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/19968/Bab%20II_2002awi.pdf? sequence=7 diakses tanggal 17 Juni 2011 Anonimous, 2009. Jerami Dapat Mensubstitusi Pupuk KCl?. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 31 No. 1. 2009. Balittan. Bogor. http://www.pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/wr311092.pdf. diakses tanggal 15 Juni 2011 Anonimous, 2009. Pedoman Teknis Perbaikan Kesuburan Lahan Sawah Berbasis Jerami. Direktorat Pengelolaan Lahan Dirjen Pengelolaan Lahan dan Air. Deptan. Jakarta. http://www.litbang.deptan.go.id/special/padi/jpptp_2006_2502_4.pdf. diakses tanggal 17 Juni 2011 Arafah et al., 2003. Kajian Penggunaan Jerami dan Pupuk N, P, dan K pada Lahan Sawah Irigasi. Jurnal tanah dan Lingkungan Vol 4 (1) (2003) pp 15-24. BPTP Sulawesi Selatan. http://sulsel.litbang.deptan.go.id/index2.php?option=com_content&task=view&id=114 &pop=1&page=0&Itemid=129 diakses tanggal 20 Juni 2011

Pengelolaan Lahan Spesifik Lingkungan/Tugas dari Dr. Ir. Hamidah Hanum, MP

19

Balittan Sukamandi, 1988; Ismunadji & Suprapto, 1990; Mamaril et al., 1995. Anonimous 2002. Tinjauan Pustaka. Institut Pertanian Bogor. Basyir dan Suyamto,1996; Arafah et al., 2003. Kajian Penggunaan Jerami dan Pupuk N, P, dan K pada Lahan Sawah Irigasi. Jurnal tanah dan Lingkungan Vol 4 (1) (2003) pp 1524. BPTP Sulawesi Selatan. Foth H.D. 1988; Ridwan. 2009. Pemanfaatan Bahan Organik dan Bahan Organik Insitu Pada Budidaya Jagung di Lahan Kering. Jurnal Ilmiah Tambua, Vol.VIII, No.3, SeptemberDesember 2009: 421-425 hlm. http://perkebunan.litbang.deptan.go.id/upload.files/File/publikasi/jurnal/Jurnal%202007 /J-Vol13_3_2007/perkebunan_jurnal_13%283%292007_6-JACQLINE.pdf diakses tanggal 12 Juni 2011. Fagi dan Kartaatmadja, 2003; Makarim. A.K., 2007. Jerami Padi: Pengelolaan dan Pemanfaatan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. http://www.litbang.deptan.go.id/special/padi/jpptp_2006_2502_4.pdf. diakses tanggal 18 Juni 2011 Hatta Muhammad 2005. Kajian Penggunaan Bahan Organik dan Cara Pengolahan Tanah dalam Budidaya Padi Gogogo Rancah di Kabupaten Jeneponto. Jurnal Agrivigor 5 (1):16-25; Desember 2005; ISSN 1412-2286. BPTP Sulawesi Selatan, Makasar. http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/51051625.pdf diakses tanggal 12 Juni 2011 H. Sarwono et al. 2005. Tanah Sawah (Morfologi dan Klasifikasi Tanah Sawah). Glick B.R, 1995; H.S. Nur et al 2009. Pemanfaatan Bakteri Selulitik dan Xilanolitik yang Potensial untuk Dekomposisi Jerami Padi. Jurnal Tanah Tropis. Vol 14. No 1. 2009: 71-80.ISSN 0852-257X H.S. Nur et al 2009. Pemanfaatan Bakteri Selulitik dan Xilanolitik yang Potensial untuk Dekomposisi Jerami Padi. Jurnal Tanah Tropis. Vol 14. No 1. 2009: 71-80.ISSN 0852257X IRRI, 1992; Sastrosoedardjo dan Tohari, 2001; anonymous, 2002. Tinjauan Pustaka. Institut Pertanian Bogor. IRRI 1993; Ali Jamil et al., 2005. Dinamika Fosfor dan Karbon Organik Pada Lahan Sawah Tadah Hujan Di Sumatera Utara. BPTP Sumatera Utara. IRRI 1997; Mahyuddin Dalimunthe et al.,2006. Pengaruh Residu Fosfor dan Bahan Organik Terhadap pH H2O, KTK, Al-dd dan Produksi Kacang Hijau Setelah Dua Kali Pertanaman Padi Pada Lahan Sawah Tadah Hujan. Jurnal Penelitian Bidang Ilmu

Pengelolaan Lahan Spesifik Lingkungan/Tugas dari Dr. Ir. Hamidah Hanum, MP

20

Penelitian. Volume 4, Nomor 2, Agustus 2006: 89 98. Fakultas Pertanian Ilmu Tanah UISU. Junaidi H.M. et al., 2010. Uji Potensi Microbacterium sp. dan Penambahan Daun Orok-orok (crotalaria sp.) dalam Dekomposisi Jerami Padi. Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Uiversitas Brawijaya Malang, Indonesia Karama, A.S. et al., 1990; Hatta Muhammad, 2005. Kajian Penggunaan Bahan Organik dan Cara Pengolahan Tanah dalam Budidaya Padi Gogorancah di Kabupaten Jeneponto. Jurnal Agrivigor 5 (1):16-25; Desember 2005; ISSN 1412-2286. BPTP Sulawesi Selatan, Makasar. Katyal 1977; A.K. Makarim et al., 2007. Jerami Padi: Pengelolaan dan Pemanfaatan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. K. Permadi et al. (2005). Penampilan Padi Gogo Rancah Varietas Singkil dan Ciherang Melalui Model Teknologi Pengelolaan Tanaman dan Sumber Daya Terpadu di Sawah Tadah Hujan. Grivigor 4 (3): 227-233; Agustus 2005; ISSN:1412-2286. BPTP Jawa Barat M. Dwi Nowo, 2008. Aplikasi Teknologi Penginderaan Jauh dan Uji Validasinya Untuk Deteksi Penyebaran Lahan Sawah dan Penggunaan /Penutupan Lahan. Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi (SNATI 2008) Pusdata LAPAN.Yogyakarta. Mackill et al. 1996; Yahya et al., 1990; Hatta M, 2005. Kajian Penggunaan Bahan Organik dan Cara Pengolahan Tanah dalam Budidaya Padi Gogogo Rancah di Kabupaten Jeneponto. Jurnal Agrivigor 5 (1):16-25; Desember 2005; ISSN 1412-2286. BPTP Sulawesi Selatan, Makasar. Makarim. A.K., 2007. Jerami Padi: Pengelolaan dan Pemanfaatan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. M. Muljady D. et al. 2008. Rekomendasi Pemupukan Padi Sawah Spesifik Lokasi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Gorontalo. Depatemen Pertanian. Rochayati et al., 1991; Arafah et al., 2003. Kajian Penggunaan Jerami dan Pupuk N, P, dan K pada Lahan Sawah Irigasi. Jurnal tanah dan Lingkungan Vol 4 (1) (2003) pp 15-24. BPTP Sulawesi Selatan. Soepartini, 1995; K. Permadi, 2005. Penampilan Padi Gogo Rancah Varietas Singkil dan Ciherang Melalui Model Teknologi Pengelolaan Tanaman dan Sumber Daya Terpadu di Sawah Tadah Hujan. Grivigor 4 (3): 227-233; Agustus 2005; ISSN:1412-2286. BPTP Jawa Barat

Pengelolaan Lahan Spesifik Lingkungan/Tugas dari Dr. Ir. Hamidah Hanum, MP

21

Summers et al., 2003; H.M. Junaidi et al., 2010. Uji Potensi Microbacterium sp. dan Penambahan Daun Orok-orok (crotalaria sp.) dalam Dekomposisi Jerami Padi. Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Uiversitas Brawijaya Malang, Indonesia Supapoj, N.K. et al.,;Hatta Muhammad 2005. Kajian Penggunaan Bahan Organik dan Cara Pengolahan Tanah dalam Budidaya Padi Gogo Rancah di Kabupaten Jeneponto. Jurnal Agrivigor 5 (1):16-25; Desember 2005; ISSN 1412-2286. BPTP Sulawesi Selatan, Makasar. Tim PTT Balitpa, 2001. Penggunaan Kompos Jerami Menunjang Program Pengelolaan Tanaman Terpadu. Balipa Sukamandi. Tirtoutomo et al,. 2001; A.K. Makarim et al., 2007. Jerami Padi: Pengelolaan dan Pemanfaatan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Wade et al., 1999; Anonymous, 2002. Tinjauan Pustaka. Institut Pertanian Bogor.

Pengelolaan Lahan Spesifik Lingkungan/Tugas dari Dr. Ir. Hamidah Hanum, MP

22

You might also like