You are on page 1of 19

DEVELOPMENTALISME DAN REDUPNYA

ORIENTASI PENDIDIKAN LOKAL


Oleh: Irfan Noor, M.Hum.

Pengantar
Jika refleksi tentang hegemoni negara atas keberadaan lembaga pendidikan lokal
diletakkan dalam konteks perjalanan pendidikan lokal di Kalimantan Selatan, maka problemnya
adalah hilangnya ruang gerak bagi kontekstualisasi dan pengembangan pendidikan yang lebih
relevan dan sesuai dengan kondisi sosial dan budaya yang ada di daerah ini. Ketika ruang gerak
itu telah hilang dari tubuh lembaga pendidikan lokal, maka apapun lembaga pendidikannya
tentunya bisa dipastikan akan gagal menjawab dan merespon realitas yang berkembang di
tengah-tengah masyarakat.
Oleh karena itu, jika persoalan ini dikembalikan pada situasi lokal masyarakat
Kalimantan Selatan, tentunya kondisi sosio-kultural masyarakat yang seharusnya menjadi ruang
gerak bagi kontekstualisasi dan pengembangan pendidikan yang ada di daerah ini adalah
struktur sosio-kultural masyarakat ini yang sangat terkait dengan sistem keberagamaan
masyarakat di daerah ini. Pengidentifikasian masyarakat Banjar terhadap Islam merupakan
bentuk kecenderungan dari masyarakat ini sejak berabad-abad lamanya, sehingga telah
menjadikan Islam sebagai bentuk identitas sosial dari masyarakat ini di hadapan komunitas
lainnya di daerah ini.1
Muara dari bentuk kecenderungan yang terjadi pada masyarakat Banjar seperti ini
tentunya diiringi oleh suatu kecenderungan untuk menempatkan figur ulama dalam posisi yang
sangat sentral dalam struktur masyarakat di daerah ini. Posisi sentral yang diberikan masyarakat
atas ulama ini tidak lain karena mereka merupakan bagian sentral dari proses reproduksi nilai-
nilai yang menjadi pegangan bersama masyarakat di daerah ini. 2 Gambaran historis yang bisa
dikemukan terhadap posisi ulama seperti itu bisa dirujuk pada perjalanan panjang Syekh

1 Lihat penjelasan Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar; Diskripsi dan Analisa Kebudayaan
Banjar, (Jakarta: Rajawali Press, 1997), hlm. 4.
2 Lihat penjelasan Irfan Noor, “Ulama dan Masyarakat Banjar”, dalam Jurnal Kebudayaan
KANDIL, Edisi 1, Thn. I, Mei 2003, hlm. 18-25; Irfan Noor, “Arus Balik Perilaku Politik Ulama
Banjar”, dalam Jurnal Kebudayaan KANDIL, Edisi 2, Thn. I, Sept. 2003, hlm. 33-45.

1
Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812) dan Syekh Muhammad Nafis al-Banjari (1735 w.) di
daerah ini. Kecenderungan seperti ini terjadi pula pada figur-figur ulama lain pasca kedua figur
ulama besar di atas.
Namun sayangnya, seiring dengan diterapkannya berbagai kebijakan negara terhadap
semua bentuk penyelenggaraan pendidikan formal di masyarakat ke dalam Sistem Pendidikan
Nasional, maka telah terjadi proses pemandulan dan pendegradasian kontekstualisasi dan
pengembangan lembaga pendidikan yang lebih relevan dan sesuai dengan kondisi sosio-kultural
yang ada di tingkat lokal. Pemerintah, khususnya era Orde Baru, memiliki kecenderungan lebih
mengutamakan kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya ekonomis sebagai bagian dari
pengejawantahan paham developmentalisme yang dianutnya. Refleksi terhadap “apa” dan
“bagaimana” bentuk kebijakan negara terhadap penyelenggaraan pendidikan di tingkat lokal
yang memiliki dampak dalam proses pemandulan dan pendegradasian inilah yang menjadi
tujuan penulisan artikel ini.

Pendidikan dan Masyarakat Banjar


Berbicara tentang penyelenggaraan pendidikan formal dalam masyarakat Banjar tidak
bisa dilepaskan masuknya agama Islam ke daerah ini.3 Jika berbicara tentang kapan Islam
masuk ke daerah ini, maka ada beberapa asumsi yang menunjukkan bahwa agama ini telah
masuk ke daerah ini jauh sebelum berdirinya Kerajaan Islam Banjar.4 Namun demikian,
sebagaimana yang diakui oleh banyak ahli, momentum intensitas penyebaran Islam di daerah
ini baru terjadi pada abad ke-16 ketika Sultan Demak membantu Pangeran Samudera dalam
menundukkan pamannya, Pangeran Tumenggung, dalam perebutan kekuasaan yang terjadi.
Bentuk Bantuan itu berupa pengiriman tenaga prajurit bersama tokoh Islam yang bernama
Khatib Dayyan. Atas bantuan Demak ini, Pangeran Samudera berhasil menaklukkan
Kesultanan Negaradaha yang dikuasai oleh Pangeran Tumenggung dan, berdasarkan perjanjian,
Pangeran Samudera masuk Islam. Pada momentum peralihan kekuasaan dari Pangeran
Tumenggung kepada Pangeran Samudera yang kemudian berganti gelar menjadi Sultan
3 Pengidentifikasian geneologi penyelenggaraan pendidikan formal di tingkat lokal Kalimantan
Selatan kepada masuknya Islam ke daerah ini didasarkan atas asumsi bahwa masyarakat di daerah ini
secara kultural bersifat Islami, di samping tidak ada bukti-bukti historis yang bisa menjelaskan bahwa
penyelenggaraan pendidikan formal telah ada jauh sebelum Islam masuk ke daerah ini.
4 A. Hafiz Anshary AZ., Islam di Selatan Borneo Sebelum Kerajaan Banjar, [Orasi Ilmiah yang
disampaikan dalam rangka pembukaan kuliah semester ganjil tahun 2002/2003 IAIN Antasari, Senin 2
September 2002], (Banjarmasin: IAIN Antasari, 2002), hlm. 14-24.

2
Suriansyah inilah yang menandai berdirinya sebuah Kerajaan Islam Banjar pada tahun 1526. 5
Sejak itulah, Islam menjadi agama resmi Kerajaan dan masyarakat Banjar menggantikan agama
Hindu.6
Walau telah diakui bahwa proses intensifikasi penyebaran Islam di daerah ini terjadi
sejak berdirinya Kesultanan Banjar, tetapi proses peningkatan pengetahuan keislaman secara
lebih intensif di masyarakat Banjar itu sendiri baru terjadi ketika Syekh Muhammad Arsyad al-
Banjari kembali dari Mekkah7 pada tahun 1772 (dalam usia 64 tahun) atau masa pemerintahan
Sultan Tamjidillah I, setelah 30 tahun lamanya belajar di sana.8
Konon kepulangan Syekh Arsyad dari Mekkah disambut penuh antusias oleh pihak
kesultanan dan warga Kerajaan Banjar. Sultan Tamjidillah I (1745-1778) sangat
menghormatinya dan mengawinkannya dengan salah seorang kerabat dekatnya, Ratu Aminah,
anak dari Pangeran Thaha, saudara sepupu Sultan. Selain itu juga, Sultan menghadiahkan
sebidang tanah perbatasan + 5 km dari Martapura, tempat kedudukan Keraton pada saat itu.
Tanah pemberian itu kemudian dibangun oleh Syekh Arsyad sebagai wilayah pemukiman dan
tempat diselenggarakannya pengajian-pengajian agama yang beliau asuh. Tempat inilah yang di
kemudian hari berkembang menjadi kampung “Dalam Pagar”. Dilihat dari sudut proses
belajar-mengajar pada masa itu, bentuk pengajian di dalam satu komplek yang ada musholla,
tempat belajar dan asrama untuk para santri merupakan suatu tradisi yang baru bagi model
belajar-mengajar di daerah ini. Hal ini karena, sebelumnya, pengajian-pengajian dilaksanakan di
rumah, musholla, atau istana saja.9 Pola pembelajaran yang dikembangkan oleh Arsyad inilah
yang nantinya sebagai cikal-bakal pendidikan formal Islam di daerah ini pada akhir abad ke-18

5 Azyumardi Azra, “Interaksi dan Akomodasi Islam dengan Budaya Melayu Kalimantan”,
dalam Aswab Mahasin (dkk), Ruh Islam dalam Budaya Bangsa; Aneka Budaya Nusantara, (Jakarta: Yayasan
Festival Istiqlal, 1996), hlm. 188.
6 Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar …, hlm. 48.
7 Emroni, “Pembaharuan Pendidikan Islam di Kalimantan Selatan Abad XX”, dalam Jurnal
Penelitian IAIN Antasari, No. 5, Thn. V – 2001, hlm. 3. Intensitas ini terkait dengan pola
pembelajaran yang dikembangkan oleh Syekh Arsyad melalui model pembelajaran yang mengambil
tempat khusus semacam pondok pesantren (jika boleh dikatakan demikian). Selama rentang waktu
antara Khatib Dayyan dengan Syekh Arsyad yang memakan waktu kurang lebih satu setengah abad,
agama Islam cenderung diajarkan/disyi’arkan berdasarkan model ngaji duduk yang diselenggarakan di
rumah, langgar (mushola) atau istana. Lihat A. Hafiz Anshari, “Peran Syekh Muhammad Arsyad al-
Banjari di dalam Pengembangan Islam di Kalimantan Selatan”, dalam Majalah Ilmiah Keagamaan dan
Kemasyarakatan Khazanah, Vol. I, No. 1, Januari-Februari 2002 (Banjarmasin: IAIN Antasari), hlm. 19.
8 Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar …, hlm. 54.
9 A. Hafiz Anshari, ZA., “Peran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari …, hlm. 18.

3
dan awal abad ke-19.10
Konon Syekh Arsyad, di samping membuka pengajian-pengajian agama yang diikuti
oleh kaum pria, juga membuka pengajian-pengajian agama untuk kaum wanita. Pengajian
tersebut konon banyak menghasilkan tokoh-tokoh ulama yang kemudian tersebar ke seluruh
pelosok Banjar dan tempat-tempat lain di Kalimantan, dan bahkan ke Sumatera. Salah satu
bukti betapa besar pengaruh pengajian agama yang diselenggrakan oleh Syekh Arsyad bagi
masyarakat Banjar ini adalah masih dipeganginya Kitab Parukunan sampai sekarang oleh
masyarakat daerah ini, yang merupakan catatan pelajaran yang diterima salah seorang murid
wanita Syekh Arsyad yang paling cerdas bernama Fatimah binti Utsman.11
Syekh Arsyad, dalam kegiatan belajar-mengajar, dibantu oleh menantu yang juga
sahabat beliau, Syekh Abdul Wahab Bugis. Sistem pengajarannya di samping berbentuk
“halaqah” juga ada yang bersifat “sorogan”. Selain diajarkan al-Qur’an dan hadits, Syekh Arsyad
juga mengajarkan baca tulis Arab Melayu, nahwu-sharaf, tafsir, fiqh dan tauhid. Sistem dan
metode pengajaran model ini, yang terus berlanjut sampai masa Penjajahan Belanda,
sesungguhnya mencerminkan orientasi transmisi keilmuan pada abad ke-17-18 yang berpusat
ke Haramain (khususnya Mesjid Al-Haram di Mekkah) yang saat itu belum mengenal sistem
madrasah.12 Posisi Haramain ini, bagi umat Islam Indonesia, sangat dominan sejak abad ke-17
hingga akhir abad ke 19.13 Adapun sistem dan metode pembelajaran yang dominan di Masjid al-
Haram cenderung menggunakan sistem halaqah. Sistem ini di sana tetap berjalan hingga sekarang,
namun halaqah yang dijumpai pada masa modern adalah halaqah yang telah diregulasi oleh Pemerintah
Arab Saudi.14 Di Mekkah, sistem pengajaran berbentuk madrasah baru dikenal sejak berdirinya
Madrasah Shaulatiyyah sekitar tahun 1871 oleh seorang muqîmîn dari India bernama al-Syekh
Muhammad Rahmat Allâh. Namun karena belum merupakan karakteristik transmisi keilmuan Islam di
kawasan Mekkah pada masa itu, maka model yang pernah berkembang ini tidak memberikan pengaruh

10 Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar …, hlm. 54.


11 Fatimah sesungguhnya adalah cucu Syekh Arsyad sendiri. Sementara Kitab Parukunan itu
sendiri ketika dicetak mengambil nama pengarang Jamaluddin yang merupakan anak Syekh Arsyad dari
istrinya yang bernama Ratu Aminah. Lihat penjelasan lebih detail pada Alfani Daud, Islam dan
Masyarakat Banjar …, hlm. 54-55.
12 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat; Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia,
(Bandung: Mizan, 1995), hlm. 21-25.
13 Mona Abaza, Islamic Education: Perception and Exchanges Indonesian students in Cairo, (Paris:
Cahier d’Archipel 23), hlm. 38.
14 Lihat penjelasan Maksum Muchtar, “Kajian Islam Haramain; Pengalaman di Mekkah”,
dalam Ismatu Ropi & Kusmana, Belajar Islam di Timur Tengah, (Jakarta: Binbaga Islam DEPAG RI, tth),
hlm. 22-25.

4
apa-apa terhadap model pendidikan di tanah air umumnya dan Banjar khususnya.15 Sistem dan metode
pengajaran model madrasah sesungguhnya merupakan sistem dan metode yang telah lahir lama di
kawasan Nishapur, Iran sekitar tahun 1009 dan tahun 1064 lahir Madrasah Nizamiyah di Bagdad
sebagai prototype madrasah Sunni.16
Pendidikan Islam yang berbentuk sekolah atau madrasah dengan sistem klasikal dan
berjenjang mulai tumbuh dan berkembang di Kalimantan Selatan Baru sekitar awal abad ke-20,
seiring dengan diliriknya Cairo-Mesir sebagai kiblat baru pendidikan Islam oleh umat Islam
Indonesia sejak pertengah abad ke-19.17 Di antara lembaga pendidikan Islam yang tumbuh dan
berkembang dalam rentang waktu abad tersebut, antara lain: Pondok Pesantren Darussalam di
Martapura yang didirikan pada tahun 1914 antara lain oleh H. Jamaluddin, Arabische School
(yang belakangan ini dikenal dengan Pondok Pesantren Rasyidiyah-Khalidiyah) di Amuntai yang
didirikan pada tahun 1924 oleh Tuan Guru H. Abdul Rasyid, Madrasah Diniyah Islamiyah di
Banjarmasin yang didirikan pada tahun 1921 oleh H. Muhammad Yasin, Sekolah Menengah
Islam Pertama (SMIP) di Banjarmasin yang didirikan pada tahun 1946 antara lain oleh HM.
Hanafie Gobit, dan Persatuan Perguruan Islam di Barabai yang didirikan pada tahun 1934
antara lain oleh H. Mansur Ismail.18 Berkembangnya sistem dan metode pengajaran model
madrasah ini pada awal abad ke-20 di daerah Kalimantan Selatan sesungguhnya mencerminkan
perubahan orientasi transmisi keilmuan pada abad ke-19-20 di dunia Islam dan kecenderungan
orientasi keilmuan tokoh-tokoh Islam daerah ini ke Universitas al-Azhar Mesir.19
Tumbuh dan berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam mengawali
penyelenggaraan pendidikan formal di daerah ini bisa dipastikan merupakan wujud dari
kebutuhan sosio-kultural masyarakat ini yang bersifat religius. Apa yang menjadi kebutuhan
sosio-kultural masyarakat di daerah ini terhadap lembaga pendidikan Islam itu adalah
dihasilkannya ulama yang berperan sebagai agent of reproduction dari nilai-nilai yang menjadi
pegangan masyarakat selama ini.

Regulasi Negara dan Orientasi Pendidikan di Masyarakat


Memang harus diakui bahwa semenjak Orde Baru tampil di panggung kekuasaan
15 Maksum Muchtar, “Kajian Islam Haramain …, hlm. 26-30.
16 Lihat penjelaasan Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Penerbit
KOMPAS, 2002), hlm. 84, 107.
17 Mona Abaza, Islamic Education; …, hlm. 39.
18 Emroni, “Pembaharuan Pendidikan Islam di Kalimantan Selatan” …, hlm. 4-7.
19 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat; …, hlm. 34.

5
bangsa ini telah terjadi perkembangan yang sangat pesat pembangunan di bidang pendidikan.
Namun ironisnya, bentuk kontekstualisasi dan pengembangan pendidikan yang lebih revelevan
dan sesuai dengan konteks sosial dan budaya yang ada di daerah ini tidak mendapat dukungan
yang semestinya dari berbagai kebijakan yang dilahirkan oleh pemerintah, khususnya
pemerintahan Orde Baru, dan berlanjut hingga kini. Al-hasil, lembaga-lembaga pendidikan
Islam yang ada di atas dalam perjalanannya mengalami pergeseran orientasi yang akhirnya
cenderung menurunkan mutu ruang gerak lembaga tersebut di tengah-tengah masyarakatnya.
Berawal dari kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Kepres No. 34/1972 yang
kemudian dipertegas dengan Inpres No. 15/1974 yang memunculkan kekhawatiran umat Islam
akan dihapuskannya sistem pendidikan madrasah, pemerintah lalu membuat kebijakan tentang
Sistem Pendidikan Nasional melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri
Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 3 Tahun 1975 tentang keharusan
lembaga-lembaga pendidikan lokal untuk memasukkan mata pelajaran umum sebanyak 70 %
dari kurikulum lokal.20
Kebijakan ini kemudian ditindaklanjuti dengan keluarnya Undang-Undang No. 2
Tahun 1989 tentang sistem pendidikan Nasional yang mendudukkan madrasah dengan seluruh
levelnya equivalen dengan sekolah-sekolah umum, yang kemudian diikuti oleh Peraturan
Pemerintah No. 28 dan 29 Tahun 1990 tentang Pola dan Tata Kependidikan dasar dan
menengah. Sebagai konsekuensinya, madrasah diharuskan mengadopsi dan menerapkan
Kurikulum 1994 tentang pendidikan umum yang telah ditetapkan oleh Depdiknas. Dengan
penerapan kurikulum 1994, maka isi pendidikan madrasah tidak lagi memiliki perbedaan yang
terlalu substansial dan substantif dengan sekolah umum Dengan kenyataan ini, maka madrasah
dengan ketiga tingkatannya pada dasarnya adalah sekolah umum, yang disebut sebagai
“bercirikan Islam”.21
Memang semenjak diterapkannya berbagai kebijakan tersebut tidak terjadi penurunan
kuantitas lembaga-lembaga pendidikan Islam. Data dari Departemen Agama RI menunjukkan
pertumbuhan jumlah Pesantren di seluruh daerah di Indonesia dalam tiga dasawarsa terakhir
20 Fuad Jabali & Jamhari, IAIN & Modernisasi Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos, 2002), hlm.
123.
21 Fuad Jabali & Jamhari, IAIN & Modernisasi Islam di Indonesia…, hlm. 124-125. Di era
reformasi ini kecenderungan perlakuan negara atas penyelenggaraan pendidikan berbasis Islam
ditegaskan kembali lewat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Thn. 2003, khususnya
pada 30 tentang penyelenggaraan pendidikan keagamaan dan pasal 55, khususnya ayat 2 tentang
penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat.

6
sejak tahun 1970-an. Pada tahun 1977 jumlah pesantren sekitar 4.195 buah dengan jumlah
santri sekitar 677.384 orang. Jumlah tersebut mengalami peningkatan berarti pada tahun 1981,
dimana pesantren berjumlah sekitar 5.661 dengan jumlah santri sebanyak 938.397 orang. Pada
tahun 1985 jumlah pesantren ini mengalami kenaikan lagi menjadi 6.239 dengan jumlah santri
mencapai sekitar 1.084.801 orang, sementara tahun 1997/1998 tercatat 9.388 buah pesantren
dengan jumlah santri sebanyak 1.770.768 orang.22
Namun demikian, akibat dari diterapkannya berbagai kebijakan di atas tidak sedikit
bahkan banyak pesantren dan madrasah yang mengalami perubahan orientasi pendidikan.
Bentuk perubahan orientasi ini berwujud dengan dibukanya jurusan-jurusan umum dan
kejuruan di pesantren atau madrasah. Dalam konteks dibukanya jurusan umum dan kejuruan
ini, tidak jarang ditemukan di pesantren atau madrasah santri yang tergabung dalam jurusaan
umum dan kejuruan lebih banyak daripada santri yang betul-betul melakukan tafaqquh fi al-
dini.23
Tentunya perubahan orientasi pendidikan di pesantren ini sangat bertentangan dengan
akar eksistensi dan pengalaman historisnya yang memiliki ciri dan karakter pendidikan Islam.24
Artinya, pesantren atau madrasah, secara historis, lebih berkonsentrasi pada tafaqquh fî al-dîn.
Dalam konteks ini, paling tidak, pesantren atau madrasah mengemban tiga tugas pokok, yakni:
pemindahan dan penerusan keilmuan Islam (transfer of Islamic learning), pemeliharaan tradisi
Islam (maintenance of Islamic tradition), dan penciptaan (kader-kader) ulama (reproduction of ulama).25
Idealismenya, memang, kebijakan ini diterapkan dalam rangka peningkatan standar
sistem pendidikan yang ada dalam masyarakat. Namun kenyataannya, banyak pesantren atau
madrasah menjadi kehilangan karakteristik awal sebagai lembaga tafaqquh fi al-din. Hal yang
paling mendasar dari berubahnya orientasi ini adalah menurunnya kualitas lulusan pesantren
atau madrasah untuk bidang keahlian agama secara utuh. Dengan berbagai kebijakan ini,
pemerintah secara tidak langsung secara sistematik telah melakukan pemandulan terhadap
sistem pendidikan yang telah berlaku di masyarakat.
Jika mau dicermati secara seksama, kehadiran lembaga-lembaga pendidikan lokal yang

22 Data Potensi Pondok Pesantren Seluruh Indonesia Tahun 1997, (Jakarta: Dirjen. Bimbaga Islam
Depag RI, 1997).
23 Azyumardi Azra, “Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan”, dalam Nurcholish Madjid, Bilik-
Bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. xix.
24 Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan …, hlm. 96.
25 Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan …, hlm. 132.

7
telah hadir jauh sebelum negara-bangsa ini dibentuk, maka kehadiran sebuah lembaga
pendidikan dengan seperangkat orientasinya bukanlah suatu kehadiran dalam ruang yang
hampa. Kehadirannya sering merupakan bentuk respon kreatif atas kebutuhan yang ada di
dalam masyarakat. Jika refleksi ini ditarik pada kenyataan di daerah Kalimantan Selatan, maka
tumbuh dan berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan lokal yang bernuansa Islam dalam
mengawali perkembangan penyelenggaraan pendidikan formal di daerah ini, pada dasarnya,
merupakan bentuk respon konkret dan kreatif atas kenyataan struktur budaya Banjar yang
menempatkan Islam sebagai simbol identitas. Dalam konteks kenyataan kultural masyarakat
Banjar tersebut, otomatis ada kebutuhan mendasar akan tersedianya ulama sebagai agent of
reproduction nilai yang menjadi pegangan masyarakat di daerah ini secara berkelanjutan. Tugas
penyedia ini, tentu, ada pada lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tidak mungkin
diharapkan pada lembaga-lembaga pendidikan yang tidak memiliki orientasi tafaqquh fi al-din
secara utuh. Apa jadinya jika lembaga penyedia ulama ini kehilangan orientasinya.
Bentuk kebijakan pemerintah yang banyak tidak berpihak terhadap lembaga-lembaga
pendidikan Islam di atas diperparah lagi dengan anggaran yang disediakan oleh pemerintah.
Hasil studi tim ADB bekerjasama dengan Comparative Education Sentre Universitas Hong
Kong menunjukkan perbedaan yang cukup jauh indeks biaya per kapita pendidikan per siswa
di madrasah jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan sekolah umum. Rentangan pengeluaran
rata-rata murid SDN per tahun Rp. 190.000 dan pengeluaran tertinggi Rp. 304.000. Sedangkan
pengeluaran per murid MIN dalam setahun berada dalam rentangan Rp. 139.000 (rata-rata) dan
Rp. 225.000 (tertinggi). Perbedaan ini tampak lebih mencolok lagi jika dikontraskan dengan
pengeluaran untuk MIS yaitu Rp. 87.000 / tahun / murid untuk rata-rata dan Rp. 163.000 /
murid / tahun untuk pengeluaran tertinggi. Untuk SLTP, dapat dilihat gambaran sebagai
berikut: Pengeluaran murid untuk SLTPN per tahun adalah Rp. 418.000 (rata-rata) dan Rp.
615.000 (tertinggi). Sementara itu, pengeluaran per murid MTsN per tahun adalah Rp. 324.000
(rata-rata) dan Rp. 572.000 (tertinggi). Keadaan ini sangat jauh mencolok jika melihat
pengeluaran per tahun per murid untuk MTsS yaitu Rp. 185.000 (rata-rata) dan Rp. 380.000
(tertinggi).26

26 Mark Bray dan Murray R. Thomas, (ed), Financing of Education in Indonesia, (Philippine: asian
Depelopment bank, 1998). Dikutip dari Fuad Jabali & Jamhari, IAIN & Modernisasi Islam di Indonesia …,
hlm. 127. Bandingkan pula dengan Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan …, hlm. 8-9.

8
Bercermin dari Pengalaman Turki dan Mesir
Apa yang terjadi dengan lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia sesungguhnya
bukanlah gejala unik yang hanya terjadi di Indonesia. Gejala seperti ini jauh sebelumnya telah
terjadi di Turki dan Mesir.
Pembaharuan pendidikan Islam, tidak diragukan lagi, bermula di Turki menjelang
pertengahan abad ke-19 sebelum akhirnya menyebar ke hampir seluruh wilayah kekuasaan
Turki Utsmani di Timur Tengah. Tetapi penting untuk dicatat, program pembaharuan
pendidikan di Turki semula tidak menjadikan medresse (madrasah) -- lembaga pendidikan
tradisional Islam – sebagai sasaran pendidikan. Yang terjadi adalah pembentukan sekolah-
sekolah baru sesuai dengan sistem pendidikan Eropa, yang ditujukan untuk kepentingan-
kepentingan reformasi militer dan birokrasi Turki Utsmani. Tetapi dalam selang waktu yang
tidak terlalu lama (1938), Sultan Mahmud II (1808-1839) juga melancarkan pembaharuan
pendidikan Islam dengan memperkenalkan Sekolah Rusydîyah, yang sepenuhnya mengadopsi
sistem pendidikan Eropa.27
Gerakan pembaharuan pendidikan Islam ini kemudian dilanjutkan oleh Sultan ‘Abd al-
Majid pada tahun 1846 yang mengeluarkaan peraturan yang memisahkan pendidikan Islam
dengan pendidikan umum; medresse brada di bawah jurisdiksi Syeikh al-Islam, sedangkan
sekolah umum – dengan berbagai tingkatannya – ditempatkan di bawah tanggung jawab
langsung pemerintah.
Namun ironisnya, sekolah umum yang diharapkan menjadi tulang punggung
pembaharuan itu ternyata berkembang relatif lambat. Inilah yang kemudian mendorong
pemerintah Turki Utsmani untuk mengeluarkan ketetapan “Ma’arif Umumiye
Nizamnamesi” (1869) guna memeperluas dan mempercepat perkembangan sistem pendidikan
umum model Eropa, dengan mengorbankan medresse. Bentuk kebijakan yang paling keras yang
kemudian ditempuh adalah kebijakan Mustafa Kemal Ataturk pada tahun 1924 yang
menghapus sistem medresse dengan mengubahnya menjadi sekolah-sekolah umum.28
Pengalaman yang sama juga ditempuh oleh Mesir. Modernisasi sistem dan kelembagaan
pendidikan di Mesir dimulai oleh Muhammad Ali Pasya. Melalui kebijakannya pada tahun 1833
dikeluarkan dekrit pembentukan sekolah dasar umum, yang dalam perkembangan awalnya
hidup berdampingan dengan madrasah. Sekolah dasar umum yang segera berkembang di
27 Azyumardi Azra, “Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan”, …, hlm. x.
28 Azyumardi Azra, “Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan”, …, hlm. x-xi.

9
seluruh wilayah Mesir semula dimaksudkan untuk menyiapkan calon-calon siswa sekolah
milite, yang juga didirikan Muhammad Ali Pasya. Namun, dalam waktu yang bersamaan pula,
Muhaammad Ali Pasya, juga mendirikan sekolah-sekolah umum tingkat lanjutan, yang dikenal
dengan nama sekolah al-Tajhizîyah.
Sementara itu, madrasah secara umum tidak mengalami perkembangan yang berarti. Ia
hanya merupakan pelengkap bagi sekolah-sekolah umum. Bahkan pada tahun1868 Khedive
Ismail mengeluarkan ketetapan untuk mengintegrasikan madrasah ke dalam sistem pendidikan
umum. Namun sayangnya usaha ini tidak banyak berhasil. Namun demikian, setelah
kemerdekaan dengan alasan integrasi aatau nasionalisasi sistem pendidikan nasional Mesir,
pemerintah Gamal Abdel Nasser pada tahun 1961 menghapuskan sistem madrasah.29
Ironisnya, kajian dan survei mutakhir tentang madrasah di berbagai dunia muslim
menunjukkan trends gejala terjadinya kebangkitan madrasah. Bahkan di negara-negara di mana
madrasah pernah dinasionalisasikan, seperti di Mesir atau bahkan disekularisasikan seperti di
Turki, madrasah dilaporkan kembali menemukan momentumnya. Perkembangan seperti ini,
agaknya selain berkaitan dengan kenyataan tentang kegagalan atau setidaknya kekurang
berhasilan sekolah-sekolah umum dalam memberikan pelajaran agama bagi anak didik,
sekaligus juga berkaitan dengan peningkatan antusiasme banyak kalangan masyarakat muslim
terhadap Islam, yang pada gilirannya diekspresikan dengan rekonstruksi dan revitalisasi
lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti madrasah.30

Developmentalisme dan Negara Hegemonik


Sampai pada bahasan di atas muncul persoalan mengapa negara cenderung melahirkan
berbagai kebijakan yang cenderung memarjinalisasikan eksistensi lembaga-lembaga pendidikan
lokal ? Menjawab persoalan itu sama halnya dengan mendorong penulis untuk melakukan
penelusuran terhadap apa yang menjadi platform yang ditetapkan bangsa ini atas dunia
pendidikan. Adapun platform yang ditetapkan bangsa ini atas dunia pendidikan di sini adalah
menyangkut keharusannya untuk diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan pembangunan.
Asumsi yang menempatkan pendidikan sebagai bagian upaya dari pemenuhan
kebutuhan pembangunan ini tergambar secara eksplisit dalam cita-cita luhur Pembukaan

29 Azyumardi Azra, “Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan”, …, hlm. xi-xii.


30 Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, …, hlm. 87. Bandingkan dengan Mona
Abaza, 1996

10
UUD’45 yang mengatakan bahwa tujuan kita bernegara antara lain adalah “mencerdaskan
kehidupan bangsa” serta “mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Mengapa cita-cita luhur dari “pembangunan” ini bisa dinilai sebagai penyebab lahirnya
proses marjinalisasi eksistensi lembaga-lembaga pendidikan lokal ? Jawabannya tidak lain
karena bangsa ini cenderung mengambil pilihan paradigmatis tertentu atas apa yang dinamakan
pembangunan dalam dasawarsa 1970-an sejak berkuasanya rezim Orde Baru di negeri ini.
Bentuk kecenderungan pilihan ini terlihat dari penempatan orientasi ekonomi sebagai skala
prioritas utama bangsa ini.31 Dalam konteks paradigmatis ini, pembangunan menjadi nyaris
identik dengan pertumbuhan atau perkembangan ekonomi.32 Oleh karenanya, paradigma
pembangunan yang dihadirkannya selalu diwarnai oleh konsep-konsep modernisasi,
industrialisasi, liberalisasi perdagangan, dan pengendalian pertumbuhan penduduk, yang
kesemuanya bermuara pada upaya untuk meningkatkan GNP.33
Pembangunan, dalam paradigma demikian, dipahami sebagai metafora pertumbuhan
yang dimanifestasikan dalam organisme. Artinya, pembangunan merupakan sesuatu yang
organik, imanen, komulatif, tidak berbalik dan bertujuan. Oleh karena itulah, penekanan
terpenting dari wacana paradigma ini adalah idea of progress yang diabstraksikan dari pengalaman
negara-negara Barat. Para penggagas dan pendukung pembangunan berparadigma seperti ini
berpendapat bahwa sebab-sebab keterbelakangan di negara-negara berkembang lebih
dikarenakan oleh “faktor dalam” yang menghambat kemajuan. Misalnya mereka menunjuk
pada budaya tradisional, ritus-ritus keagamaan yang tidak rasional dan kurangnya investasi yang
produktif.34
31 T. Mulya Lubis, “Pendidikan untuk Apa ?”, dalam Majalah Prisma, (Jakarta: LP3ES, Juli –
1980), hlm. 19.
32 M. Dawam Rahardjo, “Pengalaman Pembangunan Dasawarsa 1970-an: Menuju Strategi
Alternatif ?”, dalam Majalah Prisma, No. 11, (Jakarta: LP3ES, Nop – 1980), hlm. 41.
33 M. Dawam Rahardjo, “Pengalaman Pembangunan …, hlm. 42.
34 M. Syafi’i Anwar, “Negara dan Cendekiawan Muslim Indonesia Orde Baru”, dalam Saiful
Muzani, (ed), Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 1993), hlm. 131-132.
Gagasan pembangunan pada dasarnya merupakan gagasan yang dikembangkan dalam rangka
membendung banjir semangat anti-kapitalisme bagi berjuta-juta rakyat di Dunia Ketiga. Gagasan ini
dimulai tahun 1940-an, khususnya pada tanggal 20 Jauari 1949, ketika Presiden Amerika Harry S.
Trauman mengumumkan kebijakan pemerintahnya. Sejak itulah istilah pembangunan (development) dan
keterbelakangan (underdevelopment) resmi menjadi kosakata dan doktrin kebijakan luar negeri Amerika
Serikat. Selain lebih dimaksudkan untuk memberi jawaban atas penolakan rakyat Dunia Ketiga yang
baru merdeka atas kapitalisme, gagasan Pembangunan juga ditujukan sebagai jawaban ideologis atas
meningkatnya ketertarikan rakyat Dunia Ketiga terhadap keberhasilan Uni Soviet sebagai kekuatan
baru. Gagasan Pembangunan, dengan demikian, mulanya dilontarkan dalam rangka Perang Dingin,
yakni suatu kebijakan untuk menghambat dan menghentikan laju Sosialisme di Dunia Ketiga. Lihat

11
Di sinilah sesungguhnya yang menjadi inti persoalan dari seluruh kerumitan yang
dihadapi oleh lembaga-lembaga pendidikan tersebut. Paradigma pembangunan ini mengandung
kerumitan karena kecenderungannya untuk menempatkan pendidikan sebagai penunjang
pembangunan dan menempatkan peranannya hanya sebagai service station, bukannya sebagai
basic human needs dimana pendidikan dikaitkan dengan manusia sebagai subjek.
Penempatan pendidikan sebagai penunjang pembangunan dan menempatkan
peranannya hanya sebagai service station ini bisa dilihat dalam rumusan Repelita I yang
mengatakan sebagai berikut:
Pendidikan harus mempunyai hubungan yang erat dengan kebutuhan serta
kemungkinan-kemungkinan perkembangan ekonomi dan sosial, sehingga dapat
memberi bekal hidup pada murid-murid dan memenuhi kebutuhan masyarakat.
Mengingat bahwa Rencana Pembangunan Lima Tahun merupakan landasan untuk
pembangunan tahap berikutnya dengan prioritas pada pertanian, industri yang
menyokong pertanian, industri kecil dan ringan, industri pertambangan, prasarana serta
parawisata maka pengarahan harus disesuaikan dengan priritas-prioritas tersebut. Hal
ini terutama diperlukan pada tingkat-tingkat pendidikan yang akan menghasilkan
lulusan dalam jangka waktu lima tahun yang akan datang.35

Kemudian dalam buku Repelita II, apa yang ditulis dalam buku Repelita I diulangi
kembali dengan mengatakan bahwa landasan dan arah kebijakan dasar dari pembangunan di
bidang pendidikan diarahkan “untuk membentuk manusia-manusia pembangunan yang ber-
pancasila”.36
Persoalannya kemudian adalah mengapa lembaga pendidikan yang dijadikan sebagai
service station ? Jawabannya tidak lain, menurut post-colonialism studies, karena kelembagaan
pendidikan itu bisa menjadi medium utama kolonisasi rezim penguasa yang menggunakan
ideologi developmentalisme dalam mengendalikan, menaklukkan, menyingkirkan, kuasa
rakyatnya.37 Ini artinya, sistem pendidikan dan penyelenggaraan proses belajar-mengajar tidak
pernah bebas dari kepentingan politik dan tujuan memelihara sistem sosial ekonomi maupun
kekuasaan. Pendidikan, sebagai medium tempat pengetahuan disebarkan, dapat pula berperan
sebagai medium untuk memproduksi sistem dan struktur sosial yang sedang dijaga dan ingin

penjelasan lebih lanjut, Mansour Faqih, Analisis Gender & Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001), hlm. 43-46.
35 Lihat buku Repelita 1969/1970-1973/1974, (Bandung: Doa Restu, 1970), hlm. 357.
36 Lihat buku Rencana Pembangunan Lima Tahun Kedua, 1974/1975-1978/1979, jilid III, (Jakarta:
Depen RI, 1974), hlm. 135.
37 Noer Fauzi, “Dekolonisasi Metodologi: Memerdekakan Pendidikan”, dalam Jurnal Ilmu
Sosial Transformatif Wacana, Edisi 15, Thn. IV., 2003, (Jakarta: Insist Press, 2003), hlm. 4-5.

12
diperjuangkan.38
Kolonisasi dalam sistem pendidikan, yang diistilahkan Paulo Freire sebagai “sistem
bank” (banking concept of education), itu dibangun atas dasar asumsi dimana pelajar diberikan ilmu
pengetahuan agar ia kelak dapat mendatangkan hasil berlipat ganda. Oleh karenanya, anak
didik, dalam konteks kolonisasi sistem pendidikan, adalah objek investasi dan sumber deposito
potensial. Mereka tidak berbeda dengan komoditas ekonomi lainnya yang lazim dikenal.
Depositor atau investornya adalah para guru yang mewakili lembaga-lembaga kemasyarakatan
yang mapan dan berkuasa, sementara depositonya berupa ilmu pengetahuan yang diajarkan
kepada anak didik. Anak didik lantas diperlakukan sebagai “bejana kosong” yang akan diisi,
sebagai sarana tabungan atau penanaman “modal ilmu pengetahuan” yang akan dipetik hasilnya
kelak. Dengan demikian, guru adalah subjek aktif, sedang anak didik adalah objek pasif yang
penurut, dan diperlakukan tidak berbeda atau menjadi bagian dari realitas dunia yang diajarkan
kepada mereka, sebagai objek ilmu pengetahuan teoritis yang tidak berkesadaran. Pendidikan
akhirnya bersifat negatif, dimana guru yang telah menjdi bagian kepentingan negara memberi
informasi tentang realitas yang harus ditelan oleh murid, yang wajib diingat dan dihapalkan.39
Jika ditelusuri jauh ke belakang, maka penempatan kelembagaan pendidikan pada
bangsa ini sebagai service station ini sudah berakar dalam kurun waktu 1800-an dan 1900-an
ketika bangsa ini berada di bawah kekuasaan kolonialisasi bangsa Belanda. Pada waktu itu,
pendidikan diadakan sebagai upaya melestarikan status quo, menjadikan pendidikan sebagai
tempat latihan bagi anak orang ningrat untuk kemudian jadi kepanjangan tangan dari kekuasaan
kolonial Belanda.40
Waktu itu bangsa ini begitu senang karena pemerintah kolonial merasa bersalah setelah
mengeruk kekayaan alam bangsa ini tanpa memberi imbalan, lalu memberikan pendidikan
sebagai balas budi. Ini yang kemudian dikenal dalam sejarah bangsa ini sebagai “politik etis”.
Namun demikian, tidak banyak orang di negeri ini yang sadar bahwa politik etis itu hanyalah
bentuk lain dari upaya pemerintah kolonial untuk melestarikan posisinya sebagai penguasa.
Karena itu pula jika pemerintah kolonial bicara tentang pendidikan sebetulnya dia bicara

38 M. Agus Nuryatno, “Teori Kritis dan Pengaruhnya terhadap Aliran Pendidikan Kritis”,
dalam Jurnal Ilmu Sosial Transformatif Wacana, …, hlm. 52.
39 Agustinus Mintara, “Sekolah atau Penjara”, dalam Majalah Basis, No. 01-02, Thn. Ke-50,
Januari-Februari 2001, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 33. Lihat juga Noer Fauzi, “Dekolonisasi
Metodologi: Memerdekakan …, hlm. 5.
40 T. Mulya Lubis, “Pendidikan untuk Apa ?”, dalam Majalah Prisma, …, hlm. 16-17.

13
tentang the upper class yang akan jadi partner pribumi dari pemerintah kolonial. Itulah sebabnya,
pendidikan untuk the middle class hanya terbatas sekali, sementara pendidikan untuk the lower class
hampir tidak ada.
Wujud kolonisasi pendidikan di atas tergambar dari ungkapan C. Snouck Hurgronje,
seorang Belanda yang sangat kolonialis, bahwa “pendidikan akan membuat orang turut serta
dalam kehidupan orang yang mendidik, dan karena itu pendidikan itu perlu. Hanya kita harus
membatasi diri pada the upper class karena merekalah yang sebenarnya ingin memperkecil jarak
antara mereka dengan kita yang berkuasa. Malah dengan semangat, kata Hurgronje
melanjutkan, “mereka-mereka itu tidak akan pernah mengikatkan diri mereka dengan massa”.
Karena itu kita mesti mempersatukan diri kita dengan orang-orang Indonesia yang berasal dari
the upper class. Hurgronje kemudian dalam konteks di atas menulis sebagai berikut:
As a student I once attended a lecture by Ernest Renan on question”, what actually
constitutes a nations”. The answer was in the main as follows: the really constituting
element of a nation is neither race nor skin colour, nor language, nor religion, nor
natural frontiers, but it is ‘le desire d’etre ensemble’ (the desire to be together). And
although this phrase does by no means explain it completely, it undoubtedly contains
part of truth. We know the feeling that despite differences in origin, sphere of life, and
level of civilization, and notwithstanding all the political and religions dissension, when
it comes to the point, we all want to remain together as Netherlanders. . So now we
have the situation where the most noble representatives of a large group of peoples,
who already for a long time have been under our political control, urgently beg to be
adopted into our national family. Let us extend our hands to them, and let us transform
into positive deeds this mutual desire to live together as one nation, “le desire d’etre
ensemble” so as to show that our small nations has never forgotten to perform great
deed.41

Le desire d’etre ensemble seperti yang ditulis oleh Hurgronje di atas adalah ideologi
pendidikan kolonial yang secara sadar dijalankan. Pendidikan diciptakan untuk membuat anak
didik melekat pada struktur atau sistem yang ada, bukan untuk mengubah atau memperbaiki
struktur tersebut. Apa yang ditulis oleh Hurgronje di atas juga ditulis oleh beberapa orang
Belanda yang lain, yang pada prinsipnya, menjadikan pendidikan itu sebagai upaya untuk
mempertahankan struktur atau sistem yang ada.42 Pikiran orang Belanda itu pada dasarnya
adalah pikiran yang anti pendidikan karena sebetulnya mereka telah menumbuhkan penjara,

41 C. Snouck Hurgronje, “The Idea of Association”, dalam L.M. Penders, (ed), Indonesia:
Selected Documents on Colonialism and Nationalism 1830-1942, (Queensland: University of Queensland Press
1977), hlm. 164-165.
42 T. Mulya Lubis, “Pendidikan untuk Apa ?”, dalam Majalah Prisma, …, hlm. 17.

14
yakni penjara untuk menjadi pelayan politik kolonial Belanda yang repressive, dan ingin tetap
pada pada status quo.43
Dengan asumsi-asumsi yang telah dijelaskan di atas, maka bisa dikatakan bahwa apa
yang terjadi dengan dunia pendidikan pada bangsa ini merupakan bentuk kelanjutan dari apa
yang telah dilakukan bangsa Belanda atas bangsa ini.
Jika kemudian persoalan ini dikembalikan kepada kecenderungan negara ini dalam
melahirkan berbagai kebijakan yang berdampak langsung terhadap lembaga-lembaga
pendidikan Islam, maka persoalannya mengapa harus lembaga pendidikan Islam yang dijadikan
objek sasaran kolonisasi ? Menjawab persoalan ini, pada dasarnya, berusaha mengungkap
bagaimana sesungguhnya pola relasi agama-negara yang dibentuk selama rezim Orde Baru
dijalankan.
Pelusuran atas bentuk pola relasi agama-negara selama Orde Baru sesungguhnya tidak
bisa dilepaskan dari bagian kecenderungan rezim ini untuk menempatkan negara sebagai
kekuatan determinan dalam rangka mendukung kebijakan utamanya untuk “pembangunan”
bangsa ini.44 Penekanan pada kebijakan pembangunan ini memang mempunyai landasan dalam
sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Hal ini karena dari dua dekade perjalanan bangsa ini, sejak
kemerdekaan, aspek pembangunan cenderung terabaikan akibat dinamika politik yang tidak
terkendali.45
Sejak adanya kebijakan yang demikian inilah, maka sejak tahun 1970-an, seluruh
organisasi sosial politik secara ketat dikontrol melalui sejumlah regulasi. Oleh karenanya, seiring
dengan kebijakan itu, masa “politik aliran” yang telah mendominasi politik Indonesia sampai
awal tahun 1970-an menjadi berakhir.46 Puncaknya adalah melalui sebuah kebijakan tentang
asas tunggal Pancasila Indonesia memasuki “era purifikasi ideologi” yang merupakan tahapan
paling baru dari perkembangan masyarakat bangsa ini.47
43 T. Mulya Lubis, “Pendidikan untuk Apa ?”, dalam Majalah Prisma, …, hlm. 17.
44 M. Syafi’I Anwar, “Negara dan Cendikiawan Muslim Indonesia Orde Baru”, dalam Saiful
Muzani (ed), Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 1993), hlm. 129.
45 M. Dawam Rahardjo, “Islam dan Pembangunan, Agenda Penelitian Sosial di Indonesia”,
dalam Saiful Muzani, Pembangunan dan Kebangkitan Islam …, hlm. 268.
46 Muhammad A.S. Hikam, “Negara, Masyarakat Sipil dan Gerakan Keagamaan dalam Politik
Indonesia”, dalam Majalah Prisma, No. 3., edisi Maret 1991, (Jakarta: LP3ES), hlm. 78, 83.. Bandingkan
dengan Fachry Ali, “Akomodasi Non-Politik Islam Indonesia dalam Struktur Orde Baru”, dalam
Majalah Prisma, No. edisi Maret 1991 …, hlm. 87-96.
47 M. Syafi’I Anwar, “Negara dan Cendikiawan Muslim …, hlm. 129. Apa yang telah dilakukan
oleh Indonesia di atas adalah bentuk penerjemahaan ideologi developmentalisme menjadi pembangunan
melalui mekanisme kontrol ideologi yang ketat dan canggih, baik di bidang sosial, kultural, ekonomi,

15
Dengan sendirinya posisi agama di negeri ini secara pelan-pelan tidak lagi mengalami
politisasi. Berbagai kebijakan di bidang politik dan ideologi yang digerakkan oleh negara inilah
yang akhirnya berimplikasi pada kebijakan depolitisasi Islam dalam sistem politik Orde Baru.
Agama dan kaum agamawan, karenanya, berada dalam suatu posisi depensif berhadapan
dengan kekuasaan Negara dan hegemoni ideologinya.
Jika kembali kepada persoalan kebijakan negara atas keberadaan lembaga-lembaga
pendidikan berbasis Islam yang telah mengakar di tingkat lokal, maka lahirnya kebijakan negara
yang cenderung memarjinalisasikan keberadaan lembaga tersebut sesungguhnya merupakan
perwujudan dari kecenderungan negara Orde Baru kepada “purifikasi ideologi” tersebut.
Apa yang sesungguhnya tampak dari perwujudan kecenderungan negara ini adalah
wujud hegemoni negara terhadap keberadaan lembaga-lembaga sipil di masyarakat. Hegemoni
muncul ketika negara secara ideo-politis mendominasi masyarakat dan kekuatan sosial, politik
dan kebudayaan masyarakat. Posisi hegemonik negara atas masyarakat ini ditujukkan dengan
kemampuan pemerintah Orde Baru dalam mengembangkan sistem politik yang mengontrol
masyarakat sipil, sebagaimana yang diperlihatkannya dalam melahirkan kebijakan atas
keberadaan kelembagaan pendidikan Islam.
Antonio Gramscy mengistilah bentuk kecenderungan hubungan negara dan masyarakat
yang bersifat determinan di atas dengan istilah historical block, yakni “situasi yang ditandai oleh
suatu hubungan organis antara struktur spesifik, kesatuan kekuatan sosial dan dunia produksi
di satu sisi, dan dunia suprastruktur ideologis yang luas di sini yang lain.48 Aktor sosial dalam
historical block ini adalah fungsionaris suprastruktur dunia sosialnya, di mana konflik-konflik
sosial pada tingkat suprastruktur ditanggulangi lewat hegemoni. Hegemoni merupakan
kepemimpinan budaya, dimana cara hidup dominan digelar ke masyarakat dan mewujudkan
diri dalam penghayatan pribadi, sehingga seluruh bidang kehidupan masyarakat selalu bersifat
mengikuti.49
Hegemoni, dengan kata lain, berarti universalisasi kepentingan dominan tertentu,

dan politik. Oleh karenanya, pemerintah dalam rangka melindungi ideologi pembangunan melakukan
pelbagai pendekatan, antara lain: menjalankan kebijakan massa mengambang (the floating mass policy) dan
penyebaran ideologi pembangunan melalui pendidikan. Lihat penjelasan lebih lanjut, Mansour Faqih,
Analisis Gender…, hlm. 50-51.
48 Leonardo Salamini, The Sociology of Political Praxis; An Introduction to Gramsci’s Theory, (London:
Routledge and Paul Kegan, 1981), hlm. 105.
49 G. A. William, “The Concept of “Hegemonia” in The Thought of Antonio Gramscy: Some
Notes on interpretation”, dalam Journal of History of Ideas, No. 4, 1960, hlm. 187.

16
sehingga suatu definisi tentang realitas sosial yang menyebar dan berpengaruh luas dalam
masyarakat diterima secara taken for granted, seolah-olah memang sudah seharusnya begitu.
Dalam konteks hegemoni inilah, lembaga pendidikan diperankan menjadi aparatus negara
untuk melanggengkan dan memuluskan agenda-agenda pembangunan.
Pandangan di atas jika tetap dipertahankan akan berkorelasi dengan teori “pertautan
pengetahuan dengan kepentingan”, seperti yang dikemukakan oleh Jurgen Habermas, yang
melihat secara lebih jauh bahwa pengetahuan tidak mungkin dipisahkan dari kepentingan. 50 Bila
asumsi ini diterima sepenuhnya maka tentunya berbagai kebijakan pendidikan yang lahir selama
Orde Baru di atas lebih mencerminkan bentuk ekspresi kepentingan ideologis rezim yang
menjalankan kekuasaannya.

Ikhtiar dan Resistensi atas Kuasa Negara


Ketika kuasa negara yang begitu kuat di atas telah memaksa kelembagaan pendidikan
lokal hanya mampu berperan sebagai aparatus negara, maka tentu saja akibat yang harus
diterima oleh lembaga-lembaga pendidikan lokal berbasis Islam adalah termarjinalisasikannya
orientasi tafaqquh fi al-din yang menjadi ciri khas lembaga-lembaga tersebut. Muara dari bergeser
dan termarjinalisasikannya orientasi ini adalah turunnya mutu tafaqquh fi al-din yang melekat
pada lembaga tersebut selama periode-periode efektif diberlakukannya kebijakan itu dalam
proses belajar-mengajar di lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut. Bisa dikatakan, dengan
demikian, bahwa penurunan ini adalah bagian dari struktur yang sengaja diciptakan oleh sistem
yang sedang dijalan oleh rezim Orde Baru. Adapun apa yang dijalankan oleh rezim tersebut,
tentu saja, adalah “purifikasi ideologi” yang tujuannya tidak lain dalam rangka melanggengkan
hegemoni negara atas lembaga sipil dalam masyarakat lokal.
Namun menarik untuk diamati, apakah ketika negara telah menjadi kekuatan
determinan, maka secara otomatis lembaga sipil yang ada dalam kekuasaannya akan selalu
menjadi objek total kooptasinya. Jika melihat kenyataan pada beberapa pondok pesantren yang
benar-benar tumbuh dari masyarakat, maka kooptasi sering justru melahirkan siasat bagi
tumbuhnya resistensi di tubuh kelembagaan pondok pesantren yang ada. Pola hubungan
sebab-akibat di atas ini jika diteoritisasikan ke dalam kerangka pikir Anthony Giddens
merupakan hubungan yang sifatnya dialektis, dimana yang satu tidak mesti menjadi penyebab
50Jurgen Habermas, Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi, diterjemahkan oleh Hasan Basari,
(Jakarta: LP3ES, 1990), hlm. 170-171.

17
yang lain secara lineer. Oleh karena itu, dalam konteks teoritisasi ini, struktur dan agensi
bersifat saling mempengaruhi, sehingga struktur bisa saja merupakan “aturan” (rules) sekaligus
“sarana” (medium / resources) bagi suatu praktek sosial masyarakat. Giddens melukiskan
kemampuan agensi menolak untuk tersubordinasi ke dalam struktur ini dengan menyebutnya
sebagai reflexity, yang dijelaskannya sebagai berikut:
Every act which constributes to the reproduction of a structure is also an act of
production, a novel enterprise, and as such may initiate change by altering that
structure at same time it reproduces it – as the meaning of words changes in and
through their use.51

Jika kerangka teoritis ini dijadikan dasar untuk melihat secara lebih empiris terhadap
apa yang menjadi landasan mengapa kooptasi justru melahirkan siasat, maka landasannya ada
pada perbedaan mendasar ketika pondok pesantren di Kalimantan Selatan dibandingkan
dengan kebanyakan pondok pesantren yang terdapat di daerah Jawa. Perbedaan mendasar itu
adalah kelahiran pondok pesantren yang terdapat di daerah ini lebih kuat melekat pada
keterlibatan masyarakat jika dibandingkan dengan kebanyakan pondok pesantren di Jawa yang
lebih terikat dengan figur salah seorang Kyai sebagai Pendiri. Sebagai pondok pesantren yang
tumbuh dari masyarakat, akar sosial itu bisa menjadi modal bagi banyak pondok pesantren di
daerah ini untuk memiliki kemandirian lembaga secara finasial. Modal ini tentu saja berguna
dalam melakukan siasat dan ikhtiar positioning terhadap negara sehingga menjadikan daya
resistensi bagi pondok pesantren dari kooptasi total negara.
Bentuk ikhtiar dan resistensi seperti itu bisa dilihat dengan memperhatikan dinamika
perubahan kebijakan yang dilakukan pondok pesantren Rasyidiyah-Khalidiyah (RAKHA)
Amuntai, yang bisa dikatakan mewakili pesantren yang tumbuh dari masyarakat, dikaitkan
dengan sistem politik pendidikan yang dijalankan oleh negara. Bentuk ikhtiar dan resistensi
yang dilakukan oleh Pondok ini ketika berhadapan dengan kebijakan Sistem Pendidikan
Nasional yang mengabaikan orientasi tafaqquh fi al-din adalah dengan membuka Madrasah
Aliyah Keagamaan dan program Takhassus Diny serta juga membuka program Ma’had Aly yang
tujuannya, tentu saja, sebagai bentuk antisipasi terhadap berbagai kebijakan pendidikan dari
pemerintah yang tidak berpihak pada lembaga pendidikan yang berorientasi tafaqquh fi al-din.
Apa yang ditunjukkan oleh Pondok Rakha di atas memperlihatkan bagaimana cara
mereka bertahan dalam situasi yang sangat tidak menguntungkan lembaga tersebut dalam
51 Anthony Giddens, New Rules of Sociological Method, (Cambridge: Polity Press, 1984), hlm.128

18
mempertahankan orientasi yang menjadi tradisi awal mereka.

Kesimpulan
Lahirnya lembaga pendidikan lokal berbasis agama di daerah ini sesungguhnya
merupakan bentuk relevansi penyelenggaraan pendidikan dengan kondisi sosial dan budaya
yang ada di daerah. Bentuk relevansi ini lahir atas kebutuhan masyarakat di daerah ini terhadap
kelangsungan tatanan nilai yang menjadi pegangannya.
Namun demikian, ketika lembaga ini dihadapkan dengan kepentingan negara, maka ada
kecenderungan penyelenggaraan proses belajar-mengajar ini tidak menjadi wilayah yang bebas
dari kepentingan dan tujuan penyelenggaraan negara ini. Berbagai kebijakan yang menyertai
perjalanan lembaga pendidikan yang memiliki akar jauh sebelum bangsa ini dibentuk
merupakan wujud dari betapa tidak netralnya dunia pendidikan bagi negeri ini. Bentuk
ketidaknetralan ini bisa dilihat dari arah kebijakan negara yang menyeret lembaga pendidikan
menjadi service station kegiatannya.
Resistensi memang telah ditunjukkan oleh lembaga-lembaga ini dalam bentuk daya
tahan kelangsungan kelembagan ini yang melebihi usia berdirinya bangsa ini. Namun bisa
dipastikan jika intervensi negara tetap dibiarkan terlalu jauh menjangkau ruang terdalam dari
masyarakat, maka lambat-laun tapi pasti lembaga-lembaga ini akan takluk dalam kooptasi
kepentingan negara. Al-hasil, lembaga pendidikan lokal berbasis Islam seperti pesantren akan
kehilangan orientasi awalnya, tafaqquh fi al-din.
Di era dijalankannya proses desentralisasi kekuasaan yang sedang berlangsung di negeri
yang sedang berusaha keluar dari belenggu otoritarianisme negara ini, sudah sepatutnya proses
yang dijalankan melalui UU No. 2 Thn. 1999 ini ditangkap sebagai peluang untuk mengkaji
ulang posisi dan orientasi lembaga-lembaga pendidikan di tingkat lokal. Ikhtiar ini merupakan
bentuk revitalisasi tradisi lokal yang mulai redup di tengah masyarakatnya.

Wallâhu a’lam bi al-shawâb

19

You might also like