You are on page 1of 5

Anthony Giddens dan Kepustakawanan Indonesia Oleh: Putu Laxman Pendit Nama dan teori sosiolog Giddens sebenarnya

sudah lama diulas di kepustakawanan Indonesia, setidaknya di Depok. Pemikiran Giddens juga dipakai untuk bahan menyusun naskah akademik RUU Sistem Nasional Perpustakaan yang diprakarsai Perpustakaan Nasional. Berikut ini, sepotong ulasan saya tentang Giddens yang dibawakan pada Pertemuan Ilmiah Program Studi Ilmu Informasi, Perpustakaan dan Kearsipan (PSIIPK), Depok, 7 Agustus 1998. Anthony Giddens adalah seorang sosiolog yang menentang dan mencoba merombak pandangan-pandangan tentang sistem sosial dari aliran-aliran sebelumnya, terutama dari aliran fungsionalisme. Salah satu pandangan terpenting dan relevan untuk berbagai bidang, termasuk bidang perpustakaan, adalah pandangannya tentang sistem dan struktur. Perlu kiranya diketahui bahwa selama ini kita selalu memakai kedua istilah tersebut untuk menggambarkan bahwa sekumpulan manusia bisa bersatu karena diikat oleh sesuatu yang menyerupai kerangka dalam sebuah bangunan. Kerangka inilah yang sering disebut struktur dan yang sering pula disamakan dengan pengertian sistem. Kerangka ini pulalah yang oleh pandangan positivis sering dianggap sebagai sesuatu yang bisa disetarakan dengan benda, seperti halnya kerangka bangunan selalu adalah tulang-tulang beton terbuat dari besi dan baja. Pandangan-pandangan itu kemudian dikoreksi lewat teori strukturisasi (Giddens, 1982). Salah satu koreksi utamanya adalah pemisahan antara sistem dan struktur. Giddens menganggap bahwa sistem adalah pola yang diperlihatkan oleh hubungan antarmanusia (interaksi), sedangkan struktur adalah sebuah tatanan (order) yang terdiri dari peraturan dan sumberdaya (rules and resources). Setiap kelompok manusia yang memperlihatkan sebuah pola tertentu, akan dilihat sebagai sebuah sistem. Kemampuan keterulangan dan bertahannya pola tersebut di dalam ruang dan waktu diistilahkan sebagai reproduksi sistem. Pikiran penting lainnya dalam teori strukturasi adalah bahwa peraturan dan sumberdaya yang digunakan dalam mewujudkan tindakan sosial pada saat yang sama adalah alat untuk reproduksi sistem. Struktur adalah medium sekaligus hasil dari sistem. Menurut Giddens peraturan kehidupan sosial merupakan prosedur teknis atau prosedur umum yang diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum, aturan birokrasi, aturan permainan, dan sebagainya, menurut Giddens adalah interpretasi manusia atas aturan hidup bersama. Hukum dan sebagainya itu adalah struktur, yang dipakai oleh manusia untuk mengatur hidupnya, tetapi sekaligus hukum itu juga adalah hasil dari kegiatan manusia dalam mengatur hidupnya. Jadi, kalau memakai teori strukturisasi, sebuah sistem informasi adalah sebuah pola interaksi antar manusia yang mengandung kegiatan pengumpulan, pengolahan, dan pencarian atau penyebaran informasi. Pola interaksi ini memanfaatkan peraturan (misalnya prosedur mencari informasi) dan sumberdaya (misalnya komputer). Tetapi ingat, sekaligus peraturan dan sumberdaya ini juga adalah hasil atau akibat dari interaksi antar manusia. Prosedur mencari informasi adalah akibat dari interaksi antara pencari dan sumber informasi. Komputer adalah hasil dari interaksi antara penyedia komputer dengan pemakai komputer. Patut diingat pula, Giddens memberikan berbagai koreksi tentang pandangan-pandangan sistem terdahulu. Ia menegaskan bahwa masyarakat manusia tidak seperti sistem mekanis atau biologis, karena sistem masyarakat dibentuk di dalam diri masing-masing anggotanya. Struktur dalam sistem sosial bukanlah sesuatu yang di luar manusia, melainkan berupa jejakjejak kenangan (memory traces) di dalam pikiran manusia, sehingga lebih bersifat internal. 1

Membahas struktur di dalam sistem sosial tidak seperti membahas struktur bangunan atau struktur biologis. Dalam struktur bangunan, keutuhan (integritas) bangunan itu ditentukan dan dibatasi oleh strukturnya. Demikian pula, pertumbuhan tubuh biologis antara lain ditetapkan oleh cetak biru tubuh itu. Jadi, struktur di sini bersifat constraining. Sedangkan dalam sistem sosial, struktur juga memberikan kemampuan kepada anggota sistem untuk menentukan interaksinya, sehingga struktur itu justru bersifat enabling (1982, h. 25). Giddens juga menggarisbawahi kenyataan bahwa manusia memiliki pengetahuan yang cukup tentang apa yang dilakukannya, bukan cuma sekedar bergerak seperti robot atau sel. Jika seseorang atau sekumpulan manusia mengulang-ulang perilaku dan tabiatnya (mereproduksi pola interaksinya, dus mereproduksi sistem), maka mereka juga mereproduksi kondisi yang memungkinkan dilakukannya tindakan-tindakan tersebut. Manusia selalu mengetahui apa yang mereka lakukan pada tingkatan kesadarannya (discursive consciousness), walaupun mereka mungkin tidak terlalu tahu tentang konsekuensi lanjutan dari aktivitas yang mereka lakukan (1982, h. 26). Manusia memiliki kemampuan refleksi (melihat kembali apa yang sudah dikerjakannya), sehingga tidak cuma bereaksi secara otomatis terhadap lingkungannya. Dalam sistem biologi, reaksi terhadap lingkungan seringkali bersifat tunggal dan statis (homeostatic) sehingga ada keterulangan yang otomatis (loops). Sedangkan di dalam kehidupan sosial, ada proses penyaringan yang selektif lewat mana individu-individu secara refleksif berusaha mengatur keseluruhan kondisi reproduksi sistem, baik dalam rangka mempertahankan maupun mengubah (1982, h. 27 - 28). Sebagai ilustrasi, pandangan-pandangan Giddens di atas bisa kita adopsi untuk menganalisis sebuah sistem informasi, katakanlah sebuah perpustakaan. Jika kita melihat ada keterulangan pola, misalnya berupa keengganan menggunakan alat temukembali sebelum mengambil dokumen, kita tidak bisa mengatakan bahwa prosedur penggunaan alat temukembali seharusnya menyebabkan seseorang memakai alat itu, dan bahwa jika itu tidak terjadi maka ada kesalahan di pihak pemakai. Sebaliknya, kita musti memeriksa anggapan pemakai tentang alat itu (sebagai struktur internal), dengan dugaan bahwa ia mengulangulang tabiatnya karena anggapan bahwa itulah yang benar dan berhasil baginya. Alat temukembali dan tata aturan pemakaiannya bisa kita bayangkan sebagai sebuah struktur yang spesifik untuk sistem informasi. Jika kita mengganggap bahwa alat dan tata pemakaian tersebut seharusnya menyebabkan seseorang memakai alat tersebut, berarti kita tidak menggunakan teori strukturisasi. Sebab, kita menganggap alat dan tata pemakaiannya itu sebagai sesuatu yang menentukan (constraining) dari luar diri seorang pengunjung perpustakaan. Padahal kalau kita menyetujui teori strukturisasi, maka sangatlah mungkin di dalam diri pengunjung telah ada sebuah tatanan tertentu tentang cara menemukan sebuah dokumen. Tatanan inilah yang sangat mungkin berbeda dengan tatanan yang mendasari pembuatan alat temukembali, yang telah dengan susah payah disusun oleh pustakawan. Semoga dari ilustrasi tersebut dapat terlihat bahwa dengan teori strukturisasi kita tidak mengatakan bahwa ada kesalahan dalam alat temukembali atau kesalahan pada diri pengunjung perpustakaan. Sebaliknya, kita menemukan lokasi yang sesungguhnya dari ketidakterpakaian alat tersebut, yakni pada kesenjangan antara pustakawan pembuat alat itu dengan pengunjung perpustakaan. Dengan menemukan secara tepat lokasi ini, maka upaya penyempurnaan (yaitu menghilangkan kesenjangan) bisa lebih kena sasaran. Dalam konteks yang lebih luas lagi, kita juga bisa memandang persoalan minat baca dengan lebih arif. Pada umumnya, pendekatan positivis atau fungsional menganggap bahwa 2

keengganan membaca adalah sebuah kerusakan. Bahkan secara tersirat seringkali pustakawan menganggap ketidak-sukaan membaca sebagai semacam ketidak-taatan terhadap nilai-nilai budaya membaca. Pada umumnya, membaca dianggap sebagai wujud dari sesuatu yang luhur; sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh semua orang. Lebih lanjut seringkali dikatakan bahwa perpustakaan adalah bagian dari budaya yang luhur itu, sebagai perpanjangan dari nilai-nilai yang baik dan indah tentang buku. Sehingga kalau tidak ada yang mau membaca di perpustakaan, seringkali kita mengatakan tidak ada minat baca di masyarakat. Dus, ada sesuatu yang salah di orang-orang yang tidak membaca itu. Dengan teori strukturisasi, kita bisa mengalihkan tudingan itu ke lokasi yang lebih tepat, yakni pada kesenjangan anggapan tentang membaca di diri pustakawan dan di diri anggota masyarakat. Kesenjangan itu bisa pada citra dan nilai buku dan membaca di masyarakat; bisa pula pada citra dan nilai perpustakaan di masyarakat. Kalau kurangnya kunjungan masyarakat ke perpustakaan kita terima sebagai kesengajaan dan kegiatan yang dilakukan dengan sadar, maka perlu kita cermati: kesadaran macam apa yang mendasari penolakan itu? Apalagi Giddens juga mengingatkan bahwa kesatuan (integrasi) sebuah sistem sosial selalu dipertahankan di dua tingkatan, yaitu integrasi sosial dan integrasi sistem (1982, h. 28). Jika sebuah perpustakaan tidak dipertahankan oleh masyarakatnya (yakni dengan tidak mengunjunginya), maka kita perlu sadar bahwa integrasi sosial terjadi pada tingkatan wawanmuka, antara pustakawan dengan pengunjung. Keengganan mengunjungi perpustakaan menandakan bahwa pada tingkatan ini terjadi masalah, maka keberadaan perpustakaan tidak lagi sistemik, tidak menjadi bagian dari integrasi sosial. Walaupun pada saat yang sama sudah ada aturan-aturan, undang-undang, dan tata cara tentang pendirian dan penggunaan perpustakaan di masyarakat. Semua aturan dan tata cara ini bukan bagian dari integrasi sosial, melainkan hanya integrasi sistem yang berada di tempat dan waktu yang berbeda. Sangat mungkin aturan dan tatacara ini dibuat dalam suatu budaya yang berbeda (misalnya di Barat) pada suatu masa yang lampau. Dus, jika tidak ada minat orang untuk datang dan membaca di perpustakaan, maka telah terjadi kesenjangan antara integrasi sosial dan integrasi sistem. Upaya untuk memaksaan keberadaan perpustakaan dengan tidak melihat kemungkinan-kemungkinan di atas hanya akan menyebabkan kebingungan lebih lanjut. Misalnya, kita sering terus menerus bertanya, mengapa upaya promosi minat baca akhirnya hanya membuang-buang uang; mengapa kunjungan ke perpustakaan tidak bisa meningkat secepat kunjungan ke mall; mengapa mahasiswa tidak berkunjung ke perpustakaan untuk menyelesaikan pekerjaan akademiknya padahal sudah ada keharusan dan kewajiban kepada mereka. Dan sebagainya. Sumber: http://groups.yahoo.com/group/the_ics/message/10293

Giddens dan Kepustakawanan Indonesia - 2 Rekan-rekan, Manusia sebagai mahluk sosial (Human agency), menurut Giddens, merupakan mahluk yang memiliki kapasitas untuk melakukan perubahan (capacity to make a difference). Jadi, setiap manusia (siapa pun) sangat terkait dengan kekuasaan/kemampuan (power) mengubah sesuatu. Kekuasaan/kemampuan ini menyangkut pemanfaatan sumberdaya (resources). Setiap masyarakat memiliki simbol dan aturan legitimasi untuk mengatur sumberdaya ini. Lewat simbol (signification) dan legitimasi inilah terbentuk struktur. Anggota masyarakat, siapa pun, dapat menggunakan aturan sumberdaya ini. Setiap kali seseorang menggunakan sebuah aturan dalam masyarakat, maka ia melakukan reproduksi. Misalnya, Anda adalah pustakawan di sebuah perpustakaan Perguruan Tinggi. Anda memiliki kapasitas untuk melakukan perubahan. Persoalannya, seberapa mampu Anda melakukan perubahan berkaitan langsung dengan power dan bagaimana Anda menggunakan aturan-aturan di dalam masyarakat (dalam hal ini, masyarakat perguruan tinggi). Giddens juga mengingatkan, Anda sendiri juga bisa membuat aturan, dan bahwa aturan itu bukan sesuatu yang tetap (fixed). Aturan itu menjadi aturan karena Anda menerapkannya, atau mereproduksinya. Kalau penerapan aturan itu berlangsung terus secara terpola ketika Anda berinteraksi dengan orang lain (misalnya, dengan dosen di sebuah PT), maka terjadilah sistem (dalam hal ini, sistem perpustakaan perguruan tinggi tempat Anda bekerja). Tetapi Anda boleh saja tidak menerapkan sebuah aturan, atau tidak mereproduksi sebuah struktur. Anda boleh saja menggunakan aturan berbeda ketika berinteraksi dengan orang lain. Kalau aturan itu disepakati oleh orang lain, dan Anda bersamanya terus menerus mereproduksi aturan buatan Anda itu, maka terjadilah sistem baru. Aturan yang Anda buat itu bisa menjadi bagian dari struktur baru. Sumberdaya, menurut Giddens, ada dua jenis: (1) sumberdaya otoritatif (authoritative resources) yang bersumber dari koordinasi kegiatan antar manusia. Seperti contoh di atas, Anda dan orang lain menggunakan sumberdaya otoritatif untuk saling berinteraksi. Kalau Anda (pustakawan) lebih dominan dalam hal ini dibandingkan orang lain (misalnya dosen), maka Anda punya kapasitas lebih besar dalam memanfaatkan sumberdaya otoritatif; (2) sumberdaya alokatif (allocative resources), yang adalah kekuasaan/kemampuan mengendalikan produk-produk material atau alam. Misalnya, jika Anda (pustakawan) dan orang lain (pemakai perpustakaan yang adalah seorang dosen) bersepakat tentang aturan dalam mengendalikan buku-buku di perpustakaan Anda (misalnya, buku apa yang harus dikoleksi, bagaimana tatacara peminjaman, siapa yang menentukan pembelian buku, dan sebagainya), maka Anda dan orang lain itu memanfaatkan sumberdaya alokatif. Siapa yang lebih dominan dalam hal ini? (silakan jawab sendiri). Struktur, sekali lagi, adalah aturan dan sumberdaya yang dimanfaatkan dalam reproduksi. Jika aturan dan sumberdaya ini dimanfaatkan secara stabil sepanjang ruang dan waktu yang luas, maka terjadilah institusionalisasi. Kalau aturan dan sumberdaya yang dimanfaatkan di perpustakaan perguruan tinggi sudah dimanfaatkan sejak 1920an sampai sekarang di seluruh Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, maka aturan dan sumberdaya itu telah menjadi institusi perpustakaan perguruan tinggi Indonesia. Struktur ini, menurut Giddens, tidak kongkrit (bukan struktur beton, struktur atom, struktur rumah!), melainkan adalah semacam jejak-jejak kenangan (memory traces). Aturan dan sumberdaya perpustakaan perguruan tinggi Indonesia BUKAN gedung perpustakaan, bukan buku-buku, rak-rak buku, dan sebagainya, melainkan adalah segala sesuatu yang ada di kepala Anda (pustakawan) dan orang lain (dosen, mahasiswa) yang Anda dan orang lain itu gunakan 4

dalam rangka menggunakan aturan dan sumberdaya perpustakaan perguruan tinggi Indonesia. Jadi, Anda dan orang lain itu tidak dikukung oleh struktur seperti kalau Anda dan orang lain duduk di sebuah gedung. Anda dan orang lain itu melakukan reproduksi aturan dan sumberdaya untuk menciptakan (secara bersama) sebuah sistem perpustakaan yang bisa saja berubah-ubah, tergantung kepada Anda dan orang lain itu. Giddens tidak percaya bahwa struktur sosial bisa berbentuk tetap dan kokoh seperti struktur beton. Tetapi struktur memang bisa stabil dan bisa menimbulkan integrasi sistem (sebagai lawan dari disintegrasi sistem) karena terus menerus diproduksi dan direproduksi oleh para anggota masyarakat. Dengan kata lain, sudah jadi rutinitas, sudah jadi budaya (walau ini bukan ucapan Giddens, karena budaya di sini lebih berarti kebiasaan). Jadi, bisa saja ada integrasi sistem perpustakaan perguruan tinggi Indonesia karena sudah diproduksi dan direproduksi sejak 1920an, mungkin sebagai warisan dari sistem perguruan tinggi kolonial Belanda! Seyogyanya, integrasi sistem ini juga adalah integrasi sosial. Artinya, aturan dan sumberdaya yang sudah direproduksi secara sistemik itu dimanfaatkan dan diterapkan dalam kegiatan sosial (kegiatan interaksi antar manusia, misalnya antara Anda dengan dosen). Tetapi Giddens mengatakan bahwa integrasi sosial inilah yang bisa jadi sumber perubahan. Artinya, kalau di tingkatan hubungan antar manusia (hubungan Anda dengan dosen atau mahasiswa pengguna perpustakaan) terjadi disintegrasi, atau terjadi ketidaksepakatan tentang aturan dan sumberdaya, maka boleh jadi juga ada disintegrasi sistem perpustakaan perguruan tinggi. Repotnya, kita sering percaya bahwa struktur itu kekal dan pasti, sehingga kita berhayal bahwa telah ada sistem perpustakaan perguruan tinggi Indonesia, padahal di tingkat sosial, di tingkat yang sesungguhnya (yakni dalam hubungan antara pustakawan dengan pengguna) terjadi ketidak-sepakatan, disintegrasi sosial, ketidakjelasan penggunaan sumberdaya, keengganan mentaati aturan (misalnya dosen tidak menggembalikan buku, dan Anda tidak bisa berbuat apa-apa), dan sebagainya. Jadi, hayalan kita tentang sitem perpustakaan perguruan tinggi Indonesia itu hanyalah hayalan belaka. Bukan memory traces yang dimanfaatkan oleh Anda dan pengguna perpustakaan Anda. Dengan pemikiran di ataslah kita bisa memeriksa kembali, apakah telah ada struktur dan sistem perpustakaan di Indonesia. Apakah ada institusi perpustakaan Indonesia? Apakah ada aturan dan sumberdaya dan kekuasaan/kemampuan pemanfaatan aturan dan sumberdaya perpustakaan Indonesia? Repotnya, kita sering percaya bahwa itu semua (struktur dan sistem perpustakaan Indonesia) sudah ada dengan menunjuk kepada gedung, buku-buku tebal yang berisi peraturan tentang perpustakaan, surat keputusan, kepala perpustakaan yang memakai seragam dan peneng Korpri, salinan pidato Presiden yang memuji-muji kegunaan perpustakaan, rekaman dan foto upacaya peresmian perpustakaan oleh menteri, dan sebagainya. Giddens mengajak kita bertanya: benarkah itu semua struktur dan sistem perpustakaan Indonesia? Apakah Perpustakaan Nasional RI itu ada??? Apakah sistem nasional perpustakaan itu ada? Apakah sistem dokumentasi ilmiah Indonesia itu ada? Apakah Indonesia itu ada??? THINK HARD, PLAY SOFT! Sumber: http://groups.yahoo.com/group/the_ics/message/10324

You might also like