You are on page 1of 272

REKONTRUKSI PESANTREN MASA DEPAN

(Dari Tradisional, Modern, Hingga Post Modern)

Oleh Drs.H.Rohadi Abdul Fatah M. Ag Drs.M.Tata Taufik M.Ag Drs. Abdul Mukti Bisri, M.Ag

DAFTAR ISI DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN ____________________________________________1 A. B. Pesantren Sebuah Diskripsi_________________________________________2 Definisi Pondok Pesantren________________________________________14 C. Asal Usul Pesantren dan Sejarah Perkembangannya_____________________16 D. Sistem Pendidikan Pesantren_______________________________________20 E. Tujuan Pendidikan Pesantren_______________________________________24 BAB II MATERI PEMBELAJARAN PONDOK PESANTREN_____________27 A. Literatur Pesantren_______________________________________________27 B. Penjenjangan Materi Pengajian_____________________________________34 C. Materi pembelajaran_____________________________________________37 BAB III MENGENAL METODE PEMBELAJARAN PESANTREN________54 A. B. C. D. E. F. G. H. Sorogan_______________________________________________________54 Wetonan atau Bandongan_________________________________________64 Halaqoh_______________________________________________________70 Hafalan atau Tahfizh_____________________________________________73 Metode Hiwar atau Musyawaroh___________________________________76 Metode Bahtsul Masa`il (Mudzakaroh)______________________________78 Metode Fathul Kutub____________________________________________80 Metode Muqoronah_____________________________________________81

I. Metode Muhawarah / Muhadatsah__________________________________82 A. B. BAB IV ISYU-ISYU PEMBAHARUAN PESANTREN__________________85 KH. Imam Zarkasyi_____________________________________________86 K.H A. Wahid Hasyim dan Tebu Ireng______________________________92 C. KH. Ahmad Dahlan DanPerguruan Muhammadiyah__________________102 BAB V POLA PEMBERDAYAAN SANTRI DI PONDOK PESANTREN__120 A. Potret Kegiatan Santri di Pesantren________________________________120 A. B. C. D. E. Potret Asrama Dan Santri _______________________________________131 Organisasi Santri______________________________________________134 Potret Kegiatan PRAMUKA_____________________________________156 Tentang Ta'jir / Hukuman________________________________________163 Pola Hubungan Guru & Murid____________________________________166 H. Santri: Sebuah Harapan Masa Depan_______________________________168 BAB VII PROFIL ALUMNI PESANTREN____________________________261 A. B. M. Quraisy Shihab_____________________________________________188 Nurcholish Madjid_____________________________________________193 C. Hamzah Haz__________________________________________________207 BAB VII PESANTREN MASA DEPAN (POST MODERN) _____________222 A. B. C. D. Bingkai Pesantren_____________________________________________223 Problem Yang dihadapi Pesantren________________________________226 Medan-Medan Pengembangan___________________________________237 Pesantren Dan Ekonomi_______________________________________242

E. F. G.

Pesantren Dan Masyarakat____________________________________246 Pesantren Dan Negara________________________________________249 Pesantren Dan Media Massa___________________________________251 BAB VIII PENUTUP___________________________________________261 BIODATA PENULIS DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN
A. Pesantren Sebuah Diskripsi Dalam struktur pendidikan nasional, pesantren merupakan mata rantai yang sangat penting. Hal ini tidak hanya karena sejarah kemunculannya yang relatif lama, tetapi juga karena pesantren telah secara signifikan ikut andil dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam sejarahnya, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat (society based-education). Dalam kenyataannya, pesantren telah mengakar dan tumbuh dari masyarakat, kemudian dikembangakan oleh masyarakat, sehingga kajian mengenai pesantren sebagai sentra pengembangan masyarakat sangat menarik beberapa peneliti akhir-akhir ini. Kendatipun pesantrenatau popular pondok pesatrenmerupakan kenyataan sosial yang sudah mapan dalam masyarakat Indonesia, namun tidak memperoleh perhatian dan intervensi yang signifikan dari pemerintah untuk mengembangkan ataupun memberdayakannya. Hal ini menjadikan pesantren tumbuh dengan kemampuan sendiriyang pada akhirnya menumbuhkan varian yang sangat besar, karena sangat tergantung pada kemampuan masyarakat itu sendiri. Kadang, kesan yang muncul adalah bahwa pesantren merupakan lembaga yang eksklusif dan kurang mengakomodasi perkembangan zaman. Dalam sistem dan metodologi pembelajaran, misalnya, pesantren terkesan terlalu lamban bahkan acuh-tak acuh dengan berbagai temuan baru berkenaan dengan bagaimana sebuah lembaga pembelajaran serta kelompok "professional" di

dalamnya dapat terus menerus meningkatkan hasil-hasil pembelajarannya. Perkembangan penelitian pembelajaran, berikut berbagai teori pembelajaran, melahirkan apa yang disebut teknologi pembelajaran (educational technology, learning technolology) yang menyediakan berbagai teknik pembelajaran yang dipandang efektif dan efisien. Dalam bentuknya yang paling menarik, misalnya, saat ini sudah muncul sebuah sistematau lebih tepat pendekatanpembelajaran yang disebut dengan Quantum Learning yang berpasangan dengan Quantum Teaching. Kehadiaran dua pendekatan ini disebut oleh para tokoh pembelajaran sebagai indikasi terjadinya revolusi pembelajaran (learning revolution). Adalah sebuah hal yang patut disyukuri lahirnya pendidikan madrasah di masyarakatyang hal ini sekarang menjadi basis pesantren untuk mengakomodasi perkembangan itu, kendatipun sampai saat ini masih tampak lamban, yang tetntunya hal ini sangat dipengaruhi oleh terbatasnya sumber-sumber belajar dan pusat sumber belajar yang dapat dikembangkan oleh pesantren. Dalam hal pembelajaran, pesantren sampai saat ini harus dapat dibedakan dengan sistem pendidikan madrasah seperti dikenal saat ini. Pesantren adalah lembaga pendidikan masayrakat yang pada dasarnya tidak mengembangkan sistem madrasah dalam penyelenggaraan pendidikannyajadi lebih bersifat informal, dalam arti masyarakat menikmati pembelajaran di dalam lembaga pesantren secara lues, tanpa batasan-batasan artifisial dan formal seperti usia dan latar belakang sosial lainnya. Tetapi, dalam perkembangannyadan ini karena pengaruh-pengaruh sistem sekolah modernpesantren tidak hanya mempertahankan sistem pembelajaran informal, tetapi

juga menganut sistem pembelajaran klasikal berupa madrasah. Sistem madrasah ini sekarang justeru merupakan komponen pembelajaran yang dominan di pesantren. Bahkan, sebagian pesantren dapat disebut sebagai lembaga pendidikan madrasah itu sendirisehingga menjadi identik pesantren dan madrasah karena komponen pembelajaran informalnya hilang. Masyarakat umum tidak lagi dapat menikmat kesempatan belajar yang luwes di pesantren sebagaimana dahulu menjadi ciri pokok pesantren. Pesantren pada saat inidengan demikianmenjadi semakin eksklusif. Pembelajaran yang dikembangkannya sudah beralih dari pembelajaran massal kepada pembelajaran klasikal. Tetapi, jika diperhatikan dari sudut pandang pendekatan pembelajaran modern, pada dasarnya pesantrendilihat dari sebagian cara atau prosedur pembelajarannya, seperti dalam sistem sorogansudah menerapkan pembelajran individual, kendatipun belum dalam bentuknya yang paling terorganisir dan terstruktur. Sekarang, terjadi semacam proses tarik-ulur antara mengedepankan citra konvensional dengan mengakomodasi perkembangan modern. Kehadiran sistem madrasah di pesantren tampaknya tidak terelekkan sifatnya, bukan hanya karena tuntutan modernitas, tetapi juga berkenaan dengan elan-vital pesantren tetapi juga persoalan akomodasional pesantren untuk mengakses masa depan. Bahkan, pesantren juga ingin menjamin survivalnya. Sebagian pesantren, yang terus ingin mempertahankan corak konvensional pesantren sebagai lembaga pendidikan masyarakat, hanya dapat melakukan pembelajaran agama kepada masyarakat dengan cara kiainya mendatangi mushalla dan masjid tertentu di luar pesantren untuk memberikan pembelajaran agama. Namun, tetap saja tampak corak eksklusifnya karena

tidak menyediakan ruang dan kesempatan belajar massal di dalam pesantren. Sebelum menggunakan sistem madrasah, pesantren memakai sistem

pembelajaran konvensional. Sistem pembelajaran ini mempunyai karakteristik, terutama tidak menganut ketentuan-ketentuan formalistic dan procedural yang ketat. Hal ini karena organisasi sistem pembelajaran itu sendiri tidak terbentuk sebagaimana mestinya. Dalam pembelajaran pesantren konvensional tidak dijumpai komponenkomponen pembelajaran formal, seperti daftar santri (peserta) pengajian, daftar pelajaran, desain pembelajaran, media pembelajaran, dan tidak ada pula evaluasi hasil belajar. Mata ajaran yang diajarkan hanyalah ilmu-ilmu keagamaanterutama dari kitab-kitab abad pertengahan yang dikenal dengan kitab-kitab klasik/kuning (al-kutub al-qadimah). Metode pendekatan yang berkisar pada sorogan, bandongan, cocogan, setoran, muthalaah dan musyawarah. Berbeda dengan pembelajaran agama konvensional, pembelajaran di madrasah dilaksanakan dengan sistem kelas (classical sistem) yang terorganisir dan terstruktur. Murid dikelompokkan ke dalam kelas-kelas, dan setiap murid baru diperkenankan mengambil mata pelajaran berikutnya sesudah menyelesaikan mata pelajaran di tingkat sebelumnya. Dalam sistem madrasah, semua elemen penting pendidikan mulai dari kurikulum, pendekatan, metode, rekruitmen, sampai evaluasi hasil belajar diatur secara terencana, terukur dan terkontrol. Jika ditinjau dari sistem pendidikan yang diterapkan di pondok pesantren, terutama sebelum masa orde baru, maka pendekatan yang sering dipergunakannya adalah pendekatan holistik, hal itu dibuktikan paling tidak dengan prinsip-prinsip

yang tercermin

dari

sistem pendidikannya.

Sistem pendidikan

pesantren,

mendasarkan filsafat

pendidikannya pada filsafat theocentric,1 yang memandang dipandang sebagai ibadah kepada Tuhan dan

bahwa semua aktivitas pendidikan merupakan bagian

integral dari totalitas kehidupan muslim, sehingga belajar dan

mengajar di pesantren tidak dipandang sebagai alat tetapi dipandang sebagai tujuan. Implikasi dari prinsip tersebut, maka para pengajar di Pondok Pesantren memandang bahwa kegiatan di pesantren sebagai ibadah kepada Tuhan, sehingga

penyelenggaraan Pondok Pesantren dilaksanakan "di bawah bayang-bayang Tuhan", sukarela dan dijadikan sebagai media pengabdian kepada sesama manusia dalam rangka mengabdi kepada Tuhan. Hal itu juga tercermin dari kearifan kesederhanaan hidupnya sehari-hari yang menyiratkan semacam dan

kesadaran

transcendental. Kesederhanaan di sini adalah identik dengan kemampuan bersikap dan berpikir wajar, proporsional, dan tidak tinggi hati. Berbeda dengan masa setelah orde baru, banyak Pondok Pesantren menyelenggarakan metode pendidikan seperti pendidikan yang

formalsekolah/madrasahdan sistem konvensional:

pengajarannya

tidak lagi hanya berkisar pada

bandongan, halaqah, sorogan dan hafalan, tetapi sudah menerapkan metode belajar mengajar seperti sekolah. Sebagai lembaga pendidikan, Pondok Pesantren walaupun dikategorikan

Yaitu pandangan yang menyatakan bahwa semua kejadian berasal, berproses dan kembali

kepada Tuhan, filsafat ini Memandang banhwa manusia dilahirkan sesuai fitrahnya dan perkembangan selanjutnya tergantung pada lingkungan dan pendidikan yang diperolehnya. Mastuhu, Dinamika Pendidikan Pondok Pesantren, (jakarta: Inis, 1985) h, 63

sebagai lembaga pendidikan tradisional, mempunyai sistem pengajaran tersendiri, dan itu menjadi ciri khas yang dapat dibedakan dari sistem dan metodologi

pembelajaran dilakukan di lembaga pendidikan formal. Yang menjadi tantangan bagi pesantren saat ini adalah bagaimana pesantren mengupayakan pengembangan sistem dan metodologi pembelajarannya, setidaktidaknya agar proses pembelajarannya lebih efektif dan efisien. Pengembangan ini dapat berarti pemberdayaan dan pemerkayaan sistem dan metodologi pembelajaran konvensional; atau, berarti pengubahan sistem dan metodologi yang berimplikasi pada disingkirkannya sistem dan metodologi yang tidak efisien dari sistem konvesional. Pengembangan pembelajaran di Pondok Pesantren ini juga dapat dibedakan dari dua poros, yaitu pengembangan ke dalam (internal), dalam arti pemberdayaan dan pemerkayaan; dan pengembangan keluar (external), yang berarti bahwa pesantren mengakomodasi sistem dan metodologi pembelajaran modern untuk melengkapi atau bahkan mengganti sistem dan metodologi konvensional. Sistem dan metodologi pembelajaran konvensional yang dianut pesantren pada umumnya berkisar pada varian-varian seperti sorogan, weton/bandongan, halaqah dan hafalan. Sorogan, berasal dari kata sorog (bahasa Jawa), yang berarti menyodorkan atau menyerahkan. Dalam kenyataannya, sorogan diterapkan dengan cara setiap santri menyodorkan kitab kajiannya di hadapan kyai atau asisten kyai, untuk selanjutnya sang kiai atau asistennya mengajar santri yang bersangkutan berdasarkan kitab yang disodorkannya itu. Sistem sorogan ini termasuk penerapan sistem pembelajaran dengan pendekatan

10

individual. Seorang santri berhadapan dengan seorang guru, dan terjadi interaksi saling mengenal di antara keduanya. Sistem sorogan ini terbukti sangat efektif sebagai langkah inisiasi bagi seorang murid yang bercita-cita menjadi orang berilmu. Sistem ini memungkinkan seorang guru melakukan pendekatan-pendekatan personal, bahkan pendekatan spiritual dengan para santri. Para kyai mengawasi, menilai dan membimbing secara bahasa Arab. Bahkan lebih dari itu, kedekatan personal kiai-santri dilengkapi dengan hubungan spiritual yang saling mendukung, yang dilakukan dengan cara saling mendo'akan. Weton/bandongan, istilah weton ini berasal dari kata wektu (bhs. Jawa) yang berarti waktu. Penamaan metode ini mengikuti praktik nyata terjadinya pembelajaran dimaksud. Istilah Weton ini di Jawa Barat disebut dengan bandungan. Dalam pengajian dengan metode Weton, pembelajaran dilakukan pada waktuwaktu tertentu, misalnya sebelum atau sesudah melakukan shalat fardlu. Metode weton ini merupakan metode kuliah, dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai yang menerangkan pelajaran secara kuliah, sementara santri maksimal kemampuan seorang murid dalam menguasai

mengikuti pembacaan kitan oleh kiai dengan melihat dan memperhatikan kitab-kitab yang mereka bawa masing-masing. Santri juga membuat catatan seperlunya, baik

dituliskan pada sisi kitab atau menyisipkannya di lembar-lembar catatan lain. Halaqah ini merupakan sistem kelompok kelas dari sistem bandongan.

Halaqah yang arti bahasanya "lingkaran murid", atau sekelompok siswa dengan formasi

11

duduk melingkar, yang belajar di bawah bimbingan seorang guru atau belajar bersama dalam satu tempat. Halaqah ini juga merupakan kelompok belajar dengan

menggunakan metode diskusi tak-terstruktur untuk memahami isi kitab. Diskusi berkisar pada persoalan apa kandungan atau hikmat pelajaran yang dapat diambil dari bacaan, baik dari sumber kitab al-Qur'an, kitab Hadits, atau kitab-kitab kuning lainnya; dan bukan untuk mempertanyakan benar-salahnya apa-apa yang diajarkan oleh kitab. Aspek kritisnya bukan diletakkan pada kemampuan mempertanyakan normativitas isi kitab tetapi kemampuan berijtihad mengenai apa maksud yang diajarkan oleh kitab. Bila dipandang dari sudut pengembangan intelektual, menurut Mahmud Yunus sistem ini hanya bermanfaat bagi santri yang cerdas, rajin dan mampu serta bersedia mengorbankan waktu yang besar untuk studi ini. Sistem ini juga hanya dapat pandai dan yang lainnya hanya sebatas

menghasilkan satu persen murid yang partisipan.2

Pendapat Mahmud Yunus di atas, tentu saja lebih merupakan penilaian atas kenyataan penerapan metode halaqah saat itu, yaitu yang hanya dapat dinikmati oleh segelintir siswa yang tergolong mampu menganalisis masalah dan mampu pula mengungkapkan hasil pikirannya secara lisan maupun tulisan. Tetapi, saat ini metode halaqah ini justeru harus diperkaya. Salah satu alasannya adalah bahwa forum yang dibangun dengan metode halaqah itu sudah merupakan metode pembelajaran yang paling di andalkan dalam sistem pembelajaran siswa aktif.

Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:Hidakarya,1990), h, 50

12

Yang kedua adalah bahwa belajar dalam pandangan modern tidak hanya untuk mengejar pengetahuan sebagai hasil belajar satu-satunya, melainkan menginternalisasi nilai-nilai yang secara laten dapat diperoleh dari halaqah, seperti belajar kemampuan cara menganalisis masalah dan kemampuan mengenai cara mengungkapkan pemikiran. Jadi, halaqah tidak hanya menghasilkan instructional effect, tetapi juga formal effect atau disebut juga nurturent effect. Instruktional effect adalah hasil belajar seperti yang dibatasi oleh tujuan pembelajaran yang telah disusun. Sedangkan nurturent effect adalah hasil belajar laten yang diberoleh dari pembelajaran, yang biasanya berupa perubahan kualitas-kualitas personal seseorang dalam belajar, baik dalam bentuk sikap perhatian maupun motivasi belajar. Hafalan/Tahfiz, metode hapalan yang diterapkan di pesantren-pesantren, umumnya dipakai untuk menghafal kitab-kitab tertentu, misalnya Alfiyah Ibn Malik. Metode hafalan juga sering diterapkan untuk pembelajaran al-Qur`an-Hadits. Dalam pembelajaran al-Qur'an metode ini biasa disebut metode Tahfizh al-Qur'an. Biasanya santri diberi tugas untuk menghafal beberapa bait dari kitab alfiyah, dan setelah beberapa hari baru dibacakan di depan kyai/ustadnya. Dalam pengembangan metode Hafalan atau Tahfizh ini, pola penerapannya tidak hanya menekankan hafalan tekstual dengan berbagai variasinya, tetapi harus juga melibatkan atau menyentuh ranah yang lebih tinggi dari kemampuan belajar. Artinya, hafalan tidak saja merupakan kemampuan intelektual sebatas ingatan (retensi) tetapi juga sampai kepada pemahaman (comprehension), analisis (analysis), dan evaluasi. Bagaimanapun, hafalan sebagai metode pembelajaran maupun sebagai hasil

13

belajar tidak dapat diremehkan, seperti yang sering terdengar dari pernyataanpernyataan sumbang para pengamat pembelajaran. Hafalan harus dipandang sebagai basis untuk mencapai kemampuan intelektuan yang lebih tinggi. Dalam berfikir, misalnya, seseorang tidak mungkin dapat berfikir secara cermat jika bahan-bahan untuk berfikir tidak tersedia. Jadi harus ada apersepsi sebelum seseorang mempersepsi. Harus ada kenyataan sebelum seseorang melahirkan konsepsi. Yang menjadi prinsip dalam berfikir bahwa apa yang dipikirkan harus sudah lebih dulu diketahui seluk beluknya, dan itulah pengetahuan yang sebagiannya diperoleh dari pembelajaran hafalan. Yang kemudian menjadi persoalan lagi adalah bagaimana pembelajaran dengan metode hafalam ini dapat memperkaya khazanah pengetahuan siswa lebih dari sekedar hafalan mekanistik saja, tetapi hafalan kualitatif. Hafalan mekanistik adalah seperti merekam audio atau audio-visual; sedangkan hafalan kualitatif adalah rekaman dasar yang dipersiapkan untuk diedit dan dilakukan pemerkayaan. Dan ini sudah menjadi kewajiban para guru untuk mencarikan cara dan kreativitas para santri agar hafalannya lebih bermutu, lebih bervariasi, dan lebih merangsang pemikiran kritis. Keempat metode itulah yang banyak diterapkan di pondok-pondok pesantren, dan antara metode yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan erat dan mempunyai kelemahan serta kelebihan masing-masing, sehingga pondok-pondok

pesantren sampai sekarang masih mempertahankan metode tersebut, dan itu menjadi lambang supremasi serta ciri khas metode pengajaran di Pondok Pesantren. Berbeda dengan masa setelah orde baru, banyak Pondok Pesantren menyelenggarakan pendidikan seperti pendidikan yang

formalsekolah/madrasahdan

14

metode pengajarannya tidak lagi hanya berkisar pada sistem bandongan, halaqah, sorogan dan hafalan, tetapi sudah menerapkan metode belajar mengajar seperti sekolah. Selain metode yang empat diatas (bandongan, halaqah, sorogan dan hafalan) di Pondok Pesantren juga mengenal metode-metode lain seperti Bahtsul masa`il, Hiwar, Fathul Kutub, Muqaranah, dan metode-metode lain yang banyak di peraktekkan di di Pondok Pesantren. Metode Bahtsul Masa`il mengacu kepada pemecahan masalah-masalah dalam persoalan fiqh (hukum Islam atau furu`iyah). Metode ini bisa digambarkan sebagai bentuk kegiatan belajar mengajar dalam sebuah forum (biasanya di kelas atau masjid) yang dipandu oleh seorang pembimbing/guru dan diikuti oleh santri-santri yang dianggap sudah menguasai kitab-kitab tertentu untuk memecahkan permasalahan kontemporer di sekitar hukum-hukum fiqh (termasuk di dalamnya fiqh ibadah). Metode ini biasanya diterapkan untuk pengajaran santri-santri yang sudah senior, dimana santrisantri tersebut sudah dianggap mampu atau menguasi kitab-kitab yang menjadi rujukan masalah yang akan di bahas. Metode Hiwar hampir sama dengan metode metode diskusi yang umum kita kenal selama ini. Bedanya metode hiwar dilaksanakan dalam rangka pendalaman atau pengayaan materi-materi yang sudah di pelajari (kitab-kitab kuning). Yang menjadi ciri khas dari hiwar ini, adalah bahwa santri dan guru biasanya terlibat dalam sebuah forum perdebatan untuk memecahkan masalah yang ada dalam kitab-kitab (berbahasa Arab) yang sedang di pelajari. Dalam Hiwar terjadi proses kritik dan agumentasi (mujadalah)

15

untuk memperkuat kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh. Dengan diterapkannya metode ini, tidak semua pondok pesantren

memasyarakatkannya sebagai metode yang dikembangkan dalam kegiatan belajar mengajar di di Pondok Pesantren. Sebab di sementara pondok masih ada norma-norma yang bersifat doktrinal yang belum bisa di reformasi, seperti siswa/santri tidak boleh banyak bertanya, harus menundukkan wajah ketika berhadapan dengan guru, dan semacamnya. Metode Fathul Kutub biasanya dilaksanakan untuk santri-santri senior yang sudah akan menyelesaikan pendidikan tingkat tertentu di Pondok Pesantren. Pada

dasarnya metode ini adalah metode penugasan mencari rujukan (reference) terhadap beberapa topik dalam bidang ilmu tertentu (Fiqh, Aqidah, Tafsir, Hadits, dll.). Metode muqoronah adalah sebuah metode yang terfokus pada kegiatan perbandingan, baik perbandingan materi, faham (madzhab), metode, maupun perbandingan kitab. Metode muqoronah akhirnya berkembang pada perbandingan ajaran-ajaran agama. Untuk model metode muqoronah ajaran agama biasanya berkembang di bangku Perguruan Tinggi Pondok Pesantren (Ma`had `Ali). Saat ini, dengan diterapkannya sistem klasikal di Pondok Pesantren, yaitu dengan dikenalkannya sistem Madrasah Diniyah, mau tak mau pengayaan metodologi tidak lagi sebatas yang sudah di kenal di kalangan Pondok. Hal itu disebabkan karena terpengaruh oleh perkembangan hidup modern yang menuntut orang maupun lembaga untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan tersebut. Karena itulah cara yang bisa ditempuh agar di Pondok Pesantren tetap bisa digandrungi oleh masyarakat.

16

Artinya dengan memadukan pola pendidikan tradisional dengan pola pendidikan modern. B. Definisi Pondok Pesantren Kata pondok berasal dari kata Funduq yang berarti hotel atau asrama. Sedangkan dalam bahasa Indonesia mempunyai banyak arti, di antaranya adalah madrasah tempat belajar agama Islam. Sekarang lebih dikenal dengan nama pondok pesantren. Di Sumatra Barat dikenal dengan nama surau, sedangkan di Aceh dikenal dengan nama rangkang . Pesantren berasal dari kata santri yang dapat diartikan tempat santri. Kata santri berasal dari kata Cantrik (bahasa Sansekerta, atau mungkin jawa) yang berarti orang yang selalu mengikuti guru, yang kemudian dikembangkan oleh Perguruan Taman Siswa dalam sistem asrama yang disebut Pawiyatan. Istilah santri juga ada dalam bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji, sedang C. C Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri, yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu.Terkadang juga dianggap sebagai gabungan kata saint (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik Secara terminologi dapat dikemukakan di sini beberapa pandangan yang mengarah kepada definisi pesantren. Abdurrahman Wahid, mendefinisikan pesantren

17

secara teknis, pesantren adalah tempat di mana santri tinggal.3 Mahmud Yunus, mendefinisikan sebagai tempat santri belajar agama Islam.4 Sedang Abdurrahman Masud, mendefinisikan pesantren refers to a place where the santri devotes most of his or her time to live in and acquire knowledge.5 Definisi di atas menunjukkan betapa pentingnya sosok pesantren sebagai sebuah totalitas lingkungan pendidikan dalam makna dan nuansanya secara menyeluruh. Secara definitif Imam Zarkasyi, mengartikan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dengan sistem asrama atau pondok, di mana kiyai sebagai figur sentralnya, mesjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya, dan pengajaran agama Islam dibawah bimbingan kyai yang diikuti santri sebagai kegiatan utamanya.6 Secara singkat pesantren bisa juga dikatakan sebagai laboratorium kehidupan, tempat para santri belajar hidup dan bermasyarakat dalam berbagai segi dan aspeknya. .

Definisi pesantren yang dikemukakan oleh Imam Zarkasyi (pendiri Pondok Modern Daarussalam Gontor) sama dengan definisi yang dikemukakan oleh Zamakhsyari Dhofier dalam menentukan elemen-elemen pesantren, seperti: Kiyai, santri, masjid, pondok, dan pengajaran agama Islam

Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi; Esai-esai Pesantren, (Yogyakarta: LKIS,2001,

cet-ke-1,h,17 4 Mahmud Yunus, Op.Cit, h, 231


5

Ismail SM (ed), Pendidikan Islam , Demokrasi dan Masyarakat Madani, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2000) Cet ke-1, h,171 6 Amir Hamzah Wirosukarto,et.al., KH. Imam Zarkasyi dari Gontor Merintis Pesantren Modern, (Ponorogo: Gontor Press,1996) Cet, ke-1,h,56

18

Walaupun sama dalam menentukan elemen-elemen pesantren, namun keduanya mempunyai perbedaan dalam menentukan materi pelajaran dan metodologi pengajaran. Zamakhsyari menentukan materi pelajaran pesantren hanya terbatas pada kitab-kitab klasik dengan metodologi pengajaran tradisional, yaitu sorogan dan wetonan,7 sedangkan Imam Zarkasyi tidak membatasi materi pelajaran pesantren dengan kitabkitab klasik serta menggunakan metodologi pengajaran sistem klasikal (madrasi). Demikianlah pesantren didefinisikan oleh pengamatnya baik yang barasal dari dalam maupun dari luar pesantren, di mana variasi yang dihasilkan merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat dipungkiri. Hal tersebut disebabkan perbedaan semacam itu, jusrtu semakin menambah khazanah dan wacana yang sangat diharapkan secara akademis. C. Asal Usul Pesantren dan Sejarah Perkembangannya Pesantren atau yang lebih dikenal dengan pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tradisional8 tertua di Indonesia. Menurut para ahli, lembaga pendidikan ini sudah datang sebelum Islam datang ke Indonesia. Hal ini dikemukakan oleh I. J. Brugman dan K. Meys, yang menyimpulkan dari tradisi pesantren seperti, penghormatan santri kepada kiyai, tata hubungan keduanya yang tidak didasarkan
7

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, studi Tentang Pandangan Hidup Kyai,(Jakarta:

LP3ES, 1995) h,44-60 8 Pengertian tradisional dalam arti bahwa lembaga ini hidup sejak ratusan tahun yang lalu dan telah menjadi bagian dari kehidupan sebagian besar ummat Islam Indonesia, dan telah mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai dengan perjalanan ummat, bukan tradisional dalam arti tetap tanpa mengalami penyesuaian . Mastuhu, Dinamika Pendidikan Pesantren, , (Disertasi Pasca Sarjana IPB,1989) h, 114

19

kepada uang, sifat pengajaran yang murni agama dan pemberian tanah oleh negara kepada para guru dan pendeta. Gejala lain yang menunjukkan azas non-Islam pesantren tidak terdapat di negara-negara Islam. Pesantren dilihat dari segi bentuk dan sistemnya, berasal dari India. Sebelum proses penyebaran Islam di Indonesia sistem tersebut telah dipergunakan secara umum untuk pengajaran dan pendidikan agama Hindu di Jawa. Kemudian pendidikan ini diislamisasikan tanpa meninggalkan tradisi yang ada. Perbedaan yang mendasar ialah pada masa Hindu pendidikan tersebut hanya milik kasta tertentu, sedang pada masa Islam, pendidikan tersebut milik setiap orang tanpa memandang keturunan dan kedudukan, karena dalam pandangan Islam seluruh manusia merupakan umat yang egaliter. Karena itu Islam dapat diterima oleh masyarakat dan pesantren dapat berkembang, oleh karena itu pesantren merupakan salah satu bentuk kebudayaan asli Indonesia. Tentang kehadiran pesantren secara pasti di Indonesia pertama kalinya, di mana, dan siapa pendirinya tidak dapat diperoleh keterangan yang pasti. Ada pendapat yang maengatakan, pesantren pertama kali didirikan oleh Syeikh Maulana Malik Ibrahim. Beliau adalah ulama yang berasal dari Gujarat, India agaknya tidak sulit baginya untuk mendirikan pesantren karena sebelumnya sudah ada perguruan Hindu-Budha dengan sistem biara asrama sebagai tempat belajar mengajar. Dan mempunyai persamaan dengan pendidikan di India. Meski begitu, tokoh yang dianggap berhasil mendirikan dan mengembangkan

20

pesantren dalam arti yang sesungguhnya adalah Raden Rahmat atau Sunan Ampel. Ia mendirikan pesantren di Kembang Kuning, yang pada waktu didirikan hanya memiliki tiga orang santri, yaitu: Wiryo Suroyo, Abu Hurairah, dan Kyai Bangkuning. Kemudian ia pindah ke Denta, Surabaya, dan mendirikan pesantren di sana, dan akhirnya beliau dikenal dengan sebutan Sunan Ampel. Sunan Ampel diambil menantu oleh penguasa Tuban bernama Ario Tejo. Di sini dapat disimpulkan adanya hubungan yang mesra antara ulama dan umara. Hubungan ini dijalin dengan dawah, selain itu Ario Tejo membutuhkan bantuan sunan Ampel untuk mengamankan daerah Tuban, Gresik, dan Surabaya, sebagai kunci kemakmuran negara. Pesatnya pertumbuhan dan perkembangan Pesantren Ampel Denta pada dasarnya didukung oleh beberapa faktor, Pertama, letaknya yang strategis di pintu gerbang utama Majapahit, sehingga mau tidak mau mesti bersinggungan langsung dengan sirkulasi perdagangan Majapahit, karena seluruh kapal dari dan ke Majapahit mesti melewati pelabuhan Surabaya. Kedua, lembaga pendidikan tersebut mirip dengan pendidikan sebelumnya. Ketiga, lembaga pendidikan tersebut dapat diikuti oleh setiap orang tanpa memandang keturunan dan kedudukan. Pada awal berkembangnya, ada dua fungsi pesantren, pertama, sebagai lembaga pendidikan. Kedua, sebagai lembaga penyiaran agama. Kendati kini telah banyak perubahan yang terjadi namun inti fungsi utama itu masih melekat pada pesantren. Pesantren di Indonesia tumbuh dan berkembang sangat pesat. Berdasarkan laporan pemerintah pemerintah kolonial Belanda, tahun 1831 di Jawa saja terdapat tidak

21

kurang dari 1.853 buah dengan jumlah santri tidak kurang 16.500 orang. Kemudian suatu survai yang diselenggarakan oleh kantor Shumubu ( Kantor Urusan Agama ) pada masa Jepang tahun 1942 jumlah pesantren bertambah menjadi 1.871 buah, jumlah tersebut belum dijumlah dengan pesantren di luar Jawa dan pesantren-pesantren kecil. Pada masa kemerdekaan jumlah pesantren terus bertambah, berdasarkan laporan Departemen Agama RI tahun 2001 jumlah pesantren di Indonesia mencapai 12.312 buah.9 Perkembangan pesantren terhambat ketika Bangsa Eropa datang ke Indonesia untuk menjajah. Hal ini terjadi karena pesantren bersikap non-kooperatif bahkan mengadakan konfrontasi terhadap penjajah. Akibat dari sikap tersebut maka pemerintah kolonial ketika itu mengadakan kontrol dan pengawasan yang ketat terhadap pesantren. Setelah Indonesia merdeka, pesantren tumbuh dan berkembang dengan pesat. Ekspansi pesantren juga bisa dilihat dari pertumbuhan pesantren yang semula hanya rural based institution kemudian berkembang menjadi pendidikan urban. Lihatlah kemudian

pesantren tumbuh di Ibukota Jakarta seperti Pondok Pesantren Darun Najah, Darul Rahman, As-Shiddiqiah, dan lain-lain. Bahkan kini pesantren bukan hanya milik organisasi tertentu tetapi milik umat Islam Indonesia. D. Sistem Pendidikan Pesantren Sistem pendidikan pesantren menurut M. Arifin adalah sarana yang berupa perangkat organisasi yang diciptakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang

www.depag.net.id

22

berlangsung dalam pesantren.10 Unsur-unsur sistem pendidikan pesantren menurut Mastuhu dapat dikelompokkan sebagai berikut: Aktor atau pelaku, seperti: kiyai, santri, Sarana perangkat keras, seperti Masjid, asrama, atau pondok, rumah kyai dan sebagainya. Sarana perangkat lunak, seperti: tujuan, kurikulum, metodologi pengajaran, evaluasi, dan alat-alat pendidikan lainnya.11 Unsur-unsur pesantren berbeda antara satu pesantren dengan pesantren lainnya, hal ini dapat dilihat dari besar kecilnya pesantren bersangkutan. Untuk pesantren kecil unsur-unsurnya cukup dengan kyai, santri, asrama atau pondok, kitab-kitab keagamaan, dan metode pengajaran, akan tetapi untuk pesantren besar perlu ditambah dengan unsurunsur lain, seperti : Ustadz sebagai pembantu kyai dalam pengajaran, gedung sekolah atau madrasah, pengurus, tata tertib dan lain sebagainya sesuai dengan kebutuhan pesantren. Kyai atau pengasuh pondok pesantren merupakan elemen yang sangat esensial dari suatu pesantren. Ia seringkali merupakan pendirinya. Sudah sewajarnya bahwa pertumbuhan pesantren semata-mata bergantung kepada kemampuan kyainya. Menurut asal usulnya perkataan kiyai dalam bahasa Jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yang saling berbeda: Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat, umpamanya: kiyai Garuda Kencana dipakai untuk sebutan Kereta Emas yang ada di Kraton Yogyakarta. Gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada

10

M.Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, (Jakarta: Biona Aksara.1995) Cet, ke-

3, h,257

11

Mastuhu, Op.Cit, h, 55-56

23

umumnya. Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren. Kiyai dalam pembahasan ini mengacu kepada pengertian yang ketiga. Istilah kiyai dipakai di Jawa Tengah dan Jawa Timur, di Jawa Barat istilah tersebut dikenal dengan Ajengan, di Aceh Tengku, di Sumatra Utara Buya. Gelar kyai saat ini tidak lagi hanya diperuntukkan bagi yang memiliki pesantren. Gelar tersebut kini digunakan untuk seorang ulama yang mumpuni dalam bidang keagamaan walau ia tidak mempunyai pesantren, seperti : Kyai Haji Ali Yafie, Kyai Haji Muhith Muzadi, dan lainnya. Bahkan gelar kyai digunakan untuk sebutan seorang Dai atau Muballigh. Santri adalah siswa yang belajar di pesantren, Zamakhsyari Dhofier membagi santri membagi dua kelompok: Santri mukim dan santri kalong, santri mukim adalah santri yang berasal dari daerah dan menetap dalam kelompok pesantren. Sebagai santri mukim mereka mempunyai keewajiban-kewajiban tertentu. Santri kalong adalah santri yang berasal dari masyarakat sekitar pesantren atau yang biasanya tidak menetap di pesantren. Untuk mengikuti pelajarannya di pesantren, mereka bolak-balik dari rumahnya sendiri.12 Selain dua istilah santri diatas, dalam dunia pesantren dikenal juga istilah santri kelana. Santri kelana adalah santri yang pindah belajar dari satu pesantren ke

pesantren lain untuk memperdalam ilmu pengetahuan yang menjadi keahlian dari seorang kyai. Setelah pesantren mengadopsi sistem madrasah tradisi santri kelana kini

12

Zamakhsyari, Op.Cit, h, 55

24

mulai ditinggalkan. Kedudukan mesjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional. Hal ini telah terjadi sejak zaman Nabi Muhamad kemudian diteruskan oleh para sahabat, kholifah Islamiyah hingga sampai sekarang. Secara etimologis, masjid berasal dari kata sajada, yang berarti patuh, taat, serta tunduk dengan penuh hormat dan takzim. Sedangkan secara terminologis, masjid adalah tempat melaksanakan aktifitas manusia yang mencerminkan kepatuhan kepada Allah. Upaya menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan berimplikasi pada tiga hal: Pertama, mendidik anak agar tetap beribadah kepada Allah. Kedua, menanamkan rasa cinta pada ilmu pengetahuan dan solidaritas sosial, serta menyadarkan hak-hak dan kewajiban. Ketiga, memberikan ketentraman, kemakmuran, potensi-potensi melalui pendidikan kesabaran, keberanian kesadaran optimisme. Kendatipun saat sekarang kebanyakan pesantren telah melaksanakan proses belajar mengajar di dalam kelas dengan gedung tersendiri, namun mesjid tetap difungsikan sebagai tempat belajar. Hingga saat ini kyai sering mempergunakan masjid sebagai tempat membaca dengan metode bandongan. Disamping itu pula para santri memfungsikan masjid sebagai tempat belajar yang utama, karena kondisi masjid relatif lebih tenang serta mempunyai nilai ibadah. Sebuah pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional di mana para siswanya tinggal bersama-sama dan belajar dibawah bimbingan seorang kiyai. Ada tiga alasan utama mengapa pesantren harus menyediakan asrama

25

bagi santrinya : Pertama, kemashuran seorang kiyai dan kedalaman pengetahuannya tentang

Islam, menarik santri-santri dari jauh untuk dapat menggali ilmu dari kiyai tersebut secara teratur dan dalam waktu yang lama , untuk itu ia harus menetap. Kedua, hampir semua pesantren berada di desa-desa di mana tidak tersedia perumahan (akomodasi) yang cukup untuk menampung santri-santri, dengan demikian perlulah adanya asrama khusus para santri. Ketiga, ada timbal balik anrtara santri dan kiyai, di mana para santri menganggap kiyainya seolah-olah seperti bapaknya sendiri, sedang para kiyai menganggap para santri sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa dilindungi. Disamping alasan-alasan diatas, kedudukan pondok sebagai salah satu unsur pokok pesantren sangat besar sekali manfaatnya diantaranya adalah santri dapat dikondisikan dalam suasana belajar sepanjang hari.Kehidupan berasrama para santri juga sangat mendukung bagi pembentukan kepribadian. Di dalam asrama

memungkinkan untuk mempraktekkan apa-apa yang telah dipelajari. Nilai-nilai agama yang secara normatif dipelajari di kelas, dapat dilatihkan untuk disosialisasikan dalam kehidupan sehari-hari dengan begitu dimungkinkan mereka tidak hanya menjadi having tetapi being.

E. Tujuan Pendidikan Pesantren Amat sulit untuk menggambarkan tujuan pendidikan pesantren sacara pasti dan seragam. Hal ini disebabkan karena pesantren mempunyai kebiasaan untuk tidak mempunyai kebiasaan untuk tidak merumuskan dasar dan tujuan pendidikannya secara

26

eksplisit. Hal ini karena sifat kesederhanaan pesantren, sesuai dengan dorongan berdirinya, di mana kiyai mengajar dan santri belajar, semata-mata untuk ibadah lillahitaala, dan tidak pernah dihubungkan dengan tujuan tertentu dalam lapangan kehidupan atau tingkat jabatan tertentu dalam hirarki sosial. Adapun tujuan didirikannya pesantren menurut M.Arifin pada dasarnya terbagi menjadi dua hal, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan Khususnya adalah mempersiapkan para santri untuk menjadi orang yang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kiyai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat. Sedangkan tujuan umumnya adalah membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam yang sanggup dengan ilmu agamanya menjadi mubaligh Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya.13 Untuk mengenal tujuan pendidikan pesantren ada baiknya dikemukakan beberapa pernyataan para pendiri pesantren, KH. Ahmad Sahal misalkan, salah seorang pendiri Pondok Modern Gontor menyatakan: "amanak-anakku nanti harus menjadi orang yang a'lim, sholeh, sugih supaya tidak tamak" dalam kesempatan lain juga beliau sampaikan: " di pesantren ini (Gontor) anak-anak akan diajari bahasa Arabbahasa Inggris dan tonil (drama)" Dari dua pernyataan di atas dapat diketahui bahwa tujuan pendirian pesantren adalah untuk mendidik generasi muda Islam dengan pendidikan sehingga nantinya menbjadi anak yang alim (memiliki ilmu pengetahuan) dan sholeh dalam arti

13

M. Arifin, Op.Cit, h, 248

27

menjalankan pengetahuannya tersebut, serta bisa menjadi kaya (kaya harta dan hati) supaya tidak tamak. Oleh karena itu muncul pernyataan kedua yang berarti harus menzaman, sesuai dengan kebutuhan zaman dan kecakapan yang dimiliki sesuai dengan zamannya. Konon ungkapan kedua ini muncul setelah pertemuan ulama yang saat itu membutuhkan delegasi muslim Indonesia untuk di kirim ke dunia Internasional, yang dibutuhkan adalah yang mahir dalam bahasa Arab dan Inggris, tapi yang tersedia waktu itu hanya menguasai bahasa Arab saja dan tidak menguasai bahasa Ingris, dan

sebaliknya. Jadi tujuan penyusunan materi pelajaran disesuaikan dengan tantangan kebutuhan ummat. Sama halnya dengan semboyan perekat ummat yang muncul sebagai jawaban atas kondisi ummat Islam pada tahun 1920 an; pertentangan khilafiyah dan konflik internal. Selain melalui pernyataan para pendirinya tujuan pendidikan pesantren juga bisa diketahui dengan melihat semboyan dan motto yang dikembangkan suatu pesantren, semboyan-semboyan yang senantiasa didengungkan oleh pimpinan pesantren (kyai) itu biasanya merupakan "kerangka nilai" yang diharapkan dapat dicerna oleh para santri dan menjadi pedoman hidup mereka dalam kehidupannya kelak Seperti pepatah dalam dunia pesantren yang sangat populer, al muhafadhatualal qadimis shalih wal akhdu alal bil jadidil ashlah. Dalam hal ini pesantren merupakan lembaga pendidikan yang gigih mempertahankan tradisi. konservasi terhadap tradisi dilakukan tanpa sikap reserve, bahwa tradisi mengandung segala yang baik, sehingga kebutuhan untuk mengadopsi yang modern dimungkinkan sejauh itu lebih baik dari apa yang terdapat dalam tradisi itu sendiri.

28

Berkenaan dengan tujuan pendidikan pesantren, bagi pesantren-pesantren baru yang lebih modern biasanya telah merumuskan tujuannya dalam bentu visi dan misi pesantren, rumusan biasanya sekitar hal-hal berikut: Membangun masyarakat melalui pendidikan Dakwah Islamiyah Mempersiapkan generasi muda muslim dengan membekali mereka pengetahuan agama dan umum. Secara tegas KH Imam Zarkasyi menyatakan tujuan pendidikan di pesantrennya adalah untuk "kemasyarakatan dan dakwah Islamiyah" artinya pendidikan diarahkan pada kebutuhan masyarakat muslim pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya serta kepentingan dakwah Islamiyah.

29

BAB II MATERI PEMBELAJARAN PONDOK PESANTREN


A. Literatur Pesantren 1. Asal-usul dan jenis Satu hal penting yang jarang disebut para ahli ketika mengidentifikasi ciri-ciri fisik pesantren ialah kitab kuning sebagai literatur khas pesantren. Kitab kuning sebetulnya merupakan ciri penting yang tidak dapat dibuang dari pesantren, setidaknya hingga hari ini. Seseorang disebut kyai antara lain karena ia dianggap menguasai keilmuan keislaman yang berhubungan erat dengan kitab kuning. Sistem pengajian pesantren yang diselenggarakan di masjid juga cocok karena yang diaji adalah kitab kuning. Pendek kata, masjid, kyai, santri dan pondok yang merupakan elemen penting pndok pesantren, tidak dapat dipisahkan dari kitab kuning. Kitab kuning sering disebut al-kutub al-qadimah. Disebut demikian karena kitab-kitab tersebut dikarang lebih dari seratus tahun yang lau. Ada juga yang menyebutkannya sebagai al-kutub al-shafra atau kitab kuning karena biasanya kitabkitab itu dicetak di atas kertas berwarna kuning, sesuai kertas yang tersedia waktu itu. Ciri lain dari literatur yang dipergunakan di pesantren itu ialah beraksara Arab Gundul (huruf Arab tanpa harakat atau syakal). Keadaannya yang gundul itu pada sisi lain ternyata merupakan bagian dari pembelajaran itu sendiri. Pembelajaran kitab-kitab gundul itu keberhasilannya antara lain ditentukan oleh kemampuan membuka kegundulan itu dengan menemukan harakat-harakat yang benar, dan

mengucapankannya secara fasih.

30

Al-kutub al-qadimah itu jumlahnya sangat banyak. Akan tetapi, yang banyak dimiliki para kyai dan diajarkan di pesantren di Indonesia adalah kitab-kitab yang umumnya karya ulama-ulama madzhab Syafii (Syafiiyyah). Menurut Martin van Bruinessen, seorang peneliti dari Belanda, pada akhir abad ke-20 ini judul kitab-kitab kuning yang beredar dikalangan kyai di pesantren-pesantren Jawa dan Madura jumlahnya mencapai 900 judul. Padahal L.W.C. van den Berg dalam penelitian sebelumnya, pada akhir abad 19, hanya menemukan 54 judul saja. Meningkatnya jumlah judul kitab itu sebetulnya disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, banyak kiyai yang mulai menulis kitab sendiri, baik dengan menggunakan Bahasa Arab, maupun dengan menggunakan bahasa lokal yang ditulis dengan huruf Arab Melayu (pegon). Kedua, beberapa ulama atau kyai di Nusantara mulai menyusun kitab sendiri. Bentuknya bermacam-macam. Ada yang merupakan tashnif (karangan sendiri) dengan kitab-kitab yang berasal dari Timur Tengah sebagai rujukan, ada yang menyusun sendiri tetapi merupakan penggabungan dari topik-topik atau bidang-bidang yang sudah ada (iqtibas), dan ada yang melakukan penyederhanaan (mukhtashar)

terhadap kitab-kitab yang ada dalam rangka penyesuain materi, topik, bahasa, maupun pembahasannya. Ketiga, mulai diadopsinya kitab-kitab yang tadinya dianggap tabu karena tidak sealiran dengan faham pesantren, misalnya kitab-kitab di luar madzhab Syafii. Keempat, pesantren juga mulai mengaji kitab-kitab al-ashriyyah, karya ulama modern. Kitabkitab al-ashriyyah ini mulai masuk ke Indonesia, sejalan dengan perkembangan

teknologi pada awal abad 20, yang ditandai oleh kemudahan orang-orang Indonesia

31

untuk melakukan ibadah haji dan belajar, baik di Makkah, Madinah, Kairo, Baghdad, Yaman dan pusat-pusat belajar lain di Timur Tengah. Banyak diantara mereka yang mengaji ataupun berhaji kemudian mengirim dan membawa pulang kitab-kitab alashriyyah yang memang beredar di tempat-tempat itu. Kitab kuning yang di-aji di pesantren itu pada dasarnya adalah kitab-kitab yang materinya dianggap relevan dengan tujuan pesantren sendiri, yakni mendidik dan mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam, sebagai upaya mewujudkan manusia yang tafaqquh fi al-din. Kendati pola pendidikan yang diselenggarakan di pesantren cukup beragam, fungsi yang diemban pesantren tidak keluar dari itu. Kesamaan tersebut dapat dilihat dari jenis-jenis bidang aji (bidang kajian) yang diajarkan di pesantren. Hampir seluruh pesantren di tanah air mengajarkan bidang aji yang sama, yang dikenal dengan ilmu-ilmu keislaman. Bidang kajiannya meliputi ilmu-ilmu terapan, yang sering digolongkan ilmu-ilmu yang fardlu ain, yang mencakup: Aqidah, Tajwid (al-Quran), Fiqih, Akhlaq-Tasawuf, dan Ilmu Alat (Bahasa Arab, yang biasanya mencakup: Nahwu atau sintaksis, Sharaf atau morfologi, dan Balaghah); dan ilmu-ilmu yang berguna dalam mengembangkan wawasan seperti: Mantiq, Ushul Fiqh, Tafsir, Ilmu Tafsir, Hadits, Ilmu Hadits , dan Tarikh Islam. Hanya saja perhatian terhadap kelompok ilmu yang terakhir ini memang masih terbatas dan belum merata. Cara pesantren yang umumnya mengandalkan pada kitab kuning sesengguhnya memiliki kelemahan tersendiri. Kitab-kitab kuning umumnya bukan disusun oleh ulama Indonesia, atau setidaknya disusun pada masa lalu . Karena itu, kuantitas materi, relevansi materi, dan tingkat pembahasannya belum tentu sesuai dengan tuntutan

32

kebutuhan dan kemampuan santri di Indonesia saat ini. Menyadari itu, beberapa pesantren yang telah melakukan pembaharuan melakukan langkah-langkah akomodatif, antara lain: Pertama, tidak mengambil secara keseluruhan materi-materi yang ada pada suatu kitab dari kitab-kitab kuning itu, melainkan menyesuaikannya dengan menangguhkan materi-materi yang belum dianggap perlu dan menambahnya dengan muatan-muatan baru berdasarkan kekhususan dan kebutuhan tertentu. Kedua, memberikan perhatian yang memadai terhadap ilmuilmu yang berpotensi memperluas wawasan, dan Ketiga,menambah materi pembelajaran dengan ilmu-ilmu umum serta ketrampilan-ketrampilan khusus, seperti pertanian, peternakan, koperasi dan bisnis, qiraat, kaligrafi, komputer dan lain sebagainya. 2. Pola Penyajian dan Penulisan Kitab-kitab yang menjadi bahan kajian di pesantren tidak ditulis pada masa yang sama. Penulisnya pun memiliki latar belakang yang beragam. Penulisan kitab yang dilakukan pada masa yang lebih tua (salaf) biasanya menggunakan bahasa yang lebih rumit dari yang ditulis belakangan (khalaf), sesuai dengan perkembangan bahasa Arab itu sendiri. Latar belakang penyususn (mushannif) juga akan menyebabkan perbedaan cara pandang dan cara penyajiannya, walaupun berada pada masa yang sama dan dalam madzhab yang sama pula. Hal ini menjadikan kitab-kitab di pesantren merupakan khazanah ilmu yang unik dan sekaligus kaya. Namun, pada saat yang sama juga berpotensi menimbulkan banyak masalah. Bila dilihat dari gaya penyajian atau pemaparannya, kitab kuning dapat dikelompokkan menjadi:

33

a) Kitab-kitab natsr (esai) Kitab natsr ialah kitab yang dalam menyajikan atau memaparkan materinya menggunakan essai (natsr). Keuntungannya ialah bahwa materi dapat dipaparkan dengan menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah. Walaupun perlu diketahui bahwa pola tulis bahasa Arab pada kitab-kitab tua sebetulnya cukup rumit, tidak seperti sekarang. Bentuk kalimatnya biasanya panjang, dengan menggunakan kata ganti (dhamir) yang berulang sehingga sulit mencari rujukanya (aaid), disamping belum berkembangnya atau mungkin belum dimanfaatkannya secara baik tanda-tanda baca (adawat al-tarqim). Kitab kuning jenis ini adalah yang paling umum. b) Kitab-kitab nadzam Cara penyajian materi yang lain ialah dengan menggunakan nadzam atau syiir (sair). Kitab-kitab kuning yang memanfaatkan gaya ini cukup banyak. Dan itu dilakukan tidak terbatas pada kitab-kitab untuk pemula saja. Pada umumnya tujuan pemaparan dengan cara ini ialah untuk mempermudah, terutama bagi pemula dengan asumsi bahwa santri-santri pemula lebih senang terhadap nyanyian dan pada sat yang bersama penghafalan lewat lagu itu juga lebih mudah. Contoh kitab ini misalnya Hidayat al-Shibyan. Untuk tingkat lebih atas, penyajian dengan menggunakan nadzam ini lebih bertujuab untuk meringkas dan memudahkan menghafalnya juga. Termasuk dalam kategori ini misalnya kitab al-Maqshud, Imrithi, atau Alfiyah ibn Malik. Dibanding dengan pola natsr, pola nadzm ini memiliki kesukaran tersendiri, yaitu untuk memahaminya memerlukan kemampuan bahasa yang lebih tinggi karena nadzam dalam pembuatannya tidak jarang memerlukan variasi, jika bukan

34

penyimpangan, dari pola tata bahasa yang biasa digunakan dalam natsr. Itulah sebabnya pola natsr dikatakan lebih mudah dan sederhana. Variasi gaya pemaparan, kelihatannya tidak dapat dilepaskan dari ikhtiar para penulisnya agar kitab-kitabnya dapat berfaidah, baik karena menarik dan mudah difahami, atau karena memberikan informasi atau pengetahuan yang lebih banyak. Dalam semangat seperti itulah maka rupanya kitab kuning juga memiliki variasi dalam format penyajiannya. Bila dikaji dari Format penyajian, maka Kitab Kuning dibagi menjadi : 1. Kitab Matn Kitab matn pada dasarnya adalah kitab asal atau kitab inti. Sebetulnya nama matn itu baru terjadi ketika pada kitab itu dilakukan pengembangan, baik menjadi syarh maupun dalam bentuk hasyiah. Karena itu kitab matn dapat berupa kitab natsr maupun kitab nadzm. Contoh kitab kuning yang termasuk kelompok ini adalah: kitab matn alAjurumiyah, matn Taqrib, matn Alfiyah, Shahih Bukhari, al-Jami al-Shahih karya Imam Muslim dan seterusnya. 2. Kitab Syarh atau Hasyiyah Kitab jenis kedua ini merupakan kitab yang secara khusus mengulas, memberi komentar atau memperluas penjelasan dari suatu kitab matn. Kitab syarh adalah kitab perluasan (komentar) tingkat pertama, sedangkan kitab yang memperluas lebih lanjut kitab syarh disebut hasyiah. Kitab kuning yang masuk ke dalam kelompok syarh misalnya adalah kitab Asymawi yang menjelaskan lebih jauh isi teks kitab alAjurumiyah, kitab Hall al-Maqal min Nadzam al-Maqshud yang memberi komentar dan

35

penjelasan atas kitab al-Maqshud, Dahlan Alfiyyah yang mengomentari Alfiyah ibn Malik serta kitab Kaylani yang mengulas kitab al-Izz dan kitab al-Iqna yang mensyarah kitab al-Taqrib. Dapat dikategorikan hasyiah ialah al-Shabban yang merupakan komentar dari al-Asymuni, karena yang terakhir ini sesungguhnya merupakan kitab komentar atas Alfiyah Ibn Malik. Kitab kuning secara umum ditulis dengan menggunakan format (lay out) yang terdiri dari dua bagian: matn dan syarh. Matn merupakan teks inti dari sebuah kitab yang ditulis pada bagian pinggir (margin) sebelah kanan dan kiri. Sedangkan syarh merupakan teks penjelas atau komentar terhadap matn yang terletak di bagian dalam atau tengah dari setiap halaman kitab. Karena sifatnya sebagai penjelas, maka teks syarh lebih banyak dan panjang dari teks matn. Pemisahan antara teks matn dan syarh dilakukan dengan memberi tanda kurung yang membingkai teks syarh, sedangkan matn berada di luar kurung bingkai ini. Akan tetapi, pola penyajian seperti ini tidak berlaku secara keseluruhan. Pada beberapa kitab lain, penyajian materi dibedakan antara teks matn dan teks syarh ke dalam kitab sendiri-sendiri tidak disatukan dalam satu kitab sebagaimana pola penyajian yang dilakukan di atas. c) Kitab Mukhtashar Kitab Mukhtashar adalah kitab kuning yang menyajikan materinya dengan cara meringkas materi suatu kitab yang panjang lebar untuk dijadikan karangan singkat tetapi padat. Karena sifatnya yang demikian, kitab ini dengan kata lain merupakan kitab ringkasan yang hanya memuat pokok-pokok masalah. Kitab kuning yang termasuk kelompok ini misalnya adalah kitab Alfiyah ibn Malik yang merupakan ringkasan dari

36

kitab al-Kafiyah, atau kitab Lubb al-Ushul yang meringkas kitab Jam al-Jawami karya as-Subki. Atau karya paling akhir dari jenis ini ialah Mukhtashar Ibn Katsir karya Ali al-Shabuni yang merupakan ringkasan dari kitab tafsir Ibn Katsir. Dengan melakukan ringkasan ini, hal lain yang biasanya dilakukan ialah menyederhanakan kalimat, memperbaharui istilah, menyaring informasi atau melengkapi data. Adapun bila dilihat dari kandungan maknanya, kitab kuning dapat dibagi menjadi dua: pertama, kitab kuning yang berbentuk penawaran atau penyajian ilmu secara polos (naratif), seperti kitab kuning yang menyajikan materi sejarah, tafsir, dan hadits; kedua, kitab kuning yang menyajikan materi berbentuk kaidah-kaidah keilmuan seperti kitab-kitab yang membahas nahw, ushul al-fiqh, mushthalah al-hadits, dan sejenisnya. B. Penjenjangan Materi Pengajian Tidak seluruh kitab keislaman berbahasa Arab yang beredar di kalangan pesantren diajarkan kepada santri. Bahkan kebanyakannya merupakan bacaan para ustadz dan kyai, sebagai pengkayaan bahan aji. Adakalanya, sebagian kitab itu juga didiskusikan secara terbatas diantara mereka. Kitab-kitab yang diajarkan kepada santri itu bertingkat. Ada kitab yang disediakan untuk tingkat pemula (awwaliyah), ada yang untuk tingkat menengah (wustha), dan ada untuk tingkat tinggi (aly). Walaupun tidak selalu, tingkatan-tingkatan ini juga kadangkala ditentukan oleh pola penyajian kitab itu sendiri, yaitu pola matan, syarah, dan khasyiyah. Biasanya, kitab matan untuk tingkat pemula, syarh untuk menengah, dan hasyiah untuk tingkat tinggi. Namun, tidak selalu. Yang menjadi dasar ialah tingkat informasi atau kesulitan kitab itu sendiri. Pola lain

37

dalam penyajian kitab yang tampaknya memperkuat kecenderungan pembagian tingkatan itu ialah adanya kitab-kitab jenis muchtashar yang merupakan ringkasan dari kitab yang ada, mubassathah atau mutawassithah yang tampaknya berisai tambhan penjelasan, dan muthawwalah yang memberikan tambahan penjelasan yang lebih banyak, namun bukan syarah atau bukan pula khasiyah. Pembagian tingkat kitab pembelajaran itu sendiri dari sisi lain memang merupaka suatu kebutuhan dan usaha pedagogis untuk memenuhi keragaman tingkat kemampuan pembelajar, dalam hal ini santri. Adalah amat bagus bahwa judul dan jenis kitab yang beredar amat banyak. Hal itu memberikan banyak pilihan terhadap kitab-kitab yang hendak diaji untuk setiap tingkatnya. Sehingga sangat mungkin kitab yang diajarkan pada satu pesantren berbeda dengan yang diajarkan pesantren lain, walaupun dalam tingkatan yang sama. Catatan yang cukup menarik dalam sistem pembelajaran di pesantren ialah : Prtama, perpindahan dari satu tingkat ke tingkat yang lain, yaitu dari tingkat awwaliyah ke tinggkat wustha, dan dari wustha ke aly pada dasarnya terbuka luas. Sepenuhnya diserahkan kepada santri, atau secara negatif tidak terkontrol. Para kyai di pesantren biasanya hanya menyediakan pengajian atau balaghnya saja. Kedua, para kyai umumnya menjalankan sistim ijazah atau izin kepada santrinya untuk mengajarkan ilmu yang diperolehnya kapada orang lain. Umumnya, ijazah itu diberikan kepada santri yang diketahui rajin dan diyakini berkemampuan serta mengikuti balag-nya dari awal hingga akhir. Bagi kyai, sistem ini sebetulnya merupakan penerapan belajar tuntas, dalam pengertian bahwa seorang santri diharapkan menyelesaikan dulu secara

38

tuntas sebuah kitab, sebelum ia diperkenankan pindah ke kitab lainnya yang setingkat atau lebih tinggi. Sebetulnya sistem ini pulalah yang memberikan mekanisme kontrol diri kepada para santri untuk tetap pada tingkatnya atau melanjutkan ke tingkat di atasnya. Ketiga, pembelajaran di pesantren selalu menjaga keterkaitan materi pada suatu mata aji dengan mata aji lainnya. Inilah yang sekarang dikenal denga prinsip korelasi. Misalnya, apa yang diajarkan dalam ilmu Fiqh tidak dilepaskan dari hubungannya dengan akhlaq atau dengan aqidah. Dengan demikian, nuansa komprehensif dari pengetahuan santri bisa terpelihara. Namun, perlu diakui bahwa dengan sistem liberal, pesantren dalam hal pemilihan bidang aji dan penjenjangannya, seperti tergambar di atas, sering terjadi sebuah kesenjangan kemampuan yang cukup merugikan santri sendiri. Sering terjadi, seorang santri telah mencapai tarap tinggi dalam pengetahuan tertentu, namun ternyata masih berada pada kemampuan tingkat awal pada pengetahuan dasar-dasar metodologisnya. Misalnya seorang santri berada pada tingkat tinggi dalam fiqih, tetapi penguasaan terhadap ilmu-ilmu mantiq, ushul fiqh dan qawaid fiqh masih berada di tingkat awal. Sebagai akibatnya, penguasaan atas materi fiqh itu lalu bersifat mekanistik atau hafalan saja, dan kurang mampu untuk dihadapkan pada situasi yang berbeda dan berubah di lapangan kehidupan nyata. Hal serupa sangat mungkin terjadi dalam bidang aji Tafsir ataupun Hadits. Pada pesantren yang telah lebih maju, hal tersebut telah dicoba diatasi dengan pengaturan dan kontrol program setiap individu santri, atau dengan penetapan kurikulum yang harus ditaati oleh setiap santri. Kalau diikuti latar belakang historis dari penjenjangan pengajian di pesantren,

39

maka beberapa pendekatan biasanya menjadi bahan pertimbangan untuk memperoleh susunan materi pembelajaran yang mudah diterima para santri: Penggunaan kategorisasi yang diterapkan pada teks-teks tersebut, sesuai dengan jenjang yang diakui selama ini. Kalau materi pelajaran Fiqh sebagai contohnya, maka pokokpokok yang dikandung oleh teks-teks Matn Taqrib menjadi materi untuk tingkat dasar, teks dari Fath al-Qarib dan Fath al-Muin menjadi materi untuk tingkat menengah serta al-Muhhalla menjadi materi untuk tingkat tinggi. Pendekatan sosio-historis, dalam pengertian bahwa pembahasan sebuah topik aji diberikan pembahasan latar belakangnya secara tuntas, misalnya dalam bentuk asbabun nuzul, hikmah tasyri dan seterusnya. Walaupun masih perlu pengolahan, apa yang disajikan dalam tafsir-tafsir klasik bil matsur sudah mengarah demikian. Pendekatan studi kasus atau faktual. Pendekatan ini sesungguhnya merupakan

pendekatan yang umum dipakai di pesantren. Dengan pendekatan ini kejadian-kejadian yang terdapat dalam realitas kehidupan mendapatkan pembahasan secara tuntas dari berbagai bidang aji. Pendekatan kemasyarakatan yang jelas yaitu dengan jalan senantiasa dikemukakan dampak sosial dari setiap kegiatan seorang muslim dalam menunaikan kewajiban agama. Kerangka ini biasanya menjadi penunjang bagi semua pendekatan di atas C. Materi pembelajaran Dalam pelaksanaan kurikulum ini perlu diperhatikan hal-hal yang

memungkinkan pendidikan di benar-benar efektif dan efisien. Adapun hal-hal tersebut

40

adalah sebagai berikut : 1. Fleksibilitas Program Pembelajaran Fleksibilitas Program digunakan dalam melaksanakan kurikulum. Ustadz/guru memperhatikan santri (kecerdasan, kemampuan, pengetahuan yang telah dikuasai), metode-metode mengajar yang akan digunakan disesuaikan dengan sifat bahan pengajaran dan kematangan santri, bahan pengajar sesuai dengan kemampuan santri. Dalam penyampaian bahan pelajaran, contoh-contoh yang digunakan oleh Ustadz/guru ketika menerangkan sebaiknya contoh yang pernah dialami, dilihat serta dirasakan santri. Dengan kata lain contoh itu terdapat dalam kehidupan santri sehari-hari. Unsurunsur yang demikian akan menimbulkan motif dan minat si santri untuk belajar, sehingga sifat kebosanan akan hilang. Misalnya, dalam pengajaran materi fiqh (seperti yang dipakai adalah Kitab Al-Umm karya Imam Syafii), dalam pengajaran bab pertama (Kitabut Thoharoh), pembelajaran akan lebih efektif apabila setelah menerangkan (baik menggunakan metode Bandongan atau tarjamah), santri langsung menyaksikan praktek Wudlu atau disuruh mencontohkan. Bahan pelajaran dan metode mengajar yang tidak sesuai dengan keadaan santri akan menimbulkan kontradiksi dalam diri santri, seolah-olah dirinya dipaksa untuk belajar. Jiwanya merasa tertekan. Keadaan demikian akan menimbulkan kejengkelan, kebosanan, sikap masa bodoh, sehingga perhatian dan minat tidak terpusat lagi kepada pelajaran yang diterangkan oleh Ustadz/guru, yang dapat menyebabkan kegagalan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Mungkin hal ini tidak menjadi masalah di bebrapa Madarasah Diniyah yang masih menerapkan pendekatan belajar adalah kasbul

41

Barokah (mencari berkah) sebagaimana yang didokrinkan dalam Kitab Talimul Mutaallim karya Az-Zarnuji. Tetapi di yang berorientasi kepada hasil belajar, maka perlu diperhatikan hal ini. Dalam hal Fleksibilitas Program mungkin dapat diupayakan suatu inovasi dari pada yang tersedia dalam susunan program Misalnya seluruh bahan pelajaran Tafsir (Biasanya Tafsir Jalalain , Shofwatut Tafasir, dan Tafsir al-Munir) jatah alokasi waktu I tahun dapat dituntaskan dengan belajar berturut-turut dan suatu konsentrasi waktu tanpa diselingi mata pelajaran lain. Yang penting bahan pelajaran tiap mata pelajaran dalam I tahun dapat diselesaikan dalam tahun yang sama. 2. Berorientasi Kepada Tujuan Sebagaimana telah diungkapkan di muka, bahwasannya Tujuan Pembelajaran (baik tujuan khusus maupun tujuan umum) di di Pondok-pondok tidak diungkapkan secara explisit dan terpola dalam formart GBPP (Garis-Garis Besar Program Pengajaran). Tujuan ini biasanya terdapat dalam bagian pendahuluan kitab yang akan diajarkan. Proses Pembelajaran harus berorientasi kepada Tujuan. Pemilihan kegiatankegiatan dan pengalaman-pengalaman belajar yang fungsional serta obyektif diperlukan kriteria yang jelas dan didasarkan pada ilmu pengetahuan dan perubahan masyarakat. Jadi sebelum menentukan waktu dan bahan pelajaran terlebih dahulu ditetapkan tujuantujuan yang harus dicapai oleh santri / murid dalam mempelajari suatu mata pelajaran (bidang studi). Proses identifikasi ini di dalam perumusan tujuan berlangsung dari tingkat yang umum (tujuan institusional) sampai kepada tujuan yang paling khusus

42

(tujuan pembelajaran khusus). Atas dasar pertimbangan di atas maka waktu yang tersedia harus benar-benar dimanfaatkan bagi pengembangan kepribadian santri sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan Madrasah Diniyah. 3. Efektifitas dan Efisiensi Tujuan utama menyelenggarakan di Pondok adalah pembentukan pribadi (character building), transformasi ilmu pengetahuan, dan pengkaderan Ulama. Karena banyaknya bahan pelajaran serta padatnya kegiatan yang menyita perhatian, energi dan waktu santri, maka penyelenggaraan poses pembelajaran harus diupayakan seefektif dan seefisien mungkin. Dalam menyusun jadwal pelajaran tidak boleh terlalu ketat berpegang pada alokasi waktu dalam susunan program. Misalnya bosan pengajaran yang dialokasikan perminggu dapat diselesaikan dalam waktu yang lebih singkat dengan sistim paket atau pesantren kilat pada hari Ahad. 4. Kontinuitas Dalam pelaksanaan kurikulum di pondok selalu diusahakan adanya hubungan hierarkis fungsional, yang harus diterapkan ketika menyusun program-program pengajaran dari Madrasah tingkat Awaliyah (Ula), Wustha dan `Ulya. Misalnya dalam satu mata pelajaran Aqidah Akhlak (menggunakan Kitab Akhlaq lil Banin, Taysir alKhallaq, al-Tahliyyah wa al- Targhib, Nadzam Aly al-Bari) yang mengandung pendekatan spiral, perluasan serta pengalaman suatu pokok bahasan dari tingkat pendidikan ketingkat berikutnya harus disusun secara berencana dan sistimatis. Para pelaksana (terutama Ustadz/guru) diharapkan dapat memahami hubungan fungsional

43

dan hierarkis antara mata pelajaran yang diberikan pada tingkat Awaliyah, Wustha, dan `Ulya tiap tingkatan. Kitab kuning sebagai materi kurikulum utama dalam proses pembelajaran di di Pondok Pesantren sering disebut al-kutub al-qadimah, al-kutub al-shafra atau "kitab kuning" karena biasanya kitab-kitab itu dicetak di atas kertas berwarna kuning, sesuai kertas yang tersedia waktu itu. Ciri lain dari literatur yang dipergunakan di pesantren itu ialah beraksara Arab Gundul (huruf arab tanpa harakat atau syakal). Al-kutub alqadimah itu jumlahnya sangat banyak. Akan tetapi, yang banyak dimiliki para kyai dan diajarkan di pesantren di Indonesia adalah kitab-kitab yang umumnya karya ulamaulama madzhab Syafii (Syafiiyyah). Judul kitab-kitab kuning yang beredar dikalangan kyai di pesantren-pesantren Jawa dan Madura jumlahnya mencapai 900 judul. Kitab-kitab kuning yang dipakai di di Pondok Pesantren bila dikelompokkan menurut materi (disiplin /cabang ilmu) dikelompokkan menjadi 11 bidang disiplin ilmu. Berikut ini adalah gambaran sekilas dari masing-masing bidang ilmu. 1. Bidang Aqidah / Ilmu Tauhid Aqidah diambil dari bahasa Arab, asal kalimat ialah aqada dipindahkan menjadi aqidah, artinya ikatan. Kalau telah ber-aqidah berarti hati manusia telah terikat oleh suatu kepercayaan atau pendirian. Secara bahasa, aqidah artinya mengikat tepi-tepi barang atau mengikatkan suatu sudut pada sudut lain. Jadi, timbulnya akidah didalam hati, ialah setelah lebih dahulu fikiran itu terbang dan kemudian lepas entah kemana. Tidak berujung dan tak tentu tempat hinggap. Kemudian dapatlah suatu kesimpulan pandangan, lalu menjadi keyakinan. Terikat tidak retak lagi. Sebab itu maka suatu

44

pendapat yang tidak timbul dari pertimbangan akal fikiran yang lantaran hanya taklid buta. Lantaran turut-turutan belumlah bernama aqidah. Orang yang beritikad didalam suatu perkerjaan tidaklah mau mengerjakan suatu atau menginggalkan suatu pekerjaan dengan tidak berfikir. Kesimpulan berfikir adalah itikadnya. Aqidah / Tauhid memiliki cabang-cabang yaitu Tauhidullah, Iman, Marifatullah, rezeki, Arasy dan Al-Haqq. Beberapa kitab yang biasanya diajarkan untuk tingkat Ula ialah: Aqidah al-Diniyyah, Tijan Darari. Matn al-Bajuri. Sanusiyah, Aqidat al-Awam, Khoridat al-Bahiyah, alDar al-Farid, Qatr al-Ghats. Sedangkan untuk tingkat menengah kitab yang dapat dan biasa diajikan adalah : Kifayat al-Awam, al-Jawahir al-Kalamiyyah, Umm al-Barahin. Adapun untuk tingkat tinggi sering diajarkan kitab-kitab seperti al-Husn al-Hamidiyah dan Fajr al-Shadiq. 2. Bidang Tajwid (Baca al-Quran) Tujuan dari pengajaran al-Quran di di Pondok adalah membentuk kemampuan membaca secara benar (fasih) dalam ucapan setiap hurufnya (Makhraj), dan jaudah (baik) dalam bacaan (persambungannya). Pada tingkat Ula (Awwaliyah) pengajaran membaca al-Quran itu diarahkan pada bacaan-bacaan yang ada dan diperlukan dalam shalat, khususnya surat al-Fatihah yang merupakan bacaan wajib dalam setiap sholat, dan surat-surat pendek yang ada dalam Juz Amma (Juz Tiga puluh). Kitab-kitab Tajwid yang biasa diajarkan: Syifa al-Jinan, Nadzam Hidayat al-Shibyan, atau Tuhfat al-Athfal. Kitab-kitab ini berisikan uraian-uraian tentang ilmu tajwid yang disajikan dalam bentuk syair sehingga guna memudahkan santri pemula dalam mengingatnya. karena biasanya syair-syair ini diucapkan dengan dilagukan sesuai selera santri itu.

45

Tujuan pengajaran pembacaan al-Quran pada Wustho (lanjutan) di Pondok Pesantren adalah santri dapat menjelaskan alasan-alasan mengapa suatu huruf dibaca demikian tetapi pada tempat lain dibaca beda, apa hukum bacaan tersebut serta berapa panjang nada bacaan itu dan seterusnya. Bahkan terkadang alasan-alasan yang diberikan santri harus didukung oleh dalil dari teks kitab tajwid tertentu. Hal ini dimaksudkan agar para santri tadi tidak hanya mampu memahami dan menerapkan pengetahuannya tentang tajwid ini untuk dirinya, akan tetapi mereka juga mampu mengajarkannya kepada orang lain kelak. Kitab-kitab Tajwid yang biasa menjadi bahan aji adalah: Al-Khoridat alBahiyyah, Hilyat al-Thilawah wa Zinat al-Ada wa al-Qiraat, Nadzam Jazariyyah, atau Siraj al-Qaari. Tujuan dari pembelajaran pembacaan al-Quran tingkat Ulya (tinggi) adalah agar santri yang telah menguasai pengetahuan tentang tajwid juga memiliki pengetahuan perbedaan-perbedaan pembacaan al-Quran menurut versi Imam yang tujuh. Kitab-kitab tajwid serta kitab Qira'at as-Sabah karya Imam Mujahid. 3. Bidang Akhlaq/Tasawuf Tujuan pembelajaran Akhlaq/Tasawuf adalah membentuk santri agar memiliki kepribadian muslim yang berakhlaq karimah baik dalam hubungannya dengan Allah atau hablum minallah (hubungan vertikal) maupun dalam hubungannya dengan sesama manusia, hablun minannass (hubungan horisontal) serta dalam hubungannya dengan alam sekitar atau makhluq lainnya. Dari itu, maka materi yang dipilih untuk diajarkan di pesantren ialah mengenai sifat-sifat mahmudah seperti pengendalian diri, sikap dan tatakrama sebagi pencari ilmu

46

yang akan berhubungan baik dengan guru maupun dengan ilmu itu sendiri, sikap dan tatakrama dengan orang tua atau sebagai orang tua, sikap dan tatakrama dengan teman sebaya, dengan yang lebih tua dan semisalnya, bahkan sikap dan tatakrama seorang isteri kepada suami dan sebaliknya, yang semuanya menyangkut kehidupan keseharian manusia. Tujuan pembelajaran akhlaq pada tingkat Ula / dasar adalah agar para santri memiliki akhlaq yang mulia ketika berhubungan dengan orang tua, teman sebaya, tentangga dan lingkungan sekitar. Kitab yang digunakan : Akhlaq lil Banin serta Akhlaq lil Banat, Taysir al-Khallaq, al-Tahliyyah wa al-Targhib, Nadzam Aly al-Bari. Kitabkitab ini pada dasarnya menyajikan materi pendidikan akhlaq yang meliputi pokokpokok akhlaq yang berhubungan dengan keluarga, tetangga dan lingkungan sekitar serta menumbuhkan sikap kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya. Pada di Pondok Pesantren tingkat Wustho (lanjutan) kitab yang digunakan : Talim al-Mutaallim, Bidayat al-Hidayah, Risalat al-Muawanah, Nashaih al-Ibad, Nashaih al-Diniyyah, al-Riyadh al-Badiah. Pelajaran akhlaq yang disampaikan oleh kitab-kitab itu menjelaskan tentang akhlaq kepada Allah, kepada Rasul-Nya, kepada orang tua, kepada sesama manusia, serta kepada sesama makhluq. Ini semua dilakukan karena dilandasi oleh kecintaan kepada Allah di atas kecintaan kepada segala-galanya. Di samping itu, pelajaran yang disajikan oleh kitab-kitab ini adalah memperdalam serta memperluas apa yang telah diberikan pada tingkat awal ditambah dengan hubungan kemasyarakatan serta pengenalan akan ajaran-ajaran tasawuf. Tujuan pembelajaran akhlaq untuk tingkat menengah adalah membentuk santri

47

yang ber-akhlaqul karimah dalam hubungannya dengan Allah, dengan sesama manusia serta dengan sesama makhluq yang dilandasi oleh karena kecintaannya kepada Allah Swt. Tujuan pembelajaran akhlaq/tasawuf pada tingkat tinggi adalah agar para santri memiliki wawasan akhlaq yang lebih menyeluruh dalam setiap aspek kehidupannya sehingga perilaku mereka dihiasi oleh akhlaq al-karimah yang dibimbing oleh hati yang suci. Kitab-kitab yang diajarkan adalah antara lain Kifayat al-Atqiya, Mauidzat alMuminin, al-Hikam serta Ihya Ulumuddin. Kitab-kitab ini tidak lagi hanya mengulas pelajaran akhlaq, tetapi lebih diwarnai oleh corak tasawufnya dan dengan penjelasanpenjelasan yang lebih filosofis. Tujuan pembelajaran akhlaq/tasawuf pada tingkat tinggi adalah agar para santri memiliki wawasan akhlaq yang lebih menyeluruh dalam setiap aspek kehidupan sehingga perilaku mereka dihiasi oleh akhlaq al-karimah yang dibimbing oleh hati yang suci. 4. Bidang Bahasa Arab (Nahwu Sharaf) Bahasa Arab yang diajarkan di di Pondok Pesantren terfokus kepada pengkajian ialah "ilmu alat" yang biasanya meliputi Nahwu, Sharaf, Balaghah, bahkan Manthiq (Logika). Pada tingkat Ula (awaliyah) di Pondok Pesantren pengajaran Nahwu dan Sharaf biasanya dimaksudkan agar santri mampu membuat (tashrif) kata-kata (kalam) Arab, dapat mengenali jenis-jenisnya, mampu memastikan ucapan (harakat) nya pada kedudukannya yang berbeda-beda dalam kalimat (jumlah), mampu mengenali dan

48

membuat jumlah (kalimat) yang berbeda-beda. Pada tingkat menengah dan tinggi tujuan yang diharapkan sama, hanya saja lebih detail dan lebih luas karena menyangkut variasi-variasi dan anomali-anomali kata dan kalimat yang ada dalam bahasa Arab. Ilmu Balaghah biasanya diberikan pada tingkat tinggi untuk mempertajam pemahaman terhadap makna kalimat dan mengenali keindahannya. Kitab-kitab wajib yang menjadi acuan utama kalangan pesantren untuk mempelajari bahasa Arab biasanya : Awamil, Ajrumiyyah, Fath nabb al-Bariyyah, Syarh Ajrumiyyah, Kaylani, Al-Bina wa al-Asas, Qawaid al-Ilal, Asymani, Amthilatut Tashrifiyah, Mutamminah, dan Qawaid al-Natstsar. Pada tingkat Wustho (lanjutan) kitab yang digunakan biasanya al-Qawaid al-Sharfiyyah, Nadzam Maqshud, Imrithi, dan Alfiyah ibn Malik. Dan pada tingkat Ulya (tinggi) kitab yang digunakan al-Jauhar al-Maknun (karya Abd. Rahman al-Anshori), Sullam al-Munawwaroq, dan Uqud alJuman (karya Jalaluddin As-Suyuthi). 5. Bidang Fiqih Seperti akhlaq, materi aji fiqih menyangkut segi-segi praktis dalam hubungan manusia dengan Allah (ibadah) maupun hubungan manusia dengan manusia (muamalah) dan makhluq yang lain. Bedanya, jika akhlaq memperhatikan hubungan itu dalam kontek batin atau kejiwaannya, maka fiqih lebih menonjolkan pada segi formal dan lahiriah hubungan tersebut. Materi pelajaran syariat Islam, atau fiqih biasanya dibagi menjadi : Ibadah (ibadah dalam arti sempit) Muamalat (tentang kerjasama antar manusia semisal jual beli dan lain-lain)

49

Munakahat (tentang pernikahan) Jinayat (tentang pelanggaran dan pembunuhan) Fiqh Ibadah biasanya diberikan pada tingkat Ula (awwaliyah), sedangkan muamalat diberikan pada tingkat Wustho (lanjutan). Tingkat tinggi biasanya materi yang diajarkan bab munakahat dan jinayat. Selain itu, pada tingkat tinggi biasanya dilakukan perluasan wawasan dengan menjangkau pula fiqih-fiqih dari berbagai madzhab. Kitab-kitab yang menjadi referensi utama untuk materi Fiqh adalah: Sullamul Munajat (Muhammad Nawawi), Safinat al-Najat (Muhammad Nawawi), Sullam atTaufiq (Muhammad Qasim al-Ghozi), Fath al-Qarib Safinat al-Shalah, Minhaj alQawim, Bahjat al-Wasiil, Umdat al-Salik, Tausyih ala ibn Qasim (Muhammad

Nawawi al-Jani), Fath al-Muin (Zaenuddin bin Abdul Aziz), Ianat al-Talibin (Sayyid Abu Bakr), Kifayat al-Ahyar (Imam Taqiyuddin Abu bakr, Fath al-Wahhab, al-Iqna (Abu yahya Zakariyya al-Ansori), al-Mahalli (Jalaluddin bin Ahmad al-Mahalli), Bidayat al-Mujtahid (Ibn Rusyd), al-Mizan al-Kubra (Abu al-Mawahib Abd.Wahab), al-Fiqh ala Madzahib al-Arbaah (al-Jaziri), al-Umm (Imam Syafii), dan al-

Muhadzdzab Fi Fiqh al-Imam Syafii (Abu Ishaq Ibrahim) 6. Ushul Fiqih Ushul Fiqh membahas dasar-dasar dan metode untuk menarik (istinbath) sebuah hukum. Fiqh pada tataran tertentu adalah produk, prosesnya dicakup dalam Ushul Fiqh ini. Tujuan Ushul Fiqh santri diharapkan dapat mengetahui proses bagaimana sebuah hukum dihasilkan, dari sejak menetapkan masalahnya, pencarian dasar-dasarnya,

50

penetapan alasan-alasannya, serta bagaimana alasan itu diolah hingga sampai kepada keputusan tertentu. Pada tingkat Ula (dasar) kebanyakan di pesantren belum memberikan materi ini. Pemberiannya pada tingkat menengah untuk menumbuhkan kesadaran bahwa sebuah hukum itu lahir dari sebuah proses pertimbangan dan pengolahan yang sistematis metodologis, sehingga dapat memahami dan mentoleransi adanya perbedaanperbedaan produk hukum, atau fiqh. Untuk tingkat menengah, selain mematangkan apa yang diperoleh pada tingkat pertama, biasanya ditingkatkan melalui perluasan wawasan dengan mengetengahkan secara intensif berbagai ragam proses pembuatan hukum. Di samping itu, pada tahap ini ditingkatkan kajian studi kasus, sehingga dengan demikian santri diharapkan mampu secara mandiri menetapkan hukum melalui proses-proses standard. Adapun buku-buku teks yang menjadi sumber materi Ushul Fiqh antara lain Waraqatal-Dimyathi ala Syarh al-Waraqat karya Ahmad bin Muhammad al-Dimyati, Ghayat al-Wushul karya Abu Yahya Zakaria al-Ansori, dan Faraid al-Bahiyyah karya Abu Bakr al-Yamani semuanya diberikan di tingkat Wustho (lanjutan). Pada tingkat Ulya (aliyah/tinggi) kitabnya : Tashil al-Thuruqat, Jam al-Jawami, Lathaif al-Isyarat karya Imam Tajuddin Abdul Wahab al-Subhi, dan Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusd. 7. Bidang Tafsir Tafsir pada santri pemula tetapi mulai diberikan kepada para santri tingkat menengah serta tingkat tinggi. Pesantren yang sudah mengajarkan tafsir untuk santri pemula biasanya hanya diberikan kitab tafsir "kecil" atau tipis halamannya. Tafsir untuk

51

tingkat dasar ini dimaksudkan hanya sebagai pengenalan bagi para santri. Dalam pengajaran tafsir, penekanan utama diberikan pada: Pertama, kemampuan mengetahui kedudukan suatu kata dalam struktur kalimat (irab) serta mengetahu dan membedakan makna mufradat (pengertian kata-kata) ayat-ayat al-Quran baik ditinjau dari segi morfem (sharaf) maupun persamaan makna katanya (muradif). Kedua, asbabun nuzul, makkiyah-madaniyah, serta nadikh dan mansukh suatu ayat. Ketiga, kandungan utama ayat itu secara tekstual maupun kotekstual sehingga santri menemukan relevansi ayat itu dalam realitas kehidupan. Keempat, perbandingan penjelasan makna ayat-ayat al-Quran dengan kitab tafsir lain. Kelima, pada beberapa pesantren tertentu kitab tafsir yang dibaca ditekankan pada kitab tafsir yang bercorak hokum (tafsir ahkam). Kitab tafsir yang menjadi pegangan santri untuk tingkat dasar pada beberapa pesantren tertentu di antaranya adalah tafsir Yasin. Kitab ini hanya menguraikan penafsiran terhadap ayat-ayat dalam surat Yasin dengan penjelasan singkat bahkan menyerupai pegertian kata-kata (mufradat) sehingga dilihat dari jumlah halamannya kitab ini sangatlah tipis. Sebagian pesantren bahkan menggunakan kitab tafsir yang telah disusun oleh kyai setempat, yang biasanya terdiri dari ayat-ayat terpilih dan telah diberi makna (diafsahi) dengan menggunakan bahasa daerah lokal, ataupun bahasa Indonesia. Untuk tingkat menengah (Wustho) kitab-kitab tafsir yang banyak dibaca adalah pilihan dari beberapa kitab tafsir, seperti Tafsir Jalalain, Shafwa al-Tafasir, Tafsir alMunir, dan tafsir-tarsir yang setingkat dengan itu. Tujuan pembelajaran tafsir pada tingkat menengah ini adalah agar para santri memiliki pengetahuan tentang makna ayat-

52

ayat al-Quran melalui pemahaman kitab-kitab tafsir hasil karya ulama baik yang klasik maupun moderen. Pada tingkat 'Ulya (Aliyah) atau tinggi biasanya kitab-kitab tafsir yang menjadi materi pembelajaran adalah Tafsir Showi, Tafsir Ibn Katsier, Tafsir Ayaat al-Ahkam, serta Tafsir al-Maraghi. Bahkan pada beberapa pesantren dipergunakan juga kitab tafsir yang bercorak tafsir bi al-ilm (ilmu pengetahuan/science) yaitu tafsir Thanthawi Jauhari. 8. Bidang Ulumul Quran Yang dimaksud dengan Ulumul Quran adalah ilmu-ilmu tenteng Al-Quran. Yaitu ilmu-ilmu yang dibutuhkan dan berguna untuk menafsirkan teks al-Quran. Topik-topik yang dibahas dalam ilmu ini antara lain: apa dan bagaimana al-Quran itu, syarat-syarat untuk menjadi mufassir, kaidah-kaidah menafsirkan al-Quran, metode menafsirkan al-Quran serta ilmu-ilmu lain yang berguna untuk mengenal, mengerti dan memahami teks-teks bahasa al-Quran yang bahasa Arab. Pada tingkat 'Ula (Awwaliyah) belum diberikan materi Ulumul Quran. Di tingkat Wustho, kitab-kitab yang diajarkannya biasanya kitab al-Itqan fi Ulum al-Quran karya imam Jalaluddin alSuyuthi. Tujuan pembelajaran pada tingkat Wustho adalah agar setelah mempelajari kitab-kitab di atas para santri memiliki pengetahuan dasar tentang ilmu-ilmu yang diperlukan untuk memahami makna al-Quran serta mengetahui pola struktur kalimat yang digunakan dalam al-Quran. Pada tingkat tinggi kitab-kitab yang bisa diajarkan antara lain adalah, Ilm alTafsir karya al-Nawawi, al-Tafsir wa al-Mufassirin karya al-Dzahaby, atau Asrar Tartib

53

al-Quran karya Jalaluddin al-Suyuthi. Tujuan pembelajaran Ilmu Tafsir pada tingkat ini biasanya ditekankan pada pemahaman dan penguasaan metodologi penafsiran, sehingga para santri nantinya mampu melakukan secara mandiri penafsiran yang benar dan memadai terhadap al-Quran. 9. Bidang Hadits Pengajian hadits di Ula bertujuan untuk memperkenalkan hadits dengan menonjolkan kandungan materinya. Materi yang dipaparkan biasanya juga merupakan materi-materi utama tingkat dasar pula, seperti tentang iman, tentang islam, ikhsan atau akhlaq-akhlaq utama. Oleh karena itu, hadits yang diangkatnya pun biasanya pendekpendek dan mulai dari shahabat, dengan tidak menampilkan silsilah sanad yang lengkap. Jika pun dari kitab yang tersedia dijumpai silsilah sanad yang lengkap, hal itu tidak lantas menjadi pembahasan. Jelasnya konsentrasi pengkajiannya terpusat pada matan dan dengan pembahasan yang sederhana saja, sesuai dengan kemampuan santri pada tingkat ini. Kitab-kitab yang banyak digunakan ialah: Tsalats al-Rasail karya Ustadz Abu Said al-Khadimi, Arba al-Rasail karya Ahmad Zaini Dahlan, maupun Arbain al-Nawawi karya Imam Nawawi. Pada tingkat Wustha, corak pengajaran hadits tampak lebih jelas. Perhatian kepada sanad hadits mulai ditekankan, begitu juga terhadap rijal al-hadits-nya, dengan tetap memberikan perhatian pada kandungan matan. Jadi tujuannya lebih meningkat dari tingkat awal. Adapun kitab-kitab yang biasa digunakan pada tingkat ini ialah Bulug al-Maram karya al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalani, dan Mukhtar al-Akhadits yang disusun oleh al-Sayyid Ahmad al-Hasyimi Bek.

54

Pada tingkat Ulya /Aly pengkajian hadits benar-benar telah memasuki tahap lengkap. Tujuannya adalah penguasaan lengkap terhadap hadits yang dipelajari, yang meliputi pengetahuan tentang sanad dan variasi sanadnya, sosok dan karakter perawinya, cara periwayatannya, serta matan dan variasinya, berikut asbab al-wurudnya dan materi kandungannya. Pada tingkat ini, kitab yang diharapkan dan sering dipakai ialah kitab-kitab hadits standard seperti Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Muwatha Malik, Subulus Salam, dan Riyadlus Sholihin. 10. Bidang Ulumul Hadits Ilmu-ilmu Hadits atau Ulumul Hadits adalah ilmu tentang seluk-beluk Hadits. Ilmu Hadits biasanya diberikan kepada santri tingkat Wustho atau lanjutan. Materinya meliputi seluk beluk hadits, dari mulai posisinya sebagai sumber hukum , sejarah penulisannya, kualitas dan jenis-jenisnyanyabaik dilihat dari segi matan, sanad, atau keduanya--, kitab-kitabnya, perawi-perawinya dan seterusnya. Pada tingkat tinggi, biasanya juga ditambah dengan keterampilan Takhrij al-Hadits, yaitu bagaimana menetapkan kualitas hadits berdasarkan metode-metode yang ada untuk menentukan status dan kualitas hadits. Kitab-kitab yang biasa dikaji adalah Minhat al-Mughits karya al-Hafidz Hasan al-Masudi, Ilm Mushtolah al-Hadits karya Abd. Qadir Hasan, Taisir Musthalah alHadits karya Dr. Mahmud al-Thahhan, Ulum al-Hadits wa Mustholahuh karya Dr. Subhi Shalih, Minhaj Dzawi al-Nadzar karya ulama Indonesia, Muhammad Mahfudz alTermasi, al-Manhal al-Latif fi Ushul al-Hadits al-Syarif karya al-Sayyid Muhammad alAlawy al-Maliky, dan kitab-kitab lain yang umumnya sepadan. Adapun kitab-kitab

55

takhrij yang dapat diajarkan untuk tingkat tinggi adalah: Thuruq Takhrij Hadits Rasulillah karya Abu Muhammad Mahdi ibn Abd. Qadir ibn Abd, Hadi, Ushul Takhrij wa Dirasat al-Asanid karya Dr. Mahmud al-Tahhan, Manhaj al-Muhadditsin fi Dhabt alSunnah karya Dr. Mahmud Ali al-Fayyad dan sebagainya. 11. Bidang Tarikh (Sejarah Islam) Tarikh atau sejarah Islam diajarkan di di Pesantren bertujuan untuk mengenal secara kronologis pertumbuhan dan perkembangan umat Islam semenjak masa Rosulullah hingga masa kehidupan Turki Ustmani. Pada tingkat, materi yang diberikan biasanya dibatasi hingga hanya pada masa Rasulullah. Kitab yang dipakai biasanya Kulasahoh Nurul Yaqin, Qishotiul Miroj, dan Durr Tarikh al-Islam. Sejarah pada masa Khulafa al-Rasyidin baru diberikan pada tingkat Wustho (Lanjutan). Pada tingkat tinggi, materi biasanya penekanannya tidak terbatas pada fakta sejarah, namun menjangkau makna di balik fakta itu. Kitab-kitab yang menjadi bacaan utama pada tingkat Wustho adalah Sirah ibn Ishaq, Nurul Yaqin, dan Siroh Nabawiyah.

56

BAB III MENGENAL METODE PEMBELAJARAN PESANTREN


Sebagai lembaga pendidikan, Pondok Pesantren walaupun dikategorikan sebagai lembaga pendidikan tradisional mempunyai sistem pengajaran tersendiri, dan itu menjadi ciri khas sistem pengajaran/metodik-didaktik yang lain dari sistem-sistem pengajaran yang dilakukan di lembaga pendidikan formal. Pengembangan KBM di Pondok Pesantren dalam bidang pendidikan pada dasarnya terdiri atas dua poros, yaitu pengembangan ke dalam (internal) dan keluar (external). Pengembangan internal terpusat pada upaya-upaya menjadikan kegiatan belajar mengajar lebih efektif, terutama dengan mengembangkan metode-metode pembelajaran. Ada beberapa metode pengajaran yang diberlakukan di pesantren-pesantren, diantaranya: Sorogan, weton/bandongan, halaqah, hafalan, Hiwar, Bahtsul Masail, fathul kutub, dan muqoronah. Metode-metode pembelajaran tersebut tentunya belum mewakili keseluruhan dari metode-metode pembelajaran yang ada di pondok pesantren, tetapi setidaknya paling banyak diterapkan di lembaga pendidikan tersebut. Berikut ini adalah gambaran singkat bagaimana penerapan metode dimaksud dalam sistem pembelajaran santri. A. Sorogan Sorogan, berasal dari kata sorog (bahasa Jawa), yang berarti menyodorkan, sebab setiap santri asisten kyai. menyodorkan kitabnya di hadapan kyai atau pembantunya --

57

Sistem sorogan ini termasuk belajar secara individual, dimana seorang santri berhadapan dengan seorang guru, dan terjadi interaksi saling mengenal di antara keduanya. Sistem sorogan ini terbukti sangat efektif sebagai taraf pertama bagi seorang murid yang bercita-cita menjadi seorang alim. Sistem ini memungkinkan seorang guru mengawasi, menilai dan membimbing secara seorang murid dalam menguasai bahasa Arab. Dalam metode sorogan, murid membaca kitab kuning dan memberi makna sementara guru mendengarkan sambil memberi catatan, komentar, atau bimbingan bila diperlukan. Akan tetapi, dalam metode ini, dialog antara guru dengan murid belum atau tidak terjadi. Metode ini tepat bila diberikan kepada murid-murid seusia tingkat dasar (ibtidaiyah) dan tingkat menengah (tsanawiyah) yang segala sesuatunya masih perlu diberi atau dibekali. Metode ini menyimpan beberapa kelemahan, di antaranya adalah ketika tidak terjadi dialog antara murid dan guru. Murid menjadi pasif. Kegiatan belajar belajar mengajar terpusat pada guru. Akhirnya, daya kreativitas dan aktivitas murid menjadi lemah. Dalam hal ini, guru tidak segera memperoleh umpan balik tentang penguasaan materi yang disampaikan. Maka, untuk hal yang terakhir ini, guru menyediakan sekurang-kurangnya waktu dan kesempatan kepada murid untuk ber-tanya. Metode sorogan merupakan kegaiatan pembelajaran bagi para santri yang lebih menitikberatkan pada pengembangan kemampuan perseorangan (individu), di bawah bimbingan seorang ustadz atau kyai. Pengajian dengan sistem sorogan ini biasanya diselenggarakan pada ruang tertentu di mana di situ tersedia tempat duduk seorang kyai maksimal kemampuan

58

atau ustadz, kemudian di depannya terdapat bangku pendek untuk meletakkan kitab bagi santri yang menghadap. Santri-santri lain, baik yang mengaji kitab yang sama atau pun berbeda duduk agak jauh sambil mendengarkan apa yang diajarkan oleh kyai atau ustadz kepada temannya sekaligus mempersiapkan diri menunggu giliran dipanggil. Pelaksanaannya dapat digambarkan sebagai berikut : Santri berkumpul ditempat pengajian sesuai dengan waktu yang ditentukan dengan masing-masing membawa kitab yang hendak diaji, Kyai atau ustadz masuk ke dalam ruang dan duduk ditempat yang disediakan. Sebelum menunjuk santri yang mendapatkan giliran, terlebih dahulu kyai membuka majelis dengan membaca basmalah, hamdallah, shalawat, lalu berdoa (adakalanya bersama) agar para santri mendapat kemudahan dalam menyerap ilmu dan seterusnya. Seorang santri yang mendapatkan giliran menghadap langsung secara tatap muka kepada gurunya. Ia membuka bagian yang kan diaji dan meletakkannya di atas meja yang telah tersedia di depan kyai atau ustadz, Kyai atau ustadz membacakan teks dalam kitab itu. Adakalanya dengan melihat teks, tetapi tidak jarang juga secara hafalan, khususnya pada kitab-kitab sederhana (tingkat awal). Kyai atau ustadz kemudian memberikan arti teks dengan menggunakan bahasa melayu atau bahasa daerahnya. Panjang atau pendeknya teks yang dibaca sangat bervariasi, tergantung perkiraan guru terhadap kemampuan santri. Santri dengan tekun mendengarkan apa yang dibacakan kyai atau ustadz, dan

59

mencocokkannya dengan kitab yang dibawanya. Selain mendengarkan, santri melakukan pencatatan atas: Pertama, bunyi ucapan teks Arab dengan melakukan pemberian harakat (syakal) terhadap kata-kata arab yang ada dalam teks kitab. Pensyakalan itu, yang sering juga disebut pendlabithan (pemastian harakat), meliputi semua huruf yang ada baik huruf awal, tengah, maupun akhir (irab). Kedua, menuliskan arti setiap kata yang ada dengan bahasa Indonesia atau bahasa daerah langsung bawah setiap kata Arab (diafsahi) dengan menggunakan huruf Arab pegon dengan berbagai pertambahannya, untuk disesuaikan dengan susunan kata dalam bahasa pengantar. Kata-kata penyesuaian itu, biasanya juga dicatat melalui perlambang seperti telah dicontohkan di atas. Namun demikian, ada pula kyai atau ustadz yang tidak menghendaki pencatatan demikian, melainkan semuanya harus diingat secara baik, Santri kemudian menirukan kembali apa yang dibacakan kyai atau ustadznya secara sama. Kegiatan ini biasanya diminta oleh kyai atau ustadz untuk diulang pada pengajian berikutnya sebelum dipindahkan pada pelajaran selanjutnya, Kyai atau ustadz mendengarkan dengan tekun pula apa yang dibaca santrinya sambil melakukan koreksi-koreksi seperlunya. Setelah tampilan santri dapat diterima, tidak jarang juga kyai atau ustadz memberikan tambahan penjelasan agar apa yang dibaca dapat lebih demengerti, Kyai menutup majelis dengan doa dan hamdallah, atau al-Fatihah, rerus salam. Bila jumlah santri sedikit, adakalanya kyai atau ustadz lalu bersalaman dengan santrinya.

60

Metode pembelajaran ini termasuk metode pembelajaran yang sangat bermakna, karena santri akan merasakan hubungan yang khusus ketika berlangsung kegiatan pembacaan kitab oleh dirinya di hadapan kyai atau ustadznya. Mereka tidak saja senantiasa dapat dimbimbing dan diarahkan cara pembacaannya tetapi juga dapat dievaluasi dan diketahui perkembangan kemampuannya. Dalam situasi demikian tercipta pula komunikasi yang baik antara santri dengan kyai atau ustadznya sehingga dapat meninggalkan kesan yang mendalam pada jiwa santri maupun kyai atau ustadz sendiri. Hal ini membawa pengaruh yang baik karena kyai semakin tumbuh kharismanya, santri semakin simpati sehingga ia berusaha untuk selalu mencontoh perilaku gurunya itu. Sekalipun kelihatannya hanya cocok untuk pemula, metode ini sesungguhnya dapat diterapkan untuk tingkat lanjutan bahkan tingkat tinggi sekalipun. Tentu saja dengan melakukan beberapa modifikasi. Untuk tingkat lanjutan, dapat saja yang mulai membaca adalah santri. Kyai atau ustadz hanya mendengarkan dan memperhatikan kefasihan, ketepatan ucapan, nada dan intonasi bacaan yang sekaligus menunjukkan tingkat pemahaman santri terhadap apa yang dibacanya. Kyai atau ustadz selanjutnya dapat langsung menjelaskan apa yang terkandung dalam teks yang dibaca tadi. Kyai atau ustadz dalam hal ini mempercayai kemampuan santri akan makna perkata atau bahkan perkalimat apa yang dibaca oleh santri sehingga tidak perlu lagi mengulang arti perkata seperti yang dilakukan pada tingkat awal. Pada tingkat tinggi, polanya bisa sama dengan pada tingkat lanjutan. Namun, di

61

sini santrilah yang diminta menjelaskan sendiri apa yang dapat difahaminya dari yang dibacanya, bila perlu dengan menggunakan bahasa Arab. Interaksi yang terjadi kemudian berbentuk munaqasyah antara santri dan kyai atau ustadz. Para kyia tertentu di beberapa pesantren sesungguhnya sudah lama menerapkan ini, namun biasanya sangat khusus dan diperuntukkan bagi mereka yang telah terpilih dianggap mampu untuk melakukan balagh pengajian tersendiri. Pada tingkat ini biasanya kyai secara khusus memberikan ijazah secara lisan yang dapat diartikan pula sebagai tanda perkenanan bagi sang santri untuk mengajarkan kitab yang disorogkan kyai atau ustadz kepada santri-santri yang lain. Tidak jarang dalam pemberian ijazah itu seorang kyai atau ustadz melengkapinya dengan silsilah (rangkaian) dari mana kitab itu dipelajari mulai dari dirinya, terus dari siapa yang menjadi gurunya, dan seterusnya secara berkesinambungan hingga sampai pada muallif (pengarang, penyususn) kitab itu. Kualitas otoritas guru yang ada dalam rangkaian silsilah itu akan memberikan bobot tersendiri terhadap kitab dan pembelajarannya. Ada beberapa hal yang dipersiapkan sebelumnya oleh kyai atau ustadz maupun oleh santri, yaitu: Penyusunan kurikulum yang berisi jenis materi pengajian (pembelajaran). Pada setiap tingkatan dengan berbagai macam nama-nama kitab yang menjadi bacaan / pegangannya.Santri dengan bimbingan ustadz memilih jenis kitab tertentu yang akan dipelajarinya. Pendataan nama-nama santri yang berada dibawah bimbingan seorang ustadz. Hal ini dilakukan untuk mendata tingkat aktivitas dan perkembangan kemampuan

62

santri untuk waktu berikutya. Santri menyiapkan kitab yang akan dipelajarinya beserta alat-alat tulis yang meliputi pena atau pulpen serta buku tulis yang berfungsi untuk mencatat hal-hal penting. Dalam pelaksanaannya, seorang kyai atau ustadz tidak secara ketat menentukan alokasi waktu yang diberikan untuk membimbing seorang santri. Ia hanya memberikan perkiraan berapa waktu yang disediakan untuk kegiatan pembelajaran masing-masing santri. Jika memang santri yang akan mengaji dalam waktu yang bersamaan jumlahnya banyak, maka ia akan membimbing dengan waktu yang lebih singkat untuk masing-masing santri. Demikian juga bila sebaliknya. Adapun langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut : Menciptakan situasi dan kondisi yag komunikatif antara santri dan kyai atau ustadz sendiri dalam kegiatan pembelajaran. Hal ini dimaksudkan agar kegiatan pembelajaran membawa hasil yang lebih baik, karena santri tidak akan segan-segan bertanya jika ada yang tidak jelas atau tidak dimengertinya. Dalam membaca dan menterjemahkan teks Arab gundul seorang kyai atau ustadz menyampaikannya secara perlahan dan menggunakan bahasa yang mudah untuk difahami oleh santrinya. Setelah membacakan dan menerjemahkan satu alinea atau satu topik tertentu sesuai keinginan dan pertimbangan kyai atau ustadz-, santri diminta membaca dan menerjemahkan teks yang telah di baca tadi. Ketika itu dilakukan pembetulan-

63

pembetulan apabila terdapat kekeliruan dalam pembacaan dan penerjemahannya. Setelah membaca dan menerjemahkan dengan benar, seorang kyai atau ustadz biasanya menanyakan atau meminta kepada santri untuk menjelaskan maksud dari teks yang telah dibaca tadi. Ini dilakukan untuk melatih daya tangkap (pemahaman) santri terhadap teks. Setelah santri menjelasakan, kyai atau ustadz biasanya sedikit mengulas apa yang telah difahami santri, serta menambahkan atau membetulkan apabila penyampaian santri ada hal-hal yang kurang atau keliru. Selain biasanya metode ini ditujukan untuk pemula, dalam keadaan tertentu metode sorogan juga dipergunakan untuk pembelajaran kepada santri khusus yang memiliki kemampuan untuk dididik menjadi ustadz, kegiatannya dilakukan melalui: Santri diminta untuk membaca teks kitab yang dipilihnya dengan mengurangi penggunaan harakat atau syakal. Ini dapat dilakukan karena mereka adalah para santri yang telah menguasai nahwu dan sharaf dengan baik. Mereka diminta untuk tidak akan memberi harakat pada setiap huruf dalam kalimat. Dhamir, isim tasniyah, jama mudzakkar salim dan jama muannats salim, demikian juga harakat-harakat panjang tidak lagi harus diberi syakal seperti yang dilakukan para santri pemula. Kepada para santri diminta juga untuk tidak memberi catatan pada teks kitab yang dibacanya dengan simbol-simbol (tanda-tanda) seperti biasanya. Kepada santri diminta untuk menjelaskan isi teks dengan menggunakan bahasa Arab yang benar Evaluasi dilakukan oleh kyai atau ustadz untuk mengetahui kemampuan santri dalam aspek pengetahan (kognisi), aspek sikap (afeksi), dan aspek keterampilan (skill)

64

terhadap materi pembelajaran yang tela diberikannya. Penilaian dilakukan di samping berguna untuk mengetahui tingkat

perkembangan kemampuan penguasaan santri juga berfungsi sabagai umpan balik (feed back) bagi seorang kyai atau ustadz untuk meninjau kembali cara-cara yang dilakukannya berkenaan dengan penggunaan suatu metode pembelajaran tertentu. Karena, keberhasilan pembelajaran kepada para santri amat ditentukan oleh kemampuan belajar santri dan kemampuan membimbing kyai atau ustadz. Untuk mengevaluasi kemampuan para santri dalam pembelajaran dengan menggunakan metode sorogan biasanya dilakukan kegiatan berikut: Santri diminta membaca dan menerjemahkan teks yang telah disampaikan oleh kyai atau ustadz pada pertemuan yang lalu. Jika seorang santri berhasil membaca dan menerjemahkan dengan baik, maka pelajaran yang baru dapat dilanjutkan. Akan tetapi, jika sebaliknya maka santri tadi diharuskan untuk mempelajari kembali (mengulang). Jika materi pembelajaran yang dipelajari dalam tatap muka yang telah dianggap telah dikuasai dengan baik oleh santri, kegiatan pembelajaran dapat dimulai dengan materi baru tanpa terlebih dahulu meminta santri untuk membaca dan menerjemahkan teks terdahulu. Dengan demikian, kegiatan evaluasi dapat dilakukan sewaktu-waktu, jika dalam perkiraan kyai atau ustadz diperlukan untuk mengecek mater-materi yang telah dipelajari beberapa pertemuan yang lampau. Penilaian dapat juga dilakukan pada saat seorang santri diminta untuk membaca dan menterjemahkan teks Arab gundul setelah dibacakan dan di terjemahkan oleh ustadz. Hal-hal yang biasanya diperhatikan dalam menilai tingkat kemampuan para

65

santri dengan menggunakan metode sorogan adalah: Pembacaan yang dilakukan oleh seorang santri apakah sudah benar dalam arti sesuai dengan aturan tata bahasa Arab baik pada tingkat kata (sharaf) maupun pada tingkat kedudukan suatu kata dalam struktur kalimat (nahwu) atau masih belum sesuai. Santri mampu menunjukkan kedudukan suatu kata dengan menggunakan ucapan simbolik tertentu melalui pola terjemahan kata demi kata disertai pelafalan simbol atau tanda oleh santri. Simbol atau tanda-tanda yang menunjukkan kedudukan kata dalam kalimat. Sebagai contoh dalam kasus bahasa Jawa, di antaranya yang sering muncul adalah: pengucapan lafal utawi berarti kata yang diucapkan sesudahnya berkedudukan sebagai mubtada atau sebagai subjek, pengucapan iki berarti kata yang dilafalkan sesudahnya itu berkedudukan sebagai khabar atau predikat. Pelafalan kata sopo menunjukkan bahwa kata yang disebutkan setelahnya itu berkedudukan sebagai fail atau pelaku, pengucapan kata ing menunjukkan bahwa kata yang diucapkan sesudahnya berkedudukan sebagai maful bih atau sebagai objek dan seterusnya. Pemahaman terhadap teks yang telah dibaca dalam bentuk uraian penjelasan atau kandungan teks setelah seorang santri menyelesaikan pembacaan sekian kalimat atau sekian paragraf Adapun untuk evaluasi akhir apabila telah menyelesaikan pembelajaran sebuah kitab tertentu, seorang kyai atau ustadz melakukannya dengan sistem acak. Kyai/ustadz

66

menyodorkan kepada santri yang akan diujinya sebuah kitab yang telah berhasil diselesaikan pembelajarannya, tetapi kitab ini adalah kitab yang masih bersih tanpa syakl dan catatan terjemahan. Kemudian santri tadi disuruh membaca dan menterjemahkan sekaligus dan menjelaskan isinya secara singkat pada baian-bagian tertentu yang dianggap penting (acak) B. Wetonan atau Bandongan Weton / bandongan, istilah weton ini berasal dari kata wektu (bhs. Jawa) yang berarti waktu, sebab pengajian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum dan atau sesudah melakukan shalat fardlu. Metode weton ini merupakan metode kuliah, dimana para santri mengikuti

pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai yang menerangkan pelajaran secara kuliah, santri menyimak kitab masing-masing dan membuat catatan padanya. Istilah weton ini, di Jawa Barat disebut dengan bandungan, merupakan adalah cara penyampaian kitab kuning di mana seorang guru, kiai, atau ustadz membacakan dan menjelaskan isi kitab kuning, sementara santri, murid, atau siswa mendengarkan, memberi makna, dan menerima. Dalam metode ini, guru berperan aktif sementara murid bersifat pasif. Metode bandongan atau wetonan dapat bermanfaat ketika jumlah murid cukup besar dan waktu yang tersedia relatif sedikit, sementara materi yang harus disampaikan cukup banyak. Pengajian di pondok pesantren dalam proses pembelajarannya menggunakan sistem pendidikan klasik. Sebagaimana yang berlangsung pada sebelum abad ke-12 M, tradisi pendidikan klasik menyelenggarakan pendidikan dengan sistem bebas. Bebas di

67

sini dipahami dengan kebebasan peserta untuk mengikuti pelajaran dan menentukan guru siapa saja. Ia boleh mengikuti pengajian itu berdasarkan kemauan dan minatnya masing-masing. Di pihak lain, guru menyelenggarakan pengajian secara masing-masing dengan membahas kitab sesuai dengan konsentrasi dan kemauannya. Pada sisi ini, pengajian pasaran sesungguhnya merupakan sistem pengajaran yang asli di dalam tradisi pendidikan Islam. Secara teknis, pengajian biasanya dimulai setelah shalat fardhu atau pada waktuwaktu yang ditentukan. Sang kiai melakukan pengajiannya dengan menggunakan metode bandongan. Setelah pengajian selesai dilaksanakan, sang kiai langsung menutup pengajian dan santri-santri pun pulang ke tempatnya masing-masing. Metode Bandongan disebut juga dengan metode wetonan. Pada metode ini berbeda dengan metode sorogan. Metode Bandongan dilakukan oleh seorang kyai atau ustadz terhadap sekelompok peserta didik, atau santri, untuk mendengarkan dan menyimak apa yang dibacanya dari sebuah kitab. Seorang kyai atau ustadz dalam hal ini membaca, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas teks-teks kitab berbahasa Arab tanpa harakat (gundul). Sementara itu santri dengan memegang kitab yang sama, masing-masing melakukan pendhabithan harakat, pencatatan simbol-simbol kedudukan kata, arti-arti kata langsung dibawah kata yang dimaksud, dan keteranganketerangan lain yang dianggap penting dan dapat membantu memahami teks. Posisi para santri pada pembelajaran dengan menggunakan metode ini adalah melingkari dan mengelilingi kyai atau ustadz sehingga membentuk halaqah (lingkaran} Dalam penterjemahannya kyai atau ustadz dapat menggunakan berbagai bahasa yang

68

menjadi bahasa utama para santrinya, misalnya : bahasa Jawa, Sunda atau bahasa Indonesia. Sebelum dilakukan pembelajaran dengan menggunakan metode Bandongan, seorang kyai atau ustadz biasanya mempertimbangkan hal-hal berikut; Jumlah jamaah pengajian adalah para santri yang telah menguasai dengan baik pembelajaran dengan menggunakan metode sorogan. Oleh karena itu, metode Bandongan biasanya diselenggarakan untuk para santri yang bukan lagi pemula, melainkan untuk para santri tingkat lanjutan dan tinggi. Penentuan jenis dan tingkatan kitab yang di pelajari biasanya memperhatikan tingkatan kemampuan para santri. Walaupun yang lebih aktif dalam pembelajaran dengan menggunakan metode ini adalah kyai atau ustadz, tetapi para santri dilibatkan keaktifannnya dengan berbagai macam cara, misalnya diadakan tanya jawab, santri diminta untuk membaca teks tertentu, dan lain sebagainya. Untuk membantu pemahaman para santri, seorang kyai atau ustadz terkadang mempergunakan pula alat bantu atau media pengajaran seperti : papan tulis, OHP, pengeras suara, peta, dan alat peraga lainnya. Sebelum dilakukan kegiatan pembelajaran, biasanya terlebih dahulu seorang kyai atau ustadz mempersiapkan apa-apa yang diperlukan sesuai dengan pemilikan metode pembelajaran, yaitu ; Memiliki gambaran mengenai tingkat kemampuan para santri guna menyesuaikan dengan bahasa dan penjelasan yang akan disampaikan. Merumuskan tujuan yang akan dicapai dari pemilihan kitab tersebut dan

69

tujuan pada setiap kali pertemuan. Menetapkan waktu yang diperlukan untuk pembacaan dan penjelasan, waktu yang diperlukan untuk memberi kesempatan kepada para santri untuk bertanya, dan waktu yang diperlukan untuk evaluasi pada setiap kali pertemuan. Mempersiapkan alat bantu atau alat peraga yang diperlukan pada pertemuan tersebut. Mempersiapkan catatan-catatan khusus tentang batas-batas materi yang akan disajikannya dan tentang penilaian kepada para santri. Mempersiapkan bahan yang dapat digunakan untuk perluasan pembahasan atau penambahan wawasan. Untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode bandongan biasanya dilakukan langkah-langkah berikut ini ; Seorang kyai menciptakan komunikasi yang baik dengan para santri, Memperhatikan situasi dan kondisi serta sikap para santri apakah sudah siap untuk belajar atau belum, Membaca doa baik secara sendirian atau bersama-sama santri, kemudian membukanya dengan mambaca basmallah dan shalawat. Seorang kyai atau ustadz dapat memulai kegiatan pembelajaran dengan membaca teks Arab gundul kata demi kata disertai dengan terjemahannya dan pembacaan ungkapan-ungkapan atau istilah-istilah khusus (seperti = utawi, iku, sopo, dsb) pada topik atau faslun (pasal) tertentu di sertai pula dengan penjelasan

70

dan keterangan-keterangan, Pada pembelajaran tingkat tinggi, seorang kyai atau ustadz terkadang tidak langsung membaca dan menerjemahkan. Ia terkadang menunjuk sacara bergiliran kepada para santrinya untuk membaca dan menerjemahkan sekaligus menerangkan suatu teks tertentu. Di sini kyai atau ustadz berperan sebagai pembimbing yang membetulkan apabila terdapat kesalahan dan menjelaskan bila ada hal-hal yang dipandang oleh para santri sebagai sesuatu yang asing, sulit atau rumit. Setelah menyelesaikan pembacaan hingga pada batas tertentu, seorang kyai atau ustadz memeberi kesempatan kepada para santri untuk menanyakan hal-hal yang belum jelas. Jawaban dilakukan langsung oleh kyai atau ustadz atau memberi kesempatan terlebih dahulu kepada para santri yang lain, Di akhir pengajian seorang kyai atau ustadz terkadang mengemukakan kesimpulan-kesimpulan yang dapat ditarik dari kegiatan pembelajaran yang telah berlangsung. Posisi pengajian para santri dengan menggunakan metode bandongan pada praktiknya dilakukan bermacam-macam, ada yang menggunakan bentuk lingkaran penuh seperti huruf O atau berbentuk setengah lingkaran seperti seperti huruf U atau berbentuk berjejer lurus dan berbanjar ke belakang menghadap berlawanan arah dengan kyai atau ustadz. Dari berbagai macam bentuk ini yang jelas para santri berkerumun dengan duduk bersila menghadap kyai. Pada beberapa pesantren metode ini telah diberdayakan dengan memberi peluang tanya jawab, diskusi, bahkan sebagian telah meninggalkan metode nahwa wa

71

al-tarjamah

dan menggantinya dengan langsung menggunakan bahasa Arab. Pada

keadaan demikian, kyai atau ustadz akan mempersilahkan salah seorang santri seniornya untuk membacakan teks bahasa Arab. Kyai atau ustadz kemudian menjelaskan langsung dengan menggunakan bahasa Arab. Selanjutnya bisa diberi ruang waktu untuk bertanya. Teknik bandongan seperti ini akhir-akhir ini diperkenalkan oleh kyai dan ustadz yang memiliki pengalaman belajar dengan teknik yang serupa di negara-negara Arab. Untuk mengevaluasi kegiatan pembelajaran di atas, seorang kyai atau ustadz biasa melakukannya melalui dua macam tes. Pertama, pada sela-sela tatap muka atau pada tatap muka tertentu. Kedua, pada saat telah dikhatamkannya pengkajian terhadap suatu kitab tertentu. Seorang kyai atau ustadz menilai berbagai aspek yang ada pada santri, baik aspek pengetahuan terhadap penguasaan materi kitab itu, atau perilaku yang mesti ditunjukannya sebagai hasil dari pengkajian materi kitab, ataupun keterampilan atau praktik tertentu yang diajarkan dalam kitab tersebut. Aspek pengetahuan (kognitif) dilakukan dengan menilai kemampuan santri dalam membaca, menterjemahkan dan menjelaskan. Aspek sikap (afektif) dapat dinilai dari sikap dan kepribadaian santri dalam kehidupan keseharian. Aspek keterampilan (skill) yang dikuasai oleh para santri dapat dilihat melalui praktik kehidupan sehari-hari ataupun dalam bidang fiqh, misalnya dapat dilakukan dengan praktik atau demonstrasi yang dilakukan oleh para santri pada halaqah tersebut. Untuk lebih memudahkan kegiatan penilaian, biasanya seorang kyai atau ustadz

72

memiliki juga catatan-catatan khusus atau memberikan perhatian khusus. Dengan demikian diharapkan para santri belajar secara sugguh-sungguh karena merasa diawasi dan di monitor perkembangan kemampuannya. C. Halaqoh Halaqah, sistem ini merupakan kelompok kelas dari sistem bandongan. Halaqah yang arti bahasanya lingkaran murid, atau sekelompok siswa yang belajar di bawah bimbingan seorang guru atau belajar bersama dalam satu tempat. Halaqah ini juga merupakan diskusi untuk memahami isi kitab, bukan untuk mempertanyakan

kemungkinan benar salahnya apa-apa yang diajarkan oleh kitab, tetapi untuk memahami apa maksud yang diajarkan oleh kitab. Bila dipandang dari sudut pengembangan intelektual, menurut Mahmud Yunus sistem ini hanya bermanfaat bagi santri yang cerdas, rajin dan mampu serta bersedia mengorbankan waktu yang besar untuk studi ini, sistem ini juga hanya dapat

menghasilkan 1 persen murid yang pandai dan yang lainnya hanya sebatas partisipan. Metode Halaqoh dikenal juga dengan istilah munazaharah yang dikembangkan dengan baik sekali oleh KH Mustain Romli dari Jombang. Metode ini dimaksudkan sebagai penyajian bahan pelajaran dengan cara murid atau santri membahasnya bersama-sama melalui tukar pendapat tentang suatu topik atau masalah tertentu yang ada dalam kitab kuning. Dalam metode ini, kiai atau guru bertindak sebagai moderator. Metode diskusi bertujuan agar murid atau santri aktif dalam belajar. Melalui metode ini, akan tumbuh dan berkembang pemikiran-pemikiran kritis, analitis, dan logis. Pelaksanaan metode ini, beberapa orang santri dengan jumlah tertentu membentuk

73

halaqah yang dipimpin langsung oleh seorang kyai atau ustadz, atau mungkin juga santri senior, untuk membahas atau mengkaji suatu persoalan yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam pelaksanaannya, para santri dengan bebas mengajukan pertanyaanpernyataan ataupun pendapatnya. Dengan demikian, metode ini lebih menitik beratkan pada kemampuan perseorangan didalam menganalisis dan memecahkan suatu persoalan dengan argumen logika yang mengacu pada kitab-kitab tertentu. Musyawarah dilakukan juga untuk membahas materi-materi tertentu dari sebuah kitab yang dianggap rumit untuk memahaminya. Musyawarah pada bentuk kedua ini bisa dugunakan oleh santri tingkat menengah untuk memebedah topik materi tertentu. Untuk melakukan pembelajaran dengan menggunakan metode musyawarah kyai atau ustadz biasanya mempertimbangkan ketentuan-ketentuan berikut : Peserta musyawarah adalah para santri yang berada pada tingkat menengah atau tinggi, Peserta musyawarah tidak memiliki perbedaan kemampuan yang mencolok. Ini dimaksudkan sebagai upaya untuk mengurangi kegagalan musyawarah, Topik atau persoalan (materi) yang dimusyawarahkan biasanya ditentukan terlebih dahulu oleh kyai atau ustadz pada pertemuan sebelumnya, Pada beberapa pesantren yang memiliki santri tingkat tinggi, musyawarah dapat dilakukan secara terjadwal sebagai latihan untuk para santri.

Langkah persiapan terpenting pada metode ini adalah terlebih dahulu memberikan topik-topik materi yang akan dimusyawarakan. Pilihan topik itu sendiri amat menentukan. Topik yang menarik umumnya mendapatkan respon yang baik dan

74

memberikan dorongan kuat kepada para santri untuk belajar. Penentuan topik secara lebih awal ini dimaksudkan agar para peserta dapat mempersiapkan diri jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan. Selain itu, juga disampaikan penjelasan tentang cara-cara yang dilakukan berkenaan dengan dipilihnya metode musyawarah. Sebagai permulaan, seorang kyai atau ustadz, atau salah seorang santri senior menjelaskan secara singkat permasalahan yang akan dibahas. Pada pesantren yang memiliki mahad aly (tahasus tingkat tinggi) penyaji adalah para santri yang telah disusun secara terjadual dengan topik tertentu untuk meyampaikan pemikiran-pemikiran atau persoalan-persoalannya. Para santri yang lain berfungsi sebagai penanggap yang berkesempatan untuk menanggapi apa yang disajikan oleh penyaji yang telah mendapatkan tugas. Dalam kegaiatan musyawarah ini, tanggapan, pertanyaan atau sanggahan dari para santri peserta musyawarah diarahkan langsung oleh kyai atau ustadz. Tangggapan dan jawaban balik dari penyaji dilakukan secara bergiliran setelah tanggapan dari peserta. Apabila terdapat kebuntuan, pimpinan musyawarah biasanya memberkan arahan-arahan atau pemecahan mengenai persoalan atau permasalahan tersebut. Kyai atau ustadz biasanya hadir ditempat untuk mengarahkan dan membimbing jalannya musyawarah dan agar santri tidak kabur dari kegiatan ini. Kegiatan penilaian dilakukan oleh seorang kyai atau ustadz selama kegiatan musyawarah berlangsung. Hal-hal yang menjadi perhatiannya adalah kualitas jawaban yang diberikan oleh peserta yang meliputi : argumentasi yang logis, ketepatan dan kevalidan referensi, serta ketepatan dan kejelasan bahasa penyampaian, serta kualitas

75

pertanyaan atau sanggahan yang dikemukakan. Hal lain yang dinilai adalah pemahaman terhadap teks bacaan, juga ketepatan peserta dalam membaca dan menyimpulkan isi teks yang menjadi persoalan atau teks yang menjadi rujukan. D. Hafalan atau Tahfizh Hafalan, metode hapalan yang diterapkan di pesantren-pesantren, umumnya dipakai untuk menghafal kitab-kitab tertentu, misalnya Alfiyah Ibn Malik atau juga sering dipakai untuk menghafal al-Qur`an, baik surat-surat pendek maupun secara keseluruhan. Biasanya santri diberi tugas untuk menghafal beberapa bait dari kitab alfiyah, dan setelah beberapa hari baru dibacakan di depan kyai/ustadnya. Hafalan adalah sebuah metode pembelajaran yang mengharuskan murid mampu menghafal naskah atau syair-syair dengan tanpa melihat teks yang disaksiskan oleh guru. Metode ini cukup relevan untuk diberikan kepada murid-murid usia anak-anak, tingkat dasar, dan tingkat menengah. Pada usia di atas itu, metode hafalan sebaiknya dikurangi sedikit demi sedikit, dan lebih tepat digunakan untuk rumus-rumus dan kaidah-kaidah. Dalam metode hafalan Para santri diberi tugas untuk menghafal bacaan-bacaan tertentu dalam jangka waktu tertentu. Hafalan yang dimiliki santri ini kemudian disetorkan dihadapan kyai atau ustadznya secara priodik atau insidental tergantung kepada petunjuk sebelumnya. Materi pembelajaran di pondok pesantren yang disajikan dengan menggunakan metode hafalan dapat menyangkut seluruh materi pembelajaran di pesantren. Materi juga dapat berbentuk esai atau nadzam. Dalam kegiatan pembelajarannya, seorang santri

76

ditugasi oleh kyai atau ustadz untuk meghafalkan satu bagian bacaan tertentu dari suatu kitab, atau keseluruhan teks dari suatu kitab, sekumpulan hadits, atau sekumpulan ayat al-Quran. Dengan demikian, titik tekan pada pembelajaran ini adalah santri mampu megucapkan atau melafalkan sekumpulan materi pembelajaran secara lancarr dengan tanpa melihat atau tanpa membaca teks. Pengucapan atau pelafalan itu dapat dilakukan secara perorangan dengan masing-masing menghadap (bertatap muka langsung) kepada gurunya ataupun dilakukan secara berkelompok, diucapkan secara bersama-sama pada waktu-waktu tertentu, baik secara khusus ataupun tidak. Seorang santri yang sudah dapat menghafalkan suatu teks tertentu dengan baik oleh gurunya biasanya dipersilahkan untuk menghafal teks kelanjutannya. Demikian seterusnya sampai target hafalan yang telah ditentukan berhasil dicapai. Metode hafalan ini dapat juga digunakan dengan metode sorogan atau metode bandongan, yaitu setelah para santri mendapat materi pelajaran tertentu dari sebuah kitab, santri tersebut disuruh menghafal teks yang telah dipelajari tadi untuk disetorkan (diucapkan secara hafal) pada pertemuan berikutnya. Metode hafalan ini termasuk yang banyak diterapkan oleh pesantren. Selain mengandung manfaat, metode ini merupakan beban berat bagi kebanyakan santri dan sering menyebabkan kurang berkembangnya kreativitas santri. Di banyak pesantren kelemahan ini telah banyak disadari, karena itu mulai menguranginya dan mengimbanginya dengan diskusi terprogram. Evaluasi kegiatan belajar para santri dengan menggunakan metode hafalan ini

77

biasanya dilakukan dengan dua cara. Pertama, evaluasi yang dilakukan pada setiap kali tatap muka dimana seorang santri menyetorkan kepada kyai atau ustadz tugas-tugas hafalannya. Jika ia hafal dengan baik, ia diperbolehkan untuk melanjutkan tugas hafalan berikutnya. Sebaliknya, jika ia belum berhasil, ia diharuskan mengulang lagi sampai lancar untuk disetorkan kembali pada pertemuan yang akan datang. Kedua, evaluasi setelah diselesaikannya seluruh tugas hafalan. Seorang kyai atau ustadz menugaskan seorang santri untuk mengucapkan bagian-bagian tertentu dari hafalan yang dimintanya, atau diminta melanjutkan kalimat atau lafadz yang diucapkan oleh gurunya tersebut. Evaluasi model kedua ini merupakan evaluasi dengan sistem acak. Jika dilihat dari sisi geneologi tradisi pendidikan, metode hafalan merupakan implikasi dari pola pemikiran ahl al-hadits dan dampak dari asumsi dasar tentang konsep ilmu sebagai apa yang diketahui dan tetap. Ada sebuah argumen yang diajukan untuk mempertahankan metode ini, yakni orang-orang yang hafal adalah argumen atas mereka yang tidak hafal. Beberapa metode diatas banyak diterapkan di pondok-pondok pesantren, dan antara metode yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan erat dan mempunyai kelemahan serta kelebihan masing-masing, sehingga pondok-pondok pesantren

sampai sekarang masih mempertahankan metode tersebut, dan itu menjadi lambang supremasi serta ciri khas metode pengajaran di Pondok Pesantren. Selain metode yang empat diatas (bandongan, halaqah, sorogan dan hafalan) di Pondok Pesantren juga mengenal metode-metode lain seperti Hiwar (musyawaroh), bahtsul masa`il, Hiwar, Fathul Kutub, Muqaranah, dan metode-metode lain yang banyak

78

di peraktekkan di di Pondok Pesantren. E. Metode Hiwar atau Musyawaroh Metode Hiwar atau musyawaroh, hampir sama dengan metode metode diskusi yang umum kita kenal selama ini. Metode ini banyak dijumpai di pondok pesantren salafiyah, salah satunya di Pondok Pesantren Kempek, Cirebon. Bedanya metode hiwar dilaksanakan dalam rangka pendalaman atau pengayaan materi-materi yang sudah di santrii (kitab-kitab kuning). Yang menjadi ciri khas dari hiwar ini, santri dan guru biasanya terlibat dalam sebuah forum perdebatan untuk memecahkan masalah yang ada dalam kitab-kitab (berbahasa arab) yang sedang di santrii. Hiwar biasanya disebut juga dengan istilah Musyawaroh. Kegiatan Hiwar atau musyawarah adalah merupakan aspek dari proses belajar dan mengajar di pesantren salafiyah yang telah menjadi tradisi khususnya bagi santrisantri yang mengikuti sistem klasikal. Kegiatan ini suatu keharusan bagi para santri, sama halnya seperti keharusan mengikuti kegiatan belajar kitab-kitab dalam proses belajar mengajar. Bagi santri yang tidak mengikuti atau mengindahkan peraturan kegiatan musyawarah, akan dikenai sangsi, karena musyawarah sudah menjadi ketetapan pesantren yang harus ditaati untuk dilaksanakan. Dalam hiwar, santri melakukan suatu kegiatan belajar secara kelompok untuk membahas bersama materi kitab yang telah diajarkan oleh kyai atau ustadz. Dalam belajar kelompok ini para santri tidak sebatas membahas topik / sub-sub topik bahasan kitab belaka, tetapi dapat dilakukan pembahasan secara luas lafadz demi lafadz, kalimat demi kalimat ditinjau dari gramatika bahasa Arab (ilmu alat) kemudian sampai dengan

79

bisa memahami arti/makna dan kesimpulannya. Oleh karenanya belajar dengan cara musyawarah dipandang sangatlah efektif dan relatif cukup berhasil sehingga sampai dewasa ini oleh pesantren salafiyah tetap dipertahankan. Disamping untuk memperdalam dan penguasaan materi pelajaran kitab-kitab yang telah diajarkan kyai terhadap para santri, musyawarah ternyata implikasinya sangat positif bagi pembentukan jiwa demokratis para santri da toleransi terhadap pendapat orang lain yang argumentatif. Kegiatan musyawarah ini umumnya dilaksanakan setelah jamaah sholat Isya hingga kurang lebih pukul 22.00 yang dimonitoring langsung oleh ustadz-ustadz / santri senior. Dalam kegiatan ini apabila santri menemui beberapa kesulitan bisa ditanyakan langsung pada ustadz yang memandu dan memonitoring itu, sehingga hampir semua permasalahan yang menyangkut pelajaran dari kitab yang telah diajarkan tersebut dapat terpecahkan dan kalau ternyata masih ada permasalahan yang tersisa belum bisa terpecahkan maka dapat dijadikan PR buat ustadz. Setelah menemukan jawabannya ustadz tersebut akan menyampaikan pada kegiatan musyawarah berikutnya. Dengan di akomodasinya metode ini, tidak semua pondok pesantren memasyarakatkannya sebagai metode yang dikembangkan dalam kegiatan belajar mengajar di di Pondok Pesantren. Sebab di sementara pondok masih ada dokrin-dokrin yang belum bisa di reformasi, seperti siswa/santri tidak boleh banyak bertanya, harus menundukkan wajah ketika berhadapan dengan guru, dan semacamnya. F. Metode Bahtsul Masa`il (Mudzakaroh) Metode Mudzakarah atau dalam istilah lain bahtsul masail merupakan

80

pertemuan ilmiyah, yang membahas masalah diniyah, seperti ibadah, aqidah dan masalah agama pada umumnya. Metode ini sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan metode musyawarah. Hanya bedanya, pada metode mudzakarah pesertanya adalah para kyai atau para santri tingkat tinggi. Mudzakarah (diskusi) ini dapat dibedakan menjadi dua macam : a) Mudzakarah yang diadakan sesama kyai atau ustadz. Pada tipe ini biasanya disediakan kitab-kitab besar yang merupakan rujukan utama dan dilengkapi dengan dalil-dalil dan metode istimbath (pengambikan hukum) yang lengkap. Tujuannya untuk memecahkan sesuatu masalah agama dan kemasyarakatan yang timbul atau sekedar untuk memperdalam pengetahuan agama, b) Mudzakarah yang diadakan antara sesama santri. Tujuannya untuk melatih para santri dalam memecahkan masalah dengan menggunakan rujukan-rujukan yang jelas dan melatih cara berargumentasi dengan menggunakan nalar yang lurus. Mudzakarah seperti biasanya dipimpin oleh seorang ustadz atau santri yang senior yang ditunjuk oleh kyai. Untuk melakukan pembelajaran dengan menggunakan metode mudzakarah kyai atau ustadz biasanya mempertimbangkan hal-hal berikut : Peserta mudzakarah adalah para kyai atau para santri tingkat tinggi yang dipersiapkan untuk menjadi ustadz, Mudzakarah yang diperuntukkan bagi santri, pesertanya telah betul-betul mempersiapkan diri. Ini dimaksudkan sebagai upaya untuk mengurangi kegagalan mudzakarah, Topik atau persoalan (materi) yang di mudzakarahkan biasanya ditentukan

81

oleh kyai pada pertemuan sebelumnya, Pada beberapa pesantren yang memiliki santri tingkat tinggi yang cukup, mudzakarah biasanya dilakukan secara terjadwal sebagai latihan bagi para santri. Langkah persiapan terpenting pada metode ini adalah menyiapkan dan pemberitahuan topik-topik atau materi yang akan dimudzakarahkan. Hal ini dimaksudkan agar jauhjauh hari para peserta sudah mempersiapkan diri. Selain itu, juga disampaikan

penjelasan tentang cara-cara yang akan dilakukan berkenaan dengan teknik yang akan dilakukan dalam mudzakarah. Pelaksanaan metode ini, mula-mula kyai menjelaskan secara singkat permasalahan yang akan dibahas. Pada pesantren yang telah memiliki mahad aly (tahasus tingkat tinggi) penyaji adalah para santri yang telah disusun secara terjadual dengan topik tertentu untuk meyampaikan pemikiran-pemikiran atau persoalanpersoalannya. Para santri yang lain berfungsi sebagai penanggap yang berkesempatan untuk menanggapi apa yang disajikan oleh penyaji tadi. Dalam kegaiatan mudzakarah ini, tanggapan, pertanyaan atau sanggahan dari para santri peserta mudzakarah dipimpin langsung oleh kyai atau ustadz. Tangggapan dan jawaban balik dari penyaji dilakukan secara bergiliran setelah tanggapan dari peserta. Apabila terdapat kebuntuan, pimpinan mudzakarah biasanya memberkan arahan-arahan atau pemecahan mengenai persoalan atau permasalahan tersebut. Kyai atau ustadz biasanya dengan tekun mengarahkan dan membimbing jalannya mudzakarah sehingga tidak melenceng dari tujuan. Kegiatan penilaian dilakukan oleh seorang kyai selama kegiatan mudzakarah

82

berlangsung. Hal-hal yang menjadi perhatiannya adalah kualitas jawaban yang diberikan oleh peserta yang meliputi : kelogisan jawaban, ketepatan dan validitas referensi yang digunakan, nalar dan bahasa yang ditampilkan, serta kualitas pertanyaan atau sanggahan yang dikemukakan. Hal lain yang dinilai adalah pemahaman terhadap teks bacaan, juga kebenaran dan ketepatan peserta dalam membaca dan menyimpulkan isi teks yang menjadi persoalan atau teks yang menjadi rujukan. Pada dasarnya Metode Bahtsul Masa`il mengacu kepada pemecahan masalahmasalah dalam hal fiqh (hukum Islam atau furu`iyah). Metode ini bisa digambarkan sebagai bentuk kegiatan belajar mengajar dalam sebuah forum (bisasnya di kelas atau masjid) yang dipandu oleh pembimbing / guru dan diikuti oleh santri-santri yang dianggap sudah menguasai kitab-kitab tertentu untuk memecahkan permasalahan kontemporer di sekitar hukum-hukum fiqh (termasuk di dalamnya ibadah). Metode ini biasanya diterapkan untuk pengajaran santri-santri yang sudah senior, dimana santrisantri tersebut sudah dianggap mampu atau menguasi kitab-kitab yang menjadi rujukan masalah yang akan di bahas. G. Metode Fathul Kutub Metode Fathul Kutub biasanya dilaksanakan untuk santri-santri senior yang sudah akan menyelesaikan pendidikan di (Pondok Pesantren). Pada dasarnya metode ini adalah metode penugasan mencari rujukan terhadap beberapa topik dalam bidang ilmu tertentu (Fiqh, Aqidah, Tafsir, Hadits, dll.) Kegiatan Fathul Kutub merupakan kegiatan latihan membaca kitab (terutama kitab klasik) untuk santri senior di pondok pesantren, sebagai wahana menguji

83

kemampuan merekasetelah memsantrii B. Arab. Santri diberi tugas untuk membahas persoalan-persoalan tertentu dalam akidah, fiqih, hadis, tafsir, tasawwuf, dll., serta kemudian membuat dan menyerahkan laporan tertulis mengenai hasil kajiannya kepada guru pembimbing. Termasuk dalam kegiatan ini adalah Fath al-Mujam, yaitu latihan dan ujian membuka kamus berbahasa Arab untuk meningkatkan ketrampilan dan kemampuan berbahasa Arab santri, terutama dalam menelusuri dan mencari makna kosa kata. H. Metode Muqoronah Metode muqoronah adalah sebuah metode yang terfokus pada kegiatan perbandingan, baik perbandingan materi, paham (madzhab), metode, maupun

perbandingan kitab. Metode muqoronah akhirnya berkembang pada perbandingan ajaran-ajaran agama. Untuk model metode muqoronah ajaran agama biasanya berkembang di bangku Perguruan Tinggi Pondok Pesantren (Ma`had `Ali) dikenal dengan istilah Muqoronatul Adyan. Sedangkan perbandingan paham atau aliran dikenal dengan istilah muqoronatul madzahib (perbandingan Mazhab). Saat ini, dengan diterapkannya sistem klasikal di Pondok Pesantren, yaitu dengan dikenalkannya sistem Madrasah, mau tak mau pengayaan metodologi tidak lagi sebatas yang sudah di kenal di kalangan Pondok. Hal itu disebabkan karena terpengaruh oleh perkembangan hidup modern yang menuntut orang maupun lembaga untuk

menyesuaikan diri dengan perkembangan tersebut. Karena itulah cara yang bisa ditempuh agar di Pondok Pesantren tetap bisa digandrungi oleh masyarakat. Artinya dengan memadukan pola pendidikan tradisional dengan pola pendidikan modern.

84

Pengembangan metode pendidikan saat ini sudah mulai mengenalkan metode-metode seperti tanya jawab , Diskusi, ceramah, penugasan, dan seterusnya. Metode metode ini tidak kami bahas dalam buku ini, mengingat metodologi tersebut sudah umum dan banyak dibahas di buku-buku metodologi pendidikan. I. Metode Muhawarah / Muhadatsah Metode muhawarah adalah merupakan latihan bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa Arab. Aktivitas ini biasanya diwajibkan oleh Pondok Pesantren kepada para santri selama mereka tinggal di Pondok Pesantren. Para santri diwajibkan untuk bercakap-cakap baik dengan sesama santri maupun dengan para ustadz atau kyai dengan menggunakan bahasa Arab pada waktu-waktu tertentu. Kepada mereka diberikan perbendaharaan kata-kata bahasa Arab atau Inggris yang sering dipergunakan untuk dihafalkan sedikit demi sedikit sehingga mencapai target yang telah ditentukan untuk jangka waktu tertentu. Setelah para santri telah menguasai banyak kosa kata, kepada mereka diwajibkan untuk menggunakannya dalam percakapan sehari-hari. Pada beberapa pesantren, bahasa asing yang dipergunakan sebagai alat komunikasi untuk para santri, tidak hanya menggunakan bahasa Arab tetapi juga bahasa Inggris. Sehingga percakapan sehari-hari yang dipergunakan santri adalah bahasa Arab dan Inggris. Di beberapa pondok pesantren lain, latihan muhawarah atau muhadasah ini tidak diwajibkan setiap hari, akan tetapi hanya satu kali atau dua kali dalam seminggu dan digabungkan dengan latihan Muhadlarah/Khitabah (Pidato). Pada pesantren ini latihan bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa asing, baik Arab maupun Inggris

85

hanyalah merupakan pelajaran tambahan (complementer) bukan pelajaran pokok. Dalam pembelajaran dengan menggunakan metode ini, dilakukan langkahlangkah berikut ini: Para santri diberikan buku panduan yang berisi daftar kosa kata dalam bahasa Arab (atau Inggris), contoh-contoh percakapan serta aturan-aturan lainnya, Kepada mereka diwajibkan untuk menghafal sejumlah kosa kata dari buku panduan tersebut. Biasanya diberikan target harian, Kegaiatan pembelajaran dilakukan secara kelompok atau klasikal dengan dipandu oleh seorang ustadz berdasarkan jadual yang telah ditentukan sebelumnya secara rutin. Biasanya satu minggu sekali, Ustadz melakukan tanya jawab dengan para santri dengan menggunakan bahasa Arab atau ustadz meminta dua orang santri atau lebih untuk memperagakan tanya jawab di hadapan teman-temannya secara bergiliran. Latihan percakapan dapat juga dilakukan dengan meminta para santri untuk mendiskusikan (musyawarah) topik tertentu dengan menggunakan bahasa Arab atau Inggris, Pada pesantren yang menjadikan bahasa Arab dan Inggris sebagai alat kominkasi sehari-hari latihan percakapan tidak hanya dilakukan di kelas dalam waktu terjadual, tetapi dilakukan di mana dan kapan saja selama mereka berada dalam lingkungan pesantren. Kepada mereka yang tidak menggunakan bahasa Arab atau Inggris dikenai sangsi tertentu sebagai alat pendidikan, Untuk meningkatkan motivasi santri, pesantren biasanya menciptakan

86

lingkungan bahasa asing itu. Misalnya, nama-nama benda dan tempat di lingkungan pesantren ditulis dengan menggunakan bahasa Arab atau Inggris itu. Untuk mengevaluasi kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode muhadatsah atau muhawarah ini dapat dilakukan dengan : Menilai kualitas jawaban santri ketika dilakukan tanya jawab dengan ustadz, Menilai percakapan para santri ketika mendemonstrasikan kemampuannya di hadapan teman-temannya, Mengamati percakapan para santri sewaktu kegiatan musyawarah dengan menggunakan bahasa Arab atau Inggris, Meminta santri untuk mengomentari kandungan teks kitab tertentu dengan menggunakan bahasa Arab atau Inggris.

87

BAB IV ISYU-ISYU PEMBAHARUAN PESANTREN


Pembaharuan pendidikan di kalangan pesantren sebenarnya sudah banyak dilakukan, setidaknya melalui sumbangan pemikiran atau pun usulan-usulan tertentu. K.H Wahid Hasyim, misalnya mengusulkan kepada ayahnya suatu perubahan radikal dalam sistem pengajaran di pesantren. Menurut K.H Wahid Hasyim sistem pengajaran di atas seharusnya diganti, dari sistem Bandungan diganti dengan sistem Tutorial, yang sistematis dan tepat diterapkan pada anak didik di suatu lembaga pendidikan sekarang ini. Tujuannya untuk mengembangkan inisiatif dan kepribadian para santri di pesantren dan murid-murid di sekolahan. Tapi usulannya tersebut tidak disetujui oleh ayahnya dengan dalih jika diterapkan akan menciptakan kekacauan antara sesama pimpinan pesantren, sehingga beliau mengusulkan untuk mendirikan Madrasah Nidzomiyah pada tahun 1934 dengan menempatkan pengajaran pengetahuan umum 70 % dari seluruh kurikulum Madrasah tersebut. Pada kesempatan yang lain K.H Mahin Ilyas dengan persetujuan K.H Hasyim Asyari memasukkan mata pelajaran umum, misalnya membaca, menulis huruf latin, ilmu bumi, sejarah dan bahasa Melayu di lembaga pendidikannya, sejak saat itu surat kabar berbahasa Melayu masuk pesantren. K.H Hasyim Asyari di anggap cukup konservatif, namun pembaharuannya dalam pesantren sempat menimbulkan reaksi yang cukup hebat, sejumlah orang tua memindahkan anaknya ke pesantren lain karena Tebu Ireng dianggap sudah terlalu

88

modern. H.A Mukti Ali mengatakan dalam masalah ini perlu adanya pembaharuan sistem pendidikan di pesantren. Perlu pemikiran yang integral sebagai suatu kemutlakan dalam mengarahkan pondok pesantren menjadi potensi pembangunan. Dalam hal ini perkembangan pesantren harus di sesuaikan dengan kebutuhan pembangunan. Beliau menunjuk nilai strategis pondok pesantren yang umumnya berada di desa, dan secara historis memegang peran penting dalam kebangkitan Nasional, juga untuk mempertahankan kemerdekaan yang sudah diraih oleh rakyat Indonesia. Harapannya agar pondok pesantren dapat lebih melihat pengalaman-pengalaman Islam di luar, baik soal-soal kurikuler maupun kelembagaannya, begitu juga pengalaman-pengalaman lembaga pendidikan keagamaan agama lain. A. KH. Imam Zarkasyi Pembaharuan yang dilakukan oleh Imam Zarkasyi di Pondok Pesantren yang dibinanya adalah meliputi : a. Metode dan Sistem Pengajaran Metode pengajaran sebenarnya merupakan hal yang setiap kali dapat berkembang dan berubah sesuai dengan penemuan metode yang lebih efektif dan efisien untuk mengejarkan masing-masing cabang ilmu pengetahuan. Meskipun demikian, dalam waktu yang sangat panjang pesantren secara agak seragam mempergunakan metode pengajaran yang lazim disebut dengan sistem Weton atau Sorogan sebagaimana dibahas di muka. Berbeda dengan sistem pengajaran pesantren yang berlaku di kebanyakan

89

pesantren KH Imam Zarkasyi dengan pendekatan "efisiensi waktu" dalam pengajaran, yakni biaya dan waktu yang dikeluarkan sedikit tetapi dapat menghasilkan produksi yang besar dan bermutu. Maka dieperlukan pembaharuan metodologi dan sistem pengajaran. Landasan efesiensi waktu ini kemudian dijadikan dasar dalam pembaharuan pesantren yang kemudian dalam bentuk nyata yaitu Pondok Modern Gontor. Bagi Imam Zarkasyi yang terpenting bagi lembaga pendidikan adalah pimpinannya atau kepala sekolah jika itu berbentuk sekolah, kemudian gurunya, karena guru adalah pelaku pendidikan, setelah itu cara atau metode pengajaran, sementara materi baru menduduki rengking berikutnya. Hal ini senantiasa didengungkan beliau pada acara perkenalan tentang pondok maupun acara-acara kuliah umum dihadapan santrinya. Menurut beliau ukuran dari suatu lembaga pendidikan itu bukanlah materi pelajarannya, materi pelajaran boleh sederhana, tapi dengan cara pengajaran yang baik akan menghasilkan hasil yang baik. Berangkat dari situ kemudian beliau mengadakan perubahan dalam cara mempelajari bahasa Arab, belajar bahasa Arab adalah untuk bisa membaca, menulis, mendengarkan dan mengucapkan,14 dengan alasan membekali kunci ilmu pengetahuan agama islam dan umum, maka pembaharuan yang pertama adalah dalam hal mempelajari bahasa, anak didik dicanangkan harus menguasai bahasa

sebagai kunci pengetahuan, dengan berbekal bahasa mereka bisa menggali sendiri ilmu pengetahuan untuk bekal hidup mereka, mereka bisa mengembangkan pengetahuan
14

Ini merupakan kriteria yang diakui para ahli pengajaran bahasa modern, dengan ungkapannya

bahasa yang tidak diucapkan sama dengan tidak dipelajari.

90

keagamaannya dengan merujuk sendiri kepada kitab-kitab referensi yang ditulis dengan bahasa Arab, sementara untuk pengetahuan umumnya para santri dipersiapkan dengan penguasaan bahasa Inggris. Untuk itulah pengajaran bahasa Arab maupun Inggris diorientasikan pada penguasaan keempat kemahiran bahasa di atas dengan mengutamakan praktek, parktek dalam berbicara, dalam mendengarkan, menulis baik menuliskan huruf maupun mengarang, serta membaca. Al-hasil pesantren menjadi semacam labolatorium bahasa alami dengan bahasa asing yang dipelajari sebagai bahasa komunikasi anatara sesama santri, guru dan kyainya. Untuk mewujudkan proses pembelajaran bahasa seperti itu didukung dengan menyediakan berbagai sarana dan prasarana, seperti ustadz yang siap ditanya kapan saja, berbagai kegiatan seperti latihan pidato dalam tiga bahasa Arab, Inggris, Indonesia, lomba teater dalam tiga bahasa, lomba baca puisi juga dalam tiga bahasa, penerbitan majalah dinding yang dikelola santri yang juga dalam tiga bahasa, serta latihan muhadatsah baik Arab maupun Ingris, dengan pendek kata semua kegiatan dipesantren mendukung pembelajaran bahasa dari ucapan, penglihatan maupun pendengaran. Repolusi pengajaran bahasa ini merupakan hasil dari suatu rencana yang panjang, yaitu jangan sampai usia habis hanya dipakai untuk menguasai kaidah bahasa atau gramatika saja, sementara tujuan pengarajan bahasa sebagai alat untuk mencari pengetahuan terabaikan, dengan langklah perbaikan metodologis pengajaran bahasa ini diharapkan "waktu" yang terbuang untuk menggeluti gramatika bisa dipakai untuk menggali pengetahuan agama dari sumbernya yang berbahasa Arab. Setelah itu diharapkan akan membukakan wawasan pengetahuan santri hingga mampu menjadi

91

"perekat ummat" sebagai agenda utama ummat Islam. Metode dan sistem pengajaran tersebut diterapkan dalam teori dan praktek yang tepat. Suatu contoh dalam hal berdisiplin, yang berlaku baik bagi santri maupun guru. Sehingga untuk santri yang bertindak sebagai pemberi sanksi adalah pengurus organisasi yang ditunjuk oleh Kiai untuk menindak mereka yang melanggar aturan tersebut. Guru pun demikian, bagi guru yang melanggar disiplin tersebut akan diberi sanksi di hadapan guru-guru yang lain pada acara pembinaan mingguan yang dikenal dengan kemisan. . Untuk mewujudkan teorinya tentang kepala sekolah dan guru sebagai sentral

aktivitas pendidikan KH Imam zarkasyi sangat ketat memperhatikan metodologi pengajaran, yaitu dengan memberlakukan fungsi kontrol atas penggunaan metode pengajaran, tugas guru sebelum mengajar yang paling utama adalah membuat rencanan pengajaran dan persiapan satuan pelajaran (Satpel) yang di Gontor dikenal dengan sebutan I'dad Tadris, bagi guru yang akan mengajar pada keesokan harinya harus membuat Idad (persiapan mengajar) tertulis, dimana guru akan menyerahkan Idadnya tersebut kepada guru yang lebih senior yang ditunjuk oleh pimpinan pesantren. Jadi guru dituntut untuk menguasai metodologi pengajaran, karena menurut Imam Zarkasyi bahwa penguasaan metodologi pengajaran lebih penting daripada penguasaan materi atau substansi itu sendiri yang dikenal dalam bahasa Arabnya At-Thariqah Ahammu Min al-Maddah.15
15

Disarikan dari ceramah-ceramah KH. Imam Zarkasyi (Kuliah Umum) dan pengamatan

penulis secara partisifatif, gambaran di atas tidak bisa dijadikan dasar untuk mengklaim bahwa Gontor

92

Perubahan yang dilakukan KH. Imam Zarkasyi bagaimanapun mata rantainnya dihubungkan dengan Prof. Mahmud Yunus, Imam Zarkasyi boleh dikatakan berhasil dalam menerapkan metode pengajaran bahasa tersebut karena melaksanakannya secara utuh. b. Kurikulum Pendidian Pesantren Kurikulum yang diterapkan oleh Imam Zarkasyi pada lembaga pendidikan

Pondok Modern (KMI) adalah kurikulum yang dicanang untuk pendikan dasar, artinya anak -anak dibekali cara ibadah sehari-hari dengan baik --biasa disampaikan dalam ceramah beliau-- dengan harapan output dari pesantren tersebut bisa beribadah, bisa beramal sholeh, dan bisa mengembangkan dirinya di masyarakat, mengembangkan pengetahuannya dengan bermodalkan bahasa baik pengetahuan umum maupun agama. Jadi tidak mengacu pada kurikulum Departemen Agama atau Departemen Pendidikan Nasional. Juga berbeda dengan kurikulum yang ada di pesantren tradisionil16. Sebagai contoh, di lembaga pendidikannya para santri diajarkan pemahaman ilmu Fiqh dari kitab Bidayatul-Mujtahid karangan Ibnu Rusyd di mana di pesantren tradisionil jarang diajarkan. Di pesantren lain diajarkan pendalaman ilmu Nahwu Sharaf dari kitab Alfiyah Karangan Imam Malik, tetapi di lembaga pendidikannya beliau memakai kitab kecil Nahwul-Wadhih yang banyak ikhtisar contoh-contohnya. Di

hanya mengajarkan bahasa, karena gambaran suatu sistem pesantren lebih merupakan pengalaman individu para penghuninya, dan tidak bisa diungkapkan lewat tulisan yang singkat ini.

16

Kini kurikulum KMI Gontor telah dikembangkan di tidak kurang dari 300 pesantren alumni

Gontor yang mneyebar di Indonesia dengan berbagai variannya.

93

lembaganya para santri diajarkan kitab Tafsir al-Manar karangan Muhammad Abduh di mana di pesantren lain jarang diajarkan kepada para santrinya. Di samping itu pula diajarkan ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan agama seperti : Bahasa Indonesia, Al-jabar, Matematika, Fisika, Ilmu tata buku (administrasi), Psikologi, Bahasa Inggeris dan Grammarnya, Geografi, Sejarah, dan lain sebagainya. Di samping mempelajari kitab Durusul-Lughah (dasar-dasar bahasa Arab), Mantiq, Nahwu Sharaf, Mahfudzat, Insya dan lain sebagainya yang berkaitan dengan pengetahuan ilmu agama. Berbeda dengan Zamakhsari Dlofir, Imam Zarkasyi tidak menganggap pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai elemen dasar dari tradisi suatu pesantren, tapi merupakan khazanah yang perlu dikaji untuk mengingat kembali zaman keemasan peradaban Islam dahulu kala. Di mana santri perlu diberi wawasan pengetahuan agama dan pengetahuan umum yang tak dapat dipisahkan satu sama lainnya untuk menghadapi era globalisasi di masa yang akan datang. Pemikiran pendidikan yang diterapkan oleh KH. Imam Zarkasyi dimulai sejak berakhirnya masa belajar beliau di berbagai tempat dari tahun 1935 hingga tahun wafatnya beliau, pada tahun 1985. Dalam benak Imam Zarkasyi timbul pemikiran tentang perpaduan pengajaran ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum, di samping penggunaan dua bahasa, Arab dan Inggeris dalam teori dan praktek, ketika beliau mendengar pemberitahuan dari pemerintah tentang seorang utusan/delegasi yang mampu menguasai dua bahasa sekaligus untuk dikirim ke suatu Pertemuan Kenegaraan. Sejak saat itu beliau mulai berfikir untuk menerapkan suatu pemikiran pendidikan yang mengarah ke masalah tersebut.

94

Pemikiran pendidikan

Imam Zarkasyi

sudah mendapat pengakuan dari

kalangan akademisi di Indonesia, di mana beliau pernah berjasa kepada agama, berupa lembaga pendidikan yang sudah diakui keberadaannya dan kepada negara di mana beliau pernah duduk dalam kepemerintahan pada Departemen Agama. Beliau meninggalkan peninggalan yang berharga yang akan menjadi amal jariah beliau di akhirat kelak.

B. K.H A. Wahid Hasyim dan Tebu Ireng a. Sekilas Tentang Tebu-ireng Tebu-ireng merupakan salah satu kiblat pesantren di Jawa bahkan Indonesia. Dari pesantren ini lahir Jamiyah Nahdhatul Ulama yang mengikat kyai dan umat Islam Indonesia. Tebu-ireng didirikan oleh K.H.Hasyim Asyari yang mula-mula belajar dibawah bimbingan ayahnya sendiri, kemudian melanjutkannya ke beberapa pesantren di Wonokromo Probolinggo, Bangkalan Madura, dan Siwalan Panji. Kyai Yakub, Pemimpin pesantren Siwalan mengambil K.H.Hasyim Asyari sebagai menantu dan kemudian dikirim ke Makkah untuk melanjutkan studi dan menetap disana selama tujuh tahun. Sekembalinya dari Makkah, K.H. Hasyim Asyari memilih untuk mendirikan pesantren di Tebu-ireng, desa yang dipandang hitam. Masyarakat Tebu-ireng terbiasa dengan perjudian, mabuk-mabukan, perzinahan, dan perampokan. Kondisi inilah yang menariknya untuk mendirikan sebuah pesantren. Hal seperti ini pun kemudian diikuti oleh murid-murid beliau. Pesantren ini tercatat

95

resmi tahun 1899 M / 1324 H. Pesantren Tebu-ireng sebagaimana pesantren lainnya memusatkan kegiatan akademiknya dalam bidang agama, terutama mata pelajaran hadist. Pengenalan mata pelajaran hadist sebagai objek studi di pesantren, menurut Martin Van Bruinessen merupakan inivasi baru dalam dunia pendidikan pesantren. Van den berg seperti dikutip Martin dalam penelitiannya tentang kitab-kitab yang digunakan di pesantren pada abad ke-19 tidak mencantumkan kitab hadist. K.H.Hasyim Asyari seorang ulama yang pertama kali memperkenalkan dan mengajarkan mata pelajaran tersebut. Salah seorang gurunya Kyai Khalil Bangkalan, sering hadir mengikuti halaqah hadist yang sampaikannya. Dalam sistem pengajaran, pesantren Tebu-ireng mulai sejak berdirinya tahun 1899 sampai tahun 1916 memakai sistem sorogan dan bandongan sebagai metode utama dalam mentransformasi ilmu. Kesamaan mata pelajaran dan metode pengajaran tidak bisa lepas dari kebersamaan pemimpin pesantren dalam menuntut ilmu dari berbagai ulama di berbagai pesantren di tanah air dan tanah suci. Namun demikian bukan berarti mereka tidak mau mengadakan perubahan dalam bidang studi maupun metode yang digunakan. Setelah tahun 1916, pesantren Tebu-ireng menggunakan metode musyawarah yang dikembangkan di kalangan santri senior dalam rangka memperdalam pengetahuannya serta menumbuhkan sikap kritis pada para santri. Mereka diberi kebebasan dalam mengajukan argumen terhadap suatu masalah yang diajukan serta berdebat, dengan syarat ada rujukan dari berbagai sumber, terutama karya-karya Imam

96

Syafii dalam masalah fiqih. Metode musyawarah yang dikembangkan K.H.Hasyim Asyari di pesantren Tebu-ireng sangat efektif dalam proses belajar mengajar para santrinya, sehingga banyak santri mejadi ulama dan akhirnya memimpin pesantren, seperti : Kyai Manaf Abdul Karim (Lirboyo, Kediri), Kyai Abbas (Buntet Cirebon), Kyai Asad Syamsul Arifin (Asembagus, Situbondo), Kyai Jazuli (Ploso, Kediri), Kyai Zubair (Reksosari, Salatiga), dan banyak lagi yang lainnya. Prakarsa pembaharuan pendidikan pesantren Tebu-ireng datang dari murid dan putranya, yaitu K.H.Muhammad Ilyas, dan Wahid Hasyim putra beliau sendiri. Pada tahun 1916, Kyai Masum menantu K.H.Hasyim Asyari , dengan dukungan Wahid Hasyim, memasukkan sistem madrasah ke dalam sistem pendidikan pesantren. Pada tahun 19Tiga tahun berikutnya kurikulum madrasah tersebut ditambah dengan pendidikan umum, seperti : Bahasa Indonesia (Melayu), Matematika, dan ilmu Bumi. Pada tahun 1926, K.H . Muhammad Ilyas memasukkan pelajaran bahasa Belanda dan sejarah kedalam kurikulum madrasah atas persetujuan K.H.Hasyim Asyari. Pembaharuan pendidikan pesantren Tebu-ireng menimbulkan reaksi yang cukup hebat dari masyarakat dan kalangan pesantren, sehingga sejumlah orang tua memindahkan anak-anaknya ke pesantren yang lain, karena pesantren Tebu-ireng sudah dianggap sudah terlalu modern. Reaksi tersebut tidak menyurutkan proses pembaharuan pesantren Tebu-ireng. Hal tersebut terus berlangsung dan dilanjutkan oleh Wahid Hasyim dengan mendirikan madrasah modern di lingkungan pesantren. b. Pemikiran Wahid Hasyim tentang Pendidikan Pondok Pesantren

97

Umat Islam yang mulai menyadari akan kelemahan dan keterbelakangannya di abad 20, mulai berusaha mengadakan pembaharuan dalam segala bidang kehidupan, untuk mengejar ketinggalan dan keterbelakangan mereka, termasuk usaha-usaha dalam bidang pendidikan, maka muncullah para pembaharu dalam dunia Islam seperti : Abdullah bin Abdul Wahab, Jalaluddin al-Afghani, Rasyid Ridha, Muhammad Abduh, dan lainnya. Gerakan pembaharuan di dunia Islam berpengaruh pula ke Indonesia. Hal ini mempengaruhi pemikiran Wahid Hasyim dalam memperbaharui sistem pendidikan pesantren. 1. Aspek Tujuan Pada tahun 1993, Wahid Hasyim kembali ke Indonesia, ia mulai terjun dalam dunia pendidikan, yaitu di pesantren Tebu Ireng. Secara berhati-hati ia menyusun dan mengembangkan ide-ide tentang pembaharuan pendidikan Islam. Disamping itu ia juga mengadakan perjalanan untuk mengadakan studi comparative tentang berbagai model pendidikan yang sedang berkembang di lingkungan pesantren maupun sekolah-sekolah umum yang dikelola oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Studi comporative tidak hanya dilakukan didalam negeri, bahkan ia mengadakan studi cooperative ke luar negeri, terutama di negara-negara Islam Timur Tengah. Disamping itu ia mempelajari literatur yang ada kaitannya dengan masalah yang sedang dihadapi. Dengan demikian ia banyak menggunakan waktunya untuk membaca bukubuku, majalah, dan surat kabar yang mendukung perjuangannya. Majalah dan surat kabar yang ia baca, antara lain : Penyeber Semangat, Daulat Rajat, Pandji Pustaka, Umul Qurra, Sautul hijaz, al-Lataif al- Musyawarah, Kullu

98

Syaiin wal Dunya, dan al-Istnain. Ketiga majalah Indnesia tersebut diterbitkan oleh kalangan nasionalis, sedang kelima majalah Arab di atas diterbitkan di Timur Tengah. Adalah sangat menarik diperhatikan disini bahwasannya sejak muda ia telah melibatkan diri dengan pola pikir dari kelompok masyarakat dan golongan yang lebih luas. Hal ini memudahkan kita untuk memahami mengapa ia mengadakan rekonstruksi terhadap sistem pendidikan pesantren. Dalam mengadakan perubahan terhadap sistem pendidikan pesantren, ia membuat perencanaan yang matang. Ia tidak ingin gerakan ini gagal di tengah jalan. Untuk itu, ia mengadakan langkah-langkah sebagai berikut : Menggambarkan tujuan dengan sejelas-jelasnya. Menggambarkan cara mencapai tujuan itu. Memberikan keyakinan dan cara, bahwa dengan sungguh- sungguh tujuan dapat dicapai. Pada awal tujuan yang pendidikan Islam khususnya pesantren lebih berkonsentrasi pada urusan ukhrawiyah (akhirat), nyaris terlepas dari urusan duniawiyah (dunia). Karena tujuannya yang demikian, warna sistem pendidikan pesantren sangat didominasi oleh warna-warna fiqih, tasawuf, ritual, sakral dan sebagainya. Orientasinya kemasa lampau dan terpaku ke dunia sana, sedangkan dunia kini dianggap sebagai dunia mainan. Orientasi demikianlah menurut Mastuhu, disebabkan oleh sumber teologi yang fatalistis dan tidak rasional. Orientasi pendidikan yang hanya berkonsentarsi pada urusan akhirat menurut Al-Amir Syakib Arsalan, merupakan salah satu penyebab tertinggalnya kaum muslim

99

dengan negara-negara lain, Penolakan tersebut menurutnya tidak rasional dan bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Bukankah manusia diciptakan oleh Allah untuk menjadi khalifah di muka bumi dan memakmurkannya. Bagaimana manusia dapat memakmurkan bumi tanpa ilmu pengetahuan. Dari hal diatas kemudian tujuan pesantren dirumuskan hanya sebagai mencetak para ulama / ahli agama belaka, mengakibatkan pesantren tidak menerima untuk tidak dikatakan menolak- pelajaran non-agama masuk dalam kurikulum pesantren. Dengan alasan pelajaran tersebut tidak sesui dengan tujuan keagamaan yang dimiliki pesantren. Dalam hal tujuan belajar di pesantren, Wahid Hasyim memberikan alternatif lain kepada para santri. Ia menyarankan hendaknya sebagian besar santri untuk tidak menjadi ulama. Hal tersebut cukup beralasan, karena dalam kenyataanya bahwa dalam sietem pendidikan agama yang paling eksklusif sekalipun, tidak semua siswanya dapat dicetak menjadi ulama. Di samping itu pengertian ulama dalam kalangan pesantren telah mengalami penyempitan makna, sehingga ulama hanya digunakan untuk orangorang yang menekuni bidang-bidang ilmu agama dan merendahkan ilmu- ilmu umum. Ada beberapa alasan mengapa Wahid Hasyim mengusulkan alternatif demikian, antara lain: Para santri tidak perlu menghabiskan waktu sampai puluhan tahun untuk belajar bahasa Arab dan mengakumulasi pengetahuan dari para kyai di berbagai pesantren. Para santri dapat mempelajari agama Islam dari buku-buku yang ditulis

100

dengan bahasa latin. Para santri dapat memfokuskan waktunya untuk mempelajari berbagai pengetahuan dan ketrampilan lainnya yang dapat digunakan untuk kepentingan dirinya sendiri dan masyarakat. Walau demikian, ia tetap berharap adanya sebagian santri yang betul-betul menjadi ulama dengan mempelajari bahasa Arab dan pengetahuan agama secara mendalam. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan pesantren menurut Wahid Hasyim adalah mencetak santri yang berkepribadian muslim dan bertaqwa kepada Allah serta memiliki ketrampilan sehingga santri dapat mandiri dan berkiprah pada masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Dengan rumusan tujuan pendidikan yang demikian ia tidak ingin lagi melihat santri yang lebih rendah kedudukannya dalam masyarakat dari kaum terpelajar Barat. 2. Aspek Kurikulum Meski tidak pernah mengenyam pendidikan modern, wawasan berfikir Wahid Hasyim dikenal cukup luas. Hal ini dapat diduga sebagai hasil dari luasnya bacaan beliau, sebagai mana telah disinggung diatas. Wawasan ini kemudian diaplikasikan dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial dan pendidikan. Pada tahun 1935, misalnya, ia bersama K.H Muhammad Ilyas mendirikan madrasah Nizhamiyah. Berkembangnya madrasah di Indonesia di awal abad ke-20, merupakan wujud dari upaya pembaharuan pendidikan Islam yang dilakukan oleh cendikiawan muslim termasuk didalamnya Wahid Hasyim, yang melihat bahwa lembaga pendidikan Islam (

101

pesantren ) dalam beberapa hal tidak lagi sesuai dengan tintutan dan perkembangan zaman. Kedekatan sistem belajar mengajar ala madrasah dengan sistem belajar mengajar ala sekolah yang dikembangkan Pemerintah Kolonial Belanda saat itu, membuat

banyak orang berpendapat bahwa madrasah sebenarnya merupakan bentuk lain dari sekolah, hanya saja diberi muatan dan corak keislaman. Madrasah Nizamiyah didirikan dengan pertimbangan bahwa kurikulum pesantren yang hanya memfokuskan kepada ilmu-ilmu agama mengakibatkan santri mengalami kesulitan untuk bersaing dengan siswa yang mendapat pendidikan Barat. Kelemahan santri menurut Wahid Hasyim, disebabkan oleh lemahnya penguasaan pengetahuan umum (sekuler), bahasa asing, dan skill dalam berorganisasi. Dengan penguasaan ketiga komponen tersebut santri akan mampu bersaing dengan mereka yang mendapatkan pendidikan Barat dalam menempati posisi di masyarakat. Untuk itu ia mendisain kurikulum madrasah tersebut dengan kurikulum yang hanya ilmu-ilmu agama tetapi juga ilmu-ilmu umum, termasuk bahasa Belanda dan Inggris. Apa yang dilakukan Wahid Hasyim jelas merupakan inovasi baru bagi kalangan pesantren. Pada saat itu, pelajaran umum masih dianggap tabu dalam kalangan pesantren karena identik dengan penjajah. Kebencian pesantren terhadap penjajah membuat pesatren mengharamkan semua yang berkaitan dengannya, seperti memakai pantalon, dasi dan topi,bahkan pengetahuan umum. Usaha pembaharuan yang dilakukannya bukan pekerjaan yang tanpa resiko,

102

banyak kritikan yang datang datang dari masyarakat bahkan ulama pesantren. Ia dianggap telah mencampuradukkan perkara agama dan dunia, ia pun dianggap telah merusak sistem pendidikan pesantren, dan lain sebagainya. Kritikan itu disambut olehnya dengan tenang dan ia tetap berjalan dengan keyakinannya sebagai seorang idealist. Yang menonjol dalam hal kurikulum ini adalah pemahaman Wahid Hasyim terhadap konsep ilmu. Ia menganggap bahwa Islam tidak memisahkan pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Saksinya ratusan ayat Al-Quran, kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Al-Quran. Dalam pandangan Al-Quran, ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia unggul tehadap makhluk-makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahan. Selain itu ia pun ingin menghilangkan dikotomi ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum yang saat itu melanda dunia pendidikan Islam pada umumnya dan khususnya pondok pesantren. Tidak ada yang menyangkal dikotomi pendidikan di Indonesia, yaitu pendidikan umum disatu pihak dan pendidikan agama dipihak lain adalah warisan Kolonial Belanda. Dikotomi tersebut menurut Wahid Hasyim sangat berbahaya bagi umat Islam Indonesia, sistem pendidikan semacam ini akan melahirkan ilmuan-ilmuan yang tak bermoral dan ulama yang tidak kenal zamannya. 3. Aspek Metode Pengajaran Wahid Hasyim ketika berumur 17 tahun sempat belajar selama 1 tahun di Makkah. Sekembalinya ke Tebu-ireng, ia mengusulkan kepada ayahnya suatu

103

perubahan metode pengajaran di pesantren. Usulan itu antara lain agar sistem bandongan di ganti dengan sistem tutorial yang sistematis dengan tujuan untuk mengembangkan inisiatif dan kepribadian santri. Hal ini dikarenakan dalam kelas yang menggunakan metode tersebut santri datang hanya mendengar, menulis catatan, dan menghapalkan mata pelajaran yang telah diberikan, tidak ada kesempatan untuk mengajukan pertanyaan atau berdiskusi. Secara singkat, menurut metode bandongan akan menciptakan kepastian dalam diri santri. Wahid Hasyim belum merasa puas dengan perubahan yang ia lakukan, ia pun menganjurkan para santri untuk belajar organisasi dan membaca. Pada tahun 1936 ia mendirikan IKPI ( Ikatan Pelajar Islam ). Selain itu ia juga mendirikan perpustakaan dengan koleksi buku 1.000 buku yang kebanyakan buku-buku keagamaan. Perpustakaan tersebut juga berlangganan majalah dan surat kabar, seperti : Panji Islam, Dewan Islam, Islam Bergerak, Berita Nahdhatul Ulama, Adil, Nurul Islam, Al-Munawarah, Panji Pustaka, Pustaka Timur, Pujangga Baru, dan Penyebar Semangat. Kesebelas jurnal diatas mewakili Pandangan kaum tradisionalis, modernis, dan nasionalis . Perubahan metode pengajaran dan pendirian perpustakaan merupakan kemajuan Wahid Hasyim,

yang luar biasa yang terjadi pada pesanten ketika itu. Dengan hal tersebut Wahid Hasyim mengharapkan terjadinya proses belajar mengajar yang dialogis, dimana posisi guru ditempatkan bukan lagi sebagai satu-satunya sumber belajar, pendapat guru

bukanlah suatu kebenaran mutlak sehingga kendapatnya dapat dipertanyakan bahkan dibantah oleh santri ( murid ) dan proses belajar mengajar berorientasi pada murid sehingga potensi yang dimiliki akan terwujud dan ia akan menjadi dirinya sendiri.

104

Dalam proses pembelajaran murid tidak hanya dijadikan objek pendidikan akan tetapi ia dijadikan subjek pendidikan itu sendiri. Sedangkan Guru memposisikan diri sebagai motivator, dan fasilitator dalam proses pembelajaran. C. KH. Ahmad Dahlan DanPerguruan Muhammadiyah Mengapa perlu mengemukakan profil Ahmad Dahlan dalam pembahasan pondok pesantren ini. Mungkin itu pertanyaan yang pertama kali dilontarkan ketika nama pendiri Muhammadiyah, sebagai ormas Islam terbesar kedua setelah Nahdlatul Ulama, diulas dalam buku ini. Tidak ada alasan spesifik memang, tetapi beliau merupakan cikal bakal Perguruan Muhammadiyah yang beberapa diantaranya bida disebut dengan Pondok Pesantren, paling tidak kita bisa mengenal ide-ide dalam pendidikan dan kepesantrenan dalam Perguruan Muhammadiyah. Dilihat dari jumlah amal usahanya Muhammadiyah merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Dibandingkan dengan amal usaha lainnya, bidang pendidikan merupakan amal usaha Muhammadiyah yang terbesar. Bahkan, pendidikan telah menjadi trade-mark gerakan Muhammadiyah. Berbagai jenis pendidikan sepertisekolah, madrasah, dan pesantren dari jenjang pendidikan dasar sampai perguruan tinggi berdiri kokoh di seluruh penjuru Nusantara Bahkan di beberapa negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Besarnya jumlah lembaga pendidikan tersebut merupakan bukti konkrit peran penting Muhammadiyah dalam proses pemberdayaan umat Islam dan pencerdasan bangsa. Dalam konteks ini Muhammadiyah tidak hanya berhasil mengentaskan bangsa Indonesia dan umat Islam dari kebodohan dan penindasan, tetapi juga menawarkan

105

suatu model pembaharuan sistem pendidikan modern yang tetap terjaga identitas dan kelangsungannya. Diskusi tentang pendidikan Muhammadiyah sebagai salah satu pembaharu pendidikan Islam di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pemikiran para pendirinya. Salah satu tokoh pendidikan Muhammadiyah yang paling menonjol adalah Ahmad Dahlan ; penggagas dan pendiri gerakan Muhammadiyah yang karena perjuangan dan kepeloporannya dalam memajukan bangsa dan pendidikan nasional dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Ahmad Dahlan tidak pernah mengenyam pendidikan formal di sekolah-sekolah model pendidikan Belanda. Ahmad Dahlan menikah dengan Siti Walidah, gadis Kauman yang masih sepupunya. Dari pernikahannya dengan Siti Walidah, Ahmad Dahlan dikaruniai dua orang putra dan empat orang putri. Seperti umumnya para santri pada waktu itu, setelah memiliki dasar-dasar pendidikan agama Islam Ahmad Dahlan menjadi musafir pencari ilmu yang

mengembara dari satu pesantren ke pesantren lainnya untuk mendalami ilmu agama seperti ilmu fiqh, nahwu, hadits, qiraah dan falaq. Dalam salah satu sejarah disebutkan Ahmad Dahlan pernah belajar ilmu falaq kepada Kyai Saleh Darat, salah seorang ulama terkenal yang tinggal di kampung Darat, Semarang. Di pesantren ini pula, KH Hasyim Asyari, pendiri Nahdhatul Ulama (NU) pernah belajar. Pada tahun 1890, di saat usia mencapai 22 tahun, Ahmad Dahlan dikirim oleh ayahnya untuk melaksanakan ibadah haji dan memperdalam ilmu agama. Dalam kesempatan tersebut, Ahmad Dahlan banyak belajar ilmu agama dari para ulama

106

terkenal. Diantara gurunya adalah Sayyid Bakri Syata, salah seorang mufti Madzhab Syafii yang bermukim di Makkah. Bahkan Sayyid Bakri Syata-lah yang memberikan atau mengganti nama Muhammad Darwis menjadi Ahmad Dahlan . Sepulang dari ibadah haji yang pertama Ahmad Dahlan kemudian mulai mengajar mengaji di

kampungnya dan beberapa kali menjadi badal ayahnya bahkan karena kemampuannya, Ahmad Dahlan kemudian diangkat menjadi salah seorang khatib di masjid Besar Kasulthanan Yogyakarta menggantikan posisi ayahnya. Setelah beberapa tahun lamanya bekerja sebagai khatib dan berdagang batik di beberapa daerah, Ahmad Dahlan mendapat kesempatan untuk menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya. Setelah ibadah haji, Ahmad Dahlan tidak langsung pulang ke

tanah air melainkan menyempatkan diri tinggal di Makkah selama satu setengah tahun untuk memperdalam ilmu agama kepada para ulama Timur Tengah. Ahmad Dahlan

memperdalam ilmu fiqh kepada Kyai Machfudz Termas dan Said Babusyel, ilmu hadits kepada mufti Madzhab Syafii, ilmu falaq kepada Kyai Asyari Bacaan dan ilmu qiraah kepada Syeikh Ali al-Musri Makkah. Dalam kesempatan bermukim di Makkah tersebut Ahmad Dahlan juga sempat berdialog dengan para ulama Nusantara yang bermukim di Makkah di antaranya Muhammad Khatib Minangkabau, Kyai Nawawi Banten, Kyai Mas Abdullah Surabaya dan kyai Faqih Kumambang Gresik. Kesempatan dialog yang pada akhirnya mengilhami dan mendorongnya untuk melakukan reformasi di Indonesia adalah dialognya dengan Syeikh Muhammad Rasyid Ridha, seorang tokoh modernis dari Mesir.

107

Di samping aktif melakukan dialog dengan para ulama

Ahmad Dahlan juga

aktif membaca majalah dan kitab. Majalah yang dibacanya adalah al-Manar dan alUrwat al-Wutsqa. Sedangkan kitab yang sering dikaji dan diajarkannya adalah , AtTauhid (Muhammad Abduh), Kanz al-Ulum, Tafsir Juz Amma (Muhammad Abduh), Dairah al-Maarif (Farid Wajdi), Al-Islam Wal Nasriyyah (M. Abduh) - Tafshil

al-Nasyatin Tahshil al-Saadatain Fiil Bidah (Ibnu Taimiyah), Izhar al-Haqq (Rahmat Allah al-Hindi), Matan al-Hikam (IbnuAtha Allah), Al-Tawassul wa al-Wasilah

siyyah al - Qashaid al-Aththa (Abd Athithas), dan lain-lain. Dengan kedalaman ilmu agama dan ketekunannya dalam mengikuti gagasangagasan pembaharuan Islam, Ahmad Dahlan kemudian aktif menyebarkan gagasan Ahmad

pembaharuan Islam ke pelosok-pelosok tanah air. Sambil berdagang batik

Dahlan melakukan tabligh dan diskusi keagamaan, dan pada akhirnya -atas desakan dari para muridnya- pada tahun 1912 M. Muhammadiyah. Faktor terpenting yang mendorong Ahmad Dahlan untuk mendirikan organisasi adalah: Kenyataan bahwa umat Islam Indonesia telah banyak yang meninggalkan alQuran dan Sunnah. Mereka cenderung melakukan perbuatan-perbuatan yang termasuk takhayul, bidah, dan syirk. Amalan-amalan mereka merupakan campuran antara yang hak dan yang batil. Lembaga-lembaga pendidikan agama Islam yang ada ketika itu tidak efisien; tidak menjawab tantangan dan tuntutan perkembanganmasyarakat. Lembaga Ahmad Dahlan mendirikan organisasi

108

pendidikan terpecah menjadi dua: pendidikan sekuler dan pendidikan pesantren yang hanya mempelajari ilmu-ilmu agama dalam arti sempit. Akitabnya umat terpecah dan hal ini menyebabkan semakin melemahnya kekuatan umat. Mayoritas umat Islam yang terdiri dari petani dan buruh menjadi semakin miskin. Sementara yang kaya tidak ingat berzakat, sehingga hak-hak orang miskin terabaikan. Aktivitas misi Kristen semakin gencar. Bahkan mereka mendapat bantuan dari penjajah Belanda. Kebanyakan umat Islam terperangkap dalam fanatisme sempit, taklid buta, dan pola hidup yang statis. Untuk mewujudkan tujuan-tujuan di atas Muhammadiyah melakukan berbagai aktivitas sebagai berikut: Menggalakkan dan meningkatkan mutu pendidikan umat Islam. Hal ini dimaksudkan agar umat Islam dapat mengerti ajaran-ajaran agama mereka secara benar. Ajaran agama yang benar itu ialah yang memurnikan tauhid, memperteguh iman, meningkatkan ibadah, memperbaiki akhlak, meluaskan dakwah amar makruf nahi mungkar Mengadakan pembaruan ajaran-ajaran agama agar selaras dengan tantangan zaman. Memperbarui ajaran-ajaran agama dan sistem pendidikan Islam. Mempertahankan Islam dari segala pikiran dan perbuatan yang bertentangan

109

dengan Kitab dan Sunnah. Ahmad Dahlan adalah seorang yang sangat berani. Baginya, kebenaran harus tetap dilaksanakan dan ditegakkan, sekalipun harus berhadapan dengan kekuasaan. Hal ini dia buktikan dalam dua hal. Pertama, kiblat masjidBesar Kasultanan yang menurut Ahmad Dahlan tidak sama persis dengan perhitungan falaq. Ahmad Dahlan kemudian mengundang para Khatib dan penghulu untuk melakukan diskusi tentang kiblat Masjid Besar tersebut, yang sekalipun tidak dihadiri oleh para Khatib, tetapi kemudian banyak diikuti oleh kalangan muda Kauman yang kemudian membuat garis-garis shaf sesuai konsep falaq Ahmad Dahlan. Kasus kedua adalah ketika terjadi perbedaan penentuan tanggal 1 Syawwal atau Hari Raya Idul Fitri antara perhitungan falaq dengan perhitungan aboge (kalender Jawa). Ahmad Dahlan dengan diantar oleh Kanjeng Penghulu memberanikan diri

menghadap Kanjeng Sulthan dan menyampaikan perhitungan falaqnya. Gagasan Ahmad Dahlan diterima. Shalat Id dilaksanakan sesuai dengan perhitungan Dahlan tetapi grebeg dilaksanakan sesuai dengan perhitungan aboge. Selain aktif menyebarkan gagasan pembaharuan keagamaan dan menyerukan gerakan kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah serta memberantas segala bentuk Takhayul, Bidah, Curafat (TBC) dan Taklid, Ahmad Dahlan juga mendirikan sekolah dan madrasah Muhammadiyah serta mengajarkan pelajaran agama sebagai pelajaran ekstra kurikuler di Kweekschool, Jetis, Yogyakarta dan Osvia Magelang. Menurut Ahmad Dahlan sebagai calon pamong praja, para siswa di sekolah tersebutperlu mendapatkan pelajaran agama. Inilah terobosan dan gagasan besar Ahmad Dahlan. Ahmad

110

Ahmad Dahlan adalah sosok yang banyak melakukan amal daripada menulis. Di samping aktif di Muhammadiyah Ahmad Dahlan juga aktif di partai politik seperti

Budi Utomo dan Sarikat Islam. Hampir seluruh hidupnya digunakannya untuk beramal dan memperjuangkan kemajuan umat Islam dan bangsa. Ahmad Dahlan meninggal dan dimakamkan di

pada tanggal 7 Rajab 1340 H atau 23 pebruari 1923 M Karangkadjen, Kemantren, mergangsan, Yogyakarta. a. Pemikiran Pendidikan Ahmad Dahlan

Ahmad Dahlan adalah tokoh yang tidak banyak meninggalkan tulisan. Ahmad Dahlan lebih menampilkan sosoknya sebagai manusia amal atau praktisi daripada filosuf yang banyak melahirkan pemikiran dan gagasan-gagasan tetapi sedikit amal. Sekalipun demikian tidak berarti bahwa Ahmad Dahlan tidak memiliki gagasan. Amal usaha Muhammadiyah merupakan refleksi dan manifestasi pemikiran Ahmad Dahlan dalam bidang pendidikan dan keagamaan. Istilah pendidika di sini dipergunakan dalam konteks yang luas tidak hanya terbatas pada sekolah formal tetapi mencakup semua usaha yang dilaksanakan secara sistematis untuk mentransformasikan ilmu

pengetahuan, nilai dan ketrampilan dari generasi terdahulu (tua) kepada generasi muda. Dalam konteks ini termasuk dalam pengertian pendidikan adalah kegiatan pengajian, tabligh dan sejenisnya. Pada bagian ini akan dibahas pemikiran kependidikan Ahmad dahlan

sebagaimana yang dikemukakannya dalam ceramah dan pengajian serta tulisantulisannya dan yang tercermin dalam amal usaha Muhammadiyah terutama pendidikan (sekolah, madrasah dan pesantren).

111

b.Tujuan Pendidikan Ahmad Dahlan tidak secara khusus menyebutkan tujuan pendidikan. Tetapi dari pernyataan yang disampaikannya dalam berbagai kesempatan, tujuan pendidikan Ahmad Dahlan adalah : Dadijo Kijahi sing kemadjoean, adja kesel anggonmoe njamboet gawe kanggo Moehammadijah. Dalam pernyataan sederhana tersebut, terdapat beberapa hal penting, yaitu kijahi, kemadjoean dan njamboet gawe kanggo Moehammadijah. Istilah Kiai merupakan sosok yang sangat menguasai ilmu agama. Dalam masyarakat Jawa, seorang Kiai, adalah figur yang shalih, berakhlaq mulia dan menguasai ilmu agama secara mendalam. Istilah kemajuan secara khusus menunjuk kepada kemoderenan sebagai lawan dari kekolotan dan konservatisme. Pada masa Ahmad Dahlan kemajuan sering diidentikkan dengan penguasaan ilmu-ilmu umum atau intelektualitas dan kemajuan secara material. Sedangkan kata njamboet gawe kanggo Moehammadijah merupakan manifestasi dari keteguhan dan komitmen untuk membantu dan mencurahkan pikiran dan tenaga untuk kemajuan umat Islam, pada khususnya, dan kemajuan masyarakat pada umumnya. Berdasarkan pemahamam tersebut, tujuan pendidikan menurut Ahmad Dahlan adalah untuk membentuk manusia yang : 1.Alim dalam ilmu agama; 2. Berpandangan luas, dengan memiliki pengetahuan umum; 3.Siap berjuang, mengabdi untuk Muhammadiyah dalam menyantuni nilai- nilai keutamaan pada masyarakat.

112

Rumusan tujuan pendidikan tersebut merupakan pembaharuan dari tujuan pendidikan yang saling bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah model Belanda. Di satu sisi pendidikan pesantren hanya bertujuan untuk menciptakan individu yang salih dan mendalami ilmu agama. Di dalam sistem pendidikan pesantren tidak diajarkan sama sekali pelajaran dan pengetahuan umum serta penggunaan huruf latin. Semua kitab dan tulisan yang diajarkan menggunakan bahasa dan huruf Arab. Sebaliknya, pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan sekuler yang di dalamnya tidak diajarkan agama sama sekali. Pelajaran di sekolah ini menggunakan huruf latin. Akibat dualisme pendidikan tersebut lahirlah dua kutub intelegensia : lulusan pesantren yang menguasai agama tetapi tidak menguasai ilmu umum dan lulusan sekolah Belanda yang menguasai ilmu umum tetapi tidak menguasai ilmu agama. Melihat ketimpangan tersebut Ahmad Dahlan berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu yang utuh : menguasai ilmu agama dan ilmu umum, material dan spiritual serta dunia dan akhirat. Bagi Ahmad Dahlan kedua hal tersebut (agama-umum, material-spiritual dan dunia-akhirat) merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Inilah yang menjadi alasan mengapa Ahmad Dahlan mengajarkan pelajaran agama ekstra kurikuler di

Kweekschool Jetis dan Osvia Magelang serta mendirikan madrasah Muhammadiyah yang didalamnya mengajarkan ilmu agama dan ilmu umum sekaligus. b. Materi Pendidikan

113

Berangkat dari tujuan pendidikan tersebut Ahmad Dahlan berpendapat bahwa kurikulum atau materi pendidikan hendaknya meliputi : Pendidikan moral, akhlaq yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah. Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh yang berkeseimbangan antara perkembangan mental dan jasmani, antara keyakinan dan intelek, antara perasaan dengan akal pikiran serta antara dunia dan akhirat. Pendidikan kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat. (Arifin, 1987) Meskipun demikian, Ahmad Dahlan belum memiliki konsep kurikulum dan Ahmad

materi pelajaran yang baku. Muatan kurikulum pelajaran agama menurut

Dahlan bisa dilihat dari materi pelajaran agama yang diajarkannya dalam pengajianpengajian di madrasah dan pondok Muhammadiyah. K.R.H Hadjid, salah seorang murid Ahmad Dahlan, mengumpulkan ajaran gurunya ke dalam sebuah buku berjudul Ajaran Ahmad Dahlan dan 17 Kelompok Ayat-Ayat Al-Quran yang merupakan catatan pribadinya selama mengikuti pelajaran agama. Dari pelajaran tersebut dapat dikelompokkan bahwa Ahmad Dahlan banyak menyampaikan materi yang berkaitan dengan keimanan, akhlak dan semangat untuk berjuang membela agama dan membantu sesama. B. Muhammadiyah dan Pemberdayaan Masyarakat Dengan visi-visi Ahmad Dahlan, Muhammadiyah tercatat sebagai salah satu

organisasi sosial keagamaan yang memainkan peranan penting dalam memperkuat

114

posisi masyarakat, memberdayakan rakyat dan mengembangkan masyarakat madani. Sebagai organisasi sosial kemasyarakatan yang lingkupnya luas, Muhammadiyah menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat. Jauh sebelum diskursus tentang masyarakat sipil atau masyarakat madani marak di Indonesia, Muhammadiyah telah memunculkan suatu perbincangan tentang masyarakat utama. Istilah masyarakat utama ini kemudian dimantapkan pada muktamar ke-41 tahun 1985 di solo dan dimasukkan kedalam rumusan tujuan Muhammadiyah. Disamping disebut sebagai padanan istilah khairu ummah, konsep tentang masyarakat utama inipun oleh para tokoh Muhammadiyah dicoba didekati dengan pendekatan civil society. Pada awalnya, organisasi ini merupakan gerakan pembaruan Islam di Indonesia yang kemudian berkembang, tidak hanya memberantas TBC (tahayul, bidah dan Kurafat) dalam transliterasi sekarang ditulis khurafat- tapi juga meningkatkan kualitas hidup umat. Karena arah organisasi ini selalu modern, maka Kuntowijoyo menyebuutnya sebagai gejala kota. Muhammadiyah mewakili masyarakat baru, masyarakat industri dan modern yang membedakannya dengan organisasi keagamaan lainnya yang tradisionalis. Dalam Anggaran Dasar (AD) awalnya hingga dalam jangka waktu lama, cita-cita kemasyarakatan Muhammadiyah memang tidak begitu tampak. Yang lebih menonjol adalah rumusan tentang pedoman bertindak dancara-cara berorganisasi. Dan yang menggerakkan hati organisasi ini adalah QS. Ali Imran, 3:104. Seorang tokoh Muhammadiyah yang juga tokoh ICMI, M. Dawam Rahardjo . Ahmad Dahlan untuk membentuk

115

mengemukakan bahwa dalam perspektif ajaran Islam, Muhammadiyah menggunakan istilah yang lebih konseptual dan substansial, yaitu masyarakat utama (al-Mujtama alFadhil). Menurutnya, istilah ini merupakan terjemahan dari istilah Quran: Khairu Ummah. Istilah Quran itu sendiri memang masih memrlukan penjelasan, bahkan

sampai saat inipun diperlukan penggaliannya dari al-Quran dan sejarah Nabi SAW. Dalam mensubstansikan masyarakat utama, masyarakat madani, masyarakat baru, ataupun khairu ummah diperlukan konsep atau teori. Konsep civil society merupakan konsep yang dapat dipakai untuk memahami istilah-istilah tersebut. Gagasan ideal untuk mewujudkan masyarakat madani seperti yang diagendakan Muhammadiyah ke-41 di Solo, memang patut kita cermati, mengingat Muhammadiyah memang memiliki ruang lingkup gerakan dan amal usaha yang sangat luas. Hampir disetiap daerah perkotaan kita dapat menemukan berbagai amal usahanya, mulai dari lembaga pendidikan, panti asuhan ataupun rumah sakit. Secara sederhana kenyataan ini menunjukkan bahwa Muhammadiyah memiliki pusat kegiatan sosial yang telah mapan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Perkembangan kuantitatif amal usaha ini

disertai dengan pertumbuhan kualitatif yang tercermin dari pengaruh Muhammadiyah terhadap kelahiran berbagai peran sosial yang diusulakan oleh kelompok ataupun tokoh masyarakat. Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi yang teleh mengobarkan jiwa pembaruan pemikiran Islam di negeri ini. Jiwa pembaruan yang melekat pada diri pendiri organisasi ini telah ditempa sejak dia belajar di Mekkah selama 5 tahun, yaitu antara 1890-1895. Pada tahun 1903 dia kembali ke Mekkah untuk belajar lagi selama 3

116

tahun. Di Mekkah dia belajar tauhid, tafsir, fikih, tasawwuf, qiraat, mantiq, dan falak. Selama di Mekkah tokoh ini tertarik dengan pikiran-pikiran Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahhab, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Rida. Perkenalannya dengan pemikiran tokoh-tokoh itu dimungkinkan karena lingkungan Mekkah saat itu telah dipengaruhi dan diwarnai oleh ide-ide pembaruan yang dimunculkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab yang kemudian dilanjutkan dan dikorbarkan oleh para pengikutnya. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa ide-ide pembaruan yang digagas oleh Ibn Taimiyyah sangat mendalam pengaruhnya dalam semangat dan pikiran-pikiran pembaruan Muhammad bin Abdul Wahhab. Pengobaran semangat pembaruan yang dilakukan Ibn Abdul Wahhab ini kemudian berpengaruh bagi meningkatnya minat para ulama untuk menelaah kembali karya-karya Ibn Taimiyyah. Kondisi kondusif untuk pembaruan yang diupayakan oleh para pengikut Ibn Abdul Wahhab, termasuk dan terutama para penguasa Kerajan Arab Saudi dari keturunan Muhammad Saud, memungkinkan lahirnya para tokoh pembaru semisal Jamaluddin, Abduh, dan Rida. Pengaruh mereka inilah yang kemudian terlihat kental dalam oraganisasi yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan ini. Sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, saat ini Muhammadiyah telah menjangkau seluruh pelosok Indonesia. Pertumbuhan ini berlangsung begitu cepat, tidak sampai 15 tahun dari masa berdirinya organisasi ini telah menjangkau wilayahwilayah yang cukup luas di luar Jawa. Di Aceh Muhammadiyah telah masuk untuk pertama kali tahun 1922/1923 melalui

117

Djajasukarta. Perkembangannya menjadi sangat cepat setelah A.R. Sutan Mansur masuk ke wilayah ini pada tahun 1927. Wilayah Sumatra Barat telah dimasuki Muhammadiyah sejak tahun 1925. Di sini Muhammadiyah mendapat dukungan kuat dari seorang ulama kenamaan Dr. Haji Abdul Karim Amrullah, pelopor gerakan pembaruan di wilayah ini. Pada tahun 1927 Muhammadiyah tersebar di Sumatra bagian timur dibawa oleh orangorang yang datang dari Tapanuli, Sumatera Barat dan Jawa. Merekalah yang pertama mendirikan Muhammadiyah di tempat ini. Untuk wilayah Kalimantan, Muhammadiyah masuk melalui para saudagar yang datang ke sana. Perintis Muhammadiyah di Kalimantan adalah H. Usman Amin, dari Alabio, Hulu Sungai Utara. Tokoh ini masuk menjadi anggota Muhammadiyah tahun 1923, dan pada 1925 dia kembali ke Alabio untuk menyiarkan Muhammadiyah di sana. Pada 1925 Muhammadiyah memasuki wilayah Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah. Sedangkan untuk Kalimantan Selatan, Muhammadiyah imasuk ke wilayah ini pada tahun 1926. Melalui seorang orator ulung H. Abdullah, Muhammadiyah masuk ke daerah Sulawesi. Keberadaan Muhammadiyah di Sulawesi ini menjadi semakin berkembang setelah Pimpinan Pusat Muhammdiyah mengutus M. Yunus Anis ke daerah ini tahun 1928. Perkembangan Muhammadiyah ini tidak hanya terbatas di dalam negeri, bahkan ia telah menjangkau negeri-negeri jiran. Pada tanggal 25 Desember 1957 berdirilah Muhammadiyah di Singapur yang dirintis oleh Ustadz Abdurrahman Haron. Sedangkan

118

di Malaysia, Muhammadiyah untuk pertama kali didirikan di Pulau Penang tahun 1967 oleh Ustadz Zainal Abidin Zamzam. Selanjutnya Muhammdiyah didirikan di Thailand pada tanggal 11 Agustus 1988, tepatnya di Kabupaten Canak, Propinsi Songkhla, Thailand Selatan. Demikian pula, sebagai organisasi besar, Muhammadiyah mempunyai beberapa organisasi otonom yang gerak dan tujuannya seiring dengannya. Organisasi-organisasi itu adalah: Aisyiyah, didirikan tahun 1917 oleh K.H. Ahmad Dahlan. Organisasi ini bergerak dan berjuang di kalangan kaum ibu atau muslimat Indonesia. Nasyiatul Aisyiyah, berdiri tahun 1930, untuk membina remaja putri Islam. Pemuda Muhammadiyah, didirikan tahun 1350/1932 berdasarkan hasil keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-21 di Ujung Pandang. Organisasi ini dimaksudkan untuk membina dan menggerakkan potensi pemuda Islawm. Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), didirikan tahun 1381/1961. Organisasi ini bertugas membina dan menggerakkan potensi para pelajar Islam. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), didirikan tahun 1384/1964. IMM dibentuk untuk membina dan menggerakkan potensi para mahasiswa Islam; baik dalam bidang keagamaan, kemasyarakatan, ataupun kemahasiswaan. Tapak Suci, didirikan tahun 1963. Tapak Suci juga disebut Persatuan Pencak Silat Putra Muhammadiyah. Hizbul Wathan (HW), didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan tahun 1918.

119

Organisasi ini bergerak di bidang kepanduan. Andil HW cukup besar dalam menyiapkan para pemuda Indonesia untuk menghadapi penjajah Belanda. Di antara mantan anggota HW adalah Jenderal Sudirman yang pada tahun 1945 diangkat oleh Presiden RI, Sukarno, menjadi Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat yang menjadi cikal bakal TNI. Pada tahun 1961, HW ditiadakan dan dileburkan ke dalam Gerakan Pramuka. Muhammadiyah dengan segala perangkat organisasi, amal usaha, dan perjuangannya telah memberikan andil yang cukup besar dalam mencapai dan mengisi kemerdekaan negeri ini; baik dalam sisi pendidikan, dakwah,

kemasyarakatan, dan ekonomi. Paparan di atas mencerminkan adanya usaha-usaha keras yang dilakukan para ulama (intelektual muslim) yang senantiasa mencoba mengadakan perbaikan dalam tehnis dan materi penyampaian ajaran Islam kepada ma syarakat, selain juga mencerminkan adanya upaya pembaruan pesantren secara khusus dan pendidikan ummat secara lebih umum sperti yang dilakukan Ahmad Dahlan. Berbagai ide-ide cemerlang tersebut pada akhirnya saling mlengkapi dan mewujudkan trend baru dalam kepesantrenan, Pesantren kini telah menjadi trade mark pendidikan Islam di Indonesia secara umum dengan berbagai variasi baik yang bersifat organisasi kelembagaan, variasi materi pembelajaran dan bahkan variasi mazhab yang dianutnya sesuai dengan latarbelakang keilmuan dan keyakinan tokoh para pendirinya. Sampai di sini nampak pembaharuan di bidang metodologi pengajaran dan sistem nampaknya sudah mulai menunjukkan adanya upaya modernisasi pesantren.

120

Dan hasil yang dapat dilihat adalah terbentuknya pola pesantren dengan istilah salafiyah17 yang berarti mengajarkan kitab-kitab sebagaimana yang berlaku di pesantren pada umumnya, pesantren yang berpola modern dengan cara klasikal dan penjenjangan, penyederhanaan materi dan perbaikan metodologi, yang lazim disebut pesantren modern. Dua tipe pesantren ini kemudian banyak melahirkan corak dan ragamnya, di antaranya ada pesantren salafiyah plus madrasah Aliyah, dengan pembagian waktu bagai santri untuk belajar disekolah-sekolah Aliyah atau SMA dan belajar mengaji ke pesantren serta tinggal di sana sepulang sekolah, dari pesantren pola ini biasanya -sebagaimana juga pesantren modern--melahirkan alumni yang bisa melanjutkan studinya hingga jenjang perguruan tinggi. Kenyataan ini pada gilirannya akan merubah --ini mulai nampak-- pola ke kyaian, kini mulai bermunculan kyai yang bergelar sarjana yang tentu saja akan

berpotensi melahirkan kultur baru dalam kepesantrenan. Selain itu nampak juga terlahir tipe -tipe peantren yang akarnya bisa di tarik dari iide pembaharuan di atas. Secara singkat tipe tersebut akan penuli sajikan dalam bentuk tabel di bawah ini: Tabel Tipe Pesantren di Indonesia Pasca Pembaharuan
NO 1 Tipe Salafiyah Murni Metode & Kurikulum Sorogan, Wetonan, bahsul masaail. Kurikulum pesantren Pada umumnya, tauhid, ilmu alat, fiqih, tafsir, dll. Selain metode salafiyah dan pengajian kitab juga menyelenggarakan pendidikan sekolah Mts, Aliyah atau SLTP, Contoh Pesantren Pesantren kecil di pedesaan Biasanya pesantren besar seperti Tebu Ireng, Pesantren Buntet, almasturiyah

Salafiah Plus Madrasah

17

Istilah ini diakui dan sering kali disebutkan dalam papan nama serta kop surat pesantren.

121

Salafiyah Plus sekolah di luar pesantren Pesantren Modern ala Gontor Murni. TMI/KMI

SLTA Metode dan materi salafiyah, namun memperbolehkan bagi santri untuk belajar di sekolah lain Klasikal dengan materi dan kegiatan tersusun kurikulum Gontor

Pesantren Modern ala Gontor Plus Mts .MA Pesantre Modern + Salafiyah

Sukabumi dll Daru Tauhid Arjawinangun, Miftahul Huda Manonjaya dll KMI Gontor dan Cabang-cabangnya, ponpes Modern AlIkhlash Kuningan, AlAmin, Prenduan Madura dll. Kegiatan sama dengan Gontor Ponpes Laa Tansa diikut sertakan Aliyah dan Cipanas Lebak, Tsanawiyah atau SLTP, SMA Daruunajah Jakarta, dll. Pesantern Miftahul Mengambil sebagian kegiatan Falah Ciomas Bogor pola Gontor dan dll. menyelenggarakan pengajian kitab-kitab pesantren salafiyah

Selain enam tipe di atas sebenarnya masih banyak varian lain yang sangat ditentukan oleh konsep dari pimpinan pesantren sendiri seperti takhashush dalam tahfiidz al-Qur'an, tafsir, kaligrafi,18pertanian dan lain sebagainya dan penulis yakin akan senantiasa muncul varian baru sesuai dengan perkembangan

intelektual,pengalaman dan wawasan para pendiri atau pemimpin pesantren.

18

Baru dirintis Drs. Didin Sirajuddin MA di Gunung puyuh, Sukabumi.

122

BAB V POLA PEMBERDAYAAN SANTRI DI PONDOK PESANTREN


Pembahasan mengenai santri, bagaimana sebaiknya menjadi santri atau

memberdayakan santri dalam keterpaduan kegiatan intra maupun ekstra asrama (Pondok Pesantren) masih kurang sekali. Padahal santri dan pembinaan santri merupakan komponen yang tidak kalah pentingnya dari komponen komponen lain Pondok Pesantren yang saling terkait menjadi sebauah kesatuan system19 (Kyai, Ustadz, Asrama, Masjid, Kitab, dst). Tulisan singkat ini akan memberikan wawasan bagaimana profil santri Pondok Pesantren, bagaimana santri memposisikan diri dalam intensitas kegiatan Pondok Pesantren dan kegiatan di luar asrama, dan bagaimana santri menyusun agenda programnya secara mandiri untuk menyiapkan masa depannya. Pembahasan ini akan mendiskripsikan kegiatan santri mengambil setting pemberdayaan santri di beberapa Pondok Pesantren, antara lain Pondok Darul Marifat Gurah, Kediri, Pondok Pesantren Al-Barokah Nganjuk, dan Pondok Pesantren Burhanul Abror Besuki Situbondo.

Ketiganya dipilih untuk merepresentasikan Pondok Pesantren dengan setting modern20 (Kholafiyah), pertengahan dan tradisional (Salafiyah). A. Potret Kegiatan Santri di Pesantren

19

Tentang pembahasan ini ada catatan pemaknaan kegiatan di Gontor yang ditulis oleh Muhammad Arwani, Denyut Nadi Santri, (Yogyakarta: Tajidu Press,2001) cet-ke1. 20 Yang dimaksud setting modern adalah peantren-pesantren dengan Pondok Modern Gontor sebgai modelnya, biasanya pesantren tersebut didirikan dan dikelola oleh alumni Gontor, dikenal dengan sebutan pondok alumni Gontor. Kegiatan santri di pesantren tersebut pada umumnya sama dengan kegiatan di Gontor.

123

Kegiatan santri di dalam asrama biasanya dikoordinasikan dan ditangani oleh Pengasuhan Santri, sebagai perpanjangan tangan pengasuh pondok (Kyai) dalam

mebina dan mendidik santri. Kegitan santri di asrama ini biasanya melaui organisasi santri (OSIS kalau di SMU) dan Gerakan Pramuka. Di sini hanya akan diuraikan mengenai jadwal kegiatan santri. Badan pengasuhan santri di pondok-Pondok Pesantren yang berkategori Salafiyah biasanya ditangani oleh organisasi santri dan kepala asrama (lurah pondok). Organisasi santri juga membawahi beberapa bagian, salah satunya bagian keamanan dan organisasi asrama. Pada bahasan berikut ini akan dikemukakan profil kegiatan santri di asrama dengan mengambil setting Pondok Pesantren Darul Marifat, Sumbercangkring, Gurah, Kediri Jawa Timur. Kegiatan santri di Pondok Pesantren darul Marifat Kediri dapat dibagi menjadi kegiatan harian, mingguan, tengah tahunan, dan tahunan. Tabel berikut ini akan memberikan gambaran secara ringkas kegiatan harian santri. 1. Kegiatan Harian Jadwal Kegiatan Harian
No 1 Jam 04.00-05.30 Kegiatan 1. Bangun tidur 2. Salat Subuh berjamah. 3. Penambahan kosa kata (Arab atau Inggris) 4. Membaca al-Quran Olahraga Mandi Kursus-kursus bahasa, kesenian, ketrampilan, dll. Makan pagi Persiapan masuk kelas Masuk kelas pagi

05.30-06.00

3 4

06.00-06.45 07.00-12 .30

124

5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

12.30-14.00 14.00-15.00 15.00-15.45 15.45-16.45 16.45-17.15 17.15-18.30 18.30-19.30 19.30-20.00 20.00-22.00 22.00-04.00

Shalat Zuhur berjamaah Makan Siang Masuk kelas sore Shalat Ashar berjamaah Membaca al-Qur'an Aktivitas bebas / olahraga Mandi Persiapan ke Mesjid Shalat Magrib berjamaah Baca al-Qur'an Makan Malam Shalat Isya berjamaah Belajar malam Istirahat dan Tidur

Pergantian dari satu kegiatan ke kegiatan lain ditandai dengan bunyi bel. Ada dua bel yang digunakan: besar dan kecil; bel besar dibunyikan sebagai tanda pergantian kegiatan dari pagi sampai sore, sedangkan pada malam hari, mulai maghrib digunakan bel kecil. Kegiatan santri sehari-hari diawali dengan bangun pagi, salat subuh berjamaah di kamar masing-masing untuk kelas I-IV dan di masjid untuk kelas V dan VI, terus pemberian kosa kata atau struktur kalimat bahasa Arab atau Inggris, serta kemudian membaca al-Quran. Setelah itu itu santri punya kegiatan bebas, ada yang belajar, mencuci dan mandi, berolahraga, mengikuti kursus-kursus bahasa, kursus kesenian, kursus ketrampilan, dll. Pada jam enam bel berbunyi tanda kegiatan-kegiatan kursus dan olahraga sudah harus berhenti, kemudian mandi, makan pagi, dan persiapan masuk sekolah. Jam 06.45 bel berbunyi tanda berakhirnya waktu makan pagi dan santri sudah mengosongkan asrama, kamar mandi, dapur, dan tempat-tempat lain untuk masuk kelas. Jam 07.00 mulailah kegiatan belajar pagi di kelas-kelas sampai jam 12.50, diselingi

125

istirahat dua kali, jam 08.30-09.00 dan jam 11.15-11.30. Jam 12.50 sekolah pagi berakhir dan santri bersiap-siap salat zuhur berjamaah, dilanjutkan dengan makan siang dan istirahat sekadarnya sebelum kemudian pada jam 14.00 murid-murid kelas IV ke bawah masuk kursus sore. Kelas kursus sore difokuskan untuk materi-materi bahasa dan materi-materi lain untuk menunjang program masuk kelas pagi. Guru-guru yang mengajar kursus sore sebab besar terdiri santri-santri senior (kelas VI), sebagai wahana pendidikan mengajar, ditambah guru-guru yunior khususnya untuk mengajar kelas IV dan III intensif. Pengaturan pelajaran sore ini dilakukan oleh Bagian Pengajarn dengan bimbingan guruguru bagian pelajaran sore. Ini merupakan media yang baik untuk berlatih kepemimpinan dalam wujud mengatur dan menyelenggarakan kegiatan sosial untuk tujuan akademik intelektual. Jam 15.00 tepat bel berbunyi tanda berakhirnya kursus sore dan kemudian salat `Ashar berjamaah dan dilanjutkan kemudian dengan membaca al-Quran. Jam 15.45 bel berbunyi lagi tanda dimulainya waktu kegiatan bebas setelah salat `Ashar. Kegiatan bebas ini sama dengan kegiatan bebas pada pagi hari. Sampai kemudian berbunyi bel jam 16.45 tanda seluruh kegiatan bebas harus sudah berhenti dan bersiap-siap untuk salat Maghrib berjamaah. Jam 17.00 seluruh santri harus sudah berada di Masjid guna membaca al-Quran menyongsong datangnya Maghrib. Setelah waktu salat Maghrib tiba dikumandangkan azan, setelah itu dibaca Syair Abu Nawas, yang selalu dibaca setiap selesai azan dan sebelum salat ditunaikan. Syair ini berisi penyesalan seorang hamba yang telah banyak berbuat dosa kemudian bertobat memohon ampunan-Nya.

126

Seusai

salat

Maghrib

dan

wiridan,

Bagian

Penerangan

membacakan

pengumuman-pengumuman dalam bahasa Arab atau Inggris, yang berisi permohonan dibacakan doa al-Fatihah untuk santri atau kerabat santri yang sakit; pengumuman pertemuan-pertemuan konsulat, klub-klub olahraga, kursus-kursus, dll. Pengumuman ini biasanya didengarkan oleh sebab santri dengan harap-harap cemas; cemas karena merasa melanggar disiplin dan menunggu pengumuman di panggil ke kantor bagian yang berwenang, misalnya kantor Bagian keamanan, kantor Bagian Penggerak Bahasa, kantor Bagian Pengajaran, atau kantor Staf Pengasuhan Santri untuk panggilan pelanggar disiplin dari kelas V dan VI; sedangkan harap, berharap dapat panggilan dari Bagian Penerimaan Tamu untuk menemui orang tua atau kerabatnya yang datang. Lepas salat Maghrib para santri membaca al-Quran sampai berbunyi bel tanda waktu makan malam. Pada jam makan malam ini sebab santri ada yang langsung makan dan ada yang mengikuti pertemuan-pertemuan serta ada yang mendatangi panggilan ke kantor-kantor penegek disiplin seperti disebutkan di atas untuk disidang

mempertanggungjawabkan pelanggarannya. Jam 19.30-20.00 waktunya jamaah salat Isya. Seusai salat Isya para santri belajar malam untuk mengulangi pelajaran dan mempersiapkan untuk pelajaran hari esok. Belajar malam ini dilakukan secara bersama di bawah bimbingan wali kelas masing-masing. Belajar malam ini terkadang digunakan oleh guru-guru yang materinya tertinggal atau belum mencapai target yang telah ditentukan untuk menambah pelajaran guna mengejar ketertinggalan tersebut. Kegiatan ini berlangsung hingga jam 22.00 saat santri memasuki waktu istirahat malam dan seterusnya tidur, untuk kemudian bangun

127

esok hari jam 04.00 dan melaksanakan kegiatan harian seperti biasanya. 2. Kegiatan Mingguan Untuk memberi gambaran tentang kegiatan di Pondok Pesantren Darul Marifat dalam kurun waktu seminggu, berikut ini adalah gambaran kegiatan mingguan. Jadwal Mingguan
No 1 2 Hari Sabtu Ahad Kegiatan Tidak ada perubahan dari jadwal harian Pagi hari sesuai jadwal harian Pagi hari seperti jadwal harian, malam hari, setelah Jamaah `Isya ada latihan pidato (muhadharah) dalam Bahasa Inggris untuk kelas I-IV, kelas V acara diskusi, dan kelas VI menjadi pembimbing untuk kelompok-kelompok latihan pidato. Tidak ada perubahan dari jadwal harian Pagi hari, sesetelah jamaah subuh, latihan percakapan bahasa Arab/Inggris, dilanjutkan lari pagi wajib untuk para santri. Tidak ada perubahan dari jadwal harian Dua jam terakhir pelajaran pagi digunakan untuk latihan pidato dalam bahasa Arab. Siang, jam 13.45-16.00, dipakai latihan Pramuka. Malam hari, jam 20.00-21.30 ada latihan pidato dalam bahasa Indonesia. Pagi hari ada kegiatan percakapan dalam bahasa Arab/Inggris dan dilanjutkan dengan lari pagi wajib untuk para santri. Setelah lari pagi diadakan kerjabhakti membersihkan lingkungan kampus. Selanjutnya acara bebas.

3 4

Senin Selasa

5 6

Rabu Kamis

Jumat

Perlu sedikit diterangkan mengenai sebab kegiatan mingguan di atas: Latihan pidato Latihan pidato diadakan 3 kali seminggu, masing-masing untuk bahasa Inggris, Arab, dan Indonesia, di bawah bimbingan santri kelas VI. Latihan pidato ini

128

ditangani oleh Bagian Pengajaran dan guru-guru pembimbing. Santri dibagi dalam kelompok-kelompok terdiri dari lebih kurang 40 orang. Tiap-tiap kelompok itu dibagi lagi menjadi beberapa kelompok kecil lebih kurang 8 orang untuk memudahkan penggiliran tugas berpidato ataupun piket menyiapkan dan membersihkan ruangan. Tiap-tiap anggota kelompok yang mendapatkan tugas berpidato untuk bahasa tertentu menulis persiapannya dalam buku khusus untuk kemudian diserahkan kepada pembimbing latihan pidato untuk dikoreksi. Setelah dikoreksi buku dikembalikan ke pemiliknya untuk dibaca dan dihapalkan guna dipidatokan pada waktu yang telah ditentukan. Acara pidato dipimpin oleh seorang pembawa acara, dimulai dengan pembacaan al-Quran, selanjutnya pembukaan, pidato-pidato secara bergiliran oleh anggota kelompok yang bertugas, tanggapan dan komentar atau ulasan dari kira-kira 5 peserta selain anggota kelompok yang sedang bertugas yang ditunjuk oleh pembawa acara, pengabsenan dan pengumuman-pengumuman mengenai petugas untuk kesempatan-kesempatan berikutnya serta nasehat-nasehat dari pembimbing, terakhir penutup. Pakaian yang dikenakan peserta adalah seperti pakaian masuk kelas pagi: baju warna polos dimasukkan ke celana dan bersepatu, pembawa acara berdasi dan mengenakan jas, adapun pembicara semuanya mengenakan dasi. Lari Pagi dan Latihan Percakapan Arab/Inggris Lari pagi diadakan seminggu dua kali: Selasa dan Jumat. Lari pagi ini diatur oleh Bagian Olahraga dan dipimpin secara langsung oleh pengurus asrama. Pakaian lari pagi adalah pakaian olahraga: kaos, training, dan sepatu. Setiap asrama

129

mempunyai kaos tersendiri untuk lari pagi, dan santri wajib mengenakan kaos tersebut saat lari pagi. Seusai Salat Subuh santri langsung berganti pakaian olahraga, kemudian secara per kamar dan per asrama menuju tempat yang telah ditentukan. Sebelum lari pagi mereka mengadakan latihan percakapan bahasa Arab/Inggris dengan topik dan teks yang sebelumnya telah dibagikan, di bawah pengawasan bagian penggeraka bahasa dan bagian penggerak bahasa di asrama-asrama.Setelah latihan percakapan selesai, dikomando mulai lari per anggota kamar dan per asrama. Bagian olahraga kamar dan ketua kamar memimpin langsung lari pagi untuk setiap kamar dan untuk kelompok asramanya dipimpin oleh bagian olahraga asrama dibantu oleh ketua asrama dan bagian keamanan asrama. Jarak tempuh lari pagi lebih kurang 2,5 km., untuk hari Selasa dan 4 km., untuk hari Jumat. Latihan Pramuka Latihan pramuka ditangani oleh organisasi kepramukaan yang ada, dengan dibantu oleh pembina-pembina pramuka dari seluruh siswa kelas V. Sehari sebelumnya, yakni Rabu sore, para andika dan pembina serta pembantu pembina telah menyiapkan perangkat-perangkat latihan yang diperlukan, di antaranya pioneering, untuk latihan Kamis sore itu di tempat yang ditentukan. Dalam berlatih pramuka seluruh santri wajib memakai pakaian pramuka dan atribut-atribut yang telah ditentukan. Latihan dimulai dengan upacara pembukaan (pengibaran bendara) dan ditutup dengan upacara penutupan (penurunan bendera). Santri dibagi menjadi 9 gugusdepan demikian pula pembina dan pembantu pembinanya. Setiap gugusdepan dibagi lagi menjadi pramuka penggalang dan penegak. Penggalang dibagi lagi

130

menjadi satuan-satuan ramu, rakit, dan terap, kemudian masing-masing dibagi menjadi regu-regu; penegak juga dibagi menjadi satuan bantara 1 dan 2 serta laksana 1 dan 2, selanjutnya semuanya dibagi lagi menjadi sangga-sangga. Dalam melatih, pembantu pembina harus mempunyai persiapan tertulis di buku yang telah dicetak untuk kepentingan tersebut. Persiapan latihan itu diserahkan kepada Majelis Pembimbing Gugusdepan, terdiri dari guru-guru yang ditunjuk, untuk diteliti dan disahkan. Pembantu pembina yang melatih tanpa persiapan akan dikenai sangsi. Materi-materi latihan sangat variatif yang meliputi latihan upacara, baris-berbaris dengan segala variasinya, sandi-sandi, semaphore, tali-temali, ketangkasan, bernyanyi, bermain, berkemah, ketrampilan, P3K, SAR, dll. 3. Kegiatan Tahunan Di antara acara tahunan yang sangat penting adalah penyelenggaraan Pekan Perkenalan Khutbatul `Arsy (orientasi kePesantrenan), yang bertujuan mengenalkan kepada santri kehidupan di Pondok secara menyeluruh. Acara-acara yang diadakan pada Pekan Perkenalan ini antara lain: Pengajaran lagu Hymne Pondok (Oh Pondokku) untuk siswa baru. Pekan olahraga dan seni. Olahraga yang dilombakan meliputi: atletik, sepak bola, bola basket, voly, bulutangkis, tenis meja, dan sepak takraw. Sedangkan lomba seni meliputi: baca puisi, tarik suara, menulis cerpen, kaligrafi, volk song, dan beladiri. Di samping itu pada pekan ini juga diadakan lomba-lomba permainan dan ketangkasan yang menghibur.

131

Jambore dan Raimuna, yang dihadiri oleh pondok-pondok cabang

dan

pondok-pondok yang dikelola alumni, diadakan di lapangan Pondok, selama 3 hari. Lomba cerdas tangkas antar asrama Lomba membaca al-Quran dengan lagu atau MTQ Lomba senam antar rayon (asrama) Lomba baris-berbaris antar rayon Apel Tahunan, apel ini wajib diikuti oleh seluruh santri dan guru. Santri atau guru yang absen dari acara ini dikenai skors selama setahun. Acara ini diawali dengan upacara dan yang bertindak sebagai inspektur upacara adalah Pimpinan Pondok. Seusai upacara diadakan parade barisan yang terdiri dari barisan Pengibar bendera, Bhinneka tunggal ika (barisan santri yang mengenakan pakaian suku-suku di seluruh Indonesia), barisan pramuka peserta Jambore dan Raimuna dari pondokpondok cabang dan pondok alumni Gontor, barisan (sebab) guru KMI, barisan (sebab) kelas VI; kemudian diselingi dengan atraksi-atraksi: Marching Band Pondok, senam ketangkasan, Reog, Jaranan, Gajah-gajahan, Ondel-ondel Betawi, pencak silat, ketangkasan menunggang kuda, ketangkasan naik sepeda; selanjutnya barisan sepeda dan becak hias, sepeda motor hias, dan mobil hias (semuanya milik Pondok dan keluarga Pondok). Seterusnya barisan konsulat-konsulat seluruh Indonesia dan luar negeri. Seluruhnya kemudian secara teratur dalam barisan masing-masing keliling desa sekitar Pondok. Kuliah Umum Khutbatul `Arsy Demonstrasi bahasa (bahasa daerah dan bahasa internasional).

132

Pentas rebana dan teater Pentas aneka seni dan budaya ``Aneka Ria Nusantara`` yang menampilkan aneka budaya daerah ditampilkan oleh santri yang berasal daerah tersebut.

Lomba vocal group antar rayon. Festival lagu dan baca puisi Pentas musik santri KMI Pentas musik mahasiswa Drama Arena (pentas seni oleh siswa kelas V, acaranya mirip dengan Panggung Gembira)

Panggung Gembira (pentas seni siswa kelas VI, antara lain: pentas wayang orang, lenong, komedi, pantomim, drama, musik pop dan dangdut, teaterikal puisi, rebana dan nasyid, choir, beladiri, dll.) Sebagaimana telah disebutkan di atas, tampaknya sulit untuk bisa memberikan batasan-batasan yang tegas tentang perbedaan kegiatan intra dan ekstra kurikuler (akademik dan non-akademik) dalam pendidikan dan pengajaran yang diselenggarakan di dunia Pesantren. Kegiatan belajar di kelas di luar waktu belajar pagi, misalnya kursus sore dan belajar bersama waktu malam, dapat dikategorikan ke dalam dua kemungkinan jenis kegiatan, yaitu intra-kurikuler dan ekstra-kurikuler. Kegiatan tersebut dapat menunjang kegiatan akademik kurikuler belajar pagi dalam rangka pencapaian tujuan akademik, tetapi juga sekaligus dapat memberikan pengalaman belajar dalam tercapainya tujuan-tujuan pengalaman dan sikap sosial. Pengalaman belajar bersama

133

yang menumbuhkan sikap sosial ini perlu bagi santri untuk bekal mereka terjun ke masyarakat. Di samping kegiatan-kegiatan sosial yang bernilai akademik dan kegiatankegiatan akademik yang bernilai sosial, dijumpai juga kegiatan-kegiatan sosial yang bertujuan ke arah tercapainya tujuan-tujuan pendidikan sosial, sesuai orientasi dan Gerakan

kemasyarakatan dari pendidikan dan pengajaran di Pondok ini, seperti

Pramuka yang mengola segala kegiatan di luar jam pelajaran pagi, termasuk kegiatan kesenian, ketrampilan, olahraga, penerbitan, kesehatan, latihan pidato, diskusi, mengelola koperasi, menerima tamu, dan kegiatan-kegiatan kepramukaan. Tujuan umum dari kegiatan-kegiatan ini ialah mempersiapkan anak untuk menjadi manusia masyarakat, manusia yang tidak asing dari kehidupan masyarakat, menjadi anggota yang aktif dan konstruktif, dan mampu meneropong masyarakat serta mengadakan pembaruan dalam kehidupan mereka. Nilai-nilai yang dikandung dalam segala kegiatan di atas meliputi nilai kemasyarakatan, ketrampilan, kewarganegaraan, kepemimpinan, dan nilai-nilai moral. Dari sini dapat diharapkan tercapainya pengembangan dan pembinaan sikap sosial di bidang kepemimpinan, koperasi, partisipasi, dan tanggung-jawab. Perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan penilaian kegiatan-kegiatan santri dilaksanakan oleh santri sendiri secara self-government melalui wadah organisasi-organisasi yang ada. Tentu saja semua ini berlangsung dengan bimbingan intensif dan efektif dari para guru terutama Staf Pengasuhan Santri dalam rangka mencapai tujuan pendidikan dan pengajaran yang telah ditetapkan.

134

B. Potret Asrama Dan Santri Penyelenggaraan asrama untuk para santri di Pondok Pesantren Salafiyah berbeda dengan penyelenggaraan asrama di Pesantren jenis kholafiyah, apa lagi asrama bagi pelajar dan mahasiswa. Berdirinya asrama untuk para santri yang lazim disebut pondok biasanya bermula dari adanya seorang kyai yang alim yang relatif menguasai ilmu-ilmu agama Islam yang menetap di suatu tempat (bermukim). Kemudian datanglah santri-santri yang ingin belajar kepadanya dan turut pula bermukim di tempat tersebut. Karena banyaknya santri yang datang mereka pun berupaya mendirikan pondok di sekitar rumah kyai atau mesjid. Biasanya tanah yang dibangun untuk pondok tersebut tanah milik pribadi kyai, ada yang kemudian diwakafkan untuk umat Islam dan ada pula yang masih tetap berstatus milik keluarga kyai yang dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat, tentunya kepentingan pendidikan Islam bagi masyarakat. Di komplek Pondok Gotor, nama-nama asrama sebab diberi nama dari mana dana pembangunan asrama itu di dapat. Contohnya gedung Al-Azhar, menunjukkan dana yang digunakan untuk pembangunan asrama tersebut dari Al-Azhar Cairo, Mesir. Di Pondok Pesantren Salafiyah, misalnya di pondok Kempek Ciwaringin Cirebon, tiap bangunan asrama didirikan berdasarkan asal daerah dan diberi nama sesuai dengan nama asal daerah masing-masing atau mengambil nama nama tokoh ulama salaf, seperti ; Al Ghozali, Imam Syafii, Imam Turmudzi dan lain-lain, atau bisa dengan haruf abjad dari A sampai Z. Dalam mewujudkan bangunan pada Pondok Pesantren Salafiyah biasanya ada

135

dua cara yang biasa dilakukan. Pertama : orang-orang tua / wali santri dari asal daerahnya masing-masing dikoordinir oleh seorang koordinator membangun asrama untuk para putranya yang siap bermukim. Segala kebutuhan material ditanggung bersama-sama orang tua / wali santri dan atau bisa dibantu oleh para donatur sesama daerah, kyainya sendiri hampir tidak tau menau urusan bangunan asrama hanya menyediakan tanah milik pribadi di sekeliling rumahnya dan masjid, seperti yang terjadi di beberapa Pesantren Salafiyah di Kabupaten Cirebon pada tahun 1970 an kebalakang, seperti ; Pesantren Babakan Ciwaringin yang saat itu masih bentuk Salafiyah murni, Pesantren Kempek. Kedua : dirancang dan diprakarsai langsung oleh kyai yang dalam pelaksanaannya di serahkan kepada orang keperceyaannya, para orang tua / wali santri, alumni dan masyarakat dapat memberi konstribusi berupa dana maupun material seikhlasnya, seperti yang terjadi pada dewasa ini di kebanyakan Pesantren khususnya di Kabupaten Cirebon. Pengelolaan asrama di Pondok Darul Marifat ditangani oleh personel-personel yang diangkat oleh organisasi pelajar. Kepengurusan asrama, di pondok Darul Marifat dikenal dengan istilah Rayon, diketuai oleh seorang kepala Rayon, dibantu oleh sekretaris, bendahara, dan beberapa seksi seperti seksi keamana, kesehatan, olahraga, kesenian, dan ketrampilan. Pengurus rayon ini dibantu juga oelh kepengurusan lain yang dinamakan organisasi penggerak bahasa Pondok Pesantren, yang bertugas emmantau dan memberikan pengajaran bahasa di rayon. Pengolahan asrama di Pesantren Salafiyah biasanya dipimpin oleh seorang ketua yang kazim disebut Lurah Pondok yang dilengkapi dengan susunan kepengurusan dan

136

dibantu seksi-seksi sesuai kebutuhan. Seorang Katua asrama biasaya dari santri senior yang dipilih secara demokratis oleh perwakilan-perwakilan dari tiap-tiap kamar asrama. Calon-calon Ketua yang akan dipilih adalah mereka yang telah mendapat restu dari kyainya. Atau untuk seorang Ketua asrama bisa ditunjuk langsung oleh kyainya, sedang para pembantunya diserahkan kepada Ketua untuk memilih. Masa jabatan pengurus tergantung aturan yang ditetapkan Pesantren masing-masing. Sistem makan di Pesantren Salafiyah, umunya para santri menanak nasi sendiri secara berkelompok masing-masing kamar, sedang untuk lauk pauknya bisa membeli di warung-warung milik masyarakat di sekitar pondok. Bagi mereka yang malas memasak bisa makan sepenuhnya di warung, sehingga dengan sistem makan yang demikian secara langsung dapat menjalin hubungan emosional antara santri dengan masyarakat sekeliling Pondok Pesantren dan masyarakat sendiri merasa diuntungkan dengan adanya Pondok Pesantren. Manfaatnya di sisi yang lain, para santri terbiasa dengan pola hidup sederhana dan mandiri, dengan jatah bekal yang diberikan orang tua dituntut harus mampu mengatur dalam pengeluarannya. Hal ini berbeda dengan Pesantren jenis kholafiyah (modern). Di Pesantren jenis ini para santri dikenakan berbagai biaya termasuk uang makan tiap bulannya, mereka jelas harus makan di asrama dalam satu koordinasi, bahkan hampir semua jenis kebutuhan santri dari makanan, alat-alat kebutuhan belajar hingga pakaian telah tersedia, mereka harus membeli semua kebuthan di asrama. Sebenarnya pengkoordinasian secara penuh dalam segala aspek kebutuhan santri di asrama, selain yang mengarah dan relevan dengan pendidikan akan berdampak negatif,

137

akan terganggunya kreatifitas, jiwa demokratis dan hubungan sosial kemasyrakatan bagi para santri yang merupakan bagian dari ruh Pondok Pesantren. Untuk biaya operasional asrama di Pesantren Salafiyah ini, seperti untuk keperluan sarana administrasi, biaya listrik biaya-biaya keperluan harian di asrama dan lain-lain, biasanya santri-santri dipungut biaya sekedarnya yang relatif cukup murah bila dibanding dengan tempat-tempat lain yang lazim disebut ianah atau syahriyah. Tetapi untuk biaya-biaya yang berat, seperti rehab bangunan fisik asrama maupun upaya pengembangan mengingat santri bertambah banyak bisa dari kyainya sendiri, swadaya para alumni dan masyarakat maupun sumbangan dari pemerintah penyelenggaraan asrama di Pondok Pesantren Salafiyah yang dikelola secara organisasi ini di samping merupakan tempat para santri bermukim, yang terpenting adalah terciptanya situasi di asarma yang kondusif yang menunjang keberhasilan belajar para santri dalam sistem pengawasan di bawah pimpinan seorang kyai, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sehingga Pesantren Salafiyah ini dapat melahirkan kader-kader muslim militan, santri-santri yang alim yang dapat mengamalkan ilmunya sebagaimana dicontohkan kyainya sebagai pengambdian kepada agama Allah, meski tidak harus menjadi kyai memimpin Pondok Pesantren. C. Organisasi Santri Kegiatan organisasi di Pondok Pesantren merupakan kegiatan yang sangat diminati oleh santri pondok, oleh karena itu santri di Pondok Pesantren membentuk wadah organisasi tersendiri yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kegiatan yang dilakukan. Pembahasan tentang organisasi Pondok Pesantren akan dibagi dalam

138

kegiatan organisasi di Pondok Pesantren Ashriyah (Modern) dan Pondok Pesantren Salafiyah (Tardisional). 1. Organisasi Santri di Pondok Modern Kegiatan berorganisasi di Pondok telah diadakan sejak awal berdirinya Pondok ini. Hal ini dimaksudkan untuk memberi bekal dan pengalaman kepada santri untuk hidup di masyarakatnya kelak. Kegiatan berorganisasi ini merupakan kegiatan yang tak terpisahkan dari kehidupan santri sehari-hari, sebab berorganisasi di Pondok ini berarti pendidikan untuk mengurus diri sendiri dan tentu saja orang lain. Seluruh kehidupan santri selama berada di dalam Pondok diatur oleh mereka sendiri (self-government) dengan dibimbing oleh santri-santri senior atau guru-guru. Kegiatan-kegiatan ini selalu didasari oleh Panca Jiwa, Falsafah, dan Moto pendidikan dan pengajaran Pondok. Induk organisasi santri di Pondok ada dua : Organisasi Pelajar Pondok (OPPM) dan Gerakan Pramuka. Untuk gerakan pramuka akan dikemukakan dalam pembahasan tersendiri. Pengurus Organisasi Pelajar adalah santri-santri kelas V dan VI (setingkat dengan kelas II dan III SMU) yang terpilih melalui musyawarah. Proses pemilihan berlangsung sebagai berikut: Seluruh santri kelas V yang berasal dari kelas reguler, bukan intensif, di tiap konsulat otomatis menjadi kandidat. Pemilihnya adalah seluruh anggota konsulat termasuk santri kelas VI. Dua kandidat peraih suara terbanyak maju untuk ke pemilihan lebih lanjut untuk menentukan formatur yang terdiri dari 6-10 orang. Formatur tersebut kemudian memilih di antara mereka

139

diajukan untuk ikut dalam setiap konsulat kemudian mengajukan 2 orang yang akan duduk sebagai pengurus berasal dari utusan tiap-tiap konsulat yang dipilih oleh

anggota konsulat. Para utusan terpilih itu kemudian memilih di antara mereka formatur yang akan menentukan ketua dan susunan pengurus selengkapnya. Susunan pengurus yang dirancang itu dikonsultasikan ke wali kelas dan staf Pembantu Pengasuhan Santri, terakhir dikonsultasikan ke Pimpinan Pondok. Pada setiap bulan Ramadan atau sebelum memasuki tahun ajaran baru mereka mengadakan Musyawarah Kerja untuk merancang Program Kerja selama satu periode masa bakti. Pada setiap akhir masa jabatan, seluruh pengurus Organisasi ini melaporkan kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan selama setahun di depan seluruh santri dan guru-guru serta pimpinan-pimpinan lembaga dan Pimpinan Pondok. Pimpinan Pondok biasanya memberikan tanggapan, penilian, koreksian, dan arahan-arahan pada acara-acara seperti itu dengan menegaskan bahwa semua ini adalah untuk pendidikan. Seusai laporan pertanggungjawaban diadakan serah terima jabatan dari pengurus lama ke pengurus baru terpilih. Acara laporan pertanggungjawaban dan serah terima jabatan ini biasanya berlangsung 2 hari. Mengingat pentingnya acara ini sebagai wahana mendidik bergorganisasi, santri diliburkan dari kegiatan belajar di kelas. a. Bagian-bagian Kegiatan- kegiatan santri di dalam Pondok diurus oleh 20 bagian dalam . Bagian-bagian tersebut terdiri dari pengurus harian: ketua, sekretaris, bendahara, dan

140

keamanan, dan 16 bagian yang lain, yaitu: Bagian Pengajaran, Bagian Penerangan, Bagian Kesehatan, Bagian Olahraga, Bagian Kesenian, Bagian Kesenian, Bagian Perpustakaan, Bagian Koperasi Pelajar, Bagian Penerimaan Tamu, Bagian Koperasi Dapur, Bagian Warung Pelajar, Bagian Penggerak Bahasa, Bagian Penatu, Bagian Fotografi, dan Bagian Bersih Lingkungan. b. Tugas-tugas dari bagian-bagian Secara singkat, tugas bagian-bagian dari organisasi santri tersebut diatas adalah sebagamanan yang digambarkan di bawah ini : 1) Ketua: bertanggungjawab atas kelancaran pekerjaan tiap-tiap bagian dalam; bertanggungjawab atas jalannya , ke dalam dan ke luar; memberikan arahan dan mengontrol tiap-tiap bagian dalam menjalankan tugas-tugasnya. 2) Sekretariat: bertanggungjawab atas ketertiban administrai atau ketatausahaan organisasi dan memipin sekretaris bagian-bagian , sekretaris asrama, sekretaris konsulat, sekretaris klub-klub dan kursus-kursus. 3) Bendahara: bertanggungjawab mengatur keuangan dan mengkoordinir

bendahara asrama-asrama, klub-klub olahraga, kursus-kursus bahasa, dan konsulat-konsulat. 4) Bagian Keamanan: bertanggungjawab atas berjalannya disiplin dan sunnahsunnah Pondok serta terjaganya ketertiban dan ketentraman Pondok. Di antara tugas Bagian ini adalah: Mengawasi dan mengontrol disiplin berjamaah, disiplin berolahraga, disiplin berpakaian, disiplin makan dan minum, jalannya latihan berpidato, santri-santri yang

141

bepergian ke luar kampus, piket-piket asrama dan piket malam, tidur malam santri, rambut santri, menyensor seluruh surat dari luar Pondok yang dialamatkan kepada santri, dll. Mendisiplin dan memberi sanksi santri-santri yang melanggar. Ada pelanggaran berat dan ada pelanggaran ringan. Pelanggaran berat bisa yang bisa menyebabkan pelakunya diusir, yaitu berpacaran, mencuri, berkelahi, menghina pengurus. Beberapa alasan edukatif dijadikan landasan pengusiran pelanggaran ini, misalnya mencuri. Santri yang mencuri, apapun yang dicuri, meskipun hanya pulpen akan diusir. Masalahnya bukan terletak pada nilai pulpen, tetapi lebih ditekankan pada jiwa mencuri. Santri yang mencuri berarti sudah ada jiwa mencuri di dalamnya. Jiwa yang berupa keberanian untuk mencuri ini yang berbahaya, bukan nilai benda yang dicuri, sekarang mungkin mencuri pulpen, di lain waktu bisa mencuri sesuatu yang lebih besar, karena sudah mempunyai jiwa pencuri. Sedangkan alasan pengusiran berkelahi adalah di lingkungan Pondok, hal-hal yang merusak kedamaian tidak boleh ada. Di tambah lagi berkelahi itu bertentangan dengan jiwa ukhuwwah Islamiyah. Pondok adalah lembaga pendidikan, bukan bengkel. Maka segala tindakan yang dapat merusak iklim pendidikan tersebut harus dijauhkan. Pemberian sanksi ini tidak pilih kasih dan tidak pandang bulu, siapa saja yang melanggar mesti dikenai sanksi yang berlaku, termasuk keluarga pondok, dan bahkan anak Kyai juga dikenai sanksi jika melanggar. Contohnya, salah seorang anak Kyaisekarang menjadi salah seorang Pimpinan Pondokjuga pernah diberi sanksi cukur gundul karena meninggalkan kampus tidak sesuai dengan ketentuan

142

yang berlaku. Ini merupakan penanaman jiwa egaliter yang dapat menjadi motor dan jiwa penegakan disiplin. Menangani perizinan santri untuk keluar kampus. Santri yang akan ke luar kampus harus izin ke Keamanan Pusat, dengan cara menyerahkan kartu perizinan kepada Sekretaris asrama sehari sebelumnya. Esok harinya santri yang izin itu menghadap ke Kantor Keamanan Pusat untuk mengecek apakah dia diberi izin atau tidak. Jika diberi izin maka dia dibolehkan keluar Pondok ke tujuan yang dimaksud. Santri yang telah diizinkan itu diberi surat izin dan kartu perizinannya ditinggal di Kantor Bagian Keamanan. Di kartu itu tercatat hari, tanggal, alasan, dan tempat tujuan yang akan didatangi. Dari kartu itu dapat diperiksa frekuensi izin yang bersangkutan. Menyediakan trayek kendaraan kediri-Darul Marifat pada hari-hari libur atau pada hari-hari menjelang santri kembali ke Pondok setelah liburan.

5) Bagian

Pengajaran: bertanggungjawab atas pelaksanaan pelajaran sore,

peringatan hari-hari besar Islam, latihan dan lomba pidato santri, jamiyyatul qurra, dan diskusi kelas V serta bertanggungjawab atas ketertiban dan kebersihan masjid, imam shalat dan khatib jumat. 6) Bagian Penerangan: bertanggungjawab atas penyebaran berita-berita dari dalam Pondok dan dari luar, menyediakan sound system dalam setiap kegiatan di Pondok yang memerlukannya, memutar lagu-lagu dan instrumentalia, dan menempatkan surat kabar di beberapa etalase yang tersedia. Bagian ini juga

143

membawahi penerbitan koran dinding dwi-mingguan ``Darussalam Post``. Koran ini dikelola santri-santri kelas III-V. 7) Bagian Penggerak Bahasa: bertanggungjawab atas jalannya disiplin

berbahasa (Arab dan Inggris) serta usaha-usaha peningkatannya, antara lain melalui pengkayaan kosa kata, percakapan, kursus, lomba (cerdas cermat, mengarang karya ilmiah dan cerpen, baca koran dan majalah serta kitab, debat, majalah dinding, menerjemah, drama, baca puisi, dan reportase olahraga), pemutaran kaset dan video serta CD (berita, lagu, percakapan, dan film), dan menerbitkan teks-teks dan buku. Bagian ini membawahi bagian penggerak bahasa di asrama-asrama santri serta klub-klub kursus bahasa Arab dan Inggris. 8) Bagian Ketrampilan: bertanggungjawab atas penyelenggaraan berbagai

kursus ketrampilan untuk santri, misalnya: sablon, elektronik, membuat limun, membuat sabun, merangkai bunga, merangkai janur, membuat akuarium, melukis, dekorasi, dll. 9) Bagian Kesenian: bertanggungjawab menanamkan dan mengembangkan jiwa seni di kalangan santri dengan mengadakan berbagai kursus, pentas, ekshibisi dan publikasi karya, lomba kesenian, dll. Klub-klub dan kursus-kursus kesenian yang ada di bawah bagian ini antara lain: teater, kaligrafi, musik (drum, gitar, organ, drum, calung, dan piano), tarik suara, melukis, letter dan dekorasi, beladiri. Bagian ini juga mempunyai studio musik dan art gallery. 10) Bagian Penerimaan Tamu: bertanggungjawab menyambut, melayani, dan memberikan penjelasan tentang Pondok kepada para tamu yang datang, serta

144

menyediakan konsumsi dan akomodasi untuk para tamu itu. 11) Bagian Koperasi Dapur: bertanggungjawab atas pengelolaan dapur santri. 12) Bagian Toko Koperasi Pelajar: bertanggungjawab atas pengelolaan toko pelajar dan penyediaan kebutuhan santri sehari-hari, mulai buku/kitab, peralatan tulis-menulis, pakaian, makanan, perlengkepan mandi dan mencuci, souvenir, dll. 13) Bagian Koperasi Warung Pelajar: bertanggungjawab atas pengelolaan warung pelajar termasuk penyediaan makanan ringan dan lauk-pauk, bekerjasama dengan masyarakat sekitar Pondok. 14) Bagian Olahraga: bertanggungjawab atas kegiatan dalam seluruh cabang olahraga yang ada, porseni, Pesantren Cup, dan koordinasi seluruh klub

olahraga yang ada. Ada olahraga yang wajib diikuti oleh seluruh santri yaitu lari pagi 2 kali seminggu (Selasa pagi dan Jumat pagi). Sarana olahraga yang tersedia di Kampus Pondok antara lain: 1 Gedung Olah Raga yang memuat 2 lapangan basket dan atau 6 lapangan bulutangkis, 3 lapangan sepak bola, 3 lapangan basket di tempat terbuka, 2 lapangan bulutangkis di tempat terbuka, 2 lapangan voly, 3 lapangan sepak takraw, beberapa meja tenis, perangkat atletik, perangkat senam dan bodybuilding. 15) Bagian Kesehatan: bertanggungjawab memberikan pelayanan kesehatan santri, bekerjasama dengan Balai Kesehatan Santri dan Masyarakat (BKSM), mengelola toko obat-obatan. 16) Bagian Perpustakaan: bertanggungjawab mengelola perpustakaan santri,

145

termasuk pengelolaan majalah dinding, majalah dwi-mingguan, warta dwiharian Syawwal, kelompok kajian, buletin, distribusi majalah dan jurnal). 17) Bagian Penatu: bertugas mengkordinir pencucian pakaian santri yang menghendaki pelayanan pencucian, bekerjasama dengan masyarakat sekitar. 18) Bagian Fotografi: bertanggungjawab menangani foto-foto dokumentasi Pondok, mendokumentasikan berbagai kegiatan di Pondok dalam bentuk foto dan video, mengadakan kursus fotografi, dan sesekali mengadakan ekspo fotofoto dokumenter. 19) Bagian Fotokopi: bertanggungjawab memberikan pelayanan fotokopi kepada para santri dan berbagai pelayanan yang erat dengan masalah fotokopi. 20) Bagian Bersih Lingkungan: bertanggungjawab atas kebersihan lingkungan Pondok, penghijauan, dan pelestarian tanaman-tanaman di lingkungan Pondok. Organisasi Pelajar Pondok merupakan organisasi induk, dimana organisasi ini juga membawahi beberapa organisasi, antara lain: organisasi asrama, organisasi daerah, klub-klub olahraga, klub-klub kursus kesenian, klub-klub kursus ketrampilan, dan klub-klub kursus bahasa. 2. Organisasi Santri Pondok Salafiyah Untuk profil kegiatan santri di Pondok Pesantren Salafiyah dalam bahasan ini diambil dari Pondok Pesantren Kempek dan Kaliwungu Cirebon. Dalam Pondok Pesantren Salafiyah terdapat dua macam organisasi santri, yaitu Organisasi Intra Pesantren dan Organisasi ekstra : a. Organisasi santri (Salafiyah) Intra Pesantren

146

Organisasi ini semacam OSIS dalam sistem sekolah atau madrasah. Dalam sistem Pesantren Salafiyah organisasi intra merupakan wadah yang mengelola kegitan santri. Adapun nama organisasi bermacam-macam tergantung nama Pondok Pesantren di mana mereka belajar ( mesantren ), suatu contoh santri-santri dari Pondok Pesantren Al-Muayyad di Solo, mereka membentuk organisasi yang diberi nama Ikatan Santri Al-Muayyad. Organisasi intra Pesantren biasanya bersifat otonom, tidak ada campur tangan dari kekuasaan kyai. Para santri secara demokrasi dapat memilih ketua, menentapkan orangorang dalam struktur kepengurusan dan merumuskan program-program kerjanya secara mendiri para santri. Kendati demikian kyai berpeluang ikut mengambil manfaat dari organisasi intra tersebut walau sekedar dalam kepentingankepentingan yang ringan sifatnya. Organisasi santri intra Pesantren sebagimana halnya organisasi-

organisasi lain dipimpin oleh seorang ketua dibantu oleh anggota pengurus lainnya. Seorang ketua yang memimpin organisasi intra Pesantren ini

merupakan hasil pemilihan langsung secara demokratis oleh Majelis Perwakilan Santri ( MPS) sebagai wkil-wakil santri dari tiap kamar atau cukup tiap kelompok asrama. Pemilihan pengurus ( ketua ) dilakukan biasanya dalam acara musyawarah tahunan yang khusus diadakan untuk acara tersebut. Dalam musyawarah ini di samping pemilihan pengurus juga diadakan evaluasi terhadap pelaksanaan pengurus periode lalu, merumuskan program kerja periode mendatang dan mrmbuatrekomendasi-rekomendasi yang bersifat internal

147

maupun eksternal. lama masa jabatan pengurus maupun diadakannya musyawarah tahunan tergantung kesepakatan masing-masing, tidak ada keharusan yang pasti melainkan fleksibel. Struktur organisasinya, biasanya bersifat luwes dan menyesuaikan dengan kebutuhan masing-masing. Dengan kata lain struktur orgnisasi sangat tergantung dari besar atau kecilnya sebuah Pesantren. Tetapi sebagimana lazimnya sebuah organisasi, di dalam struktur tersebut komposisinya terdiri dari : Penasehat, pengurusharian yang terdiri dari ketua dan beberapawakil ketua, sekretaris dan beberapa wakil sekretaris, bendahara dan beberapa wakil bendahara. Sedangkan untuk seksi-seksi dapat dibentuk berdasarkan kebutuhan serta sumber daya manusia ( santri ) yang tersedia. Sebagaimana kita maklumi, bertemunya santri-santri putra dengan santri putri masih dipandang tabu dalam tradisi Pesantren Salafiyah. Oleh karenanya di dalam organisasi santri intra Pesantren tersebut mereka terpisah, atau bahkan bagi santri-santri putri biasanya tidak memerlukan terbentuknya organisasi, lebih cenderung mereka membentuk kelompok ikatan emosional yang secara formal tidak ada kepengurusannya. Pada yang sebenarnya organisasi santri intra Pesantren ini belum merata ada di setiap Pesantren Salafiyah, baru ada pada sebab Pesantren saja. Sebab sebagaimana dijelaskan, kyai merupakan figur sentral Pesantren dan menjadi idola bagi para santri dalam segala aspeknya di Pesantrenya masing-masing, sedang kyai-kyainya sendiri di Pesantren jenis ini masih banyak yang kurang mengerti terhadap organisasi kurang begitu penting.

148

Bila kita melihat potensi organisasi santri ini cukuplah besar, sejarah telah membuktikan, dalam Pondok Pesantren ternyata menyimpan kekuatan besar yang cukup dapat diandalkan. Dari Pondok Pesantren dapat lahir pimimpin-pimimpin yang handal baik informal maupun formal. Dalam kepemimpinan formal misalnya: K.H. Abdurrahman Wahid, seorang alumni Pesantren Tebu Ireng Jombang, K.H. Wahid Hasyim ( orang tua K.H. Abdurrahman Wahid ), K.H. Sayifuddin Zuri, K.H.A Dahlan, masing-masing pernah menduduki jabatan Menteri Agama RI. Apa lagi menjadi pemimpin informal, baik bersifat lokal maupun nasional. Sangatlah banyak tidak dapat kita hitung dengan hitungan jari. Di samping itu, yang cukup berhasil dalam bebagai profesi pun tidaklah sedikit , seperti : petani sukses, pengusaha, politisi, dalam dunia pendidikan, lebih-lebih dalam lembaga pendidikan Pesantren atau pun madrasah. Bagitu besarnya potensi yang dimiliki Pondok Pesantren, namun untuk sementara ini belum ada sebuah wadah untuk menghimpun santri-santri yang berskala nasional sebagaimana hal Pramuka dalam lingkungan sekolah atau Madrasah, sehingga beberapa kelebihan dan pengalaman masing-masing Pondok Pesantren bisa untuk saling melengkapi dan kemungkinan-kemungkinannya bekerja sama sesama para santri antar Pondok Pesantren. Tentunya kerja sama yang paling ideal kerja yang yang mengarah pada pendidikan, ketrampilan, takhnologi dan hal-hal lain yang bisa meningkatkan Sumber Daya Manusia ( SDM ) yang dewasa ini masih kita prihatinkan. Bila di Pesantren masing-masing kyainya

149

merupakan tokoh politik atau punya kecenderungan pada politik-politik tertentu, wadah/ organisasi santri ini tidak boleh di pengaruhi untuk kepentingan politik tersebut. Kegiatan Intra Pesantren, kegiatan utama dari santri adalah mengikuti pengajian pokok yang diselenggarakan oleh Kyai dari Pondok Pesantren tersebut. Karena Pondok Pesantren Salafiyah berbeda dengan Pondok Pesantren sistem kholafi yang menyelenggarakan kegiatan madrasah atau sekolah secara formal, maka kegiatan ngaji merupakan kegiatan pokok atau utama, para santri di Pondok Pesantren biasanya mengaji mulai bada subuh ( sesudah itu kembali mengaji sampai pukul 12.00 siang dan istirahat sampai pukul 14.00, diteruskan mengaji kembali sampai 16.00. antara waktu sholat Ashar sampai magrib ini istirahat kembali, dan biasanya digunakan untuk jalan-jalan sore. Antara waktu Magrib sampai Isya digunakan oleh santri untuk membaca Al Quran, waktuwaktu ini sangat ketat dan santri dilarang keluyuran antara waktu-waktu tersebut, bila ada santri dilihat keluyuran, maka akan ditangkap oleh juru piket dan ia di-tajir ( dihukum), biasanya ia akan digundul dan kepalanya disiram dengan air ceboran. Sesudah sholat Isya, antara pukul 20.00 sampai dengan pukul 22.00 santri tergabung dalam kegiatan belajar bersama yang dikenal dalam istilah Pesantren Musyawaroh , dalam belajar bersama inilah tiap-tiap kelompok memiliki pemandu yang terdiri dari seorang santri senior dari tiap kelompoknya. Sesudah pukul 22.00 keadaan Pondok Pesantren mulai hening karena kelompok-

150

kelompok belajar yang semula terdiri dari puluhan santri mulai menyusut, kini kelompok terpecah terdiri dari kelompok-kelompok yang lebih kecil antara 3 atau 4 santri sedang diskusikan pengajian-pengajian untuk pagi harinya atau lebih memperdalam penguasaan materi kepada yang lebih pandai. Sesudah pukul 24.00 keadaan Pondok Pesantren akan cukup hening, hanya beberapa orang santri piket saja yang masih terjaga, terutama di halaman depan Pesantren. Kegiatan lain dari Intra Pesantren adalah semacam tutorial yakni santri-santri yunior dibimbing oleh para santri senior untuk mengaji dan biasanya seputar tata cara membaca kitab gundul / kitab yang tidak mencantumkan harakat. Dengan belajar secara privat ini, diharapkan ketika nanti santri harus belajar langsung dengan Kyainya ia telah lancar membaca dan sedikit memiliki pemahaman terhadap materi kitabtersebut. Dapat kita katakan hampir tidak ada santri baru yang masih hijau penguasaan ilmu agamanya langsung belajar pada kyainya. Biasanya anak-anak baru ini dibimbing terlebih dahulu oleh para senior yang telah dipercaya, dalam proses pembimbingan inilah digunakan metode sorogan (semacam belajar individual antara guru dan murid ), sedang santri-santri senior yang diberi tugas membantu Kyai dalam kalangan Pondok Pesantren disebut dengan badal .

kegiatan yang tidak kalah pentingnya adalah Bahsul Masail Diniyah, ini semacam pembahasan persoalan-persoalan keagamaan dan kemasyarakatan yang sedang aktual dan berkembang dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Umpamanya persoalan Tenaga Kerja Wanita, menikah di bawah tangan (

151

seorang laki / perempuan yang menikah tidak dicatatkan pada petugas KUA, ini biasanya sang wanita menjadi istri kedua ), perdagangan saham, asuransi jiwa sampai dengan persoalan politik seperti Presiden Perempuan, gerakan separatisme, kudeta terhadap kekuasaan yang syah, demontrasi dan seterusnya. Karena persoalan-persoalan di atas, merupakan persoalan yang cukup berat dan serius, maka biasanya hanya santri-santri yang betul-betul mumpuni yang dapat terlibat dalam pembahasan masalah-masalah tersebut. Kebanyakan yang hadir dalam persoalan-persoalan ini adalah santri-santri senior yang cukup Faham dengan persoalan-persoalan kekinian. Pada tataran yang lebih tinggi dan ini biasanya hanya ada pada pondokPondok Pesantren besar tertentu , diadakan pula Halaqoh semacam seminar terhadap persoalan-persoalan yang benar-benar hangat dan sedang dibutuhkan pemecahannya dalam kehidupan masyarakat bahkan bangsa. Umpamanya beberapa waktu yang lalu di Pondok Pesantren Al Hikam Malang dihalaqohkan persoalan hubungan antara ; Agama, Militer dan masyarakat sipil. Selintas persoalan di atas, kurang menyentuh kebutuhan sehari-hari

komunikasi santri, tetapi bila ditilik lebih kedalam, maka ini merupakan jawaban cerdasdari kalangan Pesantren ( yang selama ini dianggap ortodox / kuno ) terhadap persoalan yang kini sedang dihadapi bangsa. Halaqoh biasanya tidak hanya melibatkan santri-santri dari satu Pesantren, tetapi juga diundang dari pondok-Pondok Pesantren lain, yang dianggap mampu juga memberikan

kontribusi pemikiran terhadap masalah yang sedang dibahas. Diundangnya

152

peserta dari lain Pesantren, ini mengindikasikan sebenarnya keterbukaan menerima pemikiran dari luar bukan hanya monopoli kalangan perguruan tingi saja, tetapi juga kalangan Pondok Pesantren pun telah melakukan hal yang serupa, keterbukaan akan informasi dan sharing pendapat kini mulai berkembang di kalangan pondok pesanren, sejalan dengan makin intersipnya hubungan antara kalangan Pesantren dengan dunia luar. b. Organisasi Santri (Salafiyah) Ekstra Pesantren Organisasi Ekstra Pesantren anggotanya adalah santri-santri dari Pondok Pesantren, namun aktivitasnya ada di luar Pondok Pesantren. Organisasi ini sering disebut pula sebagai organisasi santri bersifat kedaerahan, karena para anggota memang berasal dari suatu daerah-daerah tertentu yang berlatar belakang suku atau sosial budaya tertentu, seperti ; santri-santri asal Kabupaten Cirebon yang mesantren di Pondok Pesantren Kaliwungu, atau di mana masingmasing membentuk organisasi. Kalau di Perguruan Tinggi Organisasi ini agak mirip dengan PMII, GMNI, atau HMI, Cuma bedanya terdapat pada aktivitasnya kegiatan maupun program-program. Kegiatan organisasi ekstra santri dalam melaksanakan kegiatannya biasanya hanya pada moment-moment tertentu saja, seperti : saat liburan panjang Pondok Pesantren pada bula puasa syawal mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang antara lain seperti : pertemuan, silahturahmi, bakti sosial dan lain-lain. Kalau kita lihat organisasi ekstra Pesantren ini masih belum berjalan efektif, aktifitasnya masih sangat minim, begitu pula sasaran programnya

153

sebahagian besar masih belum jelas. Sehingga kurang begitu besar gaungnya di masyarakat. Manfaatnya baru bisa dilihat pada hal-hal yang bersifat praktis, seperti: Sebagai penghubung antar mereka yang sedang belajar di Pondok Pesantren dengan orang tua / wali santri di daerahnya masing-masing. Di samping itu, sebagai pneyalur informasi tentang keberadaan aktivitas Pondok Pesantren bersangkutan dengan para alumni yang kurang sempat menjalin komunikasi secara kontinyu. Oleh karena itu perlu adanya perhatian yang lebih, khususnya dari para alumni Pesantrenya masing-masing maupun kyai, agar organisasi santri ekstra pesanren ini dapat secara optimal membuat dan melaksanakan program-programnya sehingga manfaatnya akan bisa lebih lagi, baik bagi para santri, alumni ataupun masyarakat pada umumnya. Namun untuk pengembangan organisasi ini perlu dikelola secara baik dan hati-hati, mengingat para anggotanya berlatar belakang dan bersifat kedaerahan atau suku tertentu, dikhawatirkan terbentuknya embrio rasa kedaerahan dan rasa kesukuan yang berlebihan sehingga mengakibatkn berpandangan sempit, bisa timbul gep yangjustru akan menjadi kontra produktif dengn misi Pondok Pesantren itu sendiri yang merupakan lembaga pendidikan Islam. Di mana dalam ajaran Islam sendiri tidak mengenal adanya disriminatif antara daerah, suku danbangsa dengn lainnya. Hingga dewasa ini sebenarnya kekhawatiran itu belum pernah terjadi bahkan indikasi saja belumlah nampak sama sekali, hanya dari kita sebagai orang yang memiliki peduli terhadap keberadaan Pondok Pesantren perlu

154

antisipasi agar hal-hal yang mengkhawatirkan tidak akan terjadi. Tapi sebaliknya diharapkan dari organisasi santri ekstra Pesantren ini dapat melahirkan tokohtokoh pemimpin yang berpandangan luas, lintas daerah maupun lintas suku. Kegiatan Extra Pesantren, yakni kegiatan yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya secara langsung dengan kegiatan mengaji kegiatan semacam ini mirip dengan bakti sosial yang dilakukan kalangan mahasiswa atau pelajar. Sehingga kegiatan extra Pesantren sangat kosmopoliti sehingga Pesantrenya penuh dengan aneka ragam kegiatan, tidak melulu mengaji, umpamanya kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh Pondok Pesantren Salafiyah Kempek Ciwaringin Cirebon. Di Pondok Pesantren ini ada beberapa kegiatan yang patut dicontoh Pondok Pesantren lain seperti: Santri Raksa Desa21, kegiatan ini semacam KKN, tetapi lebih luas sebab melibatkan banyak instansi baik kalangan pemerintah maupun swasta. Dalam pelaksanaannya santri-santri yang telah mengikuti semacam training diterjunkan ke desa-desa selama kurang lebih 45 hari, mereka dititipkan di rumah-rumah penduduk dan melakukan kegiatan bakti sosial yang berdimensi keagamaan semacam, melatih anak-anak untuk belajar Al-Quran, baca tulis arab, belajar barzanji, disamping juga ada kegiatankegiatan fisik semisal membuat WC sederhana, mengeraskan jalan, membantu
Kegiatan ini merupakan produk dari Pemda Jawa Barat pada masa HR. Nuriana dan dilaksanakan di wilayah Jawa Barat, seperti Kuningan, Cirebon , dll. Selain kegiatan santri ke desa-desa juga Pemda Jabar meluncurkan (pada tahun 2000 an ) program pos kesehatan pesantren (Poskestren) dengan pembangunan yang dibiyayai pemda diperuntukkanbagi pesantren dan lingkungannya.
21

155

kelancaran saluran air dan seterusnya. Kegiatan santri raksa desa ini tujuannya adalah mengenalkan santri-santri Pondok Pesantren dengan realitas kehidupan masyarakat. Beberapa Pondok Pesantren melanjutkan kegiatan tersebut dengan lebih menekankan pada program pembinaan mental spiritual, sesuai dengan misi Pesantren itu, tentu juga karena kucuran dana dari pemerintah propinsi mulai susut. Santri Raksa Usaha, program ini berbeda dengan program santri raksa desa, bila program pertama bertujuan melakukan perbantuan untuk mempercepat pembangunan khusunya pembangunan fisik dan mental, maka program kegiatan santri raksa usaha bertujuan melakukan pembimbingan ekonomi kerakyatan. Ini bukan santri-santri yang diterjunkan dalam program santri raksa usaha, adalah mereka yang telah dibekali dengan pelatihan-pelatihan praktis di bidang pembukuan sederhana, motivasi ekonomi, keterampilan-keterampilan yang biasa digunakan kalangan pedesaan seperti ; tukang batu, las, kayu, instansi listri sederhana, tukang cukur,pembuatan anyaman, kueh dan seterusnya. Sebelumnya santri-santri tersebut diterjunkan dalam kegiatan

pembimbingan mereka dibagi-bagi terlebih dahulu sesuai dengan minat, bakat serta keterampilan dasarnya. Sesudah dipilah-pilah, maka mereka diwajibkan mengikuti pembekalan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Instansi lain yang terkait, pembekalan biasanya selama 3 (tiga) bulan. Dalam pembekalan itulah nanti diketahui mana santri yang berbakat dan memiliki kemampuan yang memadai, hanya mereka yang berbakat dan memiliki kemampuan saja yang

156

terjun dalam kegiatan santri raksa usaha Bila kita lihat sosok tampilan santri Salafiyah adalah mereka yang tidak berpendidikan formal, bahkan ada Kyai yang melarang sama sekali santrisantrinya untuk belajar pada lembaga pendidikan formal. Hal ini kemungkinan besar masih dihinggapi semangat anti terhadap sesuatu yang berbau nilai-nilai barat. Seperti kita ketahui, budaya persekolahan merupakan tradisi yang berasal dari orang-orang belanda yang dibawa ke Indonesia. Dan seperti kita ketahui, kelompok masyarakat Pesantren merupakan kelompok yang paling gigih menentang segala sesuatu yang berasal bahkan berbau budaya barat. Bukan hanya sekolah yang ditolak kalangan Pesantren kala itu, tetapi juga ditolak cara berpakaian ( waktu itu santri dilarang memakai celana panjang, dasi dan sejenisnya ), cara maka dengan garpu sampai dengan nama-nama yang berbau barat. Kerasnya sikap kalangan Pesantren terhadap budaya dan tradisi barat ini kalau dilihat dalam konteks perlawanan terhadap penjajah waktu itu memang patut kita banggakan, sebab kita tahu hanya kalngan Pesantren saja ( disamping nasionalis lainnya ) yang betul-betul frontal dan total dalam melawan penjajah. Tetapi dalam konteks alam kemerdekaan bahkan budaya dunia yang semakin mengglobal, maka mengingat bahkan konfrontatif total dengan budaya barat, dimana ada juga sisi-sisi positif budaya barat itu, jelas-jelas merupakan sikap yang merugikan diri sendiri. Artinya dalam konteks pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, mau tidak mau kita harus berguru kepada bangsa-

157

bangsa barat yang kenyataannya jauh lebih maju dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tetapi dengan makin banyaknya umat Islam yang bergaul dengan aparat birokrasi, bahkan telah banyak anak-anak Kyai yang tamat perguruan tinggi dan ahirnya masuk menjadi birokrat, maka kemudian ada perubahan-perubahan yang mulai mengerah kepada hal-hal yang positif. Banyaknya keluarga Kyai yang terjun dalam dunia usaha, seperti kita ketahui, keluarga Kyai-Kyai dari Pesantren Salafiyah umpamanya, Lirboyo, Asembagus, beberapa Pesantren di Bandung, Kempek Cirebon yang aktif dalam dunia usaha dan pertanian

(Agribisnis) makin memperdekat persepsi akan pentingnya ilu-ilmu sekuler bagi keluarga Pesantren. Tentu kedepan sangat perlu kita pikirkan bahwa dekatnya keluarga Pesantren dengan ilmu pengetahuan serta iptek sekuler tidak serta merta akan membawa mereka terhanyut kehilangan jati dirinya. Salah satu kelemahan alumni Pondok Pesantren Salafiyah yang karena mereka tidak mau mempelajari ilmu-ilmu umum, ahirnya mereka kurang memiliki kemampuan dalam mengakses persoalan-persoalan kekinian, mereka juga hanya berkutat pada sektor-sektor non formal. Dalam perkembangan berikutnya, Pondok Pesantren Salafiyah akhirnya terkotak menjadi dua kelompok, Salaf murni dan campuran (tidak murni).

Salafiyah murni ini benar-benar anti sekolah bahkan ada salah satu pondok Salafiyah dimana ada aturan tak tertulis, bangunan-bangunan yang berbau lokal madrasah-madrasah harus jauh dari bangunan pondok. Pada Pondok

158

Pesantren jenis ini, kegiatan sehari-hari murni kegiatan keagamaan dan sama sekali tidak bersentuhan dengan dunia sekolah dan madrasah. Alumni dari Pesantren Salafiyah jenis ini akan tampil sebagai seorang Kyai yang biasanya sangat teguh memegang norma-norma Islam dan bersifat agak anti pemerintah . Alumni Pondok Pesantren ini karena tidak mempelajari pelajaran umum, mereka akan terjun pada sektor-sektor non formal. Dalam dunia organisasi keagamaan pun alumni Pondok Pesantren ini hanya akan bersentuhan dengan kegiatan-kegiatan yang murni keagamaan, mereka kurang tertarik dengan dunia lain diluar itu. Problem kita adalah bagaimana menarik minat mereka yang sebenarnya sangat anti sekolah / madrasah agar sedikit demi sedikit memahami bahwa madrasah atau sekolah merupakan satu keniscayaan yang harus dilakoni, untuk itu tokoh-tokoh utama dari Pondok Pesantren Salafiyah ini perlu diadakan pendekatan untuk bisa memahami betapa pentingnya pendidikan sekolah / madrasah tersebut. Sehingga mau tidak mau secara alami atau jangka panjang juga mereka akan membutuhkan atau bersentuhan dengan dunia sekolah / madrasah. Persoalannya adalah bagaimana kita mampu melakukan pendekatan dengan tokoh-tokoh kunci dari dunia Pesantren Salafiyah ini, sebab figur ini sangat menentukan dari pendekatan yang dilakukan, bila tokoh-tokoh kunci ini bisa memahami dan berubah maka santri-santri Salafiyah juga akan berubah, hanya kapan dan dari mana kita memulai itulah problemnya.

159

Salafiyah campuran, pada Pondok Pesantren model ini sistem salaf masih digunakan, tetapi pihak Pesantren memberikan kelonggaran kepada santrisantrinya untuk mengikuti pendidikan formal di luar jalur pondok, bahkan pada beberapa Pondok Pesantren tertentu menyediakan lembaga pendidikan formal, disamping tetap teguh melaksanakan aktivitas-aktivitas Salafiyahnya. Idealnya sistem Pondok Pesantren Salafiyah adalah seperti tersebut di atas, artinya sistem salaf yang tidak kaku serta mutlak-mutlakan menentang segala bentuk sekolah dan madrasah. Tetapi tidak langsung larut kehilangan jati diri sehingga sistem salaf malah lebur ke dalam bentuk totak sekolah atau madrasah. Dalam praktek umpamanya, anak-anak yang usia sekolah dasar, disamping ia tetap mengaji secara salaf, ia juga harus belajar ilmu-ilmu pokok yang menjadi standar anak usia sekolah dasar semisal, Matematika, IPA, Bahasa Indonesia dan seterusnya, kemudian di ahir jenjang pendidikan ia juga harus mengikuti evaluasi yang standar layaknya anak lulusan SD / MI, dengan cara seperti ini maka santri - santri salaf tidak akan ketinggalan dengan kemajuan pendidikan sekolah / madrasah yang berjalan di luar Pesantren Pendidikan pun harus dilakukan secara berjenjang, artinya setelah anak dapat menempuh ujian standar SD / MI, maka tingkat SLTP / MTs, dengan pola yang sama, hanya beberapa mata pelajaran pokok saja yang diajarkan pada jenjang ini, lama pelajaran juga tidak mutlak tiga tahun, tetapi materi pokok dari keseluruhan materi yang biasa diajarkan pada jenjang SLTP / MTs harus diberikan secara tuntas dan evaluasi juga harus dilakukan secara berkala dan

160

berjenjang, harus ada semacam kenaikan kelas . ini sangat penting untuk menjadi kontinuitas pendidikan dan keteraturan jenjang belajar, sebab pada hakekatnya semua manusia itu memiliki kemampuan yang sepadan sehingga jenjang pendidikan perlu diberlakukan dan ini juga digunakan untuk mencapai pendidikan yang standart. Dengan diperbolehkan anak-anak usia sekolah ikut ujian atau mendapat mata pelajaran di luar sistem ngaji salaf maka hal itu nanti akan menghilangkan tembok penyekat antara santri salaf dengan anak-anak sekolah yang selama ini terjadi dan itu sebenarnya sangat merugikan perjuangan umat Islam secara keseluruhan, sebab kita tidak menghemndaki adanya sekelompok umat Islam yang tertinggal dalam ilmu pengetahuan dan teknologi walau mereka sendiri tidak merasa tertinggal. Alangkah bahagianya bila di masa mendatang, kita aktivis Islam akan menyaksikan santri-santri yang selalu bersarung dan berkopiyah itu, yang fasih melafalkan ayat-ayat suci Al-Quran dan Al Hadist tetapi juga menguasai teoriteori Fisika, Matematika, Kimia, Biologi, Ekonomi bahkan politik kontenporer. Sekalipun santri tersebut merupakan perpaduan antara kemampuan ilmu-ilmu agama dengan kepiawaian ilmu-ilmu umum, bukankah dulu para ilmuan Islam semisal, Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, Imam Ghozali juga merupakan sosok seorang ulama sekaligus ilmuwan sekuler.

D. Potret Kegiatan PRAMUKA

161

Gerakan Pramuka di beberapa Pondok dianggap sangat penting sebagai sarana pendidikan yang dapat menanamkan kepribadian, mental, dan akhlak mulia untuk bekal para santri dalam hidup bermasyarakat. Gerakan Pramuka di Pondok Darul Marifat telah mewajibkan seluruh santri untuk aktif dalam kegiatan kepramukaan, sehingga seluruh santri Pondok adalah anggota Pramuka. Kegiatan kepramukaan ini ditangani oleh organisasi yang disebut Koordinator Gugusdepan, di bawah pengawasan Majlis Pembimbing Harian. 1. Susunan Organisasi Bagian-bagian dalam Koordinator Gerakan Pramuka Pondok ini terdiri dari: Ketua: bertindak sebagai koordinator seluruh kegiatan organisasi dan bertanggung jawab atas jalannya program-program kerja tiap-tiap anadalan. Andalan Koordinator Urusan Kesekretariatan: bertanggungjawab atas ketertiban administrasi organisasi dan memimpin sekretaris Gugusdepan, dan Marching Band. Andalan Koordinator Urusan Keuangan: bertanggungjawab atas keuangan Koordinator, Gugusdepan, dan Marching Band. Andalan Koordinator Urusan Latihan: bertanggungjawab mengkoordinir latihan dan kegiatan kepramukaan. Latihan pramuka wajib untuk seluruh santri diadakan pada setiap Kamis sore. Andalan Koordinator Urusan Perpustakaan: bertanggungjawab mengangani perpustakaan pramuka.

162

Andalan Koordinator Urusan Kedai Pramuka: bertanggungjawab menangani kedai pramuka yang menjual barang-branga keperluan pramuka, benda-benda pos dan korespondensi.

Andalan Koordinator Urusan Perlengakapan: bertanggungjawab mengadakan dan memelihara segala barang keperluan organisasi. Gugusdepan, terdiri dari 9 satuan. Gugusdepan merupakan satuan terdepan dalam Gerakan Pramuka yang menjadi wadah untuk menghimpun dan membina peserta didik sesuai dengan golongan usia dan jenis kelamin. Gugusdepan ini dibentuk untuk memudahkan pengelolaan dan penyelenggaraan kegiatan dalam mencapai tujuan Gerakan Pramuka. Kepengurusan ini berlangsung selama setahun masa bhakti yang diakhiri dengan laporan pertanggungjawaban dan seterusnya diadakan pergantian pengurus. Pada bulan Ramadhan organisasi ini mengadakan Rapat Kerja Koordinator untuk membahas dan menetapkan program kerja Koordinator dalam satu tahun. 2. Kursus dan Latihan Kepramukaan Untuk meningkatkan kualitas kepramukaan para santri, Gerakan Pramuka Gugus Depan mengadakan kursus-kursus orientasi. Di antaranya adalah: Pembina Pramuka Mahir Tingkat Dasar (KMD), Masa Pengembangan dan Pamantapan (MPP), Drumb Band, Saka Bhayangkara, Saka Wana Bhakti, Saka Bhakti Husada, Gladian Pimpinan Regu dan Sangga, Latihan Pengembangan Kepemimpinan (LPK), Latihan Search And Rescue (SAR) Di samping itu Koordinator Gerakan Pramuka Pondok juga mengadakan

163

Lomba Perkemahan Penggalang dan Penegak (LP3) Antar Gerakan Pramuka Pondok Alumni, Lomba Tingkat (LTII) Antar Gugusdepan, lomba wide game, cross country, cerdas tangkas kepramukaan, mencipta lagu-lagu pramuka. Perlu dicatat pula bahwa seluruh pengurus organisasi ini berada di bawah bimbingan majelis guru yang disebut Staf Pengasuhan Santri. Ini berarti seluruh pengurus tidak kebal dari disiplin dan sanksi. Jika melanggar mereka juga mendapatkan sanksi yang sama, bahkan lebih dari sanksi yang dikenakan kepada para anggota. E. Potret Kegiatan Belajar Santri Pada bagian ini akan dikemukakan profil kegiatan santri di madrasah. Kegiatan yang dimaksudkan di sini bersetting di KMI (Kulliyatul Muallimin Al-Islamiyah, lembaga pendidikan setingkat SLTP-SMU) di Pondok Pesantren Darul Marifat Gurah Kediri.. Kegiatan belajar di kelas ini meliputi kegiatan intra- kurikuler (dalam kelas), ko-kurikuler dan ekstra-kurikuler. Sebagaimana disebutkan di atas kegiatan KMI ini terdiri dari harian, mingguan, tengah tahunan, dan tahunan, berikut ini uraiannya. 1. Kegiatan Harian Kegiatan ini meliputi: 1) Supervisi proses pengajaran, dilakukan oleh bagian Proses Belajar Mengajar

dan Pembinaan Karir Guru atau guru-guru yang telah ditunjuk. 2) Pengecekan persiapan mengajar, dilakukan oleh guru-guru senior yang

bertugas secara bergantian sesuai dengan jadwal yang ditetapkan. 3) Pengawasan disiplin masuk kelas mulai jam 06.45 WIB, oleh guru-guru staf

164

Kantor KMI, agar tidak ada santri yang terlambat masuk kelas. Pengawasan ini juga dilakukan pada waktu masuk kelas lagi setelah jam istirahat. 4) Pengontrolan kelas saat pelajaran berlangsung, oleh guru yang piket.

Pengontrolan kelas untuk mengecek apakah ada kelas yang tidak ada gurunya dan mengetahui ketepatan waktu hadir guru di kelas. Jika ada kelas yang kosong, guru piket tersebut segera menghubungi staf KMI yang kemudian akan mencarikan guru pengganti. Salah satu moto pengajaran di Darul Marifat berbunyi ``Kelas kosong (dari guru) itu dosa besar``. Hasil kontrol dicatat di buku yang telah disediakan untuk dievaluasi, baik secara langsung dan atau pada pertemuan mingguan guru hari Kamis. 5) Pengontrolan asrama santri saat pelajaran berlangsung oleh guru yang

bertugas. Beberapa guru yang bertugas mendatangi asrama dan kamar-kamar santri untuk mengontrol apakah ada santri yang tidak masuk kelas dan apa alasannya serta adakah dia sudah punya surat izin tidak masuk kelas. Di samping itu guru juga mengontro suasana asrama santri: kebersihan, keasrian,dan kenyamannya. 6) Penyelenggaraan belajar malam (muwajjah) bersama wali kelas, berlangsung

dari jam 20.00-21.45. 7) kelas. 2. Kegiatan Mingguan Kegiatan ini antara lain: 1) Pertemuan guru KMI setiap Kamis (Kemisan) yang bertujuan untuk Pembagian tugas jumat bersih untuk tiap kelas, untuk menjaga kebersihan

165

mengevaluasi kegiatan belajar mengajar selama seminggu, meliputi absensi guru, kontrol persiapan mengajar guru. Forum ini juga digunakan oleh Pimpinan Pondok untuk membicarakan program-program dan masalah-masalah Pondok secara keseluruhan. 2) Pertemuan ketua-ketua kelas (Jumat malam) untuk menyampaikan informasi

seputar aktifitas belajar-mengajar, disiplin dalam kelas, dan nasehat-nasehat. 3. Kegiatan Tengah Tahunan Program tengah tahunan di KMI adalah ujian semester I dan II. Ujian ini dipanitiai oleh beberapa guru yang diberi amanat dengan dibantu oleh seluruh siswa kelas VI (membantu kesekretariatan, membantu menguji lisan, membantu mengawas ujian, dll.) 4. Kegiatan Tahunan Kegiatan-kegiatan ini lebih merupakan penunjang untuk keberhasilan belajar siswa. Program ini meliputi: 1) Fath al-Kutub: Kegiatan ini adalah latihan membaca kitab (terutama kitab

klasik) untuk kelas V dan VI, sebagai wahana menguji kemampuan mereka setelah mempelajari Bahasa Arab hingga kelas V dan VI. Santri diberi tugas untuk membahas persoalan-persoalan tertentu dalam akidah, fiqih, hadis, tafsir, tasawwuf, dll., serta kemudian membuat dan menyerahkan laporan tertulis mengenai hasil kajiannya kepada guru pembimbing. Kegiatan ini berlangsung seminggu. 2) Fath al-Mujam: latihan dan ujian membuka kamus berbahasa Arab untuk

meningkatkan ketrampilan dan kemampuan berbahasa Arab santri, terutama dalam

166

menelusuri dan mencari makna kosa kata. 3) Manasik al-Haj: latihan ibadah praktek ibadah haji bagi siswa baru, berlokasi

di lingkungan kampus, di bawah bimbingan guru-guru yang sudah menunaikan haji. 4) Amaliyat al-Tadris, yakni praktek mengajar untuk siswa kelas 6. Program ini

diselenggarakan sebagai berikut: a) b) Diadakan pengarahan-pengarahan amaliyah ini, 2 hari. Dilanjutkan dengan ulangan-ulangan tertulis dan langsung dikoreksi

mengenai seluruh materi ilmu pendidikan dan didaktik-metodik pengajaran, 1-2 hari. Ulangan ini untuk mendalami materi dan sekaligus menentukan santri-santri yang akan mengadakan praktek mengajar pertama kali, berbadasarkan rangking nilai ulangan. c) Penunjukkan siswa-siswa yang akan praktek mengajar pertama, untuk

kemudian membuat SAP, di bawah bimbingan guru senior. d) Amaliyah pertama oleh beberapa (5-7) siswa dilaksanakan, berdasarkan

kelompok-kelompok yang telah ditentukan. Selulruh anggota kelompok dan pembimbing ikut masuk ke dalam ruang kelas tempat praktek mengajar untuk mengamati dan mengevaluasi jalannya proses pengajaran. Karena ini masih kelompok besar, kelas-kelas yang dipakai praktek dipindahkan ke ruangan yang memadai. e) Seusai praktek mengajar diadakan forum evaluasi/kritik. Seluruh anggota menyerahkan

kelompok dan pembimbing, juga guru yang praktek itu sendiri,

lembaran evaluasi/kritik yang telah ditulis kepada pembimbing utama, untuk

167

kemudian dibacakan satu-persatu hinga selesai. Ini biasanya berlangsung 2 hari. Evaluasi/kritik diberikan ke keseluruhan gerak-gerik dan kegiatan guru selama mengajar, termasuk cara menyampaikan pertanyaan, cara menulis, dll., tetapi yang lebih dipentingkan adalah kritik terhadap metode dan sistematika pengajaran. Kritik yang ditulis itu harus diberi bukti tertulis juga, jika tidak, tidak akan diterima. f) Pada praktek mengajar berikutnya, siswa dibagi ke dalam kelompok-

kelompok kecil terdiri lebih kurang 15 orang, dan proses pengajaran dan kritiknya biasanya selesai dalam sehari. Dengan demikian seluruh santri yang tamat KMI pernah mengalami praktek mengajar. 5) usaha Al-Rihlah al-Iqtishadiyah (economic study tour): orientasi tentang dunia dan kewiraswastaan, untuk menanamkan jiwa kemandirian dan

kewiraswastaan kepada para santri. Kegiatan ini diberikan melalui ceramah-ceramah dan kungjungan ke obyek usaha di wilayah Jawa Timur dan sebab wilayah Jawa Tengah. 6) Penulisan karya ilmiah mengenai berbagai persoalan keagamaan dan

kemasyarakatan dalam bahasa Arab, untuk meningkatkan keilmuan santri kelas 6. 7) Pembekalan wawasan mengenai berbagai persoalan untuk santri kelas 6

menjelang tamat belajar di KMI. Pembekalan ini meliputi kegiatan-kegiatan berikut: a) Orientasi tentang: dunia pers dan jurnalistik, belajar di perguruan tinggi,

wawasan pengembangan kemasyarakatan, kepondokmodernan, perpustakaan, studi islam, dan metode dakwah. b) Ceramah dan dialog mengenai Darul Hadis (LDII), Syiah, orientalisme,

168

gerakan-gerakan Islam sempalan, dan Jamaah Tabligh. c) 8) Kursus komputer dan penataran untuk mengajar TPA/Q. Termasuk acara tahunan adalah penerimaan santri baru setiap bulan

Syawwal. F. Tentang Ta'jir / Hukuman Dalam penjalanan disiplin dan aturan pondok sebagaimana digambarkan dalam paparan di atas, yang seringkali mendapat kritikan pedas adalah berkenaan dengan praktek hukuman, terlebih lagi jika hukuman itu berbentuk hukuman fisik, sebagai ilustrasi gambaran. Mencuatnya kasus seperti di SMPN 4 Wado Sumedang22 tentang hukuman jalan merangkak bagi paskibra, sampai ke DPRD menunjukkan adanya pihak yang belum memahami betul praktik pendidikan. Barangkali kenyataan ini karena isyu demokratisasi dalam pendidikan dan isyu violence (kekerasan) lebih populer ketimbang isyu lainnya. Padahal bagi pelaku pendidikan masih banyak isyu lain seperti masalah hukuman dan hadiah misalnya. Putu Wijaya mencerminkan pergolakan sekitar hukuman tersebut. dalam

cerpennya yang berjudul Guru (1)23 tersebut mngisahkan "kegelisahan" seorang guru yang diangkat jadi kepala sekolah. Ia merasa terputus dari kegiatan mengajar, sibuk dengan administrasi sekolah, tak kenal murid dengan segala latarbelakangnya, sementara dipikirannya terbayang suatu cita-cita tuk membangun generasi muda yang tangguh, penuh tanggungjawab, tidak cengeng, dan bukan generasi santai. Dengan apik

23

HU. Republika, 8 Oktober 2004 Putu Wijaya, Protes, (Jakarta:Grafiti, 1995,) h, 37

22

169

Putu Wijaya melukiskan kondisi pendidikan yang ada dan sedang berlaku dewasa ini. Ia lukiskan bagaimana perubahan generasi muda yang serba menuntut kebebasan, anti disiplin, dan perubahan-perubahan lainnya, dihubungkan dengan pak kepala sekolah yang semakin gelisah dan akhirnya memutuskan untuk menjadi guru lagi serta melepaskan jabatannya sebagai kepala sekolah. Akhirnya pak kepala sekolah yang jadi guru itu mengajar dengan segala obsesinya sebagai pencetak generasi, karena protes dari dewan guru, akhirnya ia dipecat oleh kepala sekolah hasil binaannya sendiri, dengan alasan kolot, tidak menjaman, dan bertindak kekerasan. Yang penulis pahami --mudah-mudahan tidak salah paham--dari goresan pena Putu Wijaya adalah pesan betapa niatan baik dan tanggungjawab terhadap pembinaan generasi seringkali berakhir dengan resiko tinggi (pemecatan). Selain merupakan kritik pedas bagi pelaku pendidikan yang semakin tak beraturan dan tunduk kepada kemauan "kebebasan" anak usia belasan tahun dengan dalih demokratis. Punishment adalah perangsang yang menyebabkan peserta didik atau seseorang menghindarkan diri darinya atau menjauhinya (Richard L. Solomon, 1964) menurut Solomon pengaruh hukuman besar sekali terhadap sikap belajar peserta didik, karena mereka umumnya akan berupaya tidak memperoleh hukuman bila hasil belajarnya tidak baik, secara psikologis semua manusia tidak senang dan menghindarkan diri dari hukuman.24

24

Aminuddin Rasyad ,Teori belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: UHAMKA Press ,2003) Cet.ke- 3, h,9899.

170

Ada beberapa pentahapan dalam hal pelaksanaan hukuman (punishment), pertama mengkomunikasikan hukuman, semacam aturan atau tata tertib sekolah yang harus dipatuhi murid, kedua pelaksaan sangsi terhadap pelanggar aturan dalam hal ini berarti pemberian hukuman. Sebagaimana fungsinya hukuman diberikan untuk pelaku pelanggaran dengan maksud untuk memelihara ketertiban sekolah atau ketertiban kelas serta merupakan rangsangan yang sengaja diberikan agar tidak melakukan pelanggaran. Kelas yang tertib adalah tanggungjawab guru yang bersangkutan. Demikian juga ketertiban sekolah menjadi tanggungjawab semua dari kepala sekolah , pembina OSIS hingga guru-guru yang menjadi awak sekolah tersebut. Suatu sistem aturan tidakakan bisa berjalan tanpa adanya pelaksanaan sangsi bagi pelanggar aturan dan hadiah atau pujian bagi yang melaksanakan aturan dengan baik. Jadi masalah hukuman dan hadiah adalah suatu motivasi yag secara silih berganti lumrah dilaksanakan dalam dunia pendidikan baik pesantren maupun sekolah25. Dalam pelaksanaannya hukuman tidaklah semata dalam bentuk hukuman fisik, bisa juga bersifat tatapan mata (melotot), teguran, sindiran, demikian juga sebaliknya hadiah tidak melulu berbentuk materi, bisa juga berupa pujian, acungan jempol dan perhatian. Ada trend yang berlaku dewasa ini di dunia pendidikan sangat berlebihan dalam menghindari hukuman, sama halnya dengan berlebihannya dalam memberikan hadiah, akibatnya kadang ditemui upacara-upacara pemberian hadiah yang berupa

25

M. Tata Taufik, Hukuman & Hadiah Catatan kecil untuk Pelaku Pendidikan, HU.Mitra Dialog , Sabtu 30 Okt.2004

171

material demikian meriah, sementara sedikit sekali ditemui upacara pemberian hukuman, dan ketika yang terakhir ini terjadi malah menjadi sorotan publik. Ada suatu nasehat yang diberikan Rasul SAW kepada Abi Hurairah berkenaan dengan hukuman ini; "Hai Abu Hurairah, Janganlah kamu memukul untuk memperbaiki adab (pendidikan) lebih dari tiga kali, jika kamu lakukan lebih dari tiga kali maka kamu mendapatkan qishahsh pada hari kiamat, hai Abu Hurairah, didiklah anak-anak keluargamu dengan ucapan (lisan) untuk melaksanakan shalat dan thaharah, jika mereka sampai usia 10 tahun (dan membangkang.pen), maka pukullah ia tapi jangan lebih dari tiga kali".26 Kutipan na sihat ini mengambarkan etiket pemberian hukuman dalam pendidikan anak. Ada saat pemberian informasi, komunikasi dengan lisan, dan ada saat tindakan fisik yang terrencana dan tidak membahayakan. G. Pola Hubungan Guru & Murid Manusia adalah produk dari kebiasaannya (Hadits) Dari sederetan kegiatan para santri sebagaimana digambarkan tadi merupakan suatu pemaparan yang perlu pemaknaan, hal itu kalau dibahasakan akan merupakan hubungan sinerji antara guru dan murid (Kyai/ Ustadz dan santri) dengan landasan motivasi keagamaan yang mendalam suatu yang harus ada dalam kegiatan pembelajaran27 Tugas utama kehidupan adalah belajar, siapa yang paling aktif dalam belajar maka ia yang paling mampu untuk bertahan hidup. Seorang balita aktif berlatih untuk

27

Abdul Hamid Syakir, Khitabu al-Rasul, h, 80 Lihat M. Tata Taufik , "Motivasi Religius Guru & Murid ",Mitra Dialog Sabtu 09-10-2004

26

172

mengekpresikan perasaannya, menangis, meniru kemudian merangkak, berdiri, tegak dan melangkah hingga mahir berjalan. Perkembangan berikutnya ia menjadi piawai, dan akhirnya sampailah pada tahap bijak begitulah sampai akhirnya ia menemui ajalnya. Tanpa ada usaha yang serius seperti penyelenggaraan sekolah amupun pesantren pun proses belajar di atas tetap dialami oleh manusia, memperhatikan, menyimak, menyimpulkan dan akhirnya memilih sutau tingkah laku yang dilakukan semua bisa diamati dalam proses kehidupan yang dialami manusia termasuk diri kita. Secara dialektis mata kita menatap suatu benda, otak kita menangkap, lalu mengolah dan akhirnya memutuskan untuk memilih melakukan atau tidak melakukan sesuatu, atau sebaliknya pikiran kita berkerja memikirkan suatu lalu dihubungkan dengan realitas dan ia menciptakan suatu tindakan untuk membuat realitas sesuai dengan idea yang ada dalam pikiran. Kedua teori ini sangatlah sederhana dalam melihat prilaku kita sebagai makhluk yang berfikir dan belajar. Secara etimologis belajar berarti mendapatkan pengetahuan atau kemampuan, dalam istilah pendidikan berarti kemampuan atau pengetahuan yang didapat melalui usaha pendidikan. Dalam itilah psikologi belajar adalah perubahan pengetahuan, atau perubahan yang relatif permanen dalam pengetahuan, memahami dan dalam tingkah laku. learning [lrning] n

.1acquiring of knowledge: the acquisition of knowledge or skill .2education acquired knowledge: knowledge or skill gained through education

173

.3psychology change in knowledge: a relatively permanent change in, or acquisition


of, knowledge, understanding, or behavior.28 Secara terminologis belajar berarti mendapatkan pengetahuan atau

mengembangkan kemampuan untuk melakukan suatu tingkahlaku yang baru ,Learning, acquiring knowledge or developing the ability to perform new behaviors.29 Jadi dalam proses belajar ada mendapatkan pengetehauan berarti dari nol menuju isi ada juga pengembangan sesuatuyang sudah dimiliki. Selanjutnya kegiatan pemberian pelajaran disebut mengajar (teaching) yang berarti systematic presentation of facts, ideas, skills, and techniques to students.30 dan kegiatannya dinamakan pengajaran (instruction) teaching in a particular subject or skill, or the facts or skills taught.31 Jadi pengajaran atau mengajar adalah mempresentasikan fakta, ide, atau skil serta tehnik tertentu kepada murid secara sistematis. Jika dilihat dari sudut guru mengajar pada hakikatnya adalah "belajar", dan kegiatan pengajaran bagi guru berarti 'membuat siswa belajar". Dengan mengajar

seorang guru belajar banyak hal, belajar akan materi (bahan ajar), belajar methode,

Microsoft Encarta Reference Library 2003. 1993-2002 Microsoft Corporation. All rights

28

reserved 29 Ibid Ibid, Ryan,Kevin, "Teaching", Ibid.


30 31

174

belajar tentang aspek-aspek kesiswaan dan perkembangannya, belajar situasi kelas dll. Dan guru yang berhasil adalah guru yang mempu membuat anak didiknya belajar. Kegiatan pengajaran baik dipesantren maupun di sekolah kalau dipotret akan membrikan gambaran adanya tiga komponen utama dalam aktifitas tersebut source > message > receiver, yang pertama adalah guru, yang kedua informasi atau pengetahuan dan yang ketiga adalah siswa. Guru adalah sebutan untuk orang yang kerjanya mengajar 32,kalau melihat pernyataan ini nampak guru sangat sederhana; orang yang kerjanya mengajar. Namun kenapa semua orang bertumpu pada guru, ungkapan seperti "berguru pada siapa" nampak kata guru di sini berwibawa sekali. Nampaknya apa yang diungkap oleh Purwadarminta belum bisa mewakili maksud dari kata guru, selain hanya dari sudut pekerjaan saja, dalam Encarta ditulis guru berasal dari bahasa Sansakerta digunakan sejak awal abad 17 berarti; Pemimpin keagamaan atau pengajar keagamaan, pemimpin spriritual atau intelektual bagi group keagamaan tertentu yang sangat berpengaruh dalam membuat gerakan.33 Kata guru memiliki medan makna antara lain; keagamaan, pemimpin, pengajar, gerakkan, dan berpengaruh, dan diikuti. Maka tidak heran jika

W.J.S. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta, PN Balai Pustaka, 1984) cet.VII, or Sikh religious teacher: in Hinduism and Sikhism, a religious leader or teacher. 2. leader Hindu .1

32 33

h.334 of religious group: a spiritual leader of or intellectual guide for a religious group or movement especially one being described as non-mainstream. 3. somebody influential: somebody who is prominent and influential in a specific field and sets a trend or starts a movement. 4. individuals revered teacher and counselor: a teacher or counselor in spiritual or intellectual matters who is especially revered and followed by an individual. Op.Cit. "guru" Microsoft Encarta Reference Library 2003.

175

guru demikian berwibawa pada masa silam, dan sangat berpengaruh dalam menentukkan jalan hidup muridnya. Dalam Istilah pendidikan guru deikenal tidak saja sebagai instuktur, tapi lebih dari itu ia berperan sebagai perancang pengajaran, manajer pengajaran pengevaluasi hasil belajar dan sebagai direktur belajar.34 Murid berasal dari bahasa Arab yang berarti secara harfiah orang yang mempunyai keinginan, istilah ini digunakan sebagai sebutan bagi pengikut sufi yang mempunyai keinginan untuk belajar pada gurunya (Syaikh atau Mursyid), murid berarti seorang yang memiliki keinginan kuat untuk memahami dan mencapai apa yang dicapai oleh gurunya. Bila melihat dari pengertian di atas baik guru maupun murid sebenarnya nampak kinerja yang sangat indah antara keduanya ; guru sebagai pemimpin, pemberi pengaruh, pemberi pengetahuan, penggerak, sedang kan murid di satu sisi sebagai orang yang dengan penuh semangat ingin mencapai apa yang telah dimiliki gurunya. Murid dalam bahasa Arab disebut tha>lib, atau mutaa'lim, yang pertama berarti penuntut, dan yang kedua berarti orang yang belajar, kedua kata tersebut menunjukan sifat aktif murid dalam belajar, ia selalu menuntut (bukkan menunggu) dan senantiasa belajar hingga memiliki ilmu. Dari sini tergambar pola hubungan guru-murid; guru sebagai pemberi dan murid sebagai penuntut dan penerima dalam arti yang luas. Pemberi akan lebih bermanfaat
Bandung: Pustaka Bani Quraisy,2004) ) ,Paikologi Pembelajaran & Pengajaran ,Surya, Muhammad
34

Cet, I, h, 54

176

jika 'tindakan" memberi itu disadari dengan keikhlasan, demikian juga halnya dengan penerima, siapapun akan kurang pas menerima sesuatu dengan keterpaksaan, karenannya perlu dikembangkan pola hubungan guru murid dengan keikhlasan sebagai dasarnya. Untuk ini kalangan pendidik masa silam (dalam Islam) mengembangkan suatu norma bagi murid yang berisikan tata cara mencari ilmu dan menghargai guru.35 Guru dan murid memiliki kebutuhan psikis yang sama; karena keduanya manusia juga, kebutuhan psikis guru itu juga kebutuhan psikis murid. Tulisan ini tidak akan membicarakan seekor kera belajar dari rangsangan untuk mendapatkan pisang, tapi akan lebih menyoroti kebutuhan dasar manusia sebagaimana yang digagas Maslow berkenaan dengan motivasi: ada 6 (enam) rangking kebutuhan dasar manusia; 1) Kebutuhan pisiologis, 2) Kebutuhan akan rasa aman. 3) Kebutuhan untuk mencinta dan memiliki. 4) Kebutuhan untuk berkompeten, prestis dan berharga. 5) Kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan dirinya, 6) Kebutuhan untuk mengetahui dan memahami.36 Keenam kebutuhan tersebut dapat dijadikan motivasi bagi seseorang untuk melakukan sesuatu. Satu tindakan atau kegiatan dilakukan seseorang mungkin berbeda motivasinya, si A mengajar melakukannya karena untuk sesuap nasi, berarti ia bekerja (memenuhi kebutuhan pertama dan kedua?), si B mengajar juga, ia melakukannya agar dicintai
35

Ta'li>m al-Muta'alim? Ada juga suatu doktrin belajar sebagai berikut: engkau tidak akan mendapatkan

ilmu kecuali memiliki enam syarat berikut: 1, cerdas, 2 tamak,3, kesungguhan, 4dirham (biaya).5 menemani guru,6 waktu yang panjang, 36 Maslow ranks human needs as follows: (1) physiological; (2) security and safety; (3) love and feelings of belonging; (4) competence, prestige, and esteem; (5) self-fulfillment; and (6) curiosity and the need to understand. Microsoft Encarta Reference Library 2003.

177

masyarakat (memenuhi kebutuhan ketiga?). Si C mengajar karena ingin dirinya terkenal dengan sebutan guru (kebutuhan keempat) Si D melakukannya karena dirinya memerlukan orang lain tempat ia mencurahkan apa yang diketahuinya (kebutuhan kelima). Dan terakhir si E melakukannya agar dia lebiha banyak tahu tentang siswa dan memahami seluk beluk mengajar (kebutuhan ke 6). Semua kegiatannya dinamakan tetap disebut mengajar. Hal yang sama juga bisa terjadi pada murid, untuk apa ia pergi ke sekolah? Agar diberi bekal, agar tidak dimarahi? Agar disayangi orang tua? Agar berharga? Dst. Semua kebutuhan yang diajukan Maslow tadi bagaimanapun juga mewakili dari berbagai need yang ada pada diri manusia, hanya saja ada yang tertinggal di situ, yaitu kebutuhan akan keberagamaan, atau bisa dimasukkan pada need ke 2 yaitu kebutuhan akan rasa aman, atau bahkan pada rangking ke 3 untuk dicinta dan mencinta,rangking ke 5 kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan dirinya, atau semuanya? Maksudnya semua basic need tadi dibingkai dengan suasana religiousness, ada agama dalam mencari makan, ada agama dalam mencari nama dll. Berangkat dari pengenalan akan need dasar manusia, sampailah pada pengertian bahwa manusia melakukan sesuatu karena kebutuhun tersebut yang harus dipenuhinya, alasan tersebut dalam psikologi disebut motivasi,37 motivasi digambarkan sebagai suatu lingkaran yang terus menerus; kejadian (realitas) memotivasi untuk melakukan sesuatu
motivation, n 1.giving of a reason to act: the act of giving somebody a reason or incentive to do
37

something. 2.enthusiasm: a feeling of interest or enthusiasm that makes somebody want to do something, .3 reason: a reason for doing something or behaving in some or something that causes such a feeling 4.psychology forces determining behavior: the biological, emotional, cognitive, Microsoft way. Encarta Reference Library 2003.

178

suatu pencapaian akan realitas tadi menjadi motivasi juga untuk pencapaian akan realitas berikutnya, dan begitu seterusnya. Dalam kaitannya dengan kegiatan inetarksi guru-murid (pembelajaran dan pengajaran) sebagaimana dikemukakan di atas banyak motivasi bisa didapat tergantung kepada individu masing-masing pelakunya. Pada kesempatan ini penulis mencoba mengangkat agama sebagai motivasi kegiatan belajar dan pembelajaran tersebut, melihat bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Dalam kitab suci banyak bisa digali berbagai teori kehidupan, lebih-lebih yang menyangkut teori psikologis. Ambil contoh kitab suci Al-Qur'an, ungkpan-ungkapan ayat Al-Qur'an sangat sarat dengan motivasi kearah hidup yang bermakna karena memang ia ditujukan kepada hati dan jiwa manusia. Sistem kepercayaan akan kitab suci sangatlah potensial untuk dijadikan bahan dalam memacu semangat untuk berbuat. Tugas kita --dalam masyarakat yang memiliki sistem kepercayaan tersebut-- hanya tinggal memanfaatkan sistem keyakinan tadi untuk dijadikan landasan dalam membina masyarakat dengan jalan menggali informasi sebanyka-banyaknya dari ajaran untuk dijadikan bahan pembinaan. Berhubungan

dengan kegiatan pembelajaran dan pengajaran, berarti upaya tersebut bisa dilakukan dengan cara mengumpulkan pernyataan-pernyataan tekstual Al-Qur'an atau Al-Hadits yang bertemakan pembelajaran dan pengajaran. Dengan demikian berarti kita sudah memanfaatkan potensi dasar yang dimiliki seseorang untuk mengembangkan dirinya.

179

Motivasi tersebut bisa dijabarkan dalam

sederetan informasi

mulai dari

pentingnnya ilmu pengetahuan, anjuran untuk mencari ilmu, untuk apa mencari ilmu, kewajiban menyampaikan ilmu dan seterusnya . Tentang pentingnya ilmu misalkan teks Al-Qur'an mengungkapkan sebagai berikut:

(11: )
Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. QS: Al-Mujadalah:11

( 9: ) )Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah
di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang

180

mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. Pemahaman tentang pentingnya ilmu38 merupakan suatu pola pemikiran yang harus dimiliki oleh pelaku pembelajaran dan pengajaran, karena secara psikologis orang akan mencari atau menyampaikan suatu yang dianggap penting baginya. Selanjutnya tentang anjuran mencari ilmu ini merupakan motivasi lain bagi pelajar / siswa sehingga ia merasa apa yang diperjuangkannnya dalam pembelajaran betul-betul sutu yang bermakna dan menunaikan kewajiban agama, ungkapan seperti hadits
39

mencari ilmu adalah wajib bagi setiap muslim bisa

dijadikan motivasi bagi anak didik untuk senantiasa belajar, banyak ungkapan lain yang senada seperti ;barangsiapa pergi untuk mencari ilmu berarti ia pergi dijalan Allah sampai ia kembali, tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negri Cina, tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat dll. Firman Allah dalam Al-Qur'an juga bisa digali seperti anjuran kepada Nabi untuk belajar dan bertanya kepada "ahli"

(43: )
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,
Thara>iq al-Nabiy fi> ta'li>mi ashh}a>bihi (Beirut:Da>r Ibnu ,Ahmad, Muhammad, al-'Alimiy
38

Hajm, 2001) cet.I. h. 28 39 Ibnu Majah, hadits no 224 Hadits riwayat

181

: *
Tidak ada iri kecuali dalam dua hal; iri terhadap orang yang memiliki harta lalu digunakannya sampai habis untuk kebenaran, dan iri terhadap seseorang yang diberi pengetahuan oleh Allah lalu dia mengamalkannya dan mengajarkannya. (haits riwayat Ibnu majah). Tentanng tujuan mencari ilmu atau katakanlah niat mencari ilmu untuk apa, disini yang diperlukan adalah meluruskan nia, dari niat mencari ijazah kepada niat ibadah, menjalankan perintah agama, niat membekali diri untuk supaya diri lebih baik dan bisa menjalani hidup sesuai tuntunan Ilahi.

(110: )
Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".

(162: )

182

Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, Ayat di atas menunjukkan bahwa semua kegiatan kehidupan kita diperuntukkan hanya untuk Allah semata, terma suk di dalamnnya mencari ilmu. Selanjutnya berhubungan dengan pengajar / guru ada kewajiban untuk menyampaikan ilmu, siapa yang memiliki ilmu maka ia berkewajiban untuk membaginya kepada orang lain.

(122: )
Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.

(71: )
Hai Ahli Kitab, mengapa kamu mencampur adukkan yang haq dengan yang bathil, dan menyembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahui?

(37: )

183

)yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir dan
menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Dan kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan. Cuplikan dari teks ayat maupun hadits di atas hanya sebagian kecil dari sekian pernyataan yang nampaknya secara psikologis dapat menjadi motif seseorang untuk melakukan kegiatan pembelajarabn dan pengajaran, masih banyak lagi pernyataan lain yang bisa ditelusuri lebih jauh. Namun setidaknya dari pernyataan tersebut tergambar sutu pola pembelajaran dengan motivasi religius sebagai brikut: Motivasi Religius
Ajaran sebagai motif Konsep Tahuhid Tingkahlaku yang dicapai -Belajar Lillah Pelaku Murid Guru Murid Guru + Murid

-Mengajar Lillah
Kewajiban Mencari Ilmu Ilmu itu Penting Belajar = menunaikan keajiban ; taat perintah Tuhan Belajar / mengajar = Melakukan suatu yang bermakna, cinta ilmu Dakwah Menyampaikan dimiliki wajib ilmu Wajib, yang Mengajar kewajiban = melaksanakan

Guru

Gambaran sinngkat di atas menunjukkan tingkah laku yang bisa dicapai dengan motif ajaran yang diambil dari sietem kepercayaan (nilai) yang dianut, yang menurut hemat penulis secara psikologis berperan dalam kegiatan pengajaran dan pembelajaran. Kenyataan seperti itulah yang tergambar dari rangkaian kegiatan pembelajaran di pesantren baik salafiyah maupun yang modern, nuansa motivasi religius yang

184

dikembangkan belajar.

dan menjiwai aktivitas keseharian kehidupan pesantren termasuk

Belajar dari guru mulia yang memiliki sifat jujur, bisa dipercaya, selalu menyampaikan kebebnaran, dan cerdas, itulah guru kita semua Rasulullah S.A.W. dan yang terpenting adalah, bahwa setiap diri kita apapun profesinya adalah guru, minimal guru untuk diri sendiri, keluarga, tetangga, dan seterusnya Selain guru kita juga murid yang harus selalu belajar sampai ajal nanti. Dalam semuanya itu motivasi adalah hal yang harus ada dalam berbagai tindakan, maka alangkah baiknya jika motivasi itu bernuansa ukhrawi sehingga bisa terlaksana dengan baik tujuan yang sifatnya duniawi . H. Santri: Sebuah Harapan Masa Depan Mengapa perlu membuat rencana untuk masa depan ? Mungkin pertanyaan semacam ini tidak perlu dilontarkan apabila kita mengacu kepada fenomena pembangunan dan kemajuan di segala bidang di sekitar kita, tidak satupun yang tidak direncanakan. Kemajuan teknologi mengacu kepada serangkaian master-plan yang menjadi kerangka acuan untuk mendesainnya. Bangunan pencakar langit sampai rumah tingggal membutuhkan site-plan atau denah gambar yang terinci dalam skala. Bahkan pembangunan sebuah bangsa membutuhkan serangkaian pembahasan untuk menentukan APBN dan Repelita. Bila kita mengamati fenomena perubahan di sekitar kita, tidak satupun pekerjaan besar, di negeri ini maupun di mana saja yang tidak direncanakan. Pembangunan

185

gedung pencakar langit maupun rumah petak di komplek perumahan masih memerlukan site-plan gambar rancang bangun. Pembangunan bangsa membutuhkan sidang-sidang menentukan APBN, kepanitiaan dari tingkat RT sampai tingkat nasional mebutuhkan rapat atau serangkaian agenda meeting untuk menentukan langkah-langkah yang akan dituju. Logikanya, apabila rencana mampu membangun sebuah model pesawat ruang angkasa, mampu menentukan nasib sebuah bangsa dengan penduduk jutaan orang, bagaimana bila diaplikasikan untuk merencanakan masa depan seorang santri. Logikanya, rencana dapat menentukan nasib sebuah bangsa dengan jutaan penduduk, membangun gedung-gedung megah, dan menemukan berbagai terobosan teknologi, apalagi jika dapat diterapkan dalam kehidupan individu santri. Mungkin wawasan tentang bagaimana membuat rencana yang baik untuk menentukan masa depan itu masih sangat kurang, sehingga sangat jarang santri yang manjalani hidupnya secara terencana, sehingga meraih kesuksesan di segala bidang. Wawasan Islam tentang rencana atau membuat rencana akan tampak jelas jika kita kembali kepada ayat-ayat al-Quran yang menceritakan kisah Adam, dimana Allah mengajak para malaikat berdialog tentang rencana-Nya menciptakan makhluq manusia. Masih tentang rencana juga, Al-Quean mengisahkan Imron yang merencanakan anak yang masih dikandung istrinya untuk menjadi rahib, ternyata anaknya perempuan. Masalahnya sekarang, anak-anak santri kita kurang bisa membuat rencana yang baik, sehingga masa depan yang nantinya dijalani tidak sekedar menjalani hidup, tetapi meraih satu-satu segala yang direncanakan. Sukses demi sukses diraih, untuk menjadi pengabdi terbaik, wakil Tuhan di muka bumi.

186

Membuat rencana dimulai dengan menentukan target-target yang ingin diraih dalam kurun waktu tertentu. Perlu diketahui, rencana mestinya dibuat dalam 3 tahap sekaligus. Rencana jangka pendek untuk jangka waktu 1 tahun, rencana jangka menengah untuk waktu 5 tahun, dan rencana jangka panjang untuk waktu 10 tahun. Target adalah hal-hal yang ingin kita raih dalam kurun waktu tersebut. Misalnya dalam waktu 3 tahun kita ingin menguasai satu buku tertentu, menguasai satu ketrampilan, atau menjadi ketua dalam satu organisasi, membeli peralatan yang sangat kita inginkan, atau keinginan-keinginan lain. Dalam 5 tahun mungkin kita menentukan kelulusan dalam bidang ilmu atau satu jenjang pendidikan, meneruskan sekolah, memilih jurusan, dan seterusnya. Untuk rencana jangka panjang atau 10 tahun, mungkin target yang akan kita raih berupa prestasi tertentu, bidang usaha yang ditekuni, tempat tinggal atau tempat bermukim, bidang usaha yanga kan digeluti, dan setrusnya. Target ditu dita tulis secara berurutan dengan prioritas target mulai dengan yang paling atas, tapi harus dibedakan mana yang paling penting dan mana yang lebih penting. Setelah menentukan target-target yang akan diraih untuk masing-masing jangka waktu, kita perlu juga merumuskan disamping target-target tersebut target-target alternatif apabila target utama tidak bisa diraih. Contoh, apabila kita menentukan untuk meneruskan studi ke jurusan IPA (eksakta) mungkin kita bisa memilih alternatif dengan memilih jurusan teknik atau sosial. Dengan adanya target altenatif ini sebuah rencana akan tertata secara fleksibel, tidak kaku, dan sangat mungkin untuk dievaluasi. Langkah ketiga dalam membuat rencana adalah mencari cara-cara atau langkah-

187

langkah yang ditempuh untuk merealisasikan atau mencapai target tersebut. Yang perlu dicatat disini, semua target atau langkah itu disesuaikan dengan situasi dan kondisi, kemampuan pribadi, dan kemungkinan direalisasikan. Ada satu hal penting lagi dalam membuat rencana, yaitu diadakannya evaluasi secara berkala untuk tiap-tiap rencana. Evaluasi itu memungkinkan target-target dan langkah-langkah berubah. Perubahan yang terjadi itu didasarkan kepada situasi dan kondisi yang terjadi, perpindahan tempat, dan seterusnya. Perubahan dalam rencana bukanlah menunjukkan kita tidak konsisten dalam membuat rencana. Menurut Sigmund Freud seorang ahli psiko-analisa dari Jerman, manusia pada dasarnya memiliki 10 dimensi kesadaran, dimana yang satu bagian adalah yang disadari, sementara 9 bagian yang lainnya ada dalam dimensi bawah sadar. Kekuatan alam bawah sadar mungkin bias digambarkan dengan adanya tenaga dalam, orang kebal dalam permainan Debus (Banten), kuda lumping yang mampu makan pecahan gelas dan memanjat kelapa. Pekerjaan-pekerjaan itu dilakukan orang ketika menggunakan alam bawah sadar, atau dilakukan juga ketika mereka dalam dimensi tidak sadar. Jika ditulis dalam perbandingan bagaimanan kekuatan alam bawah sadar dengan kekuatan bawah sadar, kira-kira kekuatan 1 banding 9. Kekuatan yang besar ini bisa dimanipulasi atau bisa diarahkan untuk hal-hal positif, seperti untuk mencapai cita-cita. Dalam membuat rencana, sebenarnya kita sedang mengarahkan kekuatan yang besar (9 kekuatan bawah sadar) untuk meraih satu-satu target atau prestasi. Sekarang masalahnya, maukah kita membuat perubahan dan meraih sukses dengan selembar kertas, membuat rencana, agar hidup yang kita jalani lebih terarah, terencana dan

188

menuju ke satu arah. Pada dasarnya manusia diciptakan untuk menjadi pengabdi, hamba Tuhan selama hayatnya. Untuk menjadi seorang hamba yang baik, Tuhan membekali tiap individu dengan berbagai macam potensi, kemampuan akal, dan berbagai kelebihan, baik lahir maupun bathin. Dengan akalnya manusia terbukti mampu menggali berbagai rahasia penciptaan, makrokosmos (alam semesta) maupun mikrokosmos (diri manusia sendiri), membuka cakrawala baru kemajuan, dan menjadi khaliah dimuka bumi. Santri, dengan latar belakang pendidikan religius yang kuat, tidak diragukan lagi sebagai aset penting pembangunan di segala bidang. Bahkan akhir-akhir ini golongan santri telah mampu menunjukkan sebuah prestasi besar di segala bidang di tanah air, memberikan sumbangsih yang sangt berarti bagi proses perubahan di setap lini. Tapi harus diakui, untuk mencapi kearah sukses itu dibutuhkan sebuah proses yang panjang, yang harus dimulai dengan sebuah kalimat kunci; merencanakan masa depan. Renungan Jika seorang anak hidup dalam suasana kritik , Ia belajar untuk menyalahkan Jika seorang anak hidup dalam permusuhan , Ia belajar untuk berkelahi Jika seorang anak hidup dalam ketakutan , Ia belajar untuk gelisah Jika seorang anak hidup dalam belas kasihan diri , Ia belajar mudah memaafkan dirinya sendiri Jika seorang anak hidup dalam ejekan , Ia belajar untuk merasa malu Jika seorang anak hidup dalam kecemburuan , Ia belajar untuk iri hati Jika seorang anak hidup dalam rasa malu , Ia belajar untuk merasa bersalah Jika seorang anak hidup dalam semangat , Ia belajar untuk percaya diri Jika seorang anak hidup dalam menghargai orang lain , Ia belajar setia dan sabar Jika seorang anak hidupnya apa adanya , Ia belajar untuk mencintai Jika seorang anak hidup dalam suasana rukun, Ia belajar untuk mencintai dirinya sendiri Jika seorang anak hidupnya dimengerti , Ia belajar bahwa sangat baik untuk bercitacita

189

Jika seorang anak hidup dalam suasana adil , Ia belajar akan kemurahan hati Jika seorang anak hidup dalam kejujuran dan sportivitas , Ia belajar akan kebenaran dan keadilan Jika seorang anak hidup dalam rasa aman , Ia belajar percaya pada dirinya dan orang lain Jika seorang anak hidup penuh persahabatan , Ia belajar bahwa dunia ini merupakan suatu tempat yang indah untuk hidup Jika seorang anak hidup dalam ketenteraman anak-anakmu, Ia akan hidup dalam ketenangan batin40

40

Bandingkan dengan sajak Dorothy Law Nolte "Chidren Learn What They 1992, h, 102

Live" yang dikutip Jalaluddin Rahmat, Psikologi Komunikasi, Bandung Rosda Karya,

190

BAB VII PROFIL ALUMNI PESANTREN


:

Selain menjadi pusat pengajaran keilmuan Islam, pesantren juga menjadi pusat gerakan dan perkembangan tasawuf, dalam hal ini tarekat. Menurut Zamakhsyari Dhofiier, sebenarnya yang menjadi landasan pengajaran tarekat di pesantren adalah ajaran-ajaran nabi sendiri, terutama tentang tiga pilar ajaran Islam yaitu, Islam, iman dan ihsan41. Orang yang telah mengakui Islam sebagai agamanya disebut Muslim, tetapi belum tentu Muslim itu mumin, kecuali setelah disertai dengan keimanan. Sebab iman merupakan ketaatan dan keterikatan secara terus menerus dengan Tuhan. Sedangkan ihsan merupakan tingkatan yang lebih tinggi lagi, karena ihsan berupa kemampuan untuk menembus ke dalam inti wahyu ketuhanan. Ketiga pilar tersebut kalau ditarik pada bidang keilmuan akan melahirkan apa yang dikenal dengan syariah, tauhid dan akhlak (tasawuf). Jadi, antara tiga pilar tersebut, sebenarnya bukanlah sesuatu yang harus dibedakan, tetapi harus menjadi satu kesatuan. Ihsan sendiri, menurut Hasyim Asyari dalam Nurcholish Madjid, yang kemudian dipraktekkan melalui ajaran tarekat untuk dapat menangkap wawasan tentang kebulatan dan kebenaran dalam segala dimensinya42. Kemampuan untuk menangkap

41 42

Zamakhzyari, Op.Cit, h, 136 Lihat Nurcholish Madjid, "Islam, Iman dan Ihsan Sebagai Trilogi Ajaran Ilahi", dalam Budihy

Munawar Rahman, Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah (Bandung: Mizan,1995) h, 478

191

kebenaran yang utuh ini merupakan sesuatu yang sangat sulit dicapai manusia. Sebabnya adalah kebenaran dalam dimensinya yang utuh itu, justru dalam dirinya mengandung paradoks, dan orang dapat belajar menangkap keutuhan kebenaran itu dengan melakukan latihan-latihan dalam melihat paradoks-paradoks dan berusaha menangkap hakikat yang ada dibalik penampakan lahiriyah tersebut. Corak sufisme dan ascetisme di Pondok Pesantren sangat kental mewarnaii kehidupan santri sehari-hari di Pondok Pesantren, sehingga muncul semacam cap yang melekat dalam setiap santri dan alumni sebagai sosok yang sufistik, waro, kurang memikirkan keduniaan. Padahal labels emacam itu tidak perlu lagi ada, terutama jika melihat eksistensi Pondok Pesantren kontemporer yang yang sarat dengan nuansa kemodernan. Nuansa kemodernan dan progresifitas tersebut akan tampak nyata bila kita mengembalikan image sufistik tersebut pada sosok-sosok alumni yang berkiprah di dunia keilmuan, ekonomi, social, budaya, bahkan politik sekalipun. Untuk itu BAB iniil ini berusaha menampilkan sosok alumni dimaksud melalui tiga orang tokoh, Quraish Shihab, Nurcholis Majid, dan Hamzah Haz. Quraish Shihab, sosok pertama yang akan diulas singkat dalam buku ini adalah seorang tokoh akademisi di lingkungan IAIN. Karirnya sebagai dosen dan guru besar di bidang tafsir pernah mengantarkannya menduduki beberapa posisi penting di Indonesia, mulai dari ketua MUI, ICMI, Menteri agama, bahkan terakhir tercatat sebagai Duta Besar. Tetapi sentra kajian kita di sini adalah konsistensi beliau pada bidang ilmu yang ditekuninya, yaitu Tafsir dan ulumul Quran, sehingga banyak melahirkan banyak karya

192

Sosok kedua adalah Nurcholis Majid, alumni Gontor yang sempat mengenyam studi di Chicago yang terkenal dengan ide-ide pembaharannya di bidang pemikiran Islam. Pengabdiannya dalam kajian keislaman mengantarkan sosok Nurcholis menjadi tokoh terkemuka di HMI, ICMI, LIPI, bahkan terakhir di Paramadina. Bebarapa jabatan strategis pernah dipegang, dan diantaranya dalam struktur instansi pemerintah. Tetapi focus kajian kita dalam buku ini adalah apa yang telah diakukan Nurcholis dalam rangka pencerahan intelektual Indonesia. Sebagai fokus pembahasan ketiga adalah sosok kader NU dari Kalimantan , Hamzah Haz. Pernah tercatat sebagai politikus yang handal, sehingga karir politiknya sempat mengantarkan beliau sebagai Wakil Presiden RI mendampingi Ibu Megawati di tahun 2001. Sosok pendidikannya yang dimulai di Madrasah Diniyah, lembaga pendidikan miniatur pesantren, mengantarkannya sebagai sosok terkemuka di panggung politik. A. M. Quraisy Shihab 1. Dari Pesantren ke Mesir Alquran itu laksana samudra yang keajaiban dan keunikannya tidak akan pernah sirna ditelan masa, sehingga lahirlah bermacam-macam tafsir dengan metode yang beraneka ragam pula. Keragaman ini menurut Al-Farmawi ditunjang oleh Alquran itu sendiri yang keadaannya adalah bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang

193

berbeda dengan apa apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain.43 Kedua perumpamaan di atas, setidak-tidaknya dapat memperkuat suatu pernyataan bahwa ayat-ayat Alquran itu selalu terbuka untuk interpretasi baru. Bahkan hingga dewasa ini penafsiran terhadap Alquran-pun tidak hanya terbatas pada persoalan-persoalan metode belaka, melainkan sampai pada tataran disiplin ilmu dan aliran aliran tertentu. Demikian pula para penafsirnya, tidak hanya terbatas di kawasan Timur Tengah saja melainkan juga di Indonesia dan negara-negara lainnya. Salah seorang tokohnya adalah M. Quraish Shihab, yang banyak dikenal orang karena karyakaryanya dalam Tafsir kontemporer, atau kiprahnya sebagai akademisi, atau sebagai sosok yang pernah menjadi menteri agama RI, Ketua MUI, dan Duta besar. Nama lengkapnya Muhammad Quraish Shihab, lahir di Rappang Sulawesi Selatan pa tanggal 16 Pebruari 1944. Ia adalah seorang anak kandung dari K.H. Abdurrahman Shihab (1905-1986) seorang ulama terkemuka dan sebagai guru besar dalam bidang tafsir di Universitas Muslim Indonesia (UMI), sebuah perguruan tinggi swasta terbesar untuk kawasan Indonesia bagian timur, dan IAIN Alauddin Ujungpandang, sejak tahun 1999 hingga sekarang dikenal dengan Makassar. Bahkan, ia tercatat sebagai mantan rektor pada kedua perguruan tinggi tersebut Quraish sejak kecilnya telah mendapatkan motifasi dan benih kecintaan terhadap bidang studi tafsir dari ayahnya yang sering mengajak anak-anaknya duduk
43

Abd. Hayy Al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhuiy: Dirasah Manhajiah

Maudhuiyah, Penrj. Suryan A. Jamrah dengan judul: Metode Tafsir Maudhuiy: Sebuah Pengantar (Jakarta: Raja Grafindo Persada; 1994), h, 11

194

berdampingan. Pada saat-saat seperti inilah sang ayah menyampaikan nasihatnya yang kebanyakan bernuansa Qurani. Pendidikan formalnya dimulai dari Sekolah Dasar di Ujungpandang. Setelah itu ia melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di kota Malang sambil nyantri di Pondok Pesantren Darul Hadis al-Faqihiyyah di kota yang sama. Untuk lebih mendalami studi keislamannya, Quraish dikirim oleh ayahnya ke Al-Azhar, Kairo pada tahun 1958 dan diterima di kelas dua Tsanawiyah. Setelah itu, ia melanjutkan studinya ke Universitas Al-Azhar pada fakultas Usuluddin, jurusan tafsir dan hadis. Pada tahun 1967, ia meraih gelar LC (setingkat sarjana S1). Dua tahun kemudian (1969) Quraish berhasil memperoleh gelar M.A. pada jurusan yang sama dengan tesis yang berjudul alIjaz al-Tasyrii li al-Quran al-Karim hukum). Sekembalinya ke Ujungpandang, Quraish Shihab memperoleh kepercayaan untuk menjabat sebagi wakil rektor bidang akademis dan kemahasiswaan pada IAIN Alauddin Ujungpandang pada tahun 1973-1980. Selain itu, ia juga diserahi jabatanjabatan lain, misalnya sebagai Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Wilayah VII Indonesia Bagian Timur), Pembantu Pimpinan Kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental, dan sederetan jabatan lainnya di luar kampus. Di celahcelah kesibukannya itu, ia masih sempat merampungkan beberapa tugas penelitian yang antara lain tentang Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur (1975) dan Masalah Waqaf Sulawesi Selatan (1978). 2. Karya-karya Quraisy Shihab (Kemukjizatan Al-quran al- Karim dari segi

195

Untuk mewujudkan cita-citanya dalam mendalami studi tafsir, pada tahun 1980, Quraish Shihab kembali menuntut ilmu ke almamaternya Al-Azhar, mengambil spesialisasi dalam studi tafsir Alquran. Ia hanya memerlukan waktu dua tahun untuk meraih gelar doktor dalam bidang ini. Disertasinya berjudul Nazm al-Durar li al-Biqai: Tahqiq wa Dirasah , suatu kajian terhadap kitab Nazm al-Durar (Rangkaian Mutiara) karya al-Biqai telah berhasil dipertahankannya dengan predikat summa cum laude dengan penghargaan mumtaz maa martabah asy-syaraf al-ula (sarjana teladan dengan prestasi istimewa) Sekembalinya ke Indonesia sejak 1984, Quraish Shihab ditugaskan di Fakultas Usuluddin dan Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu, ia juga dipercayakan untuk menduduki berbagai jabatan. Antara lain: Ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI) pusat sejak 1984; Anggota Lajnah Pentashih Alquran Departemen Agama sejak 1989; Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional sejak 1989. Ia juga terlibat dalam berbagai oraganisasi lainnya, misalnya: sebagai Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syariah, Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), bahkan pernah diangkat sebagai Menteri Agama pada kabinet terakhir Presiden Suharto. Kesibukannya saat ini adalah Duta Besar Indonesia untuk Mesir, sejak tahun 2000. Kontribusi Quraish Shihab dalam segi intelektualitasnya terbukti dari berbagai karyanya di antaranya ialah (a) Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, diterbitkan oleh Mizan, Bandung pada tahun 1994, sebuah antologi essai tentang makna

196

dan ungkapan Islam sebagai sistem religius bagi individu mukmin dan bagi komunitas Muslim Indonesia; (b) Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, diterbitkan oleh Mizan, Bandung, 1992. Sebuah artikel yang ditulis selama periode dua puluh tahun berkenaan dengan berbagai aspek Al-Quran dan mengkaji secara terinci posisi pentingnya Al-Quran bagi komunitas Muslim; (c) Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhui atas Pelbagai Persoalan Umat, diterbitkan oleh Mizan Bandung 1996; (d) Tafsir Amanah, diterbitkan oleh Pustakan Katini, 1992; (d) Tafsir Al-Quran al-Karim: Tafsir Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, diterbitkan oleh Pustaka Hidayah , Bandung 1997: (e) Yang Tersembunyi: Jin, Iblis, Setan dan Malaikat dalam Al-Quran dan As-Sunnah serta Wacana Pemikiran Ulama Masa Lalu dan Masa Kini, diterbitkan oleh Lentera Hati Jakarta, 1999, dan karya-karya44 lainnya yang tidak disebutkan disini. Buku-buku karya Quraisy Shihab di atas, sungguhpun tidak terpampang sebutan tafsir, namun pada prinsipnya dapat dikategorikan sebagai gagasan yang sarat dengan problematika sekaligus solusi-solusi atasnya yang bernuansa qurani. Selama ini, kajian tentang Tafsir memang membutuhkan semangat dan ketekunan yang luar biasa, dirasakan sangat sulit apalagi untuk dicerna sambil lalu. Quraisy Shihab juga berusaha memadukan dua dorongan yang ada pada diri manusia --nalar dan intuisi-- sehingga dapat dipahami secara mudah oleh akal dan juga uraian yang sulit dipahami kendati
44

Uraian karyanya

daparte diperoleh dalam Howard M.Federspiel, Popular Indonesian

Literature of the Quran, Penerjemah Tajul Arifin dengan judul Kajian Al-Quran di Indonesia Dari Mahmud Yunus Hingga Quraish shihab (Mizan: Bandung, 1996),h, 295-299

197

tidak bertentangan dengan akal, namun dapat diterima sepenuh hati oleh siapapun bila ia menggunakan kalbunya. B. Nurcholish Madjid 1. Dari Pesantren ke Amerika Dilahirkan di desa Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur pada 17 Maret 1929. Pendidikannya dimulai dari SR (Sekolah Rakyat) di pagi hari dan madrasah di sore hari. Ketika memperoleh ijazah SR IV dari Sekolah Rakyat Bareng, pada saat yang sama ia pun menyelesaikan sekolah agamanya di madrasah ayahnya, Madrasah Al-Wathoniyah Nurcholish Madjid selalu memperoleh prestasi akademik yang luar biasa, khususnya selama belajar di Madrasah. Pada usia ke-14 Nurcholish Madjid pergi belajar ke pesantren Darul Ulum Rejoso di Jombang dan di sini ia juga memperoleh prestasi yang mengagumkan. Dua tahun kemudian Nurcholish Madjid pindah ke pesantren Pondok Modern Gontor. Ketika itu Nurcholish Madjid berumur 16 tahun dan ia dapat menyelesaikan studinya pada umur 21 tahun. Setelah itu ia mengabdi beberapa tahun sebagai pengajar di bekas almamaternya tersebut . Pilihan Abdul Madjid (ayahnya) menyekolahkan Nurcholish Madjid ke pondok Modern Gontor juga merupakan keputusan yang sangat mendukung bagi

pengembangan wawasan intelektual Nurcholishnya. Kurikulum Gontor menghadirkan perpaduan liberal, yakni tradisi belajar klasik dengan gaya modern Barat, yang

diwujudkan secara baik dalam sistem pengajaran maupun mata pelajarannya. Para santri yang belajar di Pesantren Gontor tidak hanya diproyeksikan mampu menguasai Arab klasik, tetapi juga bahasa Inggris, dengan alasan bahwa bahasa Inggris merupakan

198

bahasa yang dibutuhkan dalam mencari ilmu untuk masa sekarang. Iklim pendidikan di Gontor mengajarkan para siswanya untuk bersikap kritis dan tidak memihak pada salah satu mazhab sehingga para siswa yang tamatan pondok ini terbiasa untuk berpikir komparatif yang dengan itu membuat mereka tidak mudah terjebak pada fanatisme mazhab. Dengan demikian, jika diukur dengan masa sekarang, pendidikan di Gontor, ketika Nurcholish Madjid nyantri di akhir 1950-an, pola pendidikan yang dikembangkan dapat dianggap sebagai pendidikan yang progresif. Dan jika diukur pada saat itu, gaya pendidikan yang dipelopori Gontor sangat revolusioner. Nurcholish Madjid melanjutkan ke IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Fakultas Adab Jurusan Bahasa Arab dan Sejarah Kebudayaan Islam). Skripsinya berjudul AlQuran Arabiy-un Lughat-an wa Alamiy-un Mana (al-Quran Dilihat dari Segi Bahasa bersifat Lokal [bahasa Arab], tetapi dari Segi Makna Bersifat Universal) menunjukkan kecenderungannya untuk melakukan analisa filosofis dan inklusufistik terhadap ajaran dasar Islam. Paham inklusufisme ini semakin berkembang lantaran pergaulannya yang begitu dekat dengan almarhum Buya Hamka (5 tahun Nurcholish Madjid tinggal di asrama Masjid Agung al-Azhar). Nurcholish Madjid sering mengemukakan respek dan kekagumannya pada Buya Hamka yang dinilainya mampu mempertemukan pandangan kesufian, wawasan budaya, dan semangat al-Quran sehingga dakwah dan paham keislaman yang ditawarkannya sangat menyentuh dan efektif untuk masyarakat Islam kota. Selama kuliah, dia aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yang ketika itu tidak populer, disebabkan anggapan bahwa HMI dipertimbangkan sebagai gerakan

199

kaum modernis sehingga dianggap sebagai mitra kerja Masyumi. Cak Nur terpilih menjadi Ketua Umum PB HMI untuk dua periode berturutturut dari tahun 1966-1968 hingga 1969-1971. Rentang tahun 1967-1969 Nurcholish Madjid menjadi Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT) dan pada tahun 1968-1971 menjadi wakil Sekretaris Umum International Islamic Federation of Student Organisation (IIFSO, Himpunan Organisasi Mahasiswa Islam se-Dunia), sehingga dia mendapat berkesempatan untuk melakukan kunjungan-kunjungan internasional, seperti ke Amerika dan Timur Tengah. Fenomena kehidupan masyarakat di kedua wilayah tersebut telah membuka matanya untuk melihat persoalan-persoalan yang berkaitan dengan diskursus Islam. Dalam pengamatannya, Amerika ternyata lebih islami dibanding negara-negara Timur Tengah, yang note bene adalah negara-negara atau berpenduduk mayoritas beragama Islam, dalam hal keadilan sosial, persamaan hak, dan kesempatan yang merupakan pesan-pesan moral yang terdapat dalam al-Quran. Tanggal 3 Januari 1970, Nurcholish Madjid mendapat undangan sebagai pembicaraDalam makalah yang berjudul Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat, Nurcholish Madjid secara terang-terangan mengungkapkan gagasan pemkirannya dengan menggunakan istilah-istilah sekularisasi, liberalisasi, desakralisasi, intelectual freeom, ijtihad, idea of progress, keadilan sosial, dan demokrasi. Istilah-istilah tersebut digunakan untuk mengemukakan maksud dalam menolak tradisionalisme dan sektarianisme. Karena isi makalah tersebut, Nurcholish Madjid, yang dulunya dipuji sebagai Natsir Muda yang akan menjadi pemimpin baru aktivis muslim di bidang politik, dihujat dan dianggap telah berbalik 180 derajat dari

200

lintasannya yang konservatif menjadi seorang modernis sekuler. Dari tahun 1971-1974, Nurcholish Madjid menjadi tokoh masyarakat dengan sorotan tajam terhadap ide-ide yang ia lontarkan. Gerakan secara luas untuk menolak ide-ide Nurcholish Madjid semakin hidup, dan tulisan-tulisan kritis yang menanggapi ide-ide pembaharuan pemikirannya seringkali menafikan sosok Nurcholish Madjid sendiri sebagai pusat perhatian. Dalam menghadapi kritikan-kritikan tersebut, Nurcholish Madjid lebih memilih untuk bersikap diam dan menyibukkan diri dalam forum-forum diskusi ; diantaranya yang terpenting adalah Yayasan Samanhudi. Di yayasan ini Nurcholish Madjid bertemu dengan Djohan Effendi, Ahmad Wahib, M. Dawam Rahardjo, Syubah Asa, dan Abdurrahman Wahid. Kelompok ini ternyata berlanjut pada pembentukan pertemuan Reboan di tahun 1980-an dan 1990-an. Melalui kegiatan tidak resmi semacam itu gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam tumbuh dan berkembang. Selanjutnya pada tahun 1974-1976, Nurcholish Madjid menjadi Direktur Lembaga Kebajikan Islam Samanhudi di Jakarta., lembaga yang didirikan oleh Yayasan Samanhudi. Dan dalam masa ini juga Nurcholish menjadi Wakil Direktur I Lembaga Studi Ilmu Kemasyarakatan di Jakarta. Gerakan Pembaruan ini juga disosialisasikan dalam bentuk penerbitan majalah yang sangat provokatif, Mimbar Jakarta. Nurcholish Madjid sendiri menjadi pimpinan majalah ini selama tiga tahun dari tahun 1971-1974. Melalui majalah ini gagasan tersebut menyebar ke masyarakat luas sehingga Nurcholish Madjid harus menikmati kritikan bahkan hujatan dari para pengkritiknya.

201

Tahun 1973 Fazlur Rahman dan Leonard Binder berkunjung ke Indonesia untuk pertama kalinya, mencari peserta yang tepat untuk program seminar dan lokakarya di University of Chicago yang didanai Ford Foundation yang akan dilaksanakan pada tahun 1976. Mulanya pilihan jatuh ke H.M. Rasyidi, pengkritik utama pikiran Nurcholish Madjid, tetapi setelah mempertimbangkan usianya yang sudah tua, pilihan itu dibatalkan dan dialihkan kepada Nurcholish Madjid. Nurcholish Madjid mendapat dukungan dari Rayburn Smith, pegawai Ford Foundation yang bertempat di Jakarta. Namun untuk memenuhi persyaratan Ford Foundatrion, Nurcholish Madjid harus menjadi Pegawai Negeri Sipil. Untuk itu kemudian ia dilantik menjadi tenaga peneliti LIPI. Di Universitas Chicago, Nurcholish Madjid meminta pada Leonard Binder agar ia dapat kembali lagi dengan stasus mahasiswa setelah penelitian di Chicago berakhir. Setelah pulang ke Indonesia, pada th 1978 Nurcholish Madjid kembali ke Amerika Serikat untuk mengambil program pasca sarjana di University of Chicago dibawah bimbingan Fazlur Rahman. Nurcholish Madjid lulus pada tahun 1984 dengan yudisium Cumlaude, dengan judul disertasinya Ibn Taymiya on Kalam and Falsafah: A Problem of Reason and Revelation in Islam (Ibn Taymiyah dalam Ilmu Kalam dan Filsafat: Masalah Akal dan Wahyu dalam Islam). 2. Karya-karya Nurcholish Madjid Nurcholish Madjid dapat digolongkan sebagai seorang cendikiawan yang produktif, terbukti dengan banyaknya karya-karya ilmiah baik berupa makalah maupun artikel atau Buku. Karya-karyanya yang kini telah beredar dalam bentuk buku di

202

pasaran Indonesia antara lain: 1) Khazanah Intelektual Islam (Editor, 1984). Karya ini menurut penulisnya

dimaksudkan untuk memperkenalkan salah satu segi kejayaan Islam di bidang pemikiran, khususnya yang berkenaan dengan filsafat dan teologi. Ia

memperkenalkan sarjana-sarjana Muslim Klasik, antara lain al-Kindi, al-Asyari, alFarabi, Ibn Sina, al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Taymiyah, Ibn Khaldun, al-Afghani, dan Muhammad Abduh. Sebagaimana diakui oleh Nurcholish sendiri, buku ini merupakan sekedar pengantar pemikiran kepada kajian yang lebih luas dan mendalam tentang khazanah kekayaan pemikiran Islam. Meskipun hanya sebuah pengantar, tetapi ini merupakan sumbangsih berharga, khususnya terhadap literaturliteratur pemikiran Islam yang berbahasa Indonesia. 2) Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (1987). Buku ini sampai dengan tahun

1999 telah dicetak ulang sebanyak 12 kali. Di dalamnya merupakan kumpulan tulisan-tulisan Nurcholish Madjid, yang menurutnya dikerjakan dalam rentang waktu dua dasawarsa sebagai respon terhadap berbagai persoalan dan isu-isu yang berkembang pada saat itu. Di bawah prinsip untuk mencari dan terus mencari kebenaran, secara tiada berkeputusan dan berkeyakinan bahwa Tuhan adalah Kebenaran dan bahwa hanya Dia-lah Kebenaran Mutlak, Nurcholish Madjid melontarkan kemanusiaan. 3) Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah gagasan-gagasannya di sekitar kemodernan, keislaman, dan

Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan (1992). Buku ini berisi kumpulan

203

makalah, yang ditulis Nurcholish Madjid pasca studi di Chicago, sekaligus merupakan karya monumentalnya, yang berupaya menghadirkan ajaran-ajaran Islam dengan adil, inklusif, dan kosmopolit. Di dalamnya terungkap gagasan-gagasannya di bawah tema tauhid dan emansipasi harkat manusia, disiplin ilmu keislaman tradisional, membangun masyarakat etika, serta universalisme Islam dan kemodernan. Dalam pengantarnya, Nurcholish Madjid menyebutkan bahwa agama (Islam) telah mengajarkan manusia bagaimana seharusnya menjaga keselamatannya di dunia dan akhirat. Kita, kata Nurcholish Madjid, harus mempunyai tujuan hidup yang transedental berdasarkan iman. Tuntutan iman ini harus juga dinyatakan dalam amal yang menjadi kebajikan sosial, sekaligus menciptakan masyarakat yang egaliter dan inklusif yang memungkinkan manusia saling menjaga dan mengingatkan tentang kebenaran dan keadilan. 4) Islam, Kerakyatan dan Keindonesiaan: Pikiran-pikiran Nurcholish Muda

(1994). Sebagaimana dalam bukunya islam kemoderenan dan Keindonesiaan, dalam buku ini Nurcholish Madjid berbicara mengenai Keislaman, Keindonesiaan, dan Kemodernan, dengan penekanan bagaimana menciptakan masyarakat yang berkeadilan berdasarkan prinsip-prinsip tauhid. 5) Pintu-pintu Menuju Tuhan (1994). Buku ini sebenarnya merupakan

kumpulan sebagian besar tulisan Nurcholish Madjid pada kolom Pelita hati di Harian Pelita (1981-1991) dan Tempo. Merupakan penjelasan yang lebih sederhana mengenai ajaran yang inklusif dan universal yang menjadi tema besar dalam buku Islam Doktrin dan Peradaban. Dalam buku ini, tema-tema besar tersebut, mencakup

204

masalah iman, peradaban, etika, moral, dan politik Islam kontemporer, disajikan dengan bahasa yang lugas, ringan, dan sederhana, sehingga mudah dimengerti. Namun demikian, hal tersebut tidaklah mengurangi akan kedalaman dan keluasan visi dan wawasan dari sang penulisnya, melainkan justru merupakan salah satu keistimewannya. Membaca buku ini, halaman per halaman tak ubahnya ibarat kita mendaki pegunungan, semakin ke atas semakin terasa sejuk.... Menurut Gunawan Muhammad, yang memberikan kata pengantar untuk buku ini mengatakan bahwa tulisan-tulisan Nurcholish Madjid tersebut tetap bertahan dalam tradisi humanis, yang juga menekankan kembali peran manusia sebagai khalifah di muka bumi. 6) Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam

dalam Sejarah (1995). Sebagaimana buku Islam Doktrin dan Peradaban, pemikiranpemikiran Nurcholish Madjid dalam buku ini merupakan analisis dan refleksi terhadap wacana keislaman secara mendasar. Hanya saja, pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid yang tertuang dalam buku ini lebih terarah pada makna dan implikasi penghayatan iman terhadap perilaku sosial. Lebih dari itu, Nurcholish Madjid dalam buku ini membahas tema-tema pokok ajaran Islam yang telah berkembang dan mengalami distorsi di tangan umat Islam sendiri, sehingga menjadi mitos dan dongeng. Dalam pengertian lain, seringkali sulit dibedakan antara nilainilai Islam yang bersifat substansial dan fundamental dari ajaran yang sekunder dan terbuka untuk penafsiran bahkan perubahan. Diungkapkan oleh Komaruddin Hidayat dalam pengantar buku ini, melalui buku ini Nurcholish Madjid menunjukkan konsistensinya sebagai pemikir yang apresiatif dan memiliki akses

205

intelektual terhadap khazanah Islam klasik, namun berbarengan dengan itu ia tetap setia pada cita-cita humanisme dan modernisme Islam. Ditambah lagi dengan wawasan kesejarahan dan sosiologis yang dipelajarinya telah memungkinkan Nurcholish Madjid untuk menyuguhkan wawasan dan interpretasi ajaran dasar Islam yang terbebas dari mitos pemihakan ideologis karena kepentingan politik praktis. 7) Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam

Indonesia, (1995). Buku ini menghadirkan ajaran Islam secara lebih humanis, adil, inklusif, dan egaliter yang bertolak dari paradigma tauhid dan etika. Hanya saja, Nurcholish Madjid dalam buku ini, menyajikan pemikiran-pemikirannya dengan wawasan yang lebih kosmopolit dan universal sekaligus mempertimbangkan aspek parsial dan kultural paham-paham keagamaan yang berkembang. Hal ini merupakan konsekuensi logis bagi Nurcholish Madjid agar ajaran-ajaran Islam yang universal senantiasa memiliki relevansinya dengan tuntutan ruang dan waktu, harus selalu dilakukan dialog kultural antara ajaran yang universal dengan yang partikular. Dikatakan oleh Wahyuni Nafis dalam kata pengantar buku ini, Nurcholish Madjid mengajak kita untuk bisa memahami mana yang benar-benar agamayang dengan demikian bersifat mutlakdan mana yang benar-benar sebagai budayayang dengan demikian bersifat relatif dan sementara. Agama dan budaya sebagaimana sudah banyak disuarakan oleh banyak pemikir kebudayaan, pada kenyataannya tidak dapat dipisahkan, namun dapat dibedakan. 8) Masyarakat Religius (1997). Buku yang berisi lima bab ini mengetengahkan

Islam dan konsep kemasyarakatan, komitmen pribadi dan sosial, konsep keluarga

206

Muslim, prinsip medis dan kesehatan keluarga muslim serta konsep mengenai eskatologis dan kekuatan supra alami. 9) Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia

(1997). Buku ini terdiri dari empat bab, yaitu pertama, kajian ilmiah terhadap Islam di Indonesia, kedua, bagaimana peran umat Islam Indonesia menyonsong era tinggal landas, ketiga, dimensi sosial budaya pembangunan di Indonesia, dan keempat, demokrasi di Indonesia. Dalam buku ini Nurcholish membahas peran dan fungsi Pancasila, organisasi-organisasi politik dan Golkar, Pemilu, demokrasi,

demokratisasi, oposisi, keadilan, dan dinamika perkembangan intelektual Islam di Indonesia. Kecuali itu, yang menarik ketika Nurcholish Madjid berbicara mengenai oposisi, yang dimaksudkan adalah oposisi loyal. Oposisi seperti inilah yang dibenarkan dalam masyarakat yang memegang teguh prinsip-prinsip musyawarah. Dalam konteks ini Nurcholish Madjid menegaskan bahwa oposisi memang diperlukan karena ia mempertajam pemikiran. 10) Kaki Langit Peradaban Islam (1997). Buku ini merupakan suntingan

sebagian kumpulan makalah Nurcholish Madjid yang ditulis dalam rentang waktu 10 tahunan, antara tahun 1986-1996. Buku ini berisi tiga bab. Pertama, mengetengahkan wawasan peradaban Islam. Kedua, menjelaskan sumbangan pemikiran-pemikiran para tokoh Muslim, antara lain al-Syafii dalam bidang hukum Islam, al-Ghazali dalam bidang tasawuf, Ibn Rusyd dalam bidang filsafat dan Ibn Khaldun dalam bidang filsafat sejarah dan sosial. Dan ketiga, mengenai dunia Islam dan dinamika global.

207

11)

Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (1997). Buku ini merupakan

seleksi atas makalah-makalah Nurcholish Madjid sekitar duapuluh tahun yang lalu. Buku ini memuat deskripsi dunia pesantren dengan segala dinamika

perkembangannya, berhadapan dengan wacana modernisasi. Meskipun telah berlalu kurang lebih 20-an tahun, kehadiran buku ini tetap menunjukkan signifikansinya dalam rangka mencari dan menemukan format baru dunia pesantren berhadapan dengan realitas eksternal yang mengitarinya. 12) Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik

Kontemporer (1997). Buku ini sangat berbeda dengan buku-buku Nurcholish Madjid lainnya, karena ia merupakan kumpulan wawancara yang pernah dimuat dalam berbagai media massa dari sekitar tahun 1970-an sampai 1996-an dengan tema yang sangat beragam dan spontan, meliputi berbagai persoalan aktual: politik, budaya, pendidikan, peristiwa 27 Juli, dan lain-lain. Meskipun lebih merupakan bacaan ringan dengan kata pengantar yang panjang lebar dari seorang pengamat politik seperti Fachri Ali, buku ini sangat menarik dan menjadi pendukung penting untuk dapat menangkap semua gagasan yang pernah dilontarkan Nurcholish Madjid dalam buku-buku yang lain. 13) Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi (1999). Buku ini dapat dikatakan

merupakan perjalanan panjang pandangan sosial politik Nurcholish Madjid dalam wacana perpolitikan di Indonesia. Sebagaimana diungkapkan oleh pemberi kata pengantar buku ini, buku ini dapat menyarikan pemikiran-pemikiran yang selama ini digeluti Nurcholish Madjid, yakni bahwa semua gagasan yang pernah

208

dilontarkannya dalam berbagai bidang merupakan transformasi nilai-nilai al-Quran dalam mewujudkan masyarakat madani, istilah yang sekarang makin populer dalam wacana nasional bangsa Indonesia. Di samping itu karya tulis Nurcholish juga tersebar dalam beberapa buah buku, jurnal maupun majalah, baik yang berbahasa Indonesia, Inggris, maupun Arab, dan bahkan banyak makalah-makalahnya yang belum diterbitkan. Di antara karya-karya tulis itu adalah: Al-Quran, Arabiyy-un Lughat-an wa Alamiyy-un Man-an (1968). Merupakan karya skripsi sarjananya di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam karya tulis ini Nurcholish Madjid membahas al-Quran dilihat dari segi makna dan bahasanya. Menurutnya, alQuran dilihat dari segi bahasa bersifat lokal karena menggunakan bahasa Arab, sebab diturunkan di kawasan Jazirah Arab. Akan tetapi, dari segi makna, al-Quran memiliki kandungan pengertian universal, sebab ia merupakan kitab rahmat bagi seluruh alam semesta. Belum diterbitkan. Ibn Taymiyah on Kalam and Falsafah: Problem of Reason and Revelation in Islam (1984). Karya ini merupakan disertasi doktoralnya di Chicago University, AS., yang mengetengahkan tentang kajian kalam dan filsafat. Belum diterbitkan. Pesantren dan Tasawuf, dalam M Dawam Rahardjo (ed.) Pesantren dan Pembaharuan. Tasawuf Sebagai Inti Keberagamaan dalam Pesantren No 3/Vol. II/1985. Akhlak dan Iman dalam Adi Bajuri (peny.) dalam Pelita Hati. Pengaruh Kisah Israiliyat dan Orientalisme Terhadap Islam dalam K.H. Abdurrahman Wahid, et. al., Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia (1991)

209

Al-Quds dalam Wahyuni Nafis (ed.), Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam (1996). Aktualisasi Ajaran Ahlussunnah wal jamaah dalam M. Dawam Rahardjo (pengantar), Islam Indonesia Menatap Masa Depan (1989). The Issues of Modernization among Muslim in Indonesia: From a Participants View, dalam Gloria Davis (ed.), What is Modern Indonesia? (1979). Islam ini Indonesia: Challenges and Opprtunities, dalam Cyriac K. Pullaphilly (ed.), Islam in the Contemporary World (1980). Dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus (ed.), Passing Over, Melintas Batas Agama, Nurcholish menyumbangkan tiga tulisan, yaitu: Dialog Agama-agama dalam Perspektif Universalisme al-Islam Kebebasan Beragama dan Pluralisme dalam Islam Keluarga Imran, Siti Maryam, dan Isa al-Masih Dan masih banyak lainnya yang tidak mungkin dicantumkan dalam tulisan ini. Secara ringkas, ide-ide pembaruan yang digagas Nurcholish Madjid dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, umat Islam, kecuali sebagian kecil, sudah tidak tertarik lagi dengan partai-partai/organisasi-organisasi Islam karena partai-partai itu tidak lagi menyalurkan aspirasi-aspirasi umat Islam secara keseluruhan, tetapi lebih banyak berjuang untuk kepentingan partai atau kelompok masing-masing. Untuk itu, Nurcholish Madjid menyuarakan jargon Islam, Yes; Partai Islam, No. Dengan rumusan ini Nurcholish Madjid menegaskan pendiriannya bahwa

komitmennya hanyalah pada Islam, bukan kepada institusi-institusi keislaman. Dengan

210

kata lain, penolakan terhadap institusi kepartaian politik Islam haruslah dipahami sebagai penolakan bukan karena Islamnya, tetapi penolakan terhadap pemanfaatan Islam oleh mereka yang terlibat dalam kehidupan partai politik Islam. Kedua, umat Islam harus melepaskan diri dari kejumudan berpikir dari dirinya termasuk kelembagaan politik yang dimilikinya. Untuk itu diperlukan pembaruan pemikiran yang rasional dan sesuai dengan kondisi empiris yang ada ketika itu. Untuk bisa sampai pada tahapan ini, cara efektif adalah dengan terlebih dahulu menetapkan sikap dasar terhadap pembaruan, sebagai pijakan untuk menempuh langkah-langkah operasional. Dalam hal ini Nurcholish menekankan liberalisasi pandangan terhadap ajaran-ajaran Islam. Inilah salah satu letak perbedaan pandangan Nurcholish Madjid dengan tokoh seniornya yang lebih mementingkan pandangan skripturalis dan dokrinal dalam meresponi perkembangan modern. Yang dimaksud dengan liberalisasi di sini erat kaitannya dengan membebaskan diri dari nilai-nilai yang tradisional,

danmenggantinya dengan nilai-nilai yang berorientasi masa depan. Proses liberalisasi ini mencakup setidak-tidaknya tiga hal: sekularisasi, kebebasan berpikir, dan gagasan kemajuan. Ketiga, guna menggerakkan dan merumuskan pikiran-pikiran baru yang segar dan progresif, diperlukan kelompok-kelompok pemikir yang liberal, yang nontradisionalis dan non-sektarian. Pikiran ini didasarkan pada pengamatannya bahwa organisasi-organisai yang dikenal sebagai wadah pembaru selama ini sudah tidak lagi menceminkan sikap itu. Mereka sudah tidak sanggup lagi menangkap semangat dari ide pembaruan itu sendiri, yaitu dinamika dan progresivitas. Sebaliknya, organisasi-

211

organisasi yang dulunya kontra reformis mengambil alih apa yang menjadi hak monopoli kaum pembaru selama ini walaupun mereka tidak sepenuh hati. Keadaan ini mengakibatkan stagnasi menyeluruh yang menimpa umat Islam. Untuk itu diperlukan adanya kelompok pembaruan Islam baru yang liberal dengan konsekuensi logis nontradisionallisme dan non-sektarianisme. C. Hamzah Haz 1. Dari Madrasah Diniyah ke Panggung Politik

Hamzah Haz dilahirkan di Ketapang sebelah selatan propinsi Kalimantan Barat pada tanggal 15 Februari 1940, tepatnya didaerah Pesaguan, sebuah desa kecil yang terletak di kecamatan Molahilir Kabupaten Ketapang. Hamzah dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama dan ketat dalam menjalankan ajaran Islam. Ayahnya, H. Abdullah H. Ahmad, adalah seorang yang pada awalnya berprofesi sebagai guru Sekolah Rakyat (SR) dan pada pendudukan Jepang sampai masa kemerdekaan menjadi kepala Desa, dan jabatan ini dijalaninya selama kurang lebih 20 tahun. . Masa sekolahnya dilaluinya mulai dari Pesaguan. Pagi hari sekolah di SR dan

sore harinya sekolah di Madrasah Diniyah. Namun di tempat kelahiranya itu hanya sampai kelas 3. Hamzah kecil melanjutkan kelas 4 dan 5 di ketapang, sambil sore harinya menuntut ilmu di Madrasah Diniyah. Tinggal bersama nenek dari pihak ayah, Hamzah mulai belajar hidup mandiri, jauh dari orang tua. Seminggu sekali ia pulang ke Pesaguan dengan menggunakan sepeda, karena jarang mobil atau kendaraan umum

212

melewati daerah tersebut. Setelah menyelesaikan sekalah rakyat pada tahun 1954, Hamzah melanjutkan ke SMPN 1 Pontianak sampai kelas II, Hamzah kemudian pindah ke SMPN Ketapang, untuk kumpul bersama orang tuanya, sambil meneruskan pendidikan di Madrasah Diniyah. Pendidikan agama diperolehnya melalui madrasah diniyah hingga tamat, disamping pendidkan agama yang diberikan orang tuanya secara langsung kepada anakanaknya. Bahkan diakuinya faktor orang tua sangat mempengaruhi proses pengenalan dia terhadap agama Islam sampai Hamzah tumbuh menjadi politisi yang mampu bertahan dalam posisinya hingga sekarang. Pendidikan orang tua begitu besar mempengaruhi prilaku dan mentalitas Hamzah hingga menjadi politisi yang dikenal memiliki integritas perjuangan dan konsistensi sikap itu. Ketika di SMPN, Hamzah sudah tertarik dengan organisasi dan sering mengikuti berbagai aktivitas yang diadakan oleh sekolah maupun organisasi lainnya. Keinginan untuk menjadi pengusaha pada waktu kecil menggambarkan betapa pengaruh orang tua begitu besar, yang pada waktu itu sudah menjadi pengusaha yang relatif sukses. Dari keinginan itu pula yang menjadikan Hamzah melanjutkan ke Sekolah Menengah Ekonomi Negeri (SMEAN) Pontianak setelah tamat SMP pada tahun 1957. Di sini Hamzah mulai mengembangkan hobi berorganisasi yang mengantarkan Hamzah

menjadi wakil ketua organisasi Ikatan Pelajar SMEAN Pontianak. Bahkan ketika itu pula Hamzah pernah menjadi salah satu ketua Himpuanan Siswa Ekonomi Seluruh Indonesia (HIMSEKSI) Kalimantan Barat. Bahkan, , Hamzah sempat mengikuti

213

Kongres HIMSEKSI di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Setamat dari SMEAN, Hamzah lebih tertarik untuk mengikuti Kursus Perbankan di Bandung. Keinginan untuk masuk di dunia perbankan bersamaan dengan niat

pemerintah Daerah yang akan mendirikan Bank Perintis milik Masyumi. Hingga selesai kursus perbankan, hamzah tidak langsung bekerja di bank tersebut karena sampai Hamzah lulus Bank tersebut tidak kunjung berdiri. Dengan kata lain Hamzah sempat menjadi pengangguran untuk beberapa waktu. Pada saat yang sama ada lowongan untuk menjadi wartawan surat kabar Bebas (sebuah koran daerah).

Hamzah pun mengirim lamaran diterima masuk menjadi wartawan koran tersebut. Ketika menjadi wartawan muda, hobi berorganisasi Hamzah terus terlihat, terbukti Hamzah sempat menjadi calon ketua PWI (persatuan Wartawan Indonesia). Saat menjadi wartawan inilah, Hamzah menikahi gadis yang bernama Asminah, pada pertengahan tahun 1961 dan tahun berikutnya dikaruniai seorang putra. Sampai kemudian Hamzah memutuskan untuk pulang kembali ke Ketapang untuk mengajar SMA Ketapang dan dengan modal sebagai wartawan di Pontianak, Hamzah mendirikan surat Kabar Berita Pawan yang terbit tiga kali dalam seminggu dan dicetak dengan stensilan. Pada saat itu pula Hamzah pernah dipanggil oleh Pejabat daerah itu

berkaitan dengan tulisan-tulisan yang kritis dan vokal terhadap pemerintah daerah. Tidak lama setelah menjadi wartawan, bersama empat orang lainnya Hamzah Haz mendapakan tugas belajar dari Koperasi Kopra Kalimantan Barat untuk kuliah di Akademik Koperasi Negara Yogyakarta. Itu terjadi pada tahun 1962 sampai dengan 1965. Hal ini karena orang tuanya sebagai anggota Koperasi Kopra dan mempunyai hak

214

untuk itu. Di waktu kuliah, Hamzah termasuk orang yang sangat rajin dan tekun, itu terlihat misalnya dari hasil mata kuliah yang tidak pernah gagal dalam setiap ujian. Di Yogyakarta, hobi berorganisasi Hamzah semakin mendapatkan saluran, apalagi suasana saat itu mengaharuskan orang untuk menentukan pilihan, karena kehidupan politik dan organisasi dikalangan mahasiswa sedang hangat-hangatnya. Hamzah kemudian masuk Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) komisariat Akademi Koperasi Negara Yogyakarta. Bahkan Hamzah termasuk pendiri komisariat tersebut dan pernah menjadi ketuanya. Mengapa PMII, bukan GMNI, HMI atau lainya ?. Pertimbanganya, karena PMII merupakan organisasi ekstra Universiter yang berada di bawah Nahdlatul Ulama (NU) sementara Hamzah Haz sendiri adalah pengurus NU cabang Ketapang. Pada periode yang sama, yaitu 1962-1965 Hamzah juga menjabat sebagai ketua pelajar/mahasiswa kalimantan Barat di Yogyakarta. Dalam berbagai aktivitasnya yang cukup banyak itu, Hamzah bahkan pernah menjadi peserta Konferensi PERTANU (persatuan Tani NU), sebuah organisasi onderbouw NU yang bergerak di bidang pertanian. Di Yogyakarta, Hamzah banyak mengalami perubahan signifikan yang banyak membentuk dan mempengaruhi pola dan karakter politiknya dikemudian hari. Di kota yang dunia mahasiswanya dikenal sangat dinamis ini, Hamzah muda mulai banyak belajar tentang organisasi dan politik secara lebih dewasa. Naluri politik Hamzah muda sebagai aktivis mahaiswa mulai tumbuh dan berkembang di kota ini selama kurang lebih tiga tahun.

215

Setelah kurang lebih tiga tahun kuliah di Yogyakarta, persis peristiwa Gestapu, Hamzah menjalani ujian akhir. Belum selesai pengumuman ujian, Hamzah sudah bisa pulang ke Pontianak (bukan ke Ketapang), oleh karena tidak pernah her dalam setiap ujiannya. Di Pontianak Hamzah mengabdikan dirinya pada lembaga yang telah memberinya kesempatan tugas belajar, dengan menjadi pengurus Koperasi Kalimantan Barat, yang pada awalnya sebagai sekretaris yang kemudian menjadi ketua. Pada tahun 1965-an, orang yang bertitel sarjana muda di Kalimantan Barat masih sangat sedikit, maka kehadiran Hamzah memiliki posisi tersendiri dalam lingkungan masyarakat itu. Sambil terus mengembangkan hobinya berorganisasi, Hamzah melanjutkan kuliah dengan memasuki Fakultas Ekonomi Universitas Tanjungpura, ditingkat IV, bahkan kemudian dipercaya sebagai asisten dosen Hendro S, dan secara resmi diangkat oleh PTIP dengan gaji sebesar Rp. 150. Di samping itu Hamzah juga mengajar di SKOPMA (Sekolah Koperasi Menengah Atas). 2. Karir Politik Hamzah Haz Keterlibatan Hamzah dalam politik berawal dari ajakan guru agamanya, yaitu KH. Buchori untuk menjadi pengurus NU Cabang Ketapang. Dalam usianya yang relatif masih muda, yakni 20 tahun, Hamzah sudah resmi menjadi pengurus NU Cabang Ketapang. Kecintaanya pada NU, salah satunya disebabkan NU bukan hanya karena mengurusi masalah duniawi tetapi juga hal ukhrowi (hablumminallah

wahablumminannas) Hamzah memilih NU karena kecintaannya terhadap NU, ditambah pada waktu itu Masyumi sebagai partai politik sudah dilarang oleh pemerintah. Apalagi di Ketapang

216

tidak ada perbedaan secara mencolok antara NU dan Muhammadiyah dalam hal ubudiyah, semua memakai qunut, tahlil atau lainnya. Tetapi yang menarik adalah perbedaan pilihan politik dalam sebuah keluarga tidak mempengaruhi hubungan antar keluarga. Bahkan dalam kampanye pemilu pada waktu itu mereka mewakili partai yang berbeda, ayahnya mewakili Parmusi dan Hamzah mewakili NU. Hamzah menjadi anggota DPRD bukan mewakili NU, melainkan mewakili KAMI (kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) Kalimantan Barat atau angkatan 66. Tetapi itu tidak berlangsung lama, karena Hamzah mengundurkan diri menjadi anggota DPRD dari KAMI dan lebih memilih NU. Pada waktu itu ada peraturan pemerintah yang mengharuskan semua orang KAMI atau angkatan 66 harus masuk Golkar atau berhenti. Tetapi pada saat yang sama, setelah keluar, kebetulan ada kursi kosong dari NU yang kemudian Hamzah diminta untuk mengisi kembali Pengabdian Hamzah di NU sampai pada tingkat yang terus meningkat, dari mulai cabang Ketapang sampai tingkat wilayah. Di tingkat wilayah Kalimantan Barat, setelah menjadi sekretaris wilayah, Hamzah kemudian dipercaya menjadi wakil ketua tanfidziyah NU wilayah Kalimantan Barat. Pada tahun pemilu 1955, wilayah kalimantan Barat tidak memiliki wakil di DPR RI, karenanya Hamzah dan kawan-kawan lainnya melakukan konsolidasi dan pembenahan sehingga pada tahun pemilu 1971 Kalimantan Barat memperoleh kursi di DPR RI, dengan wakil Hamzah sendiri. Ketika itu usianya 30 tahun, usia yang relatif muda dan mengagumkan dalam sebuah partai dengan sistem rekrutmen kader yang cukup ketat. Di Senayan itu, Hamzah sudah mulai kenal dan berguru kepada senior-

217

seniornya seperti KH. Idham Kholid, KH. Ahmad Syaikhu, KH. Masykur dan lainnya. Hamzah sangat berbahagia sekali dapat berkumpul bersama mereka dan belajar terhadap pengalaman mereka. Pengalaman itu misalnya tentang konsistensi untuk memperjuangkan umat Islam dan bagaimana membangun hubungan dan relasi dalam berpolitik dan sebagainya. Maka dari itu, penghormatan terhadap mereka begitu terlihat sampai sekarang, bahkan kepada putra-putri kyai/ulama yang menjadi guru politiknya, Hamzah masih tetap menghormati. Hamzah yang belum begitu menonjol pada saat itu, membuatnya nekat untuk belajar dan bekerja lebih keras lagi untuk mengejar ketertinggalanya, maka Hamzah menjadikan DPR sebagai sekolah, learning by doing, gurunya adalah orang-orang sudah lebih dulu mengenyam asam garam menjadi anggota DPR. Lebih dari itu, muncul kebijakan pemerintah Orde baru untuk menyederhanakan partai-partai menjadi tiga partai politik NU bersama PERTI, MI, PERSIS dan partai Islam lainnya mengaharuskan untuk berfusi dalam satu wadah yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Karena Hamzah menjadi anggota DPR RI dari NU, maka secara automatis Hamzah menjadi anggota MPW (Majelis Pertimbangan Wilayah) PPP Kalimantan Barat, dan inilah kiprah awal Hamzah di lingkungan PPP. Perjalanan Hamzah Haz menjadi anggota DPR cukup panjang, sejak masuk pada tahun 1971 sampai akhir tahun 1999, sejak menjadi anggota biasa sampai kemudian menjadi wakil ketua DPR, dijalaninya dengan penuh tanggung jawab karena sebuah kepercayaan. Kiprahnya di DPR diawali sebagai anggota komisi APBN. Karena pengalamanya yang cukup panjang, mengantarkan Hamzah menjadi wakil ketua komisi

218

APBN selama 10 tahun dari 1982-1992. Kepakaran dan pengalaman Hamzah dalam bidang APBN, membuat orang menjulukinya sebagai Ayatullah APBN. Kecermatan analisisnya menjadi sumber dalam setiap penyusunan APBN. Bahkan bukan hanya itu masalah-masalah ekonomi yang berakit dengn devisa dan harta negara menjadi perhatian utamanya. Dari kasus kredit macet BNI senialai 633,6 milyar paada tahun 1980 sampai pada kasus likuidasi dan penjualan tanah serta gedung KBRI di Singapura. Bahkan karena penguasaanya terhadap APBN secara lebih mendetail dan menyeluruh, Hamzah seringkali disebut sebagi kamus berjalan APBN yang selalu siap berkomentar tentang APBN kapan saja dimana saja. Bahkan bersama rekannya Umar Basalim (sekjen MPR RI dan Rektor Universitas Nasional), Hamzah menulis di surat kabar tentang persoalan politik dan terutama ekonomi. Hamzah menjadi anggota Dewan sampai empat kalidisamping dipercaya sebagai ketua Fraksi PPP selama tahun 1992-1997 dan 1997-1998. Bahkan pada era Reformasi, tepatnya ketika Habibie menjadi Presiden menggantikan Soeharto yang lengser pada tahun 10 Mei 1998, Hamzah sempat menjadi menteri Negara Investasi/Kepala BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal). Kiprah Politik Hamzah di Dewan berakhir setelah Ia menduduki posisi sebagai wakil Ketua DPR mendampingi Akbar Tanjung. Karena setelah itu Hamzah diangkat menjadi Menteri Koordinartor Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan (Menko Kesra dan Taskin) pada Kabinet Persatuan Nasional yang di bawah Komando KH. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden. Pada Pemilu tahun 1999 merupakan tantangan berat buat PPP untuk bertarung

219

bersama partai-partai Islam lainnya. Seperti banyak dikatakan, bahwa pemilu 1999 diikuti oleh puluhan partai-partai Islam yang berarti jumlah pesaing semakin banyak dan beragam. Maka menjadi ujian tersendiri buat PPP untuk bisa mempertahankan basis konstituenya untuk di DPR mapun DPRD. Muktamar IV PPP yang diselenggarakan tanggal 29 November 1998, memiliki makna yang sangat strategis. Setidaknya ada tiga hal penting yang dihasilkan muktamar. Pertama, ditetapkannya asas Islam menjadi asas partai menggantikan Pancasila,

penggantian ini diperikirakan memiliki pengaruh yang signifikan dan meluas. Kedua, menetapkan kembali Kabah sebagai lambang partai menggantikan bintang dan Ketiga, terpilihnya Dr. Hamzah Haz menjadi Ketua Umum DPP PPP periode 1999-2004 mengalahkan pesaing tunggal Dr. Ir. AM Saifuddin yang waktu itu juga menjabat sebagai Menteri Negara Urusan Pangan dan Holtikultura pada Kabinet Reformasi . Hal yang ketiga ini cukup peting terutama untuk basis NU di PPP, karena lebih 20 tahun lebih orang NU baru kembali memperoleh posisi Ketua Umum. Ketika Habibie menggantikan Soeharto menjadi presiden pada tahun 1998, ada upaya untuk mengakomodir kekuatan partai lain selain Golkar untuk masuk dalam kabinet, Maka Habibie dalam merekrut kabinet mengakomodir dari partai lain termasuk PPP untuk menjadi kabinet Reformasi. Dari PPP ada dua orang yang masuk menjadi menteri, yakni Hamzah Haz sebagai Menteri Investasi dan Kepala BKPM dan AM Saifuddin menjadi menteri Urusan Pangan dan Holtikultura. Setelah satu tahun kurang tiga belas hari, Hamzah bekerja sebagai Maninvest/kepala BKPM dengan penuh tanggung jawab dan sepenuh hati maka

220

Hamzah mengajukan

pengunduran dirinya kepada presiden. Pilihan untuk

mengundurkan diri sebagai menteri adalah konsekwensi yang harus diterima karena Hamzah terpilih sebagai Ketua Umum dan calon legeslatif dari daerah pemilihan Jakarta. Hal itu pun diikuti juga oleh beberapa menteri lainnya seperti Akbar Tanjung yang terpilih sebagai Ketua umum Partai Golkar. Kekuatan poros tengah dalam sidang Umum MPR 1999, kembali membawa Hamzah masuk dalam jajaran kabinet KH. Abdurrahman Wahid (atau yang akrab dipanggil Gus Dur). Dalam kabinet Gus Dur itu Hamzah menduduki posisi sebagai Menteri Koodinator Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan (Menko Kesra Taskin). Sejak dari awal, sesungguhnya tidak ada niat atau keinginan sedikitpun diriinya untuk menjadi menteri karena berat dan besarnya tanggung jwab yang harus dikerjakan. Hal itu sebenarnya sudah sering dikatakanya dalam intern PPP sendiri maupun poros tengah. Tetapi karena desakan dan situasi politik pada waktu itu, maka Hamzah pun menerima tawaran tersebut. Sejak menjadi menteri dirinya tidak pernah sekalipun datang ke kantor PPP, padahal tamu yang datang banyak sekali. Maka ketika harus memilih antara pertai atau menteri maka dirinya lebih memilih partai. Hal itu terbukti ketika dirinya tidak bisa berbuat apa-apa lagi terhadap partai karena kesibukannya menjadi menteri dengan perhatian yang minim dan lain sebagianya, membuat Hamzah akhirnya lebih memilih mengundurkan diri dari Menko Kesra Taskin dan kosentrasi mengurus partai. Bahkan dalam siaran persnya, Hamzah mengatakan, kemunduran dirinya dari Kabinet Persatuan Nasional, sangat melegakan. Karena dengan demikian Ia bisa berkosentrasi penuh pada partai

221

Pada umumnya ketua umum partai memiliki jabatan formal, maka Hamzah

justru tidak. Ia ingin merombak tradisi itu. Bahkan ketua umum harus memosisikan dirinya seperti komisaris dalam perusahaan yang hanya berfungsi mengontrol, membuat policy, yang merencanakan. Sedangkan yang lain seperti direkturnya berfungsi melaksanakan tugas dari kebijakan-kebijakan tersebut. Pemilihan Umum tahun 1999 mengahasilkan PPP sebagai pemenang ketiga setelah PDI Perjuangan dan Partai Golkar. Beberapa partai Islam selain PPP hanya mendapatkan kursi yang tidak terlalu signifikan. Hal itu cukup berpengaruh terhadap peta politik dan atmosfir politik Indonesia. Kemenangan PDI Perjuangan dengan Megawati sebagai calon presidennya dalam pemilu 1999 membuat kelompok ini memilki keberanian dan kepercayaan diri dari para elite partai maupun masyarakat bawah yang sangat fanatik, untuk memastikan dan memperjuangkan Megawati sebagai Presiden RI. Pada saat yang sama Partai Golkar dengan Habibie sabagai calon presidenya tidak jauh berbeda suasana psikologispolitisnya dengan PDI Perjuangan. Ditambah Habibie didukung juga oleh beberapa kelompok Islam. Maka persaingan dan permusuhan politik pun tidak bisa dihindarkan. Mengatasi kebuntuan politik dan menghindarakan dari Sidang Umum MPR dari ancaman deadlock maka para politisi yang tergabung dalam kelompok Islam membentuk suatu kekuatan politik tandingan sebagai kekuatan alternatif, dengan KH. Abdurrahman Wahid sebagai calon presidennya Kekuatan tandingan itu yang kemudian populer disebut sebagai Poros Tengah terbukti berhasil mampu menggeser kekuatan politik utama dan menjadikan semua

222

skenario politik Indonesia berubah drastis. Poros tengah kemudian berubah menjadi kekuatan sentral yang menentukan. Terbukti mampu menggilkan Gus Dur dan Amin Rais dalam posisi yang penting. Sementara Megawati dan Akbar Tanjung sebagai pemenang pemilu pertama dan kedua hanya mendapatkan posisi wakil presiden dan ketua DPR. Dalam pada itu, PPP dengan 58 kursi ditambah dengan 13 utusan daerah mempunyai peran yang sangat diperhitungkan terutama ketika bergabung dalam kelompok baru, poros tengah. Menyadari posisi tersebut, Hamzah memainkan kartukartu politiknya untuk melakukan bargaining position dengan kawan maupun lawan kelompoknya. Sebagai kekuatan politik alternatif, Poros tengah sesungguhnya, seperti yang disebutkan oleh Azyumardi Azra, sifatnya sesaat dan kontraktual. Artinya ikatan dan konsensi yang terjadi antara kelompok satu dengan yang lain dalam wadah poros tengah terbatas pada kepentingan yang terjadi pada saat itu, seiring dengan kecenderungan politik. Maka tidak ada keterkaitan politik apapun ketika semua kepentingan sudah berhenti misalnya pada Sidang Umum belaka. Tidak mengherankan apabila dalam perjalananya, presiden Abdurrahman Wahid mendapatkan serangan dan kritik politiknya justru dari kelompok yang dulu membidani poros tengah.Dus, poros tengah sebagai kekuatan politik secara formal pada saat ini dianggap telah bubar dan tidak ada. Meskipun secara individual mereka masih melakukan aktivitas politik secara bersamasama, tapi lagi lagi itu bukan mengatasnamakan secara eksplisit sebagai poros tengah. Poros tengah hanya bisa disebutkan dalam konteks politik pada waktu sidang umum

223

MPR 1999. Aep Saifulloh Fatah, pengamat politik dan dosen ilmu politik Universitas Indonesia mengibaratkan bahwa poros tengah sebagai politik mutah, artinya politik yang dibatasi oleh waktu dan situasi tertentu karena kepentingan tertentu dan akan habis ketika kepentingan itu sudah tercapai. Karennya, poros tengah pada saat itu tidak terlalu solid, dalam arti dapat bubar, karena kecurigaan-kecurigaan akan monufer politik yang berkembang sangat cepat dan dinamis45. Karir politik Hamzah sampai pada puncaknya, ketika Gus Dur akhirnya harus lengser karena dilengserkan oleh sidang umum MPR tahun 2001. Megawati naik menjadi presiden dan sidang memutuskan Hamzah Haz sebagai wakil presiden. Pendidikan pesantren mengalami perubahan dari pola tradisional kepada polapola modern. Interaksi santri dengan dunia yang terus melaju pesat, nampaknya tidak mampu lagi dihadapi hanya dengan pola pengajaran keagamaan semata, tetapi penting rasanya juga dibekali dengan ilmu-ilmu keterampilan yang dapat mendukung pergumulan mereka dengan dunianya. Beberapa nama alumni menghiasi deretan panjang tokoh-tokoh terkemuka di Indonesia46 dari masa ke masa. Beberapa posisi penting, bahkan hampir di tiap lini kehidupan sosok santri dapat berkiprah dan menunjukkan eksistensinya, bersama membangun agama dan bangsa.

45

Eep Saifulloh Fatah, Zaman Kesempatan, Agenda-Agenda Demokratisasi Pasca Orde

Baru,h. 59
46

Untuk lebih dekat dengan tohoh-tokoh Indonesia baik dari pesantren maupun non pesantren,

sekarang sudah ada ensiklopedi tokoh, silahkan klik www.tokohindonesia.com

224

BAB VII PESANTREN MASA DEPAN (POST MODERN)


Pesantren adalah dimensi pendidikan yang memiliki elemen-elemen penunjang yang khas, baik elemen yang bersifat hard-ware seperti : mesjid, pondok, ruang belajar, kitab-kitab dan lain sebagainya. Selain itu pesantren ,mempunyai elemen yang bersifat soft-ware, seperti: tujuan pendidikan, kurikulum, metode pengajaran, sistem evaluasi, dan perangkat lainnya yang menunjang proses belajar mengajar. Dunia pesantren yang nyaris dipahami oleh masyarakat sebagai dimensi yang tidak berubah, yang selama ini dianggap simbol kejumudan (kebekuan) dan kemandegan (stagnasi), pada kenyataannya memiliki dinamika perkembangan yang dinamis, bisa berubah, mempunyai dasar-dasar yang kuat untuk ikut mengarahkan dan menggerakkan perubahan yang diinginkan., mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Pesantren bukan berarti tidak mempunyai kelemahan dan kekurangan, untuk itu perlu adanya perbaikan dengan cara melakukan rekonstruksi terhadap sistem pendidikan yang ada. Keharusan untuk mengadakan rekonstruksi ini sebetulnya telah dimaklumi. Bahkan dunia pesantren telah memperkenalkan kaidah yang sangat populer al-

muhafadzatu ala qodimissalih wal-akhdu bil-jadidil ashlah (membina budaya-budaya klasik yang baik dan terus menggali budayua-budaya baru yang lebih konstruktif ). Kebebasan membentuk sistem pendidikan baru merupakan keniscayaan, asalkan tidak lepas dari bingkai ashlah (lebih baik). Begitu pula, ketika dunia pesantren

225

diharuskan mengadakan rekonstruksi sebagai konsekuensi dari kemajuan dunia modern, maka aspek ashlah merupakan aspek kunci yang harus dipegang. Pesantren modern berarti pesantren yang selalu tanggap terhadap perubahan dan tuntuan zaman. Rekonstruksi sistem pendidikan pesantren bukan berarti merombak seluruh sistem yang ada yang berakibat hilangnya jati diri pesantren. Sistem pendidikan pesantren tidak seluruhnya baik dan tidak seluruhnya jelek, untuk itu pimpinan pesantren dituntut untuk dapat memilih dan memilah mana yang harus diperbaharui dan mana yang harus dipertahankan. Rekonstruksi sistem pendidikan pesantren tidak harus merubah orientasi atau mereduksi orientasi dan idealisme pesantren sebagai lembaga tafaqquh fiddiin dalam pengertian luas. Pelajaran agama tidak hanya diartikan ilmu-ilmu keagamaan dan apriori terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga diharapkan pesantren mampu melahirkan ulama-ulama intelek yang mampu menjawab tantangan zaman. Rekonstruksi sistem pendidikan pesantren tidak perlu mengorbankan nilai-nilai, seperti : keikhlasan, kesedarhanaan, ukhuwah Islamiah, kemandirian, dan bebas dalam memilih alternatif jalan hidup dan menetukan masa depan dengan jiwa besar dan sifat optimis menghadap segala problematika hidup berdasarkan nilai-nilai Islam. H. Bingkai Pesantren

Sebagaimana diungkap di atas bahwa rekontruksi pesantren atau perubahan apapun terhadap pendidikan pesantren harus selalu memperhatikan bingkai pesantren. Bingkai tersebut merupakan suatu yang harus ada dan menjiwai kehidupan dipesantren

226

yang memang merupakan hasil pengamatan yang mendalam atas kehidupan yang dikembangkan di pesantren. Dalam hal ini KH Imam Zarkasyi mencoba merumuskan hasil pengamatannya terhadap dunia pesantren, menurutnya pesantren itu memiliki minimal lima jiwa: Keikhlasan, kesederhanaan, berdikari, ukhuwah Islamiyah, dan kebebasan. Jadi suatu lembaga bisa disebut pesantren bila kehidupan didalamnnya digerakkan oleh keikhlasan dan mendidik santrinya untuk mewarisi keikhlasan dalam beramal, hal ini berlaku umum disemua pesantren tidak hanya Gontor saja. Para kyai dan ustadz mengajar dengan ikhlash47 bukan karena imbalan materia (gaji), demikian juga para santrin belajar dengan ikhlash niat ibadah mencari ilmu, bukan karena mereka sudah bayar atau membayar guru. Dengan suasana ini diharapkan ada keterikatan batin anatara kyai sebagai guru dan santri sebagai murid dengan satu tujuan ibadah, maka ilmu yang didapat diharapkan bermanfaat. Bentuk keikhlasan ini bisa beraneka ragam sesuai dengan tradisi yang dikembangkan di pesantren masing-masing, ada yang mengembangkan konsep khidmah48 kepada guru sebagai wujud dari keikhlasan. Ada yang menjadikan kepatuhan pada aturan yang digariskan pimpinan sebagai wujud dari keikhlasan, dan seterusnya. Yang jelas semua aktivitas tidak dimotori atau diukur oleh imbalan material.
47

Ikhlash adalah inti yang membedakan anatara pesantren dengan lembaga pendidikan lain,

jika suatu lembaga pendidikan walaupun mengambil bentuk pesantren namun tidak ada semangat keikhlasan pengelolanya, maka menurut kerangka ini bukan pesantren tapi lebih tepat disebut sekolah berasrama atau boarding school atau lainnya, apa lagi kalau tercerabut dari akar perjuangan dakwah Islamiyah. 48 Santri membantu pekerjaan Kyai baik di rumah maupun di ladang tanpa mengharapkan imbalan material.

227

Kedua

adalah

jiwa

kesederhanaan,

kehidupan

dipesantren

diwarnai

kesederhanaan, untuk mengerti arti sederhana yang paling mudah adalah menunjukkan lawan katanya yaitu kemewahan atau berlebihan. Jadi kehidupan di pesantren tidak berdasarkan pada hidup mewah dan serba berlebihan, akan tetapi sebatas memenuhi kebutuhan, kebutuhan untuk hidup, supaya bisa beribadah lebih banyak;"makan untuk hidup bukan hidup untuk makan". Ketiga adalah berdikari, atau jiwa mandiri, kehidupan di pesantren harus mandiri dan mendidik santrinya agar bisa mandiri, bisa menyelesaikan masalahnya sendiri, pekerjaannya sendiri serta tidak manja. Keempat suasana persaudaran, persaudaraan sesama muslim, bersaudara karena satu agama, satu keyakinan dan satu perguruan, hal ini akan tercermin dalam suasana latihan tolong-menolong, dan saling membantu. Untuk mengambarkan kondisi ini tidak jarang pak Kyai membantu santrinya yang menghadapi kesulitan keuangan, atau juga sesama temannya, sehingga tergambar suatu tatanan masyarakat yang memiliki rasa persaudaraan. Kelima adalah kebebasan, bebas dalam menentukan jalan hidup dalam arti tidak diikat oleh mazhab atau partai kyainya, harus menjadi itu dan ini, yang penting adalah bagaimana bisa mewujudkan bentuk keislamannya bagi dirinya dan bagi keluarga serta masyarakat sekelilingnya. Selain kelima jiwa minimal yang membingkai pesantren bisa juga

dikembangkan dengan menambah jiwa-jiwa lian yang bisa diamati dari kehidupan di pesantren, seperti jiwa perjuangan, pengorbanan, serta kepedulian dan seterusnya.

228

I.

Problem Yang dihadapi Pesantren

Pesantren sebagai refleksi dari kebutuhan masyarakat muslim atas lembaga pendidikan yang dapat mendidik dan mengajari putra-putri mereka tentang agama Islam dan pembiasaan kehidupan berpolakan ajaran Islam, hampir semuanya terbangun atas dasar swadaya para santri dan orangtua santri serta masyarakat sekitar. Sebagaimana diungkap dalam kisah lahirnya pondok pesantren, ada kyai yang memiliki ilmu, datang para santri yang mau menuntut ilmu dan belajar pada kyai, karena rumah kyai tidak bisa menampung santri yang berdatangan, maka para santri dibantu masyarakat sekitar mulai membangun pondokan-pondokan untuk tinggal mereka. Budaya swadaya ini begitu kental dalam dunia pesantren, dan menjadi pilar kemandirian pesantren maupun kemandirian para santrinya nanti. Walaupun demikian bukan berarti masalah pendanaan tidak menjadi problema, tapi tetap menjadi salah satu problema pesantren ketika kebutuhan akan sarana semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya populasi santri. Selain masalah pendanaan ada beberapa permasalahan lain yang dihadapi pesantren yang bisa disebutkan di sini: Pendanaan Pengembangan & Manajemen Pengelolaan Pengakuan dan Legalitas Pencitraan Informasi dan Publikasi Politik

229

1.

Pendanaan Masalah pendanaan hampir menjadi kendala setiap pergerakan apapun, bagi pesanatren masalah ini menjadi permasalahan serius49 ketika dituntut pasilitas sejalan dengan meningkatnya populasi santri, berbeda dengan sekolah atau perguruan tinggi, masalahnya menjadi lebih kompleks, karena selain mempersiapkan ruangan belajar, sebuah pesantren juga harus mempersiapkan ruang tinggal dan saranannya seperti WC dan kamar mandi dengan ratio minimal 1 berbanding 10-20 orang santri. Jika asrama menampung seratus santri artinya harus tersedia minimal 10 kamar mandi dan WC dengan persediaan air bersih yang cukup, 1 orang 60 liter air per hari,50 aran jemuran pakain dll. Lain halnya dengan sekolah atau perguruan tinggi untuk prasarana standard cukup ruang belajar, kantor guru, mushala, dan beberapa buah WC. Permasalahan akan semakin komplek ketika pesantren memilih pola anak asuh bagi para duafa dan yatim piatu, karena pendanaan tidak saja dibutuhkan untuk sarana dan prasarana tapi juga untuk konsumsi para santri dan para asatidznya.

49

Pengungkapan masalah pendanaan ini tidak berarti pesantren atau kyai mengeluh, tapi

semata-mata mengungkap realitas hasil pengamatan, karena dalam prakteknya kalangan pesantren sentiasa terus berjuang dan gigih, tidak pernah terhenti kegiatannya dengan alasan dana, tidak ada pesantren terhenti kegiatannya karena alasan dana, jika ada yang terpaksa terhenti juga biasanya karena kekosongan kaderisasi kyai atau karena kyai alih profesi. 50 Masalah air ini masih menjadi kendala bagi kebanyakan pesantren, apa lagi di musim kering, jika para santri ikut ke sumur-sumur penduduk sekitar, berdasarkan pengalaman mereka tidak bisa mengizinkannya, karena jika diserbu 10 orang santri saja sumur mereka bisa kering

230

Selain masalah di atas, juga sarana konsumsi seperti dapur dan ruang makan menjadi agenda tambahan, lahan bermain, serta sarana olahraga, transportasi, sarana kesehatan, ruang inap tamu yang semuanya semakin

memperluas medan kebutuhan pesantren sesuai dengan tuntutan zaman dan pola hidup yang berkembang dimasyarakat. Karena berbagai pasilitas tadi menjadi tuntutan baik intansi pemerintahan maupun masyarakat yang akan

memesantrenkan anaknya. Untuk memenuhi kebutuhan pendanaan ini sejak awal pesantren sebagai lembaga swadaya yang mandiri berusaha menyelesaikannya sendiri, biasanya pesantren tidak menggantungkan diri pada bantuan pemerintah baik pusat maupun daerah, apalagi pada masa-masa awal pemerintahan adalah pihak penjajah yang menganggap pesantren sebagai ancaman. Pola-pola swadaya pesantren dalam pembangunan biasanya

menghidupkan kegiatan infaq dan shadaqaoh dari kalangan masyarakat, wali santri dan bahkan dari pengelola pesantren sendiri. Dewasa ini jika diinventarisir sumberdana pesantren adalah: Kyai Masyarakat Muslim Wali Santri Intansi Pemerintah mauapun Swasta

231

Pertama Kyai, biasanya kyai berperan sebagai pelopor pendanaan pesantren, baik dari usahanya atau dari hasil ladangnya, banyak kyai yang memiliki usaha atau bergerak dalam bidang tertentu yang kemudian sebagian dari

penghasilannya itun dipakai untuk pendanaan pesantrennya.51 Kedua Masyarakat Muslim, yakni para simpatisan yang peduli terhadap aktivitas pendidikan Islam dan dakwah Islamiyah biasanya dengan sukarela membantu pembangunan pesantren, kalau bangunan itu berbentuk pisik, maka bantuan bervariasi antara barang dan uang, atau bahkan unit-unit gedung. Tidak jarang para dermawan yang kaya misalkan memngambil jatah pasir, besi ataubahanbahan material bangunan lainnya, ada juga yang mensuplay kebutuhan bangunan untuk satu lokal ruang belajar. Selain pola di atas bagi pesantren pemula yang belum dilihat hasil pendidikannya,biasanya pola pengumpulan dana

pembangunan dengan mengirimkan delegasi pengumpul dana yang berkeliling ke desa-desa dengan mebawa rencanan pembangunan, serta formulir atau list berisikan daftar penyumbang dengan nominal sumbangan yang

diberikan,52penerbitan kalender atau penjualan produk pesantren. Akhir-akhir ini ada trend baru penghimpunan dana dengan membuat "jaringan" di jalan raya

51

Sebagai contoh, di daerah sekitar penulis tinggal, tepatnya desa Susukan Ciawigebang

Kuningan ada sekitar 80 santri yang selain tinggal dipesantrennya (al-makmur) juga disekolahkan / kuliah dengan biaya dari hasil usaha pak kyainya termasuk konsumsi mereka sehari-hari. 52 Tehnik pengumpulan dana seperti ini sering melahirkan kecurigaan di kalanagan masyarakt penderma yang meragukan kebenaran program dan kejujuran para pengumpul derma, lihat Ahmad Toharri Cerpen berjudul "Atasnama Agama" dalam kumpulan cerpennya Mas Mantri Menjenguk Tuhan, (Jakarta: Risalah Gusti,),1997, h, 11, lihat juga Hasan Basri "Kasta Di Antrara Kita" http://www.mailarchive.com/indonews@indo-news.com/msg02774.html

232

atau mengirimkan santri untuk berkeliling ke desa-desa dengan menghimpun infaq baik berupa uang maupun beras. Selain cara di atas, penghimpunan dana juga dengan jalan silaturahmi kepada para hartawan / pengusaha lokal, biasanya dilakukan sendiri oleh kyai yang berpengaruh dan memaparkan kebutuhannya, dalam hal ini kharisma kyai sanagtlah menentukan. Ketiga wali santri, pola-pola pendanaan dari wali santri sangat beragam, ada pesantren yang mencanangkan saja uang pangkal dan uang bangunan pada saat pendaftaran santri baru setiap angkatan, walaupun demikian tidak menutup kemungkinan bagi wali santri yang ingin berinfaq lebih dari yang di gariskan pesantren, dengam membangunkan sarana tertentu atau mengirimkan pasilitas tertentu, biasanya tergantung pada latar belakang usaha atau profesi wali santri. Bantuan wali santri bisa juga sebagai respon atas kegiatan yang dilakukan pesantren, atau kebutuhan sesuai kesimpulan yang diambil wali santri sendiri, artinya ia mengusulkan dan ia juga yang membuatnya. Selain itu bisa juga berupa sisa uang makan dan spp santri yang diorganisir pesantren termasuk uang jajan santri, caranya dengan menyelenggarakan koperasi dapur, warung-warung serta kantin untuk jajan santri yang semuanya diorganisir hingga labanya bisa dipakai pembangunan pondok dan kebutuhan pondok lainnya dengan motto dari kita oleh kita untuk kita. Hal ini berjalan seperti di pesantren Daarunnajah Jakarta, Al-Basyariyah Bandung dan pesantren lainnya.

233

Keempat intansi pemerintah maupun swasta serta organisasi-organisasi keagamaan seperti Rabithah Alam Islami dan Haiah Igotsah yang programnya memang mendukung kativitas dakwah Islmaliyah. Untuk intansi yang formal spereti ini biasanya pihak pesantren mengajukan permohonan tertulis dengan proposal lengkap, bila yang dituju organisasi seperti Robithah maka dokumen harus disertai sertifikat wakaf dan laporan modal yang tersedia di pesantren. 2. Pengembangan dan Manajemen Pengelolaan Problem lain bagi pesantren adalah masalah manajemen dan pengelolaan, karena status dan kedudukan kyai maka perubahan ke arah pengembangan dan manajemen di dunia pesantren harus hati-hati, karena sangat berhubungan erat dengan sistem soial masyarakat pesantren. Seperti sudah dimaklumi bahwa sistem suatu pesantren mengakar tidak saja di dalam lingkungan pesantren tapi juga di dalam tubuh komunitas pesantren dalam hal ini masyarakat luas yang biasa menghargai pesantren dan memiliki kerangka berpikir sendiri tentang pesantren (katakanlah sebuah sistem norma, ajaran dan kualifikasi suatu yang disebut dengan pesantren, diluar definisi akademik). Perubahan bisa dilakukan hanya dengan kaderisasi dan persiapan calon kyai, ini pada tahap pertama, tahap berikutnya adalah tahap sosialisasi terhadap masyarakat luas yang merupakan basis pesantren, tentu saja dengan menyelenggarakanacara-acara mengkomunikasikan. reini alumni dan semisalnya untuk

234

Beberapa instansi yang mecoba masuk ke pesantren dengan gagasangagasan perbaikan adalah departemen koperasi dan UKM, pada tahun 1997 an di kab Kuningan Jawa Barat ada semacam pembentukan kopontren besar-besaran dan obral badan hukum --walaupun akhirnya tidak semuanya berjalan-- mereka mencoba menawarkan ide perkoprasian, selain depkop juga departemen pertanian dengan gagasan agribisnis pesantren, kehutanan dengan HPH-nya, termasuk juga departemen kesehatan dan intansi lainnya seperti kependudukan dll. Belakangan departemen agama sejak tahun 2000 an mulai memperhatikan pesantren demikian juga diknas53. 3. Pengakuan dan Legalitas Masalah yang dihadapi pesantren adalah masalah legalitas lulusannya, pada tahun 2004 belakangan ini berkenaan dengan legalitas menjadi mencuat ketika lulusan pesantren dicalegkan dan menpata dukungan yang banyak, mereka terpaksa menghadapi masalah dengan dibutuhkannya ijazah formal seperti Aliyah, Tsanawiyah, SMP atau SMA. Masalah ini kini menjadi suatu yang diperjuangkan pesantren, walaupun telah ada program kejar paket A, B, & C yang biasanya diarahkan ke pesantren sebagai solusi untuk memperkenalkan pelajaran umum, dan baca tulis di dunia pesantren, namun permasalahan legalitas bukan berarti terselesaikan. Bahkan

53

Usaha yang dilakukan biasanya berbentuk penataran dan pengarahan pimpinan pondok, untuk

wilayah Jawa Barat bentuk nyata dari depkes adalah dengan dilibatkannya pesantren dalam pelayanan kesehatan terhadap masyarakat dalam bentuk poskestren pada masa Nuriana menjabat Gubernur.

235

pada masa kampanye presiden tahun 2004 menjadi janji calon presiden dan tuntutan masyarakat pesantren dalam berbagai dialog dan pertemuan. Pada tahun 2003 an pesantren-pesantren ala Gontor (KMI/TMI) menyusul pesantren induknya mendapat penyetaraan dengan tamatan SMA Departemen Pendidikan Nasional, melalui SK Mendiknas

Nomor:240/C/KEP/MN/2003 tertanggal 20 Juni 2003

msilannya diakui 9

pesantren antara lain, TMI Pesantren Darunnajah, Ulu Jami Jakarta Selatan, MMI Pesantren Mathabul Ulum, Lenteng Sumenep Madura, KMI Pesantren Ta'miiruyl Islam Tegalsari Surakarta Jawa Tengah, TMI Pesantren Modern AlMizan Narimbang Rangkas Bitung Banten. TMI pesantren Al-Basyariyah

Cibaduyut Bandung dan TMI Pesantren Modern Al-Ikhlash Ciawilor Kuningan Jawa Barat.54 Semoga adalam waktu dekat sesuai dengan perkembangan budaya dan cara hidup yang semakain maju, legalitas pesantren bisa dinikmati seluruh lemabga pendidikan pesantren di Indonesia, tentu saja dengan usaha pembenahan di sana-sini dan dengan kualifikasi yang mampu mengangkat pendidikan kita. 4. Pencitraan

54

Lihat SK Mendiknas Nomor: 240/C/KEP/MN/2003 dan lampirannya. SK ini juga disusul

dengan surat edaran bernomor, 2414/C/MN/2004 tertanggal 20 April 2004 kepada seluruh rektor perguruan tinggi negri mapun swasta yang menjelaskan bahwa Ijazah yang dikeluarkan pesantren tersebut bisa dijadikan syarat tes masuk ptn/pts di Indonesia

236

Yang tidak kalah seriusnya pesantren menghadapi masalah pencitraan di mata ummat dan bangsa, pencitraan tersebut biasanya dikaitkan dengan kebersihan dan penataan lingkungan, sering terdengar istilah jorok dan kumuh dinisbahkan kepada pesantren. Walaupun sebagian pesantren telah menata diri tapi kesan tersebut masih belum sirna. Berkenaan dengan pencitraan lain adalah karena kegiatan pengumpulan dana pembangunan dengan pola jaringan dan delegasi pengumpul derma keliling ke kampung-kampung juga meninggalkan kesan pesantren dan santri selalu "mengemis". Penjelsan tentang metode pengumpulan dana seperti itu sebenarnya kalangan pesantren memiliki misi, yaitu mengingatkan kepada khalayak bahwa sebagian rijqi perlu dinafkahkan di jalan Allah, menuntut hak shodaqoh yang kalau tidak didatangi juga tidak ingat akan keharusan bersedekah. Selain juga mempasilitasi mereka yang mau berderma supaya tidak usah jauh-jauh atau repot-repot mencari sasaran. Agak apologi memang, tapi yang perlu ditandaskan bahwa dalam harta kita ada jatah untuk kepentingan agama dan kepentingan umum. Dan masalah pendidikan agama adalah tanggungjawab semua, pihak pesantren hanya menyelenggarakan sesuai dengan tugasnya dakwah Islamiyah, sementara masyarakat muslim berkewajiban menyokong kegiatan tersebut sehingga terciptalah sinergi yang kuat antara lembaga pendidikan dan ummat sebagai penggunanya. 5. Informasi dan Publikasi

237

Informasi dan publikasi bagi pesantren agak tertinggal, ada semacam tabu bagi pesantren untuk mengiklankan kegiatannya, kecuali beberapa pesantren dan short couse yang dilakukan penyelenggara pesantren kilat di Puncak yang dengan mudajh bisa kita baca di koran misalnya. Tidak seluruh masyarakat mengetahui kegiatan dan keberadaan pesantren, semua ini mungkin karena minimnya publikasi dan informasi tentang pesantren, juga karena pencitraan buruk sebagaimana dikemukakan di atas. Kenyataan ini membentuk pesantren menjadi suatu komunitas turun temurun, artinya jika bapaknya dasri pesantren, maka anaknya juga dipesantrenkan, atau jika keluarganya dari pesantren maka ada kerabat lain yang juga mesantren. Ada semacam daur ulang input pesantren, alumni memasukkan anaknya ke pesantren almamaternya. Ini gejala umum, walaupun ada juga kalangan non pesantren dengan niatan mendalami agama memasukkan anaknya ke pesantren sebagaimana alumni pesantren menyebrangkan anaknya ke luar pesantren. 6. Politik Islam sebagai agama mayoritas bangsa Indonesia memungkinkan untuk dijadikan bahan rujukan berbagai persoalan; mulai dari isu-isu politik isu pembangunan, ekonomi, bahkan sampai pada isu terosrisme seperti "image" yang sedang dibangun AS di mata Internasional. Perjuangan men"citrakan" Islam dalam kancah percaturan kehidupan sosial dan budaya dengan upaya Islamisasi berbagai sektor dan komponen kehidupan menjadi suatu keharusan dan kewajiban setiap individu muslim di

238

tengah "penggunaan isu-isu keislaman"

seperti diungkap di muka. Hal ini

menjadi penting untuk dikritisi karena ada perbedaan tajam antara 'mencitrakan Islam" dengan menjadikan Islam sebagai perisai suatu kekusaan tertentu dalam kancah politik.55

Konstelasi politik juga sering menjadi permasalahan bagi pesantren walau kadang menguntungkan juga. Seperti kegiatan safari Romadlan yang dilakukan Harmoko dengan mengunjungi pesantren-pesantren pada saat ia jadi mentri, menguntungkan bagi pesantren dari satu sisi yaitu publikasi (Harmoko pemilik media saat itu karena menjabat menteri penerangan) pesantren bisa masuk TV, halaman berita koran dan majalah. Namun bisa juga mengancam keberadaan pesantren karena terkotakkan pada parpol tertentu. Problema lain adalah ketika kyai-nya dipercaya atau diminta untuk dicalegkan ini di satu sisi positif karena medan dakwah kyai menjadi luas, di sisi lain menjadi negatif karena pengkotakan tadi dan karena dunia politik seringkali pada dataran tertentu berlawanan dengan misi pesantren.56 Selain masalah di atas juga sistem pemerintahan, ketika pemerinatahan kurang menghargai pesantren seebagai asset bangsanya, yang terjadi adalah -sebagaimana di masa penjajahan-- pesantren sebagai suatu yang harus dijauhi
55

M. Tata Taufik, Islam, Citra atau Perisai? (sebuah catatan untuk Pemda & DPRD) HU

Mitradialog Selasa 11Januari2004 56 Pernah terjadi di masa ORBA suatu pesantren terhenti kegiatannya karena pimpinannya begabung dengan partai atau peserta pemilu.

239

dan dimusuhi, ungkapan pesantren sebagai "sarang teroris" misalkan yang muncul pada tahun 2000an ikut memperkeruh kesan terhadap pesantren. Selain keenam permasalahan di atas sebenarnya masih banyak lagi problema lain yang bisa ditemukan dalam dunia pesantren, dan bisa kita analisa untuk membantu berpikir mencarikan jalan keluarnya.

J. 1. Dimensi SDM

Medan-Medan Pengembangan

Berangkat dari permasalahan di atas, untuk pengembangan pesantren dalam berbagai segi baik pendanaan, pengelolaan maupun manajemen serta permasalahan lainnya, yang harus ditempuh adalah pengembangan sumber daya manusia, pernyataan ini tidak berarti bahwa SDM pesantren dewasa ini lemah, yang dimaksud di sini adalah pengembangan terus-menerus serta kaderisasi. Jangan sampai suatu pesantren "terhenti" hanya karena meninggalnya kyai yang biasanya menjadi komandan sekaligus tumpuan kepercayaan ummat maupun santri, sehingga ketika kyai tersebut (figur) wafat maka pesantrennya ikut mati juga. Bersamaan dengan kaderisasi juga pengayaan SDM yang ada dengan berbagai kemahiran baik manajerial maupun kemahiran lain yang sesuai dengan tuntutan zaman. Cara mudah dalam hal ini adalah mengembangkan budaya baca dan budaya dengar di pesnatren, karena kepiawaian dalam berpidato maupun

240

berdebat (biasanya sudah dimiliki para santri) harus didukung dengan informasi (pengetahuan) yang luas supaya tidak tertinggal, tehnik penyampaian gagasan (presentasi) dan tehnik pembuatan proposal bisa juga dijadikan kemahiran tambahan. Pengembangan seperti ini dapat dilakukan pesantren dengan mudah karena sekarang sudah banyak sarjana-sarjana IAIN misalnya yang ada disekitar /mengelola pesantren. Tehnik pembuatan surat resmi serta kemahiran administratif lainnya juga layak untuk diajarkan terutama bagi santri senior yang biasanya dilibatkan membantu kyai mengelola pesantren. Mungkin kegiatan sebagaimana di atas bagi beberapa pesantren bukan hal yang asing, bila demikian adanya, maka bentuk pengembangan lain bisa dilakukan misalnya dengan menambah kemahiran teulis menulis baik tulis halus (kaligrafi) maupun penulisan karangan atau artikel serta kegiatan lain yang bisa membantu pengembangan diri santri di masa datang baik untuk dirinya maupun untuk pesantrennya. Di masa depan nampaknya sumberdaya yang handal sangat membantu pengembangan pesantren untuk senantiasa bisa eksis di era global tanpa harus meninggalkan nilai-nilai tradisi baik yang telah dimiliki, coba bayangkan alangkah indahnya jika ilmuwan kita nanti, para pemimpin negara kita serta pengarah kebijakan kita adalah orang-orang yang memiliki dasar pengamalan dan pengetahuan agama yang baik---sementara pengamalan keagamaan di pesantren telah menjadi tradisi.

241

Pengembangan ke arah ini tidak berarti mengesampingkan peran pesantren sebagai pencetak ulama dan tempat mengaji agama, tapi justru akan lebih mendukung semangat peran tadi dengan melahirkan ulama yang mumpuni. Dalam kesejarahannya ulama itu dituntut serba bisa mulai dari memimpin sholat sampai memimpin perang sebagaimana yang dicontohkan Rasul SAW. Mulai dari mengajarkan agama sampai mengajar berniaga dan memimpin negara. 2. Dimensi Fisik Selanjutnya sebagai jawaban atas pencitraan buruk pesantren yang sering dikesankan kumuh, kedepan pesantren dituntut untuk menata bangunan fisiknya sehingga indah menawan, ini juga termasuk kegiatan dakwah, dakwah harus berpenampilan simpatik dan memiliki daya tarik, apalagi zaman sekarang, sebelum membawa anaknya ke pesantren wali santri biasanya melakukan survei terlebih dahulu. Artinya jangan sampai niatan baik masyarakat untuk mempercayakan pendidikan anaknya di pesantren terhalang karena kurangnya daya tarik penampilan fisik pesantren. Idealnya bangunan pesantren sebagaimana tempat pendidikan lainnya memiliki ruang belajar sesuai standard, baik pencahayaan maupun luas ruangannya. Selain itu harus memiliki halaman dan tempat gerak / bermain yang memadai baik halaman asrama maupun ruang belajar. Dalam daftar isian akreditasi diknas misalnya mencantumkan pertanyaan sekitar; ruang kantor, perpustakaan, laboratorium, ruang makan, dapur, asrama dan ruang belajar serta sarana olahraga.

242

3.

Dimensi Materi dan Dimensi Metodologi Untuk materi sebagaimana telah dibahas dalam Bab II tentang metodologi dan upaya pembaruan, tergantung haluan yang mau dijadikan pijakan apakah tepe salafiyah plus madrasah atau salafiyah murni, tepe KMI Gontor atau pesantren modern sesuai konsep dan pilihan yang dianggap tepat bagi para pengelolanya. Cuma barangkali tipe manapun yang diambil pengembangan materi maupun metodologi bisa senantiasa dilakukan sejalan dengan pola-pola pengajaran yang lebih banyak dipakai atau secara variasi. Bisa saja misalkan materi "fathul kutub" dipakai sebagai cara pengenalan kitab-kitab kontemporer kepada para santri senior, bisa juga pengajaran kitab-kitab klasik dengan metode diskusi atau dengan metode pengajaran modern yakni dengan langkah-langkah misalkan penyampaian materi, pencarian kosa kata yang sulit, pembacaan tek bahan ajar serta tanya jawab sebagai variasi dari metode sorogan atau wetonan.Begitu juga sebaliknya bagi pesantren modern bisa mengenalkan kitab-kitab klasik lewat acara fathulkutub dst. Mengenai materi umum di pesantren salafiyah apakah harus dimasukkan atau tidak, yang pasti para santri nantinya akan hidup di masyarakat yang demikian kompleks, sudah barang tentu mereka harus mengenal cara-cara bermasyarakat dengan baik, hidup sehat, serta bisa menghitung. Walaupun tidak diajarkan secara rutin ilmu-ilmu kemasyarakatan tersebut bisa disajikan dalam bentuk studium general atau penataran.

243

Sejalan dengan kemajuan zaman dan perkembangan tehnologi, nampaknya bisa juga diajukan gagasan pesantren kejuruan, artinya kegiatan pesantren tetap sebagaimana adanya baik materi maupun metodologi, tapi ada tambahan kemahiran khusus bagi santri misalkan pertanian, dakwah, atau pendidikan, semacam jurusan di perguruan tinggi. Kalau kejuruan yang diambil pertanian, maka materi tambahannya selain mengaji adalah bertani dengan cara yang benar sesuai perkembangan ilmu pertanian, jika yag diambil adalah kejuruan dakwah, maka materi tambahannya adalah metodologi dakwah, ilmu jiwa dan sosiologi. Demikian juga jika yang diambil jurusan pendidikan maka ada penambahan materi khusus berkenaan dengan pendidikan. Misalkan yang dirintis Drs Didin Sirajuddin M.Ag, ia mengembangkan pesantren dengan kaligrafi sebagai kejuruannya, tidak mustahil nanti ada pesantren dengan kejuruan perfilman, penyiaran, jurnalistik, tata boga, akuntansi, perikanan, peternakan dll. 4. Dimensi Teknologi Bagi pesantren, pengembangan masalah tekhnologi ini tidak berarti pada dataran pembuat, tapi lebih berupa pengenalan tekhnologi dan penggunaannya. Bagaiamana cara menggunakan (mengoperasikan) komputer, atau alat-alat bantu pembelajaran lainnya (tehnologi pendidikan) karena biasanya para santri selepas pesantren lebih akrab dengan dunia pembelajaran dan presentasi (ceramah dan pidato).

244

Dewasa ini berkenaan dengan teknologi nampaknya pesantren sudah tidak asing, bahkan kreatifitas para santri relatif lebih "nakal" dalam merekayasa teknologi kecil-kecilan seperti merangkai elektronik (tape player, pembuatan pemancar gelap FM, penyambungan lampu dan merakit sound system bahkan menyediakan jasa penyewaan sound sitem) menyediakan jasa cetak undangan (sablon) serta setting komputer.57

K. 1. Ekonomi Pesantren

Pesantren Dan Ekonomi

Yang dimaksud ekonomi pesantren di sini adalah bagaimana suatu pesantren menggali "potensi dalam" untuk perekonomiannya, sehingga

pesantren tersebut bisa mandiri dan anggup memenuhi kebutuhannya dari sisi ekonomi. Potensi swadaya dan kemandirian pesantren yang cukup bagus (tidak melulu menunggu bantuan pemerintah) akan lebih bagus lagi jika memiliki sumber dana yang pasti yang digali dari dalam pesantren. Seperti yang kita ketahui pesantren memiliki santri, wali santri, dan para ustadz serta warga sekitar, setiap komponen tadi ma sing-masing memiliki daya beli yang tinggi, untuk itu pesantren bisa memanfatkan suasana tersebut dengan membuat warung yang bisa memenuhi kebutuhan mereka, dan sebagai labanya bisa dijadikan
57

Berdasarkan pengamatan penulis terhadap pesantren salafiyah "Raudlatul Huda" Ciawilor

Kuningan Jawa Barat.

245

masukkan untuk pesantren. Selain warung, pesantren juga bisa menggorganisir makan santri, jika ada sisanya bisa dijadikan infaq untuk keperluan pesantren. Hal ini biasa dilakukan di pesantren-pesantren modern seperti Gontor Darunnajah Jakarta serta pesantren lainnya, bahakan di Al-Zaytun lebih dari sekedar potensi dalam, di sana terjadi daur ulang siklus kehidupan. Ada juga pesantren yang mengembangkan pertanian sebagai sumber masukkan pesantren semuanya disesuakan dengan situasi dan kondisi pesantren itu berada. Di Kaso Malang Subang misalkan pesantren "Daarussalam" mengembangkan

perekonomiannya dengan pabrik tahu dan pembuatan jamur tiram, selain juga membuat jasa relay TV swasta. 2. Ekonomi Pengelola Biasanya para pengelola pesantren berjiwa wira usaha yang tinggi, sesuai dengan sunnah para nabi yamsyuuna fil aswaaq (berjalan dipasar untuk berusaha) jadi mereka berusaha menghidupi dirinya baik dengan jalan berdagang; pagi hari setelah menjagajar subuh, pergi ke pasar untuk berdagang, setelah dzuhur mengajar lagi, ada juga dengan cara menerima panggilan

ceramah, pada tahun tujuh puluhan pola pencarian nafkah kyai yang penulis saksikan sendiri dengan jalan jualan kitab, obat dan minyak wangi keliling kampung dengan bersepeda, ada juga yang menjadi pkl di pasar menjual pakaian jadi. Bagi pesantren-pesantren besar biasaya perekonomian pengelolanya dengan cara kesejahteraan bulanan (gaji?) Namaun itupun biasanya dibahasakan

246

sebagai pengganti uang sabun serta untuk membantu kesejahteraan agar bisa tetap beribadah mengajar, bukan gaji sebagai imbalan atau honor. Jadi walau prakteknya gajian juga ditanamkan nilai religius dalam penyampaiannya sehingga para pengelola (asatidz) tidak "bekerja" sebagai pengajar hingga berhak mendapat upah, tapi beribadah mengajar para santri lillah sedang kesejahteraan yang diterima adalah rijqi dari Allah. Ada pola lain yaitu dengan memproduksi jajanan bagi santri yang dikirim atau dititipkan di warung pondok / kantin, penggarapan sawah ladang milik pesantren dengan status penggarap dan lain sebagainya. Dari paparan ini yang terlihat adalah semangat "mengajar" kalangan pesantren bukan karena upah atau gaji, tapi karena semangat menyebarkan ilmu pengetahuan dan tanggungjawab dakwah Islamiyah, potensi inilah yang

kemudian mampu mentransfer tidak saja pengetahuan tapi juga praktek ubudiyah amaliah serta jiwa wirausaha kepada para santrinya dan membekas di tubuh santri, by doing not by mouth, dengan contoh dan keteladanan bukan hanya bicara. Sebagai ilustrasi, semangat untuk berkarya dan berbuat tanpa melihat kelas sosial (maksudnya gengsi) yang penulis alami sendiri adalah bayangan waktu penulis nyantri, saat itu penulis menyaksikan ustadz Edi Kusnanto ---semoga pengalaman ini menjadi ilmu yang bermanfaat bagi beliau mungkin tanpa beliau sadari--- membonceng esbatu di sepedahnya lewat

dihadapan anak-anak yang diajarinya tanpa gengsi untuk berjualan di warungnya, kesan ini selalu membekas dibenak penulis, dan sering dijadikan

247

motivasi bagai rekan-rekan asatidz maupun santri. Hal ini berbeda dengan apa yang dituduhkan Hasan Basri --entah siapa dia--ketika dia menulis "proletar: kasta di antara kita' dalam e-mail tentang kasta dalam agama berikut

kutipannya: "Dalam Religi terdapat: 1. Habib, Ayatulah ( keturunan nabi ) Uskup, ikan Paus. 2. Kyai, Utadzah,Romo, Pendeta ( tukang kumpul duit ) 3. Santri ( yang di duitin / calon pengumpul duit ) 4. Umaah atau umat ( yang mesti di takut takuti agar duitnya keluar ) 5. Sekularis ( kurang beriman, tapi pelit dan cerdas ) 6. Atheis,agnostik,paganis ( lets worship humanism..)"58 Sebuah ungkapan yang perlu digarisbawahi karena dipublikasikan, penyataan tersebut mencerminkah suatu sudut pandang dalam melihat pesantren dari kaca matanya sendiri yang materialistis dan mengukur dengan keadaan dirinya, serta mewakili pendapat sebagian masyarakat. L. 1. Pesantren Dan Masyarakat

Pesantren Terhadap Masyarakat Sejak awal kemunculannya pesantren dibangun untuk dan oleh masyarakat, dan ia merupakan agen perubahan bagi masyarakatnya, kiprah kemasyarakatan pesantren misalkan dari segi ekonomi, dari segi kepemimpinan dan dari segi pelayanan umum.

58

http://www.mail-archive.com/indonews@indo-news.com/msg02774.html, Didistribusikan tgl.

12 May 1999 jam 02:41:56 GMT+1 oleh: Indonesia Daily News Online <[EMAIL PROTECTED]> http://www.Indo-News.com/

248

Dalam kharismanya

perannya atau

sebagai dinilai

agen

perubahan, masa--

pesantren bisa diajak

--karena untuk

karena

punya

mengkomunikasikan pesan-pesan moral dan pembangunan. Pada dimensi ini pemerintahan masa Orba sangat lihai menggunakan pesantren sebagai lembaga dalam penggalangan massa dan komunikator pembangunan, selain juga dijadikan alat untuk meredam isu-isu atau gejolak di masyakarakat yang bertemakan agama. Ingat kasus mie instan dengan isyu lemak babi, di zaman Orba, serta kasus Ajinomoto di masa Gus Dur yang dipungkas dengan tayangan iklan di media massa dengan menggunakan story Kyai dan komunitas keagamaan. Dari gambaran di atas menunjukkan potensi pesantren yang luar biasa dalam membentuk opini dan mempengaruhi khalayak, potensi ini seharusnya bisa disadari kalangan pesantren untuk mengembangkan misinya sebagai lembaga pendidikan dan lembaga dakwah Islamiyah, bukan hanya puas dipakai sebagai "alat" propaganda pihak lain. Dalam hal ini pesantren bisa menata kegiatannya yang berhubungan dengan pengembangan masyarakat,

mempelopori kegiatan bakti sosial, pelayanan umum dan menggagas kemajuan bagi masyarakat dengan santri sebagai pilarnya. Selain ia juga harus bisa mewakili masyarakat dalam membaca peluang usaha, peluang kegiatan dan permasalahn yang ditemui dimasyakat untuk kemudian dikomunikasikan kepada pihak yang berwenang. Jadi kalangan pesantren tidak saja menjadi komunikator

249

pemerintah, namun sebaliknya juga menjadi komunikator masyarakat terhadap pemerintah baik pusat maupun daerah, hingga tercipta hubungan yang sinergis. Selain peran sebagai agen pembangunan, dari sudut perekonomian masyarakat, pesantren membantu meningkatkan pendapatan mereka, lapangan kerja yang bisa direkrut pesantren seperti; pekerja bangunan, juru masak, sopir, bagian kebersihan, suplayer kayu bakar, binatu, produk makanan ringan (jajanan) jasa transportasi bahkan sampai tukang cukur. Lingkungan masyarakat disekitar pesantren besar relatif maju. Dari sudut ini pesantren bisa membangkitkan gairah hidup berwira usaha dan perokonomian masyarakat. Dari sudut kesehatan, pesantren bisa melakukan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat, dalam bentuk penyuluhan hidup sehat, dalam hal ini biasanya mengakses dinas kesehatan setempat dan mengumpulkan masyarakat di kampus pesantren, bentuk lain juga bisa dilakukan dengan membuka poliklinik untuk melayani pengobatan dengan biaya terjangkau. Apa yang

dilakukan Pesantren Modern Al-Iklash Ciawilor Kuningan misalnya, setiap hari kerjanya Poskestren rata-rata melayani 10 pasen perhari dengan biaya yang cukup ringan (Rp.5000,_) pe kunjungan. Bentuk lain juga bisa menjembatani anatara masyarakat dan dinas kesehatan berupa penyampaian informasi dan kondisi kesehatan di masyarakat sekitarnya. 2. Masyarakat Terhadap Pesantren Masyarakat --terutama masyarakat muslim-- adalah pemilik pesantren, yang pengelolaannya dipercayakan kepada para kyai dan ustadz, tugas utama

250

dari masyarakat adalah memelihara dan menjaga kelangsungan hidup pesantren dengan berbagai cara baik moril maupun materil. Di desa-desa biasanya pesantren senantiasa mengkomunikasikan rencana-renacananya kepada masyarakat, dan dari situlah tercipta kerjasama yang "unik" kehidupan gotong royong dalam menghadapi kepentingan bersama. Bentuk sokongan dari masyarakat terhadap pesantren besar biasanya terungkap dalam kebanggaan dan penyebaran "informasi baik", meminjam istilah pak Amal Fathullah 'menciptakan kesan baik" dari mulut ke mulut, ini sangat

membantu pengembangan pesantren di masa datang. Perhatian dan rasa memiliki masyarakat terhadap pesantren tersebut harus senantiasa dikembangkan sebagai pilar kelangsungan hidup lembaga, berbagai cara bisa dilakukan dengan membuat kegiatan -kegiatan yang dirasakan meaningfull oleh masyarakat. Menjalin silaturahim antara pengelola pesantren dengan masyarakat, mengadakan pembinaan generasi muda, baik latihan-latihan kewirausahaan atau kegiatan lainnya, sebagai ilustrasi, Buya Saiful Azhar di pesantren Al-Basyariyah Margahayu Bandung misalkan menghimpun dan

memfasilitasi ojek motor, demikian para kyai yang aktif melayani kegiatan di masyarakat seperti tahlilan, kenduri dan tradisi masyarakat lainnya. M. 1. Pesantren Dan Negara

Negara Terhadap Pesantren Negara adalah negara kita, dan pesantren mempelopori kegitana pembentukan negri ini. Pertanyaannya adalah mungkinkah pesantren berniat

251

menghancurkan negara yang dibangunnya sendiri, yang telah menelan banyak korban baik dari santri maupun kyai pada saat perintisannya? Jawabannya pasti tidak mungkin, tapi kalau berperan sebagai kontrol sisial itu bisa terjadi bahkan harus. Menurut hemat penulis apa yang dilakukan pesantren adalah sebatas kegiatan kontrol sosuial terhadap pemerintahan, walau nampak keras dalam segi ucapan atau kritikan tapi tidak dalam bentuk kegiatan makar. Berdasarkan pada kenyatan bahwa pesantren jauh telah lahir sebelum negara ini berdiri, maka tuduhan pesantren sebagai sarang teroris dan tuduhan miring lainnya tidak bisa begitu saja dilontarkan terhadap pesantren. Ada perbedaan yang mendasar antara kegiatan jihad pesanatren masa penjajahan dengan pasca kemerdekaan. Jika pada masa penjajahan, pemerintah (penjajah) melihat pesantren sebagai anacaman, karena pesantren mengobarkan semangat kemerdekaan, jika cara pandang lama tersebut dipakai pasca kemerdekaan menjadi lucu dan menggelikan. Pada pasca kemerdekaan orientasi jihad pesantren adalah amar ma'ruf dan nahyi munkar, menyerukan kebaikan dan mencegah terjadinya kemunkaran. Kegiatan ini dilakukan baik melalui komunikatornya ustdaz maupun kyai atau oleh para santri sendiri. Dari sudut pembinaan masyarakat sebenarnya yang terjadi justru pesantren membantu negara dalam pendidikan dan pembinaan ma syarakat. Ada semacam pembagian tugas dalam mengatur negara. Karena pola hubungan tugas seperti di atas, maka sikap negara terhadap pesantren hendaknya memandang dan bersikap sebagai partner bukan lawan.

252

Dan senantiasa ikut memperjuangkan keberadaan pesantren baik moril maupun materil.59 Selain sikap kerja sama, pemerintah juga harus mulai mengembangkan wacana sekitar legalitas, dengan tidak mengakui legalitas para santri dalam hal pendidikan, secara statistik akan nampak tetertinggalan Indonesia dari segi pendidikan, selain juga akhirnya sering mendahulukan sertifikat. 2. Pesantren Terhadap Negara Sampai saat ini yang bisa dipotret aadalah kenyataan bahwa pesantren sama dengan lembaga pendidikan lainnya berperan aktif adalm membangun negara terutama dari sektor pendidikan. Sebagaimana diungkap dalam berbagai tema terdahulu, pesantren membantu negara dalam sektor ekonomi, pendidikan, dan pembangunan sejalan dengan peran dan fungsi suatu lembaga dalam suatu negara. Bahkan bagi pemerintahan daerah, nampak sekali pesantren membantu pendapatan daerah, karena keberadaan santri dari berbagai wilayah misalnya menghidupkan perekonomian daerahnya, karena kiriman biaya pendidikan (SPP & uang jajan) akan mengalir dari berbagai daerah kepada daerah lokasi pesantren. mengesampingkan kompetensi dan

59

Masih segar dalam ingatan bagaimana Orba memperlakukan di masa awal dan menjelang

akhir pemeintahannya, apada awal cenderung menjauihi dan pada masa pertengahan menuju akhir cenderung mendekati, pada masa reformasi saat Megawati berkuasa, hampir mau memojokkan pesantren namun menjelang akhir mencoba meraih, masa sekarang ? wait and see.

253

Selain

itu keberadaan dan keberhasilan suatu pesantren seringkali

mengangkat 'keharuman" nama suatu daerah dan menjadikan daerah tersebut di kenal baik secara nasional maupun internasional. Sebut saja satu kota Kediri, Jombang, Rembang, Ponorogo, Boundowoso, Gresik, Cirebon, Tasikmalaya, Ciamis, secara ikonik pikiran kita akan langsung mengingat Pesantren Tebu Ireng, Lirboyo, Pesantren Rembang ,Gontor, Manonjaya, Cipasung , Buntet, Ciwaringin dst.

N.

Pesantren Dan Media Massa

Yang dimaksud media massa di sini adalah media massa dalam kerangka Ilmu Komunikasi, yaitu suatu alat yang memungkinkan untuk membawa pesan bukan saja dari satu orang kepada yang lainnya seperti telepone atau telegrap, tapi lebih dari itu suatu medium yang berlaku secara massal dan dapat membawa pesan dari seseorang kepada ribuan atau jutaan orang sekaligus.60 Sedikitnya ada enam (6) media yang dimaksud pembahasan ini yaitu tiga media cetak; surat kabar, majalah dan buku, serta tiga media elektronik; televisi, radio dan film. Namun sekarang --sejak tahun 1997an-- bisa ditambahkan lagi dua media

elektronik yaitu internet d an telepone seluler. Posisi pesantren dihadapan media massa bisa berperan sebagai pelaku; dengan penerbitan majalah, koran tabloid atau buku, pendirian radio serta pendirian stasiun TV

60

Leo.W. Jeffres, Mass Media Processes and effects, (Illinois: Wapeland Press, Inc. 1986),h.1

254

, bisa juga menjadi objek; konten dari media tersebut. Bisa juga menjadi pemerhati atau kontrol terhadap media. Berkaitan dengan yang pertama, sebagai pelaku media, ada beberapa pesantren yang menerbitkan kegiatan berkala secara priodik tahunan atau semesteran, biasanya berupa laporan kegiatan tahunan di pesantren tersbut untuk diinformasikan kepada santri atau wali santri bahkan lebih luas lagi kepada khalayak dan para alumni. Selain yang bersifat intern atau laporan tahunan, beberapa pesantren juga telah menjadi pelaku media dengan penerbitan majalahnya seperti Al-Muslimun dari Bangil, Suara

Hidayatullah dari pesantren Hidayatullah di kalimantan, belakangan ini Majalah Gontor dari Pondok Modern Daarussalam Gontor. Sebagai pelaku juga dalam bentuk penerbitan buku -buku bacaan untuk umum baik materi dakwah, kamus, buku pelajaran, biografi, kumpulan doa-doa dan buku populer. Sebagai contoh kamus Al-Munawir dari Krapyak Yogyakarta, Amtsilah Tashrifiyah dari Jombang, serta buku-buku Aagym dari Daru Tauhid Bandung. Selain penerbitan buku juga pesantren bisa bergerak di bidang broadcasting atau penyiaran baik TV maupun Radio Siaran. Ini sudah dilakukan oleh Persantren Modern Al-Ikhlash Kuningan dengan Radio DM Fm-nya, begitu juga Daruttauhid Geger Kalong Bandung dengan MQ FM dan MQ TV-nya At-Tahiriyah Jakarta dengan Radio FM-

Nya, Gontor dengan Swargo FM begitu juga pesantren lain seperti Pesantren Suryalaya Tasikmalaya juga sudah mulai merintis Radio Siaran.

255

Lebih jauh lagi Daru Tauhid Bandung selain menyediakan layanan pesan-pesan dakwah dengan Radio dan Produksi TV, DT juga sudah mulai menyediakan layanan dengan download menu MQ melalui telepon seluler dan mailing list. Kini pesantren sudah mulai menjadi pemain dalam hal media massa, tidak saja bertindak sebagai objek dan menjadi konten media tapi lebih jauh sudah bisa membuat format media, menentukan berita dan menyajikan pilihan bagus bagi pengguna media (user). Selain media modern konvensional (istilah untuk TV,Radio Surat Kabar Dll), pesantren juga telah melangkah pada media modern seperti internet. Di dunia maya ini sudah banyak yang memiliki alamat web sendiri; untuk memberikan informasi pesantren dan kegiatannya kepada halayak di satu sisi untuk memberikan pelayanan dakwah di sisi lain dengan servis jaringan informasi yang diberikannya. Selain web site yang dimiliki dan diselenggarakan sendiri oleh pesantren juga ada portal pesantren yang dikelola oleh alumni pesantren atau mereka yang peduli terhadap studi Islam melalui web. Dapat dikemukakan misalkan

www.pesantrenonline.com, portal milik telkom yang berisikan direktori pesantren diskusi dan informasi keislaman. Selain itu juga ada yang dirintis dibawah bimbingan KH Mustofa Bisri dengan alamat www.pesantrenvirtual.com. www.myquran.com dan lainnya. Kedua sebagai objek atau konten media, pesantren biasanya mengisi pemberitaan atau penyiaran majalah, koran radio atau tv, ini biasanya dihubungkan

256

dengan kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan pesantren tersebut. Semakin banyak kegiatan yang dilakukan semakin banyak juga pesantren menjadi konten media. Ketiga sebagai kontrol media, pesantren biasanya berperan mengkritik konten media yang dinilai tidak sejalan dengan norma agama dan merusak generasi bangsa, berikut ini catatan pengalaman penulis yang berhubungan dengan kontrol media yang dilakukan pesantren. Hikayah ini terjadi saat penulis menerima undangan untuk penjemputan santri wati tanggal 2 Oktober 2004 yang lalu, undangan tersebut dimaknai penulis sebagai undangan out bound di halaman Pesantren Gontor Putri 2 dengan peserta tidak kurang dari 1000 orang, yang mulai berdatangan sejak tanggal 25 September untuk berkemping di sana. Tidak ada pendaftaran secara resmi ke panitia, selain booking di Bapenta, acara out bound nampaknya meriah, dan puncak kedatangan peserta terjadi pada tanggal 29 oktober malam. Para peserta dari berbagai kalangan memenuhi arena out bound;halaman muka kampus putri 2. Pada tanggal 30 September pagi suasana tegang menyelimuti peserta yang terdiri dari calon santri wati dan walinya, sekitar pukul 8.00 WIB penceramah yang ditunggu tiba di temapt, beliau adalah Ust. KH. Hasan Abdullah Sahal, setelah dipersilahkan beliau menaiki podium dan mulai menyampaikan pesan-pesan kepada peserta. Setelah terlebih dahulu berterima kasih atas kedatangan para peserta yang telah lama hadir di lokasi dengan meninggalkan berbagai macam kesibukan dan atribut keseharian mereka. Alasan inilah hingga penulis menyebut acara tersebut sebagai out bound, karena semua peserta dengan ikhlash melepas 'aktivitas keseharian dan menanggalkan atribut mereka'

257

untuk merasakan, menyimak dan mendengar serta mengamati dengan suasana kegembiraan yang penuh, ini terlihat dari air muka para peserta yang berseri-seri dan bersemangat. Ada beberapa poin yang dismpaikan penceramah pada acara tersebut -sebagaimana biasa denga gaya jenakanya beliau mampu memukul sambil menghibur-pertama beliau mengemukakan bahwa lembaga pendidikan Islam harus bonafid, dan memilih lembaga pendidikan harus selektif, kemudian pembicaraan mengarah kepada perbandingan pondok pesantren, menurut beliau sekarang ini semakin banyak bermunculan ponpes, ada yang dibangun atas dasar ketaqwaan dan tanggung jawab terhadap Islam, ada juga yang dibangun atas dasar niatan yang lainnya; ma'had dliraar, sampai pernyataan ini penulis mulai deg-degan apa gerangan yang akan muncul untuk perbandingan? Ternyata yang dimaksud ma'had dlirar versi beliau adalah AFI (akademi fantasinya Indosiar) dan Indonesian Idolnya RCTI serta pemilihan Abang dan Nona atau sejenisnya. Sembari menyimak apa yang disampaikan beliau, kenakalan berfikir penulis terus saja mengomentari apa yang beliau sampaikan, dan yang paling menarik adalah analisis Pak Kyai terhadap media terutama media TV, ini dengan intens beliau lakukan dan senantiasa dikomunikasikan bukan saja pada acara out bound tadi. Saat penulis bertemu di Bandung beliau juga mengomentari Megawati, kemudian pada perjumpaan tahun berikutnya di Cirebon tahun 2002 saat itu beliau didampingi Ust. Akrim dan Samsul Hadi Untung, melakukan juga hal yang sama, beliau mengomentari tayangan TV, "inilah tontonan kita, semuannya disuguhkan kepada masyarakat, dari iklan

258

makanan sampai ke iklan sabun, pembalut wanita dan kosmetika, semakin parah" . Saat itu penulis bertanya, solusinya gimana? Beliau hanya menatap, tapi Ust. Akrim berkomentar, 'ente, solusinya, yang kita lakukan ini, ngurus pondok" (baca dengan intonasi beliau), padahal jawaban yang penulis harapkan saat itu adalah; ya kita harus jadi pemain. Teori Triple S: Puncak dari berbagai komentar itu didapat penulis saat aout bound di Mantingan, saat itu belaiu mengajukan --penulis menyebutnya -- teori media triple S, menurut beliau semakain banyak program yang dilakukan maahid dlirar, dengan mengngunakan tiga S, pertama syirik, ini untuk menyifati berbagai tayangan horor dan misteri yang senantiasa menghiasi layar kaca sekitar kita, kedua Sadisme, dan yang teraakhir Sex. Dengan ketiga tayangan berformat seperti itulah "jamaah" di garap setiap harinya. Menurut teori ini ada suatu "power" yang membiayai tayangan seperti itu dan sengaja dilakukan dalam rangka de-moralisasi, de-humanisasi dan deislamisasi. Pertanyaan berikutnya adalah siapa yang dimaksud "power" yang membiayai itu? Organisasi, perorangan, atau agen tertentu? Mneurut hemat penulis power di sini adalah pasar, kalau benar pasar berarti power ada pada masyarakat secara umum. Pada tahun 1970 De Fleur mengadakan penelitian tentang sistem media di AS, ia mengajukan teori bahwa ada pembagian selera penonton yang dianut oleh media : a large base of people with lowbrow tastes, penonton dengan selera rendah dengan jumlah yang sangat banyak, fewer with middlebrow tastes, kemudian penonton dengan selera menengah berada di atasnya and even fewer with highbrow tastes, terakhir penonton dengan selera tinggi berada diatas selera medium (digambar sebagai piramida, dari atas kebawah;

259

selera tinggi, medium dan rendah). Maka tidak heran jika dalam sistem pasar bebas out put dari media akan sesuai dengan proporsi penontonnya. Artinya tayangan yang berisikan selera rendah akan lebih banyak menghiasi layar media ketimbang tayangan yang berisi selera menengah dan selera tinggi. Karena dari merekalah diharapkan "media" dapat keuntungan secara finansial, 'give the public what they want'. Dari sini nampak bahwa apa yang dijalani oleh pelaku media TV terutama -walau tidak semuanya-- di Indonesia lebih berhaluan kepada pasar bebas, dengan menyajikan tontonan selera rendah karena pertimbangan pasar dan bisnis. Memang ada sitem lain yang dipakai media seperti sistem tanggungjawab sosial, artinya media dikontrol oleh khalayak penonton, pemerintah dan lembaga swasta, namun untuk kasus Indonesia, lembaga pengontrol itu relatif belaum berfungsi, kasus BCG yang diprotes MUI sudah menunjuk ke arah kontrol media, tapi bagaimana dengan stori-strori iklan, cara makan anak-anak ynag dipertontonkan oleh stori iklan misalkan masih sangat berlawanan dengan etika makan yang diajarkan keluarga, sekolah atau pesantren, demikian juga halnya dengan cara duduk atau tingkah laku lainnya. Sebagai kelanjutan dari teori Pak Kyai Hasan yang penulis sambung dengan teori De Fleur untuk menyelesaikan "power" tadi , rekomendasinya adalah bagaimana menyelesaikan pemilihan sistem media dalam kontek Indonesia, apakah pasar bebas atau tanggungjawab sosial, kalau melihat dibentuknya KPI (Komisi Penyiaran

Indonesia) dan Dewan Perss nampaknya akan mengarah ke sistem tanggujwab sosial namun di lapangan para praktisi media menggunakan sistem pasar bebas. Inilah jurang yang harus diselesaikan. Dalam UU Pers nasional ada aturan tentang perikalanan yang

260

mungkin bisa dijadikan payung pergerakan kontrol media; Perusahaan iklan dilarang memuat iklan yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antarumat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat (Pasal 13:I), termasuk juga aturan tengan penyiaran yang berlawanan dengan agama yang berbunyi: Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. (Pasal 5:1). Teori Penonton Versi KH Imam Zarkasyi: Gambaran di atas mencerminkan praktek 'menonton" tv dengan aktif, artinya kita yang memprogram informasi (seeking information theory) bukan kita yang diprogram media, ajaran ini penulis ingat suatu saat ketika al-marhum KH. Imam Zarkasyi berpidato di hadapan para santri di BPPM, beliau katakan; "saya juga nonton tv tapi saya, pilih-pilih saya nonton "Dunia Dalam Berita", kalau film-film sih buat pembantu" maknanya kurang lebih begitu. Pernyataan di atas jika dihubungkan dengan diskusi kita bersama pak Hasan ada kesinambungan pak Zar mengajarkan santrinya untuk menjadi penonton yang aktif tidak pasif, pak Hasan mengajak untuk aktif menganalisis media, sehingga "pesan" yang diterima dari hasil nonton bisa berbalik menjadi positif, berangkat dari realitas yang ada yakni konten media melahirkan teori triple S, artinya informasi yang disuguhkan media tidak mampu memberikan "pesan" sebagaimana yang dikehendaki malah sebaliknya menjadi konfrontatif dan melahirkan kritik. Ajaran yang sama juga diwarisi Pak Syukri:"masa, santri gontor tidak nonton even sebesar EURO" arahannya adalah santri Gontor harus tanggap dan peduli dengan sekeliling.

261

Sebetulnya masih banyak oleh-oleh dari Mantingan saat mengikuti out bound di sana, bukan hanya masalah media saja, seperti semangat calon wali santri saat menginformasikan tentang Gontor kepada siapa saja yang dijumpainya, para peserta nampaknya aktif dan merasa sebagai nara sumber paling kompeten dalam wasfu Gontor (mendiskripsikan Gontor). Acara yang penulis sebut out bound adalah acara pengumuman kelulusan di Mantingan, selain suasananya yang membuat penulis memilih istilah tersebut karena misi Gontor untuk dakwah dan mendidik, bukan hanya santri tapi juga wali santri dan masyarakat. Melalui pembahasan Bab ini tergambar ke mana arah pesantren di masa yang akan datang, ada sisi ekonomi, sisi lay out bangunan fisik, sisi

kemasyarakatan dan kesejahteraan, ada juga sisi dakwah Islamiyah yang lain, seperti perambahan pesantren terhadap media massa, ini sangat diperlukan, idealnya setiap pesantren bisa memiliki media masa sendiri. Penyebaran ilmu pengetahuan selain dengan melalui pendidikan formal di kelas-kelas, juga melalui penyiaran publik bisa mulai dilirik pesantren. Terobosan-terobosan beberapa pesantren untuk menjadi "pemain" dalam berbagai sektor harus sudah mulai disosialisasikan dan diadopsi oleh pesantren yang ribuan banyaknya di Indonesia ini. Mengingat di abad 21 tidak bisa melepaskan diri dari

ketergantungannya kepada media, dunia dewasa ini dipenuhi oleh berbagai media sperti televisi, radio, film, surat kabar, majalah, buku serta media lainnya yang semuanya bisa diakses kapan dan di mana saja, oleh siapa saja--sementara Islam dan Al-Qur'an di sisi lain sering disebut-sebut sebagai agama yang cocok

262

untuk segala zaman. Media menjadi suatu yang tak terelakkan sebagai produk peradaban modern.61 Ia bisa menemui siapa saja dan menyampaikan informasi baik yang dikehendaki maupun yang tidak dikehendaki. Stanley J. Baran mengawali tulisannya tentang media sebagai berikut: " The mass media play a large and growing role in how we spend our time and live our lives, as we devote more time to interacting with the mass media: television, news paper, radio, film, magazines, and books, our environments change. We experience things vicariously or indirectly and people around us share those experience and have others of their own".62 Maka dakwah Islamiyah dan pendidikan serta pembinaan ummat harus bersifat multi dimensi --tak terkecuali melalui pemanfaatan media.

Modern di sini berarti: current, up-to-date, up-to-the-minute, recent, new, present, fresh, prevailing, modern-day, antonym: old-fashioned. Jadi peradaban modern berarti peradaban masa kini yang kemajuannya bisa dilihat dan dirasakan. 62 Baran. Stanley. J. Self, Symbols, and Society, (Massachusetts: Addison-Wesley Publishing Company, Inc, 1984) h. 1

61

263

BAB VIII PENUTUP


Pesantren adalah asset ummat dan bangsa yang telah mengakar selama ratusan tahun dan berjasa dalam pendidikan dan pengembangan ummat, ia juga telah melahirkan banyak pemimpin dan pelopor di masyarakat. Selain sebagai kantong pertahanan dan penyebaran agama, juga sebaga laboratorium sosial kemasyarakatan. Kalau para ilmuwan sosial untuk menarik teori-teori sosialnnya tidak memiliki laboratotium, tradsisi "pembiasaan di pesantren" menjadi suatu hal yang menarik sebagai miniatur masyarakat. Dikatakan miniatur masyarakat karena kegiatan yang ada di pesntren kalau diperhatikan merupakan suatu proses pembelajaran sekaligus pengamalan nilai-nilai keagamaan dengan berbagai tantangan dan proses penyelesaiannya. Kepemimpinan dalam komunitas pesantren nampak berfungsi sebagai "pemimpin" yang senantiasa membina, mengayomi dan mengarahkan anggotanya, ada fungsi kontrol dan wibawa dalam kepemepinan yang tergambar dalam kehidupan sosial pesantren. Dari segi norma ajaran juga mencerminkan adanya norma yang berlaku dan dipatuhi oleh para santri dan ustadz sebagai anggota masyarakatnnya, proses penjalanan hukuman dan mekanisme penjalanan hukum juga merupakan miniatur keadilan atas dasar keikhlasan yang berorientasi pada kontruksi tingkahlaku dan perbaikan,bukan pada pendahuluan kepentingan sendiri --me first generation-- atau mumpungisme. Yang ada hanaya usaha-usaha memperbaiki dan mendamaikan bukan sebaliknya.

264

Semua itu mengindikasikan bahwa sebenarnya masyarakat yang terartur dan suasana ibadah bisa tercipta dalam suatu komunitas baik kecil maupun besar, asalkan sarana dan prasarana terpenuhi baik yang bersifat aturan, penegakkan hukum, pelaku kontrol dan dasar kehendak untuk melakukan perbaikan tersedia dan dijalankan. Tatanan masyarakat ideal baldah tayyibah wa rabun ghafuur jika dikaitkan dengan situasi pesantren di atas nampaknya bukan suatu yang mustahil dan bisa direalisir. Asalkan semua yang terlibat baik dari pimpinan hingga pengelola dan anggota masyarakatnya memiliki semangat yang sama, tujuan yang sama dan bekerja sama untuk mewujudkan cita-citanya, sehingga semua pemikiran kegiatan diarahkan secara terpusat pada pencapaian tujuan, aturan diciptakan untuk perbaikan, pengelola dan pimpinan bertujuan untuk memperbaiki dan membina, semua kondisi; baik tindakan maupun pembicaran diarahkan untuk mendidik dan memperbaiki. Katakanlah ekonomi untuk sarana perbaikan ibadah dan kelangsungan hidup, pembicaraan apakah diskusi, seminar dan musyawarah berorientasi pada perbaikan bukan pada kemenangan kelompok maupun individual, asanya adalah mshlahat untuk umum. Media pemebritaan juga untuk pendidikan anggota masyarakat bukan untuk pemuasan nafsu atau keinginan. Jadi tugas pesantren ke depan adalah memperluas medan dakwah dan pendidikannya tidak hanya dalam komunitasnya saja tapi dengan menciptakan komunitas "santri maya" yang bisa jutaan orang jumlahnya dan menyebar diseluruh Nusantara dengan media massa sebagai sarananya, pada tanggal 14 September 2004 HU Mitra Dialog menurunkan sebuah profil pesantren Daarul Mukhlisin Cisantana Cigugur Kuningan dengan ungkapan pak kyai (Drs H Yayat Hidayat )mengajar ribuan

265

santri, sementara penulis tahu kalau jumlah santri di situ cuma sekitar 60 orangan, ketika dikomformasi pihak Redaksi menyatakan" Kan punya radio yang didengar ribuan orang".63 Dengan singkat dapat digambarkan aspek pembaruan yang terus-menerus bisa dilakukan pesantren, bermula dari tradisional dalam arti sesuai kebutuhan pada masanya, kemudian dikembangkan dengan perbaikan metodologi dan materi dengan sistem klasikal dan perluasan materi / bahan ajar dengan penambahan pengetahuan umum disebut pesantren modern, pada saat itu kegiatan dakwah pesantren hanya sebatas menunggu memproduk alumni sebagai calon anggota masyarakat dan diharapkan bisa mewarnai masyarakat dengan sistem nilai dan bekal yang didapat, itu bisa dilakukan karena populasi penduduk masih sedikit, dan serangan-serangan informasi negatif belum gencar sebagaimana sekarang. Dewasa ini kalau pesantren diam, tidak bergerak dan bermain dalam dunia media dan informasi, masyarakat luas siapa yang membina? Siapa yang akan mengisi perpustakaan? Dengan materi bacanaan macam apa? Siapa yang menyapa masyarakat? Bagaimana mereka disapa, menuju ke arah mana mereka dibawa? Maka pesantren harus merekontruksi dirinya sebagai pembaruan generasi ke tiga dengan memperluas medan garapan dan membuat komunitas santri maya, maka garis pembaruan pesantren menjadi: Tradisional Modern Post Modern

63

HU Mitra Dialog edisi 14 September 2004.

266

Dalam nentuk tabel bisa dilihat sebagai berikut ciri-ciri umum perkembangan tersebut yang menggambarkan inovasi pesantren sesuai dengan perkembangan pola kebutuhan masyarakat dan ketersediaan sarana dan situasi politik. Tabel Pembaruan Pesantren
No 1 2 Tradisional -1920an Metodologi Tradisional Materi Kitab Kuning/ kitab klasik Media Tradisional: pidato, bahasa lisan, pembacaan teks, Pelajaran tambahan :ilmu bela diri Modern19201990an Metodologi pengajaran dg sistimatika modern Kitab-kitab kontemporer dan penyederhanaan materi Media Modern alat bantu pelajaran, penerbitan, media elektonik Pelajaran tambahan: public speaking, jurnalistik, penulisan ilmiah, Post Modern 1990Sekarang Sama dengan sistem modern Sama dengan modern sistem

Media elektronik, Cyber Media (internet) dan Broadcasting.

5 6 7

Pengembangan dari modern sesuai perkembangan zaman, manajemen dan pemanfaatan teknologi Bahasa lokal, daerah, Bahasa Indonesia, Sama dengan sistem Arab bahasa Irab Inggris modern Komunitas kecil/ Komunitas luas Komunitas luas tak lokal Ukuran jelas terbatas ,Ukuran terbatas /maya, Ukuran jelas tak jelas Kejuruan jika ada Kejuan berbagai Kejuruan menjadi terpokus pada profesi dan meluas dengan pertanian kecakapan munculnya pfosesi baru

Gambaran pembaharuan dengan ketiga istilah di atas hanya untuk menunjukkan perkembangan yang sejalan dengan time lines (waktu) karena praktenya baik yang tradisonal maupun modern sebagaimana diungkap pada tabel tipologi pesantren pada BAB IV menunjukkan adanya variasi sistem. Dan semuanya sejalan dengan kemajuan

267

teknologi dan perubahan kebutuhan manusia bisa juga melangkah menuju sitem post modern. Jadi pesantren post modern lebih bersifat pembaruan teknologi dan keluasan jangkauan serta berperan sebagai pelaku, sebagai pemilik dan penentu, Sementara pada pesantren modern, pesantren sudah masuk pada posisi pelaku namun terbatas dalam bentuk penerbitan, sedangkan perkembangan lainnya hanya sebatas pengisi acara atau penulis buku / artikel. Semua pembaruan tersebut adalah sebagai matarantai dari sistem tradisional yang memproduk para moderis, dan sistem modern membentuk post modernis64 pesantren. karena melihat kebutuhan dan perkembangan dalam masyarakat. PR kita saat ini adalah rumusan yang tegas mengenai pesantren post modern apakah kehadiran seperti ma'had Al-Zaytun di Indramayu atau Daaru Tahuid di Bandung bisa dikembangkan sebagai model pesantren post modernis paska modernisasi tahun 1920 an yang ditandai dengan lahirnya Pondok Modern Gontor? Allahuma amiin. berperan sebagai

64

Istilah ini digunakan dalam pengertian sederhana, kediatan pesasntren yang merupakan babak

baru dari kegiatan yang sebelumnya dan dinilai sebagai modern. Jadi tidak menunjuk pada aliran pemikiran tertentu dalam filsafat misalnya.

268

Daftar Pustaka Atabik Ali, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, Yogyakarta, Yayasan Ali Masum, 1997 , cet. ke-2 Abdurrahman Wahid, Menggerakan Tradisi ; Esai-esai Pesantren, Yogyakarta, LKiS, 2001 , cet.ke-1, ______, Bunga Rampai Pesantren Jakarta: Dharma Bakti, 1984, A.Mukti Ali, Talim al-Mutaalim Versi Imam Zarkasyi, Ponorogo, Trimurti, 1991, Cet.ke-1, Abd. Hayy Al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhuiy: Dirasah Manhajiah Maudhuiyah, Penrj. Suryan A. Jamrah dengan judul: Metode Tafsir Maudhuiy: Sebuah Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada; 1994 Ahmad, Muhammad, al-'Alimiy, Thara>iq al-Nabiy fi> ta'li>mi ashh}a>bihi Beirut:Da>r Ibnu Hajm, 2001 Ahmad Tohari, Mas mantri Menjenguk Tuhan, jakarta: Risalah Gusti, 1997 Amir Hamzah Wirosukarto, et.al., K.H. Imam Zarkasyi dari Gontor Merintis Pesantren Modern, Ponorogo : Gontor Press, 1996 , Cet.ke-1 Arif Mudatsir Mandan, (Penyusun) , Di Bawah Panji-Panji Kabah, Konsistensi dan integritas Perjuangan, 60 Tahun Dr. Hamzah Haz, Jakarta:Georai Pratama Press, 2000, Cet. Ke-1 Azyumardi Azra, Islam Substantif Agara Umat tidak Menjadi Buih, Mizan, Bandung: Mizan, 2000,, Cetakan I, Budhy Munawar Rahman, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah Jakarta: Mizan, 1995,. Baran. Stanley. J. Self, Symbols, and Society, Massachusetts: Addison-Wesley Publishing Company, Inc, 1984 Eep Saifulloh Fatah, Zaman Kesempatan, Agenda-Agenda Demokratisasi Pasca Orde Baru, Greg Barton, Gagasan Islam Liberal Indonesia : Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, terj. Nanang Tahqiq, (Jakarta, Paramadina, 1999), Cet ke-1 Haidar Putra Daulah, Historisitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah, dan Madrasah, Yogyakarta : PT Tiara Wacana, 2001, Cet.ke-1, Hasan Muarif Ambari, Menemukan Peradaban Arkeologi dan Islam di Indonesia, Jakarta : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1998 Howard M.Federspiel, Popular Indonesian Literature of the Quran, Penerjemah Tajul Arifin dengan judul Kajian Al-Quran di Indonesia Dari Mahmud Yunus Hingga Quraish shihab Mizan: Bandung, 1996 Hilmi Faisal, IPNU dan Tantangan Masa Depan. Jakarta, PP. IPNU, 1997, cet I, Ismail SM (ed), Pendidikan Islam, Demokratisasi, dan Masyarakat Madani, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000, cet.ke-1,

269

Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun Modern,Jakarta:LP3ES, 1994, Kafrawi, Pembaharuan Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta : PT Cemara Indah, 1978 Kompas, edisi 4 Juni 1999 Leo.W. Jeffres, Mass Media Processes and effects, Illinois: Wapeland Press, Inc. 1986 Mastuhu, Dinamika Pendidikan Pondok Pesantren,(Jakarta: Inis, 1985). Muhammad Arwani, Denyut Nadi Santri, Yogyakarta: Tajidu Press,2001, cet-ke1 M. Habib Chirzin, Ilmu dan Agama dalam Pesantren, LP3ES, Jakarta, 1995, hal. 88 Mahmud Yunus, Sejarah pendidikan di Indonesia, Jakarta: Hidakarya,1990, 50 Manfred Ziemek, Pesantren dan Perubahan Sosial, Jakarta, P3M, l996 , cet.ke-1, M. Dawam Raharjo (ed), Pergulatan dunia pesantren, Jakarta : P3M, 1985 , Cet.ke-1, M.Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, Jakarta : Biona Aksara, 1995, Cet.ke-3, M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Bandung : Mizan, 1996 , Cet.ke-2, ______ Membumikan Alquran: Fungsi dan Peran wahyu dalam kehidupan Masyarakat Bandung: Mizan, 1992, Microsoft Encarta Reference Library 2003. 1993-2002 Microsoft Corporation. All rights reserved Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995, Cet. ke-1, ______, Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1997 Republika, 2 Desember 1998., Forum Keadilan, 14 Desember 1998 Suplemen Ensiklopedi Islam II Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta: 1996,. Syamsuddin Haris, PPP dan Politik Orde Baru, Jakarta, PT. Gramedia, 1991,Cet. Ke-1 Suharsono, Cemerlangnya Poros Tengah, Parenial Press, Jakarta;1999, Surya, Muhammad, Paikologi Pembelajaran & Pengajaran, Bandung: Pustaka Bani Quraisy,2004 Wahjuetomo, Perguruan Tingi Pesantren, Jakarta: Gema Insani Press, 1997 Cet.ke-1 W.J.S. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta, PN Balai Pustaka, 1984) cet.VII Ridin Sofwan, Islamisasi di Jawa, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000 , Cet.ke-1, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1984 Zuhairini, et.al., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bina Aksara, 1997 , Cet.ke-7, HU Mitradialog Selasa 11 Januari2004,14 September 2004, www.al-ikhlash.net www.tokohindonesia.com www.gontor.et www.hidayatullah.com www.darunajah.com www.pesantrenonline.com

270

www.pesantrenvirtual.com www.myquran.com www.deptan.go.id

BIODATA PENULIS
Nama Pekerjaan : M. Tata Taufik : Pimpinan Pondok Modern al-Ikhlash 1990- Sekarang : Komisaris Utama PT. Radio Duta Muslim Kuningan 2000: Sekarang, Pengajar Ianstitut Agama Islam Latifah Mubarokiyah Suryalaya, : Alamat : Kampus Pondok Modern al-Ikhlash Ciawilor Ciawigebang Kuningan Jawa Barat. Riwayat Pendidikan : 1. 2. 3. 4. Pengalaman Organisasi: 1. 2. 3. Ketua Kosma B. Arab F.Tarbiyah IAIN Syahid Departemen Penerbitan SEMA F. Tabiyah 1988-1989 Perintis dan Pemred Majalah Bahasa Arab alJkt.1987-1988 MI. al-Ikhlash Ciawilor Kuningan 1979 KMI Pondok Modern Daarussalaam Gontor 1985 IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fak. Tarbiyah / B. IAIN SGD Bandung Program Pasca Sarjana. 2001

Tempat Tanggal Lahir: Kuningan 4 Desember 1966

Arab 1992

Nasyaath, Kosma B. Arab IAIN Syahid Jkt. 1988

271

4. 5.

Pemred Majalah Gema Tarbiyah Fak Tarbiyah IAIN Pengurus Puskoppan Pesantren Jawa Barat. 1999-

Jkt. 1989 Sekarang

272

You might also like