You are on page 1of 15

BAB I I. PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Indonesia sebagai negara yang demokratis dan memiliki beragam kebudayaan,pada kenyataannya senantiasa menjunjung dan menerapkan konsep penegakkan HAM dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Pasca reformasi 1998,atensi terhadap penegakkan HAM di Indonesia semakin meningkat tajam. Hak-hak asasi baik sifatnya sipil-politik ataupun ekonomi, sosial dan budaya serta dimensi HAM lainnya telah terkonstisionalisasi dalam perundangundangan. Termasuk dalam UUD 1945 sendiri mengakui dengan jelas bagaimana hak asasi manusia itu harus dihargai, dijunjung tinggi, dihormati dan negara menjadi pemangku kewajiban dari pemenuhan hak-hak asasi tersebut. Dasar hukum bagi pelaksanaan HAM di negara ini pun sudah cukup jelas dicantumkan dalam setiap hukum positif yang berlaku, UUD 1945, UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, UU No 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM,dan berbagai ratifikasai penegakkan HAM yang sudah diundangkan.Di dalam UU No 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah aturan-aturan mengenai HAM juga dicantumkan dengan menegaskan bahwa pemerintah disebut sebagai pemangku kewajiban sedangkan masyarakat sebagai pemangku hak.Hal itu berarti,dalam undang-undang tersebut secara eksplisit juga menerapkan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam hal hak warga negara (masyarakat). Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahanan Yogyakarta yang secara kultural tunduk dalam kuasa Kraton, menjadi kewajiban dari mereka untuk aktif memenuhi hak-hak masyarakatnya, terutama hak atas ekonomi. Namun sebagaimana data yang dikeluarkan oleh LBH Yogyakarta mengenai tingkat kemiskinan di Yogyakarta diperkirakan masih 622. 000 orang, jauh diatas target pemerintah yang akan menurunkan penduduk miskin sebesar 574. 000 orang disepanjang tahun 2009. Menurut Irsyad Tamrin Direktur LBH Yogyakarta mengatakan, pelanggaran HAM di Yogyakarta cukup massif terutama tahun 2009. Dalam kasus pelanggaran hak sipil dan politik,

pada tahun 2009 tidak kurang dari 17 kasus yang terjadi dengan jumlah korban sekitar 3000-an orang, meliputi pelanggaran hak kebebasan berpendapat, hak untuk mendapatkan keadilan, rehabilitasi korban pelanggaran HAM masa lalu, korupsi dan kekerasan aparat negara. Aktor Pelanggarnya dominan ialah polisi dan satpol PP. seperti kasus pembubaran forum Sri Bintang Pamungkas yang mencoba mengkonsolidasi golongan putih, pembubaran guru sejarah di salah satu Prawirotaman, penangkapan aktifis pasir besi, penghilangan suara ketika pemilu, penggerukan dan meludahi anak jalanan. Termasuk pelanggaran HAM yang sering kali dilakukan oleh satuan polisi pamong praja (satpol PP) di wilayah Sleman,Yogyakarta. Sedangkan dalam kasus pelanggaran HAM dalam konteks ekonomi, sosial dan budaya di Yogyakarta juga cukup massif. Kasusnya meliputi pelanggaran hak buruh terutama outsourching, hak atas perumahan, hak atas pendidikan pendidikan dan beberapa lainnya. Aktor Pelanggaran hak dalam kasus ialah Pemda dan Pengusaha. Pemerintah tidak serius dalam memenuhi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. pemerintah seakan lepas tanggungjawab dalam beberapa kasus. Sedangkan disisi yang lain kita melihat bagaimana kuasa modal semakin merajalela, dan hebatnya mereka tidak tersentuh hukum. Semestinya pemerintah bertindak ketika ada kasus buruh, pendidikan dan lainnya. Pada prinsipnya,berbagai pelanggaran HAM baik yang disadari atau tidak disadari oleh masyarakat telah memiliki aturan yang jelas dan memiliki dasar hukum yang kuat,seringkali terjadi pembiaran oleh pihak-pihak yang terkait baik itu aparat penegak hukum maupun pemerintah daerah Yogyakarta.Namun demikian,aturan yang jelas saja belumlah cukup untuk dapat tegak dan berlakunya HAM di Indonesia terutama di Yogyakarta,perlu adanya penerapan HAM yang lebih baik lagi disertai dengan pengawasan dari berbagai pihak termasuk masyarakat pada umumnya. Banyak pengaduan dari masyarakat yang masuk ke LBH Yogyakarta yang mendasarkan rekomendasinya dari pemerintah. Seakan-akan pemerintah sengaja melepaskan

tanggungjawabnya kepada masyarakat. Pada tahun 2009 pengaduan masyarakat terkait hak-hak ekosob didominasi oleh pelanggaran hak atas pekerjaan. Ini tidak jauh berbeda dari tahun 2008 yang lalu. Jumlah kasus pelanggaran hak ekosob yang masuk LBH pada tahun 2009 berjumlah 56 kasus dengan jumlah korban mencapai kurang lebih 442 orang dan 42 KK. Kasus-kasus tersebut meliputi pelanggaran hak atas pekerjaaan, hak atas perumahan, hak atas pendidikan, dan hak atas pendidikan.Sedangkan pada tahun 2010 kasus yang sudah masuk sudah ada puluhan

kasus pelanggaran hak yang dilanggar. Salah satunya kasus hak atas pekerjaan yang meliputi standar upah minimum, soal tidak dikasih pesangon dan lainnya, ada kasus hak atas perumahan seperti warga diusir dari rumahnya dan dia tidak tahu kemana akan pergi, serta kasus-kasus pelanggaran hak lainnya. Di Yogyakarta memang pelanggaran HAM cukup massif dan banyak sekali, relatif sama dengan kota-kota besar di Indonesia. Masih begitu banyak kekurangan dalam hal pengawasan terhadap penegakkan HAM di Yogyakarta termasuk upaya penangannya.Pemerintah sering kali mengabaikan hal

tersebut,bahkan pelanggaran HAM yang justru dilakukan oleh aparat pemerintah seakan-akan selalu berusaha untuk dilindungi.Salah satu contohnya adalah masalah pelanggaran HAM mengenai penambangan pasir di Kulonprogo. Sebagaimana kita ketahui tempat itu memang mempunyai kelebihan biji besi. Pemerintah daerah yang dalam hal ini ialah Sultan dan Pakualam ingin mengeksplorasi pasir besi disana. Akhirnya mereka menggandeng investor asing dari Australia. Padahal tanah yang akan diekplorasi itu sudah menjadi tempat penduduk dan menjadi lahan penghidupan para petani daerah pesisir. Kalau tempat itu digusur sudah pasti mereka akan kehilangan segalanya. B. Permasalahan Peran elemen pemerintahan yang masih terlihat belum maksimal ini sudah selayaknya dilakukan berbagai pembenahan utamanya pada domain penegakkan HAM khususnya di Yogyakarta.Terlebih jika pelaku pelanggaran HAM tersebut adalah bagian dari aparat pemerintahan semisal Satpol PP.Dalam prakteknya,prosedur yang dilakukan oleh Satpol PP tidak memiliki ukuran dan wewenang yang jelas.Seringkali aparat penegak perda ini melakukan distorsi yang melampaui kewenangannya.Hal ini semakin bertambah parah lagi dengan minimnya pengetahuan para aparat Satpol PP ini terutama mengenai permasalahan hak asasi manusia.Maka tidaklah heran,dalam menjalankan tugas nya guna melakukan tindakan represif non-yustisial terhadap warga masyarakat atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas perda dan atau keputusan kepala daerah seringkali terjadi penyalahgunaan kewenangan yang berujung pada pelanggaran terhadap hak asasi manusia khususnya di Yogyakarta.

BAB II. PEMBAHASAN A. Pelanggaran Ham oleh Satpol PP Kejadian pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Satpol PP Sleman bermula ketika diadakannya penertiban terhadap anak jalanan dikawasan Jombor, Sleman.Pada hari itu Selasa 6 Oktober 2009,sekitar pukul 13.30 WIB,sekelompok Satpol PP berjumlah 12 orang anggota dengan 2 orang bertindak sebagai komandan melakukan penertiban terhadap para anak jalanan tersebut.Ketika sampai di sekitar wilayah terminal Jombor,para anggota Satpol PP tersebut langsung beraksi. Melihat adanya sekelompok anggota Satpol PP itu para anak jalanan ada yang berusaha menyelamatkan diri namun ada juga yang tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya pasrah ketika mereka dijaring oleh anggota Satpol PP itu.Para masyarakat disekitar terminal menjadi saksi aksi brutal kejadian tersebut. Dis alah satu warung makan di sekitaran terminal,anggota Satpol PP mulai menangkapi anak-anak jalanan tersebut,mereka lalu dikumpulkan disalah satu sudut terminal.Barang-barang mereka seperti pakaian,tikar,dan perlengkapan lainnya ikut dikumpulkan ditempat

tersebut.Kemudian,salah satu anggota Satpol PP mengambil sebotol minyak tanah dari dalam mobil,yang sepertinya sudah sengaja dipersiapkan oleh mereka untuk menjalankan

aksinya.Tanpa berkata banyak mereka melakukan pembakaran terhadap barang-barang tersebut.Para anak jalanan tersebut hanya terdiam menyaksikan perilaku para anggota Satpol PP yang sewenang-wenang itu,mereka pun tidak mampu berbuat apa-apa. Bahkan ketika beberapa orang dari anak jalanan tersebut berusaha untuk menyelamatkan pakaiannya yang terbakar ,para anggota Satpol PP tersebut justru menghalangi

mereka.Kemudian beberapa orang anak jalanan tersebut mengadukan kejadian itu pada sekelompok pemuda yang berada di terminal itu,diduga mereka adalah sekelompok preman yang sering mangkal di sekitaran terminal Jombor Sleman.Hampir saja terjadi kericuhan antara sekelompok pemuda itu dengan para anggota Satpol PP yang melakukan pembakaran itu,untungnya aparat Kepolisian yang kebetulan bertugas di pos lantas Jombor segera datang dan melerai kedua belah pihak.Selanjutnya sekelompok anak jalanan tersebut dibawa menuju Dinas Sosial Provinsi Yogyakarta oleh aparat Satpol PP dan anggota Dinas Sosial yang juga ikut dalam

penertiban tersebut.Dan komandan yang memimpin anggota Satpol PP beserta sekelompok pemuda yang diduga preman terminal Jombor dibawa menuju pos Polisi oleh aparat Kepolisian.Di pos Polisi tersebut,kedua belah pihak didamaikan secara baik-baik oleh anggota Polisi,hal ini tentu saja untuk mencegah meluasnya kejadian yang tidak diinginkan. Pasca terjadinya pembakaran terhadap pakaian anak-anak jalanan dikawasan Jombor tersebut ternyata tidak berhenti sampai disitu saja.Sekelompok anak jalanan yang merasa telah menjadi korban kebiadaban Satpol PP tidak terima terhadap kejadian itu.Mereka lalu mengadu kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta.Mereka melaporkan kejadian tersebut dan mengharapkan LBH Yogyakarta untuk meminta pertanggung jawaban Satpol PP Sleman terhadap tindakan sewenang-wenang dari anggotanya.Oleh pihak LBH Yogyakarta,kejadian tersebut diteruskan kepada pihak Kepolisian dalam hal ini Polda DIY untuk dibuatkan laporan resminya.Menurut LBH,kejadian yang menimpa anak jalanan tersebut tidak dapat di katakan sebagai kegiatan penertiban lagi.Apapun bentuknya kegiatan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan pelanggaran pidana yang melanggar ketentuan pasal 170 KUHP dan juga merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.Karenanya pihak LBH juga akan melaporkan kejadian tersebut kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).Mereka berpendapat,apapun rupa dari para anak jalanan tersebut,mereka tetaplah seorang manusia yang memiliki hak dasar dan mereka juga adalah warga negara Indonesia yang wajib dilindungi hak-haknya. Namun demikian,pihak Satpol PP menyanggah hal tersebut.Satpol PP Sleman tidak mengakui adanya pembakaran yang dilakukan dengan sengaja terhadap barang-barang para anak jalanan itu.Dalam hal melakukan penertiban mereka menyampaikan prosedur penanganannya telah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.Menurut mereka,pembakaran tersebut dilakukan ketika dilakukannya penertiban,mereka menemukan spanduk-spanduk serta beberapa sampah koran-koran yang berserakan disekitar tempat kejadian,lalu tidak jauh dari tempat itu terdapat tempat pembakaran sampah yang masih terlihat bara apinya,sehingga mereka bermaksud untuk sekaligus membersihkan barang-barang yang mereka duga sebagai sampah jalanan yang bisa merusak pemandangan dan kebersihan disekitar areal terminal Jombor.

B. Penanganan Yang Diharapkan Pelanggaran oleh Satpol PP dalam konsepsi HAM Permasalahan anak jalanan yang kebanyakan masih dibawah umur,bukanlah hal yang baru terjadi di Indonesia.Pada berbagai kota-kota di Indonesia,selalu saja ada anak-anak jalanan yang muncul di sudut-sudut kota sampai dengan di jalan raya.Hal ini memang masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah Indonesia,karena sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945 pada pasal 34 (1) bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.Tetapi memang masalah anak jalanan tidak bisa hanya dipandang dari satu perspektif sudut pandang saja,hal ini harus diikuti dengan berbagai kajian terutama dari sisi pandang sosial.Akan tetapi ditengah kewajiban negara terhadap penanganan masalah anak-anak jalanan yang belum terselesaikan ini sudah selayaknya setiap kita sebagai manusia senantiasa menghormati hak-hak asasi dari para anak jalanan ini.Terlepas dari keterbatasan mereka yang harus menghidupi dirinya dengan mengemis,meminta-minta,pengamen dijalan sampai dengan melakukan tindak

kejahatan,mereka tetaplah memiliki hak dasar yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun. Pada bagian konsiderens UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia huruf (b) dikatakan bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia,bersifat universal dan langgeng,oleh karena itu harus

dilindungi,dihormati,dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi,atau dirampas oleh siapapun.Makna yang terkandung didalamnya tentu saja mencangkup keseluruhan masyarakat Indonesia dimanapun dia berada dimana konsepsi ini tidak menghiraukan status sosial seseorang,entah itu seorang kaya raya ataupun miskin,tetaplah sama perlakuannya terhadap keberadaan hak asasi yang melekat pada pribadi mereka masing-masing. Menurut Prof.Drs.Koesparmono Irsan SH, MM, MBA hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara alamiah melekat pada setiap manusia dalam kehidupan masyarakat,bukan saja meliputi hak perseorangan melainkan juga hak masyarakat,bangsa dan negara yang secara utuh terdapat dalam UUD 1945 serta sesuai pula dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam the Universal Declaration on Human Rights 1948 dan konvensi-konvensi Internasional lainnya

.Dengan demikian,status sosial sebagai seorang anak jalanan tidaklah menghilangkan hak asasi mereka sebagai manusia. Tindakan yang dilakukan oleh Satpol PP Sleman pada hari Selasa tanggal 6 Oktober 2009 tersebut sesungguhnya dapat dipandang sebagai perbuatan melawan hukum sebagaimana yang diatur dalam KUHP pasal 170 (1) yang mengatakan bahwa : Barang siapa terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang,diancam dengan pidana paling lama lima tahun enam bulan. Tindakan pembakaran tanpa alasan yang dilakukan oleh aparat Satpol PP tersebut dapat diduga sebagai penggunaan kekerasan terhadap orang atau barang,kemudian tindakan oleh sekelompok aparat Satpol PP diartikan sebagai penggunaan dengan tenaga bersama.Namun tentu saja untuk mendapatkan penerapan pasal dalam KUHP yang tepat harus disertai dengan pembuktian yang akurat dan sesuai dengan pedoman pada pasal 184 KUHAP mengenai alat bukti.Pada penanganan ideal yang akan dibahas dalam makalah ini,penulis tidak akan menggunakan perspektif hukum positif,mengingat hal tersebut menjadi kewenangan penyidik Polri sebagai institusi yang independen karena kasus ini pun telah dilaporkan kepada pihak Kepolisian melalui Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta. Ditinjau dari sudut pandang sosiologis,perbuatan yang dilakukan oleh aparat Satpol PP tersebut telah melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia sebagaimana yang tercantum dalam empat prinsip utama Konvensi Hak Anak yang disetujui oleh Majelis Umum PBB tanggal 20 September 1989 yakni : non-diskriminasi, yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup dan berkembang serta berpartispasi. Kemudian perbuatan pembakaran barang hak milik para anak jalanan tanpa alasan yang jelas tersebut juga dapat diklasifikasikan tindakan perampasan terhadap barang hak milik,hal ini sebagaimana dikatakan oleh James W Nickel dalam bukunya mengenai HAM yang menyatakan bahwa unsur-unsur suatu hak adalah sebagai berikut: Masing-masing hak mengidentifisikasikan suatu pihak sebagai pemilik atau pemegangnya. Syarat-syarat pemilikan barangkali cukup terbatas diberlakukan pada satu orang saja (misalnya hak seseorang untuk dipanggil dengan nama kesukaannya) atau cukup luas untuk mencakup seluruh umat manusia. Perlu prosedur-prosedur untuk merampas suatu hak, seperti menjual, mengingkari atau menyitanya. Hal ini menunjukkan adanya kepemilikan atasnya.

1. Hak adalah untuk suatu kebebasan atau keuntungan (freedom and benefit). 2. Suatu hak yang ditetapkan secara lengkap akan mengidentifikasi pihak atau pihak-pihak lain yang harus berperan mengusahakan tersedianya kebebasan atau keuntungan yang diidentifikasikan oleh ruang lingkup hak tersebut. Pihak-pihak ini adalah penanggung jawab atau pihak yang harus menghormati hak tersebut (role and identification). 3. Bobot suatu hak menentukan suatu urutan arti pentingnya dalam hubungannya dengan norma-norma lain. Bobot disini berkenaan dengan soal apakah suatu hak kadang-kadang dapat dikalahkan oleh pertimbangan-pertimbangan lain dalam kasus-kasus konflik. Hak prima factie adalah hak yang tidak absolut, yang berhadapan dengan pertimbanganpertimbangan lain; bobot hak itu tidak ditentukan secara lengkap. Penanganan ideal yang seharusnya Dasar hukum pelaksanaan tugas Satuan Polisi Pamong Praja sebagai bagian dari elemen Pemerintah Daerah adalah UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah,pada pasal 148 dikatakan bahwa : (1) Untuk membantu kepala daerah dalarn menegakkan Perda danpenyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja. (2) Pembentukan dan susunan organisasi Satuan Polisi Pamong Praja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Peraturan Pemerintah. .Selanjutnya pada pasal 149 (1) UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa : (1) Anggota Satuan Polisi Pamong Praja dapat diangkat sebagai penyidikpegawai negeri sipil sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Kedua pasal inilah yang menjadi landasan hukum bagi terbentuknya Satpol PP di berbagai daerah di Indonesia. Sebagai bagian dari elemen pemerintahan daerah maka selayaknya Satpol PP dalam menjalankan tugasnya juga harus tetap berpegangan pada prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia,hal

ini mengingat konsiderens dari UU No 32 tahun 2004 juga menyatakan secara ekspilisit bahwa aparat pemerintahan haruslah senantiasa melaksanakan kewajibannya dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi masyarakat tanpa terkecuali.Cara-cara penggunaan kekerasan dan kesewenangwenangan seharusnya tidak dilakukan oleh aparat Satpol PP tersebut,walaupun memang dalam kenyataannya keberadaan dari anak-anak jalanan ini sering kali mengganggu ketertiban umum baik itu dari perilaku mereka maupun perbuatan mereka yang sering tidak memikirkan kenyamanan pengguna jalan di jalan raya.Tapi point utama yang juga harus dicermati adalah keberadaan anak jalanan tersebut adalah status mereka yang rata-rata merupakan golongan anak dibawah umur,sebagaimana hasil konvensi tentang hak anak atau United Nations Conventions on The Rights of The Child terdapat folosofi dalam menjaga masa depan anak dan pemerintah terikat untuk melaksanakan hal tersebut,yaitu : 1. Perlindungan : anak-anak mempunyai hak untuk dilindungi dari kekejaman, penyalah-

gunaan, penelantaran, dan eksploitasi; 2. Peran serta dalam pikirnya; 3. Penyediaan : setiap anak mempunyai hak agar kebutuhan dasarnya di-penuhi. masyarakat, : anak-anak mempunyai hak untuk memerankan peran yang berpartisipasi aktif

dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan alam

Dengan berbagai penjelasan mengenai hal-hal yang sepatutnya dilakukan oleh Satpol PP dalam menjalankan tugas pokoknya sebagai bagian dari elemen pemerintahan daerah maka sudah sepatutnya penggunaan cara-cara dengan kekerasan tidak lagi dilaksanakan oleh Satpol PP terutama pada kasus ini.Banyak cara yang bersifat preventif yang masih bisa dijalankan dan dilaksanakan serta dengan senantiasa berpedoman pada keberadaan manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan YME dan memiliki hak-hak dasar yang wajib dijunjung tinggi dan dihormati terlebih lagi oleh aparat penegak hukum.

III. PENUTUP A. Kesimpulan Melalui berbagai penjelasan mengenai kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Satpol PP Sleman tersebut maka penulis mencoba mengambil beberapa point kesimpulan diantaranya adalah: 1. Keberadaan anak jalanan yang terkadang sering meresahkan masyarakat apapun bentuknya,tidaklah lantas serta merta menghilangkan hak asasi mereka sebagai mahluk ciptaan Tuhan YME. 2. Penggunaan cara-cara kekerasan yang dilakukan oleh Satpol PP Sleman adalah kurang tepat,baik dilihat dari sudut pandang sosiologis melalui adanya dugaan pelanggaran HAM maupun dilihat dari kaca mata hukum positif yang berlaku di Indonesia. 3. Satpol PP sebagai bagian dari elemen Pemerintahan Daerah hendaknya mendahulukan cara-cara yang bersifat preventif dalam menjalankan tugasnya,karena bentuk

kewenangannya adalah menegakkan hukum non-yustisial seperti Peraturan Daerah (perda). 4. Bahwa prinsip-prinsip mengenai hak anak sering kali dilanggar oleh aparat penegak hukum,salah satu penyebabnya adalah kurangnya pengetahuan mengenai hal tersebut akibat dari minimnya fungsi pembinaan dalam pola pendidikan dan rekruitment aparat tersebut. B. Saran Dalam kesempatan ini,penulis mencoba mengajak semua pihak terkait untuk mengkaji ulang mengenai pelaksanaan tugas Satpol PP sebagai aparat pengawal peraturan daerah.Hal ini didasarkan pada banyaknya contoh kasus kekerasan yang dilakukan oleh oknum Satpol PP ketika menjalankan tugas nya utamanya dalam melakukan penertiban.Terlebih lagi,pada beberapa kesempatan telah muncul wacana untuk menggunakan senjata api oleh Satpol PP,padahal tingkat urgensi dalam menggunakan senpi tersebut dirasa belumlah begitu diperlukan.Karena ketika terjadi peningkatan eskalasi berupa perlawanan dari pihak yang ditertibkan seharusnya pihak Satpol PP menyerahkannya kepada aparat Kepolisian sebagai penegak hukum.Namun seringkali

koordinasi antara kedua belah pihak tidak terlaksana dengan baik.Kedepan hal tersebut nampaknya juga membutuhkan pemikiran yang lebih realistis lagi,agar bentuk-bentuk pelayanan terhadap masyarakat dapat berjalan dengan baik .

Daftar Pustaka
http://syafiie.blogspot.com/2010/05/pelanggaran-ham-di-yogyakarta.html http://rripro2jogja.com/id/insert/news-update/326-petugas-dinas-satpol-pp-dan-tibmas-siapdipanggil-polda-diy.html http://www.krjogja.com/news/detail/4999/www.krjgogja.com

KATA PENGANTAR

Penulis memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tugas Makalah ini untuk memenuhi dalam bidang penelaian mata kuliah Hukum dan HAM Mungkin dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan baik itu dari segi penulisan, isi dan lain sebagainya, maka penulis sangat mengharapokan kritikan dan saran guna perbaikan untuk pembuatan makalah untuk hari yang akan datang. Demikianlah sebagai pengantar kata, dengan iringan serta harapan semoga tulisan sederhana ini dapat diterima dan bermanfaat bagi pembaca. Atas semua ini penulis mengucapkan terima kasih, Penulis Suwandi 28.35

PELANGGARAN HAM OLEH SATPOL PP TEHADAP ANAK JALANAN DI SLEMAN DALAM KONSEPSI HAM

SUWANDI 28.35

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BALIKPAPAN

DAFTAR ISI

Bab I. Pendahuluan . a. Latar Belakang b. Permasalahan Bab II. Pembahasan a. Pelanggaran HAM oleh Satpol PP b. Penanganan yang diharapkan Bab III. Penutup a. Kesimpulan b. Saran

You might also like