You are on page 1of 5

TUGAS HUKUM PERATURAN PERIKANAN

NAMA KELOMPOK : SEPTIAN KHALID AHMADI JOKO ALVIAN DEWANTORO 105080200111002 105080200111002

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2011

ILEGAL FHISING Masalah kelautan dan perikanan dari tahun ke tahun adalah sama, tetapi kenapa kompleksitas permasalahan tersebut tidak kunjung terselesaikan? Lebih dari itu, permasalahan yang terjadi di dunia kelautan-perikanan berhadapan dengan egosentris antardepartemen dalam mengurus kavling masing-masing.Selama ini peran Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sebagai lokomotif pembangunan kelautan dan perikanan Indonesia belum optimal. Hal ini dicerminkan oleh lemahnya data perikanan Indonesia, kemiskinan masyarakat nelayan, lemahnya armada tangkap nasional, maraknya aksi illegal fishing (pencurian ikan) serta lemahnya penegakkan hukum, birokrasi yang berbelit-belit dalam pelayanan perizinan usaha perikanan, dan masih banyak lagi permasalahan kelautan dan perikanan lainnya yang belum terselesaikan.Oleh karena itu sangat wajar, bila masyarakat perikanan di seluruh Indonesia mengharapkan terjadinya perubahan yang signifikan di dunia kelautan dan perikanan. Namun tidak bermaksud merendahkan kemampuan Menteri Kelautan dan Perikanan yang baru, penulis masih ragu hal ini dapat dituntaskan, karena permasalahan kelautan dan perikanan sangat kompleks dan klasik Seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa permasalahan kelautan dan perikanan Indonesia sangat kompleks. Lebih dari itu, permasalahan tersebut bersifat klasik yang diwariskan dari tahun ke tahun, sehingga ibarat dosa turun temurun. Adapun permasalahan klasik yang terjadi di dunia kelautan dan perikanan, di antaranya adalah sebagai berikut: Pertama, lemahnya data perikanan, khususnya untuk data perikanan tangkap. Hingga saat ini, data perikanan tangkap Indonesia diperoleh dari pendaratan hasil tangkapan. Padahal tidak bisa dipungkiri bahwa tempat-tempat pendataan ikan (Tempat Pelelangan Ikan/TPI) di beberapa daerah hampir tidak ada atau keberadaannya tidak merata. Kalau pun ada, fungsi TPI tidak berperan sehingga mengakibatkan masyarakat nelayan terjebak permainan tengkulak. Dengan demikian, TPI yang juga berfungsi sebagai pencatat pendaratan ikan tidak berperan sebagaimana mestinya. Selain itu, pihak pengusaha yang mendaratkan ikannya juga kerap memberikan data yang tidak sebenarnya alias di bawah data hasil tangkapan yang diperoleh.Lemahnya data perikanan tersebut akan berdampak pada biasnya kebijakan yang akan dikeluarkan atau diputuskan. Misalnya saja, di suatu daerah tidak memiliki TPI (Tempat Pelelangan Ikan), sementara perizinan penangkapan ikan terus dikeluarkan. Akibatnya adalah over-fishing dan kemiskinan nelayan yang disertai konflik di wilayah laut tersebut, baik konflik kelas sosial, konflik fishing ground, maupun konflik identitas (primordial). Lebih dari itu, lemahnya data perikanan tangkap tersebut berdampak pada rawannya hubungan dagang internasional, karena akuntabilitas dan akuratibilitas data harus dilandasi oleh bukti ilmiah terbaik (the best scientific evidence) sebagaimana yang dituangkan Pasal 61 UNCLOS 1982. Ketentuan internasional lainnya yang mensyaratkan bukti ilmiah terbaik, di antaranya yaitu Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF 1995), dan International Plan of Action-Illegal Unreported Unregulated Fishing (IPOA-IUU 1999). Berdasarkan ketentuan perikanan internasional itu, lemahnya data perikanan dapat mengakibatkan kerawanan dalam perdagangan perikanan Indonesia di pasar internasional. Namun demikian, masalah lemahnya data perikanan Indonesia mulai mendapatkan perhatian pemerintah pada Undang-undang Perikanan yang baru disahkan, yaitu pada Bab VI tentang Sistem Informasi Data Statistik Perikanan.

Kedua, kemiskinan masyarakat nelayan. Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa masyarakat nelayan Indonesia hingga saat ini masih terjebak dalam lingkaran kemiskinan (vicious circle). Panjang pantai 81.000 km beserta kekayaan sumberdaya alamnya, semestinya dapat mensejahterakan masyarakat pesisir, khususnya nelayan. Akan tetapi yang terjadi malah sebaliknya, semakin panjang pantai maka semakin banyak penduduk miskin di Indonesia. Hal ini dikarenakan, wilayah pesisir dan pantai Indonesia merupakan tempat atau kantung-kantung kemiskinan masyarakat nelayan.Secara teoritis, ada tiga hal yang menjadi penyebab utama kemiskinan nelayan, yaitu alamiah (kondisi lingkungan sumberdaya), kultural (budaya), dan struktural (keberpihakan pemerintah). Dari ketiga penyebab itu, masalah struktural merupakan faktor penting dan paling dominan, sehingga sangat diperlukan kebijakan pemerintah yang berpihak pada kehidupan masyarakat nelayan, khususnya nelayan kecil (tradisional). Dengan demikian, kontinuitas keberpihakan pemerintah yang diejawantahkan dengan program-program pemberdayaaN harus tetap digalakkan sesuai Bab IX Undang-undang Perikanan yang baru. Tentu saja, kebijakan yang ditujukan pada masyarakat nelayan harus disesuaikan dengan karakteristik masyarakat serta karakteristik sumberdaya (geografis)-nya. Ketiga, lemahnya armada perikanan tangkap nasional. Berbagai sumber menyebutkan bahwa dari 7.000 kapal ikan yang beroperasi di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), sekitar 70 persen di antaranya merupakan milik asing. Selain itu, armada perikanan tangkap Indonesia sebagian besar memiliki produktivitas yang amat rendah yaitu hanya 8 ton/kapal/tahun. Keempat, permasalahan illegal fishing (pencurian ikan) dan lemahnya penegakkan hukum yang telah menghilangkan potensi ekspor perikanan Indonesia sebesar 4 miliar dolar AS. Selain merugikan negara, illegal fishing juga merugikan nelayan tradisional karena mereka menggunakan alat tangkap jenis trawl yang menyebabkan kerusakan lingkungan laut yang berujung pada penciptaan rendahnya pendapatan nelayan. Kelima, pelayanan perizinan usaha perikanan yang berbelit-belit dan syarat dengan pungutan liar. Seperti yang diberitakan Majalah Samudera (Edisi 19, Oktober 2004) disebutkan bahwa total besaran biaya tambahan yang harus dikeluarkan untuk setiap pembuatan perizinan kapal asing agar bisa keluar cepat harus mengeluarkan uang berkisar Rp 40 juta sampai Rp 100 juta tergantung dari jenis alat tangkap yang digunakan, daerah tangkapan, dan jumlah kapal yang diurus. Dengan demikian, sudah dapat dipastikan miliaran rupiah uang siluman yang berkeliaran sejak dikeluarkannya Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 46/Men/2001 tentang Pendaftaran Ulang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan. Padahal, izin itu bisa diselesaikan dalam jangka waktu 16 hari tanpa biayatambahan sesuai Pasal 9 Kepmenlutkan No 10 Tahun 2003 tentang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan.

Penangkapan ikan ilegal telah menjadi momok yang meresahkan bagi Indonesia selama bertahun-tahun. Kegiatan itu bukan hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga menurunkan produktivitas dan hasil tangkapan secara signifikan. Namun, upaya penanganan penangkapan ikan ilegal hingga kini masih diwarnai sejumlah hambatan.

Kendala itu tidak hanya dirasakan Indonesia, melainkan juga negara-negara kawasan

ASEAN dansekitarnya. Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (P2SDKP) Aji Sularso mengatakan, Indonesia sebagai negara perairan terbesar di Asia Tenggara paling banyak dirugikan akibat kegiatan penangkapan ikan ilegal. Indonesia dihadapkan pada dua persoalan mendasar. Wilayah perairan kita banyak dicuri sehingga produktivitas perikanan terus merosot. Namun, beberapa nelayan kita juga mencuri diperairan negara lain, seperti Australia, papar Aji.

Beberapa kawasan perairan Indonesia yang rawan terhadap pencurian ikan antara lain Laut Arafura, perairan Natuna, dan perairan utara Sulawesi Utara. Kapal-kapal asing yang melanggar itu sebagian besar merupakan kapal asal China, Thailand, Vietnam, dan Filipina.

Kapal ikan ilegal yang ditangkap tahun lalu sebanyak 184 dari 2.207 kapal ikan yang diperiksa. Dari jumlah kapal yang ditangkap itu, 89 kapal di antaranya berbendera asing, sedangkan 95 kapal berbendera Indonesia. Kerugian negara yang dapat diselamatkan mencapai Rp439,6miliar. Penangkapan ikan ilegal itu tidak hanya merugikan

perekonomian, melainkan juga mengancam kelestarian sumber daya perikanan dan kelautan. Selain itu, kapal ikan asing yang ilegal ikut memanfaatkan subsidi bahan bakar minyak dan membayar pungutan Data perikanan Pangan dengan dan tarif Pertanian kapal (FAO)

Indonesia.Pengawasanperairan

Organisasi

mengasumsikan, volume penangkapan ikan ilegal mencapai seperempat dari jumlah total penangkapanikandunia. Sejak 2007, Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah Australia untuk kegiatan pengawasan perairan. Operasi pengawasan dilakukan di Laut Arafura dengan menggunakan kapal Hiu Macan.

Meski pemerintah telah mendorong peningkatan pengawasan perairan dan penangkapan kapal ikan ilegal, hal itu tetap belum mampu mengimbangi maraknya laju pencurian ikan. Setiap tahun kapal yang diduga mencuri ikan mencapai 1.000 kapal, dengan asumsi kerugian mencapaiRp30triliun.

Manajer Northern International Fisheries Department of Agriculture, Fisheries, and Forestry Australia, Peter Cassells, mengatakan, pencurian ikan lebih banyak dilakukan kapal-kapal besar ketimbang kapal nelayan tradisional. Karena itu, diperlukan pencegahan sejak proses perizinan,dan penegakan hukum secara optimal. Sekretaris Dirjen P2SDKP Purwanto menyebutkan, ada dua modus pelanggaran yang kerap digunakan kapal ikan asing ilegal di perairan Indonesia, yaitu menggunakan kapal berbendera asing dengan memalsukan dokumen perizinan. Cara lainnya, mengganti bendera asal negara dengan bendera Indonesia guna mengelabui petugas. Karena itu diperlukan kerja sama lintas negara dalam mengatasi persoalan penangkapanikan.

 Dari masalah penangkapan ilegal ikan diatas banyak jalan yang kita bisa tempuh seperti : A). Perlunya kerjasama antar negarauntuk mengatasi masalah ilegal fhising ini yang nantinya bisa mengurangi kegiatan ilegal fhisig tersebut,sehingga tercipta suatu keamanan yang baik. B). peningkatan kegiatan dan operasi keamanan di laut agar tidak adanya lagi kapal-kapal asing yang masuk begitu saja kedalam wilyah indonesia.di mana disini peningkatan dari TNI AL maupun juga dari kepolisian laut. C). Caranya dengan menyekat perjalanan kapal pencuri di perairan terluar. Kami harus menciptakan deterrence effect. Jadi, operasinya dikonsentrasikan di tiga perairan itu. Kalau bisa patroli dilakukan 24 jam. Untuk itu kami harus meningkatkan kemampuan surveillance dengan menggunakan potensi nasional yang ada. Teknologi surveillance itu seperti radar SAR, atau pengembangan pesawat tanpa awak. Saya sedang menjajaki apakah bisa radar-radar AURI digunakan. Sebab kenyataannya, tanpa surveillance, kami akan kekurangan informasi tempat lokasi terjadinya illegal fishing. D). Dengan cara meningkatkan keamamanan yang sering terjadi ilegal fhising seperti di fishing ground yang potensial, antara lain, Laut Arafura, perairan antara Sulawesi Utara dengan Filipina (Laut Pasifik), dan Laut Natuna. Jalur kapal ilegal memang melalui tiga wilayah ini. Tapi juga wilayah yang terpencil pun haruslah sangat pelu di awasi dengan ketat.

You might also like