You are on page 1of 16

MEMBANGUN CITRA BARU KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RIZA SYAFRIZAL CITASUARA, SE.,MM 014/2011/PANSEL

MEMBANGUN CITRA BARU KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

1.

PELAKSANAAN TUGAS POKOK, FUNGSI DAN PERANAN KEPOLISIAN SAAT INI DAN CITRA INSTITUSI KEPOLISIAN DAN ANGGOTANYA

Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Jika keadaan masyarakat akhir-akhir ini merasa tidak aman dan tidak tertib, hukum seringkali dipermainkan, masyarakat juga merasa tidak terlindungi dan merasa tidak dilayani oleh polisi maka itu berarti tugas pokok kepolisian belum terlaksana dengan baik. Citra institusi Kepolisan RI saat ini sulit untuk dilihat secara jelas. Hal ini disebabkan banyaknya kasus yang mencoreng wajah institusi Kepolisian Negara RI kita. Sebagian penyebabnya memang ada keterlibatan anggota Polri, sebagian besar tentu saja tidak. Tidaklah mungkin semua kerusakan ditatanan hukum merupakan kesalahan Polri semata. Tapi posisi Polri sebagai penegak hukum menjadi sulit karena pada setiap permasalahan kejahatan ataupun pelanggaran hukum sudah pasti harus melibatkan Polri sebagai petugas penegak hukum. Sulit untuk bisa tetap kering bila pekerjaan kita melibatkan air, sulit terhindar dari panasnya api bila pekerjaan kita melibatkan api. Masalahnya, pemahaman serupa ini sulit diterima masyarakat. Masyarakat mengingini Polri sempurna dalam tugas pokoknya, sedangkan dalam kenyataannya banyak hal yang mempengaruhi kebijakan Kepolisian Negara RI, dan kelihatannya Kepolisian Negara RI belum berhasil secara maksimal dalam mengembangkan dan mengendalikan para anggotanya.

Seharusnya citra institusi penegak hukum seperti Polri tidak menimbulkan keraguan atau menjadi hambatan bagi masyarakat yang membutuhkan bantuan maupun pertolongannya. Citra yang kurang baik merupakan penghalang bagi masyarakat untuk meminta bantuan/ pertolongan dan sebaliknya juga menjadikan petugas kepolisian yang bersih dan jujur menjadi serba salah dan tidak bisa membangun wibawa saat bertugas sebagai anggota kepolisian akibat citra salah yang terlanjur terbangun. Akibatnya pelayanan Polri sebagai salah satu institusi negara menjadi tidak efektif dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan dalam memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Pelayanan yang tidak efektif mempunyai dampak pada citra institusi. Ibarat sebuah Perusahaan yang tidak dekat dengan pelanggannya karena tidak mengerti keinginan pelanggannya, ataupun tahu keinginan pelanggannya namun tidak mengusahakannya secara maksimal agar pelanggannya terpuaskan. Tentunya perusahaan seperti ini akan merugi dan tidak bisa maksimal dalam usahanya (baca : kewajibannya) yang pada akhirnya perusahaan seperti ini akan ditutup.

Memang Kepolisian Negara RI bukanlah sebuah perusahaan. Perusahaan mengusahakan profit, sedangkan Polri bukanlah lembaga profit, namun pada tatanan keorganisasian bukannya tidak mungkin Polri dianggap tidak diperlukan lagi. Dalam pengertian ini Polri sebagai lembaga negara tetap eksis namun dalam berbagai hal kehadirannya terasa tidak diperlukan ( tidak efektif, percuma dilibatkan karena keberadaannya tidak akan memberikan kontribusi). Yang lebih parah jika tumbuh pemahaman diberbagai tatanan politik maupun masyarakat bahwa melibatkan Polisi atau Institusi Kepolisian adalah kontra produktif.

2.

TINDAKAN SEBAGIAN PERSONAL POLRI TIDAK SESUAI DENGAN TUGAS POKOK, FUNGSI DAN PERANAN KEPOLISIAN

Banyak orang yang menulis dikoran, di internet maupun yang penulis tanya langsung, menyatakan lebih senang menyelesaikan sendiri masalah-masalah yang terkait hukum ( seperti pencurian, perkelahian, penipuan dll). Ketika ditanyakan kenapa tidak meminta bantuan Polisi, mereka menjelaskan berdasarkan pengalaman pribadi dan pengalaman teman atau anggota keluarga lainnya melaporkan permasalahan hukum ke Polisi hanya akan menambah permasalahan. Ketika membuat laporan kehilangan motor misalnya rata-rata orang mengaku dimintai uang saat melaporkan, ketika sepeda motornya ditemukan polisi, untuk mengambil HAK MILIKnya ke kantor polisi kembali orang harus membayar. Padahal kehilangan tersebut bukanlah merupakan pilihan pemilik. Adalagi laporan yang mengatakan bahwa pencurinya sudah tertangkap sekarang diminta ke kantor polisi untuk menyelesaikannya secara kekeluargaani dengan pencurinya (?). Di radio penulis pernah mendengar seorang dengan nada emosi menceritakan bagaimana dia bersama-sama teman-temannya ketika masuk tol di pintu masuk tol Sunter Podomoro, Jakarta Utara ditahan oleh polisi (yang mobil polisi tersebut memang sudah menunggu disekitar pintu masuk toll). Mereka dituduh menggunakan uang palsu untuk membayar karcis toll dan itu atas laporan petugas loket toll. Anehnya tuduhan tersebut bukan hanya sekali terjadi di pintu tol tersebut, sudah berkali-kali terjadi di tempat yang sama. Asumsi yang muncul adanya kerjasama petugas toll dengan oknum polisi. Namun setelah persoalan tersebut muncul diberbagai radio tiba-tiba saja kasus tuduhan membayar dengan uang palsu tersebut tidak pernah terjadi lagi. Belum lagi cerita yang beredar diantara teman penulis, mobilnya diberhentikan oleh polisi lalu polisi mengadakan penggeledahan di mobilnya tiba-tiba saja di bagasi mobil atau diselipan pintu ditemukan narkoba dalam plastik kecil. Padahal orang tersebut sama sekali bukanlah tipe orang yang seperti itu dan kejadian tersebut bukan sekali tapi berkali-kali terjadi dengan modus yang sama. Kembali setelah kasus dibahas secara meluas, tiba-tiba proses pemberhentian dan penggeledahan tidak pernah terjadi lagi.

Semua kejadian-kejadian negatif ini dan ditambah berpuluh-puluh variasi kejadian-kejadian lainnya yang melibatkan polisi membentuk citra negatif terhadap polisi, sehingga citra institusi Kepolisianpun ikut terganggu.

Citra seperti ini merugikan Polri sebagai institusi penegak hukum. Kenapa hal ini terjadi ? Citra yang melekat di suatu institusi tidak tercipta dalam sekejap mata. Kekeliruan yang dilakukan anggota Polri sekali maupun beberapa kali tidak akan sanggup merusak atau membangun citra institusi. Hanya kejadian yang sudah sering (selalu) terjadilah yang membentuk citra negatif ataupun positif terbentuk. Hukum pelayanan juga membantu membentuk citra. Jika seorang mendapatkan pelayanan baik ia akan menyampaikan kepada 2-3 orang lain yang dia kenal, tetapi jika seseorang mendapatkan pelayanan buruk ia akan berbicara pada hampir 10 hingga 20 orang lainnya yang dia kenal untuk mengekspressikan kejengkelannya. Petugas-petugas kepolisian yang tidak profesional menciptakan citra institusi Kepolisian menjadi buruk. Pelayanan yang buruk antara lain lambat dalam bertindak, tindakan yang berbeda-beda untuk jenis kasus yang sama (tidak terstandarisasi) sehingga menimbulkan kesan rekayasa, tindakan yang tidak terpadu, acuh tidak acuh menanggapi keluhan pengaduan anggota/ kelompok masyarakat mencitrakan tidak adanya empati atau tidak rasional, bahkan membiarkan terjadinya pelanggaran hukum, arogansi, indikasi keterlibatan dalam kasus korupsi/ KKN. Bahkan yang lebih berbahaya lagi bagi citra institusi dan anggotanya adalah tindakan yang justru mendukung hal-hal yang melawan hukum seperti menyalah gunakan wewenang, melakukan diskriminasi, mendukung pihak yang kuat (bukan yang benar) bahkan menjadi backing/ kegiatan yang ilegal, mencari-cari kesalahan untuk memeras.

3. DAMPAK PENCITRAAN YANG NEGATIF

Menurut Skolnick (1966), polisi diharapkan bisa menjadi penegak peraturan, ayah, kawan, pelayan masyarakat, moralis, petarung jalanan, pemberi arah, dan pejabat hukum. Tentu ditambah dengan perannya yang utama, yaitu sebagai crime hunter. Jika polisi profesional, masyarakat kian menikmati situasi aman, tertib, adil, dilindungi, dan diayomi. Sebaliknya, apabila kurang profesional, yang dirugikan adalah bangsa dan negara. ( Nitibaskara - blog 7 Juni 2011) Untuk menjalankan sesuai dengan apa yang dikatakan Skolnick bukanlah perkara mudah. Kadangkala sulit bersikap tegas dan sekaligus humanis, seperti yang ditulis oleh seorang perwira polis, Chryshnanda (2011 : 350) : Dalam menghadapi berbagai pelanggaran dan tindakan kejahatan, Polisi memang harus tegas tetapi polisi juga harus humanis, empati, santun dan

mengacu pada supremasi hukum. Dua sikap yang hampir berbeda ( tegas namun santun, empati) harus dijalankan secara bersamaan bukanlah sesuatu hal yang mudah untuk dijalankan tidak hanya polisi tetapi juga oleh kebanyakan orang. Polisi merupakan profesi yang dikatakan Hartjen dengan damn if you do, damn if you dont (berbuat - salah, tidak berbuat - salah). Akibat dari kelemahan, kesalahan ataupun kelalaian anggota polisi berakibat pada penurunan rasa hormat dan perasaan segan (respek) bukan saja pada anggota polisi tetapi juga pada institusinya. Untuk hal ini saja sudah merupakan beban psikhologis tersendiri bagi anggota Polri lainnya. Seringkali saat penulis pagi pergi maupun sore pulang bekerja, dan kebetulan melintas perempatan jalan dan bertemu dengan petugas Polisi Lalu Lintas jalan raya yang sedang bertugas, penulis mengucapkan salam, Selamat pagi/ Selamat Sore Pak Polisi petugas yang semula terlihat suram wajahnya menjadi demikian cerah dan cerianya menerima dan menjawab salam. Mengucapkan salam bukanlah sesuatu yang luar biasa, namun hasilnya terlihat luar biasa pada pak Polisi yang sedang bertugas. Betapa terlihatnya kesenjangan jarak antara anggota masyarakat dengan anggota Polisi. Rasa hormat dan perasaan segan antara anggota masyarakat dan anggota Polisi tidak terbina, terkesan ada jarak. Saat ini malahan rasa hormat dan rasa segan masyarakat terhadap anggota polisi tersebut mengalami penurunan, secara lebih jauh bahkan malah menghasilkan perlawanan masyarakat pada institusi kepolisian dan juga anggota kepolisian, secara terang-terangan maupun secara pasif. Sudah tidak ada lagi rasa segan ataupun takut kepada aparat Kepolisian. Akumulasi dari semua tindakan yang diambil maupun tindakan yang tidak diambil oleh Polisi dan Kepolisian menimbulkan masalah ketidak percayaan yang besar pada polisi dan institusinya, disusul kemudian dengan keberanian anggota ataupun kelompok masyarakat tertentu menyerang anggota polisi, menyerang kantor polisi, menganggap semua keputusan dan tindakan Kepolisian merupakan rekayasa. Sebagian anggota/ kelompok masyarakat bertindak membuat pengadilan sendiri yang jelas-jelas melanggar hukum karena menganggap percuma melaporkan permasalahan hukum pada Kepolisian. Hal-hal ini menambah beban berat tugas institusi Kepolisian dan anggotanya dalam menjalankan tugastugasnya sehari-hari.

4.

POTENSI-POTENSI KONFLIK MERUPAKAN TANTANGAN BARU BERPOTENSI MERUSAK CITRA INSTITUSI KEPOLISIAN

Diatas telah diuraikan betapa tindakan negatif anggota Polisi dapat menciptakan citra negatif institusi. Sementara institusi Kepolisian sendiri bukannya tidak pernah berbuat salah, seperti misalnya penggerebekan kantor KPK . KPK merupakan lembaga negara, tindakan penggrebekan kantor KPK seharusnya merupakan tindakan terkordinasi (dengan lembaga tinggi lainnya, tidak hanya kejaksaan). Imej yang muncul dimasyarakat adalah polri balas dendam karena salah seorang perwiranya dicurigai KPK. Keputusan penggrebekan KPK adalah contoh pengambilan keputusan yang tidak berdasakan pemikiran yang komprehensif. Dampaknya jelas, merugikan Kepolisian Negara RI secara strategic. Peluang melakukan kesalahan yang dapat merusak Citra Institusi Kepolisian masih bisa terjadi dan terjadi lagi. Hal ini disebabkan beragamnya potensi konflik di Indonesia, mulai dengan masalah etnis dan agama di Indonesia sendiri, konflik antar elit, konflik separatis, dampak situasi politik dan juga dampak dari pengaruh globalisasi. Untuk itu perlu kita mengenal jenis-jenis konflik yang bisa terjadi (karena sudah pernah terjadi di Indonesia), dan juga jenis-jenis konflik akibat kebijakan-kebijakan pihak luar negeri/ asing. Ketidak pahaman atas situasi ini akan menjadi prerequsite terjadinya salah langkahnya Kepolisian Negara RI dalam membuat keputusan strategis.

KONFLIK LINGKUP NASIONAL Bagi negara berkembang paling tidak terdapat lima jenis konflik, yaitu konflik vertikal, konflik horizontal, kombinasi konflik vertikal-horizontal, konflik elit dan konflik separatis. Konflik vertikal adalah konflik antara rakyat dan pimpinannya. Sebagaimana temuan Herbert Feith (1985), rezim-rezim di Asia Timur dan Tenggara sebagian besar bermasalah dalam transisi kepemimpinannya. Transisi di Korea Selatan, Filipina dan Indonesia dicirikan oleh konflik yang sangat tajam antara rakyat dan pemimpinnya, yang mengakibatkan proses pergantian kepemimpinannya berlangsung dalam sebuah ranah revolusi. Konflik horizontal adalah konflik yang terjadi antar-etnis, pemeluk agama, budaya, dan antar kelompok sosial. Konflik etnis menghantui hampir seluruh negara berkembang. Indonesia sendiri mengalami proses pemulihan ekonomi yang sangat lambat karena pengaruh konflik antar etnis yang terjadi di Sambas, konflik antar pemeluk agama di Poso, Ternate, dan Ambon dan konflik antar kelompok sosial di metropolis, Jakarta..

Konflik Kombinasi Vertikal-Horizongal - biasanya terjadi pada negara-negara multikultural dan/ atau multietnis. Pada tahun 1960-an, Feith menemukan bahwa terjadi segregasi diantara elit-elit politik yang ditopang oleh partai,dan partai itu ditopang oleh aliran-aliran dalam masyarakat Indonesia. Istilah bagi Indoneisa adalah Politik Aliran. Masalahnya, tatkala terjadi konflik di tingkat elit politik, konflik tersebut mengalami trickle down sampai kepada masa pengikutnya dibawahnya. Tahun 2000, ketika konflik antara pengikut Presiden Wahid dan penentangnya (PDI-P, PAN-Muhammadiyah, Golkar, dkk) turun menjadi konflik antara NU dan non NU.

Konflik Elit terjadi hampir di setiap negara berkembang dengan magnitude yang berlainan. Di Indonesia, perubahan di tahun 1965 1966 ditenggarai sebagai konflik antar elit, terutama elit sipil kiri dengan elit militer (SD). Konflik Separatis Juga menjadi gangguan berat bagi negara berkembang. Di Indonesia, gerakan Aceh Merdeka hingga hari ini belum tuntas, di Papua, Organisasi Papua Merdeka juga masih belum berhenti berperang untuk meminta kemerdekaan, sementara Timor Timur sudah berhasil lepas dari Indonesia. KONFLIK LINGKUP GLOBAL Permasalahan yang dihadapi negara-negara berkembang bukan sekedar konflik-konflik domestik, namun juga konflik regional dan global yang dijadikan dalam satu bahasan yaitu konflik global.

Konflik Militer seusai perang Dunia Kedua, sepertinya seluruh dunia trauma terhadap perang. Bahkan, perangpun dapat merusak tatanan perekonomian dunia, seperti yang ditunjukkan perang Arab-Israel di tahun 1970 an yang melejitkan harga minyak dunia. Selain konflik Israel-Palestina, invasi Irak ke Kuwait dan invasi AS ke Irak menandai belum selesainya era perang antar negara. Ancaman konflik militer global hingga tahun 1980 an adalah perang antara dua negara adidaya, ASRusia. Hari ini, ancaman konflik militer digerakkan oleh dominasi tunggal AS- baik melalui kekuatan militer maupun ekonomi dan teknologi yang ingin menjadi The Global Robocop. Bagi negara berkembang, kondisi ini menyebabkan pembangunan di negaranya dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan kepentingan negara adidaya tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Terorisme Global Mangunwijaya dengan jernih memaparkan bahwa terorisme bukan lagi sebuah penyakit, melainkan bagian dari kegagalan kita membangun tatanan peradaban yang memberi ruang cukup bagi kemanusian. Mulai dari kelompok Neo Nazi, Tentara Merah, Al-Qaeda, hingga yang

dicap Jemaah Islamiah ( oleh AS dan sekutunya) adalah gerakan yang melawan tatanan peradaban untuk tidak memberi ruang gerak memadai tersebut. Terlebih tatkala pemerintahan Barat (khususnya AS) sangat mempercayai tesis Huntington bahwa dunia terbagi atas dua peradaban, Barat dan Timur, yang digeneralisir menjadi Kristen dan Islam, kedua peradaban inilah yang sebenarnya sedang berkonflik. Konflik ini diperumit dengan adanya kesan bahwa mereka yang tidak mengikuti Barat (AS) adalah devil seperti yang dikatakan Bush ketika menyitir Irak (Husen) dan Korea Utara (Kim). Terorisme akhirnya menjadi masalah baru yang sulit diselesaikan oleh negara berkembang salah satu masalah yang kini dialami oleh Indonesia.

Konflik antar benua-benua baru. Tahun 2000, Ohmae merilis bukunya The Invisible Continent, yang mengemukakan bahwa benua-benua lama yang sebelumnya kita kenal (Eropa, Asia, Afrika, Australia, Amerika Utara, dan Amerika Selatan) telah digantikan oleh benua-benua baru yang terdiri atas negara-negara yang terangkaikan oleh kegiatan-kegiatan ekonomi dan bisnis. Benua-benua baru adalah benua-benua yang bersifat ekonomi daripada politik. Benua-benua baru itu, misalnya Masyarakat Eropa, APEC, AFTA, NAFTA dan sejenisnya. Konsep Ohmae lebih menekankan pada konsep The borderless world yang mengemukakan ikatan-ikatan telah berpindah dari bagian-bagian dalam sebuah negara menjadi ikatan bagian suatu negara dengan bagian dari negara lain dalam sebuah rangkaian produksi. Secara umum dapat dikatakan bahwa terjadi persaingan memperebutkan kekuasaan ekonomi antara benua-benua ekonomi tersebut. Persaingan antara benua mempersulit negara-negara berkembang untuk meletakkan diri pada tittik yang menguntungkan dalam persaingan tersebut, terlebih bagi negara berkembang yang berbeda diluar benua-benua baru tersebut.

Konflik yang digerakkan oleh globlisasi dalam konteks paling mikro - Sebagaimana dikatakan Hamel, globalisasi bukanlah persaingan antara Amerika, Jepang, Jerman, dan Singapura, namun diantara perusahaan-perusahaan dari masing-masing negara tersebut, antara Coca Cola, Sony, Mercedes, dan Singapore Airlines. Persaingan antar pelaku bisnis global ini menciptakan konflik yang menekan negara berkembang. Bagi negara berkembang, permasalahan mendesk hari ini adalah bagaimana menghadapi takanan pelaku bisnis global di dalam negerinya sendiri. Terdapat sejumlah indikasi yang menunjukkan bahwa ada sejumlah kebijakan di Indonesia yang ditentukan oleh pelaku bisnis asing/ global.

Konflik antara Mainstream pembangunan di tingkat global atau ideolgi politik pembangunan di tingkat global. Konflik ini adalah salah satu konflik di tingkat global yang tersembunyi (covert). Sebagaimana diketahui bersama, peran dominan lembaga-lembaga keuangan dan investasi dunia,

khususnya Bank Dunia dan IMF lebih banyak menentukan arah pembangunan dari suatu negara (berkembang) daripada kehendak dari negara berkembang itu sendiri, terlebih jika negara tersebut terlilit hutang dalam jumlah besar seperti yang dialami Meksiko, Brasil, Argentina dan Indonesia. Arus utama pemikiran pembangunan hari ini adalah neo-libertarianisme yang melanjutkan pemikiran dasar Adam Smith tentang the invisible hand dari pasar. Hal ini ddidorong oleh kemenangan; kapitalisme atas aturan main lain yang ada, yang menjadikannya sebagai ideologi tunggal global. (Nugroho 2007 : 169)

Semua jenis konflik nasional maupun global tersebut bisa terjadi di wilayah Indonesia. Salah satu contoh pengaruh konflik global adalah soal penyerangan Markas Kepolisian Resor Hamparan Perak, Deli Serdang, Sumatera Utara, Rabu 22/9-2011, pengamat terorisme Noor Huda Ismail berpendapat Densus juga dianggap sebagai antek-antek Amerika Serikat dan Australia yang mempunyai kepentingan bisnis besar di Indonesia. "Kedua negara itu harus menjaga kepentingannya dengan baik di sini," ujarnya. Selain itu, tambah dia, Densus dianggap telah sangat banyak melanggar hak asasi manusia. Konflik ini lahir dari tingkah polah America yang seenaknya menuduh dan menyerang negara lain (Iraq, Afghanistan, Libya), sementara kejahatan Israel terhadap Negara dan Bangsa Palestina selalu dibelanya. Hal ini berujung serangan Al Qaeda pada tanggal 11 September 2001 dengan menghancurkan Twin Trade Center New York. George W Bush presiden Amerika melakukan serangan balik secara politis maupun dengan kekuatan angkatan bersenjata ke seluruh dunia. Pihak Al Qaeda pun membalas serang, dan bertahun-tahun setelah itu kita mengalami berbagai tragedi, bom Bali,Bom Hotel Marriot sebagai dampak internasional.

5. POSISI STRATEGIS KOMPOLNAS DALAM MENANGANI SARAN DAN KELUHAN MASYARAKAT ( SKM ) Kompolnas melaksanakan fungsi pengawasan fungsional terhadap kinerja Polri untuk menjamin profesionalisme dan kemandirian Polri. Pelaksanaan fungsi pengawasan fungsional dilakukan melalui kegiatan pemantauan dan penilaian terhadap kinerja dan integritas anggota dan pejabat Polri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan.

Fokus perhatian kompolnas dalam melaksanakan fungsi pengawasan terhadap Kepolisian Negara RI adalah pada pelayanan Kepolisian kepada masyarakat. Kepolisian Negara RI adalah Lembaga Pemerintah. Pemerintah memberikan pelayanan kepada masyarakat berbekal 70 % pendapatan dari sektor pajak (dari rakyat). Oleh karenanya sebagai lembaga/ organisasi pemerintah maka Kepolisian

Negara RI adalah juga organisasi non profit yang juga harus memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Untuk lebih menjabarkan fungsi pengawasan fungsional oleh kompolnas selain yang tercantum dalam perundang-undangan haruslah juga memperhatikan sifat-sifat organisasi non profit. Anthony dan Herzlinger menyatakan ketika mengkaji karakteristik profit dari sektor publik dan sektor non profit seperti Universitas, organisasi relawan, rumah sakit dan sebagainya, menyatakan bahwa garis demarkasi diantara keduanya adalah: dalam organisasi nonprofit, keputusan yang dibuat oleh manajemen dimaksudkan untuk menciptakan layanan yang sebaik mungkin sesuai dengan sumber daya yang tersedia; dan keberhasilannya diukur terutama berdasarkan seberapa banyak layanan yang diberikan oleh organisasi ini dan seberapa baik layanan itu diberikan. ( Anthoy dan Herzlinger, 1980 : 31)

Jadi ukuran sektor nonprofit lebih banyak didasarkan pada kriteria kesejahteraan sosial ketimbang kriteria keuntungan finansial. Kedua penulis tersebut mengatakan bahwa ciri-ciri sektor nonprofit adalah : y Tidak mengejar keuntungan y Cenderung menjadi organisasi pelayanan y Ada batasan yang lebih besar dalam tujuan dan strategi yang mereka susun. y Sektor ini lebih didominasi oleh kelompok professional y Akuntabilitasnya berbeda dengan akuntabilitas organisasi privat/ organisasi profit y Manajemen puncak tidak punya tanggung jawab yang sama atau imbalan finansial yang sama. y Organisasi sektor publik bertanggung ajwab kepada elektorat dan proses politik y Tradisi kontrol manajemennya kurangl. PENGUKURAN KINERJA Dalam melaksanakan pekerjaannya nanti Komponas perlu acuan untuk mengukur professionalisme Polri, untuk itu diperlukan pengukuran pelayanan Polri pada masyarakat. Masyarakat terhadap Polri identik seperti pelanggan pada perusahaan. Mohamad Mahsun ( 2009 : 129) dalam bukunya, Pengukuran Kinerja sektor Publik menulis bahwa ada 6 Tolok ukur penilaian kinerja organisasi sektor publik yaitu, Ukuran-ukuran finansial, ukuran produktivitas, ukuran kualitas, ukuran pelayanan, ukuran inovasi dan ukuran personalia. Ukuran pelayanan yang disampaikan oleh Mohamad Mahsun dan akan digunakan oleh Kompolnas adalah sebagai berikut :

10

Ukuran Pelayanan y Kepuasan pelanggan (masyarakat sebagai direct users) atas kualitas layanan atau produk yang disediakan. y Penilaian pihak ketiga (misalnya LSM, YLKI, atau auditor independen) atas tingkat kepuasan pelanggan. y Persentase produk atau layanan yang disediakan secara tepat waktu. y Jumlah keluhan atau komplain pelanggan (masyarakat sebagai direct users) setiap periode tertentu misalnya hari, minggu atau bulan. y Kemampuan untuk memenuhi produk atau layanan yang dibutuhkan pelanggan (masyarakat) Untuk pengukuran kinerja Polri yang dipakai adalah indikator layanan, samasekali tidak ada indikator produk dalam pelayanan Polri.

6. PERANAN KOMPOLNAS DALAM MENGEMBANGKAN CITRA KEPOLISIAN NEGARA RI Wewenang Kompolnas adalah mengumpulkan dan menganalisis data sebagai bahan pemberian saran kepada Presiden yang berkaitan dengan anggaran Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengembangan sumber daya manusia Polri, dan pengembangan sarana dan prasarana Polri; memberikan saran dan pertimbangan lain kepada Presiden dalam upaya mewujudkan Polri yang profesional dan mandiri.

Untuk pemberian saran kepada Presiden terkait dengan anggaran Kepolisian Negara RI hal itu tergantung pada perencanaan strategis Kepolisian ke depan termasuk didalamnya pada rencana pengembangan sarana dan prasarana yang diperlukan Polri untuk mendukung profesionalisme kerjanya. Sedangkan untuk pengembangan sumber daya manusia Pori perlu dirumuskan kembali dengan merujuk pada kompetensi yang dibutuhkan agar seorang Polisi bisa menjalankan tugasnya dengan maksimal. Untuk itu perlu dimengerti asal mula munculnya istilah Kompetensi. KOMPETENSI Sejarah kompetensi dimulai tahun 1973 ketika David Mc CLelland menulis tentang praktik2

rekruitment untuk jabatan2 civil service bahwa ada ketidak cocokan penggunaan tes2 psikologi dan intelligensia terstandardisasi. Ia mempertanyakan bagi calon polisi untuk menunjuk dengan tepat

11

definisi kata lexicon. Benarkah analogi untuk kata tertentu akan menentukan seberapa cocok seorang pelamar bekerja sebagai pemadam kebakaran.

Pada tahun yang sama Mc Clelland bersama rekannya mendirikan perusahaan. Mc Ber mengawali pendekatan kompetensi ini dengan mengidentifikasi karakteristik2 personal yang menghasilkan kinerja efektif/ superior dengan suatu job. Prakarsa ini dari AMA organisasi manajemen terbesar US yang anggotanya mendekati 90.000 menugaskan Mc Ber untuk menemukan apa yang membuat manajer kompeten dan mendisain sebuah program bagi para manajer untuk mempelajari kompetensi. Seluruh proses ini didokumentasikan oleh Boyatzis presiden Mc.Ber menjadi buku THE COMPETENT MANAGER ( 1982 ) yg memicu popularitas istilah kompetensi dari sample 2000 manajer untuk 41 jenis job. Ukuran-ukuran kinerja tersebut tidak mutlak sama antara organisasi sektor publik. Penggunaan ukuran-ukuran kinerja tersebut sangat tergantung pada karakteristik organisasi dan jenis pendekan pengukuran kinerja yang digunakan. ( Prihadi, 2004 : 82)

Jadi diperlukan penataan ulang terkait dengan kompetensi yang dibutuhkan Polri. Penataan meliputi kriteria yang dibutuhkan untuk menjadi anggota polri dengan kriteria tertentu. Kemudian disusun jenjang karirnya meliputi pendidikan, pelatihan, ketrampilan, pengalaman yang diperlukan kelak untuk pengembangan karir personal polisi terkait.

MENYUSUN KEBIJAKAN UNTUK MASA DEPAN KEPOLISIAN RI Terkait dengan permasalahan diatas, dengan mempertimbangkan opini masyarakat saat ini tentang Polri dan juga mempertimbangkan kerawanan akan terjadinya konflik lingkup lokal dan juga konflik lingkup global perlu disusun suatu kebijakan untuk Kepolisian Negara RI yang komprehensif. Untuk membuat kebijakan ke depan perlu menginventarisasi permasalahan secara komprehensif sesuai diagram proses berikut. Mungkin model yang diberikan oleh Suarto (2005) bisa dijadikan pegangan sementara.

12

(1)
Mendefinisikan masalah

(2)
Mengumpulkan bukti tentang masalahmasalah

kebijakan

(6)
Menyeleksi alternatif kebijakan terbaik

(3)
Mengkaji penyebab masalah

(5)
Mengembangkan alternatif kebijakan

(4)
Mengevaluasi Kebijakan yang ada

Sumber : Edi Suharto, Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial, Bandung: Alfabeta.

Ada pepatah lancar kaji karena diulang. Sepandai-pandainya orang menjelaskan rasa panas terkena api, akan lebih meresap rasa panas api jika kita terkena bakar langsung. Demikianlah juga soal kebijakan yang akan dibuat untuk Kepolisian Negara RI, Kompolnas tidak bisa menjelaskan secara rinci tentang situasi dan kondisi internal Institusi Kepolisian Negara RI tanpa masukan dari internal Kepolisian Negara RI sendiri sebagai institusi terkait. Pihak internal Kepolisian lebih tahu secara lebih mendalam berkenaan dengan lingkungan institusinya, namun Kompolnas sebagai pihak luar organisasi Kepolisian bisa memberikan pemikiran yang lebih leluasa. Oleh karena itu saya kutip kebijakan yang menarik dari Chryshnanda (2011 : 25) sebagai anggota Kepolisian Negara RI. Menurut Chryshnanda kebijakan adalah sebagai political will yang diambil oleh pimpinan baik ( pimpinan pemerintah, pimpinan Polri) haruslah meliputi beberapa hal antara lain : 1. Memperbaiki kesalahan dan kekurangan masa lalu. 2. Memperbaiki dan meningkatkan kinerja yang sedang dilakukan. 3. Menyiapkan landasan bagi pemolisian di masa yang akan datang. 4. Meyakinkan publik dan pemangku kepentingan lainya dalam rangka mendapatkan legitimasi dan dukungan serta kepercayaan masyarakat. 5. Membangun jejaring dan kemitraan dengan para pemangku kepentingan dalam suatu sistem yang tepadu dan berkesinambungan guna terciptanya keteraturan sosial dan terbangunnya kepekaan dan kepedulian sosial dalam rangka mewujudkan dan terpeliharanya Kamtibmas. 6. Mengembangkan kreativitas dan inovasi dalam penyelenggaraan pemosisian agar masyarakat benar-benar merasa terlindungi, terayomi, dan terlayani dengan baik (cepat, tepat, akurat, akuntabel, dan informatif) 7. Meningkatkan kinerja dengan mengedepankan tindakan-tindakan pencegahan dan senantiasa berupaya mengurangi rasa ketakutan warga masyarakat akan adanya gangguan Kamtibmas.

13

8. Menjamin keamanan wilayah dan rasa aman warga yang dilayaninya sehingga aktifitas dan produktifitas masyarakat tidak terganggu, terhambat, terusik, atau termatikan oleh berbagai hal yang kontraproduktif. 9. Membangun sistem komunikasi, koordinasi, komando dan kendali, dan informasi yang dipusatkan baik dalam call and command centre, TMC ( traffic management centre) dan sebagainya. 10. Melakukan analisa dan evaluasi untuk perbaikan dan peningkatan kualitas kinerja serta pertanggung jawaban kepada publik.

Kalau berbicara soal kebijakan maka hal ini terkait erat dengan kepemimpinan Polri. Kebijakan tidak bisa dibuat dan diputuskan ditingkat bawah. Harus ditingkat pimpinan dan sebagai bahan masukan memang dari bawahan. Bawahan yang lebih mengetahui situasi dan kondisi lapangan. Jika melihat permasalahan pada awal paper ini maka terlihat perlunya kajian yang mendalam terkait dengan Polri untuk merubah mind set (internal) dan merubah imej/ opini masyarakat terhadap Kepolisian Negara RI. Tujuan kebijakan yang disebutkan diatas menurut Chryshnanda (2011 : 401) adalah untuk : 1. Menjunjung tinggi supremasi hukum. 2. Memberikan jaminan dan perlindungan HAM 3. Transparan; 4. Akuntabel; 5. Berorientasi pada peningkatan kualitas hidup masyarakat; 6. Adanya pembatasan dan pengawasan kewenangan kepolisian.

Demikian garis besar yang bisa penulis sampaikan sebagai Calon Anggota Kompolnas terkait dengan Kepolisan Negara RI, situasi saat ini, perbaikan dan peningkatan citra, dan kebijakan yang diperlukan untuk peningkatan citra Kepolisian di mata masyarakat.

8. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan


1. Pelayanan yang tidak efektif mempunyai dampak pada citra institusi. 2. Petugas-petugas kepolisian yang tidak profesional menciptakan citra institusi Kepolisian

menjadi buruk.
3. Citra yang melekat di suatu institusi tidak tercipta dalam sekejap mata. Hanya kejadian yang

Serupa dalam Frequensi tinggi (sering/ selalu terjadi) yang membentuk citra negatif ataupun positif.

14

4. Terjadinya degradasi rasa hormat dan perasaan segan masyarakat kepada Kepolisian

sebagai suatu institusi dan juga pada personal anggota. Dari mulai di segani, menjadi tidak dihormati, dan apa yang terjadi saat ini adalah perlawanan masyarakat kepada Polri sebagai suatu institusi dan juga perorangan.
5. Bahaya konflik bisa dari lingkup nasional maupun dari lingkup global. 6. Fungsi Kompolnas adalah melaksanakan fungsi pengawasan fungsional terhadap kinerja

Polri untuk menjamin profesionalisme dan kemandirian Polri.


7. Secara strategis kompolnas mempunyai posisi strategis dalam menangani Saran dan

Keluhan masyarakat.
8. Untuk melihat kinerja Kepolisian Negara RI bisa menggunakan pengukuran Kinerja

Pelayanan.
9. Perlu disusun ulang kompetensi anggota Polri di semua tingkatan. 10. Disisi lain peranan kompolnas adalah membantu Pimpinan Polri menyusun kebijakan di masa

depan.
11. Untuk itu dirasakan perlunya kajian yang mendalam terkait dengan Polri untuk merubah mind

set (internal) dan merubah imej/ opini masyarakat terhadap Kepolisian Negara RI. B. Saran 1. Perlunya pembenahan Kompetensi di Institusi Kepolisian Negara RI yang disesuaikan dengan kebutuhan untuk melayani masyarakat Indonesia saat ini. Masyarakat saat ini mengalami perubahan yang menyebabkannya berbeda dengan dekade-dekade sebelumnya sehingga tuntuttan yang diajukan masyarakat juga berbeda sehingga tidak bisa dihadapi dengan caracara yang lama. 2. Perlu disusun kebijakan yang mengadopsi kondisi lingkungan yang berubah yang bisa membangun Citra Baru Kepolisian Negara RI yang jauh lebih cemerlang saat ini sehingga Kepolisan Negara RI bisa tetap menjaga dan meningkatkan Citranya.

3.

Pemberdayaan Kompolas tidak sebatas sebagai pengawas Kinerja tetapi bisa juga menjadi penengah antara Kepolisan Negara RI dengan stake holdernya (terutama masyarakat), dan bisa juga sebagai pendamping atau konsultan bagi penyusunan kebijakan ataupun menyelesaikan permasalahan internal Kepolisian Negara RI.

15

DAFTAR PUSTAKA Anthony, Rn.N and RE Herzlinger (180), Mnagement Control in Nonprofit Organization, Richard D. Irwin, homewood, III Mahsun, Mohamad, SE, M, Si, AK - Pengukuran Kinerja sektor Publik, BPFE Yogyakarta, Februari 2009. Nugroho, Riant D Analisis Kebijakan, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta 2007 Nitibaskara, Tb Ronny Rahman Analisis Politik Kekerasan terhadap Polisi, Blog Selasa, 7 Juni 2011 [02:42] Parsons, Wayne - Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan, Kencana Prenada Media Group, February 2011. Prihadi, Syaiful F Assessment Centre, Identifikasi, Pengukuran dan Pengembangan Kompetensi, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004 Suharto, Edi Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkauyi Masalah dan Kebijakan Sosial, Bandung: Alfabeta.

Jakarta 14 Desember 2011

16

You might also like