You are on page 1of 27

ISLAM DAN

UNIVERSUM-SIMBOLIK URANG BANJAR


Oleh: Irfan Noor∗

Abstract:

One of significant role of religion in society is to provide instruments


of legitimation for involvement of man in society. Without this
legitimation, man always will be "marginalized" from his involvement
in society as social creature. This is what every religion wants to show
in every social and historical strata and what Islam has done with
Banjarese society. The choice of religion as basic identity of Banjarese
society is an effort to legitimate their social existence as ethnic-group
among the others.

Persoalan interaksi Islam dengan budaya, termasuk budaya Banjar, pada intinya
melibatkan suatu “pertarungan” atau setidaknya “ketegangan” antara doktrin agama yang
dipercaya bersifat absolut karena berasal dari Tuhan, dengan nilai-nilai budaya, tradisi, adat
istiadat yang merupakan produk manusia, sehingga selalu tidak selaras dengan ajaran-ajaran
Ilahiyah. Hal ini bisa terjadi lantaran ketika agama memberikan manusia sejumlah konsepsi
mengenai konstruksi realitas yang didasarkan bukan pada pengalaman empiris kemanusiaan
melainkan dari otoritas ketuhanan, maka pada saat yang bersamaan konstruksi realitas
transenden itu bagi manusia bukan satu-satunya paradigma yang membentuk atau
mempengaruhi manusia. Manusia, melalui kemampuan nalar yang menghasilkan pengetahuan
atau bahkan dari pengalaman empirisnya, membangun konstruksi realitasnya sendiri, yang
mungkin berbeda (vis-a-vis
(vis-a-vis)) dengan agama.


Irfan Noor adalah dosen fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Banjarmasin. Alumnus program
studi Ilmu Filsafat Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Jogjakarta ini juga aktif sebagai staf peneliti di
Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK-3) Banjarmasin.

1
Konstruksi realitas yang bersifat kemanusiaan inilah yang kemudian dikenal sebagai
tradisi, adat atau secara umum disebut “budaya” kemanusiaan. Tradisi atau adat ini, tentu saja,
dapat dipengaruhi oleh konstruksi realitas transenden tadi melalui interaksi tertentu. Namun
demikian, ketegangan tercipta ketika kedua bentuk konstruksi realitas itu “bersikukuh”
mempertahankan eksistensi masing-masing. Sebaliknya, ketegangan itu “menyusut” ketika
salah satu pihak memberikan akomodasi kepada pihak lainnya. Dilihat dari segi ini, maka
ketegangan yang terjadi di dalam interaksi Islam dengan budaya boleh jadi bersifat perennial,
terus berkelanjutan. Bahkan, “pertarungan” atau setidaknya “ketegangan” antara agama dengan
budaya telah menjadi gejala universal semua masyarakat yang secara sengaja membangun
sistem religinya lewat akomodasi terhadap produk sistem kepercayaan yang ada di luar proses
internal kebudayaan setempat.
Membaca kerangka pikir demikian, tentunya, sangat menarik jika refleksi ini diturunkan
untuk membaca interaksi dan akomodasi Islam dengan kebudayaan dalam masyarakat Banjar.
Menarik lantaran Islam, yang menjadi sumber “pertarungan” atau “ketegangan” tersebut,
diasumsikan oleh banyak pakar, telah menjadi ciri masyarakat Banjar sejak berabad-abad
silam.1 Menariknya lagi, akomodasi masyarakat Banjar yang begitu rupa terhadap Islam tidak
justru menyurutkan adanya dinamika “pertarungan” atau “ketegangan” antara keduanya.
Mengapa demikian ? Tentunya, penelisikan atas masalah ini akan menjadi penting sebagai suatu
usaha untuk memahami kembali bagaimana interaksi dan akomodasi Islam dengan budaya
secara lebih spesifik dalam konteks masyarakat Banjar.

Manusia dan Masyarakat


Berbicara tentang interaksi dan akomodasi agama dengan budaya dalam sebuah
masyarakat yang dikaitkan dengan titik-tolak identifikasi sosialnya, pada dasarnya, berbicara
tentang apa yang menjadi dasar-pijak masyarakat itu dalam mempertahankan kelangsungan dan
kohesivitas eksistensinya di tengah-tengah entitas komunitas lainnya. Oleh karena itu, jika
memang penelisikan ini ditujukan untuk mengungkap problem dasar pijak suatu masyarakat
dalam rangka memperjelas pola interaksi dan akomodasi agama dan budaya, maka
sesungguhnya penelisikan ini, mau tidak mau, akan bersinggungan dengan persoalan hakikat

1
Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar; Diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, (Jakarta:
Rajawali Press, 1997), hlm. 504.

2
masyarakat itu sendiri. Mengapa penelisikan ini harus bermuara demikian ? Jawabannya tidak
lain, sebagaimana yang diungkapkan oleh Peter L. Berger,2 menyangkut hakikat masyarakat itu
yang bersifat konstruktif (socially constructed). Hal ini karena masyarakat bukanlah sesuatu yang
hadir secara alamiah dan tumbuh dari suatu esensinya yang ontologis, namun merupakan
buatan, konstruksi, dan dan produk manusia sendiri, yang hanya ada sebagai produk aktivitas
manusia.3 Dengan kata lain, masyarakat ada lantaran untuk memenuhi kebutuhan dasar
manusia itu sendiri yang diciptakan dalam keadaan yang “belum selesai”. Oleh karena itulah,
masyarakat tidak merupakan bagian dari “kodrat alam”, dan tidak dijabarkan dari “hukum-
hukum alam”. Dalam konteks inilah, Berger lalu menandaskan suatu karakter dari masyarakat
manusia yang menjadi inti dari realitas dunia sosial manusia, sebagai berikut:
Masyarakat terdiri dan diselenggarakan oleh manusia yang melakukan aktivitas. Pola-
polanya selalu berhubungan dengan ruang dan waktu, tidak tersedia di alam, tidak juga
bisa disimpulkan secara apa pun dari “hakikat manusia”.4

Oleh karena masyarakat itu pada hakikatnya bersifat konstruktif, maka tidak aneh
kemudian jika diasumsikan bahwa kebudayaan yang terstruktur dalam masyarakat juga tidak
pernah memiliki stabilitas yang kokoh sebagaimana dunia alamiah. Watak inheren dari dunia
sosial adalah perubahan. Asumsi ini tampak sekali dari penjelasan Berger sebagai berikut:
“Kebudayaan ... tetap merupakan sesuatu yang sangat berbeda dari alam justru karena
merupakan hasil dari aktivitas manusia sendiri ... Karena itu strukturnya secara inheren
adalah rawan dan ditakdirkan untuk berubah ...”.5

Jika problem watak masyarakat yang bersifat konstruktif (socially constructed) ini ditelaah
lebih jauh secara filosofis berdasar teori Universum Simbolik yang dibangun Peter L. Berger,
maka titik-tolak problem ini tidak lain ada pada hakikat manusia itu sendiri. Mengapa titik-
tolaknya ada di sana ? Jawabnya, menurut Berger, karena hakikat manusia itu sendiri tidaklah
dibentuk dari suatu substratum yang mendasari kodratnya, namun diandaikan atas eksistensi
2
Penulis mengucapkan ribuan terima kasih kepada Prof. Dr. M. Amin Abdullah dan Prof. Dr.
Michel Sastrapratedja, SJ., yang semasa penulisan tugas akhir untuk memperoleh gelar magister di
bidang Ilmu Filsafat, penulis mendapatkan bimbingan yang tak ternilai harganya dalam memahami
keseluruhan struktur pemikiran Peter L. Berger.
3
Peter L. Berger & Thomas Luckmann, Peter L. Berger & Thomas Luckmann, The Social
Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge, (New York: Anchor Books, 1967), hlm. 52.
4
Peter L. Berger, The Sacred Canopy: Element of a Sociological Theory of Religion, (New York: Anchor
Books, 1969), hlm. 7.
5
Peter L. Berger, The Sacred Canopy …, hlm. 6.

3
yang sadar akan dunia. Secara fenomenologis, eksistensi yang dikonsepsikan oleh Berger di sini,
tentunya, mengandung arti ontologis, yakni suatu “keterlibatan” di-dalam-dunia. Hanya melalui
“keterlibatan” di-dalam-dunia inilah kehadiran manusia dapat bermakna “menjadi manusia”.6
Artinya, manusia dalam konteks tersebut secara terus menerus harus melakukan suatu proses
eksternalisasi diri, yang tidak lain merupakan proses bereksistensi secara sosial. Oleh karena
itulah, kedirian manusia tidaklah bermakna “Aku” yang terisolasi, tetapi Aku yang selalu
melibati dunia.
Berger merumuskan ungkapan ini sebagai berikut:
... tidak ada kodrat (nature) insani dalam arti suatu substratum yang telah ditetapkan
secara biologis dan yang menentukan keanekaragaman bentukan-bentukan sosio-
kultural. Yang ada hanyalah kodrat insani dalam arti konstanta-konstanta
antropologis ... yang membatasi dan memungkinkan bentukan-bentukan sosio-kultural
manusia. Tetapi bentuknya yang khusus dari keinsanian itu ditentukan oleh bentukan-
bentukan sosio-kultural itu dan berkaitan dengan variasi-variasinya yang sangat banyak
itu. Sementara bisa saja dikatakan bahwa manusia mempunyai kodrat, adalah lebih
berarti untuk mengatakan bahwa manusia mengkonstruksi kodratnya sendiri; atau lebih
sederhana lagi, bahwa manusia menghasilkan dirinya sendiri.7

Dalam konteks inilah, pertama-tama, bisa dipahami bahwa “keterlibatan” di-dalam-


dunia bagi manusia merupakan keharusan antropologis. Keberadaan manusia tidak mungkin
berlangsung dalam suatu lingkungan interioritas yang tertutup dan tanpa gerak. Keberadaan
manusia harus terus-menerus mengeksternalisasikan diri dalam aktivitas.8
Asumsi ini, tentunya, jika dilihat melalui perspektif Heidegger menunjukkan ciri hakiki
dari manusia yang paling umum, yakni “ada-di-dalam-dunia”. “Ada-di-dalam”, dalam
perspektif eksistensialisme, menunjukkan bahwa kedirian manusia sangat ditentukan oleh
bentuk keterlibatannya dengan dunia. Tidak ada cara berada manusia yang dapat digambarkan
tanpa keterlibatannya dengan dunia.9 Heidegger menyatakan hal ini sebagai berikut:
“Dunia Dasein (manusia) adalah suatu dunia-bersama (mitwelt). ‘Ada-di-dalam’ adalah
Ada-bersama yang lain. Dengan demikian, ada-dalam-diri-mereka-sendiri dalam dunia
adalah Dasein-bersama (mit Dasein)”.10
6
William A. Luijpen, William A. Luijpen, O.S.A., Existential Phenomenology, translt. by Albert
Dondeyne, (New York: Duquesne Univ. Press, 1960), hlm. 19.
7
Peter L. Berger & Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality…, hlm. 49.
8
Peter L. Berger, The Sacred Canopy…, hlm. 70.
9
Martin Heidegger, Being and Time, translt. by John Macquarrie & Edward Robinson, (San
Fransisco: Harper, 1962), hlm. 365.
10
Martin Heidegger, Being and Time…, hlm. 155.

4
“Ada-di-dalam-dunia” di sini, tentunya, bagi manusia bukan merupakan “ada-yang-
pasif”, namun justru merupakan “ada-yang-aktif”. Oleh karena itu, sudah barang tentu,
keaktivan ini merupakan sumber semua aktivitas manusia yang “ada-di-dalam-dunia”. Jika
memang masyarakat dan kebudayaan diasumsikan sebagai hasil aktivitas manusia, maka sudah
barang tentu juga “ada-manusia-di-dalam-dunia” merupakan titik-tolak yang paling
fundamental bagi suatu keberadaan masyarakat dan kebudayaan.
Namun demikian, walaupun masyarakat dan kebudayaan merupakan konstruksi
manusia itu sendiri, namun kehadiran masyarakat dan kebudayaan mempunyai potensi untuk
menghasilkan berbagai konstruksi objektif yang independen, yang eksistensinya tidak bisa
dinafikan atau diabaikan begitu saja. Bahkan, ada kecenderungan untuk mempengaruhi balik
pola dan corak tindakan individu manusia. Hal ini karena aktivitas manusia yang telah menjadi
realitas objektif ini mampu mengkondisikan manusia, baik secara individu maupun sosial,
untuk menyesuaikan diri dengan produknya. Masalah ini dapat terjadi karena bentang historis
manusia individual, pada dasarnya, lebih pendek jika dibandingkan dengan bentang historis
masyarakat yang telah ada dengan berbagai tingkat keluasan unit yang berbeda.11 Ini artinya,
dunia adalah sekitarku yang tidak berada di sana begitu saja, tetapi dipengaruhi dan
mempengaruhi aku.12
Kondisi ini bisa diilustrasikan melalui ungkapan Marx sebagai berikut:
“Manusia memang pembuat sejarahnya sendiri, tetapi mereka tidak membuatnya secara
sesukanya; mereka tidak membuat sejarah dalam lingkungan yang mereka pilih sendiri,
tetapi dalam lingkungan yang secara langsung dihadapi dari masa lalu. Tradisi dari
semua generasi yang telah tiada menekan seperti suatu mimpi buruk dalam benak orang
yang masih hidup”.13

Oleh karena itu, masyarakat dan kebudayaan secara dialektis merupakan kenyataan
subjektif sekaligus juga kenyataan objektif. Inilah yang dimaksud dengan manusia dan
masyarakat-kebudayaan selalu mengalami proses dialektika yang terus-menerus. Di sini,
hubungan individu-manusia dengan sosialitasnya tidak bisa dipahami dalam kerangka kausalitas
11
Peter L. Berger, The Sacred Canopy…, hlm. 8.
12
Karlina Leksono-Supeli, Aku dalam Semesta: Suatu Kajian Filsafat atas Hubungan Subjek-Objek di
dalam Kosmologi, (Tesis MA), (Jakarta: Program Pascasarjana UI, 1994), hlm. 64.
13
Dikutip dari kutipan langsung Ritzer dalam George Ritzer, Classical Sociological Theory, (New
York: McGraw-Hill Int., 1996), hlm. 154.

5
linear, sebagaimana kecenderungan kuat yang muncul pada pemahaman “ilmu-ilmu positif”
terhadap realitas sosial.14 Hal ini karena kedua proses tersebut bukan merupakan hubungan
kausal linear, sehingga tidak tepat jika dinyatakan bahwa proses yang satu merupakan sebab
dan proses yang lain merupakan akibat. Dalam kerangka seperti ini, setiap momentum proses
merupakan sebab sekaligus akibat, atau akibat sekaligus sebab. Artinya, “sebab” dan “akibat” di
tingkat realitas sosial selalu bersifat saling mengandaikan.15
Sampai pada masalah ketidaklinearan hubungan “sebab” dan “akibat” antara manusia
dan dunianya (masyarakat – kebudayaan) inilah, dan ditambah lagi oleh sifat dari dunia sosial
yang memiliki watak untuk berubah, muncullah persoalan yang sangat fundamental dalam
wilayah eksistensi manusia. Persoalan tersebut adalah suatu kenyataan yang memiliki dimensi
ganda. Pertama, justru karena watak inheren manusia selalu memberi keharusan untuk
keterlibatan aktif dan watak inheren dunia sosial adalah perubahan, maka selalu terbuka
kemungkinan bagi manusia untuk menerima dan menyesuaikan diri dengan realitas objektifnya
atau menolaknya sama sekali realitas objektif yang ada dihadapannya. Penolakan berarti
kemungkinan bagi manusia untuk membentuk realitas objektif yang baru. Kedua, dengan
penolakan pula bahwa dunia sosial selalu dihadapkan pada tingkat kerawanan yang tinggi
terhadap berbagai gejala instabilitas. Artinya, tidak ada jaminan yang bisa menetapkan bahwa
tatanan sosial objektif yang sekarang ini bisa tetap bertahan dan terus-menerus menjadi
pegangan bersama masyarakat. Dengan demikian, wilayah eksistensi manusia dalam suatu
dunia sosial selalu rawan terhadap anomi dan chaos.16
Potensi anomalis ini semakin rentan lagi karena titik-tolak pengalaman manusia yang
sesungguhnya di dalam dunia sosial adalah pengalaman sehari-hari. Sementara rentang historis
yang melingkupi kehidupan sosialnya berada di luar jangkauan pengalaman sehari-hari tiap
individu yang tinggal di dalamnya. Dalam konteks inilah, manusia dalam kehidupan sosialnya

14
Lihat penjelasan yang lebih rinci pada kedua buku Peter L. Berger, Invitation to Sociology: A
Humanistic Perspective, (England: Penguin Books, 1963), dan Peter L. Berger, Sociology Reinterpreted: An
Essay on Method and Vocation, (Englanda: Penguin, 1963).
15
Finn Collin, Social Reality, (London: Routledge, 1997), hlm. 64-79. Lihat juga penjelasan yang
paling baru tentang masalah dialektika sosial ini dalam perspektif teori strukturasi yang dikembangkan
oleh Anthony Giddens dalam Anthony Giddens, The Constitution of Society; Outline of the Theory of
Structuration, (Cambridge: Polity Press, 1984), khususnya bab I & II, hlm. 1-109. Lihat juga beberapa
kajian kritis tentang masalah ini dalam David Held (ed.), Social Theory of Modern Societies, (New York:
Cambridge Univ. Press, 1989).
16
Peter L. Berger & Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality…, hlm. 70-89.

6
selalu dihadapkan dengan apa yang oleh kaum eksistensialis sebut sebagai “pengalaman
batas”.17 Berger menyebut situasi ini dengan “keberhinggaan eksistensial”, dimana manusia
dalam memasuki dunia sosial yang memiliki rentang waktu yang luas tidak mampu terlibat
secara penuh karena ia dibatasi oleh titik-tolak pengalaman sehari-harinya.18

Anomali dan Kebutuhan terhadap Legitimasi


Berbicara tentang potensi anomalis yang inheren dalam masyarakat dan kebudayaan,
mau tidak mau, akan bersinggungan dengan pembahasan tentang dasar legitimasi masyarakat
dan kebudayaan yang bersifat objektif atas individu-individu yang mendiaminya.
Legitimasi di sini berfungsi sebagai struktur dasar kemasuk-akalan (plausibility)
masyarakat dan kebudayaan yang objektif di tingkat individu-individu yang mendiaminya.19
Masalah ini sering mempengaruhi setiap proses penerimaan atau penyerapan yang terus-
menerus realitas objektif dalam struktur kesadaran subjektif individu-manusia dalam tahap
internalisasi-nya, sehingga mengganggu kesesuaian pengetahuan individu dengan cadangan
pengetahuan yang ada pada masyarakat. Jika ini terjadi, maka muncul suatu a-simetri antara
masyarakat dan individu yang menghuninya.
Dalam konteks ketidak-simetrian inilah, sesungguhnya, gejala-gejala anomali dan chaos
menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindarkan. Artinya, manusia, dalam situasi tersebut, berada
dalam kondisi yang selalu dihadapkan dengan proses marjinalisasi situasi-situasi kehidupan,
yakni keluar dari batas-batas tatanan yang telah ditentukan. Dalam situasi ini, terjadi semacam
diskontinuitas hubungan manusia dengan asumsi-asumsi dasar yang melandasari tatanan
masyarakat yang dihuninya. Pada situasi inilah, manusia sering diganggu penerimaannya yang
begitu saja terhadap karakteristik kenyataan hidup sehari-hari sebagai “yang tertib dan tertata”.
Oleh karena itulah, untuk bertahan dalam situasi demikian, manusia sudah sepatutnya
memerlukan legitimasi atas tatanan sosial objektif yang di diaminya.
Legitimasi di sini menyangkut “prosedur” yang mampu membangun struktur kemasuk-
akalan (plausibility structure) dunia sosial objektif di hadapan individu-individu yang
mendiaminya, sehingga mampu memberikan padanya kelangsungan yang terus-menerus.
17
Alfred Schutz, On Phenomenology and Social Relation, Edited and with Introduction by Helmut
R. Wagner, (Chicago: The Univ. of Chicago Press, 1970), hlm. 252-254.
18
Peter L. Berger & Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality…, hlm. 21-23.
19
Peter L. Berger & Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality…, hlm. 92.

7
Begitu pentinganya prosedur seperti ini lantaran masyarakat dan kebudayaan itu sendiri
merupakan kenyataan historis, yang sampai pada generasi baru sebagai tradisi, sementara
bentang historis manusia-individual lebih pendek dibandingkan dengan bentang historis dunia
sosial dengan berbagai tingkat keluasan unit yang berbeda. Dengan demikian, legitimasi
merupakan prosedur untuk tetap “berorientasi realitas (tetap berada dalam realitas yang
didefinisikan secara resmi) dan “kembali ke realitas (kembali dari situasi marjinal ke nomos
yang ditetapkan).20 Prosedur ini dijalankan untuk memberikan kesahihan kognitif kepada
tatanan yang sudah diobjektifikan.21
Sampai pada level bahasan di atas, ada berbagai bentuk dan tingkatan legitimasi, dari
yang paling sederhana sampai yang paling lengkap, yang diperlukan oleh suatu tatanan sosial.
Di antara berbagai bentuk dan tingkatan legitimasi tersebut, adalah legitimasi dalam bentuk
“universum-simbolik” yang terbukti sepanjang sejarah sangat penting dalam sejarah
masyarakat-manusia. Dianggap sangat penting karena luasnya kemampuannya dalam
mengintegrasikan berbagai bidang makna dan tatanan kelembagaan untuk diabsahkan secara
kognitif dalam suatu totalitas simbolis.22 Atas dasar kemampuan dari bentuk legitimasi inilah, ia
mampu menentukan batas-batas kenyataan sosial,23 sehingga secara lebih jauh mampu
bertindak sebagai pedoman kognitif sosial individu dalam masyarakat.24
Sementara di antara sekian banyak instrumen legitimasi tingkat universum simbolik itu
sendiri adalah agama. Hal ini karena agama, secara historis, mampu menciptakan naungan
berupa tata lambang demi keterpaduan masyarakat. Tata lambang ini memuat berbagai makna,
nilai, dan kepercayaan dalam suatu masyarakat yang “disatupadukan” dalam penefsiran atas
realitas. Agama mampu menghubungkan hidup manusia dengan kosmos sebagai keseluruhan.
Kemampuan tersebut didasarkan atas kemampuan dari agama dalam mentransendir
dan menintegrasikan manusia atas berbagai “batas-batas” realitas yang melingkupi wilayah
eksistensi hidupnya sehari-hari. Dengan kemampuan inilah, agama bisa menjadi dasar dari
proyeksi manusia dalam mengatasi keberhinggaan eksistensialnya (to transcend the finitude of

20
Peter L. Berger, The Sacred Canopy…, hlm. 24.
21
Peter L. Berger, The Social Construction of Reality…, hlm. 93.
22
Peter L. Berger, The Social Construction of Reality…, hlm. 137.
23
Peter L. Berger, The Social Construction of Reality…, hlm. 146.
24
Peter L. Berger, The Sacred Canopy…, hlm. 21-22.

8
individual existence). Keberhinggaan eksistensial di sini adalah “situasi batas”, yang oleh Schutz
disebut sebagai “daerah-daerah makna yang terbatas” (the finite provinces of meaning).25
Dengan kemampuan ini, konstruksi-konstruksi historis dari aktivitas manusia dengan
sendirinya dapat dibimbing oleh agama untuk dilihat dari suatu titik yang tertinggi, yang meng-
atas-i (transcend) sejarah maupun manusia.26 Agama, melalui titik tertinggi tersebut,
menempatkan semua pengalaman-pengalaman individu dan berbagai tatanan sosialnya dalam
konteks suatu sejarah yang meng-atas-i mereka semua.27 Hal ini bisa dilakukan karena agama
mampu memberikan realitas-realitas itu suatu status kognitif yang lebih tinggi, yang secara total
mampu memberi dasar dalam meng-atas-i semua dimensi yang hanya manusiawi.28 Oleh karena
itu, jelaslah sampai pada konteks ini, bahwa apa yang dimaksud dengan tujuan fundamental
dari legitimasi agama adalah transformasi produk manusia menjadi faktisitas supramanusiawi
dan nonmanusiawi.29 Hal ini, tentunya, agar kehadiran dunia sosial bagi individu menjadi
kewajaran yang semestinya.30

Agama dan Transendensi Realitas Sosial


Berbicara tentang dimensi transendentalitas agama, secara tidak langsung, berbicara
tentang persoalan yang sangat fundamental bagi setiap proses eksistensi sosial manusia, yakni
kebutuhan akan transendensi itu sendiri. Kebutuhan akan transendensi ini tidak lain,
sebagaimana yang dijelaskan di atas, merupakan ungkapan atas “pengalaman batas” yang selalu
melingkupi setiap proses eksistensi sosial manusia. Adapun transendensi yang dilakukan oleh
manusia itu sendiri tidak bisa bersifat total tanpa disandarkan pada “Yang Mutlak Lain” yang
bersifar kudus sebagai tujuannya yang paling purna. Dalam hal inilah, agama menjadi sangat
penting karena suasana keagamaan mampu menciptakan situasi yang bersifat demikian.31
Dalam konteks ini, Van der Leeuw, menggambarkan fungsi sosial agama sebagai:
Perluasan kehidupan sampai batas-batas yang paling jauh. Manusia religius ingin suatu
kehidupan yang lebih kaya, lebih dalam dan lebih luas; ia menginginkan kuasa untuk
25
Alfred Schutz, On Phenomenology and Social Relation…, hlm. 253.
26
Peter L. Berger, The Sacred Canopy…, hlm. 33.
27
Peter L. Berger, The Sacred Canopy…, hlm. 40.
28
Peter L. Berger, The Sacred Canopy…, hlm. 43-82.
29
Peter L. Berger, The Sacred Canopy…, hlm. 89.
30
Peter L. Berger, The Sacred Canopy…, hlm. 24.
31
Norman Geisler & Corduan Winfried, Philosophy of Religion, (Michigan: Grand Rafids, 1988),
hlm.39.

9
dirinya. Dengan kata lain, manusia ingin mencari di dalam dan pada kehidupan suatu
keunggulan agar ia dapat menggunakan atau agar ia dapat memujanya”.32

Asumsi ini ditekankan karena menyangkut apa yang telah dijelaskan sebelumnya
tentang karakter kedirian manusia, yang dianggap masih selalu dalam proses “menjadi”.
Manusia, singkatnya, merupakan mahluk yang “belum selesai”. Manusia, dalam hal ini,
menerima kehidupan tidak begitu saja. Ia mencari kuasa untuk meningkatkan kehidupannya,
untuk memberi makna yang lebih luas dalam dan pada kehidupannya. 33 Pencarian manusia
akan kuasa ini tidak hanya membawanya sampai ke batas, tetapi manusia juga tahu bahwa ia
sampai ke daerah asing. Manusia sadar bahwa ada sesuatu yang me-nyambutnya, sesuatu “Yang
Mutlak Lain”.34
Dalam konteks kapasitas itulah, agama mampu memberikan apa yang disebut oleh Paul
Tillich the universal ultimate concern. Agama dengan demikian sebagaimana Eliade ungkapkan juga
merupakan solusi paradigmatik bagi setiap krisis eksistensial. Hal ini mengingat agama
dipercaya mampu membawa ke asal-usul yang transenden, sehingga memungkinkan manusia
mentransendir situasi personal dan akhirnya memperoleh akses dengan dunia lain.35
Apa yang telah menjadi asumsi tentang kapasitas transendensi agama di atas,
sesungguhnya, tidaklah bisa dilepaskan dari pola struktur pengalaman agama itu sendiri.
Artinya, sebagaimana yang diungkapkan oleh Rodolf Otto dalam bukunya The Idea of the Holy,
pengalaman agama itu memiliki kekhasan tersendiri dalam keseluruhan pengalaman manusia
karena merupakan pengalaman yang terjadi dalam “ruang bagian sebelah dalam” (inner space)
manusia. Dalam “ruang sebelah dalam” tersebut, ada suatu struktur a-priori terhadap sesuatu
yang irasional. Struktur ini persis sebagaimana struktur a priori terhadap rasionalitas manusia
sebagaimana yang dikemukakan oleh Kant dalam filsafat-nya mengenai akal-budi manusia.
Struktur tersebut, menurut Otto, terletak dalam “perasaan hati”. Salah satu struktur a
priori yang irasional yang merupakan perlengkapan jiwa manusia ini adalah “kesadaran
beragama” (sensus religiusus). Jika setiap kesadaran itu sifanya intensional, maka kesadaran
beragama pun bersifat demikian. Artinya, manusia dalam kesadaran beragama keluar dari
32
Van deer Leeuw, Religion in Essence and Manifestation, (New York: Gloucester, 1967), hlm. 112.
33
Van deer Leeuw, Religion in Essence and Manifestation …, hlm. 150.
34
Van deer Leeuw, Religion in Essence and Manifestation…, hlm. 160.
35
Mircea Eliade, The Sacred and The Profan, (New York: Harper and Row Publ., 1957), hlm.
210-211.

10
dirinya sendiri menuju “Yang Maha Lain” yang mampu menciptakan kekudusan. Kesadaran
beragama, dengan demikian, adalah kesadaran akan “Yang Kudus”. Ini artinya, kesadaran
beragama adalah bentuk kepekaan kepada “Yang Kudus”. Kesadaran beragama inilah yang
membuat manusia mengalami hal-hal yang sifatnya duniawi sebagai petunjuk dari hal-hal
“Yang Ilahi”. Pengalaman inilah yang menyediakan bahan untuk “mengisi” gagasan “Allah”,
yang menurut Kant semata-mata formal. Artinya, ia dirumuskan begitu saja, dan manusia
melalui ini secara intuitif dan afektif mampu melihat misteri “Yang Ilahi” melalui penampakan
simbol-simbol duniawi.36
Dari semua struktur pengalaman keagamaan tersebut, secara fenomenologis, cenderung
menciptakan perasaan “ketergantungan yang total”. Itulah sebabnya Schleiermacher
menggambarkan pengalaman agama sebagai “perasaan ketergantungan mutlak” (feeling of
absolute dependence).37 Perasaan ini muncul karena manusia terhadap “Yang Kudus” mengalami
suatu perasaan misterium tremendum (menakutkan) dan misterium fascinosum (mempesona).38
Perasaan yang saling bertentangan itu timbul dari sifat-sifat objek perasaan-perasaan
keagamaan manusia. Di satu pihak, objek perasaan itu dialami sebagai bersifat tak terhampiri,
dahsyat, dan luar biasa. Sesuai dengan sifat-sifat ini, manusia merasa dirinya sebagai “mahluk”,
merasa dirinya sebagai ciptaan saja. Perasaan keterciptaan (creature-consciousness) ini merupakan
pantulan subjektif dari sifat yang dimiliki oleh objek pengalaman beragama itu. Di pihak lain,
Yang Ilahi dialami sebagai suatu misteri yang menentramkan hati manusia yang gelisah. 39
Perasaan-perasaan inilah yang sesungguhnya memungkinkan agama menjadi prosedur bagi
suatu transendensi dalam “pengalaman batas”.
Agama, dengan kemampuan transendensi ini, pada akhirnya mampu memberikan basis
legitimasi bagi eksistensi sosial manusia. Pasalnya, melalui transendensi ini, terjadi semacam
transformasi produk-produk sosial yang sekedar manusiawi menjadi faktisitas supramanusiawi
dan non-manusiawi. Muaranya adalah terbentuk dasar kognitif dan ontologis bagi kestabilan
dunia sosial yang menjadi tempat tinggal manusia untuk jangka waktu yang lebih lama. Dengan
demikian, berbagai bentuk kerawanan dari anomi dan chaos dapat dihindari sebagai fakta
kestabilan dunia sosial dan proses eksistensi sosial manusia yang di dalamnya.
36
Rodolf Otto, The Idea of the Holy…, (England: Penguin Books, 1959), hlm. 143-148.
37
Rodolf Otto, The Idea of the Holy…, hlm. 9.
38
Rodolf Otto, The Idea of the Holy…, hlm. 12-13.
39
Rodolf Otto, The Idea of the Holy…, hlm. 19-24.

11
Islam dan Masyarakat Banjar
A. Islam dan Konstruksi Identitas Banjar

Jika kerangka teori di atas dijadikan kerangka pikir untuk memahami keterkaitan yang
begitu kuat antara Islam dan masyarakat Banjar sebagaimana yang selama ini diasumsikan oleh
banyak pakar, tentunya, sedikit banyak akan menjawab persoalan yang mendasar tentang
mengapa Islam itu menjadi begitu identik bagi masyarakat Banjar, dan juga mengapa
masyarakat Banjar menjadikan agama sebagai identitas simboliknya.
Atas dasar kerangka teori yang menjelaskan bahwa masyarakat dan kebudayaan itu
sifatnya konstruktif, maka begitu pula dengan masyarakat Banjar itu sendiri. Masyarakat Banjar
bukanlah suatu yang hadir begitu saja, tapi ia merupakan konstruksi historis secara sosial suatu
kelompok manusia yang menginginkan suatu komunitas tersendiri dari komunitas yang ada di
kepulauan Kalimantan ini. Artinya, masyarakat Banjar bukanlah suatu kodrat alamiah yang
dijabarkan dari “hukum-hukum alam”, tapi merupakan produk aktivitas manusia.
Hal ini bisa dilihat melalui gambaran historis masyarakat Banjar itu sendiri. Mungkin
memang benar adanya bahwa cikal-bakal nenek moyang orang-orang Banjar adalah pecahan
sukubangsa Melayu, yang sekitar lebih dari seribu tahun yang lalu, berimigrasi secara besar-
besaran ke kawasan ini dari Sumatera atau sekitarnya. Peristiwa perpindahan besar-besaran
sukubangsa Melayu ini, yang belakangan menjadi inti nenek moyang sukubangsa Banjar,
diperkirakan terjadi pada zaman Sriwijaya atau sebelumnya.40 Imigrasi besar-besaran dari
sukubangsa Melayu ini kemungkinan sekali tidak terjadi dalam satu gelombang sekaligus.
Menurut asumsi Alfani Daud, kemungkinan sekali suku Dayak Bukit yang sekarang ini
mendiami Pegunungan Meratus adalah sisa-sisa dari imigran-imigran Melayu gelombang yang
pertama yang terdesak oleh kelompok-kelompok imigran yang datang belakangan.
Diperkirakan bahwa imigran-imigran Melayu yang datang belakanganlah yang menjadi
kelompok inti terbentuknya sukubangsa Banjar.41 Dari cikal-bakal inilah nantinya yang menjadi
dasar bagi pembentukan struktur sosial dalam masyarakat Banjar.42

40
Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar; Diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, (Jakarta:
Rajawali Press, 1997), hlm.31.
41
Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar;…, hlm.25.
42
Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar…, hlm. 504-505.

12
Alfani Daud menjelaskan perihal tentang cikal-bakal masyarakat Banjar ini sebagai
berikut:
Pada abad ke-16 ... masyarakat Banjar terdiri dari kelompok-kelompok kekerabatan
ambilinial bubuhan, yang menempati wilayah pemukiman tertentu dan yang masing-
masing merupakan unit pemerintahan sendiri-sendiri yang otonom. Beberapa
pemukiman bubuhan membentuk sebuah kampung, dan salah seorang tokoh bubuhan
yang paling berpengaruh dalam kampung itu diakui sebagai penguasa dalam kampung
tersebut. Beberapa buah kampung dikoordinasi oleh seorang lurah, yaitu tokoh
bubuhan yang paling berpengaruh dalam lingkungan tersebut. Beberapa kelurahan
(tempat kedudukan seorang lurah) ditempatkan dalam koordinasi seorang lalawangan,
yang dapat disamakan dengan bupati di kerajaan-kerajaan bubuhan yang paling
terkemuka dalam wilayahnya. Puncak dari semuanya ini ialah bubuhan raja-raja, yaitu
kaum bangsawan tinggi kerabat dekat raja. Demikianlah masyarakat Banjar diatur
dalam kelompok-kelompok kerabat bubuhan secara hirarkis.43

Walaupun demikian adanya bahwa cikal-bakal masyarakat Banjar dapat dikembalikan


pada pecahan sukubangsa Melayu yang berimigrasi dari Sumatera, namun bukan berarti
penjelasan yang bersifat primordialistik di atas merupakan satu-satunya yang dapat menjelaskan
secara tepat asal-usul keberadaan etnik Banjar. Boleh jadi teori di atas hanyalah merupakan
salah satu dari beberapa teori lain yang menjelaskan bahwa etnik Banjar merupakan bentuk
pertemuan berbagai kelompok etnik yang memiliki asal-usul beragam yang dihasilkan dari
sebuah sebuah proses sosial masyarakat yang ada di daerah ini dengan titik-berangkat pada
proses Islamisasi yang dilakukan oleh Demak sebagai syarat bagi berdirinya Kesultanan Banjar
pada tanggal 24 September 1526 oleh Pangeran Samudera. 44
Proses Islamisasi yang dilakukan Demak sebagai syarat berdirinya kerajaan baru itu,
pada dasarnya, bila ditinjau dari perspektif sosio-historis politik saat itu terkait dengan dua hal
yang sangat penting. Pertama, terkait dengan situasi sengketa perebutan tahta yang terjadi di
kalangan internal elite kerajaan Hindu-Jawa yang bernama negara Daha sepeninggal Maharaja

Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar..., hlm. 541.


43

44
A. Gazali Usman, Sistem Politik dan Pemerintahan dalam Perjalanan Sejarah Masyarakat Banjar,
(Makalah pada Seminar Sistem Nilai Budaya Masyarakat Banjar dan Pembangunan yang
diselenggarakan oleh IAIN Antasari pada tanggal 28-30 Januari 1985 di Banjarmasin), hlm. 11 . Lihat
juga beberapa penjelasan yang lebih detail pada A. Hafiz Anshary AZ., Islam di Selatan Borneo Sebelum
Kerajaan Banjar, [Orasi Ilmiah yang disampaikan dalam rangka pembukaan kuliah semester ganjil tahun
2002/2003 IAIN Antasari, Senin 2 September 2002], (Banjarmasin: IAIN Antasari, 2002), hlm. 14-24.
Bandingkan dengan Azyumardi Azra, Jaringan Ulama; Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 251. Lihat juga Ahmad Basuni, Nur Islam Di Kalimantan
Selatan (Sejarah Masuknya Islam di Kalimantan), (Surabaya: Bina Ilmu, 1989), hlm.25-30.

13
Sukarama, yakni antara Pangeran Samudera, yang memang mendapatkan titah pemegang
kekuasaan, dengan Pangeran Tumanggung, yang tidak lain putra tertua dari Maharaja sendiri.45
Lantaran usia Pangeran Samudera saat itu masih berumur tujuh tahun, maka konflik itu
akhirnya bermuara dengan larinya sang Pangeran berusia muda itu ke wilayah perairan Sungai
Barito.46 Pelarian politik yang akhirnya berujung pada pertemuan Pengeran Samudera dengan
Patih Balit, seorang Melayu di muara sungai Kuin, sebuah kampung yang bernama Banjar,
menjadi momentum baginya untuk membangun kekuatan tandingan. Momentum itu adalah
ketika Patih Balit yang sarat dengan visi politik menyarankan sang Pangeran untuk meminta
bantuan Kerajaan Demak, kerajaan Islam di pantai utara Jawa, untuk menghancurkan kekuatan
Pangeran Tumanggung yang saat itu mengusai Kerajaan Daha.47
Adapun rekaman proses permintaan bantuan itu secara baik dinarasikan kembali dalam
suatu dialog antara Patih Balit yang menjadi utusan Pangeran Samudera dengan Sultan Demak
dalam Hikajat Banjar sebagai berikut:
Datang Patih Balit itu membawa surat Sultan Demak, maka disuruh baca oleh Mangkubumi.
Bunyinya: “Salam sembah putra andika pangeran di Banjarmasih sampai kepada Sultan Demak.
Putra andika mencatu nugraha tatulung bantu tatayang sampian, karena putra andika barabut
karajaan lawan patuha itu namanya Pangeran Tumenggung. Tiada dua-dua putra andika mancatu
nugraha tatulung Bantu tatayang sampian. Adapun lamun manang putra andika mangawula
kepada andika. Maka persembahan putra andika: intan sapuluh, pekat saribu gulung, tatudung
saribu buah, damar batu saribu kindai, jaranang sapuluh pikul, lilin sapuluh pikul. Demikianlah
bunyinya surat itu. Maka sambah Patih Balit: “Tiada dua-dua yang diharap putra andika nugraha
sampian itu”. Banyak tiada tersebut. Maka kata Sultan Demak: Mau aku itu membantu lamun
anakku Raja Banjarmasih itu masuk agama Islam. Lamun tiada masuk Islam tidak mau aku
bertulung. Patih Balit kembali dahulu berkata damikian, maka kata Patih Balit: “Hinggih”.48

Kedua, proses Islamisasi yang dilakukan Demak sebagai syarat berdirinya kerajaan baru
itu terkait erat dengan usaha Demak dalam membangun mata rantai kekuatan Islam Nusantara
sebagai pertahanan bersama Kerajaan-kerajaan Islam untuk menghabisi sisa-sisa kekuatan
Majapahit yang Hindu dan menghadapi penetrasi Portugis yang Katolik di bidang ekonomi
perdagangan dan politik di beberapa kawasan di Nusantara.

M. Suriansyah Ideham, dkk. (Tim Editor), Sejarah Banjar, (Banjarmasin: Balitbangda


45

Pemprov. Kalsel, 2003), hlm. 47.


46
J.J. Ras, Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography, ...hlm. 382.
47
J.J. Ras, Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography, ...hlm. 398.
48
J.J. Ras, Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography, ...hlm. 428.

14
Mengapa teori tentang keberadaan etnik Banjar harus dimulai dari mulai berdirinya
Kesultanan Islam Banjar ? Jawabannya tidak lain karena Banjar sebelum berdirinya Kesultanan
Islam Banjar belumlah bisa dikatakan sebagai sebuah kesatuan identitas suku atau agama,
namun lebih tepat merupakan identitas yang merujuk pada kawasan teritorial tertentu yang
menjadi tempat tinggal. Kenyataan ini terungkap dalam penjelasan Idwar Saleh sebagai berikut:
Demikian kita dapatkan keraton keempat adalah lanjutan dari kerajaan Daha dalam
bentuk kerajaan Banjar Islam dan berpadunya suku Ngaju, Maanyan dan Bukit sebagai
inti. Inilah penduduk di Banjarmasih ketika tahun 1526 didirikan. ....Di sini kita
dapatkan bukan suku Banjar, karena kesatuan etnik itu tidak ada, yang ada adalah group
atau kelompok besar yaitu kelompok Banjar Kuala, kelompok Banjar Batang Banyu
dan Banjar Pahuluan.49

Asumsi di atas diungkapkan karena dua hal penting. Pertama, pada mulanya kata
"Banjar" adalah sebutan untuk kampung yang dihuni oleh orang-orang suku Melayu yang
sekarang dikenal sebagai kampung tertentu di sekitar Kuin Cerucuk sekarang. Orang-orang
Ngaju menyebut orang-orang Melayu yang menghuni kawasan di sepanjang sungai itu sebagai
Banjar Masih yang berarti "kampung-kampung orang Melayu".50 Kedua, jika asal-usul etnik
Banjar dikembalikan sepenuhnya pada garis keturunan Melayu-Sumatera, maka penjelasannya
akan bertentangan dengan kenyataan bahwa Melayu pada saat itu, abad ke-16, merupakan
komunitas yang minoritas di tengah-tengah suku yang ada di Kalimantan Selatan. Bahkan,
kampung Banjar pada waktu itu merupakan satu-satunya kampung Melayu yang terletak di
tengah-tengah kampung Dayak Ngaju yang menggunakan bahasa Brangas,51 sehingga tidak
mungkin dapat dikatakan sebagai inti nenek moyang etnik Banjar. Fakta lain juga menunjukkan
bahwa orang-orang yang berlatar belakang etnis Banjar yang tinggal di pulau Sumatera dan
Semenanjung Malaya pada umumnya mengakui daerah Banjar sebagai daerah asal-usul nenek
moyang mereka. Etnik Banjar yang tinggal di pulau Sumatera merupakan anak, cucu, intah, piat
dari para imigran etnis Banjar yang datang dalam tiga gelombang migrasi besar. Pertama, pada
tahun 1780 terjadi migrasi besar-besaran ke pulau Sumatera. Etnis Banjar yang menjadi imigran
49
M. Idwar Saleh, Sekilas Mengenai Daerah Banjar dan Kebudayaan Sungainya Sampai Akhir
Abad-19, (Banjarmasin: Museum Negeri Lambung Mangkurat Propinsi Kalimantan Selatan, 1986), hlm.
12.
50
M. Idwar Saleh, Banjarmasih, (Banjarbaru: Museum Negeri Lambung Mangkurat Prov.
Kalimantan Selatan, 1981/1982), hlm. 16; Lihat juga A. Gazali Usman, Kerajaan Banjar: Sejarah
Perkembangan Politik, Ekonomi Perdagangan dan Agama Islam, (Banjarmasin: Lambung Mangkurat
University Press, 1995), hlm. xi.
51
M. Suriansyah Ideham, dkk. (Tim Editor), Sejarah Banjar…, hlm. 65.

15
ketika itu adalah para pendukung Pangeran Amir yang menderita kekalahan dalam perang
saudara antara sesama bangsawan Kerajaan Banjar, yakni Pangeran Tahmidullah. Mereka harus
melarikan diri dari wilayah Kerajaan Banjar karena sebagai musuh politik mereka sudah dijatuhi
hukuman mati, sehingga darah mereka sudah dihalalkan untuk ditumpahkan. Kedua, pada tahun
1862 terjadi lagi migrasi besar-besaran ke pulau Sumatera. Etnis Banjar yang menjadi
imigrannya kali ini adalah para pendukung Pangeran Antasari dalam kemelut Perang Banjar.
Mereka harus melarikan diri dari pusat pemerintahan Kerajaan Banjar di kota Martapura karena
posisi mereka sudah terdesak sedemikian rupa. Pasukan Residen Belanda yang menjadi musuh
mereka dalam Perang Banjar sudah berhasil menguasai kota-kota besar di wilayah Kerajaan
Banjar. Ketiga, pada tahun 1905 etnis Banjar kembali melakukan migrasi besar-besaran ke pulau
Sumatera. Kali ini mereka terpaksa melakukannya karena Sultan Muhammad Seman yang
menjadi Raja di Kerajaan Banjar ketika itu mati syahid di tangan pasukan militer Belanda.52
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa Islamisasi yang dilakukan oleh Demak bisa
dikatakan sebagai titik awal dalam pembentukan identitas baru tersebut. Etnis Banjar, oleh
karenanya, merupakan sebuah proses konstruksi sosio-historis dan bukannya sesuatu yang
given, apalagi suatu kodrat alamiah yang dijabarkan dari "hukum-hukum alam".

B. Islam sebagai Universum Simbolik Masyarakat Banjar


Oleh karena keberadaan masyarakat merupakan sesuatu yang bersifat konstruktif, maka
pada masyarakat awal muncul suatu usaha untuk dapat memelihara struktur ini melalui suatu
mekanisme tertentu. Mekanisme yang dibangun dalam usaha tersebut tidak lain, sebagaimana
yang diungkapkan oleh Peter L. Berger adalah membangun bentuk-bentuk perilaku sosial
tertentu, yang pada awalnya sesungguhnya hanya diberi sifat religius dan belakangan
berkembang menjadi bersifat religius. 53 Artinya, menambah muatan keagamaan pada tatanan
yang merupakan hasil dari konstruksi manusia, pada dasarnya, merupakan usaha manusia untuk
membentuk suatu kosmos sakral. Dengan kata “sakral” dimaksudkan sebagai kualitas yang

52
Tajuddin Noor Ganie, "Konstruksi Identitas Etnis Banjar di Kalimantan Selatan", dalam
Harian Radar Banjarmasin, (Kamis 9 Desember 2004), hlm. 3.
53
Peter L. Berger, The Sacred Canopy, ... hlm. 88.

16
berada di luar tatanan manusiawi, yang tujuannya sebagai mekanisme pemelihara struktur yang
dibangun secara sosial tadi.54
Dalam konteks keberadaan masyarakat Banjar awal, usaha dalam membangun bentuk-
bentuk perilaku sosial yang bersifat religius sebagai mekanisme pemelihara itu dapat ditelisik
dalam perjalanan lebih lanjut Kesultanan Banjar. Penelusuran atas sumber-sumber historis
Banjar menunjukkan bahwa dengan berdirinya Kesultanan Banjar memang tidak lantas
menjadikan Islam sebagai referensi sosial yang utama dalam perilaku-perilaku masyarakatnya.55
Adapun titik berangkat mulai berkembangnya bentuk-bentuk perilaku sosial yang bersifat
religius tersebut baru terjadi ketika Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang kembali dari
Mekkah56 pada tahun 1772 di masa pemerintahan Sultan Tamjidillah I, melakukan proses
intensifikasi peningkatan pengetahuan keislaman pada masyarakat Banjar saat itu, 57 dan proses
ini kemudian menemukan bentuk formalnya pada tahun 1835, atau sekitar lima puluh tahun
sesudah Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari meninggal dunia, ketika dikukuhkannya secara
formal Undang-Undang Sultan Adam yang diberlakukan kepada seluruh rakyat Kesultanan
Banjar sebagai dasar orientasi sosial beragama masyarakat Banjar.58
Oleh karena itulah, baru setelah dikukuhkannya Undang-Undang Sultan Adam inilah
baru bisa dikatakan merupakan titik berangkat terjadinya proses peneguhan kontruksi identitas
masyarakat Banjar sebagai dasar ikatan bersama masyarakatnya. Dengan adanya Undang-
Undang ini, maka terbentuklah mekanisme pemelihara identitas bagi masyarakat Banjar sebagai
wujud dari usaha peneguhan secara utuh konstruksi sosial yang telah dibangunnya.
Sebagai wujud dari peneguhan dan mekanisme pemelihara konstruksi identitas
masyarakat Banjar, maka sudah tentu Undang-Undang Sultan Adam pada level perjalanan
54
Peter L. Berger, The Sacred Canopy, ... , hlm. 25.
55
J.J. Ras, Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography, ...hlm. 430.
56
Lihat A. Hafiz Anshari, “Peran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari di dalam Pengembangan
Islam di Kalimantan Selatan”, dalam Majalah Ilmiah Keagamaan dan Kemasyarakatan Khazanah, Vol. I,
No. 1, Januari-Februari 2002 (Banjarmasin: IAIN Antasari), hlm. 19.
57
Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar …, hlm. 54.
58
Lihat naskah Kitab Undang-Undang Sultan Adam 1825, disalin ulang oleh Artum Artha dan
dicetak oleh penerbit Murya Artha di Banjarmasin tahun 1988. Undang-Undang ini ditetapkan pada jam
09.00 pagi hari Kamis tanggal 15 Muharram 1251 H oleh Sultan Adam. Dalam Undang-Undang itu
diatur secara pokok mengenai keyakinan dan ibadah, masalah kehidupan bermasyarakat, seperti
penggunaan tanah, masalah suami-istri, dakwah, keadilan, sampai pada tugas-tugas pejabat Kerajaan.
Sebagai contoh dari isi Undang-Undang tersebut, Pasal Pertama, misalnya, menyebutkan seluruh rakyat
wajib menganut I'tikad Ahlu Sunah wal Jama'ah dan dalam pasal kedua disebutkan keharusan membuat
langgar (mushalla) di tiap kampung.

17
konstruksi identitas ini berperan sekali dalam membangun oposisi binner yang tak dapat
terhindarkan atas kelompok-kelompok masyarakat lainnya yang ada di daerah ini. Asumsi bisa
dikemukan dengan melihat salah-satu pasal dari Undang-Undang tersebut:
"Adapoen parkara jang partama akoe soeroehkan sakalian ra'jatkoe laki-laki dan bini-bini
baratikat dalal al soenat waldjoemaah dan djangan ada saseorang baratikat dengan atikat ahal
a'bidaah maka siapa-siapa jang tadangar orang jang baratikat lain daripada atikat soenat
waldjoemaah koesoeroehkan hakim itoe manoebatkan dan mangdjari taikat yang batoel lamoen
anggan inja daripada toebat bapadah hakim itu kajah diakoe."59

Tampak sekali di situ formalisasi agama merupakan salah satu tujuan dari diterapkannya
Undang-Undang ini. Tentunya, pada satu sisi, proses peneguhan ini sangatlah diperlukan dalam
suatu masyarakat yang ingin memapankan diri sebagai satu kesatuan etnik dari kelompok
masyarakat lainnya yang ada di sekitarnya. Sementara pada sisi yang bersamaan, peneguhan ini
juga merupakan suatu yang merefleksikan simbolisasi kesatuan sosial tempat individu-individu
itu mengikatkan diri di dalamnya berhadapan dengan kesatuan lainnya. Adapun pola ikatannya
ini sendiri mencerminkan apa yang dimaksud Durkheim dengan kesatuan mekanis, dimana
suatu agama identik dengan masyarakat tertentu sebagai kelompok yang berbeda dengan
kelompok masyarakat lainnya.60
Proses di atas semakin menjadi keharusan historis dan sosial ketika suatu masyarakat
tertentu lebih mendasarkan pola hidup-bersamanya pada struktur budaya pesisir yang
cenderung bersifat sangat kosmopolitan terhadap pengaruh budaya lain, sebagaimana yang
tercermin pada struktur budaya Banjar. Hal ini karena wilayah pesisir, sebagai kontras dari
wilayah pedalaman, memiliki kecenderungan yang sangat intens terlibat kontak dan interaksi
dengan pengaruh dari luar. Dengan kecenderungan seperti itu, sistem budaya Banjar bisa
dikategorikan sebagai sistem yang tidak memiliki ketiadaan daya resistensinya yang dapat
memperkokoh struktur budaya tersebut.61 Posisi ini, tentunya, sangatlah memerlukan perangkat
daya rekat yang tinggi agar mampu memperkokoh kestabilan budaya tersebut di hadapan

59
Naskah Kitab Undang-Undang Sultan Adam 1825, hlm. 4.
60
Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, diterjemahkan oleh Aswab
Mahasin, (Jakarta: Pustaka Jaya 1981), hlm.14-18.
61
Azyumardi Azra, “Interaksi dan Akomodasi Islam ...”, hlm.187. Bandingkan dengan ulasan
Nurcholish Madjid tentang ciri khas dan perbedaan antara budaya pesisir dan budaya pedalaman pada
Nurcholish Madjid, “Potensi Dukungan Budaya Nasional Bagi Reformasi Sosial-Politik” dalam Cita-cita
Politik Islam Era Reformasi, (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 131-159.

18
ancaman dari luar. Dalam posisi inilah, sesungguhnya, Islam harus dilihat dalam memerankan
fungsi sosialnya dalam struktur masyarakat Banjar.
Fungsi sosial agama yang demikian inilah yang pada akhirnya menempatkan agama
menjadi identitas simbolik suatu masyarakat. Dalam konteks fungsi sosial ini, agama tidak lagi
sekedar berfungsi sebagai aspek integratif, tapi lebih jauh mampu bertindak sebagai aspek
kognitif sekaligus ontologis. Hal ini, sebagaimana Clifford Geertz ungkapkan, karena simbol-
simbol keagamaan tertentu yang telah dibangun dalam masyarakat mampu memuat makna dari
hakikat dunia dan nilai-nilai yang diperlukan seseorang untuk hidup di dalam masyarakatnya.
Simbol-simbol keagamaan macam begitu mampu untuk menggiring bagaimana seseorang
merasa cocok untuk dunianya. Bilamana kecocokan sudah dijadikan kepercayaan umum, maka
tidak mengherankan jika tujuan utama sebuah masyarakat diperteguh kembali dan diulang-
ulang dalam berbagai bentuk perilaku keagamaan.62
Demikianlah posisi Islam dan masyarakat Banjar bisa dipahami. Artinya, Islam dalam
konteks asal-usul dan konstruksi masyarakat Banjar selain berfungsi sebagai sesuatu yang
merefleksikan tempat ikatan sosial itu dikokohkan, juga secara lebih mendasar menjadi
landasan transenden yang memberi dasar ontologis dan eksistensial bagi individu-individu yang
terlibat di dalamnya.
Dari penjelasan tentang mekanisme pemelihara konstruksi identitas inilah seharusnya
dipahami mengapa terjadi sejak berabad-abad urang Banjar selalu diidentikkan dengan Islam,63
yang tidak lain karena memang merupakan kebutuhan dasar dari sebuah usaha untuk
meneguhkan konstruksi sosial masyarakat Banjar yang telah dibangun. Oleh karena itulah, tidak
heran identifikasi urang Banjar dengan Islam itu seakan-akan telah menjadi konsensus, walau
dalam banyak kasus praktek-praktek keagamaan yang terjadi dalam masyarakat Banjar tidaklah
seluruhnya dapat dicari referensinya dalam ajaran Islam.64 Asumsi ini tergambar secara jelas
ketika kasus-kasus orang-orang Dayak di daerah ini memeluk agama Islam dikatakan sebagai
“menjadi orang Banjar”.65 Asumsi ini sesungguhnya ingin menegaskan bahwa keberislaman

Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama, diterjemahkan oleh F. Budi Hardiman dari bab 4 - 6
62

pada buku The Interpretation of Cultures, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 1-48.
63
Alfani Daud,Islam dan Masyarakat Banjar…, hlm. 4.
64
Alfani Daud,Islam dan Masyarakat Banjar…, hlm. 5.
65
Alfani Daud,Islam dan Masyarakat Banjar…, hlm. 5.

19
selain merupakan aspek integratif tapi juga lebih mendasar lagi sebagai aspek ontologis dan
kognitif urang Banjar dalam berhadapan dengan kelompok masyarakat lainnya.
Alfani Daud menegaskan hal tersebut sebagai berikut:
Islam telah menjadi ciri masyarakat Banjar sejak berabad-abad yang silam. Islam juga
telah menjadi identitas mereka, yang membedakannya dengan kelompok-kelompok
Dayak di sekitarnya, yang umumnya masih menganut religi sukunya. Memeluk Islam
merupakan kebanggaan tersendiri, setidak-tidaknya dahulu, sehingga berpindah agama
di kalangan masyarakat Dayak dikatakan sebagai “babarasih” (membersihkan diri) di
samping sebagai “menjadi orang Banjar”.66

Adapun kenyataan bahwa oposisi binner yang terbentuk antara masyarakat Banjar dan
masyarakat Dayak sebagai akibat dari konstruksi agama di atas merupakan kenyataan yang
harus dibaca pada pasca berdirinya Kerajaan Banjar, tepatnya pada era dikukuhkannya Undang-
Undang Sultan Adam, dan bukannya pada masa sebelumnya. Kenapa harus dibaca demikian ?
Jawabnya tidak lain karena menyangkut dua hal utama. Pertama, jika persoalan oposisi binner
ini dikembalikan kepada titik awal perkembangan Islam di kawasan ini, maka penjelasannya
tentunya akan bertentangan dengan kenyataan bahwa Islam yang masuk ke daerah Banjar pada
sebelum dan masa berdirinya Kesultanan Banjar merupakan Islam yang bercorak sufistik.67
Kenyataan ini haruslah diakui mengingat proses Islamisasi yang berlangsung dalam kurun abad
ke-13 sampai abad ke-16 di beberapa daerah di kawasan Nusantara terjadi pada saat tasawuf
dan tarekat tengah menjadi wacana utama dalam kegiatan intelektual keagamaan Nusantara.68
Tentunya, maraknya wacana intelektual keagamaan seperti ini pada saat itu justru merupakan
“berkah” tersendiri bagi proses Islamisasi masyarakat di Nusantara. Hal ini lantaran aspek
yang paling kompromistis terhadap budaya lokal dalam tradisi Islam adalah tasawuf.69 Oleh
karena itu, jika memang proses Islamisasi masyarakat di kawasan Banjar telah berlangsung jauh
sebelum Kerajaan Banjar berdiri dan mengalami intensitasnya pada saat berdirinya Kesultanan
Islam Banjar, maka bisa dipastikan orientasi Islam yang mula-mula berkembang di kawasan ini
66
Alfani Daud,Islam dan Masyarakat Banjar…, hlm. 504.
67
M. Zurkani Jahja, "Karakteristik Sufisme di Nusantara abad ke-17 dan 18", dalam Jurnal
Kebudayaan KANDIL, edisi 4, Thn. II, Februari 2004, hlm. 20-37.
68
Martin van Bruinessen, “Origins and Development of Sufi Orders (Tarekat) in Southeast
Asia”, dalam Indonesian Journal for Islamic Studies, Studia Islamika, Vol. I, No. 1 (April – June), 1994,
(Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah), hlm. 3-6.
69
Jajat Burhanuddin, “Tradisi Keilmuan dan Intelektual”, dalam Taufik Abdullah, et.all, (ed.),
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid 5 (Asia Tenggara), (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), hlm.
142.

20
juga mengikuti orientasi Islam yang berkembang di Nusantara pada abad 15-16, yakni suatu
orientasi sufistik berhaluan wujûdiyyah. Ini artinya mustahil bagi Islam di masa Kerajaan Banjar
menjadi sebab terjadinya proses oposisi binner atas komunitas di luar dirinya. Hal ini
dikarenakan suasana sufistik yang umumnya berkembang saat itu memiliki kecenderungan kuat
untuk merumuskan ajaran agama dengan adaptasi budaya lokal. Kedua, karena menyangkut
struktur masyarakat Banjar itu sendiri yang berintikan kesatuan berbagai kelompok bubuhan,
maka lebih tepat kiranya untuk melihat persoalan oposisi binner itu dalam kerangka kebutuhan
pada saat berdirinya Kesultanan Banjar. Hal ini mengingat posisi masyarakat yang berintikan
kesatuan berbagai kelompok bubuhan itu, tentunya, sangatlah membutuhkan sistem penanda
yang tegas agar dapat membedakan dengan kelompok masyaraka lain sebagai dasar penegas
ikatan yang telah disepakati secara sosial. Selain itu, oposisi binner yang terbentuk ini juga
harus dipahami sebagai cara simbolik masyarakat Banjar dalam melakukan perlawanan
kulturalnya atas berbagai pengaruh yang datang dari luar sebagai akibat posisinya sebagai
kelompok masyarakat pesisir. Kenyataan seperti ini semakin tampak jelas bila dilihat ketika
pada pertengahan abad ke-17 masyarakat Banjar dihadapkan dengan kedatangan Portugis yang
beragama Katolik dan menjalin hubungan baik dengan orang-orang Dayak Ngaju. 70 Dalam
konteks historis ini, tentunya, dapat dibaca bahwa agama merupakan penanda identitas yang
bersifat situasional yang dengan sadar dapat dilekatkan pada suatu kolektif suku-bangsa, baik
oleh suku-bangsa itu sendiri, maupun oleh suku bangsa lainnya. Pada kasus-kasus tertentu,
seseorang atau sekelompok orang yang pindah agama tidak saja berakibat pada terjadinya
perubahan dalam hal identitas agamanya, tetapi juga dapat berakibat pada terjadinya perubahan
dalam hal identitas suku-bangsanya.
Dalam kasus masyarakat Banjar, memang, terjadi pengecualian dari gejala umum di
atas, yakni sebagaimana yang terjadi pada suku Bakumpai dan suku Baraki, yang meskipun
sudah memeluk agama Islam dan mempergunakan bahasa Banjar sebagai bahasa pergaulannya,
namun mereka tidak disebut orang Banjar, tetapi tetap disebut orang Bakumpai atau orang
Baraki. Namun demikian, secara umum, konstruksi identitas agama yang terbentuk sebagai
akibat dari terjadinya perpindahan agama dalam kasus orang Dayak merupakan gejala yang

70
Idwar Saleh, Sejarah Bandjarmasin: Selajang Pandang Mengenai Bangkitnja Kerajaan Bandjarmasin,
Posisi, Funksi dan Artinja Dalam Sedjarah Indonesia Dalam Abad Ketudjuhbelas. (Bandung: Balai Pendidikan
Guru, 1958), hlm. 16.

21
bersifat umum terjadi di masyarakat di daerah ini. Oleh karena itu, fungsi sosial Islam dalam
masyarakat Banjar bukanlah sekedar menjadi keyakinan suatu komunitas tapi juga menjadi
universum simbolik, yakni sebagai payung sosial yang memberi fungsi sebagai dasar integrasi
dalam komunitas tersebut.
Pada dasarnya, model identifikasi diri yang terjadi dalam masyarakat Banjar di atas
bukanlah merupakan suatu fenomena tunggal. Kenyataan seperti ini juga dapat ditemukan
faktanya di Kalimantan Barat. Konon mereka yang menikah dan masuk Islam tidak lagi
mengakui dan tidak diakui lagi sebagai Dayak. Pernikahan pihak Dayak dengan Melayu, dan yang
(selalu) diikuti dengan perpindahan agama disebut sebagai masuk Melayu. Ada oposisi binner
yang kuat yang tumbuh di sana, sebagaimana di masyarakat Banjar, bahwa Dayak itu non-
muslim, dan Melayu itu muslim. Ketika orang Dayak masuk Islam, dalam kasus perkawinan
misalnya, yang artinya menjadi muslim, maka ia dianggap masuk Melayu. Di daerah tersebut,
sejauh catatan dan anggapan yang berkembang, seorang Dayak yang masuk Islam kehilangan
(dihilangkan) status dirinya sebagai orang Dayak.
John Bamba, menulis, “Di Kalimantan Barat, jika seseorang Dayak memeluk agama Islam,
mereka cenderung menolak identitas mereka sebagai Dayak dan dianggap masuk Melayu. Di Kalimantan
Barat, Melayu tidak mesti seseorang yang berasal dari etnis Melayu sebab orang Dayak yang memeluk agama
Islam juga menjadi Melayu.”71 Fakta yang paling dekat dengan asumsi Bamba di atas bisa merujuk
pada protes warga Dayak Kalimantan Barat yang berdemo di depan DPRD setempat,
memprotes terpilihnya 5 utusan daerah dengan komposisi 3 Melayu, 1 Dayak dan 1 Tionghoa.
Padahal, sebelumnya dicoba dibuat kesepakatan bahwa komposisi utusan perwakilan
Kalimantan Barat di MPR berkaitan dengan Pemilu 1999 tersebut adalah 2 Melayu, 2 Dayak,
dan 1 Tionghoa.
Dalam demo yang memprotes komposisi etnik perwakilan Kalimantan Barat di MPR
tersebut, para pengunjuk rasa menolak keberadaan Zainuddin Isman sebagai seorang terpilih
yang dianggap sebagai wakil dari masyarakat etnik Dayak. Yang bersangkutan adalah memang
warga Dayak dan beragama Islam. Seorang pengunjuk rasa tegas berteriak, “Tidak ada Dayak
yang beragama Islam”. Bahkan Piet Herman, Sekretaris Dewan Adat Dayak Kalimantan Barat

71
John Bamba, “Menggalang Solidaritas Mempertegas Identitas” dalam Janis B. Alcorn (ed.),
Pelajaran dari Masyarakat Dayak, (Pontianak: WWF-BSP dan Institut Dayakologi, 2001), hlm. 87.

22
meminta, “kalau dia mengaku Dayak, coba dia membuat pernyataan yang disebarkan lewat media massa
bahwa dia orang Dayak. Mau nggak ?”.72
Melihat kenyataan di atas, apakah penanda identitas itu merupakan sesuatu yang baku ?
Tentu tidak jawabnya. Hal ini karena penanda identitas adalah sebuah proses konstruksi,
sebuah gambaran yang diciptakan dan dibangun oleh berbagai bentuk narasi, teks, dan
dikuatkan oleh tradisi dan praksis sosial. Oleh karena itu, mungkin saja peneguhan sebuah
penanda identitas akan mengalami titik-balik, sehingga terjadi upaya rekonstruksi ke arah
penafsiran baru penanda identitas.

C. Universum Simbolik dan Dinamika Interaksi Agama-Masyarakat


Mengapa titik-balik ke arah penafsiran baru penanda identitas itu bisa dilakukan ?
Untuk menjawab persoalan ini, mau tidak mau, harus ditelisik pada bagaimana sesungguhnya
pola interaksi dan akomodasi agama dan budaya itu terjadi. Sebagaimana yang diungkapkan
oleh Berger, karena masyarakat itu pada hakikatnya bersifat konstruktif, maka tidak aneh
kemudian jika diasumsikan bahwa kebudayaan yang terstruktur dalam masyarakat juga tidak
pernah memiliki stabilitas yang kokoh sebagaimana dunia alamiah. Watak inheren dari dunia
sosial adalah perubahan. Asumsi ini tampak sekali dari penjelasan Berger sebagai berikut:
“Kebudayaan ... tetap merupakan sesuatu yang sangat berbeda dari alam justru karena
merupakan hasil dari aktivitas manusia sendiri ... Karena itu strukturnya secara inheren
adalah rawan dan ditakdirkan untuk berubah ...”.73

Artinya, walaupun masyarakat dan kebudayaan merupakan konstruksi manusia itu


sendiri, namun kehadiran masyarakat dan kebudayaan mempunyai potensi untuk menghasilkan
berbagai konstruksi objektif yang independen, yang eksistensinya tidak bisa dinafikan atau
diabaikan begitu saja. Oleh karena itu, masyarakat dan kebudayaan secara dialektis merupakan
kenyataan subjektif sekaligus juga kenyataan objektif, sehingga hubungan antar keduanya selalu
mengalami proses dialektika yang terus-menerus. Di situ selalu terdapat dinamika. Dalam pola
hubungan seperti ini, tentu saja, selalu terbuka kemungkinan bagi manusia untuk menerima
dan menyesuaikan diri dengan realitas objektifnya atau menolaknya sama sekali realitas objektif

72
Kalimantan Riview, edisi Nopember 1999.
73
Peter L. Berger, The Sacred Canopy …, hlm. 6.

23
yang ada dihadapannya. Penolakan berarti kemungkinan bagi manusia untuk membentuk
realitas objektif yang baru.
Adapun titik balik perubahan dalam kebudayaan biasanya terjadi ketika muncul
ketidak-simetrian antara struktur kesadaran subjektif dengan realitas objektif kebudayaan
tersebut. Jika ini terjadi, menurut Berger, maka gejala-gejala anomi sebagai titik-balik perubahan
kebudayaan menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindarkan. Artinya, masyarakat, dalam situasi
tersebut, berada dalam kondisi yang selalu dihadapkan dengan proses marjinalisasi situasi-
situasi kehidupan, yakni keluar dari batas-batas tatanan yang telah ditentukan.
Dalam masyarakat Banjar, untuk tetap bertahannya hubungan simetris antara struktur
kesadaran subjektif dengan realitas objektif identitas keagamaan yang ada, maka prosedur yang
berjalan adalah bukan tetap bertahannya secara ketat skriptualisme agama, namun justru terjadi
proses domestifikasi agama ke dalam sistem budaya setempat. Hal ini mengingat, semakin
besar perbedaan atau bahkan antagonisme antara nilai-nilai doktrinal dengan nilai-nilai sosial,
maka akan semakin tinggi resistensi bagi daya penerimaan masing-masing aspek. Oleh karena
itulah, sangat diperlukan upaya-upaya yang bersifat akomodatif antara salah satu pihak, atau
dari kedua belah pihak.74
Mengapa demikian ? Jawabannya tentu terkait dengan apa yang oleh Berger tadi sebut
sebagai gejala anomi, yakni suatu kondisi yang menghadapkan masyarakat pada proses
marjinalisasi dengan kebudayaannya,75 yakni keluar dari batas-batas tatanan yang telah
ditentukan.76
Jika memang demikian, maka secara internal agama itu sendiri, bisa dipahami mengapa
sering terjadi ketidak-simetrian antara agama di tingkat doktrin dengan agama di tingkat
perilaku sosial, sebagaimana yang terjadi dalam banyak kasus masyarakat Banjar. Ketidak-
simetrian ini terjadi karena agama di tingkat perilaku sosial harus selalu melakukan proses
kontekstualisasi yang terus-menerus dengan kondisi sosial yang melingkupinya. Hal ini karena
apapun yang menjadi dasar dialektika agama dan masyarakat menyangkut bentuk penerimaan
salah satu pihak atau masing-masing elemen tersebut. Oleh karena itu, bahwa Islam dan

74
Azyumardi Azra, “Interaksi dan Akomodasi Islam dengan Budaya Melayu Kalimantan”,
dalam Aswab Mahasin, dkk. (ed), Ruh Islam dalam Budaya Bangsa; Aneka Budaya Nusantara, (Jakarta:
Yayasan Festival Istiqlal, 1996), hlm.192.
75
Peter L. Berger & Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality…, hlm. 70-89.
76
Peter L. Berger & Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality…, hlm. 89.

24
masyarakat Banjar identik memang benar adanya, namun yang perlu digarisbawahi
keberislaman masyarakat Banjar lebih mencerminkan apa yang disebut A. D. Nock sebagai
adhesi, yakni menerima Islam dengan bersandarkan pada kerangka kontekstualisasi yang terus-
menerus.77
Dalam kasus masyarakat Banjar, penerimaan yang tinggi terhadap Islam sufistik pada
masa masyarakat Banjar awal di wilayah ini, misalnya, sesungguhnya mencerminakan suatu pola
karakterisasi budaya yang terjadi di daerah ini. Bentuk karakterisasi budaya ini adalah kesadaran
kosmologis yang mewarnai pola perilaku yang teraktualisasi dalam tindakan-tindakan sosial
masyarakat Banjar. Adapun kesadaran kosmologis yang dimaksud, tentunya, menyangkut pola
hubungan mikro-makro kosmis yang banyak disandarkan pada dimensi spiritual.
Jika asumsi ini dibaca secara antropologis, maka apa yang disebut dengan kebudayaan
tidaklah lepas dari dua komponen pokok, yakni isi dan bentuk. Sementara bentuk kebudayaan
terdiri atas sistem budaya– ide-ide dan gagasan-gagasan, sistem sosial– tingkah laku dan
tindakan, dan produk budaya yang bersifat material, maka isi kebudayaan terdiri atas tujuh
unsur universal, yakni bahasa, ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, organisasi sosial,
agama dan kesenian.
Oleh karena sistem budaya yang terdiri atas nilai-nilai budaya dan norma-norma etik,
maka nilai budaya yang berupa gagasan-gagasan biasanya dipandang sangat penting karena
bersifat menunjang bagi proses keberlangsungan hidup manusia yang ada di dalamnya.
Walaupun eksistensinya bersifat kabur, namun keberadaannya secara emosional disadari secara
utuh. Dengan demikian, nilai budaya bersifat sangat menentukan karakteristik suatu lingkungan
kebudayaan dimana nilai tersebut dianut. Nilai kebudayaan, langsung atau tidak langsung, ikut
mewarnai tindakan-tindakan masyarakatnya serta produk-produk kebudayaan yang bersifat
material.78
Oleh karena itu, jika pembacaan ini diturunkan sebagai landasan refleksi atas
keberadaan Islam di daerah ini, maka tentunya keberadaan perilaku-perilaku keagamaan yang
diturunkan dari karakteristik budaya itu tidaklah tanpa imbas. Pengaruh budaya pada perilaku
sosial yang teraktualisasikan dalam tindakan-tindakan masyarakat Banjar itu tercermin dalam
77
Azyumardi Azra, “Interaksi dan Akomodasi Islam dengan Budaya Melayu Kalimantan”,
hlm. 192-193.
78
Lihat Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Gramedia, 1984).

25
berbagai upacara adat dan kebiasaan tertentu di kalangan masyarakat tersebut.79 Upacara dan
kebiasaan itu antara lain, upacara mandi hamil tujuh bulan, upacara tapung-tawar kelahiran,
upacara batimbang anak, upacara kematian,80 dan upacara membaca manâqib.81 Kesemua
upacara adat dan kebiasaan itu banyak didasarkan pada karakter budaya yang menjadi cermin
dari kesadaran kosmologis masyarakatnya. Di tingkat perilaku aktual inilah seringkali terjadi
adaptasi yang bersifat kultural antara praktek keagamaan dengan corak budaya setempat.
Proses adaptasi ini sering terjadi atas dasar sistem kosmologi sosial yang melekat dalam struktur
budaya tersebut. Oleh karena itulah, tidak mengherankan jika Islam yang telah menjadi ciri
identitas masyarakat Banjar sejak berabad-abad lalu ini tetap bertahan sampai sekarang sebagai
identitas sosial masyarakatnya.
Jika memang demikian, mungkinkah identitas keislaman ini akan mengalami titik balik,
sehingga akan muncul upaya rekonstruksi ke arah penafsiran baru tentang identitas urang-urang
Banjar ? Tentu saja mungkin, sejauh keislaman yang melekat pada diri urang-urang Banjar sudah
tidak dapat lagi mengakomodasi dan berinteraksi dengan realitas objektif yang menjadi dunia
sosial mereka. Artinya, apa yang menjadi kesadaran kosmologis urang-urang Banjar sudah tidak
dapat lagi dicarikan dasar referensinya pada apa yang menjadi sumber identitasnya. Jika itu
terjadi, maka mau tidak mau, proses yang berjalan adalah proses rekonstruksi identitas lama
merupakan sesuatu yang tak terhindarkan.
Mengapa demikian ? Karena penanda identitas, pada dasarnya, bukanlah semata-mata
cerminan emosional dari ikatan solidaritas kelompok sosial semata, tapi lebih jauh
mencerminkan apa yang oleh Berger sebut sebagai perangkat legitimasi bagi suatu keterlibatan
sosial yang penuh.82 Oleh karena itu, penanda identitas harus sepenuhnya mampu memberi
dasar proyeksi bagi proses-proses sosial yang tengah dan akan terjadi di dalam masyarakatnya.

Penutup

79
Tim Peneliti Fakultas Ushuluddin, Laporan Penelitian: Islam di Kalimantan Selatan (Studi tentang
Corak Keagamaan Umat Islam, (Banjarmasin: IAIN Antasari, 1985), hlm. 19-37.
80
Lihat uraian lebih lengkap, Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar…, hlm. 227-500.
81
Murjani Sani, Upacara Manakib: Studi Nilai yang Mungkin Dikembangkan, dalam Jurnal Ilmiah
Ilmu Ushuluddin, No. 1, Vol. 2, April 2003, (Banjarmasin: Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari), hlm.
1-20.
82
Peter L. Berger, The Sacred Canopy…, hlm. 24.

26
Posisi agama dalam masyarakat, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bahasan
sebelumnya, sesungguhnya menunjukkan arti penting keabsahan dasar bagi proses eksistensi
sosial manusia dalam dunia sosial. Tanpa adanya dasar yang absah tersebut, manusia akan
selalu mengalami proses marjinalisasi dari seluruh keterlibatan penuhnya dengan dunia sosial
sebagai mahluk sosial yang paling purna di muka bumi ini. Peran penting agama adalah
memberikan perangkat legitimasi bagi suatu keterlibatan sosial yang penuh. Inilah yang
ditunjukkan oleh agama dalam setiap strata sosial dan historis manapun, termasuk juga apa
yang ditunjukkan oleh Islam dalam masyarakat Banjar. Pilihan atas agama sebagai dasar
identitas bagi masyarakat Banjar merupakan bentuk usaha dalam memberi legitimasi atas
eksistensi sosial mereka sebagai sebuah kelompok-etnik di tengah-tengah kelompok-etnik
lainnya. Mengapa demikian ? Jawabannya, tentu, karena manusia atau pun secara khusus
manusia Banjar secara filosofis sangatlah membutuhkan dasar bagi proyeksi dan
transendensinya dalam menjalani proses-proses sosial. Hal ini karena, eksistensi manusia
bukanlah eksistensi tanpa batas-batas tertentu []

27

You might also like