You are on page 1of 41

KONFLIK HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) DENGAN

MANUSIA DI PROVINSI JAMBI

KARYA ILMIAH

Oleh

DEVI ASRIANA

FAKULTAS BIOLOGI
UNIVERSITAS NASIONAL JAKARTA
2007

1
Puji syukur dipanjatkan kehadirat ALLAH SWT atas rahmat dan karunia yang diberikan
sehingga penulisan karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tulisan ini disusun guna memenuhi
persyaratan mata kuliah Seminar pada Fakultas Biologi Universitas Nasional.
Penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya dan penghargaan setinggi-tingginya
penulis sampaikan kepada :
1. Drs. Imran S. L. Tobing MSi., selaku pembimbing pertama yang telah meluangkan waktunya
memberikan bimbingan, petunjuk dan saran selama penulisan karya ilmiah ini
2. Drs. Tatang Mitra Setia MSi., selaku pembimbing kedua yang telah meluangkan waktunya
memberikan bimbingan, petunjuk dan saran penulisan karya ilmiah ini
3. Dra, Yulneriwarni MSi., selaku pembimbing akademik.
4. Kedua orang tua penulis, Effy sulfiana dan Djumhana beserta seluruh keluarga yang tidak
pernah berhenti memberi kasih sayang serta motivasi
5. Adnun Salampessy, S.Hut terima kasih untuk seluruh dukungan dan bantuan dalam penulisan
karya ilmiah ini
6. Dewi, Achi, Fitri, Putri, Minarni, Aan, Mega, Dinda, Puji, Arni, Kiki, Ijul, Siska dan teman-
teman angkatan 2001 yang tidak bisa disebutkan satu persatu untuk semua hari-hari dan
pengalaman yang tidak terlupakan
7. Staf pengajar serta staf Tata Usaha di Fakultas Biologi beserta Keluarga besar FABIONA atas
semua pengalaman dan kebersamaannya.
8. Seluruh pihak yang ikut terlibat baik langsung maupun tidak langsung pada penulisan karya
ilmiah ini.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini jauh dari sempurna dan masih membutuhkan
saran serta kritikan dari berbagai pihak.
Jakarta, Maret 2007
ABSTRAK
Harimau sumatera merupakan salah satu harimau dari delapan subspesies harimau di dunia,
tiga diantaranya dinyatakan punah oleh IUCN. Beberapa abad yang lalu terdapat tiga subspesies
harimau di Indonesia, harimau bali (Panthera tigris balica), harimau jawa (Panthera tigris
sondaica) dan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae). Sekarang harimau jawa dan harimau
bali punah dan hanya harimau sumatera yang masih ada.
Secara geografis, penyebaran harimau nyaris menjangkau Asia, yaitu dari Turki Timur
sampai Laut Okhotsk. Jenis habitat yang menjadi tempat tinggalnya adalah hutan kering (dry
deciduous), hutan lembab (moist deciduous), hutan semi-hijau (semi-evergreen), hutan hijau
basah (wet evergreen), sungai, rawa-rawa dan hutan bakau. Harimau memiliki daya adaptasi yang
tinggi dan mampu hidup pada hutan bekas tebangan, selama hutan tersebut mampu menyediakan
pakan baginya.
Konflik antara manusia dengan harimau merupakan salah satu jenis interaksi, berupa
interaksi negatif dimana konflik ini terjadi karena kebutuhan sumber daya yang sama atau
kompetisi dan juga terjadi predasi antara harimau yang membunuh atau melukai manusia dan
binatang ternak dan sebaliknya manusia yang memburu harimau. Penyebab terjadi konflik adalah
karena hutan sebagai habitat harimau semakin berubah fungsi dan hewan mangsa harimau yang
semakin berkurang dan perubahan teritorial harimau. Akibat dari konflik pada manusia adalah
kerugian materil karena hewan ternaknya dimangsa oleh harimau dan kematian atau cacat karena
diserang oleh harimau. Sedangkan akibat konflik pada harimau adalah semakin berkurangnya
jumlah harimau.

2
Penanganan konflik salah satunya adalah membentuk suatu unit yang merespon apabila
terjadi konflik. Unit ini disebut Conflict Response Unit, yang berada dibawah pengawasan taman
nasional. Penanganan lainnya berupa translokasi atau pemindahan harimau yang bermasalah atau
yang terlibat konflik dari lokasi konflik untuk dilepaskan kembali di area yang berbeda.

DAFTAR ISI
BAB
I. PENDAHULUAN……………………………………………………........................ 3
II. TINJAUAN UMUM…..………………………………………………....................... 4
A. Bioekologi Harimau Sumatera……………………………………........................ 4
1. Klasifikasi dan Morfologi................................................................................. 5
2. Habitat dan Penyebaran.................................................................................... 7
3. Perilaku Pemangsaan dan Hewan mangsa potensial........................................ 8
B. Status dan Perlindungan terhadap Harimau Sumatera............................................ 10
C. Gambaran Ekosistem Hutan Jambi……………….......……………...................... 14
D. Interaksi antara Manusia dan Harimau................................................................... 17
III. KONFLIK ANTARA MANUSIA DAN HARIMAU SUMATERA........................... 18
A. Penyebab Konflik.................................................................................................... 19
B. Akibat Dari Konflik................................................................................................ 25
C. Penanganan Konflik Antara Harimau Sumatera dengan Manusia......................... 30
KESIMPULAN................................................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 36
LAMPIRAN........................................................................................................................ 38

BAB I. PENDAHULUAN
Seabad yang lalu terdapat 3 sub spesies harimau di Indonesia, yaitu Panthera tigris balica
(harimau bali), Panthera tigris sondaica (harimau jawa), dan Panthera tigris sumatrae (harimau
sumatera). Harimau bali terakhir ditembak mati pada tahun 1937 dan kepunahan harimau jawa
diperkirakan pada akhir tahun 1970 atau awal tahun 1980 an (Seidensticker dan Suyono, 1980
dalam Maddox dkk, 2003). Kekuatan, ketenangan, keunikan dan kharisma harimau sumatera
menjadikan satwa ini sebagai sumber inspirasi mistik dan keagungan yang banyak didambakan
oleh masyarakat Sumatera dan masyarakat umum lainnya. Namun keberadaannya yang terpecah-

3
pecah serta terisolir di tengah populasi manusia di sepanjang pulau Sumatera sehingga
mengakibatkan satwa ini makin terdesak dan terancam kepunahan (critical endangered).
Hewan karnivora adalah spesies yang paling populer terlibat dalam konflik dengan manusia
dan dikatakan menimbulkan ancaman keselamatan bagi manusia (Breitenmoser, 1998 dalam
Nugraha, 2005). Konflik manusia dan harimau, dalam konteks yang lebih luas disebut sebagai
konflik antara manusia dengan hewan liar dan merupakan permasalahan universal selama
berabad-abad. Persoalan ini muncul akibat manusia dan hewan liar yang saling berlomba untuk
mendapatkan sumber nutrisi dan tempat yang sama. Selama kurun waktu 5 tahun terakhir konflik
antara manusia dan harimau selalu diikuti oleh tindakan pembalasan terhadap harimau yang
merupakan salah satu penyebab terbanyak dari angka kematian harimau sumatera (Panthera
tigris sumatrae) dan situasi ini muncul di seluruh habitat harimau sumatera dan menjadi faktor
sebab-akibat dari penurunan populasi harimau sumatera (Nugraha, 2005).
Tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah untuk mengetahui penyebab terjadinya konflik
antara harimau sumatera dan manusia dan penanganan konflik yang terjadi di Provinsi Jambi.
Karya ilmiah ini diharapkan dapat merupakan sumbangan informasi ilmiah kepada dunia ilmu
pengetahuan dan pemerintah Indonesia serta komunitas pemerhati lingkungan untuk dapat lebih
memperhatikan kelestarian harimau sumatera sehingga tidak mengalami nasib yang sama seperti
sub spesies lainnya yaitu harimau bali dan harimau jawa yang saat ini telah dianggap punah.
BAB II. TINJAUAN UMUM
A. Bioekologi Harimau Sumatera
Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) merupakan salah satu dari delapan subspesies
harimau di dunia, yaitu harimau benggala (P.t. tigris), harimau siberia (P.t. altaica), harimau
kaspia (P.t. virgata), harimau cina (P.t. amoyensis), harimau indocina (P.t corbetti), harimau
jawa (P.t sondaica) dan harimau bali (P.t balica) (Beacham dan Beetz, 1998).
Beberapa abad yang lalu terdapat tiga subspesies harimau di Indonesia, harimau bali
(Panthera tigris balica) terdapat di pulau Bali, harimau jawa (Panthera tigris sondaica) di Pulau
Jawa dan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) di pulau Sumatera. Sekarang harimau
jawa dan harimau bali punah dan hanya harimau sumatera yang masih ada (Ashby dan
Santiapillai, 1987 dalam Ramono dan Santiapillai, 1993). Punahnya harimau bali dan disebabkan
oleh kehilangan habitat akibat pembukaan lahan besar-besaran oleh manusia dan semakin
berkurangnya jumlah hewan mangsanya (Seidensticker, 1986 dalam Linkie dkk, 2003).

4
1. Klasifikasi dan Morfologi
Dalam kajian ilmu biologi, suatu jenis hewan dapat diklasifikasikan ke dalam suatu
golongan. Pengelompokan tersebut antara lain berdasarkan persamaan bagian tubuh yang dimiliki
kelompok hewan tersebut, dari yang bersifat umum menuju pada kesamaan yang bersifat lebih
khusus. Ilmu mengenai pengelompokan ini disebut taksonomi. Demikian juga dengan harimau
sumatera yang secara taksonomi digolongkan sebagai berikut (Raharyono dkk, 2001):
Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
SubFilum : Vertebrata
Kelas : Mammalia
Bangsa : Carnivora
Keluarga : Felidae
Jenis : Panthera
Spesies : Panthera tigris
Subspesies : Panthera tigris sumatrae (Harimau sumatera) (Linnaeus, 1758)
Harimau sumatera atau Panthera tigris sumatrae merupakan karnivora besar sebagai top
predator di darat yang sangat kuat dan menakjubkan di dunia. Satwa kucing besar ini memiliki
postur tubuh yang besar, kekar dan kuat serta ditunjang ornamen kulit indah bergaris hitam
vertikal, berambut halus sebagai kamuflase sempurna di alam sehingga memudahkannya
mendekati mangsanya.
Harimau sumatera merupakan sub spesies yang mempunyai ukuran tubuh paling kecil
dibanding lima subspesies lain yang masih ada, dengan tinggi pundak hanya 0,75 m. Harimau
sumatera betina dewasa mempunyai berat rata-rata antara 75-110 kg dengan panjang 2,15-2,30
m, sedangkan jantan dewasa mempunyai berat rata-rata 100-140 kg dengan panjang 2,20-2,55 m
dan panjang ekor 0,9-1,2 m, ukuran telapak kakinya berbeda-beda sesuai dengan umur (Mazak,
1981 dalam Gunawan, 2006), sedangkan menurut BKSDA Sumbar (2006), harimau sumatera
mempunyai panjang kepala dan badan 1,5 m dengan panjang ekor 0,8 m sedangkan panjang
telapak kaki belakang 0,3 m dengan berat badan 180-245 kg.
Seperti kucing pada umumnya, cakar harimau dapat dimasukan ke dalam kantung cakar
(retractable). Harimau menggunakan cakarnya untuk mencakar pohon sebagai tanda daerah
teritorinya. Mata harimau mempunyai pupil bulat dan selaput pelangi berwarna kuning (kecuali

5
pada harimau putih yang memiliki selaput pelangi berwarna biru). Dengan adaptasi pada
retinanya sehingga dapat merefleksikan kembali cahaya, penglihatan malam hari harimau enam
kali lebih baik dari manusia.
Belang pada harimau digunakan untuk kamuflase, membantu harimau dalam mengintai
mangsanya. Harimau sumatera mempunyai lebih banyak belang daripada semua subspesies
harimau lain. Belang pada harimau merupakan kode seperti sidik jari pada manusia karena “kode
belang” pada setiap harimau mempunyai pola yang berbeda (Indian Tiger Welfare Society, 2005).
Berdasarkan hasil penelitian Zoological Society of London-Jambi Tiger Project (ZSL-JTP)
(2003) pada salah satu individu harimau di Jambi, home range atau daerah jelajah harimau dapat
mencapai 50 km2. Menurut Sinaga (2005) daya jelajah harimau sumatera mencapai 30-60 km per
hari dan memiliki teritorial yang dipertahankan. Harimau betina yang sedang dalam masa subur
dapat meninggalkan wilayah teritorialnya untuk mencari pasangan. Harimau jantan dapat
berpasangan dan kawin dengan betina yang melewati wilayah teritorialnya, tidak masalah jika
betina tersebut benar-benar pendatang di wilayahnya. Selama masa kawin, jantan dan betina yang
berpasangan tinggal bersama. Setelah masa kehamilan yang bervariasi antara 95 hari sampai 112
hari, jumlah anak antara 1-6 ekor dengan yang mampu bertahan hidup sampai dewasa biasanya
hanya 2 ekor saja. Betina melahirkan setiap 3-4 tahun sekali. Harimau betina menjadi dewasa
secara seksual pada umur 3-4 tahun, sedangkan jantan pada umur 4-5 tahun. Usia maksimal dari
seekor harimau adalah 20-25 tahun baik yang liar ataupun di penangkaran (BKSDA Sumbar,
2006).
Harimau merupakan hewan penyendiri (soliter) kecuali induk yang sedang mengasuh anak
atau pada masa perkawinan. Tempat membesarkan anak biasanya di dalam goa-goa, celah tebing
sungai tak berair, di bawah lipatan atau singkapan batu berlorong dan di rongga pokok batang
kayu tua, di suatu tempat yang kering seperti di bawah lipatan akar pohon besar dan di tengah
rumpun pakis sarang burung berukuran lebih dari 1 meter.
Anak harimau yang berkelamin jantan akan lebih cepat meningggalkan induknya dari pada
yang betina. Ketika anak jantan telah memisahkan diri, anak betina masih akan mengikuti
induknya untuk diajari perilaku tertentu yang berguna demi kelestarian jenisnya. Setelah
memisahkan diri dari induknya, maka pejantan muda akan ‘berkelana’ menjelajahi hutan dan
biasanya menjauhi tempat dimana dia dilahirkan. Setelah menemukan lokasi yang dianggap

6
cocok maka akan dijadikan sebagai home range-nya. Sedangkan betina muda biasanya
menempati area yang masih berdekatan dengan tempat dia dilahirkan (Raharyono dkk, 2001).
2. Habitat dan Penyebaran
Habitat harimau sumatera merupakan suatu daerah tempat harimau hidup dan melakukan
aktivitas sehari-harinya, seperti mencari makan, reproduksi, bermain dan beristirahat. Harimau
memiliki daya adaptasi yang tinggi dan mampu hidup pada hutan bekas tebangan, selama hutan
tersebut mampu menyediakan pakan baginya. Berdasarkan laporan tahun 2003 ZSL-JTP bahwa
harimau sumatera memanfaatkan kawasan hutan dan semak di area konsesi kawasan HPH PT
Asialog dan perkebunan kelapa sawit PT Asiatic Persada (pada areal yang belum dikelola atau
masih berupa hutan) sebagai habitatnya.
Seidensticker dkk. (1999) menyebutkan bahwa harimau tidak pernah ditemukan jauh dari
air namun mempunyai adaptabilitas besar terhadap tempat dengan iklim yang berbeda-beda,
mulai dari hutan kayu cemara yang beriklim sedang sampai hutan rimba tropis dan rawa-rawa
bakau. Secara geografis, penyebaran harimau nyaris menjangkau Asia, yaitu dari Turki Timur
sampai Laut Okhotsk. Dalam kurun waktu 50 tahun terakhir, wilayah hidup mereka banyak
berkurang, namun harimau masih dapat dijumpai di beberapa wilayah hutan, yaitu hutan kering
(dry deciduous), hutan lembab (moist deciduous), hutan semi-hijau (semi-evergreen), hutan hijau
basah (wet evergreen), sungai, rawa-rawa dan hutan bakau (Sunquist, 1999).
Harimau Sumatera terdapat di sekitar ketinggian 2.000 mdpl, baik pada hutan primer
maupun sekunder (Treep, 1973, 1978; Griffiths, 1993 dalam Shepherd dan Magnus, 2005).
Harimau Sumatera hidup di dataran rendah maupun tinggi pada hutan hujan tropis dan hutan
rawa air tawar di seluruh Sumatera (Wikramanayake dkk, 2002 dalam Shepherd dan Magnus,
2005). Tetapi sangat disayangkan habitatnya sudah semakin sedikit bagi harimau dan sumber
makanannya yang lama kelamaan akan menghilang dalam waktu cepat. Pada sekitar tahun 1985
dan 1997, perkiraan luas hutan di Sumatera adalah 67.000 km2, dimana sebagian besar adalah
hutan hujan tropis dataran rendah. Namun demikian, setiap tahunnya terjadi peningkatan
pemusnahan hutan di seluruh Indonesia. Secara nasional, pada tahun 1980-an tingkat pembabatan
hutan adalah 8.000 km2 per tahunnya. Pada awal 1990-an, jumlah tersebut meningkat pada
sekitar 12.000 km2 per tahunnya. Dan sekitar tahun 1996 hingga saat ini, jumlah tersebut
meningkat hampir dua kali lipat hingga lebih dari 20.000 km2 per tahunnya. Pada Sumatera saja,
perkiraan hilangnya hutan di dataran rendah pada tahun 1985 hingga 1997 sekitar 2.800 km2 per

7
tahunnya (Wikramanayake dkk, 2002 dalam Shepherd dan Magnus, 2005). Petugas kehutanan
Indonesia sendiri mengatakan bahwa penebangan hutan secara liar telah menyebar luas dan tidak
terkendali (Paddock, 2004 dalam Shepherd dan Magnus, 2005). Hanya tertinggal sedikit area
dengan luas hutan yang cukup di dataran rendah untuk menyangga populasi harimau.
Habitat harimau sangat bervariasi tergantung daerah yang dapat mensuplai kebutuhan air,
satwa dan tempat untuk berlindung terpenuhi. Di Sumatera harimau hidup mulai di ketinggian 0
m (permukaan laut) sampai pegunungan Bukit Barisan pada ketinggian lebih dari 2000 m di atas
permukaan laut. Kadang-kadang memasuki hutan mangrove di pantai timur Sumatera. Selain itu
juga dilaporkan ditemui di daerah pantai berawa payau dan tawar, dataran rendah atau perbukitan
dengan tipe vegetasi hutan primer, sekunder padang rumput, lahan perkebunan atau pertanian
(BKSDA Sumbar, 2006; O’Brien dkk, 2003). Harimau juga dapat sewaktu-waktu bermigrasi.
Migrasi ini mungkin terjadi apabila ada wabah penyakit yang menyerang atau menyapu habis
populasi hewan mangsanya. Harimau juga bermigrasi saat mengikuti kumpulan babi hutan atau
hewan mangsa lainnya. Migrasi ini diselingi apabila harimau berhasil membunuh mangsa yang
besar dan membutuhkan waktu beberapa hari untuk menghabiskan makanan tersebut (BKSDA
Sumbar, 2006).
3. Perilaku Pemangsaan dan Hewan Mangsa Potensial
BKSDA Sumbar (2006) menjelaskan bahwa dalam mencari mangsanya harimau melakukan
penjelajahan dengan kondisi ideal jelajah mencapai 100 km2. harimau juga dapat berenang dan
memanjat pohon. Saat menjelajah daerah kekuasaannya baik harimau jantan ataupun betina,
kadang mengangkat ekornya dan menyemprot pohon dan semak dengan suatu cairan yang
merupakan campuran antara urin dengan sekresi kelenjar. Cairan berbau tajam ini berfungsi
sebagai penanda wilayah. Hasil penelitian ZSL-JTP bersama tim Tiger dari Wildlife Conservation
Society-Indonesia Programme (WCS-IP) pada bulan September 2006 di Suaka Margasatwa
Dangku ditemukan bahwa bekas aktivitas dari seekor induk harimau dan anaknya, yaitu bekas
cakaran dan bau tajam urin di tengah hamparan padang rumput (Salampessy, 2006).
Harimau menggunakan teknik perburuan yang mengandalkan taktik perburuan individual,
bersembunyi, mengejar dan menyerang secara tiba-tiba lalu membunuh mangsanya. Namun tidak
semua mangsa diserang dengan cara yang sama, misalnya ada beberapa mangsa yang diterkam
pada panggul belakangnya, ada yang diterkam pada bagian lehernya dan ada juga yang digigit
secara mematikan pada bagian tenggorokan atau bagian belakang tengkuknya. Sifat memangsa

8
ini mungkin berbeda berdasarkan ukuran atau spesies mangsa dan berbeda berdasarkan
habitatnya, dan ada juga sifat memangsa yang berubah berdasarkan pengalaman (Sunquist dkk,
1999).
Saat berburu, seekor harimau dapat melompat sejauh 5-6 m. Mereka dapat melompati
rintangan setinggi 1,8 m atau lebih dengan mudah. Harimau juga hewan yang menyukai air dan
perenang yang baik, tetapi karena badannya besar dan berat, harimau bukanlah pemanjat yang
baik. Harimau muda dapat memanjat dengan lebih lincah dibandingkan dengan harimau dewasa
yang memanjat hanya dalam keadaan darurat (BKSDA Sumbar, 2006). Mangsa harimau yang
berukuran kecil dibunuh degan satu gigitan di tengkuk. Mangsa yang lebih besar, lebih kuat atau
memiliki senjata untuk mempertahankan diri seperti tanduk, dibunuh dengan satu gigitan di
kerongkongan, baik dari samping ataupun dari bawah. Harimau dapat membunuh gajah dengan
melompat naik ke punggungnya, mengigit dan mencakar leher, kepala dan punggungnya dan
akhirnya membunuh gajah itu dengan gigitan di kerongkongan (BKSDA Sumbar, 2006).
Harimau membutuhkan kondisi yang spesifik saat berburu, seperti tutupan yang cukup
sehingga dapat bergerak sampai jarak 10-25 m dari mangsanya tanpa diperhatikan, lalu ia akan
mengejutkan mangsanya dengan suatu serangan tiba-tiba. Jika memungkinkan, harimau akan
mendekat hingga jarak 2-4 m dari mangsanya dan menangkapnya dengan suatu lompatan cepat,
atau dengan suatu pengejaran yang singkat. Jika harimau kehilangan kesempatan untuk
menyerang secara tiba-tiba, ia akan mengejar mangsanya hingga sejauh 100-200 m, dan jika tetap
tidak tertangkap, baru ia akan menyerah.
Harimau umumnya menghindari manusia, hanya harimau tua atau sakit, yang menyerang
manusia, karena manusia adalah mangsa yang lemah dan mudah ditangkap. Harimau yang masih
muda dan sehat dapat menjadi pemakan manusia saat populasi hewan mangsa sudah sangat
berkurang sehingga hanya tersisa sedikit pilihan mangsa. Saat masa sulit, harimau bisa bertahan
beberapa hari tanpa makan, atau mereka makan hewan-hewan kecil, telur, burung atau bahkan
buah-buahan liar. Dalam kondisi darurat, harimau akan makan daging apapun, tidak peduli
apakah daging tersebut sudah busuk, bahkan terkadang merebut bangkai hasil buruan hewan lain
(BKSDA Sumbar, 2006).
Harimau secara umum suka memangsa kijang (Muntiacus muntjak), babi hutan (Sus
scrofa), babi berjenggot (Sus barbatus), rusa sambar (Cervus sp), dan kancil (Tragulus napu).
Akan tetapi dalam kondisi tertentu harimau juga akan memangsa monyet ekor panjang (Macaca

9
fascicularis), lutung (Trachypitecus auratus), musang (Mustela nudipes), binturong (Arctictis
binturong), luak (Paradoxorus hermaphroditus), garangan (Herpestes javanicus), kucing hutan
(Felis bengalensis), trenggiling (Manis javanica), landak (Hystrix javanica), ayam hutan (Galus
galus), burung semak, reptil dan ikan (Raharyono dkk, 2001). Hasil penelitian ZSL-JTP (2006)
pada kotoran harimau yang ditemukan biasanya mengandung serpihan tulang dan rambut dari
jenis babi hutan (Sus sp), rusa sambar (Cervus timorensis), kijang (Muntiacus muntjak), jenis
monyet (Macaca sp). Menurut hasil penelitian Borner (1977) dalam BKSDA Sumbar (2006),
melaporkan hasil analisis kotoran harimau di Sumatera menunjukkan bahwa makanan utamanya
adalah babi hutan (Sus scrofa), rusa sambar (Cervus sp), muncak (Muntiacus muntjak), kancil
(Tragulus javanicus) atau napu (Tragulus napu), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) atau
beruk (Macaca nemestrina).
B. Status dan Perlindungan terhadap Harimau Sumatera
Dibandingkan dengan waktu silam, saat ini jumlah harimau sumatera yang hidup secara liar
sudah jauh lebih sedikit. Pada awal abad 20, pemerintah kolonial Belanda sering melaporkan
harimau sebagai pengganggu, yang seringkali dengan berani mendatangi pemukiman penduduk
di perkebunan (Treep, 1973 dalam Shepherd dan Magnus, 2005). Borner (1978) dalam Shepherd
dan Magnus (2005) memperkirakan ada 1000 Harimau Sumatera; sepuluh tahun kemudian,
Santiapillai dan Ramono (1985) dalam Shepherd dan Magnus (2005) merasa bahwa populasi
seharusnya dihitung dalam hitungan ratusan dan bukan ribuan.
Berdasarkan Konferensi Internasional tahun 1992 tentang Analisis Kelayakan Populasi dan
Habitat Harimau Sumatera, jumlah harimau yang tersisa kurang dari 400 harimau yang tinggal di
enam tempat kawasan hutan lindung di Sumatera. Dan sekitar 100 harimau lainnya yang tinggal
di luar hutan lindung, kemungkinan tidak akan bertahan lama (Tilson dkk, 1994 dalam Shepherd
dan Magnus, 1994). Penilaian ini berdasarkan pada perkiraan populasi harimau yang dibuat oleh
staf PHPA di seluruh Sumatera, yang berasumsi bahwa terdapat satu sampai tiga ekor
harimau/100 km2 tergantung pada jenis habitat dan memperkirakan luas wilayah hidup harimau
potensial menggunakan Analisis Geographic Information System (GIS atau sistem informasi
geografis) terhadap habitat hutan yang tersisa (Franklin dkk, 1999).
Habitat yang terdegradasi dan semakin sedikitnya jumlah populasi dari hewan mangsanya
yang umumnya diketahui sebagai faktor utama yang bertanggungjawab pada berkurangnya
populasi harimau secara drastis di Asia (Seidensticker dkk, 1999). Berada pada posisi puncak

10
pada rantai makanan, karnivora besar lebih mudah menghadapi kepunahan dari pada hewan lain
saat habitat terfragmentasi menjadi bagian-bagian kecil dan populasi hewan mangsanya semakin
sedikit (Millet dkk, 1999 dalam Nugraha, 2005). Konflik harimau-manusia adalah penyebab
umum kedua setelah perburuan liar yang menyebabkan menurunnya populasi harimau
(Seidensticker dkk, 1999).
Sinaga, (2005) menjelaskan untuk mempertahankan kelestarian harimau sumatera yang
perlu mendapat perhatian, adalah: kondisi habitat yang baik, tersedianya air, populasi satwa
mangsa yang cukup dan areal yang cukup luas. Kenyataan saat ini habitat harimau di pulau
Sumatera telah banyak mengalami perubahan dan kerusakan, hal ini sebagian besar diakibatkan
oleh konversi hutan menjadi lahan pertanian, perkebunan, tanaman monokultur, jaringan jalan,
pemukiman, perladangan masyarakat dan kebakaran hutan dan lahan serta perambahan. Dari
keadaan tersebut di atas secara mendasar terdapat lima pokok permasalahan yang menyebabkan
populasi harimau sumatera di habitat alami terus menurun, yaitu: terjadinya fragmentasi habitat,
meningkatnya kerusakan habitat, tingginya perburuan harimau, meningkatnya perburuan satwa
mangsa harimau, banyaknya pemindahan harimau penyebab konflik dari habitat alami ke
lembaga konservasi eksitu.
Harimau sumatera merupakan salah satu jenis satwa yang dilindungi perundang-undangan
di Indonesia (LIPI, 2001 dalam Nugraha, 2005). Menurut Pasal 21 ayat 2 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Harimau sumatera ini merupakan jenis spesies payung bagi area taman nasional dan area-area
perlindungan lainnya di Sumatera. Populasi harimau yang mampu bertahan sebagai predator
utama pada tingkat trofik, memainkan peranan penting pada keseimbangan sosial dalam
komunitas ekologi. Karena itu menyelamatkan harimau berarti membantu membangun
perlindungan terhadap ekosistem di dalam area-area perlindungan (Nugraha, 2005).
Menurut Konvensi Internasional tentang perdagangan dan peredaran tumbuhan dan satwa
liar yang disebut Appendix CITES (Convention on International Trade in Endangered Species)
yang telah diratifikasi oleh Indonesia, harimau sumatera dikategorikan sebagai jenis yang
termasuk kategori Appendix I (2002). Spesies yang dikategorikan ke dalam Appendix I adalah
spesies yang berada dalam keadaan bahaya atau genting (endangered) dan dianggap terancam
oleh kepunahan. Perdagangan yang bersifat komersial dilarang bagi spesies yang masuk dalam
kategori ini (Soehartono dan Mardiastuti, 2002). IUCN (International Union For Conservation of

11
Nature and Natural Resources-Badan Internasional Pelestarian Alam dan Sumberdaya Alam)
mengkategorikan harimau sumatera sebagai jenis satwa yang mendapat status EN
(Endangered/mendekati punah).
Sinaga (2006) menyatakan bahwa upaya perlindungan harimau di Provinsi Jambi telah
dilakukan oleh instansi Kehutanan, KSDA, Taman Nasional maupun patroli gabungan dengan
POLRI dan instansi terkait lainnya sesuai kebutuhan serta unit anti perburuan dan perdagangan
harimau yang telah dibentuk oleh Flora Fauna Internasional-Indonesia (FFI-ID), Sumatran Tiger
Conservation Program (STCP), ZSL-JTP. Dengan dibentuknya tim Penanggulangan Perburuan
Ilegal harimau sumatera dan jenis-jenis satwa liar dilindungi lainnya di Propinsi Jambi yang
ditetapkan dengan Surat Keputusan Gubernur Jambi Nomor: 235 Tahun 2005 Tanggal 12 Juli
2005, telah memberikan dukungan yang besar dalam percepatan penyelesaian dan penanganan
kasus tindak pidana bidang satwa liar.
Keberadaan harimau sumatera di Provinsi Jambi tersebar di dalam dan di luar dari kawasan
hutan yang dilindungi. Populasi dari satwa langka ini belum banyak diketahui jumlahnya di alam
secara pasti. Hasil penelitian ZSL, untuk sementara ini di kawasan hutan bertetangga dengan
areal kebun PT Asiatic Persada di Sungai Bahar Kabupaten Batang Hari, sekurangnya, ada 7 ekor
harimau sumatera (dewasa). Tiga ekor diantaranya betina yang sudah mampu berkembang biak.
Pelestarian harimau di sekitar kebun sawit, akan mampu berperan sebagai predator memangsa
hama pengganggu babi hutan yang suka memakan buah sawit.
Berdasarkan data Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Jambi Tahun 1999,
jumlah harimau sumatera di provinsi Jambi diperkirakan ada 150 hingga 200 ekor. Di hutan
Taman Nasional Kerinci Seblat diperkirakan ada 35-40 ekor, Taman Nasional Berbak 25-30
ekor, Taman Nasional Bukit Tigapuluh dan sekitarnya terdapat 15-20 ekor, Taman Nasional
Bukit Duabelas 10-15 ekor, serta di luar kawasan konservasi lebih kurang sebanyak 100 ekor.
Pada tahun 1992, peserta seminar harimau sumatera Population and Habitat Viability
Analysis (PHVA) memperkirakan jumlah populasi harimau di Kerinci Seblat dan hutan
sekitarnya ada 76 ekor harimau (Faust dan Tilson, 1994 dalam Shepherd dan Magnus, 2005).
Namun Hartana dan Martyr (2001) dalam Shepherd dan Magnus (2005) menganggap bahwa
jumlah itu terlalu sedikit, berpijak pada hasil perangkap kamera jebak (camera trap), penelitian
lapangan dan patroli yang dipimpin oleh Fauna Flora Internasional-Indonesia (FFI-ID) sejak
1995. Mereka beranggapan bahwa taman nasional itu memiliki kapasitas penyangga bagi

12
kehidupan 170 ekor harimau, yang didasarkan pada Analisis GIS dari gambaran satelit untuk area
tersebut. Walaupun demikian, perburuan liar tetap menjadi ancaman yang serius dan mereka
tidak memperkirakan jumlah sebenarnya dari harimau yang ada di taman nasional tersebut.
Berdasarkan hasil seminar PHVA mengenai harimau sumatera, diperkirakan bahwa jumlah
populasi harimau di Taman Nasional Berbak sekitar 50 ekor (Faust dan Tilson, 1994 dalam
Shepherd dan Magnus, 2005). Santiapillai dan Ramono (1985) dalam Shepherd dan Magnus
(2005) menganggap TN Berbak sebagai cagar alam yang penting dengan populasi harimau yang
signifikan. Hingga saat ini, hanya ada sedikit usaha penelitian harimau di Berbak. Taman
Nasional Bukit tiga Puluh, Sumatran Tiger Conservation Program (STCP) telah mulai
menggunakan penelitian dengan kamera jebak (camera trap) di Taman Nasional Bukit Tigapuluh
(Shepherd dan Magnus, 2005).
Salampessy (2006) mengungkapkan hasil survey Tiger dan Clouded Leopard di kawasan
HPH PT Asialog dan area perkebunan PT Asiatic Persada pada bulan Mei-September 2006,
menunjukkan hasil identifikasi jejak, kotoran dan Camera Trap bahwa aktivitas harimau masih
banyak ditemukan pada kawasan HPH PT Asialog yang berdekatan dengan hutan Sumbagsel.
Kemungkinan harimau tersebut berasal dari Sumbagsel yang setiap tahunnya selalu bergerak dari
hutan Sumbagsel ke HPH PT. Asialog dan sebaliknya. Camera Trap yang dipasang pada kawasan
HPH PT Asialog telah mendapatkan beberapa foto satwa yang menarik, diantaranya seekor
clouded leopard (Neofelis nebulosa), seekor individu harimau baru belum teridentifikasi dan
seekor harimau yang telah teridentifikasi dari sedikitnya 11 individu harimau yang telah
diidentifikasi.
Susmianto (2004) dalam makalahnya pada rapat Koordinasi Konservasi Harimau dan
Orangutan Provinsi Jambi, menyebutkan terdapat empat (4) prioritas utama yang sudah
dirumuskan dalam Strategi Konservasi Harimau Sumatera sebagai berikut:
1) Pengamanan dan perlindungan populasi harimau sumatera yang masih tersisa serta habitatnya
2) Pengembangan pengelolaan konservasi populasi harimau sumatera yang masih tersisa,
meliputi dukungan demografi dan genetik bagi semua populasi yang ada
3) Pembangunan program penangkaran untuk peningkatan dan pemulihan populasi harimau di
alam
4) Pengembangan komunikasi dan network (jaringan kerja) yang bertanggung jawab atas
lestarinya harimau sumatera dengan melibatkan unsur pemerintah, lembaga konservasi

13
nasional maupun internasional, Lembaga Swadaya Masyarakat dan masyarakat Indonesia
umumnya.
C. Gambaran Ekosistem Hutan Jambi
Menurut berbagai sumber menyebutkan bahwa Propinsi Jambi memiliki keragaman
ekosistem terlengkap. Provinsi ini memiliki hutan pegunungan dataran tinggi (tipe hutan sub
alpin) pada daerah-daerah yang membentang sepanjang Bukit Barisan. Disamping itu, provinsi
Jambi juga memiliki hutan dataran rendah pada wilayah-wilayah menuju pantai timur yang landai
serta hutan rawa (KKI-WARSI, 2004). Luas wilayah propinsi Jambi adalah ± 5.1 juta hektar,
dimana sekitar 40% merupakan kawasan hutan yang terbentang dari Taman Nasional Kerinci
Seblat di sebelah Barat sampai Taman Nasional Berbak di sebelah Timur (Dephut, 2006).
Kelengkapan tipe ekosistem hutan ini diwakili oleh beberapa taman nasional, diantaranya
(KKI WARSI, 2004):
1) Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang merupakan perwakilan ekosistem pegunungan
dataran tinggi. TNKS berada pada 4 propinsi (Jambi, Sumatera Barat, Bengkulu dan
Sumatera Selatan), TNKS merupakan salah satu taman nasional di pulau Sumatera yang
cukup dikenal dengan keragaman hayatinya.
2) Taman Nasional Berbak (TNB), merupakan salah satu wilayah yang mewakili ekosistem
dataran rendah berawa.
3) Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT), merupakan perwakilan hutan dataran rendah yang
berbatasan dengan propinsi Riau.
4) Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), berdasarkan fungsinya merupakan habitat
perlindungan bagi orang rimba (Suku Anak Dalam)
Keempat Taman Nasional yang merupakan perwakilan lengkap ekosistem tersebut masih
menyimpan keragaman hayati yang cukup besar. Hal ini berpotensi sebagai salah satu indikator
keberadaan ekosistem yang utama. Salah satu spesies kunci yang masih eksis di TNKS adalah
harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae). Keberadaannya menjadi salah satu indikator
terjaganya ekosistem. Karnivora besar ini merupakan penentu dalam jaring-jaring makanan
(rantai makanan) dalam habitatnya. Dewasa ini, keberadaannya terancam karena maraknya
perdagangan bagian tubuhnya. Disamping itu, gajah (Elephas maximus) juga menjadi sangat
penting keberadaannya di TNKS dan TNBT (KKI-WARSI, 2004).

14
Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) propinsi Jambi telah disahkan oleh Menteri
Kehutanan dengan Surat Keputusan No. 46/Kpts-II/87 tanggal 12 Pebruari 1987. Sedangkan
Rencana Struktur Tata Ruang Propinsi Jambi (RSTRP) telah disahkan dengan Perda No. 9 Tahun
1993 tanggal 23 Desember 1993. Pemaduserasian antara TGHK dan RSTRP dilaksanakan pada
tanggal 26 Maret 1994 dan telah menghasilkan Peta Tata Ruang Wilayah Propinsi Jambi dan
telah disahkan oleh Menteri Dalam Negeri dengan SK No. 10 Tahun 1995 tanggal 10 Pebruari
1995 (Dephut, 2006). Adapun luas kawasan hutan berdasarkan RTRWP tersebut adalah
±2.428.315 ha, dengan rincian detail seperti pada Tabel 1 dan 2.
Tabel.1 Klasifikasi luas kawasan berdasarkan TGHK Propinsi Jambi (Dephut, 2006)
No Fungsi Hutan (TGHK) Luas (ha)
1 Suaka Alam Hutan Wisata 602.900
2 Hutan Lindung 181.200
3 Kawasan Hutan Produksi
- Hutan Produksi Terbatas 363.100
- Hutan Produksi Tetap 1.073.100
- Hutan Produksi yang dapat dikonversi 726.900
Jumlah Kawasan Hutan 2.947.200
4 Areal Penggunaan lain 2.151.000
Jumlah Wilayah 5.098.200

Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa provinsi Jambi mempunyai luasan suaka alam hutan wisata
sekitar 11,8%, hutan lindung 3.55%, kawasan hutan produksi 42,4% dan areal untuk penggunaan
lain, yaitu 42,2%. Dari angka ini terlihat bahwa kawasan hutan untuk produksi lebih besar dari
pada kawasan hutan wisata ditambah dengan luas kawasan hutan lindung.
Pada tabel 2 dapat dilihat fungsi hutan dibagi menjadi enam dengan luasan masing-masing,
yaitu suaka alam dan cagar budaya sebesar 11,8%, hutan lindung 2,6%, perlindungan setempat
7,3%, budidaya kehutanan 25,9%, kawasan eksploitasi minyak bumi 0,14% dan kawasan
pertanian dan non pertanian 52,2%.

15
Tabel.2 Klasifikasi luas kawasan berdasarkan RTRWP Jambi (Dephut, 2006)
No Fungsi Hutan (RTRWP) Luas (ha)
1 Suaka Alam dan Cagar Budaya
- Taman Nasional 545.000
- Cagar Biosfer 22.800
- Cagar Alam 6.900
- Tahura 22.850
- Lab. Hutan Alam/Gama 300
- Hutan Penelitian Biotrop 2.700
2 Kawasan Hutan Lindung 134.500
3 Kawasan Perlindungan Setempat
- Sempadan Sungai 268.440
- Sempadan Pantai 18.500
- Kawasan Lindung Gambut 85.625
4 Kawasan Budidaya Kehutanan
- Hutan Produksi Terbatas 420.200
- Hutan Produksi Tetap 870.500
- Hutan Produksi Pola Partisipasi Masyarakat 30.000
Jumlah Kawasan Hutan 2.428.315
5 Kawasan Eksploitasi Minyak Bumi 7.250
6 Kawasan Pertanian & Non Pertanian 2.665.035
Jumlah Wilayah 5.100.600

Beberapa publikasi pernah mengungkapkan bahwa laju kerusakan dan kepunahan


sumberdaya hutan Indonesia sangat tinggi pada beberapa tahun terakhir. Jika seratus tahun yang
lalu Indonesia masih memiliki hutan yang melimpah, tutupan hutan total pada waktu itu
diperkirakan sekitar 170 juta ha, sebuah angka yang fantastis jika dibandingkan dengan kondisi
hari ini. Saat ini, tutupan hutan sekitar 98 juta hektar, tutupan hutan ini tersebar mulai dari
daratan Sumatera hingga daratan Papua. Banyak pihak meyakini bahwa sebagian dari tutupan
hutan Indonesia hari ini telah mengalami degradasi yang cukup parah. Pulau Sumatera
mengalami penyusutan tutupan hutan antara tahun 1985 sampai 1997 seluas 67.000 km2.
Degradasi tutupan hutan ini secara umum berlaku di Indonesia; illegal logging skala besar untuk
pasokan industri perkayuan, perluasan areal pertanian, land clearing bagi perkebunan besar
swasta, hingga yang disebabkan oleh bencana kebakaran hutan (KKI-WARSI, 2004).
Menurut Departemen Kehutanan (1997) dalam KKI-WARSI (2004), Propinsi Jambi hanya
menyisakan hutan seluas 1.603.079 Ha atau 42% dari tutupan hutannya. Penyusutan ini terjadi
antara kurun 1985-1997, diakui bahwa penyebab utama dari penyusutan ini merata di seluruh
wilayah Indonesia. Akan tetapi secara pasti belum pernah ada publikasi, tampilan informasi dan
data selama ini yang dipahami bersama mengenai kondisi hutan Jambi, paling tidak dalam
rentang waktu tertentu. Berbagai sumber memunculkan data dan informasi versi mereka sendiri.

16
Pada banyak kasus sebenarnya malah tidak ada data yang bisa ditampilkan. Kondisi ini
memunculkan persoalan karena masing-masing sumber yang sama-sama resmi memunculkan
data yang tidak sama sehingga menimbulkan presepsi yang berbeda-beda.
D. Interaksi antara Manusia dan Harimau
Makhluk hidup yang tinggal dan hidup dalam suatu ekosistem yang sama akan berinteraksi
satu sama lain. Interaksi ini terjadi antara spesies yang sama dan juga antara spesies yang
berlainan. Suatu interaksi dapat terdiri dari interaksi positif dan interaksi negatif. Bentuk interaksi
positif, yaitu apabila kedua spesies atau kelompok spesies tersebut mendapatkan keuntungan dari
interaksi tersebut yang disebut mutualisme, interaksi positif lainnya adalah komensalisme yaitu
apabila salah satu spesies atau kelompok spesies mendapatkan keuntungan dari hasil interaksi
tersebut sedangkan spesies atau kelompok spesies yang lain tidak mendapat keuntungan juga
tidak menderita kerugian. Bentuk dari interaksi negatif meliputi kompetisi, yaitu kedua spesies
atau kelompok spesies bersaing mendapatkan sumber daya yang sama; parasitisme dan predasi
adalah bentuk interaksi negatif dimana salah satu spesies atau kelompok spesies mendapatkan
keuntungan dari interaksi sedangkan spesies yang lain terhambat karena adanya interaksi ini.
Interaksi antara populasi dalam suatu ekosistem ini sangat penting sehingga perubahan-
perubahan yang terjadi pada satu populasi akan berpengaruh pada populasi lainnya (Deshmukh
dkk, 1992).
Jauh sebelum sejarah mulai dicatat, harimau dan manusia telah hidup berdampingan di
Asia. Manusia bersaing dengan harimau untuk memperoleh makanan; kadang-kadang harimau
membunuh manusia dan dengan kecerdasan manusia untuk mencipta teknologi, manusia mampu
membunuh harimau (Seidensticker dkk, 1999). Hubungan interaksi manusia dengan hewan
illegal logging di seluruh dunia bervariasi. Di negara-negara Asia, hubungan interaksi ini berupa
kultur. Manusia menggunakan hewan illegal logging sebagai simbol dalam keagamaan, kota dan
juga olahraga (Knight, 2004 dalam Nugraha, 2005). Contohnya elang jawa (Spizaetus bartelsi)
merupakan inspirasi untuk menjadi lambang negara Indonesia, gambar harimau digunakan
sebagai simbol Olympic games di Korea Selatan dan masih banyak lagi hewan liar lain yang
mempengaruhi kehidupan manusia. Masyarakat di daerah Kerinci menganggap harimau sebagai
teman tetapi harimau juga diperlakukan sebagai musuh. Masyarakat Sumatera menghormati dan
juga takut terhadap harimau. Masyarakat percaya bahwa hubungan spesial antara manusia dengan

17
harimau dikarenakan adanya perjanjian yang dibuat oleh nenek moyang manusia dan harimau
(Bakels, 2004 dalam Nugraha, 2005).
Konflik antara manusia dengan harimau merupakan salah satu jenis interaksi, berupa
interaksi negatif dimana konflik ini terjadi karena kebutuhan sumber daya yang sama atau
kompetisi dan juga terjadi predasi antara harimau yang membunuh atau melukai manusia dan
binatang ternak dan sebaliknya manusia yang memburu harimau. Treep (1973) dalam Shepherd
dan Magnus (2004) menuliskan bahwa insiden yang terjadi pada abad ke-20 dimana harimau
membunuh manusia dan hewan ternaknya, oleh karena itu harimau tersebut lalu diburu dan
dibunuh.
Hasil penelitian Nugraha (2005) menunjukan bahwa interaksi antara manusia dengan
harimau terjadi pada saat harimau mulai terlihat di sekitar perkebunan masyarakat. Harimau
mendekati perkebunan ini pada saat waktu panen karena pada saat itu babi hutan dan rusa datang
menyerbu perkebunan. Keberadaan mangsa utama harimau tersebut di perkebunan menarik
harimau untuk memasuki perkebunan dan harimau belajar bahwa hewan mangsanya banyak
tersedia di area tersebut. Kerusakan hutan yang disebabkan oleh illegal logging dan lokasi desa
penduduk didekat atau di koridor habitat merupakan faktor yang menyebabkan harimau dan
hewan mangsanya bergerak mendekati desa dan menyebabkan interaksi. Interaksi antara manusia
terjadi pada saat masyarakat sedang bekerja di kebunnya. Perkebunan tebu (Saccharum
officinarum) menyediakan tempat bergerak dan bersembunyi bagi harimau sementara menunggu
kedatangan hewan mangsanya. Alasan yang menyebabkan hewan ini menyerang manusia sulit
untuk dijelaskan, apabila hewan mangsa harimau ini tidak tersedia di area ini harimau mungkin
mengharapkan mendapatkan mangsa lainnya seperti hewan ternak.
BAB III. KONFLIK ANTARA MANUSIA DAN HARIMAU SUMATERA
Konflik atau perseteruan manusia dengan harimau disebabkan oleh aktifitas atau kebiasaan
dari keduanya yang berakibat buruk pada satu sama lain pada area yang didominasi oleh manusia.
Konflik ini berakibat buruk terhadap fisik, ekonomi dan psikologi manusia. Konflik berawal dari
harimau yang memakan atau menyerang hewan peliharaan atau masyarakat yang takut diserang
atau dibunuh oleh harimau yang mempunyai kediaman atau daerah jelajahnya dekat dengan
pemukiman penduduk, kehawatiran ini dapat diukur dari dampak ekonomi yang timbul dari para
penduduk saat ketakutan terhadap harimau mencegah mereka untuk beraktifitas secara normal
(Nugraha, 2005).

18
Harimau sumatera dengan status konservasi critical endangered menjadi ancaman bagi
manusia dan hewan peliharaannya begitu juga sebaliknya, akibat aktivitas manusia, harimau
menganggap keberadaan manusia juga sebagai suatu ancaman bagi kehidupannya. Jumlah
konflik antara manusia dengan harimau terus meningkat karena adanya pergeseran fungsi hutan
yang disebabkan oleh perkebunan, penebangan hutan serta pertanian masyarakat yang terus
merambah hutan hingga mendekati habitat harimau. Lebih dari itu, di sekitar lahan pemukiman
penduduk yang baru dibuka, dengan cepat mengurangi kehadiran spesies lain sebagai makanan
harimau, terutama rusa (Shepherd dan Magnus, 2004).
Menurut Nowel (2000) dalam Shepherd dan Magnus (2004) bahwa diberbagai daerah di
Sumatera memiliki tingkat konflik manusia dan harimau yang tinggi, suatu situasi dimana banyak
orang dan harimau telah menjadi korban. Konflik antara manusia dan harimau merupakan
permasalahan lokal yang akan selalu dihadapi dalam upaya pengelolaan konservasi, selama
manusia terus berlomba memperoleh lahan. Sebagian daerah Sumatera memang memiliki situasi
konflik yang sangat serius antara manusia dengan harimau, sehingga komunitas konservasi perlu
terus berusaha mencarikan solusi terbaik untuk permasalahan ini.
A. Penyebab Konflik
Konflik manusia dengan harimau merupakan salah satu faktor yang menyebabkan manusia
membunuh harimau (CITES, 1999 dalam Nugraha, 2005) karena menyerang manusia dan
memakan hewan peliharaan merupakan cerita yang paling umum dan menjadikannya alasan
untuk menyiksa harimau (Nugraha, 2005). Sukumar (1991) dalam Nugraha (2005) menjelaskan
bahwa tekanan manusia pada habitat dan sumber daya yang terdapat di area yang dilindungi hal
ini menyebabkan meningkatnya jumlah kejadian konflik dari waktu-kewaktu dan konflik ini
mengurangi dorongan dari masyarakat lokal dalam kegiatan konservasi dan dapat meningkatkan
perlawanan terhadap pekerjaan dari para peneliti yang bekerja di dalam area yang perlindungan
tersebut.
Menurut tinjauan status harimau selama paruh terakhir abad keduapuluh, para ahli
konservasi menunjukan adanya dua periode ‘krisis’ besar. Periode pertama muncul antara tahun
1960-an dan 1970-an, dimana saat itu menurunnya mutu habitat dan perburuan besar-besaran
terhadap harimau baik dengan tujuan olahraga, diambil kulitnya untuk diperdagangkan maupun
diburu karena adanya konflik antara harimau dengan penduduk setempat beserta ternaknya yang
menyebabkan populasi harimau berkurang secara signifikan, khususnya di sebagian India,

19
Kawasan Kaspia, Indonesia dan Republik Rakyat Cina (Hemley dan Mills, 1999). Periode krisis
kedua muncul di akhir tahun 1990, saat itu pembangunan ekonomi dan politik justru memicu
usaha perburuan liar yang berdampak sangat besar terhadap populasi harimau. Laporan adanya
peningkatan pelanggaran pembunuhan terhadap harimau, pertama datang dari India kemudian
Rusia serta lembaga-lembaga swadaya masyarakat mengungkapkan adanya arus perdagangan
ilegal bagian tubuh harimau yang berhasil disita ternyata diperuntukan untuk bahan campuran
obat-obatan (Hemley dan Mills, 1999).
Kenny dkk (1994) dalam Shepherd dan Magnus (2004) menjelaskan perburuan liar untuk
tujuan komersial, lebih mengakibatkan tingginya tingkat pengambilan dari alam, yang
menyebabkan penurunan tajam atau kepunahan terhadap populasi harimau yang sudah rentan.
Selain itu, bahwa tidak bijaksana untuk merasa puas meskipun usaha anti perburuan liar berhasil,
mengingat konsekuensi demografis dari perburuan liar yang tidak langsung terlihat dimana
kepunahan dapat muncul beberapa tahun setelah perburuan liar dikurangi atau dihapuskan. Data
yang dikumpulkan dari penelitian ini mengindikasikan bahwa selama lima tahun terakhir rata-rata
ada sekitar 51 harimau sumatera per tahun yang dibunuh dan dipindahkan dari habitatnya.
Dengan jumlah perkiraan total populasi 400-500 harimau, ini berarti bahwa sedikitnya ada 10%
yang hilang per tahunnya (Shepherd dan Magnus, 2004).
Setiap tahun, sejumlah ternak dan penduduk dibunuh oleh harimau di Sumatera, sebaliknya
para petani memberi racun pada harimau untuk melindungi ternak mereka. Para pemburu liar
membunuh harimau dalam jumlah yang tidak terhitung untuk memperdagangkan bagian tubuh
harimau secara ilegal (Nyhus dkk, 1999). BKSDA Sumbar (2006) dalam usulan protokol
penanganan konflik satwa liar harimau sumatera, menerangkan bahwa konflik satwa harimau
sumatera dan masyarakat dapat disebabkan beberapa hal, namun pada prinsipnya ada dua sebab
utama, yaitu:
a. Alamiah
Secara alami sepanjang tahun, satwa harimau memiliki siklus birahi dan kawin. Pada saat ini
biasanya satwa menjadi relatif lebih agresif dan ganas. Menurut literatur yang ada biasanya
musim kawin berlangsung saat musim hujan, dimana jenis mangsa populasinya mencukupi.
Musim hujan biasanya terjadi pada bulan-bulan Oktober-April (BKSDA Sumbar, 2006). Sampai
saat ini di Jambi belum ada laporan yang menerangkan tentang konflik alamiah ini.

20
b. Manusia
Manusia dapat menjadi faktor penyebab konflik satwa liar melalui dua cara, yaitu secara
langsung dan tidak langsung.
1) Secara langsung
Aktifitas manusia untuk mendapatkan daging, kulit, kuku ataupun bagian-bagian tubuh
lain dari satwa ini dengan cara berburu ataupun memasang perangkap memicu konflik
dengan satwa harimau. Penanganan konflik pada kejadian konflik yang disebabkan
perburuan satwa lebih difokuskan pada upaya penyelamatan satwa harimau yang diburu.
2) Tidak langsung
Konflik yang disebabkan oleh aktifitas tidak langsung oleh manusia memang tidak
berdampak langsung pada populasi dan kelestarian jenis harimau sumatera, namun faktor
tidak langsung ini juga merupakan salah satu faktor utama penyebab menurunnya populasi
harimau sumatera saat ini. Faktor tidak langsung ini antara lain; pembukaan wilayah hutan
yang merupakan habitat alami harimau sumatera, penebangan menyebabkan hilangnya
daerah cover (perlindungan) satwa ini, kebakaran hutan hingga perburuan dan pemasangan
perangkap terhadap jenis-jenis mamalia yang merupakan mangsa utama satwa ini seperti
rusa sambar, babi hutan dan kancil.
Kecenderungan terus menyempitnya habitat dan berkurangnya sumber makanan ini
membuat kehidupan satwa ini semakin terdesak dan akhirnya menimbulkan konflik karena satwa
ini mulai keluar dari habitatnya untuk mencari makan di desa-desa sekitar habitatnya. Percepatan
proses pembangunan dan peningkatan jumlah penduduk yang menuntut ketersediaan sumber
daya yang lebih banyak saat ini merupakan faktor pendorong semakin menipisnya habitat dan
sumber makanan harimau perlu diperhatikan dalam upaya penanganan konflik harimau sumatera.
Konflik antara manusia dan harimau merupakan permasalahan lokal yang akan selalu
dihadapi dalam upaya pengelolaan konservasi, selama manusia dan harimau terus berlomba
memperoleh lahan dan sumber penghidupan. Sebagian Sumatera memang memiliki situasi
konflik yang sangat serius antara manusia dengan harimau, sehingga komunitas konservasi perlu
terus berusaha mencarikan solusi yang tepat untuk permasalahan ini. Belum banyak penelitian di
Provinsi Jambi yang mencoba menjawab dampak dari pembukaan areal hutan dan konversi hutan
terhadap kelestarian harimau sumatera. Namun, dapat kita ambil pelajaran dari studi lapangan
yang telah dilakukan oleh Program Konservasi harimau sumatera di kota Dumai.

21
Sinaga (2005) mengungkapkan pembukaan areal hutan dan konversi hutan alam di Kota
Dumai dan sekitarnya telah menyebabkan:
a) Menurunnya kuantitas, kualitas dan daya dukung habitat terhadap harimau sumatera
b) Menurunnya populasi dan jenis satwa mangsa harimau seperti rusa, babi hutan, kera dan lain-
lain oleh karena beralih tempat atau bermigrasi ke tempat yang lebih baik dan karena mati
c) Tempat berlindung dan membesarkan anak menjadi hilang
d) Teritorial harimau sumatera menjadi berubah.
Keadaan tersebut telah menekan harimau sumatera untuk mencari teritorial baru dan masuk
ke pemukiman untuk mencari mangsa, sehingga telah menyebabkan konflik antara harimau
dengan manusia. Dalam kurun waktu 1980-2006, di Provinsi Jambi terdapat 26 kasus konflik
harimau dengan masyarakat yang telah terekam dan dilaporkan sebagai kasus pembunuhan
harimau secara sengaja maupun tidak sengaja, perdagangan bagian tubuh harimau serta ancaman
bagi kelestarian harimau (BKSDA Jambi, 2006; Salampessy, 2006; Shepherd dan Magnus,
2004).
World Wild Fund-Indonesia (WWF-ID) dalam Shepherd dan magnus (2004) menyebutkan
berdasarkan dari bukti subyektif, bahwa petugas taman nasional sering menutup mata untuk
melaporkan adanya pembunuhan harimau untuk melindungi manusia atau hewan peliharaannya.
Walau demikian, karena perburuan harimau itu ilegal, pembunuhan harimau sering tidak
dilaporkan meskipun kejadian penyerangan sebelumnya terhadap manusia atau hewan
peliharaannya sudah dilaporkan. Hal ini lebih dirumitkan lagi dengan adanya fakta bahwa tidak
ada sistem yang dapat memberi kompensasi pada masyarakat desa atas kehilangan properti atau
nyawa dalam peristiwa penyerangan harimau. Ini berarti bahwa penjualan ilegal atas harimau
yang mati setelah terjadi konflik dengan manusia adalah satu-satunya jalan bagi masyarakat
untuk faktor penyeimbang kerugian (Shepherd dan Magnus, 2004).
Akhir-akhir ini masyarakat desa yang menghadapi konflik dengan harimau mulai
memanggil bantuan unit konservasi dan perlindungan harimau, daripada berusaha mengatasi
masalah itu sendiri (Shepherd dan Magnus, 2004). Masalah utama dari konflik manusia-harimau
adalah persepsi dari masyarakat perkotaan di Indonesia bahwa harimau adalah satwa yang buas.
Persepsi ini dengan cepat menghapus kepercayaan tradisional mengenai harimau dan hubungan
yang saling menguntungkan dengan masyarakat (Shepherd dan Magnus, 2004).

22
Saat ini dirasakan bahwa tanggapan langsung yang pro-aktif oleh unit konservasi dan
perlindungan harimau dapat sangat membantu dalam pemecahan masalah konflik. disebutkan
bahwa sebagian besar konflik itu dipicu oleh adanya aktifitas manusia di dalam hutan. Jumlah
konflikpun semakin meningkat karena adanya perubahan habitat hutan yang disebabkan oleh
perkebunan, penebangan hutan serta pertanian masyarakat yang terus merambah hutan hingga
mendekati habitat harimau. Lebih dari itu, di sekitar lahan pemukiman penduduk yang baru
dibuka, dengan cepat mengurangi kehadiran spesies mangsa sebagai makanan harimau, terutama
rusa. Diperkirakan bahwa harimau-harimau yang banyak diperdagangkan adalah harimau yang
dibunuh dan ditangkap karena pertikaian dengan manusia (Shepherd dan Magnus, 2004).
Sinaga (2006) mengungkapkan sebagaimana diketahui bersama bahwa menurunnya
populasi harimau sumatera di alam disebabkan oleh banyak faktor yang saling mempengaruhi
dan terjadi secara simultan. Faktor-faktor penyebab tersebut diantaranya, adalah:
a) Menurunnya kualitas dan kuantitas habitat harimau akibat konversi hutan, eksploitasi hutan,
penebangan liar, perambahan hutan, kebakaran hutan dan lain-lain
b) Fragmentasi Habitat akibat Perencanaan Tata Guna Lahan dan penggunaan lahan dan hutan
yang kurang memperhatikan aspek-aspek konservasi satwa liar khususnya harimau
c) Kematian harimau sumatera secara langsung untuk kepentingan ekonomi, estetika, hobi dan
mempertahankan diri karena terjadinya konflik antara harimau dengan masyarakat
d) Penangkapan dan pemindahan harimau sumatera dari habitat alami ke lembaga konservasi
eksitu karena adanya konflik
e) Menurunnya populasi satwa mangsa harimau karena berpindah tempat maupun diburu oleh
masyarakat. Selain itu rendahnya penegakan hukum dan rendahnya unsur-unsur manajemen
konservasi harimau sumatera dan kesadaran masyarakat dalam konservasi alam telah
mempercepat penurunan populasi harimau sumatera di habitatnya.
Sebuah lokakarya di laksanakan di Jambi pada bulan Agustus 2006 yang diprakarsai oleh
ZSL bekerja sama dengan Direktorat Konservasi Keakearagaman Hayati dan Direktorat Jenderal
Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Departemen Kehutanan. Lokakarya yang berjudul
“Penangkapan dan Penanganan Satwa Liar dalam rangka Upaya Konservasi” dihadiri oleh para
pakar satwa liar dari dalam dan luar negeri, perwakilan dari lembaga swadaya masyarakat seperti
WWF-ID, FFI, WCS-ID, Australia Zoo, Taman Safari Indonesia, Tiger Trust Fund dan lembaga-
lembaga swadaya masyarakat lokal provinsi Jambi serta berbagai elemen pemerintah. Lokakarya

23
ini mengusulkan untuk menyusun sebuah buku panduan untuk penangkapan, penanganan dan
pelepasliarkan harimau sumatera serta beberapa spesies di Sumatera. Di Indonesia belum ada
acuan yang baku tentang tatacara penangkapan dan penanganan satwa liar untuk tujuan
konservasi. Cara penanganan yang tepat sangat penting untuk menyelamatkan satwa liar dari
kepunahan (Media Jambi, 2006).
Pada setiap penangkapan harimau sumatera di tiap daerah, kondisi fisik harimau yang
tertangkap selalu berada dalam keadaan memprihatinkan. Mereka selalu ditemukan dalam
keadaan sakit ketika tertangkap, banyak diantara harimau tersebut juga mengalami stress karena
selain menjadi bahan tontonan masyarakat yang terkadang dipungut biaya menonton, juga telah
mendapatkan berbagai tekanan fisik dari masyarakat yang menontonnya dari jarak dekat.
Memindahkan harimau bermasalah sepertinya bukan penyelesaian yang baik untuk jangka
panjang, langkah nyata untuk masyarakat yang tinggal di daerah terpencil dalam mengurangi
konflik ini membutuhkan pendidikan yang lebih baik mengenai cara penanganan hewan ternak,
perencanaan penggunaan lahan yang baik dan langkah-langkah perbaikan lainnya. Harimau yang
menyerang manusia, memangsa hewan ternak, masuk ke dalam pemukiman dan pertanian, atau
masuk ke pedesaan, kemungkinan besar akan dibunuh oleh masyarakat desa yang berusaha untuk
melindungi dirinya dan hewan ternaknya. Dalam usahanya untuk menghadapi masalah ini,
masyarakat desa terkadang menggunakan racun umpan, untuk mengurangi masalah harimau
(Shepherd dan Magnus, 2004).
Pada situasi saat masyarakat desa ingin agar harimau yang bermasalah pergi, para pemburu
liar dengan cepat menawarkan jasa mereka, sehingga mengakibatkan kematian harimau, yang
sebenarnya masih dapat dihindari. Para pemburu liar yang datang ke desa dengan menawarkan
jasa untuk membunuh harimau bermasalah, biasanya hanya meminta harimau tersebut dan tidak
meminta tambahan imbalan apapun. Sebagai pilihan lain, masyarakat dapat menyewa seorang
pemburu profesional untuk membunuh satwa bermasalah tersebut. Dalam kasus seperti ini
pemburu dapat dibayar dengan kisaran upah Rp 500.000 hingga Rp 2.000.000 (US$ 56 hingga
US$ 225) atau ia dapat mengambil kulitnya, tergantung pada permintaan masyarakat (Shepherd
dan Magnus, 2004).
Pemerintah Indonesia memiliki kebijakan yang berlaku sejak lama, yaitu jika konflik
timbul, pemerintah akan menyediakan bantuan untuk menangkap hidup-hidup harimau yang
bermasalah dan memindahkannya dari areal tersebut (Tilson dan Traylor-Holzer, 1994 dalam

24
Shepherd dan Magnus, 2004). Jika mereka berhasil menangkapnya, pertanyaan yang tinggal
adalah apa yang mereka lakukan pada satwa tersebut? Di masa lalu, harimau yang bermasalah
dimasukkan dalam kebun binatang, terutama kebun binatang Taman Safari yang luas, yang
berada di Pulau Jawa, taman safari ini memiliki sekitar 30 harimau sumatera. Banyak diantaranya
adalah harimau bermasalah yang ditangkap hidup-hidup dengan menggunakan jebakan yang
dibuat oleh tim pemburu khusus yang diatur oleh kebun binatang tersebut. Meskipun hanya
memberikan penyelesaian sementara bagi masalah ini. Kebun binatang di Sumatera sudah sangat
padat dan dalam kondisi tidak terawat, banyak kandang satwa dalam kondisi yang
memprihatinkan (Shepherd dan Magnus, 2004).
Shepherd dan Magnus (2004), menuliskan bahwa jumlah harimau sumatra yang berada di
kebun binatang di seluruh wilayah Indonesia, rinciannya yaitu terdapat 35 ekor di Bogor, 10 ekor
di Bandung, 1 ekor di Banjarnegara, 2 ekor di Bukit tinggi, 16 ekor di Jakarta, 2 ekor di Jambi, 4
ekor di Medan, 1 ekor di Semarang, 4 ekor di Solo, 14 ekor Surabaya, 8 ekor di Yogyakarta dan 2
ekor di Bali. Tercatat juga yang dipelihara perorangan ada 18 ekor di Bogor, tapi data itu atas
adalah hasil catatan pada tahun 2003. Kebun binatang tidak bisa lagi menampung lebih banyak
satwa yang bermasalah, pada saat mereka hampir tidak memiliki sumber daya untuk merawat
satwa yang dimiliki saat ini. Sebagai salah satu atraksi utama, harimau di kebun binatang ini
tampil di didepan 100 ribuan orang pengunjung setiap tahun. Proses penjinakan oleh manusia
tidak dapat dihindari, dimana hal ini sangat tidak membantu bagi proses peliaran harimau ke
habitatnya.
B. Akibat Dari Konflik
Treep (1973) dalam Shepherd dan Magnus (2004) memberikan gambaran sejumlah insiden
pada abad 20-an dimana harimau membunuh manusia atau hewan ternaknya, oleh karena itu
harimau lalu diburu dan dibunuh. Pada Seminar Analisa Kelayakan Populasi dan Habitat
Harimau Sumatera (PHVA) tahun 1992, berdasarkan kesepakatan bersama pada seminar tersebut,
setidaknya kurang dari 400 harimau yang tinggal di enam tempat kawasan hutan lindung di
Sumatera. Dan sekitar 100 harimau lainnya yang tinggal diluar hutan lindung, kemungkinan tidak
akan bertahan lama (Tilson dkk, 1994 dalam Shepherd dan Magnus, 2004). Tetapi angka 400-500
masih merupakan perkiraan dari jumlah total Harimau Sumatera di alam liar. Jumlah populasi
dalam IUCN Red List (Daftar Merah) berdasarkan grup spesialis kucing (Cat Specialist Group),
jumlah individu harimau sumatera dewasa, diperkirakan berjumlah kurang dari 250, dengan

25
populasi lebih dari 50 individu dewasa berada dalam penangkaran (Nowell dkk, 2003 dalam
Shepherd dan Magnus, 2004).
Para petugas Kehutanan Indonesia memperkirakan ada rata-rata 17 peristiwa yang
melibatkan masalah dengan harimau yang dilaporkan setiap tahunnya dari lima taman nasional di
Sumatera. Dari 17 insiden ini, sekitar 12 yang menyebabkan kehilangan harimau: 6 ekor melalui
peburuan liar atau diracuni dan 6 lainnya melalui pemindahan resmi dengan keikutsertaan
pemerintah (Tilson dan Traylor-Holzer, 1994 dalam Shepherd dan Magnus, 2004).
Dari hasil laporan yang dikumpulkan oleh berbagai sumber (BKSDA-Jambi, Salampessy,
2006 dan Shepherd dan Magnus, 2004) diketahui dari tahun 1980 sampai dengan 2005, harimau
sumatera yang mati karena konflik dan di buru berjumlah 68 ekor harimau, 1 ekor di berikan ke
kebun binatang Jambi dan 2 ekor harimau hilang atau terlepas dari jerat. Manusia yang menjadi
korban dalam konflik berjumlah 10 orang, salah seorang diantaranya merupakan pemburu yang
meninggal di terkam harimau sedangkan jumlah orang yang terluka dalam kasus ini berjumlah 4
orang. Selain harimau dan manusia ada juga korban berupa hewan ternak yaitu 27 ekor kambing,
10 ekor anjing, dan ayam, itik masing-masing satu ekor. Penyelesaian kasus yang terjadi yaitu
dilakukan pengecekan ke lokasi kejadian oleh petugas polisi hutan dan beberapa kasus
dilakuakan penangkapan terhadap harimau yang terlibat konflik (Tabel lampiran).
Shepherd dan Magnus (2004) menuliskan bahwa sekitar 17 harimau dilaporkan terbunuh di
Sumatera dari tahun 1997 sampai dengan tahun 2002, dengan dua tambahan harimau yang
terjerat dan mungkin dibunuh serta dua yang ditangkap hidup-hidup lalu diberikan ke kebun
binatang. Banyak dari harimau-harimau tersebut tertangkap oleh jerat, sementara lainnya
tertembak. Sepuluh orang terbunuh, dua diantaranya terjadi di provinsi Jambi dan delapan lain
luka-luka oleh harimau pada periode yang sama. Lebih lanjut disebutkam terjadi 23 kali insiden
harimau yang memangsa hewan peliharaan, sebagian besar adalah anjing, diantaranya satu ekor
harimau memangsa 40 anjing dalam suatu kurun waktu.
Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) disebut sebagai area perlindungan terbesar di
Indonesia, merupakan salah satu habitat harimau yang paling penting di dunia. Hutan yang luas
menyediakan tempat bagi populasi harimau sumatera (Linkie dkk, 2003 dalam Shepherd dan
Magnus, 2004). Area ini dikategorikan sebagai Tiger Conservation Unit (TCU) Level 1. TCU
didefinisikan sebagai sebuah blok atau kluster blok dari sebuah habitat yang ada yang masih
memiliki atau berpotensial memiliki populasi harimau. Level 1 pada TCU berarti area tersebut

26
mempunyai probabilitas tertinggi dari bertahannya populasi harimau untuk jangka panjang.
Dengan pendekatan PHVA, populasi harimau di TNKS diperkirakan sekitar 70 individu (Tilson
dkk, 1994). Selain taman nasional kerinci seblat, area-area di pulau Sumatera yang masuk
kedalam kategori TCU Level 1 adalah Gunung Leuser dan Taman Nasional Bukit Barisan
Selatan (Wikramanayake dkk, 1998 dalam Shepherd dan Magnus, 2004).
Tabel 3. Harimau sumatera yang terbunuh dalam konflik manusia-harimau di Taman Nasional
Kerinci Seblat (Laporan tahunan Tiger Protection and Conservation Unit, 2000-2004 dalam
Shepherd dan Magnus, 2004)
Tahun Jumlah Harimau yang terbunuh
Konflik dalam konflik
2000 11 3
2001 8 4
2002 4 2
2003 8 5
2004 11 2
Total 42 16

Konflik antara manusia dengan harimau pada area perlindungan berperan penting pada
angka kematian dan memberikan hasil terbunuhnya 16 ekor harimau sumatera dengan jumlah
total konflik yang terjadi adalah 42 kali dalam periode 5 tahun. Rinciannya pada tahun 2000
terjadi 11 konflik dengan jumlah harimau yang terbunuh 3 ekor, tahun 2001 terjadi 8 konflik
dengan jumlah harimau yang terbunuh 4 ekor, tahun 2002 terjadi 4 konflik dengan jumlah
harimau yang terbunuh 2 ekor, tahun 2003 dengan jumlah harimau yang terbunuh 5 ekor dan
tahun 2004 terjadi 11 kali konflik dengan jumlah harimau yang terbunuh dari konflik ini adalah 2
ekor (Tabel 3).
Dalam kasus konflik manusia dengan harimau ini juga menyebabkan kerugian ekonomi
pada penduduk desa yaitu hewan ternak yang dimangsa harimau sebanyak 97 ekor berupa hewan
ungas (bebek/ayam), kambing, sapi/kerbau, anjing dan kuda dan juga korban manusia berjumlah
7 orang, konflik ini terjadi dalam kurun waktu 5 tahun (Tabel 4).

27
Tabel 4. Jumlah hewan dan manusia yang diserang oleh harimau (Laporan tahunan Tiger
Protection and Conservation Unit, 2000-2004 dalam Shepherd dan Magnus, 2004).
Korban Jumlah
Hewan
Bebek/Ayam 9
Kambing 15
Anjing 51
Sapi/Kerbau 17
Kuda 5
Manusia 7

Pada enam kecamatan di provinsi Jambi diketahui ada empat harimau yang dibunuh, dari
total 12 kasus konflik manusia-harimau pada tahun 2000-2001 (Gambar 1). Delapan satwa
lainnya mungkin juga sudah dibunuh, tetapi kalaupun benar, hal ini tidak dilaporkan, atau
menghindari tuntutan (Shepherd dan Magnus, 2004).
Gambar 1. Grafik hasil insiden konflik manusia dengan harimau di enam kecamatan di Jambi,
antara 2001-2002 (Shepherd dan Magnus, 2004).

6
Harimau tidak dibunuh
5 Harimau dibunuh

0
Bangko Gunung Gunung Muara Sungai Sungai
Kerinci Raya Siau Manau Penuh

Nyhus dan Tilson (2004), menuliskan bahwa lebih dari periode 20 tahun telah dilaporkan
bahwa 146 orang terbunuh dan 30 orang lainnya terluka oleh serangan harimau di Sumatera.
Tercatat total 146 kematian oleh konflik dari tahun 1978-1997. kasus ini terjadi di ke delapan
provinsi di pulau Sumatera (Tabel 5). Korban yang diserang biasanya laki-laki setengah baya
yang sedang bekerja di kebun yang lokasinya berbatasan dengan hutan. Pada 58 kasus diketahui
korban berumur antara 6 sampai 70 tahun dengan umur rata-rata 37 tahun. Serangan umumnya
dilakukan pada saat korban sedang bekerja di ladang atau di hutan. 4 kali lebih banyak serangan
harimau yang laporkan yaitu pada saat siang hari dari pada malam hari. Diketahui bahwa

28
serangan harimau lebih banyak terjadi di habitat yang terganggu tingkat menengah yang
lokasinya dekat dengan pinggir hutan (Nyhus dan Tilson, 2004).
Tabel 5. Serangan harimau terhadap manusia yang menyebabkan kematian, di 8 provinsi Pulau
Sumatera antara tahun 1978-1997 (Nyhus dan Tilson, 2004).
Provinsi Jumlah Kasus
Aceh 34
Sumatera Utara 6
Riau 36
Sumatera Barat 48
Jambi 14
Sumatera Selatan 1
Bengkulu 1
Lampung 6
Total 146

Pembunuhan harimau secara tidak sengaja terjadi saat harimau tertangkap oleh jerat yang
dipasang oleh pemburu yang sebenarnya jerat tersebut dipasang untuk menangkap spesies lain
seperti beruang. Jerat diletakkan di dekat areal pertanian untuk menangkap satwa hama tanaman
seperti rusa dan babi hutan tapi jerat ini juga dapat menangkap pemangsa mereka yaitu harimau.
Jerat yang dipasang untuk satwa yang lebih kecil dengan menggunakan kawat tipis atau tali nilon
yang kuat, terkadang tidak cukup kuat untuk menahan seekor harimau. Pada kasus harimau yang
dapat lepas dari jerat kawat, terkadang menderita luka yang melemahkan kondisi harimau. Satwa
yang terluka seperti itu menimbulkan masalah baru. Harimau yang terluka, biasanya tidak bisa
berburu mangsa yang biasa mereka tangkap, sehingga berpaling pada pilihan yang lebih mudah
atau lebih kecil, seperti hewan peliharaan termasuk hewan ternak, kambing dan anjing. Namun,
untuk harimau yang tidak dapat melepaskan diri dari jerat akan dibawa ke kebun binatang atau
lebih sering dibunuh dan dijual (Shepherd dan Magnus, 2004).
Menurut informasi yang disediakan pertama kali oleh FFI-ID dalam Shepherd dan Magnus
(2004), ada total 12 harimau yang dilaporkan tertangkap secara tidak disengaja melalui jerat yang
dipasang untuk hama, terutama babi hutan, di sekitar tahun 1999 dan pertengahan 2002. Sepuluh
dari 12 harimau dibunuh atau mati dimana ada kemungkinan dua harimau yang lainnya melarikan
diri.

29
C. Penanganan Konflik Antara Harimau Sumatera dengan Manusia
Pada awalnya penanganan konflik yang dilakukan hanya menguntungkan manusianya saja
tanpa memikirkan keadaan harimaunya, penanganan konflik lebih banyak dilakukan sendiri oleh
masyarakat yang terlibat konflik. Menurut Shepherd dan Magnus (2004) harimau yang
menyerang manusia, memangsa hewan ternak, masuk ke dalam pemukiman dan pertanian, atau
masuk ke pedesaan, kemungkinan besar akan dibunuh oleh masyarakat desa yang berusaha untuk
melindungi dirinya dan hewan ternaknya. Dalam usahanya untuk menghadapi masalah ini,
masyarakat desa terkadang menggunakan racun umpan, untuk mengurangi masalah harimau.
Dari hasil penelitian Nugraha (2005) disimpulkan bahwa masyarakat pemilik hewan ternak
yang ternaknya dibunuh oleh harimau, mereka memilih untuk memburu dan membunuh harimau
tersebut sendiri atau dengan bantuan dari para pemburu lokal. Kebanyakan masyarakat tersebut
tidak mau memberikan informasi jelas tentang kejadian konflik dan kurang mengetahui bahwa
memburu harimau merupakan kegiatan yang dilarang. Ketidakinginan masyarakat untuk
melaporkan kejadian konflik dapat disebabkan beberapa hal, yaitu melaporkan konflik kepada
pengelola taman nasional atau pemerintah daerah dibutuhkan biaya karena tempat-tempat
terjadinya konflik biasanya berada di daerah terpencil dan area tersebut memiliki akses dan
fasilitas komunikasi yang terbatas ke pos penjaga hutan terdekat. Apabila ada insiden konflik
yang dilaporkan, respon dan investigasi akan dilakukan oleh petugas taman nasional, tetapi di
beberapa tempat masyarakat mungkin enggan untuk melihat patroli di sekitar hutan yang
dilakukan oleh polisi hutan karena keberadaan dari penduduk lokal yang menjalankan kegiatan
perambahan atau perburuan hewan ungulata secara ilegal. Masyarakat enggan melaporkan
kejadian konflik antara manusia dengan harimau karena mereka lebih memilih untuk mencoba
memburu harimau dan memperoleh keuntungan dari menjual bagian-bagian tubuh harimau
tersebut.
Penanganan konflik diharapkan memberikan solusi bagi masyarakat agar tidak terulang lagi
kejadian yang sama dan penanganannya juga tidak menyebabkan bertambahnya penurunan
populasi harimau atau sesuai dengan kegiatan konservasi harimau. Salah satu penanganan konflik
yang menguntungkan bagi kedua belah pihak yaitu yang dilakukan oleh negara India dan
penanganan ini cukup sederhana untuk diterapkan. Connover (2002 dalam Nugraha, 2005)
menuliskan bahwa salah satu yang digunakan adalah, sebuah boneka yang dipasangkan baju tua
dan dilengkapi dengan peralatan listrik digunakan di India untuk mengejutkan harimau apabila

30
harimau tersebut berusaha menyerang penduduk (boneka) tujuannya agar harimau jera dan takut
untuk menyerang manusia lagi. Listrik yang dialirkan di boneka tersebut tidak melukai harimau
tetapi hanya mengejutkannya (Rangarajan, 2004 dalam Nugraha, 2005). Tetapi dalam tulisan ini
keberhasilan cara tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut.
Cara tradisional lain untuk menghindari penyergapan harimau dibeberapa daerah adalah
dengan menggunakan topeng dibagian belakang kepalanya kamuflase ini terbukti mengurangi
serangan harimau karena harimau biasanya berburu mangsanya dengan menyerang dari belakang.
Cara lainnya adalah dengan menggunakan racun yang merupakan salah satu cara tradisional
masyarakat untuk mengurangi gangguan dari hewan liar.
Memastikan terdapat pos jaga yang efektif dan staf penjaga polisi hutan ditempatkan
didaerah terpencil dalam taman nasional akan mengurangi ketidak inginan masyarakat untuk
melaporkan kejadian konflik. Alasan lain yang menyebabkan masyarakat tidak melaporkan
kejadian konflik adalah ketidaktahuan masyarakat kesiapa dan kemana mereka harus melaporkan
konflik. Konflik antara manusia dan harimau menurut sudut pandang orang-orang di desa
merupakan keadaan yang alami terjadi dapat menimpa siapa saja sehingga mereka tidak mengira
bahwa petugas taman nasional sedang mencari informasi tentang konflik.
Menurut Nugraha (2005) membentuk suatu Unit yang merespon apabila terjadinya konflik
Conflict Response Units (CRU) di bawah pengawasan Taman Nasional merupakan cara yang
tepat dalam membangun stategi yang efektif untuk memecahkan masalah konflik harimau dan
manusia. Sebuah grup yang memiliki perlengkapan yang memadai dan terlatih, CRU beroprasi
dibawah peraturan pemerintah dan di dukung oleh stakeholder dan komunitas lokal. Dengan
dibentuknya unit seperti ini sehingga dapat mengimplementasikan kegiatan yang potensial seperti
habitat modification, disruptive stimuli dan meningkatkan toleransi terhadap harimau melalui
sudut pandang kultur setempat. Berdasarkan pertimbangan yang didapat dari hasil studi,
implementasi dari skema kompensasi secara langsung, translokasi dan metode yang tepat
ditempatkan pada pilihan terakhir yang diperlukan untuk mendapatkan tujuan jangka panjang
dalam menstabilkan dan membangun populasi harimau liar.
Menurut Shepherd dan Magnus (2004) ada cara lain untuk manyelesaikan masalah yaitu
dengan translokasi atau disebut capture-recapture, yaitu menangkap hewan hidup-hidup yang
bermasalah dari lokasi konflik lalu memindahkannya untuk dilepaskan kembali di area yang
berbeda untuk menghindari masalah konflik antara manusia dengan hewan liar (Treves dan

31
Karanth, 2003 dalam Shepherd dan Magnus, 2004). Cara ini menjadi metode yang standar
dilakukan dalam campur tangan masalah konflik manusia dengan hewan liar (Linnel dkk, 1999
dalam Shepherd dan Magnus, 2004). Tetapi efektifitas dari translokasi ini mempunyai masalah
pada saat setelah pelepasan data monitoring individu yang tidak mencukupi (Linnel dkk, 1999
dalam Shepherd dan Magnus, 2004).
Tingkah laku seperti insting untuk menemukan jalan kembali juga menjadi masalah utama
pada metode translokasi. Data translokasi pada singa dan jaguar menunjukan bahwa hewan
tersebut mampu kembali ke lokasi awal dimana mereka ditangkap bahkan dengan jarak dari
lokasi dilepaskan lebih dari ratusan kilometer dan kondisi ini menyebabkan menurunnya
kemampuan hidup dan angka reproduksi dari hewan yang dipindahkan (Linnel dkk, 1997 dalam
Shepherd dan Magnus, 2004).
Di Indonesia, dari hasil monitoring pada 6 individu harimau hasil penangkapan di Riau
menyebutkan hasil yang positif. Monitoring dari kamera trap menunjukan bahwa hewan yang
dipindahkan tersebut sejauh ini menjadi residen di lokasi pelepasan dan tidak lagi membunuh
hewan peliharaan penduduk (Pers. comm Sinaga dan Hasiolan, 2005 dalam Shepherd dan
Magnus, 2004). Tetapi tingkah laku lain seperti reproduksi dan interaksi sosial lainnya belum
diketahui.
Perbaikan dan penanganan konflik manusia-harimau sangat penting bagi kelangsungan
hidup komunitas di sekeliling populasi harimau dan untuk perlindungan harimau sumatera itu
sendiri. Masyarakat desa, pekerja komersil hutan industri dan kolektor produk hutan, yang paling
sering menghadapi konflik dengan harimau, sering merasa bahwa satu-satunya solusi untuk
mencegah ancaman itu adalah dengan membunuh atau memindahkan satwa yang bermasalah.
Memindahkan harimau bermasalah sepertinya bukan penyelesaian yang baik untuk jangka
panjang, langkah nyata untuk masyarakat yang tinggal di daerah terpencil dalam mengurangi
konflik ini membutuhkan pendidikan yang lebih baik mengenai cara penanganan hewan ternak,
perencanaan penggunaan lahan yang baik dan langkah-langkah perbaikan lainnya. Pemindahan
harimau penyebab konflik dari lokasi kejadian ke lembaga konservasi eksitu juga ikut
menyebabkan penurunan populasi harimau sumatera di habitat alami semakin cepat, jika proses
ini terus berlangsung tidak mustahil akan terjadi kepunahan lokal (Shepherd dan Magnus, 2004).
Penanganan konflik secara tepat perlu dilakukan mengingat dengan ditanganinya konflik yang
terjadi antara harimau dengan manusia berarti membantu upaya konservasi harimau sumatera.

32
Untuk mengurangi laju penurunan populasi akibat pemindahan harimau konflik ke luar
habitat alaminya maka diperlukan tindakan pelepasliaran harimau penyebab konflik dari suatu
tempat ke habitat alaminya yang kondisinya lebih baik, sehingga diharapkan harimau tersebut
dapat hidup dengan baik di lokasi yang baru. Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 1999
Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, dalam pasal 26 ayat (1) menyatakan bahwa
”Satwa yang karena suatu sebab keluar dari habitatnya dan membahayakan kehidupan manusia,
harus digiring atau ditangkap dalam keadaan hidup untuk dikembalikan kehabitatnya atau apabila
tidak memungkinkan untuk dilepaskan kembali ke habitatnya, satwa dimaksud dikirim ke
lembaga konservasi untuk dipelihara”.
Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia, Perlindungan Harimau Sumatera dan
habitatnya serta Penguatan Kelembagaan dan Penegakan Hukum dilaksanakan dalam bentuk
Penyelenggaraan Tiger Protection Training, Wildlife Protection Integrated Training,
Pembentukan Tiger Protection Unit, Intensif Patroli Perlindungan Harimau dan Habitatnya serta
Pengembangan jaringan dan kegiatan intelejen. Dengan dibentuknya Tim Penanggulangan
Perburuan Ilegal Harimau Sumatera dan Jenis-Jenis Satwa Liar Dilindungi Lainnya di Provinsi
Riau dan Provinsi Jambi yang ditetapkan dengan Surat Keputusan Gubernur Riau Nomor:
Kpts.339/VII/2005 Tanggal 07 Juni 2005 dan Surat Keputusan Gubernur Jambi Nomor: 235
Tahun 2005 Tanggal 12 Juli 2005 telah memberikan dukungan yang besar dalam percepatan
penyelesaian dan penanganan kasus tindak pidana bidang satwa liar (Sinaga, 2006).
Sunarto (2006) dalam sebuah mailing list tentang konservasi harimau sumatera menuliskan
beberapa proses yang perlu dilalui guna merespon konflik antara harimau dengan manusia, yaitu:
1. Membentuk semacam kelembagaan bertajuk “wildlife conflict response team”. Tim yang
memiliki kewenangan hukum (menyangkut spesies dan kawasan), otoritas ilmiah dan para
pihak terkait
2. Mengidentifikasi dan mendapatkan pendanaan yang berkelajutan
3. Menyusun prosedur operasi standar (paling tidak untuk hal-hal mendasar)
4. Mengidentifikasi mekanisme komunikasi.
Sinaga (2005) mempunyai pendapat bahwa sampai saat ini negara kita belum memiliki
Standar Operasional Prosedur (SOP) penanganan konflik antara harimau dengan manusia.
Mengingat konflik antara harimau dengan manusia akhir-akhir ini semakin meningkat maka
sudah waktunya disusun SOP Penanganan Konflik antara harimau dengan manusia. Dengan

33
adanya SOP Penanganan Konflik antara Harimau dengan manusia diharapkan penanganan
konflik harimau dengan manusia dapat lebih care, share dan fair (kepedulian, berbagi dan adil).
Dalam sebuah workshop yang diadakan di Jambi tahun 2006 dengan judul “penangkapan
dan penanganan satwa liar dalam rangka upaya konservasi” yang diadakan oleh Direktorat
Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam bekerja sama dengan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) ZSL, dalam salah satu sesi workshop tersebut dipresentasikan bahwa dalam
upaya penanganan konflik harimau dengan manusia selain membuat protokol konflik diperlukan
juga peran serta aparat terkait, LSM dan masyarakat selain itu juga perlu dibuat komitmen
bersama bahwa harimau konflik yang tertangkap akan diprioritaskan untuk dilepasliarkan
kembali (Media Jambi, 2006).
Sebuah draft protokol penanganan konflik satwa liar harimau sumatera (Panthera tigris
sumaterae) telah disusun oleh BKSDA Sumatera Barat, Dephut, Dirjen PHKA. Draft protokol
penanganan konflik tersebut berisi empat bab yang terdiri dari; pendahuluan, konflik satwa,
penangan konflik, dan pasca konflik. Protokol tersebut dibuat berdasarkan keperluan adanya
mekanisme dan prosedur tetap guna penanganan konflik satwa liar harimau sumatera yang
mengutamakan upaya penyelamatan satwa dan menekan meluasnya kerugian masyarakat akibat
terjadinya konflik.
Sinaga (2005) mengungkapkan bahwa harimau sumatera, seperti halnya dengan jenis-jenis
harimau lainnya, adalah jenis satwa yang mudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan tempat
tinggalnya di alam bebas. Kondisi mutlak yang mempengaruhi pemilihan habitat seekor harimau
adalah:
1) Adanya habitat dengan kualitas yang baik termasuk vegetasi cover sebagai tempat berteduh
dan beristirahat agar bisa terlindung dari dari panas dan sebagai tempat untuk membesarkan
anak serta berburu
2) Terdapat sumber air, karena satwa ini hidupnya sangat tergantung pada air untuk minum,
mandi, dan berenang
3) Tersedianya mangsa dalam jumlah yang cukup
4) Areal yang cukup luas.
Departemen Kehutanan dan Sumatran Tiger Conservation Program (STCP) sedang
mengevaluasi pendirian sebuah Pusat Penyelamatan Harimau dan diharapkan tempat ini dapat
menjadi fasilitas penangkaran sementara untuk harimau bermasalah, serta tempat yang selalu

34
terbuka untuk harimau bermasalah, jadi pengaturan akomodasi tidak perlu lagi dibuat
berdasarkan kasus per kasus (Shepherd dan Magnus, 2004). Diharapkan untuk pemindahan
harimau bermasalah ke tempat habitat lain yang jauh dari manusia, meskipun tempat seperti itu
sudah terus berkurang di Sumatera. Pada tahun 2003, strategi ini dicoba untuk pertama kalinya.
Suatu solusi jangka panjang dalam mengurangi konflik manusia-harimau, kemungkinan
keberhasilannya akan lebih baik jika berkonsentrasi pada perubahan perilaku dan mengambil
tindakan pencegahan. Untuk hal ini, penting adanya penyuluhan masyarakat. Sebagai contoh,
pada jam 7 pagi sampai dengan 9 pagi maupun malam hari, para pekerja perkebunan tidak
seharusnya pergi ke perkebunan dan hewan ternak sebaiknya berada di dalam kandang, karena
pada jam-jam tersebut harimau keluar untuk mencari mangsa, jika hendak pergi ke daerah yang
sering terdapat harimau sebaiknya warga pergi dalam kelompok (Shepherd dan Magnus, 2004).
BAB IV. KESIMPULAN
1. Konflik antara manusia dengan harimau merupakan salah satu jenis interaksi, berupa interaksi
negatif dimana konflik ini terjadi karena kebutuhan sumber daya yang sama.
2. Penyebab terjadi konflik secara alami dan manusia. Penyebab manusia dibagi lagi, yaitu
secara langsung dan tidak langsung.
3. Akibat dari konflik pada manusia adalah kerugian materil karena hewan ternaknya dimangsa
oleh harimau dan kematian atau cacat manusia karena di serang oleh harimau. Sedangkan
akibat konflik pada harimau adalah semakin berkurangnya jumlah harimau karena
masyarakat melakukan perlawanan pada harimau yang bermasalah dengan cara diburu untuk
di bunuh.
4. Pada awalnya penanganan konflik yang dilakukan hanya menguntungkan manusianya saja.
Penanganan konflik lebih banyak dilakukan sendiri oleh masyarakat yang terlibat konflik.
Penanganan semacam ini sangat merugikan usaha konservasi harimau di pulau Sumatera.
5. Beberapa cara penanganan konflik yang menguntungkan bagi harimau dan manusia yaitu
menempatkan pos jaga yang efektif dan staf penjaga polisi hutan didaerah terpencil dalam
taman nasional akan mengurangi ketidakinginan masyarakat untuk melaporkan kejadian
konflik serta memberikan sosialisasi terhadap masyarakat apabila terjadi konflik dapat
dilaporkan di pos polisi hutan, membentuk suatu unit yang merespon apabila terjadinya
konflik di bawah pengawasan taman nasional, memindahkan harimau yang bermasalah dari
lokasi konflik ke lokasi yang baru dan peningkatan kualitas sumber daya manusia,

35
perlindungan harimau sumatera dan habitatnya serta penguatan kelembagaan dan penegakan
hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Beacham W dan Beetz K H. 1998. Beacham’s Guide to International Endangered Species. Vol 2.
Beacham Publishing Corp. Osprey. Florida
Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat. “Protokol Penanganan Konflik Satwa Iiar
Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) Propinsi Sumatera Barat-Usulan”. Mei 2006.
Departemen Kehutanan Dirjen PHKA BKSDA Sumatera Barat.
Departemen Kehutanan. 2006. “Keadaan Umum Kawasan Hutan di Provinsi Jambi”.
www.dephut.go.id/informasi/propinsi/JAMBI/hutan_Jambi.HTML
Deshmukh I. Diterjemahkan oleh: Kartawinata K dan Danimiharja S. 1992. Ekologi dan Biologi
Tropika. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Franklin N, Bastoni S, Siswomartono D, Manansang J dan Tilson R. 1999. Harimau Terakhir
Indonesia: Alasan Untuk Bersikap Optimis dalam Seidensticker J, Christie S dan Jackson P.
(eds). 1999. Menunggang Harimau: Pelestarian Harimau di Lingkungan Yang Didominasi
Manusia. Cambridge University Press, Cambridge.
Hemley G dan Mills J A. 1999. Awal Dari Akhir Perdagangan Harimau? Dalam Seidensticker J,
Christie S dan Jackson P. (eds). 1999. Menunggang Harimau: Pelestarian Harimau di
Lingkungan Yang Didominasi Manusia. Cambridge University Press, Cambridge.
Indian Tiger Welfare Society. 2005. Tiger. www.indiantiger.org
Nugraha R T. 2005. Handling Human-Tiger Conflict as a Measure to Support Sumatran Tiger
Conservation Effort in Indonesia: A case study in Kerinci Seblat National Park, Sumatra-
Indonesia. University Deventer
Mazak V. 1981. Panthera tigris, Mammalian Species. The American Society Of Mammalogist.
No.152; 1-8 dalam Gunawan. 2006. Studi Tingkat Perjumpaan Harimau Sumatera
(Panthera tigris sumatrae) dan Hewan Mangsa di Renah Kayu Embun Taman Nasional
Kerinci Seblat. Skripsi Sarjana Sains Fakultas Biologi Universitas Nasional. Jakarta
Media Jambi, 2006. Belum Ada Acuan Penanganan Satwa Liar. Eds 202, thn V/2006. Jambi.
O’Brien T G, Kinnaird M F dan Wibisono H T. 2003. Crouching Tigers, Hidden Prey: Sumatran
tiger and prey populations in a tropical forest landscape. Animal Conservation (2003) 6,
131–139. United Kingdom.
Raharyono D. 2001. Berkawan Harimau Bersama Alam. The Gibbon Foundation dan PILI –
NGO Movement.
Ramono W dan Santiapillai C. 1993. Conservation Of Sumateran Tiger (Panthera tigris
sumatrae) In Indonesia. Tiger Paper. 20(3) hal. 44-48
Karanth K U dan Stith B M. 1999. Penyusutan Mangsa Sebagai Faktor Penting Bagi
Kelangsungan Hidup Populasi Harimau dalam: Seidensticker J, Christie S dan Jackson P.
(eds). 1999. Menunggang Harimau: Pelestarian Harimau di Lingkungan Yang Didominasi
Manusia. Cambridge University Press, Cambridge.
KKI-WARSI. “Potret Hutan Jambi”. February-Desember 2004. Jambi. www.warsi.or.id
Linkie M, Martyr D J, Holden J, Yanuar A, Hartana A T, Sugardjito J dan Williams N L. 2003.
Habitat destruction and poaching threaten the Sumatran tiger in Kerinci Seblat National
Park, Sumatra. FFI Oryx Vol 37 (1), hal. 41-48. United Kingdom

36
Maddox T M, Gemita E, Wijamukti S, Salampessy A. 2003. Pigs, Palms, People and Tigers.
Survival of The Sumatran Tiger in a Commercial Landscape. Annual Report. Zoological
Society of London-Jambi Tiger Project. Jambi
Nyhus P, Sumianto dan Tilson R. 1999. Dimensi Hubungan Harimau-Manusia di Sumatera
bagian Tenggara dalam Seidensticker J, Christie S dan Jackson P. (eds). 1999. Menunggang
Harimau: Pelestarian Harimau di Lingkungan Yang Didominasi Manusia. Cambridge
University Press, Cambridge.
Salampessy A. “Catatan Perjalanan selama survey di Jambi, Riau dan Palembang”-Zoological
Society of London. Jambi.
Seidensticker J, Christie S dan Jackson P. 1999. Meperkenalkan Harimau dalam Seidensticker, J.,
S. Christie & P. Jackson. (eds). 1999. Menunggang Harimau: Pelestarian Harimau di
Lingkungan Yang Didominasi Manusia. Cambridge University Press, Cambridge.
Shepherd C R dan Magnus N. 2004. Tiada Tempat Untuk Berlindung: Perdagangan Harimau
Sumatera. TRAFFIC Southeast Asia. Petaling Jaya, Selangor, Malaysia
Sinaga W H. 2005. “Konservasi Harimau Sumatra Secara Komprehensif”. 28 Desember 2005.
http://harimau-sumatera.blogspot.com
Sinaga W H. “Pelepasliaran Harimau Konflik”. 30 December 2005. http://harimau-
sumatera.blogspot.com
Sinaga W H. 2006. Harimau Harimau. 13 April 2006. http://harimau-sumatera.blogspot.com
Sinaga W H. 2006. “Meningkatnya Harapan dalam Pelestarian Harimau Sumatera“. 13 April
2006 http://harimau-sumatera.blogspot.com
Soehartono T dan Mardiastuti A. 2002. CITES. Implementation in Indonesia. Nagao Natural
Environment Foundation. Jakarta.
Sunarto. Mailing List Harimau Sumatra. 2006. http://yahoogroups.com
Sunquist M, Karanth K U dan Sunquist F. 1999. Ekologi, Perilaku dan Keuletan Harimau Serta
Perlunya Usaha Konservasi Harimau dalam Seidensticker J, Christie S dan Jackson P.
(eds). 1999. Menunggang Harimau: Pelestarian Harimau di Lingkungan Yang Didominasi
Manusia. Cambridge University Press, Cambridge.
Susmianto A. Kebijakan Konservasi Satwa Liar Dilindungi (Harimau Sumatera dan Orangutan,
Disampaikan pada Rapat Koordinasi Konservasi Harimau dan Orangutan Provinsi Jambi”.
9 Juli 2004. Jambi.

37
LAMPIRAN
Kejadian konflik antara manusia dengan harimau di provinsi Jambi dari tahun 1980-2006.
No Tahun Pelapor Lokasi kejadian Kronologis Penyelesaian kasus
2 orang dari Suku Anak Dalam di Desa
Bungku secara tidak sengaja telah
menangkap 2 ekor harimau dalam jerat
kijang, tipe lontar. 1 ekor harimau betina
Seorang pria dari
dewasa langsung ditembak mati ditempat
Suku Anak Dalam
1 1980 # HPH di Jambi oleh pejabat HPH setempat dan dijual
(Umur: ± 36 th)
seharga Rp 100.000,- kepada oknum
dari Desa Bungku
Marinir yang sedang bertugas di HPH
tersebut dan 1 ekor harimau lagi telah
dicuri dari jerat oleh oknum koordinator
lapangan perusahaan HPH
Rombongan pria Suku Anak Dalam dari
Desa Bunut telah menangkap seekor
Seorang pria dari
harimau jantan dewasa yang terkena jerat
Suku Anak Dalam
2 1980 # Hutan Bunut kaki untuk menangkap rusa di dalam
(Umur: ± 36 th)
hutan Bunut, Keluarga Suku Anak Dalam
dari Desa Bungku
tersebut memakan daging harimau hasil
tangkapan setelah dimasak.
Seorang pria (umur ±50 th) bersama anak
buahnya berprofesi sebagai perambah
hutan dan juga berprofesi sebagai seorang
pemburu menceritakan bahwa pernah
Seorang pria membunuh 3 ekor harimau dengan cara
3 1980 # HPH di Jambi
(umur ± 50-an th) memberi racun pada ternak yang dijadikan
umpan yang diletakkan di dalam hutan
HPH dan sampai saat ini dia masih
menyimpan opset-an ketiga kucing besar
itu sebagai hiasan di dalam rumah dia.
Desa Terentang Pulau Memakan korban 1 orang luka-luka. Pengecekan ke
4 lapangan oleh
1 Maret 1983 * sangkar Kab. Kerinci
Korban: 1 orang meninggal, 29 ekor Pengecekan ke
Desa Sei Bertam Kec.
November/Desember angsa, seekor kambing, itik dan ayam. lapangan, penyuluhan
5 Jambi Luar kota, Kab.
??* dan monitoring oleh
Batanghari
petugas.
Cagar Alam Vick Van 1 orang luka-luka
6 Oktober 1987 * Informasi masyarakat
Indra Pura Reg.77

38
(Hutan lindung
Gn.Kerinci R.14)
Korban: 1 orang luka-luka dan ternak
Hutan lindung Gn. masyarakat. 2 ekor harimau ditangkap
November 1987 * Kerinci POS R.10 hidup-hidup dan dititipkan di Kebun
7
Kersik tuo Binatang Jambi. 1 ekor lepas dan 1 ekor
harimau mati.
Korban:1 orang luka-luka dan 11 ekor
Dalam area HPH di
kambing. Harimau ditangkap hidup-hidup
8 Februari 1988 * Desa Tambun Arang
(kerangkeng dan jebakan dititipkan di
Kec. Tebo Ilir
Kebun Binatang Jambi).
Korban: 9 ekor kambing masyarakat Pengecekan ke
Kei Nipah Panjang II
9 30 Mei 1989 * lapangan dan
Tanjung Jabung
penyuluhan
Desa Sakean dan desa Korban: 6 ekor kambing masyarakat Pengecekan ke
tarikan Kec. Kumpeh lapangan
10 9 Mei 1992 *
Ulu Kab. Batanghari
Jambi
Desa Sakean dan desa Seekor Harimau ditembak oleh Tim
tarikan Kec. Kumpeh
11 10 Mei 1992 *
Ulu Kab. Batanghari
Jambi
Korban: enam orang perambah hutan Senin (29/9) delapan
Air Hitam, salah satu pencari getah karet liar diterkam harimau. petugas polisi dikirim
Jumat, 26 September MUTIARA ONLINE
12 pintu masuk Taman Diduga akibat kebakaran yang meluas di untuk menembak
1997 : apakabar@clark.net
Nasional Berbak daerah hutan Berbak, menyebabkan harimau ganas ini
harimau itu keluar ke kawasan Air Hitam.
Taman nasional Empat orang yang terbunuh oleh harimau
13 1997 @
Berbak Provinsi Jambi (Shepherd dan Magnus, 2004 ).
1 ekor harimau terbunuh di jerat babi
di Sungai Pelakar
14 1999 @ kabupaten
Sarolangun, Jambi

lokasi Tabir Hulu 1 ekor harimau mati dalam jerat rusa yang
15 2000 @ Kabupaten Merangin, dipasang oleh pemburu
Jambi
Korban: satu orang pelaku pemburu liar Pengecekan lansung
Desa Rantau Kapas
16 November 2001 * dimangsa harimau hingga tewas, warga oleh petugas ke
Mundo
Trans. Bukit Paku Tembesi Kab. Muaro lokasi kejadian

39
Jambi. (gangguan sudah
tidak ada lagi)
Memangsa anjing sebanyak 10 ekor dan Dilakukan
meresahkan masyarakat (Surat Kepala pemeriksaan
Desa No.474.2/103.Pem-2001) lapangan dan diduga
tidak mengganggu
Desa Siulak Kecil
17 November 2001 * manusia dan ternak
Kab. Kerinci
lainnya namun
diupayakan
penangkapan tapi
tidak berhasil
pembunuhan terhadap dua anak harimau
sumatera menimpa. Kasusnya terjadi di
Desa Birun dan Desa Perentak,
Kecamatan Sungai Manau, Kabupaten
26 Agustus dan 11 Desa Birun dan Desa Merangin (Jambi).
September 2002 Perentak, Kecamatan Kedua anak harimau itu diduga tewas
18
(www.kompas.com) Sungai Manau, dibunuh sebagai korban manipulasi isu
Kabupaten Merangin konflik oleh pemburu itu. Padahal
sebelumnya Kepala Desa Birun sudah
meminta warganya agar tidak
mengganggu kedua anak harimau tersebut
(OIN, 2002).
terjadi tujuh kali penyerangan harimau
2002
terhadap warga sekitar yang
19 (www.kompas.com)
mengakibatkan beberapa orang tewas dan
luka. (BO4, 2003).
seekor harimau yang membunuh dua
20 2002 @ orang (Anon., 2002d dalam Shepherd dan
Magnus, 2004).
Seorang pria (umur ±50 th) bersama anak
buahnya berprofesi sebagai perambah
hutan dan juga berprofesi sebagai seorang
Seorang pria pemburu. Pria itu memberikan informasi
Desa Meranti
21 2003 # bahwa tahun 2003 di desa Meranti
(umur ± 50-an th) Kabupaten Sarolangun
Kabupaten Sarolangun pernah harimau
memangsa dua orang, yaitu anak dan
bapaknya. Namun tidak dijelaskan secara
detail bagaimana bisa terjadi.

40
seorang pria (Umur: 30 th) staff
perusahaan mengeluarkan kulit harimau
berukuran 5x5 cm2 dari dompetnya dan
memperlihatkannya kepada peneliti.
Perkebunan Kelapa
22 2004 # Katanya kulit harimau ini hasil pemberian
Sawit di Jambi
pamannya di Muara Enim Sumsel dan
telah dirajah. Berguna sebagai jimat agar
orang yang melihat dia akan merasa segan
dan hormat.
ditemukan 5 ekor harimau Sumatera mati Ketua Tim Leader
Dian Risdianto, TNKS, Merangin,
di TNKS. Di Kabupaten Merangin 8 ekor Penyelamatan
23 Tahun 2004 Selasa (8/9/2006) Muara Bungo dan
mati, di Muarobungo 12 ekor mati, dan di Harimau Sumatera
pagi Sarolangun
Sarolangun 15 ekor mati. (PHS),
seekor Harimau dibunuh oleh seorang pria
di TNKS. Pria tersebut juga telah
membunuh 4 ekor Harimau di tahun 2004.
Adhiasto
Saat ini telah divonis di Pengadilan Negeri
(15 November 2005)
24 Agustus 2005 TNKS Bengkulu Utara. Barang bukti kulit
mailinglist harimau
harimau dan tulang. Bulan Agustus 2005,
sumatera
1 ekor Harimau terbunuh di Karang Brak.
Tersangka kabur. barang bukti tulang
belakang harimau.
2 orang pria, telah ditangkap oleh operasi Pelaku telah di
gabungan antara TPU dari tim FFI-ID dan sidang.
Pauh, Kab. Kepolisian setempat karena telah
25 2005 #
Sarolangun menangkap seekor harimau dari hutan
HPH PT Asialog dan akan meng-opset
kulit harimau tersebut.
Pelaku seorang pria, 3 bulan lalu telah Telah dilaporkan ke
Yuda Desa Padang kelapo, menjerat dan menembak harimau di HGU BKSDA Jambi
26 Agustus 2005 # (Field Staff KKI- Kec. Maro Seboulu, Sebuah perkebunan sawit dan dijual di
WARSI) Kab. Tebo pasar Rawa Sari

41

You might also like