You are on page 1of 4

http://attalicious.wordpress.

com/2010/08/19/k rakatau-steel-cetak-rp19-m-lewat-konsepgreen-company/ Krakatau Steel: Cetak Rp1,9 M Lewat Konsep Green Company
Konsep green company rasanya kini sudah menjadi tuntutan bisnis di masa sekarang. Bagaimana sebuah perusahaan menjalankan bisnisnya dengan berorientasi pada laba (profit), masyarakat dan pekerja (people) dan lingkungan (planet) menjadi topik hangat saat ini. Kian tingginya kesadaran masyarakat dan pelaku bisnis untuk menyeimbangkan antara menjalankan bisnis tanpa melakukan perusakan lingkungan memberikan efek positif. Banyak perusahaan berduyun-duyun menerapkan konsep green company dalam proses bisnisnya. Implementasinya, bisa dalam bentuk produk yang ramah lingkungan (green product), penggunaan teknologi ramah lingkungan (green technology), maupun dalam proses produksi yang ramah lingkungan (green process). Salah satunya PT Krakatau Steel yang peduli terhadap pengurangan emisi gas karbondioksida. Bersama PT Resources Jaya Teknik Management Indonesia (PT RMI) melakukan kerjasama pengolahan gas buang (CO2) PTKS. CO2 sisa hasil produksi PTKS dimurnikan hingga menjadi karbondioksida cair. Tapi tak hanya itu saja, PTKS juga tengah mengkaji kemungkinan untuk melakukan CO2 Capture dan Storage (CCS) dalam proses produksinya. Semuanya bertujuan pada satu hal yaitu mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat tanpa mengurangi kinerja perseroan. Menghasilkan Rp1,92 Miliar Sebenarnya kesadaran akan konsep hijau karena himbauan dari atas (Presiden SBY red), celetuk Fazwar Bujang, direktur utama PT Krakatau Steel. Tapi, buru-buru Fazwar meralat ucapannya. Sejatinya, kesadaran akan konsep peduli lingkungan sudah melekat di perusahaan baja terbesar di Indonesia ini sejak tahun 1993. Hanya saja, karena saat itu teknologi ramah lingkungan belum banyak digunakan karena awareness terhadap lingkungan masih rendah. Namun PTKS mewujudkan niat dan kesadaran terhadap lingkungan dengan melakukan penghijauan di kawasan perseroan. Penghijauan saja dirasakan belum cukup untuk memenuhi konsep ramah lingkungan. Lalu, di tahun 2007 perusahaan mulai berpikir untuk menerapkan sustainable business. Konsepnya awalnya berangkat dari persoalan global warming (green house effect) atas karbondioksida yang beredar di udara, kata Fazwar. Lalu, konsep green company ini

diaplikasikan dalam bentuk penghematan energi, pengolahan limbah (zero waste) dan penghijauan. Ketiganya inilah yang menjadi dasar atau fondasi utama perusahaan dalam menerapkan konsep hijau dalam proses bisnisnya. Tak bisa dipungkiri, PTKS sebagai perusahaan besi baja terbesar di Indonesia dengan kapasitas produksi mencapai 2,5 juta ton tentunya menghasilkan limbah yang tak sedikit pula. Limbahnya pun beragam, mulai dari limbah padat, hingga melepas gas karbondioksida di udara yang memiliki efek menyumbang terjadinya green house effect. Dalam proses produksinya PTKS menghasilkan kurang lebih 70 ton gas karbondioksida per harinya. Dalam jangka waktu setahun dihasilkan 25.550 ton karbondioksida atau setara dengan debu meteor yang menjatuhi bumi setiap tahun. Karena itu, PTKS sebenarnya berinisiatif untuk mengurangi peredaran gas karbondioksida di udara. Caranya dengan mengolah kembali karbondioksida sisa hasil buangan PTKS tersebut. Tapi, kesulitan utama untuk menjalankan inisiatif ini karena lini bisnis PTKS yang bergerak di bidang pengolahan besi baja tak membutuhkan bahan baku karbondioksida. Hampir selama 15 tahun PTKS mencoba menawarkan penjualan gas CO2 ini. Maka, PTKS pun mengadakan tender penjualan gas karbondioksida sisa hasil produksi. Bulan Maret 2005, Rohmad Hadiwijoyo, direktur utama PT Resources Jaya Teknik Management Indonesia (PT RMI) melontarkan ide membangun pabrik pengolahan gas karbondioksida menjadi karbondioksida cair. PT RMI ini adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang clean and renewable energy. Lalu pada November 2007, PT RMI meneken kontrak pembelian gas buang PTKS. Kedua perusahaan ini bersepakat bahwa Krakatau akan memasok sembilan ton per jam gas buangnya dengan harga Rp 8.000 per kilogram. Tapi sejauh ini kapasitas produksinya baru sepertiganya yang bisa diolah. Pada 16 April 2009, pabrik pengolahan karbondioksida cair dibawah bendera PT RMI Krakatau Karbonindo (RMIKK) di Cilegon resmi berdiri. Lewat RMIKK ini, mampu menyerap kurang lebih tiga ton CO2 per jamnya atau kurang lebih 24.000 ton per tahun. PTKS menjual gas karbondioksida ini seharga Rp80 ribu per tonnya. Sehingga kalkulasi sederhananya PTKS mendapatkan sumber pendapatan baru sebesar Rp80.000 x 24.000 = Rp1,92 miliar per tahunnya. Jumlah ini walaupun jika dibandingkan dengan penda patan perusahaan yang mencapai Rp16,3 triliun di tahun 2009, kontribusi pengolahan karbondioksida ini masih terbilang sangat kecil. Baru sekitar 0,011 persen saja. Rencananya, tahun ini PT RMI Krakatau Karbonindo akan meningkatkan kapasitas produksinya menjadi 18 ton per jamnya. Upaya Mengurangi Konsumsi Energi Sejatinya, persoalan utama PTKS adalah penggunaan energi yang sangat besar dalam proses produksinya. Peningkatan permintaan baja yang terjadi sejak abad ke 19 silam ini tak dibarengi dengan pengurangan konsumsi energi dalam proses produksinya, kata Fazwar. Maklum saja, dalam proses produksinya PTKS membutuhkan konsumsi energi yang sangat besar karena dalam beberapa proses terjadi peleburan diatas suhu 1000 derajat celcius. PTKS sendiri

mengandalkan proses direct reduced iron (DRI) yang mengkonsumsi air dan gas alam sebagai salah satu bahan bakunya. Solusinya, dalam proses pemurnian besi baja diusahakan agar proses produksinya stabil. Prosesnya disebut semi kontinu dimana dalam proses pembuatan baja konsumsi energi tidak naik turun. Ilustrasinya dalam proses pembuatan baja ada tiga tahapan yaitu tahap iron making, tahap steel making, dan tahap rolling. Masing-masing tahap ini mengkonsumsi energi yang sangat besar. Di tahap iron making ini temperatur yang dibutuhkan sekitar 900C untuk menghasilkan produk spons. Sebelum masuk ke tahap steel making berikutnya, spons harus diturunkan suhunya dari 900 C menjadi 60. Setelah suhunya menurun, spons siap masuk dalam tahap steel making. Di proses steel making ini dibutuhkan suhu 1400 C untuk proses peleburan spons. Lalu dilanjutkan proses ketiga yaitu proses rolling dengan temperatur 1200C. Untuk produk baja canai dingin, baja digiling dalam keadaan dingin atau dalam suhu atmosfer 30C. Dengan proses produksi yang membutuhkan suhu tinggi itu tentu konsumsi energi juga tak bisa dibilang sedikit. Untuk itu, PTKS sedang mengkaji untuk melakukan proses produksi yang lebih stabil dalam konsumsi energi atau disebut semi kontinu. Fazwar mengakui bahwa untuk melakukan proses produksi kontinu atau green technology PTKS belum mampu dari sisi SDM maupun biaya. Tapi tak berarti perseroan menyerah begitu saja, upaya penghematan konsumsi energi yang ramah lingkungan tetap dilakukan. Untuk meningkatkan daya saing, perseroan juga tengah berupaya untuk menurunkan konsumsi gas alam dalam proses produksinya. Salah satunya dengan teknologi zero reformer process. Dengan teknologi ini nantinya mampu mereduksi CO2 sekitar 25,82 kg per ton baja cair atau setara dengan 38,730 ton CO2 per tahun untuk produksi baja mentah 1,5 juta metric ton per tahun. Total emisi CO2 yang bisa dihindari dengan solusi terintegrasi termasuk diantaranya proses steelmaking mencapai 46,8 ton CO2 per jam atau mencapai 370,656 ton CO2 per tahun. Benefit lainnya, konsumsi gas alam sebagai bahan baku menjadi lebih efisien dan secara otomatis diikuti dengan cost production yang menjadi lebih efisien. Untuk penerapan teknologi zero reformer ini PTKS harus siap menggelontorkan US$25,1 juta sebagai investasi awal. Nilai Tambah dari Pengolahan Limbah Padat Tak hanya berupaya untuk mereduksi emisi gas karbondioksida dengan diolah menjadi karbondioksida cair. Tetapi, sejak pertengahan tahun 2009 lalu, PTKS juga memanfaatkan limbah padat debu spons. Pada prinsipnya kita memanfaatkan prinsip reuse, reduce, recycle, dan recovery. Untuk pengolahan limbah padat kita mendasarkan prinsip reuse ini, kata Zaidin, environmental and safety manager PT Krakatau Steel. Ceritanya, dalam proses pengolahan bijih besi, bahan baku yang berupa bijih besi diolah di pabrik besi spons hyl III dengan output berupa spons. Tapi dalam proses tersebut selain menghasilkan output berupa spons juga menghasilkan debu spons. Debu spons yang bersisa ini dipadatkan menjadi berbentuk block atau bata. Selanjutnya block spons tersebut diolah lagi ke pabrik peleburan bersama spons tersebut.

Kontribusi terhadap bahan baku memang tidak terhitung secara signifikan. Perhitungan sederhananya, dari 100% bahan baku akan menghasilkan 95% produk spons yang siap untuk dilebur. Sisanya sebanyak 5% akan menjadi debu spons (fines spons). Nah yang lima persen ini akan diolah lagi menjadi block spons yang siap untuk dilebur menjadi besi. Untuk saat ini, kapasitas mesin yang mampu memproduksi block spons baru separuhnya atau baru mencapai 3.600 ton per bulan. Dan targetnya akan ditingkatkan sampai dua kali lipat kapasitasnya. Perseroan juga melakukan peremajaan terhadap mesin-mesin produksi yang dianggap telah tua dan usang. Dari peremajaan ini mampu menghemat energi dari 800 kWh/ton menjadi 740 kWh/ton. Kalau per tahun kapasitas produksi PTKS mencapai 2,2 juta 2,5 juta ton, penghematannya baru mencapai 7,5%. Tak hanya berkaitan di sisi teknis produksi saja. Berbagai upaya mereduksi pencemaran lingkungan ini tak lantas menghentikan langkah penghijauan sebagai titik awal kesadaran PTKS terhadap lingkungan. Program ini secara berkesinambungan masih dijalankan di kawasan perseroan. Tahun 2009 lalu, perusahaan hanya menargetkan 100 ribu pohon tetapi realisasinya mencapai 103.079 pohon. Menurut Zaidin, environmental & safety manager PTKS menyebut penghijauan ini sebagai bagian dari corporate social responsibility PTKS terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar. Yah, hingga tahun 2009 ini sudah berhasil menanam total 640.000 pohon sebagai bagian dari program penghijauan di lingkungan PTKS.

Nilai Tambah dari Pengolahan Limbah Padat PTKS juga memanfaatkan limbah padat debu spons. Pada prinsipnya kita memanfaatkan prinsip reuse, reduce, recycle, dan recovery. Kontribusi terhadap bahan baku memang tidak terhitung secara signifikan. Perhitungan sederhananya, dari 100% bahan baku akan menghasilkan 95% produk spons yang siap untuk dilebur. Sisanya sebanyak 5% akan menjadi debu spons (fines spons). Nah yang lima persen ini akan diolah lagi menjadi block spons yang siap untuk dilebur menjadi besi. SAYA SEBAGAI KETUA PELAKSANA PEMBUATAN BLOK SPONS DAN BRIQUETTED TANG DIPERKAYA DENGAN BATUBARA. SK.NO Kp.05.01/22, TANGGAL 12-02-2009. PELAKSANAAN PEMBUATAN BLOK SPONS 19-02-2009. TRIMS. SUKAMTO.SM.

You might also like