You are on page 1of 9

Sakit. Sakit rasanya saat mengetahui bahwa tidak ada orang yang memperhatikanmu. Sama sekali.

Bahkan orang tuamu pun tidak pernah menoleh ke arahmu, sekeras apapun kau memanggil mereka. Benar, kan? Padahal kau sudah berusaha untuk membuat semua orang senang. Membuat semuanya bahagia. Kau sudah memberikan yang terbaik untuk kedua orang tuamu. Kau sudah menjadi apapun yang diinginkan oleh orang tuamu. Oleh semuanya. Tetapi percuma. Tidak ada yang menganggapmu. Tidak ada yang mau melihatmu. Bahkan berada di dekatmu pun orang-orang itu pasti akan menampilkan ekspresi risih, jijik dan sebagainya. Im Jin Ah atau kau lebih sering dipanggil dengan nama Nana, dulunya. Sebelum orangorang menjadi menjauhimu. Sekarang, bahkan sekedar mengingat namamu saja, mereka tidak mau atau menganggapnya tidak penting. Orang tuamu? Tidak pernah memanggilmu lagi. Mereka hanya menyediakan materi untukmu, bukan kasih sayang yang sesungguhnya sangat kau butuhkan. Perih. Kau telah merasakan hal itu berulang kali. Lama-kelamaan, hal itu sudah tidak menjadi masalah untukmu. Kau sudah istilahnya kebal. Tapi tetap saja. Kau itu manusia yang masih punya hati. Kau tetap butuh perhatian, kasih sayang, kebahagian dan perasaan lain yang orang lain limpahkan untukmu. Kau tetap menginginkan itu semua. Kau juga butuh orang lain untuk menumpahkan seluruh perasaanmu. Orang lain yang mau menyayangimu, setulus hatinya. Tapi di mana kau akan menemukannya? <><><><><> Lagi-lagi, kau hanya duduk termenung seorang diri di taman kota. Duduk melamun di tengah salju yang turun saat ini. Pandangan matamu kosong, pikiranmu melayang jauh. Tak ada orang di sekitarmu. Mereka lebih memilih berada di sisi taman yang lain. Menjauh darimu. Kau tidak mengeluh tentang itu. Karena terlalu sering mengalaminya, kau sudah terbiasa. Kau sudah tidak menghiraukan kelakuan orang-orang yang menjauhimu. Kau tetap diam dan menjalani hidupmu sendiri. Tentu saja. Kau menghela nafas berat memikirkan hal itu. Ketika kau tengah membetulkan letak mantel di tubuhmu, seorang pria tiba-tiba saja duduk tepat di sampingmu. Ya, duduk tanpa merasa risih, jijik, kesal atau hal-hal lain yang sering dilakukan oleh orang-orang itu padamu.

Terkejut, tentu saja. Itulah hal yang kau rasakan ketika menyadari bahwa ada orang yang mau berada di dekatmu. Dan pria itu tersenyum padamu ketika mengetahui bahwa kau memandanginya cukup lama. Wajahmu memanas ketika melihat senyum pria itu. Sudah lama sekali sejak terakhir kali ada orang yang mau tersenyum padamu. Apalagi, pria itu ternyata cukup tidak, sangat tampan. Dan kau pasti merasa senang, bukan? Ada seorang pria tampan yang mau berada di dekatmu, bahkan tersenyum padamu. Sebuah kalimat langsung berputar di otakmu. Mimpi apa yang kau dapat semalam? Apalagi ketika pria itu juga membuka permbicaraan denganmu. Hei, namaku Bang Chul Yeong. Tapi, panggil saja aku Mir, pria itu kembali tersenyum manis untukmu. Siapa namamu? Kau sedikit bingung. Tetapi, akhirnya kau pun menjawab. Ah, aku Im Jin Ah. Dan, mungkin kau tidak keberatan kalau memanggilku Nana, Mireu? tanpa ragu-ragu lagi, kau bahkan sudah memanggilnya dengan sedekat itu. Benar-benar diluar kebiasaanmu yang selalu mengacuhkan orang lain karena orang-orang itu juga mengacuhkanmu terlebih dahulu. Pria bernama Mir itu tersenyum semakin lebar. Tentu saja. Untuk apa aku keberatan memanggilmu dengan nama seindah itu, Nana. Iya, kan? Kau pun, mau tidak mau, juga ikut tersenyum mendengar ucapan Mir. Wajahmu kembali memanas. Kau mulai merasakan luapan rasa kegembiraan yang sudah lama kau tinggalkan, karena tidak ada orang yang mau bersama denganmu. Ah, tetapi ada hal yang mengganjal untukmu, bukan? Mir, kenapa kau mau bersamaku maksudku, kenapa kau mau berdekatan denganku? tanpa basa-basi, kau langsung menanyakan hal itu padanya. Karena memang hal itu sangatsangat membuatmu kebingungan. Padahal tidak ada orang yang mau bersosialisasi denganku selama ini. Kenapa? Mir menatapmu kebingungan. Maksudmu? Selama ini tidak ada yang memperhatikanmu? Wah, aku justru tidak tahu. Sekarang, biarkan aku yang bertanya padamu. Kenapa mereka menjauhimu, Nana? Kau kebingungan menjawab pertanyaan Mir itu. Karena faktanya, kau tidak pernah benarbenar mengerti alasan orang-orang itu tidak memperhatikanmu. Lagipula, kau juga tidak pernah mau tahu. Ah... Aku juga tidak tahu. Mereka menjauh begitu saja dariku, Berarti mereka itu bodoh. Eh? kau menoleh ke arah Mir. Mir tersenyum jahil. Iya. Bodoh karena tidak mau mengenal gadis secantik dan semenarik dirimu.

Dan sudah tiga kali ini pria bernama Mir itu membuat wajahmu memerah. Ah, Nana. Akhirnya ada orang yang mau berbicara padamu setelah sekian lama. Iya, kan? <><><><><> Pertemuanmu dengan Mir waktu itu ternyata merupakan awal dari semuanya. Kalian menjadi lebih dekat. Setiap hari, kau pasti berkomunikasi dengan pria itu. Entah itu sekedar saling menelepon satu sama lain. Yang jelas, Mir selalu menanyakan keadaanmu. Sudah tiga minggu kalian saling mengenal dan terus berkomunikasi setiap hari. Biarpun ada perasaan ganjil karena sudah lama kau tidak menjalani rutinitas seperti itu, tetapi kau tetap menikmatinya. Karena kau juga menyukai sensasi yang ditimbulkan oleh rasa bahagia di hatimu saat mengetahui bahwa ternyata masih ada orang yang mau memperhatikanmu. Nana, bagaimana kabarmu? tanya Mir pada suatu sore di Bulan Januari yang dingin melalui telepon. Aku baik, Mireu. Terima kasih. Kau sendiri? balasmu sembari mengaduk secangkir kopi di hadapanmu yang baru saja kau buat itu. Ah, aku selalu merasa baik ketika aku mendengar suaramu, Nana, derai tawa Mir terdengar mengiringi perkataannya tadi dan lagi-lagi kau merasakan wajahmu memanas. Oh, ngomong-ngomong. Kau sedang apa sekarang? Tidak. Aku tidak melakukan apapun kalau minum kopi itu diluar hitunganmu, Mireu. Memangnya kenapa? balasmu tenang. Kalau begitu kita sama. Ah, Nana. Bagaimana kalau besok kita berjalan-jalan? Kau mau? tawar Mir. Kau mengerutkan keningmu mendengar tawaran Mir itu. Berjalan-jalan? Kemana? Kemana saja. Entah itu ke taman, pantai, pusat perbelanjaan atau manapun. Bagaimana? Err... Baiklah. Tetapi aku tidak mau ke tempat yang terlalu ramai, jawabmu setelah berpikir sebentar. Eh? Memangnya kenapa? Mir, bukankah kau sendiri juga tahu. Tidak ada orang yang dekat-dekat denganku kecuali kau tentunya, kau menghela nafas berat. Aku tidak mau kau juga akan mendapat perlakuan seperti itu nantinya. Terdengar suara Mir yang mengerang. Ayolah, Nana! Kau masih berpikir seperti itu? Hei, aku tidak peduli dengan tanggapan orang-orang padamu. Terserah mereka mau menganggapmu apa. Aku akan tetap bersamamu. Mengerti? Kau sedikit tersipu mendengar balasan Mir itu. Tetap saja, Mir. Kau tidak tahu bagaimana rasanya dibuang oleh orang lain. Aku tidak mau kau merasakan itu juga,

Hei, kata dibuang itu terdengar kasar, kau tahu? balas Mir dengan memberi penekanan pada kata-kata dibuang itu. Lagipula, aku tidak keberatan merasakan hal yang sama seperti yang kau rasakan selama ini, Kau tertegun. Kenapa? ucapanmu lebih terdengar seperti bisikan sekarang. Karena... cukup lama Mir terdiam di seberang sana. Sudahlah. Itu bukan hal yang bisa dibicarakan lewat telepon seperti ini. Ngomong-ngomong, kau setuju kalau besok kita pergi berdua, kan, Nana? ... Ya, Kujemput kau jam 9 pagi. Oke? Tentu saja, Mir... ketika kau menutup telepon itu, entah kenapa ada perasaan aneh yang menyelimuti hatimu. Perasaan seperti gelisah dan kecewa karena jawaban Mir tadi. <><><><><> Esok paginya adalah saat yang paling membuatmu panik seumur hidupmu. Kau bingung mengenakan pakaian yang mana. Bagaimana riasanmu nanti? Bagaimana kalau pakaianmu dan Mir ternyata tidak cocok? Dan pertanyaan-pertanyaan tidak penting lain yang terusmenerus berputar di otakmu. Tentu saja kau mengkhawatirkan itu semua. Kau ingin semuanya sempurna karena hari ini, bisa dibilang, adalah kencan pertama dalam hidupmu. Iya, kan, Nana? Dan ketika kau mengingat hal itu lagi, wajahmu kembali memerah. <><><><><> Kau kembali mematut dirimu di depan cermin untuk yang kesekian kalinya. Memastikan penampilanmu benar-benar bagus. Karena memang, kau terlihat sangat cantik. Kemeja putihmu jatuh dengan bagus di tubuhmu. Celana panjang hitammu yang cukup tebal juga terlihat bagus kau kenakan. Biarpun itu nanti akan tertupi karena kau harus mengenakan mantel, karena ini pertengahan bulan Januari dan salju sedang turun. Riasan natural di wajahmu membuatmu terlihat semakin menawan. Tetapi tetap saja, kau merasa gugup. Seperti melupakan sesuatu. Padahal semuanya sudah kau persiapkan dengan sempurna. Ketika akhirnya kau mendengar suara klakson mobil dari luar rumah, tanpa pikir panjang kau langsung menyambar tas kecilmu dan bergegas keluar rumah dan langsung memasuki mobil milik Mir. Kau tidak perlu repot-repot berpamitan pada orang tuamu. Untuk apa? Lagipula mereka juga tidak pernah memperhatikanmu.

Hei, Nana. Kau tahu tidak? Hari ini kita memakai pakaian yang sama, ucap Mir saat kau sudah duduk dengan nyaman di dalam mobilnya. Kau yang mendengar hal itu langsung melihat pakaian apa yang dikenakan Mir. Kemeja putih, celana panjang hitam dan juga mantel cokelat tebal. Kau sendiri pun tidak mengerti, bagaimana mungkin kalian bisa mengenakan pakaian yang serupa? Kau hanya tertawa pelan. Bagus. Sekarang, kau mau pergi kemana? lanjut Mir. Sedikit terlalu bersemangat. Kau berpikir sebentar, kemudian menggelengkan kepalamu. Entahlah. Aku setuju pergi kemanapun, asalkan bukan tempat yang terlalu banyak orang. Mir mencibir mendengar jawabanmu. Selalu itu. Baiklah kalau begitu. Ayo kita pergi ke pusat perbelanjaan, Nana! Apa? serumu kaget. Kau sudah akan menolah, tetapi terlambat. Mir sudah melajukan mobilnya. Kau pun hanya dapat menghela nafas pelan. Dan mulai memikirkan kemungkinan buruk apa yang akan terjadi di sana yang disebabkan oleh dirimu dan tentu akan membuat Mir terkena imbasnya. <><><><><> Ayolah, Nana. Lepaskan tudung mantelmu itu. Percayalah padaku. Tidak akan ada orang yang mengenalimu di sini. Ucap Mir ketika kalian sudah turun dari mobil dan berbaur dengan banyak orang. Kau menggeleng kuat-kuat, tetap mempertahankan diri untuk terus-menerus menggunakan tudung mantel itu. Kau mengenakannya bukan tanpa alasan. Tentu saja, itu untuk mengantisipasi agar orang-orang tidak pergi menjauh terutama bagi Mir. Mir mengerang pelan sembari menggandeng tangan Nana. Menariknya memasuki sebuah toko di dekat situ. Baiklah. Kalau kau memang tidak mau. Setidaknya, kita tetap bisa berjalan-jalan! Kau hanya bisa pasrah mengikuti Mir yang menarikmu. Terus berdoa agar benar-benar tidak ada orang yang mengenalimu di sana. <><><><><> Hei, Nana! Lihatlah! Aku yakin. Baju itu pasti cocok untukmu! seru Mir saat kalian sedang melihat-lihat pakaian yang ada di salah satu toko. Kau terkesiap dan langsung menoleh ke sekelilingmu. Memastikan tidak ada orang yang mengenalimu di sana, dan kemudian kau menyikut Mir kuat-kuat. Mir. Kumohon. Kalau kau tidak mau mendapat masalah, jangan sebut namaku sekeras itu. Orang-orang akan mengenaliku dan menjauh darimu. Bisikmu pada Mir.

Memangnya aku peduli? Terserah orang mau ikut menjauhiku atau apa. Itu bukan urusanku. Asal aku masih bisa bersamamu, dikucilkan orang-orang pun aku tidak keberatan. Balas Mir tenang. Kau berniat untuk kembali membalas Mir, sebelum percakapan dua orang remaja tidak jauh darimu menarik perhatian kalian. Kau langsung mengenali kedua remaja itu, karena mereka adalah adik kelasmu di sekolah. Apa kau tahu kakak kelas kita yang dijauhi itu? Maksudmu, wanita bernama Nana itu? Tentu saja. Tidak ada orang yang tidak tahu tentangnya. Tumben kau membahasnya. Memangnya kenapa? Kupikir dia itu sangat cantik. Aku bahkan sempat menyukainya. Tapi sayang, dia itu pembunuh. Kejam sekali, tapi itu memang cocok untuknya. Bagaimana mungkin ada seorang kakak yang tega membiarkan adiknya tenggelam di sungai, sementara dia sendiri tidak melakukan apapun dan malah berdiam diri melihat adiknya mati. Kalau aku jadi dia, waktu itu aku pasti sudah menyelamatkan adikku. Lagipula dia perenang handal. Dan juga, dia sama sekali tidak menangis ataupun terlihat sedih saat pemakaman adiknya. Gila. Ya. Dan setelah itu, tidak ada yang mau dekat-dekat dengannya. Iya, kan? Semua orang terlalu takut. Atau, semua orang malah menjadi membencinya. Entahlah. Tentu saja. Adiknya adalah orang yang paling dicintai di kota ini, tahu. Sial, padahal aku naksir dia. Siapa? Nana atau Hyo Young? Tentu saja Hyo Young. Kau pikir aku suka dengan pembunuh? Dan setelah itu, tidak ada perkataan apapun yang kau dengar. Air matamu sudah mengalir deras. Percakapan kedua remaja itu memaksamu untuk mengingat lagi kejadian-kejadian buruk yang sudah dapat kau lupakan. Kejadian-kejadian yang mengawali semua rasa sakit yang kau alami ini. Kakak! suara teriakan seorang gadis terus-menerus terdengar. Itu adikku! To-tolong aku! Hyo Young! hanya itu yang dapat kulakukan. Berteriak memanggil namanya. Bukannya aku tidak mau menolongnya, tapi tubuhku seperti mati rasa. Aku tidak bisa menggerakkannya sama sekali. Kaku, seperti lumpuh. Aku hanya bisa terpaku di bibir sungai. Menatapnya dengan rasa bersalah. Aku melihatnya. Melihat bagaimana adikku, Im Hyo Young, yang timbul-tenggelam di sungai, berusaha tetap bertahan. Berharap aku akan menolongnya, tapi aku tidak bisa! Aku juga melihat saat-saat gadis manis itu mulai kehabisan tenaga dan akhirnya tenggelam ke

dasar sungai yang berarus deras itu. Aku melihatnya, melihat semua itu. Dan itu sungguhsungguh membuatku merasa bersalah pada Hyo Young. Aku tidak mengerti! Saat orang-orang sudah menemukan jasadnya, kebencian mulai dilontarkan padaku, sedikit demi sedikit. Apa salahku? Nana? Bagaimana mungkin dia bisa membiarkan adiknya mati? Tidak! Aku mati rasa saat itu! Kau tidak melihatnya, jadi kau tidak merasakan sendiri bagaimana rasanya! Kau tidak bisa menyalahkanku seperti itu! Nana, kau tidak apa-apa? Dia bahkan tidak terlihat sedih di pemakaman adiknya. Apalagi menangis. Dia itu pembunuh! Bukan! Kalian tidak tahu bahwa aku menangis semalaman saat itu dan aku tidak membunuh adikku! Aku menyayanginya. Nana! Kenapa kau membunuhnya? Kau tidak tahu seberapa berartinya bakat dan prestasi Hyo Young bagi kota ini! Seluruh kota membencimu, idiot! Kumohon. Dengarkan penjelasanku. Aku lelah kalian tuduh dengan hal-hal seperti itu. Memori tentang waktu kematian adikmu yang segera disusul oleh kilasan-kilasan cibiran orang lain mulai memenuhi pikiranmu. Kau hanya bisa berteriak dalam hatimu. Memendam seluruh perasaanmu saat itu. Dan itu membuat dadamu terasa sesak dan matamu memanas. Kau menangis lagi. Nana? Kau menangis? Hei Kau tidak menggubris pertanyaan Mir, dan langsung berlari keluar. Kau terus berlari, membiarkan tudung mantelmu lepas dan membuat orang-orang tahu keberadaanmu. Tapi kau tetap tidak peduli. Kau terus berlari, dengan tetap menangis. Meninggalkan semuanya di belakangmu termasuk Mir. Karena kau yakin, setelah ini Mir pun juga akan ikut menjauhimu. <><><><><> Kau menangis, sendirian. Di tengah-tengah salju. Duduk di atas bangku taman kesukaanmu. Tempat di mana tidak akan ada orang yang sudi mendekatimu. Tentu saja, semuanya. Ya, kecuali Mir.

Pria itu berdiri tepat di hadapanmu yang masih menangis sesenggukan. Kau mengabaikannya. Berpikir bahwa mungkin Mir akan mencacimu dan membuat luka di hatimu semakin sakit. Sama seperti yang dilakukan oleh orang lain terhadapmu. Tetapi kau salah. Mir malah berlutut di hadapanmu dan menyentuh kedua tanganmu yang berada di pangkuanmu. Kau terkejut, dan menatapnya. Antara bingung dan masih merasa sakit mengingat ingatan buruk tadi. Nana, ucap Mir lembut. Ia semakin mengeratkan genggaman tangannya pada tanganmu. Sudahlah, jangan menangis lagi. Aku tidak bisa kalau melihatmu harus bersedih, Nana. Lanjut pria itu sembari menghapus air matamu. Kau menepis tangan Mir, pelan. Tidak mau membuatnya terkejut atau apa. Kenapa? Kenapa kau tidak membenciku sama seperti orang-orang itu? Kenapa kau malah berada di sini bersamaku? tanyamu, masih sesenggukan. Mir tersenyum, lembut. Hei, aku sama sekali tidak keberatan merasakan hal yang sama denganmu. Dikucilkan, dibenci, tidak dianggap. Aku tidak mempermasalahkan hal itu, asalkan kau tetap bersamaku, Nana. Kau tahu alasannya? Kau menggeleng lemah. Menatap penasaran pria di hadapanmu. Kau jelas tidak akan berharap banyak padanya. Itu karena aku menyukaimu, Nana. Aku sudah menyukaimu, sejak pertama kali aku melihatmu. Di sini. Kau ingat, kan? Mir mengangkat tangan Nana. Hei, aku tidak bercanda. Aku sungguh-sungguh menyayangimu, Nana. Kau mau menerimaku atau tidak? Kau benar-benar tidak mempercayai pendengaranmu sendiri. Mir? Menyukai dirimu? Dia pasti bercanda. Bagaimana mungkin? Kau masih belum percaya padaku? lanjut Mir. Bukan. Bukannya belum. Tapi tidak bisa. Kau tidak bisa membiarkan pria sebaik dan setampan Mir harus mendampingi dirimu. Itu justru akan membuatnya menderita. Kau tidak menyukaiku, ya? Tidak! Tolong, jangan katakan hal itu. Kau tidak ingin mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Mir! Kau tidak mau mendengarnya! Kau mencintainya. Jelas, sangat-sangat mencintainya. Hubungan kalian yang cukup dekat selama hampir satu bulan selama ini membuatmu merasakan perasaan jatuh cinta, untuk yang pertama kalinya. Dan tentu saja kau merasa yakin dengan perasaanmu itu. Hatimu tidak pernah berbohong untukmu. Iya, kan? Tapi kau tidak bisa membiarkan Mir juga ikut menderita bersamamu.

Kalau alasan kenapa kau tidak mau menerimaku adalah karena kau tidak bisa membiarkanku ikut merasakan sakit yang kau rasakan selama ini, berarti aku tidak bisa menerima alasan itu. Apa yang tadi dia bilang? Nana, sudah kubilang berkali-kali kalau aku tidak keberatan kalau harus ikut merasakan sakit bersamamu. Aku mencintaimu. Sangat-sangat mencintaimu melebihi apapun. Mir menatapmu dalam-dalam, mencoba meyakinkanmu bahwa dia memang sangat serius. Percayalah padaku. Aku bersumpah, Nana. Oke, aku akan bertanya sekali lagi, apakah kau menerimanya? Sekali lagi, kau pun menangis. Kali ini adalah tangisan bahagia. Kau bahagia karena akhirnya ada orang yang benar-benar menyayangimu dengan tulus. Menerimamu apa adanya. Dan tidak keberatan dengan resiko yang akan dia alami ke depannya. Kau menjatuhkan dirimu dalam pelukan pria itu, menangis di pundaknya sembari mengangguk. Ya, ucapmu lirih di sela-sela isak tangismu. Dan Mir pun membalas pelukanmu, hangat. Turunnya salju di bulan Januari itu menjadi saksi dari terikatnya cinta kalian. Ah, akhirnya kau menemukannya. Menemukan kekasih sejatimu. Benar begitu, kan?

You might also like