You are on page 1of 67

ARTIKEL ISLAM, MAKALAH, KHUTBAH JUMAT DAN INFORMASI

Website ini berisi tentang makalah islam, artikel islam (islamic article), khutbah Jumat, bukubuku, e-book (electronic book), informasi beasiswa, dan lain-lain

Selasa, 18 Desember 2007


Hukum Iuran Kurban
BOLEH BERGOTONG ROYONG (IURAN) DALAM BERKURBAN Pertanyaan Lajnah Da imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Bolehkah bergotong-royong (iuran) dalam berkurban ? Berapa jumlah kaum muslimin seharusnya dalam bergotong-royong (iuran) melakukan kurban? Apakah harus dari satu keluarga ? Dan apakah bergotong-royong semacam itu bid ah atau tidak? Jawaban Seorang laki-laki diperbolehkan melakukan kurban atas nama dirinya dan anggota keluarganya dengan satu ekor kambing. Dasarnya, hadits shahih dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, bahwa beliau berkurban dengan satu ekor kambing , atas nama diri beliau sendiri dan atas nama keluarganya. [Hadits Muttafaqun Alaih] Juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik, Ibnu Majah dan Tirmidzi dan beliau menshahihkannya. Dari Atha bin Yasir, ia berkata, Saya bertanya kepada Abu Ayyub Al-Anshari, bagaimana kurban-kurban yang sekalian (para sahabat) lakukan pada zaman Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam Abu Ayyub menjawab, Pada zaman Nabi Shallallahu alaihi wa sallam seseorang berkurban dengan satu ekor kambing atas nama dirinya dan atas nama keluarganya. Maka mereka memakannya dan memberi makan orang lain. Kemudian orang-orang bersenangsenang, sehingga jadilah mereka sebagaimana yang engkau lihat. [HR Malik, kitab Dhahaya, Bab Asy-Syirkah Fi Adh-Dhahaya dan Ibnu Majah, Shahih Ibnu Majah no. 2563 dan lain-lain]. Sedangkan satu ekor unta dan setu ekor sapi, sah untuk gabungan tujuh orang. Baik mereka berasal dari satu keluarga atau dari orang yang bukan dari satu rumah. Baik mereka punya hubungan kerabat ataupun tidak. Sebab Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengijinkan para sahabat untuk bergabung dalam (berkurban) unta dan sapi. Masing-masing tujuh orang. Wallahu a lam. [Fatwa No. 2416]

Pertanyaan Lajnah Da imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Ayah seorang laki-laki meninggal dunia. Dan dia ingin menyembelih kurban atas nama ayahnya. Tetapi ada beberapa orang menasihatinya tidak boleh menyembelih unta untuk kurban satu orang. Sebaiknya kambing saja, itu lebih utama dari pada unta. Orang yang mengatakan kepadamu sembelihlah unta maka orang ini keliru. Sebab unta tidak boleh untuk kurban, kecuai gabungan dari sekelompok orang , benarkah? Jawaban Dibolehkah menyembelih binatang kurban atas nama orang yang telah meninggal dunia tersebut baik dengan seekor kambing atau seekor unta. Orang yang mengatakan, bahwa unta hanya untuk gabungan sekelompok orang, maka itu keliru. Sedangkan kambing tidak sah, kecuali untuk satu orang (pelaku kurban). Namun pelakunya itu bisa menyertakan orang lain dari anggota keluarganya dalam pahalanya. Adapun unta, boleh untuk pelaku satu orang atau tujuh orang, yang mereka beriuran dalam hal harganya. Kemudian, sepertujuh dari daging kurban unta itu merupakan kurban dari masing-masing tujuh orang. Sapi, dalam hal ini sama hukumnya seperti unta. [Fatwa No. 3.055] BOLEHKAH DAGING KURBAN DIMAKAN BERSAMA-SAMA? Pertanyaan: Lajnah Da imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Orang-orang pedalaman memasak daging kurban bersama-sama dan tidak membagikan daging tersebut. Kemudian mereka berkumpul bersama seperti walimah (pesta). Saya katakan kepada mereka : Kalian bagi-bagikan lebih utama . Tetapi mereka menjawab : Masing-masing kami berkurban dengan satu ekor kurban. Dan setiap hari, kami makan bersama daging kurban tersebut di tempat masing-masing orang yang berkurban di antara kami (secara bergilir) . Juga dibolehkan memecah-mecahkan tulangnya atau tidak ? Jawaban Bagi sekelompok orang, diperbolehkan masing-masing untuk menyembelih seekor binatang kurban pada hari-hari Ied, yaitu Idul Adha dan tiga hari sesudahnya (tasyriq). Dan mereka, boleh memecahkan tulangnya, kemudian memasaknya dan memakannya secara bersama-sama tanpa dibagi-bagikan. Sebagaimana diperbolehkan pula mereka membagi-bagikannya di kalangan mereka sebelum atau sesudah dimasak untuk dishadaqahkan. [Fatwa No. 3055] RITUAL QURBAN

Ayat dalam Al Qur'an tentang ritual kurban antara lain : surat Al Kautsar ayat 2: Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah (anhar). Sementara hadits yang berkaitan dengan kurban antara lain: Siapa yang mendapati dirinya dalam keadaan lapang, lalu ia tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat Ied kami. (HR. Ahmad dan ibn Majah). Hadits Zaid ibn Arqam, ia berkata atau mereka berkata: Wahai Rasulullah SAW, apakah qurban itu? Rasulullah menjawab: Qurban adalah sunnahnya bapak kalian, Nabi Ibrahim. Mereka menjawab: Apa keutamaan yang kami akan peroleh dengan qurban itu? Rasulullah menjawab: Setiap satu helai rambutnya adalah satu kebaikan. Mereka menjawab: Kalau bulu-bulunya? Rasulullah menjawab: Setiap satu helai bulunya juga satu kebaikan. HR. Ahmad dan ibn Majah Jika masuk tanggal 10 Dzul Hijjah dan ada salah seorang diantara kalian yang ingin berqurban, maka hendaklah ia tidak cukur atau memotong kukunya. HR. Muslim Kami berqurban bersama Nabi SAW di Hudaibiyah, satu unta untuk tujuh orang, satu sapi untuk tujuh orang. HR. Muslim, Abu Daud, Tirmidzi. HUKUM QURBAN Mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi in, tabiut tabi in, dan fuqaha (ahli fiqh) menyatakan bahwa hukum qurban adalah sunnah muakkadah (utama), dan tidak ada seorangpun yang menyatakan wajib, kecuali Abu Hanifah (tabi in). Ibnu Hazm menyatakan: Tidak ada seorang sahabat Nabi pun yang menyatakan bahwa qurban itu wajib. SYARAT-SYARAT QURBAN Syarat dan ketentuan pembagian daging kurban adalah sebagai berikut : y Orang yang berkurban harus mampu menyediakan hewan sembelihan dengan cara halal tanpa berutang. y Kurban harus binatang ternak, seperti unta, sapi, kambing, atau biri-biri. y Binatang yang akan disembelih tidak memiliki cacat, tidak buta, tidak pincang, tidak sakit, dan kuping serta ekor harus utuh. y Hewan kurban telah cukup umur, yaitu unta berumur 5 tahun atau lebih, sapi atau kerbau telah berumur 2 tahun, dan domba atau kambing berumur lebih dari 1 tahun. y Orang yang melakukan kurban hendaklah yang merdeka (bukan budak), baligh, dan berakal. y Daging hewan kurban sebaiknya dibagi tiga, 1/3 untuk dimakan oleh yang berkurban, 1/3 disedekahkan, dan 1/3 bagian dihadiahkan kepada orang lain.

ggu, 11 November 2007


Sejarah Mazhab Syafi'i bag. 1
MEMBEDAH MADZHAB AS-SYAFI I

I Adalah suatu keharusan bagi setiap penulis untuk menjaga kebenaran ilmiah , dalam arti : harus bertanggung jawab atas kebenaran dalam menukil penda pat seseorang, terutama dalam penulisan masalah-masalah fiqh. Dan dari sini, merupakan keharusan juga mengetahui istilah-istilah yang menjadi kesepakatan dalam suatu madzhab. II Yang harus diperhatikan, bahwa sangat tidak dibenarkan seseorang menga takan Ini adalah pendapat madzhab Syafi i kecuali dia tahu betul bahwa ulama Syafi i dengan jelas mengatakannya, dan itu hanya bisa diketahui dengan mengetahui ulama-ulama Syafi i serta kedudukan dan peringkatnya, yang pada gilirannya juga harus mengetahui kitab-kitab pokok dan kitab-kitab pegangan, sebab dalam madzhab Syafi i banyak ulama yang mengarang kitab-kitab dan banyak terjadi perbedaan pendapat, sehingga kita harus bisa memilah-milah mana yang merupakan pendapat madzhab, mana yang merupakan pendapat pribadi, serta mana yang kuat dan mana yang lemah. III Madzhab Syafi i madzhab yang ketiga diantara madzhab-madzhab Ahli al-Sunnah yang tumbuh dan terkenal [1]- sejak awalnya berkembang dalam sebuah perjalanan panjang yang berbeda dengan madzhab-madzhab yang lain. Dalam kenyataannya, sejarah mencatat bahwa madzhab Syafi i berkembang dalam beberapa phase : Phase pertama : Masa-masa dasar . Phase kedua : Masa-masa perpindahan (pancaroba). Phase ketiga : Masa-masa pemurnian . Phase keempat : Masa-masa akhir/ketetapan . I- PHASE DASAR : Pada abad pertama dan kedua hijriyah adalah masa lahir dan tumbuhnya madzhab-madzhab Fiqh. Mazhab Hanafi adalah madzhab yang pertama lahir, diikuti madzhab Maliki, kemudian disusul madzhab Syafi i yang diotaki oleh Imam al-Syafi i. Dan kehadiran serta pemikiran madzhab Syafi i tidak bisa dilepaskan dari dua madzhab pendahulunya, sebab Imam Syafi i adalah murid Imam Malik, kemudian walaupun Imam Syafi i tidak berguru langsung

pada Imam Abu Hanifah[2], tetapi beliau telah berhasil menyerap ilmu-ilmu madzhab Hanafi melalui arsitek madzhab Hanafi yang juga murid Imam Abu Hanifah : Imam Muhammad bin Hasan. Dalam kenyataannya, keuletan Imam Syafi i dalam berijtihat, telah me lahirkan dua istilah yang terkenal dengan sebutan Qoul Qodim dan Qoul-Jadid ; dua istilah yang juga dua phase bagi perkembangan madzhab Syafi i dizaman pendirinya. Dan munculnya dua istilah tersebut, adalah bukti bagi perkembangan ilmu Imam Syafi i, yang sekaligus juga merupakan bukti dari keinginan Imam Syafi i untuk menetapkan hukum-hukum Islam sesuai dengan petunjuk Al-Qur an dan Al-Hadits secara benar. Adapun yang dimaksud dengan Qoul-Qodim : adalah istilah ulama-ulama Syafi i bagi semua pendapat dan ijtihad Imam Syafi i ketika beliau masih berada di Baghdad; sedang Qoul-Jadid , adalah istilah ulama Syafi i bagi semua pendapat dan ijtihad Imam Syafi i ketika beliau di Mesir Ulama sepakat, bahwa semua pendapat Imam Syafi i ketika beliau masih di Baghdad sampai menjelang keberangkatan beliau ke Mesir disebut Qoul Qodim; sebagaimana juga ulama sepakat, bahwa semua pendapat dan perkataan Imam Syafi i sejak beliau memasuki dan menetap di Mesir disebut Qoul Jadid.[3] Perbedaan pendapat terjadi atas perkataan dan pendapat Imam Syafi i sejak beliau meninggalkan Baghdad sampai menjelang masuk dan menetapnya Imam Syafi i di Mesir. Menurut Ibn Hajar ( 974 H), Qoul-Qodim adalah semua pendapat dan perkataan Imam Syafi i sebelum masuk Mesir. Sementara itu ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa Qoul-Qodim hanya pendapat beliau ketika beliau masih berada di Baghdad, dengan begitu masa antara Baghdad dan Mesir termasuk Qoul-Jadid. Dan sebagian lagi merinci, dengan mengatakan bahwa masa antara Baghdad dan Mesir yang awal disebut juga Qoul-Qodim, dan yang kemudian dikatagorikan Qoul-Jadid.[4] Dan diantara ketiga pendapat tersebut, yang pertamalah yang paling kuat yang menjadi pilihan mayoritas Ulama Syafi iyyah, diantaranya Imam Romli.[5] Adapun perowi Qoul-Qodim adalah : Ahmad bin Hambal ( 241 H) ; Al-Za faroni ( Hasan bin Muhammad : 260 H); Al-Karobisyi ( 245 H./248H.); Abu Tsur (Ibrahim bin Kholid : 240 H). Sedangkan perowi Qoul-Jadid : Al-Buwaithi (231 H); Al-Muzani (264 H); Robi Al-Murodi (270 H); Robi AlJizi (256 H); Yunus bin Abd. A la (264 H); Abdullah bin Zubair Al-Makki (219 H); Muhammad bin Abdullah bin Abd. Hakam dan Harmalah (243 H). Tiga yang terdahulu adalah yang paling banyak andilnya dalam penyebaran dan pengembangan madzhab Syafi i, dan diantara ketiganya, Robi Al-Muradi lah yang paling banyak meriwayatkan perkataan Imam Syafi i, dan itu diakui sendiri oleh Imam Syafi i dalam sabdanya: Robi adalah perowi saya .[6]

KEDUDUKAN QOUL-QODIM DAN QOUL-JADID DALAM MADZHAB. Secara umum bisa di katakan bahwa yang dianggap pendapat Madzhab adalah Qoul-Jadid seperti yang di katakan Imam Syafi i : tidak dibenarkan menganggap Qoul Qodim sebagai pendapat madzhab [7], dan ini sesuai dengan Qoidah Usuliyah : Jika seorang mujtahid berpendapat, kemudian setelah itu dia berpendapat lain, maka yang kedua dianggap Ruju /ralat bagi yang pertama. Tetapi Ulama Syafi iyah merinci lebih jelas lagi : 1. Qoul-Jadid yang harus di pakai, sedang Qoul-Qodim harus ditinggalkan, kecuali beberapa masalah yang berkisar antara 14 sampai dengan 30 masalah.[8] 2. Qoul-Jadid tidak bisa dianggap pendapat madzhab kecuali dengan jelas Imam Syafi i mengatakan bahwa dia sudah meralat Qoul-Qodim. Sedang bilamana tidak ada penjelasan dari Imam Syafi i, maka dianggap ada 2 pendapat dalam madzhab. 3. Qoul Jadid secara mutlak dianggap sebagai pendapat madzhab. Dan pendapat ketiga inilah yang lebih medekati kebenaran, mengingat ulama Syafi iyyah ( ) setelah meneliti dengan seksama, menyimpulkan bahwa masalah-masalah yang tersebut dalam qoulqodim ternyata semuanya tersebut dalam qoul-jadid [9], kalaupun ada ulama Syafi iyyah ( ) yang memakai dan berfatwa dengan qoul qodim, pada hakikatnya beliau berijtihad dan ternyata sesuai dengan qoul qodim, seperti yang disampaikan Imam Nawawi( 676 H).[10] Sedangkan pendapat yang kedua, ditolak oleh mayoritas ulama, sebagaimana dikatakan Abu Ishaq AlSyiroozi ( 476 H) dan Imam Nawawi : Pendapat ini jelas salah, sebab antara Qoul Qodim dan Qoul Jadid seperti dua nash yang bertentangan, apabila tidak mungkin dipadukan, maka yang terakhir yang harus dipakai sedang yang pertama di buang[11]. Sementara itu ada yang membandingkan dengan madzhab Hanafi, yang bertentangan dengan madzhab Hanafi adalah dianggap sebagai pendapat madzhab bukan yang sejalan, sebab tidak mungkin Imam Syafi i berbeda pendapat kecuali ada dalil yang lebih kuat, dan itu adalah pilihan Syech Abu Hamid AlAshfarooiniy ; tapi menurut Al-Qoffal Al-Syasyi ( 365 H ) justru sebaliknya.[12] II- PHASE PERPINDAHAN / PANCAROBA. Imam Syafi i wafat tahun 204 H. dengan meninggalkan pemikiran yang tetap selalu dijadikan rujukan bagi generasi selanjutnya, dan dari tangan beliau lahir tokoh-tokoh terkenal yang melanjutkan pemikiran beliau dibawah komando Al-Buwaithi, dan beliau inilah pewaris tahta madzhab syafi i sebagaimana di

sampaikan oleh Imam Syafi i : Tak seorangpun yang berhak menempati kedudukan saya selain Yusuf bin Yahya (yakni Al-Buwaithi), dan tak seorangpun dari murid-murid saya yang lebih alim darinya.[13] Dari murid-murid Imam Syafi i terutama 6 perowi- pemikiran Syafi i di lanjutkan dan dikembangkan, dan pada kenyataannya murid-murid Imam Syafi i tersebut bukan saja sekedar menyampaikan dan mengajarkan pendapat Imam Syafi i pada generasi penerusnya, tapi kadang-kadang mereka juga berijtihad sendiri, dan kadang-kadang ijtihad mereka berlawanan/berbeda dengan apa yang ditetapkan oleh Imam Syafi i.[14] Seperti Al-Muzani, Abu Tsur - juga generasi penerusnya (seperti ibn Mundzir (319 H) - tetap bermadzhab Syafi i, sementara itu di sebagian masalah berijtihad sendiri yang berbeda dengan pendapat Imam Syafi i, atau sesuai dengan Qoul-Qodim.[15] Karenanya Imam Al-Haromain (478 H) menjelaskan : Apabila Muzani menyendiri (berpendapat yang berbeda dengan Imam Syafi i ), maka beliau adalah bermadzhab sendiri, dan jika pendapatnya sesuai dengan Imam Syafi i maka ijtihadnya lebih utama diikuti dari pada takhrijnya ulama Syafi iyyah yang lainnya.[16] Yang perlu dicatat, bahwasanya yang paling berjasa dalam penyebaran madzhab Syafi i di Baghdad adalah Al-Anmaathi - murid Robi dan Muzani, perowi qoul jadid-, kemudian muridnya (Ibnu Suraij /306 H.) yang meneruskan penyebaran madzhab Syafi i kemana-mana.[17] Seperti juga Abu Zur ah adalah orang yang paling berjasa bagi penyebaran madzhab syafi i di Damaskus.[18] Sementara Al-Qoffaal Al-Kabiir Al-Syasyi murid ibn Suraij- adalah perin tis madzhab Syafi i di balik sungai Saihun dan Jaihun[19]. Sedangkan tersebarnya madzhab Syafi i di Maroo dan Khuroosaan adalah hasil kerja Abdan bin Muhammad Al-Maruzi (293 H). Dan yang pertama kali memperkenalkan madzhab Syafi i di Isfirooyin adalah Abu Awaanah (316 H.) salah seorang murid Robi dan Muzani-. Demikianlah mulai tersebarnya madzhab Syafi i di segala penjuru dunia, sampai akhirnya muncullah syekh Abu Hamid Al-Isfirooni (406 H) yang diikuti oleh sejumlah ulama, diantaranya Al-Mawardi (450 H), Qodli Abu Thoyyib Al-Thobary (450 H), Qodli Abu Ali Al-Bandaniijy( 425 H), Al-Mahaamily (424 H) dan lain-lain yang membukukan masalah Furu iyah dalam madzhab Syafi i. Dan kelompok ini disebut kelompok Al-Iroqiyin, kelompok inilah satu-satunya yang menjadi panutan

bagi pendapat madzhab Syafi i, sementara itu dibagian bumi yang lain muncullah Al-Qoffal Al-Shoghir AlMaruzi (417H) yang diikuti oleh sejumlah ulama, diantaranya Abu Muhammad Al-Juwaini (430 H), AlFurooti (461 H), Al-Qodhi Husain (462 H), Abu Ali Al-Sinji (427 H), Al-Mas udy, Muhammad ibn AbdulMalik (423 H) dan lain-lain yang juga membukukan Fiqh Syafi i, dan kelompok ini disebut kelompok AlKhurosaaniyyin, yang dikenal juga dengan sebutan kelompok Al-Maroowiz. Sampai di sini, semua ilmu madzhab Syafi i bersumber dari dua kelompok ini, dan apabila dua kelompok ini sepakat/ittifaq maka itulah madzhab Syafi i yang paling mu tamad.[20] Adapun kelebihan dan keistimewaan dua kelompok tersebut adalah sebagaimana yang digambarkan oleh imam Nawawi : Ketahuilah bahwasanya riwayat kelompok Iroqiyyin secara umum lebih tepat, lebih akurat dan lebih bisa dipertanggung-jawabkan dalam menukil nash-nashnya Imam Syafi i dan qoidah-qoidah madzhabnya di banding dengan riwayat kelompok Al-Khuroosaaniyin; sedang kelompok Al-Khurosaniyyin secara umum lebih baik dalam segi penjabaran, penganalisaan dan runtutannya.[21]

Kemudian lahirlah sejumlah ulama yang tidak terikat pada ketentuan dua kelompok tersebut, seperti Al-

Rowiyaani (502 H) pengarang Al-Bahru- , Al-Syaasyi (505 H) pengarang Al-Hilyah-, Ibn Al-Shobbagh (477 H) yang asalnya adalah kelompok Iroqiyyin; dan Al-Mutawally (448 H) pengarang Al-Tatimmah-, Imam Al-Haromain, Al- Gozali (505H) dan lain-lain dari kelompok Al-Khurosaaniyyun yang keluar dari ketentuan dua kelompok tersebut diatas.[22] Kemudian muncul generasi berikutnya yang mencoba mempersatukan dua kelompok diatas Al-Iroqiyun dan Al-Khurosaaniyun- yang di motori oleh dua ulama terkenal: Al-Rofi i (623 H) dan An-Nawawi (676 H), yang sangat besar andilnya bagi penjernihan madzhab Syafi i dan qoidah-qoidahnya.Dengan munculnya dua ulama tersebut, perkembangan madzhab Syafi i memasuki babak baru, Phase Pemurnian Madzhab . [1] Dalam kenyataannya, madzhab-madzhab Fiqh banyak sekali jumlahnya, hanya saja yang mashur dan tumbuh sampai saat ini ada 4 madzhab, itupun dari kelompok SUNNY. [2] Imam Abu Hanifah wafat ditahun dimana Imam Syafi I dilahirkan (tahun 150 H). [3] Imam Syafi i meninggalkan Baghdad th.198 H. dan masuk Mesir th. 199 H; ada pendapat bahwa Imam Syafi i meninggalkan Baghdad th. 199 H. dan masuk Mesir th. 200 H. Lihat:Al-Majmu :1/9; Miftah as-Sa adah : 2/225.

Minggu, 11 November 2007


Sejarah Mazhab Syafi'i bag. 2
III- PHASE PEMURNIAN MADZHAB. Seperti disebutkan diatas, bahwa kehadiran dua tokoh Imam Rofii dan Imam Nawawi- sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan madzhab Syafii, dari sini bisa dicatat bahwa kedua imam tersebut merupakan panutan bagi generasi berikutnya. Ijtihadnya merupakan pamungkas bagi madzhab Syafii, dan pendapatnya selalu jadi pegangan bagi ulama-ulama penerusnya, sehingga tidak terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa keduanya adalah peletak dasar madzhab Syafii setelah Imam Syafii sendiri. Dan ulama syafii sepakat bahwa pendapat yang paling mutamad dalam madzhab Syafii adalah

pendapat yang disepakati kedua tokoh tersebut, dan apabila keduanya berbeda pendapat, maka pendapatnya Imam Nawawi yang harus didahulukan.[1] Di bawah ini penjelasan singkat tentang kedua tokoh tersebut : - Imam Rofii, Abdul Karim bin Muhammad Al-Qozwani. Tokoh dan imam dalam Tafsir, Hasdits, Ushul dan Fiqh, pengarang yang produktif dalam Fiqh Syafii, dan yang paling terkenal Al-Maharror yang merupakan panutan dan rujukan bagi ulama Syafii, dan merupakan kitab pokok dan mutamad bagi madzhab syafii.dan kitab tersebut bersumber dari kitab Al-Wajiz karangan Imam Ghozali.[2] Beliau juga mengarang kitab Al-Sarhul Kabir dan Al-Sarh As-Soghir yang keduanya adalah syarah atau penjabaran kitab Al-Wajiz. Dan dalam mensyarahi tersebut, beliau banyak membuat rujukan dari karangan-karangan kelompok Iroqiyin dan Khurosaniyin -sebagai usaha penggabungan dua kubu- di samping tentu saja dengan di topang oleh dalil-dalil dan ijtihadijtihad beliau sendiri.[3] - Imam Nawawi, Yahya ibn Syarof Muhaddis, Faqih, Ushuli dan pengarang kitab-kitab terkenal, antara lain : 1. Minhaj Al-Tholibin. Kitab ini adalah syarh dari Al-Muharrornya Imam Rofii, dan methode Imam Nawawi dalam men-syarahi kitab tsb adalah: menjelaskan masalah-masalah yang tersebut dalam Al-Muharror, menambah sesuatu yang tidak tersebut dalam Al-Muharror, menjelaskan sesuatu masalah yang dalam Al-Muharror dijelaskan tapi keluar dari ketentuan madzhab, menjelaskan mana pendapat yang kuat dan mutamad dalam madzhab, menjabarkan lafadz/kalimat yang kurang jelas dan lain-lain.[4] Walhasil kitab Minhaj walaupun lebih ringkas- seakan merupakan syarah dari kitab muharror, seperti yang dikehendaki pengarangnya, dan lebih banyak memurnikan pendapat-pendapat yang mutamad dalam madzhab. 2. Al-Majmu, Syarah Al-Muhadzdzab karangan Abi Ishaq Al-Syirozi. Kitab ini semacam Ensiklopedi Fiqh, sebab hampir semua pendapat betapapun lemahnyadijelaskan oleh Imam Nawawi, kemudian barulah Imam Nawawi memilah-milah mana yang kuat dan mana yang lemah, dan itu tidak terbatas dalam madzhab syafii saja, bahkan juga pendapat ulama-ulama fiqh diluar madzhab Syafii, bahkan juga diluar madzhab sunni. 3. At-Tanqih. 4. Al-Roudah, yang merupakan Syarh Al-Aziz nya Imam Rofii 5. Al-Tahqieq. 6. Al-Nukat.

7. Al- Fatawa. 8. Syarh Shohih Muslim. Dan lain-lain. KEDUDUKAN PENDAPAT DAN KITAB-KITAB IMAM NAWAWI DAN IMAM ROFII DALAM MADZHAB SYAFII. Ulama sepakat bahwa pendapat yang mutamad adalah pendapat yang disepakati Syaikhoni Rofii dan Nawawi-, dan bila keduanya berbeda pendapat, maka pendapat Imam Nawawilah yang harus didahulukan, baru kemudian penda patnya Imam Rofii.[5] Bahkan kesepakatan Nawawi dan Rofii lebih didahulukan dari pendapat Imam Syafii sendiri, padahal pendapat Imam Syafii bagi ulama madzhab ibaratnya seperti Nash Al-Quran atau Nash Al-Hadits.[6] Dan ini bisa diterima, mengingat ulama yang mengerti dan mendalami madzhab, tingkatannya adalah Mujtahid Muqoyyad. Dan orang yang sampai pada level tersebut, dia selalu membandingkan pendapat Ulama dengan Qoidah dan Dasar-Dasar yang sudah diletakannya, sehingga tidak jarang disaat terjadi benturan antara Perkataan dengan Qoidah- dia lebih mendahulukan keharusan Qoidah, dan meninggalkan Pendapat tersebut dengan menakwilinya. Dalam kondisi seperti itu, sangat tidak tepat mengatakan: bahwa Mujtahid Muqoyyad tersebut tidak tahu dan tidak mengerti pendapat imamnya; yang benar seperti tersebut diatas- Mujtahid Muqoyyad tersebut sangat tahu, bahkan meng kaji pandapat Imamnya, tetapi kemudian membelokkan dari arti dzohirnya dengan dalil-dalil.Dan yang demikian ini tidak bisa dikatakan: Dia sudah keluar dari madzhab imamnya.[7] Adapun kedudukan Kitab-Kitab Nawawi dan Rofii, menurut mayoritas ulama: semua kitab kitab Nawawi dan Rofii adalah Kitab Mutamad, bahkan ulama generasi muda ( AlMutaakhkhiruun ) melarang merujuk dan berpegangan pada kitab-kitab yang sebelum Imam Rofii dan Nawawi, kecuali setelah dengan cermat meneliti bahwa itu adalah pendapat madzhab.[8] Kemudian, tidak jarang pendapat Imam Nawawi dalam satu kitab berbeda dengan pendapatnya di kitabnya yang lain, untuk itu ulama membuat satu ketentuan dalam menetapkan peringkat kitab-kitab Imam Nawawi dan men-tarjih nya sbb.[9] 1. Al-Tahqiq. (kitab yang paling shohih menurut ). 2. Al-Majmu 3. Al-Tanqieh 4. Al-Roudoh dan Minhajut Tholibin 5. Al-Fatawa 6. Syarh Shohih Muslim

7. Tashieh Al-Tanbieh wa Nukkatihi.[10] Ketentuan tersebut berlaku bagi mereka yang kurang mendalami persoalan madzhab, sedangkan bagi orang yang mengerti dan mendalami madzhab, maka cara men-tarjih diantara pendapat Imam Nawawi dalam kitab-kitabnya adalah mendahulukan dan mengambil pendapat Nawawi yang sesuai dengan pemikirannya sendiri berdasarkan dalil-dalil yang diketahuinya, tetapi harus tidak keluar dari qoidah yang sudah disepakati ulama yaitu harus masih berada dalam ruang lingkup Ikhtiyarnya Nawawi dan Rofii, artinya hak memilih bagi orang tersebut adalah memilih diantara pendapat-pendapat hasil ijtihadnya Nawawi, tanpa melihat mana yang terdahulu dan mana yang kemudian.[11] IV- PHASE AKHIR / KETETAPAN. Masa terus berjalan, sementara itu pendapat dan kitab-kitabnya Syaikhoni (Nawawi dan Rofii) terus membayang-bayangi ijtihad generasi berikutnya didalam menentukan pendapat madzhab, sampai akhirnya lahirlah ulama-ulama yang sangat teliti dan hati-hati didalam menganalisa pendapat madzhab, seperti Zakaria Al-Anshori (926 H) Syihab Al-Romli (973 H); Khotib AlSyarbini (977 H); Syamsuddin Al-Romli (1004H); Ibn Hajar Al-Haithami (973 H), dan lainlainnya. Mereka sangat berperhatian terhadap kitab-kitabnya Imam Nawawi dan Imam Rofii, terutama kitab Al-Minhaj nya Imam Nawawi. Syekh Zakariya Al-Anshori meringkas/Ikhtisor kitab tersebut dalam karyanya Manhaj alTullab. Sedangkan Ibnu Hajar. Khotib Al-Syarbini dan Samsuddin Al-Romli menganalisa/men-syarahi kitab al-Minhaj dan menamakannya: Tuhfatul Muhtaj, Mubghnil Muhtaj dan Nihaytul Muhtaj. Kadang-kadang Ijtihad ketiga orang tersebut berbeda dengan pendapat Imam Nawawi dan Rofii, tetapi tidak bisa dikatakan bahwa beliau keluar dari madzhab Syafii seperti sudah dijelaskan didepan-.

PENDAPAT YANG DIANGGAP MUTAMAD DALAM PHASE AKHIR. Didepan sudah dijelaskan bahwa bagi ulama dipersilahkan memilih antara pendapat-pendapat Syaikhoni (Nawawi dan Rofii) tanpa harus terikat dengan pendapatnya Ibnu Hajar dan Romli atau yang lainnya, dan ulama membatasi pilihan hanya pada pendapat-pendapatnya Imam Rofii dan Nawawi, mengingat mayoritas ulama tidak mengijinkan keluar dan berpaling dari pendapat Dua Tokoh tersebut.[12] Adapun yang masih belum sampai pada tingkatan ulama dengan kreteria tersebut didepan seperti umumnya orang-orang di zaman sekarang- mereka bebas memilih pendapatnya Ibnu Hajar atau Romli.[13]

Dan manakala keduanya berbeda pendapat, mana yang dianggap pendapat madzhab dan harus didahulukan? : Menurut ulama Hadramaut, Syam, Akrod (Kurdi), Daghistan dan Mayoritas Penduduk Yaman: Pendapat Ibnu Hajar (dalam al-Tuhfah) yang dianggap mutamad dan harus didahulukan.[14] Sedang Mayoritas Ulama Mesir mengatakan, bahwa pendapat Romli yang paling mutamad, bahkan mereka ber-ikrar untuk tidak berfatwa kecuali dengan pendapatnya Imam Romli.[15] Dan Ulama Al-Haromain (Makkah dan Madinah), pada awalnya selalu berpegangan pada pendapat Ibn Hajar. Kemudian ketika banyak Ulama Mesir yang datang, menetap, belajar dan mengajar di Haromain, mulailah tersebarnya pendapat Imam Romli, dan jadilah keduanya Kitab Pegangan bagi Ulama Al-Haromain, bahkan Ulama-Ulama yang berperhatian dengan pendapat keduanya langsung mengambilnya tanpa pakai filter.[16] Dan didalam perkembangannya, Syekh Muhammad Said Sumbul Al-Makki (1175 H) dan Ulama yang segaris dengannya menetapkan : Tidak diperkenankan bagi Mufti berfatwa dengan hukum yang berbeda dengan pendapat Ibn Hajar dan Romli dalam al-Tuhfah dan al-Nihayah. Tetapi Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi (1194 H) membolehkan berpaling dari alTuhfah dan al-Nihayah, dan berpegangan pada kitab-kitab Ibn Hajar dan Romli selain alTuhfah dan al-Nihayah.[17] Dan urutan kitab-kitabnya Ibn Hajar adalah sebagai berikut : 1. Al-Tuhfah 2. Kemudian Fathul Jawad 3. Kemudian Al-Imdad 4. Kemudian Al-Fatawa dan Syarh Al-Ubab.[18] Kemudian manakala Ibnu Hajar dan Romli tidak berpendapat dalam suatu masalah, generasi akhir ( al-Mutaakhkhirun )membuat urutan pendapat yang bisa dianggap mutamad dalam madzhab Syafii sbb.: 1. Syekh Zakariya Al-Anshori dalam kitabnya Al-Bahjah Al-Shoghir; lalu kitab Al-Manhaj dan Syarahnya.[19] 2. Berikutnya Syekh Khotib As-Syarbini. 3. Berikutnya pendapat Ashabul Hawasyi (Pengarang Hasyiyah), inipun dengan syarat tidak bertolak belakang dengan dasar-dasar dan qoidah madzhab[20], dan umumnya pendapat mereka sejalan dengan pendapat Imam Romli.[21]

Adapun Ashabul Hawasyi, urutannya sebagai berikut : a- Ali Az-Zayyadi (1024H), pengarang Hasyiyah ala Syarh Manhaj. b- Ahmad bin Qosim Al-Abbadi (994 H), pengarang Hasyiyah ala Syarh Manhaj dan Hasyiyah ala Thuhfah. c- Amiroh, Ahmad Syihabuddin d- Sibromalisi, Ali bin Ali (1087 H), pengarang Hasyiyah ala Syarh Al-Minhaj e- Ali Al-Halabi (1044 H) f- As-Syuwairi g- Al-Inani. PENUTUP : KESIMPULAN. Dari penjelasan didepan dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Madzhab Syafii tumbuh dan berkembang sesuai dengan tuntutan keadaan tanpa keluar dari qoidah yang sudah digariskan oleh pendiri madzhab. 2. Pada akhirnya ulama Syafii sepakat bahwa pendapat yang paling kuat dan mutamad dalam madzhab adalah Kesepakatan Imam Rofii dan Nawawi, berikutnya Tarjihnya Imam Nawawi, berikutnya Tarjihnya Imam Rofii, berikutnya Tarjihnya Ibnu Hajar dan Romli. 3. Ada Mata Rantai Emas yang menghubungkan antara Kitabnya Ibn Hajar dan Romlidengan ulama-ulama pendahulunya sampai pada Pendiri Madzhab: Imam Syafii. Sebab Al-Nihayah dan Al-Thuhfah adalah Syarahnya Al-Minhaj nya Imam Nawawi yang merupakan mukhtashor dari Al-Muharrornya Imam Rofii; dan Al-muharror adalah mukhtashor dari Al-Wajiznya Imam Ghozali, sedang Al-Wajiz adalah bersumber dari AlWasith, dan Al-Wasith dari Al-Basith (ketiganya karangan Imam Ghozali), danAl-Basith adalah cangkokan dari kitab Nihayatul Mathlab karangan Imam Al-Haromain, dan Nihayatul mathlab adalah syarah Al-Mukhtashor nya Imam Muzani (murid Syafii), dan Mukhtashor adalah ringkasan pendapat Imam Syafii. Wallohu alam

Selasa, 18 Desember 2007


Hukum Iuran Kurban
BOLEH BERGOTONG ROYONG (IURAN) DALAM BERKURBAN Pertanyaan Lajnah Da imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Bolehkah bergotong-royong (iuran) dalam berkurban ? Berapa jumlah kaum muslimin seharusnya dalam bergotong-royong (iuran) melakukan kurban? Apakah harus dari satu keluarga ? Dan apakah bergotong-royong semacam itu bid ah atau tidak? Jawaban Seorang laki-laki diperbolehkan melakukan kurban atas nama dirinya dan anggota keluarganya dengan satu ekor kambing. Dasarnya, hadits shahih dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, bahwa beliau berkurban dengan satu ekor kambing , atas nama diri beliau sendiri dan atas nama keluarganya. [Hadits Muttafaqun Alaih] Juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik, Ibnu Majah dan Tirmidzi dan beliau menshahihkannya. Dari Atha bin Yasir, ia berkata, Saya bertanya kepada Abu Ayyub Al-Anshari, bagaimana kurban-kurban yang sekalian (para sahabat) lakukan pada zaman Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam Abu Ayyub menjawab, Pada zaman Nabi Shallallahu alaihi wa sallam seseorang berkurban dengan satu ekor kambing atas nama dirinya dan atas nama keluarganya. Maka mereka memakannya dan memberi makan orang lain. Kemudian orang-orang bersenangsenang, sehingga jadilah mereka sebagaimana yang engkau lihat. [HR Malik, kitab Dhahaya, Bab Asy-Syirkah Fi Adh-Dhahaya dan Ibnu Majah, Shahih Ibnu Majah no. 2563 dan lain-lain]. Sedangkan satu ekor unta dan setu ekor sapi, sah untuk gabungan tujuh orang. Baik mereka berasal dari satu keluarga atau dari orang yang bukan dari satu rumah. Baik mereka punya hubungan kerabat ataupun tidak. Sebab Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengijinkan para sahabat untuk bergabung dalam (berkurban) unta dan sapi. Masing-masing tujuh orang. Wallahu a lam. [Fatwa No. 2416] Pertanyaan Lajnah Da imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Ayah seorang laki-laki meninggal dunia. Dan dia ingin menyembelih kurban atas nama ayahnya. Tetapi ada beberapa orang menasihatinya tidak boleh menyembelih unta untuk kurban satu orang. Sebaiknya kambing

saja, itu lebih utama dari pada unta. Orang yang mengatakan kepadamu sembelihlah unta maka orang ini keliru. Sebab unta tidak boleh untuk kurban, kecuai gabungan dari sekelompok orang , benarkah? Jawaban Dibolehkah menyembelih binatang kurban atas nama orang yang telah meninggal dunia tersebut baik dengan seekor kambing atau seekor unta. Orang yang mengatakan, bahwa unta hanya untuk gabungan sekelompok orang, maka itu keliru. Sedangkan kambing tidak sah, kecuali untuk satu orang (pelaku kurban). Namun pelakunya itu bisa menyertakan orang lain dari anggota keluarganya dalam pahalanya. Adapun unta, boleh untuk pelaku satu orang atau tujuh orang, yang mereka beriuran dalam hal harganya. Kemudian, sepertujuh dari daging kurban unta itu merupakan kurban dari masing-masing tujuh orang. Sapi, dalam hal ini sama hukumnya seperti unta. [Fatwa No. 3.055] BOLEHKAH DAGING KURBAN DIMAKAN BERSAMA-SAMA? Pertanyaan: Lajnah Da imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Orang-orang pedalaman memasak daging kurban bersama-sama dan tidak membagikan daging tersebut. Kemudian mereka berkumpul bersama seperti walimah (pesta). Saya katakan kepada mereka : Kalian bagi-bagikan lebih utama . Tetapi mereka menjawab : Masing-masing kami berkurban dengan satu ekor kurban. Dan setiap hari, kami makan bersama daging kurban tersebut di tempat masing-masing orang yang berkurban di antara kami (secara bergilir) . Juga dibolehkan memecah-mecahkan tulangnya atau tidak ? Jawaban Bagi sekelompok orang, diperbolehkan masing-masing untuk menyembelih seekor binatang kurban pada hari-hari Ied, yaitu Idul Adha dan tiga hari sesudahnya (tasyriq). Dan mereka, boleh memecahkan tulangnya, kemudian memasaknya dan memakannya secara bersama-sama tanpa dibagi-bagikan. Sebagaimana diperbolehkan pula mereka membagi-bagikannya di kalangan mereka sebelum atau sesudah dimasak untuk dishadaqahkan. [Fatwa No. 3055] RITUAL QURBAN Ayat dalam Al Qur'an tentang ritual kurban antara lain : surat Al Kautsar ayat 2: Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah (anhar). Sementara hadits yang berkaitan dengan kurban antara lain: Siapa yang mendapati dirinya dalam keadaan lapang, lalu ia tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat Ied kami. (HR. Ahmad dan ibn Majah). Hadits Zaid ibn Arqam, ia berkata atau mereka berkata: Wahai Rasulullah SAW, apakah qurban itu? Rasulullah menjawab: Qurban adalah sunnahnya bapak kalian, Nabi Ibrahim.

Mereka menjawab: Apa keutamaan yang kami akan peroleh dengan qurban itu? Rasulullah menjawab: Setiap satu helai rambutnya adalah satu kebaikan. Mereka menjawab: Kalau bulu-bulunya? Rasulullah menjawab: Setiap satu helai bulunya juga satu kebaikan. HR. Ahmad dan ibn Majah Jika masuk tanggal 10 Dzul Hijjah dan ada salah seorang diantara kalian yang ingin berqurban, maka hendaklah ia tidak cukur atau memotong kukunya. HR. Muslim Kami berqurban bersama Nabi SAW di Hudaibiyah, satu unta untuk tujuh orang, satu sapi untuk tujuh orang. HR. Muslim, Abu Daud, Tirmidzi. HUKUM QURBAN Mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi in, tabiut tabi in, dan fuqaha (ahli fiqh) menyatakan bahwa hukum qurban adalah sunnah muakkadah (utama), dan tidak ada seorangpun yang menyatakan wajib, kecuali Abu Hanifah (tabi in). Ibnu Hazm menyatakan: Tidak ada seorang sahabat Nabi pun yang menyatakan bahwa qurban itu wajib. SYARAT-SYARAT QURBAN Syarat dan ketentuan pembagian daging kurban adalah sebagai berikut : y Orang yang berkurban harus mampu menyediakan hewan sembelihan dengan cara halal tanpa berutang. y Kurban harus binatang ternak, seperti unta, sapi, kambing, atau biri-biri. y Binatang yang akan disembelih tidak memiliki cacat, tidak buta, tidak pincang, tidak sakit, dan kuping serta ekor harus utuh. y Hewan kurban telah cukup umur, yaitu unta berumur 5 tahun atau lebih, sapi atau kerbau telah berumur 2 tahun, dan domba atau kambing berumur lebih dari 1 tahun. y Orang yang melakukan kurban hendaklah yang merdeka (bukan budak), baligh, dan berakal. y Daging hewan kurban sebaiknya dibagi tiga, 1/3 untuk dimakan oleh yang berkurban, 1/3 disedekahkan, dan 1/3 bagian dihadiahkan kepada orang lain.

Jumat, 02 November 2007


KHUTBAH JUMAT (Piagam Madinah)
TOLERANSI AGAMA DENGAN BERKACA KEPADA PIAGAM MADINAH Oleh: Marhadi Muhayar, Lc., M.A Khutbah Pertama :]

. .

Hadirin sidang Jumat yang dimuliakan oleh Allah Swt.... Pada kesempatan yang berbahagia ini, di hari jumat yang sangat cerah dan damai ini, izinkanlah saya berwasiat, baik bagi diri saya pribadi, maupun bagi hadirin sekalian, untuk selalu dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan diri kita kepada Allah Swt. Karena hanya dengan bekal iman dan takwa sajalah, kita akan selamat, baik di dunia, maupun di akhirat. Dalam khutbah Jum at kali ini, saya ingin menyampaikan sebuah materi yang berkaitan dengan toleransi umat beragama melalui bingkai yang Rasulullah Saw tawarkan 14 abad lalu, yaitu Piagam Madinah. Materi khutbah tentang toleransi beragama, di rasa masih sangat signifikan dan urgen, bersamaan dengan gejala masih mengentalnya sentimen-sentimen keagamaan di berbagai kawasan di negeri kita. Fenomena ini tentunya, merupakan tantangan bagi para cendekia kita untuk segera merumuskan cetak biru toleransi beragama di Indonesia, sekaligus tanggungjawab para ulama untuk memahamkan umatnya akan hakikat toleransi sesuai ajaran agama Islam. Sehingga, hubungan intern dan ekstern antarumat beragama yang lebih baik dapat segera wujud, bukan lagi hanya dalam awang-awang, keinginan dan teori semata, melainkan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Konsep Toleransi dalam Islam Ma syiral muslimn rahimakumullh. Toleransi yang dalam bahasa Arab disebut at-tasmuh sesungguhnya merupakan salah satu inti ajaran Islam. Toleransi sejajar dengan ajaran fundamental yang lain, seperti kasih-sayang (rahmah), kebijaksanaan (hikmah), kemaslahatan universal (mashlahah 'lamiah), dan keadilan ('adl).

Beberapa prinsip ajaran Islam ini merupakan sesuatu yang qath'iy, ia tidak bisa dianulir atau dibantah dengan nalar apa pun. Dan sebagai kulliyt, ajaran tersebut bersifat universal dengan melintasi rentang waktu dan dimensi tempat (shlihatun likulli zamnin wa maknin). Pendeknya, prinsip-prinsip ajaran ini bersifat transhistoris, transideologis, bahkan trans-keyakinan-agama. Merupakan kewajiban mutlak setiap umat Islam untuk berseru dan berdakwah mengajak kepada prinsip-prinsp ajaran Islam ini. Rasulullah Saw bersabda: : ( ) Sampaikanlah apa yang datang dariku walau pun hanya satu ayat . (HR. Bhukhari, Tirmidzi, Ahmad dan Darimi) Sebagai suatu ajaran fundamental atau asasi, konsep toleransi telah banyak ditegaskan dalam Alquran. Di antaranya sebagaimana yang termaktub dalam surat Al Baqarah ayat 256, Allah Swt berfirman: . ( : 256) Tidak ada paksaan dalam beragama Islam. Sungguh telah jelas jalan yang benar dari jalan yang salah. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada thagut (tuhan selain Allah) dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah maha mendengar, lagi maha mengetahui. (QS. Al Baqarah: 256) Kebebasan untuk memilih agama dalam ayat ini mengandung maksud, bahwa memeluk agama Islam tidak menghendaki adanya paksaan, melainkan melalui kesadaran dan keinginan pribadi yang bersangkutan. Bagi mereka yang berkenan, dipersilahkan, bagi yang tidak, adalah hak mereka sendiri untuk menolak dengan sepenuh hati. Bahkan ketika ayat ini menggunakan kalimat negatif yang dalam tata bahasa Arab dikenal dengan l nfiah , maka ayat ini dapat diartikan sebagai larangan keras bagi kaum muslimin untuk memaksakan ajaran Islam kepada pemeluk agama lain. Namun sebagai konsekuensinya, seseorang yang telah menjatuhkan pilihannya kepada agama Islam, sudah seharunya konsisten di dalam menjalankan ajaran agamanya secara baik dan benar. Inilah bentuk toleransi agama yang begitu nyata yang ditegaskan oleh Islam. Sama halnya dengan Surat Al-Kafirun ayat 1-6: . . . . . . ( : 1-6) Katakanlah (hai Muhammad): "Wahai orang-orang kafir, aku tidak menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu pun tidak menyembah Tuhan yang aku sembah. Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu pun tidak pernah menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Karena untukmulah agamu, dan untukkulah agamaku Melalui ayat ini dapat dipahami, bahwa Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin untuk tidak ikut-ikutan dalam upacara peribadadatan agama lain, karena ajaran Islam mempunyai batasan-batasan tertentu dalam beribadah dan berkeyakinan. Namun tidak juga

memaksakan ajaran Islam kepada mereka, karena "bagi mereka (orang kafir) agama mereka, bagiku (orang Islam) agamaku". Nampak di sini adanya keseimbangan, antara tidak turut campur dalam urusan ibadah agama masing-masing dan tidak memaksakan agama kepada mereka. Begitu kuatnya penegasan Islam akan toleransi beragama, Surat Al-Mumtahanah ayat 8 menjelaskan tentang tidak adanya larangan bagi orang Islam untuk berbuat baik, berlaku adil dan menolong orangorang non-Islam. Allah Swt berfirman: . Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama, dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Melalui ayat ini, Alquran berpandangan, bahwa perbedaan agama bukan penghalang untuk merajut tali persaudaraan antarsesama manusia yang berlainan agama. Jangan lupa, bahwa Tuhan menciptakan planet bumi ini tidak untuk satu golongan agama tertentu. Dengan adanya bermacam-macam agama, itu tidak berarti bahwa Tuhan membenarkan diskriminasi atas manusia, melainkan untuk saling mengakui eksistensi masing-masing (lita'raf). .( : 13) Wahai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kalian dari seorang lelaki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbilang bangsa dan suku, agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian . (QS. Al Hujurat: 13). Lagi pun, bukankah Rasulullah Muhammad Saw diutus sebagai rahmat bagi sekalian alam? Walhasil, sungguh tidak beralasan bagi seorang muslim untuk tidak menenggang dan bersikap toleran kepada orang lain hanya karena dia bukan penganut agama Islam. Pembiaran terhadap orang lain (alkhar) untuk tetap memeluk agama non-Islam adalah bagian dari perintah Islam sendiri. Dengan kata lain, pemaksaan dalam perkara agama --di samping bertentangan secara diametral dengan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang merdeka-- juga berlawanan dengan ajaran Islam itu sendiri. Sebagaimana firman Allah dala surat al-Baqarah ayat 256 tadi: "Tidak boleh ada paksaan dalam beragama. Sungguh telah nyata (berbeda) kebenaran dan kesesatan". Bahkan, Nabi Saw pernah mendapat teguran dari Allah Swt, yang terekam dalam Surat Yunus ayat 99: . "Kalau Tuhanmu mau, tentulah semua orang yang ada di muka bumi ini telah beriman, maka apakah kamu (wahai Muhammad) akan memaksa seluruh manusia hingga mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?" Menjadi hak setiap orang tentunya untuk mempercayai bahwa agamanyalah yang benar. Namun, dalam waktu yang bersamaan, yang bersangkutan juga harus menghormati jika orang lain berpikiran serupa. Karena hal itu merupakan masalah pribadi, tidak banyak gunanya memaksa seseorang untuk memeluk

suatu agama kalau tidak dibarengi dengan kepercayaan dan keyakinan penuh dari orang tersebut. Memeluk agama karena paksaan dan intimidasi merupakan kepemelukan agama yang pura-pura, tidak serius, dan bohong. Tidak adanya izin teologis dari sang Maha Pencipta untuk melakukan pemaksaan dalam urusan agama ini menjadi maklum, karena Tuhan telah meposisikan manusia sebagai makhluk berakal yang mampu untuk membedakan dan memilih agama yang diyakini dapat mengantarkan dirinya menuju gerbang kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Allah sendiri telah berfirman: ( : 29) Dan katakanlah: Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barangsiapa yang ingin beriman silahkan beriman dan barangsiapa yang ingin kafir silahkan juga ia kafir. Sesungguhnya kami telah menyediakan untuk orang-orang zalim itu neraka yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, mereka akan diberi minum dengan air yang seperti besi mendidih menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. Sementara itu, sejumlah hukum agama seperti riddah (keluar dari ajaran Islam), kufr (kafir) yang oleh sebagian oknum dikatakan sebagai argumentasi untuk menolak ajakan toleransi, jelas merupakan kesalahan fatal dalam meletakkan hukum agama. Artinya, hukum agama tidak diletakkan dalam proporsinya yang benar sebagai jalan (syir'ah, minhj) untuk sampai kepada Tuhan. Syariat bukanlah ghyah --meminjam bahasa ushul fikih-- melainkan washlah. Dalam ushul fikih, cukup kesohor adanya sebuah kaidah: al-Islm murnatun fi l-was`il wa tsabtun fi l-ghyt (Islam bersifat lentur-elastis ketika berbicara tentang sarana pencapaian sebuah tujuan, namun sangat tegas ketika sudah menyangkut tujuan itu sendiri). Di sini saya hanya ingin mengatakan sesuai kaidah tadi, bahwa tujuan (ghyh) dalam Islam yang merupakan sesuatu yang tegas dan tidak bisa ditawar-tawar adalah menjadikan agama ini sebagai rahmatan lil lamn . Sebagaimana Allah Swt berfirman: ( : 107) Karenanya, marilah kita wujudkan Islam yang rahmat bagi semua, melalui toleransi umat beragama sebagai sebuah sarana (washlah), apalagi ketika Islam telah mempunyai konsep yang jelas, mudah, aplikatif, rasional dan telah terbukti oleh sejarah, bahkan sebagai sebuah ajaran yang qath iy yang mesti dijalankan. Toleransi Merujuk Piagam Madinah Hadirin sidang Jumat yagn dirahmati oleh Allah Swt... Di dalam sejarah Islam dikenal sebuah dokumen maha penting dan strategis, bukan hanya bagi umat Islam tetapi juga bagi umat manusia secara keseluruhan, karena berkaitan dengan HAM dan toleransi antar umat beragama. Piagam Madinah yang lahir 14 abad lalu merupakan sebuah dokumen kesepakatan lintas agama dan ras

yang diprakarsai oleh Rasulullah Saw dalam mengatur kehidupan beragama dan bermasyarakat di Madinah, berdasarkan prinsip keadilan, persamaan, kebebasan, toleransi, kerukunan, persamaan dan persaudaraan. Baik bagi penduduk asli maupun pendatang yang berasal dari berbagai daerah di semenanjung Arab Saudi, utamanya Mekah, Madinah, dan kota-kota sekitarnya. Pencerahan yang diprakarsai Rasulullah Saw ini menjadikan kota Madinah dikenal sebagai Madnat `ul Munawwarah atau kota yang bercahaya. Seorang orientalis Barat bernama Robert N. Bellah dalam bukunya Beyond Belief terbitan tahun 1976, pada halaman 150-151, mengatakan: suatu masyarakat yang untuk zaman dan tempatnya sangat modern (bahkan terlalu modern)... Timur Tengah dan umat manusia saat itu belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial yang modern seperti pernah dirintis Nabi Saw". Adapun inti dari piagam madinah berisi tentang, pertama: pengakuan kaum muslimin tentang segmen masyarakat Madinah yang plural, namun merupakan satu kesatuan yang disebut ummat. Kedua, hubungan anggota masyarakat antara yang beragama Islam dan non-Islam didasarkan pada prinsip bertetangga yang baik, saling membantu, membela yang teraniaya, menasehati dan menghormati kebebasan beragama. Ketiga, mekanisme penegakkan hal-hal yang baik, seperti melindungi harta dan jiwa, sistem keamanan, musyawarah, penegakkan hukum, keadilan, dan menghadapi bahaya Keempat, segala persoalan akan diselesaikan secara musyawarah dan jika terjadi perselisihan antarkabilah yang tidak dapat diselesaikan, akan diserahkan pada kebijakan Nabi Muhammad SAW. Sebab kejujurannyalah, orang Yahudi dan Nasrani mengakui kemampuan Nabi dalam menyelesaikannya secara arif dan bijaksana, sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur an yang berbunyi: Secara lebih jelasnya, toleransi beragama dalam Piagam Madinah disinggung pada pasal 25 yang bunyinya: "Kaum Yahudi dari Banu Auf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi kaum mukminin agama mereka. (kebebasan ini berlaku) Juga bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi orang yang berbuat kezhaliman dan kejahatan, merusak diri dan keluarga mereka . Komitmen Islam terhadap pluralitas dan toleransi dengan tegas disebutkan pada pasal 25 ini: "Kaum Yahudi bebas menjalankan agama mereka sebagai mana umat Islam bebas menjalankan agama mereka". Dalam pasal 25 ini sangat jelas, bahwa agama tidak menjadi pemisah dan penghalang untuk dapat hidup berdampingan dalam sebuah negara. Kaum Yahudi dan Musyrikin tidak ditempatkan di lokasi yang diperangi (dar al-harb) dan kaum muslimin di lokasi aman (dar al-Islam). Tapi mereka hidup di satu tempat sebagai satu umat. Satu dengan yang lainnya merupakan bagian yang tak terpisahkan, hidup dengan penuh kedamaian (muslamah). Tidak dikenal istilah warga kelas satu atau kelas dua, hanya karena perbedaan agama. Kebebasan di sini bukan saja agama tetapi juga mencakup kebebasan berfikir, berpendapat dan berkumpul. Kebebasan beragama ini benar-benar diterapkan Nabi saw. Beliau melarang sahabat Hushayn dari Banu

Salim Ibn 'Auf yang memaksa kedua anaknya yang Nasrani agar memeluk Islam, karena Nabi melihat bahwa beragama adalah hak setiap manusia. Begitu juga ketika Kabilah Aus memaksa anak-anaknya yang beragama Yahudi untuk masuk agama Islam dan segera bergabung dengan pasukan Rasulullah, beliau pun melarangnya. Karena memeluk suatu agama atau keyakinan adalah hak asasi manusia, selain efek dari keterpaksaan malah akan menimbulkan kebencian dan tidak melahirkan keyakinan yang mantap bagi pemeluk bersangkutan Begitu besarnya perhatian Nabi kepada kaum non-muslim semisal Yahudi dan Nasrani, sampai-sampai beliau pernah mengingatkan umatnya agar tidak memusuhi mereka. Sebab keselamatan dan keamanan mereka menjadi tanggung jawab Rasulullah. Sampai-sampai Nabi Saw pernah bersabda: "Siapa yang memusuhi orang kafir dzimmi, berarti akulah lawannya, dan siapa yang aku telah menjadi lawannya, kelak di hari kiamat akulah lawannya.'' Di bidang hukum orang-orang non-Islam sebagai golongan minoritas memiliki kedudukan hukum yang sama dengan umat Islam, tidak ada diskriminasi, duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Mereka bagian dari penduduk sipil, tidak boleh diganggu dan harus dilindungi. Dalam hal kewajiban dan upaya mempertahankan masyarakat Madinah dari serangan pihak luar, golongan minoritas nonmuslim dibebani tugas yang sama, kecuali alasan tertentu mereka dibolehkan dengan syarat membayar pajak perlindungan. Demikian juga hak-hak mereka yang lain, seperti jiwa, harta, keluarga, fasilitas peribadatan dan jabatan keagamaan. Seperti pendeta dan rahib tetap dilindungi dan tidak boleh diambil alih atau diisi orang lain atau orang Islam. Ma syiral muslimn rahimakumullh... Melalui Piagam Madinah ini kita mengetahui, bahwa telah hadir 14 abad yang lalu suatu masyarakat maju (civil society) atas dasar wawasan kebebasan beragama, toleransi, kerukunan, persamaan dan persaudaraan antarsesama warga, yang terdiri atas berbagai suku, ras dan agama. Dalam konteks kini, Piagam Madinah dapat kita aktualisasikan ke dalam kehidupan sehari-hari bangsa kita, Indonesia. Piagam Madinah menjadi sangat penting artinya untuk dipahami sehubungan dengan munculnya berbagai konflik bernuansa suku, agama dan ras yang tidak kunjung usai hingga saat ini.

. .
Khutbah Kedua

. .
Ma syiral muslimn rahimakumullh... Bercermin dari Piagam Madinah dan konsep Islam dalam bertoleransi, hendaknya setiap dari kita harus menyadari, bahwa Islam memerintahkan kepada umatnya untuk saling tenggang rasa dan toleransi dalam menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Allah Swt sengaja menciptakan manusia berbilang bangsa dan suku hanya untuk menguji, mampukah manusia untuk hidup rukun dan damai penuh kasih sayang di dalam mencari kebenaran di sisinya. Akhir-akhir ini, kebanggaan toleransi yang kita miliki sebagai bangsa Indonesia telah luluh lantak oleh sederetan kekerasan, yang diakui atau tidak, sangat kental beraroma agama. Bagaimana tidak, pada tataran realitas, para pelaku tindak kekerasan yang sekaligus penganut agama kerap membakar tempattempat ibadah, seperti mesjid dan gereja. Ribuan nyawa telah melayang akibat konflik-konflik agama semacam ini. Karena itu, perlu ada kemauan dan kebulatan tekad bersama untuk menyelamatkan bangsa ini dari perpecahan dan krisis multidimensial, akibat pemahaman agama yang minim. Bukan hanya dari kita sebagai warga muslim, tetapi juga dari mereka kalangan non-muslim. Sebab jika hanya di mulai dari satu sisi, bagai orang bertepuk sebelah tangan. Semua pihak hendaknya mau menyadari dan urun rembuk demi masalah yang lebih besar dan asasi. Di antara langkah riil yang perlu kita tempuh adalah, mempersiapkan dai atau misionaris militan yang bertugas mendistribusikan secara sinambung cita-cita toleransi beragama pada tingkat praktis di level akar rumput. Para elite intelektual yang suka gembar-gembor menyanyikan lagu toleransi dan pluralisme" harus segera turun dari pentas dengan melibatkankan diri secara nyata dalam gerakan toleransi beragama. Dengan cara inilah, maka wacana toleransi tidak hanya melingkar-lingkar secara elitis di kalangan intelektual kota, melainkan justru dapat tembus pada masyarakat di bawah. Ini karena disadari, bahwa problem toleransi beragama tidaklah bersemayam pada diri para intelektual, tetapi malah di tingkat bawah. Sungguh, betapa pun seksi dan canggihnya sebuah pemikiran dari sudut teologis-filosofisnya, jika tidak dapat diimplementasikan secara praktis, maka tidaklah banyak manfaatnya bagi sebesar-besarnya kemaslahatan umat manusia. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah materi kampanye mesti diarahkan terutama pada bidang-bidang mu'amalah diniyah. Artinya, kampanye menyangkut toleransi beragama sejauh mungkin dihindari dari perbincangan tentang perbedaan ajaran masing-masing agama. Perbedaan pada wilayah itu memang tidak akan pernah menemukan titik temu karena dari sananya telah terformat secara demikian.

. . . . . . !
Diposkan oleh Marhadi Muhayar, Lc., M.A. (Silahkan menukil dengan menyebut sumbernya) di 00:57
1 komentar:

cepyudi mengatakan...

Assalamu'alaikum ust...ana tertarik dg wacana ini dimana umat Islam dan non Islam bisa hidup berdampingan dalam urusan duniawi. ada yg ingin ana tanyakan kepada antum, mudah-mudah bisa istifadah, bagaimanakah sikap Rasul atau para sahabat ketika umat non Islam itu yg menyalahi piagam Madinah? dan bagaimana sikap terhadap orang pengaku dirinya nabi beserta pengikutnya? apakah sikap para sahabat bisa dijadikan panutan bagi kita sekarang ini...Aftuuni jazakumullah
24 Maret 2011 00:23

Jumat, 02 November 2007


KHUTBAH JUMAT (Mensyukuri nikmat kemerdekaan)
MENSYUKURI NIKMAT KEMERDEKAAN ] [

. . . Hadirin sidang Jumat yang dimuliakan oleh Allah Swt.... Banyak sekali nikmat yang Allah berikan, salah satu diantaranya Adalah nikmat kemerdekaan. Betapa dengan kemerdekaan kita bisa lebih maju, kita bisa melakukan apapun untuk peningkatan kualitas, sarana dan prasarana ibadah kita. Dengan modal kemerdekaan ini kita bisa menjunjung tinggi harkat kemanusiaan, dengan hakikat kemerdekaan juga kita bisa menjunjung tinggi pendidikan. Maka tanggal 17 agustus merupakan hari yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia, pada hari tersebut segenap komponen bangsa merayakan kemenangan dan kemerdekaan setelah sekian ratus lamanya hidup dibawah bayang-bayang intimidasi dan kedzaliman para penjajah. Sangat wajar, jika kemenangan ini disambut dengan luapan kegembiraan yang gegap gempita, seraya mengumandangkan kalimat tahmid, memuji dan mensyukuri karunia Allah yang terbesar bagi bangsa ini. Bagi umat Islam, anugerah kemerdekaan ini selayaknya dijadikan momentum untuk mengasah rasa syukur kita kepada Allah swt, momentum untuk membangun dan menghidupkan rasa syukur kita kepada Allah swt dengan tentunya mengkonsumsi dan mendayagunakan semua nikmat tersebtut kearah tujuan penciptaan manusia, sesuai dengan definisi syukur yang didefinisikan oleh para Ulama As Syukru huwa sorful abdijamiia ma amanallaahu ilaa maa khuliqo liajrihi syukur merupakan segala bentuk aktivitas seorang hamba dalam rangka mendayagunakan semua nikmat yang Allah berikan kepadanya menuju tujuan manusia itu diciptakan yaitu beribadah kepada Allah swt . Indikasi dari rasa syukur yang mendalam sudah sepatutnya dibuktikan dengan tiga hal nyata didalam kehidupan sehari-hari : 1. umat Islam dituntut untuk memiliki disiplin yang tinggi didalam memenuhi semua tuntunan dan tuntutan baik yang terkait dengan hak Allah swt maupun yang terkait dengan hak-hak sesama makhluknya, demikian pula dengan berdisiplin tinggi, meninggalkan semua yang merendahkan dan mengotori nilai luhur sebuah kemerdekaan dan kebebasan. 2. dengan mengagungkan dan meninggikan Allah diatas segala-galanya. Slogan Allahu Akbar Allah maha besar bukan hanya dalam bentuk ucapan dan dzikir lisan saja, tetapi asma-asma Allah swt bagaimana bisa mendominasi seluruh ruang didalam hidup kita, sebutan asma-asma Allah berwibawa didalam hidup kita, ajaran dan pedomannya pun mewarnai setiap gerak langkah kita. 3. dengan memberdayakan potensi dari semua anugerah nikmat Allah kepada jalan yang benar sesuai dengan tujuan penciptaan manusia yaitu beribadah mengabdi kepada Allah dalam makna yang seluas-luasnya dan makna yang setepat-tepatnya yaitu ibadah yang mengambil unsur

perlawanan terhadap hawa nafsu yang cenderung merusak kehidupan manusia. Sesungguhnya Islam lahir membawa misi kemerdekaan dan kebebasan serta ingin mengantarkan segenap manusia kembali kepada fitrah mereka yang suci. Misi kemerdekaan dan kebebasan yang diperjuangkan oleh Islam merupakan inti dari idiologi yang benar yaitu tahrirul ibad min ibaadatil ibaad ilaa ibaadati rabbil ibad , membebaskan manusia dari penghambaan, belenggu, dari ketergantungan kepada sesama manusia menuju penghambaan dan pengabdian yang totalitas kepada Tuhan sang pencipta makhluk sealam jagad ini. Allah menyebutkan didalam surat Ibrahim ayat 1-2 Artinya : Alif, laam raa.( ini adalah ) kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, ( Yaitu ) menuju jalan Tuhan yang maha perkasa lagi maha terpuji. Allah yang memiliki segala apa yang dilangit dan di bumi. Dan celakalah bagi orang-orang kafir karena siksaan yang sangat pedih. ( QS. Ibrahim : 1-2 ) Pembebasan dan kebebesan yang diinginkan oleh Islam bukan hanya terbatas pada kebebasan dari belenggu fisik semata, tapi lebih dari itu adalah kebebasan dari belenggu dan ketergantungan kepada selain Allah swt dalam berbagai bentuk dan modusnya : 1. kebebasan dan pembebasan diri manusia dari belenggu hawa nafsu yang sering kali menjerumuskan seseorang kedalam sifat hewaniah bahkan sifat syaithoniah. Sehingga Allah swt mengecam sifat ini dalam salah satu firman Nya terangkanlah kepada Ku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya ? ( QS. AK Furqon : 43 ). 2. pembebasan diri dan bangsa dari belenggu prilaku dan akhlak madzmumah, akhlak yang tercela yang sekarang ini menjadi tontotan dan tuntunan sehari-hari. Betapa informasi dan kenyataan sehari-hari dilapangan ini sangat mengkhawatirkan masa depan generasi bangsa ini yang akan meneruskan estafeta perjuangan para pahlawan yang telah sudi mengorbankan harta, tenaga bahkan jiwa mereka untuk kedamain dan kesejahteraan para penerusnya. Pepatah Arab mengingatkan kepada kita akan pentingnya akhlak dalam membangun dan mempetahankan eksistensi sebuah bangsa sesungguhnya jati diri dan eksistrensi sebuah umat sangat ditentukan dan tergantung kepada akhlaknya, jika akhlak mereka rusak maka bangsa itu akan segera menemui kehancuran dan terus menerus berada dalam keterpurukan . 3. pembebasan diri dan bangsa dari budaya dan pandangan hidup hedonisme yang mengarah kepada semata-mata memburu kenikmatan duniawi sesaat secara berlebih-lebihan yang akhiranya akan melahirkan budaya persimifisme, yaitu budaya serba boleh. Mereka menuntut diilegalkannya praktek prostitusi, seks bebas, dan praktek kemaksiatan yang lainnya atas nama hak asasi manusia dengan melupakan hak asasi Allah swt. Dalam kondisi semacam ini biasanya segala aktifitas kebaikan, segala bentuk amar maruf dan nahyi munkar akan dianggap sebagai penyakit, dianggap sebagai hama yang harus segera

dibasmi seperti yang dikatakan oleh kaum nabi Luth terhadap nabi mereka. mereka mengatakan dengan budaya dan cara pandang hedonisme mereka, dengan budaya dan cara pandang persimifisme mereka Artinya : Maka tidak lain jawaban kaumnya melainkan mengatakan : usirlah nabi Luth beserta keluarganya dari negeri ini karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang mengaku dirinya bersih dan suci ( QS. An Naml : 56 ). 4. pembebasan diri dan umat dari praktek syirik dalam segala bentuknya, sehingga seperti yang dikhawatirkan oleh Imam Ali karomallahu wajhah tentang kondisi sebuah umat yang tidak ada nilai dan tidak ada harganya dimata Allah dan juga dimata manusia. Imam Ali menyebutkan akan darang atas manusia suatu zaman semangat mereka hanya berada disekitar perut mereka, kemuliaan mereka sangat tergantung kepada benda-benda fisik semata, jidat mereka ada pada perempuan-perempuan, agama mereka ada pada urusan dinar dan dirham. Mereka itulah orangorang yang paling jahat dan tidak ada nilainya disisi Allah swt . Inilah yang dikhawatirklan oleh Imam Ali, manakala nilai dan semangat kemerdekaan ini tidak diisi dengan rasa syukur yang mendalam untuk memberdayakan, mendayagunakan segala kemampuan yang kita miliki, segala potensi yang dimiliki untuk mengharapkan ridho Allah swt. Merupakan fakta sejarah yang tidak dapat dipungkiri bahwa peran dan sumbangan para Ulama, peran dan sumbangan para pahlawan serta umat Islam begitu besar dan menentukan dalam perjuangan bangsa Indonesia menentang penjajah dan meraih kemerdekaan. Betapa kontribusi mereka yang sangat bernilai dimata bangsa ini harus senantiasa dijadikan suatu semangat untuk mengukir prestasi sebagai bentuk relisasi dari rasa syukur kepada Allah swt. Saatnya kita menjadikan momentum kemerdekaan ini untuk meneladani perjuangan para pahlawan negeri ini, meneruskan perjuangan mereka dan membawa kemerdekaan ini menuju kemerdekaan yang totalitas dalam segala arti dan bentuknya. Semoga dengan keberkahan dan rahmat Allah swt, bangsa ini segera terbebas dari segala bentuk ujian dan bencana yang menimpa, baik ujian secara fisik materil maupun ujian secara akhlak dan moral, karena itu merupakan ujian yang cukup terbesar bagi bangsa ini. Keberkahan dan rahmat Allah mudah-mudahan senantiasa mewarnai kehidupan bangsa ini seperti halnya atas berkat rahmat Allah jualah bangsa ini meraih kemerdekaan. . . KHUTBAH KEDUA (KE-2) :( ). ( ). . . . Kesyukuran yang tertinggi bagi kita bukan hanya bangsa ini telah meraih kemerdekaan, tetapi kesyukuran kita selaku umat Islam adalah bahwa kita tidak sekedar menjadi penonton didalam mengisi kemerdekaan ini, tapi semampu mungkin menjadi pemain dan ikut ambil bagian sesuai dengan bidangnya masing-masing, sesuai dengan segmentasi masing-masing untuk menjadi orang-orang yang bisa mencoret dan menuliskan sejarah kegemilangan bangsa ini dimasa yang akan datang, sehingga kita akan dikenang sebagai sebuah kebaikan yang Insya Allah jika itu

diteruskan oleh generasi yang akan datang, maka kita akan meraih sunah jariah ( pahala jariah ) yang tidak putus-putus meskipun kita sudah menghadap Allah swt. Dengan semangat kemerdekaan ini, kita pertahankan keutuhan jati diri dan bangsa ini dengan nilai-nilai akhlak yang luhur dan nilai-nilai Islam Yang tinggi, hanya dengan itu, kita bisa meraih kejayaan dimasa yang akan datang. Mudah-mudahan Allah swt berkenan meneruskan sejarah bangsa ini sehingga bangsa ini akan menjadi sebuah baldatun thayyibatun warabbun ghaafur sebuah negara dan bangsa yang meraih maghfirah Allah swt dalam waktu yang bersamaan juga meraih kesejahteraan dan kedamaian selama-lamanya. . . . . . . : . ! .

Diposkan oleh Marhadi Muhayar, Lc., M.A. (Silahkan menukil dengan menyebut sumbernya) di 00:38

Rabu, 14 November 2007


KHUTBAH JUMAT (Syahadatain dan konsekuensinya)
MAKNA DUA KALIMAT SYAHADAT DAN KONSEKWENSINYA

. .

Jamaah Jumat rahimakumullah Setiap muslim pasti bersaksi, mengakui bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasulullah, tapi tidak semua muslim memahami hakikat yang benar dari makna syahadat Muhammad Rasulullah, dan juga tidak semua muslim memahami tuntutan dan konsekuensi dari syahadat tersebut. Fenomena inilah yang mendorong khatib untuk menjelaskan makna yang benar dari syahadat Muhammad Rasulullah dan konsekuensinya. Makna dari syahadat Muhammad Rasulullah adalah pengakuan lahir batin dari seorang muslim bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah, Abdullah wa Rasuluhu yang diutus untuk semua manusia sebagai penutup rasul-rasul sebelumnya. Kaum muslimin rahimakumullah Dari makna di atas bisa dipetik bahwa yang terpenting dari syahadat Muhammad Rasulullah adalah dua hal yaitu: Bahwa Muhammad itu adalah abdullah (hamba Allah) dan Muhammad itu rasulullah. Dua hal ini merupakan rukun syahadat Muhammad Rasulullah. Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku. (A1 Kahfi; 110). Syaikh Muhammad bin Shalih A1 Utsaimin menjelaskan: Dalam ayat di atas Allah memerintahkan NabiNya untuk mengumumkan kepada manusia bahwa saya hanyalah seorang hamba sama dengan kalian, bukan Rabb (Tuhan). . Saya hanya seorang hamba, maka katakanlah hamba Allah dan RasulNya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Syaikh Al-Utsaimin berkata: Saya hanyalah hamba yakni saya tidak punya hak dalam rububiyah dan juga dalam hal-hal yang menjadi keistimewaan Allah. Kaum muslimin rahimakumullah Keyakinan bahwa Muhammad adalah hamba Allah menuntut kepada kita untuk mendudukkan beliau di tempat yang semestinya, tidak melebih-lebihkan beliau dari derajat yang seharusnya

sebab beliau hanyalah seorang hamba yang tidak mungkin naik derajatnya menjadi Rabb. Dari sini termasuk kesesatan jika ada yang ber-istianah1, ber-istighatsah2, memohon kepada Nabi untuk mendatangkan manfaat dan menolak mudharat sebab hal itu adalah hak mutlak Allah sebagai Rabb. "Katakanlah: "Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatanpun kepadamu dan tidak (pula) sesuatu kemanfaatan". (Al-Jin; 21). Kemudian syahadat Muhammad Rasulullah menuntut kita untuk mengimani risalah yang beliau sampaikan, beribadah dengan syariat yang beliau bawa, tidak mendustakan, tidak menolak apa yang beliau ucapkan maupun yang beliau lakukan. Jama'ah Jum'at rahimakumullah Seorang Muslim yang beriman bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul Allah, dituntut untuk mewujudkan beberapa hal sebagai bukti kebenaran keimanannya. Hal hal yang wajib diwujudkan sebagai konsekuensi syaha-dat Muhammad Rasulullah adalah: 1. Membenarkan semua berita yang shahih dari Rasul Allah SAW. Muhammad adalah Rasulullah yang diistimewakan dari manusia lainnya dengan wahyu, maka jika Beliau memberitakan berita masa lalu maupun berita masa depan maka berita itu sumbernya adalah wahyu yang kebenarannya tidak boleh ragukan lagi. Di antara berita-berita dari Rasulullah yang wajib kita terima adalah: Berita tentang tanda-tanda hari kiamat, seperti munculnya dajjal, turunnya Nabi Isa, terbitnya matahari dari barat, berita tentang pertanyaan di alam kubur; Adzab dan nikmat kubur, begitu juga berita tentang datangnya malaikat maut dalam bentuk manusia kepada Nabi Musa untuk mencabut nyawanya lalu Nabi Musa menamparnya hingga rusak salah satu matanya. Semua berita di atas dan juga berita-berita lain yang berasal dari hadits-hadits shahih, wajib kita percayai, jangan sekali-kali kita dustakan dengan alasan berita itu bertentangan dengan akal sehat atau bertentangan dengan zaman. 2. Mentaati Rasulullah Kaum muslimin rahimakumullah Seorang muslim wajib taat kepada Rasulullah sebagai perwujudan sikap pengakuan terhadap kerasulan Beliau. Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. (Al-Nisaa; 80) Syaikh Abdur Rahman Nasir As Sa'dy berkata: setiap orang yang mentaati Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam dalam perintah-perintah dan larangan-larangannya dia telah mentaati Allah, sebab Rasulullah tidak memerintahkan dan melarang kecuali dengan perintah, syariat dan wahyu yang Allah turunkan. Taat kepada Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam mempunyai dua sisi: 1. Taat dalam perintah dengan menjalankan semua perintahnya, di antara perintah Beliau yang wajib kita taati adalah: Perintah mencelupkan lalat yang jatuh dalam minuman atau makanan, mencuci tangan tiga kali sehabis bangun dari tidur, mengucapkan Basmallah ketika makan, makan dan minum dengan tangan kanan, shalat berjamaah dan lain-lain.

Sebagian orang menolak perintah Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam dengan berbagai alasan, misalnya dia menolak perintah menenggelamkan lalat dengan alasan hal itu menyalahi ilmu kesehatan, dan perintah itu bersumber dari Rasul sebagai manusia biasa. Sikap ini adalah godaan syaitan yang bermuara kepada penolakan terhadap sunnah Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam . Kaum muslimin rahimakumullah 2. Sisi kedua dari mentaati Rasul adalah menjauhi larangan Rasulullah, sebab yang dilarang Rasulullah juga otomatis dilarang oleh Allah, di antara larangan tersebut: Larangan memakan binatang buas yang bertaring, larangan makan atau minum dengan bejana emas atau perak, larangan menikahi seorang wanita bersama saudara atau bibinya, larangan memanjangkan kain (sarung atau celana) di bawah mata kaki, larangan melamar di atas lamaran orang lain, larangan menjual atau membeli di atas penjualan atau pembelian orang lain, dan larangan-larangan yang lain, semua wajib dijauhi. Termasuk beberapa hal yang sudah diletakkan oleh Rasulullah sebagai rukun, syarat dan batasan. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya maka jauhilah. (Al-Hasyr: 7). Jamaah Jum'at rahimakumullah. Konsekuensi yang ketiga: Berhukum kepada sunnah Rasul Allah. Syahadat Muhammad Rasulullah yang benar akan membawa seorang Muslim kepada kesiapan dan keikhlasan untuk menjadikan sunnah Rasulullah sebagai rujukan, dia pasti menolak jika diajak untuk merujuk kepada akal, pendapat si A/si B, hawa nafsu, maupun warisan nenek moyang dalam menetapkan suatu hukum, lebih-lebih jika terjadi ikhtilaf (perbedaan), seorang Muslim yang konsekwen dengan syahadatnya dengan lapang dada akan menjadikan sunnah Rasulullah sebagai imamnya. Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sehingga mereka menjadikanmu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (An Nisaa'; 65). Syaikh As-Sa'dy berkata: Allah bersumpah dengan diriNya yang mulia bahwa mereka tidak beriman sehingga mereka menjadikan RasulNya sebagai hakim dalam masalah-masalah yang mereka perselisihkan. Lanjut beliau; Dan berhukum ini belum dianggap cukup sehingga mereka menerima hukumnya dengan lapang dada, ketenangan jiwa dan kepatuhan lahir batin. Jamaah Jum'at rahimakumullah Haruslah diketahui bahwa sikap penolakan terhadap hukum Rasulullah dalam masalah-masalah ikhtilaf adalah termasuk sifat kaum munafikin. Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangimu dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. (An Nisaa'; 61) Ibnu Abbas berkata: Hampir saja Allah menghujani kalian dengan batu dari langit. Saya berkata: Rasulullah telah bersabda begini, sedangkan kalian berkata (tapi) Abu Bakar dan Umar berkata

begitu. As-Syaikh Al-Utsaimin berkata: Jika seseorang mengguna-kan ucapan Abu Bakar dan Umar untuk menentang sabda Rasul bisa menyebabkan turunnya siksa; hujan batu, maka apa dugaanmu dengan orang yang menentang sabda Rasul dengan ucapan orang yang jauh di bawah derajat keduanya, tentu saja dia lebih berhak mendapat siksa.

. . Khutbah Jumat Kedua

. : } :{ . :{ . :{ } }. . . . . . .
Diposkan oleh Marhadi Muhayar, Lc., M.A. (Silahkan menukil dengan menyebut sumbernya) di 22:05

. .

Minggu, 18 November 2007


Cara Shalat Nabi SAW

Perhatian : Tulisan ini hanya ringkasan, bagi pembaca yang ingin mengetahui dalil-dalilnya dipersilahkan merujuk buku aslinya yaitu : " Sifat Shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam " oleh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, seorang Ulama berfaham Wahabi atau Salafi, dari Arab Saudi, dengan sedikit sanggahan dari saya (Marhadi Muhayar) dalam beberapa hal semisal menggerak-gerakan tangan ketika tasyahhud dalam shalat, shalat menghadap kuburan (ataupun shalat di mesjid yang ada kuburannya0, dan lain-lain. 1. MENGHADAP KA'BAH 1. Apabila anda - wahai Muslim - ingin menunaikan shalat, menghadaplah ke Ka'bah (qiblat) dimanapun anda berada, baik shalat fardlu maupun shalat sunnah, sebab ini termasuk diantara rukun-rukun shalat, dimana shalat tidak sah tanpa rukun ini. 2. Ketentuan menghadap qiblat ini tidak menjadi keharusan lagi bagi 'seorang yang sedang berperang' pada pelaksanaan shalat khauf saat perang berkecamuk dahsyat. Dan tidak menjadi keharusan lagi bagi orang yang tidak sanggup seperti orang yang sakit atau orang yang dalam perahu, kendaraan atau pesawat bila ia khawatir luputnya waktu. Juga tidak menjadi keharusan lagi bagi orang yang shalat sunnah atau witir sedang ia menunggangi hewan atau kendaraan lainnya. Tapi dianjurkan kepadanya - jika hal ini memungkinkan - supaya menghadap ke qiblat pada saat takbiratul ikhram, kemudian setelah itu menghadap ke arah manapun kendaraannya menghadap. 3. Wajib bagi yang melihat Ka'bah untuk menghadap langsung ke porosnya, bagi yang tidak melihatnya maka ia menghadap ke arah Ka'bah. HUKUM SHALAT TANPA MENGHADAP KA'BAH KARENA KELIRU 4. Apabila shalat tanpa menghadap qiblat karena mendung atau ada penyebab lainnya sesudah melakukan ijtihad dan pilihan, maka shalatnya sah dan tidak perlu diulangi. 5. Apabila datang orang yang dipercaya saat dia shalat, lalu orang yang datang itu

memberitahukan kepadanya arah qiblat maka wajib baginya untuk segera menghadap ke arah yang ditunjukkan, dan shalatnya sah. 2. BERDIRI 6. Wajib bagi yang melakukan shalat untuk berdiri, dan ini adalah rukun, kecuali bagi : Orang yang shalat khauf saat perang berkecamuk dengan hebat, maka dibolehkan baginya shalat di atas kendaraannya. Orang yang sakit yang tidak mampu berdiri, maka boleh baginya shalat sambil duduk dan bila tidak mampu diperkenankan sambil berbaring. Orang yang shalat nafilah (sunnah) dibolehkan shalat di atas kendaraan atau sambil duduk jika dia mau, adapun ruku' dan sujudnya cukup dengan isyarat kepalanya, demikian pula orang yang sakit, dan ia menjadikan sujudnya lebih rendah dari ruku'nya. 7. Tidak boleh bagi orang yang shalat sambil duduk meletakkan sesuatu yang agak tinggi dihadapannya sebagai tempat sujud. Akan tetapi cukup menjadikan sujudnya lebih rendah dari ruku'nya -seperti yang kami sebutkan tadi- apabila ia tidak mampu meletakkan dahinya secara langsung ke bumi (lantai).

SHALAT DI KAPAL LAUT ATAU PESAWAT 8. Dibolehkan shalat fardlu di atas kapal laut demikian pula di pesawat. 9. Dibolehkan juga shalat di kapal laut atau pesawat sambil duduk bila khawatir akan jatuh. 10. Boleh juga saat berdiri bertumpu (memegang) pada tiang atau tongkat karena faktor ketuaan atau karena badan yang lemah. SHALAT SAMBIL BERDIRI DAN DUDUK 11. Dibolehkan shalat lail sambil berdiri atau sambil duduk meski tanpa udzur (penyebab apapun), atau sambil melakukan keduanya. Caranya; ia shalat membaca dalam keadaan duduk dan ketika menjelang ruku' ia berdiri lalu membaca ayat-ayat yang masih tersisa dalam keadaan berdiri. Setelah itu ia ruku' lalu sujud. Kemudian ia melakukan hal yang sama pada rakaat yang kedua. 12. Apabila shalat dalam keadaan duduk, maka ia duduk bersila atau duduk dalam bentuk lain yang memungkinkan seseorang untuk beristirahat. SHALAT SAMBIL MEMAKAI SANDAL

13. Boleh shalat tanpa memakai sandal dan boleh pula dengan memakai sandal. 14. Tapi yang lebih utama jika sekali waktu shalat sambil memakai sandal dan sekali waktu tidak memakai sandal, sesuai yang lebih gampang dilakukan saat itu, tidak membebani diri dengan harus memakainya dan tidak pula harus melepasnya. Bahkan jika kebetulan telanjang kaki maka shalat dengan kondisi seperti itu, dan bila kebetulan memakai sandal maka shalat sambil memakai sandal. Kecuali dalam kondisi tertentu (terpaksa). 15. Jika kedua sandal dilepas maka tidak boleh diletakkan di samping kanan akan tetapi diletakkan di samping kiri jika tidak ada di samping kirinya seseorang yang shalat, jika ada maka hendaklah diletakkan di depan kakinya , hal yang demikianlah yang sesuai dengan perintah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. 1) SHALAT DI ATAS MIMBAR 16. Dibolehkan bagi imam untuk shalat di tempat yang tinggi seperti mimbar dengan tujuan mengajar manusia. Imam berdiri di atas mimbar lalu takbir, kemudian membaca dan ruku' setelah itu turun sambil mundur sehingga memungkinkan untuk sujud ke tanah di depan mimbar, lalu kembali lagi ke atas mimbar dan melakukan hal yang serupa di rakaat berikutnya. KEWAJIBAN SHALAT MENGHADAP PEMBATAS DAN MENDEKAT KEPADANYA 17. Wajib shalat menghadap tabir pembatas, dan tiada bedanya baik di masjid maupun selain masjid, di masjid yang besar atau yang kecil, berdasarkan kepada keumuman sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Artinya : Janganlah shalat melainkan menghadap pembatas, dan jangan biarkan seseorang lewat di hadapanmu, apabila ia enggan maka perangilah karena sesungguhnya ia bersama pendampingnya ". (Maksudnya syaitan). 18. Wajib mendekat ke pembatas karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan hal itu. 19. Jarak antara tempat sujud Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan tembok yang dihadapinya seukuran tempat lewat domba. maka barang siapa yang mengamalkan hal itu berarti ia telah mengamalkan batas ukuran yang diwajibkan. 2) KADAR KETINGGIAN PEMBATAS 20. Wajib pembatas dibuat agak tinggi dari tanah sekadar sejengkal atau dua jengkal berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Jika seorang diantara kamu meletakkan di hadapannya sesuatu setinggi ekor pelana 3) (sebagai pembatas) maka shalatlah (menghadapnya), dan jangan ia pedulikan orang yang lewat di balik pembatas". 21. Dan ia menghadap ke pembatas secara langsung, karena hal itu yang termuat dalam konteks hadits tentang perintah untuk shalat menghadap ke pembatas. Adapun bergeser dari posisi pembatas ke kanan atau ke kiri sehingga membuat tidak lurus menghadap langsung ke pembatas maka hal ini tidak sah. 22. Boleh shalat menghadap tongkat yang ditancapkan ke tanah atau yang sepertinya, boleh pula menghadap pohon, tiang, atau isteri yang berbaring di pembaringan sambil berselimut, boleh pula menghadap hewan meskipun unta. HARAM SHALAT MENGHADAP KE KUBUR 23. Tidak boleh shalat menghadap ke kubur, larangan ini mutlak, baik kubur para nabi maupun selain nabi. Yang benar adalah, tidak haram shalat menghadap kuburan! Karena Rasulullah SAW tidak jarang shalat menghadap kuburan, begitu juga dengan para sahabat semisal Sayyidina Ali Karamallahu wajhah. Bahkan Beliau shalat di atas kuburan. Mengenai ini hadisnya sangat jelas. Yang tidak boleh adalah menyembah kuburan. Substansinya adalah "jangan sampai kita meminta kepada kuburan.... Bersambung, insya Allah nanti dilanjutkan dengan berbagai dalil dalil Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW (mohon maaf, waktu sedang padat). HARAM LEWAT DI DEPAN ORANG YANG SHALAT TERMASUK DI MASJID HARAM 24. Tidak boleh lewat di depan orang yang sedang shalat jika di depannya ada pembatas, dalam hal ini tidak ada perbedaan antara masjid Haram atau masjid-masjid lain, semua sama dalam hal larangan berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Andaikan orang yang lewat di depan orang yang shalat mengetahui akibat perbuatannya maka untuk berdiri selama 40, lebih baik baginya dari pada lewat di depan orang yang sedang shalat". Maksudnya lewat di antara shalat dengan tempat sujudnya. 4) KEWAJIBAN ORANG YANG SHALAT MENCEGAH ORANG LEWAT DI DEPANNYA MESKIPUN DI MASJID HARAM 25. Tidak boleh bagi orang yang shalat menghadap pembatas membiarkan seseorang lewat di depannya berdasarkan hadits yang telah lalu.

"Artinya : Dan janganlah membiarkan seseorang lewat di depanmu ...". Dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Artinya : Jika seseorang diantara kamu shalat menghadap sesuatu pembatas yang menghalanginya dari orang lain, lalu ada yang ingin lewat di depannya, maka hendaklah ia mendorong leher orang yang ingin lewat itu semampunya (dalam riwayat lain : cegahlah dua kali) jika ia enggan maka perangilah karena ia adalah syaithan". BERJALAN KE DEPAN UNTUK MENCEGAH ORANG LEWAT 26. Boleh maju selangkah atau lebih untuk mencegah yang bukan mukallaf yang lewat di depannya seperti hewan atau anak kecil agar tidak lewat di depannya. HAL-HAL YANG MEMUTUSKAN SHALAT 27. Di antara fungsi pembatas dalam shalat adalah menjaga orang yang shalat menghadapnya dari kerusakan shalat disebabkan yang lewat di depannya, berbeda dengan yang tidak memakai pembatas, shalatnya bisa terputus bila lewat di depannya wanita dewasa, keledai, atau anjing hitam.

Footnote : 1. Saya (Al-Albaani) berkata: disini terdapat isyarat yang halus untuk tidak meletakkan sandal di depan. Adab inilah yang banyak disepelekan oleh kebanyakan orang yang shalat, sehingga Anda menyaksikan sendiri diantara mereka yang shalat menghadap ke sandal-sandal.

2. Saya (Al-Albaani) berkata: dari sini kita tahu bahwa apa yang dilakukan oleh banyak orang di setiap masjid seperti yang saya saksikan di Suriah dan negeri-negeri lain yaitu shalat di tengah masjid jauh dari dinding atau tiang adalah kelalaian terhadap perintah dan perbuatan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

3. Yaitu kayu yang dipasang di bagian belakang pelana angkutan di punggung unta. Di dalam hadits ini terdapat isyarat bahwa: mengaris di atas tanah tidak cukup untuk dijadikan sebagai garis pembatas, karena hadits yang meriwayatkan tentang itu lemah.

4. Adapun hadits yang disebutkan dalam kitab "Haasyiatul Mathaaf" bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat tanpa menghadap pembatas dan orang-orang lewat di depannya, adalah hadits yang tidak shahih, lagi pula tidak ada keterangan di hadits tersebut bahwa mereka lewat diantara beliau dengan tempat sujudnya.

Ringkasan Sifat Shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaani

Bagian II

3. NIAT

28. Bagi yang akan shalat harus meniatkan shalat yang akan dilaksanakannya serta menentukan niat dengan hatinya, seperti fardhu zhuhur dan ashar, atau sunnat zhuhur dan ashar. Niat ini merupakan syarat atau rukun shalat. Adapun melafazhkan niat dengan lisan maka ini merupakan bid'ah, menyalahi sunnah , dan tidak ada seorangpun yang menfatwakan hal itu di antara para ulama yang ditokohkan oleh orang-orang yang suka taqlid (fanatik buta).

4. TAKBIR

29. Kemudian memulai shalat dengan membaca. "Allahu Akbar" (Artinya : Allah Maha Besar). Takbir ini merupakan rukun, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Pembuka Shalat adalah bersuci, pengharamannya adalah takbir, sedangkan penghalalannya adalah salam". 1)

30. Tidak boleh mengeraskan suara saat takbir di semua shalat, kecuali jika menjadi imam.

31. Boleh bagi muadzin menyampaikan (memperdengarkan) takbir imam kepada jama'ah jika keadaan menghendaki, seperti jika imam sakit, suaranya lemah atau karena banyaknya orang yang shalat.

32. Ma'mum tidak boleh takbir kecuali jika imam telah selesai takbir.

MENGANGKAT KEDUA TANGAN DAN CARA-CARANYA

33. Mengangkat kedua tangan, boleh bersamaan dengan takbir, atau sebelumnya, bahkan boleh sesudah takbir. Kesemuanya ini ada landasannya yang sah dalam sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

34. Mengangkat tangan dengan jari-jari terbuka.

35. Mensejajarkan kedua telapak tangan dengan pundak/bahu, sewaktu-waktu mengangkat lebih tinggi lagi sampai sejajar dengan ujung telinga. 2)

MELETAKKAN KEDUA TANGAN DAN CARA-CARANYA

36. Kemudian meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri sesudah takbir, ini merupakan sunnah (ajaran) para nabi-nabi Alaihimus Shallatu was sallam dan diperintahkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para sahabat beliau, sehingga tidak boleh menjulurkannya.

37. Meletakkan tangan kanan di atas punggung tangan kiri dan di atas pergelangan dan lengan.

38. Kadang-kadang menggenggam tangan kiri dengan tangan kanan. 3)

TEMPAT MELETAKKAN TANGAN

39. Keduanya diletakkan di atas dada saja. Laki-laki dan perempuan dalam hal tersebut sama. 4)

40. Tidak meletakkan tangan kanan di atas pinggang.

KHUSU' DAN MELIHAT KE TEMPAT SUJUD

41. Hendaklah berlaku khusu' dalam shalat dan menjauhi segala sesuatu yang dapat melalaikan dari khusu' seperti perhiasan dan lukisan, janganlah shalat saat berhadapan dengan hidangan yang menarik, demikian juga saat menahan berak dan kencing.

42. Memandang ke tempat sujud saat berdiri.

43. Tidak menoleh ke kanan dan ke kiri, karena menoleh adalah curian yang dilakukan oleh syaitan dari shalat seorang hamba.

44. Tidak boleh mengarahkan pandangan ke langit (ke atas).

DO'A ISTIFTAAH (PEMBUKAAN)

45. Kemudian membuka bacaan dengan sebagian do'a-do'a yang sah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang jumlahnya banyak, yang masyhur diantaranya ialah :

"Subhaanaka Allahumma wa bihamdika, wa tabaarakasmuka, wa ta'alaa jadduka, walaa ilaha ghaiyruka".

"Artinya : Maha Suci Engkau ya Allah, segala puji hanya bagi-Mu, kedudukan-Mu sangat agung, dan tidak ada sembahan yang hak selain Engkau ". Perintah ber-istiftah telah sah dari Nabi, maka sepatutnya diperhatikan untuk diamalkan. 5)

5. QIRAAH (BACAAN)

46. Kemudian wajib berlindung kepada Allah Ta'ala, dan bagi yang meninggalkannya mendapat dosa.

47. Termasuk sunnah jika sewaktu-waktu membaca.

"A'udzu billahi minasy syaiythaanirrajiim, min hamazihi, wa nafakhihi, wa nafasyihi"

"Artinya : Aku berlindung kepada Allah dari syithan yang terkutuk, dari godaannya, dari waswasnya, serta dari gangguannya".

48. Dan sewaktu-waktu membaca tambahan. "A'udzu billahis samii-il a'liimi, minasy syaiythaani ......."

"Artinya : Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, dari syaitan.......".

49. Kemudian membaca basmalah (bismillah) di semua shalat secara sirr (tidak diperdengarkan).

MEMBACA AL-FAATIHAH

50. Kemudian membaca surat Al-Fatihah sepenuhnya termasuk bismillah, ini adalah rukun shalat dimana shalat tak sah jika tidak membaca Al-Fatihah, sehingga wajib bagi orang-orang 'Ajm (non Arab) untuk menghafalnya.

51. Bagi yang tak bisa menghafalnya boleh membaca.

"Subhaanallah, wal hamdulillah walaa ilaha illallah, walaa hauwla wala quwwata illaa billah".

"Artinya : Maha suci Allah, segala puji bagi Allah, tidak ada sembahan yang haq selain Allah, serta tidak ada daya dan kekuatan melainkan karena Allah".

52. Didalam membaca Al-Fatihah, disunnahkan berhenti pada setiap ayat, dengan cara membaca. (Bismillahir-rahmanir-rahiim) lalu berhenti, kemudian membaca. (Alhamdulillahir-rabbil 'aalamiin) lalu berhenti, kemudian membaca. (Ar-rahmanir-rahiim) lalu berhenti, kemudian membaca. (Maaliki yauwmiddiin) lalu berhenti, dan demikian seterusnya. Demikianlah cara membaca Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam seluruhnya. Beliau berhenti di akhir setiap ayat dan tidak menyambungnya dengan ayat sesudahnya meskipun maknanya berkaitan.

53. Boleh membaca (Maaliki) dengan panjang, dan boleh pula (Maliki) dengan pendek.

BACAAN MA'MUM

54. Wajib bagi ma'mum membaca Al-Fatihah di belakang imam yang membaca sirr (tidak terdengar) atau saat imam membaca keras tapi ma'mum tidak mendengar bacaan imam, demikian pula ma'mum membaca Al-Fatihah bila imam berhenti sebentar untuk memberi kesempatan bagi ma'mum yang membacanya. Meskipun kami menganggap bahwa berhentinya imam di tempat ini

tidak tsabit dari sunnah. 6)

BACAAN SESUDAH AL-FATIHAH

55. Disunnahkan sesudah membaca Al-Fatihah, membaca surat yang lain atau beberapa ayat pada dua raka'at yang pertama. Hal ini berlaku pula pada shalat jenazah.

56. Kadang-kadang bacaan sesudah Al-Fatihah dipanjangkan kadang pula diringkas karena ada faktor-faktor tertentu seperti safar (bepergian), batuk, sakit, atau karena tangisan anak kecil.

57. Panjang pendeknya bacaan berbeda-beda sesuai dengan shalat yang dilaksanakan. Bacaan pada shalat subuh lebih panjang daripada bacaan shalat fardhu yang lain, setelah itu bacaan pada shalat dzuhur, pada shalat ashar, lalu bacaan pada shalat isya, sedangkan bacaan pada shalat maghrib umumnya diperpendek.

58. Adapun bacaan pada shalat lail lebih panjang dari semua itu.

59. Sunnah membaca lebih panjang pada rakaat pertama dari rakaat yang kedua.

60. Memendekkan dua rakaat terakhir kira-kira setengah dari dua rakaat yang pertama. 7)

61. Membaca Al-Fatihah pada semua rakaat.

62. Disunnahkan pula menambahkan bacaan surat Al-Fatihah dengan surat-surat lain pada dua rakaat yang terakhir.

63. Tidak boleh imam memanjangkan bacaan melebihi dari apa yang disebutkan di dalam sunnah karena yang demikian bisa-bisa memberatkan ma'mum yang tidak mampu seperti orang tua, orang sakit, wanita yang mempunyai anak kecil dan orang yang mempunyai keperluan.

MENGERASKAN DAN MENGECILKAN BACAAN

64. Bacaan dikeraskan pada shalat shubuh, jum'at, dua shalat ied, shalat istisqa, khusuf dan dua rakaat pertama dari shalat maghrib dan isya. Dan dikecilkan (tidak dikeraskan) pada shalat dzuhur, ashar, rakaat ketiga dari shalat maghrib, serta dua rakaat terakhir dari shalat isya.

65. Boleh bagi imam memperdengarkan bacaan ayat pada shalat-shalat sir (yang tidak dikeraskan).

66. Adapun witir dan shalat lail bacaannya kadang tidak dikeraskan dan kadang dikeraskan.

MEMBACA AL-QUR'AN DENGAN TARTIL

67. Sunnah membaca Al-Qur'an secara tartil (sesuai dengan hukum tajwid) tidak terlalu dipanjangkan dan tidak pula terburu-buru, bahkan dibaca secara jelas huruf perhuruf. Sunnah pula menghiasi Al-Qur'an dengan suara serta melagukannya sesuai batas-batas hukum oleh ulama ilmu tajwid. Tidak boleh melagukan Al-Qur'an seperti perbuatan Ahli Bid'ah dan tidak boleh pula seperti nada-nada musik.

68. Disyari'atkan bagi ma'mum untuk membetulkan bacaan imam jika keliru.

Footnote : 1. "Pengharaman" maksudnya : haramnya beberapa perbuatan yang diharamkan oleh Allah di

dalam shalat. "Penghalal" maksudnya : halalnya beberapa perbuatan yang dihalalkan oleh Allah di luar shalat. 2. Saya (Al-Albaani) berkata : adapun menyentuh kedua anak telinga dengan ibu jari, maka perbuatan ini tidak ada landasannya di dalam sunnah Nabi, bahkan hal ini hanya mendatangkan was-was. 3. Adapun yang dianggap baik oleh sebagian orang-orang terbelakang, yaitu menggabungkan antara meletakkan dan menggenggam dalam waktu yang bersamaan, maka amalan itu tidak ada dasarnya. 4. Saya (Al-Albaani) berkata : amalan meletakkan kedua tangan selain di dada hanya ada dua kemungkinan; dalilnya lemah, atau tidak ada dalilnya sama sekali. 5. Barang siapa yang ingin membaca do'a-do'a istiftah yang lain, silahkan merujuk kitab : "Sifat Shalat Nabi". 6. Saya telah sebutkan landasan orang yang berpendapat demikian, dan alasan yang dijadikan landasan untuk menolaknya di kitab Silsilah Hadits Dho'if No. 546 dan 547. 7. Perincian tentang ini, lihat Sifat Shalat hal 106-125 cet. ke 6 dan ke 7

Ringkasan Sifat Shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaani

Bagian III

6. RUKU'

69. Bila selesai membaca, maka diam sebentar menarik nafas agar bisa teratur.

70. Kemudian mengangkat kedua tangan seperti yang telah dijelaskan terdahulu pada takbiratul ihram.

71. Dan takbir, hukumnya adalah wajib.

72. Lalu ruku' sedapatnya agar persendian bisa menempati posisinya dan setiap anggota badan mengambil tempatnya. Adapun ruku' adalah rukun.

CARA RUKU'

73. Meletakkan kedua tangan di atas lutut dengan sebaik-baiknya, lalu merenggangkan jari-jari seolah-olah menggenggam kedua lutut. Semua itu hukumnya wajib.

74. Mensejajarkan punggung dan meluruskannya, sehingga jika kita menaruh air di punggungnya tidak akan tumpah. Hal ini wajib.

75. Tidak merendahkan kepala dan tidak pula mengangkatnya tapi disejajarkan dengan punggung.

76. Merenggangkan kedua siku dari badan.

77. Mengucapkan saat ruku'. "Subhaana rabbiiyal 'adhiim".

"Artinya : Segala puji bagi Allah yang Maha Agung". tiga kali atau lebih . 1)

MENYAMAKAN PANJANGNYA RUKUN

78. Termasuk sunnah untuk menyamakan panjangnya rukun, diusahakan antara ruku' berdiri dan sesudah ruku', dan duduk diantara dua sujud hampir sama.

79. Tidak boleh membaca Al-Qur'an saat ruku' dan sujud .

I'TIDAL SESUDAH RUKU'

80. Mengangkat punggung dari ruku' dan ini adalah rukun.

81. Dan saat i'tidal mengucapkan . "Syami'allahu-liman hamidah".

"Artinya : Semoga Allah mendengar orang yang memuji-Nya". adapun hukumnya wajib.

82. Mengangkat kedua tangan saat i'tidal seperti dijelaskan terdahulu.

83. Lalu berdiri dengan tegak dan tenang sampai seluruh tulang menempati posisinya. Ini termasuk rukun.

84. Mengucapkan saat berdiri. "Rabbanaa wa lakal hamdu"

"Artinya : Ya tuhan kami bagi-Mu-lah segala puji ". 2) Hukumnya adalah wajib bagi setiap orang yang shalat meskipun sebagai imam, karena ini adalah wirid saat berdiri, sedang tasmi (ucapan Sami'allahu liman hamidah) adalah wirid i'tidal (saat bangkit dari ruku' sampai tegak).

85. Menyamakan panjang antara rukun ini dengan ruku' seperti dijelaskan terdahulu.

7. SUJUD

86. Lalu mengucapkan "Allahu Akbar" dan ini wajib.

87. Kadang-kadang sambil mengangkat kedua tangan.

TURUN DENGAN KEDUA TANGAN

88. Lalu turun untuk sujud dengan kedua tangan diletakkan terlebih dahulu sebelum kedua lutut, demikianlah yang diperintahkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam serta tsabit dari perbuatan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang untuk menyerupai cara berlututnya unta yang turun dengan kedua lututnya yang terdapat di kaki depan.

89. Apabila sujud -dan ini adalah rukun- bertumpu pada kedua telapak tangan serta melebarkannya.

90. Merapatkan jari jemari.

91. Lalu menghadapkan ke kiblat.

92. Merapatkan kedua tangan sejajar dengan bahu.

93. Kadang-kadang meletakkan keduanya sejajar dengan telinga.

94. Mengangkat kedua lengan dari lantai dan tidak meletakkannya seperti cara anjing. Hukumnya adalah wajib.

95. Menempelkan hidung dan dahi ke lantai, ini termasuk rukun.

96. Menempelkan kedua lutut ke lantai.

97. Demikian pula ujung-ujung jari kaki.

98. Menegakkan kedua kaki, dan semua ini adalah wajib.

99. Menghadapkan ujung-ujung jari ke qiblat.

100. Meletakkan/merapatkan kedua mata kaki.

BERLAKU TEGAK KETIKA SUJUD

101. Wajib berlaku tegak ketika sujud , yaitu tertumpu dengan seimbang pada semua anggota sujud yang terdiri dari : Dahi termasuk hidung, dua telapak tangan, dua lutut dan ujung-ujung jari kedua kaki.

102. Barangsiapa sujud seperti itu berarti telah thuma'ninah, sedangkan thuma'ninah ketika sujud termasuk rukun juga.

103. Mengucapkan ketika sujud. "Subhaana rabbiyal 'alaa"

"Artinya : Maha Suci Rabbku yang Maha Tinggi " diucapkan tiga kali atau lebih.

104. Disukai untuk memperbanyak do'a saat sujud, karena saat itu do'a banyak dikabulkan.

105. Menjadikan sujud sama panjang dengan ruku' seperti diterangkan terdahulu.

106. Boleh sujud langsung di tanah, boleh pula dengan pengalas seperti kain, permadani, tikar dan sebagainya.

107. Tidak boleh membaca Al-Qur'an saat sujud .

IFTIRASY DAN IQ'A KETIKA DUDUK ANTARA DUA SUJUD

108. Kemudian mengangkat kepala sambil takbir, dan hukumnya adalah wajib.

109. Kadang-kadang sambil mengangkat kedua tangan.

110. Lalu duduk dengan tenang sehingga semua tulang kembali ke tempatnya masing-masing, dan ini adalah rukun.

111. Melipat kaki kiri dan mendudukinya . Hukumnya wajib.

112. Menegakkan kaki kanan (sifat duduk seperti No. 111 dan 112 ini disebut Iftirasy).

113. Menghadapkan jari-jari kaki ke kiblat.

114. Boleh iq'a sewaktu-waktu, yaitu duduk di atas kedua tumit.

115. Mengucapkan pada waktu duduk. "Allahummagfirlii, warhamnii' wajburnii', warfa'nii', wa 'aafinii, warjuqnii".

"Artinya : Ya Allah ampunilah aku, syangilah aku, tutuplah kekuranganku, angkatlah derajatku, dan berilah aku afiat dan rezeki ".

116. Dapat pula mengucapkan. "Rabbigfirlii, Rabbigfilii".

"Artinya : Ya Allah ampunilah aku, ampunilah aku".

117. Memperpanjang duduk sampai mendekati lama sujud.

SUJUD KEDUA

118. Kemudian takbir, dan hukumnya wajib.

119. Kadang-kadang mengangkat kedua tangannya dengan takbir ini.

120. Lalu sujud yang kedua, ini termasuk rukun juga.

121. Melakukan pada sujud ini apa-apa yang dilakukan pada sujud pertama.

DUDUK ISTIRAHAT

122. Setelah mengangkat kepala dari sujud kedua, dan ingin bangkit ke rakaat yang kedua wajib takbir.

123. Kadang-kadang sambil mengangkat kedua tangannya.

124. Duduk sebentar di atas kaki kiri seperti duduk iftirasy sebelum bangkit berdiri, sekadar selurus tulang menempati tempatnya.

RAKAAT KEDUA

125. Kemudian bangkit raka'at kedua -ini termasuk rukun- sambil menekan ke lantai dengan kedua tangan yang terkepal seperti tukang tepung mengepal kedua tangannya.

126. Melakukan pada raka'at yang kedua seperti apa yang dilakukan pada rakaat pertama.

127. Akan tetapi tidak membaca pada raka'at yang kedua ini do'a iftitah.

128. Memendekkan raka'at kedua dari raka'at yang pertama.

DUDUK TASYAHUD

129. Setelah selesai dari raka'at kedua duduk untuk tasyahud, hukumnya wajib.

130. Duduk iftirasy seperti diterangkan pada duduk diantara dua sujud.

131. Tapi tidak boleh iq'a di tempat ini.

132. Meletakkan tangan kanan sampai siku di atas paha dan lutut kanan, tidak diletakkan jauh darinya.

133. Membentangkan tangan kiri di atas paha dan lutut kiri.

134. Tidak boleh duduk sambil bertumpu pada tangan, khususnya tangan yang kiri.

MENGGERAKKAN TELUNJUK DAN MEMANDANGNYA

135. Menggenggam jari-jari tangan kanan seluruhnya, dan sewaktu-waktu meletakkan ibu jari di atas jari tengah.

136. Kadang-kadang membuat lingkaran ibu jari dengan jari tengah.

137. Mengisyaratkan jari telunjuk ke qiblat.

138. Dan melihat pada telunjuk.

139. Menggerakkan telunjuk sambil berdo'a dari awal tasyahud sampai akhir.

140. Tidak boleh mengisyaratkan dengan jari tangan kiri.

141. Melakukan semua ini di semua tasyahud.

Footnote : 1. Masih ada dzikir-dzikir yang lain untuk dibaca pada ruku' ini, ada dzikir yang panjang, ada yang sedang, dan ada yang pendek, lihat kembali kitab Sifat Shalat Nabi. 2. Masih ada dzikir-dzikir yang lain untuk dibaca pada ruku' ini, ada dzikir yang panjang, ada yang sedang, dan ada yang pendek, lihat kembali kitab Sifat Shalat Nabi.

Ringkasan Sifat Shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaani

Bagian IV

UCAPAN TASYAHUD DAN DO'A SESUDAHNYA

142. Tasyahud adalah wajib, jika lupa harus sujud sahwi.

143. Membaca tasyahud dengan sir (tidak dikeraskan).

144. Dan lafadznya : "At-tahiyyaatu lillah washalawaatu wat-thayyibat, assalamu 'alan - nabiyyi warrahmatullahi wabarakaatuh, assalaamu 'alaiynaa wa'alaa 'ibaadil-llahis-shaalihiin, asyhadu alaa ilaaha illallah, asyhadu anna muhamaddan 'abduhu warasuuluh".

"Artinya : Segala penghormatan bagi Allah, shalawat dan kebaikan serta keselamatan atas Nabi 1) dan rahmat Allah serta berkat-Nya. Keselamatan atas kita dan hamba-hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada sembahan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad hamba dan rasul-Nya ".

145. Sesudah itu bershalawat kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan mengucapkan : "Allahumma shalli 'alaa muhammad, wa 'alaa ali muhammad, kamaa shallaiyta 'alaa ibrahiima wa 'alaa ali ibrahiima, innaka hamiidum majiid". "Allahumma baarik 'alaa muhammaddiw wa'alaa ali muhammadin kamaa baarikta 'alaa ibraahiima wa 'alaa ali ibraahiima, innaka hamiidum majiid".

"Artinya : Ya Allah berilah shalawat atas Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau bershalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Mulia. Ya Allah berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau memberkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Mulia ".

146. Dapat juga diringkas sebagai berikut : "Allahumma shalli 'alaa muhammad, wa 'alaa ali muhammad, wabaarik 'alaa muhammadiw wa'alaa ali muhammadin kamaa shallaiyta wabaarikta 'alaa ibraahiim wa'alaa ali ibraahiim, innaka hamiidum majiid". "Artinya : Ya Allah bershalawatlah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana engkau bershalawat dan memberkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim sesungguhnya Engkau Terpuji dan Mulia". 147. Kemudian memilih salah satu do'a yang disebutkan dalam kitab dan sunnah yang paling disenangi lalu berdo'a kepada Allah dengannya.

RAKAAT KETIGA DAN KEEMPAT

148. Kemudian takbir, dan hukumnya wajib. Dan sunnah bertakbir dalam keadaan duduk.

149. Kadang-kadang mengangkat kedua tangan.

150. Kemudian bangkit ke raka'at ketiga, ini adalah rukun seperti sebelumnya.

151. Seperti itu pula yang dilakukan bila ingin bangkit ke raka'at yang ke empat.

152. Akan tetapi sebelum bangkit berdiri, duduk sebentar di atas kaki yang kiri (duduk iftirasy) sampai semua tulang menempati tempatnya.

153. Kemudian berdiri sambil bertumpu pada kedua tangan sebagaimana yang dilakukan ketika berdiri ke rakaat kedua.

154. Kemudian membaca pada raka'at ketiga dan keempat surat Al-Fatihah yang merupakan satu kewajiban.

155. Setelah membaca Al-Fatihah, boleh sewaktu-waktu membaca bacaan ayat atau lebih dari satu ayat.

QUNUT NAZILAH DAN TEMPATNYA

156. Disunatkan untuk qunut dan berdo'a untuk kaum muslimin karena adanya satu musibah yang menimpa mereka.

157. Tempatnya adalah setelah mengucapkan : "Rabbana lakal hamdu".

158. Tidak ada do'a qunut yang ditetapkan, tetapi cukup berdo'a dengan do'a yang sesuai dengan musibah yang sedang terjadi.

159. Mengangkat kedua tangan ketika berdo'a.

160. Mengeraskan do'a tersebut apabila sebagai imam.

161. Dan orang yang dibelakangnya mengaminkannya.

162. Apabila telah selesai membaca do'a qunut lalu bertakbir untuk sujud.

QUNUT WITIR, TEMPAT DAN LAFADZNYA

163. Adapun qunut di shalat witir disyari'atkan untuk dilakukan sewaktu-waktu.

164. Tempatnya sebelum ruku', hal ini berbeda dengan qunut nazilah.

165. Mengucapkan do'a berikut : "Allahummah dinii fiiman hadayit, wa 'aafiinii fiiman 'aafayit, watawallanii fiiman tawallayit, wa baariklii fiimaa a'thayit, wa qinii syarra maaqadhayit, fainnaka taqdhii walaa yuqdhaa 'alayika wainnahu laayadzillu maw waalayit walaa ya'izzu man 'aadayit, tabaarakta rabbanaa wata'alayit laa manjaa minka illaa ilayika".

"Artinya : Ya Allah tunjukilah aku pada orang yang engkau tunjuki dan berilah aku afiat pada orang yang Engkau beri afiat. Serahkanlah aku pada orang yang berwali kepada-Mu, berilah aku berkah pada apa yang Engkau berikan kepadaku, lindungilah aku dari keburukan yang Engkau tetapkan, karena Engkau menetapkan, dan tidak ada yang

menetapkan untukku. Dan sesungguhnya tidak akan hina orang yang berwali kepada-Mu, dan tidak akan mulia orang yang memusuhi-Mu, Engkau penuh berkah, Wahai Rabb kami dan kedudukan-Mu sangat tinggi, tidak ada tempat berlindung kecuali kepada-Mu ".

66. Do'a ini termasuk do'a yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diperbolehkan karena tsabit dari para shahabat radiyallahu anhum.

167. Kemudian ruku' dan bersujud dua kali seperti terdahulu.

TASYAHUD AKHIR DAN DUDUK TAWARUK

168. Kemudian duduk untuk tasyahud akhir, keduanya adalah wajib.

169. Melakukan pada tasyahud akhir apa yang dilakukan pada tasyahud awal.

170. Selain duduk di sini dengan cara tawaruk yaitu meletakkan pangkal paha kiri ke tanah dan mengeluarkan kedua kaki dari satu arah dan menjadikan kaki kiri ke bawah betis kanan.

171. Menegakkan kaki kanan.

172. Kadang-kadang boleh juga dijulurkan.

173. Menutup lutut kiri dengan tangan kiri yang bertumpu padanya.

KEWAJIBAN SHALAWAT ATAS NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM DAN BERLINDUNG DARI EMPAT PERKARA

174. Wajib pada tasyahud akhir bershalawat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana lafadz-lafadznya yang telah kami sebutkan pada tasyahud awal.

175. Kemudian berlindung kepada Allah dari empat perkara, dan mengucapkan : "Allahumma inii a'uwdzubika min 'adzaabi jahannam, wa min 'adzaabil qabri wa min fitnatil mahyaa wal mamaati wa min tsarri fitnatil masyihid dajjal".

"Artinya : Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari siksa Jahannam dan dari siksa kubur, dan dari fitnah orang yang hidup dan orang yang mati serta dari keburukan fitnah masih ad-dajjal". 2)

BERDO'A SEBELUM SALAM

176. Kemudian berdo'a untuk dirinya dengan do'a yang nampak baginya dari do'a-do'a tsabit dalam kitab dan sunnah, dan do'a ini sangat banyak dan baik. Apabila dia tidak menghafal satupun dari do'a-do'a tersebut maka diperbolehkan berdo'a dengan apa yang mudah baginya dan bermanfaat bagi agama dan dunianya.

SALAM DAN MACAM-MACAMNYA

177. Memberi salam ke arah kanan sampai terlihat putih pipinya yang kanan, hal ini adalah rukun.

178. Dan ke arah kiri sampai terlihat putih pipinya yang kiri meskipun pada shalat jenazah.

179. Imam mengeraskan suaranya ketika salam kecuali pada shalat jenazah.

180. Macam-macam cara salam.

Pertama mengucapkan "Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuhu" ke arah kanan dan mengucapkan "Assalamu'alaikum warahmatullah" ke arah kiri. Kedua : Seperti di atas tanpa (Wabarakatuh). Ketiga mengucapkan "Assalamu'alaikum warahmatullahi" ke arah kanan dan "Assalamu'alaikum" ke arah kiri. Keempat : Memberi salam dengan satu kali ke depan dengan sedikit miring ke arah kanan.

PENUTUP

Saudaraku seagama.

Inilah yang terjangkau bagiku dalam meringkas sifat shalat nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai satu usaha untuk mendekatkannya kepadamu sehingga engkau mendapatkan satu kejelasan, tergambar dalam benakmu, seakan-akan engkau melihatnya dengan kedua belah matamu. Apabila engkau melaksanakan shalatmu sebagaimana yang aku sifatkan kepadamu tentang shalat nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka aku mengharapkan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar menerima shalatmu, karena engkau telah melaksanakan satu perbuatan yang sesuai dengan perkataan nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat ". Setelah itu satu hal jangan engkau lupakan, agar engkau menghadirkan hatimu dan khusyu' ketika melakukan shalat , karena itu tujuan utama berdirinya sang hamba di hadapan Allah Subahanahu wa Ta'ala, dan sesuai dengan kemampuan yang ada padamu dari apa yang aku sifatkan tentang kekhusu'an serta mengikuti cara shalat nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga engkau mendapatkan hasil diharapkan sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan firman-Nya. "Artinya : Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan munkar ". Akhirnya. Aku memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar menerima shalat kita dan amal

kita secara keseluruhan, dan menyimpan pahala shalat kita sampai kita bertemu dengan-Nya. "Di hari tidak bermanfaat lagi harta dan anak-anak kecuali yang datang dengan hati yang suci". Dan segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.

Disalin dari buku Ringkasan Sifat Shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang diterbitkan oleh Lembaga Ilmiah Masjid At-Taqwa Rawalumbu Bekasi Timur. Penerjemah : Amiruddin Abd. Djalil dan M.Dahri.

Footnote : 1. Ini adalah yang disyariatkan sesudah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat dan tsabit dalilnya diriwayatkan Ibnu Mas'ud, Aisyah, Ibnu Zubair dan Ibnu Abas Radhiyallahu 'anhu, barang siapa yang ingin penjelasan lebih lengkap lihat kitab Sifat Shalat. 2. Fitnah orang hidup adalah segala yang menimpa manusia dalam hidupnya seperti fitnah dunia dan syahwat, fitnah orang yang mati adalah fitnah kubur dan pertanyaan dua malaikat, dan fitnah masih ad-dajjal apa yang nampak padanya dari kejadian-kejadian yang luar biasa yang banyak menyesatkan manusia dan menyebabkan mereka mengikuti da'wahnya tentang ketuhanannya. Diposkan oleh Marhadi Muhayar, Lc., M.A. (Silahkan menukil dengan menyebut sumbernya) di 18:48

You might also like

  • Surat Keputusan Kades
    Surat Keputusan Kades
    Document8 pages
    Surat Keputusan Kades
    royyan192891
    No ratings yet
  • Khutbah Jumat
    Khutbah Jumat
    Document17 pages
    Khutbah Jumat
    royyan192891
    No ratings yet
  • Khutbah 2
    Khutbah 2
    Document9 pages
    Khutbah 2
    royyan192891
    No ratings yet
  • Sunnah
    Sunnah
    Document108 pages
    Sunnah
    royyan192891
    No ratings yet
  • Islam
    Islam
    Document60 pages
    Islam
    royyan192891
    No ratings yet
  • Harun Yahya
    Harun Yahya
    Document29 pages
    Harun Yahya
    royyan192891
    No ratings yet
  • Islam
    Islam
    Document60 pages
    Islam
    royyan192891
    No ratings yet
  • Sunnah
    Sunnah
    Document108 pages
    Sunnah
    royyan192891
    No ratings yet
  • Salaf
    Salaf
    Document132 pages
    Salaf
    bariahfitriani483
    No ratings yet
  • Pepatah Arab PDF
    Pepatah Arab PDF
    Document4 pages
    Pepatah Arab PDF
    Sandi Aja
    No ratings yet
  • Kata-Kata Mutiara
    Kata-Kata Mutiara
    Document14 pages
    Kata-Kata Mutiara
    royyan192891
    No ratings yet
  • Kata-Kata Mutiara
    Kata-Kata Mutiara
    Document14 pages
    Kata-Kata Mutiara
    royyan192891
    No ratings yet