You are on page 1of 60

ANTARA SI KAYA YANG BERSYUKUR DAN SI FAKIR YANG BERSABAR

Saturday, 08 January 2011 00:54 | Written by Administrator | Masalah siapa yang lebih utama antara si kaya yang bersyukur dan si fakir yang bersabar adalah masalah yang banyak dibicarakan oleh manusia. Sebagian mereka menulis tentangnya. Syaikhuna Ahmad bin Yahya An-Najmi hafizhahullah berkata : Diantara penulis yang kami ketahui yang membahas masalah ini dalam kitab tersendiri adalah Al Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah. Dia menulis sebuah kitab yang berjudul uddatushshaabirin wa dzakhiratusy-syaakirin. Dan Ash-Shanani rahimahullah juga menulis sebuah kitab yang berjudul as-saiful baatir fil mufadhalah bainal faqiirish-shaabir wal ghaniyyi asy-syakir, dia menyebutkannya di dalam Al Uddah seraya mengatakan bahwa dia meringkasnya dari karya Ibnul Qayyim dan berkata : Ini adalah kitab yang luar biasa, tidak ada tandingannya. Kami menyusunnya di Makkah pada tahun 1135 H. Diantara argumen yang digunakan untuk mengunggulkan kedudukan si fakir yang bersabar daripada si kaya yang beryukur adalah firman Allah Taala : Artinya : Mereka itulah orang yang dibalas dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka. Muhammad bin Ali bin Al Husain berkata : Kata ghurfah berarti syurga. Dan kalimat bimaa shabaruu bermakna karena kesabaran mereka terhadap kefakiran di dunia. Dan diantaranya adalah bahwa kaum fuqara akan masuk kedalam syurga mendahului kaum kaya setengah hari (sebelum mereka), setengah hari sebanding dengan 500 tahun (waktu di dunia). Dan terdapat riwayat dengan 40 kali musim gugur. Sehingga kaum kaya muslimin berangan-angan bahwa seandainya mereka dahulu termasuk kaum fuqara. Dan diantaranya adalah bahwa tidaklah Allah menyebutkan tentang dunia melainkan dengan celaan. Terkadang Allah menyebutkan tentang harta yang merupakan sebab bertindak melampaui batas, sebagaimana firman Allah Taala : Artinya : Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup. Dan terkadang Allah menyebutkan bahwa harta merupakan sebab kedurhakaan. Allah Taala berfirman : Artinya : Dan jikalau Allah melapangkan rizki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan durhaka di muka bumi. Dan terkadang Allah menyebutkan bahwa harta merupakan fitnah : Artinya : Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah fitnah (bagimu). Dan terkadang Allah menyebutkan bahwa harta dan anak tidak membantu untuk mendekatkan diri kepada Allah Taala : Artinya : Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kalian yang mendekatkan kalian kepada Kami sedekat-dekatnya; kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh.

Dan diantara argumen yang digunakan untuk mengunggulkan kedudukan si fakir yang bersabar adalah bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dipilih oleh Allah dalam keadaan fakir. Sesungguhnya telah ditawarkan kepada beliau kunci-kunci khazanah bumi, tetapi beliau menolaknya seraya berkata : Artinya : Bahkan saya lapar sehari dan kenyang sehari. Apabila saya lapar, maka saya merendahkan diri kepada-Mu dan mengingat-Mu. Dan apabila saya kenyang, maka saya memuji-Mu dan bersyukur kepada-Mu. Ini adalah kesimpulan pendapat mereka yang mengunggulkan orang fakir yang bersabar. Pendapat tersebut telah disanggah oleh mereka yang mengunggulkan si kaya yang bersyukur dengan dalil-dalil yang dibawakan oleh mereka yang mengunggulkan si fakir yang bersabar. Kemudian mereka berkata : Adapun ayat yang (kalian bawakan), maka tidak ada keterangan yang mendukung pendapat kalian padanya, sebab kesabaran di dalam ayat tersebut umum, mencakup seluruh macam kesabaran. Ia mencakup : - sabar untuk tidak melanggar yang diharamkan bagi yang memiliki kesempatan untuk melakukan keharaman tersebut dengan hartanya, - sabar dalam menjalankan ketaatan, - sabar dalam menerima berbagai macam cobaan, seperti sakit, musibah, kefakiran, desakan kebutuhan dan selainnya. Adapun tentang masuknya kaum fuqara kedalam syurga, maka tidak serta merta hal tersebut menunjukkan berkurangnya derajat si kaya, bahkan bisa jadi si kaya yang belakangan masuk syurga, lebih tinggi derajatnya daripada si fakir yang mendahuluinya masuk syurga. Adapun celaan Allah terhadap dunia dan harta, sesungguhya celaan tersebut hanya berlaku pada orang yang membelanjakan hartanya dalam bermaksiat kepada Allah. Sedangkan orang yang membelanjakan hartanya di dalam ketaatan kepada Allah, maka yang demikian adalah terpuji. Allah Subhanahu Wa Taala berfirman : Artinya : Dan orang-orang yang di dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta). Dan Allah Taala berfirman : Artinya : Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Adapun tentang Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, maka Allah telah menghimpun bagi beliau antara kedudukan kaya bersyukur dan fakir bersabar. Berapa banyak harta yang datang kepada beliau, namun beliau alaihish-shalatu was-salam enggan menerima dan menafkahkannya di dalam ketaatan kepada Allah Taala. Dan diantara dalilnya adalah bahwa sesungguhnya dahulu Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam menjamu setiap tamu yang datang pada tahun-tahun terakhir setelah fathu Makkah, padahal jumlah mereka banyak. Bersama itu beliau wafat dalam keadaan baju perang beliau digadaikan kepada seorang Yahudi dengan 30 sha gandum sebagai nafkah bagi keluarga beliau. Sementara diantara dalil yang mengunggulkan si kaya yang bersyukur daripada si fakir yang bersabar adalah hadits :

Dari Sumayyin maula Abu Bakar bin Abdurrahman bin Al Harits bin Hisyam dari Abu Shalih As-Samman dari Abu Hurairah radhiallahu anhu : Bahwa kaum fuqara muslimin mendatangi Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, kemudian mereka berkata : Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah pergi dengan membawa derajat yang tinggi dan kenikmatan yang kekal (di syurga). Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bertanya : Mengapa demikian ? Mereka menjawab : Mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, mereka bisa bersedekah sementara kami tidak bisa dan mereka bisa memerdekakan budak sementara kami tidak bisa. Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda : Bukankah saya ajarkan kepada kalian sesuatu yang dengannya kalian dapat menyamai orang-orang sebelum kalian dan kalian mendahului orang-orang setelah kalian serta tidak ada seorang-pun yang lenih utama dari kalian kecuali dia melakukan apa yang kalian lakukan ?! Mereka menjawab : Betul wahai Rasulullah. Rasulullah bersabda : Kalian bertasbih, bertakbir, dan bertahmid setiap selesai shalat 33 kali. Abu Shalih berkata : Kemudian kaum fuqara Muhajirin kembali, lalu berkata : Saudarasaudara kami orang-orang kaya mendengar apa yang kami lakukan, kemudian mereka melakukan hal serupa. Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda : Itulah keutamaan Allah yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Ash-Shanani berkata di dalam Al Uddah : Dia berkata : Barangsiapa mengunggulkan si kaya yang bersyukur daripada si fakir yang bersabar, maka kami memiliki dalil-dalil yang sangat banyak dan kata-kata baik yang menyeluruh : Pertama : Bahwa Allah memuji di dalam kitab-Nya berbagai amal perbuatan yang tidak bisa dilakukan kecuali oleh orang-orang kaya, seperti : - zakat, - menafkahkan harta di dalam berbagai amal kebajikan, - jihad fi sabilillah, - membekali para pejuang, - memperhatikan orang-orang yang membutuhkan, - membebaskan budak, - memberikan bantuan di masa paceklik. Dimana letak kesabaran si fakir dibanding dengan kebahagiaan orang yang terdesak kebutuhan yang bisa membinasakan dirinya (setelah mendapatkan nafkah dari si kaya) ? Dimana letak kesabaran si fakir dibanding dengan manfaat yang diberikan oleh si kaya dengan hartanya untuk menolong agama Allah, meninggikan kalimatullah dan mematahkan musuhmusuh-Nya ? Dimana letak kesabaran ahlus-Shuffah (para Shahabat yang fakir yang tinggal di serambi masjid Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam ) dibanding dengan nafkah Utsman radhiallahu anhu untuk memenuhi berbagai kebutuhan, sampai Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda : Artinya : Tidak ada yang membahayakan Utsman, apa yang dia lakukan setelah hari ini.

Mereka berkata : Orang-orang kaya yang bersyukur merupakan sebab ketaatan kaum fuqara yang bersabar, dengan memberikan bantuan sedekah kepada mereka, berbuat baik kepada mereka dan memperhatikan ketaatan mereka. Maka mereka mendapatkan bagian yang besar dari pahalapahala kaum fuqara ditambah dengan pahala mereka sendiri dengan memberikan nafkah (kepada kaum fuqara) dan ketaatan mereka. Hal ini sebagaimana yang tersebut dalam hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah rahimahullah dari hadits Salman radhiallahu anhu secara marfu : Artinya : Barangsiapa yang memberikan ifthar kepada yang berpuasa, maka yang demikian itu adalah penghapus dosa-dosanya dan pembebas dirinya dari neraka dan dia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang diberi ifthar tanpa mengurangi sedikit-pun pahalanya. Si kaya yang bersyukur ini mendapatkan pahala seperti pahala yang didapat oleh si fakir dengan jamuan yang diberikan kepadanya. Mereka berkata : Keutamaan-keutamaan bersedekah telah diketahui besarnya dan manfaatnya tidak terhitung jumlahnya. Dan inilah diantara buah si kaya yang bersyukur. Selesai dari Al Uddah 3/88 karya Ash-Shanani dengan sedikit perubahan. Ini adalah kesimpulan dari hujjah yang digunakan oleh kedua kubu. Dan jelaslah dari yang telah kami paparkan, keunggulan si kaya yang bersyukur daripada si fakir yang bersabar. Dimaklumi bahwa tidak ada tempat bagi orang fakir yang tidak bersabar dan orang kaya yang tidak bersyukur di dalam perbandingan keutamaan disini. Selesai. Abu Abdillah Muhammad Yahya 18 Dzulqadah 1428 H/26 November 2007 M Nijamiyah-Shamithah-Jazan

Jalan Kebenaran Hanya Satu


Saturday, 27 November 2010 09:24 | Written by Administrator | Oleh: Abu Muhammad Abdul Muthi Al-Maidani

Islam adalah agama universal yang mencakup seluruh ajaran kebaikan. Mulai dari keyakinan, ucapan maupun perbuatan diterangkan secara lengkap dalam Islam. Keterangannya baik secara global atau rinci terpampang dengan jelas dan gamblang. Itulah jalan-jalan keselamatan yang bisa ditempuh oleh para pemeluk agama ini. Jalan-jalan yang bisa menghantarkan pelintasnya ke jannah Allah k dan menyelamatkannya dari adzab neraka. Allah k berfirman: . Sungguh telah datang kepada kalian cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan-jalan keselamatan dan Allah mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya dengan seizin-Nya serta menunjuki mereka ke jalan yang lurus. (Al-Ma`idah: 15-16) Jalan keselamatan boleh berbilang namun kebenaran tetap hanya satu. Karena setiap jalan keselamatan adalah bagian dari kebenaran yang satu. Sehingga sebuah jalan tidak dihukumi sebagai jalan keselamatan kecuali bila nilai kebenaran menjadi muatannya. Jika terjadi perselisihan dan pertikaian mengenai sebuah jalan keselamatan maka kebenaran itu tetap berjumlah satu. Kebenaran berada pada salah satu pendapat yang dipegang oleh salah satu pihak. Tentunya tolak ukur kebenaran itu adalah Al Qur`an dan As Sunnah dengan pemahaman Salaf. Allah k berfirman: Kebenaran itu adalah dari Rabbmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu. (Al-Baqarah: 147) Kemudian Allah k berfirman: Dan barang siapa menentang Rasul sesudah jelas baginya petunjuk, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin (shahabat g), Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburukburuk tempat kembali. (An-Nisa`: 115) Lalu Allah k berfirman: Maka tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan. (Yunus: 32) Al-Imam Al-Qurthubi t berkata: Ayat ini menetapkan bahwa tidak ada kedudukan ketiga antara al-haq dan al-bathil dalam permasalahan mentauhidkan Allah k. Maka demikian pula perkaranya dalam permasalahan-permasalahan yang setara. Yaitu dalam permasalahan-permasalahan ushul (prinsip), kebenaran berada pada salah satu pihak. Barangkali ada yang mengatakan: Sesungguhnya dzahir ayat ini menunjukkan bahwa yang selain (mentauhidkan) Allah adalah kesesatan. Karena permulaan ayat berbunyi: Maka (Dzat yang demikian) itulah Allah Rabb kalian yang sebenarnya; sehingga tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan. (Yunus: 32) Lalu kenapa memperluas pendalilan ini (yakni menggunakan ayat ini untuk mengingkari bentuk kesesatan selain kesyirikan -ed)? Jawabannya: Sesungguhnya para pendahulu kita yang baik telah berdalil dengan keumuman ayat ini terhadap segala kebatilan. Oleh karena itu Al-Imam Malik t berdalil dengannya dalam mengharamkan permainan catur sebagaimana pada riwayat Asyhab. Bentuk (pendalilan) itu

sebagai berikut: bahwa kekafiran adalah sesuatu yang menutupi al-haq. Maka semua yang selain kebenaran berjalan di atas jalur ini. (Tafsir Al-Qurthubi, 8/336) Dalam setiap pertikaian dan perselisihan, kebenaran hanya satu sedangkan yang selainnya adalah keliru. Bahkan tak jarang mengandung kebatilan dan kesesatan. Inilah sebab Allah k melarang setiap perselisihan dan pertikaian. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah t pernah menerangkan: Ayat-ayat yang melarang setiap perselisihan dalam agama mengandung celaan terhadapnya. Seluruhnya mempersaksikan dengan nyata bahwa al-haq di sisi Allah k hanya satu, sedangkan yang selainnya merupakan kesalahan. Kalau seandainya semua pendapat itu adalah benar, niscaya Allah k dan Rasul-Nya tidak akan melarang dari kebenaran dan tidak pula akan mencelanya. Sungguh Allah k telah mengabarkan bahwa perselisihan bukan dari sisi-Nya. Yang bukan dari sisi Allah k tidak dianggap sebagai kebenaran. Allah k berfirman: Kalau kiranya Al Qur`an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya. (An-Nisa`: 82) (Mukhtashar Ash-Shawaiqil Mursalah, hal. 594) Dalil-dalil tentang Kebenaran Hanya Satu Cukup banyak dalil akurat dari Al Qur`an, As Sunnah dan amalan shahabat yang menunjukkan bahwa kebenaran dalam setiap permasalahan yang diperselisihkan hanya satu. Adapun yang selainnya merupakan kesalahan. Di antara dalil-dalil tersebut: 1. Allah k berfirman: Dan bahwa ini adalah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah dia dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain. Karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu Allah wasiatkan pada kalian agar kalian bertakwa. (Al-Anam: 153) Ibnu Katsir t -ketika menafsirkan ayat ini- berkata: Firman Allah k: Ikutilah (jalan-Ku) dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan yang lain. (Di sini) sungguh Allah k menyebutkan tentang jalan-Nya dengan bentuk kata tunggal karena kebenaran itu hanya satu. Oleh sebab itu, Allah menyebutkan tentang jalan-jalan yang lain dengan bentuk kata jamak (banyak). Karena jalan-jalan yang lain terpisah-pisah dan bercabangcabang. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/256) 2. Allah k berfirman: . Dan (ingatlah kisah) Dawud dan Sulaiman di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman. Karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu. Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat). Dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu. Dan telah Kami tundukkan gunung-gunung serta burung-burung. Semuanya bertasbih bersama Dawud. Dan Kamilah yang melakukannya. (AlAnbiya`: 78-79) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t menjelaskan -tentang dua ayat ini- sebagai berikut: Kedua nabi yang mulia ini telah sama-sama memberikan keputusan dalam sebuah kasus yang membutuhkan vonis hukum. Maka Allah k mengistimewakan salah seorang dari keduanya dengan memahamkan (kepadanya) duduk permasalahan (yang dihadapi). Bersamaan dengan itu Allah memuji masing-masing dari keduanya dengan mendatangkan pengetahuan hukum dan

ilmu kepadanya. Demikian pula para ulama yang mujtahid g. Siapa yang benar dari mereka mendapatkan dua pahala sedangkan yang salah mendapatkan satu pahala. Masing-masing mereka taat kepada Allah sesuai dengan kemampuannya. Allah tidak akan memberatkannya dengan sesuatu yang dia tidak mampu mengilmuinya (Majmu Al-Fatawa, 33/41) 3. Rasulullah n bersabda: Apabila seorang hakim menghukumi lalu berijtihad maka jika benar dia mendapatkan dua pahala dan jika salah dia mendapatkan satu pahala. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah z) Al-Imam Al-Muzani t menandaskan: Perlu dipertanyakan kepada orang yang membolehkan perbedaan pendapat dan menyangka bahwa dua orang alim jika berijtihad pada sebuah kejadian yang satu berpendapat (halal) sementara yang lain berpendapat (haram) masing-masing dari keduanya meraih kebenaran: Apakah engkau mengatakan ini dengan sebuah sumber (hukum) atau dengan qiyas? Bila dia menjawab: Dengan sebuah sumber (hukum). Dipertegas kepadanya: Bagaimana bisa dari sebuah sumber (hukum) sedangkan Al Qur`an menolak perbedaan pendapat. Bila dia menjawab: Dengan qiyas. Dipertegas kepadanya: Sumber-sumber (hukum) menolak perbedaan pendapat dan bagaimana engkau bisa mengqiyas atas sumber-sumber (hukum) tersebut untuk membolehkan perbedaan pendapat. Ini merupakan perkara yang tidak bisa diterima oleh orang yang berakal terlebih lagi oleh seorang yang berilmu. (Jami Bayanil Ilmi wa Fadhlihi, karya Ibnu Abdil Barr, 2/89) 4. Rasulullah n bersabda: . : : Sesungguhnya Bani Israil telah berpecah menjadi tujuh puluh dua golongan dan akan berpecah umatku menjadi tujuh puluh tiga golongan. Mereka seluruhnya berada dalam api neraka kecuali golongan yang satu. Para shahabat bertanya: Siapa golongan itu, wahai Rasulullah? Beliau menjawab: (Dia adalah golongan yang memegang) ajaranku dan (faham) shahabatku pada hari ini. (HR. At-Tirmidzi dan selainnya dari Abdullah bin Amr ibnul Ash c) Dalam sanad hadits ini terdapat Abdurrahman bin Ziyad Al-Ifriqi. Dia seorang yang dhaif. Tetapi hadits ini dikuatkan oleh banyak hadits lain yang semakna. Hadits-hadits tersebut diriwayatkan dari beberapa orang shahabat, antara lain: 1. Abu Hurairah 2. Muawiyah bin Abi Sufyan 3. Anas bin Malik 4. Auf bin Malik 5. Ibnu Masud 6. Abu Umamah 7. Ali bin Abi Thalib 8. Saad bin Abi Waqqash Semoga Allah k meridhai mereka semua. Al-Imam Syathibi t memaparkan: Sabda beliau n Kecuali golongan yang satu, secara nash memberikan penjelasan bahwa kebenaran hanya satu dan tidak beraneka ragam. Sebab jika seandainya kebenaran menjadi milik berbagai pihak niscaya beliau tidak akan mengatakan Kecuali golongan yang satu. (Al-Itisham, 2/755) 5. Al-Imam Al-Muzani t berkata: Para shahabat Rasulullah n telah berbeda pendapat. Sebagian mereka menyalahkan yang lainnya. (Sebagian mereka) melihat kepada pendapat-pendapat yang lain lalu mengomentarinya. Jika

mereka berpandangan bahwa seluruh pendapat mereka (ketika berselisih) adalah benar, niscaya mereka tidak akan melakukan yang demikian. Umar bin Al-Khaththab z pernah marah karena perselisihan Ubay bin Kab z dengan Abdullah bin Masud z mengenai hukum shalat mengenakan sehelai pakaian. Saat itu Ubay berkata: Sesungguhnya shalat dengan mengenakan sehelai pakaian merupakan perkara yang baik lagi bagus. Ibnu Masud berkata: Sungguh yang demikian itu (dibolehkan) bila jumlah pakaiannya sedikit. Maka Umar keluar dalam keadaan marah dan berkata: Dua orang shahabat Rasulullah n yang dipandang dan diambil pendapatnya telah berselisih. Ubay telah benar dan Ibnu Masud tidak lalai. Akan tetapi tidaklah aku mendengar seorang pun berselisih mengenainya setelah (aku meninggalkan) tempatku ini melainkan aku akan memperlakukannya demikian dan demikian. (Jami Bayanil Ilmi wa Fadhlihi, 2/83-84) Tidak Setiap Mujtahid Benar Dalil-dalil di atas dengan tegas mematahkan kesesatan sebagian muslimin yang berpandangan bahwa setiap mujtahid benar. Sebab pernyataan ini adalah madzhab Mutazilah negeri Bashrah. Merekalah sumber dari kebidahan ini. Mereka berpendapat demikian karena tidak paham tentang makna-makna dan metode-metode fiqih yang mengantarkan kepada kebenaran serta memisahkan dari kerancuan-kerancuan yang batil. (Al-Bahru Al-Muhith karya Az-Zarkasyi, 6/243) Tidak ada seorang pun dari para ulama sunnah dan imam-imam Islam yang menyuarakan bahwa setiap mujtahid benar. Adapun penisbahannya kepada Al-Imam Asy-Syafii dan Al-Imam Malik merupakan isapan jempol dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. (Al-Bahru AlMuhith, 6/242 dan Shifatush-shalah karya Al-Albani hal.63-64) Al-Imam Malik t berkata: Tidaklah (ada) kebenaran melainkan hanya satu. (Mungkinkah -ed) dua pendapat yang saling bertentangan keduanya benar? Tidaklah al-haq dan kebenaran melainkan hanya satu. (Jami Bayanil Ilmi wa Fadhlihi, 2/82, 88, 89) Hal yang hampir senada diucapkan pula oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t (Majmu AlFatawa, 33/42), Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah t (Mukhtashar Ash-Shawaiqil Mursalah, hal. 594), Ibnu Abdil Barr t (Jami Bayanil Ilmi wa Fadhlihi, 2/88), dan para ulama yang lainnya. Perselisihan Bukan Argumen untuk Mentolerir Suatu Pendapat Berargumen dengan perselisihan dan perbedaan pendapat untuk melegitimasi suatu pemikiran (dari tokoh tertentu) atau madzhab sebagai sebuah kebenaran merupakan perkara yang tidak benar. Sikap ini tidak memiliki akurasi hujjah. Sebab Al Qur`an dan As Sunnah tidak mengajarkannya. Al-Hafidz Abu Umar bin Abdil Barr t berkata: Perselisihan bukan hujjah menurut seluruh ahli fiqih umat ini kecuali bagi orang yang tidak punya mata hati dan pengetahuan. Maka pendapatnya bukan hujjah. (Jami Bayanil Ilmi wa Fadhlihi, 2/229) Kewajiban seorang muslim adalah mencari letak kebenaran dalam sebuah perselisihan dan pertikaian. Tidak semua pendapat mengusung kebenaran. Kebenaran hanya berada pada salah satu pihak yang berselisih dan bertikai. Ini adalah pendapat Al-imam Malik, Ahmad dan AsySyafii rahimahumullah. (Mukhtashar Ash-Shawaiqil Mursalah, hal. 594) Pihak yang benar adalah yang pendapatnya berlandaskan Al Qur`an dan As Sunnah beserta pemahaman Salaf. Sebuah kesalahan fatal bila seorang muslim menganggap suatu perkara dibolehkan dengan alasan (di dalam perkara tersebut terdapat) perselisihan di kalangan para ulama apalagi yang selainnya. Ini merupakan kekeliruan terhadap syariat Islam. Namun sangat disayangkan betapa banyak orang yang terjatuh di dalamnya. Mereka bukan dari golongan orang awam saja akan tetapi juga melibatkan orang-orang yang mengaku dirinya berilmu. Sebagian mereka dianggap ulama atau paling tidak bergelar kyai maupun ustadz. Bahkan tak jarang ahlul

bidah berupaya melanggengkan berbagai kebidahannya dengan alasan yang demikian. Wallahul mustaan. Marilah kita menyimak penuturan ulama berikut ini: Al-Imam Asy-Syathibi t berkata: Perkara ini telah melampaui kadar yang cukup. Sehingga terjadi pembolehan sebuah perbuatan karena berpegang pada kondisinya yang diperselisihkan di kalangan para ulama. Pembolehan ini bukan bermakna untuk memelihara perselisihan, sebab hal ini memiliki sisi pandang yang lain, akan tetapi tujuannya adalah yang selain itu (yakni tujuannya tidak untuk memelihara perselisihan -red). Terkadang dalam suatu permasalahan muncul fatwa yang melarang. Lalu dipertanyakan: Kenapa engkau melarang? Padahal permasalahannya diperselisihkan. Maka perselisihan dijadikan argumen untuk membolehkan, semata-mata karena permasalahannya diperselisihkan. Bukan karena dalil yang menyokong kebenaran madzhab yang membolehkan. Tidak pula karena taqlid kepada orang yang lebih pantas diikuti daripada orang yang mengatakan larangan. Itulah wujud kesalahan terhadap syariat, yaitu menjadikan yang bukan pegangan sebagai pegangan dan yang bukan hujjah sebagai hujjah. (Tahdzib Al-Muwafaqat, karya Muhammad bin Husain Al-Jizani, hal. 334) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: Siapapun tidak boleh berhujjah dengan pendapat seseorang dalam permasalahan-permasalahan yang diperselisihkan. Hujjah itu hanya berupa nash (Al Qur`an dan As Sunnah), ijma dan dalil yang disimpulkan dari itu (sedangkan) pendahuluannya dikokohkan dengan dalil-dalil syari, tidak dengan pendapat-pendapat sebagian ulama. Karena pendapat-pendapat ulama perlu diberi hujjah dengan dalil-dalil syari, bukan untuk dijadikan sebagai hujjah atas dalil-dalil syari. (Majmu Al-Fatawa, 26/202-203) Setiap Pendapat Menuntut Dalil Menuntut dalil dari setiap pendapat merupakan kewajaran di kalangan pecinta kebenaran. Tentunya tanpa memandang siapa yang menjadi sasarannya. Sebab nilai kebenaran terletak pada dalil bukan dalam kebesaran nama seseorang. Namun tidak berarti tanpa etika dan adab yang layak dalam melakukannya. Inilah barangkali yang tidak dipahami oleh para pembebek yang terperosok dalam kubangan pengkultusan tokoh. Acapkali mereka memegang sebuah pendapat karena yang mengucapkannya adalah seorang yang punya nama besar tanpa menoleh dalilnya. Terkadang profil yang dimaksud bukan ulama yang faham agama beserta dalil-dalilnya dengan benar. Tapi keharusan berpijak kepada dalil tak bisa digugurkan walaupun pemilik pendapat adalah seorang ulama dengan kriteria yang hampir mencapai titik sempurna. Orang yang mempelajari sejarah hidup generasi terbaik umat ini akan melihat bahwa mereka tak sungkan-sungkan untuk bertanya tentang dalil sebuah pendapat kepada yang bersangkutan. Berikut beberapa riwayat dalam masalah ini: 1. Dari Abu Ghalib, ia berkata: Kami bertanya (kepada Abu Umamah z): : Apakah dengan pendapatmu engkau mengatakan: Mereka (Khawarij) adalah anjing-anjing neraka, atau sesuatu yang engkau dengar dari Rasulullah n? (Jika demikian) sungguh aku sangat berani. Akan tetapi aku mendengarnya dari Rasulullah n tidak hanya sekali, dua dan tiga kali. Lalu beliau menyebutkan hitungan bilangannya berulang kali. (HR. Ahmad, dengan sanad yang jayyid menurut penilaian Asy-Syaikh Muqbil t, lihat AlJamiush Shahih, 1/199-201) 2. Dari Abu Shalih, ia berkata: Aku mendengar Abu Said Al-Khudri z mengatakan:

Dinar dengan dinar, dan dirham dengan dirham (menukar/jual-belinya) dengan timbangan yang sama (bobotnya). Barangsiapa yang menambahi atau minta tambahan berarti dia telah berbuat riba. Aku (Abu Shalih) berkata kepadanya (Abu Said): Sesungguhnya Ibnu Abbas mengatakan yang selain ini. Abu Said Al-Khudri menjawab: Aku telah bertemu Ibnu Abbas. Aku bertanya: Apakah yang engkau ucapkan ini adalah sesuatu yang pernah engkau dengar dari Rasulullah n, atau engkau mendapatkannya dalam Kitabullah k? Beliau (Ibnu Abbas red) menjawab: Aku tidak mengatakan semua itu. Kalian lebih tahu tentang Rasulullah n daripada aku. Akan tetapi Usamah telah memberitakan kepadaku bahwa Rasulullah n bersabda: Tidak ada riba kecuali (riba) an-nasi`ah. (HR. Al-Bukhari no. 2178 dan Muslim no. 1596) 3. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan di dalam Manaqib Asy-Syafii (86-87): Al-Imam Ahmad pernah bertanya kepada Al-Imam As-Syafii rahimahumallah: Apa pendapatmu tentang masalah yang demikian dan demikian? Lalu Al-Imam Asy-Syafii menjawab masalahnya. AlImam Ahmad berkata: Dari mana engkau mengatakan itu? Apakah terdapat padanya sebuah hadits atau ayat Al Qur`an? Al-Imam Asy-Syafii menjawab: Ya. Lantas beliau mengutarakan sebuah hadits Nabi n mengenai masalah tersebut. (Zajrul Mutahawin karya Hamd bin Ibrahim hal. 69) Demikianlah tuntunan dari pendahulu kita yang baik. Namun sangat disayangkan kini banyak kalangan mentolerir suatu pendapat karena semata-mata yang mengucapkannya adalah seorang ulama atau kyai. Mereka tidak bersikap ilmiah dengan mau melihat dalilnya. Terlebih lagi mau berpikir tentang akurasi dalil dan pendalilannya. Inilah realita pahit dan memilukan dalam kehidupan beragama kebanyakan kaum muslimin belakangan ini. Bahkan penyakit ini berkembang pula di tengah para santri kebanyakan pondok pesantren di dalam dan luar negeri. Tak kalah serunya tatkala hal serupa ikut merebak di level para dai yang sedang bergelut di kancah dakwah kecuali segelintir orang yang dirahmati oleh Allah k. Wallahul mustaan. Semoga pembahasan ini mengingatkan kita untuk kembali intropeksi diri dengan satu pertanyaan: Dari golongan manakah kita dalam memegang pendapat? Mudah-mudahan Allah k menjadikan kita selalu berada di belakang dalil dalam beragama dan tidak dininabobokan oleh nama besar sosok-sosok tertentu. Penutup Seluruh pembahasan di atas berlaku secara umum pada segala permasalahan agama baik ushul (prinsip) maupun furu (cabang) tanpa perbedaan. Karena masing-masing bagian memiliki kekokohan hubungan yang sama erat dengan norma-norma syariat. (Mukhtashar AshShawaiqil Mursalah, hal. 594 dan Fathul Qadir karya Al-Imam Asy-Syaukani, 1/370) Adapun perselisihan yang dimaksud dalam pembahasan di atas yaitu perselisihan yang mengandung kontradiksi antara dua pendapat atau lebih dan tidak bisa kompromikan. Yang bisa dikompromikan dengan metode-metode yang dikenal di kalangan para ulama tidak termasuk dalam cakupannya, karena tidak masuk dalam kategori perselisihan dengan makna yang sesungguhnya. Perselisihan ini diistilahkan di kalangan para ulama dengan nama ikhtilaf tadhadh. Di sana terdapat perselisihan yang berangkat dari keragaman dalil. Ini pada hakekatnya tidak dapat dikatakan sebagai perselisihan. Lebih tepat untuk dikatakan sebagai keragaman aturan syariat Islam dalam masalah tersebut. Perselisihan ini diistilahkan di kalangan para ulama dengan nama ikhtilaf tanawwu. Dari Ibnu Masud z, beliau berkata: :

Aku mendengar seseorang membaca satu ayat, padahal aku mendengar Rasulullah n membaca berbeda dengan bacaannya. Maka aku memegang , lalu akutangannya dan membawanya menemui Rasulullah laporkan perkara itu kepada beliau. Aku melihat rasa tidak suka pada wajah beliau dan beliau bersabda: Kalian berdua telah benar dan janganlah berselisih, karena orang-orang sebelum kalian berselisih sehingga mereka binasa. (HR. Al-Bukhari no. 2410) Demikianlah yang dapat kami tuliskan di sini. semoga bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Yang benar datangnya dari Allah k, sedangkan yang salah datangnya dari kami dan setan. Karenanya kami mohon ampun kepada Allah .Wallahu alam. Sumber bacaan: Al Qur`an- Tafsir Ibnu Katsir t - Mukhtashar Ash-Shawaiqil Mursalah karya Muhammad Al-Mushili t - Al-Itisham karya Asy-Syathibi t tahqiq Salim Al-Hilali - Shifat Shalat Nabi karya Asy-Syaikh Al-Albani t - Zajrul Mutahawin karya Hamd bin Ibrahim Al-Utsman t - Tahdzib Al-Muwafaqat karya Muhammad bin Husain Al-Jizani

Mengimani Peristiwa Isra Miraj dan Sanggahan Terhadap yang Mengingakarinya


Saturday, 02 July 2011 09:38 | Written by Administrator |

Salah satu prinsip aqidah dalam Islam adalah mengimani peristiwa Isra dan Miraj yang dialami Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Isra adalah perjalanan yang dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersama Malaikat Jibril pada malam hari dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsha (Baitul Maqdis) di Palestina. Perjalanan sejauh ini ditempuh oleh beliau dengan mengendarai Buraq, sejenis hewan yang berwarna putih, panjang, ukurannya lebih besar daripada keledai dan lebih kecil daripada baghl (peranakan kuda dengan keledai). Dengan kekuasaan Allah taala, hewan ini mampu melangkahkan kakinya sejauh mata memandang. Adapun miraj adalah peristiwa naiknya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dari bumi menuju Sidratul Muntaha, untuk kemudian berjumpa dengan Allah Yang Maha Tinggi dan menerima kewajiban shalat lima waktu sehari semalam. Sebagian orang beranggapan bahwa peristiwa Isra dan Miraj terjadi pada waktu yang berbeda, Isra pada satu malam tertentu, dan Miraj pada malam yang lain. Namun yang benar adalahperistiwa Isra dan Miraj ini terjadi pada satu malam yang sama. Demikian yang diungkapkan oleh Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah. Keterangan beliau ini dikuatkan oleh Al-Imam Ibnu Katsirrahimahullah dengan mengatakan: Apa yang diungkapkan oleh beliau (Al-Baihaqi) ini adalah yang benar, tidak ada sedikitpun keraguan padanya. (Tafsir Ibnu Katsir). Banyak riwayat dari hadits yang menyebutkan tentang kisah perjalanan yang merupakan salah satu mujizat dan tanda kenabian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ini. Masing-masing riwayat tersebut saling melengkapi satu dengan yang lain. Berikut ini, akan disebutkan dari riwayat Al-Imam Muslim rahimahullah dalam kitab Shahihnya (hadits no. 162). Diriwayatkan dari shahabat Anas bin Malik radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Didatangkan kepadaku Buraq (dia adalah seekor binatang yang berwarna putih, panjang, ukurannya lebih besar daripada keledai dan lebih kecil daripada baghl (peranakan kuda dengan keledai), hewan ini mampu melangkahkan kakinya sejauh mata memandang). Akupun menungganginya sampai tiba di Baitul Maqdis, kemudian aku tambatkan hewan tersebut di sebuah tali (yang terdapat di pintu masjid Baitul Maqdis). Lalu aku memasuki masjid dan mengerjakan shalat dua rakaat. Setelah itu, aku keluar dan Jibril alaihissalam mendatangiku dengan membawa sebuah bejana yang berisi khamr dan sebuah bejana yang berisi susu. Akupun memilih susu. Kata Jibril alaihissalam: Engkau telah memilih fithrah. Kemudian kami naik menuju langit, lalu Jibril meminta (kepada malaikat penjaga pintu langit) untuk dibukakan pintu langit. Jibril ditanya: Siapa engkau? Dia menjawab: Aku Jibril. Jibril ditanya lagi: Siapa yang bersamamu? Jibril menjawab: Muhammad. Dia ditanya lagi: Apakah dia telah diutus? Jibril menjawab: Dia telah diutus. Maka dibukakanlah untuk kami pintu langit, dan akupun berjumpa dengan Adam, diapun menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku.

Kemudian kami naik menuju langit kedua, lalu Jibril alaihissalam meminta untuk dibukakan pintu langit. Jibril ditanya: Siapa engkau? Dia menjawab: Aku Jibril. Jibril ditanya lagi: Siapa yangbersamamu? Jibril menjawab: Muhammad. Dia ditanya lagi: Apakah dia telah diutus? Jibril menjawab: Dia telah diutus. Maka dibukakanlah untuk kami pintu langit kedua, dan akupun berjumpa dengan dua anak dari bibi[1], yaitu Isa bin Maryam dan Yahya bin Zakariyya shalawatullahi alaihima, mereka berduapun menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku. Kemudian kami naik menuju langit ketiga, lalu Jibril alaihissalam meminta untuk dibukakan pintu langit. Jibril ditanya: Siapa engkau? Dia menjawab: Aku Jibril. Jibril ditanya lagi: Siapa yangbersamamu? Jibril menjawab: Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Dia ditanya lagi: Apakah dia telah diutus? Jibril menjawab: Dia telah diutus. Maka dibukakanlah untuk kami pintu langit kedua, dan akupun berjumpa dengan Yusuf shallallahu alaihi wasallam, dia adalah seorang yang dikaruniai setengah dari ketampanan, dia pun menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku. Kemudian kami naik menuju langit keempat, lalu Jibril alaihissalam meminta untuk dibukakan pintu langit. Jibril ditanya: Siapa engkau? Dia menjawab: Aku Jibril. Jibril ditanya lagi: Siapa yangbersamamu? Jibril menjawab: Muhammad. Dia ditanya lagi: Apakah dia telah diutus? Jibril menjawab: Dia telah diutus. Maka dibukakanlah untuk kami pintu langit kedua, dan akupun berjumpa dengan Idris, dia pun menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku. Allah azza wajalla berfirman tentangnya: Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi. (Maryam: 57) Kemudian kami naik menuju langit kelima, lalu Jibril alaihissalam meminta untuk dibukakan pintu langit. Jibril ditanya: Siapa engkau? Dia menjawab: Aku Jibril. Jibril ditanya lagi: Siapa yangbersamamu? Jibril menjawab: Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Dia ditanya lagi: Apakah dia telah diutus? Jibril menjawab: Dia telah diutus. Maka dibukakanlah untuk kami pintu langit kedua, dan akupun berjumpa dengan Harun shallallahu alaihi wasallam, dia pun menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku. Kemudian kami naik menuju langit keenam, lalu Jibril alaihissalam meminta untuk dibukakan pintu langit. Jibril ditanya: Siapa engkau? Dia menjawab: Aku Jibril. Jibril ditanya lagi: Siapa yangbersamamu? Jibril menjawab: Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Dia ditanya lagi: Apakah dia telah diutus? Jibril menjawab: Dia telah diutus. Maka dibukakanlah untuk kami pintu langit kedua, dan akupun berjumpa dengan Musa shallallahu alaihi wasallam, dia pun menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku. Kemudian kami naik menuju langit ketujuh, lalu Jibril alaihissalam meminta untuk dibukakan pintu langit. Jibril ditanya: Siapa engkau? Dia menjawab: Aku Jibril. Jibril ditanya lagi: Siapa yangbersamamu? Jibril menjawab: Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Dia ditanya lagi: Apakah dia telah diutus? Jibril menjawab: Dia telah diutus. Maka dibukakanlah untuk kami pintu langit kedua, dan akupun berjumpa dengan Ibrahim shallallahu alaihi wasallam sedang menyandarkan punggungnya di Al-Baitul Mamur, sebuah tempat yang setiap harinya ada 70.000 malaikat yangmemasukinya, dan para malaikat yang sudah memasukinya tadi tidak akan kembali lagi. Kemudian aku dibawa menuju Sidratul Muntaha[2], yang daunnya seperti telinga gajah dan buah-buahannya seperti guci yang besar. Tatkala ketetapan Allah datang menyelimutinya,

berubahlah Sidratul Muntaha itu. Tidak ada seorangpun dari makhluk Allah yang mampu untuk menggambarkan keadaannya disebabkan sangat indahnya. Allah pun mewahyukan kepadaku dengan memerintahkan kepadaku shalat 50 waktu sehari semalam. Aku pun turun dan berjumpa dengan Musa shallallahu alaihi wasallam. Dia pun bertanya: Apayang diwajibkan Rabbmu kepada umatmu? Aku pun menjawab: Shalat 50 waktu. Musa berkata: Kembalilah kepada Rabbmu, mohonlah keringanan kepada-Nya karena umatmu tidak akan sanggup memenuhi kewajiban ini, sungguh aku telah menguji Bani Israil (ternyata mereka tidak sanggup). Aku pun kembali kepada Rabbku dan aku memohon: Wahai Rabbku, berikan keringanan kepada umatku. Maka Allah pun menguranginya sebanyak lima waktu. Kemudian aku kembali menjumpai Musa dan aku katakana kepadanya: Allah telah mengurangi sebanyak lima waktu. Namun Musa tetap mengatakan: Sesungguhnya umatmu belum mampu memenuhi kewajiban ini, kembalilah kepada Rabbmu dan mohonlah keringanan kepada-Nya. Terus menerus aku bolak-balik antara Rabbku tabaraka wataala dengan Musa alaihissalam sampai Allah menyatakan: Wahai Muhammad, kewajiban shalat itu sebanyak lima waktu sehari semalam, setiap shalat bernilai sepuluh (kebaikan), sehingga nilai keseluruhan dari lima waktu shalat adalah sebanyak 50 waktu shalat. Barangsiapa yang berniat untuk melakukan satu kebaikan namun dia belum mengamalkannya, maka akan dicatat untuknya satu kebaikan. Dan jika dia mengamalkannya, maka akan dicatat untuknya sepuluh kebaikan. Barangsiapa yang berniat melakukan kejelekan namun belum mengerjakannya, maka tidak akan dicatat kejelekan untuknya sedikitpun, dan jika mengerjakan kejelekan itu, maka akan dicatat baginya satu kejelekan. Akupun turun dan berjumpa dengan Musa shallallahu alaihi wasallam dan aku kabarkan tentang apa yang telah aku alami. Maka Musa mengatakan: Kembalilah kepada Rabbmu, mohonlah kepada-Nya keringanan. Aku katakan kepadanya: Sungguh aku telah kembali kepada Rabbku sampai aku merasa malu kepada-Nya.

Isra dan Miraj dengan Ruh dan Jasad Beliau shallallahu alaihi wasallam
Sebagian kalangan yang lebih mengedepankan akal dan logikanya dalam memahami agama ini -daripada nash-nash Al-Quran dan As-Sunnah- berupaya untuk mengingkari terjadinya peristiwa IsraMiraj. Kalaupun benar peristiwa tersebut terjadi, maka itu hanya mimpi atau hanya ruh beliau saja, tidak mungkin dengan jasad fisik beliau. Menurut mereka, tidak masuk akal perjalanan sejauh itu hanya ditempuh selama satu malam. Sangat jauhnya jarak antara Masjidil Haram dengan Masjidil Aqsha, kemudian ditambah jarak antara bumi dan langit, tentunya membutuhkan perjalanan dengan kecepatan yang sangat tinggi. Sehingga tidak mungkin Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bisa menempuhnya dengan jasad beliau. Sebuah benda yang paling keras sekalipun, kalau bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi, maka benda tersebut bisa meleleh, apalagi jasad seorang manusia. Ini tidak masuk akal, kata mereka. Maka kita katakan: Benar bahwa peristiwa Isra Miraj itu tidak masuk akal, yakni akal yang berpenyakit, akalnya orang-orang yang di hatinya terdapat bibit penyimpangan dan kesesatan dari agama yang lurus ini. Sungguh akal yang sehat itu justru menerima dengan penuh ketundukan dan keyakinan setiap berita dalam Al-Quran maupun hadits. Akal yang sehat menyatakan bahwa Allah taala Maha

Mampu atas segalanya. Kalau Allah berkehendak, Allah pun mampu untuk menciptakan kejadian luar biasa yang lebih menakjubkan daripada peristiwa Isra Miraj pada diri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tersebut. Ayat Al-Quran yang mengabadikan peristiwa besar ini, yaitu firman Allah taala: Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Isra: 1) menunjukkan bahwa peristiwa tersebut adalah benar adanya dan dialami oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam dengan ruh dan jasad beliau, bukan ruh saja atau mimpi saja. Berikut argumentasinya: 1. Kalimat tasbih ( .) Sebagaimana yang sudah dikenal di kalangan umat Islam, bahwa kalimat tasbih ini juga sering digunakan ketika melihat atau mendengar peristiwa besar dan menakjubkan. Kalau Isra dan juga Miraj ini dilakukan dalam mimpi beliau saja, maka ini bukanlah suatu peristiwa besar. Dalam mimpi, seorang manusia bisa saja mengalami kejadian aneh maupunperistiwa mustahil yang tidak akan mungkin terjadi di alam nyata ini. 2. Kalimat ( ,)yang berarti hamba-Nya. Kalimat / hamba, bermakna sebuah ungkapan yang menunjukkan berkumpulnya antara ruh dan jasad, sebagaimana yang sudah dikenal dalam bahasa Arab. Adapun peristiwa Miraj, Allah subhanahu wataala telah abadikan dalam Al-Quran di awalawal surat An-Najm. Pada ayat ke-17: Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. (An-Najm: 17) juga merupakan argumentasi yang kuat yang menunjukkan bahwa peristiwa tersebut terjadi dan dialami oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan ruh dan jasad beliau. Hal ini ditunjukkan pada kata ( yang berarti penglihatan, maksudnya penglihatan Nabi shallallahu alaihi wasallam), karena kata adalah sebuah ungkapan yang bermakna alat penglihatan dari dzat (jasad), bukan dari ruh. Argumen lain yang menunjukkan bahwa peristiwa Isra dan Miraj dialami oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan ruh dan jasad beliau adalah dalam ayat-Nya: Dan Kami tidak menjadikan ruya[3] yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia dan (begitu pula) pohon kayu yang terkutuk dalam Al-Quran. (AlIsra: 60) Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma menafsirkan makna ruya pada ayat di atas adalah pemandangan yang diperlihatkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada peristiwa Isra ke Baitul Maqdis, adapun pohon kayu yang terkutuk adalah pohon Zaqqum sebagaimana dalam surat Ash-Shaffat ayat 62 sampai 65. (HR. Al-Bukhari, no. 3599).

Sebagiamana ayat di atas, peristiwa yang dilihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ini merupakan fitnah (ujian) bagi manusia, siapa yang membenarkannya dan siapa saja yang mendustakannya. Seandainya peristiwa seperti itu dialami dalam mimpi, maka tidak akan menjadi ujian bagi mereka. Bisa jadi semua orang -termasuk musyrikin Quraisy- akan percaya dan membenarkannya, karena -sebagaimana yang sudah disebutkan di atas- bahwa siapapun bisa saja bermimpi mengalami kejadian aneh atau peristiwa mustahil yang tidak akan mungkin terjadi di alam nyata ini. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir dan Adhwa-ul Bayan). Sebagian pihak yang tidak mengimani bahwa peristiwa Isra Miraj dengan ruh dan jasad Nabi shallallahu alaihi wasallam berdalil dengan adanya salah satu riwayat dalam Shahih Muslim yangmenyebutkan tentang peristiwa Isra Miraj beliau, dan disebutkan di dalamnya: Dan beliau sedang tidur di Masjidil Haram. Kata mereka, riwayat ini menunjukkan bahwa beliau mengalami peristiwa ini dalam mimpi saja karena ketika itu beliau sedang tidur. Kalau kita mengkaji dengan seksama kitab Syarh (penjelasan) Shahih Muslim yang ditulis oleh Al-Hafizh An-Nawawi rahimahullah, maka kita akan jumpai keterangan beliau dengan menukil perkataan ulama sebelumnya tentang riwayat tersebut. Dan setelah dipelajari, maka kesimpulan dari yang disebutkan oleh beliau adalah di antaranya: 1. Riwayat tersebut telah diingkari oleh para ulama[4]. 2. Para rawi hadits ini dari kalangan huffazh mutqinin dan para imam yang terkenal tidak ada satu pun yang menyebutkan riwayat dengan lafazh di atas. 3. Bisa jadi tidurnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ketika itu adalah saat datangnya malaikat kepada beliau. Adapun setelah itu, beliau bangun dan kemudian mengalami peristiwa yangsangat menakjubkan tersebut. Konteks hadits yang menyebutkan kisah ini tidak menunjukkan bahwa beliau ketika itu sedang tidur. 4. Yang benar adalah bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam mengalami peristiwa Isra dengan jasad beliau. Wallahu alam. Benarkah Isra Miraj pada 27 Rajab? Nantikan tulisan berikutnya, Insya Allah. [1] Maksudnya adalah ibu salah seorang di antara keduanya adalah bibi yang lain, demikian sebaliknya, yakni ibu Isa merupakan bibi Yahya, dan ibu Yahya adalah bibi Isa alaihimush shalatu wassalam. [2] Secara bahasa Sidratul Muntaha artinya pohon penghabisan. Ibnu Abbas dan para mufassirin menerangkan bahwa dinamakan pohon tersebut dengan Sidratul Muntaha karena pengetahuan malaikat berhenti sampai di tempat ini, tidak ada seorangpun yang sanggup mencapainya kecuali Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Disebutkan dari Abdullah bin Masud radhiyallahu anhu bahwa dinamakannya Sidratul Muntaha karena dia adalah tempat berhentinya segala sesuatu yang turun dari atasnya maupun yang naik dari arah bawahnya, berupa urusan Allah taala (wahyu dan ketetapan-Nya). Wallahu alam. (Syarh Shahih Muslim).

[3] Kata ruya sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan mimpi. Namun dalam ayat ini, ruya bermakna pemandangan di alam nyata, bukan di alam mimpi sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat dari Abdullah bin Abbas setelah ini. [4] Hal ini disebabkan karena kesalahan salah satu rawi dalam meriwayatkan hadits atau mungkin ada sebab lain wallahu alam.

Benarkah Isra Miraj pada 27 Rajab?


Saturday, 02 July 2011 09:41 | Sebagian besar kaum muslimin, terkhusus di negeri ini meyakini bahwa peristiwa Isra Miraj jatuh pada malam 27 Rajab. Biasanya mereka isi malam itu dengan qiyamullail kemudian puasa pada siang harinya. Berbagai perayaan pun diadakan untuk memperingati peristiwa yang menjadi salah satu mujizat Nabi shallallahu alaihi wasallam tersebut. Benarkah Isra dan Miraj ini terjadi pada malam 27 Rajab? Para ulama sejak dahulu sudah membahas dan menerangkan permasalahan ini dalam kitab-kitab mereka. Dan kesimpulan dari keterangan mereka adalah: Bahwa tidak ada satupun dalil yang shahih dan sharih (jelas) yang menunjukkan kapan waktu terjadinya Isra dan Miraj. Para sejarawan sendiri berbeda pendapat dalam menentukan kapan waktu terjadinya peristiwa itu. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menyatakan ada lebih dari sepuluh pendapat yang berbeda-beda dalam menentukan kapan waktu terjadinya Isra dan Miraj, di antaranya ada yang menyebutkan pada bulan Ramadhan, ada yang menyebutkan pada bulan Syawwal, bulan Rajab, Rabiul Awwal, Rabiul Akhir, dan berbagai pendapat yang lain. Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan: Diriwayatkan dengan sanad yang tidak shahih dari AlQasim bin Muhammad bahwa Isra Nabi shallallahu alaihi wasallam terjadi pada 27 Rajab. Riwayat ini diingkari oleh Ibrahim Al-Harbi dan para ulama yang lain. Al-Allamah Abu Syamah rahimahullah dalam kitabnya, Al-Baits ala Inkaril Bida wal Hawaditsmenyebutkan bahwa terjadinya Isra bukan pada bulan Rajab. Kemudian beliau juga mengatakan: Sebagian tukang kisah menyebutkan bahwa Isra dan Miraj terjadi pada bulan Rajab, perkataan seperti ini menurut ulama ahlul jarh wat tadil adalah sebuah kedustaan yang nyata. Semakna dengan yang dikatakan oleh Abu Syamah di atas adalah keterangan Ibnu Dihyah, sebagaimana yang dinukilkan oleh Ibnu Hajar rahimahumullahu jamian. Sekarang, mari kita menengok bagaimana penjelasan Al-Hafizh An-Nawawi rahimahullah seorang ulama besar madzhab Syafii dan sering dijadikan rujukan oleh kaum muslimin termasuk di Indonesia- terkait permasalahan ini. Dalam kitabnya, Syarh Shahih Muslim, beliau berkata: Peristiwa Isra ini, sebagian kecil berpendapat itu terjadi 15 bulan setelah diutusnya beliau shallallahu alaihi wasallam. Al-Harbi mengatakan bahwa itu terjadi pada malam 27 bulan Rabiul Akhir, satu tahun sebelum hijrah. Az-Zuhri mengatakan bahwa itu terjadi 5 tahun setelah diutusnya beliau shallallahu alaihi wasallam. Ibnu Ishaq mengatakan bahwa Nabi Written by Administrator |

mengalami peristiwa Isra ketika agama Islam sudah tersebar di kota Makkah dan beberapa qabilah. Beliau tidak memastikan bahwa Isra dan Miraj terjadi pada malam 27 Rajab, beliau hanya sebatas menukilkan pendapat sebagian ulama sebagaimana telah disebutkan. Sebagian ulama memperkirakan bahwa peristiwa Isra dan Miraj ini terjadi tiga atau lima tahun sebelum hijrah. Karena setelah mendapatkan wahyu perintah untuk mendirikan shalat lima waktu pada peristiwa tersebut, beliau shallallahu alaihi wasallam masih sempat menunaikannya beberapa waktu bersama Khadijah radhiyallahu anha, istri beliau. Dan tidak diperselisihkan bahwa Khadijah radhiyallahu anha meninggal tiga atau lima tahun sebelum hijrah. Wallahu alam. Berdasarkan keterangan para ulama di atas, maka kita tidak boleh menetapkan, memastikan, ataupun meyakini bahwa peristiwa Isra Miraj terjadi pada malam 27 Rajab. Hanya Allah subhanahu wataalasajalah yang mengetahui kapan peristiwa tersebut terjadi, kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai hamba-Nya yang menjalaninya. Sementara kita tidak mendapatkan satupun ayat al-Quran maupun hadits yang memberitakan kapan peristiwa tersebut terjadi. Sumber: http://www.assalafy.org/mahad/?p=593 atau http://www.mediasalaf.com/aqidah/benarkah-isra%E2%80%99-mi%E2%80%99raj-pada27-rajab/ ***

Hukum Merayakan Peringatan Isra Miraj


Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam adalah seorang al-amin (yang terpercaya) dan memiliki sifat amanah. Dengan sifat inilah, beliau telah menyampaikan seluruh risalah dan syariat Allahsubhanahu wataala kepada umat ini dengan lengkap dan sempurna. Tidak ada satu kebaikan pun, kecuali pasti telah beliau ajarkan kepada umatnya. Dan tidak ada satu kejelekan pun, kecuali pasti telah beliau peringatkan dan beliau larang umatnya untuk mengerjakannya.

Kalau seandainya peringatan Isra Miraj itu bagian dari risalah dan syariat Allah subhanahu wataala, pasti beliau telah ajarkan kepada umatnya. Kalau seandainya peringatan Isra Miraj ini amalan yang baik, maka Nabi shallallahu alaihi wasallam beserta para shahabatnya adalah orang-orang pertama yang mengadakan acara tersebut. Demikian pula para ulama generasi berikutnya yang mengikuti dan meneladani mereka, semuanya akan mengadakan perayaan-perayaan khusus untuk memperingati Isra Miraj Nabi Besar Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Sehingga acara peringatan Isra Miraj, dalam bentuk apapun acara tersebut dikemas, merupakan amalan bidah, sebuah kemungkaran, dan perbuatan maksiat karena: 1. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sendiri tidak pernah merayakannya atau memerintahkan kepada umatnya untuk merayakannya. Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang bukan termasuk urusan (syariat) kami, maka amalan tersebut tertolak. (HR. Muslim) 2. Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali, dan seluruh shahabat radhiyallahu anhum tidak pernah pula merayakannya. Demikian pula para tabiin, seperti Said bin Al-Musayyib, Hasan AlBashri, dan yang lainnya rahimahumullah. 3. Para ulama yang datang setelah mereka, baik itu imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafii, Ahmad), Al-Bukhari, Muslim, An-Nawawi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Katsir, Ibnul Qayyim, Ibnu Hajar Al-Asqalani, dan yang lainnya rahimahumullah, hingga para ulama zaman sekarang ini. Mereka semua tidak pernah merayakannya, apalagi menganjurkan dan mengajak kaum muslimin untuk mengadakan peringatan itu. Tidak didapati satu kalimat pun dalam kitab-kitab mereka yang menunjukkan disyariatkannya peringatan Isra Miraj. 4. Kenyataan yang terjadi jika perayaan ini benar-benar diadakan, yaitu munculnya berbagai kemungkaran, di antaranya: a. Terjadinya ikhtilath, yaitu bercampurbaurnya antara laki-laki dan perempuan. b. Dilantunkannya shalawat-shalawat yang bidah dan bahkan sebagiannya mengandung kesyirikan. c. d. Didendangkannya lagu-lagu dan alat musik yang jelas haram hukumnya. Mengganggu kaum muslimin. Di antara bentuk gangguan itu adalah:

o Terhalanginya pemakai jalan atau minimalnya mereka kesulitan ketika hendak melewati jalan di sekitar lokasi acara, karena banyaknya orang di sana. o Suara musik dan lagu yang sangat keras pada acara terebut, juga mengganggu tetangga dan masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi acara. Orang yang telah lanjut usia, orang sakit, maupun bayi-bayi dan anak-anak kecil yang semestinya membutuhkan ketenangan, mereka terganggu dengan adanya suara musik yang sangat keras tadi. Tidak semestinya beberapa gangguan tadi dianggap sepele dan ringan. Kecil maupun besar, setiap perbuatan yang bisa mengganggu dan menyakiti kaum muslimin, maka pelakunya terkenai ancaman:

Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (Al-Ahzab: 58) Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Tidak akan masuk al-jannah orang yang tetangganya merasa tidak aman dari gangguannya. (HR. Muslim) e. Tidak sedikit kaum muslimin yang melalaikan shalat berjamaah di masjid, bahkan yang lebih parah kalau sampai meninggalkan shalat fardhu. Ketika acara dimulai bada shalat Isya misalnya, sejak sore banyak yang sudah stand by di tempat acara. Mulai dari penjual-penjual dengan aneka barang dagangannya, pengunjung acara, sampai panitia acara pun, mereka lebih memilih berada di pos-pos mereka daripada masjid ketika dikumandangkannya adzan maghrib dan isya. Wal iyadzubillah. Semestinya umat ini dibimbing untuk kembali kepada agamanya. Mereka sangat antusias menyambut dan menghadiri acara peringatan Isra Miraj, namun mereka belum memahami hikmah dan pelajaran yang terkandung di dalamnya. Sebuah peristiwa dan mujizat besar yang saat itulah kewajiban shalat lima waktu ini diberlakukan kepada umat Islam. Suatu musibah jika salah satu rukun Islam ini dilalaikan hanya karena ingin menyukseskan acara yang sudah pasti menelan biaya yang tidak sedikit tersebut. Kalau masih ada yang beranggapan bahwa perayaan untuk memperingati Isra Miraj itu adalah baik, maka katakan sebagaimana kata Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah: : - } { Barangsiapa yang mengadaka-adakan kebidahan dalam agama Islam ini, dan dia memandang itu baik, maka sungguh dia telah menyatakan bahwa Muhammad shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam telah berkhianat dalam menyampaikan risalah, karena Allah telah berfirman: (Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian), maka segala sesuatu yang pada hari (ketika ayat ini diturunkan) itu bukan bagian dari agama, maka pada hari ini pun juga bukan bagian dari agama. Kita memohon kepada Allah subhanahu wataala hidayah untuk senantiasa berpegang teguh dengan Kitab-Nya dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu alaihi wasallam, sampai akhir hayat nanti. Amin Ya Rabbal Alamin.

Meraih Kebahagiaan Hidup


Tuesday, 28 June 2011 02:14 | Written by Administrator |

Para pembaca yang berbahagia, tidak diragukan lagi bahwa setiap insan pasti mendambakan (pada dirinya) kebahagiaan hidup atau kehidupan yang baik. Namun pandangan masing-masing orang tentang kebahagiaan hidup itu berbeda-beda. Sebagian orang ada yang memandang bahwa ukuran kebahagiaan adalah keberhasilan dalam meraih dunia dengan segala kelezatan hidupnya. Padahal tidaklah demikian hakikatnya. Allah Subhanallahu wa Taala berfirman (artinya): Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). [Ali Imran: 14] Allah Subhanallahu wa Taala berfirman (artinya): Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. Mereka bergembira dengan kehidupan dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit). [Ar-Rad: 26] Inilah segolongan manusia yang sempit akal dan pandangannya. Mereka merasa heran dan kagum dengan kehidupan dunia dan mencukupkan semangat dirinya terhadap kehidupan dunia. Keadaan mereka yang seperti ini disebabkan oleh: 1. Tidak ada pada dirinya keimanan kepada akhirat.

2. Atau beriman kepada akhirat namun tersibukkan dirinya dengan urusan dunia. Sehingga kehidupannya adalah kehidupan yang rugi dan celaka, walaupun ia diberikan kemudahan oleh Allah Subhanallahu wa Taala untuk meraih harta, perhiasan dan berbagai kelezatan dunia, namun hakikatnya dia sedang mengalami istidraj (keleluasaan) dari Allah Subhanallahu wa Taala. Kemudian ia akan mengalami kerugian yang abadi. Sebagaimana firman Allah Subhanallahu wa Taala (artinya): Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anakanak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir. [At-Taubah:

55] Sebagian ulama ahli tafsir mengatakan tentang ayat di atas: Janganlah kamu tertipu terhadap harta benda dan anak-anak (yang Allah berikan kepada) orang kafir di kehidupan dunia, hanya saja Allah menghendaki yang demikian, agar Dia mengadzab mereka di akhirat kelak. Inilah yang dinamakan dengan istidraj. Allah Subhanallahu wa Taala berfirman (artinya): Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa) Kami bersegera memberikan kebaikankebaikan kepada mereka? tidak, sebenarnya mereka tidak sadar. [Al Muminun: 55-56] Allah Subhanallahu wa Taala memberikan dunia kepada siapa saja yang Allah cintai dan yang tidak Allah cintai. Namun, tidaklah Allah memberikan agama ini, kecuali kepada siapa yang Allah Subhanallahu wa Taala cintai. Sebesar apapun seseorang diberikan kekayaan dunia, niscaya lambat laun ia yang akan meninggalkan dunia atau dunia yang akan meninggalkannya. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan antara kamu serta berbangga-banggaan dengan banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. [Al Hadid: 20] Mencari dunia terkait dengan kebutuhan hidup adalah sesuatu yang mulia jika dilakukan dalam rangka membantunya untuk taat kepada Allah. Karena dunia adalah ladang beramal untuk kehidupan di akhirat. Hanya saja, sikap yang tercela adalah menjadikan semangatnya yang tinggi untuk meraih dunia. Sehingga tidaklah ia mengarahkan pandangannya kecuali kepada dunia. Tidak peduli darimana ia mendapatkan harta dengan cara yang halal ataukah haram? Dialah sahabat dunia, yang telah menjadikan dunia sebagai tujuan utama dan semangat yang tinggi untuk mendapatkannya, dengan persangkaan bahwa dengannya akan tercapai kebahagiaan hidup. Adapula yang memandang bahwa kebahagiaan hidup hanya bisa diraih dengan iman dan amal shalih dengan tetap mencari apa yang dibutuhkan dalam kehidupan dunia ini. Mereka mengatakan dalam doanya: Wahai Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan akhirat dan lindungilah kami dari adzab neraka. Mereka menggabungkan dalam doa mereka agar Allah memberikan kepada mereka kebaikan di dunia dan akhirat. Merekalah orang-orang yang akan mendapatkan kebahagiaan hidup. Allah Subhanallahu wa Taala berfirman (artinya):

Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. [An Nahl: 97] Barangsiapa yang beramal shalih baik dari kalangan laki-laki atau perempuan dalam keadaan iman, maka Allah akan memberikan kepadanya kebahagiaaan hidup. Di dunia ia merasakan kebahagiaan hidup diatas iman, hatinya tenang, lapang dan senang. Mereka hidup dalam keadaan berzikir kepada Allah, merasakan kenikmatan dalam beribadah kepada Allah Subhanallahu wa Taala. Kemudian di akhirat, Allah Subhanallahu wa Taala akan memasukkan mereka ke dalam surga dan merasakan kelezatan di dalamnya, merasakan kenikmatan abadi yang tidak akan pernah terputus selama-lamanya. Tidak merasakan di dalamnya rasa sakit, takut kepada musuh, tidak ada perasaan gelisah yang menghantuinya, tidak ada dalam hatinya penyakit-penyakit hati, tidak akan pernah merasakan kematian dan sebagainya. Demikianlah ahlul jannah (penduduk surga), mereka merasakan kebahagiaan hidup yang hakiki. Ibnu Taimiyah berkata: Kebaikan, kebahagiaan, kesempurnaan, dan kedamaian, akan tercapai dengan dua hal: ilmu yang bermanfaat, dan amalan shalih. (Majmu Al-Fatawa, 19/169) Apabila engkau ingin merasakan kebahagiaan hidup, maka wajib bagimu untuk beramal shalih selama hidupmu. Carilah dunia yang akan membantumu untuk memperoleh akhirat. Carilah dunia secukupnya sekedar membantumu taat kepada Allah Subhanallahu wa Taala. Tips Meraih Ketenangan Hati Melihat realita yang ada, beberapa orang yang notabene merupakan orangorang yang terbilang sukses dalam dunianya dan memiliki kedudukan di mata publik, mereka menjadi pasien rohani di beberapa pondok pesantren. Kerasnya roda kehidupan dan jauhnya diri dari norma Islam yang benar, telah membuat hati mereka kering, sesak, risau, dan selalu didera rasa takut. Mereka tidak merasakan ketenangan hati dan seakan seperti terkucilkan dari pergaulan, sehingga membuat mereka stress, dan bahkan sampai membawa kepada perbuatan yang dilarang oleh agama yaitu bunuh diri. Demikianlah, wahai pembaca, kenyataan yang cukup memilukan. Oleh karena itu, sebagai bentuk kepedulian terhadap saudara-saudara kita yang mengalami musibah ini, kami nukilkan disini beberapa tips yang sangat mudah untuk diamalkan dalam meraih ketenangan hati. Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sadi menjelaskan dalam kitabnya Al-Wasa`il Al-Mufidah lil Hayat As-Saidah:

Sesungguhnya kelapangan, ketenangan dan kegembiraan hati serta jauhnya hati dari perasaan sedih serta gundah gulana merupakan diantara sebab yang akan mengantarkan seseorang untuk meraih kebahagian hidup. Sedangkan sebab terbesar untuk meraih kebahagiaan hidup adalah keimanan dan amalan shalih. Allah Subhanallahu wa Taala berfirman (artinya): Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. [An Nahl: 97] (Lihat Al-Wasa`il Al-Mufidah lil Hayat AsSaidah, hal. 4) Allah Subhanallahu wa Taala telah memberikan kabar gembira dan janji mulia kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih berupa kebahagiaan hidup. Di dunia berupa ketenangan hati dan ketentraman jiwa serta anugerah dalam bentuk rezeki yang halal dari arah yang tidak disangka-sangka. Di akhirat dia akan mendapatkan kenikmatan yang belum pernah terlihat oleh mata, dan belum pernah terdengar oleh telinga serta belum pernah terbetik dalam hati seorang hamba, yaitu kenikmatan surga. Dua hal pokok yaitu iman dan amalan shalih merupakan sebab terbesar untuk meraih kebahagiaan hidup. Karena seorang yang beriman kepada Allah dengan keimanan yang benar, akan membuahkan amalan yang shalih, yang akan memperbaiki hati, akhlak, dan kehidupannya di dunia dan di akhirat. Beberapa hal yang perlu diamalkan dalam meraih ketenangan hati, disamping yang telah disebutkan di atas, adalah: 1. Memperbanyak dzikir kepada Allah.

2. Menyebut-nyebut kenikmatan yang Allah karuniakan dengan lisannya. 3. Mengambil pelajaran dari kondisi orang yang di bawahnya dalam hal kenikmatan. 4. Berbuat baik kepada sesama makhluk dengan ucapan, perbuatan dan segala macam kebaikan. 5. Berkonsentrasi dalam melakukan amalan yang dilakukan pada hari ini dan jangan terlalu memikirkan (risau) terhadap waktu yang akan datang

serta tidak boleh bersedih dari waktu yang telah berlalu. 6. Berusaha untuk menolak sebab-sebab yang mendatangkan kesedihan, gundah-gulana dan yang semacamnya dengan cara melupakan segala pengalaman pahit yang pernah terjadi. 7. Banyak berdoa kepada Allah agar diringankan segalal beban dunia dan diperbaiki segala urusan. 8. Menyandarkan hati hanya kepada Allah dan bertawakal kepada-Nya.

Untuk lebih rincinya, silakan membaca kitab Al-Wasail Al-Mufidah lil Hayat As-Saidah karya Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sadi. Wallahu Taala Alam.

Bahaya dari perbuatan Zalim


Friday, 17 June 2011 13:18 | Written by Administrator | Menjaga Hak Orang-orang yang Lemah
Penulis : Al-Ustadz Abu Muhammad Abdulmuthi, Lc

Allah Subhanahu wa Taala dengan hikmah-Nya telah menciptakan manusia berbeda-beda status sosialnya. Ada yang menjadi pemimpin dan ada yang dipimpin. Ada yang ditakdirkan kaya, ada pula yang miskin. Bahkan ada yang menjadi budak sahaya dan ada yang merdeka. Semuanya dijadikan sebagai ujian bagi hamba-Nya. Sebagaimana firman-Nya:


Dan Kami jadikan sebagian kamu cobaan bagi sebagian yang lain, maukah kamu bersabar? Dan adalah Rabb kalian Maha Melihat. (Al-Furqan: 20) Juga firman-Nya:


Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Rabbmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. (Az-Zukhruf: 32) Manusia sebagai makhluk sosial tentunya tidak bisa lepas dari ketergantungan dengan orang lain. Orang kaya tidak akan terpenuhi kebutuhannya dengan baik tanpa bantuan orang miskin. Pemerintah tidak akan bisa mewujudkan berbagai program secara sempurna bila tidak mendapat dukungan dari rakyat. Oleh karenanya, jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, antara pemerintah dengan rakyatnya, sudah semestinya dikubur. Dengan ini akan terwujud kehidupan yang dinamis, di mana masing-masing tahu peranannya agar tercapai kemaslahatan bersama. Kemuliaan dengan Ketakwaan Bila kita mau melihat masyarakat yang dipimpin oleh Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, yaitu para sahabat, maka kita dapatkan mereka berasal dari negeri yang berbeda-beda dan status sosial yang tidak sama. Ada yang dari Persia, Romawi, Habasyah, dan orang-orang Arab. Ada yang dari keluarga terpandang seperti dari kabilah Quraisy, ada pula yang dari budak sahaya. Ada yang kaya-raya seperti Utsman bin Affan radhiyallahu anhu, ada pula yang miskin seperti Abu Hurairah radhiyallahu anhu. Keanekaragaman tidak menjadi soal manakala prinsip dalam beragama itu sama. Mereka berbaur satu sama lain untuk bersama-sama memperjuangkan agama Allah Subhanahu wa Taala. Kecintaan mereka terhadap saudara-saudaranya yang seiman melebihi kecintaan mereka terhadap karib kerabatnya yang tidak beriman. Bahkan mereka berlepas diri dan menyatakan kebencian kepada keluarganya yang kafir. Allah Subhanahu wa Taala berfirman:


Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kalian. (Al-Hujurat: 13) Timbangan kemuliaan di sisi Allah, Dzat Yang Mencipta, Mengatur alam semesta dan Yang berhak diibadahi adalah ketakwaan. Maka, barangsiapa yang bertakwa dengan mengerjakan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Taala dan menjauhi larangan-larangan-Nya, dialah yang mulia meskipun menurut pandangan sebagian manusia dia adalah orang yang rendah. Tatkala sahabat Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu anhu mencela seseorang karena ibunya bukan berasal dari bangsa Arab, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam marah kepada Abu Dzar radhiyallahu anhu dengan mengatakan:


Sesungguhnya engkau adalah seorang yang pada dirimu masih tersisa perangai jahiliah. (HR. AlBukhari no. 6050) Abu Dzar radhiyallahu anhu sadar akan kesalahannya, sehingga setelah itu dia sangat menjaga sampaisampai dia dan budaknya memakai pakaian yang sama. Orang yang tidak tahu tidak akan bisa membedakan mana tuannya dan mana budaknya. Ketakwaan telah mengangkat sahabat Bilal radhiyallahu anhu yang dahulunya budak sahaya sehingga menjadi salah satu muadzin Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Bahkan tatkala kota Makkah ditaklukkan pada tahun ke-8 hijriyah, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan Bilal untuk naik ke atas Kabah mengumandangkan adzan. Suatu hal yang mencengangkan para pembesar Quraisy kala itu. (Zadul Maad, 3/361) Jangan Menzalimi Orang yang Lemah Kezaliman dalam bentuk apapun dan terhadap siapapun adalah kejahatan yang pelakunya berhak mendapat hukuman di dunia ini sebelum di akhirat kelak. Sahabat Abu Bakrah radhiyallahu anhu meriwayatkan hadits Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, bahwa beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:


Tiada suatu dosa yang lebih pantas Allah Subhanahu wa Taala segerakan hukuman bagi pelakunya di dunia, di samping azab yang Allah sediakan untuknya di akhirat, daripada kezaliman dan memutuskan hubungan silaturahim. (HR. Ahmad, Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, dll, lihat Shahihul Jami no. 5704) Berbuat zalim kepada siapapun akan membawa petaka yang tiada hentinya. Terlebih bila yang dizalimi adalah orang-orang lemah, seperti wanita, anak-anak, budak sahaya, orang-orang miskin, rakyat jelata, dan semisalnya. Ketidakberdayaan mereka tidak bisa dianggap remeh, karena Islam telah menjamin hak mereka. Jangan sampai ada orang yang berpikir ingin menzalimi mereka. Karena Allah Dzat yang Maha Kuasa, Maha Kaya dan tak terkalahkan, akan membalaskan bagi mereka dan membinasakan orangorang yang berbuat aniaya. Kalau begitu, siapa gerangan yang mampu melawan Allah Subhanahu wa Taala?! Tiada seorang pun, meskipun dia orang yang kuat dan banyak tentaranya. Lihatlah kesudahan Firaun dan bala tentaranya yang menzalimi Bani Israil dengan membunuh anakanak yang tidak berdosa, memberlakukan kerja paksa dan setumpuk kezaliman lainnya. Allah Subhanahu wa Taala tenggelamkan Firaun dan tentaranya di lautan. Mana kerajaan yang penuh kemewahan?! Mana bala tentara yang banyak dan berlapis-lapis?! Semuanya sirna dan binasa. Semuanya kecil di hadapan Allah Dzat yang Maha Adil dan Maha Kaya lagi Maha Perkasa. Adakah kiranya orang yang mau mengambil pelajaran darinya?! Beberapa Sifat Orang Lemah 1. Orang-orang lemah pada umumnya lebih mau menerima kebenaran yang datang dari Allah Subhanahu wa Taala ketimbang orang yang kaya, kuat, dan berkuasa. Coba perhatikan firman Allah Subhanahu wa Taala:


Dan Kami tidak mengutus kepada suatu negeri seorang pemberi peringatan pun, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya. (Saba:34) 2. Orang yang lemah, karena keikhlasan dan doa mereka, maka pertolongan Allah Subhanahu wa Taala datang. Demikian pula rezeki dari-Nya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam:


Tidaklah kalian ditolong dan diberi rezeki kecuali dengan sebab orang yang lemah di antara kalian. (HR. Al-Bukhari) Oleh karena itu, orang-orang lemah dari kaum mukminin adalah sumber kebaikan bagi umat. Meski lemah fisik dan hartanya, namun mereka adalah orang yang kuat keimanan dan kepercayaannya kepada Allah Subhanahu wa Taala. Oleh sebab itu, bila mereka berdoa dengan tulus kepada Allah Subhanahu wa Taala, maka akan dikabulkan permintaannya. Allah Subhanahu wa Taala pun memberi rezeki kepada umat dengan sebab mereka. (lihat Bahjatun Nazhirin, 1/355) 3. Orang lemah dari kaum muslimin adalah mayoritas penghuni surga. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:


Aku berdiri di pintu surga, ternyata kebanyakan yang memasukinya adalah orang-orang miskin. (Muttafaqun alaih) Orang Lemah yang harus Diperhatikan Haknya Di antara orang-orang lemah yang harus diperhatikan haknya adalah sebagai berikut: 1. Anak yatim Yaitu anak yang ditinggal mati oleh ayahnya dan dia belum baligh. Di saat seorang anak sangat membutuhkan belaian kasih sayang orangtuanya, ternyata ia harus mengalami kenyataan yang pahit, bapaknya meninggalkannya untuk selamanya. Maka siapa saja yang siap menggantikan orangtuanya dengan memberikan belaian kasih sayang dan nafkah yang dibutuhkan, maka dia akan masuk surga, dekat dengan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:


Saya dengan orang yang mengurusi anak yatim di surga seperti keduanya ini. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengisyaratkan dengan jari telunjuknya dan jari tengahnya dengan merenggangkan di antara keduanya. (HR. Al-Bukhari) Demikian balasan mulia bagi orang yang menyantuni anak yatim. Namun sebaliknya, orang yang tidak menyayangi anak yatim dan menelantarkannya, atau bahkan memakan harta anak yatim, dia diancam dengan azab yang pedih. 2 & 3. Janda dan orang miskin Wanita yang ditinggal mati suaminya pada umumnya sangat membutuhkan uluran tangan. Bagaimana tidak? Kini orang yang biasa mencarikan nafkah untuknya telah tiada. Beban kehidupan semakin bertambah. Hal seperti ini tentunya mengetuk hati orang yang mempunyai kelebihan rezeki untuk menyisihkan sebagian harta untuknya. Demikian pula orang miskin yang tidak mempunyai sesuatu untuk mencukupi kebutuhan dirinya beserta anak dan istrinya. Orang miskin terkadang mempunyai pekerjaan dan penghasilan, namun hasilnya belum bisa mencukupi kebutuhan pokoknya. Suatu kondisi yang juga memprihatinkan, yang membutuhkan pemecahan sesegera mungkin. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:


Orang yang bekerja untuk (mencukupi) para janda dan orang miskin seperti seseorang yang berjuang di jalan Allah. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Untuk meraih predikat mujahid (pejuang) di jalan Allah Subhanahu wa Taala, tidak selalu dengan berperang di medan laga. Bahkan celah yang ada di tengah umat ini manakala seorang berusaha untuk menutupnya, tentunya itu merupakan sebuah perjuangan yang tidak ringan. Bila kita membiarkan para janda merana dan orang miskin terlunta, bukan tidak mungkin mereka akan dimurtadkan dari agama ini. 4. Anak Anak merupakan buah hati seorang dan penerus generasi di masa mendatang. Kiranya suatu kezaliman besar manakala seseorang tidak memenuhi hak mereka. Hak anak tidak hanya pada pemberian nafkah berupa makanan, pakaian, dan semisalnya. Bahkan ada hak yang seringkali diabaikan, yaitu hak pendidikan agama yang memadai. Tunaikanlah hak-hak anak. Berilah mereka kasih sayang yang cukup dan berlaku adillah kepada mereka. Ketika Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tahu ada seorang sahabat memberikan suatu pemberian kepada seorang anaknya namun anak yang lain tidak diberi, beliau Shallallahu alaihi wa sallam marah dan mengatakan:


Bertakwalah kalian kepada Allah dan berbuat adillah terhadap anak-anak kalian. (HR. Al-Bukhari dan Muslim) 5. Kaum wanita Ketika haji wada yang dihadiri oleh puluhan ribu manusia dari berbagai daerah, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah memberikan pesan terakhir sebelum wafatnya. Di antara pesan-pesan tersebut adalah keharusan untuk berbuat baik kepada kaum wanita. Para wanita dalam Islam memiliki posisi penting yang tidak bisa diabaikan. Mereka membantu laki-laki dalam tercapainya kemaslahatan duniawi dan ukhrawi. Maka, sudah barang tentu kita harus memberikan hak mereka tanpa menguranginya. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah berdoa:


Ya Allah, aku menimpakan dosa terhadap orang yang menyia-nyiakan hak dua orang yang lemah, yaitu anak yatim dan wanita. (An-Nawawi dalam kitabnya Riyadush Shalihin no. 275: Diriwayatkan oleh AnNasai t dengan isnad yang bagus.) Orang yang terbaik adalah yang terbaik terhadap istrinya dan orang yang jelek adalah yang berbuat jelek terhadap para wanita. Allah Subhanahu wa Taala telah memerintahkan untuk mempergauli wanita dengan baik sebagaimana firman-Nya:


Dan pergaulilah mereka dengan baik. (An-Nisa: 19) 6. Rakyat jelata Merupakan kewajiban pemerintah untuk memberikan hak-hak rakyat, dengan menebarkan perasaan aman dan nyaman, menjunjung tinggi keadilan, serta menindak orang-orang yang jahat. Kekuasaan merupakan amanah untuk mewujudkan kemaslahatan dalam perkara agama dan dunia. Sehingga manakala pemerintah menyia-nyiakan hak rakyatnya dan tidak peduli terhadap tugasnya, maka kesengsaraan dan azab telah menunggu mereka. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda:


Tiada seorang hamba yang diserahkan kepadanya kepemimpinan terhadap rakyat lalu dia mati di hari kematiannya dalam keadaan berkhianat kepada rakyatnya, kecuali Allah haramkan surga baginya. (Muttafaqun alaihi) Keadilan akan terwujud dengan menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan petunjuk Allah Subhanahu wa Taala dan Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam, serta meneladani kepemimpinan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya g. Dengan keadilan akan tegak urusan manusia dan akan tersebar di tengah-tengah mereka ruh kecintaan terhadap sesama. secara penuh tanpa terzalimi sedikitpun. Tinta sejarah telah mencatat keberhasilan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya g dalam memimpin manusia.

Salah satu contoh kepemimpinan ideal adalah apa yang disebutkan oleh Abu Bakr radhiyallahu anhu pada pidato politiknya yang singkat saat dibaiat sebagai khalifah: Wahai manusia, aku telah diangkat menjadi pemimpin kalian padahal aku bukan orang yang terbaik dari kalian. Oleh karena itu, bila kebijakanku nanti baik maka dukunglah aku. Namun jika melenceng maka tegur dan luruskan aku. Kejujuran adalah amanah dan kedustaan adalah pengkhianatan. Orang yang lemah (terzalimi) dari kalian di sisiku (yakni di mata pemerintah) adalah orang yang kuat sampai aku berikan haknya, insya Allah. Orang yang kuat (tapi zalim) di sisiku adalah orang yang lemah sehingga aku mengambil darinya hak orang yang terzalimi, insya Allah. Tiada suatu kaum yang meninggalkan jihad fi sabilillah melainkan Allah Subhanahu wa Taala akan menimpakan kehinaan kepada mereka. Tidaklah kekejian menyebar pada suatu kaum kecuali Allah k akan meratakan azab atas mereka. Taatilah aku selagi aku (kebijakanku) menaati Allah k dan Rasul-Nya. Namun bila aku menyelisihi Allah Subhanahu wa Taala dan Rasul-Nya maka kalian tidak wajib taat kepadaku (dalam kemaksiatan itu). (Al-Khulafa Ar-Rasyidun wad Daulah AlUmawiyyah, hal. 13) Demikianlah prinsip keadilan yang dijunjung tinggi oleh Abu Bakr radhiyallahu anhu. Tentunya hal itu bukan sekadar retorika namun benar-benar diwujudkan dengan usaha nyata. Demikian di antara hak-hak yang harus dijalankan. Semoga Allah Subhanahu wa Taala menunjuki masing-masing kita untuk mampu menjalankan hak-hak tersebut. Sehingga perasaan aman dan nyaman serta ruh kecintaan benar-benar menebar dalam kehidupan ini. Wallahu alam.

Taqwa Mendatangkan Hidayah, Dzalim Mendatangkan Kesesatan

Saturday, 08 January 2011 06:12 |

Written by Administrator |

Penulis : Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah


Terulang-ulang dalam Al-Quran dijadikannya amalan yang ada pada qalbu dan anggota badan sebagai sebab hidayah atau sebab kesesatan. Sehingga pada qalbu dan anggota badan ini terdapat amalan-amalan yang membuahkan datangnya petunjuk, layaknya hubungan sebab dan musababnya. Demikian pula kesesatan. Amal kebaikan membuahkan hidayah. Seiring bertambahnya amal kebaikan maka hidayah pun akan meningkat. Sementara amal kejahatan sebaliknya. Hal itu karena Allah Subhanahu wa Taala mencintai amal kebaikan sehingga memberikan balasan atasnya dengan hidayah dan keberuntungan, serta membenci amal kejahatan dan membalasinya dengan kesesatan dan kesengsaraan. Allah Subhanahu wa Taala mencintai kebaikan dan mencintai para pemeluknya sehingga mendekatkan qalbu mereka kepada-Nya seukuran kebaikan yang mereka lakukan. Allah Subhanahu wa Taala juga membenci kejahatan dan para pemeluknya sehingga menjauhkan qalbu mereka dari-Nya seukuran dengan kejahatan yang melekat pada dirinya. Yang mendasari prinsip ini di antaranya firman Allah Subhanahu wa Taala:
.

Alif Laam Miim. Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (Al-Baqarah: 1-2) Ayat ini mengandung dua hal: Pertama Bahwa Allah Subhanahu wa Taala memberikan petunjuk kepada orang yang menjauhi apa yang dibenci Allah Subhanahu wa Taala sebelum turunnya Al-Quran. Karena manusia dengan keragaman agama dan ajaran mereka, sesungguhnya telah menetap pada diri mereka bahwa Allah Subhanahu wa Taala membenci kezaliman, perbuatan-perbuatan keji, kerusakan di muka bumi, serta membenci pelakunya, dan mencintai keadilan, kebaikan, kedermawanan, kejujuran, perbaikan di muka bumi serta mencintai pelakunya. Sehingga ketika turun Al-Quran, Allah Subhanahu wa Taala memberikan pahala kepada para pemeluk kebaikan dengan memberikan taufik-Nya kepada mereka untuk beriman kepada Al-Quran sebagai balasan atas kebaikan dan ketaatan mereka. Dan Allah biarkan para pelaku kejahatan, kekejian, dan kezaliman sehingga terhalangi antara mereka dan petunjuk Al-Quran. Kedua Bahwa bila seorang hamba beriman kepada Al-Quran serta mendapat petunjuk darinya secara global dan menerima perintah-perintahnya serta membenarkan berita-beritanya, maka itu menjadi sebab hidayah yang lain yang ia dapatkan secara lebih rinci. Karena hidayah itu tidak ada habisnya sampai manapun seorang hamba dalam hidayah, di atas hidayahnya ada hidayah yang lain. Setiap kali seorang hamba bertakwa kepada Rabbnya maka dalam kadar itu hidayahnya meningkat kepada hidayah yang lain. Maka dia tetap berada pada tambahan hidayah selama berada pada takwa yang bertambah, dan setiap kali ia melewatkan bagian dari takwa maka akan terlewatkan pula hidayah yang seukuran dengannya. Sehingga setiap bertambah takwa bertambah hidayahnya dan setiap bertambah hidayahnya bertambah pula takwanya. Allah Subhanahu wa Taala berfirman:

Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus. (Al-Maidah: 15-16)

Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya). (Asy-Syura: 13)

Orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran. (Al-Ala: 10)

Tidak ada yang mengambil peringatan, kecuali orang-orang yang kembali. (Ghafir: 13)

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shalih, mereka diberi petunjuk oleh Rabb mereka karena keimanannya. (Yunus: 9) Allah Subhanahu wa Taala beri petunjuk mereka untuk beriman dahulu. Maka ketika mereka beriman, Allah Subhanahu wa Taala beri hidayah lagi untuk beriman lagi, hidayah setelah hidayah yang lain. Yang semacam ini adalah firman Allah Subhanahu wa Taala:

Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk. (Maryam: 76)

Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqan. (Al-Anfal: 29) Termasuk dari furqan (pembeda) adalah cahaya yang Allah Subhanahu wa Taala berikan, yang dengannya mereka dapat membedakan antara kebenaran dan kebatilan. Termasuk furqan juga adalah kemenangan dan kemuliaan yang dengannya mereka dapat menegakkan kebenaran serta menghancurkan kebatilan. Allah Subhanahu wa Taala berfirman:

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap hamba yang kembali (kepada-Nya). (Saba: 9)

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi setiap orang yang sabar lagi bersyukur. (Saba: 19) Ayat itu terdapat dalam surat Luqman, Ibrahim, Saba, dan Asy-Syura. Allah Subhanahu wa Taala beritakan tentang ayat-ayat-Nya yang dapat disaksikan bahwa itu hanya bermanfaat untuk orang yang sabar dan bersyukur, sebagaimana Allah Subhanahu wa Taala beritakan bahwa ayatayat imaniah Quraniah hanya bermanfaat untuk orang yang bertakwa, takut, dan selalu bertaubat, serta orang yang tujuannya adalah mengikuti keridhaan-Nya. Dan bahwa yang dapat mengingatnya adalah yang takut kepada-Nya:

. .

Thaha. Kami tidak menurunkan Al-Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah; tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah). (Thaha: 1-3) Dan Allah Subhanahu wa Taala berfirman tentang hari kiamat:

Kamu hanyalah pemberi peringatan bagi siapa yang takut kepadanya (hari berbangkit). (An-Naziat: 45) Adapun orang yang tidak beriman dengan adanya kiamat, tidak mengharapnya, dan tidak takut kepadanya, maka tidak akan bermanfaat untuknya ayat kauniyah maupun ayat Quraniah. Oleh karenanya, tatkala Allah Subhanahu wa Taala menyebutkan dalam surat Hud tentang hukuman atas umat-umat yang mendustakan para rasul dan apa yang menimpa mereka di dunia berupa kehinaan, setelahnya Allah Subhanahu wa Taala mengatakan:

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang takut kepada azab akhirat. (Hud: 103) Allah Subhanahu wa Taala beritakan bahwa pada hukuman Allah Subhanahu wa Taala terhadap para pendusta ada ibrah bagi orang yang takut terhadap azab akhirat. Adapun orang yang tidak beriman terhadap adanya siksa dan tidak takut darinya maka hal itu tidak akan menjadi ibrah baginya. Bila mendengar tentangnya, ia akan mengatakan: masih saja di alam semesta ini ada kebaikan, kejelekan, kenikmatan, kemiskinan, kebahagiaan, dan kesengsaraan (yakni hal yang biasa). Bahkan terkadang menyandarkan kejadian-kejadian itu sebagai peristiwa alam semata. Sabar dan syukur itu menjadi sebab seseorang bisa mendapat manfaat dari ayat-ayat. Karena iman itu terbangun di atas sabar dan syukur. Setengahnya sabar dan setengah yang lain syukur. Seukuran sabar dan syukurnya, muncul kekuatan imannya. Yang dapat mengambil manfaat dari ayat-ayat Allah Subhanahu wa Taala hanyalah yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Taala dan ayat-ayat-Nya. Dan imannya tidak akan sempurna kecuali dengan sabar dan syukur. Puncak syukur adalah tauhid, sedangkan puncak sabar adalah tidak menuruti hawa nafsu. Sehingga jika seseorang itu musyrik dan mengikuti hawa nafsu berarti dia tidak bersabar dan tidak bersyukur. Walhasil, ayat-ayat tidak akan bermanfaat baginya dan tidak akan berpengaruh dalam menumbuhkan iman kepadanya. Adapun masalah berikutnya yaitu bahwa kejahatan, kesombongan, kedustaan, itu mengakibatkan kesesatan, maka keterangan semacam ini juga banyak dalam Al-Quran. Semacam firman Allah Subhanahu wa Taala:
.

Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik, (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi. (Al-Baqarah: 26-27)

Dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan berbuat apa yang Dia kehendaki. (Ibrahim: 27)

Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri? (An-Nisa: 88)

Dan mereka berkata: Hati kami tertutup. Tetapi sebenarnya Allah telah mengutuk mereka karena keingkaran mereka; maka sedikit sekali mereka yang beriman. (AlBaqarah: 88)

Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al-Quran) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat. (Al-Anam: 110) Allah Subhanahu wa Taala beritakan bahwa Dia menghukum mereka karena mereka menyingkir dari iman ketika iman datang kepada mereka, dalam keadaan mereka mengetahuinya namun justru berpaling darinya. Allah Subhanahu wa Taala menghukum mereka dengan membalikkan qalbu dan pandangan mereka serta menghalangi antara mereka dan iman, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Taala:

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya. (Al-Anfal: 24) Allah Subhanahu wa Taala memerintahkan mereka untuk menyambut Allah Subhanahu wa Taala dan Rasul-nya ketika menyeru mereka kepada sesuatu yang menghidupkan qalbu dan arwah mereka. Kemudian Allah Subhanahu wa Taala memperingatkan mereka dari keengganan mereka untuk menyambut, yang mana hal itu menjadi sebab munculnya penghalang antara mereka dengan iman. Allah Subhanahu wa Taala berfirman:

Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka; dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang fasik. (Ash-Shaff: 5)

Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka. (Al-Muthaffifin:14) Allah Subhanahu wa Taala kabarkan bahwa perbuatan mereka menyebabkan tertutupnya qalbu mereka dan menghalangi antara mereka dengan iman kepada ayat-ayat Allah Subhanahu wa Taala, sehingga merekapun menyebut ayat Allah Subhanahu wa Taala hanya sebagai ceritacerita orang dahulu. Allah Subhanahu wa Taala juga berfirman tentang orang munafik:

Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. (At-Taubah: 67) Allah Subhanahu wa Taala memberikan balasan kepada mereka karena mereka melupakan Allah Subhanahu wa Taala sehingga Allah Subhanahu wa Taala melupakan mereka dan

membiarkan mereka tidak mendapat petunjuk dan rahmat. Allah Subhanahu wa Taala pun memberitakan bahwa Dia membuat mereka lupa sehingga mereka tidak mencari sesuatu untuk menyempurnakan diri mereka dengan ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih. Keduanya adalah petunjuk dan agama yang benar. Sehingga Allah Subhanahu wa Taala membuat mereka lupa untuk mencari hal itu, untuk mencintainya, mengetahuinya, bersemangat untuk mendapatkannya, sebagai hukuman karena mereka melupakan Allah Subhanahu wa Taala. Allah Subhanahu wa Taala berfirman tentang mereka:
.

Mereka itulah orang-orang yang dikunci mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka. Dan orang-orang yang mendapat petunjuk Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketakwaannya. (Muhammad: 16-17) Allah Subhanahu wa Taala memadukan untuk mereka antara mengikuti hawa nafsu dan kesesatan, yang kesesatan itu sesungguhnya adalah buah dan akibatnya, sebagaimana Allah Subhanahu wa Taala memadukan dalam diri orang-orang yang mendapat hidayah antara ketakwaan dan hidayah. (diterjemahkan dan diringkas dari kitab Al-Fawaid karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah hal. 145-149, oleh Qomar Suaidi

SABAR MENGHADAPI UJIAN HIDUP


Saturday, 08 January 2011 22:30 | Written by Administrator | Penulis : Al Ustadz Abu Abdirrahman Abdul Aziz As Salafy Sesungguhnya ujian dan cobaan yang datang bertubi-tubi menerpa hidup manusia merupakan satu ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla. Tidak satu pun diantara kita yang mampu menghalau ketentuan tersebut. Keimanan, keyakinan, tawakkal dan kesabaran yang kokoh amatlah dibutuhkan oleh seorang hamba dalam menghadapi badai cobaan yang menerpanya. Sehingga tidak menjadikan dirinya berburuk sangka kepada Allah Subhanahu wataala terhadap apa yang telah ditentukan baginya. Oleh karena itu, dalam keadaan apapun seorang hamba yang beriman kepada-Nya harus senantiasa berbaik sangka kepada Allah. Dan haruslah diyakini bahwa tidaklah Allah menurunkan berbagai musibah melainkan sebagai batu ujian atas keimanan yang mereka miliki. Allah Taala berfirman :

(214)

Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk ke dalam surga, padahal belum datang kepada kalian (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kalian? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam goncangan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang bersamanya : Bilakah datang pertolongan Allah? Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah amatlah dekat.(Al Baqarah : 214) Kesabaran merupakan perkara yang amat dicintai oleh Allah dan sangat dibutuhkan seorang muslim dalam menghadapi ujian dan cobaan yang dialaminya. Sebagaimna dalam firman-Nya :

(146) .
Allah mencintai orang-orang yang sabar. (Ali Imran : 146)

Selama roda kehidupan terus berputar, seorang takkan pernah luput dari menuai ujian dan cobaan. Dengan berbagai musibah yang datang silih berganti ini, hendaknya seorang introspeksi diri dan semakin mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wataala. Bukan mengambil jalan pintas dengan mengklaim ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan-Nya. Karena tidak ada yang bisa memberikan solusi terbaik dari berbagai ujian dan cobaan hidup melainkan hanya Allah Azza wa Jalla. Rasulullah shallallahualaihi wasallam menggambarkan kriteria seorang mukmin dalam menyikapi ketentuan Allah Subhanahu wataala, beliau bersabda :
, ".

Sungguh mengagumkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya seluruh perkaranya adalah baik baginya. Dan tidaklah didapatkan pada seorang pun hal tersebut melainkan pada diri seorang mukmin : Jika dia merasakan kesenangan maka dia bersyukur. Dan itu lebih baik baginya. Jika kesusahan menerpanya, maka dia bersabar. Dan itu lebih baik baginya.(Riwayat Muslim) Asy Syeikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah, beliau menerangkan tentang hadits di atas : (Sungguh mengagumkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya seluruh perkaranya adalah baik baginya),maksudnya : Sesungguhnya Rasul alaihis sholatu wassalam menampakkan kekaguman beliau dengan pandangan kebaikan(terhadap perkara seorang mukmin),maksudnya : terhadap urusannya. Maka sesungguhnya seluruh urusan itu (dianggap) baik baginya dan tidak terdapat hal tersebut kecuali pada diri seorang mukmin. Kemudian Rasul alaihisholatu wassalam memberikan rincian tentang perkara kebaikan tersebut dengan sabdanya : (Jika dia merasakan kesenangan maka dia bersyukur. Dan itu lebih baik baginya. Jika kesusahan menerpanya, maka dia bersabar. Dan itu lebih baik baginya).Be liau (Asy Syeikh Al Utsaimin) berkata : Ini adalah keadaan seorang mukmin. Setiap manusia berada dalam ketentuan-ketentuan Allah, baik berupa kesenangan maupun kesusahan. Dan Manusia dalam menyikapi ujian dan cobaan ini terbagi menjadi dua golongan : mukmin dan non mukmin (kafir). Adapun golongan Mukmin ; menganggap baik segala ketentuan Allah baginya. Jika kesusahan itu menimpanya, maka dia bersabar atas ketentuan-ketentuan Allah dan senantiasa menanti pertolongan-Nya serta mengharapkan pahala Allah. Semua itu merupakan perkara yang baik baginya dan dia memperoleh ganjaran kebaikan selaku orang-orang yang bersabar. Jika kesenangan itu mendatanginya, baik berupa kenikmatan agama ; seperti ilmu, amalan sholih dan kenikmatan dunia ; seperti harta, anak-anak dan keluarga, maka dia bersyukur lagi menjalankan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla. Oleh karena itu, seorang mukmin memperoleh dua kenikmatan, yaitu : kenikmatan agama dan dunia. Kenikmatan dunia diperoleh dengan kesenangan dan kenikmatan agama diperoleh dengan bersyukur. Maka inilah kondisi seorang mukmin. Adapun golongan non mukmin ; (Sungguh) berada dalam kejelekan, waliyyadzubillah. Jika kesusahan itu menimpanya, maka dia tidak sabar, berkeluh kesah, mencemooh, mengutuk, mencerca masa (waktu) bahkan mencela Allah Azza wa Jalla. Jika kesenangan menghampirinya, dia tidak bersyukur kepada Allah. Maka kesenangan ini akan menjadi balasan siksaan di akhirat.

Maka kondisi orang kafir tetap jelek, baik mendapatkan kesusahan maupun kesenangan. Berbeda halnya dengan orang mukmin yang senantiasa dalam kebaikan dan kenikmatan. Ada beberapa faedah (yang bisa kita ambil) dari hadits ini : 1.Adanya dorongan (untuk tetap kokoh) diatas keimanan. Dan seorang mukmin senantiasa dalam kebaikan dan kenikmatan. 2.Adanya dorongan untuk sabar atas kesusahan yang menimpa. Karena (sabar) merupakan perangai keimanan. Apabila anda sabar dalam menghadapi kesusahan dan diiringi dengan menanti (pertolongan) Allah agar dibebaskan dari (kesusahan tersebut). Kemudian mengharap pahala Allah Subhanahu wataala, maka hal tersebut merupakan tanda keimanan. 3.Adanya dorongan untuk bersyukur tatkala (memperoleh) kesenangan. Jika seorang bersyukur kepada Rabbnya atas nikmat yang diperoleh. Maka ini adalah taufiq dari Allah dan termasuk salah satu sebab bertambahnya kenikmatan, Sebagaimana Allah berfirman :

(7)

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan : Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih. (Ibrahim : 7). Jika Allah memberi taufiq kepada seorang hamba untuk bersyukur kepadanya, maka ini adalah suatu nikmat yang patut untuk disyukuri untuk kedua kalinya. Dan apabila dia diberi taufik lagi, maka itu adalah suatu nikmat yang patut disyukuri untuk ketiga kalinya. Demikian seterusnya. Sedikit sekali manusia yang mensyukuri nikmat-Nya. Oleh karena itu, jika Allah menganugerahkan kepada anda rasa syukur dan memberikan pertolongan padanya, maka ini adalah nikmat. Oleh karena itu, disebutkan dalam sebuah syair : Jika rasa syukur terhadap nikmat Allah itu adalah sebuah nikmat Maka yang semisalnya (nikmat tersebut) wajib pula disyukuri Tidak akan sampai rasa syukur itu melainkan dengan keutamaan-Nya Walaupun hari-hari (masanya) panjang dan umur pun (masih) menyertai (Syarah Riyadhus Sholihin hal 95-96 cet Darul Aqidah) Alangkah indahnya perangai seorang mukmin ketika menghadapi ketentuan-ketentuan yang berlaku padanya. Jika ujian itu datang berupa nikmat, maka dia mensyukurinya. Dan jika ujian itu datang berupa kesulitan, kesusahan, kemiskinan, kelaparan, musibah dan sebagainya, maka dia bersabar dengannya. Dua perangai tersebut, yaitu syukur dan sabar merupakan amalan yang agung, bahkan keduanya termasuk dalam perangai keimanan. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian Salaf :Iman itu dua bagian, bagian pertama adalah sabar dan bagian kedua adalah syukur.Dan mereka menyandarkan perkataan tersebut dengan firman Allah Azza wa Jalla :

(5) .
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur. (Ibrahim : 5)

Macam-Macam Kesabaran Ibnul Qoyyim rohimahullah mengatakan dalam Madarijus Salikin : Sabar adalah menahan jiwa dari keluh kesah dan marah, menahan lisan dari mengeluh serta menahan anggota badan dari berbuat tasywisy (tidak lurus). Sabar ada tiga macam : Sabar dalam berbuat ketaatan kepada Allah, sabar dari maksiat, dan sabar dari cobaan Allah. Oleh karena itu sabar dibagi menjadi tiga tingkatan : 1. Sabar dari meninggalkan kemaksiatan karena takut ancaman Allah, senantiasa dalam keimanan dan meninggalkan perkara yang diharamkan. Yang lebih dari ini adalah sabar dari meninggalkan kemaksiatan karena malu kepada Allah. Penyebutan sabar dari maksiat memiliki dua sebab dan dua faedah : Sebab pertama adalah takut ancaman yang akan menimpanya bila melakukan maksiat. Sebab keduaadalah malu kepada Allah. Adapun dua faedah sabar dari meninggakan kemaksiatan adalah tetapnya keimanan dan menjauhkan diri dari yang haram. 2. Tingkatan sabar yang kedua adalah sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah dengan terus-menerus melaksanakannya, memelihara keikhlasan dalam mengerjakannya dan memperbaikinya. Tingkatan kedua ini menunjukkan bahwa melaksanakan ketaatan lebih ditekankan daripada meninggalkan maksiat. Sehingga sabar pada tingkatan kedua ini di atas tingkatan sabar dari meninggalkan maksiat. Sabar dalam tingkatan kedua ini mengandung tiga hal : a. terus menerus dalam ketaatan. b. Ikhlas dalam melaksanakannya. c. Mengerjakannya sesuai dengan kandungan ilmu. Ketaatan akan sirna bila salah satunya tidak terpenuhi. Seorang hamba bila terus-menerus dalam ketaatan berarti dia telah menunaikan (ketaatan itu). Dan jika mampu untuk melaksanakannya secara berkesinambungan, maka dia akan menghadapi dua bahaya berikutnya : a. Tidak ikhlas, bila yang menimbulkan ketaatannya bukan semata-mata mengharap wajah Allah. Bahaya ini dihindari dengan cara memelihara keikhlasan. b. Tidak sesuai dengan ilmu, maksudnya ; tidak sesuai dengan sunnah. Dan menghindari bahaya ini dengan mutabaah (mengikuti) jejak Rasulullah shallallahualaihi wasallam. (Madarijus Salikin jilid 2 hal 171-173 Darul Kutub Al Ilmiyah cet. thn 1420 H) Ada beberapa hal yang akan menuntun seorang hamba sabar dalam menghadapi ujian dan cobaan, sebagai berikut : 1. Hendaklah dia menyaksikan bahwa Allah Subhanahu wataala adalah Pencipta amal perbuatan hamba, baik gerakan-gerakan, tingkah laku dan kehendak-kehendak mereka. Kapan saja Allah menghendaki terjadinya amal perbuatan tersebut maka terjadilah. Dan jika Allah tidak berkehendak maka tidak terjadi. Tidak ada satu debu pun yang bergerak di permukaan bumi maupun di dalam perut bumi melainkan dengan ijin dan kehendak-Nya.

2. Hendaklah dia memandang kepada dosa-dosa yang telah dilakukannya. Dan Allah menimpakan musibah-musibah tersebut disebabkan dosa-dosanya. Sebagaimana firman Allah Taala : Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (Asy Syuro : 30). Apabila seorang hamba menyadari bahwa musibah-musibah yang menimpa disebabkan oleh dosa-dosanya. Maka dia akan segera bertaubat dan meminta ampun kepada Allah dari dosa- dosa yang melilit dirinya. Dikatakan oleh Ali bin Abu Tholib dan selainnya :Tidaklah turun suatu malapetaka melainkan karena dosa. Dan tidaklah diangkat (malapetaka tersebut) kecuali dengan bertaubat. 3.Hendaklah dia mengetahui bahwa Allah bersamanya apabila dia bersabar. Dan Allah cinta dan ridho kepadanya. Jika Allah bersamanya maka dirinya tidak terhanyut oleh berbagai gangguan dan mudharat, dimana tidak ada seorang pun dari kalangan makhluk-Nya yang mampu menghalau. Allah Taala berfirman :

(46)
" Dan sabarlah sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (Al Anfal : 46) Dan Firman-Nya :

(146)
Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar. (Ali Imran : 146) Al Imam Syafii berkata dalam syairnya : Bersabarlah yang indah, alangkah dekatnya kelapangan Barangsiapa yang muraqabah (merasa diawasi) Allah dalam seluruh urusan, ia akan berhasil Barangsiapa yang membenarkan Allah, tidak akan terbawa gangguan. Dan barangsiapa yang mengharapkan-Nya, Dia akan ada dimana dia mengharap. (Manaqib Asy Syafii, Al Baihaqi 2/362) 4.Hendaklah dia mengetahui bahwa jika dia bersabar, maka Allah akan menjadi penolongnya. Sesungguhnya Allah Maha Pelindung terhadap orang-orang yang sabar dan tidak akan menzholiminya. Demikianlah risalah ringkas tentang sabar dalam menghadapi ujian hidup. Semoga Allah menganugerahkan kepada kita kepribadian yang tangguh dalam menghadapi berbagai cobaan di dunia ini dan kembali ke negeri Akhirat dalam keadaan memperoleh ridho-Nya. Amin ya Rabbal alamin.

Bingkisan Manis dari Yaman


Monday, 20 December 2010 13:35 |
Sebuah fatwa menyingkap kedustaan perjalanan mencari ilmu sihir ( meraga sukma )

Written by Administrator |

Wahai saudaraku dalam rangka saling nasehat menasehati karena Allah, dan memberikan perlawanan kepada para dukun, dengan ini ku hadiahkan sebuah fatwa dari salah seorang syaikh senior di darul hadist dammaj yaman. Yang telah ditanyakan kepada beliau tentang seorang dukun yang menceritakan perjalanannya mencari ilmu sihir dengan anggapan ruhnya bisa keluar dari jasadnya dan bertemu jin. Berkata Asy Syaikh Abul Hasan Ali Bin Ahmad Bin Hasan Ar Raazihy Hafidzahullah Perkataan penanya dalam soal pertama : Bahwasannya di tempat anda, ada seorang yang belajar sihir dan mengaku bahwa ruhnya dapat keluar dari jasadnya kemudian dapat bertemu dengan jin Permintaan Penanya adalah penjelasan tentang bathilnya perkataan ini Yang pertama : Sihir secara etimologi (bahasa) adalah sesuatu yang merambat, lembut dan tidak diketahui sebabnya. Adapun menurut istilah berupa berbentuk jimat-jimat dan mantra-mantra serta ikatan buhul yang dapat mempengaruhi hati, akal serta badan, akal pun menjadi tumpul dan timbul pada hatinya rasa senang dan marah, pikirannya pun menjadi kacau, dan raganya menjadi sakit. Dan sihir terbagi menjadi dua macam. Yang Pertama : Sihir dalam bentuk mantra-mantra atau jimat jimat yang menggunakan syaithan Yang Kedua : Sihir dalam bentuk obat obatan atau tumbuh-tumbuhan yang diolah menjadi obat. Macam kedua ini terdapat perbedaan pendapat tentang hukumnya. Adapun yang penanya sebutkan bahwa dia mengaku ruhnya dapat keluar dari jasadnya kemudian bertemu dengan jin maka yang demikian ini termasuk bentuk sihir yang pertama dan hukum mempelajarinya adalah kufur. Sebagaimana Allah telah berfirman:

(102 : )

Artinya: Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh Syaithan Syaithan pada masa kerajaan Sulaiman dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir padahal Sulaiman tidaklah kafir ( tidak mengerjakan sihir ) hanya Syaithan itulah yang kafir ( mengerjakan sihir ) mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat dinegri babil yaitu Harut dan Marut sedang keduanya tidak mengajarkan sesuatu kepada seseorang pun sbelum mengatakan: sesungguhnya kami hanyalah cobaan sebab itu janganlah kamu kafir. ( QS : Al Baqoroh 102 ) Dan macam sihir ini ( yang menggunakan syaithan ), tidaklah si tukang sihir sempurna dalam ilmu sihirnya, sampai ia menjadi kafir kepada Allah dan menjadikan jin dan syaithan sekutu bagi Allah. Ketika bertambah kekufurannya maka bertambahlah pelayanan syaithan kepadanya.

Kemudian si penanya menyebutkan pula bahwasannya ia (tukang sihir) belajar sihir dan hukumnya telah kami sebutkan. Yakni kufur terhadap Allah Taala sebagaimana dalil yang telah lewat. Adapun pengakuan keluarnya ruh dari jasadnya adalah pengakuan dusta karena ruh berkaitan dengan jasad apabila ruh itu berpisah dengan jasad matilah orang tersebut, sebagaimana hadits Ummu Salamah Radliallahu Anha bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda: Sesungguhnya ruh bila dicabut, pandangan matanya pun mengikuti nya ( melotot ), adapun dalam keadaan tidur terjadi perpisahan antara ruh dan jasad secara nisbi (sementara), hal ini dapat diambil contoh ketika ia mimpi maka ia merasakan riang gembira, gundah gulana serta rasa sakit, kalau seandainya ruh itu tidak berpisah dari jasadnya ( ketika tidur ) maka ia akan merasakan sesuatu dalam badannya ketika bangun. Dan firman Allah:

(42 : )
Artinya: Allah memegang jiwa ( orang ) ketika matinya dan memegang jiwa ( orang ) yang belum mati di waktu tidur, maka Dia tahan jiwa orang yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang telah ditentukan. ( QS: Az Zumar : 42 ) Berkata Ibnu Adil Al Hanbaly dalam kitabnya Al Lubab ( 16 / 519 520 ) : Yang dimaksud dalam ayat : memegang jiwa yang belum mati lafadz mati dalam keadaan tidur yang dimaksud adalah jiwa yaitu akal dan panca indra Dan setiap manusia memiliki dua jiwa: Yang pertama : Jiwa yang berkaitan dengan kehidupan maka bila jiwa ini berpisah tibalah ajalnya dan sirnalah kehidupannya dengan dicabutnya jiwa tersebut Yang Kedua : Jiwa yang berpisah ketika dalam keadaan tidur maka ia dapat bernafas ketika bangkit dari tidurnya. Adapun yang dimaksud dengan ayat ini dan Allah memegang jiwa orang matinya yakni tidak dikembalikan ruhnya tersebut kedalam jasadnya. Dan Allah melepaskan jiwa yang lain yaitu di kembalikan kepada jasadnya karena ajalnya belum tiba. Sampai waktu yang ditentukan yaitu waktu kematiannya. Saya katakan: ( Syaikh Ali Ar Rozihy ) Ruh seorang hamba tidaklah berpisah dari jasadnya kecuali bila datang saat ajalnya. Adapun ketika tidur berpisah ruh dari jasadnya adalah berpisah nisbi namun ruh itu tetap bergantung kepada jasad dan ini jelas lagi nampak.

Maka perkataan dan pengakuan bahwa ruhnya keluar dari jasadnya dan bertemu dengan jin adalah pengakuan dusta. Kalau seandainya ruh itu keluar maka itulah kematiannya. Akan tetapi ia ( tukang sihir ) masih hidup sebagaimana yang tertera dalam pertanyaan. Demikian juga kalau seandainya dalam keadaan tidur maka jasad tidak dapat memiliki kemampuan ( bertemu dengan jin dan lain-lain ) ketika ruh berpisah secara nisbi dari jasad tersebut sebagaimana dalam penjelasan yang telah lewat. Akan tetapi jangan - jangan orang tersebut kemasukan jin dan dibisiki dengan angan-angan. Wallahu Alam. (Di terjemahkan oleh saudara dan sahabatku Fillah, Al Akh Abul Fida Tsabit Al Berebesy)

Membentuk Khilafah Sesuai dengan Tuntunan Islam


Saturday, 25 December 2010 02:50 | Written by Administrator | Penulis : Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi


Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa tetap kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orangorang yang fasik. (An-Nur: 55) Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat Allah telah berjanji, maknanya adalah Allah telah menjanjikan. Dan telah menjadi ketetapan Allah bahwa Dia tidak akan mengingkari janji-Nya. Kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal yang shalih, mereka adalah orang-orang yang tegak dengan keimanannya, yaitu keimanan yang harus dimiliki setiap muslim berupa tauhid dengan segala konsekuensinya dan juga beramal shalih. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa beramal dengan mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, maknanya Allah pasti memberikan khilafah kepada mereka dan dengan kekhilafahan itu mereka bisa berbuat seperti perbuatan para raja di muka bumi. (Lihat Tafsir Fathul Qadir, 4/47; Tafsir Al-Baidhawi, 4/197) Sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, yaitu sebagaimana telah diberikan khilafah kepada orang-orang sebelum mereka dari kalangan Bani Israil dan umat-umat sebelumnya yang lain. (Lihat Fathul Qadir, 4/47 oleh Al-Imam AsySyaukani) Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka. Yang dimaksud dengan tamkin adalah mengokohkan, yaitu menjadikannya kokoh dengan silih bergantinya mereka dalam menduduki kekuasaan. Tidak hanya bersifat sebentar dan sementara waktu lalu menghilang dengan cepat. Yang dimaksud agama yang diridhai adalah Islam, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah: Dan Aku telah ridha Islam menjadi agama kalian. (Al-Maidah: 5) [Lihat Fathul Qadir, 4/47, karya Al-Imam Asy-Syaukani] Dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam

ketakutan menjadi aman sentausa. Yaitu dihilangkannya rasa takut yang dahulu mereka rasakan akibat gangguan para musuh Islam, hingga mereka hanya takut kepada Allah saja. Penjelasan Makna Ayat Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sadi berkata: Ayat ini termasuk di antara janji-janji Allah yang (pasti) benar, yang telah disaksikan kenyataannya dan kandungan beritanya. (Allah) telah berjanji kepada orang yang menegakkan iman dan beramal shalih dari kalangan umat ini bahwa Dia akan memberikan kepada mereka khilafah di muka bumi. Mereka akan menjadi para khalifah di atasnya, yang mengatur urusan-urusan mereka dan mengokohkan agama -yang mereka ridhai- untuk mereka, yaitu agama Islam yang telah mengalahkan seluruh agama karena keutamaan, kemuliaan dan kenikmatan Allah atasnya. Mereka leluasa dalam menegakkannya dan menegakkan syariat baik yang zhahir maupun yang batin baik pada diri mereka maupun selain mereka. Sebab, orang-orang selain mereka dari kalangan para pemeluk agama selain (Islam) telah terkalahkan dan terhinakan. Dan Allah menggantikan keadaan mereka dari rasa takut yang menyebabkan mereka tidak mampu menampakkan agama dan menegakkan syariat disebabkan gangguan dari orang-orang kuffar, serta jumlah kaum muslimin yang sangat sedikit bila dibandingkan dengan selain mereka, dan seluruh penduduk bumi memusuhi dan menentang mereka dengan berbagai kerusakan. Allah menjanjikan hal-hal tersebut untuk mereka pada saat turunnya ayat ini, namun kekhalifahan di bumi dan kekokohannya belum dapat disaksikan saat itu. Yang dimaksud dengan kekokohan adalah kekokohan agama Islam, keamanan yang sempurna di mana mereka hanya menyembah kepada Allah, tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu dan mereka tidak takut kecuali hanya kepada Allah. Maka tegaklah generasi awal umat ini, dengan iman dan amal shalih yang menyebabkan mereka berada di atas umat lainnya, maka Allah kuasakan kepada mereka berbagai negeri dan manusia, serta dibukakan kekuasaan dari timur ke barat sehingga terwujud keamanan dan kekokohan yang sempurna. Ini termasuk tanda-tanda kekuasaan Allah yang menakjubkan. Dan hal tersebut akan senantiasa berlangsung hingga (mendekati) hari kiamat. Selama mereka menegakkan iman dan amal shalih pasti mereka akan mendapatkan apa yang telah Allah janjikan untuk mereka. Namun terkadang orang kafir dan munafiqin menguasai mereka dan mengalahkan kaum muslimin disebabkan kelalaian kaum muslimin dalam menegakkan iman dan amalan yang shalih. (Taisir Al-Karim Ar-Rahman hal. 573) Al-Imam Asy-Syaukani berkata: (Ayat) ini merupakan janji Allah bagi orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih berupa pemberian khilafah bagi mereka di muka bumi sebagaimana yang telah diberikan kepada orang-orang sebelum mereka dari umat-umat sebelumnya. Janji ini mencakup seluruh umat. Ada yang berkata: Ayat ini khusus untuk para shahabat. Namun hal itu tidak benar, karena beriman dan beramal shalih tidaklah terkhusus untuk mereka. Bahkan hal tersebut mungkin terjadi pada siapa saja dari kalangan umat ini. Maka barangsiapa yang mengamalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya maka sungguh dia telah menaati Allah dan Rasul-Nya. (Fathul Qadir, 4/47) Ibnul Qayyim berkata: (Ayat) ini mengabarkan tentang ketetapan dan kebijaksanaan Allah terhadap makhluk-Nya yang tidak akan mungkin berubah, bahwa barangsiapa yang beriman dan beramal shalih maka Allah akan mengokohkannya di muka bumi dan memberikan khilafah kepadanya, tidak membinasakan dan menghancurkan mereka sebagaimana (Allah) membinasakan orang-orang yang mendustakan para rasul dan menyelisihi mereka. Allah mengabarkan kebijaksanaan dan muamalah-Nya terhadap orang yang beriman kepada para rasul dan membenarkan mereka bahwa Allah akan memperlakukan mereka sebagaimana Allah memperlakukan orang-orang sebelum mereka dari para pengikut rasul. (Jala`ul Afham hal. 287, karya Ibnul Qayyim)

Perwujudan Janji Allah di Masa Generasi Salaf Apa yang telah dijanjikan pada ayat ini telah dirasakan oleh orang-orang yang senantiasa menjalankan persyaratan yang disebutkan Allah berupa iman dan mentauhidkan Allah serta mengikuti Sunnah Rasulullah. Juga senantiasa berada di atas jejak beliau sehingga Allah memberikan kekuasaan kepada mereka di berbagai negeri dan menundukkan negara-negara besar seperti Persia dan Romawi. Perhatikanlah sirah (perjalanan hidup, red) Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Beliau tidak meninggal dunia kecuali Allah telah memberikan kemenangan kepada beliau dengan ditaklukkannya kota Makkah, Khaibar, Bahrain, seluruh negeri Arab dan seluruh negeri Yaman. Beliau memberlakukan penarikan jizyah (upeti) dari bangsa Majusi di Hajar dan sebagian daerah pesisir Syam. Heraklius, Raja Romawi, meminta berdamai kepada beliau. Demikian pula penguasa Mesir dan penguasa Iskandariah yang digelari Muqauqis. Juga raja-raja Oman dan raja Najasyi, penguasa Habasyah yang menjadi raja setelah Ashimah. Tatkala Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam meninggal, pemerintahan dilanjutkan oleh para khalifah setelah beliau. Tidak lama setelah kematian beliau, Abu Bakar Ash-Shiddiq melanjutkan kekuasaan dan mengirim pasukan Islam ke Persia, dipimpin Khalid bin Al-Walidz. Kaum muslimin menaklukkan sebagian wilayah Persia dan membunuh sebagian tentara mereka. Pasukan lain yang dipimpin Abu Ubaidah dan para pemimpin lainnya bersamanya menuju Syam. Pasukan ketiga pimpinan Amr bin Al-Ash menuju Mesir. Allah memberikan kemenangan bagi pasukan yang menuju Syam dan berhasil menguasai Bashrah, Damaskus, dan masih tersisa darinya negeri Hauran dan sekitarnya hingga Allah mewafatkannya dan memberikan pilihan kemuliaan baginya. Kemudian Allah menganugerahi kaum muslimin di mana Ash-Shiddiq diberikan ilham untuk mengangkat Umar Al-Faruq sebagai penggantinya. Umar pun menegakkan kekhalifahan dengan penegakan yang sempurna, yang belum pernah dikenal dalam sejarah yang seperti beliau -setelah para nabi- dalam kekuatan dan kesempurnaan keadilannya. Beliau berhasil menyempurnakan kemenangan di seluruh negeri Syam. Demikian pula negaranegara Mesir dan sebagian besar wilayah Persia. Beliau meruntuhkan kekuasaan Kisra (raja Persia) dan menghinakannya dengan serendah-rendahnya sehingga dia melarikan diri hingga ke ujung kekuasaannya. Juga beliau meruntuhkan Kaisar (raja Romawi) dan melepaskan kekuasaannya dari negeri Syam sehingga dia lari menuju Kostantinopel. Umar menginfakkan harta keduanya di jalan Allah, sebagaimana yang telah dikabarkan dan dijanjikan oleh Rasulullah. Lalu berlanjut sampai kekuasaan di tangan Daulah Utsmaniyah, semakin melebar kekuasaan Islam hingga ke ujung timur dan barat. Ditundukkan pula negeri Maghrib hingga ke ujungnya yaitu Andalus, Qabras, negeri Qairuwan, negeri Sabtah yang berada di dekat lautan Muhith. Adapun dari arah timur hingga ke ujung negeri Cina dan berhasil membunuh Kisra serta meruntuhkan kekuasaannya secara total. Ditundukkan pula beberapa kota seperti Irak, Khurasan, Ahwaz, dan kaum muslimin berhasil membunuh pasukan Turki dalam jumlah yang banyak sekali. Allah menghinakan raja agung mereka Khaqan dan menarik upeti dari wilayah timur dan dan barat lalu dibawa ke hadapan Amirul Mu`minin Utsman bin Affan. Yang demikian ini disebabkan barakah dari bacaan Al Qur`an beliau, mengilmuinya, dan menyatukan seluruh umat dengan disatukan dalam pemeliharaan Al Qur`an. Oleh karena itu telah shahih bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya Allah melipat bagiku bumi ini hingga akupun melihat wilayah timur dan baratnya, dan kekuasaan umatku akan sampai ke wilayah yang telah dilipatkan (diperlihatkan)

kepadaku darinya. (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dari Tsauban) [Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 3/301-302] Tegakkan Daulah Islamiyyah dalam Diri Kalian, Niscaya akan Ditegakkan Daulah Islamiyyah di Negara Kalian! Berbagai kelompok yang menyimpang dari jejak para ulama salaf, sering menyerukan slogan Dirikan Daulah Islamiyyah, Tegakkan Syariat Islam, dan yang semacamnya. Dalam upaya mencapai keinginan tersebut, mereka banyak membuat trik atau cara yang sesuai dengan hawa nafsu mereka dan jauh menyimpang dari apa yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Di antaranya ada yang berusaha untuk mendirikan negara di dalam negara dan berupaya keras untuk meruntuhkan pemerintahan yang sah. Di antara mereka ada pula yang menggunakan cara-cara teror dan mengacaukan keamanan negara muslim dengan alasan pemerintah telah melanggar hukum Allah, seperti yang telah dilakukan oleh kaum Khawarij sebagai nenek moyang mereka. Di antara mereka ada yang menempuh cara-cara diplomasi dengan ikut serta duduk di kursi-kursi pemerintahan walaupun harus melanggar sebagian hukum Allah dan mengakui cara-cara demokrasi dengan dalih memperjuangkan tegaknya syariat Islam, dan entah dengan cara apa lagi. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani sering berkata: Tegakkan daulah Islamiyyah dalam diri kalian, niscaya akan ditegakkan daulah Islamiyyah di negara kalian!, ketika beliau membantah berbagai kelompok yang menyimpang dari tuntunan Al Qur`an dan Sunnah Rasulullah serta apa yang telah menjadi amalan as-salafush shalih. Beliau berkata: Sungguh aku kagum terhadap satu kalimat yang diucapkan sebagian para mushlihin (orang yang melakukan perbaikan) di masa kini, yang menurutku seakan-akan ini merupakan wahyu dari langit, yaitu perkataan: Tegakkanlah Daulah Islam dalam hati kalian, niscaya akan ditegakkan Daulah Islam di negara kalian. (lihat At-Tashfiyah wat-Tarbiyah hal. 33, transkrip ceramah Asy-Syaikh AlAlbani) Beliau pun berkata: Jika kita menghendaki kemuliaan dari Allah, menghilangkan kehinaan dari kita, dan memberikan pertolongan-Nya kepada kita dalam mengalahkan musuh, maka tidaklah cukup untuk itu apa yang telah kami isyaratkan tadi kewajiban membenarkan pemahaman (yang keliru) dan menghilangkan berbagai pendapat yang menakwilkan dalil-dalil yang syari yang ada di kalangan ahli ilmu atau ahli fiqih. Namun di sana ada sesuatu yang sangat penting yang merupakan hal inti dalam membenarkan pemahaman. Yaitu beramal, sebab ilmu adalah jalan untuk beramal. Maka apabila seseorang telah belajar dan ilmu yang dipelajarinya bersih lagi suci (dari kesesatan), apabila dia tidak mengamalkannya maka sangat jelas sekali bahwa ilmu yang ada padanya tidak menghasilkan buah. Maka haruslah ilmu tersebut ditemani amalan. Wajib bagi para ahli ilmu untuk mengurusi pendidikan yang baru tumbuh dari kaum muslimin berdasarkan pancaran yang shahih dari Al-Kitab dan As Sunnah. Kita tidak boleh membiarkan manusia tetap berada di atas apa yang mereka warisi berupa berbagai pemahaman keliru, yang sebagiannya dipastikan kebatilannya berdasarkan kesepakatan para imam, dan sebagiannya diperselisihkan, dan masih ada bagian dari pandangan secara ilmiah, ijtihad, dan pendapat, dan sebagian dari ijtihad serta pemikiran tersebut menyelisihi As Sunnah. Setelah men-tashfiyah (menjernihkan) perkara-perkara ini dan menjelaskan apa yang harus dijalani serta bertolak darinya, maka kita harus men-tarbiyah (mendidik) benih yang baru tumbuh tersebut di atas ilmu yang benar ini. Pendidikan inilah yang akan membuahkan masyarakat Islam yang murni, dan selanjutnya tegaklah Daulah Islamiyyah. Tanpa dua pembukaan ini, yaitu: Ilmu yang benar dan Pendidikan yang benar yang dibangun di atas ilmu yang benar tersebut, mustahil menurut keyakinanku untuk bisa ditegakkan hukum Islam atau Daulah Islamiyyah. (At-Tashfiyah wat-Tarbiyah, Asy-Syaikh Al-Albani hal. 29-

31) Camkanlah nasehat beliau, semoga kita termasuk hamba yang mendapatkan hidayah menuju jalan-Nya. Amin. Sumber: Majalah Asy Syariah, Vol. II/No. 16/1426 H/2005, rubrik Tafsir.

ANTARA SI KAYA YANG BERSYUKUR DAN SI FAKIR YANG BERSABAR


Saturday, 08 January 2011 00:54 | Written by Administrator | Masalah siapa yang lebih utama antara si kaya yang bersyukur dan si fakir yang bersabar adalah masalah yang banyak dibicarakan oleh manusia. Sebagian mereka menulis tentangnya. Syaikhuna Ahmad bin Yahya An-Najmi hafizhahullah berkata : Diantara penulis yang kami ketahui yang membahas masalah ini dalam kitab tersendiri adalah Al Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah. Dia menulis sebuah kitab yang berjudul uddatushshaabirin wa dzakhiratusy-syaakirin. Dan Ash-Shanani rahimahullah juga menulis sebuah kitab yang berjudul as-saiful baatir fil mufadhalah bainal faqiirish-shaabir wal ghaniyyi asy-syakir, dia menyebutkannya di dalam Al Uddah seraya mengatakan bahwa dia meringkasnya dari karya Ibnul Qayyim dan berkata : Ini adalah kitab yang luar biasa, tidak ada tandingannya. Kami menyusunnya di Makkah pada tahun 1135 H. Diantara argumen yang digunakan untuk mengunggulkan kedudukan si fakir yang bersabar daripada si kaya yang beryukur adalah firman Allah Taala : Artinya : Mereka itulah orang yang dibalas dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka. Muhammad bin Ali bin Al Husain berkata : Kata ghurfah berarti syurga. Dan kalimat bimaa shabaruu bermakna karena kesabaran mereka terhadap kefakiran di dunia. Dan diantaranya adalah bahwa kaum fuqara akan masuk kedalam syurga mendahului kaum kaya setengah hari (sebelum mereka), setengah hari sebanding dengan 500 tahun (waktu di dunia). Dan terdapat riwayat dengan 40 kali musim gugur. Sehingga kaum kaya muslimin berangan-angan bahwa seandainya mereka dahulu termasuk kaum fuqara. Dan diantaranya adalah bahwa tidaklah Allah menyebutkan tentang dunia melainkan dengan celaan. Terkadang Allah menyebutkan tentang harta yang merupakan sebab bertindak melampaui batas, sebagaimana firman Allah Taala : Artinya : Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.

Dan terkadang Allah menyebutkan bahwa harta merupakan sebab kedurhakaan. Allah Taala berfirman : Artinya : Dan jikalau Allah melapangkan rizki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan durhaka di muka bumi. Dan terkadang Allah menyebutkan bahwa harta merupakan fitnah : Artinya : Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah fitnah (bagimu). Dan terkadang Allah menyebutkan bahwa harta dan anak tidak membantu untuk mendekatkan diri kepada Allah Taala : Artinya : Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kalian yang mendekatkan kalian kepada Kami sedekat-dekatnya; kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh. Dan diantara argumen yang digunakan untuk mengunggulkan kedudukan si fakir yang bersabar adalah bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dipilih oleh Allah dalam keadaan fakir. Sesungguhnya telah ditawarkan kepada beliau kunci-kunci khazanah bumi, tetapi beliau menolaknya seraya berkata : Artinya : Bahkan saya lapar sehari dan kenyang sehari. Apabila saya lapar, maka saya merendahkan diri kepada-Mu dan mengingat-Mu. Dan apabila saya kenyang, maka saya memuji-Mu dan bersyukur kepada-Mu. Ini adalah kesimpulan pendapat mereka yang mengunggulkan orang fakir yang bersabar. Pendapat tersebut telah disanggah oleh mereka yang mengunggulkan si kaya yang bersyukur dengan dalil-dalil yang dibawakan oleh mereka yang mengunggulkan si fakir yang bersabar. Kemudian mereka berkata : Adapun ayat yang (kalian bawakan), maka tidak ada keterangan yang mendukung pendapat kalian padanya, sebab kesabaran di dalam ayat tersebut umum, mencakup seluruh macam kesabaran. Ia mencakup : - sabar untuk tidak melanggar yang diharamkan bagi yang memiliki kesempatan untuk melakukan keharaman tersebut dengan hartanya, - sabar dalam menjalankan ketaatan, - sabar dalam menerima berbagai macam cobaan, seperti sakit, musibah, kefakiran, desakan kebutuhan dan selainnya. Adapun tentang masuknya kaum fuqara kedalam syurga, maka tidak serta merta hal tersebut menunjukkan berkurangnya derajat si kaya, bahkan bisa jadi si kaya yang belakangan masuk syurga, lebih tinggi derajatnya daripada si fakir yang mendahuluinya masuk syurga. Adapun celaan Allah terhadap dunia dan harta, sesungguhya celaan tersebut hanya berlaku pada orang yang membelanjakan hartanya dalam bermaksiat kepada Allah. Sedangkan orang yang membelanjakan hartanya di dalam ketaatan kepada Allah, maka yang demikian adalah terpuji. Allah Subhanahu Wa Taala berfirman : Artinya : Dan orang-orang yang di dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta). Dan Allah Taala berfirman :

Artinya : Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Adapun tentang Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, maka Allah telah menghimpun bagi beliau antara kedudukan kaya bersyukur dan fakir bersabar. Berapa banyak harta yang datang kepada beliau, namun beliau alaihish-shalatu was-salam enggan menerima dan menafkahkannya di dalam ketaatan kepada Allah Taala. Dan diantara dalilnya adalah bahwa sesungguhnya dahulu Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam menjamu setiap tamu yang datang pada tahun-tahun terakhir setelah fathu Makkah, padahal jumlah mereka banyak. Bersama itu beliau wafat dalam keadaan baju perang beliau digadaikan kepada seorang Yahudi dengan 30 sha gandum sebagai nafkah bagi keluarga beliau. Sementara diantara dalil yang mengunggulkan si kaya yang bersyukur daripada si fakir yang bersabar adalah hadits : Dari Sumayyin maula Abu Bakar bin Abdurrahman bin Al Harits bin Hisyam dari Abu Shalih As-Samman dari Abu Hurairah radhiallahu anhu : Bahwa kaum fuqara muslimin mendatangi Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, kemudian mereka berkata : Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah pergi dengan membawa derajat yang tinggi dan kenikmatan yang kekal (di syurga). Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bertanya : Mengapa demikian ? Mereka menjawab : Mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, mereka bisa bersedekah sementara kami tidak bisa dan mereka bisa memerdekakan budak sementara kami tidak bisa. Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda : Bukankah saya ajarkan kepada kalian sesuatu yang dengannya kalian dapat menyamai orang-orang sebelum kalian dan kalian mendahului orang-orang setelah kalian serta tidak ada seorang-pun yang lenih utama dari kalian kecuali dia melakukan apa yang kalian lakukan ?! Mereka menjawab : Betul wahai Rasulullah. Rasulullah bersabda : Kalian bertasbih, bertakbir, dan bertahmid setiap selesai shalat 33 kali. Abu Shalih berkata : Kemudian kaum fuqara Muhajirin kembali, lalu berkata : Saudarasaudara kami orang-orang kaya mendengar apa yang kami lakukan, kemudian mereka melakukan hal serupa. Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda : Itulah keutamaan Allah yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Ash-Shanani berkata di dalam Al Uddah : Dia berkata : Barangsiapa mengunggulkan si kaya yang bersyukur daripada si fakir yang bersabar, maka kami memiliki dalil-dalil yang sangat banyak dan kata-kata baik yang menyeluruh : Pertama : Bahwa Allah memuji di dalam kitab-Nya berbagai amal perbuatan yang tidak bisa dilakukan kecuali oleh orang-orang kaya, seperti : - zakat, - menafkahkan harta di dalam berbagai amal kebajikan, - jihad fi sabilillah,

- membekali para pejuang, - memperhatikan orang-orang yang membutuhkan, - membebaskan budak, - memberikan bantuan di masa paceklik. Dimana letak kesabaran si fakir dibanding dengan kebahagiaan orang yang terdesak kebutuhan yang bisa membinasakan dirinya (setelah mendapatkan nafkah dari si kaya) ? Dimana letak kesabaran si fakir dibanding dengan manfaat yang diberikan oleh si kaya dengan hartanya untuk menolong agama Allah, meninggikan kalimatullah dan mematahkan musuhmusuh-Nya ? Dimana letak kesabaran ahlus-Shuffah (para Shahabat yang fakir yang tinggal di serambi masjid Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam ) dibanding dengan nafkah Utsman radhiallahu anhu untuk memenuhi berbagai kebutuhan, sampai Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda : Artinya : Tidak ada yang membahayakan Utsman, apa yang dia lakukan setelah hari ini. Mereka berkata : Orang-orang kaya yang bersyukur merupakan sebab ketaatan kaum fuqara yang bersabar, dengan memberikan bantuan sedekah kepada mereka, berbuat baik kepada mereka dan memperhatikan ketaatan mereka. Maka mereka mendapatkan bagian yang besar dari pahalapahala kaum fuqara ditambah dengan pahala mereka sendiri dengan memberikan nafkah (kepada kaum fuqara) dan ketaatan mereka. Hal ini sebagaimana yang tersebut dalam hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah rahimahullah dari hadits Salman radhiallahu anhu secara marfu : Artinya : Barangsiapa yang memberikan ifthar kepada yang berpuasa, maka yang demikian itu adalah penghapus dosa-dosanya dan pembebas dirinya dari neraka dan dia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang diberi ifthar tanpa mengurangi sedikit-pun pahalanya. Si kaya yang bersyukur ini mendapatkan pahala seperti pahala yang didapat oleh si fakir dengan jamuan yang diberikan kepadanya. Mereka berkata : Keutamaan-keutamaan bersedekah telah diketahui besarnya dan manfaatnya tidak terhitung jumlahnya. Dan inilah diantara buah si kaya yang bersyukur. Selesai dari Al Uddah 3/88 karya Ash-Shanani dengan sedikit perubahan. Ini adalah kesimpulan dari hujjah yang digunakan oleh kedua kubu. Dan jelaslah dari yang telah kami paparkan, keunggulan si kaya yang bersyukur daripada si fakir yang bersabar. Dimaklumi bahwa tidak ada tempat bagi orang fakir yang tidak bersabar dan orang kaya yang tidak bersyukur di dalam perbandingan keutamaan disini. Selesai. Abu Abdillah Muhammad Yahya 18 Dzulqadah 1428 H/26 November 2007 M Nijamiyah-Shamithah-Jazan

You might also like