You are on page 1of 14

Kebijakan Sosial dalam Pembangunan Perkotaan Chapter 4 Social Policy and Urban Development Jo Beall Review Buku : Social

Policy for Development Anthony Hall and James Midgley Nama NIM Mata Kuliah Dosen Pengampu : Nindita Farah Sasmaya : 117120100111002 : Kebijakan Sosial dan Pembangunan : Dr. Mardiyono, MA

Pengantar
Dalam bab empat akan dijelaskan mengenai kebijakan sosial yang sekiranya bisa diterapkan untuk mengatasi masalah-masalah perkotaan, khususnya masalah yang berkaitan dengan kemiskinan di daerah perkotaan. Bab ini akan terdiri atas empat sub-bab utama; yakni bagian pertama dari bab ini membahas mengenai konsep-konsep yang sering digunakan dalam kajian perkotaan, bagian kedua akan membahas mengenai area kebijakan perkotaan yang secara historis dikaitkan dengan pembangunan perkotaan, akses ke tempat penampungan serta pelayanan dasar. Bagian ketiga membahas tentang kehidupan perkotaan, yang meliputi pekerjaan di sector apa saja yang bisa dijangkau oleh penduduk perkotaan, di mana pengertian secara luas adalah langkah-langkah apa saja yang bisa ditempuh penduduk kota untuk bertahan hidup. Bab terakhir membahas tentang tantangan pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan perkotaan dan menerapkan kebijakan social perkotaan, di mana pada akhirnya akan bisa ditarik kesimpulan, kebijakan apa saja yang bisa berhasil jika sekiranya diterapkan dalam berbagai Negara secara luas.

Tumbuhnya Kemiskinan di Perkotaan


Kemiskinan di Negara-negara berkembang merupakan fenomena yang umumnya terjadi di Negara berkembang. Meskipun sebenarnya ada hubungan yang relative kuat antara kemiskinan di pedesaan dan kemiskinan di perkotaan, namun kemiskinan di perkotaan lebih mendapat perhatian dalam agenda kebijakan internasional social. Penyebab tumbuhnya kemiskinan perkotaan yang pada umumnya terjadi secara sporadis ditengarai adalah akibat dari adanya pembangunan pusat-pusat industri yang berkembang pesat di perkotaan. Akibat dari itu adalah berpindahnya sekelompok orang mendekati sarana-sarana industri tersebut. Efek dari berpindahnya sekelompok orang tersebut akan memunculkan suatu komunitas masyarakat miskin kota. Kebijakan untuk mengatasi kemiskinan di perkotaan seringkali tidak berdasarkan pada pemahaman tentang karakteristik kemiskinan social di perkotaan dan proses yang menyertai kemiskinan perkotaan, yakni adanya suatu eksklusi social. Dalam keadaan seperti ini, maka komitmen pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan di perkotaan sedang diuji. Cara terbaik salah satunya adalah dengan membidik penduduk miskin kota yang sebenarnya telah mempunyai modal, yakni modal social. Dengan memberikan modal kepada pen1

duduk miskin untuk membuka usaha, maka peluang pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan bisa berjalan secara optimal. Konteks Kemiskinan Perkotaan Kriteria mengenai kemiskinan merupakan suatu hal penting yang harus ditetapkan sebelum membuat kebijakan sosial yang bertujuan untuk membidik masyarakat miskin kota. Kriteria tersebut terdiri atas dua bagian utama, yakni kriteria kemiskinan secara kuantitatif menyangkut populasi atau jumlah warga miskin perkotaan, dan kriteria kualitatif; yaitu standar atau parameter yang dijadikan patokan untuk menilai gaya hidup perkotaan, apakah suatu keluarga dikatakan miskin atau tidak. Meskipun kebijakan ini berlaku umum, namun ada beberapa kelemahan yang sering ditemukan dalam penentuan kritaria kemiskinan perkotaan, antara lain criteria yang berlaku secara numeric ini sangat bervariasi antar Negara sehingga sulit untuk menetapkan perbandingan secara internasional. Kedua, adanya klasifikasi batas perkotaan yang terkadang tidak jelas, apakah suatu wilayah tersebut sudah masuk ke wilayah perkotaan, atau hanya wilayah hinterland atau daerah pinggiran kota. Urbanisasi dan Pertumbuhan Perkotaan Davis (1965) berpendapat bahwa criteria demografis untuk penduduk perkotaan adalah minimal 20.000 jiwa; sedangkan 100.000 jiwa digunakan untuk menyebut suatu wilayah dikatakan sebagai kota. Davis juga berpendapat bahwa urbanisasi dapat didefinisikan sebagai proses dan mengukur. Urbanisasi sebagai suatu proses mempunya pengertian pelibatan pertumbuhan absolute jumlah orang yang tinggal di daerah perkotaan; sedangkan urbanisasi dalam konteks mengukur adalah dilihat dari segi proporsi dari populasi nasional para penduduk yang tinggal di perkotaan. Ada beberapa gambaran umum yang bisa diperoleh dengan berfokus pada tiga statistic kunci, pertama, penduduk perkotaan merupakan jumlah orang yang tinggal di daerah perkotaan dan dinyatakan secara absolute. Kedua, proporsi penduduk yang hidup total di perkotaan dinyatakan secara presentase, dan yang ketiga adalah jumlah orang yang tinggal di perkotaan secara mutlak. Berdasarkan studi yang dilakukan di Beijing China, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pertumbuhan perkotaan sangat bergantung pada bertambahnya kualitas sumber daya alam yang terdapat di perkotaan, di mana sumber daya ala mini mampu menunjang proses produksi. Urbanisasi merupakan suatu proses mobilitas sosial yang menimbulkan dampak kemiskinan perkotaan. Keinginan sekelompok orang untuk mendekati sarana industri ini akan menimbulkan pola-pola pemukiman perkotaan yang padat namun kumuh. Kecenderungan urbanisasi ke daerah perkotaan akan menjadikan kawasan yang ditinggalkan mengalami keterbelakangan, sedangkan daerah yang dituju sebagai tempat tujuan urbanisasi akan menjadi daerah yang tingkat kepadatannya tinggi. Bisa ditebak, kepadatan penduduk yang tinggi akan membuat masalah lebih lanjut, misalnya kriminalitas, konflik lahan, dan tidak bisa meratanya pembangunan yang tentunya akan lebih

mengakomodasi kepentingan masyarakat perkotaan. Hal ini menjadikan masalah jangka panjang, yaitu tidak meratanya pembangunan dalam suatu negara. Kota Megapolitan Kota-kota terbesar di dunia secara historis menunjukkan bahwa kota ini merupakan kota yang mempunyai industry dalam skala besar. Berry (1976) melihat suatu fenomena bahwa suatu kota yang megapolitan yang ada di dunia akan mencapai suatu titik di mana mereka akan berhenti untuk menambah populasi jumlah penduduk kotanya atau bahkan mengalami penurunan dalam jumlah penduduk kota, seperti yang terjadi di kota Tokyo. Adapun konsep kota megapolitan mengandung pengertian tentang suatu kota yang mempunyai kepadatan penduduk sangat tinggi, dan cenderung tidak masuk akal jika dibandingkan antara rasio luas wilayah dan penduduk yang mendiami wilayah tersebut. Kota megapolitan mempunyai kepadatan sangat tinggi, dan mempunyai masalah perkotaan yang mengikutinya. Kota megapolitan pada umumnya berada di negara-negara dunia ketiga serta merupakan kota yang menjadi pusat industri. Data menunjukkan bahwa Tokyo tetap menjadi kota megapolitan di dunia sejak 1995 sampai dengan 2015. Sedangkan kota-kota di India yang menjadi pusat industri teknologi misalnya Mumbai dan Kalkutta diperkirakan menjadi kota megapolitan baru di masa yang akan datang. Memahami Kemiskinan Perkotaan Pada tahun 1950, ada suatu pendapat dari Roostow (1960) yang meyakini bahwa kemiskinan di perkotaan merupakan suatu hal yang hanya bersifat temporer. Dengan kata lain, ketika suatu Negara lepas landas, kemiskinan tersebut akan menghilang dengan sendirinya. Pendapat ini mengalami sanggahan, karena ternyata ada suatu golongan yang dimarjinalisasi dalam perkotaan. Lewis (1966) menyatakan bahwa kelompok marjinal ini memang melanggengkan budaya kemiskinan. Perubahan ekonomi dunia yang bersifat fluktuatif kemudian menambah beban kota-kota di Negara berkembang. Pemerintah dari kota di Negara-negara berkembang tersebut kemudian membentuk kebijakan yang bersifat meringankan beban Negara dalam menghadapi hantaman ekonomi global. Akibatnya, sifat dari penduduk perkotaan yang terintegrasi dalam system ekonomi secara tunai membuat banyak penduduk perkotaan menderita akibat dari kebijakan pemerintah kota tersebut. Kebijakan pencabutan subsidi bahan bakar misalnya, membuat banyak industry kecil tutup, sehingga pe-kerjanya menganggur. Mereka yang pengangguran dan sebelumnya berasal dari desa ini mendapat pengabaian dari pemerintah kota, di mana mereka kemudian dianggap sebagai kelompok marginal perkotaan. Kemiskinan di perkotaan pada umumnya selalu melibatkan fenomena eksklusi sosial, yakni pengabaian yang dilakukan oleh pemerintah pada sekelompok golongan yang sebenarnya harus dibantu; karena mereka sama sekali minim akses terhadap produk-produk pembangunan. Sebagai contoh adalah para pekerja urban yang berpindah dari desa ke kota untuk menjadi buruh-buruh di bidang industri, maka seharusnya ada perhatian terhadap kelangsungan hidup kaum buruh ini. Akan tetapi, 3

pada prakteknya kaum buruh yang berasal dari desa ini dianggap tak lebih sebagai sampah perkotaan. Akibatnya, terjadilah eksklusi yang dilakukan pemerintah kota terhadap mereka. Misalnya, perempuan pekerja tidak diberi akses terhadap layanan kesehatan karena tidak mampu membayar, anak-anak tidak diperbolehkan untuk bersekolah di sekolah-sekolah perkotaan, dan lainnya. Akibatnya terjadilah kemiskinan struktural dalam keluarga tersebut yang tidak memungkinkan mereka melakukan mobilitas, karena untuk meningkatkan taraf hidup saja mereka ditutup aksesnya. Ada beberapa literature yang menyebutkan bahwa kaum marjinal perkotaan sering ditandai dengan cirri fisik; yakni buruknya tempat tinggal, rumah tempat tinggal yang tidak layak, serta pendapatan keluarga yang tak menentu mengakibatkan anggota keluarga tersebut kerap mengalami kelaparan (Pryer and Cook, 1988). Sedangkan Nick Devas (2001) seorang Sosiolog dan Ekonom berkebangsaaan India menyatakan bahwa dalam suatu studi di perkotaan Mumbai, maka kaum miskin di Mumbai kerapkali dipaksa untuk membayar biaya lebih tinggi sewa suatu wilayah dibandingkan dengan kaum yang berasal dari strata lebih tinggi; meskipun wilayah yang meraka sewa sebenarnya sama. Hal ini berkaitan dengan posisi marjinalitas kaum miskin, dimana mereka kurang sekali mendapat akses perlindungan atau jaminan keamanan dari pihak polisi, sehingga mereka harus menerima ketidakadilan tersebut. Berdasarkan pendekatan yang digunakan untuk memahami kemiskinan, maka ada dua pendekatan inti yang sering digunakan untuk memahami masalah kemiskinan di perkotaan. Pendekatan pertama merupakan pen-dekatan yang berasal dari dalam individu, yang menyangkut tentang kondisi internal dari dalam individu karena tidak mampu menghindari kemiskinan. Pemahaman kemiskinan dengan pendekatan seperti ini sering digunakan dalam teori-teori modernisasi; di mana antara lain sering dikatakan sebagai: y Kemiskinan patologis atau kemiskinan yang diakibatkan oleh perilaku, pilihan hidup fatalistik, dan tidak adanya kemampuan dari si miskin su-paya bisa bangkit dari kemiskinan itu sendiri y Kemiskinan natural, atau kemiskinan yang disebabkan oleh pendidikan keluarga; y Kemiskinan kultural atau kemiskinan yang disebabkan karena budaya dan kehidupan mereka sehari-hari yang mendukung gaya hidup miskin. Pendekatan kemiskinan yang kedua, sering digunakan dalam teori ber-basis Marxis. Pendekatan ini memahami bahwa kemiskinan banyak disebab-kan oleh faktor eksternal, atau akibat dan aksi yang disebabkan oleh orang lain. Kemiskinan dalam pendekatan ini bisa dibagi menjadi tiga bagian besar, yakni y Kemiskinan agensi : merupakan kemiskinan yang disebabkan karena aksi kelompok atau individu yang sengaja memiskinkan individu yang lain. y Kemiskinan struktural : menyatakan bahwa penyebab kemiskinan meru-pakan hasil dari struktur sosial y Kemiskinan akibat eksklusi sosial atau kemiskinan yang menyatakan bahwa kemiskinan terhadap suatu golongan memang sengaja dimiskin-kan oleh sistem. Dari pemahaman terhadap kemiskinan di atas, hanya kemiskinan akibat eksklusi sosial yang tidak memungkinkan adanya mobilitas status. Salah satu isu hangat mengenai 4

eksklusi sosial secara terbuka adalah apa yang menimpa pada komunitas Dalit di India. Dalit adalah suatu golongan yang dianggap bukan merupakan bagian dari sistem kasta di India, sehingga kedudukan mereka lebih rendah daripada kasta Sudra. Hal ini disebabkan karena para Brahmin (Kasta tertinggi di India) menganggap bahwa menjadi manusia Dalit merupakan suatu karma yang timbul di masa lalu karena para kaum Dalit dipercaya berasal dari keturunan dari para raksasa yang berbuat kejahatan di masa lampau, dan untuk mencapai nirwana kelak, maka mereka harus dihukum seberatberatnya di dunia. Sebagai konsekuensinya, maka kaum Dalit harus mengambil air dari mata air yang terpisah dari yang digunakan oleh anggota masyarakat lainnya. Mereka bisa dihukum berat jika berani mengangkat kepala, memakai nama-nama khas dari kasta lain, serta berani menikah dengan kasta lain. Mereka juga harus menempati tempat duduk di bus yang memang disediakan untuk kelompok Dalit, di mana tempat duduk tersebut dipisahkan dengan kasta lainnya. Kelompok Dalit sering menjadi korban dari banyak tindak kekerasan di India, terutama pemerkosaan, pengambilan paksa organ tubuh, penyiksaan, dan kasus amputasi paksa pada anak-anak Dalit; di mana sesudahnya anak-anak Dalit ini dipaksa untuk mengemis. Kekerasan ini sebenar-nya merupakan kekerasan yang nyata dan sering terjadi, namun polisi enggan mencatat dan mengurusi kasus-kasus yang menimpa kaum Dalit karena bisa jadi polisi ikut terlibat di dalamnya. Diskriminasi luar biasa terhadap komunitas Dalit ini semakin banyak mendapat dukungan dan perhatian internasional mulai awal tahun 1990 dan menjadi isu hangat dalam Konferensi Dunia di Durban, Afrika Selatan 2001 yang menentang diskriminasi rasial, ras, dan xenophobia serta berbagai ketidak toleransian. Menurut Human Rights Watch di New York, sedikitnya 100.000 kekejian, termasuk pembunuhan dan pemerkosaan terjadi setiap tahun terhadap warga kelompok Dalit. Komunitas Dalit mengalami diskriminasi selama berabad-abad sebagai kelompok yang tidak bisa disentuh dari sistem kasta Hindu di India. Karakteristik Kemiskinan Perkotaan Beall mengidentifikasi bahwa ada tiga masalah utama yang menjadi perhatian dalam kemiskinan perkotaan, yaitu: sistem standar hidup layak, kemampuan untuk memperoleh lapangan pekerjaan dengan penghasilan yang layak, serta standar sanitasi lingkungan tempat mereka tinggal. Marjinalitas dan proses marjinalisasi pada mulanya berkembang di Amerika Latin antara tahun 1960-1970. Pendekatan strukturalis dan individualistik digunakan untuk menjelaskan fenomena mengatasi problem baru kemiskinan di perkotaan sebagai konsekuensi dari terjadinya migrasi besar-besaran dari desa ke kota, dan perubahan penting dalam struktur produksinya. Menurut pendekatan struk-turalis (berdasarkan Teori eksploitasi Marxist), marjinalitas adalah hasil dari kapitalisme. Sedangkan pendekatan individualistik fokus pada penyimpangan perilaku individu dan nilai dalam masyarakat modern kota. Marjinalisasi juga diakibatkan oleh kurangnya partisipasi politik.

Konsentrasi kekayaan, organisasi industri, dan meningkatnya kesenjangan ekonomi dan sosial telah menciptakan masyararakat dualistik, yakni orang dengan kekuatan ekonomi dan politik, serta orang yang ditolak karena kekurangannya (seperti kurangnya akses terhadap pendapatan dan aset). Sunkel (1973) berpendapat bahwa akses terbatas pada alat produksi serta diskriminasi (sosial, budaya, ras, dan politik) merupakan dua hal penyebab utama marjinalisasi. Secara umum, maka ada dua tie kemiskinan, yakni kemiskinan yang menunjukkan penghasilan bulanan minimum yang diperlukan untuk memenuhi semua kebutuhan dasar individu dan garis kemiskinan yang memungkinkan hanya pemenuhan kebutuhan dasar pangan individu. Dengan demikian, maka ukuran kemiskinan dapat dilihat dari proporsi populasi yang berada di bawah garis kemiskinan berpenghasilan 1 USD per hari. Dengan ukuran ini, maka ketimpangan pendapatan cukup parah terjadi di negara berkembang; di mana hal ini menyebabkan kemiskinan lebih parah terjadi di desa daripada di kota. Akar penyebab kesenjangan pendapatan semakin mengkhawatirkan dari waktu ke waktu, bukan hanya karena faktor ekonomi (upah rendah), namun juga struktur sosial, perbedaan etnis, tidak meratanya distribusi kepemilikan properti dan kesenjangan pendidikan. Ketidak setaraan etnis dan rasial juga menjadi salah satu alasan perbedaan pendapatan. Keragaman etnis memicu pertumbuhan ekono-mi lebih lambat dari kemiskinan dengan asumsi: adanya ketidak percayaan antar etnis yang berbeda, diskriminasi layanan publik terhadap etnis yang berbeda, etnis minoritas cenderung lebih rendah mobilitasnya jika dibandingkan dengan kelompok sosial lainnya, sehingga akses mereka terbatas terhadap peluang pendapatan, barang dan pelayanan, kelompok etnis minoritas bisa jadi lebih menderita dari kebijakan ekonomi dan diskriminasi sosial yang dirancang oleh pemerintah yang hanya mementingkan kepentingan kelompok sosialnya.

Perumahan dan Fasilitas Dasar


Trend kebijakan sosial yang berkembang di luar negeri, selalu berupaya untuk membidik perumahan sebagai sarana untuk mengentaskan kemiskinan. Hal ini karena ada semacam apron, bahwa jika suatu kota mempunyai rumah tinggal layak untuk fakir miskin, maka kota tersebut dikatakan sebagai kota yang berhasil mengentaskan kemiskinan penduduknya. Selain itu, segala kehidupan yang berasal dari rumah; menjadi semacam alasan, mengapa dalam kebijakan sosial program housing selalu menjadi program yang diunggulkan dalam suatu kebijakan sosial. Alasan lannya, yakni pemerintah di Negara-negara berkembang mempunyai ide kebijakan untuk mengikuti kebijakan di Negara-negara maju yang sangat memperhatikan kondisi perumahan penduduknya, meliputi sanitasi, transportasi perkotaan, layanan kesehatanm dan juga pendidikan. Dengan demikian, maka kebijakan perumahan sangat berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan di perkotaan. Lingkaran Pengurangan Kemiskinan Layanan perumahan dan kebutuhan dasar merupakan suatu hal yang paling penting dalam kebijakan sosial untuk kesejahteraan. Rumah, yang merupakan sarana 6

tempat tinggal harus mempunyai tingkat higienitas yang tinggi, karena dari rumah dapat dilihat tingkat kesehatan penduduk berasal. Bagi penduduk miskin, maka rumah sehat juga menguntungkan. Karena, jika mereka jarang sakit, maka pengeluaran yang digunakan untuk perawatan kesehatan dapat ditekan sekuat mungkin. Rumah juga bisa digunakan untuk tempat bekerja, sehingga suatu ekonomi pembangun kota bisa berawal dari satu rumah. Terakhir, alasan mengapa rumah menjadi sasaran kebijakan yang penting dalam pembangunan adalah, karena rumah merupakan tempat kepemilikan pribadi, tempat membangun harga diri seseorang, tempat pendidikan anak-anak sejak masih bayi, serta tempat membangun hubungan dan komunikasi yang intim sesama anggotanya. Terdapat beberapa kecenderungan tempat tinggal yang menjadi perhatian Bealls, yaitu rumah tinggal di kawasan perumahan muslim yang memiliki kecenderungan untuk memisahkan ruang tempat antara pria dan wanita. Kemudian tempat tinggal di negara-negara Asia selatan yang masih menganut sistem tinggal dengan keluarga batih (extended family). Beberapa di antara mereka; terutama warga miskinnya memerlukan kebijakan housing karena terkadang sanitasi perumahan mereka yang tidak memadai bisa menyebabkan penyakit-penyakit yang disebabkan oleh kuman akibat sanitasi buruk, misalnya kolera. Pada tahun 1991, di Peru pernah terjadi epidemic kolera dimana wabah ini melumpuhkan sector pariwisata dengan kerugian satu milliard dollar. Satterthwaite (1997) memperkirakan bahwa pada tahun 1990 ada 600 juta orang di daerah perkotaan seperti di Amerika Latin, Afrika dan Asia tinggal di perumahan yang tidak mempunyai standar kesehatan yang memadai. Hal ini mengakibatkan sedikitnya 2,6 milliar penduduk kota meninggal akibat kontaminasi air (UNDP,1995). Daerah lainnya juga tidak luput dari perhatian Bealls, yakni daerah di negara-negara Asia dunia ketiga, misalnya di kota Mumbai di India. Negara yang menganut sistem kasta ini mempunyai tingkat eksklusi sosial yang sangat tinggi, di mana dapat dilihat di komunitas Dalit. Sebagian besar dari mereka masih hidup di jalan. Hal inilah yang dirasakan oleh Bealls sebagai golongan yang sangat membutuhkan fasilitas perumahan. Tak jauh berbeda dengan Mumbai, India; maka di Hongkong terdapat fenomena manusia perahu. Yaitu disamping apartemen yang menjulang tinggi, maka terdapat beberapa golongan yang tidak mempunyai rumah serta terpaksa bertempat tinggal di perahu. Pemerintah setempat menganggarkan rumah susun murah guna mengatasi masalah ini, namun apartemen ini berubah menjadi rumah susun kumuh. Kesenjangan juga terjadi di Karachi Pakistan, yakni 40 persen warga kota tinggal di perumahan kota dengan ukuran 2X3m/keluarga. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa warga miskin perkotaan, membayar lebih untuk mendapatkan sarana dan prasarana yang tersedia di perkotaan, namun tidak diimbangi dengan kualitas kehidupan yang layak. Stephens (1966) mengatakan bahwa Orang miskin kota, membayar lebih untuk sakit kolera. Kebijakan Perumahan Temuan dari UNHCS/Habitat (1996) menyatakan bahwa 30-60 persen dari unit rumah di sebagian kota-kota di Selatan yang illegal kebanyakan dihuni oleh pengungsi.

Selain melanggar aturan kepemilikan tanah, maka bangunan mereka berentangan dengan aturan hukum yang berlaku. Penjaminan perumahan bagi penduduk ditengarai menjadi suatu indikasi bahwa pemerintah dalam suatu kota sukses menjalankan program kebijakan sosialnya. Turner (1972) menyarankan suatu pendekatan terhadap kebijakan perumahan. Ada beberapa pendekatan yang ia pergunakan, antara lain (1) Pendekatan kebijakan perumahan pertama, dinamakan dengan Self-Help Housing atau perumahan swadaya. Pemerintah mematok sebidang lahan kosong yang luas, dan menyambungkannya dengan sarana infrastruktur umum, di mana selanjutnya pemerintah menjual plot pemukiman tersebut kepada warga dengan harga yang cukup murah; untuk kemudian warga membangun sendiri tempat tinggal sesuai dengan yang mereka kehendaki. Kelemahannya, karena pada umumnya lahan yang dipergunakan untuk perumahan ini tidak dekat dengan sumber industri, maka biasanya warga miskin menjadi enggan memanfaatkan sarana perumahan ini. (2) Pendekatan kebijakan perumahan kedua, adalah Core House atau perumahan inti. Sama halnya dengan konsep rumah susun atau apartemen ekonomis, maka core housing adalah suatu perumahan yang dibangun dengan mendekati sumbersumber produksi. Perumahan dibangun secara vertikal, supaya lebih efisien serta menampung banyak warga. Kelemahannya adalah, karena letaknya di dekat sumbersumber industri, maka bisa dipastikan harganya lebih mahal, yang pastinya warga miskin tidak mampu membeli sarana perumahan ini. (3) Pendekatan kebijakan perumahan Upgrading. Penambahan sarana yang mendukung perumahan jauh lebih layak untuk dijadikan tempat tinggal yang sehat dinamakan upgrading. Trend terakhir kebijakan perumahan yang dilaksanakan oleh pemerintah lebih mengembangkan sistem upgrading. Hal ini dikarenakan sistem upgrading lebih menghemat alokasi anggaran pemerintah. Kelemahannya, upgrading memang membidik sasaran pada warga miskin yang telah mempunyai rumah, dengan demikian, maka hanya orangorang tertentu saja yang bisa menikmati fasilitas upgrading tersebut. Kelemahan lain dari upgrading yakni, warga yang menempati tanah illegal terkadang rumahnya turut diperbaiki sarana dan prasarananya, dengan demikian maka status legitimasi atas tanah tersebut menjadi meragukan. Layanan Kebutuhan Dasar Layanan kebutuhan dasar, yakni yang paling populer adalah program pengadaan air bersih merupakan salah satu kebijakan sosial yang dilaksanakan oleh pemerintah. Air bersih yang berhubungan erat dengan sanitasi lingkungan, merupakan suatu hal yang sangat penting untuk mendukung kesehatan komunal. Konferensi Mar de Plata Internasional dan Pembukaan Dekade Sanitasi Internasional (1990). Delegasi dari New Delhi misalnya, memproklamirkan target yang sederhana seperti Air sehat untuk semua. Selanjutnya, konferensi di Dublin mengungkapkan bahwa air merupakan sumber dari segala sumber kehidupan, termasuk di dalamnya sumber ekonomi. Jika kesehatan masyarakat sudah terjaga, maka pemerintah akan lebih mudah untuk menerapkan kebijakan yang lain kepada masyarakat miskin. Pemerintah, dalam upayanya untuk mencukupi dan mendukung program kebijakan sosial, maka saat ini pemerintah 8

mempunyai metode baru; yakni menggandeng lembaga masyarakat non pemerintah (NGO) guna membantu pelaksanaan kebijakan sosial. Tugas dari NGO adalah, menjembatani level masyarakat lokal dan pemerintah, menjadikan juru bicara pihak-pihak yang terabaikan atau mengalami eksklusi sosial atau marginalisasi golongan dalam suatu tatanan masyarakat, supaya mereka bisa bangkit serta bisa mendapatkan akses untuk mendapatkan salah satu layanan kebijakan pemerintah tersebut. Penggunaan perusahaan swasta yang dilibatkan dalam membantu kebijakan pemerintah, terkadang mengundang sejumlah masalah. Privatisasi perusahaan tidak sepenuhnya bertanggung jawab terhadap rakyat yang mereka layani. Dengan demikian, komitmen perusahaan swasta ini jauh berbeda dengan komitmen pemerintah. (Batley, 1996). Pelibatan NGO cukup berhasil, meskipun dengan demikian ada beberapa beban kerja yang berkaitan dengan sanitasi lingkungan, dihalangi oleh pemerintah. Sebagai contoh, misalnya NGI Pilot Orangi Project yang terdapat di Karachi Pakistan. Mereka membantu program sanitasi masyarakat, namun mengalami kesulitan dalam menyambungkan system sanitasi tersebut dengan selokan utama di perkotaan. Hal ini disebabkan karena pemerintah setempat tidak mengizinkan program sanitasi tersebut dengan alasan akan terlalu banyak biaya yang harus dikeluarkan. Hambatan yang dialami NGO lainnya adalah, sifat NGO yang social, terkadang dianggap tidak memperhatikan kebutuhan pemerintah untuk memperoleh keuntungan. NGO yang mengadakan sanitasi biasanya juga meminta pemerintah untuk menggratiskan sarana kebutuhan dasar tersebut; sementara di sisi lain, pemerintah juga membutuhkan dana guna perawatan sarana dan prasarana dasar. Dengan demikian, maka jika kedua pihak tidak ada yang mengalah, titik temu diantara mereka tidak akan pernah bisa terlaksana dengan baik.

Mata Pencaharian di Perkotaan


Salah satu penyebab utama kemiskinan adalah langkanya pekerjaan. Pekerjaan bagi masyarakat perkotaan hanya terkonsep pada pekerjaan-pekerjaan yang bersifat formal. Lebih dari itu, pekerjaan sebenarnya bisa dimaknai suatu upaya yang bertujuan untuk mendapatkan pemasukan sehingga bisa memenuhi kebutuhan hidup. Dalam bab ini akan dijelaskan kebijakan apa saja yang bisa menghasilkan pemasukan bagi masyarakat miskin di perkotaan; di mana akan terdiri atas dua bagian utama. Bagian pertama mengemukakan tentang usaha sector ekonomi informal, sedangkan bagian yang kedua berhubungan dengan strategi yang membina hubungan informal dengan jaminan social. Cara Mendapatkan Pemasukan Perubahan ekonomi menjadi system global merubah kesempatan kerja cenderung bertempat di perkotaan. System ekonomi global ini kemudian mendesak sejumlah korporasi untuk menghemat besar-besaran terhadap sejumlah biaya produksi. Pada akhirnya, ada semacam tuntutat untuk mengkasualisasi pekerja dengan memberikan system kontrak kerja kepada pekerja, sehingga kondisi ini berpeluang meningkatkan pengangguran dengan jumlah yang sangat besar.

Hart (1973) pernah memimpin misi kerja ILO untuk Ghana dan Kenya. Hart kemudian menyimpulkan bahwa dalam suatu usaha, maka dibutuhkan suatu usaha ekonomi alternative yang kemudian ia sebut dengan sector ekonomi informal. hal-hal krusial yang harus diipupuk guna mengembangkan ekonomi informal, antara lain: akses kemudahan untuk membuka usaha, koperasi yang menyediakan bantuan untuk membuka usaha dengan menyediakan pinjaman dengan bunga lunak, penggunaan sumber daya alam serta penyesuaian dengan kondisi serta kebutuhan masyarakat setempat, adanya pekerja yang bekerja secara intensif meskipun jumlahnya hanya sedikit, penggunaan keterampilan dapat diperoleh di luar sekolah formal, pinjaman modal dengan bunga rendah, serta penggunaan tenaga kerja yang berasal dari keluarga atau kerabat. Banyak orang menilai bahwa orang-orang yang bekerja di sektor informal adalah sekumpulan pekerjaan yang dilakukan oleh sekelompok orang-orang yang menjadi pengangguran karena tidak memiliki pekerjaan. Oleh karena itu, kebijakan sosial pada sekarang ini berusaha menumbuhkan kebijakan yang memunculkan pola ekonomi kreatif, yaitu kebijakan yang membuat sektor informal sama bernilai dan sama pentingnya dengan pekerjaan di sektor formal. Bagi pemerintah maupun NGO, maka yang dibutuhkan guna membangun sektor informal adalah adanya modal sosial. Modal sosial merupakan hal-hal dasar yang telahh dipenuhi atau dimiliki oleh orang miskin yang tidak mampu mem-bangun usaha mereka dikarenakan tidak mempunyai aset. Selanjutnya, modal sosi-al ini dirasa lebih kuat karena distribusi modal sosial lebih menguntungkan bagi orang miskin dibandingkan dengan yang lainnya, investasi dalam membangun mo-dal sosial akan bermanfaat dalam strategi pengentasan kemiskinan karena modal sosial yang kembali pada orang miskin akan lebih bermanfaat. Kebijakan yang Mendukung Penambahan Pemasukan Pemberian status hukum bagi sektor informal adalah jalan dari pemberdayaan sektor informal. Demikian pokok pemikiran Hernando de Soto yang tertuang dalam bukunya The Mistery of Capital : Why Capitalism Triumphs in the West and Fails Everywhere Else. Menurut de Soto, sektor informal adalah aktivitas ekonomi yang berada di luar sistem ekonomi yang legal, tak dilindungi oleh hukum, dan rawan terhadap eksploitasi pihak-pihak yang memiliki kekuasaan resmi maupun tidak resmi. De Soto berpendapat bahwa pekerja informal adalah sekumpulan wirausahawan yang dinamis dalam usaha mereka untuk memperbaiki taraf hidup yang sayangnya sering diganjal oleh peraturan pemerintah yang memberatkan. Berdasarkan penelitiannya di Lima, maka de Soto yakin bahwa sektor informal ternyata memiliki kekuatan wirausaha yang tinggi, mampu membangun lembaga demokrasi dan tatanan ekonomi pasar yang tidak diskriminatif. Kesulitan dalam pendekatan yang digunakan untuk menerapkan kebijakan bagi pengusaha informal adalah berkaitan dengan masalah yang bersifat struktural. Sektor informal selalu dianggap sebagai usaha yang berkaitan dengan orang-orang yang berada di garis kemiskinan, sehingga perlakuan yang mereka terima kerap mendapat ketidak adilan. Masalah pendataan jumlah pengusaha informal ditengarai terkadang 10

membuat pemerintah menerapkan kebijakan yang tak menguntungkan bagi pengusaha informal. Privatisasi lahan publik menjadi lahan usaha sering menjadikan para pekerja sektor informal dituding sebagai pekerja yang tidak bisa diatur serta mengganggu ketertiban umum; meskipun sebenarnya kesalahan terbesar pemerintah adalah, tidak membangun sarana dan prasarana yang memadai sebagai lahan pekerja informal untuk mencari nafkah bagi dirinya. International Labour Organization (ILO) telah membangun kebijakan yang bertujuan untuk mendukung sektor usaha informal. Strategi yang digunakan adalah menerapkan kebijakan menggerakkan usaha-usaha dagang dengan kredit lunak dari Bank Dunia. Sektor usaha dagang ini berhasil menggerakkan sektor ekonomi informal di negara-negara dunia ketiga, misalnya Filiphina, Indonesia, dan Thailand. Langkah berikutnya adalah menggandeng NGO (Non Government Organization) di kawasan perkotaan. NGO inilah yang bertugas untuk melakukan perlindungan hukum serta melakukan pendampingan terhadap para pekerja informal. Sebagai contoh program pendampingan ini adalah ADOPEM yang terdapat di Republik Dominika yang memberikan penyuluhan terhadap penga-turan usaha, penghitungan, serta prosedur yang berkaitan dengan masalah Bank; kemudian ada juga The Self Employed Women s Union yang terdapat di India yang melakukan misi pendampingan dalam hal prosedur perbankan untuk sektor usaha informal, pelayanan asuransi kesehatan, perlindungan terhadap kekerasan dalam rumah tangga, serta perlindungan hukum untuk pekerja informal. Meskipun NGO merupakan suatu badan yang berskala kecil, namun paling tidak bisa menjadi inspirasi perlindungan bagi pekerja sektor informal lainnya. Jaringan Sosial, Keamanan Sosial, dan Perubahan Sosial System kehidupan perkotaan tidak hanya disusun dari berbagai aktivitas untuk melakukan proses produksi saja, namun lebih dari itu; diperlukan suatu jaringan social yang berfungsi untuk mendukung pemasaran serta ekspansi usaha pada masyarakat perkotaan. Kehidupan jaringan social dimulai dari tingkat keluarga atau rumah tangga sebagai unit terkecil dalam masyarakat. Kenyataan yang berlaku dalam konstruksi masyarakat selama ini adalah, bahwa jika pendapatan dalam suatu keluarga menipis, maka isteri atau ibu akan turut bekerja. Kenyataan lain yang memprihatinkan adalah, pendidikan untuk anak perempuan juga terkadang ikut dikorbankan. Padahal, realitas menunjukkan bahwa kemampuan seorang perempuan dalam membuat suatu usaha untuk memperbaiki taraf hidup jauh lebih baik daripada laki-laki. Oleh Bank Dunia, para anak perempuan inilah yang kemudian dibidik sebagai objek sebagai pelaku usaha informal. Hal ini logis, mengingat di negara-negara Dunia Ketiga, perempuan dianggap sebagai warganegara kelas dua. Dengan adanya program bantuan usaha informal kepada anak-anak perempuan, maka selain mereka bisa berperan menjadi ibu dan isteri, maka mereka juga masih punya kesempatan untuk bekerja di sector-sektor informal. Perjuangan perempuan sebagai pekerja informal tidak hanya berhenti pada faktor pemberian kesempatan untuk ekspansi usaha saja, namun lebih dari itu diperlukan suatu system keamanan bagi pekerja informal perempuan tersebut guna 11

perlindungan hukum dan keamanan atas usaha yang mereka geluti. Selain perlindungan keamanan, maka perlu juga pembangunan sarana dan prasarana yang memadai untuk melancar-kan usaha informal tersebut. sebagai contoh, langkah-langkah yang dikemukakan oleh walikota Solo Joko Widodo dalam melakukan relokasi PKL. Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan salah satu usaha perdagangan informal yang dinggap menjadi permasalahan kota yang tidak ada habisnya. PKL kemudian dianggap menjadi suatu hal yang merugikan kepentingan umum, karena mereka seringkali mengganggu ketertiban lalu lintas, menggunakan saluran air terdekat untuk membuang sampah dan mencuci, serta membuat suatu fasilitas ruang terbuka menjadi kumuh. Keberadaan para PKL ini kemudian men-jadi semacam beban kota, di mana masalah penggusuran serta bentrokan dengan satpol Pamong Praja kerap mengganggu usaha mereka. Pada tahun 2006, pemerintah Kota Surakarta membuat kebijakan dalam pengelolaan serta penataan pedagang kaki lima. Keputusan ini berdasarkan atas Keputusan walikota Surakarta No. 644/140/1/2006 tentang Penetapan Lokasi Pembangunan Pasar Klithikan di Kelurahan Semanggi Kecamatan Pasar Kliwon Kota Surakarta, di mana di dalamnya juga mengatur tentang relokasi PKL yang dilakukan oleh Pemkot Surakarta. Langkah relokasi ini sebenarnya suatu solusi yang ditawarkan oleh walikota Solo Joko Widodo dalam menjembatani usaha informal supaya mampu mendatangkan keuntungan yang optimal, namun tidak mengganggu fasilitas umum. Sektor informal termasuk PKL tersebut, menurut Hernando De Soto, merupakan kelompok yang memiliki aset besar. Kalkulasi De Soto menyebutkan aset sektor informal di dunia ketiga 20 kali lebih besar dari aliran investasi asing dan 90 kali lebih banyak dari bantuan asing dalam 30 tahun terakhir ini. Kekayaan yang dimiliki kaum miskin melebihi yang diberikan negara maju. Upaya pengembangan sektor informal akan bisa membangkitkan ekonomi. Sebaliknya, keterpurukan sektor informal bukan saja merugikan sektor informal, tetapi juga perekonomian negara. Kejelasan status lahan yang menjadi tempat tinggal dan lokasi usaha sektor informal, membuat sektor informal akan mampu mengatasi persoalan legalitas. Hal itu kemudian bisa dipakai sebagai salah satu jaminan mendapatkan permodalan. (Kompas, 7 November 2006) Visi penataan PKL yang sering disampaikan Walikota Surakarta, simetris dengan paradigma memasukkan PKL ke sektor formal sehingga memiliki aset yang bisa didokumentasi secara formal dan bisa dimanfaatkan sebagai faktor produk-si. Relokasi ini didukung pula dengan komunikasi politik yang dilakukan antara walikota Solo dengan PKL tersebut, yang diakui oleh PKL sebagai metode komuni-kasi yang berpihak pada rakyat. Oleh karena komunikasi yang simpatik ini, maka PKL bersedia dipindahkan dari Monumen 45 Banjarsari menuju ke Pasar Klithikan Semanggi. Implementasi dan Pemerintahan Kota Kebijakan perkotaan beberapa tahun terakhir di berbagai belahan dunia menganut asas desentralisasi, di mana hal ini menunjukkan perubahan jika diban-dingkan dengan trend kebijakan beberapa tahun sebelumnya yang bersifat sentra-lisasi. Salah satu konsekuensi dari desentralisasi adalah adanya pemerintah kota. Lebih lanjut, maka

12

pemerintah kota mempunyai tugas utama dalam memerangi kemiskinan di perkotaan. Hal ini disebabkan oleh tiga unsur pokok, yakni : 1. Kegagalan sistem terdahulu yang bersifat sentral yang seringkali gagal dalam menerapkan suatu program, karena tidak tepat pada sasaran. Jika desentralisasi diterapkan pada suatu negara, maka diharapkan kegagalan akibat tidak tepat sasarannya suatu kebijakan tidak akan terjadi karena adanya pendamping serta evaluator yang mengawasi kebijakan perkotaan, misalnya NGO, LSM, dan lain. 2. Sistem sentralisme menutup saluran demokrasi di berbagai negara berkembang karena sistem sentralisme membuat pemerintah daerah hanya menjadi boneka dari pemerintah pusat. Padahal, ada perbedaan mendasar antara menangani suatu negara secara keseluruhan dengan menangani suatu daerah. 3. Program bantuan untuk penanggulangan kemiskinan yang berasal dari lem-bagalembaga internasional akan lebih cepat sampai ke tangan rakyat yang membutuhkan, serta meminimalisir pemotongan-pemotongan bantuan yang sering dilakukan oleh pemerintah pusat. Hubungan antara Pemerintahan Kota dengan Usaha Pengurangan Kemiskinan Perkotaan Berdasarkan atas kemampuan dan fungsinya, maka pemerintah kota secara teoretis diharapkan mampu untuk memecahkan masalah-masalah perkotaan deng-an berpegang teguh pada dua komitmen, yakni : 1. Pemerintahan kota harus mempnyai komitmen untuk mendesain suatu layanan yang berfungsi untuk mengentaskan kemiskinan sesuai dengan kebutuhan perkotaan. Dengan kata lain, penentuan dewan kota harus merepresentasikan semua pihak yang berkepentingan, terutama pihak-pihak yang selama ini di-marjinalisasi. 2. Pemerintah kota harus mempunyai komitmen untuk melaporkan mekanisme birokrasi dengan tujuan transparansi dan untuk melakukan evaluasi terhadap target yang akan mereka raih. Dengan demikian, pemerintah merupakan pro-duk interaktif antara pemerintah dengan lembaga-lembaga terkait lainnya. Sejalan dengan komitmen tersebut, maka salah satu tugas lain pemerintah adalah, mengoganisir masyarakat, pasar, dan negara guna mencapai kesejahteraan. Pemerintah sudah selayaknya memikirkan kebijakan yang pro dengan rakyat. Dalam memutuskan kebijakan tersebut, maka harus ada koordinasi timbal balik yang dilakukan dengan rakyat, supaya keputusan yang diambil sesuai dengan ke-mufakatan bersama antara rakyat dengan pemerintah. Kekuatan dan Kelemahan Dari Pemerintahan Kota Ada beberapa keuntungan dari perspektif baru pemerintahan kota. Hal ini lebih pada pola-pola pengaturan dan kombinasi antara kekuatan negara, pasar, dan masyarakat. Jika kesemua lembaga ini berjalan dan berkoordinasi secara sinergis, maka peran lembaga-lembaga ini akan mampu menutupi kelemahan dari pemerintahan kota. Singkatnya, sektor privat secara fisik bisa dikombinasikan denagn gaya NGO yang berfokus pada keadilan sosial. Kekuatan NGO dalam bekerja secara tertutup dalam 13

suatu masyarakat bisa dikombinasikan dengan negara yang mempunyai fokus dan tujuan pada akuntabilitas dan ketersediaan mereka untuk melakukan subsidi silang dari kaum kaya ke kaum miskin. Dengan demikian, maka jumlah dari kesulitan potensial bisa dikenali. Dalam pemerintahan, maka terkadang sering dijumpai dua cara pandang yang berlainan. Sebagai contoh, pemerintah harus berpihak pada rakyat miskin dengan memperhatikan kesejahteraan mereka. Akan tetapi, di sisi lain para kaum miskin ini juga melakukan hambatan terhadap para pemilik modal atau pemilik usaha dan korporasi. Pemerintah dalam hal ini diharapkan bersifat netral, mampu melihat permasalahan secara objektif. Jika pemerintah tidak bisa bersikap netral, maka korupsi dan kolusi akan mudah sekali terjadi dalam pemerintahan tersebut. Jika korupsi dan kolusi berlangsung,, maka pada saat itulah kebijakan pemerintah akan menjadi kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat miskin.

Kesimpulan
Bagian pertama pada bab ini membahas mengenai perbedaan secara kuali-tatif dan kuantitatif yang digunakan untuk mendefinisikan wilayah-wilayah yang digunakan untuk mempelajari studi tentang masalah-masalah perkotaan. Lebih dalam lagi, maka bagian pertama juga mencoba untuk menggali masalah-masalah yang berhubungan dengan perkotaan yang disebabkan oleh kualitas dari suatu kota itu sendiri. Bab ini juga mengemukakan bahwa masalah pembangunan perkotaan terlebih dahulu haruslah memahami akar dari permasalahan perkotaan tersebut. Masalah yang dikemukakan oleh penulis buku ini antara lain, trend perkotaan menunjukkan bahwa pada masa yang akan datang warga miskin akan tinggal di kota, di mana muncul kota-kota baru. Kotakota yang telah menjadi kota besar sebelum-nya, akan beranjak menjadi kota megapolitan. Ditengarai, masalah yang muncul berkaitan dengan golongan miskin, masalah perumahan, banyaknya pengangguran yang tak terserap dalam lapangan pekerjaan. Bagian kedua pada bab ini membahas mengenai kebijakan social yang digunakan untuk memecahkan masalah tersebut. Masalah social yang pertama, yakni menumpuknya kaum miskin di perkotaan, diatasi dengan kebijakan pendamping-an oleh lembaga-lembaga non pemerintah. Kebijakan tentang perumahan, diguna-kan untuk menjawab masalah yang berkaitan dengan rumah-rumah kumuh, dan warga masyarakat yang tidak mampu untuk membeli rumah dijual oleh developer konvensional. Kemudian, kebijakan pemerintah kota untuk mendukung perekono-mian di sector informal digunakan untuk menjawab permasalahan perkotaan, terutama yang berkaitan dengan pengangguran. Jika kebijakan di sector informal lebih berpihak pada rakyat, maka sector informal yang maju bisa mendongkrak ekonomi perkotaan jauh lebih tinggi daripada sector ekonomi formal.

14

You might also like