You are on page 1of 18

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar belakang Salah satu tanggung jawab dari seorang ahli anestesi adalah menjaga sistem fungsi organ vital selama operasi. Diantaranya menjamin respirasi yang adekuat bagi pasien dengan memantau jalan nafas. Oleh karena itu, tidak heran ahli anestesi mempunyai peranan penting dalam perkembangan teknik resusitasi paru jantung (RJP) atau Cardiopulmonary Resusitation (CPR) diluar ataupun selama didalam ruang operasi. Tindakan RJP ini tidak hanya berlaku dalam ruangan operasi, tapi dapat juga diluar jika terdapat suatu kejadian dimana ada seorang pasien atau korban dalam usaha mempertahankan hidupnya dalam keadaan mengancam jiwa. Hal ini dikenal dengan Bantuan Hidup Dasar (BHD) atau Basic Life Support (BLS). Sedangkan bantuan yang dilakukan dirumah sakit sebagai lanjutan dari BHD disebut Bantuan Hidup Lanjut/ Advance Cardiac Life Support (ACLS). Bantuan hidup dasar atau basic life support adalah pendekatan sistemik untuk penilaian pertama pasien, mengaktifkan respon gawat darurat dan juga inisiasi CPR atau RJP. RJP yang efektif adalah dengan menggunakan kompresi dan dilanjutkan dengan ventilasi. Tindakan ini dapat dilakukan oleh orang awam dan juga orang yang terlatih dalam bidang kesehatan. Keadaan yang perlu perhatian dan dapat menyebabkan Systemic Cardiopulmonary Arrest (SCA) adalah seperti kecelakaan, sepsis, kegagalan respiratori, sudden infant death syndrome dan banyak lagi yang dilakukan saat pertama kali menemukan pasien atau korban adalah melakukan penilaian dini. Jika dalam penilaian ditemukan : 1. Tersumbatnya jalan nafas 2. Tidak ditemukan adanya nafas 3. Tidak ada nadi Maka lakukan tindakan BHD segera. Menurut American Heart Association (AHA), rantai kehidupan mempunyai hubungan erat dengan resusitasi jantung paru, karena penderita yang diberikan RJP, mempunyai kesempatan yang besar untuk dapat hidup kembali. RJP yang digunakan dirujuk kepada pedoman dari AHA yaitu 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary

Resuscitation and Emergency Cardiovascular care. Ini merupakan adaptasi daripada buku ABC of resuscitation yang ditulis oleh Peter Safar pertama kali pada tahun 1957. Terdapat beberapa pembaharuan pada pedoman pada tahun 2010 dan yang dahulu yaitu pada tahun 2005. Pada tahun 2010, terdapat pembaharuan yang besar di mana kompresi didahului sebelum ventilasi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


II.1 Definisi Resusitasi paru jantung adalah Resusitasi jantung paru (RJP) adalah upaya mengembalikan fungsi nafas dan atau sirkulasi yang berhenti oleh berbagai sebab dan boleh membantu memulihkan kembali kedua-dua fungsi jantung dan paru ke keadaan normal. Bantuan hidup dasar atau basic life support (BLS) termasuk mengenali jika terjadinya serangan jantung, aktivasi respon sistem gawat darurat, dan defibrilasi dengan menggunakan defibrillator.

II. 2 Tujuan Tujuan BHD ialah oksigenasi darurat secara efektif pada organ vital seperti otak dan jantung melalui ventilasi buatan dan sirkulasi buatan sampai paru dan jantung dapat menyediakan oksigen dengan kekuatan sendiri secara normal. Resusitasi mencegah terjadinya berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi yang dapat menyebabkan kematian sel-sel akibat dari kekurangan oksigen dan memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan ventilasi dari korban yang mengalami henti jantung atau henti nafas.

II. 3 Indikasi 1. Henti nafas Henti nafas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara pernafasan dari korban atau pasien dan merupakan kasus yang harus dilakukan tindakan Bantuan Hidup Dasar. Pada awal henti nafas oksigen masih dapat masuk ke dalam darah untuk beberapa menit dan jantung masih dapat mensirkulasikan darah ke otak dan organ vital lainnya, dengan diberikan bantuan resusitasi dapat membantu menjalankan sirkulasi lebih baik dan mencegah kegagalan perfusi organ, sehingga. Henti nafas dapat terjadi dalam keadaan seperti:

        

Tenggelam atau lemas Stroke Obstruksi jalan nafas Epiglotitis Overdosis obat-obat Tersengat listrik Infark miokard Tersambar petir Koma akibat berbagai macam kasus

2. Henti Jantung Henti jantung primer adalah ketidaksanggupan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen keotak dan organ vital lainnya secara mendadak dan dapat balik normal, jika dilakukan tindakan yang tepat atau akan menyebabkan kematian atau kerusakan otak menetap kalau tindakan tidak adekuat. Henti jantung yang terminal akibat usia lanjut atau penyakit kronis tertentu tidak termasuk henti jantung atau cardiac arrest. Henti sirkulasi ini akan dengan cepat menyebabkan otak dan organ vital kekurangan oksigen. Pernafasan yang terganggu merupakan tanda awal akan terjadinya henti jantung. Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba disertai kebiruan atau pucat sekali, pernafasan berhenti atau satu-satu, dilatasi pupil tak bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak sadar. II.4 Sistem Pernafasan dan Sirkulasi Tubuh manusia terdiri dari beberapa sistem, diantaranya yang utama adalah sistem pernafasn dan sistem sirkulasi. Kedua sistem ini merupakan komponen utama dalam mempertahankan hidup. Terganggunya salah satu fungsi ini dapat mengakibatkan ancaman kehilangan nyawa. Tubuh dapat menyimpan makanan untuk beberapa minggu dan menyimpan air untuk beberapa hari, tetapi hanya dapat menyimpan oksigen (O) untuk beberapa menit saja.

Sistem pernafasan mensuplai oksigen kedalam tubuh sesuai dengan kebutuhan dan juga mengeluarkan karbondioksida (CO2). Sistem sirkulasi inilah yang memberikan suplai oksigen dan nutrisi keseluruh jaringan tubuh. Komponen-komponen yang berhubungan dengan sirkulasi adalah: 1. 2. 3. Jantung Pembuluh Darah ( Arteri, Vena, Kapiler) Darah dan kompone-komponennya. bertanggungjawab

Jantung berfungsi untuk memompa darah dan kerjanya sangat berhubungan erat dengan sistem pernafasan, pada umumnya semakin cepat kerja jantung semakin cepat pula frekuensi pernafasan dan sebaliknya. Jantung dapat berhenti bekerja karena banyak sebab,diantaranya: 1. 2. 3. 4. 5. Penyakit jantung Gangguan pernafasan Syok Komplikasi penyakit lain: Stroke Penurunan kesadaran

Beberapa istilah yang berhubungan dengan keadaan sistem pernafasan dan sistem sirkulasi yang terganggu: 1. MATI Dalam istilah kedokteran dikenal dengan dua istilah untuk mati: mati klinis dan mati biologis . 1.a. Mati Klinis Tidak ditemukan adanya pernafasan dan denyut nadi.Mati klinis dapat reversible.Pasien /korban mempunyai kesempatan waktu selama 4-6 menit untuk dilakukan resusitasi,sehingga memberikan kesempatan kedua sistem tersebut berfungsi kembali.

1.b. Mati Biologis Terjadi kematian sel, dimana kematian sel dimulai terutama sel otak dan bersifat irreversible, biasa terjadi dalam waktu 8 10 menit dari henti jantung. Pasien/korban mengalami henti nafas dan henti jantung mempunyai harapan hidup lebih baik jika semua langkah dalam rantai penyelamatan (Chain of Survival) dilakukan. Rantai ini diperkenalkan oleh AHA (American Heart Association) : 1. 2. 3. 4. Kecepatan dalam permintaan bantuan Kecepatan dalam melakukan RJP Kecepatan dalam melakukan Defibrilasi Kecepatan dalam pertolongan Hidup Lanjut di RS (Advance Cardiac Life Support)

2. SURVEI PRIMER Survei ini difokuskan pada bantuan nafas dan sirkulasi serta defibrilasi. Untuk dapat mengingat dengan mudah tindakan pada survei primer ini dirumuskan dengan huruf abjad : A, B, C, dan D. A B C D airway breathing circulation (jalan nafas) (bantuan nafas) (bantuan sirkulasi)

defibrillation (terapi listrik)

II.5 Fase Resusitasi Jantung Paru Pembagian fase ini dimaksudkan agar memudahkan dalam latihan dan mengingat tahap yang harus dilakukan. Perlu diperhatikan juga kesiapan penolong, apakah mampu atau tidak, dan

lingkungan sekitar, perlu tidaknya menjauhkan pasien atau penderita dalam lingkungan yang berbahaya. a. Fase I : Basic Life Support (BLS), yaitu prosedure pertolongan darurat dalam mengatasi obstruksi jalan nafas, henti jantung, dan bagaimana melakukan RJP secara benar. Dalam fase ini terdiri dari langkah yang di A (airway), B (breathing), C (circulation).

C (circulation) : mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung paru

A (airway )

: menjaga jalan nafas tetap terbuka

B (breathing) : ventilasi paru dan oksigenasi yang adekuat

b. Fase II : Advance Life Support (ALS), yaitu BLS ditambah dengan D (drug) dan E (EKG). D ( drugs ) E ( EKG ) : pemberian obat-obatan termasuk cairan. : diagnosis elektrokardiografis secepat mungkin untuk

mengetahuis fibrilasi ventrikel. c. Fase III : Prolonged Life Support (PLS), yaitu penambagan dari BLS dan ALS, G (gauge), H (head), I (Intensive care). G ( gauge ) : Pengukuran dan pemeriksaan untuk monitoring penderita dinilai, dicari penyebabnya dan kemudian

secara terus menerus, mengobatinya. H (Head)

: tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistem

saraf dari kerusakan lebih lanjut akibat terjadinya henti jantung, sehingga dapat dicegah terjadinya neurologic yang permanen. I (Intensive Care ) : perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan ventilasi : trakheostomi, pernafasan dikontrol terus menerus, sonde lambung, pengukuran pH, pCO2 bila diperlukan dan tunjangan sirkulasi

mengedalikan jika terjadinya kejang.

Sebelum melakukan tahapan A (airway) terlebih dahulu dilakukan prosedur awal pada pasien/korban, yaitu: - Memastikan keamanan lingkungan. Aman bagi penolong maupun aman bagi pasien/korban itu sendiri. - Memastikan kesadaran pasien/korban. Dalam memastikan pasien/korban dapat dilakukan dengan menyentuh atau menggoyangkan bahu pasien/korban dengan lembut dan mantap, sambil memanggil namanya atau Pak!!!/ Bu!!!!/ Mas!!!/Mbak!!!, dll. - Meminta pertolongan. Bila diyakini pasien/korban tidak sadar atau tidak ada respon segera minta pertolongan dengan cara : berteriak tolong !!!! beritahukan posisi dimana, pergunakan alat komunikasi yang ada, atau aktifkan bel/sistem emergency yang ada (bel emergency di rumah sakit). - Memperbaiki posisi pasien/korban. Tindakan BHD yang efektif bila pasien/korban dalam posisi telentang, berada pada permukaaan yang rata/keras dan kering. Bila ditemukan pasien/korban miring atau telungkup pasien/korban harus ditelentangkan dulu dengan membalikkan sebagai satu kesatuan yang utuh untuk mencegah cedera/komplikasi. - Mengatur posisi penolong. Posisi penolong berlutut sejajar dengan bahu pasien/korban agar pada ssat memberikan batuan nafas dan bantuan sirkulasi penolong tidak perlu banyak pergerakan.

Gambar 1. Cek kesadaran dan Aktifkan Sistem Emergensi

1. A (AIRWAY) Jalan Nafas Setelah melakukan tahap awal kemudian : cheese burger 1. Pemeriksaan Jalan Nafas

Untuk memastikan jalan nafas bebas dari sumbatan karena benda asing. Bila sumbatan ada dapat dibersihkan dengan tehnik cross finger ( ibu jari diletakkan berlawan dengan jari telunjuk pada mulut korban). Cara melakukan tehnik cross finger a. Silangkan ibu jari dan telunjuk penolong b. Letakkan ibu jari pada gigi seri bawah korban/pasien dan jari telinjuk pada gigi seri atas c. Lakukan gerakan seperti menggunting untuk membuka mulut pasien/korban. d. Periksa mulut setelah terbuka apakah ada cairan,benda asing yang menyumbat jalan nafas.

2.

Membuka Jalan Nafas

Pada pasien/korban tidak sadar tonus otot menghilang, maka lidah dan epiglotis akan menutup faring dan laring sehingga menyebabkan sumbatan jalan nafas. Keadaan ini dapat dibebaskan dengan tengadah kepala topang dahi (Head tild Chin lift) dan manuver pendorongan mandibula (Jaw thrush manuver). Cara melakukan tehnik Head tilt chin lift a. b. c. Letakkan tangan pada dahi pasien/korban Tekan dahi sedikit mengarah ke depan dengan telapak tangan penolong. Letakkan ujung jari tangan lainnya dibawah bagian ujung tulang rahang pasien/korban
9

d.

Tengadahkan kepala dan tahan/tekan dahi pasien/korban secara bersamaan sampai kepala pasien/korban pada posisi ekstensi.

Cara melakukan tehnik jaw thrust manuver a. b. c. d. Letakkan kedua siku penolong sejajar dengan posisi pasien/korban Kedua tangan memegang sisi kepala pasien/korban Penolong memegang kedua sisi rahang Kedua tangan penolong menggerakkan rahang keposisi depan secara perlahan e. Pertahankan posisi mulut pasien/korban tetap terbuka

(a)

(b)

Gambar 2. Pembebasan Jalan Nafas teknik Head tilt chin lift (a) dan tehnik jaw thrust manuver (b)

2. B ( BREATHING) Bantuan Nafas Terdiri dari 2 tahap : 1. Memastikan pasien/korban tidak bernafas Dengan cara melihat pergerakan naik turunya dada (look), mendengar bunyi nafas (listen)dan merasakan hembusan nafas (feel), dengan tehnik penolong mendekatkan telinga diatas

10

mulut dan hidung pasien/korban sambil tetap mempertahankan jalan nafas tetap terbuka. Dilakukan tidak lebih dari 10 detik.

Gambar 3. Cek pernafasan

2. Memberikan bantuan nafas Bantuan nafas dapat dilakukan melalui mulut ke mulut, mulut ke hidung, mulut ke stoma( lubang yang dibuat pada tenggorokan). Bantuan nafas diberikan sebanyak 2 kali, waktu tiap kali hembusan 1,5 2 detik dan volume 700 ml 1000 ml (10 ml/kg atau sampai terlihat dada pasien/korban mengembang.Konsentrasi oksigen yang diberikan 16 17 %. Perhatikan respon pasien. Cara memberikan bantuan pernafasan : Mulut ke mulut

Merupakan cara yang cepat dan efektif. Pada saat memberikan penolong tarik nafas dan mulut penolong menutup seluruhnya mulut pasien/korban dan hidung pasien/korban harus ditutup dengan telunjuk dan ibu jari penolong.Volume udara yang berlebihan dapat menyebabkan udara masuk ke lambung.

11

Gambar 4. Pemberian nafas dari mulut ke mulut

Mulut ke hidung

Direkomendasikan bila bantuan dari mulut korban tidak memungkinkan,misalnya pasien/korban mengalami trismus atau luka berat.Penolong sebaiknya menutup mulut pasien/korban pada saat memberikan bantuan nafas.

Gambar 5. Pernafasan dari mulut ke hidung

Mulut ke stoma

Dilakukan pada pasien/korban yang terpasang trakheostomi atau mengalami laringotomi.

12

Gambar 6. Pernafasan mulut ke stoma.

3. C (CIRCULATION) bantuan sirkulasi Terdiri dari 2 tahap : 1. Memastikan ada tidaknya denyut jantung pasien/korban

Ditentukan dengan meraba arteri karotis didaerah leher pasien/korban dengan cara dua atau tiga jari penolong meraba pertengahan leher sehingga teraba trakea, kemudian digeser ke arah penolong kira-kira 1-2 cm, raba dengan lembut selam 5 10 detik. Bila teraba penolong harus memeriksa pernafasan, bila tidak ada nafas berikan bantuan nafas 12 kali/menit. Bila ada nafas pertahankan airway pasien/korban. 2. Memberikan bantuan sirkulasi

Jika dipastikan tidak ada denyut jantung berikan bantuan sirkulasi atau kompresi jantung luar dengan cara: - Tiga jari penolong ( telunjuk,tengan dan manis) menelusuri tulang iga pasien/korban yang dekat dengan sisi penolong sehingga bertemu tulang dada (sternum).

13

- Dari tulang dada (sternum) diukur 2- 3 jari ke atas. Daerah tersebut merupakan tempat untuk meletakkan tangan penolong. - Letakkan kedua tangan pada posisi tadi dengan cara menumpuk satu telapak tangan diatas telapak pasien/korban. - Posisi badan penolong tegak lurus menekan dinding dada pasien/korban dengan tenaga dari berat badannya secara teratur sebanyak 30 kali dengan kedalaman penekanan 1,5 2 inchi ( 3,8 5 cm). - Tekanan pada dada harus dilepaskan dan dada dibiarkan mengembang kembali ke posisi semula setiap kali kompresi.Waktu penekanan dan melepaskan kompresi harus sama ( 50% duty cycle). - Tangan tidak boleh berubah posisi. - Ratio bantuan sirkulasi dan bantuan nafas 30 : 2 baik oleh satu penolong maupun dua penolng.Kecepatan kompresi adalah 100 kali permenit. Dilakukan selama 4 siklus. Tindakan kompresi yang benar akan menghasilkan tekanan sistolik 60 80 mmHg dan diastolik yang sangat rendah.Selang waktu mulai dari menemukan pasien/korban sampai dilakukan tindakan bantuan sirkulasi tidak lebih dari 30 detik. tangan yang lain.Hindari jari-jari menyentuh didnding dada

4.

D (DEFIBRILATION) terapi listrik Terapi dengan memberikan energi listrik Dilakukan pada pasien/korban yang penyebab

henti jantung adalah gangguan irama jantung. Penyebab utama adalah ventrikel takikardi atau ventrikel fibrilasi.Pada penggunaan orang awam tersedia alat Automatic External Defibrilation (AED). PENILAIAN ULANG Sesudah 4 siklus ventilasi dan kompresi kemudian pasien/korban dievaluasi kembali : - Jika tidak ada denyut jantung dilakukan kompresi dan bantuan nafas dengan ratio 30 : 2
14

- Jika ada nafas dan denyut jantung teraba letakkan korban pada posisi sisi mantap - Jika tidak ada nafas tetapi teraba denyut jantung, berikan bantuan nafas sebanyak 12 kali permenit dan monitor denyut jantung setiap saat.

II.6 Pembaharuan Pada BLS Guidelines 2010 Terdapat beberapa pembaharuan pada BLS 2010, berbanding dengan 2005. Beberapa perubahan yang telah dilakukan adalah seperti berikut: 1. Mengenali sudden cardiac arrest (SCA) dari menganalisa respon dan pernafasan. 2. Look,listen and feel tidak digunakan dalam algortima BLS 3. Hands-only chest compression CPR digalakkan pada sesiapa yang tidak terlatih 4. Urutan ABC diubah ke urutan CAB, chest compression sebelum breathing. 5. Health care providers memberi chest compression yang efektif sehingga terdapat sirkulasi spontan. 6. Lebih terfokus kepada kualiti CPR. 7. Kurangkan penekanan untuk memeriksa nadi untuk health care providers. 8. Algoritma BLS yang lebih mudah diperkenalkan. 9. Rekomendasi untuk mempunyai pasukan yang serentak mengandali chest compression, airway management,rescue breathing, rhythm detection dan shock.

Untuk mengenali terjadinya SCA tidaklah mudah. Jika terjadi kekeliruan dan keterlambatan untuk bertindak dalam memulai CPR, ini akan mengurangi survival rate

pasien/korban tersebut. Penekanan pada dada merupakan tindakan yang sangat penting dalam CPR karena perfusi tergantung kepada kompresi.

II.7 Spesifik Penolong yang Dapat Memberikan RJP 1. Penolong yang tidak terlatih (Untrained lay rescuer) Untuk orang awam yang tidak berpengalaman hanya kompresi dada yang dilakukan.
15

2. Penolong yang terlatih (Trained lay rescuer) Harus memberikan kompresi dada untuk pasien SCA dan dapat memberikan ventilasi dengan maka perbandingan 30 : 2 . 3. Penyedia pelayan kesehatan (Healthcare Provider) Resusitasi yang diberikan tergantung kasus yang dihadapi. Jika ada pasien yang lemas ataupun yang mempunyai obstruksi jalan pernapasan dan mengalami penurunan kesadaran, CPR juga dapat diberikan dengan kompresi dada sebanyak 30 kali dan diteruskan dengan ventilasi. Jika menemukan pasien yang tidak responsif atau tidak bernafas, asumsi SCA selalu dilakukan.

16

BAB III KESIMPULAN

1. Resusitasi

jantung

paru

adalah

usaha

yang

dilakukan untuk

apa-apa

yang

mengindikasikan terjadinya henti nafas atau henti jantung. 2. Kompresi dilakukan terlebih dahulu dalam kasus yang terdapat henti pernafasan atau henti jantung karena setiap detik yang tidak dilakukan kompresi merugikan sirkulasi darah dan mengurangkan angka keselamatan korban. 3. Prosedur RJP terbaru adalah kompresi dada 30 kali dengan 2 kali napas buatan. 4. Fase-fase pada RJP adalah Bantuan Hidup Dasar, Bantuan Hidup Lanjut dan Bantuan terus-menerus.

17

Daftar Pustaka
1. American Heart Association. 2010. Part 4 Adult Basic Life Support in Circulation Journal. 2. American Heart Association. 2005. Part 4 Adult Basic Life Supprt in Circulation Journal 3. Latief S.A. 2007. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Penerbit FKUI. Jakarta. 4. Overview of basic life support in infants and children. Diakses dari http://www.uptodate.com/patients/content/topic.do?topicKey=~ZZjtriYsdaYe/. 5. Bantuan Hidup Dasar. Diakses dari http://www.scribd.com/doc/4535323/bantuan-hidupdasar. 6. Siahaan, Olan SM. Resusitasi Jantung Paru dan Otak. Cermin Dunia Kedokteran. 1992.

18

You might also like