You are on page 1of 5

“It’s Not Easy to be

New Comer”
Aku bangga karena pada usiaku yang baru saja mencapai kepala tiga ini telah banyak harapan
yang aku raih. Banyak mimpi-mimpi yang telah menjadi kenyataan. Sebut saja mimpi menjadi dosen di
salah satu universitas negeri di Bali yang membesarkanKu. Tak di nyana mimpi itu jadi kenyataan hanya
setelah empat bulan sejak aku meraih gelar sarjanaKu.

Manusia memang tidak pernah akan merasa puas dengan apa yang telah diraihnya. Aku pun
demikian adanya. Mungkin karena ego dan kesombonganKu atau karena cita-citaKu yang membara
atau karena dorongan tugas mulia untuk membahagiakan kedua orang tuaKu agar mereka merasa
Bangka memiliki anak sepertiKu yang syarat dengan prestasi yang dipandangan orang-orang desa bisa di
banggakan, kemudian aku mulai mimpi untuk melanjutkan pendidikan pascarjana. Itupun jadi
kenyataan hanya setelah setahun aku diangkat menjadi PNS di universitas yang menjadi almamaterku.

Mimpi menjadi mahasiswa pascasarjana di universitas yang berada di salah satu kota di
Indonesia yang konon memiliki hawa yang sejuk, bersih dan nyaman. Mimpi itu muncul ketika aku baru
pertama kali menginjakkan kaki di Ibukota negri ini untuk mencari pekerjaan selepas sarajana dulu.
Bayangannku universitasKu saat ini adalah universitas yang bonafid, elite, kumpulannya orang-orang
yang memiliki intelektualitas yang tinggi. Bayangan itu masih aku jaga karenya secara jujur hati kecilku
berkata universitasKu ini memang elite. Aku bangga karena tidak mudah mendapatkan gelar Master of
Science di Universitas ini. Master pun bisa aku raih setelah satu tahun delapan bulan aku menginjakkan
kaki di kota hujan.

BayangannKu dengan master aku bisa berbiat banyak, bisa menerapkan ilmu yang aku dapat
dalam perkuliahan dulu untuk Aku sharing ke mahasiswi-mahasiswiKu dan tak ketinggalan juga buat
mahasiswaKu. Selain itu, dengan gelar Master aku bisa banyak melakukan penelitian yang mendukung
karir akademikKu, bahkan aku mengira, dengan gelar master Aku bisa menjadi leader dalam setiap
sendi-sendi kehidupan di MasyarakatKu. Ah, ternyata bayanganKu tidak benar. Master hanya bisa
mengantarkan Aku pada jabatan lector dengan pangkat golongan III/c. Bagaiamana dengan
kedewasaanKu? Kedewasaan FisiologisKu? SosialKu? Bahkan bagaimana dengan kedewasaan
psikhologisKu? Sudahkan ada perkembangan?

Aku rasa ada perkembangan walaupun belum se significant dengan bertambahnya usiaKu. Ini
menjadi tantangan baru bagiKu untuk segera mengasah potensi yang ada pada diriKu ini. Aku
memutuskan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan Philosophy Doctor. Wah, serem mendengarnya.
Kalau ingat masa kecilku jangankan menjadi Doctor, membayangkan saya tidak ada dalam benakKu saat
itu. Tapi ini salah satu mimpi yang menjadi kenyatan setahun setelah aku menyelesaikan pendidikan
magisterku.

Ternyata, tidak mudah menjadi seorang Doktor. Kalau aku menuruti nafsuKu Aku ingin
mencetak rekor di universitas ini kurang dari tiga tahun, bahkan bisa dua tahun. Sebenarnya aku tidak
mengada-ada. Ada peluang dan potensi yang ada pada diriKu yang dapat kuasah untuk mewujudkan
khayalanKu ini. Sebenarnya aku sudah “on the track”. Dengan semangat dan motivasi seorang wanita
aku bisa kuat dan tahan dengan berbagai masalah akademik yang ada. Ini terbukti aku dapat
menyelesaikan semua perkuliahanKu dan mendapatkan gelar kandidat doctor dalam waktu satu tahun.
Berarti tinggal satu tahun waktu yang tersisa untuk mengejar ambisiku menjadi doctor termuda dan
tercepat di universitasKu.

Manusia hanya bisa berencana, tuhan lah yang menentukan. Itu kalimat yang bisa menghiburku
ketika romantika itu datang. Romantika yang membuat aku linglung dan kehilangan arah. Dengan
romantika itu aku membuang waktuku selama dua tahun. “Nothing”. Kata ini yang bisa mewakili
kehidupanKu selama dua tahun.

Ternyata tuhan tidak tidur, tuhan mendengar keluh kesahku. Bahakan beliau mengirimkan
bidadari yang bisa mengisi hari-hariKu. Bidadari itu membuat aku bangun dari tidurku. Dia juga
membuat aku sadar bahwa selama ini tidak ada yang aku kerjakan. Dia juga mengingatkan aku bahwa
aku masih bisa bangkit dari keterpurukan ini.

Bersyukur sebelumnya aku pernah memasukkan lamaran ke Ditjen Ketenagaan Dikti tentang
Program Sandwich. Program ini memberikan pengalaman baru bagi dosen universitas negeri maupun
swasta yang sedang studi di dalam negeri agar memiliki pengalaman luar negeri yang tidak kalah dengan
mereka-mereka yang studi di luar negeri. Dan Luar biasa, ternyata aku lulus walaupun dengan
perjalanan yang tidak mudah untuk melengkapi segala persyaratan yang dibebankan kepadaKu.

Hari itu, satu hari setelah usai hari ulang tahunKu. Hari itu menjadi tonggak sejarah
kehidupanKu. Mimpi untuk ke luar negeri menjadi kenyataan. Namun, perlu sedikit menahan amarah,
nafsu, dan memerlukan kedewasaan untuk mensikapinya. Bagaimana tidak, pada hari yang sama aku
belum pegang Wang sepeser pun. Anehnya, tiket sudah aku pegang, karena tiket adalah bagian dati
tanggungan penyelenggara program ini. Sedangkan dana yang menjadi sumber kegiatan ini meleset
jauh dari rencana semula. Padahal untuk mencapai rencana itu banyak sudah korbanan yang
dikeluarkan. Urus cuti akademik, yang akhirnya ditolak dan digantikan pengurangan biaya SPP hanya
membayar 25% dari invoice. Sampai bolak balik email professor yang menjadi tuan rumah di luar
negeri.

Amazing, pimpinan dan mbak yang baik hati ini member pinjaman sehingga aku bisa berangkat.
Ini awal dari kisah yang menjadi topic tulisan ini. Ternyata ke luar ngeri tidak mudah. BayanganKu
dengan bekal pendidikanKu yang sebentar lagi menjadi Doktor tapi urusan pergi ke luar negeri jangan
dianggap remeh temeh eh eh eh.
“It’s Not Easy to be New Comer” datang satu jam sebelum keberangkatan tidak lantas membuat
aku tenang. Pertama, baru pertama kali menginjakkan kaki di keberangkatan internasional. Walaupun
di negeri sendiri sudah terasa di negeri orang lain. Kedua, wang yang dibawa masih dalam bentuk
rupiah. Sedangkan di Negara tujuan memakai mata wang ringgit. Berarti takut kalau-kalau gak ketemu
money changer. Untung wang yang ada tidak aku tukar semuanya. Karena Ketika boarding pas,
perasaan khawatir sudah ada. Takut tiket elektronik yang aku pegang tidak syah, takut kalau bagasi over
weight karena ada dua travel bag yang aku bawa. Dan mesti membayar boarding pas sebesar seratus
ribu rupiah yang kalau perjalanan domestic hanya bayar tiga puluh ribu rupiah. Saringan pertama bisa
aku lewati. Sampailah pada pemeriksaan emigrasi. Namanya pendatang baru aku main slonong boy
aja. Serahkan tiket, boarding pas, dan semua yang aku dapatkan saat check in tadi kepada petugas
emigrasi. Apa yang terjadi? Beliah berkata isi dulu formulir ini pak, sembari mengembalikan semua
berkas yang telah aku serahkan tadi. Ternyata dalam tumpukan berkas itu ada tiga blanko yang mesti
aku isi dengan tulisan tangan. Untuk aku ada ballpoint di tas tempat pasporku. Bagaimana jika tidak?
Tentu akan menambah kepanikanku. Tidak seperti teman di sebelahku aku tenang saja mengisi
formulir yang dalam bahasa inggris. Teman sebelahku yang tidak aku kenal sebelumnya minta
ballpointku tapi karena aku bawa dua aku berikan saja hitung-hitung beramal baik apalagi di bulan yang
penuh fitrah ini. Jadi perlu waktu dan ketenangan dalam mengisi formulir itu. Akhirnya saringan kedua
telah aku lewati.

Saringan ketiga adalah saat cek bagasi yang dibawa naik ke dalam pesawat. Tanpa ku duga,
bahwa aku membawa satu botol yang mencurigakan. Dan dua dus kecil yang membuat aku mesti di
introgasi oleh petugas. Tahu-tahunya botol itu adalah lem buat melekatkan karet bat yang biasa aku
pakai untuk pingpong. Dan dua dus kecil itu adalah bola pingping. Dengan penjelasan yang gamblang
akhirnya aku bisa naik ke pesawat.

Tiba di negeri orang memerlukan ketenangan. Jangan clingak clinguk menunjukkan


kebimbangan ataupun kebingungan. Walaupun aku ketemu sama pasukan bandara yang wajahnya
hitan dan berkumis, aku tanyakan dimana mesti ambil bagasi. Wajah seremnya tidak se serem hatinya
ternyata. Dengan ramah mau menjawab setiap pertanyaan yang keluar dari mulutku. Perlu diingat
bagasi menjadi prioritas. Karena disana ada pakaian, dokumen penting. Kalau itu hilang habislah kita di
negeri orang. Aku sempat bingung karena aku mesti melanjutkan perjalanan ke kedah setelah tiba di
kuala lumpur. Setelah aku menunggu beberapa saat di baggage claim ternyata barangKu gak kunjung
nongol. Untung aku bertanya pada petugas disana. Eh ternyata, yang transit tidak perlu baggage claim
karena tinggal langsung ambil di destinasi terakhir.

Re-comp firm mesti tetap dilakukan. Selalu bertanya dan bertanya kepada petugas yang
berseragam tatkala aku menemui masalah. Kalau tidak tahu dimana mesti re-comp firm ya Tanya.
Kalau gak tahu di mana keberangkatan domestic ya aku Tanya. Tidak tahu tandas (sebutan untuk toilet
di Malaysia) yang Tanya. Dengan demikian aku bisa sampai di alor star airport di kedah darul aman
Malaysia.

Ketegangan memuncak. Gak ada satupun orang yang aku kenal di negeri. Syukur hari-hari
sebelumnya aku telah berkhabar tentang my journey kepada profesorKu. Setibanya aku langsung sms
profesorku minta rute menuju lokasi dari bandara. Profesorku menjawab aka ada orang yang
menjemputKu katanya. Setelah aku tunggu tunggu juga gak kunjung tiba. Aku bahkan sudah putuskan
untuk naik taxi apapun yang terjadi dalam benakku. Eh sekonyong-konyong ada orang yang memakai
jakat UUM yang sebenarnya sudah menunggu sebelumnya. Karena tidak kenal yang tidak saying. Tapi
setelah kenal aku diantar sampai ke rumah tetamu di UUM.

Fasilitasnya bak raja ukuran mahasiswa. Kalah kosku yang dua juta setahun. Ada tempat tidur
ukuran double, ada meja belajar, ada lemari pakaian besar, ada AC. Badnya sudah di spray rapi dan ada
selimutnya. Persis vila. Kamar mandinya pakai air hangat dan dingin. Disediakan juga dapur, yang
isinya ada kompor gas dan kulkas. Walaupun kulkasnya memang kosong tanpa makanan secuilpun.

Setibanya aku langsung mandi dan merebahkan tubuhku yang terasa capek. Setelah itu aku
pergi ke kedai makan untuk mengisi perutku yang sudah keconcongan sejak di Indonesia. Makanan
disini sebenarnya rasanya enak, namun karena baru pertama aku mencobanya maka rasa nikmat itu
belum dapat aku rasakan. Mudah-mudahan setelah hari kedua, ketiga, sampai hari terakhir, makanan
yang aku coba disini berangsung-angsung semakin enak rasanya.

Keesokan harinya aku ada janji ketemuan dengan profesorku. Beliau member waktu bertemu
jam 9 am waktu Malaysia. Jam setengah delapan aku sudah bangun dan mandi pagi. Air disini sangat
jernih, suhu udaranya pun sangat sejuk. Dari tempat tinggal sementaraku aku jalan kaki menuju halte
bis yang akan mengantar aku ke ketempat janjian dengan profesorku. Aku bingung bagaimana naiknya,
karena di pintu bis dipasang alat yang hanya bisa terbuka ketiak memasukkan kartu chip. Sedangkan
aku belum terdaftar sebagai civitas akademika UUM. Memang “orang baik akan ketemu orang baik”
dengan sedikit menghibur diri sendiri aku akhirnya ketemu mahasiswa first graduate yang baik hati.
Dengan menggunakan id card-nya aku bisa numpang di bis mahasiswa. Akhirnya aku bisa ketemu tepat
waktu dengan profesorku.

Profesorku orangnya sangat berwiwawa, wajahnya cantik keibuan, penampilannya memakai


baju muslimah. Kalau di Indonesia aku membayangkannya ibarat orang aceh. Dan kebanyakan
mahasiswi yang aku tengok hampir mirip-mirip orang aceh. Mungkin karena aku pernah ada hubungan
psikologis dengan orang aceh sehingga ketika melihat orang yang pake jilbab aku langsung ingat orang
aceh. Atas bantuan staff di UTLC UUM (University Teaching and Learning Center UUM) aku dibantu
untuk mempersiapkan pendaftaranku sebagai mahasiswa non degree post graduate dan
mempersiapkan akomodasi selama aku disini. Karena rumah tetamu yang aku tempati saat ini hanya
boleh selama tiga hari saja. Inilah kisahKu yang aku buat ketika menjadi The New Comer di negeri Jiran
Malaysia. Semoga jadi inspirasi buat yang akan menjadi the new comers.

You might also like