You are on page 1of 26

Dasar-Dasar Permukiman dan Perkotaan

MODUL 8

STRUKTUR RUANG KOTA DAN SISTEM KOTA


8.1. STRUKTUR RUANG KOTA 8.1.1 Pengertian

Kota adalah

Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman, sistem jaringan serta sistem prasarana maupun sarana. Semua hal itu berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial-ekonomi yang secara hirarki berhubungan fungsional.
Dwi Rosnarti-Jurusan Arsitektur FTSP Usakti

Dasar-Dasar Permukiman dan Perkotaan

Tata ruang merupakan wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik yang direncanakan ataupun tidak. Wujud struktural pemanfaatan ruang adalah susunan unsurunsur pembentuk rona lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan buatan yang secara hirarki dan struktural berhubungan satu dengan yang lainnya membentuk tata ruang. 8.1.2 Elemen-Elemen, Bentuk dan Model Struktur Ruang Kota Elemen-elemen yang membentuk struktur ruang kota, yaitu Kumpulan dari pelayanan jasa termasuk di dalamnya perdagangan, pemerintahan, keuangan yang cenderung terdistribusi secara berkelompok dalam pusat pelayanan. Kumpulan dari industri sekunder (manufaktur) pergudangan dan perdagangan grosir yang cenderung untuk berkumpul pada suatu tempat. Lingkungan permukiman sebagai tempat tinggal dari manusia dan ruang terbuka hijau. Jaringan transportasi yang menghubungkan ketiga tempat di atas.

Bentuk Struktur Ruang Kota ditinjau dari pusat pelayanan (retail) terbagi 3 yaitu : 1. Monocentric city Monocentric city adalah kota yang belum berkembang pesat, jumlah penduduknya belum banyak, dan hanya mempunyai satu pusat pelayanan yang sekaligus berfungsi sebagai CBD (Central Bussines District).

Dwi Rosnarti-Jurusan Arsitektur FTSP Usakti

Dasar-Dasar Permukiman dan Perkotaan

2. Polycentric city Perkembangan kota mengakibatkan pelayanan oleh satu pusat pelayanan tidak efisien lagi. Kota-kota yang bertambah besar membutuhkan lebih dari satu pusat pelayanan yang jumlahnya tergantung pada jumlah penduduk kota. Fungsi pelayanan CBD diambil alih oleh pusat pelayanan baru yang dinamakan sub pusat kota (regional centre) atau pusat bagian wilayah kota. Sementara itu, CBD secara berangsurangsur berubah dari pusat pelayanan retail (eceran) menjadi kompleks kegiatan perkantoran komersial yang daya jangkauan pelayanannya dapat mencakup bukan wilayah kota saja, tetapi wilayah sekeliling kota yang disebut wilayah pengaruh kota.

CBD dan beberapa sub pusat kota atau pusat bagian wilayah kota (regional centre) akan membentuk kota menjadi polycentric city atau cenderung seperti multiple nuclei city yang terdiri dari: a. CBD, yaitu pusat kota lama yang telah menjadi kompleks perkantoran

Dwi Rosnarti-Jurusan Arsitektur FTSP Usakti

Dasar-Dasar Permukiman dan Perkotaan

b. Inner suburb (kawasan sekeliling CBD), yaitu bagian kota yang tadinya dilayani oleh CBD waktu kota belum berkembang dan setelah berkembang sebagian masih dilayani oleh CBD tetapi sebagian lagi dilayani oleh sub pusat kota c. Sub pusat kota, yaitu pusat pelayanan yang kemudian tumbuh sesuai perkembangan kota d. Outer suburb (pinggiran kota), yaitu bagian yang merupakan perluasan wilayah kegiatan kota dan dilayani sepenuhnya oleh sub pusat kota e. Urban fringe (kawasan perbatasan kota), yaitu pinggiran kota yang secara berangsur-angsur tidak menunjukkan bentuk kota lagi, melainkan mengarah ke bentuk pedesaan (rural area) 3. Kota metropolitan Kota metropolitan adalah kota besar yang dikelilingi oleh kotakota satelit yang terpisah cukup jauh dengan urban fringe dari kota tersebut, tetapi semuanya membentuk satu kesatuan sistem dalam pelayanan penduduk wilayah metropolitan. Model Struktur Ruang berdasarkan pusat pusat pelayanannya yaitu: 1. Mono centered Terdiri dari satu pusat dan beberapa sub pusat yang tidak saling terhubung antara sub pusat yang satu dengan sub pusat yang lain.

Dwi Rosnarti-Jurusan Arsitektur FTSP Usakti

Dasar-Dasar Permukiman dan Perkotaan

2.

Multi nodal Terdiri dari satu pusat dan beberapa sub pusat dan sub sub pusat yang saling terhubung satu sama lain. Sub sub pusat selain terhubung langsung dengan sub pusat juga terhubung langsung dengan pusat.

3.

Multi centered Terdiri dari beberapa pusat dan sub pusat yang saling terhubung satu sama lainnya.

4.

Non centered Pada model ini tidak terdapat node sebagai pusat maupun sub pusat. Semua node memiliki hirarki yang sama dan saling terhubung antara yang satu dengan yang lainnya.

Dwi Rosnarti-Jurusan Arsitektur FTSP Usakti

Dasar-Dasar Permukiman dan Perkotaan

Pengertian Pusat dan Sub Pusat Pelayanan Kota Pusat kota merupakan pusat dari segala kegiatan kota antara lain politik, sosial budaya, ekonomi, dan teknologi. Jika dilihat dari fungsinya, pusat kota merupakan tempat central yang bertindak sebagai pusat pelayanan bagi daerah-daerah di belakangnya, mensuplainya dengan barang-barang dan jasajasa pelayanan, jasa-jasa ini dapat disusun menurut urutan menaik dan menurun tergantung pada ambang batas barang permintaan. Pusat kota terbagi dalam dua bagian: 1. Bagian paling inti (The Heart of The Area) disebut RBD (Retail Business District) Kegiatan dominan pada bagian ini antara lain department store, smartshop, office building, clubs, hotel, headquarter of economic, civic, political. 2. Bagian diluarnya disebut WBD (Whole Business District) yang ditempati oleh bangunan yang diperuntukkan untuk kegiatan ekonomi dalam jumlah yang besar antara lain pasar dan pergudangan. Pusat Kota menurut Arthur dan Simon (1973), adalah pusat keruangan dan administrasi dari wilayahnya yang memiliki beberapa ciri, yaitu 1. Pusat kota merupakan tempat dari generasi ke generasi menyaksikan perubahan-perubahan waktu. 2. Pusat kota merupakan tempat vitalitas kota memperoleh makanan dan energi, dengan tersebarnya pusat-pusat aktivitas seperti pemerintahan, lokasi untuk balai kota, toko-toko besar, dan bioskop. 3. Pusat kota merupakan tempat kemana orang pergi bekerja, tempat ke mana mereka pergi ke luar. 4. Pusat kota merupakan terminal dari pusat jaringan, jalan kereta api, dan kendaraan umum. 5. Pusat kota merupakan kawasan di mana kita menemukan kegiatan usaha, kantor pemerintahan, pelayanan, gudang dan industri pengolahan, pusat lapangan kerja, wilayah ekonomis metropolitan.

Dwi Rosnarti-Jurusan Arsitektur FTSP Usakti

Dasar-Dasar Permukiman dan Perkotaan

6. Pusat kota merupakan penghasilan pajak yang utama, meskipun kecil namun nilai bangunan yang ada di pusat kota merupakan proporsi yang besar dari segala keseluruhan kota, karena pusat kota memiliki prasarana yang diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi. 7. Pusat kota merupakan pusat-pusat fungsi administratif dan perdagangan besar, mengandung rangkaian toko-toko eceran, kantor-kantor profesional, perusahaan jasa, gedung bioskop, cabang-cabang bank dan bursa saham. Dalam kota kecil yang swasembada, kawasan ini juga menyediakan fasilitas perdagangan besar mencakup pusat-pusat administratif dan transportasi yang diperlukan. Sub pusat pelayanan kota adalah suatu pusat yang memberikan pelayanan kepada penduduk dan aktivitas sebagian wilayah kota, dimana ia memiliki hirarki, fungsi, skala, serta wilayah pelayanan yang lebih rendah dari pusat kota, tetapi lebih tinggi dari pusat lingkungan. Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya suatu pusat-pusat pelayanan, yaitu 1. Faktor Lokasi Letak suatu wilayah yang strategis menyebabkan suatu wilayah dapat menjadi suatu pusat pelayanan. 2. Faktor Ketersediaan Sumber Daya Ketersediaan sumber daya dapat menyebabkan suatu wilayah menjadi pusat pelayanan. 3. Kekuatan Aglomerasi Kekuatan aglomerasi terjadi karena ada sesuatu yang mendorong kegiatan ekonomi sejenis untuk mengelompok pada sutu lokasi karena adanya suatu keuntungan, yang selanjutnya akan menyebabkan timbulnya pusat-pusat kegiatan. 4. Faktor Investasi Pemerintah Ketiga faktor diatas menyebabkan timbulnya pusat-pusat pelayanan secara ilmiah, sedangkan faktor investasi pemerintah merupakan sesuatu yang sengaja dibuat (Artificial). 8.2 Perkembangan Kota dan Struktur Ruang Kota
Dwi Rosnarti-Jurusan Arsitektur FTSP Usakti

Dasar-Dasar Permukiman dan Perkotaan

Perkembangan perkotaan adalah suatu proses perubahan keadaan perkotaan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain dalam waktu yang berbeda. Sorotan perubahan keadaan tersebut biasanya didasarkan pada waktu yang berbeda dan untuk menganalisis ruang yang sama. Menurut J.H.Goode dalam Daldjoeni (1996: 87), perkembangan kota dipandang sebagai fungsi dari pada faktorfaktor jumlah penduduk, penguasaan alat atau lingkungan, kemajuan teknologi dan kemajuan dalam organisasi sosial. Menurut Bintarto (1989), perkembangan kota dapat dilihat dari aspek zone-zone yang berada di dalam wilayah perkotaan. Perkembangan kota terlihat dari penggunaan lahan yang membentuk zone-zone tertentu di dalam ruang perkotaaan. Menurut Branch (1995), bentuk kota secara keseluruhan mencerminkan posisinya secara geografis dan karakteristik tempatnya. Branch juga mengemukakan contoh pola-pola perkembangan kota pada medan datar dalam bentuk ilustrasi seperti : a) topografi, b) bangunan, c) jalur transportasi, d) ruang terbuka, e) kepadatan bangunan, f) iklim lokal, g) vegetasi tutupan dan h) kualitas estetika. Secara skematik ada 6 pola perkembangan kota, sebagai berikut :

Dwi Rosnarti-Jurusan Arsitektur FTSP Usakti

Dasar-Dasar Permukiman dan Perkotaan

Pola Umum Perkembangan Perkotaan Berdasarkan morfologi kota dan jenis penyebaran areal perkotaan yang ada, ada beberapa alternatif model bentuk kota. Ada 7 model bentuk kota, yaitu; (a) Bentuk Satelit dan Pusat-pusat Baru (satelite and neighbourhood plans), Kota utama dengan kota-kota kecil akan dijalin hubungan pertalian fungsional yang efektif dan efisien;

(b) Bentuk Stellar atau Radial (stellar or radial plans) Kota dengan tiap lidah dibentuk pusat kegiatan kedua yang berfungsi memberi pelayanan pada areal perkotaan dan yang
Dwi Rosnarti-Jurusan Arsitektur FTSP Usakti

Dasar-Dasar Permukiman dan Perkotaan

menjorok ke dalam direncanakan sebagai jalur hijau dan berfungsi sebagai paru-paru kota, tempat rekreasi dan tempat olah raga bagi penduduk kota;

(c) Bentuk cincin (circuit linier or ring plans) Kota berkembang di sepanjang jalan utama yang melingkar, di bagian tengah wilayah dipertahankan sebagai daerah hijau terbuka;

(d) Bentuk linier bermanik (bealded linier plans) Pusat perkotaan yang lebih kecil tumbuh di kanan-kiri pusat perkotaan utamanya, pertumbuhan perkotaan hanya terbatas di sepanjang jalan utama maka pola umumnya linier, dipinggir jalan biasanya ditempati bangunan komersial dan dibelakangnya ditempati permukiman penduduk;

Dwi Rosnarti-Jurusan Arsitektur FTSP Usakti

10

Dasar-Dasar Permukiman dan Perkotaan

(e) Bentuk Inti/Kompak (the core or compact plans) Perkembangan kota biasanya lebih didominasi oleh perkembangan vertikal sehingga memungkinkan terciptanya konsentrasi banyak bangunan pada areal kecil;

(f)

Bentuk Memencar (dispersed city plans) Dalam kesatuan morfologi yang besar dan kompak terdapat beberapa urban center , dimana masing-masing pusat mempunyai grup fungsi-fungsi yang khusus dan berbeda satu sama lain; dan

(g) Bentuk Kota Bawah Tanah (under ground city plans) Struktur perkotaannya dibangun di bawah permukaan bumi sehingga kenampakan morfologinya tidak dapat diamati pada permukaan bumi, di daerah atasnya berfungsi sebagai jalur hijau atau daerah pertanian yang tetap hijau.

Dwi Rosnarti-Jurusan Arsitektur FTSP Usakti

11

Dasar-Dasar Permukiman dan Perkotaan

8.3 Teori-teori Struktur Ruang Kota 8.3.1. Teori Konsentris (Burgess,1925) Teori Konsentris menyatakan bahwa Daerah Pusat Kota (DPK) atau Central Bussiness District (CBD) adalah pusat kota yang letaknya tepat di tengah kota dan berbentuk bundar yang merupakan pusat kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik, serta merupakan zona dengan derajat aksesibilitas tinggi dalam suatu kota.

DPK atau CBD tersebut terbagi atas dua bagian, yaitu: 1. Bagian paling inti atau RBD (Retail Business District) dengan kegiatan dominan pertokoan, perkantoran dan jasa 2. Bagian di luarnya atau WBD (Wholesale Business District) yang ditempati oleh bangunan dengan peruntukan kegiatan ekonomi skala besar, seperti pasar, pergudangan (warehouse), dan gedung penyimpanan barang supaya tahan lama (storage buildings). Concentric Zone Theory hanya cocok dikembangkan pada kota-kota kecil. Dalam konsep ini pola zonasi disusun dalam sabuk berlapis, dengan hanya ada satu pusat kegiatan utama (single majority center). 8.3.2 Teori Sektoral (Hoyt,1939) Teori Sektoral menyatakan bahwa DPK atau CBD memiliki pengertian yang sama dengan yang diungkapkan oleh Teori Konsentris.

Dwi Rosnarti-Jurusan Arsitektur FTSP Usakti

12

Dasar-Dasar Permukiman dan Perkotaan

Sector theory disebut concentric sectoral theory hanya cocok dikembangkan pada kota-kota kecil atau sedang. Dalam konsep ini hanya ada satu pusat kegiatan utama. Pola zonasi disusun sedemikian rupa agar setiap zona kegiatan punya singgungan langsung dengan pusat kegiatan utama. Dengan konsep ini akan dapat dihindari bercampur baurnya pergerakan lalu lintas menuju pusat kegiatan dari berbagai zona. 8.3.3 Teori Pusat Berganda (Harris dan Ullman,1945)

Teori Pusat Berganda menyatakan bahwa DPK atau CBD adalah pusat kota yang letaknya relatif di tengah-tengah sel-sel lainnya dan berfungsi sebagai salah satu growing points. Zona ini menampung sebagian besar kegiatan kota, berupa pusat fasilitas transportasi dan di dalamnya terdapat distrik spesialisasi pelayanan, seperti retailing distrik khusus perbankan, teater dan lain-lain. Perbedaan dengan dua teori yang disebutkan di atas bahwa pada Teori Pusat Berganda terdapat banyak DPK atau CBD dan letaknya tidak persis di tengah kota dan tidak selalu berbentuk bundar.

Dwi Rosnarti-Jurusan Arsitektur FTSP Usakti

13

Dasar-Dasar Permukiman dan Perkotaan

Multiple nuclei theory pada hakekatnya adalah konsepsi pengembangan multi center yang menjadi dasar dalam pengembangan kota-kota metropolitan. Dalam konsep ini pola zonasi tidak lagi dalam kelompok yang utuh seperti dalam konsep-konsep sebelumya tetapi lebih sporadis dan tersebar di seluruh wilayah kota. . 8.3.4 Teori Ketinggian Bangunan; Teori Konsektoral; dan Teori Historis. a. Teori Ketinggian Bangunan (Bergel, 1955). Teori ini menyatakan bahwa perkembangan struktur kota dapat dilihat dari variabel ketinggian bangunan. DPK atau CBD secara garis besar merupakan daerah dengan harga lahan yang tinggi, aksesibilitas sangat tinggi dan ada kecenderungan membangun struktur perkotaan secara vertikal. Dalam hal ini, maka di DPK atau CBD paling sesuai dengan kegiatan perdagangan (retail activities), karena semakin tinggi aksesibilitas suatu ruang maka ruang tersebut akan ditempati oleh fungsi yang paling kuat ekonominya. b. Teori Konsektoral (Griffin dan Ford, 1980). Teori Konsektoral dilandasi oleh strutur ruang kota di Amerika Latin. Dalam teori ini disebutkan bahwa DPK atau CBD merupakan tempat utama dari perdagangan, hiburan dan lapangan pekerjaan. Di daerah ini terjadi proses perubahan yang cepat
Dwi Rosnarti-Jurusan Arsitektur FTSP Usakti

14

Dasar-Dasar Permukiman dan Perkotaan

sehingga mengancam nilai historis dari daerah tersebut. Pada daerah daerah yang berbatasan dengan DPK atau CBD di kotakota Amerika Latin masih banyak tempat yang digunakan untuk kegiatan ekonomi, antara lain pasar lokal, daerah-daerah pertokoan untuk golongan ekonomi lemah dan sebagian lain dipergunakan untuk tempat tinggal sementara para imigran. c. Teori Historis (Alonso, 1964). DPK atau CBD dalam teori ini merupakan pusat segala fasilitas kota dan merupakan daerah dengan daya tarik tersendiri dan aksesibilitas yang tinggi. Jadi, dari teori-teori tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa DPK atau CBD merupakan pusat segala aktivitas kota dan lokasi yang strategis untuk kegiatan perdagangan skala kota.

Materi struktur rencana .

ruang

kota

pada

berbagai

jenjang

a. Pada tingkatan rencana makro ; Struktur ruang kota digambarkan dalam peta-peta yang sifatnya diagramatis di atas peta teresteris maupun fotogrametris pada skala kecil berkisar dari skala 1 : 20.000 sd 1 : 50.000 tergantung dari besar kota bersangkutan Sistem jejaring , menggambarkan konsepsi pengembangan jaringan makro kota di masa mendatang, meliputi jaringan makro transportasi darat dan air, jaringan makro utilitas, sistim drainage dan sewerage kota , dan lain sebagainya. Aktifitas digambarkan dalam bentuk pengembangan zona-zona utama dan sistim pusat kegiatan, baik yang utama maupun penunjang Persebaran penduduk digambarkan dalam bentuk target prediksi penduduk setiap wilayah administrasi atau unit perencanaan.
Dwi Rosnarti-Jurusan Arsitektur FTSP Usakti

15

Dasar-Dasar Permukiman dan Perkotaan

Intensitas pembangunan menggambarkan pola kebijakan intensitas dan pola sifat lingkungan. Pola kebijakan intensitas dibedakan atas dasar (1) kawasan yang intensitasnya ditahan sebagaimana adanya ( terutama pada kawasan kota tua / heritage ), (2) kawasan yang intensitasnya dibatasi sampai besaran tertentu tetapi transfer of development right berlaku, (3) kawasan yang intensitasnya dibatasi sampai besaran tertentu tetapi transfer of development right tidak berlaku, (4) kawasan yang intensitasnya dilepas sepanjang infrastruktur yang direncanakan mendukung. Pola sifat lingkungan dibedakan atas lingkungan padat, sedang dan rendah. b. Pada tingkatan rencana meso ; Struktur ruang kota digambarkan dalam peta teresteris ataupun fotogrametris skala 1 : 5000 atau paling kecil skala 1 : 10.000, meliputi ; Sistim jejaring, meggambarkan tentang konsepsi pengembangan jaringan sub makro kota, baik jaringan transportasi, utilitas, seweragre dan drainase. Aktifitas sudah harus digambarkan dalam pembagian zona zona spesifik, karena sesungguhnya pada tingkatan inilah muncul apa yang disebut zoning plan Persebaran penduduk sudah harus digambarkan dalam rencana kepadatan penduduk per hektar untuk setiap distrik ataupun unit perencanaan. Intensitas pembangunan menggambarkan batasan nilai ratarata bruto tiap unit perencanaan c. Pada tingkatan rencana mikro. Struktur ruang kota digambarkan pada peta teresteris skala 1 : 1.000 atau paling kecil skala 1 : 2000, meliputi ; Sistem jejaring , menggambarkan tentang konsepsi pengembangan jaringan sampai dengan tingkat mikro, baik jaringan transportasi, utilitas, sewerage dan drainasi. Khusus
1)
Dwi Rosnarti-Jurusan Arsitektur FTSP Usakti

16

Dasar-Dasar Permukiman dan Perkotaan

untuk jaringan jalan sudah tergambar dimensi-dimensi teknis antara lain lebar jalan (right of way), saluran dan sungai, garis sempadan bangunan. 2) Aktifitas digambarkan dalam paket penggunaan, pembagian blok dan perpetakan. Pada tingkatan inilah muncul apa yang disebut land use planning/ subdivision plan. 3) Kepadatan penduduk diterjemahkan ke dalam dimensi perpetakan. 4) Intensitas digambarkan dalam bentuk KLB, KDB, KDH, TB, Type bangunan dll. Aplikasi perencanaan struktur ruang dalam setiap jenjang rencana adalah seperti terlihat dari tabel berikut :

Dwi Rosnarti-Jurusan Arsitektur FTSP Usakti

17

Dasar-Dasar Permukiman dan Perkotaan

Zonning (Land Use)


a. Zoning di Indonesia Penerbitan KTV 1941 (peraturan tentang lingkungan dan jenis bangunan) untuk kota Jakarta oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tahun 1941 merupakan awal kehadiran peraturan zonasi di Indonesia. Dalam perjalanannya terutama pada era kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin, KTV 1941 dianggap sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan pembangunan kota pada saat itu, karena : 1. KTV 41 sama sekali belum mengatur tentang pembangunan bangunan tinggi 2. Karena klasifikasi zonasi yang ada sudah tidak lagi sesuai dengan pertumbuhan kota Jakarta sebagai kota metropolitan. KTV 41 menetapkan klasifikasi zonasi menjadi 3 kategori utama, yaitu zona urban , zona rural dan zona umum. Ketentuan- ketentuan yang tercantum dalam peraturan pembangunan sub zona rural terutama tentang batasan minimum luas petak, KDB, serta pemanfaatan lahannya semata untuk lahan pertanian menjadi kendala bagi pembangunan Jakarta. Untuk menutupi kekurangan tersebut maka pada tahun 1975 diterbitkanlah Peraturan Daerah No.4 Tahun 1975 tentang Ketentuan Bangunan Bertingkat di Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Setelah itu berbagai Keputusan Gubernur yang terkait dengan pembangunan kota juga diterbitkan (SK Gub No. 540, SK 640, SK 678 dan lain sebagainya). Semua peraturan tersebut tersebar dalam beberapa dokumen yang terpisah dan satu sama lainya tumpang tindih dan kadang saling bertentangan. Disamping itu dari sisi hukum, SK Gubernur kekuatan hukumnya sangat lemah.

Dwi Rosnarti-Jurusan Arsitektur FTSP Usakti

18

Dasar-Dasar Permukiman dan Perkotaan

Akhirnya Perda 6 Tahun 1999 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi DKI Jakarta, menyatakan bahwa KTV 41 tidak berlaku lagi dan diamanatkan untuk segera menyusun peraturan zonasi sebagai gantinya. Sebenarnya upaya untuk menyusun peraturan zonasi di Jakarta sudah dimulai pada awal tahun 1980-an dan kebetulan penulis termasuk yang ditugasi menyusun Peraturan dimaksud. Pekerjaan dimulai dengan mengumpulkan dan mempelajari peraturan zonasi yang berlaku pada beberapa kota di dunia dan setelah mencari model yang kira-kira sesuai dengan kondisi Jakarta, akhirnya peraturan zonasi untuk Jakarta berhasil disusun pada tahun 2002 tetapi masih dalam bentuk Rancangan Peraturan Daerah. Sebagai kesimpulan bahwa kelahiran zoning di Amerika maupun Inggris mempunyai latar belakang yang hampir serupa yaitu untuk mengendalikan keserakahan pengusaha properti maupun industri. Sehingga tidaklah salah apabila ada beberapa pakar perencanaan kota memberi respons positip tentang zoning antara lain Robert Hood yang menyatakan bahwa zoning adalah langkah awal menuju community planning di mana milik perorangan tunduk terhadap kepentingan kesejahteraan masyarakat dan Hugh Ferris yang menyatakan bahwa zoning adalah dimensi demokratik dalam pembangunan kota karena melindungi hak publik terhadap hak property yang semula tidak terbatas. Di Indonesia yang mendorong Pemerintah Hindia Belanda menyusun KTV 1941 adalah sebagai respons terhadap berbagai permasalahan lingkungan kota tua saat itu akibat munculnya hunian-hunian kumuh yang tidak hygienis .Perencanaan sebagian daerah Menteng dan Kebayoran Baru dibuat berdasarkan peraturan tersebut. Sampai saat ini tidak ada kawasan yang bisa menandingi perencanaan daerah Menteng dan Kebayoran, sekalipun Pondok Indah ataupun Simprug. Tetapi sayangnya kondisi Menteng dan Kebayoran sekarang ini secara perlahan tetapi pasti sedang menuju degradasi lingkungan yang parah. Semuanya diawali dengan kemunculan berbagai kegiatan yang tidak kompatibel dengan penggunaan lahan di kedua wilayah tersebut.
Dwi Rosnarti-Jurusan Arsitektur FTSP Usakti

19

Dasar-Dasar Permukiman dan Perkotaan

Sejarah yang terjadi di Inggris dan Amerika Serikat berulang dinegeri ini. Keserakahan pengusaha properti, kevakuman peraturan zonasi, ditambah lagi dengan adanya kewenangan yang tumpang tindih di sini, itulah yang antara lain menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan di Jakarta dan di kota-kota besar lainnya di Indonesia. Konon sebelum era otonomi daerah dimulai kewenangan yang tumpang tindih itu memang tidak bisa dihindari. Kanwil-kanwil yang merupakan kepanjangan tangan pemerintah pusat di daerah seperti Kanwil Perdangangan, Perindustrian, Pariwisata, Kesehatan dan lain sebagainya lebih setia kepada pimpinannya di pusat ketimbang pimpinannya di daerah. Dalam menerbitkan izin usaha perdagangan, industri, hotel, rumah sakit, rumah makan dan lain-lain , para Kanwil tidak mau mengacu dan bahkan tidak mau peduli dengan rencana tata ruang . Meskipun peruntukannya tidak sesuai asalkan ada keterangan domisili dari lurah dan rekomendasi Undang-undang Gangguan ( hinder ordonansi ) dari Biro Kamtib maka izin diterbitkan. Sedangkan di negerinya Paman Sam semua perizinan yang bersifat penggunaan non residential diharuskan memiliki Sertifikat Penggunaan Zoning. b. Zonning di Amerika Zoning meskipun di awal kemunculannya di Amerika Serikat sering mendapat kritik tajam dari beberapa pakar karena kuatir akan mengakibatkan rencana kota menjadi rigid, namun pada akhirnya hampir semua sepakat bahwa zoning merupakan instrumen yang sangat penting dalam pembangunan kota. Bahkan seorang pakar yang juga melakukan kritik tentang zoning mengatakan bahwa zoning for sale is a bad idea. Rigid atau fleksibelnya suatu rencana kota tidak tergantung dari ada atau tidaknya zoning tetapi lebih tergantung pada bagaimana cara menyusun atau membuat aturan-aturan pengendaliannya. New York adalah kota pertama di Amerika Serikat yang memiliki peraturan zonasi yang disahkan pada tahun 1916, sebagai reaksi terhadap pembangunan The Equitable Building ( sampai sekarang gedung tersebut masih berdiri di 120
Dwi Rosnarti-Jurusan Arsitektur FTSP Usakti

20

Dasar-Dasar Permukiman dan Perkotaan

Broadway) . Gedung ini dibangun sangat tinggi dengan building coverage mencakup seluruh lot / petak yang ada sehingga menghalangi pemandangan dari jendela-jendela gedung disekitarnya , mengurangi pancaran sinar matahari dan menimbulkan berbagai macam permasalahan lainnya. Dalam penyusunannya peraturan ini banyak diilhami oleh peraturan serupa yang dimiliki kota-kota di Eropa terutama Perancis dan Jerman. Kemudian peraturan zonasi kota New York dijadikan blueprint peraturan zonasi tingkat nasional yaitu The Standard State Zoning Enabling Act yang diberlakukan bagi seluruh kota di Amerika. Secara kebetulan Edward Basset yang sebelumnya memimpin komisi yang membuat peraturan zonasi kota New York , juga ditunjuk memimpin sekelompok planning lawyer dalam penyusunan naskah tersebut. Peraturan ini diterima tanpa banyak perubahan oleh banyak kota di seluruh Amerika.Setelah melalui perjalanan yang panjang dan seiring dengan terjadinya perubahan yang cepat dalam pembangunan kota akhirnya peraturan zonasi kota New York dinilai tidak lagi sesuai dengan tuntutan zaman karena rigiditasnya. Pada`tahun 1961 akhirnya dilakukan revisi terhadap peraturan zonasi 1916. Beberapa kota lain akhirnya juga mengambil inisiatip untuk menyusun sendiri-sendiri peraturan zonasinya karena memang sebagai negara federasi ada kebebasan setiap negara bagian untuk menyusun peraturan yang berbeda. Namun meskipun begitu hingga sekarang The Standard State Zoning Act masih banyak dipakai oleh kota-kota di Amerika. Dalam garis besarnya praktek penyusunan peraturan zonasi di Amerika Serikat telah menghasilkan 5 model zoning, yaitu Euclidean zoning, Performance Zoning, Incentive Zoning, Form based zoning dan Euclidean II zoning. 1. Euclidean zoning : Disebut demikian karena diadopsi dari nama kota di negara bagian Ohio, yaitu Euclid. Peraturan ini pada awalnya digugat ke pengadilan oleh seorang pemilik tanah dan perkaranya sampai ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung menolak gugatan tersebut dengan pertimbangan bahwa pertama ; zoning memperbaiki nuisance law , yang
Dwi Rosnarti-Jurusan Arsitektur FTSP Usakti

21

Dasar-Dasar Permukiman dan Perkotaan

disebabkan karena ada beberapa penggunaan tertentu yang tidak kompatibel dengan penggunaan lain dalam distrik yang sama, kedua ; zoningadalah instrumen perencanaan pembangunan kota yang penting. Keputusan Mahkamah Agung tersebut membuat posisi peraturan zoning secara hukum menjadi lebih kuat. Euclidan zoning kemudian menjadi populer dan banyak ditiru oleh banyak kota kecil dan besar di Amerika, disamping itu juga karena Euclidean zoning sangat mudah dilaksanakan, familiar untuk para planner dan designer professional. Euclidean zoning dicirikan dengan pengelompokan penggunaan lahan ke dalam distrik geografis dan standar dimensi yang menentukan besaran dan batasan kegiatan yang diperbolehkan pada setiap lot / petak yang direncanakan. Klassifikasi penggunaan dalam Euclidean zoning meliputi ; single family, multi family, commercial dan industrial. Beberapa penggunaan pelengkap diperkenankan dengan atau tanpa syarat untuk menampung kebutuhan penggunaan utama. Standard dimensi meliputi posisi bangunan pada tiap petak, setback, minimum luas, ketinggian maximum, koefisien dasar bagunan dan building envelope. Dalam perjalanannya Euclidean zoning banyak mendapat kritik karena dianggap tidak fleksibel dan akhirnya disadari tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. 2. Performance zoning : Dikenal juga sebagai effect based planning, impact zoning dan point system. Performance zoning menggunakan performance based atau kriteria yang berorientasi kepada tujuan melalui penyiapan parameter penilaian terhadap proyek pembangunan yang diusulkan. Performance zoning menggunakan sistim point based ( batasan nilai nilai dasar dari berbagai parameter pembangunan) dimana pengembang properti untuk pertimbangan bisnisnya dapat meminta keleluasaan /dispensasi terhadap ketentuan tersebut dengan pilihan berikut sebagai kompensasi antara
Dwi Rosnarti-Jurusan Arsitektur FTSP Usakti

22

Dasar-Dasar Permukiman dan Perkotaan

lain membangun perumahan yang terjangkau, menyediakan publicamenities ( ruang terbuka hijau dll ) atau pembangunan mitigasi lingkungan. Beberapa kriteria tambahan juga disiapkan sebagai bagian dari proses penilaian. Performance zoning memiliki tingkat flexibiltas yang sangat tinggi, rasional, transparan dan akuntabilitas. Performance zoning dapat menampung prinsip-prinsip pasar dan hak kepemilikan pribadi dengan melindungi lingkungannya. Namun performance zoning memiliki prosedur yang rumit dan sulit untuk dilaksanakan. 3. Incentive zoning : Incentive zoning diberlakukan pertama kali di kota Chicago dan New York, ditujukan untuk menyiapkan reward based system untuk mendorong pembangunan agar mencapai tujuan pembangunan kota sebagaimana yang diinginkan. Batasan-batasan dasar pembangunan ditetapkan dan sebuah daftar kriteria insentip juga disiapkan untuk para pengembang, sehingga mereka dapat memilih akan memanfaatkan atau tidak keleluasaan yang diberikan. Skala reward dikaitkan dengan kriteria insentip memberikan suatu peluang bagi para pengembang untuk membangun proyek sesuai dengan yang mereka inginkan asalkan memenuhi beberapa persyaratan, seperti misalnya untuk pembangunan perumahan yang terjangkau di lokasi yang sama akan memperoleh bonus floor are ratio ( FAR ) atau untuk penyediaan fasiltas umum di lokasi yang sama akan memperoleh bonus ketinggian bangunan. Incentive zoning memungkinkan tingkat fleksibiltas yang sangat tinggi tetapi terlalu rumit untuk dilaksanakan karena harus sering melakukan revisi terhadap zoning. 4. Form based zoning : Form based zoning berpijak pada peraturan yang diterapkan pada lokasi pembangunan dengan menggunakan 2 kriteria, yakni sesuai dengan ketentuan atau tidak sesuai. Kriteria
Dwi Rosnarti-Jurusan Arsitektur FTSP Usakti

23

Dasar-Dasar Permukiman dan Perkotaan

tersebut bergantung kepada ukuran petak, lokasi, penggunaan dan lain sebagainya. Sistim ini lebih fleksibel dibanding Euclidean Code tetapi juga banyak mendapat kritik karena tidak dilengkapi dengan ilustrasi maupun diagram sehingga sulit untuk diinterpretasikan. 5. Euclidean II Zoning. Euclidean II zoning masih menggunakan klasifikasi zoning Euclidean yang tradisional, namun sistim zoning diklasifikasikan secara hirarkis dilihat dari dampak negatip yang akan ditimbulkannya. Konsep ini hampir mirip dengan konsep Planned Unit Development ( mixed uses ). Contohnya begini, semua zona disusun dalam suatu peringkat dimana zona industri misalnya ditempatkan pada peringkat tertinggi karena dampak negatipnya yang besar, kemudian disusul oleh kegiatan komersial, rumah susun , rumah tunggal dan seterusnya. Kegiatan yang lebih rendah hirarkinya dapat dapat hadir pada zona yang lebih tinggi misalnya rumah susun diizinkan pada zona komersial atau zona industri, kegiatan komersial dapat diizinkan pada zona industri. Tetapi ketentuan tersebut tidak berlaku sebaliknya. Ueclidean II juga menyertakan sarana kota ( transportasi dan utilitas ) sebagai zoning district yang baru didalam matrix zona yang dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu Publik, Semi Publik dan Privat. Ueclidean II zoning memperkuat konsep mixed use dan menjamin tercapainya pengunaan yang terbaik dan berkualitas tinggi. Juga relatip mudah merubah klasifikasi zona yang sudah ada ke dalam sistim Euclidean II zoning. Satu-satunya kota di Amerika Serikat yang menolak zoning adalah Houston. Para pemberi suara menolak upaya untuk memberlakukan zoning pada tahun 1948, 1962 dan 1993. Houston dalam pembangunan kotanya menerapkan konsep increamental planning, yaitu suatu prinsip melakukan perencanaan land use secara bertahap sesuai permohonan atau usulan yang diajukan tanpa melalui zoning plan. Namun setiap usulan dinilai dengan menggunakan peraturan tata
Dwi Rosnarti-Jurusan Arsitektur FTSP Usakti

24

Dasar-Dasar Permukiman dan Perkotaan

guna lahan yang sebetulnya pada hakekatnya tidak lain adalah juga peraturan zonasi. Zonning di Inggris Pada abad ke 18 Inggris mengalami revolusi industri yang pertama dengan kebangkitan industri manufaktur yang menjadi penggerak utama roda perekonomian negeri tersebut. Phenomena tersebut diikuti juga dengan pertambahan penduduk ,migrasi yang cepat dari desa-desa pertanian ke kota dan pembangunan kota-kota industri. Dampaknya adalah timbul kebutuhan perumahan untuk para pekerja di dalam kota. Pembangunan yang cepat dan motif mengambil keuntungan yang besar di kalangan industrialis, telah menyebabkan pembangunan hampir tidak terencana, tidak nyaman dan sama sekali tidak memperdulikan kesejahteraan para pekerja. Perumahan dibangun dengan kepadatan tinggi pada daerah-daerah yang peruntukan lahannya tidak sesuai, hunian kumuh terbentuk sehingga menyebabkan kondisikehidupan yang memprihatinkan dengan angka kematian yang tinggi. Akhirnya beberapa industrialis menyadari kekeliruannya dan kemudian mulai merintis penyusunan peraturan pembangunan yang tepat untuk mengendalikan pembangunan. Upaya inilah yang akhirnya yang menghantar tersusunnya Town Planning Act yang pertama pada tahun 1909. Meskipun cakupannya saat itu masih sangat terbatas, peraturan inilah yang membuka jalan diterimanya prinsip statutory planning yaitu konsep perencanaan yang dilandasi pada peraturan legislatip. Prinsip ini kemudian banyak ditiru kota-kota lain di seluruh dunia.

Dwi Rosnarti-Jurusan Arsitektur FTSP Usakti

25

Dasar-Dasar Permukiman dan Perkotaan

Dwi Rosnarti-Jurusan Arsitektur FTSP Usakti

26

You might also like