You are on page 1of 12

Delapan Keterampilan Dasar Mengajar Matematika

Seorang guru professional telah mengikuti beberapa pelatihan yang berkaitan dengan keterampilan dasar mengajar. Dalam keterampilan dasar mengajar tersebut ada 8 keterampilan yang dapat digunakan guru selama proses belajar mengajar yaitu; keterampilan bertanya, keterampilan memberikan penguatan, keterampilan mengadakan variasi, keterampilan menjelaskan, keterampilan membuka dan menutup pelajaran, ketrampilan membimbing diskusi kelompok kecil, keterampilan mengelola kelas, ketrampilan mengajar kelompok kecil dan perseorangan.

1. Ketrampilan Bertanya Ada yang mengatakan bahwa berpikir itu sendiri adalah bertanya. Bertanya merupakan ucapan verbal yang meminta respon dari seseorang yang dikenal. Respon yang di berikan dapat berupa pengetahuan sampai dengan hal-hal yang merupakan hasil pertimbangan. Jadi bertanya merupakan stimulus efektif yang mendorong kemampuan berpikir. Dalam proses belajar mengajar, bertanya memainkan peranan penting sebab pertanyaan yang tersusun dengan baik dan teknik pelontaran yang tepat akan memberikan dampak positif. Pertanyaan yang baik di bagi manjadi dua jenis, yaitu pertanyaan menurut maksudnya dan pertanyaan menurut taksonomo Bloom. Pertanyaan menurut maksudnya terdiri dari : Pertanyaan permintaan ( compliance question), pertanyaan retoris (rhetorical question), pertanyaan mengarahkan atau menuntun (prompting question) dan pertanyaan menggali (probing question). Sedangkan pertanyaan menurut taksonomi Bloom, yaitu: pertanyaan pengetahuan (recall question atau knowlagde question), pemahaman (conprehention question), pertanyaan penerapan (application question), pertanyaan sintetis ( synthesis question) dan pertanyaan evaluasi (evaluation question). Untuk meningkatkan partisipasi siswa dalam proses belajar mengajar, guru perlu menunjukkan sikap yang baik pada waktu mengajukan pertanyaan maupun ketika menerima jawaban siswa. Dan harus menghindari kebiasaan seperti : menjawab pertanyaan sendiri, mengulang jawaban siswa, mengulang pertanyaan sendiri, mengajukan pertanyaan dengan jawaban serentak, menentukan siswa yang harus menjawab sebelum bertanya dan mengajukan pertanyaan ganda. Dalam proses belajar mengajar setiap pertanyaan, baik berupa kalimat tanya atau suruhan yang menuntut respons siswa sehingga dapat menambah pengetahuan dan meningkatkan kemampuan berpikir siswa, di masukkan dalam golongan pertanyaan. Ketrampilan bertanya di bedakan atas ketrampilan bertanya dasar dan ketrampilan bertanya lanjut. Ketrampilan bertanya dasar mempunyai beberapa komponen dasar yang perlu diterapkan dalam mengajukan segala jenis pertanyaan. Komponen-komponen yang di maksud adalah : Pengungkapan pertanyaan secara jelas dan singakat, Pemberian acuan, pemusatan, Pemindah giliran, Penyebaran, Pemberian waktu berpikir dan pemberian tuntunan. Sedangkan ketrampilan bertanya lanjut merupakan lanjutan dari ketrampilan bertanya dasar yang lebih mengutamakan usaha mengembangkan kemampuan berpikir siswa, memperbesar

pertisipasi dan mendorong siswa agar dapat berinisiatif sendiri. Ketrampilan bertanya lanjut di bentuk di atas landasan penguasaan komponen-komponen bertanya dasar. Karena itu, semua komponen bertanya dasar masih dipakai dalam penerapan ketrampilan bertanya lanjut. Adapun komponen-komponen bertanya lanjut itu adalah : Pengubahan susunan tingkat kognitif dalam menjawab pertanyaan, Pengaturan urutan pertanyaan, Penggunaan pertanyaan pelacak dan peningkatan terjadinya interaksi.

2. Ketrampilan Memberikan Penguatan Penguatan (reinforcement) adalah segala bentuk respons, apakah bersifat verbal ataupun non verbal, yang merupakan bagian dari modifikasi tingkah laku guru terhadap tingkah laku siswa, yang bertujuan memberikan informasi atau umpan balik (feed back) bagi si penerima atas perbuatannya sebagai suatu dorongan atau koreksi. Penguatan juga merupakan respon terhadap suatu tingkah laku yang dapat meningkatkan kemungkinan berulangnya kembali tingkah laku tersebut. Penggunaan penguatan dalam kelas dapat mencapai atau mempunyai pengaruh sikap positif terhadap proses belajar siswa dan bertujuan untuk meningkatkan perhatian siswa terhadap pelajaran, merangsang dan meningkatkan motivasi belajar dan meningkatkan kegiatan belajar serta membina tingkah laku siswa yang produktif. Ketrampilan memberikan penguatan terdiri dari beberapa komponen yang perlu dipahami dan dikuasai penggunaannya oleh mahasiswa calon guru agar dapat memberikan penguatan secara bijaksana dan sistematis. Komponen-komponen itu adalah : Penguatan verbal, diungkapkan dengan menggunakan kata-kata pujian, penghargaan, persetujuan dan sebagainya. Dan penguatan non-verbal, terdiri dari penguatan berupa mimik dan gerakan badan, penguatan dengan cara mendekati, penguatan dengan sentuhan (contact), penguatan dengan kegiatan yang menyenangkan, penguatan berupa simbol atau benda dan penguatan tak penuh. Penggunaan penguatan secara evektif harus memperhatikan tiga hal, yaitu kehangatan dan evektifitas, kebermaknaan, dan menghindari penggunaan respons yang negatif.

3. Ketrampilan Mengadakan Variasi Variasi stimulus adalah suatu kegiatan guru dalam konteks proses interaksi belajar mengajar yang di tujukan untuk mengatasi kebosanan siswa sehingga, dalam situasi belajar mengajar, siswa senantiasa menunjukkan ketekunan, serta penuh partisipasi. Variasi dalam kegiatan belajar mengajar dimaksudkan sebagai proses perubahan dalam pengajaran, yang dapat di kelompokkan ke dalam tiga kelompok atau komponen, yaitu : Variasi dalam cara mengajar guru, meliputi : penggunaan variasi suara (teacher voice), Pemusatan perhatian siswa (focusing), kesenyapan atau kebisuan guru (teacher silence), mengadakan kontak pandang dan gerak (eye contact and movement), gerakan badan mimik: variasi dalam ekspresi wajah guru, dan pergantian posisi guru dalam kelas dan gerak guru ( teachers movement). Variasi dalam penggunaan media dan alat pengajaran. Media dan alat pengajaran bila ditunjau dari indera yang digunakan dapat digolongkan ke dalam tiga bagian, yakni dapat didengar, dilihat, dan diraba. Adapun variasi penggunaan alat antara lain adalah sebagai berikut : variasi alat atau bahan yang dapat dilihat (visual aids), variasi alat atau bahan yang dapat didengart

(auditif aids), variasi alat atau bahan yang dapat diraba (motorik), dan variasi alat atau bahan yang dapat didengar, dilihat dan diraba (audio visual aids). Variasi pola interaksi dan kegiatan siswa. Pola interaksi guru dengan murid dalam kegiatan belajar mengajar sangat beraneka ragam coraknya. Penggunaan variasi pola interaksi dimaksudkan agar tidak menimbulkan kebosanan, kejemuan, serta untuk menghidupkan suasana kelas demi keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan.

4. Ketrampilan Menjelaskan Yang dimaksud dengan ketrampilan menjelaskan adalah penyajian informasi secara lisan yang diorganisasikan secara sistematik untuk menunjukkan adanya hubungan yang satu dengan yang lainnya. Secara garis besar komponen-komponen ketrampilan menjelaskan terbagi dua, yaitu : Merencanakan, hal ini mencakup penganalisaan masalah secara keseluruhan, penentuan jenis hubungan yang ada diantara unsur-unsur yang dikaitkan dengan penggunaan hukum, rumus, atau generalisasi yang sesuai dengan hubungan yang telah ditentukan. Dan penyajian suatu penjelasan, dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut : kejelasan, penggunaan contoh dan ilustrasi, pemberian tekanan, dan penggunaan balikan.

5. Ketrampilan Membuka dan Menutup pelajaran Yang dimaksud dengan membuka pelajaran (set induction) ialah usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh guru dalam kegiatan belajar mengajar untuk menciptakan prokondusi bagi siswa agar mental maupun perhatian terpusat pada apa yang akan dipelajarinya sehingga usaha tersebut akan memberikan efek yang positif terhadap kegiatan belajar. Sedangkan menutup pelajaran (closure) ialah kegiatan yang dilakukan oleh guru untuk mengakhiri pelajaran atau kegiatan belajar mengajar. Komponen ketrampilan membuka pelajaran meliputi: menarik perhatian siswa, menimbulkan motivasi, memberi acuan melalui berbagai usaha, dan membuat kaitan atau hubungan di antara materi-materi yang akan dipelajari. Komponen ketrampilan menutup pelajaran meliputi: meninjau kembali penguasaan inti pelajaran dengan merangkum inti pelajaran dan membuat ringkasan, dan mengevaluasi.

6. Ketrampilan Membimbing Diskusi Kelompok Kecil Diskusi kelompok adalah suatu proses yang teratur yang melibatkan sekelompok orang dalam interaksi tatap muka yang informal dengan berbagai pengalaman atau informasi, pengambilan kesimpulan, atau pemecahan masalah. Diskusi kelompok merupakan strategi yang memungkinkan siswa menguasai suatu konsep atau memecahkan suatu masalah melalui satu proses yang memberi kesempatan untuk berpikir, berinteraksi sosial, serta berlatih bersikap positif. Dengan demikian diskusi kelompok dapat meningkatkan kreativitas siswa, serta membina kemampuan berkomunikasi termasuk di dalamnya ketrampilan berbahasa.

7. Ketrampilan Mengelola Kelas Pengelolaan kelas adalah ketrampilan guru untuk menciptakan dan memelihara kondisi belajar yang optimal dan mengembalikannya bila terjadi gangguan dalam proses belajar mengajar. Dalam melaksanakan ketrampilan mengelola kelas maka perlu diperhatikan komponen ketrampilan yang berhubungan dengan penciptaan dan pemeliharaan kondisi belajar yang optimal (bersifat prefentip) berkaitan dengan kemampuan guru dalam mengambil inisiatif dan mengendalikan pelajaran, dan bersifat represif ketrampilan yang berkaitan dengan respons guru terhadap gangguan siswa yang berkelanjutan dengan maksud agar guru dapat mengadakan tindakan remedial untuk mengembalikan kondisi belajar yang optimal.

8. Ketrampilan Mengajar Kelompok Kecil dan Perseorangan Secara fisik bentuk pengajaran ini ialah berjumlah terbatas, yaitu berkisar antara 3 8 orang untuk kelompok kecil, dan seorang untuk perseorangan. Pengajaran kelompok kecil dan perseorangan memungkinkan guru memberikan perhatian terhadap setiap siswa serta terjadinya hubungan yang lebih akrab antara guru dan siswa dengan siswa. Komponen ketrampilan yang digunakan adalah: ketrampilan mengadakan pendekatan secara pribadi, ketrampilan mengorganisasi, ketrampilan membimbing dan memudahkan belajar dan ketrampilan merencanakan dan melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Diharapkan setelah menguasai delapan ketrampilan mengajar yang telah dijelaskan di atas dapat bermanfaat untuk mahasiswa calon guru sehingga dapat membina dan mengembangkan ketrampilan-ketrampilan tertentu mahasiswa calon guru dalam mengajar. Ketrampilan mengajar yang esensial secara terkontrol dapat dilatihkan, diperoleh balikan (feed back) yang cepat dan tepat, penguasaan komponen ketrampilan mengajar secara lebih baik, dapat memusatkan perhatian secara khusus kepada komponen ketrampilan yang objektif dan dikembangkannya pola observasi yang sistematis dan objektif. Dari delapan kompetensi yang telah dijelaskan di atas, yang paling penting bagi guru adalah bagaimana cara guru dapat menggunakan agar proses pembelajaran dapat berjalan baik. Selaha satu faktor yang dapat mengukur proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik, makin banyaknya jumlah siswa bertanya.

Evaluasi Proses assessment


Evaluasi Proses Pembelajaran Sasaran evaluasi proses pembelajaran adalah pelaksanaan dan pengelolaan pembelajaran untuk memperoleh pemahaman tentang strategi pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru/guru, cara mengajar dan media pembelajaran yang digunakan oleh guru/guru dalam pembelajaran, serta minat, sikap dan cara/kebiasaan belajar siswa/siswa. 1. Tahapan pelaksanaan evaluasi

Tahapan pelaksanaan evaluasi proses pembelajaran adalah penentuan tujuan, menentukan desain evaluasi, pengembangan instrumen evaluasi, pengumpulan informasi/data, analisis dan interpretasi dan tindak lanjut. 2. Menentukan tujuan Tujuan evaluasi proses pembelajaran dapat dirumuskan dalam bentuk pernyataan atau pertanyaan. Secara umum tujuan evaluasi proses pembelajaran untuk menjawab pertanyaanpertanyaan berikut: (1) Apakah strategi pembelajaran yang dipilih dan dipergunakan oleh guru/guru efektif, (2) Apakah media pembelajaran yang digunakan oleh guru/guru efektif, (3) Apakah cara mengajar guru/guru menarik dan sesuai dengan pokok materi sajian yang dibahas, mudah diikuti dan berdampak siswa/ siswa mudah mengerti materi sajian yang dibahas, (4) Bagaimana persepsi siswa/siswa terhadap materi sajian yang dibahas berkenaan dengan kompetensi dasar yang akan dicapai, (5) Apakah siswa/siswa antusias untuk mempelajari materi sajian yang dibahas, (6) Bagaimana siswa/siswa mensikapi pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru/guru, (7) Bagaimanakah cara belajar siswa mengikuti pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru/guru. 3. Menentukan desain evaluasi Desain evaluasi proses pembelajaran mencakup rencana evaluasi proses dan pelaksana evaluasi. Rencana evaluasi proses pembelajaran berbentuk matriks dengan kolom-kolom berisi tentang: No. Urut, Informasi yang dibutuhkan, indikator, metode yang mencakup teknik dan instrumen, responden dan waktu. Selanjutnya pelaksana evaluasi proses adalah guru/guru mata pelajaran yang bersangkutan. 4. Penyusunan instrumen evaluasi Instrumen evaluasi proses pembelajaran untuk memperoleh informasi deskriptif dan/atau informasi judgemental dapat berwujud (1) Lembar pengamatan untuk mengumpulkan informasi tentang kegiatan belajar siswa dalam mengikuti pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru/guru dapat digunakan oleh guru/guru sendiri atau oleh siswa/ siswa untuk saling mengamati, dan (2) Kuesioner yang harus dijawab oleh siswa/siswa berkenaan dengan strategi pembelajaran yang dilaksanakan guru/guru, metode dan media pembelajaran yang digunkan oleh guru/guru, minat, persepsi siswa tentang pembelajaran untuk suatu materi pokok sajian yang telah terlaksana. 5. Pengumpulan data atau informasi Pengumpulan data atau informasi dilaksanakan secara obyektif dan terbuka agar diperoleh informasi yang dapat dipercaya dan bermanfaat bagi peningkatan mutu pembelajaran. Pengumpulan data atau informasi dilaksanakan pada setiap akhir pelaksanaan pembelajaran untuk materi sajian berkenaan dengan satu kompetensi dasar dengan maksud guru dan siswa memperoleh gambaran menyeluruh dan kebulatan tentang pelaksanaan pembelajaran yang telah dilaksanakan untuk pencapaian penguasaan satu kompetensi dasar. 6. Analisis dan interpretasi Analisis dan interpretasi hendaknya dilaksanakan segera setelah data atau informasi terkumpul. Analisis berwujud deskripsi hasil evalusi berkenaan dengan proses pembelajaran yang telah terlaksana; sedang interpretasi merupakan penafsiran terhadap deskripsi hasil analisis hasil analisis proses pembelajaran. Analisis dan interpretasi dapat dilaksanakan bersama oleh guru dan siswa agar hasil evaluasi dapat segera diketahui dan dipahami oleh guru dan siswa sebagai bahan dan dasar memperbaiki pembelajaran selanjutnya. 7. Tindak lanjut Tindak lanjut merupakan kegiatan menindak lanjuti hasil analisis dan interpretasi. Dalam evaluasi proses pembelajaran tindak lanjut pada dasarnya berkenaan dengan pembelajaran yang akan dilaksanakan selanjutnya dan evaluasi pembelajarannya. Pembelajaran yang akan

dilaksanakan selanjutnya merupakan keputusan tentang upaya perbaikan pembelajaran yang akan dilaksanakan sebagai upaya peningkatan mutu pembelajaran; sedang tindak lanjut evaluasi pembelajaran berkenan dengan pelaksanaan dan instrumen evaluasi yang telah dilaksanakan mengenai tujuan, proses dan instrumen evaluasi proses pembelajaran.

HLT (Hypothetical Learning Trajectory)


Suatu proses pembelajaran yang ideal tidak bisa dipisahkan dengan proses perencanaan dan desain pembelajaran. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran atau lesson plan merupakan salah satu bentuk nyata proses perencanaan dan desain pembelajaran. Akan tetapi, pada kenyataannya suatu Rencana Pelaksanaan Pembelajaran hanya memuat hal-hal yang bersifat formalitas dalam bentuk paket standar pembelajaran, yaitu gambaran singkat tentang kegiatan pembukaan, kegiatan inti dan kegiatan penutup. Informasi selain ketiga tahap pembelajaran tersebut hanyalah sekedar ringkasan materi yang akan disampaikan. Sangat jarang guru menyiapkan hipotesis alternatif strategi pemecahan masalah yang digunakan siswa sehingga proses pembelajaran cenderung kurang bersifat open ended. Adanya hipotesis alternatif strategi pemecahan masalah yang digunakan siswa akan membantu guru dalam menentukan strategi penanganan terhadap kemungkinan kesulitan yang dihadapi siswa. Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik menekankan pada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam perencanaan pembelajaran, yaitu hypothetical learning trajectory (rute belajar) siswa dan pengembangan model. Pentingnya hypothetical learning trajectory bisa dianalogikan dengan perencanaan rute perjalanan. Jika kita memahami rute-rute yang mungkin untuk menuju tujuan kita maka kita bisa memilih rute yang baik. Selain itu, kita juga bisa menyelesaikan permasalahan yang kita hadapi dalam perjalanan jika kita paham rute tersebut. Menurut Simon (1995), ada tiga komponen utama dari learning trajectory, yaitu: tujuan pembelajaran (learning goals), kegiatan pembelajaran (learning activities) dan hipotesis proses belajar siswa (hypothetical learning process). Tujuan pembelajaran sebagai komponen pertama mengindikasikan perlunya perumusan tujuan pembelajaran sebagai bentuk hasil yang akan kita tuju atau capai setelah proses pembelajaran. Penentuan tujuan pembelajaran sangat bermanfaat dalam penentuan arah dan strategi pembelajaran yang akan digunakan. Berdasarkan tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan maka kegiatan pembelajaran (learning activities) sebagai jalan untuk mencapai tujuan pembelajaran bisa dirancang. Kegiatan pembelajaran disusun menjadi beberapa sub-sub kegiatan dengan sub-sub tujuan pembelajaran. Komponen terakhir adalah hipotesis proses belajar siswa yang berguna untuk merancang tindakan ataupun strategi alternatif untuk mengatasi berbagai masalah yang mungkin dihadapi siswa dalam proses pembelajaran.

Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu kelompok mata pelajaran dengan tema tertentu, yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, Materi pembelajaran, indicator, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar yang dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Dalam KTSP, silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan indicator pencapaian kompetensi untuk penilaian hasil belajar. Silabus disusun berdasarkan Standar Isi, yang di dalamnya berisikan Identitas Mata Pelajaran, Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD), Materi Pokok/Pembelajaran, Kegiatan Pembelajaran, Indikator, Penilaian, Alokasi Waktu, dan Sumber Belajar. Dengan demikian, silabus pada dasarnya menjawab permasalahan-permasalahan sebagai berikut. 1. Kompetensi apa saja yang harus dicapai peserta didik sesuai dengan yang dirumuskan oleh Standar Isi (Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar). 2. Materi Pokok/Pembelajaran apa saja yang perlu dibahas dan dipelajari peserta didik untuk mencapai Standar Isi. 3. Kegiatan Pembelajaran apa yang seharusnya diskenariokan oleh guru sehingga peserta didik mampu berinteraksi dengan sumber-sumber belajar. 4. Indikator apa saja yang harus dirumuskan untuk mengetahui ketercapaian KD dan SK. 5. Bagaimanakah cara mengetahui ketercapaian kompetensi berdasarkan Indikator sebagai acuan dalam menentukan jenis dan aspek yang akan dinilai. 6. Berapa lama waktu yang diperlukan untuk mencapai Standar Isi tertentu. 7. Sumber Belajar apa yang dapat diberdayakan untuk mencapai Standar Isi tertentu. Pengembangan terhadap komponen-komponen tersebut merupakan kewenangan mutlak guru, termasuk pengembangan format silabus, dan penambahan komponen-komponen lain dalam silabus di luar komponen minimal. Semakin rinci silabus, semakin membantu memudahkan guru dalam menjabarkannya ke dalam rencana pelaksanaan pembelajaran. Selanjutnya yang dimaksud dengan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) adalah rencana yang menggabarkan prosedur dan manajemen pembelajaran untuk mencapai satu atau lebih kompetensi dasar yang ditetapkan dalam standar isi dan dijabarkan dalam silabus. RPP merupakan komponen penting dari kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), yang pengembangannya harus dilakukan secara professional. Tugas guru yang paling utama terkait dengan RPP berbasis KTSP adalah menjabarkan silabus ke dalam RPP yang lebih operasional dan rinci, serta siap dijadikan pedoman atau scenario dalam pembelajaran. Dalam pengembangan RPP guru diberi kebebasan untuk mengubah, memodifikasi, dan menyesuaikan silabus dengan kondisi sekolah dan daerah, serta dengan karakteristik siswa. Hal ini harus dipahami dan dilakkan guru, terutama kalau sekolah tempatnya mengajar tidak menembangkan silabus sendiri, tetapi menggunakan silabus yang dikembangkan oleh Depdiknas atau silabus dari sekolah lain. Dalam KTSP, guru diberikan kewenangan secara leluasa untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan karakteristik dan kondisi sekolah, serta kemampuan guru itu sendiri dalam menjabarkannya menjadi rencana pembelajaran yang siap dijadikan pedoman pembentukan kompetensi siswa. Agar guru dapat membuat RPP yang efektif dan berhasil guna, dituntut untuk memahami berbagai aspek yang berkaitan dengan hakikat, fungsi, prinsip, dan prosedur pengembangan, serta cara mengukur efektifitas pelaksanaannya dalam pembelajaran.

METODE PEMBELAJARAN PEER TEACHING Ada ujaran yang menyebutkan bahwa orang tua dua puluh tahun yang akan datang adalah pemuda pada masa kini Pendidikan sebagai upaya terorganisasi, terencana, sistimatis, untuk mentransmisikan pengetahuan dalam arti luas (sikap, moral dan nilai-nilai hidup dan kehidupan, ketrampilan, dll.) dari suatu generasi ke generasi lain, bertujuan ingin mencapai perubahan sikap dan perilaku tertentu. Bagi kita sebagai bangsa dalam suatu negara bangsa (nation state) yang merdeka, pendidikan kita niscaya dilandasi oleh pengetahuan dari mulai dilahirkan dan sudah kita sepakati dan anut bersama. Aktifitas apapun yang dilakukan manusia memerlukan daya nalar yang tinggi. Dan untuk menguji dan mengasah daya nalar tersebut manusia harus melakukan latihan demi latihan. Sejak manusia berada dalam kandungan telah diberikan oleh Tuhan akal dan pikiran. akal dan pikiran tersebut harus digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia terutama guru sebagai agen perubahan tersebut. Dalam mentransfer pengetahuan kepada peserta didik, guru dituntut memberikan layanan terbaiknya agar materi yang diajarkan dapat tersampaikan dan tersalurkan secara tuntas, dan indikator yang diharapkan dapat direspon positif oleh peserta didik. Strategi pembelajaran yang tepat akan menuntun siswa untuk mencapai tujuan tersebut. Ada pola ajar yang mungkin tepat bagi guru untuk menyampaikan materi ajarnya. Yaitu tukar pendapat atau brain storming dimana materi yang disampaikan hanya sebatas materi pokok, selanjutnya diberikan waktu bagi siswa untuk memberikan tanggapan atau respon materi tadi, lalu guru memberikan jawaban atas respon tadi dengan menyelipkan indicator yang ingin disampaikan. Namun cara ini biasanya hanya akan menberikan hasil tidak maksimal, artinya siswa yang menanggapi serius materi itu atau hanya siswa yang tertarik saja yang akan menunjukkan bahwa dia dapat menanggapi indikator sang guru. Sedangkan siswa yang masih mengambang pikirannya justru akan semakin tertinggal. Namun dalam satu waktu pertemuan, guru tidak harus menerapkan satu strategi saja, namun bisa saja dua atau tiga strategi, tergantung tingkat kesulitan materi yang akan diajarkan serta daya tangkap pikiran siswa atau daya serap siswa terhadap materi tersebut. Selain tukar pikiran, strategi lain yang masih dapat digunakan adalah siswa saling memberi pengetahuannya kepada sesama temannya atau mengajar teman sejawat (peer teaching). Peer Teaching adalah pola belajar antar sesama siswa. Dalam proses ini guru tak dapat dipisahkan dari proses perubahan afeksi siswa dalam belajar. Untuk menerapkan strategi ini selain membutuhkan skil yang memadai, juga perlu penguasaan konsep materi yang akan diajarkan kepada siswa. Biologi sebagai salah satu pembelajaran sains merupakan pembelajaran yang menuntut daya fikir siswa untuk lebih kreatif dan mandiri. Materi biologi berkaitan dengan alam secara sistematis, sehingga biologi bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan.

Oleh karena itu, dalam pembelajaran biologi dibutuhkan pemahaman dari suatu konsep secara universal. Satu metode yang sesuai dengan tuntutan KTSP dapat dilakukan dengan menerapkan Peer Teching. Pembelajaran Biologi dapat dikatakan berhasil dan berkualitas dari segi proses apabila seluruh dan sebagai besar peserta didik terlibat aktif dalam proses pembelajaran dan mampu menyerap materi yang diajarkan, sehingga pembelajaran biologi tersebut dapat dikatakan berhasil apabila terjadi perubahan daya pikIr terhadap suatu konsep yang telah ditetapkan. Cara pertama dalam menggunakan strategi ini yaitu, setelah melakukan apersepsi atau memberi salam dan melakukan pre test terhadap materi minggu lalu, guru juga menghubungkan materi minggu lalu dengan topik yang akan dibahas pada waktu itu. Kemudian guru menerangkan secara umum tentang topik yang dibahas pada waktu itu. Kemudian guru membuat kelompok antar siswa secara merata, artinya dalam satu kelompok terdapat siswa yang pintar sedang dan kurang pintar. Maksudnya agar terdapat keseragaman pemikiran nantinya. Langkah berikutnya adalah menjelaskan secara detil materi yang akan dibahas pada waktu itu meliputi indicator yang harus dicapai oleh siswa pada waktu itu. Selanjutnya siswa diberikan lembaran berisi tugas berupa pertanyaan untuk didiskusikan menurut pengetahuan yang mereka kuasai. Dalam lembaran tersebut setiap kelompok diminta untuk memberikan pendapat menurut persepsi mereka sendiri masing-masing, lalu satu pendapat didiskusikan sampai permasalahan yang di indikasikan terpecahkan. Dalam diskusi tersebut di tuntut setiap anggota kelompok memberikan tanggapan serta pendapat mereka sendiri yang nantinya akan di satukan dalam satu kesimpulan yang mengerucut pada tujuan yang hendak dicapai dalam materi tersebut. Peran guru di sini adalah mengawasi serta mengamati kegiatan diskusi yang dilakukan setiap kelompok siswa, serta memberikan bantuan bila mereka mendapatkan kesulitan dalam halhal tertentu, namun bukan berarti guru harus ikut memecahkan masalah tersebut. Mengenai pemecahan masalah tersebut, setiap kelompok siswa harus memikirkannya sendiri dan tidak keluar dari batasan materi yang diberikan pada waktu itu. Bila ada yang menyimpang dari koridor, maka guru harus mengembalikan perdebagatn mereka ke materi semula. Bila masing-masing setiap kelompok telah selesai melaksanakan semua instruksi yang ada dalam lembaran kerja tersebut, maka setiap kelompok harus merumuskan hasil diskusinya dalam satu kesimpulan yang telah disepakati bersama. Kemudian hasil diskusinya diserahkan ke guru dalam bentuk lembaran yang ditulis rapi. Selanjutnya guru memerintahkan setiap kelompok satu per satu membacakan hasil diskusinya. Hasil diskusi yang dibacakan di depan kelompok yang lainnya. Sementara kelompok yang lain memberikan tanggapan tentang hasil diskusi kelomok tersebut serta memberikan pendapat atau sanggahan kepada kelompok tersebut. Setiap masalah baru yang muncul, dicatat guru. Terakhir, semua masalah yang muncul pada waktu diskusi kelompok tersebut diberikan solusinya oleh guru. Dan guru mengevaluasi serta menyimpulkan semua masalah dan pemecahannya kepada seluruh anggota kelas. Sehingga terdapat satu pemahaman yang

seragam bagi setiap siswa. Terakhir guru memberikan tugas kepada siswa untuk merangkum semua penjelasan guru tadi untuk dikumpulkan sebagai post test bagi siswa.

PENERAPAN PEER TEACHING DI KELAS Setahun yang lalu, ketika masih menjadi guru, saya mencoba menerapkan model belajar Peer Teaching. Dalam beberapa buku teks model belajar seperti ini disebut juga Cooperatif Script, yang langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: 1. Bentuk kelompok beranggotakan 5-6 siswa (kemampuan siswa heterogen) 2. Beri tugas/permasalahan dalam kelompok untuk dipecahkan secara bersama (siswa bekerja dalam kelompok, saling bantu membantu) 3. Beri tes/kuis 4. Beri penghargaan per kelompok (Adi Wijaya) Ketika itu saya mengajar di kelas 9 H, dengan jumlah siswa 40 orang. Catatan, siswa kelas 9 H adalah anak-anak yang baik, namun, seperti kebanyakan anak kelas 9 lainnya mereka sulit diam. Namun, saya berani mencoba menerapkan teknik ini karena saya melihat kemauan belajar mereka dari balik perilakunya yang ribut dan tidak bisa diam itu. Berikut ini yang saya terapkan di kelas 9 H SMP Santa Maria Pekanbaru T.P. 2009/2010. Langkah pertama: Saya membagi kelas menjadi 10 kelompok dengan anggota yang heterogen. Saya memilih ketua kelompok. Pertimbangan pertama dalam memilih ketua kelompok adalah anak yang menonjol dalam pelajaran Bahasa Inggris. Pertimbangan selanjutnya adalah anak tersebut cukup punya potensi memimpin. Lucunya, di kelas 9 H sebetulnya banyak anak yang pandai dalam pelajaran Bahasa Inggris, namun, begitu ditunjuk menjadi ketua kelompok, mereka serta merta menolak. Alasannya macam-macam. Yang jelas, mereka (sama seperti saya pada waktu seusia mereka) merasakan beratnya tanggung jawab memimpin dan mengelola sekelompok orang. Mejadi ketua kelompok terkadang malah jadi korban; diabaikan oleh teman-temannya, dimarahi guru kalau kelompoknya tidak becus, dan lain sebagainya. Akhirnya, dengan berbagai cara (termasuk salah satunya dengan bertangan besi hehehe) saya meyakinkan para ketua kelompok itu untuk tetap pada tugasnya. Di lain pihak, para anggota juga tidak kalah cerewetnya. Karena saya yang menyusun keanggotaan berdasarkan rangking di kelas-, maka mereka tidak bisa suka-suka memilih teman (dan kemudian nanti mengabaikan belajarnya). Ada yang tidak mau bila mendapatkan ketua Si A, dengan alasan anaknya kejam, egois, blah blah blah Ada yang tidak mau dengan Si B karena kebetulan sedang bermasalah. Lagi-lagi, saya menerapkan tangan besi saya (suer, istilah tangan besi ini lebih banyak kidding-nya dari pada seriusnya.). Berikutnya, bagian dari langkah pertama yang saya rasa paling penting: aturan main. Saya menerapkan beberapa aturan main lengkap dengan konsekuensinya. Aturan main ini saya sesuaikan dengan kondisi kelas saat itu. Karena anak 9 H pada umumnya bermasalah pada kondusivitas belajar, maka itulah yang saya jadikan point utama. Saya membuat rapor di white board, isinya pantauan terhadap kelompok yang tidak kondusif dalam belajar. Namun, dalam prakteknya, saya mengalami bahwa anak-anak 9 H aktif dalam kondisi belajar seperti itu, sehingga rapor saya nyaris tidak digunakan. Saya menjelaskan bahwa mereka nanti akan belajar bersama teman-temannya, dan akan diuji. Saya memerincikan apa yang kira-kira akan dibuat dalam kegiatan tersebut.

Langkah kedua: saya memberi tutorial pada para ketua kelompok tentang materi If-Clause. Tentu saja dengan kondisi belajar mengajar di Indonesia yang super ketat dan super padat saya harus mencari waktu ekstra untuk itu. Saat itu saya menggunakan waktu saat temanteman mereka harus mengikuti tes remedi. Karena kelompok itu adalah kelompok yang cepat menguasai Bahasa Inggris maka tidak terlalu sulit untuk membuat mereka memahami materi. Yang saya tekankan adalah mereka harus membuat teman-teman mereka mampu memahami materi dasar tentang If- Clause itu. Saya sampaikan bahwa dari pemahaman teman-temannya itulah mereka akan dinilai. Hmm memang berat ya, untuk anak SMP. Tapi, yang saya pahami dari teknik belajar peer teaching ini adalah falsafah berikut ini: dengan mengajar, kita belajar dua kali. Makanya, sebenarnya mendapat manfaat yang lebih daripada teman-temannya. Langkah ketiga: Para ketua kelompok itu masuk ke dalam kelompok, dan mulai menjadi guru bagi teman-teman sekelompoknya (makanya namanya peerteaching). Saya sendiri berkeliling untuk mengawasi (dan terus terang, mengambil foto-foto, hehehe.). Saya ingat, saya sendiri takjub dengan apa yang saya lihat di kelompok-kelompok itu. Guruguru kecil itu saya ingat serius sekali dalam mengajar, lengkap dengan teman-teman mereka yang tidak kalah seriusnya. Ada juga ketua kelompok yang kejam, teman-temannya ditanyainya satu per satu sampai hapal (tentang pattern If-Clause). Ada juga ketua kelompok yang telateeeeen sekali menjelaskan sampai hal yang sekecil-kecilnya. Para murid juga tidak kalah menakjubkannya. Tidak ada lagi anak yang ngobrol sendiri. Sebaliknya, mereka memperhatikan dengan tekun, bahkan ada juga yang bertanya! Hhmm kalau yang menerangkan gurunya, jangankan bertanya, mendengarkan saja pun belum tentu! Saya tidak tahu apa yang mereka pikirkan mengenai cara belajar itu, tapi yang jelas saya malah merasa sangat surprised dengan apa yang ada di depan saya. Kelas memang buzzing, tapi, itu karena para guru dan murid yang saling berdiskusi. Langkah ke empat: di langkah ke empat ini pada dasarnya saya melakukan evaluasi. Evaluasinya bukan tes tertulis, tetapi berupa Cerdas Cermat antar kelompok. Pembuat soal adalah saya. Soal saya sesuaikan dengan materi dasar yang saya tetapkan pada para ketua kelompok untuk mengajarkannya pada teman-temannya. Para ketua kelompok sekarang harus keluar dari kelompok. Mereka menjadi juri dan penentu nilai. Sementara itu, teman-temannya satu kelompoklah yang harus menjawab. Oh ya, perlu saya jelaskan bahwa saya sudah membedakan tiap-tiap anggota kelompok menurut rangking; jadi, kelompok A ada anak 20 besar (sebut saja nomor 1), ada anak 30 besar (nomor 2), dan 40 besar (nomor 3). Jadi, prinsipnya kelompok itu adalah kelompok heterogen. Saya juga sudah menyiapkan soal dengan tingkat kesulitan yang bertahap; mudah sedang sukar. Jadi, beginilah kira-kira pelaksanaannya: saya menyebutkan bahwa soal nomor 1 ini untuk anak nomor 3 (dari tiap-tiap kelompok). Saya menayangkan soal di proyektor, semua anak nomor 3 (hanya anak-anak nomor 3 saja) yang merasa bisa silahkan maju, menuliskan jawabannya di selembar kertas kecil, menyerahkannya pada para juri. Tentu saja ada batasan waktunya. Selanjutnya juri menilai apakah jawaban temannya benar atau salah, kemudian memberi sekor. Di monitor saya sendiri juga sudah menyiapkan jawabannya. Tapi saya lebih senang menyerahkan pada para juri untuk memutuskan. Memang mungkin ada kekawatiran para juri tidak jujur. Di kelas 9 H, syukurlah para juri adalah anak-anak yang kompetitif namun punya integritas, sehingga saya tidak menemukan masalah itu. Mereka dengan sportif mengatakan bahwa teman mereka salah dan tidak mendapat nilai. Namun, bila dirasa perlu, mungkin bisa juga mengacak para juri, sehingga mereka tidak bisa menguntungkan kelompoknya atau merugikan kelompok tertentu.

Setelah selesai, tentu semua nilai dihitung, dan dicari juara I, II, dan III. Yang membuat saya terkejut adalah, pemegang juara I adalah kelompok yang ketuanya sejak awal protes karena dirinya ditunjuk sebagai ketua. Si cerewet ini merasa tidak pede menjadi ketua. Dan sebaliknya, teman-temannya juga sedari awal menolak dia dipilih menjadi ketua, karena sifatnya yang kejam. Ternyata simbiose yang aneh ini malah membawa kelompok ini menjadi Juara I! Saya tidak tahu persis proses kimiawi apa yang berlangsung selama mereka belajar bersama, yang jelas mereka sama-sama merasa bangga; baik ketua kelompok maupun anggota-anggotanya. Seingat saya runner-up nya pun dipegang oleh kelompok yang ketuanya agak nyleneh. Paling suka ribut kalau belajar konvensional. Belajar dengan cara ini mungkin menumbuhkan rasa tanggung jawabnya. Teknik Cerdas-Cermat yang saya pilih nampaknya membuat anak-anak lebih bersemangat. Tidak ada lagi anak yang itu-itu saja yang menjawab, sementara teman yang lainnya bersembunyi. Semua tertantang untuk menjawab. Dan, yang saya perhatikan adalah ada anak yang biasanya kurang menonjol, sekarang menjadi bersemangat untuk maju, menjawab pertanyaan, dan jawabannya benar! Sebagai guru saya merasa sangat excited melihat hasil yang tidak terduga semacam ini! Dibandingkan dengan sekor nilai yang mereka dapat, saya malah jauh lebih bangga dan bahagia dengan hasil kualitatif seperti yang saya lihat di atas; anak bersemangat untuk belajar. PENUTUP Ketika itu yang saya rasakan sebagai guru dalam mengajar dengan teknik Peer Teaching ini adalah saya malah tidak lelah secara emosional. Saya memang kelelahan menyiapkan bahan, kemudian mempersiapkan kelompok inti, dan bahkan kemudian membuat pengajaran ulang, tapi itu malah membuat saya excited. Saya terbantu dalam mengajarkan teknik ini terutama karena anak-anak yang saya ajar sebetulnya SUKA BELAJAR. Hanya saja selama ini mereka jenuh dengan suasana belajar. Teknik ini merupakan salah satu yang bisa mengusir kejenuhan anak dalam belajar. Saya tidak sempat menjaring pendapat para siswa tentang kegiatan belajar mengajar yang mereka jalani, namun, saya merasakan atmosfer yang lain pada saat saya menerapkan teknik ini. Saya merasakan adanya semangat, saya merasakan adanya keinginan untuk berkompetisi, saya merasakan kepuasan dan kebanggaan. Hal-hal seperti ini agak jarang saya dapati (secara lebih klasikal) kalau saya mengajar dengan cara konvensional. Model belajar seperti ini jelas membutuhkan waktu yang banyak. Kondisi belajar mengajar di sekolah-sekolah di Indonesia pada umumnya adalah materi yang membludak dengan waktu yang sedikit (apalagi di kelas 9). Namun waktu itu saya mengambil resiko itu. Saya pikir, tanpa ini juga toh waktu sudah kurang, jadi apa bedanya. Dan ternyata, hasilnya sepadan. Model belajar seperti ini juga membantu membuka paradigma anak, bahwa belajar tidak harus melulu membuka buku dan membaca dengan diam. Belajar juga tidak harus mendengar ceramah dari guru. Dengan model belajar yang sepertinya rame ini tanpa disadari mereka menyerap suatu ilmu, dan itu berarti mereka telah belajar sesuatu. Bagi saya sebagai guru (waktu itu) teknik mengajar seperti ini membuat setiap detik dalam waktu saya di dalam kelas menjadi lebih berharga.(db)

You might also like