You are on page 1of 14

Perubahan Sosial pada Masyarakat Penglaju Studi Perubahan Sosial Migrasi Masyarakat Penglaju di Desa Bandulan Malang Review

Disertasi Sosiologi Pedesaan Mudjia Rahardjo Nama NIM Mata Kuliah Dosen Pengampu : : : : Nindita Farah Sasmaya 117120100111002 Perubahan Sosial dan Pembangunan Prof. Dr. Ir. Sanggar Kanto, M.Si

1. Substansi Penelitian Substansi penelitian membahas mengenai pokok-pokok bahasan yang terdapat dalam suatu penelitian. Dalam penelitian berikut, maka terdapat tiga garis besar substansi yang dikemukakan dalam penelitian ini, antara lain : y Penetapan Masalah Penelitian ini mengambil penetapan masalah pokok, yakni untuk men-deskripsikan kehidupan sosial para penglaju di desa Bandulan. Kehidupan sosial yang secara spesifik disoroti di sini adalah mengenai perubahan sosial yang terjadi di desa Bandulan, antara kehidupan sosial penduduk desa Bandulan yang menglaju dengan penduduk desa Bandulan yang tidak menglaju. Selain itu, peneliti juga menyoroti tentang sistem kehidupan sosial di desa Bandulan yang mengalami perubahan akibat terjadinya penglajuan. y Pembahasan Penelitian Penelitian ini memotret beberapa hal yang menjadi fokus penting dalam kehi-dupan sosial di desa Bandulan, serta menuangkannya dalam lima bab utama. Adapun gambaran singat reviewer terhadap penelitian ini adalah sebagai berikut : Bab I Pendahuluan Pada bab pendahuluan, maka peneliti mencoba untuk menjelaskan mengenai fokus studi yang akan dicapai dalam penelitian ini, yakni untuk melihat fenomena urbanisasi serta perubahan sosial yang ditimbulkan akibat adanya para penglaju di Kota Malang. Penelitian ini mengambil lokasi penelitian di salah satu desa di Malang yang terkenal menghasilkan tukang, yaitu desa Bandulan, Kecamatan Sukun, Malang. Peneliti bertujuan menggali beberapa akibat sosial dan perubahan sosial yang ditimbulkan karena banyaknya penduduk yang menglaju dari dan ke luar desa Bandulan. Perubahan yang terjadi di Desa Bandulan ini ditinjau dari berbagai macam faktor, antara lain sistem dan nilai

kepercayaan yang berlaku di desa Bandulan, pranata sosial ekonomi, serta pelapisan sosial baru yang dirasakan oleh masyarakat setempat setelah terjadi adanya migrasi penduduk di desa Bandulan tersebut. Bab II Tinjauan Teoretik Bab II yang berisi tinjauan teoretik merupakan suatu bab yang membahas mengenai beberapa teori yang sering menjadi tema sentral dalam kajian penelitian ini. Adapun kajian teoretik yang digali dalam penelitian antara lain: Kajian teoretik mengenai hakekat perubahan sosial. Dalam penelitian ini, maka perubahan sosial diartikan sebagai suatu perubahan yang mendasar dalam pola budaya, struktur, dan perilaku sosial sepanjang waktu. Perubahan sosial ini selalu terproses, dan terdapat suatu penanda kritis yakni adanya perubahan yang berkaitan dengan kebudayaan, struktur sosial, dan perilaku sosial yang mengalami perubahan selama kurun waktu tertentu dengan kurun waktu yang lain. Dengan demikian, maka untuk memperlajari suatu perubahan sosial, maka harus ada perbandingan; dalam kajian ini, maka peneliti mengambil perbandingan yang terdapat di Desa Bandulan, yaitu kondisi sosial yang terjadi sebelum banyaknya migrasi yang dilakukan oleh penduduk Bandulan yang kemudian dibandingkan dengan kondisi sosial pasca banyaknya migrasi yang dilakukan oleh penduduk desa Bandulan. Terdapat beberapa jenis model teori yang sering digunakan untuk mengana-lisis perubahan sosial, yakni teori perubahan sosial daur ulang (cylical theory) yang menjelaskan bahwa masyarakat selalu berada di dalam titik tertentu dalam suatu lingkaran evolusi; teori perubahan garis lurus (linear theory) yang menjelaskan bahwa masyarakat berkembang secara garis lurus dan tidak melalui tahapan tertentu; teori pertentangan (conflict theory) yang menjelaskan bahwa perubahan yang terjadi dalam suatu masyarakat adalah akibat dari dinamika atau gejolak yang berasal dari masyarakat tersebut. Dinamika ini menghasilkan konflik terus-menerus hingga tercapai suatu kompromi sosial. Kompromi sosial inilah yang kemudian menghasilkan tatanan baru dalam kehidupan bermasyarakat. Kajian Teoretik mengenai Kota dan Mobilitas Penduduk Dalam penelitian ini membahas kajian teoretik tentang factor-faktor yang mendasari adanya migrasi. Dalam migrasi, dikenal ada dua factor pencetus seseorang untuk melakukan migrasi, yaitu factor pendorong dan factor penarik. Factor penarik adanya urbanisasi adalah factor-faktor yang menjadi daya tarik kota sehingga menjadikan penduduk desa tertarik untuk bermigrasi ke kota; misalnya fasilitas, sarana dan prasarana di kota yang lebih bagus, adanya industry besar dan pembangunan perkotaan yang menarik para penduduk desa untuk menjadi tenaga kerja, serta factor yang

berhubungan dengan nilai-nilai ekonomis, misalnya menginginkan upah yang lebih besar. Sedangkan factor pendorong adalah factor yang mendasari penduduk desa untuk meninggalkan desanya, untuk kemudian bermigrasi ke kota. Penyebab utamanya adalah adanya kemandegan pembangunan di pedesaan yang kemudian dipastikan akan diikuti oleh dampak social signifikan, misalnya tidak tersedianya lapangan pekerjaan, semakin menyem-pitnya lahan agraris, dan langkanya barang-barang konsumsi. Kemandegan pem-bangunan pedesaan juga menyebabkan tidak bisa berkembangnya usaha-usaha masyarakat yang bersifat mandiri. Teori penarik dan pendorong ini diangkat oleh peneliti dari teori yang dikemukakan oleh Lewis Mumford dalam bukunya The Natural History of Urbanization serta Andrev Korotayev yang meneliti tentang urbanisasi dalam bukunya The World System Urbanization Dynamics. Kajian teoretik yang dikemukakan peneliti berikutnya adalah mengenai teori pengambilan keputusan untuk berurbanisasi. Dikemukakan dalam teori tersebut bahwa para penglaju tetap memilih untuk bertempat tinggal di desa karena alasan ekonomi, yakni karena harga-harga barang konsumsi di desa masih terjangkau. Akan tetapi, mereka tetap harus bekerja di kota karena upah yang mereka terima baru mencukupi kebutuhan hidup jika mereka bekerja di kota. Dengan demikian, mereka memilih untuk menjadi seorang komuter atau penglaju. Peneliti mengambil teori dari The Humanitarian Dimension of Urbanization yang meneliti sebab urbanisasi dari sisi social pelaku urbanisasi tersebut. Teori Mobilitas dan dan perubahan social mengemukakan bahwa mobilitas memiliki pengaruh besar dalam peningkatan pendapatan keluarga. Perubahan social ini akan terjadi secara terarah jika ada agenagen pembaharu. Agen pembaharu dalam hal ini adalah para penglaju. Para penglaju akan mempengaruhi para penduduk pedesaan bahwa kehidupan di perkotaan menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Maka dari itu, migrasi yang dilakukan oleh para penduduk desa akan mendatangkan keuntungan bagi dua pihak, yakni bagi perkotaan akan mendapat tenaga kerja baru guna mem-bangun sarana-sarana produksi di perkotaan, sedangkan bagi pedesaan itu sendiri juga akan mendapat keuntungan, yaitu munculnya perubahan social di pedesaan serta bergerak-nya kehidupan ekonomi di pedesaan tersebut. Dengan demikian, urbanisasi tidak selamanya dianggap menjadi beban perkotaan jika terjadi simbiosis mutualisme antara desa dan kota. Bab III Akar-Akar Penglajuan Bab ini menjelaskan tentang daya tarik desa Bandulan, yang mempunyai berbagai alasan, mengapa desa Bandulan menjadi desa yang mempunyai ciri khusus digunakan sebagai tempat tinggal para penglaju,

serta banyak juga penduduk dari desa Bandulan tersebut yang kemudian mengikuti penglaju. Lingkungan Hidup Masyarakat Bab ini menjelaskan tentang alasan mengapa Bandulan dipilih sebagai tempat penelitian yang notabene, desa Bandulan terkenal sebagai tempat tinggal para penglaju. Bandulan memiliki daya tarik karena adanya sarana prasarana kota yang cukup memadai, dekat dengan sumber industry, trans-portasi lancar dan mudah dijangkau, ada pasar sehingga proses pertukaran produksi dapat terlaksana dengan baik. Sumber kehidupan seperti air dan bahan makanan dapat diakses dengan mudah. Penulis mencermati bahwa di Bandulan banyak terdapat pemukiman yang dihuni oleh para penglaju. Fenomena ini menghasilkan simpulan bahwa lahan yang tersedia di desa Bandulan cukup murah, dan uang sewa pemukiman cenderung rendah. Christaller dengan model tempat sentral (central lace model) mengemukakan bahwa tanah yang positif adalah tanah yang mendukung pusat kota. Pusat kota tersebut ada karena untuk berbagai jasa penting harus disediakan tanah/lingkungan sekitar. Secara ideal maka kota merupakan pusat daerah yang produktif. Dengan demikian apa yang disebut tempat sentral adalah pusat kota. Pendapat Christaller ini merepresentasikan letak desa Bandulan yang cukup strategis untuk perkembangan perkotaan. Selain karena letaknya cukup dekat dengan pusat Kota Malang, Bandulan juga mempunyai daya dukung sebagai area pemukiman untuk para pekerja perkotaan. Konflik Akibat Migrasi Migrasi menyebabkan sering terjadi ketegangan antara penduduk asli Bandulan dengan penduduk penglaju. Hal ini disebabkan, misalnya karena masalah agama di mana di sekitar Bandulan mulai berdiri banyak seminari. Di sisi lain, banyak juga masjid-masjid yang didirikan secara swadaya oleh masyarakat. Konflik terjadi akibat perbenturan kepentingan, misalnya timbul kebisingan akibat suara-suara yang ditimbulkan oleh pihak gereja. Tak jarang, pertengkaran sering melanda penduduk desa Bandulan, terutama yang mempunyai perbedaan agama. Di desa Bandulan, maka dijumpai semakin menyempitnya lahan perta-nian karena banyaknya kaum pendatang. Hal ini disebabkan karena lokasi Bandulan yang strategis serta harga tanah yang cukup murah, serta sewa pemukiman yang bisa dijang-kau. Menyempitnya lahan pertanian, menye-babkan penduduk desa Bandulan semakin jarang yang menjadi buruh tani. Akibatnya, para penduduk desa Bandulan mempunyai kecenderungan untuk beralih profesi menjadi tukang, mayoritas menjadi tukang batu atau bangunan, atau tukang kayu serta mekanik. Para penduduk desa Bandulan ini lambat laun mengalami perubahan social, di

mana di masa lampau mereka terkenal menjadi buruh tani, namun sekarang mereka terkenal karena keahlian mereka dalam hal bertukang. Sebab perubahan social lainnya yang bisa kita temukan dalam penelitian ini adalah mengenai industry di Bandulan. Dahulunya, Bandulan hanyalah lahan yang masih luas dan digunakan untuk pertanian. Akan tetapi, saat ini Bandulan menjadi sumber-sumber industry yang dikuasai oleh pendatang yang bukan warga asli desa Bandulan. Para penglaju desa Bandulan mempunyai kohesi social yang tinggi. Peluang lapangan pekerjaan yang ditimbulkan akibat adanya pembangunan di perkotaan membuat para buruh serta tukang yang merupakan penglaju dari desa Bandulan mengajak handai taulan dan sanak saudara mereka. Kemudian, setelah lapangan pekerjaan di dapat, maka relasi di antara mereka berubah menjadi relasi yang bersifat primordial. Individu yang mengajak atau mencarikan lapangan pekerjaan dianggap menjadi senior dan bertugas untuk mengajari individu yang mereka ajak untuk bekerja tersebut; dalam istilahnya gawan. Untuk mencari tempat tinggal, para senior juga mengajak para gawan tersebut tinggal bersama dengan para senior untuk sementara waktu sampai gawan tersebut mampu untuk berdiri sendiri. Ada semacam kecenderungan bahwa menjadi tukang merupakan suatu profesi yang dibanggakan oleh penduduk desa Bandulan. Selain karena pendapatan menjadi tukang termasuk memadai untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, tukang dianggap sebagai profesi yang membutuhkan banyak keahlian serta keteranpilan, sehingga profesi menjadi tukang merupakan profesi yang tak lekang oleh waktu dan jaman. Bab IV Gaya Hidup dan Peran Sosial Penglaju Gaya hidup adalah keseluruhan pola penghidupan manusia yang berkembang untuk memenuhi kebutuhan biologis, social, dan emosional mereka. Gejala menarik yang ditemukan dalam penelitian ini adalah solidaritas kelompok yang kental di antara para penglaju di desa Bandulan tersebut. Solidaritas ini kemudian menimbulkan spiritualitas dan moralitas kelompok. Spiritualitas maksudnya adalah, ada keyakinan yang dipegang teguh oleh kelompok penglaju berkaitan dengan kekuasaan yang berhubungan dengan keilahian. Sebagai contoh, ada keyakinan di antara para penglaju bahwa rejeki sudah ditetapkan oleh Yang Kuasa, sehingga tidak perlu iri hati atau diperebutkan. Dengan demikian, maka keyakinan ini tertanam kuat di antara penglaju desa Bandulan sehingga dalam mencari pekerjaan mereka tidak terlalu ngoyo atau bersusah payah; karena mereka yakin segala sesuatu sudah ditetapkan oleh sang Ilahi. Dalam aspek moralitas kelompok, maka para penglaju Bandulan mempunyai nilai-nilai yang mereka sepakati bersama dalam satu komunitas. Karena mereka

tergabung sebagai komunitas yang muncul akibat adanya kesamaan profesi, maka nilai moralitas yang muncul di antara mereka adalah nilainilai yang berkaitan dengan profesi mereka sebagai pekerja. Sebagai contoh utama, mereka mempunyai nilai moralitas bersama dalam penetapan standar upah minimal. Para tukang misalnya, mereka mempunyai standar upah minimal yang harus dipegang teguh oleh anggota yang tergabung dalam komunitas tersebut. Jika ada salah seorang yang menerima harga di bawah upah minimum, maka orang tersebut akan dianggap ngrusak rega atau merusak harga pasaran untuk upah standar yang seharusnya diterima oleh para tukang tersebut. Nilai moralitas yang lain berkaitan dengan etos kerja. Standarisasi berkaitan etos kerja tersebut juga tampak di kalangan pekerja penglaju di desa Bandulan. Apabila ada pekerja yang terlalu rajin misalnya, maka pekerja yang lain akan menganggap bahwa pekerja tersebut menyalahi kesepakatan bersama tentang etos kerja kelompok. Pekerja tersebut akan dianggap sebagai orang yang seneng golek rai atau mencari muka atasan, sehingga ia akan dijauhi oleh pekerja yang lain. Salah satu bentuk solidaritas kelompok yang lain yang kerap tampak di desa Bandulan adalah konsep sambatan. Sambatan adalah suatu bentuk bantuan yang ditawarkan oleh penduduk bahwa jika diantara mereka ada yang membutuhkan bantuan, maka penduduk tersebut akan membantu dengan tenaga. Salah satu bentuk sambatan misalnya biyado dan nyinom. Nyinom mengandung pengertian membantu keluarga yang mempunyai hajatan; misalnya pernikahan, kenduri, sunatan, dan lain-lain maka para penduduk desa akan membantu menghidangkan kepada para tamu. Ragam Pola Interaksi dan Solidaritas Dalam lingkungan penglaju di desa Bandulan, dapat diamati bahwa terdapat perbedaan pola interaksi antara penduduk asli yang menglaju dan penduduk asli yang tidak menglaju. Penduduk asli yang menglaju, pada umumnya mempunyai pola komunikasi yang lebih egaliter, memiliki rasa optimisme yang tinggi serta berkeyakinan diri dalam interaksi social. Berbeda dengan penduduk asli yang menglaju, maka penduduk asli yang tidak menglaju biasanya mempunyai mental yang minder, rendah diri, karena factor psikologis mereka yang kurang bergaul dengan dunia luar. Penduduk pendatang yang berasal dari desa Bandulan, sering mendapat reaksi negative penduduk asli Bandulan. Hal ini disebabkan karena sifat penduduk pendatang yang rata-rata adalah warga keturunan asing. Banyak diantara mereka yang dianggap mempunyai karakter yang congkak, arogan, dan mempunyai kepercayaan diri yang tinggi. Akan tetapi, yang menjadi keberatan dari penduduk Bandulan adalah cara mereka membawa diri dianggap sangat individualis serta tidak membutuhkan bantuan dari siapapun. Hal ini yang kemudian menyebabkan sering terjadi gesekan antara penduduk asli Bandulan dengan penduduk pendatang.

Penglaju sebagai Agen Perubahan Perubahan sosial yang terjadi di desa Bandulan adalah perubahan sosial yang terjadi karena adanya kontak secara intens dan terarah dengan wilayah perkotaan. Bandulan sebagai daerah satelit perkotaan atau hinterland menjadikan akses informasi dan sarana prasarana yang mendukung perubahan bisa terjadi secara optimal. Peran penglaju disini adalah bertindak sebagai simulator atau agen pembawa perubahan. Penglaju dianggap sebagai orang-orang yang mempunyai banyak pengalaman atau sugih pengalaman, menjadi semacam simbol kesuksesan bagi masyarakat setempat, sehingga mereka ingin mengikuti jejak si penglaju. Hal ini juga ditunjang dengan keber-hasilan para penglaju tersebut dalam mendongkrak strata ekonomi mereka. Penglaju yang berasal dari desa Bandulan, mempunyai pemahaman serta keterikatan yang baik dengan desa Bandulan. Situasi seperti ini yang menjadikan mereka mampu mendorong perubahan serta mempengaruhi pola pikir penduduk desa Bandulan lainnya. Penglaju Bandulan, juga mempunyai sentimen emosional dengan penduduk asli desa Bandulan. Sentimen ini menjadi penting jika menyangkut latar belakang, leluhur, adat desa, serta pranata yang sama dengan penduduk asli. Bab V Dampak Sosial Menglaju Berdasarkan pada peninggalan sejarah yang dimiliki oleh desa Bandulan, maka dapat dipastikan bahwa sejak jaman dahulu kala, desa Bandulan merupakan desa yang mempunyai tradisi untuk menglaju. Hal ini ditampakkan melalui penelusuran dari beberapa akibat sosial dari menglaju yang kemudian dituangkan ke dalam sejarah lisan Bandulan. Dari sejarah lisan inilah dapat digali pola keyakinan dan nilai-nilai pokok yang dianut oleh masyarakat Bandulan. Jika terjadi suatu perubahan pada masanya, maka bisa dipastikan bahwa nilai pokok akan terjadi perubahan yag kemudian akan berpengaruh pada tatanan sosial di masyarakat desa Bandulan. Sejarah Lisan dan Sisa-sisa Kepercayaan Bandulan pada mulanya merupakan desa yang bernama Sumberalur. Nama Bandulan kemudian mengalami perubahan ketika muncul agen perubahan, yakni ketika penjajah Belanda datang ke desa bandulan. Anakanak Belanda yang pada waktu itu tinggal di desa Bandulan karena beriklim sejuk, sering membuat dan bermain ayunan yang terbuat dari tali ijuk. Dari sinilah desa ini kemudian bermetamorfosis menjadi desa Bandulan. Pola kepercayaan animisme masih dipegang teguh oleh penduduk desa Bandulan. Mereka mempercayai bahwa desa Bandulan dijaga oleh dhanyang, yakni sebangsa mahluk halus yang mendiami daerah tertentu. Dhanyang ini mempunyai beberapa nama, misalnya Simbah, Mbahe, atau

Mbahurekso. Kemudian, suatu bentuk ritual penghormatan kepada dhanyang inilah dipopulerkan kesenian yang bernama tayub. Tayub diyakini merupakan klangenan dari dhanyang tersebut supaya mereka tetap menjaga desa Bandulan tetap aman dan mendatangkan rejeki. Tayub dilengkapi pula dengan penghormatan kepada dhanyang, yakni sesajen. Sesajen adalah makanan atau bunga yang disajikan kepada mahluk gaib; penempatannya ada yang diletakkan di pinggir jalan atau perempatan, dan ada juga yang diletakkan di bawah pohon atau batu-batu besar. Pola kepercayaan bersifat animisme yang lain adalah upacara Bersih Desa. Upacara bersih desa bertujuan sebagai upaya untuk mencegah malapetaka terjadi di desa Bandulan, akibat sengkala atau gangguan yang berasal dari mahluk gaib bersifat jahat. Jika mahluk gaib tersebut mengganggu, maka penduduk desa yakin akan ada gangguan di desa tersebut, misalnya pencurian uang, wabah penyakit yang aneh, rusaknya fasilitas umum yang dikarenakan alasan yang tak jelas, dan lainnya. Untuk mewujudkan upacara bersih desa, maka didatangkan tetua desa atau sesepuh yang dianggap mampu menjadi penghubung antara penduduk desa dengan mahluk gaib tersebut. Bersih desa diawali dengan membersihkan seluruh desa, termasuk sungai, selokan, fasilitas umum, jalan, rumah-rumah penduduk, serta semua area terbuka di desa. Kemudian, upacara diawali dengan pembacaan doa yang diakhiri dengan penyembelihan ayam hitam atau kerbau yang kepalanya dikubur di tempat tertentu. Pengorbanan hewan ini dimak-sudkan sebagai tumbal, atau persembahan yang diberikan kepada mahluk gaib yang jahat supaya tidak mengganggu desa Bandulan. Pola kepercayaan animisme di desa Bandulan, rupanya tak lekang oleh perubahan sosial yang terjadi di desa tersebut. Hal ini menjadi suatu pranata sosial yang kemudian dipertahankan oleh penduduk desa serta telah menjadi keyakinan yang melekat. Sehingga, apabila tidak diadakan upacara seperti ini, maka penduduk desa takut jika terjadi musibah yang tak mereka harapkan terjadi. Integrasi ke dalam Ekonomi Uang Pekerjaan di sektor pertanian hasilnya tidak menentu serta bersifat fluktuatif. Para penduduk desa Bandulan yang sedianya bekerja di sektor pertanian banyak yang memutuskan untuk beralih profesi menjadi tukang, atau bekerja di luar desa Bandulan. Pekerjaan di luar desa Bandulan dikategorikan mempunyai pendapatan yang tetap dan bisa dijagakan. Perubahan muncul dalam sektor pertanian, di mana sistem pengupahan semakin jelas terlihat. Pranata-pranata tertentu yang digunakan pada masa lampau dalam bidang pertanian, semakin terkikis. Contohnya adalah majek, yakni kerjasama antara penggarap dan pemilik tanah. Hasil pembagian dari sistem majek menempatkan penggarap mendapat 1/4 dari hasil panen, sedangkan pemilik lahan mendapatkan dari hasil panen. Sistem

pembagian yang lain misalnya maro, yakni bagian hasil panen untuk penggarap, dan bagian dari hasil panen di-manfaatkan untuk pemilik lahan. Saat ini, sistem majek dan maro telah tergantikan menjadi suatu sistem pengupahan, yakni pemilik lahan di desa Bandulan akan mempergunakan tenaga buruh tani untuk mengerjakan sawahnya. Buruh tani tersebut akan dihargai hasil kerjanya dalam bentuk upah berupa uang, dan bukan dalam bentuk hasil panen seperti pada masa lampau. Pranata pertanian yang mulai terkikis lainnya adalah sistem nggadhu, yakni ternak dipelihara oleh nggadhu atau penggembala. Pada masa lampau, si penggadhu mendapat hak untuk mendapatkan bagian dari hasil ternak tersebut; pada umumnya adalah anak dari ternak yang mereka pelihara setelah mereka bekerja pada pemilik ternak dalam tempo tertentu. Pada saat ini, maka sistem nggadhu berubah. Pemilik ternak memilih untuk mengupah penggembala ternaknya dengan upah berupa uang. Padahal sebenarnya, sistem nggadhu justru sangat efektif untuk peningkatan taraf hidup peng-gadhu dibanding dengan sistem pengupahan berupa uang pada saat ini, karena pemberian modal berupa anak ternak untuk penggadhu memungkinkan mereka mengembangkan usaha peternakannya sendiri. Sikap Rasionalitas Generasi Muda Terdapat suatu ajaran yang merupakan kearifan lokal dari penduduk desa Bandulan yang tergolong usia lanjut mengenai kepercayaan animisme mereka. Mereka meyakini bahwa dalam hal keyakinan, maka jangan pernah menipu diri sendiri. Hal ini dimaksudkan bahwa, jika para seseorang mempunyai keyakinan pada hal-hal tertentu, maka hendaknya keyakinan tersebut dipegang secara konsisten, serta ada penyesuaian dari individu yang bersangkutan sesuai dengan keyakinannya tersebut. Sebagai contoh, para sesepuh desa Bandulan masih mempercayai adanya dhanyang atau mahluk gaib penunggu desa Bandulan. Maka dari itu, sesuai dengan keyakinan mereka, hendaknya mereka juga secara konsisten mengadakan ritual yang bertujuan untuk menghormati keyakinannya tersebut. Pola kearifan lokal seperti ini kemudian membentuk semacam asumsi, bahwa jika ritual yang mendukung kepercayaan tersebut tidak ddilaksanakan secara konsisten, maka malapateka akan terjadi karena hal ini merupakan akibat dari pengingkaran dari kepercayaan. Kesenjangan pemikiran terjadi antara generasi tua dan muda. Hal ini bisa jadi disebabkan karena akses informasi, pendidikan, pemahaman agama, serta rasionali-tas telah diserap oleh generasi muda desa Bandulan. Akibatnya, generasi muda desa bandulan menganggap bahwa keyakinan yang diyakini oleh generasi tua adalah suatu kekolotan pemikiran, sehingga mereka banyak yang menghindari keyakinan tersebut. Kesenjangan pemikiran antar generasi lambat laun mengikis ritual yang dahulunya sering dilaksanakan oleh penduduk desa Bandulan generasi tua, karena

pada saat ini rasionalitas atau sudut pandang secara ilmiahlah yang justru dipergunakan oleh penduduk desa Bandulan generasi muda dalam memecahkan persoalan sosial yang terkadang terjadi di desa Bandulan. Perubahan Pranata Sosial Salah satu bentuk pranata sosial lainnya yang hilang dalam kultur masyarakat Bandulan adalah sistem ngenger. Sistem ngenger atau bisa diistilahkan sebagai magang sekaligus menjadi anak asuh dari suatu keluarga, ditengarai bisa mengangkat strata sosial keluarga menjadi lebih baik. Dalam sistem ngenger, anak yang diangkat sebagai anak ngenger akan diajari keterampilan serta cara hidup dari keluarga yang mengangkatnya. Sebagai balasannya, maka anak ngenger tersebut akan ngawulo atau membantu keluarga tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Banyak diantara anak ngenger ini yang disekolahkan sejak dari kecil sampai tumbuh dewasa, kemudian dicarikan lapangan pekerjaan atau diberikan modal, dan ada pula yang sampai dicarikan jodoh. Sistem ngenger di desa Bandulan yang dahulunya merupakan suatu kearifan lokal yang bertujuan untuk membantu meningkatkan taraf hidup orang yang berada di bawah garis kemiskinan ini telah mengalami perubahan total pada saat ini. Sistem ngenger digantikan oleh perekrutan pembantu rumah tangga, dan pembantu mendapatkan upah berupa uang dari majikannya. Dengan demikian, maka relasi sosial yang terjadi pada pembantu dan majikan hanyalah relasi sosial yang bersifat fungsional belaka; yang sangat berbeda jauh dengan sistem ngenger yang menjadikan anak-anak ngenger sebagai relasi sosial yang bersifat kekeluargaan. Selain sistem ngenger, maka pranata lainnya yang hilang dalam masyarakat Bandulan adalah tentang tatacara upacara Nyai Putut. Di masa lampau, upacara Nyai Putut dimaksudkan untuk memanggil hujan serta memberikan kesuburan kepada pertanian di desa Bandulan. Adapun piranti yang digunakan dalam upacara Nyai Putut, antara lain siwur atau batok kelapa, karung goni, tali ijuk, serta gagang kayu, kesemuanya haruslah merupakan hasil pencurian, tanpa sepengetahuan pemilik. Saat ini, karena lahan pertanian semakin menyempit, maka upacara Nyai Putut jarang diadakan lagi; jikalau diadakan maka piranti yang digunakan tersebut akan didapat dari hasil membeli, bukan mencuri seperti dahulu. Pranata yang berkaitan dengan nilai kesakralan jalannya upacara tergantikan dengan sistem ekonomi uang. Salah satu bentuk pranata sosial lainnya yang mengalami perubahan adalah biyado atau sukarelawan. Biyado sendiri bisa berasal dari tetangga atau saudara dari pemilik hajat. Biyado pada masa lampau semata-mata merupakan kerelaan hati dari tetangga dan saudara pemilik hajat yang memberikan bantuan kepada pemilik hajat tanpa mendapatkan upah. Biyado sendiri banyak bentuknya, misalnya nyinom, atau membantu

10

mnghidangkan makanan dan minuman kepada para undangan; rewang atau membantu memasak tuan rumah di dapur. Pada saat ini, maka biyado telah tergantikan dengan sistem pengupahan. Sistem biyado digantikan dengan katering lengkap dengan pramusajinya. Meskipun perubahan ini dirasakan oleh masyarakat modern sebagai tindakan yang lebih efektif serta praktis; namun ada makna hakiki di balik pranata biyado, yaitu sikap tenggang rasa dan empati sosial yang tinggi yang berujung pada koneksi dan kohesi soasial antar anggota masyarakat menjadi erat. Perubahan Dasar Pelapisan Sosial Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, maka kedudukan penglaju yang asli berasal dari desa Bandulan dapat dikatakan sebagai penyebab terjadinya perubahan sosial di desa Bandulan. Meskipun perubahan di desa Bandulan banyak yang menuju ke arah positif, namun adakalanya perubahan yang terjadi membuat penduduk desa Bandulan, terutama generasi mudanya menjadi generasi yang meng-inginkan kesuksesan dengan segera atau bersifat instan. Sikap hidup seperti ini sangat berbeda jauh dari generasi tua desa Bandulan jaman dahulu yang rata-rata nrimo ing pandum atau hidup seperlunya berdasarkan kebutuhan; bukan keinginan. Banyaknya penglaju yang keluar dari desa Bandulan serta mempercepat transformasi masyarakat ke dalam sistem ekonomi uang membuat generasi muda Bandulan kurang bisa meng-hargai jerih payah dan kerja keras, karena kehidupan mereka telah berubah menjadi kehidupan yang materialis. Akibat dari perubahan cara berpikir atau mindset dari generasi muda desa Ban-dulan yang menjadikan materi sebagai dasar pelapisan sosial, maka timbul perubahan dalam pola pelapisan sosial di desa Bandulan. Pelapisan sosial yang kemudian muncul di desa Bandulan pada saat ini bisa digambarkan sebagai berikut : pada masa lampau, kesuksesan penduduk di desa Bandulan dinilai dari banyak dan luasnya lahan yang mereka punya, akan tetapi sekarang para penglaju atau penduduk yang bekerja ke luar desa Bandulan yang dianggap menduduki lapisan sosial tertinggi. Hal ini disebabkan karena upah para penduduk desa Bandulan yang menjadi penglaju tersebut dianggap lebih bernilai secara ekonomis serta bisa diwujudkan dalam bentuk harta benda yang bersifat materialis, jika dibandingkan dengan pemilikan lahan pertanian yang pada saat ini tidak begitu menguntungkan. Hal lain yang nampak dalam pelapisan sosial di desa Bandulan pada saat ini adalah turunnya derajat sekelompok individu bukan penglaju yang bertahan di sektor agraris, di mana pada masa lampau mereka dianggap sebagai individu yang mempunyai keahlian khusus dalam bercocok tanam. Hal ini disebabkan karena keahlian bercocok tanam dianggap sebagai keahlian yang sudah usang dan tidak sesuai dengan perkembangan jaman; yang berbeda dengan keahlian

11

sebagai tukang, yang bisa dimanfaatkan di sektor pembangunan. Dengan demikian, maka keterampilah bercocok tanam ini menjadi keterampilan yang kurang diapresiasi oleh masyarakat desa Bandulan pada saat ini. Pengambilan Kesimpulan Perilaku menglaju di desa Bandulan yang menempatkan penduduk penglaju tersebut populer dan mayoritas berprofesi menjadi tukang, merupakan tindakan ra- sional yang didasarkan pada keyakinan subyektif bahwa mereka tidak akan bisa maju jika hanya berdiam diri di desa Bandulan. Dengan demikian, menglaju merupakan strategi bertahan hidup dalam menghadapi involusi pertanian di desa Bandulan. Gaya hidup penglaju juga merupakan gaya hidup campuran dari lokal dan gaya hidup metropolitan. Akan tetapi, posisi sosial mereka di dalam masyarakat lebih bisa diterima karena mereka adalah agen perubahan yang tidak mengesampingkan asal-usul mereka sebagai penduduk asli Bandulan. Adanya penglaju juga pada akhirnya merubah pranata sosial yang ada di desa Bandulan menjadi pranata sosial yang bersifat ekonomi uang. Pola pelapisan masyarakat desa Bandulan juga mengalami perubahan, di mana pada awalnya penduduk Bandulan menghargai dan menempatkan individu yang mempunyai lahan dalam lapisan sosial teratas, namun sekarang setelah penglaju mempelopori perubahan di desa Bandulan, maka penglaju berubah menduduki lapisan sosial paling atas. Hal ini diakibatkan oleh cara pandang, keterampilan, serta kepemilikan materi para penglaju dianggap lebih; sehingga mereka menjadi individu yang disegani di desa Bandulan. y 2. Keruntutan Materi dan Sistematika Penulisan Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif murni. Peneliti mengamati materi pokok yang selanjutnya menjadi masalah utama dalam penelitian ini, yakni mengenai kehidupan sosial yang terjadi di desa Bandulan, dengan melihat perubahan perilaku, gaya hidup, pranata sosial, serta anomali sosial yang ter-jadi di desa Bandulan. Kemudian dari kesemua fenomena sosial tersebut, peneliti melihat bahwa terjadi perubahan sosial yang diakibatkan oleh perilaku penglaju yang berasal dari luar Bandulan, yang kemudian mempengaruhi penduduk Bandulan untuk juga ikut menglaju. Karena melihat bahwa penduduk Bandulan yang sudah menglaju sebelumnya mengalami peningkatan taraf kehidupan, maka pendu-duk Bandulan yang lain juga ikut serta menglaju. Hal ini berlangsung secara terus menerus dan mampu menciptakan sebuah koloni penglaju di desa Bandulan.

12

Sistematika penulisan yang digunakan dalam disertasi ini menggunakan sistematika penulisan pada umumnya, yakni sistematika yang mengetengah-kan pendahuluan, tinjauan penelitian, pembahasan awal, pembahasan inti, ke-simpulan, dan penutup. Dengan analisis yang cermat, penelitian ini mampu memaparkan kehidupan sosial desa penglaju Bandulan. Kelebihan penelitian ini adalah, penulis mencoba melakukan analisis berdasarkan atas wawancara yang dilakukan dengan responden, berdasarkan kejadian sesuangguhnya di lapangan. Oleh karena itu meskipun dari sisi teori, penelitian ini sangat minim dengan teori-teori sosiologi paparan yang digunakan cukup untuk menggam-barkan kondisi sosial di desa Bandulan. 3. Penggunaan Teori Penelitian ini condong menggunakan teori fungsional struktural, meski-pun banyak di antara masalah yang menjadi fokus utama dalam penelitian ini tidak dianalisis dengan teori yang berbasis fungsional struktural. Salah satu ciri utama dalam penggunaan teori fungsional adalah banyak mengkaji masalah pranata sosial. Meskipun pranata sosial di desa Bandulan mengalami perubahan sekalipun akibat perilaku menglaju penduduknya, namun hal ini dianggap sebagai suatu perubahan sosial yang bersifat fungsional, sehingga oleh peneliti, maka perubahan sosial yang terjadi di desa Bandulan dianggap wajar dan dibiarkan berjalan sebagaimana adanya. Dalam penelitian ini, maka peneliti hanya berkutat pada teori kependudukan, teori urbanisasi dan teori migrasi semata. Teori yang diawali dengan grand theory tak diangkat sedikitpun oleh peneliti. Peneliti juga minim peng-gunaan teori dalam rangka menganalisis suatu permasalahan. Dengan demi-kian, maka paradigma yang digunakan untuk menganalisis perubahan social yang disebabkan oleh penglaju kurang bisa dianalisis secara lebih tajam serta lebih mendalam. Sebagai contoh, seandainya penulis menggunakan teori berbasis teori dependensia, maka langkah yang ditempuh oleh para penglaju ini merupakan dampak dari modernisasi yang tidak merata antara desa dan kota; akibatnya penduduk desa banyak yang mencari pekerjaan ke kota. Lebih lanjut, jika teori dependensi digunakan, maka teori ini akan mampu meng-kritisi akar permasalahan terjadinya penglajuan itu sendiri sehingga pene-litian ini bisa bertambah tingkatan sebagai penelitian yang bersifat argumentative, dan tidak hanya penelitian deskriptif empiris semata. Pada bab yang mengemukakan hasil-hasil temuan penelitian, maka data yang disajikan dalam penelitian ini merupakan hasil penelitian yang empiris. Penggunaan teori-teori sosiologi yang relevan sangat minim digunakan oleh peneliti. Alangkah baiknya, jika suatu jawaban dari

13

responden dilegitimasi dengan teori yang relevan, sehingga bisa dikaji secara lebih mendalam. Terlepas dari kelemahan yang ditemukan reviewer, maka penelitian ini bisa dibilang mempunyai data yang padat, serta sangat terbuka untuk diada-kan penelitian lanjutan. Untuk penelitian berbasis penelitian sosiologi, alang-kah baiknya jika grand theory besar ikut dimainkan guna menganalisis hasil penelitian yang didapat. Jika ada kritisi yang dilakukan oleh peneliti mengenai fenomena social yang terjadi, maka paling tidak bisa membuka cakrawala pemikiran, memperluas pemahaman metodologi pengetahuan social, serta memungkinkan pihak-pihak terkait, pembuat kebijakan, serta penentu keputusan dalam memformulasikan kebijakan yang bisa diterapkan dalam menghadapi suatu fenomena social. 4. Teknik Penggunaan Bahasa Secara kasat mata, maka metode penyajian hasil penelitian yang diguna-kan dalam oleh peneliti dalam melaporkan hasil penelitian disertasi ini, meng-gunakan metode bertutur. Metode ini menonjol dalam usaha peneliti untuk menyajikan pembahasan masalah yang berkaitan dengan perubahan yang terjadi di desa Bandulan. Metode bertutur atau metode verbal ditandai dengan penggunaan bahasa daerah yang kemudian dialih bahasakan ke dalam bahasa penulisan penelitian. Bahasa yang digunakan dalam penelitian ini cukup bisa diterima dan dipahami oleh semua kalangan, yang tertarik dengan masalah-masalah sosial khususnya perubahan sosial. Analisis peneliti menggunakan style penelitian model etnometodologi, yang seringkali hanya bersifat mendeskripsikan suatu fenomena sosial tertentu, dan membiarkan hal seperti ini bersifat seperti ada-nya tanpa berusaha melakukan kritisi terhadap fenomena tersebut. Dengan demikian, penelitian ini sangat menarik untuk dijadikan penelitian lanjutan dengan penggunaan teori yang berlawanan dengan penggunaan teori sebelum-nya; sehingga akan terjadi analisis masalah penelitian yang berasal dari dua sudut pandang yang berbeda.

14

You might also like