You are on page 1of 16

33

FILM INDONESIA TERPENTING 2000-2009


Pilihan Rumahfilm.org

PENGANTAR 1
Pesta telah usai. Saatnya untuk serius. Sudah tak lagi masanya kita masih ada dalam suasana perasaan bangkitnya film Indonesia pasca-Reformasi. Suasana yang penuh harapan, juga pemakluman. Suasana euforia takjub terhadap capaiancapaian teknis anak negeri atau perolehan penonton terbanyak. Bahkan sangat tak perlu kita merayakan sebuah film hanya karena ia dibuat dengan biaya termahal. Itu norak. Mari kembali kepada sinema itu sendiri. Mari mengukur film Indonesia dalam sepuluh tahun pertama dekade 2000-an dengan kerangka pengalaman sinematik, capaian estetik, inovasi artistik, dan letak mereka dalam kebudayaan Indonesia. Apa boleh buat, dalam sepuluh tahun kemarin, kita tak menampakkan taring artistik kita di antara sesama negara Asia Tenggara. Tentu, ada film-film kita yang berprestasi internasional. Kami juga menganggap bukannya tak ada sama sekali pencapaian menarik kelas dunia di dalam khasanah film kita dekade lalu itu. (Perhatikan bahwa kami

membedakan prestasi internasional dengan pencapaian kelas dunia.) Karena itulah, apresiasi harus dilakukan. Penilaian ulang. Perenungan. Pemetaan. Dan kami menganggap, salah satu format paling gampang dibaca untuk kepentingan-kepentingan apresiasi, refleksi, dan pemetaan film Indonesia dekade 2000-2009 adalah dengan menyusun Daftar Film Indonesia Terbaik 2000-2009 versi Rumah Film. Bukan hanya paling mudah untuk dibaca, modus membuat daftar ini ternyata erat benar berkelindan dengan modus manusia berbudaya. Setidaknya, itu kata Umberto Eco dalam wawancaranya dengan Spiegel online. Kita membuat daftar, karena kita tak mau mati, kata filsuf dan novelis itu. Daftar, menurut Eco, adalah salah satu kegiatan kebudayaan manusia yang paling mula. Malah, menurutnya, daftar adalah asal muasal kebudayaan. Manusia membuat daftar, menyusun benda-benda, atau lebih persis lagi, menyusun gagasan-gagasan, untuk mencipta keteraturan, tatanan, di hadapan Sang Kekacauan (Chaos). Lebih dari itu, manusia membuat daftar (apa pun) agar dapat memahami Keabadian (Infinity) Yang Tak Terpahami.

Maka demikianlah, manusia mencipta daftar, katalog, koleksi, kamus, dan ensiklopedia. Dengan mencoba memahami Yang Tak Terpahami, manusia bisa menjamah Yang Tak Terpahami. Kami hendak merentang tafsir atas ungkapan Eco soal pembuatan daftar itu menuju sebuah pemahaman: dengan mencipta daftar film Indonesia terbaik dekade 2000-2009, kami sedang menolak kematian film Indonesia dan para penontonnya. Kami ingin cinta kami pada film Indonesia tak mati begitu saja. Karena itulah kami berpayah-payah menyusun daftar ini. Hikmat Darmawan
Versi lengkap semua pengantar dan ulasan film dalam daftar kami akan kami unggah dan bisa dibaca di Rumahfilm.org.

1. OPERA JAWA (2006, Garin Nugroho)


Ini tidak seperti semua yang pernah saya lihat sebelumnya, seorang teman, programmer Yamagata International Documentary Film Festival, berkomentar tentang Opera Jawa. Dia menceritakannya dengan berbinar. Tapi, tak lama sesudahnya saya berjumpa seorang kritikus film pengelola jurnal film internasional. Ia, sebaliknya, mengeluhkan Opera Jawa. Garin terlambat. Apa yang dilakukannya sudah dilakukan orang seperti Peter Brooks di tahun 1980-an. Dengan bekal dua pendapat itulah saya kemudian menonton Opera Jawa untuk pertamakalinya. Mungkin fakta bahwa saya menyaksikan Opera Jawa di negeri asing punya peran

dalam pembentukan pendapat saya tentang film yang sangat Indonesia ini. Tapi, sungguh, sangat jarang saya menonton sambil tersenyum sepanjang film. Di film ini, terasa sekali Garin sepenuhnya bermain-main, dan ia berhasil menulari saya. Jika puncak keseriusan ada pada kebermainan, Opera Jawa berhasil mencapainya. Hanya tentu bukan itu yang membuat saya tanpa ragu menempatkan Opera Jawa dalam puncak daftar ini. Tapi, melihat seluruh film Indonesia dalam daftar, sangat jelaslah hanya Opera Jawa yang aktif turut serta dalam diskusi intens tentang eksplorasi naratif, ekperimen alternatif form maupun pertanyaan mendasar tentang hakikat sinema yang kini tengah berlangsung di sinema dunia. (Krisnadi Yulawan, KY)

Jika puncak keseriusan ada pada kebermainan, Opera Jawa berhasil mencapainya
Agenda yang dibawanya bisa jadi milik dekade sebelumnya, yakni 1990-an. Tapi, perlawanan seniman terhadap kekuasaan agak sulit dikerangkakan sesempit itu. Sepintas, apa yang dibawa Kantata Takwa seperti tak relevan lagi pada dekade 2000-an. Perlukah seorang seniman berteriak bongkar! sambil mengepalkan tinju kepada ketidakadilan ketika penguasa lalim bernama Soeharto sudah turun dari tahtanya? Jawabnya: perlu! Karena film ini justru mengingatkan bahwa film masihlah kesenian, dan kesenian, masihlah punya relevansi sosial politik yang tinggi. Karena perlawanan kini bisa berbentuk berbeda, tapi semangat seperti Iwan Fals bernyanyi di tepi kali bersama anak-anak singkong adalah wakil sebuah sikap yang harus terus ada. Serupa ketika salah satu pahlawan Asia ini menyenandungkan Laa Ilaaha Ilallah sambil telanjang dada. Inilah dia: sesungguhnya selalu ada yang namanya kompromi dan kemapanan; dan film ini mengingatkan bahwa jalan hidup seorang seniman adalah tidak menerima hal-hal itu begitu saja. (Eric Sasono, ES)

2. KANTATA TAKWA
(2008, Gotot Prakosa dan Eros Djarot)

3. Teak Leaves on The Temple


(2008, Garin Nugroho)

4. Impian Kemarau
(2004, Ravi Bharwani)

5. Eliana Eliana
(2002, Riri Riza)
Ibu yang cemas dan anak perempuan yang berkeras. Keduanya bertemu dalam satu malam tergesa di Jakarta. Tenggat jatuh esok hari, dan kau nak, harus pulang bersamaku untuk mengejar mimpimu. Tidak bunda, mimpiku di sini. Kota gila ini bukan apaapa, bunda cukup percaya saja padaku. Dan kita di bangku penonton tahu, keduanya tak begitu yakin dengan katakata mereka. Kerasnya Jakarta yang pada film-film Indonesia banyak dekade terdahulu dipandang sebagai monster kejam, pada film ini tiba-tiba menjadi sesuatu yang akrab. Jakarta bagai seorang tua yang mengamati dua generasi mencoba saling memahami diri. Tiba-tiba kita tersadar bahwa kota ini bisa jadi diam-diam memberi banyak pada penduduknya. Hal penting lain tentang Eliana-Eliana: inilah film mengenai kemandirian perempuan sedemikian intensif tanpa ada jargon sepatahkata pun tentang hal itu. (ES)


Film ini dengan sangat percaya diri menyoal kembali pengertian "dokumenter", dan menjadi wahana percakapan antara seni (musik) Barat dan Timur yang ternyata belum jadi persoalan basi. Gagasan-gagasan besar berjalin dengan kenyataan keseharian kampung-kampung sekitar Merapi. Film ini, lebih jelas atau lebih langsung dari Opera Jawa, membuktikan bahwa seni dan budaya Indonesia memang selayaknya bercakap bahkan berlaga di arena seni-budaya dunia. (Hikmat Darmawan, HD)

Ravi Bharwani sadar betul bahwa film adalah sebuah bahasa dan tanda. Dan ia pun mengeksplorasi bahasa audio visual dan jadilah sebuah film yang puitis bahkan dianggap JB Kristanto sebagai film puitis Indonesia yang paling berhasil, mengalahkan Cinta Dalam Sepotong Roti. Film ini sensual tapi tak terjebak murahan; juga politis, karena juga menyinggung trik-trik pemilu dan kampanye. Tembang-tembang yang disenandungkan Asih sang sinden adalah salah satu cara bertutuf di film ini, mengingat sedikit sekali dialognya. Impian Kemarau adalah bukti sinerginya cerita yang kuat dan sinematografi yang indah, serta cara bertutur yang segar. Sebuah puisi yang menawan. Dan ide-ide yang disampaikan di film ini jelas adalah reaksi terhadap perubahan politik 1998. (Ekky Imanjaya, EI)

6. Pachinko, And Everyone's Happy


(2000, Harry 'Dagoe' Suharyadi)

7. Jermal
(2009, Ravi Bharwani, Rayya Makarim, Orlow Seunke)

8. Babi Buta yang Ingin Terbang


(2008, Edwin)

Harry Dagoe agaknya berhasil menangkap jiwa zaman warga Jepang kala itu lewat tiga generasi perempuan: industri film biru yang marak, fetishisme, judi pachinko, dan peran Geisha di masa modern. Di sini, Harry juga mengeksplorasi pendekatan Yasujiro Ozu, yaitu meletakkan kamera di posisi duduk di atas tatami, alas lantai khas Jepang. Inilah film terbaik Harry Dagoe. Harry berperan sebagai warga dunia global yang bergaul secara kosmopolit. Thus, film ini mempertanyakan definisi "film nasional" yang ketat, seraya meretas jalan bagi istilah "film global", "film transnasional" atau apapun lah namanya, bagi perfilman Indonesia. (EI)

Usmar Ismail dan Teguh Karya sudah membangun tradisi film Indonesia yang bercerita tentang manusia di dalam dunia antara atau limbo. Jermal meneruskannya dengan mendadar bahwa penyebab kegamangan itu bukan gagasan besar, bukan birokrasi, bukan pula lingkungan, tapi pedalaman batin diri sendiri. Manusia limbo itu harus berhadapan fakta yang mungkin membuat Chairil Anwar kecewa: jauh luka dibawa berlari, tak juga hilang pedih-perih. Luka yang sempat dirasa bukan perkara itu, hanya disembunyikan di bawah karpet, sampai tiba saat karpet itu harus dibuka. Maka Jermal adalah sebuah kisah yang menelisik jauh ke dalam pedalaman batin manusia Indonesia yang berada dalam dua dunia yang terpisah tapi saling berhubungan: pendidikan dan kemiskinan. (ES)

Karya-karya Edwin selalu tumbuh dari premis visual, bukan premis cerita. Seluruh film pendeknya menunjukkan: Edwin berpikir secara audiovisual dalam mendekati dunia di sekitarnya ia adalah manusia filmis totok. Tapi, cara berpikir visualnya adalah sebuah tanggapan personal atas banyak hal di Indonesia. Lewat film ini, Edwin berhasil mencipta sebuah dunia yang khas dan menjadi seperti selayaknya sebuah puisi yang baik menurut Chairil Anwar. Babi Buta adalah sebuah puisi visual generasi baru: generasi yang ditandai oleh menjadinya puisi-puisi Afrizal Malna di dunia sastra. Dunia benda, rupa, media, pop, dan cenderung nihilistik, tapi juga keras kepala mencari-cari makna sekabur atau seganjil apa pun. (HD)

9. Rindu Kami Pada-Mu


(2005, Garin Nugroho)

ada agama saja, begitu banyak kerusakan di dunia, apalagi jika tak ada. Garin seperti memperlihatkan optimisme (minus kenaifan) semacam itu dalam memandang agama dan manusia: pada dasarnya manusia itu baik dan agama adalah semacam kerangka menuju kebaikan itu. (ES)

10. Lukas' Moment


(2006, Aryo Danusiri)

Bayangkan privilese orang-orang tertentu untuk menjadi subjek sinema. Salah satu pakem Hollywood, mengenal zero to hero, ketika seorang dokter atau ilmuwan biasa-biasa saja bisa menjadi penyelamat dunia. Film Garin Nugroho ini mengabaikan tokoh dan karakter yang sedemikian. Alih-alih, ia berangkat dan tiba pada kehidupan sehari-hari dengan segala tetek bengeknya yang ternyata punya heroismenya sendiri. Heroisme yang sederhana ini seharusnya menjadi usulan bagi religiusitas kolektif kita. Film ini berangkat dari kepercayaan kemampuan manusia untuk menjadi dan berbuat baik, tak peduli kerangka agama yang dianutnya. Rasanya kita diingatkan kata-kata almarhum Nurcholis Madjid:

memohon belas kasih. Lukas Moment adalah film dokumenter yang manis, tentang Lukas yang naif. Dengan kameranya, Aryo Danusiri membawa kita berkelana ke sudut Papua, berkenalan dengan salah satu anak yang sedang berjuang membuka usaha sendiri. Kita diajak ikut tertawa dengan tindakan Lukas, ikut gemas dengan kenaifannya, urut dada dengan kemiskinannya. Lukas Moment juga membuat kita ikut bersimpati, betapa mereka-mereka yang terpinggirkan, sadar bahwa mereka berada di pinggiran, toh tetap punya semangat untuk terus berusaha tak di pinggiran. Tapi film ini lantas membuat kita sadar, kita sebagai bangsa Indonesia, punya banyak sekali pekerjaan yang harus segera diselesaikan. (Asmayani Kusrini, AKU)

Lukas Moment adalah salah satu film yang menegaskan betapa masalah kemiskinan dan pendidikan di Indonesia begitu berkarat hingga pada tahap yang sudah sangat memprihatinkan. Tunggu. Jangan salah sangka. Film ini bukan film yang suram, juga bukan film yang

ia berangkat dan tiba pada kehidupan sehari-hari dengan segala tetek bengeknya yang ternyata punya heroismenya sendiri.

11. Marsinah (2000, Slamet Rahardjo)



Dengan berani, Slamet Djarot menggunakan dan menampilkan namanama dan jabatan asli para oknum yang bermasalah pada kasus Marsinah. Pun dengan memakai sudut pandang yang menurut banyak orang terkesan tidak menonjolkan sosok Marsinah. Malah, ia menekankan betapa kejamnya petugas yang memeriksa tersangka, yang menyebabkan keguguran. Tapi, itulah pernyataan bahwa ketidakadilan dan penyiksaan bisa dilakukan dan menimpa siapa saja. Sejak menonton film ini, lagu Mau Marah, Silahkan dari The Favourite jadi berbeda saya dengar. (EI) filmnya. 3 Doa berhasil berhenti menjadi sinema pengunjung, yang seolah bertekun tentang satu subjek namun enggan berkotor-kotor menggali. Dunia pesantren, muncul nyata, lengkap dengan manusia-manusianya yang berhenti dari sekadar stereotipe. Persoalan terorisme, radikalisme dan fundamentalisme yang biasanya menjadi wacana keras muncul sebagai persoalan yang dekat, sehari-hari, dan tak mesti terkait dengan teori ini-itu. 3 Doa berhasil berbisik tentang hakikat manusia. Dan ketika cinta pada sinema muncul dalam film ini sebagai milik kaum marginal, lengkaplah sudah pemihakan 3 Doa. Ia ingin kembali pada publik (sinema) yang sebenarnya, bukan sekadar memuaskan yang seolah-olah publik. (KY)

13. May (2008, Viva Westy)


Nama bulan yang terkait tahun 1998 itu menyiratkan kita bahwa film ini akan bercerita tentang tragedi. Benar, tepatnya tragedi yang itu: pemerkosaan massal terhadap etnis Cina menjelang turunnya Soeharto. Astaga, bahkan hingga kini kita tak bisa memastikan, apa yang sesungguhnya terjadi waktu itu. Dan kisah cinta ini berubah seketika jadi politis, terutama ketika banyak pembuat film lain menghindar dari menatap soalsoal besar semacam itu, alih-alih membicarakannya. Posisi politis memang lahir dari sikap atau ketidakbersikapan. Maka May adalah sebuah pernyataan politik lantang di tengah penghindaran terhadap soal kenegaraan, kebangsaan dan kehidupan kolektif yang sepatutnya diurusi juga oleh pembuat film. (HD)

12. 3 Doa 3 Cinta


(2008, Nurman Hakim)
Film ini sebuah film kecil, tentang hal sehari-hari. Namun karena jujur, ia berhasil sekaligus mencatat banyak isuisu besar, perdebatan-perdebatan besar. Yang kemudian juga harus diakui, 3 Doa 3 Cinta merupakan satu dari sedikit film Indonesia belakangan yang sutradar anya benar-benar memahami subjek

Ia ingin kembali pada publik (sinema) yang sebenarnya, bukan sekadar memuaskan yang seolah-olah publik.

14. Romeo & Juliet (2009, Andi Bachtiar Yusuf)

15. 98:08
(2008, Anggun Priambodo, Ariani Darmawan, Edwin, Hafiz, Ifa Isfansyah, Lucky Kuswandi, Otty Widasari, Ucu Agustin, Steve Pillar Setiabudi, Wisnu Suryapratama)
Sepuluh film pendek yang bisa berdiri sendiri menjadi lain sama sekali artinya ketika diberi payung bertajuk 10 Tahun Reformasi. Tiba-tiba saja, nama ketinggalan jaman seperti Sugiharti Halim jadi terhubung dengan sebuah Indonesia baru ketika perjuangan berkarat tentang menggapai identitas bisa dibicarakan terbuka tak peduli kita siap atau tidak. Juga kisah tentang luka yang diraba dibalik rok, menjadi cerita pedih sebuah bangsa yang tak ingin diungkap agar tak mengorek luka lebih dalam. Bahkan pandangan Wisnu Kucing kepada para demonstran menjadi gambaran sebuah siklus panjang sejarah bangsa. 98:08 adalah salah satu proyek paling nyata menolak lupa. Maka payung kecil yang dibawa Prima Rusdi dan kawan-kawan ini berhasil melindungi bukan hanya proyekproyek pribadi sepuluh pembuat film di proyek ini, tapi juga para pekerja film kita,

dari badai amnesia yang kerap melanda kita sebagai bangsa. Mungkin payung ini tak cukup, tapi ia merupakan usaha paling nyata generasi ini untuk menolak lupa. (ES)

16. King

(2009, Ari Sihasale)


Film ini tak hanya menjadikan bulu tangkis sebagai sentral cerita, tetapi juga menempatkan lapangan bulu tangkis sebagai pusat kehidupan (sekaligus pusat geografis) sebuah kampung. Sebuah vantage point yang cerdas dari sang sutradara untuk mengingatkan bahwa sukses pribadi bisa jadi tak bermakna ketika berada di luar perjuangan komunal. Maka kedegilan anak bernama Guntur itu menjadi gambar dari kedegilan sebuah komunitas untuk mengaktualisasi diri. Bukan kebetulan pula ketika ternyata prestasi internasional muncul dari kedegilan macam itu. Film ini mengingatkan bahwa bangsa ini jadi besar karena sifat degil orang-orangnya. Juga ketika negara absen dan komunalisme serta perusahaan partikelir akhirnya lebih banyak berperan dalam menentukan kehidupan kolektif kita. (ES)

Kedekatannya dengan sepak bola dan kecintaannya pada medium sinema membuat sang sutradara membuat film fiksi panjang pertamanya mendekati realitas. Tema yang diangkat pun sangat jarang dibahas, padahal begitu sering terlihat: fenomena fanatisme para hooligan lokal dan kekerasan antar mereka. Keberpihakan jelas dinyatakan: cinta dan perdamaian mengalahkan dendam dan permusuhan. Film ini juga memulai lagi tema di film Indonesia, yang lalu diikuti beberapa epigon: olahraga, tepatnya: sepakbola! (EI)

17. Saia (2009, Djenar Maesa Ayu)


yang tak terperi. Di titik ini, Saia jadi pernyataan: dunia sedah berubah, dan definisi kenyataan semakin tak mudah. (HD)

19. Mereka Bilang Saya Monyet (2007, Djenar Maesa Ayu)


Manusia Indonesia dalam film ini lahir dari sebuah kenyataan pahit yang dikunyah perlahan tanpa sungguhsungguh akan ditelan. Dan celakanya yang pahit itu belum tentu obat. Apa mau dikata? Terlalu banyak tragedi dipelihara dan menentukan siapa diri kita, baik sebagai pribadi atau pun dalam kehidupan bersama. Maka dengan semacam kecengengan remaja yang menyalahkan dunia akan nasib malang diri sendiri, film ini membuat kita bergidik akan kemungkinan baru kompleksitas manusia Indonesia. Dan beda dengan jaman Sjumandjaja ketika kompleksitas itu dibentuk oleh modernisasi, ideologi negara atau borok birokrasi, kompleksitas jaman kini sumbernya dari sejarah diri sendiri: dari lintah yang dimasukkan ke dalam bak mandi atau paksaan menjilati muntah sendiri. Kompleksitas itu juga dari berasal kamera. Jenar Maesa Ayu serupa dengan Joko Anwar menunjukkan dengan teramat jitu, bahwa pesan moral film tak penting sama sekali bagi penonton ketimbang menyodori mereka kesadaran akan kehadiran kamera. (ES)

18. Pintu Terlarang (2009, Joko Anwar)


Bisa dimaklumi jika penonton (yang sangat terbatas, sayangnya) cenderung menganggap film ini sebagai "film tubuh". Saya pernah menulis panjang lebar di rumahfilm.org bahwa ini "film kamera". Oh, tentu seks hadir sangat eksesif, dan itu sendiri pastilah mengandung pemaknaan tertentu. Tapi perlu dicatat: seks di sini tak dipandang dengan ketakjuban anak remaja yang masih cekikikan bereksperimen dengan tubuh karena merasa sedang melanggar sebuah tabu seks bukan poin, tapi sekadar pintu masuk. Di titik ini, Saia (dan Djenar) melesat jauh meninggalkan masalah-masalah moral (dan moralisasi seks): ada soal lain yang lebih penting kita hidup dalam sebuah dunia visual

Film ini hanya bisa lahir dari sebuah generasi yang sepenuhnya (audio-)visual, dan hanya hendak bicara pada generasi itu pula. Tak bisa tidak, ia (atau seluruh kekaryaan Joko Anwar kebetulan ini yang terbaiknya) jadi sebuah tanda dalam sejarah sinema Indonesia: bahwa telah tumbuh dewasa generasi yang memandang bahwa realitas adalah realitas kamera. (HD)

20. Ada Apa Dengan Cinta? (2002, Rudy Soedjarwo)

21. Janji Joni (2005, Joko Anwar)

Saya tidak percaya dikotomi film art dan komersial. Yang ada hanyalah film bagus dan film jelek, ungkap Mira Lesmana, sang produser. Dan AADC, selain Petualangan Sherina, adalah bukti awal pernyataan itu. Sebuah film genre seputar cinta remaja yang tidak berat, mudah dinikmati, tapi tak kehilangan bobotnya dan tidak lebai. Tak lupa mereka menyisipkan nilai dan pesan, seperti korban Reformasi dan KDRT. Inilah film yang menjadi prototipe drama romantis anak sekolahan yang melahirkan banyak epigon, tapi tak banyak yang mengandung idealisme. (EI)

Film berkait erat dengan kota, dan Janji Joni adalah film Indonesia paling jelas dalam soal ini. Film dan penontonnya dirayakan dengan demikian tulus dan meriah oleh film ini, dan kota dijelajahi hingga ke ketiaknya tanpa penghakiman sama sekali. Maka bisa jadi inilah film yang menandai sinema Indonesia baru, sebagai sebuah bentuk kesadaran penuh kaum urban terhadap medium milik mereka sekaligus bersikap sebodo teuing terhadap segala pandangan mapan tentang film dan sinema dan juga otoritas sosial budaya yang sejak lama ada. Tidak kebetulan jika bentuk cerita yang disajikan adalah petualangan. Dengan irama cepat (fast-pace), film ini telah membawa cara tutur kontemporer film kita yang dekat dengan Hollywood

sejak Petualangan Sherina merambah wilayah-wilayah genre yang universal. Dengan pendekatan film kejar-kejaran alias car-chase sebagaimana film-film Amerika, Janji Joni menandai sebuah cara tutur baru generasi yang sadar genre ini sekaligus meletakkan semacam platform baru bagi cara bersikap sineas Indonesia terhadap warisan sejarah film dunia. (ES)

22. Ketika (2004, Dedi Mizwar)

Dengan logika terbalik, yaitu ketika kehidupan bersama sudah sempurna, film ini jadi sebuah parodi terbaik mengenai Indonesia baru, Indonesia yang dipandang dari kacamata pembaharuan hukum dan politik yang melandasi perubahan besar di tahun 1998. Dengan mengedepankan utopia, Dedi Mizwar dan penulis skenario Musfar Yasin berhasil berteriak lantang tentang agenda besar politik dan hukum di negeri ini tanpa kenyinyiran sama sekali. Alihalih, ia berhasil mengajarkan politicalcorrectness dengan cara santai bak Abunawas, keunggulan utama Dedi Mizwar. (ES)

10

23. Laskar Pelangi (2008, Riri Riza)

diubah. Dan faktanya, ini jadi film Indonesia terlaris sepanjang masa, sejauh ini. Ini fakta yang tak bisa tidak telah membuat film ini penting, sebuah penutup dekade yang manis dari Mirles Production dan awal bagi Mizan Production. (HD)

kita ke dimensi yang lain, yang tak kita kenali. Segar rasanya menyaksikan inovasi semacam ini dalam film Indonesia. Dan ini yang penting: film ini bukan sekadar menakut-nakuti, tapi memang seram! (ES)

24. Legenda Sundel Bolong (2007, Hanung Bramantyo)


25. 6:30 (2006, Rinaldi Puspoyo)

Problem terbesar film ini: menyodorkan iming-iming bahwa lawan dari kemiskinan adalah sukses pribadi dan seolah abai bahwa kemiskinan di negeri kita lebih bersifat struktural, akibat kezaliman sistem/Negara: lawannya adalah keadilan. Kelebihan utama film ini: ia hadir tepat waktu, saat masyarakat butuh pelipur, harapan bahkan jika ia hakikatnya hanya iming-iming agar bisa membayangkan bahwa keadaan bisa

Tak banyak film horor Indonesia yang diproduksi sebagai film dengan kelas A alias bermutu teknik dan cerita yang tinggi. Di antara yang sedikit itu, Legenda Sundel Bolong ini jadi menonjol lantaran pencapaian tekniknya di atas rata-rata. Selain cerita yang solid dan penyutradaraan yang matang, patut dicatat eksperimen kecil-kecilan pada departemen kamera yang membuat gambar dalam film ini seperti mengajak

Suatu kali saya ikutan setuju, bahwa ini film konyol yang dibuat oleh anak-anak Indonesia kelebihan duit tapi tak cukup banyak untuk sekedar menyewa beberapa lokasi di San Fransisco. Atau pemain lokal. Suatu kali, setelah 5 tahun hidup di perantauan, jauh dari Indonesia, tiba-tiba saya sadar, film ini jauh dari konyol. 6:30 tepat sekali memaparkan secuil gelisah yang mungkin ada dibenak setiap perantau. Mereka bisa merasa menjadi bagian dari lingkungan yang baru, ikut tumbuh dalam cangkok budaya asing, tapi seperti Alit, Tasya dan Bima, secara tak sadar mereka tidak akan pernah bisa melupakan diri mereka sendiri, sebagai anak-anak Indonesia. 6.30 menggambarkan bahwa Indonesia tidak hanya sekedar identitas diatas kertas, tapi Indonesia juga adalah jangkar eksistensi. (AKU)

11

26. Catatan Akhir Sekolah (2004, Hanung Bramantyo)

kiwari. Tak banyak yang ngeh bahwa film ini sedang mencatat banyak persoalan besar sekaligus. Salah satu film yang terlupakan. (ES)

27. fiksi. (2008, Mouly Surya)

dengan kompleksitas dan tak bermain di wilayah aman saja. Hasilnya tak sempurna, tapi keberanian mengambil jalan sulit itu membutnya patut dihargai. Siapa lagi yang berani? (ES)

28. Kambing Jantan (2009, Rudy Soedjarwo)

Sepintas, film ini seperti hendak menampilkan gambaran manis sekolah dan anak-anak di dalamnya, tapi ternyata apa yang dicatat duet Hanung Bramantyo-Salman Aristo ini adalah sesuatu yang jujur dan nyaris belum berpreseden dalam sejarah film Indonesia. Sekolah dan guru sebagai institusi yang disakralkan, di film ini ditelanjangi dari kedok moralitas mereka, dan kemenangan sesungguhnya adalah milik para murid belaka. Perhatikan bahwa film ini memulai penggambaran video diary bagai menyambut era Youtube sekaligus menandai perubahan besar-besaran dalam dunia audio visual kita jaman

Keistimewaan film ini adalah keberaniannya mengambil risiko. Sebagai seorang sutradara yang baru pertamakali membuat film, Mouly tak mengambil jalan mudah. Ia menggunakan referensi filmfilm Jepang yang menghadirkan kompleksitas karakter manusia yang berada di perbatasan antara dunia mimpi dan dunia nyata. Karena itulah ia menjuduli filmnya fiksi. (dengan tanda titik) sebuah penanda bagi dunia fiksi audio visual Indonesia agar mau bergelut

Bagaimana bisa film tentang kekonyolan hidup seorang remaja tanggung masuk dalam daftar film penting satu dekade? Mungkin mereka yang sempat menonton film ini bertanya-tanya. Sebab, adalah juga fakta beberapa penikmat film sahabat saya memutuskan walk out, tak tahan menyaksikan Kambing Jantan hingga akhir. Tapi, bagaimana kalau kita ubah dulu pertanyaannya. Mengapa kisah kekonyolan hidup seorang remaja tanggung harus diabaikan dari daftar penting satu dekade? Bukankah dalam sinema (dan juga dalam hidup) kekonyolan juga bisa penting? Dan Kambing Jantan, dengan tak terduga selain memperlihatkan hal konyol juga berhasil menempatkan diri sebagai pencatat perubahan yang tekun. Memperlihatkan dua orang tua yang berkaraoke dengan gaya super

12

mengalir dan diterima tanpa disoal. Berkah (sekaligus kutuk) dunia digital telah cukup dalam menusuk ke hidup kita, dan dari seluruh film Indonesia dekade lalu, film mana selain Kambing Jantan yang berani mencatat sekaligus merangkulnya sebagai bagian dari helaan nafas hidup sehari-hari? (KY) seenaknya di depan sang anak remaja, film ini memang seakan cuma memunculkan kelucuan. Tapi, ia sebenarnya tengah mencatat, dan memberi tanda. Stereotipe orangtua (benar, berwibawa, lebih dewasa, lebih mengerti) dan anak (muda, tak mengerti, kurang ajar, harus dinasehati) tak laku di Kambing Jantan. Bukankah stereotipe ini juga sudah tak laku di dunia nyata kita? Diam-diam, Kambing Jantan betekun mencatat perubahan-perubahan semacam ini. Yang paling penting dan belum dilakukan film lain, Kambing Jantan mencatat invasi dunia digital dalam hidup kita. Dan Kambing Jantan mencatatnya dengan gaya. Bagi saya, ini tafsir skenario Salman Aristo paling berhasil sejauh ini. Pengaruh dunia digital yang memang kerap terasa absurd, dimunculkan sebagai dunia riil yang (meski boleh jadi tak mudah ditelan)

29. Identitas (2009, Aria Kusumadewa)


kepekaan hidup jalanan yang ia geluti sekian lama, dipadu dengan kecenderungan "tonjok-langsung" dari Deddy Mizwar, sang produser (ini kerjasama yang tak terduga), membuat film ini menyempal dari baik kecenderungan estetis kelas menengah yang mendominasi lanskap film nasional "bermutu" dekade 2000-an di satu sisi dan kecenderungan komersial-tanpagagasan yang mendominasi bioskop kita di sisi lain. Hasilnya: film kasar, mengganggu, absurd sekaligus dekat dengan kenyataan korup di lingkungan kelas bawah Indonesia. Dan, ya: salah satu puncak seniperan film Indonesia disajikan oleh Tio Pakusadewo di sini. (HD)

Sebuah dunia yang jadi, walau ganjil mulanya terasa: dunia mimpi buruk Indonesia, dipotret dari sebuah pojok di Jakarta. Rumah sakit adalah horor kemiskinan Indonesia, begitu juga gang dengan perumahan padat serta para pedagang sektor informal (kakilima) yang berdesakan. Arya Kusumadewa yang cenderung absurd-sureal membawa

Tapi, ia sebenarnya tengah mencatat, dan memberi tanda. Stereotipe orangtua (benar, berwibawa, lebih dewasa, lebih mengerti) dan anak (muda, tak mengerti, kurang ajar, harus dinasehati) tak laku

13

30. Arisan! (2003, Nia Dinata)


mulus juga di kalangan penonton bioskop kita dan dilanjutkan jadi sinetron, dan tetap luput dari incaran ormas garis keras macam FPI. (HD)

31. Keramat (2009, Monty Tiwa)


semua film horor Indonesia buruk. Gaya hend-held camera, sepertinya hampir tak pernah dipakai sebelumnya. Dengan pendekatan dokumenter seolah-seolah, lengkap dengan nama sebenarnya, membuat kesan dekat dengan realitas, dan karenanya memperkuat elemen yang meneror penonton. Dan tak lupa, selipan pesan ramah lingkungan: "Manusia wis jahat, alam sing arep bales..." (EI)

Memang bukan yang pertama mengangkat tema homoseksualitas di dalam film Indonesia (sudah didahului, terutama, oleh Istana Kecantikan). Pergeseran sudut pandang menjadi sisidalam preferensi seksual yang masih dianggap terlarang di Indonesia itu memang menandai sebuah pergeseran dalam ekspresi gaya hidup kelas menengah Indonesia saat ini, tapi tak sampai "revolusioner" sebetulnya. Yang penting dari film ini adalah: menandai kehadiran ciri tematik Nia Dinata, politik seks di ruang privat. Kemulusan tuturan membuat tema rawan ini diterima dengan

Menyenangkan sekali ada film horor yang benar-benar seram tapi membuat kita betah dan terus di tempat duduk, macam Keramat ini. Dengan demikian, bersama sedikit sekali film horor kita yang lain, Keramat menyanggah anggapan bahwa

Film ini berseru: bukan genrenya yang jelek, tapi sineasnya!

14

32. Maaf Saya Menghamili Istri Anda (2007, Monty Tiwa)


kita sebetulnya sedang diperingatkan akan menipisnya kemampuan kita menertawakan diri sendiri. Masuknya film ini ke dalam daftar ini adalah sebuah ajakan, bahwa bangsa ini seharusnya tetap mempertahankan selera humornya ketimbang marah-marah ketika melihat kelemahan diri sendiri. (ES)

33. Pocong 2
(2006, Rudi Soedjarwo)

Dendam Pocong yang dilarang beredar oleh LSF itu, Pocong 2 menyimpan kerusuhan politik 1998 sebagai latar jauh cerita. Jika keseluruhan film dianggap sebagai metafor, maka film ini adalah sebuah gambaran tentang generasi baru urban Indonesia yang dihantui oleh sesuatu yang sudah ingin dikubur dalamdalam. Cara bercerita yang minimalis, yang berangkat dari penghematan anggaran, jadi satu kelebihan. Tanpa banyak musik dan teknik tanam-tuai (setup dan pay-off) sebagaimana formula yang semakin klise, horor tetap berhasil dibangun dengan sempurna. (ES)

Negeri ini akrab sekali dengan pendekatan stereotip untuk cerita berlatar etnis. Pada masa Orde Baru, kita melihat bahwa hal itu menjadi sebuah katarsis, sarana pelampiasan, bagi apa yang tak bisa dinyatakan dengan baik-baik. Coba lihat kelompok lawak yang mengambil ledekan suku bangsa dan ras sebagai bahan olok-olok. Bagai sebuah morbid humor, katarsis semacam ini adalah sarana untuk melampiaskan apa yang terpendam, agar hidup sehari-hari tetap bisa berjalan wajar. Maka ketika film ini diprotes oleh suku yang digambarkannya,

Sebelum terjadi inflasi kisah pocong di layar bioskop, kisah mayat meloncatloncat hidup a la Indonesia ini bisa dipakai untuk bercerita tentang masa lalu yang ingin dilupakan. Sebagaimana

Pada soal apa yang dulu dijuluki sebagai SARA (suku, agama, ras dan antar golongan), jangan- jangan kita sebetulnya sedang mendekati tragedi.

15

PENGANTAR 2
Membuat daftar film terbaikatau, dalam konteks daftar kami: film-film terpenting-di negeri ini sepertinya langka. Padahal, di luar negeri, tradisi membuat daftar seperti 100 Film Terbaik Tahun ini atau 100 film komedi romantis terbagus abad ini adalah hal biasa. Di bidang musik, majalah seperti Rolling Stone Indonesia membuat daftar album terbaik, atau gitaris terbesar sepanjang masa. Tapi di film, hal ini sungguh langka. Apalagi jika yang membuatnya berani membuat urutan berdasarkan peringkatsesuatu yang membuka peluang untuk didebat dan mungkin pula dihujat. Tentu saja akan ada banyak pertanyaan seperti Mengapa tidak ada sama sekali film Nan Achnas? atau Mengapa Kambing Jantan ada di daftar ini?, atau Mengapa Laskar Pelangi ada di urutan ke-23?. Ini adalah risiko yang siap kami ambil. Namun, sekaligus, inilah pilihan, sikap dan sudut pandang kami. Tentu saja, ini adalah 33 film terpenting versi Rumah Film. Artinya, kami punya kriteria dan pertimbangan tersendiri, yang tentu saja bisa jadi berbeda dengan orang lain. Harapan saya adalah, Anda sendiri, pembaca, akan terpancing untuk

membincangkannya dan bermuara untuk membuat sendiri daftar terbaik, terkeren, terasyik, tergalau, dan sebagainya. Atau, bisa juga menginspirasi untuk membuat daftar trivia semacam: 10 film Barry Prima paling esensial, atau 50 adegan/dialog tak terlupakan, atau 25 film yang paling bikin saya mewek. Tolok ukur utama kami, pertama-tama, adalah pengalaman sinematis masingmasing redaktur Rumah Film dan keasyikannya. Tentu ini sangat subjektif. Sebuah daftar peringkat yang melalui berbagai proses penilaian dan pertimbangan, memang harus subyektif, bukan? Yang mengasyikkan adalah, para editor ini saling mendiskusikan keasyikan personal kami, dan ini berlangsung lama, karena masing-masing punya jagoannya dan perspektifnya sendiri-sendiri. Tentu saja perdebatan sengit namun hangat tak terhindarkan (kecuali 10 film peringkat pertama, yang mencapai kata sepakat cenderung lebih mudah). Dan kami juga merancang peringkat berdasarkan, di antaranya: Terobosan (Breakthrough), eksplorasi dan pencapaian dalam estetika, termasuk cara bertutur.

Tema-tema penting (dan berani) yang merepresentasikan isu-isu terpenting yang dipandang mewakili jiwa zamannya. Dan kami pun bermusyawarah, mengambil kesimpulan, dan jadilah daftar ini. Untuk setiap film yang terpilih, akan dirangkai dengan penjelasannya, mengapa film itu termasuk yang terpenting dan layak masuk dalam daftar kami. Ekky Imanjaya

Cuplikan 98:08

16

You might also like