You are on page 1of 27

12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian lain yang membahas pengaruh variabel komitmen organisasi terhadap kinerja karyawan yang berhubungan juga dengan pencapaian tujuan organisasi, diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Khoirul. 2001, Pengaruh Komitmen Organisasional Pimpinan Terhadap Kinerja Karyawan Universitas Muhammadiyah Malang. Variabel bebas penelitian terdiri dari kemauan, kesetiaan dan kebanggaan. Untuk menganalisis penelitian digunakan analisis jalur. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa ada pengaruh komitmen karyawan terhadap kinerja karyawan. 2. Darwish A. Yousef, Organisasional Commitment and Job satisfication as predictors of Toward Organisasional Change in a Non Western Setting. Penelitian dilakukan terhadap 361 karyawan dari sejumlah organisasi di Uni Emirat Arab (UEA) dengan rincian sebagai berikut : 61% responden adalah pegawai Asia, 12% pegawai Arab, 2% pegawai bangsa lain. Total 85% pegawai Asia, 13% dari Arab, 1,5% pegawai Eropa, dan 0,5% bangsa lain. Tujuan penelitian adalah untuk menginvestigasi peran dari bermacammacam dimensi komitmen organisasional dan job satisfiction dalam memprediksi bermacam-macam sikap menuju perubahan organisasi dalam setting bukan pekerja barat. Path analysis digunakan untuk menganalisis

12

13

data. Adapun variabel independen job satisfication yaitu pay, promotion, supervision, co-worker, dan security. Sedangkan variabel mediator yaitu organizational commitment (afective commitment, continuance commiment, dan normative commitment). Serta variabel dependen yaitu attitudes toward organizational change. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa sikap dan perilaku pegawai menuju perubahan organisasi akan meningkat seiring dengan peningkatan affective commitment dan continuance commiment secara langsung dan berpengaruh negatif terhadap cognitive attitudes. Affective commitment memediasi hubungan antara kepuasan kerja terhadap kondisi kerja, gaji, promosi, supervisi dan keamanan kerja dengan cognitive, affective, dan behaviour menuju perubahan. Continuance commitment memediasi hubungan antara kepuasan kerja terhadap gaji, promosi, supevisi dan lain-lain terhadap kognisi menuju perubahan. Kepuasan kerja terhadap gaji, promosi, supervisi, dan lainnya berpengaruh secara langsung dan positif terhadap komitmen organisasional. 3. Steffen, et.al., 1996, Satisfication with Nurting Homes : The Design of Employee Jobs Can Ultimately Influence Family Members Perception. Penelitian dilakukan di panti asuhan yang ditujukan untuk menguji organizational commitment sebagai faktor penentu kualitas pelayanan. Responden penelitian adalah 489 staf panti asuhan. Teknik penarikan sampel random. Teknik analisis yang digunakan adalah korelasi. Variabel independen yaitu skill variety, task identity, dan autonomy. Dan variabel

14

interventing yaitu komitmen. Serta variabel dependen yaitu kualitas pelayanan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa komitmen organisasional

berkorelasi dengan kualitas pelayanan, ragam keterampilan berkorelasi dengan komitmen organisasional, identifikasi tugas berkorelasi dengan komitmen organisasional, dan otonomi berkorelasi dengan komitmen organisasional.
4. Trian Atorid. 2008. Komitmen Organisasi Dalam Upaya Meningkatkan

Efektivitas Pelayanan Kesehatan Pasien Miskin di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Majalaya Kabupaten Bandung 2008. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa komitmen RSUD Majalaya belum sepenuhnya terlaksana sesuai dengan nilai-nilai dan tujuan yang diterapkan sehingga pelayanan kesehatan yang diberikan terhadap pasien miskin belum efektif dan kurang sesuai dengan tujuan Askeskin dan ketentuan yang diterapkan.

2.2 Tinjauan Teoritis 2.2.1 Pelayanan Publik Paradigma post bureaucraty yang dikemukakan oleh Barzeslay dan teori reinventing government yang dikemukakan oleh Osborne dan Gaebler yang dikenal dengan konsep new public management (NPM). Menurut anggapan mereka bahwa dengan konsep NPM akan terbentuk sebuah organisasi publik yang terbuka dan fleksibel, ramping, efisien dan rasional

15

serta desentralistis. Konsep NPM memposisikan pengguna layanan sebagai pelanggan yang harus dilayani. Prinsip steering rather than rowing dari NPM menjadi landasan utama birokrasi. Dengan demikian konsep NPM menyarankan bahwa organisasi dan manajemen publik perlu belajar dan mengubah dirinya seperti organisasi bisnis atau privat. Namun pada kenyataannya, NPM tidaklah mudah diterima oleh banyak kalangan karena terlalu swasta sentris. Artinya pelayanan publik tidak semuanya dapat secara mudah mengatakan bahwa publik adalah konsumen. Dalam ranah publik ada hal-hal yang tidak dapat dianalisis dengan kacamata privat karena sifat publik dari barang atau jasa dari suatu pelayanan publik. Publik adalah publik. Publik adalah warga negara yang berhak mendapatkan pelayanan secara prima dari pemerintah yang telah dipercaya sebagai penyelenggara urusan dan kepentingan bersama. Istilah pelayanan prima dalam swasta adalah ketika terjadi jual beli, tawar menawar, terhadap suatu produk barang atau jasa dan hasilnya harus saling menguntungkan. Ada input pasti ada output. Permasalahnya ialah mendudukkan publik menjadi konsumen tidaklah secara langsung dapat menjadi jawaban atas permasalahan pelayanan publik di Indonesia. Sebab ketika publik sudah didudukkan menjadi konsumen dan harus memberikan input atas suatu pelayanan publik (yang biasanya adalah uang) belum ada jaminan bahwa publik tersebut akan mendapatkan pelayanan yang lebih memuaskan. Konsep NPM pun mengalami titik kritis dan segera digantikan dengan konsep new publik service (NPS) yang dikemukakan oleh Denhard dan

16

Denhard (2003). Kedua tokoh ini tidak serta-merta menyarankan untuk mengesampingkan prinsip-prinsip reinventing government dalam NPM yang dianggap mempunyai beberapa kelemahan. Secara umum, NPS membawa 7 prinsip, yaitu :
1. Melayani warga negara bukan pelanggan (serve the citizen not

customer).
2. Mengenali kepentingan publik (seek the public interest). 3. Lebih menghargai warga negara daripada kewirausahaan (value

citizenship over interpreneuurship).


4. Berfikir strategis dan bertindak demokratis (think strategycally, act

democratically).
5. Menyadari bahwa akuntabilitas bukan merupakan suatu yang

mudah (recognize that accountability is not simple).


6. Melayani daripada mengendalikan (serve rather than steer). 7. Menghargai orang bukan produktivitas semata (value people not

just productivity).

Dalam Undang-undang nomor 25 tahun 2009, pelayanan publik dapat diartikan sebagai kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundangundangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Adapun beberapa pengertian lain dalam undang-undang tersebut, diantaranya:

17

1. Penyelenggara

pelayanan

publik

yang

selanjutnya

disebut

Penyelenggara adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undangundang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.
2. Organisasi penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya

disebut

Organisasi

Penyelenggara

adalah

satuan

kerja

penyelenggara pelayanan publik yang berada di lingkungan institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan

pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk sematamata untuk kegiatan pelayanan publik.
3. Pelaksana pelayanan publik yang selanjutnya disebut Pelaksana

adalah pejabat, pegawai, petugas, dan setiap orang yang bekerja di dalam organisasi penyelenggara yang bertugas melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan pelayanan publik.
4. Masyarakat adalah seluruh pihak, baik warga negara maupun

penduduk sebagai orangperseorangan, kelompok, maupun badan hukum yang berkedudukan sebagai penerima manfaat pelayanan publik, baik secara langsung maupun tidak langsung.
5. Standar pelayanan adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai

pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada

18

masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur.
6. Maklumat pelayanan adalah pernyataan tertulis yang berisi

keseluruhan rincian kewajiban dan janji yang terdapat dalam standar pelayanan.
7. Sistem informasi pelayanan publik yang selanjutnya disebut Sistem

Informasi adalah rangkaian keglatan yang meliputi penyimpanan dan pengelolaan informasi serta mekanisme penyampaian

informasi dari penyelenggara kepada masyarakat dan sebaliknya dalam bentuk lisan, tulisan Latin, tulisan dalam huruf Braile, bahasa gambar, dan/ atau bahasa lokal, serta disajikan secara manual ataupun elektronik.
8. Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan

mengawasi

penyelenggaraan

pelayanan

publik,

baik

yang

diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh badan usaha rnilik negara, badan usaha milik daerah, dan badan hukum milik negara serta badan swasta, rrlaupun perseorangan yang diberi tugas

menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Pemerintah di era reformasi pelayanan publik telah berusaha untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dengan mengeluarkan instrument

19

pengukuran kepuasaan publik atau dalam istilah baku dalam PEDOMAN UMUM PENYUSUNAN INDEKS KEPUASAN MASYARAKAT UNIT PELAYANAN INSTANSI PEMERINTAH yang tertera dalam keputusan menteri pendayagunaan aparatur negara nomor : KEP/25M.PAN/2/2004 tanggal 24 pebruari 2004) disebut indeks kepuasan masyarakat. Dari kebijakan ini dapat diketahui setidaknya suatu institusi pemerintahan yang menyelenggarakan pelayanan publik dapat diukur dalam 14 indikator, yaitu :
1. Prosedur pelayanan, yaitu kemudahan terhadap pelayanan yang

diberikan kepada masyarakat dilihat dari sisi kesederhanaan alur pelayanan. 2. Persyaratan pelayanan, yaitu persyaratan teknis dan administrasi yang diperlukan untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan jenis pelayanannya. 3. Kejelasan petugas pelayanan, yaitu keberadaan kepastian petugas yang memberikan pelayanan (nama, jabatan serta kewenangan dan tanggung jawabnya). 4. Kedisiplinan petugas pelayanan, yaitu kesungguhan petugas dalam memberikan pelayanan terutama terhadap konsistensi waktu kerja sesuai ketentuan yang berlaku. 5. Tanggung jawab petugas pelayanan, yaitu kejelasan wewenang dan tanggung jawab petugas dalam penyelenggaraan dan penyelesaian pelayanan.

20

6. Kemampuan petugas pelayanan, yaitu tingkat keahlian dan

keterampilan yang dimiliki petugas dalam memberikan atau menyelesaikan pelayanan kepada masyarakat.
7. Kecepatan

pelayanan, yaitu target waktu pelayanan dapat

diselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan oleh unit penyelenggaraan pelayanan.
8. Keadilan mendapatkan pelayanan, yaitu pelaksanaan pelayanan

dengan tidak membedakan golongan atau status masyarakat yang dilayani.


9. Kesopanan dan keramahan petugas, yaitu sikap dan perilaku

petugas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat secara sopan dan ramah serta saling menghargai dan menghormati.
10.

Kewajaran

biaya

pelayanan,

yaitu

keterjangkauan

masyarakat terhadap besarnya biaya yang ditetapkan oleh unit pelayanan.


11.

Kepastian biaya pelayanan, yaitu kesesuaian antara biaya

yang dibayarkan dengan biaya yang telah ditetapkan.


12.

Kepastian jadwal pelayanan, yaitu pelaksanaan waktu

pelayanan, sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. 13.Kenyamanan lingkungan, yaitu kondisi sarana dan prasarana pelayanan yang bersih, rapih dan teratur sehingga dapat memberikan rasa nyaman kepada penerima pelayanan. 14.Keamanan pelayanan, yaitu terjaminnya tingkat keamanan lingkungan unit penyelenggaraan pelayanan ataupun sarana yang

21

digunakan, sehingga masyarakat merasa tenaga untuk mendapatkan pelayanan terhadap resiko-resiko yang diakibatkan dari

pelaksanaan pelayanan.

2.2.2 Komitmen Organisasi Komitmen adalah kuatnya pengenalan dan keterlibatan seseorang dalam organisasi tertentu. Kecenderungan untuk terkait dalam garis kegiatan yang konsisten karena menganggap adanya biaya pelaksanaan kegiatan yang lain (berhenti bekerja). Proses pada individu (pegawai) dalam

mengindentifikasikan dirinya dengan nilai-nilai, aturan-aturan, dan tujuan organisasi. Komitmen organisasi sesuatu hal yang lebih dari sekedar kesetiaan yang pasif terhadap organisasi, komitmen organisasi menyiratkan hubungan pegawai dengan perusahaan atau organisasi secara aktif. Karena pegawai yang menunjukkan komitmen tinggi memiliki keinginan untuk memberi tenaga dan tanggung jawab yang lebih dalam menyokong kesejahteraan dan keberhasilan organisasi tempatnya bekerja. Komitmen organisasional adalah loyalitas karyawan terhadap

organisasi melalui penerimaan sasaran-sasaran, nilai-nilai organisasi, kesediaan atau kemauan untuk berusaha menjadi bagian dari organisasi, serta keinginan untuk bertahan di dalam organisasi. Matchis dan Jacson (2000) memberikan definisi: Organizational Commitment is the degree to which employees believe in and accept organizational goals and desire to remain with the organization (komitmen organisasional adalah derajat yang mana karyawan dan menerima tujuan-tujuan organisasi dan akan tetap tinggal atau tidak akan meninggalkan organisasi). (Sopiah, 2008: 155)

22

Richard M. Steers (Sri Kuntjoro, 2002) mendefinisikan: komitmen organisasi sebagai rasa identifikasi (kepercayaan terhadap nilai-nilai organisasi), keterlibatan (kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi kepentingan organisasi) dan loyalitas (keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi yang bersangkutan) yang dinyatakan oleh seorang pegawai terhadap organisasinya. komitmen organisasi merupakan kondisi dimana pegawai sangat tertarik terhadap tujuan, nilai-nilai, dan sasaran organisasinya. Komitmen terhadap organisasi artinya lebih dari sekedar keanggotaan formal, karena meliputi sikap menyukai organisasi dan kesediaan untuk mengusahakan tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi demi pencapaian tujuan. Mowday (1982) menyebut komitmen kerja sebagai istilah lain dari komitmen organisasional. Menurut dia, komitmen organisasinal merupakan dimensi perilaku yang dapat digunakan untuk menilai kecenderungan perilaku karyawan untuk dapat bertahan dalam organisasi. Komitmen organisasional ini merupakan bentuk identifikasi dan keterlibatan seseorang yang relatif kuat terhadap organisasi. Komitmen organisasional merupakan keinginan anggota organisasi untuk tetap mempertahankan keanggotaanya dalam organisasi dan bersedia berusaha keras bagi pencapaian tujuan organisasi. Dalam bukunya, Sopiah (2008: 155) menyebutkan: Komitmen organisasional menurut Lincoln mencakup kebanggaan anggota, kesetiaan anggota, dan kemauan anggota pada organisasi. Blau & Boal menyebutkan komitmen organisasional sebagai keberpihakan dan loyalitas karyawan karyawan terhadap organisasi dan tujuan organisasi. Robbins (1989) mendefinisikan komitmen organisasional sebagai suatu sikap yang merefleksikan perasaan suka atau tidak sukadr karyawan terhadap organisasi. Steers dan Porter (1983) mengatakan bahwa suatu bentuk komitmen yang muncul bukan hanya bersifat loyalitas yang pasif, tetapi juga melibatkan hubungan yang aktif dengan organisasi kerja yang memiliki tujuan memberikan segala usaha demi keberhasilan organisasi yang bersangkutan.

23

Dari beberapa definisi diatas menyebutkan bahwa komitmen organisasi dapat menunjukkan sejauh mana hubungan antara anggota dengan organisasinya. Anggota organisasi yang memiliki komitmen organisasional terhadap organisasinya akan menunjukkan sikap loyalitasnya berupa kesediaan untuk bekerja dalam waktu yang lama dan mau bekerja semaksimal mungkin untuk kepentingan organisasinya. Secara konseptual, komitmen organisasional ditandai oleh tiga hal: (1) Adanya rasa percaya yang kuat dan penerimaan seseorang terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi (2) Adanya keinginan seseorang untuk melakukan usaha secara sungguh-sungguh demi organisasi (3) Adanya hasrat yang kuat untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi. Hunt and Morgan (1994) mengemukakan bahwa karyawan yang memiliki komitmen organisasional yang tinggi bila: (1) memiliki kepercayaan dan menerima tujuan dan nilai organisasi (2) Berkeinginan untuk berusaha ke arah pencapaian tujuan organisasi, dan (3) Memiliki keinginan yang kuat untuk bertahan sebagai anggota organisasi. Steers an Black (1994) memiliki pendapat yang hampir senada. Dia mengatakan bahwa karyawan yang memiliki komitmen organisasional yang tinggi bisa dilihat dari ciri-cirinya sebagai berikut: (a) Adanya kepercayaan dan penerimaan yang kuat terhadap nilai dan tujuan organisasi, (b) Adanya kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi organisasi, dan (c) Keinginan yang kuat untuk menjadi anggota organisasi. (Sopiah, 2008:156-157) Dari beberapa definisi diatas dapat kita simpulkan bahwa komimen organisasi erat kaitannya dengan kepercayaan anggota terhadap nilai-nilai organisasinya, loyalitas atau kemauan untuk mengusahakan kepentingan organisasinya, dan keinginan untuk dapat mempertahankan keanggotaan dalam organisasinya. Neal & Noertheraft (1990) mengatakan komitmen tidak sekedar keanggotaan karena komitmen meliputi sikap individu dengan mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien (Sopiah, 2008:156). Dengan kata lain, dengan adanya komitmen maka anggota organisasi akan bekerja

24

semaksimal

mungkin

dalam

menjalankan

tugasnya

sehingga

akan

berpengaruh positif terhadap hasil kinerjanya. Hal ini baik karena akan berpengaruh juga terhadap pencapaian output dan outcome yang diharapkan. Minner (dalam Sopiah, 2008) menjelaskan bahwa proses terjadinya komitmen organisasi itu berbeda. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Fase initial commitment, yaitu adanya faktor yang berpengaruh

terhadap komitmen karyawan pada tahap ini adalah: a. b. c. Karakteristik individu Harapan-harapan pada organisasi Karakteristik pekerjaan

2. Fase commitment during early employment yang terjadi pada

karyawan yang telah bekerja selama beberapa tahun. Faktor yang berpengaruh terhadap komitmen karyawan pada tahap ini diantaranya: a. b. c. d. e. Pengalaman kerja yang dirasakan pada tahap awal bekerja Bagaimana pekerjaannya Bagaimana sistem penggajiannya Bagaimana gaya supervisinya Bagaimana hubungan dia dengan rekan kerjanya ataupun hubungan dia dengan pimpinannya. Semua faktor diatas akan membentuk komitmen awal dan tanggung jawab karyawan pada organisasi yang pada akhirnya akan

25

menghasilkan komitmen karyawan pada awal memasuki dunia kerja.


3. Fase commitment during later career. Faktor yang berpengaruh

terhadap komitmen karyawan pada tahap ini berkaitan dengan: a. b. c. d. Investasi Modal kerja Hubungan sosial yang tercipta di organisasi Pengalaman selama bekerja.

Faktor diatas akan berpengaruh pada kelangsungan keanggotaan seseorang atau karyawan dalam organisasinya. Spector mengutip pendapat Meyer, Allen, dan Smith yang menyebutkan bahwa terdapat tiga komponen komitmen organisasional, yaitu:
1. Affective commitment, terjadi apabila karyawan ingin menjadi

bagian dari organisasi karena adanya ikatan emosional. 2. Continuance commitment, muncul apabila karyawan tetap bertahan pada suatu organisasi karena membutuhkan gaji dan keuntungankeuntungan lain, atau karena karyawan tersebut tidak menemukan pekerjaan lain. 3. Normative commitment, timbul dari nilai-nilai dalam diri karyawan. Karyawan bertahan menjadi anggota organisasi karena adanya kesadaran bahwa komitmen terhadap organisasi merupakan hal yang seharusnya dilakukan. (Sopiah: 2008:157) Kanter (1986) juga mengemukakan adanya tiga bentuk komitmen organisasional, yaitu:
1. Komitmen berkesinambungan (continuance commitment), yaitu

komitmen yang berhubungan dengan dedikasi anggota dalam melangsungkan kehidupan organisasi dan menghasilkan orang yang mau berkorban dan berinvestasi pada organisasi. 2. Komitmen terpadu (cohesion commitment), yaitu komitmen anggota terhadap organisasi sebagai akibat adanya hubungan sosial dengan anggota lain dalam organisasi. Ini terjadi karena karyawan

26

percaya bahwa norma-norma yang dianut organisasi merupakan norma-norma yang bermanfaat. 3. Komitmen terkontrol (control commitment), yaitu komitmen anggota organisasi yang memberikan perilaku ke arah yang diinginkannya. Norma-norma yang dimiliki organisasi sesuai dan sesuai dan mampu memberikan sumbangan terhadap perilaku yang diinginkannya. (Sopiah: 2008:158) Dari dua pendapat diatas, baik Spector maupun Kanter tampaknya memiliki pendapat yang sama dalam pengelompokan bentuk komitmen organisasi. Perbedaanya terletak pada penggunaan istilahnya saja. Beberapa dimensi komitmen organisasi menurut Porter, Mowday dan Steers dalam Kuntjoro (2002) yang disebut sebagai dimensi pendekatan sikap dan kehendak untuk bertingkah laku. Dimensi ini digunakan sebagai ukuran untuk menilai komitmen organisasi. Dimensi sikap (Attitudinal commitment), meliputi :
1. Identifikasi (identification)

Identifikasi dengan organisasi yaitu penerimaan tujuan organisasi, dimana penerimaan ini merupakan dasar komitmen organisasi. Identifikasi pegawai tampak melalui sikap menyetujui kebijasanaan organisasi, kesamaan nilai-nilai pribadi dan nilai-nilai organisasi, rasa kebanggaan menjadi bagian dari bagian organisasi. Identifikasi yang mewujud dalam bentuk kepercayaan pegawai terhadap organisasi, dapat dilakukan dengan memodifikasi tujuan organisai, sehingga mencakup beberapa tujuan pribadi para pegawai ataupun dengan kata lain organisasi memasukkan pula kebutuhan dan keinginan pegawai dalam tujuan organisasinya. Hal ini akan membuahkan suasana saling mendukung diantara pegawai dengan organisasi. Lebih lanjut, suasana tersebut akan membawa pegawai dengan rela menyumbangkan sesuatu bagi tercapainya tujuan organisasi, karena pegawai menerima tujuan organisasi yang dipercaya telah disusun demi memenuhi kebutuhan pribadi mereka pula. 2. Keterlibatan (involvement) Keterlibatan sesuai peran dan tanggungjawab pekerjaan di organisasi tersebut. Pegawai yang memiliki komitmen tinggi akan menerima hampir semua tugas dan tanggungjawab pekerjaan yang diberikan kepadanya. Keterlibatan atau partisipasi pegawai dalam aktivitas-aktivitas kerja penting untuk diperhatikan karena adanya keterlibatan pegawai menyebabkan pegawai akan mau dan senang

27

berkerja sama baik dengan pimpinan ataupun dengan sesama teman kerja. Salah satu cara yang dapat dipakai untuk memancing keterlibatan pegawai adalah dengan memancing partisipasi mereka dalam berbagai kesempatan pembuatan keputusan, yang dapat menumbuhkan keyakinan pada pegawai bahwa apa yang telah diputuskan adalah merupakan keputusan bersama. Disamping itu, pegawai merasakan bahwa mereka diterima sebagai bagian yang utuh dari organisasi, dan konsekuensi lebih lanjut, mereka merasa wajib untuk melakasanakan bersama apa yang telah diputuskan karena adanya rasa keterikatan dengan apa yang mereka ciptakan. 3. Loyalitas (loyalti) Kehangatan, afeksi dan loyalitas terhadap organisasi merupakan evaluasi terhadap komitmen, serta adanya ikatan emosional dan keterikatan antara organisasi dengan pegawai. Pegawai dengan komitmen tinggi merasakan adanya loyalitas dan rasa memiliki terhadap organisasi. Loyalitas pegawai terhadap organisasi memiliki makna ksediaan seseorang untuk melanggengkan hubungannya dengan organisasi, kalau perlu dengan mengorbankan kepentingan pribadinya tanpa mengharapkan apapun. Keadaan pegawai untuk mempertahankan diri bekerja dalam organisasi adalah hal yang penting dalam menunjang komitmen pegawai terhadap organisasi dimana mereka bekerja. Hal ini dapat diupayakan bila pegawai merasakan adanya keamanan dan kepuasan di dalam organisasi tempat ia bergabung untuk bekerja. 2.2.3 Kualitas Pelayanan Konsep kualitas pelayanan telah menjadi satu tahap universal dan menjadi faktor dominan terhadap keberhasilan suatu organisasi.

Pengembangan kualitas sangat didorong oleh kondisi persaingan antar perusahaan, kemajuan teknologi, tahapan perekonomian dan sosial budaya masyarakat sebenarnya tidak mudah mendefinisikan kualitas yang tepat. Kualitas menurut Fandy Tjiptono (2000:51) bahwa Suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Kualitas dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir pada persepsi pelanggan.

28

Menurut Tjiptono kualitas pelayanan adalah tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan. (Tjiptono, 2006:59). Dengan kata lain ada dua faktor utama yang mempengaruhi kualitas pelayanan yaitu Pelayanan yang diharapkan (expected experience) dan pelayanan yang didapatkan (provide service), maka kualitas pelayanan dipersepsikan sebagai kualitas yang ideal begitu juga sebaliknya (1996:59). Dengan demikian baik tidaknya kualitas pelayanan tergantung pada kemampuan penyedia layanan dalam memenuhi harapan pelangggan. Pengertian kualitas menurut Kotler (1997:49) adalah keseluruhan ciri serta sifat dari suatu produk atau pelayanan yang berpengaruh paada kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan yang dinyatakan atau tersirat. Kemudian menurut Gasperz dalam Lukman Sampara menyatakan bahwa pada dasarnya kualitas mengacu pada pengertian pokok yaitu : Kualitas terdiri dari sejumlah keistimewaan produk yang memenuhi pelanggan dan dengan demikian memberikan kepuasan atas penggunaan produk. Kualitas terdiri dari segala sesuatu yang bebas dari kekurangan atau kerusakan. (Samparna, 1999:7) Dari kedua pengetian diatas kualitas berarti kesempurnaan atribut suatu produk (barang atau jasa) tertentu, sesuai dengan yang dikehendaki pengguna jasa. Sedangkan Gasperz (1997:4), mendefinisikan kualitas dengan terlebih dahulu membedakannya dalam pengertian konvensional dan non konvensional, sebagai berikut : Kualitas secara konvensional adalah biasanya menggambarkan karateristik langsung dari suatu produk seperti perfomansi, keandalan, mudah dalam penggunaan dan sebagainya. Sedangkan definisi

29

kualitas secara non konvensional adalah segala sesuatu yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan. Penilaian kualitas pelayanan ditentukan oleh pengguna jasa layanan tersebut, pengguna jasa akan menilai dengan membandingkan pelayanan yang akan mereka terima dengan yang mereka harapkan. Pemberian layanan dapat mencapai reptasi yang tinggi dalam kualitas pelayanan hanya jika kualitas pelayanan yang diberikan sesuai dengan yang diharapkan pengguna. Untuk itu kualitas pelayanan dapat ditentukan melalui suatu usaha agar dapat memenuhi kebutuhan dan harapa-harapan pengguna jasa. Pengertian kualitas pelayanan menurut Agus Dwiyanto (1995:6), bahwa kualitas pelayanan adalah kemampuan organisasi pelayanan publik untuk memberikan pelayanan yang dapat memuaskan para pengguna jasa baik melalui pelayanan teknis maupun pelayanan administrasi. Dengan pelayanan kualitas inilah suatu perusahaan dapat senantiasa diminati oleh pelanggan. Perusahaan yang selalu dapat menjaga kualitas pelayanannya dengan konsisten tidak akan kalah bersaing walaupun bergerak di bidang yang sama. Dampaknya tentu akan menguntungkan perusahaan karena para pelanggan akan terus berinteraksi dengan perusahaannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Mursid (1997:25) yang mengemukakan bahwa : Salah satu cara utama untuk menempatkan sebuah perusahaan jasa lebih unggul dari perusahaan pesaingnya adalah dengan memberikan pelayanan yang lebih berkualitas daripada pesaingnya. Kuncinya adalah memenuhi atau melebihi pengharapan sasaran mengenai kualitas tadi. Dari beberapa pengertian kualitas pelayanan, dapat dilihat bahwa kualitas pelayanan dimulai dari kebutuhan pengguna jasa dan berakhir pada persepsi pengguna jasa, maka kualitas pelayanan tergantung pada

30

kemampuan penyedia jasa atau yang memberikan pelayanan dalam memenuhi harapan pengguna jasa secara konsisten. Ada beberapa dimensi atau faktor yang digunakan konsumen atau pengguna jasa dalam menentukan kualitas pelayanan, menurut Zeithamal, Berry dan Parasuraman yang dikutip oleh Fandy Tjiptono menyatakan bahwa ada lima dimensi pokok yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas pelayanan, yaitu :
1. Bukti langsung (Tangibles), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan

2.

3.

4.

5.

pegawai dan sarana komunikasi. Tangibles banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang jasa dalam rangka untuk meningkatkan imagenya, memberikan kelancaran kualitas kepada para pelanggannya. Keandalan (Reliability), yakni kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan. Dalam pengertian yang lebih luas reliability dapat diartikan bahwa perusahaan menyampaikan janji-janjinya mengenai penyampaian jasa, prosedur pelayanan, pemecahan masalah dan penentuan harga. Para pelanggan biasanya ingin sekali melakukan kerja sama dengan perusahaan yang bisa memenuhi janji-janjinya terutama mengenai sesuatu yang berhubungan dengan jasa. Daya Tanggap ( responsiveness ), yaitu keinginan para staff untuk membantu pelanggan dan memberikan pelayanan yang tanggap. Dimensi ini menekankan pada perhatian penuh dan kecepatan dalam melakukan hubungan dengan para pelanggan baik itu permintaan,pertanyaan,keluhan dan masalah-masalah. Jaminan (Assurance), mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, resiko atau keragu-raguan. Merupakan dimensi terpenting dari suatu pelayanan dimana para pelanggan harus bebas dari bahaya resiko yang tinggi atau bebas dari keragu-raguan dan ketidakpastian. Empati (Empathy), meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik, perhatian pribadi dan memahami kebutuhan para pelanggan. Hal terpenting dari empati dalah cara penyampaian baik secara personal maupun biasa. Para pelanggan dianggap sebagai orang yang penting dan khusus. (Tjiptono,2005:14)

Kelima dimensi diatas dapat dipenuhi dengan sebaik-baiknya dalam memberikan pelayanan untuk menciptakan kualitas pelayanan yang baik.

31

Grontoss pun mencoba merumuskan dimensi atau faktor yang dapat digunakan oleh konsumen atau pelanggan untuk menilai efektivitas atau mutu pelayanan. Seperti yang dikutip oleh Fandy Tjiptono dalam bukunya Manajemen Jasa, yang menyatakan bahwa terdapat enam unsur, yaitu:
a. Keahlian dan Kemampuan (Profesionalism And Skill)

b.

c.

d.

e.

f.

Pelanggan menyadari bahwa penyedia jasa, karyawan system operasional, dan sumber daya fisik, memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah pelanggan secara potensial. Sikap Dan Tingkah Laku (Attitudes And Behavior) Pelanggan merasa bahwa karyawan perusahaan menaruh perhatian terhadap mereka dan berusaha membantu dalam memecahkan masalah mereka secara spontan dan senang hati. Kemudahan Hubungan dan Keluwesan (Accessibility And Trustworthiness) Pelanggan merasa bahwa penyedia jasa, lokasi, jam kerja, karyawan dan sistem operasionalnya dirancang dan dioperasikan sedemikian rupa sehingga pelanggan dapat melakukan akses dengan mudah. Selain itu juga dirancang dengan maksud agar dapat bersifat fleksibel dalam menyesuaikan permintaan dan keinginan pelanggan. Keandalan dan Dapat Dipercaya (Reliability And Trustworthiness) Pelanggan memahami apapun yang terjadi sesuatu, mereka bisa mempercayakan segala sesuatunya kepada penyedia jasa beserta karyawan dan sistemnya. Pemulihan (Recovery) Pelanggan menyadari bahwa bila ada kesalahan atau bila terjadi kesalahan atau bila terjadi sesuatu yang tidak diharapkan, maka penyedia jasa akan segera mengambil tindakan untuk mengendalikan situasi dan mencari pemecahan yang tepat. Reputasi Dan Kepercayaan (Reputation And Credibility) Pelanggan meyakini bahwa operasi dari penyedia jasa dapat dipercaya dan memberikan nilai atau imbalan yang sesuai dengan pengorbanannya. (Tjiptono, 1996:73)

2.2.4 Hubungan antara Komitmen Organisasi dan Kualitas Pelayanan Dalam hubungan dengan kualitas pelayanan, maka kepuasan pelanggan menjadi tolak ukur akan keberhasilan dari suatu pelayanan. Maka

32

keterkaitan antara komitmen organisasi dengan kualitas pelayanan menurut Zeithaml et al yang dikutip Malhotra dan Mukherjee menyatakan bahwa : Research indicates that organizational commitment exerts a strong positive influence not only on intrernal but also on external service quality. The willingness of employees to accept and support organisasional goals and to behave in a manner likely to promote them is reflected upon in their organizational commitment. Only committed employees would have the urge to engage in discretionary effort and organisasional citizenship behaviour leading to customer satisfaction. (penelitian menunjukan bahwa komitmen organisasi mempunyai pengaruh yang kuat dan positif tidak hanya secara internal tetapi juga kualitas pelayanan secara eksternal. Kemauan para pegawai untuk menerima dan mendukung terhadap tujuan organisasi dan ditunjukan dalam sikap dan perilakunya merefleksikan komitmen organisasi mereka. Hanya komitmen pegawai yang dapat mendorong perilaku organisasional dan upayanya dalam memenuhi kepuasan pelanggan). Tujuan dari pelayanan adalah dapat memenuhi kepentingan pengguna jasa sesuai dengan haknya serta mampu mengakomodasi berbagai hambatan yang mungkin terjadi selama proses pelayanan. Untuk dapat memenuhi berbagai kepentingan secara efektif diperlukan suatu komitmen yang tinggi yang ditunjukan dengan keterlibatan dan kesungguhan dalam bekerja serta loyalitas terhadap organisasi sehingga mampu mencapai tingkat kepuasan pengguna jasa sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya. Sementara keterkaitan antara komitmen organisasi dengan efektivitas kerja dikemukakan oleh Husselid dan Day dalam Prayitno sebagai berikut : komitmen pegawai dapat mengurangi keinginan untuk melepaskan diri dari organisasi atau unit kerja. Mereka cenderung menunjukan keterlibatan yang tinggi diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku. Selain itu pegawai yang menunjukkan sikap komitmennya akan merasa lebih senang dengan pekerjaan mereka, berkurangnya membuang-buang waktu dalam bekerja berkurangnya kemungkinan meninggalkan lingkungan kerja. (Prayitno, 2004:23).

33

Komitmen pegawai mampu menciptakan kondisi yang memungkinkan para pegawai akan bekerja secara efektif sesuai dengan tujuan organisasi. Pegawai yang memiliki komitmen tinggi akan memiliki identifikasi terhadap organisasi, terlibat sunguh-sungguh dalam pegawaian dan ada loyalitas terhadap organisasi. Dengan komitmen organisasi yang tinggi setiap pegawai akan berusaha memberikan pelayanan yang terbaik yang diarahkan kepada pencapaian tujuan organisasi. Pelayanan yang terbaik berkaitan dengan kualitas pelayanan, kualitas pelayanan tergantung pada kemampuan penyedia jasa atau yang memberikan pelayanan dalam memenuhi harapan pengguna jasa secara konsisten. Dapat dikatakan juga bahwa komitmen organisasi yang sudah terwujud mampu menciptakan kondisi organisasi yang memungkinkan setiap bagian bekerja secara efektif dan bergerak sesuai dengan tujuan organisasi yaitu memberikan pelayanan yang berkualitas.

2.3 Kerangka Pemikiran Istilah komitmen banyak digunakan sebagai sebuah ungkapan baik tertulis ataupun tidak tertulis, dalam kaitannya dengan organisasi maka komitmen organisasi menunjukan tingkat sejauh mana kepedulian para pegawai terhadap organisasinya. Komitmen adalah kuatnya pengenalan dan keterlibatan seseorang dalam organisasi tertentu. Kecenderungan untuk terkait dalam garis kegiatan yang konsisten karena menganggap adanya biaya pelaksanaan kegiatan yang lain (berhenti bekerja). Proses pada individu (pegawai) dalam mengindentifikasikan

34

dirinya dengan nilai-nilai, aturan-aturan, dan tujuan organisasi. Pegawai yang menunjukkan komitmen tinggi memiliki keinginan untuk memberi tenaga dan tanggung jawab yang lebih dalam menyokong kesejahteraan dan keberhasilan organisasi tempatnya bekerja. Richard M. Steers (Sri Kuntjoro, 2002) mendefinisikan: Komitmen organisasi sebagai rasa identifikasi (kepercayaan terhadap nilai-nilai organisasi), keterlibatan (kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi kepentingan organisasi) dan loyalitas (keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi yang bersangkutan) yang dinyatakan oleh seorang pegawai terhadap organisasinya. komitmen organisasi merupakan kondisi dimana pegawai sangat tertarik terhadap tujuan, nilai-nilai, dan sasaran organisasinya. Komitmen terhadap organisasi artinya lebih dari sekedar keanggotaan formal, karena meliputi sikap menyukai organisasi dan kesediaan untuk mengusahakan tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi demi pencapaian tujuan. Dari beberapa definisi diatas menyebutkan bahwa komitmen organisasi dapat menunjukkan sejauh mana hubungan antara anggota dengan organisasinya. Anggota organisasi yang memiliki komitmen organisasional terhadap

organisasinya akan menunjukkan sikap loyalitasnya berupa kesediaan untuk bekerja dalam waktu yang lama dan mau bekerja semaksimal mungkin untuk kepentingan organisasinya. Secara konseptual, komitmen organisasional ditandai oleh tiga hal: (1) Adanya rasa percaya yang kuat dan penerimaan seseorang terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi (2) Adanya keinginan seseorang untuk melakukan usaha secara sungguh-sungguh demi organisasi (3) Adanya hasrat yang kuat untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi. Hunt and Morgan (1994) mengemukakan bahwa karyawan yang memiliki komitmen organisasional yang tinggi bila: (1) memiliki kepercayaan dan menerima tujuan dan nilai orh (2) Berkeinginan untuk berusaha ke arah pencapaian tujuan organisasi, dan (3) Memiliki keinginan yang kuat untuk bertahan sebagai anggota organisasi. Steers an Black (1994) memiliki pendapat yang hampir senada. Dia mengatakan bahwa karyawan yang memiliki komitmen organisasional yang tinggi bisa dilihat dari ciri-cirinya sebagai berikut: (a) Adanya kepercayaan dan penerimaan yang kuat terhadap nilai dan tujuan organisasi, (b) Adanya kesediaan untuk berusaha

35

sebaik mungkin demi organisasi, dan (c) Keinginan yang kuat untuk menjadi anggota organisasi. (Sopiah:2008:156-157) Dari beberapa definisi diatas dapat kita simpulkan bahwa komimen organisasi erat kaitannya dengan kepercayaan anggota terhadap nilai-nilai organisasinya, loyalitas atau kemauan untuk mengusahakan kepentingan organisasinya, dan keinginan untuk dapat mempertahankan keanggotaan dalam organisasinya. Adapun dalam penelitian ini, teori yang dipakai guna menentukan kriteria dalam mengukur komitmen organisasi adala teori dari Porter, Mowday, dan Steers yang dikutip oleh Kuntjoro (2002) yang mengemukakan beberapa dimensi komitmen organisasi yang disebut sebagai dimensi pendekatan sikap dan kehendak untuk bertingkah laku. Dimensi ini digunakan sebagai ukuran untuk menilai komitmen organisasi. Dimensi sikap (attitudinal commitment), meliputi:
1. Identifikasi (identification)

Identifikasi dengan organisasi yaitu penerimaan tujuan organisasi, dimana penerimaan ini merupakan dasar komitmen organisasi. Identifikasi pegawai tampak melalui sikap menyetujui kebijasanaan organisasi, kesamaan nilai-nilai pribadi dan nilai-nilai organisasi, rasa kebanggaan menjadi bagian dari bagian organisasi. Identifikasi yang mewujud dalam bentuk kepercayaan pegawai terhadap organisasi, dapat dilakukan dengan memodifikasi tujuan organisai, sehingga mencakup beberapa tujuan pribadi para pegawai ataupun dengan kata lain organisasi memasukkan pula kebutuhan dan keinginan pegawai dalam tujuan organisasinya. Hal ini akan membuahkan suasana saling mendukung diantara pegwai dengan organisasi. Lebih lanjut, suasana tersebut akan membawa pegawai dengan rela menyumbangkan sesuatu bagi tercapainya tujuan organisasi, karena pegawai menerima tujuan organisasi yang dipercaya telah disusun demi memenuhi kebutuhan pribadi mereka pula. 2. Keterlibatan (involvement) Keterlibatan sesuai peran dan tanggung jawab pekerjaan di organisasi tersebut. Pegawai yang memiliki komitmen tinggi akan menerima hampir semua tugas dan tanggungjawab pekerjaan yang diberikan kepadanya. Keterlibatan atau partisipasi pegawai dalam aktivitasaktivitas kerja penting untuk diperhatikan karena adanya keterlibatan pegawai menyebabkan pegawai akan mau dan senang berkerja sama

36

baik dengan pimpinan ataupun dengan sesama teman kerja. Salah satu cara yang dapat dipakai untuk memancing keterlibatan pegawai adalah dengan memancing partisipasi mereka dalam berbagai kesempatan pembuatan keputusan, yang dapat menumbuhkan keyakinan pada pegawai bahwa apa yang telah diputuskan adalah merupakan keputusan bersama. Disamping itu, pegawai merasakan bahwa mereka diterima sebagai bagian yang utuh dari organisasi, dan konsekuensi lebih lanjut, mereka merasa wajib untuk melaksanakan bersama apa yang telah diputuskan karena adanya rasa keterikatan dengan apa yang mereka ciptakan. 3. Loyalitas (loyalti) Kehangatan, afeksi dan loyalitas terhadap organisasi merupakan evaluasi terhadap komitmen, serta adanya ikatan emosional dan keterikatan antara organisasi dengan pegawai. Pegawai dengan komitmen tinggi mrasakan adanya loyalitas dan rasa memiliki terhadap organisasi. Loyalitas pegawai terhadap organisasi memiliki makna kesediaan sesorang untuk melanggengkan hubungannya dengan organisasi, kalau perlu dengan mengorbankan kepentingan pribadinya tanpa mengharapkan apapun. Keadaan pegawai untuk mempertahankan diri bekerja dalam organisasi adalah hal yang penting dalam menunjang komitmen pegawai terhadap organisasi dimana mereka bekerja. Hal ini dapat diupayakan bila pegawai merasakan adanya keamanan dan kepuasan di dalam organisasi tempat ia bergabung untuk bekerja. Komitmen organisasi mempunyai pengaruh yang kuat dan positif tidak hanya secara internal tetapi juga kualitas pelayanan secara eksternal. Kemauan para pegawai untuk menerima dan mendukung terhadap tujuan organisasi dan ditunjukan dalam sikap dan perilakunya merefleksikan komitmen organisasi mereka. Hanya komitmen pegawai yang dapat mendorong perilaku organisasional dan upayanya dalam memenuhi kepuasan pelanggan. Menurut Tjiptono kualitas pelayanan adalah tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan. (Tjiptono, 2006:59). Dengan kata lain ada dua faktor utama yang mempengaruhi kualitas pelayanan yaitu Pelayanan yang diharapkan (expected experience) dan pelayanan yang didapatkan (provide service), maka

37

kualitas pelayanan dipersepsikan sebagai kualitas yang ideal begitu juga sebaliknya (1996:59). Adapun dalam penelitian ini, teori yang dipakai guna menentukan kriteria dalam mengukur komitmen organisasi adalah teori dari Zeithamal, Berry dan Parasuraman yang dikutip oleh Fandy Tjiptono (2000:51) yang mengemukakan bahwa ada lima dimensi pokok yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas pelayanan, yaitu :
1. Bukti langsung (Tangibles), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan

2.

3.

4.

5.

pegawai dan sarana komunikasi. Tangibles banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang jasa dalam rangka untuk meningkatkan imagenya, memberikan kelancaran kualitas kepada para pelanggannya. Keandalan (Reliability), yakni kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan. Dalam pengertian yang lebih luas reliability dapat diartikan bahwa perusahaan menyampaikan janji-janjinya mengenai penyampaian jasa, prosedur pelayanan, pemecahan masalah dan penentuan harga. Para pelanggan biasanya ingin sekali melakukan kerja sama dengan perusahaan yang bisa memenuhi janji-janjinya terutama mengenai sesuatu yang berhubungan dengan jasa. Daya Tanggap ( responsiveness ), yaitu keinginan para staff untuk membantu pelanggan dan memberikan pelayanan yang tanggap. Dimensi ini menekankan pada perhatian penuh dan kecepatan dalam melakukan hubungan dengan para pelanggan baik itu permintaan,pertanyaan,keluhan dan masalah-masalah. Jaminan (Assurance), mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, resiko atau keragu-raguan. Merupakan dimensi terpenting dari suatu pelayanan dimana para pelanggan harus bebas dari bahaya resiko yang tinggi atau bebas dari keragu-raguan dan ketidakpastian. Empati (Empathy), meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik, perhatian pribadi dan memahami kebutuhan para pelanggan. Hal terpenting dari empati dalah cara penyampaian baik secara personal maupun biasa. Para pelanggan dianggap sebagai orang yang penting dan khusus. (Tjiptono,2005:14)

2.4 Hipotesis

38

Tujuan dari pelayanan adalah dapat memenuhi kepentingan pengguna jasa sesuai dengan haknya serta mampu mengakomodasi berbagai hambatan yang mungkin terjadi selama proses pelayanan. Untuk dapat memenuhi berbagai kepentingan secara efektif diperlukan suatu komitmen yang tinggi yang ditunjukan dengan keterlibatan dan kesungguhan dalam bekerja serta loyalitas sehingga mampu mencapai tingkat kepuasan pengguna jasa sesuai dengan kebutuhannya. Menurut Zeithaml et al yang dikutip Malhotra dan Mukherjee, komitmen organisasi mempunyai pengaruh yang kuat dan positif tidak hanya secara internal tetapi juga kualitas pelayanan secara eksternal. Kemauan para pegawai untuk menerima dan mendukung terhadap tujuan organisasi dan ditunjukan dalam sikap dan perilakunya merefleksikan komitmen organisasi mereka. Komitmen pegawai dapat mendorong perilaku organisasional dan upayanya memenuhi kepuasan pelanggan. Berdasarkan teori tersebut, kualitas pelayanan memiliki keterkaitan dengan komitmen organisasi. Maka apabila para pegawai telah memiliki komitmen terhadap organisasi, kualitas pelayanan yang diberikan akan terwujud secara maksimal. Sehingga, Komitmen organisasi pegawai kantor pusat PT Pos Indonesia Bandung dapat meningkatkan kualitas pelayanan jasa yang diberikan.

You might also like