Professional Documents
Culture Documents
4. English Abstract
Artikel :
5. Imunisasi Poli dan Permasalahannya – Eko Rahardjo
10. Pengamatan Potensi Vaksin Polio yang Dipakai dalam Pengembangan
Program Imunisasi di Indonesia – Djoko Yuwono, Gendrowahyuhono,
Bambang Heriyanto, Suharyono Wuryadi
15. Sifat Kinetik Virus Polio di Indonesia, Pemeriksaan Rct-40 Marker Virus
Polio Tipe 1 – Djoko Yuwono, Gendrowahyuhono
18. Pengembangan Program Imunisasi di Jawa Timur – M. Faried K, Hanny
Roespandi, Sri Prihartini
22. Pengawasan Kualitas dan Pengembangan Vaksin Virus – Muljati Prijanto
26. Typhoid Vaccines – Nathaniel F. Pierce
28. Gambaran Zat Anti IgG AntiFHA dan Anti Pt pada Bayi setelah Imunisasi
dan pada Anak-anak Penderita Pertusis – Muljati Prijanto, Rini Pangas-
tuti, Siti Mariani S
31. Teknologi Vaksin Vaccinia Rekombinan – Usman Suwandi
34. Efektivitas Imunisasi untuk Menurunkan Angka Kematian dan Penyakit
PD3I di Indonesia – Kusnindar Atmosukarto
Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan
aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang- yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk meng-
bidang tersebut. hindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan
Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated
diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuseripts Submitted
dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan menge- to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh:
nai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London:
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan William and Wilkins, 1984; Hal 174–9.
bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms.
berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mecha-
yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak nisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72.
mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus di- Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin
sertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pem- Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10.
baca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih,
dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.
berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran
Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ P.O. Box 3105
folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih Jakarta 10002
disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pe- Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu
ngarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat secara tertulis.
bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas- Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan
jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.
10-15 Februari 1991 — 13th Asian and Oceanic Congress of Obstetrics and Gyne-
cology
Central Plaza Hotel, Bangkok, Thailand.
Secr.: Prof. Kamheang Chaturachinda
Dept of Obstetrics and Gynekology
Ramathibodi Hospital
Bangkok 10400, THAILAND
20-23 Februari 1991— 2nd Congress Asia Pacific Assn of Soc of Pathologists
Manila, PHILIPPINES
Secr.: Philippines Soc of Pathologists, Inc.
114 Malakas Street, Diliman
Quezon City 1103, PHILIPPINES
ABSTRAK
Pengamatan potensi vaksin polio oral trivalen (tipe Sabin) yang dipakai dalam
program PPI di Indonesia telah dilakukan untuk mengetahui besarnya penurunan titer
vaksin di tingkat Puskesmas, kecamatan, kabupaten, propinsi dan di tempat
penyimpanan vaksin Dit. Jen. P2M PLP, Jakarta.
Selama periode tahun 1983 sampai tahun 1986 telah diperiksa titer virus vaksin
polio yang dikumpulkan secara acak sederhana dari 14 propinsi, 17 kabupaten, 32
Puskesmas/kecamatan dan di pusat penyimpanan vaksin di Jakarta. Pemeriksaan
titer virus vaksin dilakukan dengan metoda uji makro pada biakan jaringan ginjal
kera primer (PMK sel) dengan menghitung TCID50
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada tahun 1983 telah ditemukan 4,3%
dan 4,6% vaksin polio yang tidak memenuhi syarat, dalam tahun 1984 telah ditemu-
kan 4,3% vaksin polio dari tingkat propinsi yang tidak memenuhi syarat. Sedangkan
selama tahun 1986 tidak ditemukan lagi adanya vaksin polio yang tidak memenuhi
syarat baik di tingkat kecamatan, kabupaten, propinsi maupun pada pusat penyimpan-
an vaksin.
HASIL Jumlah 18 15 69 43
Selama tahun 1983, 6 propinsi yang diamati terdiri dari
11 kabupaten dan 23 kecamatan/puskesmas; telah diperiksa Kerusakan 0 (0,0%) 0 (0,0%) 3 (4,3%) 2
(4,6%)
69 sampal vaksin dari tingkat kecamatan, 15 sampel dari
kabupaten, 18 sampel dari propinsi dan sebanyak 43 sampel
dad pusat penyimpanan vaksin di P2M PLP, semuanya ber- Tabel 1a. Jumlah vaksin polio oral yang diamati dan persentase ke-
jumlah 145 sampel. Dari 145 sampel tersebut masing-masing rusakannya berdasarkan tingkatan daerah asanya tahun
terdiri dari 4 nomor batch dari propinsi, 4 nomor batch yang 1984.
sama berasal dari kabupaten, sebanyak 9 nomor batch lain Propinsi (n) Kabupaten (n) Kecamatan (n) Pusat (n)
berasal dari kecamatan dan 12 nomor batch berasal dari
DKI Jaya 5 Jakarta Utara 5 Tg. Priok 5 P2M
tempat penyimpanan vaksin di pusat. Koja 5 PLP 10
Hasil pemeriksaan titer virus menunjukkan adanya 3 Penjaringan 5
nomor batch vaksin yang memiliki titer rendah yang berasal Kal. Tim 1 Banjarmasin 10
dari puskesmas, yaitu batch nomor 283A2; 382A dan 482A2. Kai. Bar 1 Pontianak 4
Demikian pula 2 nomor batch vaksin yang berasal dari pusat Jawa Barat 3 Bekasi 2
penyimpanan vaksin juga telah mengalami penurunan titer Yogya 5
Irian Jaya 5
virusnya, yaitu batch nomor 283A2 dan 383A1. Dalam peng- Lampung 3
amatan tahun ini dapat disimpulkan bahwa terdapat kerusakan Jumlah 23 26 15 10
vaksin sebesar 4,3% di tingkat~kecamatan/puskesmas, sedang-
kan pada pusat penyimpanan vaksin terjadi kerusakan sebesar Kerusakan 1 (4,3%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0
4,6%; secara keseluruhan pada tahun 1983 ditemukan ke- (0,0%)
rusakan sebesar 3,4% dari vaksin yang telah diperiksa.
Selama tahun 1984, telah diterima 74 sampel vaksin yang 105,0/dosis yaitu nomor batch 184A2 yang berasal dari pro-
berasal dari 7 propinsi masing-masing terdiri dari 4 pinsi Lampung. Dalam periode ini dapat dikemukakan bahwa
kabupaten dan 3 kecamatan. Jumlah sampel sebesar 23 sampel terdapat kerusakan vaksin yang berasal dari propinsi sebesar
dari propinsi, 26 sampel berasal dari kabupaten dan 15 sampel 4,3%.
berasal dari kecamatan, sedangkan sisanya 15 sampel berasal Dalam tahun 1986, telah dapat dikumpulkan 29 sampel
dari pusat penyimpanan vaksin. Pemeriksaan titer virus vaksin vaksin yang berasal dad 1 daerah propinsi, 2 kabupaten dan
renunjukkan adanya vaksin yang memiliki titer di bawah 6 daerah kecamatan, yang masing-masing terdiri dari 1 nomor
Tabel lb. Jumlah vaksin polio oral yang diamati dan persentase ke- Gambar 1. Perbandingan kurva persentase kumulatif
rusakannya berdasarkan tingkatan daerah asalnya tahun potensi vaksin polio oral; persentase kumulatif perbaikan
1986. faktor penunjang operasional dan persentase kumulatif
Propinsi (n) Kabupaten (n) Kecamatan (n) Pusat (n) cakupan imunisasi polio (3 dosis) dalam program PPI di
Indonesia sejak tahun 1983-1986.
Yogyakarta 3 P2M PLP 4
Medan 3 Ular Karang 3
Sentosa Baru 3
Pasar Merah 3
Batu Enam 3
Prapat 3
Simalungun 3
Bekasi 1
Jumlah 3 4 18 4
Kerusakan 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0
(0,0%)
1983:
Lokasi 23 11 6 1 41
Nomor batch 9 4 4 12 29
Jumlah vaksin 69 15 18 43 145
Mutu vaksin 100% 100% 95,7% 95,4% 97,8%
1984:
Lokasi 3 4 7 1 15
Nomor batch 1 4 6 2 13
Jumlah vaksin 15 26 23 10 74
Mutu vaksin 100% 100% 95,7% 100% 98,9%
kali dosis dengan jarak waktu pemberian antara 6 — 8 minggu.
Untuk melakukan imunisasi secara demikian di negara-negara
1986: tersebut diperlukan suatu sistem rantai dingin (cold chain)
Lokasi 6 2 1 1 10 untuk mempertahankan vaksin agar dapat berfungsi dengan
Nomor batch 2 2 1 3 8 baik3. Kondisi sistem pendingin ini perlu dipantau melalui
Jumlah vaksin 18 4 5 4 31 pemeriksaan potensi vaksin polio secara berkesinambungan.
Mutu vaksin 100% 100% 100% 100% 100% Demikian pula halnya di Indonesia, pemantauan potensi
vaksin polio yang dipakai dalam program PPI mutlak me-
batch, 2 nomor batch masing-masing berasal dari kabupaten rupakan penunjang bagi berhasilnya program PPIdi Indonesia.
dan kecamatan serta 3 nomor batch lain berasal dari pusat Berdasarkan laporan yang diperoleh dari Dit Jen P2M
penyimpanan vaksin. Hasil pemeriksaan titer virus menunjuk- PLP mengenai Pemantauan Program Imunisasi dapat diketahui
kan tidak satupun nomor batch vaksin yang diperiksa me- bahwa cakupan imunisasi polio (3 dosis) dari tahun 1983
nunjukkan titer virus yang tidak memenuhi syarat, bahkan ter- sampai tahun 1986 ternyata telah dapat ditingkatkan terus
nyata memiliki titer virus yang cukup tinggi, rata-rata men- dari sekitar 8% menjadi 45%, sedangkan dalam tahun 1988
capai 107,0 /ml. ditargetkan akan mencapai 65%. Untuk mencapai target
Dapat ditambahkan pula bahwa dalam pengamatan ini tersebut sudah barang tentu diperlukan suatu akselerasi
temyata ditemukan adanya dua jenis vaksin polio yang ber- melalui .perbaikan berbagai faktor penunjangnya, Faktor
asal dart pabrik yang berbeda, tapi keduanya mengandung penunjang tersebut antara lain adalah : penyediaan vaksin,
strain virus yang serupa (strain Sabin). Kedua jenis vaksin fasilitas sistem pendingin dari tingkat propinsi sampai ke
tersebut adalah produksi Perum Bio Farma di Bandung dan tingkat kecamatan; tidak dapat diabaikan pula adanya tenaga
produksi Smith Kline & French di Belgia, yang ternvata juru imunisasi yang terampil. Untuk mencapai target cakupan
keduanya mengandung titer virus polio tipe 1 sebesar 106,0/ml; sebesar 65% dalam akhir Pelita IV ini, maka telah dilakukan
Polio tipe 2 sebesar 105,0/ml dan Polio tipe 3 sebesar l05,0/ml. peningkatan dana terutama untuk kebutuhan faktor pe-
nunjang operasional, menjadi dua kali lipat4, ditambah lagi
PEMBAHASAN dengan adanya sumbangan vaksin yang berasal dari swasta,
Imunisasi polio di negara berkembang yang terletak di misalnya Rotary Club dan Unicef; dengan tersedianya dana
kawasan tropik benua Asia, Amerika Latin dan Afrika meng- yang cukup, maka pencapaian target cakupan sebesar 65%
alami hambatan antara lain adanya interferensi sesama entero- pada akhir Pelita IV sangat mungkin dapat dicapai.
virus di alam, sehingga imunisasi polio perlu diberikan tiga
Gambar 3. Titer rata-rata vaksin polio oral berdasarkan tingkat daerah asalnya, dalam tahun 1983-1986.
ABSTRAK
Untuk mengetahui sifat keganasan beberapa galur virus polio yang telah diisolasi
dari beberapa daerah, telah dilakukan pengujian rct-40 marker dengan cara meng-
hitung (infektivitas) virus polio tipe 1 pada perlakuan temperatur 40°C dalam biakan
sel ginjal kera primer dengan cara makro.
Sejumlah 27 hasil isolasi virus dari masyarakat sehat dan 8 isolasi dari kasus
tersangka poliomielitis telah diidentifikasi dengan uji netralisasi terhadap pool anti-
serum enterovirus. Pengujian rct-40 marker terhadap virus polio tipe 1 hasil isolasi
di masyarakat dan dari kasus polio ternyata menemukan 3 (tiga) galur ganas virus
polio tipe 1, sedangkan pemeriksaan rct-40 marker pada vaksin polio menunjukkan
basil rct-40 negatif untuk semua nomor batch vaksin yang diuji.
Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui hubungan antara galur ganas dan jinak
virus polio tipe 1 baik yang ada di masyarakat ataupun yang berasal dari kasus polio-
mielitis.
Nathaniel F. Pierce
Research Coordinator, Diarrhoeal Diseases Control Programme, World Health Organization, Geneva
Observation
Number of doses % Efficacy
period (months) CONCLUSION
1 0 - 23 22 Further research is required to define a vaccine that is
2 0 - 23 59
widely suitable for public health use in control of typhoid
24 - 47 11
3 0 - 47 69 fever. The challenge appears to be greatest with regard to immu-
nization of children aged 7 - 14 years in areas where the in-
cidence of typhoid fever is very high. At present, the most pro-
Table 3. Efficacy of Ty2la Vaccine, Plgjn, Sumatra (15 months follow-up) mising approaches to immunization of such high-risk children
appear to be : (1) parenteral Vi vaccine, possibly conjugated to a
% Protection
Age in Years
carrier protein; and (2) Aro-mutants of S. yphi for use as live
Enteric capsule* L i q u i d vaccine* oral vaccines. The parenteral killed typhoid vaccine (especially
the acetone-killed vaccine) is useful for individuals such as
3-6 58 68 travellers and the military, but is not likely to be widely accepted
7-14 16 33 for public health use. The live oral vaccine Ty2la, appears to be
15-44 58 55
useful in populations with a moderate incidence of typhoid fever,
3-44 37 48
especially when multiple doses of the recently developed liquid
formulation are used.
ABSTRAK
PENDAHULUAN terutama aglutinogen 2 dan 3.3 FHA adalah protein yang ber-
Bordetella pertussis adalah kuman penyebab penyakit tanggung jawab untuk perlekatan bakteri pada sel epitel trakhea.4
batuk rejan, yang merupakan penyakit toxin mediated yang PT adalah protein eksotoksin yang mempunyai bermacam-
dimulai oleh kuman B. pertussis yang berlokasi pada silia macam aktivitas, oleh karenanya disebut juga dengan berbagai
dari deretan sel epitel saluran pernafasan. Bakteri hanya nama yaitu : Lymphocytosis Promoting Factor (LPF), Histamin
melekat dan memperbanyak din pada silia dan tidak SensitizingFactor(HSF), Islet ActivatingProtein (IAP) atau Pertus-
menyerang jaringan termasuk darah. Di situ bakteri sigen. Selain itu PT mempunyai aktivitas haemaglutinasi, tetapi
melepaskan eksotoksin yang mengakibatkan hampir semua tidak sama dengan FHA dan mempunyai aktivitas sebagai
gejala penyakit dan menyebabkan kekebalan jangka panjang. ajuvan terutama meningkatkan produksi zat anti IgE.2
Kuman ini tersusun dari bermacam-macam komponen yang Aglutinogen berasal dari fimbria yang menonjol dari per-
memiliki aktivitas biologis, tetapi belum semua dapat dikarak- mukaan sel. Genus Bordetella dikenal mempunyai 12 _agluti-
terisasi dengan baik. Komponen yang paling aktif sebagai nogen yang secara serotipe berbeda. Tipe 1—6 yang umum
antigen protektif adalah filamentous haemaglutinin (FHA) dan terdapat pada B. pertussis.
toksin pertusis (PT) yang telah dibuktikan dengan studi proteksi Kekebalan terhadap penyakit batuk rejan yang diperoleh
pada hewan. Dan kedua komponen tersebut telah dibuat vaksin setelah pemberian imunisasi relatif pendek waktunya, namun
pertusis aseluler.2 Selain itu terdapat Heat Labile Agglutinogen, lama kekebalan dapat diperpanjang dengan adanya booster
ABSTRAK
Dari pengumpulan data sekunder dapat diketahui bahwa jutaan anak-anak di dunia
meninggal dunia akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) setiap
tahun. Program imunisasi di Indonsia, di samping upaya kesehatan lainnya, dapat
menurunkan angka kematian bayi dari 107 permil menjadi 71 permil dalam kurun waktu
1980-1985. Angka kematian kasar (Crude /Death Rate) turun dari 12,1 menjadi 7,0 per
seribu penduduk. Pengaruh cakupan imunisasi campak terhadaa penurunan angka kema-
tian umur 1—14 tahun cukup berarti dengan koefisien kontingensi sebesar 0,4 pada taraf
nyata 0,01. Upaya imunisasi masih merupakan upaya yang efektif untuk menurunkan
angka kematian bayi dan angka kematian kasar, karena 28,5% penyebab kematian bayi
di antaranya karena tetanus 19,7%, difteri dan campak 8,1%, batuk rejan 0,53% dan TB
0,4%.
Keberhasilan program imunisasi diperkirakan dapat menurunkan angka kematian
dari 7,0 menjadi 5,5 per 1000 penduduk.
PENDAHULUAN anak, (2). Mepertahankan apa yang telah dicapai pada tahun
1990 dan meningkatkan cakupan DPT I 90% dan imunisasi
Latar belakang lengkap 80% di masing-masing propinsi dan diharapkan sampai
Program imunisasi di Indonsia dimulai sejak tahun 1956 kecamatano)
dengan melaksanakan vaksinasi cacar di Puiau Jawa, hingga
Indonesia dinyatakan bebas cacar oleh WHO pada tahun 1974. Tujuan pengkajian
Dengan keberhasilan tersebut maka sejak itu dilakukan pula Pengkajian. dilakukan untuk mengetahui efektivitas program
vaksinasi Toxoid Tetanus untuk Ibu Hamil (1974). Vaksinasi imunisasi terhadap penurunan prevalensi penyakit-penyakit yang
DPT dimulai tahun 1976, vaksinasi BCG di tahun 1978. Pengem- bersangkutan dan kematian yang disebabkan oleh penyakit ter-
bangan Program Imunisasi (PPI) secara resmi dimulai tahun sebut.
1977. Vaksinasi Polio dan Campak mulai dikembangkan pada Pengumpulan data
tahun 1980, sehingga pada tahun 1982 program imunisasi telah Data yang dikumpulkan adalah data sekunder berupa hasil-
mencakup 6 jenis antigen yaitu : BCG, DPT, Polio dan Campak. hasil penelitian mengenai penyakit-penyakit yang dapat dicegah
Target Pelita IV ialah cakupan 65% imunisasi lengkap atas dengan imunisasi serta data cakupan imunisasi yang dilakukan
semua bayi. oleh Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan
Sasaran penting dalam Pelita V ialah : (1). tercapainya Uni- Penyehatan Lingkungan Pemukiman, Departemen Kesehatan
versal Child Immunization (UCI) atau imunisasi untuk semua R.I.
Tabel 1. Kelompok diagnosis Penyakit Difteri dan Campak berdasarkan keluhan 1 1-4 5-14 15-54 > 54
per 100.000 penduduk dl 7 Propinsi. Tahun 1986.
Tuberkulosis 0,1 0,6 1,3 6,8 13,8 5,1
Jumlah Penduduk Penderita difterl Difteri, pertusis,
Propinsi disurvai dan Campak Campak 4,1 2,4 2,1 0,1 0,0 1,2
Jumlah Per 100.000 Polio* - - - - - -
orang penduduk Tetanus 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
Penyakit lain 95,8 97,0 96,6 93,1 86,2 93,7
Bali 38.069 38 99,82
Bengkulu 41.357 92 222,45
DI Yogyakarta 41.750 4 9,58 Jumlah 100 100 100 100 100 100
Sulut 41.793 24 57,43
NTB 42.987 21 48,85 Keterangan : • Tidak ada data.
KalBar 43.944 39 88,75 Sumber : Survai Kesehatan Rumah Tangga (L. Ratna Budiarso,1986)
Maluku 41.134 66 159,97 Survai di Propinsi : DJ. Yogyakarta, Bali, Sulu:, Bengkulu, Kalbar, Maluku
dan NTB.
Keterangan :
Sumber :S K R T 1986.
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Tabel 2. Cakupan Imunisasi DPI' dan Campak di 7 propinsi. Tahun1986.
Cakupan program imunisasi telah mencapai rata-rata 59,3%
Jumlah Penduduk Cakupan imunisasi (96) di 7 propinsi, dan padawilayah yang sama di 7 propinsi tersebut
Propinsi disurvai dalam kurun waktu 5 tahun dari 1980-1985, IMR menurun dari
DPT Campak
107 per seribu menjadi 71,6 per seribu.
Bali 69.121 58,5 51,2 Dari tahun 1980 sampai tahun 1985, penderita tuberkulosis
Bengkulu 33.952 46,4 50,1 menunjukkan peningkatan yang lebih besar pada golongan umur
D.I. Yogyakarta 74.742 48,1 47,6 yang lebh tinggi. Sebaliknya kasus penyakit Difteri, Batuk Rejan
Sulawesi Utara 81.382 36,8 33,8 dan Campak cenderung menurun pada kelompok umur yang
NTB 107.471 11,4 33,1
KalBar 93.634 11,7 6,5 lebih tinggi, meningkit pada umur Balita; sehingga cakupan
Maluku 62.529 7,8 4,9 imunisasi pada kelompok ini perlu ditingkatkan.
Proporsi penyakit PD3I ialah 6,45% dari seluruh penyakit
Keterangan : pada tahun 1980 menjadi:6,32% dalam,tahun 1985. Sedangkan
Sumber : Ditjen P3M & PLP Dep. Kes. R.I. & SKRT 1985.
proporsi kem atian disebabkan oleh PD3I ialah 21,4% dari seluruh
kematian bayi dalam tahun 1980, menjadi 28,5%'dalam tahun
Proporsi kematian dari penyakit PD3I terhadap seluruh pe- 1985. Kenaikan disebabkan oleh kematian bayi akibat Campak.
nyebab kematian dapat dilihat dalam Tabel 5, yakni 15,9% Di Indonesia, PD3I masih menjadi masalah kesehatan. Pe-
dalam tahun 1980 dan 22,1% dalam tahun 1985, sedangkan nyakit PD3I menjadi penyebab kematian ± 23,12% dari seluruh
diagnosis penyakit penyebab kematian pada bayi disajikan kematian, diikuti oleh diare (12,84%), penyakit jantung dan
dalam Tabel 6. Dari tabel ini dapat diketahui bahwa pada tahun pembuluh darah (9,75%). Oleh karena itu program imunisasi
1980, 21,8% kematian bayi disebabkan oleh Tetanus, Difteri dan masih merupakan upaya yang paling.efektif untuk menurunkan
Campak, Meningitis menyebabkan 7,5% kematian bayi, 5% di angka kematian,baik Angka Kemtian Bayi (1MR) maupun Angka
Jumlah 615 100 2563 100 2414 100 1221 100 1492 100 1779 100 1693 100 2146 100 14193 100
Keterangan :
Sumber : Dr. Ratna L. Budiarso, MSc, Survai Kesehatan Rumah Tangga 1980. Data Statistik.
Tabel 5. Proporsi kematian akibat penyakit yang dapat dicegah dengan akan dapat diturunkan dari 71 menjadi + 51 per seribu kelahiran,
Imunisasi di Indonesia. Tahun 1980 & 1986.
hidup.
Persentase dari seluruh kematian KEPUSTAKAAN
Penyakit Tahun 1980 Tahun 1986 1. Departemen Kesehatan RI. Petunjuk Pelaksanaan Pengembangan Program
Imunisasi. Jakarta, April 1989.
Tuberkulosis 8,4 8,6 2. L Ratna Budiarso dkk. Survai Kesehatan Rumah Tangga 1986. Badan
Campak 0,3 6,7 Litban Kesehatan Departemen Kesehatan RL 1986.
Tetanus 6,5 6,0 3. Ditjen PPM & PLP, Departemen KesehatAan RL Pemantauan Program
Difteri 0,7 0,4 Imunisasi tahun 1988/1989.
Batuk rejan - 0,4 4. WHO. Imunization, a chance for every child. Geneva: WHO 1987.
Polio - - 5. Abdoerrac'hman dkk. Kumpulan Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Penyakit lain-lain 84,1 77,9 Kedokteran UniversitasIndonesia. FKUI, 1968.
6. Ditjen PPM & PLP Departemen Kesehatan RI. Pemantauan Program
Jumlah : Jmunisasi,1988/1989.
100,0 100,0 7. Ditjen PPM & PLP Departemen Kesehatan RI. Pelaksanaan Imunisasi.
Modul lātihan petugas imunisasi modul 8. 1989.
Keterangan :
8. Ratna L. Budiarso. Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1980. Data
Sumber : SKRT (L. Ratna B udiarso dkk,1986).
Tabel 6. Kematian menurut golongan umur dan beberapa tingkat cakupan imunisasi campak di 7 Propinsi. Tabun 1985/1986.
Cakupan Ball Bengkulu DIY Sulut NTB KalBar Maluku
Imunisasi Jumlah
51% 50,1% 41,6% 33,8% 33,1% 6,5% 4,9%
Umur n 96 n % n % n % n % n % n % n %
< 1 th 47 27,1 92 76,0 20 27,0 49 52,2 170 120,9 112 72,9 81 66,0 571 71,8
1 - 4 th 9 2,6 87 18,0 6 2,0 15 3,8 68 13,7 81 15,2 58 11,4 324 10,6
5 - 9 th 1 0,2 24 4,0 1 0,3 8 1,4 19 3,0 19 2,8 17 2,7 89 2,3
10 - 1 4 th 1 0,2 4 0,7 0 0,0 8 1,4 10 1,6 9 1,5 3 0,5 35 0,9
> 15 th 139 21,8 111 20,6 135 20,1 153 23,1 162 19,5 162 27,7 152 23,7 1036 22,3
Jumlah 165 4,0 197 5,1 233 5,6 337 8,2 383 8,7 311 7,2 429 10,0 2055 7,0
Keterangan :
Sumber : SKRT 1986 (2) dan Ditjen PPM & PLP Dep. Kes. RI.
Statistik DepartemenKesehatan RI. Badan LitbangKesehatan Puslit Ekologi
Kesehatan, Jakarta, 1980.
9) Nasution MS. dkk. Vaccine Production and Immunization Progamme in
Kematian Kasar (CDR) karena 28,5% IMR disebabkan karena South East Asia resent status and prospects. SEAMIC Workshop, Tokyo.
penyakit PD3I. Angka kematian kasar pada tahun 1985 ialah 7,0 1986.
per seribu penduduk(2), sedangkan angka kematian bayi (AKB) 10) Sujana. Metoda Statistik. Bandung: Taraito 1982.
an asam-basa serebral. pemeriksaan pH LSS memegang pe- asidosis respiratorik. Alkalosis karena hiperventilasi dan pe-
ranan penting5. nurunan tekanan CO2 darah dinamakan alkalosis respiratorik.
Di samping itu, proses biokimiawi serebral regional juga Oleh karena sistem respiratorik secara cepat dapat mengubah
mempengaruhi lumen arteri serebral. Dalam lingkungan pH darah, maka sistem ini sering dikerahkan untuk membuat
kadar CO2 yang tinggi seperti misalnya pada hipekapnia, penyesuaian segera terhadap perubahan pH yang sering di-
terjadi vasodilatasi dan peningkatan cerebral blood flow timbulkan oleh sebab-sebab metabolisme daripada sebab-
(CBF) karena tahanan serebrovaskuler yang menurun. Vaso- sebab respiratorik. Penyesuaian kembali pH oleh sistem
dilatasi maksimal terjadi pada pCO2 (PaCO2) lebih dari respiratorik berlangsung cepat, tetapi tidak sempurna. Se-
80 mmHg. Setiap mmHg peningkatan atau penurunan pCO2 baliknya, mekanisme ginjal dapat menyesuaikan kembali
akan mengakibatkan peningkatan atau penurunan CBF se- pH secara sempurna, tetapi kerjanya lambat9.
banyak 4%. Sedangkan dalam lingkungan dengan kadar CO2
1) Asidosis respiratorik.
yang rendah seperti misalnya pada hipokapnia selama hiper-
Disebabkan oleh peningkatan reaktif asam karbonat di-
ventilasi, terjadi vasokonstriksi dan CBF akan menurun.
bandingkan dengan bikarbonat. Keadaan ini dapat terjadi
Pada P a CO 2 20—25 mmHg, CBF akan turun sekitar 40%.
pada setiap penyakit yang mengganggu pernafasan, misalnya:
Di samping pengaruh CO2, juga diketahui adanya pe-
bronkiolitis, pneumonia, emfisema, fibrosis pulmonum, ke-
ngaruh O2 terhadap CBF. Tekanan O2 yang rendah, seperti
gagalan kongesti, edema pulmonum, COPD (penyakit paru
misalnya pada keadaan hipoksia atau anoksia akan menim-
obstruktif kronik), obstruksi saluran pernafasan, adult res-
bulkan vasodilatasi dan bertambahnya CBF. Vasodilatasi
piratory distress syndrome, gangguan neuromuskuler (mis.
maksimal terjadi pada pO2 kurang dari 25 mmHg. Sedang-
sindrom Guillain-Barre, tetanus, miastenia gravis, poliomie-
kan tekanan O2 yang meningkat akan mengakibatkan vaso-
litis), atau depresi SSP/pusat pemafasan (mis. dosis obat
konstriksi dan berkurangnya CBF.
yang berlebihan, lesi struktural). Respirator yang tidak ber-
Konsentrasi ion hidrogen juga mempunyai pengaruh ter-
fungsi dengan baik dapat pula membantu menimbulkan
hadap CBF. Pada keadaan asidosis, akan terjadi vasodilatasi
asidosis respiratorik.
dan peningkatan CBF; sedangkan pada keadaan alkalosis,
Asidosis respiratorik itu akan mengakibatkan asidosis
akan terjadi vasokonstriksi dan penurunan CBF. Asam laktat
di LSS. Keadaan ini akan .merusak sawar darah otak dan
yang dihasilkan melalui metabolisme anaerob di daerah otak
mengakibatkan edema otak.
yang mengalami hipoksia berat akan mengakibatkan vaso-
dilatasi, bahkan bila hebat dapat terjadi vasoparalisis5,13-15.
2) Alkalosis respiratorik.
Terjadi bila terdapat penurunan I'raksi asam karbonat
ASIDOSIS DAN ALKALOSIS RESPIRATORIK. tanpa perubahan bikarbonat. Ini dapat timbul pada hiper-
Asidosis karena ventilasi yang berkurang (hipoventilasi) ventilasi, bisa terjadi dengari sendirinya maupun yang di-
dan sebagai akibatnya tekanan CO 2 darah naik dinamakan paksa. Sebagai contoh adalah: hiperventilasi histerik, ansietas,
Reflinar Rosfein
Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Departemen Kesehatan R.I., Jakarta
PENDAHULUAN
Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (1973—
Dengan meningkatnya harapan hidup (life expectancy) dan 1979), kanker kulit menduduki urutan pertama dari lima
menurunnya kematian akibat penyakit menular, dapat di- kanker terbanyak pada pria dan urutan ke empat (7,2%)
perkirakan bahwa penyakit kanker dan penyakit penyakit pada wanita4. Pada tahun (1977-1981) kanker kulit di
tidak menular lainnya akan meningkat. Dalam Survai Ke- Bagian Patologi, Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas
sehatan Rumah Tangga yang diselenggarakan Badan Peneliti- Hasanuddin menduduki urutan pertama (12,8%) dari lima
an dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, kanker terbanyak pada pria dan urutan ke empat (7,1%) dari
RI ditemukan bahwa 1,4% dari semua kematian pada tahun lima kanker terbanyak pada wanitas. Pada umumnya kanker
1972 disebabkan kanker, angka tersebut meningkat menjadi kulit dari tahun 1973 - 1981 menduduki-urutan pertama
3,4% dan pada tahun 1986 menjadi 4,3%1. sampai ke lima di tiap-tiap Bagian Patologi Anatomi Fakultas
Masalah kanker dewasa ini makin menarik perhatian dengan Kedokteran di seluruh Indonesia. Ini berlaku bagi pria mau-
bertambah banyaknya jumlah kasus yang dikenal akibat ber- pun wanita.
bagai kemajuan yang dicapai di bidang ilmu dan teknologi, Dalam upaya mendapatkan data kanker yang lebih lengkap
khususnya kedokteran; kemajuan dalam caracara diagnostik guna menyempurnakan pencatatan kanker telah dilakukan
dan terapi telah menunjukkan bahwa penyakit kanker tidak registrasi kanker pathology-based yang dikoordinir oleh Pusat
selalu berakhir dengan kematian, di antaranya kanker kulit. Penelitian Penyakit Tidak Menular, Badan Penelitian dan Pe-
Kanker kulit merupakan kanker yang mudah dideteksi, ngembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan R.I. Dalam
karena mudah diamati. Sedikit sekali dari kanker ini yang makalah ini dilaporkan hasil registrasi khusus mengenai kanker
bermetastasis atau berakhir dengan kematian (Dunn et al. kulit. Diharapkan bahwa data ini dapat memberikan gambaran
1965). Di negeri Belanda angka mortalitas tumor kulit hanya mengenai besarnya masalah kanker kulit di Indonesia pada
mencapai 1% dari mortalitas kanker total2. tahun 1983.
Frekuensi relatif kanker kulit tinggi pada populasi-populasi
di daerah subtropik yang berpigmen kulit sedikit (Australia, BAHAN DAN CARA KERJA
Selandia Baru, Afrika Selatan) dan hampir semua tumor kulit Untuk keperluan tersebut dibuat formulir yang disesuaikan
lebih banyak ditemukan pada golongan kulit putih daripada dengan petunjuk dari WHO (IARC). Data diambil dari Bagian
kulit berwarna. Pada akhir abad XIX diajukan pendapat bahwa Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran dan Rumah Sakit.
pajanan (exposure) yang sering dan berkepanjangan terhadap Data bagian tersebut dianggap dapat dipercaya diagnosisnya
sinar matahari menyebabkan timbulnya kanker kulit terutama serta laboratoriumnya lebih terkoordinasi. Pelaksanaan regis-
pada bagian tubuh yang tidak tertutup. Terlebih lagi hal trasi dilakukan oleh Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular,
tersebut akhir-akhir ini dikaitkan dengan makin menipisnya Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen
lapisan ozon akibat penggunaan zat khlorofluorokarbon Kesehatan. Walaupun demikian sebenarnya data tersebut
sehingga intensitas sinar ultraviolet menjadi lebih tinggi. belum mencerminkan keseluruhan pola kanker dalam masya-
Di Indonesia tingginya frekuensi kanker kulit dinyatakan rakat. Incidence rate tidak dapat dihitung dari registrasi ini
oleh Vos pada tahun 19323. Angka-angka mengenai kanker namun frekuensi relatif atau minimum incidence rate masih
kulit di Indonesia yang dipublikasikan menunjukkan bahwa dapat diketahui.
frekuensinya masih cukup menonjol. Di Bagian Patologi Data dari tahun 1983 yang dicatat dalam formulir yang
Tabel 5. Frekuensi relatif kanker kulit (ICD 173) pads Wanita di 15 Pusat Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran dan Rumah Sakit
tahun 1983 menurut Klasifikasi Usia 5 tahun.
No. Lab. P.A. F.K./ Kota T 0- 5- 1 0 - 1 5 - 20- 25- 3 0 - 35- 4 0 - 4 5 - 5 0 - 5 5 - 6 0 - 6 5 - 7 0 - 75 - 80 - 85 - Jml
Rumah Sakit
1. Unsrat Manado 1 1 2 1 4 3 1 1 1 1 16
2. Unhas Uj. Pandang 1 1 2 2 5 3 3 4 2 23
3. Udahaya Bali 2 1 1 4 1 6 1 2 2 20
4. Darma Usada Solo 1 1 1 1 1 2 1 8
5. Unair Surabaya 1 1 1 1 3 2 2 3 1 16
6. Unibraw Malang 1 1 1 4 1 3 4 6 1 22
7. Unpad Bandung 1 2 3 2 5 3 9 6 12 3 3 1 2 52
8. RSPP Jakarta 1 1 1 2 5
9. RSGS Jakarta 1 1 3 1 1 1 1 2 11
10. Sebelas Maret Solo 1 1 2 7 1 1 1 14
11. Undip Semarang 3 2 2 2 2 11
12. UGM Yogyakarta 1 2 1 2 1 1 3 8 4 6 1 1 1 1 39
13. USU Medan 1 1 1 4
14. Unsri Palembang 1 3 2 1 7
1
15. Unand Padang 1 1 1 1 3 2 4 1 1 3 1 20
Jumlah 9 1 2 5 2 6 5 9 14 31 23 47 25 43 13 22 4 5 2 268
Tabel 6. Perbandingan Penderita kanker kulit menurut jenis Kelamin tiap-tiap laboratorium Patologi Anatomi dan Rumah Sakit,
(pria/wanita) di 15 Pusat Patologi Anatomi Fakultas Ke- kanker kulit paling tinggi pada laboratorium Patologi Anatomi
dokteran dan Rumah Sakit tahun 1983.
Universitas Samratulangi Manado (13,7%), urutan ke dua ter-
No. Lab. P.A. F.K./ Kota Pria Wanita Sex Ratio banyak pada Universitas Hasanuddin Ujung Pandang (10,7%).
1 Rumah Sakit Pada penelitian terdahulu kanker kulit pria banyak ditemu-
1. Unsrat Manado 12 16 0,75 kan di Manado, Ujung Pandang dan Universitas Andalas
2. Unhas Uj. Pandang 30 23 1,3 Padang (10,5%). Dilihat dari hasil penelitian ini tidak banyak
3. Udayapa Bali 22 . 20 1,1 .
4. Darma Usada Solo 9 8 1,1
terdapat perbedaan dengan hasil penelitian terdahulu (2.1).
5. Unair Surabaya 17 16 1,06 Dilihat dari penyebaran umur, kanker kulit pada pria
6. Unibraw Malang 21 22 0,95 maupun wanita banyak ditemukan pada usia antara 40 - 64
7. Unpad Bandung 54 52 1,04 tahun, hal ini tidak jauh berbeda dengan penelitian terdahulu
8. RSPP Jakarta 1 5 0,2 (35 - 75 tahun). Jumlah terbanyak pada umur 50 - 64 tahun,
9. RSGS Jakarta 16 11 1,4 juga tidak jauh berbeda dengan penelitian terdahulu.
10. Sebelas Maret Solo 7 14 0,5
11. Undip Semarang 7 11 0,6
Tingginya frekuensi relatif kanker kulit di Pusat Patologi
12. UGM Yogyakarta 30 39 0,77 Anatomi Unsrat Manado, Pusat Patologi Anatomi Universitas
13. USU Medan 4 4 1,0 Hasanuddin Ujung Pandang, dan Pusat Patologi Anatomi
14. Unsri Palembang 9 7 1,3 Universitas Andalas Padang, mungkin disebabkan karena
15. Unand Padang 19 20 0,95 daerah ini letaknya lebih dekat ke garis katulistiwa; kemung-
Jumlah 258 268 0,96 kinan ini masih perlu diteliti lebih lanjut, sejalan dengan
Suhardjo
Laboratorium Ilmu Penyakit Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada
UPF Penyakit Mata RSVP Dr Sardjito, Yogyakarta
ABSTRACT
Until recently the causes of uveitis is still difficult to determine. One of the cause
of posterior uveitis is toxoplasmosis. Some of toxoplasmic posterior uveitis can extend to
the anterior segment, resulting panuveitis or uveitis. The pathogenesis of uveitis is
a phenomena of hypersensitivity against Toxoplasma gondii antigen and necrotic tissues
reaction caused by destructive effect of this protozoa.
Two cases of toxoplasmic uveitis extended from posterior uveitis was reported.
Thefirst patient showedpseudocoloboma in the chorioretinal region. One of them was
associated by vitreous opacity. The diagnosis of toxoplasmic uveitis, need serologic test as
a diagnostic support. Corticosteroid and toxoplasmostatic drug therapy gave a good
result although the visual prognosis in these cases were relatively poor.
Key Words : toxoplasmic uveitis - hypersensitivity reaction - chorioretinal lesion -
vitreous opacity - visual prognosis.
ABSTRAK
Intal®
* Para pembaca yang berminat mendapatkan naskah lengkap – dalam jumlah terbatas – dapat diminta melalui
alamat redaksi.
1. Efektivitas imunisasi polio tidak dipengaruhi oleh : c) Diberikan pada bulan September sampai Maret.
a) Jenis vaksin. d) Diberikan secara suntikan.
b) Cara penyimpnana vaksin. e) Kualitas vaksin yang baik.
c) Saniatsi lingkungan. 7. Faktor yang mempengaruhi konsentrasi H+ ialah sebagai
d) Infeksi enterovirus lain. berikut, kecuali :
e) Semua salah. a) Produksi asam lambung.
2. Program Pengembangan Imunisasi tidak mencakup penya- b) Latihan otot yang berat.
kit : c) Muntah.
a) Hepatitis. d) Hiperventilasi.
b) Campak. e) Tanpa kecuali.
c) Tuberkulosis. 8. Parameter penting dalam penanganan gangguan asam-baasa
d) Tetanus. adalah sebagai berikut, kecuali :
e) Difteri. a) Nilai bikarbonat.
3. Kelemahan killed vaccine tidak termasuk hal-hal di bawah b) Nilai kalium.
ini : c) Nilai natrium.
a) Risiko adanya virus virulen. d) Nilai Hb.
b) Memerlukan booster. e) pH darah.
c) Diberikan per oral.
d) Risiko hipersensitivitas. 9. Vaksin dapat berasala dari bahan di bawah ini, kecuali :
e) Semua termasuk. a. Kuman yang dilemahkan.
4. Pembentukan zat anti setelah imunisasi tidak dipengaruhi b. Kuman yang dimatikan.
oleh : c. Eksotoksin kuman.
a) Saat pemberian. d. Endotoksin kuman.
b) Dosis. e. Tanpa kecuali.
c) Cara pemberian. 10. Hal-hal yang dapat menghambat pelaksanaan program
d) Jenis vaksin. imunisasi adalah sebagai berikut, kecuali :
e) Semua mempengaruhi. a. Luasnya daerah cakupan.
5. Hal yang tidak termasuk persyaratan WHO mengenai vaksin b. Terbatasnya tenaga juru imunisasi.
yang baik : c. Masalah rantai dingin.
a) Poten. d. Pemberian vaksin yang harus diulang.
b) Aman. e. Tanpa kecuali
c) Tidak mengandung virus.
d) Bersifat asing.
e) Tidak menimbulkan reaksi samping.
6. Vaksinasi polio sebaiknya dilakukan sebagai berikut, ke-
cuali :
a) Diberikan sebelum usia 2 tahun.
b) Dapat diberikan dalam dua dosis.