You are on page 1of 61

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

No.66 Imunisasi (II)


Daftar Isi :
2. Editorial

4. English Abstract

Artikel :
5. Imunisasi Poli dan Permasalahannya – Eko Rahardjo
10. Pengamatan Potensi Vaksin Polio yang Dipakai dalam Pengembangan
Program Imunisasi di Indonesia – Djoko Yuwono, Gendrowahyuhono,
Bambang Heriyanto, Suharyono Wuryadi
15. Sifat Kinetik Virus Polio di Indonesia, Pemeriksaan Rct-40 Marker Virus
Polio Tipe 1 – Djoko Yuwono, Gendrowahyuhono
18. Pengembangan Program Imunisasi di Jawa Timur – M. Faried K, Hanny
Roespandi, Sri Prihartini
22. Pengawasan Kualitas dan Pengembangan Vaksin Virus – Muljati Prijanto
26. Typhoid Vaccines – Nathaniel F. Pierce
28. Gambaran Zat Anti IgG AntiFHA dan Anti Pt pada Bayi setelah Imunisasi
dan pada Anak-anak Penderita Pertusis – Muljati Prijanto, Rini Pangas-
tuti, Siti Mariani S
31. Teknologi Vaksin Vaccinia Rekombinan – Usman Suwandi
34. Efektivitas Imunisasi untuk Menurunkan Angka Kematian dan Penyakit
PD3I di Indonesia – Kusnindar Atmosukarto

38. Masalah Gangguan Asam Basa dan Beberapa Pandangan di Bidang


Neurologi – A.A.Bgs.Ngr.Nuartha
46. Kanker Kulit di Limabelas Pusat Patologi Fakultas Kedokteran dan
Rumah Sakit di Indonesia Tahun 1983 – Reflinas Rosfein
50. Uveitis Toxoplasmika - Suhardjo
53. Frekuensi Mikobakteria Atipik pada Penderita Tuberkulosis Paru di Sumatera
Barat – Misnadiarly, Cyrus H. Simanjuntak

55. Informasi Obat : Intal – Arini Setiawati

57. Humor Ilmu Kedokteran


58. Abstrak - abstrak.
60. RPPIK.
Edisi Cermin Dunia Kedokteran untuk tahun 1991 dibuka dengan lanjutan
pembahasan mengenai Imunisasi sebagai salah satu upaya mencapai Health for
All by the year 2000 seperti yang telah dicanangkan oleh WHO beberapa waktu
yang lalu.
Beberapa pembahasan mengenai imunisasi polio diikuti dengan beberapa
artikel yang meneliti efektivitas imunisasi di lapangan, dilihat dari perubahan
angka kejadian penyakit-penyakit yang dapat dilindungi oleh imunisasi; selain
itu teknologi pengembangan vaksin baaru juga tidak ketinggalan untuk dibahas.
Artikel tambahan yang juga penting ialah pembahasan mengenai masalah
gangguan asam-basa;sesuatu yang kelihatannya rumit dan kadang-kadang ku-
rang dipahami oleh para klinisi.
Selamat Tahun Baru 1991, semoga tahun ini membawa keberhasilan bagi
para sejawat sekalian.
Redaksi

2 Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991


International Standard Serial Number: 0125 – 913X

PENANGGUNG JAWAB/ REDAKSI KEHORMATAN


PIMPINAN UMUM
Dr Oen L.H
– Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro – Prof. DR. B. Chandra
PEMIMPIN REDAKSI Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf
Dr Budi Riyanto W Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga,
Jakarta. Surabaya.
PEMIMPIN USAHA
Dr Hari Tanudjaja
– Prof. Dr. R.P. Sidabutar – Prof. Dr. R. Budhi Darmojo
PELAKSANA Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam
Sriwidodo Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro,
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Semarang.
ALAMAT REDAKSI Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Majalah Cermin Dunia Kedokteran Jakarta.
P.O. Box 3105 Jakarta 10002
– Prof.Dr.Sudarto Pringgoutomo
Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi
Telp. 4892808 – Drg. I. Sadrach Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Lembaga Penelitian Universitas Trisakti,
Jakarta
NOMOR IJIN Jakarta
151/SK/DITJEN PPG/STT/1976
Tanggal 3 Juli 1976
PENERBIT
Grup PT Kalbe Farma REDAKSI KEHORMATAN
PENCETAK
PT Midas Surya Grafindo – DR. B. Setiawan – DR. Arini Setiawati
– Drs. Oka Wangsaputra – Drs. Victor Siringoringo
– DR. Ranti Atmodjo – DR. Susy Tejayadi

PETUNJUK UNTUK PENULIS

Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan
aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang- yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk meng-
bidang tersebut. hindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan
Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated
diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuseripts Submitted
dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan menge- to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh:
nai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London:
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan William and Wilkins, 1984; Hal 174–9.
bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms.
berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mecha-
yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak nisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72.
mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus di- Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin
sertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pem- Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10.
baca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih,
dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.
berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran
Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ P.O. Box 3105
folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih Jakarta 10002
disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pe- Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu
ngarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat secara tertulis.
bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas- Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan
jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis


dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat
kerja si penulis.
English Abstract
ASSESSMENT ON POTENCY OF TYPHOID VACCINES IgG ANTI FHA AND ANTI PT PRO-
SABIN TYPE ORAL-POLIO-VAC- Nathaniel F. Pierce FILES IN IMMUNIZED BABIES AND
CINE USED IN AN EXPANDED Research Coordinator, Diarrhea/ IN POST-PERTUSSIS CHILDREN
PROGRAMON IMMUNIZATION IN Diseases Control Program, World Muljati Prijanto, Rini Pangastuti,
INDONESIA Health Organization, Geneve. Siti Mariani S.
Djoko Yuwono, Gendrowahyu- Research Centre on Communi-
Typhoid fever remains a pro-
hono, Bambang Heriyanto, cable Diseases, Health Research
blem in most developing coun-
Suharyono Wuryadi. and DevelopmentBoard, Depart-
tries. Among different ap-
Research Centre of Communi-
proaches, immunization is one of ment of Health, Republic of Indo-
cable Disease, Health Research nesia, Jakarta.
the efforts in controlling the di-
and Development Board, Depart-
sease. A preliminary study was car-
mentofHealth, Republic of Indo-
ried out to compare titres of IgG
nesia, Jakarta. Three approaches to immuni-
An assessment bn the potency anti FHA, IgG anti PT and aglut-
zation against typhoid fever were
of Sabin type oral-polio-vaccine tinin in healthy babies who had
studied: (1) classical typhoid
used in an Expanded Program, on received full DPI immunization
vaccine obtained from killed
Immunization was carried out in and in children after pertussis in-
whole cell, used parenterally; (2)
order to detect possible titre re- fection.
oral vaccine based on attenu-
duction. Samples of vaccines ated live S. typhi; (3) parenteral The groups consisted of 10
were obtained from Puskesmas, vaccine composed of purified Vi healthy 2-3 months old babies
districts, regions, provinces and capsular polysaccharide. and 19 children after pertussis
from the central storage. Each of the vaccines was infection. IgG anti FHA and IgG
From 1983 - 1986, measure- proven to be effective; however, anti PT were measured using the
ments were performed on each has its limitations. ELISA method and anti agglutinin
samples randomly taken from 14 Cermin Dun/a Kedokt. 1991; 66:26-7 was determined by the microag-
provinces, 17 regions, 32 Pus- brw/olh glutination method.
kesmas/districts and from the This study showed that the titre
central storage at the Department of IgG anti FHA were higher in the
of Health in Jakarta.Samples were post-pertussis group. The titre of
assessed according to the ma- IgG anti PT increased after each
cro method using primary mon- immunization; the percentages
key-kidney-cells culture by count- of babies with positive IgG anti PT
ing the TCID50. were respectively 40%, 50% and
The results showed that in 1983, 100% after the first, second and
the titre of 4,3% of the polio vac- third DPT immunization, while only
cines In districts storages and 4,6% 50% of the pertussis infected chil-
of the polio vaccine in the cen- dren had the antibody.
tral storage were below the stan- Further investigations are still in
dard limit, while in 1986, the titre progress in order to obtain a more
of all polio vaccines obtained complete picture on the immu-
from different sources were well nity against pertussis.
above the standard limit
Cermin Dunia Kedokt. 1991;66:10-4 Cermin Dunia Kedokt. 1991; 66:28-30
brw/olh brw/olh

4 Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991


Imunisasi Polio
dan Permasalahannya
Eko Rahardjo
Pusat PenelitianPenyakitMenular Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan R.I., Jakarta

PENDAHULUAN 1986 jumlah anak yang mendapatkan vaksinasi polio dosis 1


Sejak Badan Kesehatan Dunia (WHO) memasukkan imuni- kali 3.312.000 atau 64% dari seluruh anak usia vaksinasi,
sasi polio ke dalam Pengembangan Program Imunisasi (PPI) sedangkan yang mendapat 2 dan 3 kali dosis masing-masing
a t e lebih dikenal sebagai EPI (Expanded Programme on 2.723.000 serta 2.303.000 atau 52% dan 46%3.
Immunization), dari tahun ke tahun kasus poliomielitis di Target cakupan imunisasi polio sampai akhir PELITA IV
seluruh dunia berkurang. Laporan dari WHO menyebutkan adalah 65% dari seluruh anak usia vaksinasi. Gambar 1 mem-
bahwa tahun 1981-1983, di 123 negara dari 6 wilayah WHO, perlihatkan cakupan imunisasi polio dari tahun 1980 sampai
kasus poliomielitis berkurang dari 33.919 kasus (1981) men- tahun 1986. Kenaikan cakupan dari tahun 1981 sampai tahun
jadi 25.464 kasus (1983)'. Pada ulang tahunnya yang ke 35 1986 secara keseluruhan untuk dosis 1 kali adalah 63,1%
(1983), WHO mencanangkan suatu motto yaitu "sehat bagi dengan rincian kenaikan 1,1% (1981), 6% (1982), 8%(1983),
semuanya pada tahun 2000" (health for all by the year 2000), 2% (1984), 27% (1985) dan 19% (1986). Kenaikan cakupan
hal ini tentu berarti pula hilangnya poliomielitis; menghilang- imunisasi dosis 2 kali selama 6 tahun mencapai 51,4%. Per-
kan poliomielitis pada tahun 2000 telah disebutkan di dalam sentase kenaikan untuk tahun 1981 adalah 0,4%, 4% tahun
dekiarasi Talloires2. 1982, 4% tahun 1983, 7% tahun 1984, 17% tahun 1985 dan
Program imunisasi polio di Indonesia dimulai sejak tahun 19% tahun 1986. Kenaikan cakupan imunisasi lengkap selama
1980. Walaupun cakupan imunisasi polio tahun 1981—1983 6 tahun ada 45,8% dengan rincian tiap tahun 0,6% (1981),
masih rendah, yaitu 0,8% imunisasi lengkap (dosis 3 kali) 2,2%-(1982), 3% (1983), 4% (1984), 14% (1985) dan 22%
padsa tahun 1981 dan 6% pada tahun 1983, namun menurut (1986).
laporan WHO, kasus poliomielitis menurun dad 941 (1981) Gambar 1. Cakupan imunisasi polio tahun 1980-1986.
menjadi 57 (1983)'. Penghapusan poliomielitis di Indonesia
pada akhir abad ke 20 tergantung pada peningkatan cakupan
imunisasi polio, peningkatan perbaikan sanitasi lingkungan
dan peningkatan gizi keluarga. Hal-hal tersebut bisa terlaksana
bila didukung antara lain oleh kenaikan pendapatan perkapita,
perbaikan serta perluasan pelayanan kesehatan. Dukungan
instansi terkait dari tingkat pusat sampai tingkat desa dari
Departemen Dalam Negeri, Departemen Penerangan, Depar-
temen Agama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Organisasi-organisasi kemasyarakatan dan tokoh-tokoh masya-
rakat sangatlah diperlukan. Namun yang paling penting adalah
kesadaran dan peran serta masyarakat.
CAKUPAN IMUNISASI POLIO
Pada awal program imunisasi polio (1980), cakupannya
masjh sedemikian rendah yaitu sekitar 47.000 anak (0,9%)
untuk dosis 1 kali, 32.000 (0,6%) untuk dosis 2 kali dan
11.000 anak (0,2%) untuk dosis 3 kali3. Sampai akhir tahun

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 5


Keberhasilan peningkatan cakupan imunisasi adalah cermin Gambar 2. Perbandingan hasil cakupan .imunisasi polio lengkap
dari hasil kerjasama vertikal dan intersektoral yang baik. antara Thailand dan Indonesia tahun 1 9 8 0 - 1 9 8 6 .
Jajaran Departemen Kesehatan dari tingkat pusat sampai
kabupaten-kabupaten di seluruh Indonesia, didukung oleh
5.553 puskesmas dan sekitar 200.000 posyandu, bekerja
sama dengan jajaran Departemen Dalam Negeri dari tingkat
pusat sampai tingkat pemerintahan desa. Cakupan imunisasi
polio lengkap tertinggi dicapai oleh Propinsi Bengkulu yaitu
70% dan kenaikan cakupan imunisasi polio lengkap Propinsi
Jambi naik 52% (6% pada tahun 1985 menjadi 5'8% pada
tahun 1986)3
Peranan Departemen Penerangan dan media massa juga
sangat membantu peningkatan cakupan imunisasi. Beberapa
surat kabar dan majalah menyediakan rubrik khusus kesehat-
an yang kadang-kadang memuat artikel tentang imunisasi.
Selain itu organisasi kemasyarakatan PKK tidak diragukan
lagi peranannya dalam mendukung program imunisasi. Peng-
hargaan UNICEF kepada team penggerak PKK dikenal se-
bagai Maurice Pate 88 baru-baru Mi., merupakan pengakuan
internasional atas peranan PKK dalam mendorong peningkat- PENGARUH IMUNISASI TERHADAP KASUS POLIO-
an kesejahteraan ibu dan anak di Indonesia. MIELITIS
Tanpa mengurangi penghargaan atas usaha instansi-instansi,
organisasi-organisasi kemasyarakatan dan tokoh-tokoh in- Kasus poliomielitis di Indonesia menurut WHO, tahun
formal dalam meningkatkan cakupan imunisasi, sebetulnya 1981 sampai tahun 1983 bertuput-turut dijumpai 941 (1981),
cakupan imunisasi lengkap 46% (polio) masih di bawah cakup- 218 (1982) dan 57 kasus (1983)1. Sedangkan menurut Depar-
an rata-rata di seluruh dunia yaitu 55%4 namun pencapaian temen Kesehatan, kasus poliomielitis dari tahun 1981 sampai
Indonesia ini masih di atas rata-rata pencapaian regional tahun 1986 adalah sebanyak 160 (1981), 88 (1982), 102
Asia Tenggara (pernbagian wilayah menurut WHO) yang hanya (1983), 86 (1984), 76 (1985) dan 32 (1986)3. Perbedaan
meliputi 41%. data yang disajikan oleh WHO dan Departemen Kesehatan
Di antara 3 negara anggota ASEAN yang berpenduduk ini menunjukkan belum sempurnanya sistim pelaporan rumah
banyak (Indonesia, Filipina, Thailand), ternyata Indonesia sakit sentinel3 , namun baik dari laporan WHO maupun Depar-
sampai akhir tahun 1986 paling rendah persentase cakupan temen Kesehatan kasus poliomielitis menunjukkan ke-
imunisasinya, sedangkan Filipina dan Thailand pada tahun cenderungan menurun. Terlihat ada perbandingan terbalik
yang sama sudah mencapai 55% dan 69%4'5. Walaupun begitu antara cakupan vaksinasi polio dengan kasus poliomielitis;
jumlah anak-anak Indonesia yang divaksinasi masih lebih makin tinggi cakupan vaksinasi polio makin sedikit kasus
banyak daripada jumlah anak gabungan ke 5 negara anggota
poliomielitis. Pengamatan dari 2 negara (Columbia dan
ASEAN lainnya yang divaksinasi.
Pada Gambar 2 diperlihatkan perbandingan persentase Mexico) juga menunjuklan hal yang sama5. Di negara-negara
cakupan vaksinasi polio lengkap antara Indonesia dan Thailand yang termasuk dalam regional Eropa cakupan imunisasi
selama 7 tahun (1980—1986). Di sin terlihat vaksinasi polio polio lengkap sudah mencapai rata-rata 90%, dari 831 juta.
lengkap di Indonesia pada tahun 1980 masih amat rendah lebih penduduk4 (tahun 1983), kasus poliomielitis tahun
(0,2%) sedangkan di Thailand pada waktu bersamaan sudah 1981 hanya 376, tahun 1982, 366 kasus dan tahun.1983
mencapai sekitar 18%. dijumpai 217 kasus, dari 217 kasus itu 165 di antaranya
Pada tahun 1986, anak-anak yang divaksinasi sudah 46% ditemukan di Turki dan 25 ditemukan di Spanyol, sedang
dari seluruh anak usia vaksinasi (naik 45,8%) dan di Thailand di negara Eropa lainnya hanya sekitar 0—8 kasusl. Cakupan
juga naik menjadi 69% lebih (naik 41%). Rupanya tidak hanya imunisasi polio di Turki tahun 1986 baru 45%4.
Indonesia saja yang ay if menaikkan cakupan imunisasi namun Walaupun cakupan imunisasi lengkap di Indonesia pada
juga Thailand terbukti selama 7 tahun program imunisasi tahun 1983 baru 6%, namun angka kesakitan sudah di bawah
kenaikan cakupan imunisasi Indonesia dan Thailand hampir 60 orang. Di Filipina dan Thailand walaupun angka cakupan
sebanding. imunisasi lengkap pada tahun 1986 sudah melampaui Indo-
Cakupan imunisasi rendah sekali pada awal program imu- nesia, namun angka kesakitan di Filipina' dan Thailand tahun
nisasi polio, karena menurut Departemen Kesehatan, pada 1983 lebih tinggi, masing-masing 349 dan 143 kasus, padahal
tahun 1980 belum satupun puskesmas di Indonesia yang cakupan di Thailand pada tahun yang sama sudah lebih dari.
melaksanakan imunisasi antigen viral, pada tahun 1981 baru 40%1,3,4 Jumlah penderita poliomielitis di Indonesia yang
sekitar 3% serta pada tahun .1983 hanya 8% puskesmas yang
dilaporkan adalah yang berasal dari rumah sakit sentinel.
rnampu rnelaksanakan vaksinasi antigen viral. Pada akhir 1986
sudah 96% dad 5.553 puskesmas melakukan vaksinasi antigen Jumlah kasus poliomielitis di masyarakat sendiri jauh lebih
viral dan diharapkan pada akhir tahun 1988 sudah semua banyak; menurut perkiraan Departemen Kesehatan, pada
puskesmas3 . tahun 1983 jumlah kasus poliomielitis ada 8.600, angka ke-
matian sekitar 860 (l0%) 3 . Perkiraan kasus poliomielitis

6 Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991


tahun 1985—1986 dan 1986—1987 bila tanpa intervensi 46% di Indonesia •dan 45% di India tahun 1986, ternyata
imunisasi ada 9.000 dan 9.5003 . belum menjamin berkurangnya kasus poliomielitis.
Pada Tabel 1 tertera perkiraan poliomielitis bila tanpa Peningkatan cakupan imunisasi memang harus digalakkan,
imunisasi dan bila diimunisasi untuk tahun 1985—1986 dan supaya pads -akhir tahur>f 1990 cakupan imunisasi polio bisa
tahun 1986—1987. Perkiraan masih banyaknya angka ke- 80%, seperti yang telah ditargetkan.
sakitan dan kematian, mungkin karena cakupan imunisasi
FAKTOR PENGHAMBAT TIMBULNYA IMUNITAS
polio masih rendah (46%).
Sebagaimana telah dinyatakan, kemanjuran vaksin polio
Tabel 1. Perkiraan jumlah angka kesakitan dan kematian poliomie- sangat dipengaruhi dua faktor utama, yaitu faktor adanya
litis yang dapat dicegah dengan imunisasi 3 . interferensi sesama anggota enterovirus dan faktor sifat fisik
Keadaan Intervensi Program Imunisasi vaksin yang termolabil10
Tahun bila tanpa Faktor interferensi sesama anggota enterovirus
Berhasil dicegah Masih terjadi
imunisasi Penelitian-penelitian di negara maju sudah membuktikan
Sakit Mati Sakit Mati Sakit Mati adanya interferensi- antara sesama anggota grup entero-
virus12,13. Anggota grup enterovirus ialah virus polio, virus
1985— 9000 900 2700 300 6300 600
coxsackie, virus ECHO dan enterovirus baru14. Tidak hanya
1986
enterovirus yang saling mengadakan interferensi, namun
1986— 9500 950 4300 400 5200 550
sesama virus polio galur vaksin juga ada interferensi.
1987
Di Indonesia, penelitian yang dilakukan di Purwakarta,
Jawa Barat, menunjukkan bahwa pembentukan antibodi
Sedangkan penelitian yang dilakukan di Kota Raya Bombay
terhadap polio secara alami pada anak-anak usia baduta
(1982—1987), menunjukkan bahwa dengan cakupan rata-rata
dihambat oleh enterovirus lainnya15. Hambatan pembentuk-
sekitar 40% selama 6 tahun, angka kesakitan poliomielitis juga
an antibodi pada vaksines bisa juga terjadi. Di Bombay, India,
tidak berkurang banyak, rata-rata sekitar 1.000/tahun6.
walaupun cakupan imunisasi polio lengkap sudah 45% (1987)
WABAH POLIOMIELITIS SETELAH PPI namun tingkat serangan poliomielitis masih tinggi, sekitar
Laporan terakhir epidemi poliomielitis sebelum Pengem- 10/100.000 penduduk6. WHO menunjuk kegagalan hasil
bangan Program Imunisasi (PPI) polio, terjadi di Bali Selatan imunisasi ini karena buruknya sanitasi dan rendahnya sosio-
pada tahun 1977'. Cakupan imunisasi polio yang rendah ekonomi masyarakat.6 Sanitasi yang buruk menyebabkan
(0,2%) pada awal program imunisasi polio, menyebabkan enterovirus tersebar luas di masyarakat dan pada gilirannya
terjadinya wabaOtliberbagai tempat di Indonesia. Tahun 1981 menghambat pembentukan antibodi terhadap polio pada
terjadi wabah di Trenggalek dan Jombang di Jawa Timur dan vaksines.
di Buleleng, Bali. Tingkat serangan (Attack Rate = AR) di Faktor sifat fisik vaksin yang termolabil
Trenggalek, 9/100.000 penduduk dan di Buleleng, 7/100.000 Vaksin polio oral adalah vaksin yang berasal dari virus
penduduk°, rata-rata tingkat serangan secara nasional adalah yang masih hidup tetapi dilemahkan; perlakuan dengan ke-
5,6/100.000 penduduk3. naikan suhu sedikit saja akan bisa mematikan virus polio.
Wabah dengan tingkat serangan yang amat tinggi, terjadi di Bila tiap mililiter vaksin mengandung kurang dari 105
lokasi pemukiman transmigrasi dan sekitarnya di Kecamatan (100.000) virus, seperti apa yang ditentukan WHO, vaksin
Nimbora, Kabupaten Jayapura, Irian Jaya. Tingkat serangan tidak poten lagi dan bila diberikan kepada vaksines, tidak akan
yang terjadi adalah 1,86/100 penduduk7. Daerah ini kemudian timbul imunitas.
divaksinasi masal sehingga meluasnya wabah bisa dicegah9. Penelitian oleh Joko Yuwono dick. menunjukkan bahwa
Antibodi yang terbentuk pada anak-anak vaksines di daerah pada suhu 25°C (sama dengan suhu kamar ber AC), dalam
wabah ini cukup untuk menangkal infeksi virus berikutnya, waktu kurang dari 4 hari, vaksin sudah tidak poten lagi. Pada
namun imunitas terhadap ke 3 tipe virus polio tidak sama9. Hal 10°C, vaksin hanya poten sampai hari ke 2010. Gambar 3
ini dapat dimaklumi, karena kemanjuran (efficacy) vaksin polio menunjukkan hubungan antara potensi vaksin dengan perlaku-
dosis lengkap di Indonesia diperkirakan sekitar 80%3. an suhu. Di sini terlihat bila vaksin disimpan dalam lemari
Kemanjuran vaksin polio dipengaruhi oleh 2 faktor utama, pendingin (5°C), bukan pada ruang pembuatan es, potensi
yaitu : 1) Faktor adanya interferensi sesama anggota entero- vaksin akan hilang setelah 1 bulan penyimpanan. Berdasarkan
virus di alam, dan 2) Faktor sifat fisik vaksin yang termo- peninjauan di 4apangan, La Force meragukan sistim rantai
labil'°. dingin (cold chain) di Indonesia7. Sering terputusnya aliran
Kejadian epidemi poliomielitis di daerah yang sudah di- listrik,'mahalnya harga minyak di daerah terpencil, kelalaian
vaksinasi dilaporkan juga di Marathwada, Negara Bagian petugas menjaga lampu minyak pada lemari pendingin non
Maharastra, India tahun 1986; jumlah penderita 1.089 anak, listrik, merupakan kendala-kendala kemantapan rantai dingin.
tingkat serangan 11,3/100.000, tingkat kematian, (Mortality
Rate = MR) 8,7%11 ..Suatu hal yang sangat memprihatinkan HAL-HAL YANG PERLU DIKETAHUI
adalah bahwa 44,7% dari seluruh penderita telah mendapat Bila pada tahun 2000 nanti poliomielitis paralitika, meni-
vaksinasi polio lengkap atau sebagian. Di Indonesia cakupan ngitis dan ensefalitis yang disebabkan oleh virus polio bisa
imunisasi polio lengkap 45%, kemanjuran vaksin diperkirakan dibasmi, apakah kedudukannya tidak digantikan oleh anggota
80%4,6. Di Indonesia, wabah yang agak besar terjadi di enterovirus lainnya, karena enterovirus lain juga berpotensi
Pemukiman Transmigrasi, Kecamatan Tinanggea, Kendari, sebagai penyebab paralisis, meningitis maupun ensefalitis.
Sulawesi Tenggara, di tahun 1985—1986. Cakupan imunisasi Tabel 2 memperlihatkan anggota-anggota enterovirus yang

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 7


Gambar 3. Kurva rata-rata titer vaksin polio pada berbagai tingkat virusn,16 Survai poliomielitis di Kota Raya Bombay tahun
suhu dan lama waktu penyimpanan 1985, menemukan bahwa penderita paralisis yang disebabkan
7
oleh enterovirus non polio pads anak-anak yang diimunisasi,
lebih tinggi daripada anak-anak penderita paralisis non polio
yang tidak diimunisasit'.
6
Berdasarkan laporan dari Hongaria dan India tersebut di
atas dapatlah disimpulkan bahwa enterovirus non polio ber-
potensi sebagai penyebab meningitis, ensefalitis dan paralisis.
Enterovirus non polio lebih banyak menyebabkan kelumpuhan
pada anak yang diimunisasi daripada oleh virus polio.
Di Indonesia laporan enterovirus sebagai penyebab paralisis
sampai saat ini belum pernah dicatat.
KESIMPULAN
4
Cakupan imunisasi polio lengkap sekitar 45% dari anak-anak
usia vaksinasi, ternyata belum menjamin ketiadaan wabah
25 °C Sumber : 10. maupun kasus-kasus poliomielitis, namun hanya mengurangi
3
jumlah kasus poliomielitis saja. Bila cakupan imunisasi lengkap
0 4 12 16 20 24 28 30
Hari ditingkatkan sampai paling sedikit 90%, diharapkan kasus
poliomielitis berkurang drastis sebagaimana di negara-negara
berpotensi sebagai,penyebab penyakit saraf. maju.
Kelumpuhan (paralisis bisa disebabkan oleh 7 tipe virus Peningkatan cakupan imunisasi seyogyanya diimbangi
coxsackie grup A, semua virus coxsackie grup B, 13 tipe dengan perbaikan sanitasi lingkungan, perbaikan gizi keluarga,
virus ECHO dan 2 tipe enterovirus baru (enterovirus tipe perbaikan tingkat sosioekonomi masyarakat.
70, 71). Ensefalitis bisa juga disebabkan oleh virus, coxsackie Rantai dingin dari pusat sampai tingkat puskesmas perlu
grup A dan grup B, masing-masing 5 tipe, virus ECHO se- ditingkatkan lagi. Hal yang perlu diperhatikan adalah ke-
banyak 12 tipe dan enterovirus 71 tipe. sinambungan aliran listrik, suhu penyimpanan dan ketelitian
Di negara-negara Eropa, pencapaian cakupan imunisasi petugas penjaga lemari pendingin. Perlu dipikirkan penyediaan
polio lengkap sudah mencapai rata-rata 90%4, di Uni Soviet generator cadangan dan penyediaan bahan bakar cadangan yang
yang penduduknya 270 juga lebih (1983), pada taltun 1981 cukup.
hanya dijumpai 3 kasus poliomielitisl. Di Hongaria pada Perkembangan hubungan antara keberadaan enterovirus
tahun yang sama hanya dijumpai 1 kasus sajal. Walaupun dengan peningkatan kasus-kasus penyakit saraf perlu diamati.
demikian di Hongaria pada tahun 1978 terjadi wabah meni- Pada gilirannya perlu dievaluasi apakah enterovirus sudah me-
ngitis dan ensefalitis yang kadang-kadang fatal. Jumlah pen- rupakan masalah kesehatan atau belum.
derita mencapai 1000 anak dan penyebabnya diidentifisir
sebagai enterovirus non polio14.
Tabel 2. Penyakit syaraf yang berhubungan dengan virus coxsackie, KEPUSTAKAAN
virus ECHO dan enterovirus 6 9 - 7 1 . 1. WHO. Expanded Programme on Immunization. Poliomyelitis in
Penyakit atau 1983. Wkly Epidemiol Rec 1985; 60 (23) : 1 7 3 - 7 .
Tipe virus 2. WHO. Global eradication of poliomyelitis by the year 2000. Wkly
Gejala Klinis Epidemiol Rec 1988; 63 (22) : 1 6 1 - 2 .
3. Pemantauan program imunisasi tahun 1986/1987 (cakupan dan
Meningitis virus coxsackie A l - 1 1 , 14, 16, 17, 18, 22 mutu pelayanan serta harapan) Direktorat Jenderal PPM & PLP,
(radang virus coxsackie B 1 - 6 Departemen Kesehatan RI., Jakarta, 1987.
selaput otak) virus ECHO 1-7, 9, 11-23, 25, 27, 30, 31, 33 4. WHO. Expanded Programme on.Immunization. Global status
Paralisis report. Wkly Epidemiol Rec 1987; 62 ( 3 3 ) : 2 4 1 - 3 .
virus coxsackie A4, 6, 7, 9, 11, 14, 21 5. WHO. Poliomyelitis in 1985. Part II and Control of diarrhoeal
(kelumpuhan) virus coxsackie B 1 - 6 diseaes and Expanded Programme on Immunization. Wkly Epide-
virus ECHO 1-4, 6, 7, 9,11,14, 16, 19, 30 miol Rec 1987; 62 (38) : 2 8 1 - 5 .
enterovirus 70, 71 6. WHO. Expanded Programme on Immunization. Poliomyelitis
Ensefalitis surveillance and vaccine efficacy. Wkly Epidemiol Rec 1988; 63
virus coxsackie A2, 5 - 7 , 9 (33) : 2 4 9 - 5 1 .
(radang otak) virus coxsackie B 1 - 3 , 5 , 6 / 7. La Force FMc. Polio in Indonesia. Report of USAID Consultant.
virus ECHO 2-4, 6, 7, 9, 11, 14, 17-19, 25 1981.
enterovirus 71 8. Titi Indijati S. The situation analysis of poliomyelitis in Indonesia,
Ataksia 1 9 7 1 - 1 9 8 2 . Directorate of Epidemiology and Immunization,
virus coxsackie A4, 7, 9 Directorate General of Communicable Disease Control and Envi-
(gangguan virus ECHO 9 ronmental Health, Ministry of Health, Republic of Indonesia,
keseimbangan 1984; pp. 1 3 - 3 5 .
gerak) 9. Eko R, Gendro W, Mulyono A, Suharyono W. Survai ulang wabah
poliomielitis di lokasi transmigrasi Kecamatan Nimboro, Kabu-
Sumber : 11. paten Jayapura, Irian Jaya (1985). Makalah dibawakan pada Per-
Di negara bagian Maharastra, India., dad 342 penderita temuan Ilmiah Penyakit Menular, Pusat Penelitian Penyakit Me-
nular, Badan LitBang Kesehatan, Departemen Kesehatan R.I.,
yang. diperiksa ternyata 34 (10%) disebabkan oleh entero-

8 Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991


Jakarta, 21—24 Maret 1988. 1 : 1541.
10. Joko Y. Suharyono W, Suhana N. Pengaruh temperatur dan 14. Melnick JL. Enteroviruses. in : Evans AS (ad) : Viral infections
waktu penyimpanan terhadap potensi vaksin polio oral trivalen of humans. Epidemiology and control. 2nd edition. New York,
(Sabine type). Bul Penelit Kesehat. 1985; 13 (2) : 56—60. London. Plenum Medical Book Company, 1984 : p. 187, 223.
11. Mandke VB, Dave Kh, Dama Bm, Bansal MP, Patankar. Polio- 15. Gendro W, Suharyono W. Preliminary study of enteroviruses
myelitis in Marathwada, Maharastra State, India. Vir Inf Exc infections among children in Purwakarta, West Java, Indonesia.
Newslett. 1986; 3 (3) : 54. Bul Penelit Kesehat 1981; 2 : 14—17.
12. Amos AM, Sabin AS. Characteristics of poliomyelitis and other 16. Bansal MP, Muzumdar RD, Borkas MS, Ambulgekar R, Mandke
enteric viruses recovered in tissue culture from healthy American VB. An outbreak of paralytic poliomyelitis in and around Aura-
children. Proc Soc Exp Biol Med. 1959; 87 : 655. ngabad, Maharastra, India. Vir Īnf Eitc Newslett 1986; 3 (3) : 54-55.
13. Hale JH, Doraisingham M, Kunagaratnam K, Leong KW, Monteiro 17. Mandke VB, Salgaonkar SD, Pavar RM, Dave KH. Surveilance of
ES. Large scale use of Sabin type 2 attenuated polio virus vaccine poliomyelitis in Bombay, 1985. Vir Inf Exc Newslett. 1987; 1 (4) :
in Singapore during type 1 poliomyelitis epidemic. BMJ. 1959; 18-19.

Kalender Kegiatan Ilmiah

10-15 Februari 1991 — 13th Asian and Oceanic Congress of Obstetrics and Gyne-
cology
Central Plaza Hotel, Bangkok, Thailand.
Secr.: Prof. Kamheang Chaturachinda
Dept of Obstetrics and Gynekology
Ramathibodi Hospital
Bangkok 10400, THAILAND

20-23 Februari 1991— 2nd Congress Asia Pacific Assn of Soc of Pathologists
Manila, PHILIPPINES
Secr.: Philippines Soc of Pathologists, Inc.
114 Malakas Street, Diliman
Quezon City 1103, PHILIPPINES

10-13 Maret 1991 — 8th Congress of Asian Surgical Assn.


Fukuoka, JAPAN
Secr.: Dr. F Nakayama
Dept of Surgery 1, Faculty of Medicine, Kyushu Uni-
versity
Fukuoka 812, JAPAN
11 Maret 1991 — Simposium Pengobatan Pencegahan Asma Masa Kini
Bagi Masyarakat U m u m ,
RRI studio Bandung, Bandung, INDONESIA
Secr.: Lab. UPF llmu Penyakit Daiam FK Unpad/RS Hasan
Sadikin
Perkumpulan Asma Bandung
Bandung, INDONESIA

15-17 Maret 1991 — 3rd Asian-Pacific Symposium on Cardiac Rehabilitation


Hyatt Regency, SINGAPORE
Secr.: Felicia Teng
Academyof Medicine, Singapore College of Medicine
Building 16 College Road, # 01-01
SINGAPORE 0316

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 9


Pengamatan Potensi Vaksin Polio
yang Dipakai dalam Pengembangan
Program Imunisasi di Indonesia
Djoko Yuwono, Gendrowahyuhono, Bambang Heriyanto, Suharyono Wuryadi
Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Departemen Kesehatan R.I., Jakarta

ABSTRAK
Pengamatan potensi vaksin polio oral trivalen (tipe Sabin) yang dipakai dalam
program PPI di Indonesia telah dilakukan untuk mengetahui besarnya penurunan titer
vaksin di tingkat Puskesmas, kecamatan, kabupaten, propinsi dan di tempat
penyimpanan vaksin Dit. Jen. P2M PLP, Jakarta.
Selama periode tahun 1983 sampai tahun 1986 telah diperiksa titer virus vaksin
polio yang dikumpulkan secara acak sederhana dari 14 propinsi, 17 kabupaten, 32
Puskesmas/kecamatan dan di pusat penyimpanan vaksin di Jakarta. Pemeriksaan
titer virus vaksin dilakukan dengan metoda uji makro pada biakan jaringan ginjal
kera primer (PMK sel) dengan menghitung TCID50
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada tahun 1983 telah ditemukan 4,3%
dan 4,6% vaksin polio yang tidak memenuhi syarat, dalam tahun 1984 telah ditemu-
kan 4,3% vaksin polio dari tingkat propinsi yang tidak memenuhi syarat. Sedangkan
selama tahun 1986 tidak ditemukan lagi adanya vaksin polio yang tidak memenuhi
syarat baik di tingkat kecamatan, kabupaten, propinsi maupun pada pusat penyimpan-
an vaksin.

Badan Litbang Kesehatan Jakarta, Maret 1988.


PENDAHULUAN
tempat penyimpanan vaksin di tingkat kecamatan belum
Sampai saat ini telah dapat dibuktikan bahwa imunisasi menunjang keberhasilan program PPI2. Akan tetapi pemantau-
tealh dapat menurunkan angka kematian bayi di negara kita an potensi vaksin pertusis yang dilakukan oleh Ditjen P2M
menjadi 80 tiap 1000 kelahiran hidup, yang dalam Pelita V PLP ternyata memberikan indikasi bahwa semenjak tahun
nanti diharapkan menjadi 40 tiap 1000 kelahiran hidup. 1983 sampai tahun 1986 potensi vaksin pertusis yang ber-
Dengan demikian program PPI (Pengembangan Program asal dari berbagai daerah propinsi 80%.- 90% mutunya cukup
Imunisasi) akan merupakan program yang mendapat prioritas baik dan mantapl. Keadaan ini secara garis besar dan tidak
utama "dalam program pemerintah di bidang kesehatan sampai langsung merupakan suatu indikasi bahwa fasilitas sistem
paling tidak pada Pelita ke V1 . pendingin untuk tempat penyimpanan vaksin dari tingkat
Untuk menunjang keberhasilan program PPI tersebut Puskesmas sampat ke tingkat propinsi akan mampu menunjang
sangat penting untuk melakukan evaluasi atau pengamatan keberhasilan program PPI, apabila kondisi seperti ini dapat
terhadap program yang bersangkutan; pengamatan potensi terus dipertahankan.
vaksin polio merupakan salah satu faktor penunjang program Pengamatan ini bertujuan untuk memberikan gambaran
PPI tersebut, dan hasilnya akan menjadi masukan yang sangat potensi vaksin polio oral yang dipergunakan dalam program
penting artinya bagi pelaksanaan program; terlebih lagi vaksin PPI sebagai masukan bagi pelaksana program agar dapat me-
virus diketahui bersifat thermosensitif, sehingga kerusakan lākukan perbaikan-perbaikan sepeflunya demi keberhasilan
vaksin akibat perubahan temperatur sangat mungkin terjadi, program PPI, khususnya terhadap imunisasi polio.
mengingat negara kita merupakan negara kepulauan yang ter-
letak di daerah tropik. BAHAN DAN CARA KERJA
Penelitian yang dilakukan oleh Setiady dkk., (1981) Sampel yang diperiksa adalah vaksin polio oral trivalen
menunjukkan bahwa kondisi fasilitas alat pendingin untuk (mengandung virus polio tipe 1, tipe 2 dan tipe 3). Dalam
Dibacakan dalam Seminar Penyakit Menular. Puslit Penyakit Menular

10 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


pengamatan ini didapati adanya dua jenis vaksin yang ternyata Tabel 1. Jumlah sampel vaksin polio oral yang diamati dan persentase
mengandung strain virus yang serupa (strain Sabin). Jenis kerusakannya berdasarkan tingkatan daerah asalanya dalam
vaksin pertama dikemas oleh Perum Bio Farma, Bandung, yang tahun 1983.
vaksin aslinya didatangkan dari luar negeri, sedangkan jenis Propinsi (n) Kabupaten (n) Kecamatan (n) Pusat (n)
vaksin kedua adalah vaksin polio oral yang dibuat oleh Smith
Kline & French, ., Belgia; vaksin ini adalah sumbangan dari Kalimantan Lempake 1 P2M
Unicef. Timur PLP 43
Pengamatan dilakukan dari tahun 1983 sampai tahun Bali 1 Klungkung 1 Badung 1
1986. Total sebanyak 248 sampel vaksin telah diperiksa Gianyar 1 Denpasar 1
selama pengamatan tersebut. Masing-masing sebanyak 102 Sukawati 1
Denpasar Barat 1
dari tingkat puskesmas, 45 sampel dari kabupaten, 44 sampel Benda 1
dari tingkat propinsi, sedangkan 57 sampel lainnya berasal Singapadu 1
dari pusat penyimpanan vaksin DitJen P2M PLP di Jakarta. NTB 2 Lombok Barat 2
Pengambilan sampel di tempat penyimpanan vaksin dilakukan Jawa Barat Psi Kaliki 2
secara acak sederhana, sebanyak 3 sampel dikumpulkan di Sumatera
setiap lokasi dan dibawa dalam thermos berisi es (4° — 10°C) Selatan 5 Palembang 1 Bon Baru 2
dengan pesawat udara ke Puslit Penyakit Menular di Jakarta. Bengkulu 5 Bengkulu 2 Ratu Agung 3
Di laboratorium vaksin segera disimpan pada suhu -20°C Pontianak 3
sampai diperiksa potensinya. Pekalongan 1 Wiradesa 1
Kudus 1 Kr Malang 1
Pemeriksaan potensi vaksin dilakukan dengan meng- Sragen 1 Klaten 1
encerkan vaksin secara serial dari konsentrasi 10-t sampai Kebumen 1 Binangun 1
dengan 10-7 dalam pelarut yang berupa medium Eagle's Klaten 1 Nusa Wungu 1
MEM yang dilengkapi dengan 2% serum anak sapi, 0,15% Mersi 1
NaHCO3, 1-glutamin 0,3%, antibiotik 100 ug/ml. Pengukur- Sidoarjo 5
an titer virus dilakukan dengan menghitnng TCID50 secara Jabon 5
Candi 5
uji makro dengan menggunakan sel (kultur jaringan) ginjal Gresik 5
kera primer (sel PMK). Pengamatan dilakukan selama 5 hari Kebo Mas 5
setelah inokulasi, pengeraman dilakukan pada suhu 37°C. Driyorejo 5
Penghitungan titer virus dilakukan dengan metoda Karber3. Kayumanis 3

HASIL Jumlah 18 15 69 43
Selama tahun 1983, 6 propinsi yang diamati terdiri dari
11 kabupaten dan 23 kecamatan/puskesmas; telah diperiksa Kerusakan 0 (0,0%) 0 (0,0%) 3 (4,3%) 2
(4,6%)
69 sampal vaksin dari tingkat kecamatan, 15 sampel dari
kabupaten, 18 sampel dari propinsi dan sebanyak 43 sampel
dad pusat penyimpanan vaksin di P2M PLP, semuanya ber- Tabel 1a. Jumlah vaksin polio oral yang diamati dan persentase ke-
jumlah 145 sampel. Dari 145 sampel tersebut masing-masing rusakannya berdasarkan tingkatan daerah asanya tahun
terdiri dari 4 nomor batch dari propinsi, 4 nomor batch yang 1984.
sama berasal dari kabupaten, sebanyak 9 nomor batch lain Propinsi (n) Kabupaten (n) Kecamatan (n) Pusat (n)
berasal dari kecamatan dan 12 nomor batch berasal dari
DKI Jaya 5 Jakarta Utara 5 Tg. Priok 5 P2M
tempat penyimpanan vaksin di pusat. Koja 5 PLP 10
Hasil pemeriksaan titer virus menunjukkan adanya 3 Penjaringan 5
nomor batch vaksin yang memiliki titer rendah yang berasal Kal. Tim 1 Banjarmasin 10
dari puskesmas, yaitu batch nomor 283A2; 382A dan 482A2. Kai. Bar 1 Pontianak 4
Demikian pula 2 nomor batch vaksin yang berasal dari pusat Jawa Barat 3 Bekasi 2
penyimpanan vaksin juga telah mengalami penurunan titer Yogya 5
Irian Jaya 5
virusnya, yaitu batch nomor 283A2 dan 383A1. Dalam peng- Lampung 3
amatan tahun ini dapat disimpulkan bahwa terdapat kerusakan Jumlah 23 26 15 10
vaksin sebesar 4,3% di tingkat~kecamatan/puskesmas, sedang-
kan pada pusat penyimpanan vaksin terjadi kerusakan sebesar Kerusakan 1 (4,3%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0
4,6%; secara keseluruhan pada tahun 1983 ditemukan ke- (0,0%)
rusakan sebesar 3,4% dari vaksin yang telah diperiksa.
Selama tahun 1984, telah diterima 74 sampel vaksin yang 105,0/dosis yaitu nomor batch 184A2 yang berasal dari pro-
berasal dari 7 propinsi masing-masing terdiri dari 4 pinsi Lampung. Dalam periode ini dapat dikemukakan bahwa
kabupaten dan 3 kecamatan. Jumlah sampel sebesar 23 sampel terdapat kerusakan vaksin yang berasal dari propinsi sebesar
dari propinsi, 26 sampel berasal dari kabupaten dan 15 sampel 4,3%.
berasal dari kecamatan, sedangkan sisanya 15 sampel berasal Dalam tahun 1986, telah dapat dikumpulkan 29 sampel
dari pusat penyimpanan vaksin. Pemeriksaan titer virus vaksin vaksin yang berasal dad 1 daerah propinsi, 2 kabupaten dan
renunjukkan adanya vaksin yang memiliki titer di bawah 6 daerah kecamatan, yang masing-masing terdiri dari 1 nomor

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 11


I

Tabel lb. Jumlah vaksin polio oral yang diamati dan persentase ke- Gambar 1. Perbandingan kurva persentase kumulatif
rusakannya berdasarkan tingkatan daerah asalnya tahun potensi vaksin polio oral; persentase kumulatif perbaikan
1986. faktor penunjang operasional dan persentase kumulatif
Propinsi (n) Kabupaten (n) Kecamatan (n) Pusat (n) cakupan imunisasi polio (3 dosis) dalam program PPI di
Indonesia sejak tahun 1983-1986.
Yogyakarta 3 P2M PLP 4
Medan 3 Ular Karang 3
Sentosa Baru 3
Pasar Merah 3
Batu Enam 3
Prapat 3
Simalungun 3
Bekasi 1
Jumlah 3 4 18 4
Kerusakan 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0
(0,0%)

Tabel 2. Jumlah vaksin, nomor batch dan keadaan vaksin berdasarkan


tingkatan daerah asalnya, dalam tahun 1983-1986.

Kecamatan Kabupaten Propinsi Pusat Total

1983:
Lokasi 23 11 6 1 41
Nomor batch 9 4 4 12 29
Jumlah vaksin 69 15 18 43 145
Mutu vaksin 100% 100% 95,7% 95,4% 97,8%

1984:
Lokasi 3 4 7 1 15
Nomor batch 1 4 6 2 13
Jumlah vaksin 15 26 23 10 74
Mutu vaksin 100% 100% 95,7% 100% 98,9%
kali dosis dengan jarak waktu pemberian antara 6 — 8 minggu.
Untuk melakukan imunisasi secara demikian di negara-negara
1986: tersebut diperlukan suatu sistem rantai dingin (cold chain)
Lokasi 6 2 1 1 10 untuk mempertahankan vaksin agar dapat berfungsi dengan
Nomor batch 2 2 1 3 8 baik3. Kondisi sistem pendingin ini perlu dipantau melalui
Jumlah vaksin 18 4 5 4 31 pemeriksaan potensi vaksin polio secara berkesinambungan.
Mutu vaksin 100% 100% 100% 100% 100% Demikian pula halnya di Indonesia, pemantauan potensi
vaksin polio yang dipakai dalam program PPI mutlak me-
batch, 2 nomor batch masing-masing berasal dari kabupaten rupakan penunjang bagi berhasilnya program PPIdi Indonesia.
dan kecamatan serta 3 nomor batch lain berasal dari pusat Berdasarkan laporan yang diperoleh dari Dit Jen P2M
penyimpanan vaksin. Hasil pemeriksaan titer virus menunjuk- PLP mengenai Pemantauan Program Imunisasi dapat diketahui
kan tidak satupun nomor batch vaksin yang diperiksa me- bahwa cakupan imunisasi polio (3 dosis) dari tahun 1983
nunjukkan titer virus yang tidak memenuhi syarat, bahkan ter- sampai tahun 1986 ternyata telah dapat ditingkatkan terus
nyata memiliki titer virus yang cukup tinggi, rata-rata men- dari sekitar 8% menjadi 45%, sedangkan dalam tahun 1988
capai 107,0 /ml. ditargetkan akan mencapai 65%. Untuk mencapai target
Dapat ditambahkan pula bahwa dalam pengamatan ini tersebut sudah barang tentu diperlukan suatu akselerasi
temyata ditemukan adanya dua jenis vaksin polio yang ber- melalui .perbaikan berbagai faktor penunjangnya, Faktor
asal dart pabrik yang berbeda, tapi keduanya mengandung penunjang tersebut antara lain adalah : penyediaan vaksin,
strain virus yang serupa (strain Sabin). Kedua jenis vaksin fasilitas sistem pendingin dari tingkat propinsi sampai ke
tersebut adalah produksi Perum Bio Farma di Bandung dan tingkat kecamatan; tidak dapat diabaikan pula adanya tenaga
produksi Smith Kline & French di Belgia, yang ternvata juru imunisasi yang terampil. Untuk mencapai target cakupan
keduanya mengandung titer virus polio tipe 1 sebesar 106,0/ml; sebesar 65% dalam akhir Pelita IV ini, maka telah dilakukan
Polio tipe 2 sebesar 105,0/ml dan Polio tipe 3 sebesar l05,0/ml. peningkatan dana terutama untuk kebutuhan faktor pe-
nunjang operasional, menjadi dua kali lipat4, ditambah lagi
PEMBAHASAN dengan adanya sumbangan vaksin yang berasal dari swasta,
Imunisasi polio di negara berkembang yang terletak di misalnya Rotary Club dan Unicef; dengan tersedianya dana
kawasan tropik benua Asia, Amerika Latin dan Afrika meng- yang cukup, maka pencapaian target cakupan sebesar 65%
alami hambatan antara lain adanya interferensi sesama entero- pada akhir Pelita IV sangat mungkin dapat dicapai.
virus di alam, sehingga imunisasi polio perlu diberikan tiga

12 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


Gambar 2. Titer rata-rata vaksin polio oral berdasarkan nomor batch vaksin yang diperiksa dalam tahun 1 9 8 3 - 1 9 8 6 .

Gambar 3. Titer rata-rata vaksin polio oral berdasarkan tingkat daerah asalnya, dalam tahun 1983-1986.

Puskesmas.Demikian pula terdapat kerusakan sebesar 4,6%


pada tempat penyimpanan vaksin di Ditjen P2M PLP dalam
tahun yang sama. Hal ini jelas merupakan bukti masih adanya
ruang dingin yang belum berfungsi dan kemungkinan adanya
Dalam pengamatan ini dapat dikemukakan walaupun petugas yang kurang cermat dalam melaksanakan tugasnya.
baru 14 propinsi yang telah diamati, namun telah mencakup Dalam periode tahun 1984 ternyata masih ditemukan pula
50% jumlah propinsi yang ada. Hasilnya ternyata dapat me- adanya kerusakan vaksin polio sebesar 4,3% pada tingkat
nunjukkan adanya perkembangan yang cukup berarti dalam propinsi, yaitu di propinsi Lampung. Selanjutnya sejak tahun
tahun-tahun yang diamati; misalnya dalam tahun 1983 telah 1986 sudah tidak ditemukan lagi adanya kerusakan vaksin baik
ditemukan kerusakan vaksin polio sebesar 4,3% pada tingkat di tingkat propinsi ataupun tingkat kecamantan. Yang

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 13


meyakinkan adalah didapatinya titer virus vaksin yang cukup KEPUSTAKAAN
mantap dan dapat dipertahankan, yaitu rata-rata sebesar 1. Pemantauan Program Imunisasi Tabun 1986/1987 (Cakupan imuni-
107,0 /ml. sasi dan mutu pelayanan serta harapan). Dit Jen P2M PLP. Dep. Kes.
Berpedoman pada hasil. pengamatan ini maka dapat RI. Jakarta.
diharapkan bahwa cakupan imunisasi polio sebesar 65% 2. Setiady IF, Gunowiseso, Noto Abiprodjo, Tarantola D. Program
Imunisasi di Indonesia, Masalah dan Prospek Pengembangannya.
pada akhir Pelita IV dapat dieapai dengan catatan imunisasi DirJen P3M DepKes RI. 1981. p. 14 — 6.
dilakukan dengan menggunakan vaksin yang memiliki potensi 3. Sabin AB. Poliomyelitis in the Tropics; increasing incidences and
yang dapat dipertanggungjawabkan apabila sistem rantai prospect for control. Trop. Geogr. Med. 1963; 15 : 38.
dingin seperti ini dapat ditingkatkan atau paling tidak.dapat 4. Gunawan S. Kebijaksanaan dan Hambatan dalam Pelaksanaan
Pengembangan Program Imunisasi. Dalam: Laporan Simposium
terus dipertahankan. Memasyarakatkan Imunisasi dalam Rangka Penurunan Mortalitas
Bayi dan Anak. Eds : A Djohari dkk. Jakarta, FKMUI, 1985;
p. 35—53.
KESIMPULAN
Dari pengamatan ini kiranya dapat dikemukakan bahwa UCAPAN TERIMA KASIH
dengan perbaikan sarana penunjang operasional maka potensi Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada Dr. Gunowiseso,
vaksin polio yang dipakai dalam program PPI di Indonesia Kepala Subdit Imunisasi Dit Jen P2M PLP yang telah memberikan
bantuan dalam penyediaan vaksin polio untuk penelitian. Demikian
dapat tetap dijaga dan dipertahankan mutunya, sehingga pula kepada Dr. Iskak Koiman yang- telah memberikan ijin pelaksana-
target cakupan imunisasi yang telah ditentukan sebesar 65% an penelitian ini. Juga kepada perorangan ataupun instansi lain yang
pada akhir Pelita ke IV akan tercapai dengan menggunakan belum disebutkan di sini, atas segala bantuan dan kerjasamanya se-
vaksin polio yang dapat dipertanggungjawabkan potensinya. hingga penelitian ini terlaksana, penulis mengucapkan terimakasih.

14 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


Sifat Kinetik
Virus Polio di Indonesia,
Pemeriksaan fact-40 Marker Virus Polio Tipe 1
Djoko Yuwono dan Gendrowahyuhono
Pusat Penelitian Pen yakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Departemen Kesehatan R.L, Jakarta

ABSTRAK
Untuk mengetahui sifat keganasan beberapa galur virus polio yang telah diisolasi
dari beberapa daerah, telah dilakukan pengujian rct-40 marker dengan cara meng-
hitung (infektivitas) virus polio tipe 1 pada perlakuan temperatur 40°C dalam biakan
sel ginjal kera primer dengan cara makro.
Sejumlah 27 hasil isolasi virus dari masyarakat sehat dan 8 isolasi dari kasus
tersangka poliomielitis telah diidentifikasi dengan uji netralisasi terhadap pool anti-
serum enterovirus. Pengujian rct-40 marker terhadap virus polio tipe 1 hasil isolasi
di masyarakat dan dari kasus polio ternyata menemukan 3 (tiga) galur ganas virus
polio tipe 1, sedangkan pemeriksaan rct-40 marker pada vaksin polio menunjukkan
basil rct-40 negatif untuk semua nomor batch vaksin yang diuji.
Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui hubungan antara galur ganas dan jinak
virus polio tipe 1 baik yang ada di masyarakat ataupun yang berasal dari kasus polio-
mielitis.

PENDAHULUAN BAHAN DAN CARA KERJA


Pengetahuan tentang sifat kinetik virus menjadi sangat Sampel
penting kejak para ahli mulai menggunakan virus hidup untuk Sampel dikumpulkan dari masyarakat daerah perkotaan
pembuatan vaksin. Dengan mempelajari sifat kinetiknya, akan dengan sanitasi baik dan daerah perkotaan dengan
diketahui sifat biologi dan fisik dari suatu tipe virus baik per- lingkungan buruk. Sedangkan kasus-kasus tersangka
samaan ataupun perbedaannya; selain itu dapat pula diketahui poliomielitis berasal dari beberapa daerah yang dikirim ke
tipe virus secara intra tipik yang merupakan penyebab pada saat PuslitPenyakit Menular, Badan Litbang Kesehatan Jakarta.
epidemik ataupun non epidemik1,2 ; demikian pula tipe virus Spesimen berupa tinja atau usapan rektal, dibawa dalam
yang dapat menyebabkan kelumpuhan dan yang tidak3,4. medium Hank's BSS, dengan pelengkap antibiotik
Dengan pemeriksaan rct-40 marker dapat diketahui sifat ke- (penisilin-streptomisin) 500 ug/ml. Dibawa dalam thermos
ganasan virus polio secara in vitro, sehingga dapat diketahui yang diisi dengan CO2 kering.
apakah suatu galur ganas atau jinak.
Penelitian ini merupakan suatu penelitian pendahuluan Isolasi dan identifikasi virus
untuk mencari hubungan antara sifat kinetik virus polio tipe 1 Isolasi virus dilakukan dengan menggunakan biakan sel
yang berhasil diisolasi dari orang sehat dan dari kasus-kasus ginjal kera primer (Maccaca Sp.), secarā macro assay.
tersangka poliomielitis. Dari hasil penelitian didapat indikasi Inokulum 0,2 ml/tabung, inkubasi pada suhu 37°C dengan
bahwa virus polio tipe 1 merupakan virus yang dominan di kemiringan tabung 5 - 8 ° . Inkubasi selama 7 hari,
masyarakat dan diketahui paling virulen yang dapat menyebab- observasi terbentuknya efek sitopatik. Subkultur ulangan
kan kelumpuhan, oleh karena itu pemeriksaan dititik beratkan dilakukan bagi yang positif untuk mempertinggi kadar
pada pemeriksaan rct-40 marker terhadap virus polio tipe virus. Isolasi disimpan pada suhu minus 20°C sampai
1. dilakukan identifikasi.
Identifikasi dilakukan dengan uji netralisasi dengan anti
Dibacakan pada Kongres Nasional Biologi Ke VI Universitas Jenderal polio pool serum dengan mencampurkan 100 TCID50 virus
Sudirman, Purwokerto, Otkober 1987.

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 15


dari 20 unit antiserum dengan volume sama. Campuran virus- Tabel 2. Hasil isolasi virus pada kasus-kasus tersangka poliomielitis
serum diinkubasi pada suhu 37oC selama 1 jam untuk mem- yang dapat diperiksa di Puslit Penyakit Menular, Badan
Litbang Kesehatan.
berikan reaksi serum-virus secara optimal. Inokulasi pada
tabung berisi biakan sel ginjal kera, inokulum 0,1 ml tiap No. strain Asal spesimen Jenis virus
tabung, dua tabung untuk setiap campuran serum-virus. 111/82 DKI Jakarta Polio tipe 1
Pengamatan terbentuknya efek sitopatik sel ginjal kera di- 275/82 DKI Jakarta Polio tipe 1
lakukan sampai hari ke 7. Tidak terbentuknya efek sitopatik 284/82 DKI Jakarta Polio tipe 1
pada biakan sel menunjukkan adanya virus yang dimaksud. 235/82 DI Yogyakarta Polio tipe 1
137/82 Manado Polio tipe 1
Pemeriksaan rat-40 marker 004/82 Kalimantan Tengah Polio tipe 2
Pengujian rct-40 marker dilakukan dengan menghitung 0014/82 Kalimantan Tengah Polio tipe 3
infektivitas virus polio (TCIL 0) pada biakan sel ginjal kera
dengan perlakuan temperatur 37°C dan 40°C pada inkubator Tabel 3. Hasil pemeriksaan rct-40 marker. terhadap isolasi virus dari
dan penangas air (waterbath), perubahan temperatur ± 1°C. masyarakat dan kasus-kasus poliomielitis.
Inokulum 0,1 ml tiap tabung, pengamatan efek sitopatik
No. strain Asal Tipe virus 37°C 40°C rct-40
dilakukan sampai hari ke 7. Penghitungan TCID50 dilakukan
dengan cara Karber5 dan penilaian rct-40 marker dilakukan 235/81 Tg. Priok Polio 3 6,8 * ND
berdasarkan ketentuan Benyesh-Melnick4. 65/81 Tg. Priok Polio 3 6,0 ND
185/81 Tg. Priok Polio 3 6,5 ND
HASIL 262/81 Kebayoran Polio 1 6,8 5,0 +
Selama ini telah dapat dikumpulkan 12 basil isolasi virus 200/81 Kebayoran Polio 3 6,3 ND
polio balk dari survai di masyarakat ataupun di rumah sakit, 111/82 DKI Jakarta Polio 1 7,0 5,0 +
yaitu dari kasus-kasus tersangka poliomielitis. Hasil iden- 284/82 DKI Jakarta Polio 1 6,8 ND
tifikasi menunjukkan bahwa dari 27 basil isolasi virus di 235/82 DI Yogyakarta Polio 1 7,0 ND
137/82 Manado Polio 1 7,0 5,25 +
masyarakat ternyata hanya 1 virus polio tipe 1 dan 5 virus 014/82 Kal Teng Polio 3 6,8 ND
polio tipe 3 yang diisolasi dari daerah perkotaan dengan Mahoney Tokyo, NIH. Polio 1 6,0 4,5 +
lingkungan balk dan lingkungan buruk. Dari kasus tersangka
poliomielitis yang dikumpulkan dari beberapa rumah sakit Keterangan:
di beberapa daerah ternyata dapat diidentifikasi 3 virus polio ND : Tidak diperiksa
tipe 1 dari Jakarta, 1 virus polio tipe 1 dari Manado dan * : Titer virus : 106,8.
masing-masing 1 virus polio tipe 2 dan virus polio tipe 3
Tabel 4. Hasil pengujian rct-40 marker vaksin polio yang dipakai
dari Kalimantan Tengah ( T a b e l 1 dan Ta b e l 2). dalam imunisasi polio di Indonesia.
Hasil pemeriksaan rct-40 marker ternyata dari tiga strain
No. batch Titer awal 37°C 40°C rct-40
virus yang diperiksa hasilnya rct-40 positif (tabel 3). Untuk
melengkapi penelitian ini telah dilakukan pengujian rct-40 183 B1 7,0* 6,75 1 -
marker pada 8 nomor batch vaksin polio yang dipakai untuk 281 Al 6,8 6,75 1 -
imunisasi polio di Indonesia dan hasilnya ternyata semuanya 382 A 6,0 6,5 1 -
283 Al 6,75 6,5 1 -
rct-40 negatif (tabel 4). 282 Al 7,0 6,5 1 -
Tabel 1. Hasil identifikasi isolasi virus entero pada masyarakat di 283 A2 7,0 6,3 1 -
daerah perkotaan dengan sanitasi buruk (Tanjung Priok) dan 383 Al 7,0 6,0 1 -
sanitasi bask (Kebayoran Baru). 383 B 7,0 6,8 1 -
Mahoney (1) 6,0 6,0 4,3 +
Jenis virus entero Tg. Priok Kebayoran Baru MEF (2) 6,8 6,5 4,8 +
Saukett (3) 6,5 6,5 4,8 +
Polio tipe 1 0 1
tipe2 0 0 Keterangan:
tipe 3 3 1 Titer virus : 107,0 .
Coxsaclae B1 1 0 PEMBAHASAN
B2 1 0 Penelitian di Uganda dapat menunjukkan adanya enam
B3 1 0
B4 0 0 varian antigen yang -berbeda, masing-masing antigen tersebut
B5 0 ternyata merupakan antigen yang dominan pada suatu periode
B6 0 0 tertentu2. Akan tetapi lebih lanjut tidak dapat ditunjukkan
ECHO 3 0 0 adanya hubungan antara strain yang dominan di saat wabah
4 0 0 dan non wabah, tambahan pula jugs tidak dapat dibuktikan
5 2 0 adanya hubungan antara strain yang diisolasi dari kasus polio-
7 8 3
9 0 0
mielitis dengan ada tidaknya kelumpuhan2.
11 0 0 Hasil pengujian ini ternyata dapat menunjukkan adanya
27 1 0 strain ganas (rct-40 positif) secara in-vitro pada masyarakat,
selain itu dua basil isolasi virus berasal dari kasus polio ter-
Jumlah * 17 5
nyata keduanya rct-40 positif pula. Masalahnya sekarang
Keterangan: apakah terdapat hubungan intratipik antara antigen tersebut.
* : 5 hasil isolasi tidak diketahui jenisnya. Untuk menjawab pertanyaan itu, perlu dilakukan pengujian

16 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


Gambar 1. Penyebaran virus entero pada masyarakat di daerah Ke- intratipik serodiferensi'asi (Mc Bride test). Pada penelitian ini
bayoran dan Tanjung Priok, pada tahun 1981. juga belum dapat ditunjukkan adanya strain vaksin (atte-
nuated strain) pada masyarakat, akan tetapi mengingat imuni-
sasi polio telah dilakukan sejak lama, maka sudah pasti strain
vaksin banyak terdapat di masyarakat.
Lebih lanjut hasil pengujian rct-40 marker pada kasus
polio terryata menunjukkan adanya infeksi strain ganas pada
penderita. Pengujian rct-40 marker terhadap hasil isolasi
virus dari kasus polio perlu dilakukan untuk mengetahui
apakah terj di infeksi virus oleh strain yang berasal dari
vaksin polio. Apabila hal ini terjadi, maka akan sangat penting
sekali artinya karena hasil pemeriksaan rct-40 marker ter-
hadap vaksin polio yang dipakai untuk imunisasi polio ter-
nyata semuanya negatif.
KESIMPULAN DAN SARAN
Penelitian ini hanyalah suatu penelitian pendahuluan;
masih banyak hasil isolasi virus yang harus diuji sifat rct-40
merkernya, sehingga dapat diketahui distribusi virus polio,
baik galur ganas ataupun galur jinak, baik yang berasal dari
masyarakat ataupun yang berasal dari kasus polio, baik pada
Gambar 2. Penurunan titer virus polio tipe 1 pada temperatur 37 oC saat terjadi wabah ataupun saat non wabah. Yang dapat
dan 40o C dibandingkan terhadap strain ganas Mahoney
(virus polio tipe 1).
disimpulkan hanyalah. bahwa galur ganas virus polio tipe 1
terdapat di masyarakat maupun kasus-kasus poliomyelitis.
Selain itu tampaknya terdapat kecenderungan bahwa virus
polio tipe 1 merupakan tipe virus yang dominan di beberapa
daerah. Demikian pula perbedaan intratipik masih harus di-
teliti untuk mengetahui hubungan antara galur yang dominan.
KEPUSTAKAAN
1. Menube GMR. Outbreak of type 1 paralytic poliomyelitis in Kam-
pala City and the surrounding Mango (East and West Buganda)
district of Uganda during 1969. East Afr Med J 1972; 49 : 1012-9.
2. Balayan MS, Domok I, Fayinka OA, Soneji AD. Some character-
istics of poliovirus strains isolated in Uganda between 1966 and
1971. Bull WHO 1976; 53 : 339-45.
3. Benyesh-Melnick M, Melnick X. The use of in vitro markers and
neurovirulence test of genetic changes in attenuated poliovirus
multiplying in the human alimentary tract. In: Poliovirus Live
Vaccines, First International Conference on Live Poliovirus Vac-
cines, Washington DC. 1959. Pan American Sanitary Bureau, 1959.
p. 179-202. (Scientific Publication No. 44).
4. McBride WD. Antigenic analysis of Polioviruses by kinetic studies
of serum neutralization. Virology 1959; 7 : 45-58.
5. Grist NR, Ross CAC, Bell EJ, Stott EJ. Diagnostic Methods in
Clinical Virology. Oxford : Blackwell Scientific Publication, 1966.

A book is a success when people who haven’t read it pretend


they have.

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 17


Pengembangan Program Imunisasi
di Jawa Timur
M. Faried K*, Hanny Roespandi**, Sri Prihartini***
*Staf Lab/UPF Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya
**Kasi Epidemiologi Kanwil Depkes Prop. Jatim.
***Kasi Imunisasi DinKesDa Prop. Dati I Jatim.

Tabel 1. Jumlah penderita difteri (1970—1989) Lab/UPF I. Kes.


PENDAHULUAN Anak, RSUD Dr Soetomo, Surabaya.
Imunisasi terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan
Tahun Jumlah Meninggal CFR
imunisasi (PD3I) dapat menyelamatkan berjuta-juta anak %
dari kematian setiap tahunnya. Imunisasi TT pada ibu hamil
juga mempunyai andil dalam penyelamatan bayi baru lahir. 1970 234 10 4.3
Pada saat ini kita telah sampai pada akhir Pelita V dan 1971 394 26 6.6
1972 372 44 11.8
segera memasuki era tinggal landas. Pemerintah telah sepakat 1973 400 39 9.7
untuk mencapai Universal Child Immunization (UCI) pada 1974 466 34 7.3
akhir tahun 1990, yaitu pelayanan imunisasi dengan seluruh 1975 495 46 9.3
antigen (BCG—DPT—Polio dan Campak) di seluruh Puskesmas 1976 405 28 6.9
1977 505 28 5.5
dengan cakupan minimum 90% pada kontak pertama (BCG 1978 568 34 6.0
dan DPT—1) dan minimum 80% untuk imunisasi lengkap 1979 689 38 5.5
(DPT 3, Polio 3 dan Campak). Cakupan ini harus dipertahan- 1980 500 21 4.2
1981 411 17 4.1
kan setiap tahun agar sasaran strategis Pelita V tercapai. Pada 1982 570 29 5.1
akhir Pelita V, Departemen Kesehatan telah menuntukan 1983 482 33 6.8
sasaran strategis wilayah bebas Polio untuk Jawa — Bali dan 1984 359 14 3.9
Sumatra serta bebas Tetanus Neonatorum di Jawa dan Bali. 1985 290 15 6.2
1986 223 10 4.5
Dalam makalah ini, penulis akan membahas beberapa hal 1987 203 15 7.4
mengenai Pengembangan Program Imunisasi (PPI) di Jawa 1988 171 8 4.7
Timur. 1989 125 5 4.0
PD3I di RSUD Dr Soetomo Surabaya1,2
Data Pencatatan—Pelaporan Seksi Penyakit Tropik dan Keterangan:
Sumber : Laporan Sie Penyakit Tropik dan Menular
Menular Lab/UPF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga/RSUD Dr Soetomo, dan Unit Rehabili-
tasi Medik RSUD Dr Soetomo (untuk kasus Polio) ditampil-
kan pada tabel 1. terekam tentunya adalah penyakit penyulitnya, sedang
Pada tabel di atas terlihat bahwa jumlah penderita cen- diagnosa pertussisnya tidak.
derung menurun sejak tahun 1982, sebaliknya angka ke- Jumlah penderita Tetanus (anak dan neonatorum) juga.
matian penderita tidak/belum menunjukkan perubahan cenderung berkurang. Walaupun angka cakupan imunisasi
nyata. Data tersebut di atas mengingatkan kita bahwa imu- TT2 kepada Ibu Hamil masih sekitar 44% dan Calon Pengantin
nisasi terhadap penyakit difteri masih perlu ditingkatkan Wanita 22% dalam tahun 1989/1990, kecenderungan pe-
kacena agaknya lebih sulit menekan angka kematiannya. nurunan jumlah penderita Tetanus Neonatorum tampak lebih
Data penyakit batuk rejan di RSUD Dr Soetomo tidak mengesankan daripada Tetanus Anak. Penurunan jumlah
tercatat. Penderita- baru dirawat -di RS bilamana disertai penderita Tetanus menunjukkan kecenderungan yang mirip
penyulit berat seperti bronkhopnemoni. Diagnosis yang dengan penderita Difteri.

18 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


Tabel 2. Jumlah penderita Tetanus, 1970 - 1989, Lab/UPF I. Kes.. Tabel 4. Jumlah penderita Campak, 1970 – 1989, Lab/UPF I. Kes.
Anak. Dr. Soetomo, Surabaya. Anak. Dr. Soetomo, Surabaya.
Tahun Jumlah Meninggal CFR Tahun Jumlah Meninggal CFR
% %

1970 78 9 11.5 1970 72 9 12.5


1971 96 10 10.4 1971 68 13 19.1
1972 109 17 15.6 1972 94 23 24.5
1973 128 14 10.9 1973 205 53 25.8
1974 125 23 18.4 1974 84 20 23.8
1975 92 19 20.6 1975 98 19 19.4
1976 146 24 16.4 1976 226 41 18.1
1977 146 31 21.2 1977 233 35 15.0
1978 140 28 20.2 1978 243 47 19.3
1979 113 20 17.7 1979 '
258 45 17.4
1980 164 16 9.7 1980 394 33 8.4
1981 143 11 7.7 1981 326 43 13.2
1982 124 15 12.1 1982 322 20 6.2
1983 123 13 10.6 1983 233 32 13.7
1984 79 6 7.6 1984 272 32 12.9
1985 99 17 17.2 1985 146 15 10.3
1986 62 10 16.1 1986 299 15 5.0
1987 58 5 8.6 1987 163 11 6.7
1988 49 - - 1988 114 2 1.7
1989 45 2 4.4 1989 126 6 4.8
Keterangan; Keterangan ;
Sumber : Laporan Sie Penyakit Tropik dan Menular Sumber : Laporan Sie Penyakit Tropik dan Menular.
Tabel 3. Jumlah penderita Tetanus Neonatorum, 1970 - 1989
Lab/UPF I. Kes. Anak, Dr Soetomo, Surabaya. Tabel 5. Jumlah penderita Polio, 1984 - 1989, RSUD Dr Soetomo,
Surabaya.
Tahun Jumlah Meninggal CFR
% Tahun Surabaya Luar Surabaya Jumlah

1970 48 27 56.2 1984 29 55 84


1971 52 24 46.1 1985 37 41 78
1972 58 37 63.8 1986 36 65 101
1973 ' 66 49 74.2
1987 34 44 78
1974 60 30 50.0
1975 61 29 47.5 1988 19 27 46
1976 52 22 42.3 1989 24 39 63
1977 51 27 52.9
1978 38 23 60.5 Sumber : Laporan Unit Rehabilitasi Medik
1979 47 21 44.7
1980 41 16 39.0
1981 37 19 51.3 Tabel 6. Hasil Pelaksanaan Imunisasi Jawa Timur.
1982 24 13 54.2 1985/1986 - 1988/1989.
1983 32 17 53.1 Jenis Realisasi Kumulatif Indonesia
1984 20 8 40.0 Vaksinasi
1985 22 9 40.9 85/86 86/87 87/88 88/89 88/89
1986 18 6 33.3
1987 11 4 36.4 BCG 63 61 65 70 81
1988 8 5 62.5 DPT 1 63 61 65 71 82
1989 7 2 28.7 DPT3 40 46 53 65 71
Polio 3 40 47 54 66 73
Campak 40 43 48 57 64
Keterangan :
TT1 IH 31 33 33 34 45
Sumber : Laporan Sie Penyakit Tropik dan Menular.
TT2 IH 21 24 25 29 37
Program PPI baru mencakup imunisasi campak pada tahun Keterangan:
1982/1983. Data menunjukkan peningkatan cakupan dari Sumber : Berita Epidemiologi Jawa Timur, Mei 1989.
tahun ke tahun, namun penurunan jumlah penderita tidak/
Umumnya penderita Polio lebih banyak datang dari luar
belum jelas terlihat dalam tabel di atas. Hasil pelaksanaan Surabaya (60%). Jumlah penderita laki-laki lebih besar dari-
imunisasi mendapatkan angka 57% (1988/1989, Tabel 6), pada perempuan (57.6 : 42.4). Penyakit Polio paling banyak
berarti PPI harus meningkatkan cakupan sebesar 23% lagi menyerang anak anak kelompok usia 6 - 2 3 bulan, kemudian
guna mencapai cakupan yang ditargetkan pada akhir tahun 2 - 6 tahun. Sebagian besar penderita datang berobat dalam
1990. Upaya yang dilaksanakan memberikan harapan bahwa stadium konvalesens (40.3%) dan stadium rehabilitasi (33.9%).
target tersebut dapat dicapai bila kita melihat hasil survai Dan 387 penderita yang berobat ke Unit Rehabilitasi Medik
akupan tahun 1989 yang menunjukkan angka 82%. (Tabel 8). RSUD Dr Soetomo, sekitar 5.9% pemah mendapat imunisasi

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 19


Polio. Polio dan Campak. Hasil kedua survai tersebut adalah sebagai
PPI di Jawa Timur3,4 berikut:
Menurut catatan, program imunisasi di Jawa Timur telah Tabel 8. Hasil survai cakupan imunisasi tahun 1986 dan 1989 di
dimulai sejak pertengahan abad ke-19 untuk membasmi pe- Jawa Timur l .
nyakit cacar. Kemudian, setelah penderita penyakit cacar Antigen 1986 1988/89 2 1989
terakhir di Jawa Timur ditemukan pada tahun 1969, dimulai- (dalam %)
lah imunisasi gabungan Cacar—BCG pada tahun 1972 (vaksi-
BAYI:
nasi cacar dihentikan pada pertengahan 1986). Tahun 1976/ DPT 1 79 74 92
1977 PPI di Jawa Timur dimulai pada dua kecamatan yang 2 72 69 91
selanjutnya dikembangkan secara bertahap, dan PPI pada saat 3 60 68 86
itu memberikan imunisasi BCG—DPT—TT dan Cacar. Polio 1 78 74 92
2 72 70 91
Pada tahun 1981/1982 imunisasi Polio dimasukkan dalam 3 59 69 86
PPI dan imunisasi Campak dimulai secara bertahap sejak tahun Campak 55 59 82
1982/1983. Tahun 1983/1984 diberikan imunisasi DT di BCG 78 74 91
Sekolah Dasar menggantikan imunisasi ulangan BCG, sedangkan Scar BCG 67 — 80
imunisasi TT di sekolah diberikan satu tahun kemudian. IBU:
Imunisasi TT pada Wanita Usia Subur (WUS)—ibu non hamil TT 1 59 35 59
mulai dilaksanakan pada tahun 1983/1984. Memasuki tahun TT 2/TT ulang 46 30 52
1987/1988 terdapat perubahan yaitu imunisasi TT pada WUS
Keterangan:
dibatasi hanya pada ibu hamil dan Calon Pengantin Wanita Sumber : 1. Berita Epidemiologi Jawa Timur
(CPW), sedangkan imunisasi TT pada anak sekolah dibatasi 2. “Pemantauan Program Imunisasi tahun 1988/1989"
pada murid wanita saja. Pengembangan yang terjadi kemudian Ditjen PPM & PLP Depkes RI.
adalah "pelonggaran" indikasi kontra dan terakhir adalah
upaya PPI Perkotaan. Attack Rate dan Vaccine Efficacy7
Realisasi cakupan imunisasi dari tahun ke tahun (1985/ Tiap edisi Berita Epidemiologi Jawa Timur, hampir selalu
1986 — 1988/1989) ditampilkan secara singkat pada tabel 6. memberitakan adanya Kejadian Luar Biasa (KLB). Penyakit-
label 6 menyatakan adanya peningkatan cakupan dari penyakit penyebab KLB bermacam-macam, tetapi yang sering
tahun ke tahun. Akan tetapi hasil cakupan untuk semua jenis disebut adalah Diare—DBD—Carnpak—Difteri—Keracunan dan
antigen dalam tahun 1988/1989 masih di bawah angka nasional, lain-lain. Peristiwa KLB terjadi menyebar pada Daerah Tingkat
apalagi terhadap propinsi Jawa Barat dan Daerah Istimewa II Jawa Timur.
Yogyakarta. Banyak hal dapat dipelajari dari peristiwa KLB, antara lain
jumlah kecamatan terjangkit, macam penyakitpenyebab KLB,
Tabel 7. Hasil Pelaksanaan Imunisasi Jawa Timur. jumlah penderita—kematian—proporsi kelompok umur yang
Jenis vaksin Angka Drop-outs selama periode (dalam %) sakit dan lain-lain.
84/85 85/86 86/87 87/88 88/89 Dalam makalah ini akan dibahas KLB Campak yang di-
laporkan terjadi di desa Sekaran, kecamatan Jatirogo, kabu-
DPT 1—3 59 38 25 18 8 paten Tuban, tanggal 1 Januari — 23 Maret 1989.
Polio 1—3 62 38 24 17 7 Dengan melakukan kunjungan dari rumah ke rumah se-
DPT 1— Polio 3 — — — 16 7 luruh penduduk desa, didapatkan data sebagai berikut: Dari
TT 1 — TT 2 40 33 27 23 14 desa yang berpenduduk 2.806 jiwa, jumlah seluruh penderita
Keterangan: dalam kurun waktu KLB adalah 458 dengan 10 kematian;
Sumber : Berita Epidemiologi Jawa Timur, Mei 1989 (Attack Rate — 16.3% dan Case Fatality Rate — 2 . 2 % ) Case
Fatality Rate rata-rata (nasional) untuk 1987 adalah 5.6%
Dari tabel di atas-dapat dilihat bahwa peningkatan cakupan (Subdit Surveilens Ditjen PPM & PLP). KLB menyerang anak
(kuantitas) dibarengi juga dengan pengurangan angka drop- usia 0 — 14 tahun, tak ditemukan penderita usia > 15 tahun
outs (kualitas). dan + 90% < 10 tahun. Proporsi terbesar pada kelompok
usia 5 — 9 tahun (48.3%), kemudian kelompok usia Balita
(0 - 4 tahun) 40% dengan AR masing-masing kelompok 713%
Evaluasi PPI di Jawa Timur5,6 dan 54.4%. Tidak terdapat kasus di desa tetangga. Di antara
Sampai saat ini telah dua kali dilakukan survai cakupan 183 penderita Balita hanya 5 penderita yang telah mendapat
guna menentukan coverage rate. Survai pertama dilakukan imunisasi Campak. Melalui tabel berikut ini dihitung vaccine
dalam bulan Nopember 1986 dalam rangka midterm evalua- efficacy campak. (Tabel 9)
tion, dilaksanakan oleh suatu tim yang terdiri dari unsur WHO,
Depkes, FK Unair, kelompok PICK dan wakil Bangdes. Survai Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh angka Vaccine
kedua dilakukan dalam bulan September 1989 oleh Depkes Efficacy (VEJ sebesar 83.9%; berarti cukup efektif atau
derigan dana DIP Suplemen/OECF 1989/1990. dengan perkataan lain perlindungan yang diberikan/diakibat-
Sasaran yang diperiksa adalah bayi/anak usia 12—23 bulan kan imunisasi cukup bermakna (nilai efektif 80 — 95%).
pada saat pelaksanaan survai dengan asumsi bahwa pada umur Faktor-faktor yang mempengamhi timbulnya KLB ter-
tersebut anak telah mendapatkan vaksinasi lengkap BCG, DPT, sebut antara lain adalah rendahnya cakupan imunisasi campak

20 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


Tabel 9. Distribusi penderita Campak (Balita) menurut status vaksi- berisi pesan-pesan pengetahuan perawatan anak bagi setiap
nasi di Desa Sekaran, Maret 1989. keluarga. Pesan-pesan ini perlu disebarluaskan.
Status Sakit Tidak sakit Iumlah Attack Rate Walaupun telah terdapat peningkatan status imunisasi Ibu
imunisasi Campak % Hamil (Bumil) yang mendapat TT2/TT ulangan dari 46%
+ 5 45 50 dalam tahun 1986 menjadi 52% dalam tahun 1989 (Tabel 8)
10.0
— 178 108 286 62.2 hasil ini masih jauh dad target yang ditetapkan guna pem-
Jumlah 183 153 336 54.5 berantasan Tetanus Neonatorum.
Survai cakupan tahun 1986 mendapatkan data bahwa
Keterangan: tempat mendapatkan imunisasi terbesar adalah di Posyandu
Sumber : Berita Epidemiologi Jatim, Juni 19 89 .
(60%), kemudian berturut-turut di Puskesmas (28%), Rumah
setempat (kecuali untuk tahun 1986/1987 sebesar 56.9%, Sakit (2%) dan Praktek Swasta (1%). Di samping mengupaya-
rata-rata cakupan adalah < 7% per tahun). Letak desa ber- kan peningkatan peran serta para Ahli Kebidanan, perlu di-
jarak 13.5 km dari Puskesmas dan melewati kawasan hutan, upayakan peningkatan pemanfaatan Posyandu khususnya
dan sejak tahun 1985 tidak penult ditemukan kasus campak. pelayanan ANC (Ante Natal Care).
Walaupun tersedia Pos Kesehatan dan Posyandu, hari buka
Pos Kesehatan setempat hanya 2 kali seminggu, sedangkan
Posyandu sebulan sekali dan secara bergiliran didatangi tenaga KEPUSTAKAAN
Puskesmas sekali sebulan. Faktor-faktor tersebut ditunjang
1. Pencatatan dan Pelaporan Lab/UPF Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas
pula dengan faktor kurangnya pemanfaatan Pos Kesehatan Kedokteran Universitas Airlangga — RSUD Dr Soetomo, Surabaya.
atau Posyandu yang tersedia. 2. Pencatatan dan Pelaporan Unit Rehabilitasi Medik, RSUD Dr
Soetomo, Surabaya.
PENUTUP 3. Hendro Tjahjono Pengalaman Pelaksanaan Program Imunisasi di
Dengan gambaran di atas, dapat dikatakan bahwa Jawa Jawa Timur. Simposium Imunisasi, Fakultas Kedokteran, Ikatan
Dokter Anak Cabang Jawa Timur, DinKesDa Prop Dati I Jatim.
Timur telah berupaya keras mengejar "persen tambahan"
Surabaya, Juni 1987.
guna mencapai target UCI. Survai cakupan imunisasi 1989 4. Berita Epidemiologi Jawa Timur. Pemerintah Propinsi Daerah
membuktikan hasil upaya tersebut (label 8). Akan tetapi hasil Tingkat I Jawa Timur. Dinas Kesehatan Propinsi Daerah Tingkat I
Jawa Timtir. Edisi-edisi tahun 1986 — 1990.
tersebut perlu dibuktikan dengan analisa laporan Realisasi 5. Berita Epidemiologi Jawa Timur. Pemerintah Propinsi Daerah
Pelaksanaan Imunisasi rutin. Tingkat I Jawa Timur. Dinas Kesehatan Propinsi Daerah Tingkat I
Faktor penyuluhan masih memprihatinkan dan terobosan- Jawa Timur. Edisi Pebruari, 1987.
terobosan sosial menjadi lebih penting. Dorongan utama ada- 6. Berita Epideriologi Jawa Timur. Pemerintah Propinsi Daerah
Tingkat I Jawa Timur. Dinas Kesehatan Propinsi Daerah Tingkat I
lah mobilisasi sosial yaitu keterlibatan semua untuk mem- Jawa Timur. Edisi Pebruari, 1990.
berikan informasi dan mendukung para orangtua dalam 7. Berita Epidemiologi Jawa Timur. Pemerintah Propinsi Daerah
memanfaatkan pelayanan-pelayanan imunisasi. Unicef, WHO Tingkat I Jawa Timur. Dinas Kesehatan Propinsi Daerah Tingkat I
Jawa Timur. Edisi Juni, 1990.
dan Unesco telah menerbitkan buku Facts for Life 8 yang 8. UNICEF — WHO UNESCO. The Facts for Life. 1989.

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 21


Pengawasan Kualitas
dan Pengembangan Vaksin Virus
Muljati Prijanto
Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Departemen Kesehatan R.I., Jakarta

PENDAHULUAN ANTIGEN PROTEKTIF DAN VAKSIN


Salah satu upaya untuk mencegah dan memberantas pe- Seperti diketahui antigen adalah substansi dari bermacam-
nyakit menular adalah dengan meningkatkan kekebalan macam bentuk kimia yang mampu merangsang sistem imun
i$dividu terhadap penyakit menular dengan pemberian imuni- untuk menimbulkan. respon spesifik yang ditujukan terhadap
sasi. Seperti diketahui Program Pengembangan Imunisasi substansi yang merangsangnya dan bukan terhadap substansi
(PPI) merupakan program kesehatan yang penting berupa pem- lain. Antigen memiliki imunogenisitas yaitu kemampuan untuk
berian imunisasi terhadap enam penyakit yaitu difteri, pertu- memberi rangsangan pada molekulnya yang disebut determin-
sis, tetanus, tuberkulosis, polio dan Dampak. Sasaran program an antigenik. Antigen yang memiliki kemampuan mengadakan
pada Pelita V adalah pencapaian cakupan imunisasi minimum reaksi spesifik dengan zat anti disebut imunogen.
80% untuk semua antigen dan dapat dipertahankan secara Berbagai persyaratan antigen yang baik antara lain adalah :
terus menerus. Dampak penurunan angka kesakitan dan ke- • Memiliki berat molekul yang besar. Makin besar berat mole-
matian, terutama untuk penyaicit polio memungkinkan untuk kulnya makin tinggi sifat keantigenannya.
menentukan strategi wilayah bebas polio untuk Jawa, Bali • Bersifat asing. Makin asing makin baik.
dan Sumatra. • Sifat menginduksi zat anti. Makin larut makin cepat in-
Vaksin yang akan digunakan hams memenuhi persyaratan duksinya.
dan melalui pengawasan kualitas yang ditetapkan WHO. Per- Sel dari mikroorganisme patogen, balk bakteri ataupun
syaratan yang hams dipenuhi antara lain adalah : virus mengandung bermacam-macam substansi antigenik yang
dapat menginduksi terbentuknya zat anti. Namun tidak semua
1) Vaksin harus poten agar dapat menimbulkan kekebalan
bagian dari mikroorganisme ada hubungannya dengan infeksi
yang dapat melindungi terhadap penyakit yang bersangkutan-
dan pencegahannya. Selalu hanya ada 1 atau 2 antigen yang
an.
dianggap relevan terhadap patogenisitas yang antagonis. dengan
2) Vaksin hams aman digunakan, artinya tidak menimbulkan zat anti. Antigen yang berkelakuan seperti ini dalam infeksi
reaksi samping yang tidak diinginkan, yang akan dapat meng- disebut antigen protektif.l Secara umum antigen protektif
hilangkan kepercayaan masyarakat terhadap program. adalah substansi antigen yang merupakan struktur permukaan
dari mikroorganisme patogen dan menempati posisi yang mem-
3) Vaksin yang digunakan hams disimpan dalam suhu yang buat interaksi dengan sel hospes melalui kontak pertama
memenuhi syarat sampai saat digunakan, agar potensi vaksin dengannya.
dapat dipertahankan. Penyimpanan vaksin pada suhu dingin Konsep antigen protektif mempunyai implikasi penting
sejak diproduksi sampai saat digunakan dinamakan rantai dalam pengembangan dan produksi vaksin. Apakah dibuat dari
dingin. toksin bakteri, sel bakteri atau sel virus, vaksin harus me-
Tulisan ini akan membahas pengawasan kualitas dan per- ngandung antigen protektif bia akan digunakan untuk men-
kembangan vaksin virus secara umum dan vaksin virus yang cegah infeksi dengan maksud mengontrol penyebaran wabah.
digunākan dalam program imunisasi di Indonsia. Antigen protektif tidak hanya untuk imunisasi parenteral

22 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


yang menginduksi terbentuknya IgM dan IgG tetapi juga. mungkin tertinggal dalam vaksin pada waktu mematikannya.
dapat menimbulkan imunitas lokal dengan menginduksi anti- • Imunitas yang ditimbulkannya singkat, sehingga perlu di-
bodi sekretorik yang terdiri dari molekul dimer IgA. berikan imunisasi ulangan (booster). Hal ini tidak hanya me-
nambah beban operasional, namun dapat menimbulkan
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RESPON TERHADAP kekhawatiran akan timbulnya efek dari protein asing yang ada
PEMBERIAN VAKSIN. dalam vaksin (hipersensitivitas).
Telah diketahui ada beberapa variabel yang mempengaruhi
• Beberapa vaksin dapat menginduksi terbentuknya hiper-
pembentukan zat anti setelah pemberian imunisasi, yaitu :
sensitivitas terhadap infeksi oleh virus liar.
• potensi vaksin yang diberikan
• Karena diberikan melalui suntikan maka tidak terbentuk
• ādanya efektivitas ajuvan
kekebalan lokal.
• jumlah dosis yang diberikan — tinggi pada inactivated Cara penyimpanan vaksin virus pada umumnya pada suhu
vaccine - 2 0 0 C, dan tidak boleh terkena sinar matahari secara
• jadwal pemberian yang tepat, termasuk usia pada saat langsung. Vaksin dalam bentuk kering, bia telah diilarutkan
pemberian imunisasi harus segera digunakan, pelarut pada saat digunakan harus
• cara pemberian dalam keadaan dingin agar vaksin tidak rusak.
• jenis antigen — vaksin yang dilemahkan atau dimatikan
PENGAWASAN KUALITAS VAKSIN VIRUS.
VAKSIN VIRUS Pengawasan kualitas vaksin dilakukan oleh pembuat vaksin
Vaksin virus dikelompokkan menjadi dua macam yaitu : selama proses produksi dan terhadap produk akhir, juga oleh
1) Vaksin live attenuated. lembaga yang berwenang di suatū negara (National Control
Vaksin jenis ini dibuat dari virus yang telah dilemahkan. Authority) terhadap produk akhir. Hasil uji kualitas dinyata-
Vaksin ini mempunyai kelbūlan karena menyerupai infeksi kan pada sertifikat pemeriksaan yang dibuat oleh kedua
alami dalant hal pembentukan zat anti yang ditimbulkannya. lembaga tersebut di atas.
Virus membelah dalam hospes dan merangsang pembentukan Dalam hal ini akan dibahas pemeriksaan yang terpenting
zat anti yang l e b l lama dan menginduksi zat anti pada jalan terhadap produk akhir, yaitu pemeriksaan potensi dan safety,
masuk infeksi. namun tidak berarti bahwa pemeriksaan lain tidak dilakukan.
Ada dua macam cara pemberian imunisasi dengan vaksin ini
yaitu melalu suntikan atau melalui jalan infeksinya misalnya Pemeriksaan potensi.
dengan penyemprotan intranasal atau secara oral. Pemeriksaan dilakukan dengan mengukur infektivitas
Vaksin jenis ini memiliki beberapa kelemahan,3 yaitu : virus dengan membandingkannya terhadap standar yang
z Adanya risiko bahwa virus akan kembali menjadi lebih telah diketahui titer atau unitnya. Pemeriksaan potensi dibeda-
virulen selama pembelahan dalam tubuh manusia. Walaupun kan antara vaksin yang dlemahkan atau vaksin virus hidup
hal ini telah terbukti tidak menimbulkan masalah dalam pe- dengan vaksin inactivated.
laksanaan namun pemantauan tetap diperlukan. Pemeriksaan potensi dilakukan pada bulk dalam proses
• Adanyakontaminan tidak dikenal yang secara laten meng- produksi dan pada produk akhir.
infeksl sel yang digunakan dalam produksi yang mungkin
masuk ke dalam vaksin. Hal ini dapat diatasi dengan peng- A. Vaksin live attenuated' .
gunaan sel human diploid. Berdasarkan statistik dan karakteristiknya dibedkan dua
tipe :
• Masalah umur vaksin yang terbatas; dapat diatasi dengan
1) Quantal response assay
penambahan stabilizer virus seperti IM MgC12 untuk vaksin
Uji ini dapat dilakukan pada biakan jaringan, hewan per-
polio.
cobaan (mencit), atau telur berembrio, dengan melihat tanda
Walaupun secara teori dinyatakan bahwa tanggap kebal
infeksi atau luka karakteristik yang ditimbulkan oleh virus
vaksin ini lemah atau dapat terjadi gangguan bila dua atau
yang diinokulasikan. Pada biakan jaringan digunakan indikator
lebih antigen diberikan pada saat yang bersamaan, namun pada
CPE.
kenyataannya vaksin aman dan efektif. Contoh jenis vaksin
ini adalah vaksin polio oral (OPV), campak, influensa, rabies, Dosis respon yang paling tepat adalah respon 50% yaitu
rubella. dosis efektif 50% (ED 50). ED50 kemudian disebut dengan
2) Vaksin inactivated (killed). Tissue Culture Infected Dose 50% (TICD 50) atau Cell Culture
Vaksin ini dibuat dari seluruh partikel virus yang dimatikan. Infective Dose 50% (CCID 50). Potensi dihitung dengan cara
Sebagai contoh adalah vaksin polio (IPV). Vaksin ini diberikan Spearman Karber, Reed Muench atau Probit Analisis.
melalui suntikan. Sebagai contoh pemeriksaan yang menggunakan biakan
Terdapat beberapa kelemahan dalam penggunaan vaksin ini jaringan adalah vaksin polio OPV dan vaksin campak. Vaksih
ialah3 . yang diperiksa pada mencit ialah vaksin Yellow fever dan
• Dalam proses produksi diperlukan ketelitian yang tinggi yang diperiksa pada telur berembrio adalah vaksin influenza.
untuk membuat vaksin yang bebas dari virus virulen yang 2) Enumeration assay

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 23


Uji ini dapat dilakukan pada biakan jaringan (vaksin polio seperti pads uji sebelumnya. Produk memenuhi syarat bila
OPV, campak, yellow fever, rubella), pada kelinci (vaksin sedikitnya 80% dari hewan yang diinokulasi tetap sehat dan
smallpox) dan pada telur berembrio (vaksin smallpox) Cara- tidak menunjukkan adanya infeksi selama pengamatan sedang-
nya dengan menginokulasikan sejumlah enceran virus pada kan pada marmut tidak terdapat infeksi dari Mycobacterium
biakan jaringan, hewan, atau telur berembrio yang kemudian tuberculosis7 8
akan membentuk fokus infeksi yang jumlahnya dapat di-
hitung. Potensi vaksin adalah titer suspensi virus dengan meng- VAKSIN VIRUS YANG DIGUNAKAN DALAM PROGRAM
hitung jumlah fokus atau plaque dari pengenceran tertentu. IMUNISASI.
Satuan yang dipakai adalah FFU (Focus Forming Unit) atau Vaksin polio.
PFU (Plaque Forming Unit). Terdapat dua macam vaksin polio yaitu inactivated polio
B. Vaksin virus "inactivated" ( "killed vaccines ")6 . vaccine (IPV) dan oral polio vaccine (OPV). Penggunaan
Dasar pemeriksaannya adalah mengukur jumlah antigen vaksin polio dalam program imunisasi harus mempertimbang-
imunogenik yang dikandungnya. kan epidemiologi dari polio yang berbeda di setiap negara.
Pemeriksaan ini dapat dibedakan dalam dua cara yaitu. : Misalnya negara-negara maju seperti Swedia, Belanda, Finlan-
1) Cara in vivo dia, menggunakan IPV, sedangkan di negara berkembang ter-
Tes dilakukan pada hewan. Sebagai contoh adalah vaksin masuk Indonesia menggunakan OPV.
rabies yang diperiksa dengan menggunakan mencit.
1) Vaksin polio "inactivated" (IPV).
Dasar pemeriksaan adalah dengan mengukur resistensi
Vaksin IPV menggunakan strain Salk yang ditanam pada
hewan yang telah diimunisasi terhadap infeksi virus atau
biakan ginjal kera. Imunisasi diberikan 4 kali antara umur
menggunakan titer zat anti sebagai kriteria potensi. Caranya
1-2 tahun dan ulangan diberikan pada umur 2—3 tahun.
yaitu : mula-mula beberapa kelompok hewan diimunisasi
Vaksin yang dimatikan ini memacu pembentukan circulating
dengan beberapa macam pengenceran vaksin, setelah jangka
neutralizing antibody yang dipercaya efektif dalam mencegah
waktu tertentu diberi suntikan virus hidup dengan dosis
penyebaran virus polio dalam tubuh, jadi melindungi sistem
tertentu (di challenge). Contoh lain adalah vaksin polio yang
saraf pusat dari serangan virus.
pemeriksaannya menggunakan mencit dengan mengukur
Vaksin tidak boleh diberikan pada orang dengan penyakit
respon zat anti rata-rata dari titer netralisasinya.
immunodifisiensi dan orang yang sedang mendapat pengobatan
2) Cara in vitro.
immunosupresi. Walaupun seseorang telah diberi imunisasi
Cara ini digunakan untuk mengukur potensi vaksin dalam
yang membentuk zat anti humoral, namun virus liar masih
proses produksi. Sebagai contoh dengan cara gel difusi pada
mungkin dapat berkembang dalam tubuhnya.
vaksin polio (IPV), cara fiksasi komplemen (IPV), ELISA
Saat ini masih dikembangkan vaksin dengan cara baru
(IPV, vaksin rabies), RIA (vaksin hepatitis B) dan dengan
dengan tujuan menurunkan jumlah dosis yang diberikan.
imuno elektroforesis pada vaksin influenza.
Dasar pemeriksaan adalah reaksi antigen antibodi pada pe- 2) Vaksin polio oral (OPV).
ngenceran 50%. Vaksin dibuat dari strain Sabin tipe 1,2 dan 3 yang ditanam
Uji keamanan ("safety") pada biakan ginjal kera atau sel human diploid. Vaksin yang
Bila seluruh partikel virus digunakan, vaksin tersebut tidak mengandung virus hidup yang dilemahkan sekarang ditumbuh-
saja mengandung antigen protein tetapi juga beberapa sub- kan pada sel human diploid. Vaksin dapat stabil dengan pe-
stansi lain yang toksik dan mungkin dapat menimbulkan reaksi nambahan stabilisator 1 M MgC12, sehingga dapat disimpan
yang tidak diinginkan bila masuk ke dalam tubuh manusia. untuk 1 tahun pada suhu 40 C atau selama 1 bulan pada suhu
Uji keamanan pada pembuatan vaksin virus sangat ketat dan kamar tanpa kehilangan potensinya.4 Namun vaksin tanpa
dilakukan sejak tahap awal dari produksi, pemeriksaan ke- stabilisator harus disimpan pada suhu beku (—20° C), sampai
amanan pada proses produksi dilakukan terhadap bulk dan saatnya digunakan.
pada produk akhir. Pada beberapa vaksin dilakukan pula pe- Vaksin polio dikatakan memenuhi persyaratan berpotensi
meriksaan neurovirulensi. Pemeriksaan ini diakukan dengan baik bila setiap dosisnya mengandung virus polio tipe 1 sedikit-
menggunakan mencit dan inarmut° untuk mengetahui ada nya 106 InfectiousUnit, tipe 2—10s IU dan tipe 3 mengandung
tidaknya komponen toksik atau infected agent lain yang 105'5 IU.° Walaupun virus polio tipe 2 dan 3 dapat mengalami
mungkin masih ada dalam vaksin. Caranya yaitu dengan me- mutasi selama multiplikasi pada anak yang divaksinasi, namun
nyuntikkan vaksin pada kelompok hewan mencit secara intra- sangat jarang terjadi pada resipien atau orang kontak. Hal ini
serebral atau marmut secara peritoneal. Hewan-hewan tersebut pernah dilaporkan di Jepang . Vaksinasi pada semua anggota
selanjutnya diamati selama 21 hari pada mencit, dan 42 hari keluarga dimaksudkan untuk menghilangkan kasus kontak.
pada marmut terhadap adanya kematian atau gejala tertentu. Pada pemberian vaksin ini terbentuk pula sekret IgA yang
Bila ada hewan yang mati sebelum 24 jam atau sakit, maka dapat memberikan perlindungan terhadap adanya reinfeksi.
harus dilakukan autopsi dan diuji terhadap adanya infeksi virus Beberapa faktor di daerah tropis yang dapat mempengaruhi
bai(C secara makroskopis maupun dan dengan melakukan sub- hasil imunisasi adalah :
inokulasi pada sedikitnya 5 ekor hewan lain dan diamati z Pengaruh entero virus prevalen lain yang ada di dalam salur-

24 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


an pencernaan. gastroenteritis, hepatitis A, dan vaksin DHF.
• Kekurangan protein.
• Adanya penghambat dalam saliva yang mungkin meng- 3) Purified vaccine.
hambat multiplikasi virus. Pembuatnya dengan tujuan menghilangkan protein non viral
sehingga dapat mengurangi kemungkinan reaksi samping
yang berat. Vaksin jenis ini dapat diberikan dengan konsentrasi
Vaksin campak lebih tinggi dan meningkatkan jumlah antigen.
Dikenal adanya dua macam vaksin campak, yaitu : 4) Vaksin "sub unit".
1) Vaksin campak inaktif ("killed vaccine") Komponen sub viral diperoleh dengan memecah virion.
Vaksin ini dibuat dari virus campak strain Edmonston B Vaksin ini hanya mengandung protektif antigen raja,
yang ditanam pada biakan jaringan vibroblas ayam.2 Vaksin 5) Melemahkan virus dengan manipulasi genetis.
jenis ini tidak disukai dan sekarang tidak diproduksi lagi Manipulasi genetis digunakan untuk menghasilkan re-
(tahun 1961—1968) karena setelah imunisasi dasar maupun kombinan atau mutan, misalnya mutan yang sensitif terhadap
ulangan zat anti terhadap campak cepat sekali menurun, dan temperatur seperti halnya virus hidup. Penggunaan virus vacci-
vaksin menimbulkan demam 101° F pada 83% dan menimbul- nia sebagai vektor untuk mengclone immunizing agent dari
kan bercak makula pada 38—50% anak yang diimunisasi virus lain merupakan perkembangan yang penting.
(dikutip dari 2). Kemungkinan memindahkan gen imunogen dari beberapa
2. Vaksin campak "attenuated". virus agar dapat dilakukan satu macam imunisasi yang dapat
Vaksin jenis ini dibuat dari virus strain Schwartz, Moraten melindungi terhadap beberapa macam penyakit.
yang sudah sangat dilemahkan (further attenuated). Vaksin Oral adenovirus dapat pula digunakan sebagai alternatif
inilah yang pada saat ini digunakan secara luas untuk me- vektor.
nanggulangi penyakit campak. Vaksin campak memenuhi 6) Vaksin DNA rekombinan.
syarat untuk digunakan bila mengandung virus 102 TCID 50.7 Telah dikembangkan pembuatan vaksin hepatitis B dengan
Umur optimum untuk pemberian imunisasi campak ber- menggunakan ragi. Penggunaan continue cell line (CCL)
beda antar negara. Di beberapa negara maju immunisasi untuk menghasilkan antigen dalam jumlah besar.
diberikan pada usia 12 bulan atau lebih. Di negara berkembang 7) Vaksin sintetis.
beberapa studi menunjukkan bahwa umur optimum untuk Polipeptid sebagai antigen aktif disintesis untuk hepatitis B,
pemberian imunisasi campak adalah kira-kira 9 bulan.9 Saat influensa, virus polio dan telah dapat menimbulkan neutrali- -
pemberian imunisasi hendaknya merupakan kompromi antara sing antibody pada hewan. Cara ini sedang diselidiki.
risiko terkena infeksi dan saat zat anti maternal menghilang.2 Walaupun peptid sintetik merupakan antigen yang lemah,
Di Indonsia digunakan vaksin yang dibuat dari virus strain namun mencari ajuvan yang aman dan poten sedang dilaku-
Schwartz yang diberikan pada bayi usia 9—12 bulan. Vaksin kan di beberapa laboratorium. Kemungkinan memproduksi
ini cukup aman dan efektif. Imunisasi ulang tidak diperlukan antigen sintetik untuk imunisasi pada manusia masih di-
bila vaksin diberikan pada saat yang tepat. teliti.
Vaksin campak tergolong vaksin yang tidak stabil, bila
terkena cahaya atau disimpan pada suhu yang tidak tepat akan
cepat sekali rusak. Tetapi saat ini telah berhasil diproduksi
vaksin campak yang lebih stabil. Virus vaksin campak sangat
mudah diinaktivasi oleh alcohol, eter, detergen. Untuk itu KEPUSTAKAAN
harus diusahakan agar tidak kontak dengan bahan-bahan ter- 1. Fukumi H. The vaccination. Theory and practice. International
sebut. 2 Med Foundation of Japan, Tokyo, Japan. 1975, p.3—I5, 91—111.
2. Mardiadipura I L D. Campak. Hal ihwal imunisasi dan aplikasinya.
PROSPEK MASA MENDATANG. Nasution M S (ed.) Perum Bio Farms Bandung. 1987. bal. 145—153.
Beberapa pendekatan baru dalam pengembangan vaksin 3. Melnick J L. Advantages and disadvantages of killed and live polio-
virus yang memberikan harapan adalah :4 5 myelitis vaccines. Bull WHO 1978; 56 (1) : 21—38.
4. Melnick J L. Virus vaccines : an overview. Dreesman G R, J G
1) Pemberian vaksin secara lokal. Bronson, R C Kennedy. eds. High-technology Route to Virus
Pendekatan ini telah drlakukan dengan sukses dalam pe- Vaccines. Am Soc for Microbiology, Washington DC. 1985; p.1—14.
ngembangan vaksin rubella pada tahun 1960. 5. Oya A. Present status and future prospects of vaccine development.
Intranasal aerosol vaksin telah dikembangkan pula terutama Asian Med J 1989: 32 (5); 246—251.
6. Rijk Institut voor Volksgezondheid en Milieuhygiene. Vaccine
untuk penyakit saluran pemafasan yang disebabkan oleh virus, control course. p. 61-67.
dimaksudkan untuk merangsang terbentuknya zat anti lokal. 7. WHO manual of details of tests required on fmal vaccines used in
2) Vaksin attenuated baru. the WHO Expanded Programme of Immunization. 1982; p. 112—120.
Vaksin virus. hidup varicella yang telah dikembangkan di 8. WHO ECBS. Draft requirements for poliomyelitis vaccine (oral).
1989. Req for Biol Subst No 7, revised 1989; p. 1—39.
Jepang sekarang sedang menjalani tes internasional. 9. WHO. Expanded Programme of Immunization. Measles Immuniza-
Vaksin lain yang sedang dikembangkan termasuk rotaviral tion. 1979. Wkly Epidem Rec; 54 : 337.

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 25


Typhoid Vaccines

Nathaniel F. Pierce
Research Coordinator, Diarrhoeal Diseases Control Programme, World Health Organization, Geneva

INTRODUCTION Table 1. Typhoid Vaccines

Typhoid fever remains a problem in most developing Type Advantages Limitations


countries. Although accurate data on its incidence are not gene-
rally available, it is known to occur predominantly among 1. Killed whole-cell - Inexpensive - Two doses required
children and young adults, aged 3 - 20 years. Where careful parenteral vaccine - Moderately effective - Frequent side effects,
(especially acetone- sometimes severe
surveillance has been performed, usually during vaccine trials, killed vaccine)
disease incidence has varied widely. For example, rates of 49,
2. Live oral Ty21a - No side effects - Three or four doses required
100 - 250 and 1700 per 100,000 persons per year have been vaccine - Moderately effective - Relatively costly
recorded among school-age children in Alexandria, Egypt; San- - Least effective in young
tiago, Chile; and Plaju, Sumatra; respectively. In the latter site, children, especially where
approximately 20 percent of children will develop typhoid fever incidence is very high
- Cold chain required
proven by blood culture during the 12-year period between 3 and
14 years of age. 3. Purified M - Relatively inexpensive, - Duration of efficacy and
antigen parenteral - Effective after a efficacy in very young
The predominance of typhoid fever among young children, vaccine single dose children not yet determined
with a steadily declining incidence as age increases, argues - Few side effects,
strongly that active immunity is naturally acquired in endemic none severe
areas. This provides support for efforts to develop safe and effec- - Cold chain not required
tive vaccines as one means of controlling typhoid fever, the
others being the provision of safe water supply, safe sewage
disposal and the interruption of transmission via contaminated heat/phenol vaccine is most easily prepared and is most widely
food. available. The efficacy of these vaccines has been compared
Three approaches to immunization against typhoid fever during the 1960s in studies in Guyana, Poland, USSR and Yugos-
have been studied : (1) classical killed whole cell parenteral; lavia. These revealed that the heat/phenol vaccine evoked 47 - 77
(2) olāl vaccine based on attenuated live S. typhi; and (3) percent protection, and the acetone-killed vaccine 79 - 93 percent
parenteral vaccine composed of purified Vi capsular protection, for up to 7 years. These studies confirmed the
polysaccharide. Each vaccine has been shown to be effective. efficacy of this type of vaccine, especially of the acetone-killed
The relative advantages and limitations of these vaccines are preparation (although in other studies it has yielded substan-
summarized in Table 1. The vaccines are considered in tially less protection).
greatertietail below.
Nevertheless, these vaccines are not widely used for public
health purposes because : (1) the acetone-killed vaccine is not
PARENTERAL WHOLE-CELL VACCINE easily produced; and (2) both cause substantial side effects. In
Tonga, for example, 13% of persons given the acetone-killed
This may be considered the "classical" typhoid' vaccine. vaccine were unable to work for at least 1 day following immuni-
It is composed of killed S. -typhi, the method of inactivation zation and some had to stay in bed due to fever, chills and
being either heat plus phenol or treatment with acetone; the malaise. The frequent, and sometimes severe side effects of

26 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


the parenteral whole cell vaccine are the major barrier to its effective liquid formulation, may not be sufficiently protective
being used more widely. under contidions of extremely high disease incidence to be a
practical public health tool. The vaccine may be more useful
where attack rates are lower.
LIVE ORAL VACCINES Other candidate live oral typhoid vaccines are being deve-
loped but have not yet been tested for efficacy. These are mutants,
The Tylla live oral typhoid vaccine consists of lyophilized created by gene deletion, that are unable to synthesize essential
bacteria (109 cfu per dose) that have been mutagenized with aromatic amino acids. Aro-mutants have proven effective as
nitrosoguanidine. The vaccine strain is unable to multiply in vaccines for certain Salmonellae that cause disease in domestic
human tissues due, in part, to the lack of the enzyme galac- animals, giving hope that they may also be safe and effective in
tose-1 epimerase. As a result it colonizes the bowel only briefly humans. Whatever their efficacy, however, it seems likely that
and causes no side effects. Trials of this vaccine have been they would be relatively expensive (as is also Ty2la), require
carried out in Alexandria, Egypt; Santiago, Chile; and Plaju, multiple doses and be dependent upon a cold chain. Some
Sumatra. These have shown that vaccine efficacy depends upon strains of this type may be available for efficacy-testing in the
the number of doses given and the formulation used. In Santiago, near future.
for example, 3 doses of lyophilized bacteria given in a plain
gelatin capsule accompanied by 2 capsules containing sodium
bicarbonate (to neutralize gastric acid) caused only 28 percent VI POLYSACCHARIDE VACCINE
protection during a follow-up period of 33 months. Better The most recently developed typhoid vaccine consists of
results were obtained with bacteria given in enteric-coated purified Vi capsular polysaccharide. A highly purified form of
capsules. that resisted opening in the stomach but dissolved in this material has been shown to cause seroconversion in 90%
the duodenum. Table 2 shows that the degree of protection by of western adults after a single parenteral injection and to
Ty2la vaccine and its duration improved as the number of doses produce very few side effects, mostly transient tenderness at the
was increased, 3 doses causing an average of 69% protection injection side; none was serious. Moreover, two studies have
for at feast 4. years. However, less encouraging results have shown the vaccine to be effective in populations with a very high
been.obtained to date in Plaju, Sumatra (Table 3). In that study, incidence of typhoid fever. A trial in South Africa among
which.is still underway, preliminary results show only 37% pro- children aged 5 - 15 years revealed 64% protection against
tection after 3 doses of vaccine in enteric capsules. Protection typhoid fever for at least 21 months following immunization;
was somewhat higher (48%) using vaccine that was reconstituted similar results were obtained in Nepal. This vaccine produces
in a citrate buffer solution before being swallowed. With both maximal immune responses after a single injection, is relatively
vaccines, however, protection was lowest in the 7 - 14 year, inexpensive and is very stable. It is possible that conjugation of
sChool age group. The poorer performance of encapsulated the polysaccharide to a protein "carrier" would improve its immu-
vaccine in Sumatra than Chile is unexplained, but may be related nogenicity, especially when 2 doses are given, but this would
to the approximately 10-fold higher attack rate observed in Suma- also increase its cost. Efforts to develop a protein conjugated
tra. These results suggest that the Ty2la vaccine, even in the more version of the Vi vaccine are underway. Research on the duration
of protection evoked by the unconjugated vaccine is also con-
tinuing.
Table 2. Efficacy of Ty2la vaccine in enteric-coated capsules Santiago, Chile

Observation
Number of doses % Efficacy
period (months) CONCLUSION
1 0 - 23 22 Further research is required to define a vaccine that is
2 0 - 23 59
widely suitable for public health use in control of typhoid
24 - 47 11
3 0 - 47 69 fever. The challenge appears to be greatest with regard to immu-
nization of children aged 7 - 14 years in areas where the in-
cidence of typhoid fever is very high. At present, the most pro-
Table 3. Efficacy of Ty2la Vaccine, Plgjn, Sumatra (15 months follow-up) mising approaches to immunization of such high-risk children
appear to be : (1) parenteral Vi vaccine, possibly conjugated to a
% Protection
Age in Years
carrier protein; and (2) Aro-mutants of S. yphi for use as live
Enteric capsule* L i q u i d vaccine* oral vaccines. The parenteral killed typhoid vaccine (especially
the acetone-killed vaccine) is useful for individuals such as
3-6 58 68 travellers and the military, but is not likely to be widely accepted
7-14 16 33 for public health use. The live oral vaccine Ty2la, appears to be
15-44 58 55
useful in populations with a moderate incidence of typhoid fever,
3-44 37 48
especially when multiple doses of the recently developed liquid
formulation are used.

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 27


Gambaran
Zat Anti IgG Anti FHA dan Anti PT
pada Bayi setelah Imunisasi dan
pada Anak-anak Penderita Pertusis
Muljati Prijanto, Rini Pangastuti, Siti Mariani S.
Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan R.I., Jakarta

ABSTRAK

Bordetella pertussis memiliki 3 komponen aktif yang bersifat antigen protektif,


ialah filamentous haemoglutinin (FHA), pertusis toksin (PT), dan aglutinogen.
Tujuan penelitian pendahuluan ini adalah untuk mengetahui gambaran zat IgG
anti-FHA, anti-PT serta aglutinin dalam proses pembentukan kekebalan pada bayi
setelah mendapat imunisasi DPT 3 dosis dan pada anak-anak penderita pertusis.
Kelompok studi terdiri dari anak-anak penderita pertusis dan bayi umur 2—3 bulan
yang telah mendapat imunisasi DPT 3 kali masing-masing sebanyak 10 orang. Kadar
zat anti IgG anti-FHA dan anti-PT diukur dengan cara ELISA sedangkan titer zat anti
aglutinin diukur dengan cara mikroaglutinasi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa zat anti IgG anti-FHA positif ditemukan
pada seluruh penderita pertusis maupun bayi yang diimunisasi DPT, namun kadarnya
lebih tinggi pada penderita pertusis. Kadar zat anti tersebut meningkat setelah pemberian
imunisasi ke 2 dan. 3. Persentase bayi yang memiliki zat anti IgG anti-PT positif
setelah imunisasi DPT 1,2 dan 3 masing-masing adalah 40%, 50% dan 100%, sedangkan
pada penderita pertusis 50%. Peningkatan persentase bayi dengan titer protektif terjadi
pula pada zat anti aglutinin.
Penelitian ini masih akan dilanjutkan untuk memperoleh gambaran yang lebih
lengkap dari imunitas terhadap pertusis.

PENDAHULUAN terutama aglutinogen 2 dan 3.3 FHA adalah protein yang ber-
Bordetella pertussis adalah kuman penyebab penyakit tanggung jawab untuk perlekatan bakteri pada sel epitel trakhea.4
batuk rejan, yang merupakan penyakit toxin mediated yang PT adalah protein eksotoksin yang mempunyai bermacam-
dimulai oleh kuman B. pertussis yang berlokasi pada silia macam aktivitas, oleh karenanya disebut juga dengan berbagai
dari deretan sel epitel saluran pernafasan. Bakteri hanya nama yaitu : Lymphocytosis Promoting Factor (LPF), Histamin
melekat dan memperbanyak din pada silia dan tidak SensitizingFactor(HSF), Islet ActivatingProtein (IAP) atau Pertus-
menyerang jaringan termasuk darah. Di situ bakteri sigen. Selain itu PT mempunyai aktivitas haemaglutinasi, tetapi
melepaskan eksotoksin yang mengakibatkan hampir semua tidak sama dengan FHA dan mempunyai aktivitas sebagai
gejala penyakit dan menyebabkan kekebalan jangka panjang. ajuvan terutama meningkatkan produksi zat anti IgE.2
Kuman ini tersusun dari bermacam-macam komponen yang Aglutinogen berasal dari fimbria yang menonjol dari per-
memiliki aktivitas biologis, tetapi belum semua dapat dikarak- mukaan sel. Genus Bordetella dikenal mempunyai 12 _agluti-
terisasi dengan baik. Komponen yang paling aktif sebagai nogen yang secara serotipe berbeda. Tipe 1—6 yang umum
antigen protektif adalah filamentous haemaglutinin (FHA) dan terdapat pada B. pertussis.
toksin pertusis (PT) yang telah dibuktikan dengan studi proteksi Kekebalan terhadap penyakit batuk rejan yang diperoleh
pada hewan. Dan kedua komponen tersebut telah dibuat vaksin setelah pemberian imunisasi relatif pendek waktunya, namun
pertusis aseluler.2 Selain itu terdapat Heat Labile Agglutinogen, lama kekebalan dapat diperpanjang dengan adanya booster

28 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


secara alami dalam populasi di mama B. pertussis prevalen. Tabel I. Persentase dan kadar rata-rata zat anti IgG anti-FHA, anti-PT dan zat
Sebaliknya imunitas yang diperoleh setelah sakit dapat bertahan anti aglutinin pada 2 kelompok studi.
lama.
IgG anti-FHA IgG anti-PT Aglutinin
Antibodi anti-FHA memegang sebagian peran dalam per- Kelompok Jumlah
lindungan terhadap infeksi pertusis bila ada antibodi anti-PT. n + GM + GM Titer≥80
GM
Antibodi anti-PT dan anti-FHA sangat penting sebagai anti (%) (EU/ml) (%) (EU/ml)
perlekatan, sedangkan zat anti aglutinin diduga berperan men-
cegah penyebaran bakteri pada pennukaan trakhea pada tahap
Bayi setelah
awal dari infeksi pertusis.4 Kadar zat antiaglutinin dalam sera DPT 1 40 1,4 0 1 : 10
10 100 3,75
telah lama digunakan sebagai indeks untuk statu,s kekebalan ter- DPT 2 10 100 3,79 50 2,57 50 1 : 67,27
hadap pertusis. DPT 3 10 100 5,05 100 3,35 70 1 :105,5
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran zat 40 -
Penderita 10 100 9,08 50 4,06
anti IgG, anti-FHA dan anti-PT serta aglutinin dalam proses
pembentukan kekebalan pada bayi setelah pemberian imunisasi
DPT 3 dosis dan pada anak-anak penderita pertusis. DPT 1, maupun pada penderita pertusis. Kadar zat anti tersebut
Penelitian ini merupakan pendahuluan yang masih akan meningkat setelah imunisasi DPT 2 dan 3, dengan kadar rata-
dilanjutkan. rata meningkat dari 3,75 EU/ml setelah imunisasi DPT 1 menjadi
masing-masing 3,79 EU/ml dan 5,05 EU/ml setelah imunisasi
BAHAN DAN CARA DPT ke 2 dan 3. Kadar rata-rata zat anti terhadap FHA pada
Kelompok studi terdiri dari bayi umur 2—3 bulan yang telah anak-anak penderita pertusis adalah 9,08 EU/ml.
mendapat imunisasi DPT 3 kali sebanyak 10 orang dan anak- Persentase zat anti IgG anti-PT positif pada bayi setelah
anak umur 3—12 tahun yang tengah menderita pertusis sebanyak imunisasi DPT ke 1 adalah 40% meningkat menjadi 50% setelah
10 orang dari daerah Kejadian Luar Biasa (KLB) pertusis di imunisasi ke 2 dan selanjutnya menjadi 100% setelah pemberian
Kabupaten Kerinci, Jambi. Kelompok bayi diambil darahnya 1 imunisasi ke 3. Kadar rata-rata (GM) meningkat dari 1,4 EU/ml
bulan setelah imunisasi DPT ke 1,2 dan 3, sedangkan anak- setelah imunisasi ke 1 (masing-masing) menjadi 2,57 EU/ml dan
anak penderita pertusis diambil darahnya pada saat lama sakit 3,35 EU/ml setelah imunisasi DPT ke 2 dan 3. Sedangkan pada
yang berbeda-beda.
kelompok anak-anak penderita pertusis hanya 50% saja yang
Pengambilan darah : Pads kelompok bayi darah diambil dari
ujung jari tangan dengan menggunakan pipet kapiler sebanyak memiliki kadar zat anti IgG anti-PT positif dengan kadar rata-
0,1 ml, sedangkan pada kelompok penderita pertusis diambil rata 4,06 EU/ml.
dari vena sebanyak 0,5 ml. Selanjutnya sera dipisahkan dan di- Persentase kadar zat anti aglutinin protektif dengan titer
simpan pads suhu -200.0 sampai saat dilakukanitya pemeriksa- 1 : 80 atau lebih masing-masing adalah 0%, 50% dan 70%
an. setelah pemberian imunisasi DPT ke 1, 2 dan 3 dengan titer
Pemeriksaan zat anti : Pengukuran zat anti IgG anti-FHA rata-rata sebesar 1 : 10, 1 : 67,27 dan 1 : 105,56. Sedangkan
dan anti-PT dilakukan dengan cara ELISA, 5 sedangkan kadar zat pada kelompok anak penderita pertusis persentasenya hanya
anti aglutinin diukur dengan menggunakan cara mikroaglu- 40%. Namun bila dihitung titer positif (1 : 10 atau lebih)
tinasi. 6 persentasenya adalah 100%. Rēndahnya persentase ini karena
Antigen : Untuk pemeriksaan ELISA digunakan antigen lama sakit dari penderita berbeda-beda dan pada sebagian besar
yaitu FHA dan PT yang telah dimurnikan, yang mengandung anak pembentukan zat anti baru tetjadi pada tahap awal.
200 ug PN/ml. Antigen diterima dari The Research Foundation Penyebaran kadar zat anti IgG anti-FHA dan anti-PT pada
for Microbial Diseases, Osaka University, Kanonji, Jepang. penderita pertusis dapat dilihat pada gambar 1.
Sedangkan untuk pemeriksaan mikroaglutinasi digunakan anti-
gen yang dibuat dari B. pertussis strain 18-323. Gambar I. Kadar Zat Anti IgG pada Penderita Pertussis
Referen sera : pada pemeriksaan ELISA digunakan referen
NH-13 yang berasal dari The National Institute of Health,
Tokyo, Jepang. Referen mengandung anti-FHA 260 EU/mil
ampul dan anti-PT 170 EU/ml/ampuL Antisera untuk pe-
meriksaan mikroaglutinasi adalah anti Tohama Rabbit sera yang
dibuat dari B. pertussis strain Tohama.
HASIL
Kadar rat anti IgG anti-FHA dan anti-PT dan kadar aglutinin
yang terbentuk pada bayi setelah imunisasi DPT 1,2 dan 3
plaupun pada anak-anak penderita pertusis dapat dilihat pada
tabel 1.
Zit anti IgG anti-FHA telah terbentuk pada semua kelompok
bayi yang mendapat imunisasi DPT 1, walaupun pada penderita
pertusis. Kadar zat anti tersebut meningkat setelah imunisasi

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 29


PEMBAHASAN penelitian Aoyama menunjukkan bahwa zat anti pada kelompok
bayi 4 minggu setelah imunisasi dasar sebanding dengan pada
Zat anti IgG anti-FHA telah terbentuk pada semua kelompok penderita pertusis pada fase konvalesen. Disimpulkan bahwa
baik bayi setelah imunisasi maupun anak-anak penderita pertu- pemberian imunisasi vaksin DPT aseluler memberikan respon
sis. Pada penelitian Sato (1985)' dilaporkan bahwa titer zat anti imun yang lebih baik bila dibandingkan dengan zat.anti PT dan
IgG terhadap FHA lebih tinggi setelah mendapat imunisasi FHA yang terbentuk karena infeksi pertusis.
dengan vaksin DPT aseluler bila dibandingkan dengan titer yang mengingat dalam penelitian ini jumlah sampel pada ke-
didapat karena infeksi. Winsnes dkk (1985)7 menemukan bahwa lompok bayi yang mendapat imunisasi DPT sangat kecil, maka
titer rata-rata zat anti terhadap FHA IgM, IgG dan IgAmencapai hasilnya tidak dapat dibandingkan dengan hasil penelitian lain.
puncak masing-masing antara minggu ke 2 dan 3, minggu ke 5 Kadar zat anti terhadap FHA dan PT pada .kelompok anak-
dan minggu ke 7. anak penderita pertusis penyebarannya masing-masing antara
Zat anti FHA tidak selalu sama ditemukan pada penderita 2—19, 98 EU/ml dan antara 0,96—6,26 EU/ml, sedangkan pada
pertusis dalam fase konvalesen, menunjukkan bahwa zat anti ter- penelitian Aoyama penyebaran kadar zat anti yang sama dari
sebut kurang penting untuk penyembuhan dan perlindungan penderita pada fase konvalesen adalah antara 0—10 EU/ml dan
jangka panjang terhadap adanya infeksi ulang dari kuman pertu- 2—50 EU/ml. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian penderita
sis (Nagel, 1985 dan Winsnes dkk, 1985),7 Granstorm (1982, belum berada pada fase konvalesen.
dikutip dari 7) melaporkan bahwa penurunan yang cepat atau
hilangnya zat anti FHA pada pengamatan berlanjut hasil pe- KESIMPULAN
meriksaan biakan kuman dari penderita pertusis, menunjukkan
bahwa zat anti ini tidak penting untuk imunitas jangka panjang. • Terbentuknya zat anti IgG terhadap FHA lebih awal dari zat
Titer rata-rata zat anti terhadap FHA pada sera konvalesen anti IgG terhadap PT.
kira-kira 10 kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan sera • Proteksi jangka panjang dari zat anti IgG terhadap PT diper-
orang-orang yang divaksinasi, terhadap semua zat anti IgM dan oleh secara baik setelah pemberian imunisasi DPT (vaksin
IgG. Menurut Winsnes zat anti ini mungkin memegang peran seluler) 3 dosis.
pada proteksi jangka pendek, dan dapat diharapkan tidak ada • Pada penderita pertusis zat anti IgG terhadap PT belum ter-
korelasi antara kadar zat anti FHA dengan lamanya gejala timbul bentuk pada semua anak, karena fase lama sakit yang berbeda.
pada waktu sakit (Viljanen 1985, dikutip dari 7). • Penelitian ini masih perlu dilanjutkan untuk memperoleh
Zat anti IgG terhadap PTsetelah imunisasi 1 hanya ditemukan gambaran yang lebih lengkap tentang imunitas terhadap pe-
pada 50% dari bayi. Hal ini mungkin disebabkan karena imuni- nyakit batuk rejan.
sasi diberikan pada usia 2—3 bulan di mana bayi masih memiliki
KEPUSTAKAAN
zat anti dari ibu. Pada penelitian ini kadar zat anti dari plasenta
tidak diperiksa sehingga belum dapat dibuktikan. Menurut 1. Pitman M. The concept of pertusis as a toxin mediated diseases. Pediatr
Infect Diseases 1984;,3 (5) : 467-86.
Winsnes7 pemberian imunisasi pada usia dini menyebabkan 2. Oda M, Higurasi M. Development of acellular pertussis vaccine in Japan.
penekanan pada respon anti PT IgG karena adanya efek peng- Acta Pediatr Jap 1988; 30 : 136-42.
hambat dari zat anti yang berasal dari ibunya. 3. Robinson A, . Ashworth LAE Cellular and defined component vaccines
Aoyama8 membandingkan kadar zat anti terhadap PT dan against pertussis 1988. Pathogenesis and Immunity in Pertussis. Wardlaw AE,
and Parton R (eds). New York : John Wiley & Sons Ltd, p. 399-413.
FHA dari 13 orang anak penderita pertusis fase konvalesen 4. Tuomanen E. Adherence of Bordetella pertussis to human cilia. Implication
yang berumur di bawah 2 tahun dengan kelompok bayi umur for diseases prevention and therapy. Microbiology 1986. Loretta Leive at
antara 3—23 bulan yang diimunisasi dengan vaksin DPT aseluler al. Amer Soc for Microbiol, New York. 1986; p. 59-64.
2-3 dosis dengan interval 1 bulan. Hasil penelitian ini menunjuk- 5. WHO. Proposed methods for the quality control of acellular pertussis
vaccine. Second draft 1985; p. 15-18.
kan bahwa kadar zat anti terhadap PT akibat pemberian imuni- 6. Manclark CR. Microaglutination procedure for Bordetel/a pertussis anti-
sasi vaksin DPT aseluler sama atau lebih besar dibandingkan bodies. 1980.
dengan kadarnya pada kelompok penderita pertusis, sedangkan 7. Winsnes R. Serological responses to pertusis. 1988. Idem 3 : 283-300.
kadar zat anti terhadap FHA berbeda nyata lebih tinggi pada ke- 8. Aoyama T, Hagiwara S, Murase Y, Kato T, Iwata T. Adverse reaction and
antibody response to acellular pertussis vaccines J Pediatr 1986; 109 :
lompok yang diimunisasi dari pada kadar zat anti tersebut pada 925-930.
kelompok penderita pertusis.
Menurut Kimura dan Granstōrm (dikutip dari 1) pembentuk- UCAPAN TERIMA KASIH
an zat anti terhadap PT dan FHA mencapai puncaknya antara Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Dr. Y. Sato yang telah mem-
6-10 minggu setelah serangan pertusis. Dengan demikian hasil berikan antisera referen, sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan.

A psychiatrist gets paid for asking a man the question his


wife asks for nothing.

30 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


Teknologi Vaksin Vaccinia
Rekombinan
Usman Suwandi
Pusat Penelitian dan Pengembangan PT. Kalbe Farma, Jakarta

PENDAHULUAN protein asing dengan bakteri terutama Escherichia coli untuk


Vaccine dan vaccination diambil dari kata Vaccinia, yaitu diterapkan pada pembuatan vaksin dengan pemikiran bahwa
virus DNA yang termasuk grup Poxvirus sebagai penyebab fraksinasi bahan genetika organisme penyebab penyakit dan
cowpox. Virus Vaccinia ini populer karena dapat dibuat vaksin cloning gen tersebut ke dalam organisme lab (bakteri atau
untuk imunisasi terhadap penyakit smallpox. Kemudian ber- virus) memungkinkan untuk mempelajari komponen-
kembang vaksin-vaksin lain yang mampu memberikan imunitas komponen organisme secara terpisah. Dalam aplikasinya virus
pain manusia dan hewan terhadap berbagai penyakit infeksi. vaccinia menjadi salah satu vektor antigen asing dan sekarang
Pembuatan vaksin biasanya memerlukan organisme hidup menjadi vektor yang paling populer untuk pembuatan vaksin.
seperti toksin bakteri atau immune sera dalam jumlah besar. Gen dari organisme penyebab penyakit seperti hepatitis B,
Pertumbuhan bakteri biasanya dilakukan pada media cair herpes simplex, influenza dan malaria telah dapat di clone
dalam bejaria fermentor. Media ditetapkan secara kimia dan ke dalam vaccinia. Bila vaccinia rekombinan ini digunakan
kondisi pembiakan diatur dengan tepat, seperti temperatur, untuk vaksinasi kelinci, antibodi terhadap antigen asing
pH, oksigen dan sebagainya. Untuk pembuatan vaksin virus, tersebut berhasil diproduksi.
pertumbuhan dapat dilakukan dalam host atau biakan sel
hidup. Vaksin smallpox dapat dibiakkan pada dermis anak REKAYASA GENETIKA VIRUS VACCINIA.
sapi domba, kerbau atau yang lain. Vaksin influenza dan Aplikasi virus hidup untuk imunisasi sudah berjalan ber-
yellow fever dapat dibiakkan pada fertile hen's eggs. Beberapa tahun-tahun.di berbagai negara.Vaksin bakteri dan virus hidup
virus dapat ditumbuhkan pada biakan sel. Biasanya sel disiap- yang dilemahkan berhasil memacu cell-mediated and humored
kan dari monkey kidney, chick embryo atau human diploid immune response pada host yang diinokulasi. Manfaat vaksin
cells. hidup telah banyak dibuktikan oleh beberapa vaksin yang
Inaktivasi atau detoksifikasi vaksin bakteri dapat dilakukan sangat penting bagi manusia dan binatang seperti vaccinia
dengan pemanasan atau desinfektan, misalnya formalin untuk virus, yellow fever virus, poliomyelitis virus, measles virus,
inaktivasi Bordetella pertusis sebagai whooping-cough vaccine, rubella virus, Mycobacterium dan sebagainya. Namun cara
dapat juga untuk detoksifikasi toksin Corynebacterium diph- pembuatan vaksin ini tidak dapat diterapkan untuk semua
theriae dan Clostridium tetani sebagai vaksin diphtheria dan organisme patogenik. Para ahli terus mengembangkan cara-
tetanus. Phenol juga digunakan inaktivasi Vibrio cholerae dan cara baru untuk mendapatkan vaksin baru.
Salmonella typhi sebagai vaksin kholera dan tifoid. Keberhasilari penemuan gen encoding antigen virus asing
Cara pembuatan vaksin konvensionil ini kurang efektif seperti influenza, hepatitis B, dan keberhasilan memasukkan
baik untuk vaksin subunit, vaksin hidup yang dilemahkan atau ke dalam rangkaian DNAvirus vaccinia serta kenyataan bahwa
vaksin yang dimatikan, sulit untuk membuat vaksin penyakit sifat antogenik tersebut dapat diekspresikan pada sel yang
yang tidak dapat dibiakkan in vitro dan sulit membuat vaksin diinfeksi, telah memperbesar harapan membuat vaksin hidup
dalam jumlah besar. Kemudian para ahli mulai melihat tekno- dengan rekombinan DNA. Telah dilaporkan, binatang per-
logi rekayasa genetika yang telah berhasil memproduksi cobaan yang diinokulasi dengan vaksin virus vaccinia rekombi-

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 31


nan, kemudian dapat mengembangkan imunitas tidak hanya berbagai stadium pengujian pada binatang percobaan dan di-
terhadap virus vaccinia tetapi juga organisme asal gen tersebut pelajari kelayakannya serta keamanannya. Untuk mempelajari
diambil. Hasil ini memberikan dorongan yang berharga, se- kelayakan, keamanan, efikasi dan efektivitas vaksin ini, para
hingga berhasil memperoleh antigen hemaglutinin atau nukleo- ahli telah mencoba membuat vaccinia rekombinan dari ber-
protein dari virus influenza dan dapat diekspresikan pada per- bagai antigen penyakit seperti, herpes simplex virus glyco-
mukaan sel target melalui vektor vaccinia. protein, influenza virus hemaglutinin, Hepatitis B virus surface
Pada prinsipnya vektor vaccinia rekombinan dapat diguna- antigen, rabies virus glycoprotein dan sebagainya. Inokulasi
kan untuk imunisasi manusia terhadap berbagai antigen vaksin rekombinan ini telah berhasil memacu produksi anti-
sumber penyakit. Virus vaccinia terpilih menjadi salah satu bodi yang bereaksi terhadap antigen dan mampu menetral-
vektor penghasil vaksin rekombinan hidup karena dibanding- lisir infektivitas virus.
kan dengan beberapa virus yang menginfeksi manusia, virus ini
Vaccinia rekombinan pengekspresi Hemaglutinin virus
mempunyai karakteristik yang memungkinkan untuk mani-
influenza.
pulasi gennya dan mampu mengekspresikan berbagai antigen
Hemaglutinin virus influenza terletak pada permukaan
asing. Beberapa sifat virus vaccinia yang menguntungkan
partikel virus influenza dan pada permukaan membran sel yang
antara lain, vaccinia merupakan virus DNA, manipulasi gene-
terinfeksi. Hemaglutinin dianggap sebagai antigen influenza.
tika dapat dilakukan dengan relatif mudah, mempunyai
Antibodi terhadap hemaglutinin dapat menetralisir infektivitas
genome yang mampu menerima berbagai DNA asing, mudah
virus influenza dan adanya antibodi ini menghambat aglutinasi
ditumbuhkan, mudah dimumikan dan mempunyai range host
eritrosit oleh hemaglutinin influenza.
yang lebar bail pada manusia dan binatang.
Bagian RNA influenza pengkode hemaglutinin disiapkan
Untuk menghasilkan virus vaccinia rekombinan, pertama-
sebagai cDNA dan dimasukkan ke dalam virus vaccinia.
tama perlu mengisolasi dan mengidentifikasi gen pengkode
Rekombinan ini mampu mensintesis hemaglutinin influenza
antigen yang mempunyai respon imunologis terhadap patogen
dengan sifat identik dengan hemaglutinin yang disintesis oleh
yang dikehendaki. Kemudian gen tersebut di clone pada
virus influenza sendiri.
rangkaian DNA vektor. Misalnya respon imunologis terhadap
Bila virus vaccinia rekombinan ini diinokulasikan ke
infēksi hepatitis B dapat ditimbulkan dari surface antigen
binatang, akan memacu produksi antibodi yang bereaksi
(SAg). Rangkaian DNA (gen) virus hepatitis B pengkode SAg,
dengan hemaglutinin influenza asli, menetralkan infektivitas
diisolasi dan di clone pada vektor vaccinia. Virus vaccinia re-
virus influenza dan menghambat aglutinasi eritrosit. Dan di-
kombinan ini kemudian dapat dibiakkan secara in vitro untuk
laporkan, binatang yang diimunisasi dengan vaccinia rekom-
pembuatan vaksin. Tentu saja vaksin ini sebelum digunakan
binan ini memperlihatkan resistensi terhadap virus influenza
harus diuji terlebih dahulu kemampuan antigeniknya pada
hidup secara intranasal.
binatang percobaan dan pengujian lainnya. Inokulasi vaccinia
Vaccinia rekombinan pengekspresi Hepatitis B Virus Surface
rekombinan ke dalam binatang percobaan akan memacu
Antigen.
respon imunitas terhadap organisme sumber penyakit asal
HBSAg dianggap sebagai antigen hepatitis B, dan ternyata
gen tersebut diambil.
HBSAg yang diperoleh dari plasma orang terinfeksi merupa-
Pada prinsipnya rekombinasi gen asing ke dalam rangkaian
kan imunogen yang menimbulkan kekebalan. Vaccinia rekom-
DNA vaccinia meliputi beberapa tahap :
binan pengekspresi HBSAg dilaporkan telah dapat dibuat.
1) Cloning rangkaian DNA vaccinia yang tidak mengandung
Sel-sel yang diinfeksi dengan virus rekombinan ini mensekresi-
informasi penting untuk replikasi ke dalam plasmid bakteri.
kan bahan HBSAg yang bereaksi dengan anti-HBSAg; hasil
2) Gen pengkode antigen asing misalnya HBSAg, dimasukkan
sintesis ini ternyata tak dapat dibedakan dengan HBSAg asli.
ke dalam rangkaian DNA vaccinia dalam plasmid, sehingga
Bila binatang diinokulasi dengan uaccinia rekombinan ini se-
DNA asing ini akan diapit DNA vaccinia.
cara intravena atau intraderma, maka binatang tersebut mem-
3) Plasmid yang mengandung DNA asing dan vaccinia di-
produksi anti-HBSAg. Simpanse yang divaksinasi dengan virus
masukkan ke dalam sel yang telah diinfeksi dengan vaccinia
ini memperlihatkan proteksi terhadap virus hepatitis B.
dalarh bentuk Ca phosphate DNA Co-precipitate.
4) Rekombinasi antara vaccinia pengapit gen asing dan DNA Vaccinia rekombinan pengekspresi antigen malaria.
homolog salami replikasi DNA virus menyebabkan masuknya Organisme penyebab malaria mempunyai tiga fase dalam
DNA asing ke tempat spesifik. siklus hidupnya dan vaccinia rekombinan telah berhasil dibuat.
5) Virus infeksi dilepaskan dari sel berupa campuran virus Binatang yang diinokulasi virus ini memproduksi antibodi yang
vaccinia yang tidak mengandung gen asing dan yang me- sesuai.
ngandung gen asing. Karena perbedaan stadium dalam siklus hidup organisme
6) Virus 'vaccinia rekombinan diseleksi, dimurnikan dan di- ini, maka masing-masing mempunyai antigen spesifik. Kekebal-
tumbuhkan untuk pembuatan vaksin secara in vitro. an terhadap yang satu, tidak akan melindungi manusia ter-
hadap dua stadia lainnya, sehingga vaksinasi optimal memerlu-
PENERAPAN VACCINIA REKOMBINAN. kan beberapa antigen yang diperoleh dari setiap stadium.
Vaksin vaccinia rekombinan dilaporkan sudah memasuki Dengan vaksin vaccinia, beberapa gen mungkin dapat dimasuk-

32 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


kan dan dapat diekspresikan pada vaksin vaccinia tunggal. Untuk mengatasi masalah tersebut, vaksin vaccinia rekom
Vaccinia rekombinan pengekspresi Rabies Virus Glycoprotein. binan kelihatannya mampu menutupi kekurangan tersebut
cDNA glikoprotein telah dapat dimasukkan ke dalam Virus vaccinia bila digunakan untuk imunisasi binatang
rangkaian DNA vaccinia dan mampu mengekspresikan antigen mampu menghasilkan antigen asing pada host dengan cara
virus rabies. Kelinci dan mencit yang diinokulasi vaksin ini mirip infeksi alarni, sehingga maupun merangsang kekebalan,
mampu menginduksi keluarnya antibodi yang sesuai. Binatang baik antibody response mampu cellular immune response.
lab yang divaksinasi dengan virus rekombinan ini memper- Selain efikasinya menimbulkan respon kekebalan, keuntungan
lihatkan reaksi imunitas terhadap beberapa strain rabies vaksin ini juga dalam stabilitas dan kemudahannya.
intraserebral. Gen yang dimasukkan ke dalam rangkaian DNA virus
Vaccinia rekombinan pengekspresi Lymphadenopathy- vaccinia memungkinkan menghasilkan vaksin untuk penyakit
associated virus. yang disebabkan virus, bakteri, dan parasit pada manusia dan
LAV sebagai organisme penyebab AIDS merupakan re- binatang. Selain itu vaksin vaccinia dapat dibuat menjadi
trovirus grup Lentivirus dan mempunyai antigen pada per- vaksin polivalen yang mengandung beberapa antigen patogenik
mukaannya, yaitu protein. Dilaporkan DNA pengkode env yang berbeda. Sehingga mungkin dibuat satu vaksin yang
telah berhasil dimasukkan ke rangkaian DNA vaccinia dan dapat menghasilkan lebih dari satu antigen.
protein env yang dihasilkan memperlihatkan reaksi terhadap
KEPUSTAKAAN
sera penderita AIDS.
1) Allison AC. Vaccine Technology : Developmental strategies.
PENUTUP. Biotechnology (Oct) 1987 : 1038 - 4 0 .
Proteksi melawan infeksi berbagai organisme patogenik 2) Brown F. Peptides as the next generation of Foot and Mouth
ditentukan oleh sistem imunologis host. Respon kekebalan Disease Vaccines. Biotechnology 1985; 3 : 4 4 5 - 8 .
3) Kieny MP. et al. Aids virus env protein expressed from a recom-
terdiri dari dua macam yaitu antibody response dan cellular binant vaccinia virus. Biotechnology 1986; 4 : 7 9 0 - 4 .
immune response. Cellular immune response mempunyai 4) Panicolli DL. Development of live recombinant vaccines using
peranan tidak kalah penting dibanding antibodi dalam me- genetically engineered Vaccinia Virus. World Biotech Rep 1984;
macu timbulnya kekebalan. Vaksin hidup merupakan cara 2 : 357–66.
5) Paoletti E et al. A modern approach to live vaccines : Recom-
yang paling efektif untuk merangsang kedua respon imuno- binant Poxviruses. Biotechnology : Potentials & Limitations.
logis tersebut. Springer Verlag, 1986 : p. 1 5 5 – 6 4 .
Vaksin hidup yang dibuat secara konvensionil mempunyai 6) Ratafia M. Worldwide opportunities in genetically engineered
beberapa keterbatasan, misalnya kesulitan produksi dalam vaccines, Biotechnol 1987; 5 : 1 1 5 4 – 8 .
7) Rowlands DJ. Vaccines – the synthetic antigen approach. Biotech-
jumlah besar. Walaupun beberapa vaksin bakteri tidak terlalu nology : Potentials & Limitations. Springer Verlag, 1986 : p.
menimbulkan masalah, tetapi vaksin virus dalam pembiak- 138–54.
kannya memerlukan kondisi sangat kompleks. Beberapa 8) Sheffield F. Manufacture of immunological products and their
virus harus ditumbuhkan pada biakan sel, embrio telur yang di- quality control. Pharmaceutical Microbiology. Blackwell Scien-
tific Publ 1977 : p. 232–52.
buahi atau di dalam binatang. Kondisi ini jelas menjadi pem- 9) Sutton P. Application of biotechnology in healthcare – a review.
batas. Di samping itu cara konvensionil tidak memungkinkan Biotechnol. 85 : 373–9.
membuat vaksin dari organisme yang tidak dapat dibiakkan 10) Woodrow GC. New generation vaccines. World Biotech Rep 1985;
secara in vitro. 3 : 167–78.

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 33


Efektivitas Imunis.asi untuk Menurunkan
Angka Kematian dan Penyakit PD3I
di Indonesia
Kusnindar Atmosukarto
Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RJ., Jakarta

ABSTRAK
Dari pengumpulan data sekunder dapat diketahui bahwa jutaan anak-anak di dunia
meninggal dunia akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) setiap
tahun. Program imunisasi di Indonsia, di samping upaya kesehatan lainnya, dapat
menurunkan angka kematian bayi dari 107 permil menjadi 71 permil dalam kurun waktu
1980-1985. Angka kematian kasar (Crude /Death Rate) turun dari 12,1 menjadi 7,0 per
seribu penduduk. Pengaruh cakupan imunisasi campak terhadaa penurunan angka kema-
tian umur 1—14 tahun cukup berarti dengan koefisien kontingensi sebesar 0,4 pada taraf
nyata 0,01. Upaya imunisasi masih merupakan upaya yang efektif untuk menurunkan
angka kematian bayi dan angka kematian kasar, karena 28,5% penyebab kematian bayi
di antaranya karena tetanus 19,7%, difteri dan campak 8,1%, batuk rejan 0,53% dan TB
0,4%.
Keberhasilan program imunisasi diperkirakan dapat menurunkan angka kematian
dari 7,0 menjadi 5,5 per 1000 penduduk.

PENDAHULUAN anak, (2). Mepertahankan apa yang telah dicapai pada tahun
1990 dan meningkatkan cakupan DPT I 90% dan imunisasi
Latar belakang lengkap 80% di masing-masing propinsi dan diharapkan sampai
Program imunisasi di Indonsia dimulai sejak tahun 1956 kecamatano)
dengan melaksanakan vaksinasi cacar di Puiau Jawa, hingga
Indonesia dinyatakan bebas cacar oleh WHO pada tahun 1974. Tujuan pengkajian
Dengan keberhasilan tersebut maka sejak itu dilakukan pula Pengkajian. dilakukan untuk mengetahui efektivitas program
vaksinasi Toxoid Tetanus untuk Ibu Hamil (1974). Vaksinasi imunisasi terhadap penurunan prevalensi penyakit-penyakit yang
DPT dimulai tahun 1976, vaksinasi BCG di tahun 1978. Pengem- bersangkutan dan kematian yang disebabkan oleh penyakit ter-
bangan Program Imunisasi (PPI) secara resmi dimulai tahun sebut.
1977. Vaksinasi Polio dan Campak mulai dikembangkan pada Pengumpulan data
tahun 1980, sehingga pada tahun 1982 program imunisasi telah Data yang dikumpulkan adalah data sekunder berupa hasil-
mencakup 6 jenis antigen yaitu : BCG, DPT, Polio dan Campak. hasil penelitian mengenai penyakit-penyakit yang dapat dicegah
Target Pelita IV ialah cakupan 65% imunisasi lengkap atas dengan imunisasi serta data cakupan imunisasi yang dilakukan
semua bayi. oleh Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan
Sasaran penting dalam Pelita V ialah : (1). tercapainya Uni- Penyehatan Lingkungan Pemukiman, Departemen Kesehatan
versal Child Immunization (UCI) atau imunisasi untuk semua R.I.

34 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


Pemanfaatan basil pengkajian 4) Tetanus
Hasil pengkajian dapat digunakan sebagai masukan untuk Tetanus neonatorum disebabkan oleh pemotongan tali pusat
pertimbangan perbaikan dalam pelaksanaan progrām imunisasi dengan alat yang tak steril, atau menutupinya dengan bahan-
dan memberikan gambaran efektivitas imunisasi untuk me- bahan seperti abu, lumpur sehingga terinfeksi dengan bakteri
nurunkan angka kematian. tetanus.
Kasus tetanus di dunia diperkirakan mengenai 800.000 bayi
GAMBARAN MASALAH PENYAKIT PD3I(4,5) yang ban' lahir setiap tahun. Dalam tahun 1983 dilaporkan
10.000 tetanus neonatorum dari 74 negara. Hampir 100% bayi
Jutaan anak-anak meninggal dunia akibat penyakit yang se- yang menderita tetanus neonatorum, meninggal dunia.
benarnya dapat dicegah dengan imunisasi. Penyakit tersebut Penyakit tetanus ditandai dengan kejang-kejang yang ber-
ialah: Campak, Difteri, Pertusis, Tetanus, Polio dan Tuberkulosis. kembang ke seluruh wbuh. Saat ini hanya ± 14% ibu hamil di
1) Campak (Measles) dunia ini yang mendapatkan imunisasi TT dua dosis.
Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang telah mendapatkan vak-
Penyakit campak merupakan pembunuh No. 1 di antara 6 sinasi tetanus toxoid (IT) pada waktu hamil, akan mendapatkan
penyakit (PD3I) yang disebabkan oleh virus. Dipērkirakan di kekebalan selama 12 minggu dari sejak ia dilahirkan.
negara yang sedang berkembang terdapat 67 juta kasus tiap tahun
dan 2 juta di antaranya meninggal. Dalam tahun 1983 dilaporkan 5) Poliomyelitis
kasus sebanyak 3,1 juta dari 148 negara. PenyakitPolio disebabkan oleh virus yang dibedakan menjadi
Campak menular melalui kontak perorangan dengan pen- 3 jenis, yakni virus 1, 2 dan 3. Diperkirakan 275.000 anak-anak
derita. Penderita dapat menularkan penyakit sebelum dan se- di negaja-negara sedang berkembang menderita polio paralitik
sudah timbulnya ruam (bercak-bercak merah pada kulit). Gejala setiap tahun sebelum mencapai usia 3 tahun. Polio merupakan
awal penyakit berlangsung 3 – 7 hari berupa kulit berwarna penyebab utama kelumpuhan di dunia. Pada tahun 1983 di-
merah dan terasa dingin, mata berair, hidung beringus, batuk, tak laporkan 36.400 kasus dari 170 negara.
enak badan dan demarntinggi, diikutidengan gejala spesifik Polio dapat menular melalui kontak langsung atau makanan
campak berupa vesikel putih keabu-abuan, dikelilingi warna dan minuman yang terkontaminasifaeces. Penderita dapat men-
merah (Kpplik spots). Komplikasi terjadi pada± 30% penderita jadi carrier dan dapat menularkan ke orang lain 3 minggu sejak
meliputi infeksi telinga, pneumonia,, dime, dan ensefalitis. ia terinfeksi. Masa inkubasi polio paralitik berkisar antara 7 -14
Diperkirakan hanya ± 41% anak balita di dunia yang men- hari. Gejala polio meliputi antara lain : demam, talc enak badan,
dapatkan imunisasi campak. sakit tenggorokan, mual-mual, diare, sakit kepala, leher kaku,
2) Difteri sakit otot di anggota badan dan punggung dan paralisis. Satu dari
200 penderita akan mengalami paralisis.
Difteri disebabkan oleh C. diphteriae, sering timbul di negara Imunisasi diberikan secara oral dengan vaksin polio OPV.
dengan keadaan kesehatan lingkungan tidak baik; jarang timbul Hanya + 48 % anak-anak di dunia mendapatkan imunisasi lengkap.
di negara-negara industri. Dalam tahun 1983 dilaporkan 46.800
kasus di 160 negara,kira-kira 10% diantaranya meninggal dunia. 6) Tuberkulosis
Penderita dapat menulari orang lain melalui kontak per- Hampir semua merupakan TB. paru, meskipun dapat me-
orangan.setelah sakit selama 4 minggu atau lebih. Gejala me-. nyerang organ tubuh lain (tulang dan sendi,ginjal).
liputi demam, tak enak badan dan sakit tenggorokan. Basil difteri Tuberkulosis menyebabkan penderitaan + 10 juta korbannya
di tenggorokan mengeluarkan toksin yang dapat berakibat fatal setiap tahun, 2 juta di antaranya adalah anak-anak balita. Lebih
bagi jantung dan susunan saraf. dari 60.000 kasus menderita meningitis. Anak yang menderita
Imunisasi lengkap DPT pada bayi di dunia, mencapai ± 47%. TB meningitis meskipun diobati + 50% akan meninggal dan bila
3) Batuk rejan (Pertussis) tak diobati 100% meninggal. Tanpa pengobatan, penderita TB
paru akan menjadi sumber penularan seumur hidup.
Pertusis disebabkan oleh B. pertussis. Diperkirakan kasus Gejala TB pant meliputi demam yang tak tinggi, batuk, darah
pertusis sejumlah 51 juta dengan kematian lebih dari 600;000 dalam dahak, sakit dada, keringat waktu malam dan berat badan
orang; namun hanya 1,1 juta penderita dilaporkan dari 163 menurun.
negara dalam tahun 1983. Hampir 80% anak-anak yang tidak Satu dosis vaksin BCG dapat melindungi masa kanak-
diimunisasi menderita sakit pertusis sebelum umur 5 tahun. kanak terhadap TB. Imunsasi BCG perlu diberikan kepada bayi
Kematian `karena pertusis, 50% terjadi pada bayi (umur < 1 setelah lahir. Kira-kira 46% anak-anak di dunia telah
tahun). diimunisasi BCG. Di negara sedang berkembang cakupan
Pertusis ditularkan melalui kontak dari orang ke orang, dan imunisasi mencapai + 39% dan di Eropa ± 70%.
penderita dapat menularkan penyakit sejak timbulnya gejala
awal."Masa inkubasi penyakit 6 – 12 hari. Gejala awal pertusis HASIL
menyerupai influensa, yakni pilek, bersin-bersin, batuk dan
demam (stadium catarrhalis) kemudian diikuti stadium spas- Cakupan Imunisasi Polio Nasional 1980-1988, menunjukkan
modik dan konvalesen. bahwa dimulai dari ± 2% pada tahun 1981, meningkat setiap

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 35


tahun hingga mencapai lebih dad 80% pada tahun 1988 untuk antaranya kemungkinan besar disebabkan oleh meningitis tu-
Polio 1 dan lebih dari 70% untuk Polio 2 dan 3. Cakupan berkulosis.
Imunisasi Campak berturut-turut 2% pada tahun 1982, 6% Untuk memberikan gambaran hubungan antara cakupan imu-
(1983),11% (1984), 26% (1985), 45% (1986), 57% (1987), dan nisasi dengan angka kematian, disajikan tabel cakupan imunisasi
64% pada tahun 1988. Cakupan TT 1 dan 2 pada ibu hamil pada campak di 7 propinsi dikaitkan dengan angka kematian menurut
tahun 1980 sebesar + 12% dan + 8% menjadi + 37% dan + 22% golongan umur di propinsi tersebut dalam tahun 1985/1986
pada tahun 1985, dan mencapai + 42% untuk TI' 1 dan + 35% (Tabel 6). Masih banyak variabel-variabel lain yang dapat
untuk TT 2 pada tahun 1988.(6) mempengaruhi angka kematian antara lain status gizi, pola upaya
Untuk memberikan gambaran efektivitas cakupan immnisasi pelayanan kesehatan penderita, social budaya, lingkungan dan
terhadap penurunan kejadian penyakit PD3I, dikemukakan lain-lain.
kejadian penyakit Campak dan difteri di 7 propinsi menurut suatu
hasil survai kesehatan rumah tangga tahun 1985 (Tabel.1) dan Tabel 3. Proporsi beberapa jenis penyakit menurut golongan umur di Indonesia.
cakupan imunisasi campak dan DPT 3 di 7 propinsi tersebut Tahun 1985.
dalam tahun yang sama (Tabel 2). Data mengenai proporsi
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi menurut golong- Golongan Umur (%)
an umur dalam tahun 1980 dan 1985, dikemukakan dalam Tabel
Penyakit Jumlah
3 dan Tabel 4. Tahun

Tabel 1. Kelompok diagnosis Penyakit Difteri dan Campak berdasarkan keluhan 1 1-4 5-14 15-54 > 54
per 100.000 penduduk dl 7 Propinsi. Tahun 1986.
Tuberkulosis 0,1 0,6 1,3 6,8 13,8 5,1
Jumlah Penduduk Penderita difterl Difteri, pertusis,
Propinsi disurvai dan Campak Campak 4,1 2,4 2,1 0,1 0,0 1,2
Jumlah Per 100.000 Polio* - - - - - -
orang penduduk Tetanus 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
Penyakit lain 95,8 97,0 96,6 93,1 86,2 93,7
Bali 38.069 38 99,82
Bengkulu 41.357 92 222,45
DI Yogyakarta 41.750 4 9,58 Jumlah 100 100 100 100 100 100
Sulut 41.793 24 57,43
NTB 42.987 21 48,85 Keterangan : • Tidak ada data.
KalBar 43.944 39 88,75 Sumber : Survai Kesehatan Rumah Tangga (L. Ratna Budiarso,1986)
Maluku 41.134 66 159,97 Survai di Propinsi : DJ. Yogyakarta, Bali, Sulu:, Bengkulu, Kalbar, Maluku
dan NTB.
Keterangan :
Sumber :S K R T 1986.
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Tabel 2. Cakupan Imunisasi DPI' dan Campak di 7 propinsi. Tahun1986.
Cakupan program imunisasi telah mencapai rata-rata 59,3%
Jumlah Penduduk Cakupan imunisasi (96) di 7 propinsi, dan padawilayah yang sama di 7 propinsi tersebut
Propinsi disurvai dalam kurun waktu 5 tahun dari 1980-1985, IMR menurun dari
DPT Campak
107 per seribu menjadi 71,6 per seribu.
Bali 69.121 58,5 51,2 Dari tahun 1980 sampai tahun 1985, penderita tuberkulosis
Bengkulu 33.952 46,4 50,1 menunjukkan peningkatan yang lebih besar pada golongan umur
D.I. Yogyakarta 74.742 48,1 47,6 yang lebh tinggi. Sebaliknya kasus penyakit Difteri, Batuk Rejan
Sulawesi Utara 81.382 36,8 33,8 dan Campak cenderung menurun pada kelompok umur yang
NTB 107.471 11,4 33,1
KalBar 93.634 11,7 6,5 lebih tinggi, meningkit pada umur Balita; sehingga cakupan
Maluku 62.529 7,8 4,9 imunisasi pada kelompok ini perlu ditingkatkan.
Proporsi penyakit PD3I ialah 6,45% dari seluruh penyakit
Keterangan : pada tahun 1980 menjadi:6,32% dalam,tahun 1985. Sedangkan
Sumber : Ditjen P3M & PLP Dep. Kes. R.I. & SKRT 1985.
proporsi kem atian disebabkan oleh PD3I ialah 21,4% dari seluruh
kematian bayi dalam tahun 1980, menjadi 28,5%'dalam tahun
Proporsi kematian dari penyakit PD3I terhadap seluruh pe- 1985. Kenaikan disebabkan oleh kematian bayi akibat Campak.
nyebab kematian dapat dilihat dalam Tabel 5, yakni 15,9% Di Indonesia, PD3I masih menjadi masalah kesehatan. Pe-
dalam tahun 1980 dan 22,1% dalam tahun 1985, sedangkan nyakit PD3I menjadi penyebab kematian ± 23,12% dari seluruh
diagnosis penyakit penyebab kematian pada bayi disajikan kematian, diikuti oleh diare (12,84%), penyakit jantung dan
dalam Tabel 6. Dari tabel ini dapat diketahui bahwa pada tahun pembuluh darah (9,75%). Oleh karena itu program imunisasi
1980, 21,8% kematian bayi disebabkan oleh Tetanus, Difteri dan masih merupakan upaya yang paling.efektif untuk menurunkan
Campak, Meningitis menyebabkan 7,5% kematian bayi, 5% di angka kematian,baik Angka Kemtian Bayi (1MR) maupun Angka

36 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


Tabel 4. Proporsi penyakit PS3I menurut golongan umur di Indonesia. Tahun 1980

<1 th 1-4 th 5-44 th 15-24 th 25-34 th 35-44 th 45-54 th > 54 th Jumlah


Penyakit
n % n % n % n % n % n % n % n % n %

Campak 29 4,71 96 3,7 41 1,7 2 0,16 - - - - - - - - 168 1,18


Tb. paru 5 0,81 27 1,0 35 1,45 38 3,11 54 3,62 130 7,31 161 9,51 251 11,7 701 4,94
Tb. lain 4 5
0,1 4 0,17 6 0,49 5 0,34 - - 7 0,41 5 0,23 31 0,21
- -
Pertusis 2 0,33 3 50,1 5 0,81 - - - - 1 0,06 - - - - 10 0,07
Difteri - - 3 2
0,3 2 0,08 - - - - - - - - - - 5 0,04
Tetanus 2
- - - - - - - - - - - - - - - - - -
Polio - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Lain 579 94,15 24 94, 2327 95,79 1175 96,24 1433 96,04 1648 92,63 1525 90,08 1890 88,07 13278 93,55
30 61

Jumlah 615 100 2563 100 2414 100 1221 100 1492 100 1779 100 1693 100 2146 100 14193 100

Keterangan :
Sumber : Dr. Ratna L. Budiarso, MSc, Survai Kesehatan Rumah Tangga 1980. Data Statistik.

Tabel 5. Proporsi kematian akibat penyakit yang dapat dicegah dengan akan dapat diturunkan dari 71 menjadi + 51 per seribu kelahiran,
Imunisasi di Indonesia. Tahun 1980 & 1986.
hidup.
Persentase dari seluruh kematian KEPUSTAKAAN
Penyakit Tahun 1980 Tahun 1986 1. Departemen Kesehatan RI. Petunjuk Pelaksanaan Pengembangan Program
Imunisasi. Jakarta, April 1989.
Tuberkulosis 8,4 8,6 2. L Ratna Budiarso dkk. Survai Kesehatan Rumah Tangga 1986. Badan
Campak 0,3 6,7 Litban Kesehatan Departemen Kesehatan RL 1986.
Tetanus 6,5 6,0 3. Ditjen PPM & PLP, Departemen KesehatAan RL Pemantauan Program
Difteri 0,7 0,4 Imunisasi tahun 1988/1989.
Batuk rejan - 0,4 4. WHO. Imunization, a chance for every child. Geneva: WHO 1987.
Polio - - 5. Abdoerrac'hman dkk. Kumpulan Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Penyakit lain-lain 84,1 77,9 Kedokteran UniversitasIndonesia. FKUI, 1968.
6. Ditjen PPM & PLP Departemen Kesehatan RI. Pemantauan Program
Jumlah : Jmunisasi,1988/1989.
100,0 100,0 7. Ditjen PPM & PLP Departemen Kesehatan RI. Pelaksanaan Imunisasi.
Modul lātihan petugas imunisasi modul 8. 1989.
Keterangan :
8. Ratna L. Budiarso. Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1980. Data
Sumber : SKRT (L. Ratna B udiarso dkk,1986).

Tabel 6. Kematian menurut golongan umur dan beberapa tingkat cakupan imunisasi campak di 7 Propinsi. Tabun 1985/1986.
Cakupan Ball Bengkulu DIY Sulut NTB KalBar Maluku
Imunisasi Jumlah
51% 50,1% 41,6% 33,8% 33,1% 6,5% 4,9%

Umur n 96 n % n % n % n % n % n % n %

< 1 th 47 27,1 92 76,0 20 27,0 49 52,2 170 120,9 112 72,9 81 66,0 571 71,8
1 - 4 th 9 2,6 87 18,0 6 2,0 15 3,8 68 13,7 81 15,2 58 11,4 324 10,6
5 - 9 th 1 0,2 24 4,0 1 0,3 8 1,4 19 3,0 19 2,8 17 2,7 89 2,3
10 - 1 4 th 1 0,2 4 0,7 0 0,0 8 1,4 10 1,6 9 1,5 3 0,5 35 0,9
> 15 th 139 21,8 111 20,6 135 20,1 153 23,1 162 19,5 162 27,7 152 23,7 1036 22,3

Jumlah 165 4,0 197 5,1 233 5,6 337 8,2 383 8,7 311 7,2 429 10,0 2055 7,0

Keterangan :
Sumber : SKRT 1986 (2) dan Ditjen PPM & PLP Dep. Kes. RI.
Statistik DepartemenKesehatan RI. Badan LitbangKesehatan Puslit Ekologi
Kesehatan, Jakarta, 1980.
9) Nasution MS. dkk. Vaccine Production and Immunization Progamme in
Kematian Kasar (CDR) karena 28,5% IMR disebabkan karena South East Asia resent status and prospects. SEAMIC Workshop, Tokyo.
penyakit PD3I. Angka kematian kasar pada tahun 1985 ialah 7,0 1986.
per seribu penduduk(2), sedangkan angka kematian bayi (AKB) 10) Sujana. Metoda Statistik. Bandung: Taraito 1982.

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 37


Masalah Gangguan Asam Basel dan.
Beberapa Pandangan di Bidang Neurologi

A.A. Bgs. Ngr. Nuartha


Laboratorium/UPF Bagian Ilmu Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSU Wangaya,
Denpasar, Bali

''A little neglect may breed mischief'


(Benjamin Franklin)

PENDAHULUAN a) Pengeluaran CO2 /H2 CO3 oleh paru-paru.


Sel-sel tubuh dapat hidup sehat dan aman di lingkungan CO2 yang dibentuk oleh metabolisme jaringan, sebagian
.yang mempunyai pH antara 7,35 dan 7,45. Bilamana terpaksa, besar mengalami hidrasi- menjadi H2CO3 ; pembebanan H+
sel-sel masih dapat hidup dalam lingkungan yang mempunyai total dari sumber ini lebih dari 12500 mEq/hari. Sebagian
pH 6,8 sampai 7,8. Oleh karena sempitnya batas-batas ter- besar CO2 diekskresi melalui paru-paru, hanya sedikit H+
sebut, maka usaha kompensasi dari tubuh sangat penting. Apa- dari sumber yang diekskresi oleh ginjal.
bila tidak berhasil, akan terjadi dekompensasi dan harus di- b) Pengeluaran asam/basa oleh ginjal dan usus.
lakukan tindakan koreksi. Misalnya: kehilangan asam karena muntah-muntah, ke-
pH darah dalam keadaan fisiologis terletak antara 7,35— gagalan ginjal untuk mengekskresi beban asam yang normal
7,45 (rata-rata 7,4). pH darah vena dan arteri berbeda sekitar dalam tubuh. Dari hasil metabolisme, sebanyak 30—50 mEq
0,021-4 . pH likuor serebrospinal terletak di antara 7,31—7,375. H+ harus dikeluarkan oleh ginjal setiap hari.
pH cairan ekstraseluler (CES): 7,4 + 0,05, dan pH cairan intra- c) Penambahan secara endogen yang tidak fisiologis.
seluler (CIS): 6,8—7,0. Jadi pH darah dan likuor serebrospinal Misalnya pada ketosis diabetes (asam asetoasetat dan beta
(LSS) mencerminkan suatu pH CES3,5,6
hidroksobutirat).
PANDANGAN UMUM d) Penambahan secara endogen dari hasil metabolisme yang
Cairan disebut asam bila mampu melepaskan/menyumbang- fisiologis, misalnya: pembentukan asarn laktat sebagai hasil
kan H+ (hydrogen-ion donor), sedangkan suatu cairan bersifat kerja otot pada latihan yang berat.
basa bila sanggup menerima H+ (hydrogen-ion acceptor)1,3,7. e) Pembentukan asam dalam jumlah besar oleh sel-sel lambung
Keseimbangan asam-basa cairan tubuh (CES maupun CIS) (fisiologis).
ditentukan oleh konsentrasi H+1,8 f) Pemberian asam/basa secara eksogen melalui makanan.
AsamJ Basa + H+ Misalnya: makan garam yang mengandung asam, seperti
I NH4Cl dan CaC12 yang menambah HCI tubuh.
Buah-buahan adalah sumber utama alkali sehari-hari.
Keadaan asidosis terjadi apabila terdapat kelebihan asam atau Mereka mengandung garam-garam Na+ dan K+ dari asam-asam
kekurangan basa, sedangkan keadaan alkalosis (baseosis) ter- organik lernah; anion-anion garam ini dimetabolisme menjadi
jadi apabila terdapat kekurangan asam atau kelebihan basa1,4,9 CO2 dan meninggalkan NaHCO3 dan KHCO3 dalarn tubuh.
Yang penting dalam masalah keseimbangan asam-basa Garam-garam pembentuk alkali ini kadang-kadang dimakan
adalah mempertahankan konsentrasi H+ dalam CES. Konsen- dalam jumlah besar.
trasi H+ intrasel yang walaupun tidak identik dengan konsen- Kadar H+ dinyatakan dengan kesatuan pH (rumusnya:
pH = —log kadar H+). Kadar H+ dalam cairan tubuh adalah
trasi CES, sangat tergantung pada konsentrasi H`CES. Karena
0,00004 mEq/L (10-7,4g/L). Sehingga pH nya menjadi. —log
sel-sel sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan kon- 10-7,4 = 7,4. Secara teknis, asidosis adalah bila pH arteri di
sentrasi H+, maka mekanisme yang mengatur susunan CES bawah 7,4, dan alkalosis bila pHnya di atas 7,4; pH di bawah
sangat penting10 7,25 atau di atas 7,55 hampir selalu memerlukan terapi3,10.
Faktor-faktor yang mempengaruhi konsentrasi H+, antara Untuk mengaturnya, diperlukan suatu mekanisme buffer,
lain7,10,11 pengeluaran CO2/H2CO3 melalui paru-paru, pengeluaran

38 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


urin yang bersifat asam atau basa1,6 Pada hipoventilasi, CO2 akan terkumpul, kadar H2CO3
Apabila terdapat ketidak seimbangan asam-basa, maka naik, maka konsentrasi H+ akan meningkat, terjadi asidosis
mekanisme tubuh untuk melakukan koreksi secara berturut- respiratorik l,6.
turut adalah sebagai berikut : Bila terdapat asidosis metabolik primer, PCO2 akan turun
Mekanisme buffer. maka sekunder akan terjadi alkalosis respiratorik. Bila ter-
Terdiri dari : dapat alkalosis metabolik primer, pCO2 akan naik, maka se-
1) buffer hemoglobin HHb H+ + Hb― kunder akan terjadi asidosis respiratorik1,3,4.
Jenis .pernafasan yang terjadi ditentukan oleh reseptor
2) buffer protein Hprot H+ + Prot―
perifer (sinus karotikus dan arkus aorta) serta pH plasma,
3) buffer fosfat H2PO4 H+ + HPO4― dan pusat pernafasan serta pH likuor serebrospinal8 .
4) buffer bikarbonat H2CO3 H+ + HCO3―
Melalui ginjal.
Posisi H2 CO3 adalah unik, karena ia diubah menjadi H2O 5) Terdapat tiga reaksi penting pada cairan tubulus untuk
dan CO2, dan CO2 kemudian diekskresi melalui paru-paru. membuang reaksi H+ dengan HCO3― membentuk CO2 dan
Konsentrasi bikarbonat terutama diatur oleh ginjal, dan H2O, dengan HPO4― membentuk H2PO4―, dan dengan NH3
PCO2 terutama diatur oleh paru-paru10. membentuk NH4―.
Untuk keperluan klinik, buffer bikarbonat adalah yang Konsentrasi bikarbonat plasma diatur oleh tubulus ginjal
terpenting, karena dapat dideteksi melalui pemeriksaan labo- melalui tiga proses utama, yaitu :
ratorium; selain itu buffer lain akan turut berubah sebanding 1) Bikarbonat yang difiltrasi akan direabsorpsi sebagian besar
dengan perubahan sistem buffer bikarbonat/asam karbonat3. pada tubulus proksimal, untuk mencegah kehilangan bikar-
Jadi pH terutama diatur oleh sistem buffer bikarbonat/ bonat yang berlebihan dalam urin.
asam karbonat dan dapat ditentukan dari persamaan Hen- 2) Ion hidrogen diekskresi sebagai asam yang dapat difiltrasi
derson—Hasselbach1,3,10. untuk membentuk kembali bikarbonat.
3) Ginjal juga mengekskresi ion hidrogen dalam bentuk ion
ammonium oleh proses menghasilkan kembali bikarbonat
yang mula-mula dipergunakan untuk pembentukan ion hidro-
gen. Pengurangan volume, peningkatan pCO2 dan hipokalemia
semuanya akan meningkatkan reabsorpsi HCO3― tubulus3,10
Asidosis sering terjadi pada penyakit ginjal kronik akibat
kegagalan mengekskresikan asam yang dihasilkan dari pen-
Perbandingan normal HCO3 —/H2 CO3 adalah 20/1 dan pK cemaran dan metabolisme8,10.
adalah 6,1. Karena H2 CO3 = 0,03 x PCO2 , maka pada PCO2 Meknisme melalui ginjal berlangsung agak lambat (tidak
yang normal (40 mmHg) akan didapatkan kadar HCO3— yang seperti pada paru-paru), efektif pada gangguan keseimbangan
normal adalah 24 mEq/L8,9,11,12 asam-basa kronik. Dengan membuang urin yang asam, maka
basa akan ditahan, sehingga asidosis akan dikompensasi. Se-
baliknya dengan membuag urin yang bersifat basa, alkalosis
akan dicegah11. (Gambar 1.)
KESEIMBANGAN ASAM—BASA SEREBRAL.
Meskipun mencerminkan pH CES, pH likuor srebrosphinal
dalam keadaan normal lebih rendah dari pH darah. pH likuor
serebrospinal (LSS) yang diperoleh dari pungsi lumbal lebih
Melalui paru-paru. rendah dari yang diperoleh melalui pungsi subroksipital/sis-
Kompensasi oleh sistem pernafasan adalah mengeluarkan ternal. Demikian juga pH LSS pada keadaan asidosis dan al-
atau menahan CO2. PCO2 dalam keadaan normal diatur kalis metabolik tidak sesuai dengan pH darah5 .
dalam batas-batas tertentu oleh ventilasi paru-paru. Oleh karena CO2 dapat berdifusi secara bebas melalui
sawar darah otak, maka keseimbangan asam-basa pada LSS
Kadār H2 CO3 dalam plasma seimbang dengan CO2 yang
dan ekstraseluler serebral hanya mengandalkan konsentrasi
terlarut, dan jumlah CO2 yang terlarut diatur oleh pernasan9. bikarbonat yang sulit melintasi sawar darah otak (blood-brain
barrier). Satu-satunya sistem yang dapat bekerja di lingkung-
an susunan saraf pusat ialah buffer bikarbonat.
Apabila H+ ditambahkan ke dalam darah, maka HCO3— akan Mekanisme transportasi bikarbonat di sini belum jelas.
menurun karena lebih banyak H2CO3 yang dibentuk. Bila Tetapi telah diketahui, bahwa perubahan akut konsentrasi
H2CO3 ekstra ini tidak diubah menjadi CO2 yang diekskresi- bikarbonat plasma tidak akan mempengaruhi konsentrasi
kan melalui paru-paru, konsentrasi H2CO3 akan meningkat, bikarbonat LSS dalam waktu kurang dari 1 jam, sedangkan
pH akan turun. H+ yang meningkat ini akan merangsang per- perubahan CO2 plasma hampir selalu mengganggu pCO2
nafasan. Akan tetapi penurunan PCO2 , sehingga sebagian LSS secara langsung10. Sehingga pH LSS akan dapat mengikuti
H2CO3 tambahan dibuat dan pH tidak terlalu menurun9,10. pH darah pada keadaan asidosis atau alkalosis respiratorik,
Pada hiperventilasi, CO2 lebih banyak dikeluarkan, kon- tetapi akan lambat mengikuti pH darah pada keadaan asidosis
sentrasi H + akan turun, dan terjadi alkalosis respiratorik. atau alkalosis metabolik5,10. Jadi untuk menilai keseimbang-

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 39


Gambar 1.

an asam-basa serebral. pemeriksaan pH LSS memegang pe- asidosis respiratorik. Alkalosis karena hiperventilasi dan pe-
ranan penting5. nurunan tekanan CO2 darah dinamakan alkalosis respiratorik.
Di samping itu, proses biokimiawi serebral regional juga Oleh karena sistem respiratorik secara cepat dapat mengubah
mempengaruhi lumen arteri serebral. Dalam lingkungan pH darah, maka sistem ini sering dikerahkan untuk membuat
kadar CO2 yang tinggi seperti misalnya pada hipekapnia, penyesuaian segera terhadap perubahan pH yang sering di-
terjadi vasodilatasi dan peningkatan cerebral blood flow timbulkan oleh sebab-sebab metabolisme daripada sebab-
(CBF) karena tahanan serebrovaskuler yang menurun. Vaso- sebab respiratorik. Penyesuaian kembali pH oleh sistem
dilatasi maksimal terjadi pada pCO2 (PaCO2) lebih dari respiratorik berlangsung cepat, tetapi tidak sempurna. Se-
80 mmHg. Setiap mmHg peningkatan atau penurunan pCO2 baliknya, mekanisme ginjal dapat menyesuaikan kembali
akan mengakibatkan peningkatan atau penurunan CBF se- pH secara sempurna, tetapi kerjanya lambat9.
banyak 4%. Sedangkan dalam lingkungan dengan kadar CO2
1) Asidosis respiratorik.
yang rendah seperti misalnya pada hipokapnia selama hiper-
Disebabkan oleh peningkatan reaktif asam karbonat di-
ventilasi, terjadi vasokonstriksi dan CBF akan menurun.
bandingkan dengan bikarbonat. Keadaan ini dapat terjadi
Pada P a CO 2 20—25 mmHg, CBF akan turun sekitar 40%.
pada setiap penyakit yang mengganggu pernafasan, misalnya:
Di samping pengaruh CO2, juga diketahui adanya pe-
bronkiolitis, pneumonia, emfisema, fibrosis pulmonum, ke-
ngaruh O2 terhadap CBF. Tekanan O2 yang rendah, seperti
gagalan kongesti, edema pulmonum, COPD (penyakit paru
misalnya pada keadaan hipoksia atau anoksia akan menim-
obstruktif kronik), obstruksi saluran pernafasan, adult res-
bulkan vasodilatasi dan bertambahnya CBF. Vasodilatasi
piratory distress syndrome, gangguan neuromuskuler (mis.
maksimal terjadi pada pO2 kurang dari 25 mmHg. Sedang-
sindrom Guillain-Barre, tetanus, miastenia gravis, poliomie-
kan tekanan O2 yang meningkat akan mengakibatkan vaso-
litis), atau depresi SSP/pusat pemafasan (mis. dosis obat
konstriksi dan berkurangnya CBF.
yang berlebihan, lesi struktural). Respirator yang tidak ber-
Konsentrasi ion hidrogen juga mempunyai pengaruh ter-
fungsi dengan baik dapat pula membantu menimbulkan
hadap CBF. Pada keadaan asidosis, akan terjadi vasodilatasi
asidosis respiratorik.
dan peningkatan CBF; sedangkan pada keadaan alkalosis,
Asidosis respiratorik itu akan mengakibatkan asidosis
akan terjadi vasokonstriksi dan penurunan CBF. Asam laktat
di LSS. Keadaan ini akan .merusak sawar darah otak dan
yang dihasilkan melalui metabolisme anaerob di daerah otak
mengakibatkan edema otak.
yang mengalami hipoksia berat akan mengakibatkan vaso-
dilatasi, bahkan bila hebat dapat terjadi vasoparalisis5,13-15.
2) Alkalosis respiratorik.
Terjadi bila terdapat penurunan I'raksi asam karbonat
ASIDOSIS DAN ALKALOSIS RESPIRATORIK. tanpa perubahan bikarbonat. Ini dapat timbul pada hiper-
Asidosis karena ventilasi yang berkurang (hipoventilasi) ventilasi, bisa terjadi dengari sendirinya maupun yang di-
dan sebagai akibatnya tekanan CO 2 darah naik dinamakan paksa. Sebagai contoh adalah: hiperventilasi histerik, ansietas,

40 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


penyakit SSP yang mempengaruhi sistem pernafasan (mis. disebut alkalosis hipokloremik. Defisiensi kalium juga sering
ensefalitis), hipoksia, penyakit paru-paru restriktif, berada dikaitkan dengan timbulnya alkalosis hipokloremik, karena
di tempat yang tinggi, keracunan salisilat, penyakit hati tidak adanya H+ untuk ditukar dengan Na+ dari lumen tubuli
(koma hepatikum), atau pemakaian respirator yang tidak ginjal.
tepat. Pernafasan akan menjadi lambat, dangkal, dan urin mung
ASIDOSIS DAN ALKALOSIS METABOLIK. kin menjadi alkali, tetapi biasanya karena disertai kekurangar
Gangguan keseimbangan asam-basa yang disebabkan oleh Na' dan K' akan memberi reaksi asam walaupun bikarbonat
perubahan kadar bikarbonat darah dapat dikatakan berasal darah meningkat. Alkalosis metabolik yang biasanya diketemu-
dari metabolisme. Kekurangan bikarbonatt tanpa perubahan kan dalam klinik hampir selalu disertai oleh defisiensi kalium.
H2 CO3 akan menimbulkan asidosis metabolik, sedangkan Penyebab alkalosis metabolik pada penderita dengan dis-
kelebihan bikarbonat tanpa perubahan H2CO3 akan me- fungsi otak, antara lain adalah hipovolemia, gangguan elek-
nimbulkan alkalosis metabolik. trolit tubuh, atau karena produksi bikarbonat yang berlebih-
Sebagai penyesuaian konsentrasi asam karbonat, dalam hal an sebagai hasil metabolisme sitrat setelah pemberian transfusi
yang pertama adalah pembuangan lebih banyak CO2 (hiper- darah masif17.
ventilasi) dan dalam hal yang ke dua adalah retensi CO2
(hipovenlilasi). Kadar CO2 plasma jelas lebih rendah dari Gambar 2.
normal pada asidosis metabolik dan lebih tinggi dari normal
pada alkalosis metabolik9.
1) Asidosis metaboltic.
Disebabkan oleh penurunan fraksi bikarbonat, tanpa per-
ubahan maupun dengan perubahan , yang relatif kecil pada
fraksi asam karbonat. Keadaan ini dapat terjadi pada., diabetes
melitus yang tidak terkontrol dengan ketosis, kelainan ginjal,
keracunan garam-asam (acid salt), kehilangan cairan usus yang
berlebihan (terutama pada usus halus bagian bawah dan
kolon, seperti misalnya diare atau kolitis), alkoholisme, ke-
laparan, obat-obatan (asetazolamid, amfoterisin B, koles-
tiramin, salisilat, isoniazid, paraldehid), asidosis laktat.
Penyebab asidosis laktat paling sering ialah hipoksia jaring-
an yang dapat terjadi pada syok (mis. syok kardiogenik atau
syok septik) dan hipoksemia berat. Produksi laktat yang ber-
lebihan juga terjadi pada diabetes melitus yang tidak ter-
kendali, pemberian fenformin (terutama pada penderita
gangguan fungsi ginjal), minum alkohol berlebihan, gagal ginjal
kronik, gagal hati berat, infeksi bakteri berat (sepsis), pankrea-
titis, toksemia gravidarum, dan leukemia.
Dari hash laboratorium, terlihat pH darah arteri sering di
bawah 7,0, anion gap lebih dari 16 mEq/L, bikarbonat plasma
dan pCO2 sangat rendah, laktat darah sekitar 5—35 mmol/L, GANGGUAN ASAM-BASA CAMPURAN.
piruvat meningkat sampai 0,2—1,5 mmol/L, lactate-pyruvate Petunjuk adanya gangguan asam-basa campuran adalah ber-
ratio diantara 12 dan 200.
dasarkan hasil pemeriksaan gas darah serial. Nilai PCO2 dan
2) Alkalosis metabolik. bikarbonat bergerak dalam arah berlawanan, PCO2 meningkat
Disebabkan oleh peningkatan fraksi bikarbonat, tanpa per- dan bikarbonat menurun, atau sebaliknya. Ini selalu menun-
ubahan maupun dengan perubahan yang relatif kecil pada jukkan adanya suatu gangguan campuran. Sebagai petunjuk
fraksi asam karbonat. Kelebihan alkali dapat menyebabkan akan adanya gangguan asam-basa campuran dapat juga diguna-
alkalosis, misalnya makan alkali berlebihan pada penderita kan nomogram di bawah ini. Bila data asam-basa terdapat di
ulkus peptikum. Jenis alkalosis ini lebih sering terjadi sebagai luar salah satu pita kemaknaan, penderita dianggap mem-
akibat obstruksi usus tinggi (misalnya stenosis pilorus), mun- punyai gangguan asam-basa campuran16.
tah-muntah yang lama dengan pengeluaran isi lambung yang 1) Asidosis metabolik dan asidosis respiratorik.
asam atau setelah pembuangan secara berlebihan cairan lam- Ini menunjukkan kegagalan kardiopulmoner yang berat,
bung yang mengandung asam hidroklorida (misalnya pada pe- dan secara klasik dijumpai pada keadaan resusitasi kardio-
nyedotan cairan lambung). pulmoner.
Biasanya penyebab alkalosis ini adalah kekurangan klorida 2) Asidosis metabolikdan alkalosis respiratorik.
yang disebabkan oleh kehilangan cairan lambung yang me- Dijumpai pada keracunan salisilat berat, syok septik, atau
ngandung sedikit natrium tetapi banyak klorida (yaitu sebagai
sindrom hepatorenal. Karena kedua gangguan asam-basa
asam hidroklorida). Ion klorida yang hilang kemudian diganti
cenderung menghambat satu sama lain, maka gangguan kon-
dengan bikarbonat. Jenis alkalosis metabolik ini lebih tepat

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 41


Tabel 1. Nomogram asam-basa.
pCO2 — H+ darah arteri (mmol/L)
pH HCO 3 BE
Asidosis metabolik.
- tak terkompensasi ↓ N ↓ ↓
- kompensasi sebagian ↓ ↓ ↓ ↓

- kompensasi penuh N ↓ ↓ ↓
Alkalosis metabolik.
- tak terkompensasi ↑ N ↑ ↑
- kompensasi sebagian ↑ ↑ ↑ ↑
- kompensasi penuh N ↑ ↑ ↑
Asidosis respiratorik.
- tak terkompensasi ↓ ↑ N N
- kompensasi sebagian ↓ ↑ ↑ ↑
- kompensasi penuh N ↑ ↑ ↑
Alkalosis respiratorik.
- tak terkompensasi ↑ ↓ N N
- kompensasi sebagian ↑ ↓ ↓ ↓
- kompensasi penuh N ↓ ↓ ↓
Nilai Normal : pH darah : 7,35-7,45 CO total : 24-29 mEq/L
pCO2 : 35-45 mmHg Buffer base (BB): 45-50 mEq/L
pO2 : 85-95 mmHg
HCO3- : 21-25 mEq/L Natrium : 135-145 mEq/L
BE: ―2,5―+2.5 mEq/L Kalium : 3,6-4,5 mEq/L
Klorida : 98-109 mEq/L

sentrasi ion hidrogen biasanya ringan.


3) Alkalosis respiratorik dan alkalosis metabolik.
Dijumpai pada penderita penyakit hati lanjut (yang dapat
menyebabkan hiperventilasi) dan muntah-muntah atau diterapi 22,9 mEq/L. Besarnya BE dapat diukur secara 'Astrup' atau
secara agresip dengan diuretika. secara tidak langsung dari nomogran Siggaard-Andersen.
4) Alkalosis metabolik, alkalosis respiratorik dan asidosis Harga normal BE : —2,5 s/d +2,5 mEq/L1,6,7,10 .
metabolik. Parameter-parameter laboratorium yang penting dalam
Yang disebut gangguan tripel ini sebenarnya cukup sering penanganan gangguan asam-basa ialah
dijumpai pada pasien alkoholik yang telah muntah-muntah,
1) Penentuan elektrolit serum.
mengalami ketoasidosis alkoholik, dan mengalami hiper-
Nilai bikarbonat serum yang abnormal sering menjadi pe-
ventilasi karena penghentian pemberian alkohol dan/atau
tunjuk pertama bahwa ada suatu gangguan asam-basa. Di
disertli adanya penyakit' hati berat. Superimposisi asidosis
samping itu, nilai untuk natrium, klorida dan bikarbonat
metabolik pada suatu alkalosis metabolik hanya dapat di-
kenali melalui pemakaian konsep anion yang berlebihan. harus diketahui untuk menghitung anion gap, nilai yang sangat
Dianggap bahwa dengan adanya asidosis metabolik, anion penting untuk menangani setiap gangguan asam-basa.
gap akan meningkat, dan setiap mEq anion yang menumpuk Anion gap = (Na+) - (CI― + HC03― )
akan menurunkan bikarbonat plasma 1 mEq/L. Oleh karena = 12 + 4 mEq/L
itu, anion yang berlebihan (yaitu anion gap yang terukur Anion gap yang lebih besar dari 18 mEq/L biasanya selalu me-
minus 12 mEq/L) bila ditambahkan pada bikarbonat serum nunjukkan asidosis metabolik primer2,16.
yang. diukur harus memberikan nilai yang mendekati bikar- 2) Kalium serum.
bonat serum normal. Jika anion yang berlebihan ditambah Secara klasik, nilai kalium serum meningkat pada keadaan
dengan nilai bikarbonat serum yang diukur memberikan asidosis metabolik meskipun tidak konsisten. Sebaliknya,
nilai bikarbonat serum yang tinggi abnormal, maka alkalosis apabila orang tersebut asidemik dan hipokalemik, hpokalemia
metabolik harus telah mendahului permulaan asidoss meta- yang dalam akan terjadi setalah terapi dengan alkali16.
bolik. Analisis penderita alkoholik yang berhenti minum 3) Penentuan gas darah arteri.
alkohol dan sebelumnya muntah-muntah, biasanya akan Dalam penentuan gas-gas darah, lebih disukai contoh yang
dapat mendeteksi adanya gangguan asam-basa tripel6,16 diperoleh dari darah arteri (+ 2,5 ml), meskipun darah vena
(Nomogram). yang mengalir dengan bebas (tanpa pemasangan manset) dapat
juga dipergunakan untuk penentuan pH. Alat suntik supaya
PEMERIKSAAN LABORATORIUM. dilumasi dengan sodium heparin 1% ± 0,15 - 0,20 ml yang
Dalam mekanisme kompensasi, ukuran lebih atau kurang- bekerja sebagai antikoagulan dan untuk mencegah kebocoran
nya asam/basa dalarn darah diukur oleh BE (base excess). Base udara 3,11,16
excess ialah jumlah mEq asam kuat atau basa kuat yang dapat HC03― tidak dapat diukur; yang diukur biasanya adalah
ditambahkan ke dalam satu liter darah untuk tercapainya pH. pCO2 dapat diukur langsung dengan elektrode pCO2,
nilai nol pada keadaan bikarbonat standar yang normal yaitu secara tidak langsung dengan rnetode interpolasi (Astrup)

42 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


atau dibaca pada nomogram standar1,7.Karena pH meter HC03 harus turun paling sedikit sama banyak dengan yang
lebih mudah didapat dari pada elektrode pC02, maka pH akut, dan biasanya tidak lebih rendah dari 1.2 - 14 mEq/L.
dan C02 total lah yang sering diukur. CO2 total adalah jumlah
C02 yang dibebaskan dari plasma atau serum pada pemberian TERAPI.
asam. Ia merupakan jumlah CO2 dalam darah yang terdapat 1) Asidosis respiratorik.
dapat segala bentuk, yaitu HC03― , H2 C03 dan C02 yang larut Tergantung kausa, terapi selalu ditujukan untuk mem-
dalam darah7. perbaiki ventilasi. Hal ini misalnya dapat terjadi akibat sumbat-
CO2 total = HCO3― + H2CO3 + CO2 (dalam larutan) an jalan nafas, atelektasis, atau alveoli terisi cairan sehingga
H2CO3 + CO2 (dalam larutan) = α PCO2 = 0,0301 . PCO2 terjadi gangguan pertukaran gas O2 dan C0210,11
CO2 total = (HCO3―) + (0,0301.PCO2) Pemakaian NaHC03 tidak efektif bilamana ventilasi ter-
HCO3― = CO2 total ― (0,0301.PCO2) ganggu, karena pembufferan yang efektif memerlukan pe-
α(=0,0301) ialah derajat disosiasi dari pada H2CO3. ngeluaran CO216. Alkali jarang diberikan, kecuali jika ada
Dari sini kemudian dihitung PCO2 dengan menggunakan asidosis metabolik yang berat. Pemakaian alkali justru dapat
bentuk khusus dari persamaan Henderseon-Hasselbalch(HH)18: merugikan, karena pH yang rendah merupakan stimulus untuk
terjadinya ventilasi pada hiperkapnia. kronik11. Bilamana
pC0 2 lebih besar dari 60 mmHg, dapat menyebabkan vaso-
dilatasi serebral dengan edema otak, gangguan sensorium dan
asidosis10,11. Pada pC02 65 mmHg atau lebih besar justru
terjadi depresi terhadap pusat pernafasan. Asidosis cairan
otak akan mengurangi perfusi pada daerah otak yang iskemik
(cerebral steal)13,14
Kekurangan kalium dan klorida juga sering disebabkan
karena alkalosis metabolik yang menumpangi asidosis respi-
ratorik kronik, sehingga perlu dikoreksi dengan pemberian
KC116
Penderita dengan pCO2 lebih dari 50 mmHg (kronis),
mungkin akan menderita hipoventilasi berat, meningkatnya
Jadi : pCO2, narkosis CO2, dan kematian jika diberi O2 konsentrasi
19,95 . (0,0301 . PCO2) = (26)―(0,0301 . PCO2) tinggi. Keadaan buruk ini terjadi bilamana respon sentrum
19,95 . (0,0301 . PCO2) + (0,0301 . PCO2) = 26 meduler terhadap CO2 sudah begitu jelek, sehingga ventilasi
hanya dapat terjadi sebagai respon terhadap stimulus hipoksia.
0,6306 . PCO2 = 26
Hilangnya stimulus hipoksia akibat pemberian O2 akan dapat
menimbulkan apnea, karena itu O2 harus diberikan dalam
konsentrasi paling rendah yang masih efektif10,11
Terapi oksigen diperlukan jika terjadi hipoksia yang me-
H2CO3 = 0,0301 . 41,2 = 1,24 mEq/L ngancam kehidupan penderita. Biasanya terapi dimulai dengan
HCO3—= 26 ―1,24 = 24,76 mEq/L pemberian 24% O2 (tergantung cara pemberiannya, dengan
Di samping itu, HCO3― dapat juga dicari pada nomogran kanula atau kateter hidung akan dapat dicapai konsentrasi O2
Siggard-Andersen1,7,8. antara 24 - 28% dengan kecepatan 1 - 2 liter/menit). Jika pO2
Dalam keadaan normal (pH 7,4 dan PCO2 40 mmHg), masih belum mencukupi dan narkosis CO 2 belum terjadi,
jumlah buffer base tergantung pada kadar Hb. Rumus untuk konsentrasi O2 dapat dinaikkan sampai 28%. Sebelumnya di-
mendapatkan BB (buffer base) ialah : lakukan pemeriksaan ulang gas darah, misalnya setelah 2 jam.
41,6 + 0,42. kadar Hb (dalam gram/100 ml) Sedikit demi sedikit konsentrasi O2 dinaikkan sampai tercapai
BB = 41,6 + 0,42. 14 = 47,48 mEq/L pO 2 yang mencukupi (dengan kanula, kecepatan 8 liter/menit
Untuk praktisnya, gangguan keseimbangan asam-basa dapat akan memberi konsentrasi sekitar 40%; dengan topeng oksigen,
ditentukan antara lain sebagai berikut akan memberi konsentrasi sebesar 50 - 60% pada kecepatan 6
a) Asidosis metabolik. liter/menit). Setiap penderita dengan gangguan respirasi
pC0 2 harus turun 1 - 1,5 kali penurunan HCO3— dengan pC02 belum diketahui, hanya boleh diberi O2 dengan
b) Alkalosis metabolik. konsentrasi rendah (24%) sampai gas darah arteri dapat di-
pC0 2 harus meningkat 0,5 - 1 kali peningkatan HCO3— . ukur 1 1 , 1 8 . Pemberian konsentrasi O2 inspirasi lebih dari 60%
c) Asidosis respiratorik akut. (FIO2 lebih dari 60%) jarang dilakukan, karena dapat terjadi
HCO3— harus meningkat, namun tidak lebih dari 30 mEq/L. toksisitas O2 (kerusakan parenkim paru-paru)10,11,16. Peng-
d) Asidosis respiratorik kronik. hentian pemberian O2 akan dapat menyebabkan pO2 me-
HCO3— harus meningkat sebanyak 4 mEq/L untuk setiap 10 nurun dengan cepat, terutama pada penderita dengan ke-
mmHg peningkatan pC02. naikan pCO2 yang agak tinggi2,11,16
e) Alkalosis respiratorik akut.
Apabila terapi 02 konservatif tidak dapat mempertahan-
HCO3—harus turun sekitar 2,5 mEq/L untuk setiap 10
mmHg penurunan pC02, namun biasanya tidak lebih rendah kan kadar gas darah, perlu diberi ventilasi secara mekanis.
dari 18 mEq/L. Tujuan ventilasi mekanis adalah untuk memperbaiki oksigensi
f) Alkalosis respiratorik kronik. dan ventilasi alveoler. Tergantung keperluannya, ventilasi

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 43


ini dapat dijalankan secara manual atau dengan mesin. Pada 3 – 4 jam jika tidak ada kegagalan jantung kongestif berat.
penderita dalam keadaan apnea atau hampir apnea, ventilasi Perbaikan asidosis tanpa perbaikan kekurangan kalium,
yang memadai harus segera dikerjakan dengan topeng dan akan dapat menimbulkan manifestasi hipokalemia yang fatal
kantong resusitasi yang dijalankan dengan tangan. Pemberian (karena masuknya kalium ke dalam sel): Walaupun demikian,
O2 kecepatan tinggi diberikan melalui kantong. Perfusi darah penggantian kalium jangan dilakukan sebelum asidosis ter-
dinilai dan ditangani dengan tindakan yang sesuai (closed atasi sebagian dan sebelum turunnya kadar- kalium serum
chest massage), cairan iv, dan lain-lain). Setelah mendapat dapat dibuktikan1l. Jika terjadi hipokalemia, diberikan
ventilasi O2 yang cukup dan aliran darah telah diperbaiki, KC1 20 - 40 mEq/L ke dalam cairan infus dengan kecepatan
baru dipasang pipa endotrakeal yang disambung dengan tidak lebih dari 10 mEq/jam. Jangan diberikan lebih dari
ventilator. Umumnya intubasi endotrakeal tidak boleh lebih 100 - 200 mEq/hari, meskipun untuk ini akan diperlukan
dari 48 - 72 jam. Jika nampaknya akan diperlukan intubasi waktu beberapa hari guna mengisi kekurangan tersebut.
untuk waktu lama, trakeotomia elektif harus diperjakan pada Jika hipokalemia sangat berat (kurang dari 2 mEq/L), kalium
hari-hari pertama. Trakeotomia sebagai suatu prosedur darurat dapat diberikan dengan kecepatan hingga 40 mEq/jam dan
hanya dilakukan pada obstruksi akut saluran nafas bagian dalam konsentrisi sampai 60 mEq/L. EKG harus terus di-
atas (misalnya akibat benda asing, trauma, atau peradangan pantau. Setelah pemberian 50 - 100 mEq yang pertama,
hebat) dimaiia terjadi kegagalan untuk memasukkan pipa kadar KCl serum perlu diperiksa kembali. Dalam keaadaan
endotrakeal 11,16 . kritis, sebaiknya KCl diberikan dalam larutan salin (jika tidak
2) Alkalosis respiratoric. ada kontra-indikasi) daripada larutan dekstrosa-air, karena
Terapi ditujukan pada gangguan yang mendasari, biasanya infus dengan cairan yang mengandung glukosa dapat me-
alkalosis itu sondiri tidak memerlukan pengobatan. Tetani nyebabkan kadar kalium dalam serum lebih menurun lagi11,16
atau sinkope karena hiperventilasi akut dapat disembuhkan Kalium yang diperlukan = 0,4 X BB (Kg) X (Kalium yang di
dengan bernafas dalam kantong plastik yang tujuannya untuk inginkan - Kalium terukur) mEq.
menaikkan pCO2 dalam udara pernafasan (rebreathing)4,14. Hendaknya berhati-hati sekali bila penderita asidosis meta-
Jika hiperventilasi . dengan mendadak diakhiri (seperti bolik berat diberi pernafasan. buatan dengan respirator yang
pada penyesuaian kembali alat respirator mekanik), dapat dapat menghalangi mekanisme kompensasi hiperventilasi,
terjadi asidosis (kenalkan pCO2 yang disertai penurunan karena dapat terjadi asidosis berat yang bersifat fatal11.
HCO 3 ― Meskipun ginjal yang normal akan segera mem- Pengobatan asidosis laktat umumnya tidak memuaskan,
perbaiki komposisi buffer, namun pemberian alkali mungkin dan lebih dari 90% penderita meninggal. Tindakan-tindakan
diperlukan untuk perbaikan yang lebih cepat. Bila timbul suportif harus segera dilaksanakan, hipoksia jaringan ditang-
hiperventilasi yang terus menerus (misalnya pada penyakit gulangi, dan Na-bikarbonat diberikan secara perenteral dalam
SSP atau asidosis intraserebral paradoks), dianjurkan untuk dosis besar. Dapat dicoba dengan dialisis (misalnya hemo-
memakai suatu alat pernafasan yang berisi CO2 dengan kon- dialisis) untuk mengeluarkan laktat yang berlebihan2,11,16.
sentrasi ± 5%. Pada asidosis intraserebral paradoks, pH perifer
telah normal, sedangkan pH dalam jaringan otak lebih lambat 4) Alkalosis metabolic.
berubahnya. Ini akan memacu terjadinya hiperventilasi dan Alkalosis metabolik dapat menyebabkan kadar bikarbonat
dalam likuor serebrospinal meninggi yang menyebabkan
menyebabkan penurunan pCO2 atau mempertahankannya
pada tingkat sebelumnya yang rendah2,5,11,16. depresi pernafasan sentral dan hipoksemia. Pemberian O 2
3) Asidosis metabolic. pada keadaan ini dapat menghentikan sama sekali rangsang
nafas yang tergantung pada hipoksemia tadi10,17.
HC03― yang diperlukan = 0,3 x BB (kg) x Base Excess
mEq. Terapi ditujukan pada keadaan-keadaan yang mendasari-
Karena penilaian yang benar-bendr tepat terhadap ke- nya. Jika terdapat hipovolemia, dapat diperbaiki misalnya
dengan pemberian cairan salin isotonik. Kekurangan kalium
kurangan bikarbonat sukar ditentukan, maka Na-bikarbonat
yang mula-mula diberikan hanya 50% dari kekurangan yang diganti dengan KCI. Pemberian asam (misalnya NH4C1 atau
terhitung, sedangkan 50% sisanya diberikan kemudian bila HCl) secara oral atau• perenteral bare diberikan jika terjadi
alkalosis yang sangat berat2,11,17.
masih diperlukan 2,11 . Misalnya larutan Na-bikarbonat yang
dipergunakan adalah 7% (Meylon), maka jumlah pemberian Asam,yang diperlukan = 0,3 X,BB (Kg) X BE mEq
adalah sebagai berikut : Pemberian asetazolamid pada keadaan ini tidak dianjurkan,
karena dapat menimbulkan asidosis intrakranial17. Bila di-
perlukan, asetazolamid diberikan secara hati-hati (dalam dosis
250 - 500 mg tiap 6 jam) mentitrasi bikarbonat serum ke
bawah16.

(Untuk laruran Na-bikarbonat 8,4%, 1 ml = 1 mEq)


Kerugian terapi alkali adalah dapat menimbulkan hiper- RINGKASAN DAN KESIMPULAN.
osmolaritas atau rebound alkalosis terutama pada asidosis Telah dibahas beberapa masalah mengenai gangguan asam-
dengan anion kap yang besar2,16. Bila diperlukan bikarbonat basa dan beberapa pandangan di bidang neurologi.
dalam jumlah besar, dapat diberikan misalnya 3 ampul Cairan disebut asam bila mampu melepaskan/menyumbang-
NaHC03 dalam 850 ml DSW dan diinfuskan secara cepat16. kan H', sedangkan cairan bersifat basa bila sanggup menerima
Setengah dari kekurangan yang terhitung dapat diganti dalam H+. Keadaan asidosis terjadi apabila terdapat kelebihan asam

44 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


atau kekurangan basa, sedangkan keadaan alkaalosis terjadi intensif, Denpasar, 1978.
8. Welt LG. Acidosis and alkalosis. Dalam : Wintrobe MM, Thorn GW,
apabila terdapat kekurangan asam atau kelebihan basa. Adam RD, et al, eds Harrison’s Principle of Internal Medi- cine, 7th
Untuk mengatur keseimbangan asam-basa, diperlukan ed. Tokyo : McGraw-Hill Kogakusha, 1974 : 1356-66.
mekanisme buffer, pengeluaran CO2/H2CO3 melalui paru- 9. Harper HA. Review of Physiological Chemistry. 15th ed. Los
paru, dan pengeluaran urin yang bersifat asam atau basa. Altos:Lange, 1975 : 220-8.
Oleh karena CO2 dapat berdifusi secara bebas pada sawar 10. Ganong WF. Review of Medical Physiology. 11th ed. Los Altos:
Lange, 1983 : 590-7.
darah otak, maka keseimbangan asam-basa pada likuor sere-
11. Northrup R, Asdie AH, Santoso B. Pedoman Pengobatan. Yogya-
brospinal dan ekstraseluler serebral hanya mengandalkan pada karta : Essentia Medica, 1979 : 31-49.
buffer bikarbonat. 12. Welt LG. Agent affecting volume and composition of body fluids.
Dalam: Goodman LS, Gilman A, eds. The Pharmacological Basis of
KEPUSTAKAAN Therapeutics.4th ed. London:Collier-Macmillan, 1970:788-94.
13. Campkin Tv, Turner JM. Neurosurgical Anaesthesia and Intensive
1. Astrup P, Andersen DS, Jorgensen K, et al. The acid-base meta- Care. London : Butterworths, 1980 : 3-16.
bolism, a new approach. Lancet 1960;1 :1035-9. 14. Gilroy J, Meyer JS. Medical Neurology. 3rd ed. New York Mac-
2. Collins RD. Illustrated Manual of Fluid and Electrolyte Disorders. millian, 1979 :543-5.
2nd ed. Philadelphia: JB Lippincott, 1983 :41-59. 15. Reivich M. Physiology of the cerebral circulation. Dalam Gol-
3. Jonosepoetro M. Acid-Base Balance. Beberapa Petunjuk Dasaar. densohn ES, Appel SH, eds. Scientific Approaches to Clinical
Surabaya : Bagian Patologi Klinik FK Unair, 1974. Neurology. Volume 1.Philadelphia : lea & Febiger, 1977 : 728-48.
4. Kasim YA. Pengobatan air dan elektrolit. Diajukan pada Simpo- sium 16. Naughton JL. Fluid and electrolyte disorders. Dalam: Watt HD, ed.
Terapi Cairan dan Elektrolit pada Penderita Gawat, Jakarta, 1981. Handbook of Medical Treatment. 7th ed. Greenbrae : Jones, 1983
5. Fishman RA. Cerebrospinal fluid in Diseases of the Nervous System. :50-7.
Philadelphia : WB Saunders, 1980 :223-30. 17. Muhardi, Suntoro A, Majid A. Resusitasi otak : Dasar-dasar peng-
6. Puruhito. Dasar-dasar Pemberian Cairan dan Elektrolit pada Kasus- obatan intensif disfungsi otak berat dan akut. Diajukan pada
kasus Bedah. Surabaya : Unair, 1982 : 17-25. Simposium Koma, Jakarta, 1983.
7. Wirjoatmadja K. Beberapa masalah dasar dalam keseimbangan 18. Clarkson AR. Management of disorders of acid-base balance,
assam-basa. Diajukan pada Simposium Sekitar Masalah Perawatan Medical Progress 1976;3 :73-9.

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 45


Kanker Kulit di Limabelas Pusat Patologi
Fakultas Kedokteran dan Rumah Sakit
di Indonesia Tahun 1983

Reflinar Rosfein
Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Departemen Kesehatan R.I., Jakarta

PENDAHULUAN
Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (1973—
Dengan meningkatnya harapan hidup (life expectancy) dan 1979), kanker kulit menduduki urutan pertama dari lima
menurunnya kematian akibat penyakit menular, dapat di- kanker terbanyak pada pria dan urutan ke empat (7,2%)
perkirakan bahwa penyakit kanker dan penyakit penyakit pada wanita4. Pada tahun (1977-1981) kanker kulit di
tidak menular lainnya akan meningkat. Dalam Survai Ke- Bagian Patologi, Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas
sehatan Rumah Tangga yang diselenggarakan Badan Peneliti- Hasanuddin menduduki urutan pertama (12,8%) dari lima
an dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, kanker terbanyak pada pria dan urutan ke empat (7,1%) dari
RI ditemukan bahwa 1,4% dari semua kematian pada tahun lima kanker terbanyak pada wanitas. Pada umumnya kanker
1972 disebabkan kanker, angka tersebut meningkat menjadi kulit dari tahun 1973 - 1981 menduduki-urutan pertama
3,4% dan pada tahun 1986 menjadi 4,3%1. sampai ke lima di tiap-tiap Bagian Patologi Anatomi Fakultas
Masalah kanker dewasa ini makin menarik perhatian dengan Kedokteran di seluruh Indonesia. Ini berlaku bagi pria mau-
bertambah banyaknya jumlah kasus yang dikenal akibat ber- pun wanita.
bagai kemajuan yang dicapai di bidang ilmu dan teknologi, Dalam upaya mendapatkan data kanker yang lebih lengkap
khususnya kedokteran; kemajuan dalam caracara diagnostik guna menyempurnakan pencatatan kanker telah dilakukan
dan terapi telah menunjukkan bahwa penyakit kanker tidak registrasi kanker pathology-based yang dikoordinir oleh Pusat
selalu berakhir dengan kematian, di antaranya kanker kulit. Penelitian Penyakit Tidak Menular, Badan Penelitian dan Pe-
Kanker kulit merupakan kanker yang mudah dideteksi, ngembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan R.I. Dalam
karena mudah diamati. Sedikit sekali dari kanker ini yang makalah ini dilaporkan hasil registrasi khusus mengenai kanker
bermetastasis atau berakhir dengan kematian (Dunn et al. kulit. Diharapkan bahwa data ini dapat memberikan gambaran
1965). Di negeri Belanda angka mortalitas tumor kulit hanya mengenai besarnya masalah kanker kulit di Indonesia pada
mencapai 1% dari mortalitas kanker total2. tahun 1983.
Frekuensi relatif kanker kulit tinggi pada populasi-populasi
di daerah subtropik yang berpigmen kulit sedikit (Australia, BAHAN DAN CARA KERJA
Selandia Baru, Afrika Selatan) dan hampir semua tumor kulit Untuk keperluan tersebut dibuat formulir yang disesuaikan
lebih banyak ditemukan pada golongan kulit putih daripada dengan petunjuk dari WHO (IARC). Data diambil dari Bagian
kulit berwarna. Pada akhir abad XIX diajukan pendapat bahwa Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran dan Rumah Sakit.
pajanan (exposure) yang sering dan berkepanjangan terhadap Data bagian tersebut dianggap dapat dipercaya diagnosisnya
sinar matahari menyebabkan timbulnya kanker kulit terutama serta laboratoriumnya lebih terkoordinasi. Pelaksanaan regis-
pada bagian tubuh yang tidak tertutup. Terlebih lagi hal trasi dilakukan oleh Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular,
tersebut akhir-akhir ini dikaitkan dengan makin menipisnya Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen
lapisan ozon akibat penggunaan zat khlorofluorokarbon Kesehatan. Walaupun demikian sebenarnya data tersebut
sehingga intensitas sinar ultraviolet menjadi lebih tinggi. belum mencerminkan keseluruhan pola kanker dalam masya-
Di Indonesia tingginya frekuensi kanker kulit dinyatakan rakat. Incidence rate tidak dapat dihitung dari registrasi ini
oleh Vos pada tahun 19323. Angka-angka mengenai kanker namun frekuensi relatif atau minimum incidence rate masih
kulit di Indonesia yang dipublikasikan menunjukkan bahwa dapat diketahui.
frekuensinya masih cukup menonjol. Di Bagian Patologi Data dari tahun 1983 yang dicatat dalam formulir yang

46 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


telah disediakan mencakup: nomor registrasi, jenis kelamin, versitas Hasanuddin Ujung Pandang (8,7%) dan Universitas
umur, golongan etnik, lokasi kanker, diagnosis dan sifat Andalas Padang (8,5%). Persentase rendah terdapat pada
penyebaran. Klasifikasi jenis jenis kanker berdasarkan lokasi Laboratorium-laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Ke-
disesuaikan dengan klasifikasi dari WHO, yaitu International dokteran Universitas Sriwijaya Palembang (3,0%), Universitas
Classification of Disease, 9th Revision, tetapi dengan kode Sumatera Utara Medan (4,0%), Rumah Sakit Darma Usaha
terdiri dari 3 angka (3 digit) pertama saja. Nama lokasi di- Solo (4,9%) dan Rumah Sakit Gatot Subroto Jakarta (5,3%).
singkat. seperti yang digunakan dalam seri Cancer Incidence in Tabel 2. Frekuensi relatif kanker kulit di 15 Pusat Patologi Anatomi
Five Continents dan Cancer Occurrence in Developing Fakultas Kedokteran dan Rumah Sakit tahun 1983 pada
Countries. Pria menurut ICD 173 revisi 9.
No. Lab. P.A. F.K. Kota Jumlah Kanker Persentase
HASIL Rumah Sakit Kanker Kulit
Tabel 1. Frekuensi relatif kanker kulit di 15 Pusat Patologi Anatomi 1. Unsrat Manado 73 12 16,4
Fakultas Kedokteran dan Rumah Sakit tahun 1983 menurut
ICD 173 revisi 9. 2. Unhas Uj. Pandang 155 30 19,4
3. Udayana Bali 225 22 9,8
No. Lab. P.A. F.K. Kota Jumlah Kanker Persentase
4. Darma Usada Solo 81 9 11,1
Rumah Sakit Kanker Kulit
5. Unair Surabaya 151 17 11,2
6. Unibraw Malang 166 21 12,6
1. Unsrat Manado 205 28 13,7
7. Unpad Bandung 479 54 11,3
2. Unhas Uj. Pandang 418 53 12,7
8. RSPP Jakarta 56 1 1,8
3. Udayana Bali 484 42 8,7
9. RSGS Jakarta 149 16 10,7
4. Darma Usada Solo 245 17 6,9
10. Sebelas Maret Solo 116 7 6,0
5. Unair Surabaya 437 33 7,5
11. Undip Semarang 63 7 11,1
6. Unibraw Malang 504 43 8,5
12. UGM Yogyakarta 235 30 12,8
7. Unpad Bandung 1392 106 7,6
13. USU Medan 90 4 4,4
8. RSPP Jakarta 110 6 5,4
14. Unsri Palembang 234 9 3,8
9. RSGS Jakarta 355 27 7,6
15. Unand Padang 236 19 8,1
10. Sebelas Maret Solo 364 21 5,8
11. Undip Semarang 234 18 7,7 Jumlah 2321 258 11,1
12. UGM Yogyakarta 660 69 10,4 Tabel 3. Frekuensi relatif kanker kulit di 15 Pusat Patologi Anatomi
13. USU Medan 190 8 4,2 Fakultas Kedokteran dan Rumah Sakit tahun 1983 pada
14. Unsri Palembang 382 16 4,2 Wanita menurut ICD 173 revisi 9.
15. Unand Padang 370 39 10,5 No. Lab. P.A. F.K. Kota Jumlah Kanker Persentase
Jumlah 6350 526 8,3 Rumah Sakit Kanker Kulit

1. Unsrat Manado 132 16 12,1


Pada tabel 1 terlihat bahwa frekuensi kanker kulit merupa- 2. Unhas Uj. Pandang 263 23 8,7
kan 8,3% dari seluruh jenis kanker pada pria dan wanita. 3. Udayana Bali 259 20 7,7
Persentase tertiriggi terlihat di Laboratorium Patologi Anatomi 4. Darma Usada Solo 164 8 4,9
Universitas Samratulangi Manado (13,7%), Universitas Hasa- 5. Unair Surabaya 286 16 5,6
6. Unibraw Malang 338 22 6,5
nuddin Ujung Pandang (12,7%), Universitas Andalas Padang 7. Unpad Bandung 913 52 5,7
(10;5%), Universitas Udayana, Bali (8,7%), Universitas Brawi- 8. RSPP Jakarta 54 5 9,2
jaya Malang (8,5%). Persentase rendah di Pusat Patologi 9. RSGS Jakarta 206 11 5,3
Anatomi' Universitas Sriwijaya Palembang dan Universitas 10. Sebelas Maret Solo 248 14 5,6
11. Undip Semarang 171 11 6,4
Sumatera Utara Medan masing-masing (4,2%), Rumah Sakit 12. UGM Yogyakarta 425 39 9,2
Pertamina Pusat (5,4%) dan Laboratorium Patologi Anatomi 13. USU Medan 100 4 4,0
Universitas Sebelas Maret (5,8%). 14. Unsri Palembang 234 7 3,0
Pada tabel 2 terlihat bahwa frekuensi relatif kanker kulit 15. Unand Padang 236 20 8,5
Jumlah 4029 268 6,7
pada pria adalah 11,1% dari seluruh jenis kanker pada pria.
Persentase tinggi terdapat pada laboratorium-laboratorium
Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Hasa-
nuddin Ujung Pandang (19,4%), Universitas Samratulangi
Manado (16,4%), Universitas Gajah Mada Yogyakarta (12,8%), Pada tabel 4 terlihat bahwa kanker kulit pada pria banyak
Universitas Brawijaya Malang (12,6%). Persentase rendah ter- ditemukan pada usia antara 40 - 64 tahun.
dapat pada Rumah Sakit Pertamina Pusat Jakarta (1,8%), Pada tabel 5 terlihat bahwa kanker kulit pada wanita ba-
Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Uni- nyak ditemukan pada usia 40 - 64 tahun.
versitas Sriwijaya Palembang (3,8%) dan Universitas Sumatera Pada tabel 6 terlihat bahwa sex ratio antara pria dan wanita
Utara Medan (4,4%). 1 : 0,96.
Pada tabel 3 terlihat bahwa frekuensi relatif kanker kulit
pada wanita adalah 6,7% dari seluruh jenis kanker pada wanita. PEMBAHASAN
Persentase tinggi terdapat pada Laboratorium-laboratorium
Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Samratu- Penderita kanker kulit pada pria dan wanita adalah 8,3%
langi Manado (12,1%), Universitas Gajah Mada Yogyakarta, dari seluruh penderita kanker jenis lain. Jika dilihat pada
Rumah Sakit Pertamina Pusat masing-masing (9,2%), Uni-

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 47


Tabel 4. Frekuensi relatif kanker kulit (ICD 173) pada Pria di 15 Pusat Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran dan Rumah Sakit
tahun 1983 menurut Klasifikasi Usia 5 tahun.
No. Lab. P.A. F.K./ Kota T 0- 5- 1 0 - 1 5 - 2 0 - 2 5 - 30- 35 - 4 0 - 4 5 - 50- 55- 6 0 - 6 5 - 7 0 - 75 - 80- 8 5 - Jml
Rumah Sakit
1. Unsrat Manado 1 1 1 2 3 1 2 1 12
2. Unhas Uj. Pandang 2 1 1 3 5 9 2 3 1 2 1 30
3. Udayana Bali 1 1 2 4 2 1 1 1 3 3 2 22
4. Darma Usaha Solo 1 2 4 2 9
5. Unair Surabaya 1 1 1 2 5 4 2 1 17
6. Unibraw Malang 2 8 1 8 2 21
7. Unpad Bandung 1 5 8 5 4 6 9 7 4 2 2 1 54
8. RSPP Jakarta 1 1
9. RSGS Jakarta 2 3 3 2 1 1 2 2 16
10. Sebelas Maret Solo 1 2 2 1 1 7
11. Undip Semarang 1 1 3 1 1 7
12. UGM Yogyakarta 1 1 1 4 1 8 2 3 5 1 1 30
13. USU Medan 1 1 1 1 4
14. Unsri Palembang 2 1 1 1 2 1 1 9
15. Unand Padang 1 1 1 4 2 4 1 2 1 19
Jumlah 6 - 2 2 4 4 6 14 26 21 46 29 39 22 17 6 11 2 258

Tabel 5. Frekuensi relatif kanker kulit (ICD 173) pads Wanita di 15 Pusat Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran dan Rumah Sakit
tahun 1983 menurut Klasifikasi Usia 5 tahun.
No. Lab. P.A. F.K./ Kota T 0- 5- 1 0 - 1 5 - 20- 25- 3 0 - 35- 4 0 - 4 5 - 5 0 - 5 5 - 6 0 - 6 5 - 7 0 - 75 - 80 - 85 - Jml
Rumah Sakit

1. Unsrat Manado 1 1 2 1 4 3 1 1 1 1 16
2. Unhas Uj. Pandang 1 1 2 2 5 3 3 4 2 23
3. Udahaya Bali 2 1 1 4 1 6 1 2 2 20
4. Darma Usada Solo 1 1 1 1 1 2 1 8
5. Unair Surabaya 1 1 1 1 3 2 2 3 1 16
6. Unibraw Malang 1 1 1 4 1 3 4 6 1 22
7. Unpad Bandung 1 2 3 2 5 3 9 6 12 3 3 1 2 52
8. RSPP Jakarta 1 1 1 2 5
9. RSGS Jakarta 1 1 3 1 1 1 1 2 11
10. Sebelas Maret Solo 1 1 2 7 1 1 1 14
11. Undip Semarang 3 2 2 2 2 11
12. UGM Yogyakarta 1 2 1 2 1 1 3 8 4 6 1 1 1 1 39
13. USU Medan 1 1 1 4
14. Unsri Palembang 1 3 2 1 7
1
15. Unand Padang 1 1 1 1 3 2 4 1 1 3 1 20
Jumlah 9 1 2 5 2 6 5 9 14 31 23 47 25 43 13 22 4 5 2 268

Tabel 6. Perbandingan Penderita kanker kulit menurut jenis Kelamin tiap-tiap laboratorium Patologi Anatomi dan Rumah Sakit,
(pria/wanita) di 15 Pusat Patologi Anatomi Fakultas Ke- kanker kulit paling tinggi pada laboratorium Patologi Anatomi
dokteran dan Rumah Sakit tahun 1983.
Universitas Samratulangi Manado (13,7%), urutan ke dua ter-
No. Lab. P.A. F.K./ Kota Pria Wanita Sex Ratio banyak pada Universitas Hasanuddin Ujung Pandang (10,7%).
1 Rumah Sakit Pada penelitian terdahulu kanker kulit pria banyak ditemu-
1. Unsrat Manado 12 16 0,75 kan di Manado, Ujung Pandang dan Universitas Andalas
2. Unhas Uj. Pandang 30 23 1,3 Padang (10,5%). Dilihat dari hasil penelitian ini tidak banyak
3. Udayapa Bali 22 . 20 1,1 .
4. Darma Usada Solo 9 8 1,1
terdapat perbedaan dengan hasil penelitian terdahulu (2.1).
5. Unair Surabaya 17 16 1,06 Dilihat dari penyebaran umur, kanker kulit pada pria
6. Unibraw Malang 21 22 0,95 maupun wanita banyak ditemukan pada usia antara 40 - 64
7. Unpad Bandung 54 52 1,04 tahun, hal ini tidak jauh berbeda dengan penelitian terdahulu
8. RSPP Jakarta 1 5 0,2 (35 - 75 tahun). Jumlah terbanyak pada umur 50 - 64 tahun,
9. RSGS Jakarta 16 11 1,4 juga tidak jauh berbeda dengan penelitian terdahulu.
10. Sebelas Maret Solo 7 14 0,5
11. Undip Semarang 7 11 0,6
Tingginya frekuensi relatif kanker kulit di Pusat Patologi
12. UGM Yogyakarta 30 39 0,77 Anatomi Unsrat Manado, Pusat Patologi Anatomi Universitas
13. USU Medan 4 4 1,0 Hasanuddin Ujung Pandang, dan Pusat Patologi Anatomi
14. Unsri Palembang 9 7 1,3 Universitas Andalas Padang, mungkin disebabkan karena
15. Unand Padang 19 20 0,95 daerah ini letaknya lebih dekat ke garis katulistiwa; kemung-
Jumlah 258 268 0,96 kinan ini masih perlu diteliti lebih lanjut, sejalan dengan

48 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


program nasional lima tahun penanggulangan kanker Dep. Kes. Jakarta.
2. Van Dongen JA. Proses-proses ganas dan pra-gams di kulit (363 -
R.I., melalui antara lain penelitian epidemiologi deskriptif 383). Onkologi. A. Zwaveling, RJ van Zonneveld, A. Schaberg.
dan analitik. Kasus kanker kulit termasuk jenis kanker dengan (Red). Jakarta : PN Balai Pustaka; 1985.
frekuensi kejadian merata di hampir semua daerah, maka perlu 3. Sudarto Pringgoutomo. Beberapa aspek epidemiologik Tumor
diteliti lebih lanjut perihal faktor-faktor yang menyebabkan Ganas Kulit non melanoma di Laboratorium tahun 1989.
4. Lusida LF dkk, (1977); I Wayan Gin (1982). Bagian Patologi
kanker kulit di Indonesia. Fakultas Kedokteran Unair (1973 - 1979).
Dan penemuan studi epidemiologi dan kepustakaan, faktor- 5. Cahyono Kaelan dkk. Bagian Patologi FK Unhas (1977 - 1981).
faktor yang diduga berperan pada kanker kulit adalah : radiasi 6. Tambayong EH. Bagian Patologi FK Unsrat (1977 - 1981).
sinar ultra violet yang lama, gangguan penyembuhan DNA 7. Tambunan, Gani B, Manurung. Bagian Patologi FK USU (1977 -
1981).
yang rusak karena sinar ultra ' violet, riwayat radiasi dengan 8. Scotto Josep H, Fraumeni JR. Cancer Epidemiology and Prevention,
sinar rontgen, kontak dengan bahan toksik di. tempat kerja, Shotteinfeld and Fraumeni. WB Saunders Company. 1982.
arsen (yang dahulu sering dipakai), orang-orang yang berkulit
putih dan lain-lain. Penelitian-penelitian lebih lanjut diharap-
kan dapat memberikan penjelasan mengenai faktor-faktor UCAPAN TERIMA KASIH
etiologik ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepadas Kepala Pusat Penelitian
Penyakit Tidak Menular yang telah merintis penelitian kanker Patho-
KEPUSTAKAAN logy based dan para dokter ahli Patologi Anatomi yang telah membantu
pengumpulan data yang sangat berharga, sehingga penelitian terlaksana.
1. Ratna Budiarso dkk. Laporan Survei Kesehatan Rumah Tangga. Juga kepada rekan-rekan yang telah membantu memberikan saran-
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, DepKes. R.I. saran dan tanggapan, saya ucapkan banyak terima kasih.

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 49


Uveitis Toxoplasmika

Suhardjo
Laboratorium Ilmu Penyakit Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada
UPF Penyakit Mata RSVP Dr Sardjito, Yogyakarta

ABSTRACT
Until recently the causes of uveitis is still difficult to determine. One of the cause
of posterior uveitis is toxoplasmosis. Some of toxoplasmic posterior uveitis can extend to
the anterior segment, resulting panuveitis or uveitis. The pathogenesis of uveitis is
a phenomena of hypersensitivity against Toxoplasma gondii antigen and necrotic tissues
reaction caused by destructive effect of this protozoa.
Two cases of toxoplasmic uveitis extended from posterior uveitis was reported.
Thefirst patient showedpseudocoloboma in the chorioretinal region. One of them was
associated by vitreous opacity. The diagnosis of toxoplasmic uveitis, need serologic test as
a diagnostic support. Corticosteroid and toxoplasmostatic drug therapy gave a good
result although the visual prognosis in these cases were relatively poor.
Key Words : toxoplasmic uveitis - hypersensitivity reaction - chorioretinal lesion -
vitreous opacity - visual prognosis.

PENGANTAR ketahui.6 Bahkan sebelumnya, Baohua (1983) menyatakan


Uveitis toxoplasmika merupakan salah satu pengejawantahan bahwa lebih dari 75% kasus uveitis endogen tidak ditemukan
infeksi Toxoplasma gondii pads mats. Kelainan ini ditandai penyebabnya. 7
dengan adanya radang granulomatosa, walaupun tidak selalu di- Kasus-kasus yang acapkali ditemukan adalah retinokoroiditis
jumpai adanya invasi protozoa di segmen depan mata.1 Uveitis toxoplasmika, sedangkan kasus uveitis toxoplasmika masih
pada umumnya merupakan persoalan yang kompleks, meng- jarang dilaporkan. Barangkali hal ini berkaitan dengan jumlah
ingat penyebabnya tidak selalu dapat ditemutunjukkan. Hal ini kasus uveitis yang relatif jarang. Uveitis sendiri tidak termasuk
mengingat beberapa teknik pemeriksaan penunjang yang biasa- 10 penyakit mata utama di Indonesia.8
nya mampu diterapkan pads jaringan lain, tidak selalu dapat Maksud dan tujuan penulisan ini adalah untuk. menyaji-
dikerjakan untuk diagnosis uveitis. kan dua kasus uveitis toxoplasmika dengan beberapa gejala klinis
Toxoplasma gondii merupakan parasit obligat intrasel, maupun laboratorik yang spesifik, yang memang relatif jarang
mampu hidup di semua sel manusia kecuali eritrosit. Penelitian dilaporkan.
pada binatang dan manusia menunjukkan bahwa toxoplasmosis
sebenamya banyak terjadi, tetapi umumnya asimptomatik dan LAPORAN KASUS
tidak diketahui.2 Selain menimbulkan uveitis, toxoplasmosis 1) Seorang wanita, umur 18 tahun, pekerjaan karyawati apotik,
mampu mengakibatkan terjadinya periplebitis, trombosis vena datang di poli mata RSVP Dr Sardjito pada tangga1 10-1-1986.
sentralis, katarak kongenital, kebutaan cerebral tan paresis saraf Penderita dikirim dokter mata dengan diagnosis mata kiri siklitis,
III. 3 4 5 Henderly dkk. (1987) melaporkan bahwa penyebab mengeluh mats kiri kabur, merah, sedikit berair, tidak mengeluh
utama uveitis posterior adalah toxoplasmosis, sedang penyebab pusing. Penyakit ini dirasakan baru yang pertama kali.
utama uveitis anterior maupun panuveitis adalah tidak di- Hasil pemeriksaan mata didapatkan mata kanan normal,

50 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


visas 6/6 E. Visus mata kiri 1/60 tidak dapat dikoreksi, persepsi tablet sampai 1 bulan. Sulfadiazin 4 x 500 mg, asam folat
warna baik, uji Ishihara terdapat gangguan komparasi warna. 3 x 10 mg diberikan sampai 1 bulan. Setelah hipopion meng-
Secara biomikroskopik didapatkan injeksi perikornea ringan, hilang, penderita diperbolehkan rawat jalan.
keratic precipitates besar-besar terutama di regio bawah, flare Hasil pemeriksaan setelah 1 bulan, visus mata kanan ½/60
(+), pigmen iris sedikit di bilik depan mata, kekeruhan derajat 2 tak dapat dikoreksi, segmen depan mats tenang, badan kaca
pada badan kaca terutama di depan makulopapiler. Pemeriksaan masih keruh derajat antara 3 - 4, fundus membayang merah.
oftalmoskopik mendapatkan media agak keruh, papil batas tegas, Mata kiri tidak ditemukan kelainan. Karena masih ada kekeruh-
pembuluh darah kesan normal, tampak gambaran pseudokolo- an badan kaca, maka dilakukan pemeriksaan titer IgG untuk
boma sebesar 1½ diameter papil meluas dari makula ke arah toxoplasma ulang. Didapatkan hasil titer IgG positifuntuk 1/128.
nasal yang dibatasi oleh eksudat dan daerah retina yang sembab Diputuskan pemberian Fansidar® diperpanjang 1 bulan lagi.
serta area hiperpigmentasi. Hasil pemeriksaan 1 bulan kemudian, temyata tidak menjumpai
Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar Hb perbaikan yang berarti. Pengobatan dengan toxoplasmostatika
12,6 g%, jumlah lekosit 8300/mmk, laju endap darah 25/50 mm, dihentikan, dan diberikan Catarlent® tetes mata. Penderita tidak
hemogram menunjukkan eosinofil 4%, limfosit 21%, segmen pemah kontrol lagi di RSUP Dr Sardjito.
75%, faktor reumatoid negatif. Hasil uji aglutinasi lateks untuk Perlu pula dilaporkan di sini bahwa beberapa fenomena
anitibodi toxoplasma (IgG) positif untuk titer 1/1024. periterapi berupa efek samping obat tidak dijumpai. Hal ini
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan laboratorik memang perlu diperhatikan, mengingat sering pemberian obat-
dibuat diagnosis uveitis toxoplasmika. Sangat mungkin proses obat derivat sulfonamida dalam jangka lama sering menimbul-
tersebut berawal sebagai retinokoroiditis toxoplasmika. Dilaku- kan keluhan.
kan pengobatan dengan daraprim 3 x 1 tablet pada hari per- PEMBAHASAN
tama, dilanjutkan dengan 1 x 1 pada hari kedua sampai 1 bulan, Diagnosis uveitis toxoplasmika pada kedua kasus tersebut
selain itu juga diberikan trisulfa 3 x 2 tablet, deksametason ditegakkan atas dasar gambaran klinis dengan uveitis granuloma-
2 x 1 mg diberikan selama 1 minggu. Asam folat diberikan 3 x I tosa, yang diperkuat dengan pemeriksaan serologik untuk toxo-
tablet selama pemberian toxoplasmostatika. Pengobatan lokal plasmosis. Reaksi vaskuleryang ringan, keraticprecipitates besar-
yang diberikan midriatika, dan kortikosteroid lokal. besar dan adanya kekeruhan badan kaca, merupakan gejala
Hasil pemeriksaan setelah 1 bulan, visus mata kiri 2/60 spesifik uveitis granulomatosa.9 Adanya retinokoroiditis yang
tidak dapat dikoreksi, segmen depan mata tenang, kekeruhan meluas dari makula ke nasal merupakan petunjuk bahwa lesi
pads badan kaca tidak dijumpai; tampak gambaran retina dengan tersebut disebabkan oleh toxoplasmosis. Daerah makula me-
pseudokoloboma yang dibatasi oleh area hiperpimentasi, kesan rupakan salah satu predileksi toxoplasmosis.10 Gambaran klinis
tidak dijumpai perluasan lesi. Terdapat defek sektoral hampir 1 yang mirip pada kasus 1 pernah dilaporkan oleh Chartey &
kuadran pads pemeriksaan lapang pandang. Brockhurst (1980).11
2) Seorang laki-laki umur 25 tahun, pekerjaan buruh tani, Kekeruhan badan kaca derajat 4 yang disertai gambaran
asal Bantul, nomor CM 069307, pada tanggal 18-11-1986 telah uveitis anterior granulomatosa pertanda bahwa kedua segmen
datang di poli mata RSUP Dr Sardjito dengan keluhan sejak uvea terkena proses radang. Schlaegel (1981) berpendapat
2 minggu mata kanan merah, berair dan sakit, disertai peng- bahwa, jika kedua segmen uvea(anterior & posterior) terkena
lihatan sangat kabur. Sebelumnya, penderita telah berobat ke radang maka kemungkinan pertama penyebabnya adalah toxo-
dokter mata dan mendapatkan antibiotik, kortikosteroid lokal
plasmosis.1 Hal ini diperkuat oleh tingginya titer antibodi serum
maupun per oral namun dirasakan belum ada perbaikan.
untuk Toxoplasma gondii.
Hasil pemeriksaan mata didapatkan, visus mata kanan 1/300,
Uveitis anterior biasa terjadi pads penderita dengan retino-
proyeksi sinar dan persepsi warna baik. Secara biomikroskopik
didapatkan palpebra spasme ringan, injeksi perisiliar, kornea di- koroiditis toxoplasmika, terutama pads kasus jenis kambuhan.12
jumpai keratic precipitates besar-besar, tampak eksudat (hipo- Dalam hal ini, Toxoplasma gondii sendiri tidak pernah terlihat
pion) di bilik depan mata setinggi 1,5 mm, pigmen iris (+), pada iris maupun badan siliar. Penyebab uveitis anterior tersebut
flare (+ +), pupil bulat sentral dengan penampang 2,0 mm. adalah sebagai jawaban dari reaksi antigen yang berasal dari
Terdapat kekeruhan badan kaca derajat 4, fundus tidak dapat fokus infeksi toxoplasmosis.1 Lesi retinokoroid yang spesifik
dinilai. Visus mata kiri 6/6 E, segmen depan dan belakang pada kasus kedua memang tidak mampu terdeteksi, karena
mata tidak ditemukan kelainan. Tekanan bola mata keduanya fundus tidak tampak dengan pemeriksaan oftalmoskopik.
dalam batas normal. Penderita dianjurkan untuk rawat nginap. Gangguan lapangan pandang terjadi pada kasus pertama,
Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan Hb 15,2 g%, berupa skotoma hampir sentra) disertai dengan efek sektoral
jumlah lekosit 4900, hemogram eosinofil 2%, segmen 44%, hampir 1 kuadran. Martin dkk. (1980) melaporkan adanya defek
limfosit 51%, dan monosit 1%; laju endap darah 5/12 mm lapangan pandang pada 34 kasus toxoplasmosis dengan lesi peri-
(jam I/II). Titer IgG untuk toxoplasma positif untuk 1/1024. papiler. Defek lapangan pandang tersebut berkaitan dengan
Pemeriksaan fisik lainnya meliputi limfonodi leher, jantung, paru terjadinya lesi atropi pada daerah peripapiler, atau terputusnya
dan hati tidak dijumpai kelainan. lapisan serabut saraf pada retina.3
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan laboratorik Untuk membedakan apakah pads kasus pertama merupakan
dibuat diagnosis uveitis toxoplasmika. Pengobatan yang diberi- toxoplasmosis kongemital atau toxoplasmosis perolehan adalah
kan sulfas atropin tetes mata 1%, kortikosteroid topikal maupun tidak mudah. Penderita tersebut selalu menyangkal bahwa
oral, Fansidar® 3 x I tablet hari pertama dan dilanjutkan 1 x 1 gangguan penglihatan telah terjadi sejak lama. Namun jika di

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 51


lihat bahwa lesi terletak di makula, maka kemungkinan besar Kekambuhan dapat teijadi pada uveitis toxoplasmika, walau-
hal itu merupakan predisposisi untuk teijadinya toxoplasmosis pun pengobatan secara spesifik telah dilakukan. Barangkali hal
kongenital dibanding toxoplasmosis perolehan. Dalam hal ini ini berkaitan dengan sifat obat spesifik, yang umumnya bersifat
Heiman (1970) membuat hipotesis bahwa makula merupakan toxoplasmotika. Bila teijadi kekambuhan, maka perlu dilakukan
end artery pada mudigah.10 fotokoagulasi.15 Kedua penderita ini rupanya memiliki reaksi
Diagnostik serologik toxoplasmosis paling tepat adalah pe- yang baik terhadap pengobatan, terutama pads kasus pertama.
meriksaan imunologik yang mampu mendeteksi titer antibodi Hasil pengobatan untuk kasus kedua belum sesuai yang di-
IgM dan IgG sekaligus. Dalam kasus ini hanya diperiksa titer harapkan, walaupun reaksi radang pada segmen depan mata
antibodi IgG dengan cara latex agglutination test. Ternyata sudah menghilang.
titernya cukup tinggi, sehingga pemeriksaan ulangan hanya di- Beberapa penyulit uveitis toxoplasmika yang pernah dijumpai
lakukan pada waktu pascapengobatan, untuk menilai hasil guna
antara lain transient glaucoma, degenerasi makula kistik, irido-
pengobatan. Hasil pemeriksaan hitung jenis lekosit pada darah
siklitis kronik, katarak, ablasi retina, dan keratopati pita. 12 Pe-
tepi, mendapat kesan adanya eosinofilia; barangkali hal ini
ada kaitannya dengan infeksi Toxoplasma gondii, seperti halnya nyulit tersebut temyata juga dijumpai pada kasus 1, berupa
pada infeksi parasit lainnya. degenerasi makula kistik. Penyulit pads kasus kedua berupa ke-
Kedua penderita yang dilaporkan ini mengaku merupakan keruhan badan kaca.
serangan yang pertama, berdasarkan umur serangan pertama,
Friedman & Knox (1969) melaporkan bahwa retinokoroiditis PENUTUP
toxoplasmika terutama pada umur 10 - 20 tahun dan diikuti Setiap kasus uveitis anterior granulomatosa perlu diperiksa
oleh dekade ketiga, dan dengan umur rerata 25,3 tahun.12 Dalam lebih seksama sebab kemungkinan besar pada segmen belakang
hal ini timbul dugaan apakah pada umur-umur tersebut terjadi mata juga terjadi proses radang. Guna mendapatkan diagnosis
suatu kerawanan dalam sistem kekebalan. penyebab, pemeriksaan serologik untuk toxoplasmosis; ter-
Pengobatan untuk uveitis toxoplasmika pada prinsipnya utama jika tidak dijumpai kelainan fundus yang spesifik untuk
adalah pemberian kortikosteroid dengan kombinasi anti toxo- toxoplasmosis. Toxoplasmosis sering teljadi pads penderita
plasma. Frenkel (1971) menduga bahwa proses radang 90% di- dengan gangguan sistem kekebalan, dengan demikian jangan
sebabkan oleh reaksi hipersensitivitas akibat ruptur kista yang dilupakan untuk memeriksa fundus pads penderita AIDS.
berisi takizoit; hanya 10% yang diakibatkan oleh proliferasi
takizoit yang berakhir dengan nekrosis. Dengan demikian priori- KEPUSTAKAAN
tas pertama untuk pengobatan adalah menekan reaksi hiper- 1. Schlaegel TF. Toxoplasmosis dalam TD Duane, EA Jaeger (eds.) Clinical
sensitivitas. Namun juga hares diperhatikan terhadap efek Ophthalmology Vol. 4 : Diseases of the Uvea, Cambrigde Harper & Row
samping, terutama dalam hal menjaga terjadinya gangguan Publ. 1981; pp. 51 : 3-6.
2. Leong AS, Wang F, Thomas V, Ong TH. Acquired toxoplasmosis in
imunitas.13 Malaysia, South East Asian J Trop Med Pub Health 1976; 7 : 10-5
Schlaegel (1969) menyatakan bahwa kortikosteroid tak akan 3. Martin WG., Brown GC., Perrish RIC, Kimbal R., Naidoff MA., Benson
diberikan jika tanpa disertai antimikroba yang spesifk.1 Peng- WE., Oculars toxoplasmosis and visual defects, Am J Ophthalmol 1980;
obatan uveitis toxoplasmika sebenarnya mirip dengan uveitis 90 :25 -9 .
non spesifik, meliputi midriatika, steroid lokal guna mengurangi 4. Mc Colm AA. The prevalence of Toxoplama gondii in meat animals and
cats in Central Scotland, Ann Trop Med Parasitol, 1981; 75 : 157-62.
keratic precipitates, dan disertai pengobatan spesifik. Pemberian 5. Wilson WB., Sharpe JA., Deck JHN., Cerebral blindness and oculomotor
kortikosteroid juga diberikan secara sistemik. Brockhurst (1966) nerve palsies in toxoplasmosis, Am J Ophthalmol 1980; 89 : 714-8.
menganjurkan pemberian prednison dosis tinggi, misalnya 6. Henderly DE., Genstler AJ., Smith RE., Rao NA., Changing patterns of
40 - 80 mg tiap hari;14 dalam hal ini perlu dilakukan pemantauan uveitis, Am J Ophthalmol 1987; 103 : 131-6.
terhadap kemungkinan gangguan imunitas. Pengobatan spesifik 7.7.dapat
Baohua F. Endogenous
menggunakan uveitis of the klindamisin,
pirimetamin, Cantonese. Proc.sulfonamid,
9th Congress,of
dan
APAO, Hong Kong, 1983.
dapat menggunakan pirimetamin, klindamisin, sulfonamid dan 8. Hamurwono GB., Upaya kesehatan mate dan penurunan kebutaan di
spiramisin. Obat-obat pirimetamin dan. sulfonamid mempunyai Indonesia. Dalam : Gunawan, Basarodin KM., M Ghozi dan Hartono (eds.)
efek samping mengurangi ketersediaan hayati asam folinat, Kumpulan Makalah Kongres Nasional V Perdami, Yogyakarta, 1984; hal.
sehinga dapat mengakibatkan terjadinya trombositopeni 144-9.
maupun anemi megaloblastik. Jika dalam pemeriksaan angka 9. Vaughan D., Asbury T. General Ophtahltnology, 9th. ed. Lange Med. Publ.,
Marusen Asia (Pte) Ltd., Singapore, 1980.
trombosit sudah di bawah 100.000, perlu pengurangan dosis 10. Heiman K The development of the blood vessels of the macular choroid,
8.
pirimetamin maupun sulfonamid. efekKlin
samping
Monatsblmengurangi ketersediaan
Augenheilkd, 1970; 157: 636-41 hayati asam folinat, sehing
Selain keadaan klinis penderita yang perlu diikuti selama pe- 11. Ghartey KN., Brockhurst RJ., Photocoagulation of active toxoplasmic
ngobatan, pemeriksaan serologik sebagai tolok ukur keberhasil- retinochoroiditis, Am J Ophthalmol, 1980; 89: 858-64.
an pengobatan juga mutlak hares dilakukan. Penurunan titer 12. Friedman CT., Knox DL., Variations in recurrent active toxoplasmic
retinochoroiditis, Arch Ophthalmol, 1980; 81:481-5.
toxoplasmin menunjukkan prognosis yang menggembirakan. 13. Frenkel JK, Toxoplasmosis : Mechanisms of infection, laboratory diag-
Penghentian pemberian toxoplasmostatika tidak perlu sampai nosis, and management, Curr Top Pathol, 1971; 54 : 28-75.
titer IgG untuk toxoplasma menjadi negatif. Vaughan dan 14. Brockhurst RJ., Toxoplasmosis : management. Dalam SJ Kiinura, WM
Asbury (1980) menganjurkan pemberian terapi spesifik sampai Caygill : Retinal Diseases, Philadelphia, Lea & Febiger, 1966; pp: 289-91.
4 minggu. 9 Jika terdapat kontra indikasi pemberian pirimetamin, . 15. Spalter HF., Prophylactic photocoagulation of recurrent toxoplasmic reti-
nochoroiditis, Arch Ophthalmol, 1966; 75 : 21-8.
misalnya pada kehamilan, maka dapat diganti dengan spira- 16. Gordon DM., The treatment of toxoplasmic uveitis, Int Ophthalmol Clin,
misin. 1970; 10 : 639-44.

52 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


Frekuensi Miobakteria Atipik
pada Penderita Tuberkulosis Paru
di Sumatera Barat

Misnadiarly dan Cyrus. H. Simanjuntak


Pusat Penelitian Penyakit Menular Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan R.I., Jakarta.

ABSTRAK

Penelitian mikobakteria atipik dilakukan di Sumatra Barat dengan cara pemeriksaan


dan penelitian sputum dari 162 orang penderita tersangka tbc. Sputum diperiksa
secara mikroskopis (BTA) dan pembiakan memakai media Lowenstein - Jensen dan
Kudoh serta identifikasi biokimia dari kuman yang tumbuh di Puslit Penyakit Menular
Badan Litbangkes Jakarta.
Ditemukan 13 mikobakteria atipik terdiri dari spesies M. simiae (3), M. kansasii
(2), M. phlei (2), M. fortuitum (4) dan M. smegmatis (2),'di samping 8 M. tuberculosis.
Dengan cukup tingginya (8,0%) frekuensi pada orang-orang sakit ini, mikobakteria atipik
di lingkungan Sumbar cukup banyak dan perlu pemantauan atau penelitian atas ke-
mungkinan adanya reservoir yang terkontariminasi misalnya kolam renang, berbagai satwa
dan tumbuhan.

PENDAHULUAN mikobakteria atipik di Sumatera Barat.


Basil tahan asam di luar Mycobacterium tuberculosis yang di- BAHAN DAN CARA KERJA
sebut mikobakteria atipik, dulu dianggap memberi perlindungan Spesimen yang berupa dahak (sputum) penderita tersangka
terhadappenyakit tbc. Tetapi di India Selatan ternyata vaksinasi tuberkulosis dikumpullcan oleh petugas Puskesmas daerah
BCG mengalami kegagalan karena tidak memberi perlindungan Sumbar untuk dikirim ke laboratorium Pusat Penelitian Penyakit
seperti yang diharapkan. Diduga hal ini disebabkan tingginya Menular Batlan Litbang Kesehatan RI. Jakarta.
frekuensi mikobakteria atipik di daerah tersebut.(1) Mikobakteria Sesampainya spesimen di tempat pemeriksaan, dilakukan
atipik biasa ditemukan di sekitar lingkungan, di air, tanah, pembuatan sediaan apus untuk BTA dan dilanjutkan dengan
makanan, tumbuhan dan satwa, pada orang-orang sehat, juga pemrosesan dahak untuk dibiak. Sputum diolah dengan meng-
pada, orang yang sakit paru-paru termasuk penderitaa tbc.(2) gunakan NaOH 4% dan Trisodium fosfat (TSP) 10%, dan untuk
Penularan terjadi melalui makanan minuman yang terkonta- pembiakan digunakan media Kudoh dan Lowenstein Jensen
minasi, masuk melalui orofaring, inokulasi perkutan (kulit) dan (L-J) masing-masing diinkubasi pada suhu 30°C-37°C.
mukosa.(3j Setiap biakan yang tumbuh dengan cara NaOH maupun cara
Berdasarkan informasi di atas, tampaknya mikobakteria atipik TSP, dicatat warn, struktur koloni dan waktu mulai tumbuh; .
masih merupakan masalah karena di satu pihak atipik perlu kultur dianggap negatif bila tidak ada pertumbuhan setelah
karena dapat memberi perlindungan terhadap penyakit tbc, dibiak selama 56 hari. Kemudian dilakukan pewarnaan BTA
sedangkan di lain pihak atipik menimbulkan penyakit dan perlu terhadap koloni yang tumbuh dari masing-masing pembenihan.
diberantas dengan antibiotika yang khusus karena lebih resisten Untuk setiap yang positif, dilanjutkan dengan test biokimia
terhadap obat-obatan dibandingkan dengan Mycobacterium tuber- (Reaksi Merah Netral, Katalase, Peroksidase, Urease,,' Nitrat,
culosis.(5) Mikobakteria atipik ini ada yang patogen, saprofit Hidrolisa Tween dan Niasin), dan pertumbuhan pada media
bahkan apatogen pada manusia. (2) tertentu (agar Mc Conkey, agar Nutrien) untuk menentukan.
Tujuan makalah ini untuk memberikan informasi tentang spesies mikobakteria yang tumbuh.
Dibacakan pada Seminar Ilmiah dan Kongres Biologi IX, Padang 10-12-1989

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 53


HASIL DAN DISKUSI perkutan (kulit). Berdasarkan hal di atas perlu kiranya pemantau-
Dari 162 sputum penderita tersangka the yang diterima, an berkala dari kolam-kolam renang terhadap kuman-kuman
berhasil tumbuh 21 (12,9%) biakan (+) BTA yang terdiri dari tersebut.
13 (8,0%) M. atipik dan 8 (4,9%) M. tuberculosis(Tabel. 1). Se- Hasil penelitian ini yang menemukan mikobakteria atipik
dangkan persentase kuman atipik dan kuman the 21 biakan (+) 8,0% adalah cukup tinggi dari yang pernah ditemukan di
BTA adalah 61,9% atipik dan 38,1% tbc (Tabel 2). Dari 13 yang Indonesia. Sujudi menemukan 3,7% di Jakarta(5), dan Siman-
atipik ini ditemukan 5 spesies yang terdiri dari 3 (23,01%) juntak CH, dkk. 6.,7% di Jakarta.(1) Penemuan di atas lebih
M.simiae, 2 (15,4%) M. kansasii, 2 (15,4%) M. phlei, 4 (30,7%) rendahdaripada yang ditemukan Misnadiarly di Semarang-24%
M. fortuitum dan 2 (15,4%) M. smegmatis. dan di Surabaya-11,5%. (6) Bila dibandingkan dengan atipik
yang ditemukan luar negeri, hasil penelitian mikobakteria atipik
Tabel 1.Jumlab kuman atipik dan kuman tbc dari 21 sputum yang berhasil tumbuh di Sumbar ini terletak di antara Kanada (4,0%) dan Rumania
dari spesimen penderita tersangka tbc yang dikumpulkan dari daerah
(13,6%). Perbedaan-perbedaan ini dapat disebabkan perbedaan
Sumbar.
geografi, dan juga cara indentifikasi karena spesies mikobakteria
Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah yang ditemukan tumbuh dipengaruhi oleh cara pembiakan
spesimen yang yang tumbuh atipik tbc kuman dan peralatan tempat kuman tersebut dibiak.(6)
dikumpulkan/ (biakan +BTA) (+) (+)
diperiksa. Bila ditinjau dari segi patogenitas atipik pads manusia, maka
mikobakteria atipik yang ditemukan pads penelitian ini yaitu
M. simiae, M kansasii, M. fortuitum, M. smegmatis, sebagian
162 21(12,9%) 13(8,0%) 0(4,9%) besar tergolong patogen, kecuali M. phlei yang bersifat saprofit.
Mikobakteria atipik yang patogen terhadap manusia adalah M.
kansasii, M. marinum, M. simiae, M. scrofulaceum dan M. szulgai,
Tabe1 2. Jenis Mikobakterium yang depot diisolasi M. intracellulare, M. ulcerans, M. xenopi, M fortuitum dan M.
chelonei. (2)
Jenis Mikobakterium Jumlah
Mengingat infeksi atipik ini tertular melalui kulit dan makanan
M. tuberkulosis 8(38,1%) minuman yang tercemar, maka kebersihan lingkungan perlu
M. atipik 13(61,9%) mendapatkan perhatian antara lain upaya seperti pemantauan
secara berkala terhadap kemungkinan adanya kuman-kuman ini
M simiae (I) 3(23.07%) pada reservoir air minum sebelum didistribuskan ke rumah-
M. kansasii (I) 2(15,4%) rumah pelanggan dan tempat-tempat pemotongan hewan.
M. phlei (IV) 2(15,4%)
M. fortuitum (IV) 4(30.7%) Dapat disimpulkan bahwa atypical mycobacteria, adalah hal
M. smegmatis(IV) 2(15,4%) yang juga perlu diperhatikan dalam pembangunan yang ber-
wawasan lingkungan, karena beberapa atipik menyebabkan ke-
kebalan terhadap tbc dalam tingkat yang berbeda-beda (7) Karena
Keterangan : () - grup Runyon
frekuensi mikobakterium atipik di Sumbar cukup tinggi, ke-
mungkinan efektivitas BCG agak kurang, maka dianjurkan pen-
Ditinjau dari grup Runyon maka mikobakteria atipik yang di- jagaan diri terhadap kemungkinan infeksi tbc lebih ditingkatkan
temukan termasuk grup I (fotokromogen) dan grup IV (rapid di samping meningkatkan gizi, menghindari stres.
grower), sedangkan grup II (skotokromogen) dan grup III (non-
fotokromogen) tidak ditemukan. Di antara ke empat golongan
KEPUSTAKAAN
ini, grup I dan III yang paling sering menimbulkan penyakit
pada paru-paru manusia(4). Grup II kadang-kadang juga dapat 1. Simanjuntak CH, Misnadiarly, Hasibuan MA., Iskak Koiman, Erwin Peeto-
mengenai paru-paru, selain kelenjar limfe servikal serta kulit, sutan, Halim Danusantoso. Mycobacterium tuberculosis dan frekwensi
sedangkan grup IV yang merupakan pencemar yang sangat mycobacterium atypical di Jakarta dan hubungannya dengan vaksinasi BCG.
umum pada air, kolam renang, ikan dan serangga yang umumnya Kongres dan Pertemuan Ilmiah Mikrobiologi dan Parasitologi Kedokteran
Indonesia di Surabaya. 1983. hal. 141-52.
menyerang kulit. 2. Rosihan Anwar. Mikobakteria atipik yang patogen terhadap manusia, Maj.
Kemungkinan grup IV yang ditemukan merupakan hasil Kedokt. Indon. 1986. 36 (7) : 356-63.
pencemaran dan makanan. Laporan Krisnomurti(3) me- 3. Krisnomurti S dkk. Isolasi kuman tuberkulosa pads kasus-kasus radang
nyatakan, limfadenitis tuberkulosa dapat disebabkan oleh kelenjar, Simposium Tuberkulosa Masa Kini, 23 September 1978.
4. Amirullah R. Mikobakteriasis Paru, Cermin Dunia Kedokteran 1982; 24
makanan dan minuman yang terkontaminasi dengan kuman ini, 26-9.
atau berasal dari organ atau jaringan lain dari penderita, misalnya 5. Sujudi dkk. Frekwensi mycobacterium atipik yang diasingkan dari berbagai
dari paru-paru, tulang dsb; atau sebaliknya kuman dari limfa- jenis bahan pemeriksaan penderita tersangka tuberkulosis selama 6 tahun
denitis menyebar atau pindah ke paru-paru, lalu keluar melalui (1963-1968). Maj. Kedokt. Indon. 1969; 19: 311-5.
6. Misnadiarly. Mikobakteria atipikal pads penderita the di Padang, Semarang
dahak. M. kansasii, M. scrofulaceum, M. intraeellulare relatif sering dan Surabaya, Cermin Dunia Kedokteran 1987; 45 : 28-30.
menyebabkan infeksi limfadenitis servikal maupun infeksi paru 7. Ten Dam HG. dkk. Present knowledge of immunization against tuber-
kronik, tempat masuknya melalui mukosa, orofaring, inokulasi culosis Bull. WHO 1976. 54.3 : 3516-60.

54 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


Informasi Obat

Intal®

1. APA ITU INTAL 5. BERAPA DOSIS INTAL YANG DIANJURKAN


Intal® adalah obat asma yang mengandung kromolin atau Dosis awal Intal®4 x 2 inhalasi sehari. Setelah 6 minggu atau
(di)natrium kromoglikat. lebih, yakni setelah diperoleh perbaikan klinik yang bermakna,
Intal®tersedia dalam bentuk inhaler aerosol untuk 112 inha- mungkin dosis dapat dikurangi menjadi 3 x 2 inhalasi, kemudian
lasi yang mengandung 5 mg kromolin/inhalasi. 2 x 2 inhalasi, tergantung perbaikan yang dicapai.
Perbaikan klinik biasanya disertai dengan berkurangnya
2. APA INDIKASI INTAL penggunaan B2 agonis atau obat lainnya.
Intal®diindikasikan sebagai obat tahap pertama dalam terapi
maintenance asma ringan sampai sedang. 6. BERAPA LAMA INTAL MULAI BEKERJA
Intal® dimaksudkan untuk terapi maintenance diberikan Perbaikan klinik (berkurangnya gejala-gejala asma dan per-
secara teratur, dan tidak untuk mengatasi serangan akut. Oleh baikan fungsi paru) sudah mulai terlihat dalam 1 - 2 minggu
karena itu, pads terapi dengan Intal®, B2 agonis inhalasi harus pengobatan, tetapi perbaikan yang bermakna baru terjadi setelah
tetap diberikan sebagai persediaan untuk digunakan sewaktu- 6 minggu pengobatan atau lebih.
waktu ada serangan akut. Oleh karena mula kerja yang lambat inilah, maka Intal®tidak
dapat diberikan sendiri pada awal terapinya, tapi hares bersama
3. KAPAN INTAL MULAI DIGUNAKAN bronkodilator.
Intal®digunakan pads saat tempi maintenance mulai diper-
lukan, yaitu bila serangan asma telah menjadi cukup sering (telah 7. DAPATKAH INTAL DITAMBAHKAN PADA REGI-
meningkat menjadi sekali sebulan sampai sekali seminggu), MEN TERAPI YANG SUDAH ADA
sehingga diperlukan upaya untuk mencegah terjadinya gejala Ya; Intal® dapat ditambahkan pads regimen terapi yang
tersebut; tidak hanya sekedar mengatasinya dengan B2 agonis sudah ada, dan biasanya setelah waktu tertentu akan meng-
inhalasi setiap muncul serangan. hasilkan peningkatan efek terapi, sehingga penggunaan obat-
Oleh karena Intal® adalah obat yang luar biasa man, maka obat asma yang lain seperti teofilin, steroid yang lebih toksik
cocok sebagai obat tahap pertama untuk terapi maintenance dari Intal®lambat laun dapat dikurangi atau dihentikan. Intal®
asma. dapat mengurangi penggunaan steroid, tetapi efek ini lemah dan
memerlukan waktu yang lama.
4. PADA JENIS PENDERITA MANA INTAL DIGUNA- Adanya interaksi antara Intal®dengan obat lain belum pernah
KAN dilaporkan.
Anak-anak memberikan respons yang lebih baik dibanding-
kan dengan orang dewasa, tetapi perbedaannya tidak bermakna. 8. BAGAIMANA CARA KERJA INTAL
Demikian juga dewasa muda cenderung untuk memberikan res- Intal®bekerja sebagai anti inflamasi yang spesifik pada jalan
pons yang lebih baik dibanding orang tua, karena pada usia yang napas. Hendaknya diingat bahwa secara patologik, asmabronkial
lebih lanjut, lebih sering terdapat komponen obstruksi yang (eksttinsik/alergik maupun intrinsik/nonalergik) ditandai oleh
ireversibel (misalnya pads bronkitis kronik). inflamasi bronkus yang kronik. Oleh karena Intal®lebih efektif
Asma ekstrinsik memberikan respons yang lebih baik di- untuk mencegah terjadinya/memburuknya inflamasi daripada
banding asma intrinsik, tetapi perbedaannya juga tidak ber- mengurangi inflamasi kronik yang sudah terjadi, maka peng-
makna. obatan dengan Intal® sebaiknya dimulai pads tahap yang dini.

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 55


9. TINGKAT KEBERHASILAN TERAPI DENGAN IN- Penggunaan kromolin pads wanita hamil tampaknya cukup
TAL aman karena tidak ada laporan mengenai efek samping pada ibu
Intal®responder hanya 60 - 80% dengan rata-rata 70%. Ini ataupun anaknya, sedangkan kejadian kelainan kongenital pada
berarti tidak semua penderita asma ringan sampai sedang (lihat 296 wanita hanya 1.35%, lebih rendah dari kejadian yang spon-
indikasi Intal®) responsif pada pemberian Intal®, sedangkan tan (2 - 3%). Akan tetapi, secara umum semua obat sedapat
untuk asma yang berat, Intal®kurang/tidak efektif. mungkin dihindarkan penggunaannya pada kehamilan, terutama
selama periode organogenesis.
10. FAKTOR YANG DAPAT DIGUNAKAN UNTUK
MERAMALKAN RESPONS TERHADAP INTAL 13. PERHATIAN KHUSUS PADA PENGGUNAAN IN-
Tidak ada satupun faktor yang cukup baik untuk digunakan TAL
sebagai prediktor respons terhadap Intal®. Intal® hanya berguna bila dapat mencapai paru-paru dalam
Meskipun asma yang parah kurang responsif dibanding asma jumlah yang cukup. Ini berarti bahwa Intal® harus diberikan
yang ringan sampai sedang, asma ekstrinsik sedikit lebih respon- pada jalan napas yang terbuka.
sif dibanding asma intrinsik, anak sedikit lebih responsif dari- Bila terdapat penyempitan bronkus, bronkodilator harus di-
pada orang dewasa, dan dewasa muda sedikit lebih responsif berikan selama 2 minggu pertama terapi dengan kromolin. Bila
daripada gang tua (lihat No. 4), akan tetapi untuk seseorang terdapat obstruksi berat yang tidak dapat diatasi dengan bronko-
penderita tidak dapat dipastikan akan responsif atau tidak, se- dilator, perlu ditambahkan prednison jangka pendek sampai
belum obat ini dicobakan terlebih dahulu. obstruksi dapat diatasi, sebelum terapi dengan kromolin dimulai.
Non-responder tidak memberikan respons sama sekali dalam
2 minggu pertama atau menunjukkan respons yang meragukan 14. APAKAH INTAL DAPAT MENCEGAH EIA
sampai 4 minggu pertama (anal dosisnya cukup). Dalam hal ini, (EXERCISE-INDUCED ASTHMA)
kromolin dihentikan dan diganti dengan obat lain. Bila masih Intal ®sangat efektif untuk mencegah bronkokonstriksi akut
ragu mengenai dosisnya, tingkatkan dulu dosisnya dua kali lipat, akibat exercise atau alergen yang sudah diketahui.
dan lihat respons 2 minggu kemudian. Dalam hal ini efek Intal®maksimal bila diberikan 15 menit
sebelum exercise atau 30.menit sebelum alergen spesifik ter-
11. EFEK SAMPING YANG TELAH DILAPORKAN sebut.
PADA PENGGUNAAN INTAL
15. KEUNTUNGANINTAL DIBANDINGKAN BRONKO-
Penggunaan yang luas selama 20 tahun menunjukkan bahwa DILATOR (B2 AGONIS, TEOFILIN) UNTUK TERAPI
efek samping obat ini ringan dan selintas seperti mual, pusing, MAINTENANCE ASMA
dermatitis (rash, urtikaria), dan miositis, yang kejadiannya sa- Ada 2 keuntungan, yakni
ngat jarang dan semuanya membaik setelah kromolin dihentikan.
a) Dalam hal keamanan : Intal®luarbiasa aman, sehingga lebih
Iritasi tenggorok atau batuk selintas dapat terjadi pada
aman dibanding bronkodilator, terutama teofilin.
penggunaan sediaan bubuk dengan spinhaler, tapi tidak dengan
b) Dalam hal cara kerja : Intal®memperbaiki perjalanan penya-
sediaan-iarutan (aerosol) yang dijual di Indonesia.
kit, yakni dengan mencegah/mensupresi reaksi inflamasi di
Meskipun sangat jarang, anafilaksis atau bronkospasme akut
bronkus, yang merupakan kelainan yang mendasan penyakit
dapat juga terjadi sebagai reaksi sensitivitas terhadap kromolin.
asma,.sehingga dengan demikian mengurangi keparahan penya-
Bila ini terjadi, obat harus segera dihentikan.
kit. Sedangkan bronkodilator hanya mensupresi gejala
bronkokonstriksi tanpa mempengaruhi perjalanan penyakit, se-
12. KONTRAINDIKASI ATAU PERINGATAN KHUSUS
hingga reaksi inflamasi di bronkus akan berlanjut terus, dan
UNTUK INTAL
dengan demikian keparahan penyakit akan terus meningkat.
Kontraindikasi yang spesifik tidak ada.
ASI

A man will never change his mind if he has no mind to


change

56 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


HUMOR
ILMU KEDOKTERAN

SALAM BUAT TANTE BULU PANJANG


Seorang pasien dengan bulu panjang di sekujur tubuhnya masuk ke ruang praktek
Ketika Didi sakit, dia diantarkan dokter dan mengeluh : “Dokter, saya merasa seperti monyet saya”.
oleh Tantenya ke dokter. Setelah se- Setelah memeriksa pasiennya, dokter menulis resep dan menyuruh pasien makan
lesai diperiksa, Didi ditanyai oleh obat tiga kali sehari.
tantenya. “Bagaimana saya dapat mengetahui kalau obat ini bekerja efektif ?” tanya si
Tante : Tadi pak Dokter bilang apa ? pasien.
Didi : Salam buat Tante. “Saudara nanti akan merasa seperti orang” ,jawab dokter.
Tante : . . . . . . ?! R.Setiabudy
Harry Jakarta
Yogyakarta
SOK AKURAT
Seorang anak lulusan SMA yang bercita-cita menjadi mahasiswa kedokteran ber-
POLIKLINIK obat pada sebuah poliklinik. Seperti biasanya petugas mencatat status pasien, untuk
A : “Bila satu ayah dua ibu, apa na- itu disuruhnya anak itu menimbang badan. Maka anak tersebut buka alas kaki,
manya ?” kemudian baju, kaos dalam, celana panjang, dan tinggal celana dalam. Dan lucunya
B : “Poligami” semua baju yang dilepas masih dipegangnya.
A : “Bila dua ayah tapi satu ibu, apa Petugas : Lho, kenapa mesti begini ?
namnya ?” Pasien : Mengindari kesalahan, biar lebih akurat.
B : “Poliandri” Petugas : Lha itu ! (Petugas menunjuk tangan pasien)..
A : “Bila banyak ayah dan banyak ibu?” Hasyimi
B : “Poliklinik” Jakarta
TUKANG TAMBAL BAN
Yuddy Saat-saat pengobatan di RS Jiwa.
Bandung Dokter : “Paijo, apa cita-citamu?”
Paijo : “Jadi presiden, Dok”.
Dokter : “Masa ?”
SATU SATU Paijo : “Jangan mengejek, Pak Dokter. Kakek saya yang namanya Bus menjadi
Waktu melihat temannya merokok presiden Amerika. Bulik saya Kori menjadi presiden Philipina !”
sambil berlari, Achmat menanyakan Dokter : “Cukup. Bila menjadi presiden apa yang akan kau kerjakan ?”
mengapa berbuat demikian;maka jawab Paijo : “Menambal ban, Dok”.
temannya:“Katanya orang merokok satu Yon
batang umurnya akan berkurang tiga Bandung
menit, sedang berlari kan olah raga, CIRI
membuat orang sehat berarti umur Dua orang mahasiswa kedokteran berbincang-bincang mengenai ekonomi kesehatan.
menjadi bertambah panjang......!” A. “Apa ciri-ciri negara yang tingkat pengelolaan kesehatan sudah maju?”
B: “Kalau biaya kesehatan dapat ditekan dan angka kematian bayi rendah!”
Juvelin
A: “Wah, itu sudah kuno!”
Jakarta
B: “Lalu, yang modern bagaimana?”
A: “Kalau negara itu sudah mengekspor dokter dan tinggal mengimpor vaksin saja !”
Hardi C.
Yogyakarta

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 57


ABSTRAK
ANTIDEPRESAN UNTUK BULIMIA MENGANGGUR MENINGKATKAN PATOGENESIS PENYAKIT ALZHE-
Fluoxetin - suatu antidepresan - MORTALITAS IMER
telah disetujui penggunaannya untuk Penelitian prospektif atas mortalitas Suatu hipotesis baru mengenai ter-
mengatasi bulimia nervosa; dalam di Finlandia selma tahun 1981 - 1985 jadinya penyakit Alzheimer telah di-
studi yang menggunakan dosis 60-80 menunjukkan bahwa di kalangan pria ajukan oleh para peneliti dari Athena
mg/hari, obat ini terbukti menghilang- 30-54 tahun, pengangguran dapat me- Neurosciences dan Eli Lilly.
kan sama sekali gejala bulimia nervosa rupakan faktor independen yang me- Dalam artikelnya yang dimuat
pada 7 orang, membawa perbaikan ningkatkan angka mortalitas secara ke- dalam Science edisi Juni 1990, me-
pada 2 orang dan satu orang lainnya seluruhan; mortalitas total di kalangan reka menyatakan telah menemukan
mengalami kegagalan. penganggur 1,93 kali lebih tinggi dari- amiloid-beta-peptid, suatu pecahan
Scrip 1990; 1541 : 24 pada di kalangan para pekerja. dari amyloid precursor protein (APP)
Peningkatan mortalitas tersebut ter- yang banyak ditemukan di dalam
Brw
utama ditemukan akibat insiden atau jaringan otak. Pada keadaan normal,
VAKSIN BARU
kekerasan (2,51 kali lebih tinggi) dan APP dimetabolisir oleh enzim APP
Perkembangan bioteknologi diha- oleh akibat kardiovaskuler (1,54 kali). secretase secara sempurna dalam rang-
rapkan dapat menghasilkan vaksin- Efek ini makin bermakna sesuai dengan kaian amiloid-peptida.
vaksin baru: makin lamanya masa menganggur. Para peneliti tersebut menduga
Dalam 5 tahun: bahwa pemecahan APP yang tak
BMJ 1990; 301: 407-11
Vaksin bakteri H. influenzae B, sempurna ini dapat merupakan pe-
Hk
Strep. pneumoniae, N. meningitidis, nyebab timbulnya penyakit Alzheimer.
S. typhii, V cholerae.
Vaksin virus Influenza A dan B, MANFAAT DIET PADA OBESITAS Scrip 1990; 1529: 27
brw
hepatitis A, Herpes simplex, Para- Tindakan menurunkan beratbadan
influenza, rabies, respiratory syncitial melalui diet pada orang-orang ke- KAPTOPRIL UNTUK ATEROSKLE-
virus dan rotavirus. gemukan (obese) ternyata merangsang ROSIS
Dalam 10 tahun: aktivitas lipoprotein lipase, sehingga Dr. Gunnar Aberg - peneliti dari
Vaksin bakteri E. coil, M. leprae, dapat meningkatkan proses penimbun- Bristol-Myers-Squibb - melaporkan
Streptokokus grup A dan B. an lipid dalam tubuh dan makin me- bahwa kaptopril - suatu penyekat
Vaksin virus HIV, Japanese B nyulitkan usaha penurunan berat ACE - dapat memperlambat laju
encephalitis. badan. aterosklerosis.
BMJ 1990; 301 :137 N Engl J Med 1990; 322: 1051- 9 Pada penelitiannya atas kera yang
Hk Hk diberi diet tinggi kolesterol, pemberi-
an kaptopril 25-50 mg. dua kali
sehari selama 6 bulan telah secara
Liputan Imunisasi
bermakna menghambat meluasnya lesi
Liputan imunisasi (dalam %)•pada anak usia < 1 tahun (Juli 1989) arterial; efek ini terutama terlihat
Negara BCG DPT 3 Polio 3 Campak Tetanus 2 (ibu hamil) pada pembuluh koroner. Selain itu
pemberian kaptopril tidak mempe-
India 72 74 63 45 61 ngaruhi kadar serum kolesterol, HDL
Cina 98 95 96 95 - ataupun trigliserida.
Nigeria 53 42 42 42 16 Efek antisklerosis ini mungkin
Bangladesh 26 16 16 13 12 akibat adanya efek anti proliferasi
Brazil 67 54 89 60 62 sel, inhibisi oksidasi LDL atau pe-
Ethiopia 28 16 16 13 7 musnahan radikal bebas oleh gugus
Meksiko 72 60 95 70 42 sulfhidril yang ada pada kaptopril.
Gambia 98 83 89 81 85
Scrip 1990; 1530: 25
Lancet 1990;335 : 775 brw
Brw

* Para pembaca yang berminat mendapatkan naskah lengkap – dalam jumlah terbatas – dapat diminta melalui
alamat redaksi.

58 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


ABSTRAK
MENINGGAL DI MANA ? pada saat serangan, diameter lumen a. Untuk melihat pengaruhnya atas
Para penderita kanker terminal di temporalis superfisialis lebih besar di manusia, 1805 pasien yang telah men-
Inggris telah diminta pendapatnya ten- sisi nyeri; sedangkan yang di sisi tidak derita kanker kulit non melanoma diberi
tang keinginannya mengenai tempat nyeri serta a. radialis di kedua sisi justru 50 mg. beta karoten/hari atau plasebo
perawatan dan kematian mereka. mengecil diameternya, bila dibanding- selama 5 tahun. Kadar karoten plasma
Dari 98 pasien, 70 meninggal selama kan dengan pada saat di luar serangan. terbukti jauh lebih tinggi pada kelom-
penelitian dilakukan, dan 59 di antara- Ini menandakan bahwa vasokons- pok terapi (3021 nmol/1) dibandingkan
nya menyatakan tempat kematian triksi umum yang terjadi tidak meli- dengan kelompok kontrol (345 nmol/1).
yang diinginkan. Ternyata 34 (58%) batkan a temporalis di sisi nyeri; hal Setelah 5 tahun, ternyata tidak di-
ingin meninggal di rumah, 12 (20%) ini diduga akibat adanya respons vaso- dapatkan perbedaan dalam hal kejadian
di rumah sakit, 12 (20%) di panti dan 1 dilatasi lokal. kanker kulit non-melanoma (relative rate
(2%) di tempat lain. 1.05, confidence interval 0.91-1.22).
Lancet 1990; 336 - 837-9
Rumah sendiri merupakan tempat Brw Selanjutnya diketahui bahwa angka
perawatan yang diinginkan oleh 17 kejadian kanker non-melanoma di an-
(94%) pasien yang meninggal di rumah, ASPIRIN UNTUK INFARK MIO- tara kedua kelompok itu juga tidak ber-
sedangkan di antara 32 pasien yang KARD beda bermakna.
meninggal di rumah sakit, 22 (69%) Aspirin 75 mg/hard dan/atau heparin N Engl J Med 1990; 323:789-95
sebenarnya lebih suka meninggal di iv selama 5 hard telah dibandingkan Hk
tempat lain. efektivitasnya pada 796 pasien dengan
Seandainya keadaan memungkin- unstable angina dan non-Q-wave myo- ISOTRETINOIN UNTUK TUMOR
kan, 67% (41) pasien lebih suka me- card infarction. KEPALA DAN LEHER
ninggal di rumah, 16% (10) pasien lebih Ternyata pemberian aspirin saja
suka meninggal di rumah sakit dan 15% cukup untuk mengurangi risiko infark Para peneliti telah menyelidiki pe-
(9) di panti perawatan. miokard dan kematian, sedangkan pe- ngaruh isotretinoin terhadap tumor di
nambahan heparin terutama berguna kepala dan leher. Seratus tiga pasien
BMJ 1989;301 : 415-7
path lima hari pertama. Meskipun yang telah bebas dari kanker sel
Hk skuamosa di daerah lacing, faring dan
demikian pemberian heparin saja ter-
nyata tidak menurunkan angka kejadian rongga mulut, diberi isotretinoin 50-100
KALIUM UNTUK HIPERTENSI mg/m2 permukaan tubuh/hari, atau
Para peneliti di India mencoba efek infark miokard atau kematian di ke-
mudian.hari. plasebo selama 12 bulan.
pemberian kalium dan magnesium pada Pada akhir penelitian, tidak didapat-
penderita hipertensi ringan (diasto- Para peneliti tersebut menyimpul-
kan bahwa 75 mg. aspirin perhari kan perbedaan bermakna dalam hal
lik≤110 mmHg). Tigapuluhtujuh pasien rekurensi kanker primer; meskipun
dewasa mendapatkan plasebo, atau 60 menurunkan risiko infark miokard se-
besar 50% pada tiga bulan setelah epi- demikian, setelah 32 bulan terlihat bahwa
mmol kalium perhari, atau ditambah kelompok isotretinoin menderita lebih
lagi dengan 20 mmol magnesium per- sode unstable angina pada pria,
sedangkan penambahan heparin sedikit tumor primer yang lain. Hanya 2
hari. pasien (4%) pada kelompok isotretinoin
Temyata kalium menurunkan tekan- mungkin efektif terutama pada masa
dini tanpa penambahan risiko perda- menderita tumor primer yang kedua,
an sistolik dan diastolik secara ber- dibandingkan dengan 12 (24%) di ka-
rahan.
makna (p≤p,001) dan juga meriurunkan Lancet 1990; 336 : 827-30 langan kelompok plasebo. Dan 14 kasus
kolesterol darah (p≤0,005); meskipun Brw tersebut, 13 (92%) terjadi di daerah
demikian, penambahan magnesium ter- kepala, leher, esofagus dan paru.
nyata tidak memperbaiki respons. Efek samping selama penggunaan
PENGARUH BETA KAROTEN
isotretinoin yang utama ialah kulit ke-
BMJ 1990; 301: 521-3 TERHADAP KANKER
Hk ring; efek samping lainnya yang tercatat
Beta karoten telah dikaitkan dengan ialah cheilitis, konjungtivitis dan hiper-
penurunan risiko kanker pada manusia; tngliseridemi.
VASOKONSTRIKSI PADA MIGREN dan pads percobaan binatang telah
Penelitian yang dilakukan atas 25 menunjukkan aktivitas proteksi terhadap NEngl JMed 1990; 323:795-801
pasien unilateral menunjukkan bahwa proses karsinogenesis. Hk

Cermin Dunia Kedokteran No. 66, 1991 59


Ruang
Penyegar dan Penambah
Ilmu Kedokteran
Dapatkah saudara menjawab
pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?

1. Efektivitas imunisasi polio tidak dipengaruhi oleh : c) Diberikan pada bulan September sampai Maret.
a) Jenis vaksin. d) Diberikan secara suntikan.
b) Cara penyimpnana vaksin. e) Kualitas vaksin yang baik.
c) Saniatsi lingkungan. 7. Faktor yang mempengaruhi konsentrasi H+ ialah sebagai
d) Infeksi enterovirus lain. berikut, kecuali :
e) Semua salah. a) Produksi asam lambung.
2. Program Pengembangan Imunisasi tidak mencakup penya- b) Latihan otot yang berat.
kit : c) Muntah.
a) Hepatitis. d) Hiperventilasi.
b) Campak. e) Tanpa kecuali.
c) Tuberkulosis. 8. Parameter penting dalam penanganan gangguan asam-baasa
d) Tetanus. adalah sebagai berikut, kecuali :
e) Difteri. a) Nilai bikarbonat.
3. Kelemahan killed vaccine tidak termasuk hal-hal di bawah b) Nilai kalium.
ini : c) Nilai natrium.
a) Risiko adanya virus virulen. d) Nilai Hb.
b) Memerlukan booster. e) pH darah.
c) Diberikan per oral.
d) Risiko hipersensitivitas. 9. Vaksin dapat berasala dari bahan di bawah ini, kecuali :
e) Semua termasuk. a. Kuman yang dilemahkan.
4. Pembentukan zat anti setelah imunisasi tidak dipengaruhi b. Kuman yang dimatikan.
oleh : c. Eksotoksin kuman.
a) Saat pemberian. d. Endotoksin kuman.
b) Dosis. e. Tanpa kecuali.
c) Cara pemberian. 10. Hal-hal yang dapat menghambat pelaksanaan program
d) Jenis vaksin. imunisasi adalah sebagai berikut, kecuali :
e) Semua mempengaruhi. a. Luasnya daerah cakupan.
5. Hal yang tidak termasuk persyaratan WHO mengenai vaksin b. Terbatasnya tenaga juru imunisasi.
yang baik : c. Masalah rantai dingin.
a) Poten. d. Pemberian vaksin yang harus diulang.
b) Aman. e. Tanpa kecuali
c) Tidak mengandung virus.
d) Bersifat asing.
e) Tidak menimbulkan reaksi samping.
6. Vaksinasi polio sebaiknya dilakukan sebagai berikut, ke-
cuali :
a) Diberikan sebelum usia 2 tahun.
b) Dapat diberikan dalam dua dosis.

60 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991

You might also like