You are on page 1of 61

No.

61, 1990 International Standard Serial Number: 0125 – 913X

Diterbitkan oleh:
Pusat Penelitian dan Pengembangan PT. Kalbe Farma

Daftar Isi :
2. Editorial

Artikel:

3. Demam Berdarah Dengue di Bagian Ilmu Kesehatan Anak Rumah


Sakit Sumber Waras.
9. Isolasi Virus Dengue dari Penderita Demam Berdarah Dengue yang
Meninggal di Jakarta, Indonesia 1986.
12. A Molecular Perspective on the Pathogenesis of Dengue Haemor-
rhagic Fever.
15. Hubungan Titer Antibodi H.I. Akut dan Konvalesen pada Penderita
Demam Berdarah (DHF) di Jakarta 1988.
19. Pengembangan Penggunaan Biakan Jaringan Ginjal Monyet untuk
Pemeriksaan Tanggap Kebal terhadap Virus Chikungunya.
24. Masalah Penyakit Japanese Encephalitis di Indonesia.
28. Uji Netralisasi secara in vivo Serum Babi terhadap Japanese
Karya Sriwidodo Encephalitis di Kalimantan.

31. Identifikasi Kista Toxoplasma gondii pada Kambing/Domba di RPH


Alamat redaksi:
Majalah CERMIN DUNIA KEDOKTERAN
Surabaya dan Malang.
P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Telp.4892808 34. Toxoplasmosis di Indonesia.
Penanggung jawab/Pimpinan umum: 37. Studi Kasus Pelayanan Kefarmasian : Pelaksanaan Peracikan,
Dr. Oen L.H.
Pemimpin redaksi : Dr. Krismartha Gani, Dr. Pencampuran, dan Pengubahan Bentuk Obat atau Bahan Obat di
Budi Riyanto W. Apotek "X".
Dewan redaksi : DR. B. Setiawan, Dr. Bam- 40. Observasi Penulisan Resep DOPB oleh Dokter Gigi dari Beberapa
bang Suharto, Drs. Oka Wangsaputra, DR.
Rantiatmodjo, DR. Arini Setiawati, Drs. Victor Apotek di Jakarta.
Siringoringo. 43. Efek Infus Daun Sembung (Blumea balsamifera L) terhadap
Redaksi Kehormatan: Prof. DR. Kusumanto
Setyonegoro, Dr. R.P. Sidabutar, Prof. DR.
Perkembangan Janin pada Tikus Putih.
B.Chandra, Prof. DR. R. Budhi Darmojo, Prof. 46. Herbs dalam Pengobatan Tradisional Cina.
Dr. Sudarto Pringgoutomo, Drg. I. Sadrach. 49. Pengetahuan para Dokter yang berpraktek di DKI Jakarta tentang
No. Ijin : 151/SK/Dit Jen PPG/STT/1976, tgl.3
Juli 1976. Program Bersama dan Pengaruhnya pada Penggunaan Obat DOPB.
Pencetak : PT. Temprint.
54. Kegiatan Ilmiah

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandang- 57. Humor Ilmu Kedokteran.
an/pendapat masing-masing penulis dan tidak
selalu merupakan pandangan atau kebijakan
58. Abstrak-Abstrak.
instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis 60. RPPIK
Mungkin ada di antara teman sejawat yang memperhatikan bahwa secara
berturut-turut beberapa kali Cermin Dunia Kedokteran menampilkan edisi berseri;
dimulai dari edisi Malaria sampai edisi Dengue kali ini, dan mungkin masih akan
berlanjut lagi. Sebenarnya hal ini adalah merupakan 'efek samping' yang meng-
gembirakan dari meningkatnya kontribusi artikel yang masuk ke meja redaksi.
Akhir-akhir ini – meskipun sering masih dirasakan 'Jakarta-sentris' –sumbang-
an artikel yang sating berkaitan claim saw topik tertentu makin luas sehingga
dapat mengisi seluruh halaman dalam satu edisi; hal ini tentu tidak
menguntungkan bagi artikel-artikel lepas yang juga tidak kalah bermutu, karena
artikel-artikel demikian akan tertangguhkan penerbitannya. Oleh karena itu,
untuk mempertahankan ciri khas majalah kita ini – yaitu adanya topik utama –
kami menempuh cara yang dilakukan selama ini, sehingga tetap memberi tempat
bagi artikelartikel lepas. Kami berharap bahwa cara ini dapat memuaskan semua
pihak, termasuk para sejawat pembaca setia yang tersebar di seluruh tanah air;
seandainya ada sumbangan saran untuk perbaikan, kami akan sangat bergembira
untuk mendengarnya.
Selain itu, nomor ini mencatat pula perubahan tata-letak lembar Abstrak, hal
ini dilakukan untuk dapat memuat lebih banyak artikel, sekaligus menawarkan
pengiriman naskah lengkapnya – dalam jumlah terbatas – kepada yang berminat;
semoga pelayanan ini dapat menyumbangkan sesuatu yang dapat memperluas
pengetahuan sejawat di seluruh pelosok tanah air.
Selamat membaca.

Redaksi

2 Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990


Artikel

Demam Berdarah Dengue


di Bagian. Ilmu Kesehatan Anak
Rumah Sakit Sumber Waras
Tatang Kustiman Samsi, Indra Susanto
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara,
Rumah Sakit Sumber Waras, Jakarta

RINGKASAN
Telah dikemukakan beberapa aspek DBD di BIKA R.S. Sumber Waras/Fakultas
Kedokteran Untar.
Diagnosis klinis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria WHO dan diagnosis pasti
dengan pemeriksaan serologik dan atau isolasi virus.
1) Dalam dekade terakhir ini terlihat adanya pergeseran umur penderita ke golongan
umur di atas 5 tahun.
2) Angka kematian DBD dalam dekade terakhir menurun di bawah 2%.
3) Virus D3 merupakan virus yang paling banyak diisolasi selama epidemi DBD
tahun 1987 – 1988.
4) Manifestasi klinik oleh virus D3 tidak berbeda dari virus Dengue lainnya kecuali
untuk trombositopeni dan renjatan.
5) Keluhan nyeri abdomen berkaitan dengan derajat yang lebih berat terutama pada
anak-anak berumur 5 tahun atau lebih.
6) Pemeriksaan titer IgM bermanfaat dalam konfirmasi DBD terutama pada penderita
DSS fatal.
7) Pengamatan sementara menunjukkan bahwa titer HI < 640 konfirmatif bagi reaksi
primer dan HI ≥ 1280 bagi reaksi sekunder.

PENDAHULUAN Gambar 1. Angka Kejadian dan Kematian DBD di Jakarta tahun


1969 – 1988.
Demam Berdarah Dengue (DBD) dewasa ini bersifat ende-
mik dan merupakan salah satu masalah kesehatan utama serta
penyakit yang ditakuti masyarakat.
DBD pertama kali ditemukan pada tahun 1968 di Jakarta1
dan di Surabaya2 dan sejak saat itu laporan angka kejadian
DBD terus meningkat serta cakupan daerah yang terkena
dengan cepat meluas ke seluruh Indonesia kecuali Timor
Timur3.
Di DKI Jakarta sejak tahun 1968 angka kejadian DBD ber-
tambah dengan cepat akan tetapi di lain pihak angka kematian
menurun terutama sejak tahun 80-an (Gb. 1).
Nampaknya pola letupan epidemi menjadi tidak teratur
dan terdapat kecenderungan jarak antar letupan epidemi
DBD semakin pendek. Keadaan ini menunjukkan bahwa
upaya pencegahan dan pemberantasan DBD masih belum
berhasil dengan baik, di lain pihak meskipun masih banyak
.
yang belum jelas dalam patogenesis DBD, para klinisi telah
berhasil menurunkan angka kematian DBD berkat kewaspada-
an masyarakat dan tenaga medik di Pusat Pelayanan Kesehatan

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 3


Primer. Walaupun demikian harus selalu diingat bahwa angka Tampaknya virus D3 lebih banyak diisolasi dari penderita yang
kematian DBD berat/DSS masih cukup tinggi dan kita masih tinggal di daerah dengan angka kejadian DBD lebih tinggi.
tetap harus waspada terhadap penyakit ini. Telah pula dilaporkan bahwa virus D3 berkaitan dengan derajat
Tulisan ini bertujuan mengemukakan pengamatan klinik, penyakit yang lebih berat6,8
virologik, serologik dan pengelolaan DBD serta penatalaksana-
MANIFESTASI KLINIK DAN DIAGNOSIS
an penderita tersangka DBD di RS Sumber Waras.
lnfeksi oleh virus Dengue dapat bersifat asimtomatik atau
simtomatik berbentuk undifferentiated fever, Demam Dengue
PENGAMATAN VIROLOGIK
dan Demam Berdarah Dengue (DBD).
Terdapat 4 serotipe virus Dengue sebagai penyebab DBD
Gambaran klinik Demam Dengue seringkali tergantung
yaitu Dl, D2, D3 dan D4. Penyelidikan virologik di Jakarta
dan umur penderita. Pada bayi dan anak biasanya didapatkan
dalam kurun waktu 1975 – 1985 menunjukkan bahwa virus D3
demam dengan ruam makulopapular saja. Pada anak besar dan
merupakan virus yang paling banyak diisolasi4,5. Dalam tahun
dewasa mungkin hanya didapatkan demam ringan, atau
1985 – 1986 nampaknya terjadi pergeseran pola distribusi virus
gambaran klinis lengkap dengan panas tinggi mendadak, sakit
di Bagian Anak RSCM di mama virus D2 merupakan virus
kepala hebat, sakit bagian belakang kepala, nyeri otot dan sendi
Dengue yang paling banyak diisolasi5.
serta ruam. Tidak jarang ditemukan perdarahan kulit, biasanya
Selama letupan epidemi DBD tahun 1987 – 1988 di
didapatkan lekopeni dan kadang-kadang trombositopeni. Pada
Bagian Anak RS Sumber Waras dapat diisolasi 151 virus
waktu wabah tidak jarang Demam Dengue dapat disertai
Dengue dengan 69.5% di antaranya virus D36.
perdarahan hebat. Yang membedakan Demam Dengue disertai
Tabel 1. Distribusi virus Dengue di Jakarta. perdarahan dan DBD adalah kebocoran plasma yang terdapat
pada DBD dan tidak pada Demam Dengue.
Dengue serotipe Gejala klinik utama pada DBD ialah demam dan
Tahun Total
D1 D2 D3 D4 manifestasi perdarahan baik yang timbal secara spontan
1975 – 1977 23 38 59 9 129 maupun setelah uji turniket.
(45.7%) Untuk menegakkan diagnosis klinik DBD, WHO (1986)
1980 – 198, 17 25 31 3 74 menentukan beberapa patokan gejala klinik dan laboratorium7:
(41.9%) Gejala klinik;
1984 – 1985 7 14 16 – 37 1) Demam tinggi mendadak yang berlangsung selama 2–7 hari.
(43.2%) 2) Manifestasi perdarahan.
1985 – 1986 4 18 12 2 36 2.1. Uji tumiket positip.
(50.0%) 2.2. Perdarahan spontan berbentuk petekie, purpura, eki-
1987 – 1988 25 20 105 1 151 mosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis,
(69.5%) melena.
3) Hepatomegali.
Terlihat bahwa persentase virus D3 selama letupan 4) Renjatan; nadi, cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (<
epidemi 1987 – 1988 melebihi 60% sama seperti hasil yang 20 mmHg) atau nadi tak teraba, kulit dingin dan anak
didapat pada epidemi di Bantul (Jawa Tengah) tahun 1976. gelisah.
Selama kurun waktu 1982 – 1985 angka kejadian DBD di Laboratorium:
kelurahan DKI Jakarta berkisar antara 23 – 45/100.000 pen- 1) Trombositopeni (-< 100.000 sel/ml).
duduk dan hanya beberapa daerah saja dengan kejadian 2) Hemokonsentrasi (kenaikan Ht > 20% dibandingkan fase
≥ 80/100.000 penduduk. konvalesen).
Selama letupan epidemi tahun 1987 – 1988 angka kejadian Pembagian derajat DBD menurut WHO (1986) :
DBD berkisar antara 0 – 650/100.000 penduduk, rata-rata Derajat 1 : Demam dan uji turniket positip.
155/100.000 penduduk. Tabel 2 memperlihatkan distribusi Derajat 2 : Demam dan perdarahan spontan, pada umumnya di
virus Dengue menurut angka kejadian DBD di daerah tempat kulit dan atau perdarahan lain.
tinggal penderita. Derajat 3 : Kegagalan sirkulasi ditandai dengan nadi yang cepat
Tabel 2. Distribusi virus Dengue berdasarkan angka kejadian DBD di
dan lemah, tekanan nadi menurun ( 20 mmHg) atau
daerah tempat tinggal penderita (RSSW, 1987–1988). hipotensi disertai ekstremitas dingin dan anak gelisah.
Derajat 4 Renjatan hebat (nadi tak teraba dan tekanan darah tak
Angka kejadian Tipe Dengue terukur).
(per 100.000 Jumlah Dalam pelaksanaan sehari-hari diagnosis klinik DBD dapat
penduduk) D3 D 1,2,4
ditegakkan kalau didapatkan :
1) Demam.
< 100 3 (2.8%) 6 (13.0%) 9 (5.9%)
100 – 199 49 (46.7%) 18 (39.1%) 67 (44.4%) 2) Manifestasi perdarahan.
> 200 53 (50.5%) 22 (47.8%) 75 (49.7%) 3) Trombositopeni.
4) Hemokonsentrasi atau tanda-tanda kebocoran plasma lain-
Jumlah 105 46 151 nya seperti efusi pleura, asites dan hipoalbuminemi.
2 Adanya renjatan disertai Ht yang tinggi dan trombositopeni
X = 6.2187 0.01 <p <0.05 menyokong diagnosa DSS.

4 Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990


Walaupun dalam dekade terakhir ini8,9 terlihat adanya per- Tabel 5. Jenis perdarahan spontan saat dirawat pada 72 penderita DBD
di BIKA R.S. Sumber Waras (Juli 1985-Juli 1988).
geseran umur penderita ke golongan yang lebih tua (5 – 9
tahun), akan tetapi tidak terdapat perbedaan yang bermakna
Jenis Perdarahan Jumlah (%)
dalam frekuensi keluhan dan gejala penyakit kecuali pada nyeri
abdomen, perdarahan dan renjatan (tabel 3). 1. Petekie 30 (41.6)
2. Epistaksis 26 (36.1)
Tabel 3. Gejala klinik penderita DBD konfirmatif saat di rawat di BIKA 3. Hematemesis 14 (19.4)
RS Sumber Waras 1968 - 1987. 4. Melena 11 (15.2)
Periode Periode 5. Ekimosis 6 ( 8.3)
Gejala 1976-1977 1978-1987 Keterangan 6. Perdarahan gusi 5 ( 6.9)
(236) (1046) * terdapat kombinasi jenis perdarahan
1. Muntah-muntah 135 (57.3%) 650 (37.3%) Hepatomegali Hepatomegali ditemukan pada 46% - 53%
2. Hepatomegali 109 (46.2%) 482 (46.0%) penderita DBD8,9
3. Nyeri abdomen 90 (38.1%) 535 (51.0%) p <0.01 Laporan dari Thailand dilmana virus D2 merupakan virus
yang paling banyak diisolasi, hepatomegali ditemukan pada
4. Tes Turniket + 88 (37.3%) 635 (60.7%)
80% - 90% penderita.
5. Petekie 77 (32.6%) 275 (26.3%) p <0.05 4) Renjatan
6. Melena 61 (25.5%) 126 (12.0%) p <0.01 Nampaknya dalam dekade terakhir ini persentase timbul-
7. Epistaksis 51 (21.6%) 263 (25.1%) nya renjatan lebih rendah dari dekade sebelumnya8,9. Dalam
8. Hematemesis 50 (21.2%) 168 (16.0%) p <0.05
pengamatan selama epidemi tahun 1987 - 1988 penderita DSS
berjumlah 9.7% dari seluruh penderita DBD dengan konfirmasi
9. Renjatan 104 (44.1%) 281 (26.9%) p <0.01
serologik (HI dan IgM) dan virologik atau 15% dari penderita
DBD dengan konfirmasi virologik6.
Hasil pengamatan gejala klinik DBD di RS Sumber Waras Renjatan biasanya timbul antara hari ke 1 - 8 dan paling
selama ini menunjukkan : sering antara hari ke 2 - 5.
1) Demam 5) Nyeri abdomen
Lamanya demam sebelum dirawat berkisar antara 1 - 8 Walaupun keluhan nyeri abdomen tidak termasuk dalam
hari dan terbanyak antara 3 - 5 hari. salah satu kriteria gejala klinik menurut WHO, akan tetapi
keluhan ini perlu diperhatikan terutama pada anak berumur 5
Tabel 4. Lamanya demam sebelum dirawat pada penderita DBD di tahun ke atas10 karena biasanya berhubungan dengan derajat
BIKA RSSW (Juli 1985 - Juli 1986).
yang lebih berat.
Lama Golongan Umur (Tahun) Laboratorium
Jumlah
Demam ≤4 5–9 10–14 1) Trombositopeni
1 hari 1 6 2 9 Pada pengamatan 189 penderita DBD tahun 1985-198610
2 hari 6 6 5 17 terlihat bahwa beratnya trombositopeni berhubungan dengan
3 hari 8 14 14 36 beratnya derajat penyakit. Tabel 6 dan Tabel 7 memperlihat-
4 hari 15 26 9 50
kan nilai rata-rata jumlah trombosit menurut derajat penyakit.
Shari 11 24 10 45 Tabel 6. Distribusi penderita dengan trombositopeni menurut derajat
6 had 6 7 1 14 penyakit dan umur pada DBD yang dirawat di BIKA R.S.
Sumber Waras (Juli 1985 - Juli 1986).
7 hari 3 8 3 14
≥ 8 hari 1 3 - 4 Umur

Jumlah 51 94 44 189 Derajat N 1-5 6 - 10 11 - 15 Jumlah (%)


p < 0.01 51 94 44 189
10 I 63 2 2 3 7 (11,1)
Tidak terdapat perbedaan bermakna menurut golongan umur
2) Manifestasi perdarahan II 54 4 12 7 23 (42,6)
Perdarahan pada DBD dapat bersifat spontan atau setelah P < 0.01
uji turniket. Uji turniket menurut metode standar yang di- III 40 13 16 4 33 (82,5)
anjurkan WHO menggunakan manset tensimeter dengan tekan- IV 32 13 11 4 28 (87,5)
an antara tekanan sistole dan diastole dan dikatakan positip bisa Jumlah (%) 189 32 (62.7) 41 (46.9) 18 (40.9) 91 (48.2)
didapatkan petekie > 20 dalam 1 inci (2,5 cm) persegi.
Manifestasi perdarahan spontan pada 72 penderita dari 189 2) Hemokonsentrasi
penderita DBD yang dirawat tampak pada tabel 5. Pada pengamatan 1989 penderita DBD10 didapatkan

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 5


Tabel 7. Perbandingan nilai rata-rata trombosit menurut derajat Tabel 10. Gejala klinik berdasarkan serotipe virus Dengue pada pen-
penyakit pada penderita DBD yang dirawat di BIKA LS. derita DBD dengan konfirmasi virologik (RSSW, 1987-1988)
Sumber Waras (Juli 1985 - Juli 1986)
Tipe Virus
Keluhan dan Gejala
Derajat N Mean SD Keterangan D3 D1,2,4 Total
Sero- neg. 35 215.000 75.000 F = 50.28 (N=105) (N=46) (N=151)
I 63 210.000 85.000 V1 = 3 1. Riwayat perdarahan 30 12 42
II 54 127.000 85.000 V2 = 211 2. Nyeri abdomen 42 18 84
III - IV 63 80.000 80.000 α < 0.01 3. Panas tinggi 39°C) 70 28 98
4. Tes Turniiket (+) 59 28 87
bahwa makin berat derajat penyakit makin besar kemungkinan 5. Perdarahan spontan 30 14 44
6. Hepatomegali 60 20 80
terjadinya hemokonsentrasi sedangkan untuk usia penderita hal
7. Hemokonsentrasi 45 21 66
tersebut tidak terlihat (Tabel 8).
8. Trombositopeni 48 10 58 p < 0.05
Tabel 8. Distribusi kenaikan hematokrit > 20% menurut golongan umur 9. Renjatan 20 3 23 p < 0.05
dan derajat penyakit. 10. Kejang 6 0 6
11. Ensepalopati 4 1 5
Umur
Derajat N I-5 6 - 10 11 - 15 Jumlah (%)
Pada tiap infeksi baik primer maupun sekunder tubuh
51 94 44 189
mengadakan reaksi fase akut dengan membuat antibodi spesifik
I 63 2 7 4 13 (20.6) IgM. Pada infeksi primer IgG baru timbul kemudian dan
II 54 3 13 5 21 (38.8) p (0.01 titernya lebih rendah dari IgM sedangkan pada infeksi sekunder
HI 40 15 13 4 29 (82.5) IgG timbul lebih cepat dengan titer yang lebih tinggi dari IgM
disebabkan reaksi anamnestik.
IV 32 12 13 4 29 (90.6)
Dalam pengamatan pada 151 penderita DBD dengan
Jumlah (%) 189 32 (62.7) 46 (48.9) 18 (40.9) 96 (50.7) konfirmasi virologik13 ternyata titer IgM dapat dipakai sebagai
p > 0.05 parameter untuk konfirmasi DBD, dengan keuntungan tidak
diperlukan serum ganda sehingga berguna bagi konfirmasi
Nilai rata-rata hematokrit pada penderita DBD tersebut penderita fatal di mana hanya didapatkan serum tunggal.
terlihat pada tabel 9. Pemeriksaan titer IgM pada serum tunggal saat masih dirawat
menunjukkan hasil positip pada 19.8% penderita.
Tabel 9. Perbandingan nitai rata-rata hematokrit menurut derajat Di samping itu tampak pula bahwa titer IgG pada kadar HI
penyakit pada penderita DBD yang dirawat di R.S. Sumber
Waras (Juli 1987 - Juni 1986).
≥ 1280 timbul lebih cepat dan dengan titer yang lebih tinggi
dari IgM sedangkan kurve titer IgG pada kadar HI < 640 timbul
Denrajat N Mean SD Keterangan lebih lambat,dan dengan titer yang lebih rendah dari IgM.
Hal ini menunjukkan bahwa kadar HI < 640 sebanding
Sero-neg * 35 36.5 2.61 F = 28.4 untuk reaksi primer sedangkan titer HI > 1280 dengan reaksi
I 63 38.2 3.49 V1 = 3 sekunder (Gb. 2).
II 54 40.6 3.99 V2 = 211
Gambar 2. Titer rata-rata IgM dan IgG pada penderita DBD dengan
III/IV ** 63 42.3 3.90 α < 0.1 virus positip.

Catatan: * sero-neg (Der. I dan Der. II)


** perdarahan hebat dikeluarkan dari penilaian.

Meskipun virus D3 merupakan virus yang paling banyak


diisolasi dan berhubungan dengan derajat penyakit yang lebih
berat akan tetapi gejala klinik virus D3 dan virus Dengue
lainnya secara statistik tidak bermakna kecuali trombositopeni.
dan renjatan6.

PENGAMATAN SEROLOGIK
Konfirmasi diagnosis klinjk DBD ditegakkan dengan pe-
meriksaan isolasi virus dan atau pemeriksaan serologik. Pe-
meriksaan serologik yang dianjurkan oleh WHO ialah pe-
metiksaan hemagglutination inhibition (HI) menurut Clark
dan Cassal. Untuk pemeriksaan HI diperlukan serum ganda
(akut dan konvalesen) dengan jarak pengambilan 2 minggu.

6 Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990


Pengamatan tersebut sejalan dengan hasl survai sero.epide-
cmologik pada anak sekolah di Jakarta12 yang mendapatkan
bahwa titer rata-rata HI + 2 SD lebih rendah dari 640. Dengan
demikian kadar HI = 640 pada anak dengan gejala klinik DBD
sudah bersifat konfirmatif. Technical Advisory Group on DHF
dari WHO7 menganjurkan untuk interpretasi titer HI, tiap
negara mempunyai nilai baku masing-masing dengan kriteria
titer HI > dari mean + 2 SD sebagai konfirmasi DBD.

PENGELOLAAN
Pengelolaan DBD bersifat suportif dan simtomatik dengan
tujuan utama untuk memperbaiki sirkulasi/mengatasi hipo-
volemi serta mencegah terjadinya DIC dan renjatan.
Sejak ditemukan DBD tahun 1968, pengelolaan DBD di
RS Sumber Waras mengalami beberapa kali perbaikan sehingga
angka kematian DBD menurun dari 33.2% – 9.3% (1969–
1978) menjadi 0.9% – 1.4% dalam dasawarsa terakhir ini.
Pengobatan DBD di Bagian Anak RS Sumber Waras me-
liputi:
Derajat I:
Pengobatan simtomatik, minum cukup dan makanan se-
imbang serta pemantauan yang teratur dan ketat.
Derajat II:
1) Hipovolemi
Untuk mengatasi hipovolemi diberikan cairan kristaloid
(Dextrose 5% – NaCl 0,45%) sesuai dengah kebutuhan. Pada
umumnya berkisar antara 100 ml – 200 ml/kgbb/hari sesuai
dengan umur penderita.
2) Pencegahan DIC13
Sejak tahun 1977 diberikan kombinasi asetosal dan dipiri-
damol (10 mg/kgbb/hari) untuk mencegah timbulnya DIC.
Kombinasi ini diberikan pula pada penderita DBD derajat I.
Dipiridamol (DPM) mempunyai khasiat anti agregasi
trombosit dan asetosal (ASA) dalam dosis rendah berpengaruh
secara selektif pada siklooksigenase di trombosit dengan akibat
mencegah pembentukan pro agregating tromboxane A2
sehingga memperkuat khasiat dipiridamol dalam pencegahan
pembentukan trombus.
Meskipun belum dilakukan studi perbandingan akan tetapi
sampai saat ini belum ditemukan pengaruh yang buruk, se-
2) Memperbaiki gangguan keseimbangan asam basa dan elek-
hingga kombinasi tersebut masih diberikan pada penderita
trolit.
DBD.
3) Pemberian komponen darah atau darah lengkap atas indi-
3) Pengobatan DIC14
kasi.
Karena DIC merupakan penyulit pada DBD maka pada
4) Pengobatan terhadap DIC.
tahun 1973 heparin diberikan dalam pengobatan DBD dengan
5) Pemberian obat inotropik bila renjataan belum teratasi.
DIC14. Dosis heparin ½ – 1 mg/kgbb/4 jam I.V. selama
6) Pengawasan terhadap pemberian cairan, untuk mencegah
24 – 48 jam. (Sejak tahun 1984 praktis heparin jarang lagi
overload yang disebabkan reabsorpsi cairan yang telah ke luar
dipergunakan dalam pengobatan standar).
dari sistim vaskuler.
4) Komponen Darah
7) Pemberian albumin bila terdapat hipoalbuminemia disertai
Pemberian suspensi trombosit dan atau darah lengkap
efusi cairan di ringga tubuh (pleura dan abdomen).
sesuai dengan kebutuhan.
8) Antibiotik atas indikasi.
9) Menghindarkan perawatan/tindakan invasif yang berlebih-
DSS (DBD III/IV) an.
1) Tindakan utama bertujuan untuk mengatasi renjatan dengan
pemberian kristaloid (dextrose 5% – NaCl 0.45%) berjumlah SIKAP DAN TINDAKAN PADA RAWAT JALAN
20 – 40 ml/kgbb/1 jam. Bila renjatan belum dapat diatasi Dalam menentukan sikap dan tindakan terhadap penderita
diberikan plasma darah (fresh frozen plasma) atau plasma tersangka DBD diperhatikan beberapa patokan yaitu :
expander. (Lihat bagan). 1) Kriteria diagnosis klinis dan diagnosis penyakit menurut

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 7


WHO. 5. Muslim AN, Sri Rezeki Harun, Sumarmo. Dengue Hemorrhagic Fever and
Japanese B Encephalitis in Indonesia. Southeast Asia J Trop Med Publ
2) Anak berumur < 5 tahun cenderung menderita penyakit Hith 1988; 19 : 3.
yang lebih berat. 6. TK Samsi. H Wulur, Sugianto D, CR Bartz. Some clinical and
3) Keluhan nyeri abdomen pada penderita ≥ 5 tahun berkait- epidemiologic observation of virologically confirmed Dengue
an dengan derajat penyakit lebih berat. Haemorrhagic Fever. Diajukan pada 19th International Congress of
Pediatrics, Paris, Juli 989.
4) Nilai Ht pada pemeriksaan pertama ≥ 40% dipertimbangkan 7. World Health Organization: Dengue Haemorrhagic Fever. Diagnosis,
untuk observasi lebih ketat. treatment and control, Geneva, 1986.
5) Letupan penyakit/insiden DBD di daerah tempat tinggal. 8. Sumarmo, Indra Rumadja, Sri Rezeki Harun, Muslim A. Nathin.
6) Pengertian dan kerjasama dari orang tua penderita. Pengamatan klinis penderita demam berdarah dengue yang dirawat di Unit
Kesehatan Anak R.S. Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta (1975 – 1986).
Bagan di bawah ini menggambarkan sikap dan tindakan Diajukan pada Simposium Dwi Dasawarsa BIKA RSSW, Jakarta, 11 – 12
terhadap penderita tersangka DBD. Desember 1987.
9. H Sidharta, H Wulur, Melani Setiawan, Jani Simkoputra, J Kartina dan
Bagan tindakan pada penderita tersangka DBD : Tatang KS. Kasus demam berdarah dengue selama 20 tahun di R.S.
Sumber Waras. Diajukan pada Simposium Dwi Dasawarsa BIKA RSSW,
Jakarta, 11 – 12 Desember 1987.
10. Tatang KS, Indra Susanto. Pengenalan dini dan penatalaksanaan Demam
Berdarah Dengue. Diajukan pada Simposium Dwi Dasawarsa BIKA
RSSW, Jakarta, 11 – 12 Desember 1987.
11. TK Samsi, H Wulur, Sugianto D, CR Bartz. Serum IgM in virologically
confirmed Dengue Haemorrhagic Fever. Diajukan pada 19th International
Congress of Pediatrics, Paris, Juli 1989.
12. Sri Rezeki Harun, Paleologo, MS Muluk. Titer serologi darah HI virus
Dengue pada anak sekolah di Jakarta. Diajukan pada KONIKA VII,
Jakarta, 1987.
13. LK Kho, H Wulur, T Himawan. Dipyridamole in the treatment of
Dengue Haemorrhagic Fever. Southeast Asian J. Trop Med. Pub. Hlth.
1979; 10 – 3.
14. LK Kho, Melani Setiawan, T Himawan, H Wulur. Management of Dengue
Haemorrhagic Fever. Medika 1984; 8 – 10.

KEPUSTAKAAN

1. LK Kho, H Wulur, A Karsono, Suprapti Thaib. Dengue hemorrhagic fever


in Jakarta, MKI, 1989; 19 – 12.
2. L Partana, JS Partana, S Thahir. Hemorrhagic fever shock syndrome in
Surabaya. Kobe J. Med. Sci. 1970; 26.
3. Suroso T, Bang YH. Control and prevention of dengue haemorrhagic fever
in Indonesia: Strategy and thrust. Dengue Newsletters 11– 7, 1985.
4. Suharyono W. Sepuluh tahun pengamatan virus Dengue di Indonesia 1975
– 1985. Simposium Demam Berdarah. RSAB Harapan Kita, Jakarta, Juli
1986.

8 Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990


Isolasi Virus Dengue dari
Penderita Demam Berdarah Dengue
yang meninggal di Jakarta,lndonesia1986
Suharyono Wuryadi
Pusat Penelitian Penyakit Menular Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Departemen Kesehatan •R.I., Jakarta

ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian tentang hubungan serotipe virus Dengue dengan berat-
nya penyakit yang ditimbulkan dalam hal ini kematian. Spesimen darah diambil dari
penderita klinis Demam Berdarah Dengue yang dirawat di Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Rumah Sakit Dr. Ciptomangunkusumo, Jakarta periode 1986. Kriteria klinis Demam
Berdarah Dengue dari WHO 1975 dipakai untuk menentukan diagnosis. Karena pen-
derita meninggal maka hanya didapatkan satu spesimen darah saja yaitu darah akut.
Selama periode 1986 ditemukan 51 kasus Demam Berdarah Dengue (Minis) yang
meninggal. Dari jumlah tersebut hanya 37 penderita dapat diambil spesimen darahnya.
Semua dilakukan usaha isolasi virus Dengue dengan cara inokulasi pada nyamuk
Toxorhynchites dan penanaman pada biakan jaringan nyamuk Toxorhynchites TRA 284.
Identifikasi dilakukan dengan,Fluorescence Antibody Techniques dengan menggunakan
antibodi monoklonal. Secara klinis dari ke 51 penderita yang meninggal tersebut 22
adalah Grade IV, 27 Grade III, dan 2 Grade II. Kebanyakan kasus adalah Dengue Shock
Syndrome dengan ensefalopati yaitu 39%.
Sebanyak 19 virus Dengue dapat diisolasi; 12 Dengue 3,5 Dengue 2 dan 2 Denguell.
Tidak terisolasi Dengue 4.
Dengue 1, Dengue 2 dan Dengue 3 dapat menyebabkan kasus yang berat atau
meninggal. Dengue 3 merupakan serotipe yang paling dominan dalam menyebabkan
kasus yang berat/meninggal.

PENDAHULUAN dapatkan bahwa di Indonsia ke-4 serotipe bersirkulasi dari


tahun ke tahun. Serotipe Dengue 3 merupakan serotipe yang
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) sampai saat ini
dominan dan paling sering berhubungan dengan kasus-kasus
masih tetap merupakan masalah kesehatan yang besar di Indo-
yang berat dan meninggal. Bahkan pada salah satu wabah yang
nesia. Kejadian wabah masih saja terjadi dan jumlah kasus
terjadi di Bantul, Jogyakarta pada tahun 1975, sebagian besai{
makin meningkat dari tahun ke tahun. Kalau pada permulaan
virus yang dapat diisolasi adalah Dengue 3 (75%) demikian
yaitu tahun 1968 hanya dilaporkan 58 kasus dengan 24
juga kasus yang meninggal.
kematian maka pada tahun 1986 dilaporkan 16.421 kasus
Di sin akan diteliti tentang serotipe virus Dengue dalam
dengan 600 kematian (3,6%). Jumlah kasus ini merupakan
hubungannya dengan kasus Demam Berdarah Dengue yang
angka tertinggi yang pernah dilaporkan di Indonsia selama ini.
meninggal saja, yaitu dengan mengisolasi virus Dengue dari
Yang menggembirakan adalah angka kematian yang jauh
penderita Demam Berdarah Dengue, yang masuk dan dirawat
menurun yaitu pada tahun 1968 sebesar 41% dan pada tahun
di Bagian Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Dr.
1986 adalah sebesar 3,6% saja.
Ciptomangunkusumo.
Banyak hal yang masih belum diketahui dengan jelas tentang
penyakit ini, sifat virus, virulensi virus, vektor, patofisiologi CARA KERJA
path penderita, terjadinya wabah, endemisitas dan lain-lain. Penderita yang dirawat di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS
Khusus tentang virus Dengue, dari penelitian sebelumnya di- Dr. Ciptomangunkusumo diambil spesimen darahnya. Hanya

Disampaikan pada Kongres Nasional V, Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia,


Jogyakarta 4–6 Desember 1989.

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 9


penderita yang meninggal yang dipakai pada penelitian ini. dengan ensefalopati. (Tabel 2) Dan ke 37 spesimen yang dapat
Darah diambil dari vena lengan dengan menggunakan semprit. diambil, hanya 22 yang dapat dilakukan tes Hemagglutinasi
Darah langsung (atau disimpan dalam almari es dulu apabila Inhibisi karena volume spesimen yang terlalu sedikit sehingga
han libur atau maaam hari) dikirim ke Puslit Penyakit Menular. hanya cukup untuk isolasi virus saja. Dan 22 spesimen tersebut
Pengiriman dalam thermos berisi es. Form klinis diisi oleh ada tiga penderita yang sempat diambil spesimen darah kedua
dokter yang bertanggung jawab. Biasanya form yang telah yaitu 4–5 hari setelah spesimen darah pertama diambil.
berisi data penderita secara lengkap akan dikirim setelah Hasil tes Hemagglutinasi Inhibisi menunjukkan dari ke 3
penderita sembuh. spesimen yang sempat diambil darahnya dua Iran, ketiganya
Di laboratorium darah dipisahkan serumnya dengan sentrifu- menunjukkan reaksi positif infeksi sekunder, sedang dari
ge. Serum disimpan sampai saat dilakukan tes serologi; spesimen akut yang tunggal saja dua menunjukkan reaksi H.I.
Hemagglutinasi Inhibisi dan kemudian isolasi virus. Tes positif infeksi sekunder juga('> 1280). Lainnya tidak dapat
Hemagglutinasi Inhibisi dilakukan dengan menggunakan 2 ditentukan. Ada dua spesimen dengan titer HI sebesar 10. Titer
antigen. Biasanya Dengue 2 dan Dengue 3. Pada tes tersebut H.I. sebesar 640 dijumpai pada sebanyak 6 penderita.
dipakai 4–8 unit antigen. Sebelum tes serum diabsorpsi dengan Umur penderita semua di bawah 15 tahun. Rata-rata antara
larutan Kaolin 25% untuk menghilangkan inhibitor non 5–9 tahun. Jumlah kasus laki-laki dan perempuan hampir sama
spesifik dan juga di-'absorpsi dengan butir darah merah angsa 25 dan 26).
untuk menghilangkan aglutinin. Karena hanya dipakai satu Sebanyak 12 Dengue virus serotipe 3 dapat diisolasi, 5
spesimen darah saja maka dengan tes Hemagglutinasi Inhibisi Dengue serotipe 2 dan 2 Dengue serotipe I. Dan sebanyak 12
tersebut tidak dapat atau sulit sekali ditentukan positif Dengue serotipe 3,8 penderita menunjukkan gejala Dengue
negatifnya. Shock Syndrome, saturdengan ensefalopati dan satu tidak. Dua
Pada semua spesimen akut dilakukan usaha isolasi dengan menunjukkan Grade III dan satu Grade II. Untuk Dengue 1,
cara penyuntikanpada~nyamuk Toxorhynchites splendon dari keduanya dari Grade II.(Tabel 3).
koloni laboratorium Inokulasi dilakukan secara intrathorax
dengan menggunakan jarum gelas kapiler. Nyamuk diinkubasi- Tabel 2. Jumlah penderita, jumlah spesimen darah dan hasil isolasi
virus dari penderita Demam Berdarah Dengue yang meninggal.
kan pada suhu 32° C selama 10 – 14 hart Identifikasi dilakukan
dengan Fluorescence Antibody Technique dengan mengguna- Jumlah penderita Jumlah spesimen Hasil isolasi virus
kan antibodi monoklonal. Biasanya untuk identifikasi ini
dipakai preparat kepala nyamuk. Juga dilakukan penanaman D1 D2 D3 D4 Jmlh
pada biakan jaringan nyamuk Toxor TRA 284. Setelah
inkubasi pada 37% selama 6 hari, identifikasi dilakukan serupa 51 37 2 5 12 – 19
pada inokulasi nyamuk.
Hasil isolasi virus dalam serotipe dianalisa, dihubungkan Tabel 3. Gejala klinis dari ke 51 penderita yang meninggal.
dengan gejala klinis yang ada dari tiap penderita. Dengan
kriteria diagnosa klinis WHO penderita dapat dikategorikan Jumlah penderita Gejala/Grade
dalam Grade tertentu.
– 20 penderita DSS dengan ensefalo-
51
pati, terdiri dari 9 Grade IV & 11 Grade III.
HASIL
Selama periode ini yaitu tahun 1986 sebanyak 1100 kasus – 13 Grade IV & 16 Grade III.
Demam Berdarah Dengue dirawat di Bagian Ilmu Kesehatan – 2 Grade IL
Anak Rumah Sakit Dr. Ciptomangunkusumo. Dan sebanyak itu
51 anak meninggal. Dan anak yang meninggal tersebut 37 pen- Tabel 4. Serotipe virus Dengue yang dapat diisolasi dihubungkan dengan
derita dapat diambil spesimen daranhnya. (Tabel 1) gejala klinis dari penderita.

Tabel 1. Jumlah penderita, jumlab spesimen dan hasil tes H.I. dari Serotipe Jumlah Gejala klinis
penderita yang meninggal
Dengue.1 2 Semua dari Grade II
Jumlah penderita Jumlah spesimen Hasil tes H.I. Dengue 2 5 Dua Grade III, tiga Grade IV, satu dengan
51 37 – 32 spesimen tunggal - tidak dapat ensefalopati.
ditentukan Dengue 3 12 Delapan Grade III/IV dengan ensefalopati.
– 3 spesimen paired - positif se-
kunder.
– 2 spesimen tunggal - positif se- PEMBAHASAN
kunder.
– 2 spesimen tunggal - titer < 10
Dengue 3 merupakan serotipe yang paling dominan. Diikuti
– 6 spesimen tunggal - titer 640. Dengue 2 dan kemudian Dengue 1. Tidak ada Dengue 4 yang
dapat diisolasi dari penderita yang meninggal ini. Dari berat
Secara klinis dari ke 51 penderita yang meninggal, 22 pen- ringannya penyakit yang ditimbulkannya terlihat bahwa Dengue
derita adalah Grade IV, 27 penderita Grade III dan 2 penderita 3 sangat berhubungan dengan kasus yang berat. Dari 12 virus
Grade II. Kebanyakan yaitu 39% adalah Dengue Shock Syndrome Dengue yang dapat diisolasi ke-12 nya merupakan Grade III/IV,

10 Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990


delapan dengan ensefalopati sedang untuk Dengue 2, dua dari 5 atau belum jugai pasti bahwa kasus tersebut adalah infeksi
penderita adalah Grade III/IV dengan satu ensefalopati. Untuk primer, sebab untuk mengetahui infeksi primer masih hams di-
Dengue 1, semua penderita yang virusnya dapat diisolasi hanya ketahui spesimen darah konvalesen. Spesimen konvalesen
Grade II saja. Dengue 4 rupa-rupanya tidak berhubungan dengan hams menunjukkan angka di bawah 1280. Titer spesimen darah
kasus yang berat seperti terlihat tidak adanya isolasi virus. akut yang s 10 ada kemungkinan infeksi primer. Jadi
Dari hasil pengamatan virus Dengue selama 10 tahun ter- kemungkinan adanya infeksi primer dari ke 37 penderita
akhir dari 1975 s/d 1985, terlihat bahwa Dengue 3 selalu atau tersebut hanya pada 2 penderita. Hal ini menunjukkan betapa
hampir selalu merupakan serotipe yang dominan dan ber- tingginya endemisitas virus Dengue di daerah tersebut.
hubungan dengan kasus yang berat/meninggal.,Hal ini tidak Dalam penelitian ini diketemukan 6 kasus Demam
hanya berlaku untuk Jakarta tetapi juga untuk beberapa tempat Berdarah Dengue dengan titer akut sebesar 640, dari 3 di
di Indonesia. Secara keseluruhan selama 10 tahun itu Dengue 3 antaranya dapat diisolasi virusnya. Titer untuk spesimen
mewakili 48,3% diikuti oleh Dengue 2 sebesar 31,3%, tunggal sebesar 640 menurut kriteria WHO adalah negatif. Dari
kemudian Dengue I sebesar 14,3% dan yang terakhir Dengue 4 pengalaman waktu yang lampau banyak dijumpai atau
sebesar 6,0%. diketemukan kasus kasus yang positif klinis Demam Berdarah
Kalau kita lihat hubungan antara serotipe virus Dengue Dengue tetapi titer H.I. untuk spesimen tunggalnya hanya
dengan berat ringannya penyakit terlihat bahwa Dengue 3 juga menunjukkan 640. Sehingga interpretasinya negatif. Kalau kita
paling banyak berhubungan dengan kasus-kasus yang berat dan lihat titer RI. bagi anak-anak Indonesia memang agak rendah
meninggal. Bahkan path waktu wabah di Kabupaten Bantul, dibandingkan dengan titer I-I.I. dari anak-anak di Thailand.
Jogya pada tahun 1975 dari semua kasus yang meninggal Berhubung kriteria interpretasi tes H.I. tersebut ditegakkan
semuanya disebabkan oleh Dengue 3. Hasil isolasi virus berdasarkan penelitian di Thailand, mungkin untuk Indonesia
Dengue pada waktu wabah di Bantul tersebut selain Dengue 3, kriteria tersebut dapat diubah, disesuaikan dengan keadaan di
diisolasi juga Dengue 1 dan Dengue 4. Yang agak aneh adalah Indonsia. Penelitian untuk hal tersebut perlu dilakukan.
bahwa Dengue 2 tidak terisolasi selama wabah tersebut. Pada
kejadian lain yaitu tahun 1978 di Jakarta, Dengue 2 di atas KESIMPULAN
Dengue 3 disusul Dengue 1 dan Dengue 4. Pada tahun-tahun 1) Dengue 3 masih merupakan serotipe yang dominan dan
1979, 1982, 1984 Dengue 2 hampir sama dengan Dengue 3. paling berhubungan dengan kasus yang berat/meninggal.
Hal ini menunjukkan bahwa Dengue 2 dan Dengue 3 2) Dengue 2 dan Dengue 1 menyusul di belakangnnya.
merupakan serotipe yang dominan di mana Dengue 3 lebih 3) Dengue 4 rupa-rupanya tidak menyebabkan kasus Demam
suing dan lebih banyak berhubungan dengan kasus yang berat. Berdarah Dengue yang berat.
Serotipe yang lain juga dapat menyebabkan Demam Berdarah 4) Gejala ensefalopati banyak diketemukan.
Dengue yang berat tetapi dalam frekuensi yang rendah.
Sekarang yang menjadi pertanyaan mengapa tidak semua
serotipe Dengue 3 menyebabkan penyakit dengan gejala yang KEPUSTAKAAN
berat. Mengapa dapat juga mengakibatkan penyakit dengan 1. Anon. Technical guides for diagnosis, treatment, surveillance, prevention
gejala yang ringan. Adakah perbedaan dalam virulensi dari and control of Dengue Hemorrhagic Fever WHOI Geneva. 1975.
sesama serotipe atau mungkin malah perbedaan virulensi dari 2. Clarke D H, Casals J. Techniques for hemagglutination and
serotipe yang sama dari waktu yang berbeda. Sampai sekarang hemagglutination inhibition with Arthropod-borne viruses. Am J Trop
Med Hyg. 1958; 561.
pertanyaan tersebut belum dapat dijawab. Hewan percobaan 3. Gubler D J, Suharyono W, Sumarmo, Wulur H, Jahya E, Sulianti Suroto J.
yang dapat menunjukkan penyakit dengan gejala yang sama pada Virological surveillance for Dengue Hemorrhagic Fever in Indonesia using
manusia sampai sekarang belum ada. Teknologi yang bisa mem- mosquito inoculation technique. Bull WHO 57 : 931 - 936.
bedakan perbedaan tersebut juga belum diketemukan. Kalau 4. Kho LK, Wulur H, Karsono A, Thaib S. Majalah Kedokteran Indonesia
1969; 19 : 417.
perbedaan virulensi sesama serotipe dan juga sesama serotipe 5. Kuberski IT, Rosen L. A simple technique for the detection of Dengue
dari waktu yang berlainan memang ada, maka kita mesti berhati- antigen in mosquitoes by inununoflourescence. Am J Trop Med Hyg 1977;
hati dalam menentukan kandidat serotipe virus untuk vaksin. 26 : 533 - 7.
Gejala Demam Berdarah Dengue dengan ensefalopati akhir- 6. Rosen L, Gubler DJ. The use of mosquitoes to detect and propagate
Dengue viruses. Am J Trop Med Hyg 1974; 23 : 1153 - 60.
akhir ini merupakan gejala yang menonjol. Beberapa tahun 7. Suharyono, W. Gubler, DJ. Lubis, I. Tan, it Abidin, M. Sie, A. Sulianti
yang lalu adanya gejala ensefalopati masih sangat jarang Suroso J. Dengue virus isolation in Indonesia. 1975 - 1978. Asian J Infect
bahkan sama sekali tidak dimasukkan dalam kriteria diagnosa 1979; 3 : 27 - 32.
klinik dari WHO. Rupa-rupanya penyakit Demam Berdarah 8. Suharyono W. Sepuluh tahun pengamatan virus Dengue di Indonesia 1975
- 1985. Prosiding Simposium Demam Berdarah Dengue. Jakarta 1986.
Dengue ini terus berkembang dari waktu ke waktu. Hal mana
terlihat juga dari kasus DemamB.erdarah Dengue pada dewasa.
Mula-mula kasus jni jarang sekali dilaporkan atau diketemukan
tetapi akhirakhir ini kasus Demam Berdarah Dengue pada Ucapan terima kasih
dewasa sudah biasa dan banyak. Ucapan terima kasih disampaikan kepada DR Sumarmo, Kepala Sub.
Bagian Penyakit Tropis dan Infeksi, Bagian Ilmu Kesehatan Anak R.S.
Kebanyakan kasus Demam Berdarah Dengue adalah kasus Ciptomangunkusumo, Jakarta yang telah memberikan bantuannya dalam
sekunder. Hal itu terlihat bahwa darii 37 kasus yang diteliti ini memberikan diagnosis klinik dari penderita yang meninggal dan juga
hanya dua spesimen yang spesimen darah akutnya mempunyai pengambilan spesimen darah dari penderita tersebut. Tanpa bantuannya
titer sama atau di bawah 10. Meskipun demikian belum berarti tidaklah mungkin penelitian ini dapat terlaksana dengan baik.

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 11


A Molecular Perspective
on the Pathogenesis of
Dengue Hāemorrhagic Fever
Dr. Tikki Pang
Institute of Advanced Studies University of Malaya,
59100 Kuala Lumpur, Malaysia.

SUMMARY
Recent developments in molecular immunology are discussed in terms of its
relevance to the pathogenesis of dengue haemorrhagic fever (DHF). Molecular details
of interactions between cytotoxic T lymphocytes (CTL) and infected target cells seem
especially important. It is hypothesized that the 'strength' of antigen presentation, as
influenced by interactions between class I HLA molecules and viral peptide antigens, is
a crucial factor in the pathogenesis of DHF with direct implications for disease severity.

CURRENT CONCEPTS OF DHF PATHOGENESIS Infected monocytes/macrophages are unlikely to escape CTL
The dengue viruses cause a spectrum of disease syndromes attack as they display viral antigens on the surface.
with the severe end represented by dengue haemorrhagic fever
(DHF). These syndromes remain as important public health MOLECULAR ORGANIZATION OF DENGUE VIRUS
problems) in many parts of the tropical world. GENOMES
The current concepts relating to DHF pathogenesis have Much new information has been generated with regards to
been discussed previously.1 The immune enhancement the structure and organization of dengue virus genomes.5
hypothesis proposes that subneutralizing levels of 'enhancing' Extensive sequence information on a large variety of dengue
antibodies promote virus entry and replication within strains has also been obtained. However, it is not yet clear how
monocytes and macrophages.2 These infected cells then such differences at the molecular level relate to biological
become the targets of an immune elimination response (most properties of the virus and hence to the virulence/pathogenicity
probably mediated by CTL) and release various chemical of individual virus strains. More information is also needed on
mediators which cause the major symptoms of DHF, shock and strategies for replication and assembly and the nature of en-
haemorrhage. The existence of CTL in human dengue hancing epitopes on dengue virions.
infections has been shown recently.1 The pathological features
of DHF, ie. lack of gross tissue damage, are indicative of the MOLECULAR ADVANCES IN UNDERSTANDING CTL-
involvement of short-lived chemical mediators. An alternative TARGET CELL INTERACTION.
hypothesis proposes that DHF is not related to the host immune The CTL phenomenon is well-established as a central compo-
response and is caused by variant forms of dengue viruses nent of the cell-mediated immune response to viral infections.
which possess increased pathogenic potential. In relation to CM action it is known that CTL recognize viral
Accepting that mediator release is a key event, what factors antigen (on the surfaces of infected cells) in association primarily
may influence it? Level of virus growth within monocytes/ with class I MHC structures (HLA-A, HLA -B and HLA-C
macrophages is important. This may be influenced by the regions in man). In view of the potentially important role of
amount of enhancing antibodies and individual, variant virus CTL, a detailed picture of CTL-target cell interaction at the
strains with increased growth potential. Another important molecular level may be crucial for a full understanding of DHF
event is the immune attack of infected cells by CM which may pathogenesis. Important advances have been made recently
be affected by the numbers of CTL generated and also the specifically in relation to the nature of the T cell receptor (TCR)
amount and class of MHC antigens present on target cells. for antigen, molecular structure of HLA class I molecules,

12 Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990


molecular details of the interaction between MHC (HLA) type may influence which virus proteins are recognized. This
proteins and viral antigen, and mechanisms of antigen pro- would imply that a ,'weak' host component (ie. type of HLA
cessing and presentation. class I molecule with low immunogenicity) can be
The nature .of the T cell receptor for antigen is now well 'strengthened' by a virulent virus producing a highly
known, as is the three-dimensional molecular structure of HLA immunogenic peptide and vice versa. Because of this
class I proteins. 6 The nature of the interaction between antigen possibility, predictions based on HLA type alone may not be
and class I HLA molecules has also been partially elucidated, sufficient. The recent observation that interferon gamma
including definition of the peptide binding cleft/groove on the increases the expression of MHC antigens during dengue
HLA-A2 molecule 6 capable of binding peptides of 8 - 20 infection3 is also relevant.
amino acids. That this is indeed the antigen binding site is 3) CTL recognizes short, processed viral peptides. This has
suggested by the fact that most amino acid residues in class I been shown using synthetic peptides in the influenza CTLI
molecules known to influence antigen recognition by CTL are model. 10 Truncation of theseshort(peptides (e.g., form 17 to
clustered in the walls or floor of the groove. Also relevant is 11 amino acids) can result in significant reduction of'lysis. 10
the important finding that CTL recognizes relatively short 4) CIL recognizes internal virus proteins on infected cells.
peptide sequences resulting from antigen processing as Because these internal proteins could not be detected intact on
opposed to B cells which recognize native proteins. The ability the surface of infected cells, it suggests that CTL recognizes
of CTL to recognize internal viral proteins not normally present processed virus antigens. This has been demonstrated in the
on the cell membrane has also been recognized. In fact, it has influenza system where CTL were able to recognize
been estimated that 90% of CTL recognize internal rather than nucleoprotein and matrix protein. These observations may
surface viral proteins.' Antigen processing refers to a cellular point to a rational therapeutic approach for DHF based on
event that results in changes in the native structure of a soluble interference with effective antigen presentation.
protein antigen; it may involve denaturation and unfolding, and 5) Finally, what are the implications for vaccines? It may mean
proteolysis. By definition, these changes either promote or that a suitable T cell epitope that would preferentially stimulate
inhibit an interaction between the antigen (or antigenic peptide) T helper/inducer cells rather than CTL.
and a major MHC molecule on the surface membrane of an
antigen-presenting cell and consequent antigen-specific HLA AND ANTIGEN PROCESSING IN DHF/DSS
recognition by CTL. The question of whether an antigen is With regards to DHF, HLA associations has been reported.
presented by class I or class II MHC molecules appear to be There appears to be a positive association with HLA–A2 and
closely related to its source, whether exo- or endogenous.8 HLA–B blank and a negative association withjHLA–B13."
It is important to discuss this new information and relate it Additionally, DHF has also been found in members of the same
to the pathogenesis of DHF as it finally gives us a handle on family. The role of genetic factors is apparent during the 1981
the possible structural and molecular basis of pathogenicity and DHF outbreak in Cuba where black children were spared.
which provide an explanation for the spectrum of syndromes Consistent with this observation, dengue virus appears to grow
seen in dengue virus infections. Until this time, we have spoken better in macrophages from white persons in the presence of
of concepts of enhanced growth promoted by enhancing anti- enhancing antibodies.12 There is also an absence of DHF in
bodies and of virulent strains with increased pathogenic certain population groups/regions where dengue viruses are
potential without knowing how it may operate at the molecular endemic e.g. Africa, India, Sri Lanka. In relation to antigen
level. The current notion on this question simply says that the processing, recent reports suggest that several different forms
more the number of infected cells, the more severe the disease. of the non-structural protein NS1 are found in dengue-infected
Although this may be so, in light of the new information it may cells.13
turn out to be a little simplistic.
STRENGTH OF ANTIGEN PRESENTATION – A
ROLE OF HLA AND ANTIGEN PROCESSING IN CTL CRUCIAL FACTOR?
ACTION AND ITS IMPLICATIONS FOR DHF PATHO- How could all this new knowledge relate to disease
GENESIS severity?. It is argued that the 'strength' of antigen presentation
In view of the above, five important aspects of CTL action (by infected cells to CM) could be a crucial aspect of DHF
can be identified with important implications for DHF patho- pathogenesis. That is, strong/effective presentation leads to
genesis : vigorous attack, more mediators released, more severe disease.
1) The HLA type could influence the magnitude of antiviral Two factors can have an important influence on 'strength'. The
CM responses. This has been shown to occur with influenza HLA type of the affected individual and the nature of the
virus, alpha viruses and also dengue virus. 9 In relation to DHF processed viral peptide. This, in turn, infers that 'strength' of
pathogenesis it would imply that the HLA type of an individual presentation is under both host and viral control.
is important in determining susceptibility, ie., the variability
observed in the clinical spectrum of dengue infections may in PRESCRIPTIONS FOR DHF RESEARCH
part be influenced by HLA type. Also, it may mean that disease In light of the above, certain research priorities can
severity may not necessarily be related to the number of perhaps be identified :
infected cells. 1) An attempt should be made to extend HLA association studies
2) The nature of the MHC-peptide interaction is crucial – HLA in areas where DHF is endemic. This should also include

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 13


linkage disequilibrium data in the different population. Gross severity than the presence of enhancing antibodies or infection
differences in type may not predict susceptibility, however, as by more virulent virus strains. It is once again emphasized
minute changes in HLA can strongly affect the magnitude of that DHF pathogenesis is influenced by both virus and host
the CTL response. factors.
2) Studies should be carried out to identify. antigenic deter-
minants recognized by CM; emphasis should be on using REFERENCES
synthetic peptides derived from available sequence information 1. Pang T. Bioessays 1986; 6 : 141 - 144.
on structural as well as nonstructural regions of the genome. 2. Halstead SB. Am J Epidemiol 1981; 114 : 632 - 48.
Also, details of antigen processing and presentation need to be 3. Ennis FA, Kurane I. et al. unpublished.
fully elaborated. Most importantly, there is a requirement for 4. Rosen L Am J Trop Med Hyg. 1977; 26 : 337 - 343.
5. Blok J, Samuel S, Gibbs AJ, Vitarana UT. Arch Virol. 1989; 105 : 39 - 53.
more immunological research in collaboration with molecular 6. Bjorkman PJ, Saper MA, Samraoui B, Bennett WS, Strominger JL, Wiley
biologists. DC. Nature 1987; 329 : 506 - 12.
3) The true identity of mediators which cause shock and 7. Rouse BT, Norley S, Martin S. Revs. Inf. Dis. 1988; 10 : 16 - 33.
haemorrhage needs to be determined. 8. Long EO. Immunol. Today 1989; 10 : 232 - 4.
9. Pang T, Devi S, Blanden RV, Lam SK. Microbiol. Immunol. 1988; 32 :
511 - 8.
CONCLUSIONS 10. Gotch F, Rothbard J, Howland K, Townsend A, McMichael A. Nature
In conclusion, it is proposed that there is a major role for 1987; 326 : 881 - 2.
HLA in presentation of processed viral antigens to CTL and 11. Chiewsilp P, McNair-Scott R, Bhamarapravati N. Am. J. Trop. Med. Hyg.
1981; 30 : 1100 - 5.
that the 'strength' of antigen presentation (influenced by HLA, 12. Monet L, Koure G, Guzman G, Soler M. Lancet 1987; 1 : 1028 - 9.
viral peptides) may be more important in determining disease 13. Brandt WE. J. Inf. Dis. 1988; 157 : 1105 - 11.

14 Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990


Hubungan Titer Antibodi H.I.Akut
dan Konvalesen pada Penderita
Demam Berdarah (DHF) di Jakarta 1988
Dr Imran Lubis
Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan R.I., Jakarta

ABSTRACT
Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) is a major public health problem in Indonesia.
There are 10.000 cases annually with CFR 4%. Surveillance of cases is an important tool to
understand the recent epidemiological pattern.
Prognosis of DHF after first consultation is almost impossible to be made. The clinical
symptom of DHF is capable to change from mild to severe in a very short time.
A study on the correlation of Hemaglutination Inhibition (H.I.) antibody titer among
Dengue Haemorrhagic Fever cases had been done. From January 1988 to December 1988,
a total of 1756 suspected cases of DHF from hospitals in Jakarta were tested using 8 IU of
Dengue 2 antigen according to Clark & Cassal microtechnique method.
There were 866 DHF cases confirmed with positive H.I. test according to WHO
Diagnostic Criteria. From those cases 426 were children and 440 were adults. It shows that
DHF was not only affecting children as previously but also adult.
Correlation on the H.I. titers in acute phase and convalescence phase for total cases,
children as well as adults had shown similar pattern. They were correlated on the left side
and no linear correlation could be drawn so far. Meaning that the individual variables is
still numerous.
In order to make prediction of DHF cases on first consultation more accurate, further
studies should be performed based on more specific group, such as age, sex, clinical
symptoms, environment back ground etc, to find a significant correlation or regression line
between H.I. titer during acute phase with those variables.

PENDAHULUAN
Penyakit Demam Berdarah (DHF) merupakan salah satu vektor demam berdarah (nyamuk Aedes), bahkan terjadi lebih
penyakit penting di masyarakat yang perlu ditanggulangi. Di dulu dari yang diperkirakan. Faktor-faktor penyebab keadaan
Asia Tenggara, terbanyak dilaporkan di Thailand kemudian ini masih belum diketahui secara pasti.
Indonesia. Di. Indonesia, jumlah penderita penyakit ini rata- Sampai sekarang prognosis penyakit demam berdarah
rata 10.000 setiap tahunnya, berasal dari laporan rumah sakit masih sulit ditentukan secara dini. Penderita Grade I dan Grade
dan wabah. Angka kematian kasus dapat ditekan sekitar 4%. II (disebut sebagai Dengue Fever) tidak dirawat di RS, dengan
Pengamatan perlu dilakukan secara terus menerus supaya catatan apabila gejala berat mulai timbul segera dibawa ke RS.
setiap perubahan gambaran epidemiologik penyakit dapat Penderita Grade III dan IV (golongan yang mendapat renjatan/
segera diketahui. shock dan sudah moribund) hams dirawat di RS. Dalam per-
Jakarta termasuk salah satu daerah endemis demam ber- jalanan penyakit dapat saja penderita yang semula adalah
darah. Biasanya penderita mulai meningkat pada waktu permula- Grade I atau II kemudian secara mendadak jatuh menjadi
an musim hujan. Pernah terjadi wabah pada anak dan orang Grade III atau IV dan meninggal bila terlambat sampai di RS.
dewasa di daerah Lenteng Agung (1987). Sering peningkatan Hal ini dapat dihindari bila ada suatia cara untuk menentukan
jumlah penderita tidak sama dengan peningkatan kepadatan prognosis penyakit secara dini.

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 15


BAHAN DAN CARA Tabel 1. Jumlah penderita demam berdarah anak dan dewasa dengan
hasil serologik HI positip, di Jakarta 1988.
Bahan penelitian adalah spesimen penderita tersangka
demam berdarah yang diperiksa di Laboratorium Virologi, Bulan Anak Dewasa Jumah
Puslit Penyakit Menular dari Januari 1988 s/d Desember 1988. Januari 37 38 75
Penderita berasal RS Ciptomangunkusumo, RS Mintohardjo, Februari 11 82 93
RS Persahabatan, RS Gatot Subroto dst. terdiri dari golongan Maret 12 35 47
umur anak maupun dewasa dan orang tua. April 200 107 307
Data penderita diperoleh dari formulir yang dipergunakan Mei 99 90 189
oleh Dit.Jen P2M & PLP untuk pemantauan kasus demam ber- Juni 41 51 92
darah. Juli 12 13 25
Setiap penderita yang diteliti dilengkapi dengan spesimen Agustus 3 5 8
fase akut (disebut akut saja, fase permulaan penyakit yaitu se- September 5 4 9
belum hari ke 5 sakit) dan spesimen konvalesen (disebut Oktober 2 3 5
konvalesen saja, fase penyembuhan yaitu pada hari ke 10 sakit Nopember 2 6 8
atau selebihnya). Desember 2 6 8
Pemeriksaan titer antibodi dilakukan dengan metode Clark Jumlah 426 440 866
& Cassal modifikasi mikroteknik dengan menggunakan 8 IU
antigen D2 dan sebelumnya dilakukan Kaolin Treatment untuk
menghilangkan antibodi lain yang non spesifik. Antigen D2 geseran umur penderita meleber ke kanan, meliputi tidak saja
didapatkan dari PN Biofarma, Bandung. golongan umur anak tapi telah mencakup remaja, dewasa dan
Analisa data tahap pertama ialah konfirmasi serologik pen- orang tua.
derita klinis tersangka demam berdarah dengan memakai kriteria Frekuensi distribusi dari 866 penderita demam berdarah
WHO (1985) untuk diagnosis serologik HI penyakit demam ber- pada titer akut dan konvalesen tampak pada Grafik 1.
darah. Bila titer HI pada serum konvalesen naik empat kali atau
lebih dibandingkan titer HI serum akut, atau kedua serum ter- Grafik 1. Perbedaan Titer HI Akut dan Konvalesen, DHF, Jakarta 1988.
sebut sudah mempunyai titer tinggi (yaitu 1240 atau lebih)
walaupun tanpa kenaikan 4 kali maka disebut positip. Bila tidak
memenuhi salah satu syarat tersebut maka disebut negatip.
Tahap ke dua adalah melakukan analisis statistik memakai
Program Minitab dan Turbo Pascal dalam menghitung korelasi
dan frekuensi distribusi penderita menurut umur dan titer HI
akut dan konvalesen. Koefisien korelasi dihitung secara Pearson.

HASIL
Selama periode Januari 1988 std Desember 1988 telah di-
kumpulkan 1756 spesimen penderita tersangka demam
berdarah dari RSCM/FKUI, RS Persahabatan, RS Islam, RS
Mintoharjo, dan RS St. Carolus, yang semuanya terdiri dari
spesimen filter paper. Di antaranya terdapat 48 (2,7%)
spesimen tunggal yaitu hanya spesimen akut atau konvalesen
saja dan sisanya berupa spesimen ganda. Interpretasi hasil
pemeriksaan, seperti yang diharuskan dalam kriteria WHO di
atas, hanya dapat dilakukan pada spesimen ganda saja. Tampak bahwa jumlah penderita demam berdarah dengan
Dari seluruh spesimen penderita tersangka demam titer HI pada fase akut antara < 10-80 dan 640 antara 80-100
berdarah didapatkan 49,3% serologi HI negatip (bukan demam orang. Titer HI tinggi lainnya (1280, 2560 dst) antara 40-80
berdarah) dan 50,7% positip (seterusnya disebut sebagai orang.
penderita demam berdarah). Penderita demam berdarah dengan Pada fase konvalesen jumlah penderita mulai banyak pada
hasil serologik HI positip menurut bulan dan golongan umur titer 320, tertinggi pada titer 640 dan 10240 yaitu antara 100-
tampak pada Tabel 1. 150 orang. Untuk titer < 10 tidak ada, pada titer 20-40-80 mulai
Jumlah penderita demam berdarah menurut golongan umur terjadi peningkatan dari 20 ke 46 orang.
dari Januari s/d Desember 1988 adalah 426 anak dan 440 Korelasi dari 866 penderita demam berdarah titer HI akut
dewasa. Perbedaan golongan umur ini secara jelas tampak pada dengan konvalesen tampak pada Gambar 1. Tampak bahwa kore-
bulan Februari, Maret, Nopember dan Desember 1988, lasi terdapat pada sisi paling kiri. Koefisien korelasi adalah :
golongan dewasa lebih banyak 2-5 kali daripada anak. Hal ini 0.587. Titik-titik korelasi belum dapat dihubungkan dengan
tidak seperti biasanya, yaitu golongan anak lebih banyak. satu garis lurus. Ini berarti bahwa penderita dalam data korelasi
Bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya maka masih sangat bervariasi.
selama periode Januari 1988 - Desember 1988, jelas terjadi per- Berdasarkan Tabel 1 di atas, perbedaan jumlah penderita

16 Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990


Gambar 1. Korelasi antibodi Akut dan Konvalesen, DHF di Jakarta 1988. Gambar 2. Korelasi antibodi Akut dan Konvalesen, anak dengan DHF.

demam berdarah anak dengan dewasa secara umum tidak Perbedaan jumlah penderita demam berdarah pada golongan
bermakna. dewasa saja menurut titer H.I. akut dan konvalesen tampak
Hubungan antara titer antibodi H.I. akut dan konvalesen pada pada Grafik 3.
Berdasarkan Tabel 1 di atas, perbedaan jumlah penderita
demam berdarah anak dengan dewasa secara umum tidak ber- Grafik 3. Perbandingan Titer H.I. Akut dan Konvalesen, DHF Dewasa,
Jakarta 1988.
makna.
Hubungan antara titerantibodi H.I. akut dan konvalesen
pada golongan anak saja tampak pada Grafik 2. Tampak pada
Grafik 2 bahwa penderita terbanyak adalah pada titer akut 20
(60 anak), rata-rata 40 anak pada titer akut > 10–20–80 dan
640, dan rendah (rata-rata 20 anak) pada titer akut lainnya.

Grafik 2. Perbandingan titer H.I. Akut dan Konvalesen, anak DHF,


Jakarta 1988.

Jumlah penderita dewasa titer akut H.I. terbanyak adalah 20


dengan 65 orang, untuk titer < 10–10-40–80 rata-rata 45 orang.
Pada fase konvalesen jumlah penderita terbanyak pada titer
HI 640 dan 10240 yaitu 70 orang, titer < 10 tidak ada
seorangpun dan mulai meningkat pada titer 10–20–40–80 yaitu
dari 15 ke 25 orang, sedangkan titer yang lain rata-rata 25
orang.
Koefisien korelasi titer H.I. akut dan konvalesen pada
Titer konvalesen < 10 tidak ada seorangpun, mulai me- dewasa adalah 0,576.
ningkat pada titer 10–20–40–80 yaitu dari 12 ke 20 anak dan Tampak pada Gambar 3 bahwa korelasi terletak pada
terbanyak pada titer 640 dan 10240 dengan jumlah 70 anak. bagian kin dan belum dapat dibuat suatu hubungan garis (linear
Korelasi titer H.I. akut dan konvalesen pada anak tampak pada correlation).
Gambar 2.
Koefisien korelasi titer H.I. akut dan konvalesen pada anak DISKUSI
adalah 0,578. Tampak pada Gambar 2 bahwa korelasi terletak Respon antibodi dalam serum akut lebih tinggi pada orang
pada bagian kiri dan belum dapat dibuat suatu hubungan garis dewasa. Spektrum titer antibodi Dengue pada anak terbanyak
(linear correlation) adalah dari < 10–1280, jarang mencapai 10240, sedangkan pada

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 17


Gambar
ambar 3. Korelasi Antibodi H.I. Malt dan Konvalesen DHF Dewasa. umur, jenis kelamin, gizi, gejala klinik (grade), past infection
(endemisitas daerah) maka korelasi titer akut dengan titer
konvalesen atau prognosis penyakit dapat dibuat bila
merupakan suatu hubungan garis lurus (linear correlation).
Berdasarkan korelasi ini dapat dicari lagi koefisien korelasi
yang menggambarkan berapa besar pengaruh dari prediksi
mendatang tersebut. Dengan demikian prediksi prognosis
penyakit demam berdarah dapat dibuat berdasarkan kategori
kelompok penderita dan nilai ketepatan yang diizinkan.
Penelitian lanjutan mengenai hal tersebut di atas perlu di-
lakukan agar supaya prognosis penderita demam berdarah
secara dini dapat ditegakkan sehingga.dapat menekan angka
kematian penderita.
orang dewasa cukup banyak jumlah penderita bertiter 10240. KEPUSTAKAAN
Jumlah penderita dewasa yang bertiter 10240 sebesar 2–4 kali
jumlah penderita anak. 1. Suharyono. Aspek virologi dari penyakit Dengue Haemorrhagic Fever.
Mengingat di Indonesia telah dilaporkan empat tipe virus Dalam buku : Syarif A. Djairas Z, Umar AI, Herawaty B eds. Makalah
seminar Demam Berdarah dan penanggulangannya di masyarakat, 1983,
Dengue, dengan virus tipe D3 yang dominan1 dan masih banyak IDI Jak Tim : 25-33.
daerah yang dianggap high endemic, maka pada umur 10 tahun 2. Sumarmo. Perkembangan mutakhir Demam Berdarah Dengue. Dalam
semua anak dianggap pemah mengalami infeksi dengan ke buku : Simposium Demam Berdarah Dengue di Jakarta 26 Juli 1986; 1-17.
empat tipe virus Dengue (D1, D2, D3, D4). Dan seperti ke- 3. Gubler DJ, Suharyono, Lubis I et al. Epidemic Dengue 3 in Central Java,
associated with lowviremia in man. Am.J.Trop.Med.Hyg. 1981; 30 : 1094-
kebalan yang terjadi akibat infeksi Arbovirus lainnya (Yellow 9.
Fever Chikungunya), kekebalan terhadap Dengue ini dianggap 4. Lubis I. Ensefalitis karena virus Dengue. Dalam buku : Simposium
tahan lama (long lasting). Oleh karena itu, kita selalu meng- Demam Berdarah Dengue Jakarta 26 Juli 1986 : 56-65, 1986
anggap bahwa penyakit demam berdarah sangat jarang diderita 5. Sumarmo. Demam Berdarah Dengue pada anak di Jakarta. Tesis 1983.
6. World Health Organization. Dengue haemorrhagic fever : Diagnostic,
oleh prang dewasa. Padahal pada penelitian ini temyata jumlah treatment and control. WHO, Geneve, 1986.
penderita demam berdarah anak (426 anak) sama dengan jumlah 7. Wuryadi S. Sepuluh tahun pengamatan virus Dengue di Indonesia. Dalam
pada orang dewasa (440 prang). Hal ini perlu diteliti lebih lanjut. buku : Simposium Demam Berdarah Dengue Jakarta 26 Juli 1986; 66-82.
Masalah lain penyakit demam berdarah adalah kemungkinan
timbulnya gejala berat (shock, perdarahan) yang belum dapat di-
ramalkan teriebih dahlu. Perubahan dari gejala ringan menjadi Ucapan terima kasih
Penulis menyampailcan ucapan terima kasih atas bimbingan dan izin
lebih berat biasanya terjadi pada hari ke 5 sakit2. Sehingga pada yang telah diberikan oleh Dr. Suriadi Gunawan DPH, Kepala Puslit Penyakit
masa itu perlu dilakukan pemeriksaan trombosit dan/atau Menular sehingga dapat terwujudnya makalah ini.
hematokrit berulang kali. Bila gejala memburuk segera dilaku-
kan upaya mengatasinya. Hal ini tidak selalu mudah dilakukan.
Infeksi virus Dengue tertentu akan menimbulkan antibodi
spesifik terhadap tipe Dengue tersebut sebagai mekanisme
tubuh untuk menangkal perkembangan virus lebih lanjut.
Produksi antibodi makin bertambah banyak agar mampu
menetralisir semua virus. Pada reaksi netralisasi ini terjadi hasil
sampingan komplemen C3a, yang berfungsi sebagai salah satu
faktor dalam mekanisme renjatan anafilaktik. Komplemen
tersebut mengakibatkan kebocoran plasma (plasma leakage)
dan DIC (Disseminated Intravascular Coagulation). Tingginya
kadar komplemen inilah yang dianggap sebagai penyebab
shock atau perdarahan.
Dari analisis penelitian ini, tampak bahwa korelasi titer HI.
akut konvalesen mengelompok di bagian kiri bagan. Belum
tampak hubungan titer antara titik-titik korelasi tersebut. Hal
ini karena sifat penderita demam berdarah masih terlalu umum,
baik secara total maupun setelah dipisah untuk anak atau
dewasa saja.
Suatu hal yang baik adalah bagan korelasi anak dan dewasa
tidak berbeda jauh. Sehingga dengan membuat pengelompokan
penderita demam berdarah lebih spesifik, misalnya menurut :

18 Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990


Pengembangan Penggunaan
Biakan Jaringan Ginjal Monyet
untuk Pemeriksaan Tanggap Kebal
terhadap Virus Chikungunya
Eko Rahardjo
Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengernbangan Kesehatan,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta

ABSTRAK
Pemeriksaan tanggap kebal terhadap virus chikungunya biasanya dilakukan dengan
uji haemaglutination inhibition (HI), uji complement fixation (CF) dan akhir-akhir ini
juga dipakai enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Pada penelitian ini diterapkan
uji netralisasi (Nt) diwarnai dengan menggunakan peroksidase anti peroksidase (PAP).
Sampel serum sebanyak 91 buah dipakai untuk uji tanggap kebal ini. Biakan sel
lestari VERO dipakai sebagai media dalam uji netralisasi. Plate biakan jaringan dengan
96 sumuran beralas datar dipakai tempat penumbuh biakan jaringan.
Hasil penelitian ini ialah bahwa uji netralisasi dengan pewamaan PAP bisa dipakai
untuk mendeteksi tanggap kebal virus chikungunya. Diantara sampel serum yang di-
periksa, 23 di antaranya positif. Dari penelitian ini juga dapat disimpulkan bahwa anak
laki-laki dan perempuan mempunyai kemungkinan sama untuk terinfeksi virus chiku-
ngunya. Titer kadar zat anti yang dijumpai relatif rendah.
Hubungan umur dengan tanggap kebal juga dibicarakan, baik dalam segi kuan-
titatif maupun kualitatif.

PENDAHULUAN bersifat lestari (established cell line) dad sel ginjal monyet
hijau Afrika (African green monkey kidney cells), dikenal
Virus chikungunya adalah virus yang penyebarannya me-
sebagai sel vero5. Perhitungan jumlah virus chikungunya
liputi wilayah Afrika, Asia Tenggara dan India1 . Infeksi virus
dengan cara menghitung bercak (plaque) yang timbul pada
ini bisa menyebabkan demam tinggi, rasa nyeri yang sangat
biakan jaringan atau lebih dikenal sebagai titrasi plak (plaque
pada persendian, timbulnya bercak-bercak merah pada per-
titration) juga dikembangkan oleh Igarashi dan Tuchinda pada
mukaan kulit (maculopapular rash). Di Asia Tenggara infeksi
tahun yang sama. Pada tahun 1985 telah diuji efektifitas virus
virus chikungunya kadang-kadang mengakibatkan manifestasi
chikungunya dalam tiga macam biakan sel lestari dengan
perdarahan yang tidak berbeda dari pengamatan pada infeksi
metoda netralisasi yang diwarnai dengan peroksidase anti
virus dengue1.
peroksidase (PAP), serta diuji tanggal kebal terhadap virus
Virus chikungunya pertama diisolasi dari manusia dan
pada serum kelinci yang telah diinfeksi virus chikungunya
nyamuk pada tahun 1952 di Tanganyika (sekarang Tanzania),
menggunakan metoda yang sama pula6.
Afrika (Ross, 1956). Sedangkan di Asia Tenggara virus chiku-
Penelitian ini bertujuan mengetahui tanggap kebal ter-
ngunya diisolasi pertama kali pada tahun 19583.
hadap virus chikungunya path serum manusia dengan metoda
Penggunaan biakan jaringan untuk isolasi virus sudah di-
uji netralisasi staining PAP, karena menurut penelitian se-
lakukan sejak pertengahan abad ini dan biakan jaringan juga
beluninya uji netralisasi dengan cara ini bisa mendeteksi
dapat untuk memperbanyak jumlah virus dengan menggunakan
tanggap kebal pada serum kelinci. Serum yang dipakai untuk
biakan jaringan primer ginjal monyet4. Virus chikungunya
uji tanggap kebal adalah serum anak-anak. Hasil dari uji
ternyata dapat juga dibiakkan pada biakan jaringan yang
tanggap kebal ini akan dikaitkan dengan umur, tinggi rendah-
Dibacakan pada Kongres Biologi Nasional VIII, Porwokerto 8 – 10
Oktober 1987.

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 19


nya tanggap kebal juga hubungannya dengan jenis kelamin. bila fokus sudah agak nampak, cepat-cepat dicuci dalam air
mengalir, kemudian dikeringkan. Pengamatan timbulnya fokus
CARA KERJA
bisa dilakukan dengan mata telanjang, namun agar
Sel vero diencerkan dengan medium esensiil minimum
menghasilkan ketepatan pengamatan yang lebih baik, sebaik-
(minimum essential medium=MF.M), suspensi sel vero dibagi-
nya dilakukan dengan dissecting microscope,
kan ke dalam 96 sumuran plate biakan jaringan, alas dari su-
Titer netralisasi antibodi terhadap virus dapat dilihāt dari
muran berbentuk datar. Tiap sumuran diisi 100.000 sel vero,
ada tidaknya fokus, jumlah fokus kurang dari 50% dari kontrol
kemudian dieramkan (diinkubasi) dalam pengeram (inkubator)
(± 100 FFU) dianggap positif (punya kekebalan), sedang lebih
berisi CO2 pada suhu 37°C sampai sel-sel tersebut membentuk
dari 50% dianggap tidak punya antibodi terhadap virus chiku-
selapis biakan jaringan, biasanya memerlukan waktu sekitar
ngunya.
tiga hari.
Serum untuk penelitian ini berasal dari serum anak-anak
HASIL DAN PEMBAHASAN
umur 0–14 tahun, berjumlah 91 sampel serum penderita
Uji netralisasi dengan staining PAP ternyata bisa diterap-
demam yang tidak diketahui asal usulnya (fever of unknown
kan terhadap manusia, haI ini terbukti dengan dapat diketahui-
origin = FUO) dari rumah sakit Cipto Mangunkusumo (RS-
nya tanggap kebal pada serum anak-anak terhadap virus chiku-
CM) Jakarta. Serum-serum itu diencerkan 10 X dengan garam
ngunya. Jadi uji netralisasi staining PAP ini tidak hanya dapat
penyangga fosfat (phosphate buffered saline = PBS) kemudian
diberlakukan pada serum kelinci saja.
serum ini diencerkan lagi dengan kelipatan 4 menjadi 40 X,
Hasil uji netralisasi serum anak-anak penderita FUO, dari
160 X dan 640 X.
91 sampel serum yang diperiksa temyata 23 sampel (25,28%)
Virus chikungunya yang ada merupakan simpanan dari
positif terhadap virus chikungunya (Tabel 1). Uji HI dengan
Microbial Diseases Research Institute, Osaka University,
menggunakan sampel yang sama, sebelumnya telah memberi-
Osaka, Jepang. Virus ini berasal dari isolasi di Bangkok (strain
kan hasil 15 sampel (16,48%) positif, jadi uji netralisasi dengan
B2H306) yang sudah dikembangbiakan pada otak anak mencit
staining PAP lebih peka dibanding uji HI. Hasil uji netralisasi
(suckling mouse brain=SMB) dan sel nyamuk lestari Aedes
juga menunjukkan bahwa tanggap kebal terhadap virus chiku-
albopictus (C6/36). Virus ini diencerkan mencapai 100 FFU
ngunya paling banyak dijumpai pada anak-anak usia 3–4 tahun
(focus forming units) sesuai dengan hasil titrasi virus yang
yaitu pada 10 sampel (10,9%), sedangkan untuk anakanak
sebelumnya telah dilakukan.
kelompok 0–2 tahun didapati pada 9 sampel (9,89%),
Serum yang telah diencerkan didistribusikan ke dalam
kelompok' umur 5-6 tahun pada 2 sampel (2,20%), 7–8 tahun
plate 96 sumuran, dasar sumuran berbentuk huruf "U". Setiap
pada 1 sampel (1,10%) dan kelompok umur 9–11 tahun pada 1
pengenceran dimasukkan ke dalam 8 sumuran dengan volume
sampel (1,10%).
25 ul/sumuran. Virus yang telah diencerkan juga dimasukkan
ke dalam sumuran tersebut, volume suspensi virus yang Tabel 1. Hasil tanggap kebal anak-anak penderita MO terhadap virus
chikungunya dengan uji netralisasi pada berbagai kelompok
dimasukkan juga 25 ul/sumuran. Campuran serum dan virus
umur, di Jakarta tahun 1982.
dalau plate itu kemudian dieramkan dalam pengeram selama 2
jam, 37°C, agar terjadi netralisasi antara serum dengan virus. Jumlah Jumlah positif dalam %
Kelompok Jumlah
Setelah waktu pengeraman selesai campuran serum dan virus umur sampel
sampel
itu dimasukkan ke dalam biakan jaringan, masing-masing positif 1 2 3
sebanyak 25 uI/sumuran, kemudian dieramkan lagi dalam 0– 2 tahun 50 9 9,89 18 39,13
pengeram selama 2 jam 37°C, agar virus yang tidak ternetralisir 3– 4 tahun 19 10 10,99 52,63 43,47
oleh serum bisa menyusup (penetrasi) ke dalam sel-sel. Setelah 5– 6 tahun 11 2 2,20 18,18 8,70
waktu pengeraman selesai campuran serum virus ini disedot ke 7– 8 tahun 5 1 1,10 20 4,35
luar, kemudian tiap sumuran yang berisi biakan jaringan ini 9–11 tahun 6 1 1,10 16,67 4,35
diberi 0,1 ml MEM yang berisi 2% serum anak sapi (fetal calf
serum). Lalu dieramkan lagi dalam pengeram selama 15 jam Jumlah 91 23 25,28 – 100
suhu 37°C agar virus dapat berbiak di dalam sel. Keterangan: 1 : persentase dari seluruh sampel.
MEM disedot ke luar dari sumuran, kemudian sumuran 2 : persentase dari kelompok umur.
dicuci dengan PBS (pH 7,4). Selanjutnya biakan jaringan 3: persentase dari seluruh sampel positif.
difiksasi dengan etanol absolut. pada suhu kamar selama 10 Khusus untuk kelompok umur 0–2 tahun dan 3–4 tahun
menit. Staining tahap pertama dilakukan dengan cara me- bila dilihat jumlah sampel positif dibagi seluruh sampel nam-
nuangkan anti chikungunya rabbit serum (diencerkan 1 : 1000) pak tidak begitu berbeda (0–2 tahun ada 9 sampel, 3–4 tahun
25 ul/sumuran dibiarkan selama 40 menit, kemudian dicuci ada 10 sampel), namun bila dilihat per kelompok umur maka
dengan PBS sebanyak 3 X. hasil persentasenya akan jauh berbeda karena jumlah sampel
Tahap berikutnya adalah tahap staining PAP, diawali untuk kelompok umur 0–2 tahun sebanyak 50 buah sedangkan
dengan proses staining tahap kedua, yaitu pemberian goat kelompok umur 3–4 tahun hanya 19 sampel saja. Jadi
anti rabbit IgG serum (diencerkan 1 : 100) 25 ul/sumuran, persentase positif untuk kelompok umur 0–2 tahun hanya
juga dibiarkan selama 40 menit kemudian dicuci dengan 18% sedangkan untuk kelompok umur 3–4 tahun adalah
PBS .3 X. Tahap staining ke tiga adalah pemberian PAP di-tam 52,63%. Pada kelompok umur 5–6 tahun, 7–8 tahun, 9–11
bah 0,01% H202 dan 0,3 mg/ml 3–3 diamino benzidine tahun bila dilihat jumlah sampel positif dibagi kelompok
tetrahydro chloride dalam PBS kurang lebih selama 5 menit, umurnya akan didapat hasil dalam persentase tidak jauh bar-

20 Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990


beda dengan kelompok umur 0–2 tahun, yaitu sebagai be-
rikut ini, 18,18% (5–6 tahun), 20% (7–8 tahun) dan 16,67%
(9–11 tahun).
Hasil sampel positif pada berbagai kelompok umur bila dibagi
jumlah seluruh sampel positif akan didapatkan hasil sebagai
berikut: untuk kelompok umur 0–2 tahun didapat hasil 39,13%,
kelompok umur 3–4 tahun 43,48%, kelompok umur 5–6 tahun
8,70%, kelompok umur 7–8 tahun 4,35% dan kelompok umur 9–11
tahun juga 4,35%.
Penelitian tanggap kebal terhadap arbovirus saat sebelum
epidemi di Khon-kaen (Thailand Timur Laut) dari Songkhla
(Thailand Selatan) pada tahun 1973 menggunakan uji hemaglutinasi
(HI) menunjukkan bahwa 40/101 (40%) anak-anak sekolah usia 10–
14 tahun di Kho-kaen punya tanggap kebal terhadap virus
chikungunya, sedangkan di Songkhla tanggap kebal chikungunya
dijumpai pada 17 anak dari 128 anak atau 13%7. Hasil penelitian
tanggap kebal virus chikungunya di Jakarta bila dibandingkan
dengan hasil di Khon-kaen dan Songkhla akan nampak bahwa
prosentase tanggap kebal tertinggi terdapat pada kelompok umur 3–
4 tahun (52,63%) sedangkan di Khon-kaen pada kelompok umur 7–
9 tahun (48%) dan di Songkhla pada kelompok umur 10–14 tahun
ada 13% (Gambar 1). Pada gambar 1 nampak bahwa prosentase
antibodi di Jakarta menurun pada kelompok umur 5–6 tahun, sedikit
naik pada kelompok umur 7–8 tahun dan turun lagi pada kelompok
umur 9–11 tahun; sedangkan di Khon-kaen mulai menurun pada
kelompok umur 10–14 tahun di Songkhla tanggap kebal terus naik
prosentase sesuai dengan bertambahnya umur. Penelitian di Jakarta Gambar 1. Persentase tanggap kebal anti chikungunya di Khon-
ini kurang lengkap karena hanya meneliti anakanak saja, jadi tidak kaen dan Songkhia (Thailand) menggunakau uji HI
diketahui secara pasti batas tertinggi usia yang punya prosentase dibandingkan dengan persentase tanggapkebal anti
chikuagunya di Jakarta menggunakan uji Nt dengan
tanggap kebal tertinggi, padahal menurut hasil penelitian di Khon- staining PAP, berdasarkan kelompok amok.
kaen dan Songkhla justru pada usia dewasa yang paling tinggi
prosentase tanggap kebalnya terhadap virus chikungunya. Penelitian Tabel 2. Tanggap kebal terhadap chikungunya pads anak laki-laki
di Khon-kaen menunjukkan bahwa pada orangorang usia 40–50 dan perempuan di Jakarta, tahun 1982.
tahun, 80% punya tanggap kebal terhadap virus chikungunya
sedangkan di Songkhla pada kelompok umur yang sama 60% punya Jumlah sampel
Jumlah sampel positif dalam %
tanggap kebal. Janis kelamin Jumlah sampel
positif
1 2
Janis Kelamin
Tanggal kebal terhadap virus chikungunya pada anak laki-laki Laki-laki 52 12 23,08 13,19
maupun perempuan ternyata tidak banyak berbeda (tabel 2). Serum Perempuan 39 11 28,20 12,09
anak laki-laki sebanyak 52 buah tabung setelah diperiksa temyata
12 sampel serum (23,08%) punya tanggap kebal sedangkan dari 39 Jumlah 91 23 – 25,28
sampel serum anak perempuan 11 sampel (28,20%) punya tanggap
kebal. Perbedaan prosentase tanggap kebal antara anak laki-laki dan Keterangan: 1. Persentase positif laki-laki/perempuan dari sampel
laki-laki/perempuan.
perempuan akan semakin mengecil bila kita lihat prosentase positif 2. Prosentase positif laki-laki/perempuan dari seluruh
dad seluruh jumlah sampel karena akan didapati 12/91 (13,19%) sampel.
pada anak laki-laki dan 11/91 (12,09%) pada anak perempuan.
Penelitian pengaruh jenis kelamin yang berhubungan dengan Hasil titer tanggap kebal.
timbulnya tanggap kebal terhadap virus chikungunya sejauh ini Tanggap kebal terhadap virus temyata relatip rendah
belum ada namun virus chikungunya ini ditularkan dari satu (Tabel 3), nilai tanggap kebal 10 ternyata paling banyak
manusia ke manusia lainnya oleh nyamuk, terutama oleh nyamuk didapat yaitu pada 11 anak (12,09%), sedangkan nilai
Aedes aegypti. Penelitian di Thailand juga menunjukkan bahwa tanggap kebal 40 pada 10 anak (10,99%) dan nilai tanggap
beberapa jenis nyamuk Culex bisa menjadi vektor bagi penyebaran kebal 160 pada 2 anak (2,2%). Nilai tanggap kebal 10
virus chikungunya seperti Culex fatigans, Culex tritaeniorynchus, ternyata paling banyak dijumpai pada anak-anak usia 0–2
Culex gelidus dan Culex quinquefasciatus. tahun (6,59%, 12%, 26,09%, 54,54%), nilai tanggap kebal
40 paling banyak dijumpai pada anak-anak usia 3–4 tahun
(5,49%, 26,32%, 21,74%, 50%), sedangkan nilai tanggap
kebal 160 dijumpai hanya pada 2 anak, masing-masing
satu untuk kelompok umur 0–2 tahun dan 3–4 tahun,

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 21


Tabel 3. Titer tanggap kebal anti chikungunya berdasarkan kelompok umur
100 pada anak-anak penderita FUO di Jakarta, tahun 1982.

Titer tanggap kebal anti chikungunya


<10 10 40 160
Umur 1 3 1 3 1 3
2 4 2 4 2 4
0–2 th 41 6 6,59 26.09 2 2,20 8,70 1 1,10 4,35
12 54,54 4 20 2 50
3–4 th 9 4 4,40 17,39 5 5,49 21,74 1 1,10 4,35
21,05 36,36 26,32 50 5,26 50
5–6 th 9 1 1,10 4,35 1 1,10 4,35
9,09 9,09. 9,09 10
7–8 th 4 – 1 1,10 4,35
20 10
9–11 th 5 – 1 1,10 4,35
16,67 10
68 11 (12,09%) 10 (10,99%) 12 (2,2%)

Keterangan : 1. Prosentase titer sampel positif dari seluruh sampel.


2. Prosentase titer sampel positif dari kelompok umur.
3. Prosentase titertaaepel positif dari seluruh sampel positif.
4. Prosentae titer sampel positif dari kelompok titer yang sama.
Nilai tanggap kebal 40 dijumpai pada semua kelompok
umur, sedangkan tanggap kebal 10 dan 160 dijumpai pada
kelompok umur anak-anak yang berusia lebih muda. Sedikitnya
jumlah sampel pada kelompok umur anak-anak yang lebih tua
mehjadikan penelitian ini kurang menggambarkan keadaan
yang sebenarnya.
Prosentase titer sampel positif dari kelompok umur pada
penelitian di Jakarta bila dibandingkan dengan hasil penelitian
di Khoen-kaen dan Songkhla nampak ada persamaan .pada
tinggi tanggap kebal yang relatif rendah yaitu tidak ada yang
punya titer lebih dari 160 (Gambits 2). Pola grafik di Jakarta
dan Khoen-kaen menunjukkan pola yang hampir sama, namun
prosentase positif pada umur muda (3–4 tahun) di Jakarta lebih
tinggi sedangkan prosentase positif umur anak-anak yang lebih
tua di Khoen-kaen (5–6 tahun, 7–9 tahun, 10–14 tahun) adalah
lebih tinggi, prosentase titer positif di Songkhla relatif lebih
rendah dibandingkan dengan di Jakarta dan Khoen-kaen.
Prosentase positif paling tinggi di Jakarta dijumpai pada
kelompok umur 3–4 tahun (26,62%) dengan nilai tanggap
kebal 40. Nilai tanggap kebal 80 paling banyak dijumpai pada
kelompok umur 10–14 tahun (48%) di Khoenkaen.

KESIMPULAN
1. Uji netralisasi dengan staining PAP bisa diterapkan untuk dan perempuan tidak begitu jauh berbeda.
menguji tanggap kebal anak-anak terhadap virus chikungu- 5. Kadar zat anti chikungunya terendah (10) paling banyak
nya. dijumpai pada anak-anak usia 0–2 tahun. Kadar zat anti
2. Hasil uji netralisasi pada anak-anak penderita FUO di dengan nilai 40 paling banyak didapati pada anak-anak usia
Jakarta dari 96 sampel, didapati 23 sampel (25,28%) positif. 3–4 tahun. Kadar zat anti 160 paling sedikit dijumpai.
3. Anak-anak usia muda (0–2 tahun dan 3–4 tahun) sudah
punya tanggap kebal terhadap virus chikungunya. Kelom- SARAN
pok umur 3–4 tahun paling banyak punya tanggap kebal. Perlu dilakukan penelitian yang sifatnya lebih menyeluruh,
4. Anak laki-laki dan perempuan punya kemungkinan sama mencakup kelompok umur dari bayi sampai orang tua sehingga
terkena infeksi virus chikungunya, hal ini bisa dilihat dari dapat ditemukan kelompok yang paling rentan terhadap virus
prosentase zat anti yang ditemukan pada anak laki-laki chikungunya.

22 Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990


Gambar 2. Kurva distribusi tanggap kebal anti chikungunya di Khon-
kaen dan Songkhla menggunakan uji HI dibandingkan
dengan uji Nt staining PAP di Jakarta, berdasarkan ke-
lompok umur.

3. Hammon W McD, Rudnick A, Sather GE. Viruses associated with


epidemic hemorrhagic fevers of the Philippines and Thailand. Science
1960; 131 : 1102–3.
4. Henderson JR, Taylor RM. Propagation of certain arthropod borne viruses
in avian and primate cell cultures. J Immunol 1960; 84 : 590-8.
5. Igarashi A, Tuchinda P. Studies on chilcungunya virus. I. Plaque titration
on established cell line. Biken J 1967; 10 : 37–9.
6. Eko R, Tadono M, Okamoto Y, Okuno Y. Development of a micro
neutralization test for chikungunya virus. Biken J 1986; 29 : 27–30.
7. Fukunagā T, Rojanosuphot S. Pishuthipornkul S, Wungkorbiat S,
Thammanichanon A, Chantrpenkul P, Tuchinda P, Jatanasen S, Fukai K.
Sero epidemiologic study of arboviruses infections in the North East and
South of Thailand. Biken J. 1974; 17 : 169-82.
KEPUSTAKAAN 8. Ross RW. Medical significance of Togaviruses: An Overview of diseases
caused by Togaviruses in man and in domestic and wild vertebrate
1. Chamberlain RW. Epidemiology of arthropod borne togavirales: The role animals. In: Togaviruses. Schlesinger RW (ed) New York, Academic
of arthropods as hosts and vectors and of vertebrate hosts in natural Press, 1980. p. 55.
transmission cycles. In: The Schlesinger RW. Togaviruses. Academic
Press, New York, 1980. pp. 75–227. UCAPAN TERIMA KASIH
2. Nimmannitya S, Halstead SB, Cohen SN, Margiotta MR. Dengue and Terima kasih saya ucapkan kepada Dr Iskak Koffman dan Drh Suharyono
Chilcungunya virus infection in man in Thailand, 1962–1964 I. Wuryadi MPH yang telah memberikan kesempatan pada saya untuk melakukan
Observations on hospitalized patients with haemorhagic fever. Am J Trop penelitian ini.
Med Hyg. 1969; 18 : 954–71.

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 23


Masalah Penyakit
Japanese Encephalitis di Indonesia
Dr. Imran Lubis CPH.
Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Departemen Kesehatan R.I. , Jakarta

ABSTRACT
Surveys of Japanese Encephalitis (JE) were conducted in 5 areas during the period
of years (1978–1985) to investigate the clinical diagnosis, endemicity andits reservoir
animals.
These surveys included : JE cases (Jakarta), children 6 y.o. and pigs (Solo, Ponti-
anak and Denpasar), the whole population and animals in Lombok. Serological test
employed were HI (Hemaglutination Inhibition) IAHA (Immune Adherence Hema-
glutination) and Neutralization.
From 118 children in Jakarta diagnosed as JE according to WHO Criteria for
Clinical Diagnosis of JE, 25% were confirmed single positive against JE by IAHA test.
Pontianak is endemic JE, the infection rate of JE among children were 44.4%, in pigs
were 100.0%. Solo, Denpasar and Lombok is not endemic JE and showed small focal
infection between "desa". The infection rate in children were 6.8%, 19.0% and 30.0%
consecutively. Infection rate of JE among pigs were high i.e.: in Solo (90.7%) and
Denpasar (73.6%). Other animal reservoirs found in Lombok beside pigs were horse
(57.0%) cattle (22.0%).
Solo, Denpasar and Pontianak had several species of Culex mosquitoes although
the infection rate of JE were differed.

PENDAHULUAN Jepang menunjukkan bahwa dengan kenaikan populasi nyamuk


Japanese Encephalitis (JE) adalah suatu penyakit yang di- Culex karena perkembangan di bidang pertanian dan kenaikan
tularkan oleh vektor nyamuk dan disebabkan oleh virus JE. populasi babi ternak karena kenaikan kebutuhan pangan tahun
Virus tersebut masuk dalam genus Flavivirus dan famili Toba- 1853. mengakibatkan letusan penyakit JE1. Di Indonesia, kita
viridae. Partikel virus berbentuk sferis dengan envelope dari belum mengetahui daerah mana yang sudah endemis JE bails
banyak lipid, garis tengah 45 – 50 nm, multiplikasi lebih baik untuk siklus binatang maupun siklus manusia. Kesulitan ini
pada suhu rendah dan ditemukan perbedaan di antara ke 53 karena penyakit JE secara klinis sulit diketahui, dapat hanya
strain virus JE (Do Quang Ha, 1979). berupa demam ringan saja sampai ke gejala berat yang juga
Penderita penyakit JE pertama ditemukan di Jepang tahun masih sulit dibedakan dengan penyakit ensefalitis lain. Siklus
1871. Virus penyebabnya diisolasi tahun 1934 dari biopsi binatang Iebih sulit diketahui karena tidak menimbulkan sakit
penderita yang meninggal, di Korea Selatan diisolasi tahun pada binatang, pada babi hamil muda mungkin akan
1946, di Vietnam diisolasi tahun 1951. Sejak itu, penyakit JE menyebabkan abortus.
menyebar ke beberapa negara: RRT, Thailand, Burma, India, Penyakit JE pada manusia merupakan suatu jalan akhir dai
Malaysia, Indonesia, Hongkong dan Guam. Sedangkan di siklus penularan (dead-end). Viremia pada penderita hanya
Jepang dan Vietnam sendiri, penyakit itu sudah mulai mereda beberapa jam saja sehingga sulit ditularkan ke orang lain.
(L. Rosen, 1979). Siklus penularan yang penting untuk suatu tingkat endemisitas
Situasi epidemiologi penyakit JE di negara Asean termasuk daerah adalah siklus penularan binatang terutama babi ternak
Indonesia masih belum diketahui. Keadaan apa yang akan ditunjang dengan populasi nyamuk golongan Culex.
terjadi di kemudian hari masih sulit diduga. Pengalaman di Di negara lain telah terbukti bahwa vektor penyakit JE
terpenting adalah nyamuk Culex. Penderita dengan gejala berat disertai dengan gangguan ke-
sadaran (koma) dan meninggal. Makin banyak gejala klinis
TUJUAN WHO yang ditemukan makanilai positif makin tinggi. Dengan
Berdasarkan alasan tersebut, maka telah dilakukan survai menemukan tiga gejala atau lebih maka ketepatan diagnosa
di beberapa daerah di Indonesia yang diduga terdapat penyakit mencapai 73,3%.
JE, dengan tujuan untuk melihat gambaran diagnosis klinis, Hasil pemeriksaan IAHA pada anal( sehat umur 6 tahun
endemisitas dan reservoirnya. Pada daerah endemis JE tindakan dan 2 desa di Denpasar tampak pada Tabel 1. Tabel 1 juga me-
pengamatan penyakit dapat mulai dijalankan. nunjukkan basil uji HI pada babi ternak di sekitar rumah pen-
duduk yang diambil darahnya.
BAHAN DAN CARA
Survai dilakukan tidak sekaligus, tetapi secara bertahap Tabel 1. Jumlah anak sehat umur 6 tahun dengan antibodi IAHA dan
selama empat tahun, di lima daerah, dengan cara sebagai babi ternak dengan antibodi HI di Denpasar, 1981.
berikut:
1978. Melakukan survai di Lombok, desa Dasan Geres Lom- Jumlah positif/seluruh sampel
Kecamatan
bok Barat dan desa Kelayu Lombok Timur, pada masyarakat Anak Babi
semua umur dan melakukan penangkapan binatang. Uji Badung 100/363 (30%) 106/132 (80%)
laboratorium dipakai uji HI (Hemaglutination Inhibition) dan Bangli 5/229 ( 2%) 56/88 (64%)
Netralisasi oleh Namru-2.
1981. Mengumpulkab penderita JE pada anak di 2 rumah sakit Keterangan: antibodi HI positifapabrla ≥ 20
antibodi IAHA positif apabila ≥ 20
di Jakarta: RS Ciptomangunkusumo dan RS Sumber Waras.
Uji laboratorium menggunakan uji IAHA (Immune Adherence
Tampak di sini bahwa jumlah anak dan babi positif ter-
Hemaglutination) yang menurut Kiatzek mempunyai nilai
hadap JE lebih besar di daerah endemis (Badung) daripada
spesifisitas lebih baik dari uji CF (Complement Fixation) dan
daerah yang belum pernah melaporkan JE (Bane).
mungkin sama baiknya dengan uji Netralisasi3. Seleksi
Survai di Solo dan Pontianak pada anak sehat umur 6
penderita penyakit JE berdasarkan kriteria WHO (1979)2 yaitu :
tahun dan babi temak di dua daerah tampak pada Tabel 2.
1. Demam lebih dan 37°C
2. Gejala rangsang meningeal Tabel 2. Jumlah anak sehat umur 6 tahun dengan antibodi IAHA dark
3. Gejala rangsang korteks babi ternak dengan antibodi HI, di Solo dan Pontianak, 1983.
4. Gangguan kesadaran
5. Gangguan saraf otak Jumlah positif/seluruh sampel
6. Gejala piramidal dan extra piramidal Daerah Anak Babi
7. Cairan otak jernih, globulin (+), glukosa kurang dari 100
Solo 34/482 (6,8%) 187/206 (90,7%)
mg%. Pontianak 185/416 (44,4%) 210/210 (100,0%)
Pada tiga daerah lain, masing-masing survai dilakukan
pada dua lokasi yaitu daerah endemis JE dan daerah belum Keterangan: seperti pada Tabel 1.
pernah melaporkan JE, yaitu pada:
1983. Melakukan survai di Denpasar, desa Bangli dan desa Survai di Lombok pada masyarakat semua umur menunjuk-
Badung, pada anak sehat umur 6 tahun dan babi ternak dan kan jumlah penduduk dengan antibodi netralisasi adalah 135/
nyamuk Culex dengan menggunakan light trap CDC. Uji 446 (30%). Sedangkan jumlah binatang dengan antibodi HI
laboratorium adaah uji HI untuk babi ternak, uji IAHA untuk yang ditangkap tampak pada Tabel 3.
masyarakat anak dengan memakai antigen JE dari Inouye.
1985. Melakukan survai di Solo (Kecamatan Jebres dan Tabel 3. Jumlah binatang dengan antibodi HI, Lombok, 1978.
Banjarsari) dan Pontianak (Sei Jawi Luar dan Sei Jawi Dalam),
pada anak sehat umur 6 tahun memakai uji IAHA, pada babi Jenis Jumlah positif/seluruh sampel
ternak memakai uji HI danmenangkap nyamuk Culex dengan
light trap CDC. Kuda 7/15 (47%)
Sapi 9/41 (22%)
HASIL Kerbau 1/13 (8%)
Selama Maret 1981 sampai April 1982 dan 2 rumah sakit Kambing 10/35 (29%)
Ayam 0/78 (0)
di Jakarta telah dikumpulkan 118 penderita anak dengan Bebek 4/52 (8%)
gejala klinis penyakit JE menurut kriteria WHO (1979)2. Tiga Kelelawar 5/71 (7%)
puluh dari penderita tersebut menunjukkan kenaikan liter,, Tikus 0/25 (0)
single antibody IAHA antara serum akut dan serum Burung liar 0/17 (0)
konvalesens sebesar 4 kali atau lebih. Umur terbanyak pen- Keterangan: antibodi HI positif apabila ≥ 20
derita adalah 5 tahun dan tidak berbeda bermakna menurut Setelah dilakukan uji ulang pada beberapa sampel binatang
jenis kelamin. Gejala klinis terbanyak adalah: demam meng- dengan menggunakan uji Netralisasi, ternyata yang masih
gigil, kejang, kaku kuduk, nyeri kepala dan opistotonus. positif adalah Kuda 1/6 (17%), Sapi 1/8 (12%).

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 25


Spesies nyamuk dari basil penangkapan dengan light trap JE1.
CDC masing-masing 5 malam pada tiga daerah, tampak pada Pemeriksaan serum pada penderita JE di Jakarta dilakukan
Tabel 4. Tampak bahwa di Pontianak terdapat nyamuk Culex uji IAHA memakai antigen JE dan Dengue 2. Hasilnya me-
paling banyak meliputi jenis C. gelidus, C. quenquefasciatus nunjukkan bahwa single positive serum terhadap JE adalah
dan Culex lain. Di Solo paling sedikit,hanya terdapat jenis C. 30/118 = 25%. Sama dengan laporan Suprapti Thaeb yang
quenquefasciatus. Sedangkan di Denpasar terdapat jenis Culex menemukan angka konfirmasi 24% dari penderita JE di
yang panting adalah C. tritaeniorhynchus, C. fuscocephala dan Bandung. Van Peenen dkk juga berhasil mengisolasi virus JE
C. gelidus. dari nyamuk Culex di Kapuk. Jadi sangat mungkin bahwa
Tabel 4. Jumlah dan jenis nyamuk ditangkap dengan light trap CDC di
penderita JE di Jakarta tersebut karena virus JE walaupun dari
Solo, Pontinak dan Denpasar. manusia belum pernai berhasil diisolasi virus JE.
Penggunaan kriteria diagnosis klinis JE menurut WHO
Jumlah
menunjukkan bahwa dengan ditemukan tiga gejala atau lebih
Jenis Solo Pontianak Denpasar maka nilai ketepatan mencapai 73,3%. Di Vietnam nilai ke-
C. tritaeniorhynchus – – 86 tepatan diagnosis klinis berdasarkan uji HI sebesar 25–82,9%
C. fuscocephala – – 210 (Do Quang Ha, 1979). Data dari LK. Kho (1971), dari 22
C. gelidus – 111 3 penderita JE di RS Sumber Waras ditemukan penurunan ke-
C. quenquefasciatus 300 254 – sadaran 11/22: 50%, kejang 12/22: 64% dan pembesaran
C. lain – 452 – hati 11/22: 50%7. Pada survai ini ditemukan penurunan
Bukan Culex 70 – 136 kesadaran 12/30 (40%), kejang: 18/30 (60%), dan pembesaran
hati tidak termasuk kriteria WHO. Pontianak ternyata
DISKUSI mempunyai prevalensi antibodi JE paling tinggi (44,4%)
Akibat infeksi virus JE, pada minggu pertama fase sakit dibandingkan Solo (6,8%), Denpasar (114/592: 19%) dan
tubuh akan membentuk antibodi spesies IgM. Antibodi ini Lombok (30%).
dapat dideteksi oleh uji HI dan Netralisasi. Antibodi CF baru Perbedaan infeksi JE di setiap lokasi survai yaitu daerah
mulai positif pada minggu ke dua atau ke tiga, karena pada saat endemis dan daerah belum pemah melaporkan JE ditemukan
itu antibodi telah didominasi oleh spesies IgM4. cukup besar di Solo (33% dengan 0%), di Denpasar (30%
Interpretasi uji HI harus hati-hati mengingat untuk Flavi- dengan 2%). Ini berarti bahwa di Solo dan Denpasar penyakit
virus hasilnya kurang spesifik terutama pada fase setelah IgG JE masih merupakan suatu infeksi fokal yang kecil. Karena
dibentuk tubuh. Uji HI tetap banyak dipakai sekarang karena perbedaan infeksi antar kecamatan/desa yang berdekatan sudah
antibodi HI dapat bertahan sangatt lama, antigen mudah dibuat cukup besar. Sedangkan di Pontianak perbedaan antāra kedua
(dari otak mencit/biakan jaringan), pelaksanaan cepat, mudah jenis lokasi survai tidak banyak yaitu 67,3% pada lokasi
dan murahs . Reaksi silang (cross reaction) pada uji HI dapat endemis JE dan 22,3% pada lokasi belum pernah melaporkan
dicegah apabila dilakukan pembuangan zat inhibitor non- penyakit JE.
spesifik dalam serum dengan memakai kaolin/aseton, Pontianak terletak dibagian Utara Indonesia, berdekatan
heterologous crossing antibody dari flavivirus lain atau dengan dengan negara Filipina, Thailand. Endemisitas penyakit JE di
memisahkan antibodi IgM dari serum'. Pontianak tersebut dapat disebabkan letak geografis mi. Virus
Uji Netralisasi pada mencit putih/biakan jaringan dapat JE dapat dibawa oleh burung liar yang sedang imigrasi dari
memberi basil lebih spesifik. Kesulitannya ialah karena pe- daerah dingin di Utara ke daerah panas di Selatan. Ke-
laksanaan uji Netralisasi hanya dapat dikerjakan oleh labora- mungkinan cara penyebaran ini menerangkan Pontianak
torium tertentu, sulit, mahal dan lama. endemis JE. Apalagi melihat populasi dari nyamuk Culex yang
Uji CF kurang berguna mengingat tidak semua orang ter- cukup tinggi. Ditunjang dengan infeksi pada babi ternak sudah
kena infeksi virus JE akan membentuk antibodi CF (Buescher, 100,0%.
1959). Dan sebagian besar antibodi CF akan menghilang pada Di Solo dan Denpasar angka infeksi virus JE pada manusia
bulan ke lima atau sebelumnya (Southam, 1956). Dari semua masih rendah. Angka infeksi pada babi ternak di dua kota itu
penderita JE hanya 24% masih mengandung antibodi CF se- cukup tinggi yaitu antara 64%-90%. Sedangkan jenis dan
telah 5 tahun sejak sembuh (Buescher, 1959). Uji CF berguna jumlah nyamuk Culex keduanya masih rendah walaupun
menyokong diagnosa klinis JE pada fase akut penderita yang Denpasar lebih besar. Ini menunjukkan siklus penularan
telah mempunyai titer HI dan Netralisasi tinggi, karena binatang lebih besar daripada siklus manusia. Mungkin karena
antibodi CF dibentuk belakangan. populasi nyamuk Culex dan populasi babi ternak masih
Pada survai ini dipakai beberapa macam uji serologik "seimbang" maka masih jarang manusia ikut terkena infeksi JE.
yaitu HI, IAHA, Netralisasi. Hasil setiap uji serologik tidak Penyakit JE adalah penyakit zoonosis, dan nyamuk Culex
dapat distandardisasi untuk diperbandingkan. Yang penting lebih senang menggigit binatang daripada manusia (zoophylic).
dilihat adalah tingkat endemisitas virus JE di setiap daerah Keadaan keseimbangan ini dapat berubah pada saat terjadi
survai. Sebab penyakit JE yang sudah endemis di suatu daerah, kenaikan populasi nyamuk Culex dan kenaikan populasi babi
suatu saat akan menjadi lebih parah apabila terjadi kenaikan ternak, dengan akibat virus JE mulai menyebar dan menjadi
populasi nyamuk Culex atau babi ternak. Penyebaran penyakit masalah pada manusia.
JE pada daerah baru biasanya sangat jarang, misalnya pada Keadaan di Solo dan Denpasar mungkin juga karena kedua-
daerah Pasifik yang sampai sekarang masih bebas penyakit nya merupakan daerah endemis virus Dengue. Pada daerah

26 Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990


endemis Dengue perkembangan virus JE dapat dihambat8 Hasil 5. Clarke, Cassalas. Techniques for hemaglutination and hemaglutination
inhibition with arthropod-borne virus, Am J Trop Med Hyg 1958; 7 : 561-
survai masyarakat Lombok menunjukkan infeksi virus JE 30%. 73.
M. Kanamitsu pada tahun 1979 menemukan angka 16%8. 6. Robert ES. Virus laboratory methods for surveillance of Japanese
Perbedaan ini mungkin disebabkan dari perbedaan lokasi Encephalitis virus, present constraints and possible new methods including
survai. Kedua angka tersebut masih diakui belum menunjukkan necessary research, WHO Report, New Delhi, March, 1979.
7. Kho LK, Wulur H, Rumalean L. Japanese B Encephalitis di Djakarta,
daerah Lombok endemis JE. MKI, 1971; 9 : 435-48.
Prevalensi antibodi pada binatang, tertinggi pada kuda 8. Kanamitsu M, Tanaguchi K, Urasawa S et al. Geographic distribution of
(47%) dan sapi (22%). Kedua binatang ini bukan merupakan Arbovirus antibodies in indigenous human population in the Indo-
amplifying host yang baik bagi virus JE. Viremia pada kuda Australian Archipelago, Am J Trop Med Hyg 1979; 28, (2) : 351-63.
9. Kiatzek TG. Protocol for Immune Adherence Hemaglutination (IAHA),
dan sapi lebih pendek, titer virus lebih rendah, turn over juga US Namru-2, 1980.
lebih rendah dibandingkan pada babi ternak. Penularan virus JE 10. Oya A. Japanese Encephalitis Vaccine, Japanese Expert Committee
pada penduduk Lombok mungkin juga karena dipengaruhi Report, 1979, p. 68-82.
kebiasaan penduduk bepergian ke Bali pada upacara agama 11. Van Peenen PFD, Joseph SW et al. Japanese Encephalitis virus from pigs
and mosquitoes in Jakarta, Indonesia. Trans Roy Sod Trop Med Hyg
Hindu dan men dapat infeksi di sana. 1975;69 (5) : 477-9.
Pengalaman di negara lain menunjukkan bahwa babi
ternak memegang peranan paling panting untuk siklus
binatang. Di ketiga daerah survai lainnya, infeksi pada babi:
UCAPAN TERIMA KASIH
Denpasar 73%, Solo 90,7% dan Pontianak 100,0%. Di sini Ucapan terima kasih disampaikan kepada para dokter anak dan staf di RS
jelas bahwa babi ternak adalah reservoir panting bagi penyakit Ciptomangunkusumo dan RS Sumber Waras, pada Dokter dan staf di
JE. M. Kanamitsu dkk, menemukan antibodi HI untuk JE di Pontianak, Solo, Denpasar dan Lombok yang telah membantu pengumpulan
Surabaya, 1968, pada orang utan 7/10 (70%), sapi 10/11 spesimen dan pada para staf laboratorium virologi Puslit Penyakit Menular
yang telah melakukan pemeriksaan, sehingga terlaksananya survai ini
(90,9%), babi 15/15 (100%), kambing 7/10 (70%)8. Binatang
reservoir lain seperti misalnya pada burung belum banyak
diketahui.

KESIMPULAN
Telah dilakukan lima kali survai secara bertahap dengan
menggunakan uji HI, IAHA, dan Netralisasi. Di Jakarta dapat
dikonfirmasi 25% penderita JE positif berdasarkan uji IAHA.
Daerah endemis JE adalah Pontianak, dengan infeksi pada
manusia 44,4%, pada babi ternak 100%. Daerah tidak endemis
tetapi baru fokal infeksi kecil JE adalah Solo (infeksi manusia
6,8% dan babi 90,7%), Denpasar (infeksi manusia 19% dan
babi 73,6%) dan Lombok (infeksi manusia 30%, babi tidak
ada). Ke lima daerah tadi mempunyai nyamuk jenis Culex dan
infeksi JE yang berbeda. Secara keseluruhan angka infeksi
pada babi ternak lebih tinggi daripada pada manusia. Binatang
reservoir terpenting adalah babi ternak.
Di masa mendatang perlu diteliti kemungkinan uji ELISA
digunakan untuk penelitian penyakit JE, karena pelaksanaan
lebih mudah, cukup spesifik dan cepat, sehingga hasilnya dapat
diperban dingkan .

KEPUSTAKAAN

1. Rosen L. Relevance of Arbovirus to human health in South-east Asia and


Western Pacific, Proceedings 3 rd Symposium Arbovirus Research in
Australia, February, 1982, p. 226-9.
2. WHO. Surveillance on Clinical Diagnosis and Clinical laboratory
examination. Inter-Regional Meeting on Japanese. Encephalitis, New
Delhi, March, 1979.
3. Inouye S, Matsumo S, Kono R. Difference m antibody reactivity between
Complement Fixation and Immune Adherence Hemaglutination tests with
virus antigens, J. Clin. Microbiol. 1981; 241-6.
4. Edelman R, Schneider RJ, Cheowanich P et al. The effect of Dengue virus
infection on the clinical sequelae of Japanese Enc phalitis, A one year
follow-up study in Thailand, SEA J Trop Med Pub Hlth 1975; 6 (Sept):
308-15.
Uji Netralisasi secara in vivo Serum Babi
terhadap Japanese Encephalitis
di Kalimantan
Muljono Adi*, Suharyono Wuryadi*, Masasutgu K**
*Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Departemen Kesehatan RI, Jakarta
**Konsultan JICA.

ABSTRACT
A preliminary study on Japanese Encephalitis virus infection was conducted in
Pontianak, Sintang, Banjarmasin, Balikpapan and Samarinda, Kalimantan in 1985.
A total number of 314 blood specimens were collected aseptically from slaughtered
pigs and tested by serum neutralization test against 500 LD50 of Japanese Encephalitis
virus in suckling mice. Serological examination on the pig population revealed 46.5%
seropositive against Japanese Encephalitis virus.
There was linear correlation between age groups and proportion of Japanese
Encephalitis virus infection, but not for age groups and geometric mean titers. The
young pigs are potential as a source of infection.
Japanese Encephalitis virus is maintained in nature by extra human host, man is
incidental host and plays no direct role in prepetuating the virus, although he may
influence it by activities.
Based on the results in this study we may presume that pigs may play a role in the
epidemiology of Japanese Encephalitis virus in Kalimantan, but the transmission of
Japanese Encephalitis virus in man must be discussed.

PENDAHULUAN Penelitian ini bertujuan ingin mengetahui keadaan infeksi


Penyakit ensefalitis adalah penyakit radang otak yang pada babi, berapa besarnya angka infeksi, hubungannya dengan
banyak menyerang anak-anak di bawah usia 10 tahun, di duga umur, titer antibodi dan besarnya insidensi. Sehingga dapat
salah satu penyebabnya adalah virus. Di Indonesia diperkirakan diperkirakan kemungkinan penularannya kepada manusia di
salah satu jenis virus penyebabnya adalah Japanese sekitarnya, yang dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan
Encephalitis. Virus ini adalah anggota dari Arbovirus grup B1 bagaimana cara penanggulangannya.
atau genus Flavivirus. Penyakit ini telah menyebar di banyak
negara, mulai Siberia, Cina, Korea, Taiwan, Malaysia, Singa- BAHAN DAN CARA KERJA
pura, Thailand, India, Sri Lanka dan Nepa12 Penelitian ini dilakukan di peternakan babi dari Pontianak,
Munculnya penyakit ini di Indonesia ,elah dilaporkan pada Sintang, Banjarmasin, Balikpapan, dan Samarinda. Babi dipilih
tahun 19713, yaitu di Kalimantan bagian utara. Dalam pe- langsung secara acak sederhana di peternakan; umur dan asal
nelitian selanjutnya virus Japanese Encephalitis berhasil di babi dicatat. Umur babi yang dipilih sebagai sampel berkisar
isolasi di Jakarta4 dari nyamuk Culex tritaeniorhynchus, Culex antara 6 bulan sampai 12 bulan lebih, dengan pertimbangan
gelidus, Culex fuscocephalus' dan Culex vishnui° . Infeksi virus bahwa pada umur tersebut sudah tidak memiliki antibodi
Japanese Encephalitis secara serologik pada masyarakat telah maternal.
ditemukan di Pontianak (26.6%), Balikpapan (21.5%) dan Darah diambil sebanyak 3 ml dari setiap ekor babi yang
Samarinda (25.6%)7. Japanese Encephalitis adalah merupakan dipilih melalui vena auricularis externa atau vena tarese recur-
penyakit hewan, yang secara insidentil bisa terjadi pada rentis untuk diperiksa dengan uji serum netralisasi secara in
manusia dengan babi sebagai reservoir utama8 , maka ada vivo (menggunakan suckling mice berumur satu hari). Jumlah
dugaan bahwa penyebaran virus Japanese Encephalitis sampel yang diperiksa adalah 314 sampel dengan pengambilan
berumber dari babi, dengan nyamuk sebagai perantaranya. darah hanya satu kali.

28 Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990


HASIL Distribusi babi yang positif JE menurut titer antibodi di-
Distribusi babi yang diperiksa menurut kelompok umur lihat pada tabel 3, dan dapat diperjelas dengan gambar 2.
dan asalnya dapat dilihat pada tabel 1. Jumlah yang paling tinggi adalah pada babi yang bertiter
8 (31.5%) dan jumlah yang paling rendah pada titer 128
Tabel 1. Distribusi sampel babi menurut kelompok umur asalnya di (10.9%).
Kalimantan.
Tabel 3. Frekuensi babi yang positif Japanese Encephalitis menurut titer
Kelompok umur (bulan) antibodi dengan uji serum netralisasi di Kalimantan.
Asal Jumlah (%)
6–7 8–9 10–11 12 Titer Antibodi Frekuensi Persen (%)
1. Pontiank 14 18 20 10 62 (19.8) 8 46 31.5
2. Sintang 8 20 16 16 60 (19.3) 16 36 24.7
3. Banjarmasin 16 20 16 12 64 (20.3) 32 18 12.4
4. Balikpapan 10 20 20 14 64 (20.3)
64 30 20.5
5. Samarinda 12 24 20 8 64 (20.3)
128 16 10.9
60 102 92 60 314 (100 )
Jumlah 146 100.0
(19.2%) (32.4%) (29.2%) (19.2%)

Besarnya angka infeksi Japanese Encephalitis pada babi


adalah (146/314) atau 46.5% dan distribusi babi yang positif
terhadap Japanese Encephalitis menurut umur dapat dilihat
pada tabel 2.

Tabel 2. Hubungan antara umur dan proporsi infeksi Japanese Ence-


phalitis di Kalimantan.
Kelompok umur Jumlah yang di Proporsi lnfeksi JE
(bulan) periksa jumlah persen (%)
1. 6 – 7 60 4 (6.7)
2. 8 – 9 102 36 (35.2)
3. 10 – 11 92 58 (63.1)
4. 12 – lebih 60 48 (80.0)
Jumlah 314 146 (46.5)

Dengan analisa korelasi dan regresi linier ternyata ada


korelasi linier antara umur dengan proporsi infeksi Japanese
Encephalitis (r = 0.99; tr = 14.14; df = 2 dan p < 0.05). Per-
samaari garis regresi liniernya adalah Y = 12.38X–65.17,
gambar diagram tebar dan garis regresi liniernya dapat dilihat Gambar 2. Distribusi babi yang positif JE menurut titer antibodi dengan
uji serum netralisasi di Kalimantan.
pada gambar 1.
Distribusi babi yang positif Japanese Encephalitis menurut
umur dan titer antibodi dapat dilihat pada tabel 4.
Hasil analisis menunjukkan bahwa ada hubungan antara
umur babi dengan titer antibodi. Namun bila umur babi ter-
sebut dihubungkan dengan rata-rata titer geometrik antibodi
netralisasi pada tabel 5, dengan analisa korelasi linier me-
nunjukkan bahwa tidak ada korelasi linier antara keduanya
(r = 0.86; tr = 3.39; d.f. = 2 dan p>0.05).

PEMBAHASAN
Besarnya infeksi Japanese Encephalitis pada babi dalam
penelitian ini adalah 46.5% (tabel 2). Dibandingkan dengan
Umur dalam bulan penelitian di Burma pada tahun 1970 di mana besarnya
infeksi pada babi berkisar antara 70 – 90%9 dan di Vietnam
Gambar 1. Diagram tebar dan garis regresi liniernya, antara umur mencapai 100%'0, angka infeksi dalam penelitian ini relatif
dengan proporsi babi yang positif JE. lebih rendah. Perbedaan ini mungkin disebabkan karena pe-

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 29


Tabel 4. Distribusi babi yang positif Japanese Encephalitis menurut Hubungan tersebut bukan merupakan korelasi linier karena
umur dan titer antibodi dengan uji netralisasi dl Kalimantan.
besarnya sampel tidak sama, atau mungkin dapat dipakai se-
Titer antibodi Kelompok umur (bulan) Jumlah bagai petunjuk pola perjalanan infeksi di daerah ini. Artinya,
NT
titer antibodi akan meningkat sesuai dengan peningkatan umur
hanya santpai dengan umur 11 bulan, dan pada umur di atas 11
6–7 8–9 10–11 12
bulan titer antibodi itu dengan perlahan akan turun.
8 4 32 10 0 46 Sebelum virus Japanese Encephalitis menyerang manusia,
16 0 4 32 0 36 terlebih dahulu terjadi penyebaran virus pada babi–vektor. Baru
32 0 0 8 10 18 setelah populasi vektor mencapai kepadatan yang cukup, terjadi
64 0 0 8 22 30
perpindahan vektor ke penduduk. Ditemukannya infeksi
Japanese Encephalitis pada babi diipetemakan tersebut di atas,
128 0 0 0 16 16
merupakan bukti bahwa penyebaran virus Japanese
Jumlah 4 36 58 48 146 Encephalitis di antara babi–vektor–babi telah terjadi.
Masalah selanjutnya adalah apakah vektor tersebut senang
Tabel 5. Rata-rata titer Geometrik antibodi netralisasi terhadap menggigit manusia di sekitarnya; hal ini yang masih perlu
Japanese Encephalitis menurut kelompok umur di Kalimantan. diteliti lebih lanjut sehingga dapat dicari cara pemberantasan-
nya atau mencegah terjadinya penularan pada manusia, ter-
Kelompok umur Rata-rata Geometrik
(bulan)
Jumlah yang positif
antibodi NT.
utama pada anak-anak di bawah usia sepuluh tahun.

KESIMPULAN
6–7 4 8.00
8–9 36 8.54 Besamya infeksi Japanese Encephalitis pada babi di Kali-
10 – 11 58 18.90 mantan masih relatif rendah (46.5%).
12 – lebih 48 69.70 Ada korelasi antara umur dengan proporsi infeksi pada
babi. Babi berumur muda lebih potensial sebagai sumber
infeksi dan di lokasi tersebut terdapat proses penularan yang
aktif.
nelitian di Burma dan Vietnam dilakukan pada waktu terjadi
wabah, sedangkan penelitian ini dilakukan bukan pada waktu KEPUSTAKAAN
terjadi wabah di Kalimantan.
Karena nyamuk diduga sebagai vektor dalam penyebaran 1. Clarke DH, Casals J. Arbovirus grup B. Dalam: Viral and Ricketsial
Infection of Man. Frank L. Horsfall, (Eds) Fourth ed. Philadelphia JB
penyakit ini, maka faktor kepadatan, kesenangan menggigit dan
Lippincott Co, 1965, bal. 626.
infectipn rate merupakan faktor yang mempengaruhi angka 2. WHO. Technical Information of Japanese Encephalitis and guide-lines for
infeksi pada hospes vertebratanya. Namun demikian untuk treatment. New Delhi, September 1979, bal. 2.
mengetahui berapa besar pengaruh faktor nyamuk tersebut 3. Thaib S, Aman P. Special Japanese Encephalitis serological study in pigs
slaughtered in Bandung compared with monkey and chickens. Bull.
masih diperlukan penelitian lebih lanjut.
Biofarma 1971; 8 (2) : 32.
Dalam penelitian ini terlihat bahwa umur babi mempe- 4. Van Peenen PFD dkk. First isolation of Japanese Encephalitis virus from
ngaruhi besarnya angka infeksi (tabel 2 dan gambar 1), Java.'Military Med J 1974, 821.
hubungan tersebut merupakan korelasi linier, sedangkan basil 5. Van Peenen PFD dkk, Japanese Encephalitis virus from pigs and
mosquitoes in Jakarta, Indonesia. Trans Roy Soc Trop Med Hyg 1875; 69 :
penelitian di Serawak menunjukkan angka infeksi Japanese
477.
Encephalitis akan meningkat dengan bertambahnya umur 6. Atmosoedjono S. Vector of Dengue Hemorrhagic Fever, Japanese
babi11 Encephalitis, Malaria and Filariasis. Unpublished paper, Jakarta: U.S.
Dari 146 ekor babi yang positif tehadap Japanese Ence- Namru–2.
7. Masasutgu K. Geographic distribution of Arbovirus antibodies in
phalitis, 31.5% di antaranya adalah mempunyai titer 8 (tabel 3
indigenous human population in the Indo–Australian Archipelago Amer J
dan gambar 2). Babi yang memiliki titer antibodi rendah Med Hyg. 28, 2 : 351.
menunjukkan bahwa infeksi baru terjadi atau dengan kata lain 8. Oya Akira. Surveillance on clinical diagnosis and clinical laboratory
babi tersebut potensial sebagai penular atau sumber infeksi. examination. Paper on WHO Inter Regional Meeting on Japanese
Encephalitis. New Delhi, 19 – 24 March 1979.
Temyata titer antibodi tersebut dipengaruhi oleh faktor
9. Oya Akira. Japanese Encephalitis in Burma. Paper on WHO Inter–
umur babi, ini terlihat karena adanya hubungan antara umur Regional Meeting on Japanese Encephalitis. New Delhi, 19 – 24 March
dengan titer antibodi (tabel 4), walaupun hubungan tersebut 1979.
bukan merupakan korelasi linier bila umur babi itu dihubung- 10. Do Quang Ha. Studies on Japanese Encephalitis in Vietnam. Paper on
WHO Inter–Regional Meeting on Japanese Encephalitis New Delhi, 19 –
kan dengan rata-rata titer geometrik antibodi (tabel 5). Ini me-
24 March 1979.
nunjukkan bahwa babi yang berumur muda lebih potensial 11. Pant CP. Vector of Japanese Encephalitis and their bionomic in countries
sebagasi sumber infeksi daripada yang berumur lebih tua. other than India. Paper on WHO Inter–Regional Meeting, New Delhi, 19 –
24 March 1979.
Identifikasi Kista Toxoplasma gondii
pada Kambing/Domba
di RPH Surabaya dan Malang

Thomas Hartono
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Departemen Kesehatan RI., Jakarta

ABSTRACT
Toxoplasmosis, a protozoan zoonosis, is not yet widely understood in Indonesia and
further research is essential. This report is the result of a study on encysted Toxoplasma
gondii from 50 samples of goat and sheep taken from abattoirs of Surabaya and Malang.
Specimen preparation was conducted by digestion using 0.5% trypsin and examined
by impressed method. The result was that 15 out of 50 samples (30%) positive containing
Toxoplasma gondii.

PENDAHULUAN positif toxoplasmosis.9 Selain itu hasil IHA test terhadap 102
Pada tahun 1967 Abbas1 melaporkan bahwa apabila infeksi ibu-ibu hamil di RS Dr. Saiful Anwar, Malang, 18,6% positif
toxoplasmosis semakin biasa terjadi maka diagnosis secara toxoplasmosis dengan titer antara 1 : 64 sampai dengan
serologis semakin kurang memuaskan, sehingga diagnosis 1 : 4096.10
dengan cara isolasi parasit pada seseorang tersangka Kasus-kasus toxoplasmosis pada manusia dapat berupa
toxoplasmosis merupakan suatu cara yang sangat berharga. mialgia, pnemonia, chorioretinitis,fensefalomielitis, keguguran
Sampai saat ini diketahui bahwa penularan toxoplasmosis berulang-ulang;" karena luasnya akibat toxoplasmosis pada
pada manusia dapat terjadi melalui tiga cara, yaitu : manusia, kiranya perlu mendapat prioritas utama di samping
1) Dan hasil potong hewan untuk konsumsi manusia yang me- penyakit zoonosis lainnya, lebih-lebih mengingat kegemaran
ngandung kista atau pseudokista yang tidak dimasak dengan sebagian masyarakat Indonesia makan sate kambing setengah
sempurna. Cara penularan ini diduga merupakan sumber pe- matang. Tidak mustahil apabila sewaktu-waktu terjadi
nularan terbesar pada manusia.2,3 semacam wabah toxoplasmosis pada bayi-bayi dari ibu-ibu
2) Secara kongenital pada wanita hamil yang mengalami hamil muda yang ikut pesta sate kambing. Hal ini bisa saja
infeksi akut primer pada trimester pertama kehamilan dengan terjadi misalnya pada pesta pora suatu pasca panen di suatu
akibat keguguran, lahir hidup kemudian mati atau lahir cacat.2,3 daerah transmigrasi yang basil panennya melimpah.
3) Toxoplamosis juga terjadi oleh penularan ookista yang di- Metoda penelitian yang dipakai yaitu identifikasi Toxo-
keluarkan bersama tinja kucing.4,5,6 plasma gondii dengan metoda tekan, cara ini mungkin merupa-
Penelitian toxoplasmosis di Indonesia dirintis sejak 1965, di kan satu-satunya penelitian yang pernah dilakukan di
antaranya dengan skin test menggunakan toxoplasmin terhadap Indonesia, selebihnya dengan diagnosa secara serologis yang
862 orang berasal dari beberapa kelompok penduduk dan tenaga mungkin kurang konfirmatif. Tujuan penelitian ini ialah untuk
kerja di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya dan Denpasar dengan mendapat persentase kista Toxoplasma gondii dari sampel
hasil 27,4% positif (tertinggi dari Jakarta sebesar 37,4% positif).7 kambing/domba diambil dari RP-H Surabaya dan Malang.
Srisasi Gandahusada melaporkan hasil IHA test (1978) terhadap
280 orang dari lingkungan kedokteran di Jakarta sebesar 12,5% BAHAN DAN CARA
positif toxoplasmosis.8 Selanjutnya, hasil MA test terhadap 188 Lima puluh sampel kambing/domba dikumpulkan dari
karyawan R S. Enarotali; Abano Irian Jaya menghasilkan 36,6% RPH Surabaya dan Malang, dengan perincian masing-masing

Dilaporkan di Lembaga Kesehatan Nasional Surabaya (Sekarang : Pusat Penelitian


dan Pengembangan Pelayanan Kesehatan, Surabaya) pada tanggal 30 Maret 1972.

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 31


25 sampel. Setiap sampel terdiri dari sepotong kecil jaringan Tabel I. Hasil temuan kista Toxoplasma gondii di RPH. Surabaya
otot, hati, limpa, paru-paru, kelenjar limfe, sumsum tulang
No. Tanggal No. Kode Kambing/ Kelamin J/B. Tanggal
belakang dan jantung seberat ± 100 gram tiap sampel. Urut Sampling Sampel Domba BB (kg) Diketahui(+)
Hasil
Prosedur laboratorium dilaksanakan sebagai berikut : Dari
100 gram sampel dipilih 20 gram yang bebas lemak dan 1. 09 –07–71 1 K. J;18 18–10–71 –
jaringan ikat, diletakkan pada cawan petri untuk dicuci dua kali 2. 09–07–71 2 K B;10 18–10–71 –
dengan larutan garam fisiologis yang mengandung antibiotik 3. 09–07–71 3 K J;12 18–10–71 –
(penisilin 1000 U/ml, streptomisin 1 gram/ml). Jaringan sampel 4. 16–07–71 20 K J;12 18–10–71 –
5. 16–07–71 21 K J; 7 18–10–71 –
kemudian dicacah sampai halus dengan sebuah gunting bedah, 6. 16–07–71 22 K B; 8 18–10–71 –
setelah itu dimasukkan ke dalam tabung Erlenmeyer berisi 200 7. 24–09–71 128 K J;20 29–01–72 –
ml larutan 0,5% tripsin dalam larutan garam fisiologis dengan 8. 24–09–71 129 K J;17 29–01–72 –
antibiotik dan pH 7,2 kemudian diaduk selama satu jam. 9. 24–09–71 130 K J;15 29–01–72 –
10. 08–10–71 155 K J;16 24–02–72 +
Larutan cernaan jaringan ini kemudian disaring dengan dua 11. 08–10–71 156 K J;17 24–02–72 –
lapis kasa steril, setelah itu di sentrifugasi path 3000 rpm 12. 08–10–71 157 K B;21 24–02–72 –
selama 10 meta Supernatan dibuang dan residunya sekali lagi 13. 08–10–71 158 K J;15 24–02–72 +
dicuci dengan larutan garam fisiologis dengan antibiotik serta 14. 08–10–71 159 K J;14 24–02–72 –
15. 08–10–71 160 K J;12 24–02–72 +
disentrifugasi kembali padaCi0Ō06rpm selamal0 menit. 16. 15–10–71 176 K J;17 29–02–72 –
Endapan yang diperoleh dilarutkan dengan sedikit garam 17. 15–10–71 177 K J;12 29–02–72 –
fisiologis dengan antibiotik cukup untuk sediaan inokulasi 5 18. 15–10–71 178 K J;17 02–03–72 –
ekor mencit putih secara intraperitoneal yang masing-masing 19. 17–10–71 179 K J;15 29–02–72 –
20. 15–10–71 180 K B;40 29–02–72 –
memperoleh 0,5 ml inokulan. 21. 22–10–71 188 K J;14 02–03–72 –
Pengamatan dengan mikroskop dilakukan untuk identifikasi 22. 22–10–71 189 K J;12 02–03–72 –
adanya kista, pseudokista, atau toxoplasma bebas yang keluar 23. 22–10–71 190 K J;15 29–02–72 –
dari pseudokista yang pecah oleh penekanan pada metode tekan 24. 22–10–71 191 K J;12 29–02–72 +
25. 22–10–71 192 K J;12 29–02–72 –
yang dipakai. Pengamatan ini dilakukan setelah lebih dari 6
minggu mencit diinokulasi. Mencit yang akan diperiksa dimati-
kan dengan kloroform, setelah itu tengkoraknya dibuka dengan
gunting, kemudian preparat disiapkan. Tabel 2. Hasil temuan kista Toxoplasma gondii di RPH. Malang
Sepotong kecil jaringan hemisfer otak diambil dengan gun-
ting dan diletakkan di atas slide dan kemudian ditutup dengan No. Tanggal No. Kode Kambing/ Kelamin J/B. Tanggal
Hasil
Urut Sampling Sampel Domba BB (kg) Diketahui(+)
cover glass. Zat pewarna yang dipakai adalah biru metilen.
Selanjutnya cover glass ditekan perlahan-lahan sehingga ter-
bentuk lapisan tipis jaringan otak sesuai untuk pengamatan di 1. 12-07-71 19 K J;10 18-10-71 -
bawah mikroskop. Hasil dinyatakan positif apabila tampak ada- 2. 19-07-71 36 K J;20 01-10-71 -
nya kista, pseudokista ataupn toxoplasma bebas yang keluar 3. 09-08-71 48 K B;20 16-11-71 -
4. 30-08-71 79 K B;25 29-12-71 -
dari pseudokista yang pecah oleh penekanan preparat. 5. 06-09-71 93 K J;15 31-12-71 -
6. 20-09-71 113 K J;25 28-01-72 +
HASIL DAN DISKUSI 7. 27-09-71 139 K B;18 31-01-72 +
Pemeriksa mikroskopis dilaksanakan dari tanggal 18 Okto- 8. 27-09-71 140 K B;13 31-01-72 +
9. 27-09-71 141 D J;15 31-01-72 -
ber 1971 sampai dengan tanggal 29 Februari 1972 dengan basil 10. 27-09-71 142 K B;12 31-01-72 +
15 dari 50 sampel positif. Hal ini berarti 30% dari jumlah 11. 27-09-71 143 D J;15 31-01-72 +
sampel tersebut positif mengandung kista Toxoplasma gondii 12. 04-10-71 146 K J;25 24-02-72 -
(Tabel 1,2,3). 13. 04-10-71 151 K B;15 24-02-72 +
14. 04-10-71 152 K B;11 24-02-72 +
Lima di antara 1 15 sampel positif berasal dari kambing/ 15. 04-10-71 153 K B;12 24-02-72 +
domba betina sedangkan 10 lainnya (66,6%) adalah jantan. 16. 04-10-71 154 D B;17 24-02-72 -
Dilihat dari jenis hewan, maka satu dari 6 domba (16,6%) 17. 13-10-71 167 K J;13 02-03-72 +
positif mengandung kista toxoplasma, sedangkan untuk jenis 18. 13-10-71 168 K B;10 02-03-72 -
19. 13-10-71 169 D J;18 02-03-72 -
kambing, 14 dari 44 (31,8%) positif mengandung kista toxo- 20. 13-10-71 170 K J;12 29-02-72 -
plasma. 21. 13-10-71. 171 K J;20 02-03-72 -
Pengamatan kista toxoplasma dengan mengambil spesimen 22. 13-10-71 172 D J;25 02-03-72 -
jaringan otak setelah lebih dari 6 minggu diinokulasikan adalah 23. 13-10-71 173 K J;18 29-02-72 +
24. 13-10-71 174 D B;25 29-02-72 -
metoda paling baik untuk mengamati parasit ini secara mikros- 25. 13-10-71 175 K J;13 29-02-72 +
kopis, sebab diperkirakan jaringan otak mencif adalah jaringan
paling sering terinfeksi.1 2 3 12
Penanggulangan toxoplasmosis seperti disarankan oleh
WHO bagi tersangka toxoplasmosis adalah dengan pemberian spiramisin juga memberi basil baik dan banyak dipakai di
pirimetamin dikombinasikan dengan sulfadiazine.2 3 Selain itu Eropa.1 3

32 Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990


Tabel 3. Hasil keseluruhan temuan kista Toxoplasma gondii pada maupun cara pengolahan hasil potongan yang harus benar
kambing/ domba benar matang dimasak.
KEPUSTAKAAN
No. Tanggal No. Kode Kambing/ Kelamin JIB. Tanggal
Unit Sampling Sampel Domba BB. kg Diketahui (+) 1. Abbas AM.AL. Comparative study of methods used for the isolation of
Toxoplasma gondii. WHO 1967; 36 (2) : 344 - 6.
2. WHO. Toxoplasmosis. WHO Techn Rep. Ser 1969; 431.
1. 20-09-71 113 K B;25 28-01-72
3. WHO Parasitic Zoonoses. WHO Techn Rep Ser 1979; 637.
2. 27-09-71 139 K J;18 31-01-72
4. Frenkel JK, Dubey JP, Miller NI. Toxoplasma gondii in cats : faecal stages
3. 27-09-71 140 K J;13 31-01-72
identified as coccidian oocysts Science 1970; 893 - 6.
4. 27-09-71 142 K B;12 31-01-72
5. Dubey JP, Miller NI, Frenkel. The Toxoplasma gondii oocyst from cat
5. 27-09-71 143 D B;15 31-01-72
faeces. J Exp Med 1970; 132 : 636 - 62.
6. 04-10-71 151 K 7;15 24-02-72
6. Miller NI, Frenkel JK, Dubey JP. Oral infection with Toxoplasma cysts
7. 04-10-71 152 K B;11 24-02-72
and in felines, other mammals and bird. J. Parasitol. 1972; 58 : 928 - 37.
8, 04-10-71 153 K J;11 24-02-72
7. Sri Oemijati, Bintari Rukmono. Parasitologi : Penyelldikan toxoplasmosis.
9. 08-10-71 155 K J;16 24-02-72
Dalam : Research di Indonesia 1954 - 1965, I. Bidang Kesehatan, Depar-
10. 08-10-71 158 K J;15 24-02-72
temen Urusan Research Nasional Republik Indonesia 1965: 124 - 125.
11. 08-10-71 160 K J;12 24-02-72
8. Srisasi G. Serological test for antibodies of Toxoplasma gondii in Jakarta,
12. 13-10-71 167 K J;13 02-03-72
Indonesia. S.E. Asian J. Trop. Med. Pub. Health, 1978; 9 : 3.
13. 13-10-71 173 K 7;18 29-02-72
9. Srisasi G., Sutjahyo E. Toxoplasma antibodies in Abano, Irian Jaya, SE.
14. 13-10-71 175 K B;13 29-02-72
Asian J. Trop. Med. Pub. Health, 1980; 11 : 2.
15. 22-10-71 190 K J;15 29-02-72
10. Teguh Wahyu S. et al. Pemeriksaan pendahuluan Toxoplasmosis dengan
metode IHA pads ibu-ibu hamil di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang.
Pertemuan Ilmiah Regional Parasitologi Kedokteran II. Denpasar 2 Januari
Sebagai perbandingan perlu diketahui bahwa demi penang- 1988.
11. Waaij, D. van der. The transmission of toxoplasmosis before birth. Trop.
gulangan toxoplasmosis pada manusia maim Undang-Undang Georg, Med., 1964; 16 (4) : 327 - 330.
Pemotongan Hewan di Jepang saat ini mengharuskan hewan 12. Dubey JP, Beverly JKA. Distribution of Toxoplasma gondii in the tissue of
potong dengan diagnosa Toxoplasmosis dimusnahkan. 1 4 cats, II. Histopathological survey. Trop Geogr. Med, 1967; 19 : 206 - 11.
13. Soebijanto N, Suharto. Toxoplasmosis. Medika 1984; 8.
14. Tokutomi et al. Recovery of Toxoplasma gondii from pork obtained from
RINGKASAN retail meat shops in Tokyo Bull. Inst. Publ.iHealth of Japan 1980; 29 (2).
Manifestasi Minis toxoplasmosis secara singkat telah
diperkenalkan. Yang penting dalam kesehatan masyarakat UCAPAN TERIMA KASIH
Penyusun naskah ini mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr. H. de
adalah mencegah konsumsi hasil pemotongan kambing/domba Roever-Bonnet beserta staf, Amsterdam, atas pengiriman beberapa kopi karya
dalam keadaan kurang sempurna dimasak (mentah atau tulisnya. Prof. Dr. J. Holz, Bandung atas kesempatan konsultasi singkatnya;
setengah matang). Drh. Soedjasmiran dan Drh. Soewadji, Surabaya, untuk melakukan sampling;
Hasil temuan kista toxoplasma pada 30% dari sejumlah 50 personalia tim pelaksana dari Lembaga Kesehatan Nasional Surabaya, atas
bantuan kerjasamanya dalam prosedur laboratorium; Dr. M.H.W. Soetopo,
sampel kambing/domba perlu mendapat perhatian cukup besar, DPH, atas saran disain naskah ini; Dr. Salikin Reksodimedjo, sebagai Kepala
baik pada kesehatan kambing/domba yang umumnya asimto- Bagian Laboratorium Lembaga Kesehatan Nasional Surabaya pads saat itu; dan
matis sehingga cenderung membentuk kista setelah infeksi, terakhir kepada Drh. T. Iwan Budiarso. PhD, atas tinjauan kembali naskah ini.
Toxoplasmosis di Indonesia

Salma Maroef
Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Departemen Kesehatan R.I., Jakarta

ABSTRACT
A review of Toxoplasmosis prevalence studies in Indonesia was done. Toxoplas-
mosis has spread throughout Indonesia; the highest prevalence was found in Irian Jaya
(34.6%) with a positive titre 1 : 256 followed by South Kalimantan 31.0%, Jakarta
18.0% Palu 16.0%, Surabaya and North Sumatera 9.0%.
The antibody's prevalence in males was 39.4% out of 71 males examined and in
females 31.6% out of 117 females examined in Irian Jaya. In Palu 18.0% out of 119
males and in females 13.0% out of 64 females examined. The hosts were dogs, cats,
goats and pigs. The highest prevalence was found in Jakarta in dogs (75.6%), and in
cats (72.7%). The prevalence in goats was 61.0% in South Kalimantan; and in pigs it
was 51.0% in West Java, 50.0% in Irian Jaya and 28.0% in Jakarta.
Toxoplasma in animal and man is widespread in Indonesia. Further research of
toxoplasmosis in man is needed and measures to prevent transmission, e.g. thorough
cooking of meals and avoidance of cat feces should be initiated.

PENDAHULUAN 3) Bentuk ookista adalah bentuk resisten, berada di dunia luar


Toxoplasmosis adalah suatu penyakit protozoa yang di- menghasilkan sporozoit; terutama ditemukan pada tinja kucing.
sebabkan oleh Toxoplasma gondii. Penyebaran penyakit ter- Bentuk ini pada, temperatur 37o C dapat hidup selama 20
utama pada hewan berdarah panas seperti burung dan hari,2 4 dan mati pada temperatur di atas 50° C - 60°C dan di
mammalia termasuk juga manusia. 1 2 3 Penyakit ini adalah pe- bawah 200C.
nyakit Zoonosis. Mengingat tersebar luasnya induk semangnya Siklus hidup T. gondii terdiri dari dua fase :
maka perlu diketahui sejauh mana penyebaran Toxoplasmosis 1) Siklus entero-epitel (fase reproduktif) terjadi di dalam usus
di Indonsia. kucing.
Makalah ini akan menyajikan tinjauan hasil-hasil 2) Siklus extra intestinal (fase proliferatif), terjadi di dalam
kepustakaan tentang penelitian Toxoplasmosis pada manusia induk-semang-antara seperti burung, mammalia dan manusia.
dan hewan yang telah dilakukan sejak tahun 1970. Penularannya secara kongenital atau didapat melalui
makan daging setengah matang yang mengandung kista;
PARASIT memakan sayuran, buah-buahan yang terkontaminasi tinja,
Parasit Toxoplasma gondii terdiri dari tiga bentuk : urine atau sputum; susu dan telur yang telah tercemar
1) Bentuk tachyzoit atau bentuk trofozoit berukuran 2 - 4 trofozoit;3 melalui vektor tikus, kecoak dan lalat; dan di dalam
mikron. Bentuknya seperti buah pisang yang salah satu laboratorium petnah dilaporkan bahwa caplak juga bisa sebagai
ujungnya tumpul dan yang lain runcing. vektor T. gondii.1
Terdapat pada cairan tubuh seperti darah, cairan intraperi-
tonial, sekret tubuh dan ekskresi tubuh. KELAINAN YANG TERLIHAT
2) Bentuk kista atau bradizoit adalah bentuk resisten, ber- Pada manusia menyebabkan abortus pada masa kehamilan
ukuran 30 - 150 mikron dan ditemukan pada jaringan tubuh 3 - 4 bulan, atau mengakibatkan janin mengalami hidrosefalus,
seperti otak, mata, jantung, dan otot. ensefalitis, serta gangguan mental; korioretinitis, miokarditis,

34 Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990


miositis, limfadenopati dan gangguan syaraf. Tabel 2. Gambaran serologis Toxoplasma gondii pada hewan.
Pada temak terjadi keguguran, gangguan pernafasan, Penelitian
Jumlah Hasil
batukbatuk, demam tinggi (41° C – 42° C), lemah dan mencret. No. Hewan
(ekor)
Ref
Daerah Peneliti Tahun (%)
Pada ayam nafsu makan-minum menghilang, buta, kurus,
pucat, diare dengan tinja berwarna keputihan, kehilangan 1. Anjing 38 Jakarta Srisasi et at. 1980 75,6 8
keseimbangan, gemetar, tulang belakang membengkok, 2. Kucing 33 Jakarta Srisasi et at. 1980 72,7 8
skoliosis, opistotonus dan tortikolis. Secara patologis terlihat Kalimantan Sal. Durfee et at. 1976 41,0 16
pembesaran limpa dan hati, radang nekrotik hati dan ginjal, Kalimantan Sel. Durfee et at. 1976 61,0 16
perikarditis, miokarditis, enteritis ulseratif, bendungan paru- Timor Tengah Cross et at. 1976 14,8 17
paru dan radang otak.5 Yogyakarta Cross et at. 1976 14,7 17
3. Kambing 465 Donggala Cross et at. 1976 13,7 17
PREVALENSI DI INDONESIA Ac e h Cross et al. 1976 7,3 17
Gambaran basil survai pada manusia dengan metode IHA Bengkulu Cross et al. 1976 3,0 17
(indirect haemagg/utination test) antibodi toxoplasma di Indo- Jawa Barat Cross et al. 1976 51,0 17
nesia dapat dilihat pada tabel 1. 4. B a b i 166 Irian Crossetat. 1976 50,0 17
Prevalensi tertinggi ditemukan pada 188 orang Irian Jaya Jakarta Koesharjono et al. 1974 28,0 18
terdiri dari 71 laki-laki dan 117 wanita, yakni 34,6%. (39,4%
pada laki-laki dan 31,6% pada wanita) dengan positip titer 1 : umpamanya di Irian Jaya 39,4% dan Palu 18,0%, dibandingkan
256.6 Dan prevalensi sedang ditemukan di Palu; dari 1166 wanita (Irian Jaya 31,6% dan Palu 13,0%) akan mempermudah
penduduk Palu telah ditemukan antibodi pada 183 orang penularan; keadaan ini disebabkan karena kaum laki-laki lebih
(16,0%) terdiri dari 119 (18%) orang laki-laki dan 64 orang banyak hidup di luar seperti berburu dan lebih dekat
(13,0%) wanita dengan positip titer 1 : 256.7 berhubungan dengan ternak. Dan tambahan lagi kebiasaan
masyarakat terutama Irian Jaya yang masih banyak melakukan
Tabel 1. Gambaran serologis Toxoplasma gondii pada manusia di Indonesia.
pesta adat dengan memakan daging setengah matang.
Jumlah Penelitian Positif Hasil Angka persentase antibodi T. gondii pada pemilik anjing
No. Daerah penelitian Ref.
(orang) Penelitian Tahun Titer (%) dan kucing dari 38 keluarga pemilik hewan kesayangan adalah
1. Surabaya – Yamamato et at. 1970 1 : 256 9,0 10 sebesar 44,7% (17 orang). Hal ini mungkin ada hubungannya
2. Keresek – Clarke et at. 1973 1 : 32 20,0 11 dengan tingginya persentase antibodi anjing dan kucing, akibat
3. Jawa Barat – Clarke et al. 1973 1 : 32 51,0 12 pencemaran kista dari kotoran hewan yang mencemari
4. Jakarta 90 Partono 1975 1 :256 18,0 13 lingkungan.
5. Li n d u 484 Clarke et at. 1975 1 : 256 8,0 14
6. Pa1u 1166 Cross et at. 1975 1 : 256 16,0 7 Melihat hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan ternyata
7. Sumatera Utara 969 Clarke et at 1975 1 : 256 9,0 – Toxoplasmosis pada manusia telah menyebar di seluruh
8. Kalimantan Barat – Clarke et at. 1976 1 : 256 3,0 – Indonesia (Peta). Hal ini mungkin disebabkan karena
9. Boyolali – Clarke et at. 1975 1 : 256 2,0 12 banyaknya induk semang yang asimtomatik. Juga faktor
10. Kalimantan Sal. – Durfee et at. 1976 1 : 256 31,0 16
11. Sulawesi Utara – Cross et at. 1976 1 : 256 8,9 17 hubungan antara manusia dengan hewan peliharaannya yang
12. Obuno (Irian Jaya) 188 Srisasi G et at. 1980 1 : 256 34,6 6 sangat akrab dan erat antara lain seperti anjing dan kucing.

Gambaran serologis Toxoplasmosis pada hewan dengan KESIMPULAN


memakai metode IHA antibodi dapat dilihat pada tabel 2. Hasil-hasil penelitian di atas menunjukkan penyebaran
Prevalensi serologis daerah yang sangat tinggi telah ditemu- Toxoplasmosis yang luas di Indonesia. Hal ini mungkin
kan di Jakarta, ditemukan antibodi pada 75,6% anjing dan disebabkan karena induk semang T. gondii terdapat di mana-
72,7% kucing yang diperiksa dengan positip antibodi 1 : 128. mana di seluruh Indonesia, dengan demikian kemungkinan
Dan dari 38 orang pemilik anjing dan kucing ditemukan manusia untuk terinfeksi akan menjadi lebih besar. Keadaan ini
antibodi path 17 orang (44,7%) dengan positip titer 1 : 256.8 akan menjadi parah apabila kebiasaan dan adat istiadat
masyarakat masih tetap makan daging setengah matang.
Untuk mencegah penularan toxoplasmosis perlu diadakan :
PEMBAHASAN 1) Penelitian lebih lanjut mengenai prevalensi reservoar dan
Dari hasil-hasil penelitian yang telah dilaporkan terlihat penyebarannya serta aspek-aspek klinik pada manusia.
bahwa anjing (75,6%) dan kucing (72,7%), merupakan hospes 2) Peningkatan kebersihan lingkungan khususnya pengurangan
yang potensial karena menunjukkan prevalensi tertinggi. Hal kontak dengan faeces kucing dan reservoar lainnya.
ini disebabkan karena hewan-hewan ini hidup umumnya secara 3) Peningkatan penyuluhan tentang kebersihan dan
bebas di luar dan suka memakan sampah atau daging mentah. pengolahan makanan khususnya daging.
KEPUSTAKAAN
Mengingat negara Indonesia adalah negara tropis, per-
kembangan dan penyebaran penyakit parasiter seperti Toxoplas- 1. Abram, S. Benerson. Control of communicable diseases in man. Ed. 12,
mosis lebih mudah.9 Prevalensi pada laki-laki yang lebih tinggi 1975 : p. 325 - 7.

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 35


Peta : Penyebaran Toxoplasmosis di Indonesia sejak tahun 1970

2. Livine ND. Veterenary Parasitology. Burgess. Pub. Co. Minneapolis,


Minnesota 1977 : 33 - 6.
UCAPAN TERIMA KASIH.
3. Merck Veterenary Manual Ed. IV, Merck & Co Rahway N.J. USA. 1973
Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. Suriadi
: p. 456 - 459.
Gunawan DPH, Kepala Ptisat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian
4. Soulby EJL. Helminth, anthropods and protozoa of domesticated animals.
dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan atas bimbingan dan pe-
7th. Ed. London : ELBS, 1982.
tunjuknya sehingga penulisan ini dapat diselesaikan dengan baik.
5. Suprapto S, Sutijono P. Parasit-parasit pads ayam. Gramedia 1986.
6. Srisasi Gandahusada. Toxoplasmosis antibodies in Abano, Irian Jaya,
Indonesia. South East Asian J. Trop. Med. Pub. H1th. 1980; 11(2) : 276 -
9.
7. Gross JH et.al. Parasitology survey in the Palu Valley, Central Sulawesi
(Celebes), Indonesia. South East Asian J. Trop. Med. Pub. Hlth., 1975;
6:366.
8. Srisasi, Koesharjono, Prevalensi zat anti Toxoplasma gondii pads kucing
dan anjing di Jakarta 1980.
9. Adhyatma, Kebijaksanaan Pemberantasan penyakit parasit di Indonesia.
Cermin Dunia Kedokteran 1980; Nomor khusus : 1 - 4.
10. Yamamato M, Tokuchi M, Hotta S. A survey of anti Toxoplasma
haemagglutinating antibodies in sera from residents and certain species of
animals in Surabaya, Indonesia. Kobe J. Med. Sci 1970; 16 : 273.
11. Clarke MD. et.al. Human malaria and intestinal parasites in Kresek, West
Jaya, Indonesia with a cursory serological survey for toxoplasmosis and
amebiasis. Southeast Asia J. Trop. Med. Pub H1th 1973; 4 : 32.
12. Clarke MD. et.ai. A parasitological survey in the Jogyakarta area of
Central Java, Indonesia. Southeast Asia J. Trop Med. Pub. Hlth., 1973; 6 :
366.
13. Partono F, Cross JH. Toxoplasmosis antibodies in Indonesian dan
Chinese Medical Students in Jakarta. Southeast Asian J. Trop. Med. Pub.
H1th. 1975; 6 : 472 - 476.
14. Clarke MD et.al. Serological study amebiasis and toxoplasmosis in the
Lindu Valley, Central Sulawesi, Indonesia 1975.
15. Cross JH. et.al. Parasitology survey in North Sumatra, Indonesia. J. Trop.
Med. Hyg. 1975.
16. Durfee PT, Cross JH, Rustam Susanto. Toxoplamosis in man and animals
in South Kalimantan (Borneo), Indonesia. Am. J. Trop. Med. Hyg. 1976;
25:42-7.
17. Cross JH. PFD Van Peenen, HM. Nora, SO. Koesharjono, CM Simanjun-
talc, Sri Kusuma. Toxoplasma gondii haemagglutinating antibody titers in
Indonesia goats. Trop. Geogr. Med., 1976; 28 : 355 - 8.
18. Koesharjono C, PFD, Van Peenen, SW. Joseph, J. Sulianti Saroso, GS.
Irving, PT. Durfee. Serological survey of pigs from a slaughterhouse in
Jakarta Indonesia. Bull. H1th. Studies in Indonesia 1973; 1 : 3.

36 Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990


Studi Kasus Pelayanan Kefarmasian :
Pelaksanaan Peracikan, Pencampuran,
dan Pengubahan Bentuk Obat atau
Bahan Obat di Apotek "X"
Ondri Dwi Sampurno dan Umi Kadarwati
Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan R.L, Jakarta

PENDAHULUAN • Jumlah lembar resep yang mengandung Reracikan


Berdasarkan data obat terdaftar di DitJen POM., diketahui • Jumlah R/ total dan jumlah R/ yang merupakan racikan dari
bahwa obat dengan komposisi dalam berbagai bentuk sediaan lembar resep yang mengandung R/ racikan
dengan berbagai nama paten/produsen yang berada di pasaran • Jumlah dan jenis keahlian dokter yang menulis R/ racikan
adalah sebanyak 92461. • Bentuk akhir racikan
Dengan keadaan demikian, 'apabila dikaitkan dengan salah
satu fungsi dan tugas pokok apotek seperti tersebut dalarn PP HASIL
25 19802, yaitu Apotek sebagai sarana farmasi yang me- Hasil observasi pada bulan Maret
laksanakan peracikan, pencampuran dan pengubahan bentuk, Jumlah lembar resep yang masuk adalah sebanyak 1642
diperkirakan menjadi kurang tepat. Apotek seolah-olah hanya. lembar. Dari jumlah tersebut terdapat 541 lembar tersep yang
terlihat sebagai pelaksana penyerahan obat atau bahan obat. mengandung R/ racikan atau 32,9%; 364 lembar atau 67,3% di
Namun apabila dikaji lebih lanjut, keseluruhan obat paten antaranyaditujukan untuk anak dan 177 lembar atau 32,7%
tersebut, ternyata hanya berisikan 1270 bahan aktifl. Seperti untuk dewasa. Lembar resep yang merupakan pengulangan dari
diketahui, komposisi dan bentuk sediaan harus disesuaikan lembar resep pada hari sebelumnya, dihitung tersendiri dan
dengan hasil diagnosis dan kondisi pasien.. Sehingga penam- dijumlahkan seperti lembar resep yang lain; terdapat 36 lembar
bahan bahan aktif dan perubahan bentuk yang sesuai dengan yang diulang dua kali dan 3 lembar yang diulang tiga kali. Dari
kondisi pasien masih sangat diperlukan berdasarkan permintaan lembar resep yang mengandung R/ racikan tersebut, terdapat
dokter. Hal demikian hanya dapat dilakukan di apotek di bawah sebanyak 1036 R/ dan 607 merupakan racikan atau 58,7%.
pengawasan apoteker. Jumlah dan jenis keahlian dokter yang menulis R/ racikan,
Untuk mengetahui kenyataan sebenarnya, maka pada tahap tertera pada tabel 1.
pendahuluan ini akan dicoba dilakukan studi kasus di salah satu
Tabel 1. Jumlah dan jenis keahlian dokter yang menulis R/ racikan.
apotek di Jakarta.
No. Jenis keahlian N (orang) %
BAHAN DAN METODA 1. Umum 60 44,4
Studi kasus dilakukan dengan cara observasi terhadap se- 2. Ahli kesehatan anak 36 26,7
luruh resep yang masuk pada bulan Maret dan September 1988 3. Ahli penyakit kulit 11 8,1
4. Ahli penyakit saraf 6 4,4
di Apotek "X". Pemilihan bulan Maret dan September tersebut 5. Ahli penyakit dalam 5 3,7
adalah atas dasar bahwa kondisi ekonomi seseorang pada saat 6. Ahli kesehatan jiwa 3 2,3
itu adalah stabil. Dalam arti tidak banyak dipengaruhi oleh 7. Ahli penyakit THT 3 2,3
keadaan yang menuntut banyak mengeluarkan uang, misalnya 8. Ahli gizi 2 1,5
9. Ahli penyakit paru 2 1,5
biaya sekolah anak, Hari Raya, Hari Natal, dan sebagainya. 10. Ahli penyakit jantung 2 1,5
Dari kumpulan lembar resep tersebut dipilih lembar resep 11. Hewan 2 1,5
yang mengandung R/ racikan untuk diambil datanya. Data yang 12. Ahli penyakit mata 1 0,7
dicatat dari resep-resep yang masuk adalah : 13. Ahli Bedah 1 0,7
14. Ahli penyakit asma dan alergi 1 0,7
• Jumlah seluruh lembar resep
Jumlah 135 100

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 37


Jumlah lembar resep yang mengandung R/ racikan yang Tabel 4. Jumlah dan jenis keahlian dokter yang menulis R/ racikan.
ditulis oleh dokter dengan berbagai keahlian di atas, tertera
No. Jens keahlian N (orang) %
pada tabel 2.
1. Umum 61 44,3
Tabel 2. Jumlah lembar resep yang mengandung R/ racikan yang ditulis 2. Ahli kesehatan anak 36 26,2
oleh dokter berbagai keahlian. 3. Ahli penyakit kulit 9 6,5
4. Ahli penyakit dalam 7 4,9
No. Jenis keahlian N (lembar) % 5. Ahli penyakit paru 5 3,5
6. Ahli kesehatan jiwa 4 2,8
1. Umum 244 45,1 7. Ahli penyakit THT 4 2,8
2. Ahli kesehatan anak 186 34;4 8. Ahli penyakit saraf 3 2,1
3. Ahli penyakit kulit 40 7,3 9. Ahli bedah 3 2,1
4. Ahli gizi 16 2,9 10. Ahli gizi 3 2,1
5. Ahli penyakit saraf 12 2,2 11. Hewan 3 2,1
6. Ahli penyakit THT 12 2,2 12. Ahli penyakit asma dan alergi 1 0,6
7. Ahli penyakit paru 8 1,5
8. Ahli penyakit dalam 7 1,3 Jumlah 139 100
9. Ahli penyakit jiwa 7 1,3
10. Ahli penyakit jantung 3 0,6
11. Hewan 3 0,6 Tabel 5. Jumlah lembar resep yang mengandung R/ racikan yang ditulis
12. Ahli bedah 1 0,2 oleh dokter berbagai keahlian.
13. Ahli penyakit mata 1 0,2
14. Ahli penyakit asma dan alergi 1 0,2 No. Janis keahlian N (orang) %
Jumlah 541 100 1. Umum 215 45,5
2. Ahli kesehatan anak 157 33,3
3. Ahli penyakit kulit 31 6,5
Bentuk sediaan yang dikehendaki dari seluruh R/ racikan, 4. Ahli penyakit THT 13 2,7
tertera pada tabel 3. 5. Ahli gizi 12 2,5
6. Ahli penyakit saraf 10 2,1
Tabel 3. Bentuk sediaan dari seluruh R/ racikan. 7. Ahli penyakit paru 10 2,1
8. Ahli kesehatan jiwa 8 1,7
No. Bentuk sediaan N (R/) % 9. Ahli bedah 7 1,5
10. Ahli penyakit dalam 6 1,3
1. Serbuk 379 62,3 11. Hewan 3 0,6
2. Kapsul 153 25,2 12. Ahli penyakit asma dan alergi 1 0,2
3. Salep 41 6,9
Jumlah 473 100
4. Cairan 34 5,6
Jumlah 607 100
Tabel 6. Bentuk sediaan dan seluruh R/ racikan.

Hasil observasi pada bulan September No. Bentuk sediaan N (R/) %


Jumlah lembar resep yang masuk adalah sebanyak 1545
lembar. Dari jumlah tersebut, terdapat 473 lembar resep yang 1. Serbuk 276 55,9
2. Kapsul 160 32,4
mengandung R/ racikan atau 30,6%, 301 lembar atau 63,% 3. Salep 36 7,3
diantaranya ditujukan untuk anak dan 172 lembar atau 36,4% 4. Cairan 22 4,4
untuk dewasa. Lembar resep yang merupakan pengulangan dari
Jumlah 494 100
lembar resep pada hari sebelumnya, dihitung tersendiri dan
dijumlahkan seperti lembar resep yang lain, terdapat 23 lembar
yang diulang dua kali dan 1 lembar yang diulang tiga kali. sebesar 30,6% (Maret) dan 32,9% (September), dari jumlah
Dad lembar resep yang mengandung R/ racikan tersebut, keseluruhan lembar resep yang masuk (tabel 7) dan jumlah R/
terdapat sebanyak 886 R/ dan 494 merupakan racikan atau racikan adalah sebesar 58,7% (Maret) dan 55,7% (September)
55,7%. dari jumlah R/ yang terdapat pada keseluruhan lembar resep
Jumlah dan jenis keahlian dokter yang menulis R/ racikan, yang mengandung R/ racikan (tabel 7). Dengan demikian
tertera pada tabel 4. terlihat bahwa di apotek masih dilaksanakan peracikan, pen-
Jumlah lembar resep yang mengandung R/ racikan yang campuran, dan pengubahan bentuk. Jadi bukan hanya terbatas
dituils oleh dokter dengan berbagai keahlian di atas, tertera pada penyerahan obat atau bahan obat. Di masa lalu, sebelum
pada tabel 5. obat dengan komposisi berbagai bentuk sediaan dengan ber-
Bentuk sediaan yang dikehendaki dari seluruh R/ racikan, bagai nama paten/produsen yang berada di pasaran sebanyak
tertera pada tabel 6. sekarang dan masih, dalam bentuk satuan bahan aktif, maka
Perbandingan hasil observasi pada bulan Maret dan Sep- peracikan, pencampuran, dan pengubahan bentuk merupakan
tember, tertera pada tabel 7. pekerjaan pokok di apotek.
Jumlah lembar resep yang mengandung R/ racikan yang
PEMBAHASAN ditujukan untuk anak adalah sebesar 67,3% (Maret) dan 63,3%
Jumlah lembar resep yang mengandung R/ racikan adalah (September) dari jumlah keseluruhan lembar resep yang me-

38 Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990


Tabel 7. Perbandingan basil observasi pads bulan Maret dan S eptember. komposisi dalam bentuk cairan dengan berbagai nama paten/
produsen yang berada di pasaran telah cukup menunjang.
No. Bentuk sediaan Maret % Sept. %
Pengubahan bentuk sediaan menjadi pil tampaknya sudah tidak
1. Jumlah lembar resep 1642 1545 pernah dilakukan lagi di apotik. Pil secara tidak langsung sudah
2. Jumlah lembar resep yang me- terdesak oleh obat jadi dalam bentuk tablet dan cara
ngandung R/ racikan 541 30,6 473 32,9
pengerjaannya mungkin dianggap tidak praktis lagi.
a. Untuk anak 364 67,3 301 63,6
b. Untuk dewasa 177 32,7 172 36,4
Masalah lain yang timbul dengan semakin banyaknya obat
c. Jumlah R/ 1036 886 komposisi dengan berbagai bentuk sediaan dan berbagai nama
d. Jumlah R/ racikan 607 58,7 494 55,7 paten/produsen adalah :
3. Jumlah dokter yang menulis 1) Bobot serbuk yang dihasilkan menjadi lebih berat dan
R/ racikan (orang) 135 137 apabila diubah bentuk sediaan kapsul, terkadang sulit di-
a. Jenis keahlian 14 12 sesuaikan dengan ukuran standar kapsul.
– Umum (orang) 60 44,4 61 44,3
2) Ada kemungkinan bahwa satu atau beberapa bahan aktif
– Ahli kesehatan anak (orang) 36 26,7 36 26,2
– Lain-lain (orang) 39 28,9 40 29,5
dari komposisi obat paten tidak diperlukan karrena tidak sesuai
b. Jumlah lembar resep yang 244 45,1 215 45,5 dengan jenis penyakit yang diderita pasien. Hal ini sebenarnya
– Ahli kesehatan anak 186 34,4 157 33,3 dapat diatasi dengan penulisan obat dengan nama generik.
– Lain-lain 111 20,5 101 21,2 3) Harga relatif menjadi lebih mahal.
4. Bentuk sediaan 4) Dan hal-hal lain yang masih perlu dibuktikan dengan
a. Serbuk 379 62,3 276 55,9 penelitian.
b. Kapsul 153 25,2 160 32,3 Hasil studi kasus ini masih terbatas pada satu apotek.
c. Salep 41 6,9 36 7,3
d. Cairan 34 5,6 22 4,4
Namun tidak menutup kemungkinan bahwa hasilnya tidak jauh
berbeda dengan keadaan di apotek lainnya. Meracik,
mencampur, dan mengubah bentuk memang merupakan seni
pekerjaan di apotek.
ngandung R/ racikan. Dengan demikian terlihat bahwa keba-
KESIMPULAN DAN SARAN
nyakan R/ racikan ditujukan untuk anak. Hal itu terlihat pula
Dari basil observasi terhadap seluruh lembar resep yang
pada tabel 1, 2, 4, 5 dan 7, dokter ahli kesehatan anak me-
masuk pada bulan Maret dan September di Apotek "X" di
nempati urutan ke dua setelah dokter umum, yaitu 26,7%
Jakarta, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
(Maret) dan 26,2% (September) dari jumlah dan jenis keahlian
1) Masih terlihat dilaksanakan peracikan, pencampuran, dan
dokter yang menulus R/ racikan dan 34,4% (Maret) dan 33,3%
pengubahan bentuk (30,6% pada bulan Maret dan 32,9% pada
(September) dari jumlah keseluruhan lembar resep yang
bulan September), di samping juga penyerahan obat atau bahan
mengandung R/ racikan yang ditulis oleh dokter dengan
obat.
berbagai keahlian. Pada anak, enzim untuk biotransformasi dan
2) R/ racikan terbanyak ditujukan pada anak (67,3% pada
fungsi gin4jal belum sempurna3, sehingga bagi anak perlu
bulan Maret dan 63,6% pada bulan September).
diberikan dosis yang tepat. Hal ini dapat dilakukan dengan
3) Bentuk sediaan yang dikehendaki untuk R/ racikan ter-
memberikan R/ racan yang bentuk akhirnya dapat dibagi
banyak dalam bentuk sediaan serbiuk (62,3% pada bulan Maret
menjadi beberapa bagian.
dan 55;9% pada bulan September).
Pada tabel 3, 6 dan 7 terlihat bahwa bentuk sediaan serbuk
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka perlu dilakukan
merupakan bentuk sediaan yang paling banyak dikehendaki,
penelitian lebih lanjut untuk melihat dampak obat jadi yang
yaitu sebesar 62,3% (Maret) dan 55,9% (September) dari
semakin banyak terhadap fungsi dan tugas pokok apotek,
jumlah keseluruhan bentuk sediaan yang dikehendaki dari R/
khususnya peracikan, pencampuran, pengubahan bentuk, dan
racikan. Telah disebutkan bahwa R/ racikan kebanyakan
penyerahan obat atau bahan obat.
ditujukan untuk anak dan umumnya diberikan dalam bentuk
sediaan serbuk. Hal ini di samping alasan tersebut di atas juga KEPUSTAKAAN
karena anak sulit diberi bentuk sediaan lain. Sebenarnya bentuk
1. Direktorat Jenderal POM DepKes. RI. Data obat yang terdaftar.
sediaan yang ideal untuk anak adalah dalam bentuk cairan, 2. Direktorat Jenderal POM. DepKes. RI., Kumpulan peraturan perundang-
tetapi seperti terlihat pada tabel 3,6 dan 7 bentuk sediaan undangan tentang Apotek.
cairan hanya 5,6% (Maret) dan 4,4% (September) dari ke- 3. Sulistia Gan dkk., Farmakologi dan Terapi ed. 3, Bagian Farmakologi
seluruhan bentuk sediaan R/ racikan. Hal ini mungkin karena Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 1985.
Observasi Penulisan Resep DOPB
oleh Dokter Gigi
dari beberapa, Apotek di Jakarta

Hertiana Ayati, Ondri Dwi S, M. Nurhadi, Nani Sukasediati


Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSIRAK
Telah dilakukan survei untuk mendapatkan gambaran banyaknya resep-resep DOPB
yang ditulis oleh dokter gigi, frekuensi penulisan obat DOPB dan lain-lain yang
berhubungan dengan pelaksanaan program tersebut. Survei retrospektif dilakukan dengan
menganalisis resep-resep DOPB dari dokter gigi yang diterima oleh 24 apotik terpilih di
Jakarta, sejak bulan Oktober 1986 sampai dengan bulan Juli 1987. Wawancara dilakukan
terhadap 41 dokter gigi sukarela yang ditentukan berdasarkan kemudahan mendapatkan
dokter gigi tersebut.
Dari 5041 lembar resep DOPB terdapat 497 lembar resep dokter gigi (9,8%). Dar. 497
lembar resep tersebut, 92,2% resep mengandung antibiotika, 68,8% mengandung analgetik-
antipiretika dan obat-obat lain sebanyak 16,1%.
Dan basil wawancara, 70,7% dokter gigi pernah menulis resep DOPB, 29,3% di
antaranya bekerja pada unit pelayanan kesehatan pemerintah, 34,1% bekerja di kantor
pemerintah dan 7,3% bekerja pada unit pelayanan kesehatan swasta.
Dan 29,3% dokter gigi yang belum pernah menulis DOPB, 75% di antaranya me-
nyatakan tidak mempunyai persediaan blanko resep DOPB, dan 16,7% menyatakan bahwa
pasiennya tidak menghendaki resep DOPB.
Hasil observasi ini hanya merupakan informasi tentang gambaran pemanfaatan Daftar
Obat Program Bersama (DOPB) di kalangan dokter gigi yang mungkin dapat digunakan
lebih lanjut dalam studi yang lebih luas.

PENDAHULUAN mampu yang dapat menimbulkan masalah baru.


Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) dan beberapa Masalah harga obat sudah menjadi perhatian pemerintah.
ikatan/organisasi profesi serta asosiasi (IDI-ISFI-GP Farmasi) Banyak faktor yang menyebabkan tingginya harga obat di apotik,
telah mengadakan kesepakatan bersama untuk membuat pro- dan hal ini tidak mudah untuk dipecahkan apalagi secara cepat.
gram obat terpadu yang dicetuskan pada tanggal 27 September Oleh karena itu beberapa organisasi profesi dan asosiasi farmasi
1986 dan telah mulai dilaksanakan di wilayah DKI sejak tanggal tergerak untuk mencetuskan program obat murah dengan mutu
1 Oktober 1986. Program obat terpadu ini merupakan crash baik. Program ini dimaksudkan untuk menyediakan pilihan
program untuk menanggulangi keluhan-keluhan di masyarakat obat lain yang dapat segera membantu mengatasi kebutuhan
bahwa harga obat di apotik terlalu tinggi. Tingginya harga obat di masyarakat terutama mereka yang kurang mampu.
resep yang hams ditebus oleh penderita seringkali menyebabkan Setelah dilaksanakan beberapa bulan maka perlu diketahui
terjadinya pembelian setengah resep oleh penderita kurang sejauh mana pemanfaatan obat program bersama tersebut

*) Berdasarkan survei resep DOPB dari beberapa Apotik di Jakarta yang


dilaksakan oleh Badan Litbangkes Dep. Kes. RI dengan biaya WHO 1987.
Disajikan pada Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Kedolaeran Gigi VIII di
Jakarta, 7 - 10 September 1988.

40 Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990


(DOPB) di kalangan dokter gigi di Daerah Khusus Ibukota. Tabel 2. Frekuensi jenis antibiotika yang ditulis
Untuk mencari informasi tersebut, dilakukan observasi Jenis antibiotika Jumlah (%)
terhadap lembar resep-resep dokter gigi dengan logo DOPB;
Ampisilin 376 (82,1)
dan secara terpisah dilakukan wawancara terhadap beberapa
orang dokter gigi. Kloramfenikol 2 (0,4)
Eritromisin 14 (3,1)
BAHAN DAN METODA Tetrasiklin 66 (14,4)
Survei ini meliputi dua kegiatan yaitu observasi resep dan
Jumlah 458 (100)
wawancara. Observasi dilakukan secara retrospektif terhadap
seluruh lembar resep DOPB dari 24 apotik yang meliputi lima
Tabel 3. Frekuensi jenis analgetika dan antipiretika yang ditulis
wilayah Jakarta. Resep-resep tersebut berasal dari praktek
pribadi yang masuk ke apotik dari bulan Oktober 1986 sampai Jenis analgetika Jumlah (%)
dengan bulan Juli 1987. Dari resep-resep DOPB tersebut, Asetosal 13 ( 3,8)
dipilih lagi resep-resep yang ditulis oleh dokter gigi.
Antalgin 260 (76,1)
Data yang dicatat dari resep-resep terpilih adalah :
1) Jumlah seluruh lembar resep DOPB. Parasetamol 69 (20,2)
2) Jumlah lembar resep DOPB yang ditulis oleh dokter gigi Jumlah 342 (100)
dan jumlah R/ setiap resep.
3) Jenis obat DOPB yang ditulis oleh dokter gigi menurut Analgetika yang terbanyak ditulis adalah antalgin (76,1%)
golongan farmakologi. disusul kemudian dengan parasetamol (20,2%).
4) Jumlah resep yang mengandung antibiotika.
5) Jenis antibiotika yang ditulis. Tabel 4. Jenis obat dalam kelompok lain-lain dalam resep DOPB
6) Jenis analgetika yang ditulis.
Obat-obat lain Jumlah lembar %
Untuk mendukung observasi ini dan untuk memperoleh
Antasida 3 3,75
gambaran seberapa jauh program tersebut disadari oleh petugas
CTM 4 5,00
kesehatan khususnya dokter gigi, secara terpisah dilakukan Diazepam 3 3,75
wawancara terhadap 41 dokter gigi sukarela. Karena Efedrin 2 2,50
keterbatasan dana dan waktu, maka pemilihan berdasarkan Besi II sulfat 2 2,50
kemudahan mendapatkan dokter gigi tersebut. Data yang Prednison 40 50,00
dicatat dalam wawancara ini : Fenobarbital 2 2,50
1) Institusi tempat dokter gigi tersebut bekerja pada pagi hari. Metronidazol 2 2,50
HCr 1 1,25
2) Pemah tidaknya dokter gigi menulis resep DOPB.
Vitamin B kompleks 3 3,75
3) Alasan pernah tidaknya menulis resep DOPB. Seratiopeptidase (Danzena) 18 22,50

HASIL
Dari kelompok lain-lain yang banyak ditulis adalah pred
Dari observasi ini didapatkan jumlah resep yang
memenuhi kriteria tersebut sebanyak 5041 lembar resep DOPB. nison (50%) dan Danen ® (22,5%). Dari wawancara diperoleh
basil sebagai berikut :
Dari jumlah tersebut, 497 lembar resep ditulis oleh dokter gigi
(9,8%) dan berisi 862 Rx's. Tabel 5. Jenis pekerjaan dan penulisan resep DOPB
Dari resep-resep dokter gigi yang dianalisis tersebut, 458
lembar (92,2%) mengandung antibiotika (tabel 1). Jenis pekerjaan
1 2 3 4 5 Jumlah
Menulis DOPB
Tabel 1. Jenis obat DOPB yang ditulis oleh dokter gigi menurut golong- Pemah 12 3 14 - - 29
an famakologi. 29,3% 7,3% 34,1% - - 70,7%
Janis obat DOPB yang ditulis Jumlah lembar resep Tidak pemah 1 2 7 2 - 12
menurut gol. farmakologi. (%) 2,4% 4,9% 17,1% 4,9% - 29,3%
Antibiotika 458 (92,2) Jumlah 13 5 21 2 - 41
31,7% 12,2% 51,2% 4,9% 100%
Analgetika-antipiretika 342 (68,8)
Lain-lain 80 (16,1) Keterangan : 1 - unit pelayanan kesehatan Pemerintah.
2 - unit pelayanan kesehatan swasta.
3 - /cantor pemerintah.
Untuk melihat jenis antibiotika dan analgetika yang ditulis 4 - swasta non medik
oleh dokter gigi dapat dilihat pada tabel 2 dan 3. 5 - lain-lain.
Ampisilin masih tetap merupakan antibiotika terbanyak ditulis 70,7% Dokter gigi pernah menulis resep DOPB dan 34,1% di
oleh dokter gigi (82,1%). antaranya bekerja di unit pelayanan kesehatan Pemerintah.

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 41


Sedangkan 29,3% tidak pernah menulis resep DOPB. Dari Banyaknya penggunaan analgetika mengikuti pola antibio-
29,3% dokter gigi yang tidak pernah menulis resep DOPB tika, hal ini dapat dimengerti karena infeksi yang memerlukan
memberi alasan sebagai berikut (Tabel 6) : antibiotika biasanya diikuti rasa nyeri. Analgetika pun sering
Tabel 6. Pengakuan dokter gigi yang tidak menulis resep DOPB. dipreskripsi untuk mengatasi nyeri pasca ekstrasi. Jenis anal-
getika yang banyak ditulis adalah antalgin. Pada observasi yang
Alasan Jumlah(%) lalu,(2) asam mefenamat merupakan analgetika yang paling
Pasien tidak menghendaki 2 (16,7%) banyak ditulis. Asam mefenamat tidal( masuk dalam DOPB.
Tidak yakin akan mutunya – Pada kelompok obat lain selain analgetika dan antibiotika
Tidak mempunyai persediaan blangko resep DOPB 9 (75%)
Tidak tabu 1 ( 8,3%) . yang banyak ditulis adalah prednisondan seratiopeptidase.
Jumlah 12(100%)
Kedua jenis obat tersebut agaknya dimaksudkan untuk
mengatasi peradangan yang menyertai infeksi. Seratiopeptidase
memang dikatakan dapat mengatasi peradangan, namun secara
DISKUSI klinis masih diragukan. Sedangkan pemakaian prednison untuk
Dari seluruh sampel (5041 lembar resep DOPB) ternyata infeksi gigi tidak rasional karena resikonya lebih besar daripada
hanya 497 lembar (9,8%) yang ditulis oleh dokter gigi. manfaat yang didapat.(5)
Meskipun demikian pada survei yang lebih luas (mencapai 40 Keadaan di atas tidak menggambarkan peran serta dokter
apotik) ternyata resep dari dokter gigi mencapai 11,3%.(1) gigi dalam program ini, akan tetapi keikutsertaannya telah ter-
Sejumlah 497 lembar resep DOPB yang terdiri dari 438 bukti meskipun masih sedikit. Dari pengakuan beberapa dokter
lembar resep untuk dewasa dan 59 lembar resep untuk anak gigi ternyata ada juga yang belum pernah menulis resep DOPB
ternyata ditulis oleh 120 dokter gigi dalam waktu 10 bulan. Ini (tabel). Program ini mendapat dukungan penuh dari peme-
berarti satu dokter gigi menulis rata-rata 4 lembar resep DOPB rintah, akan tetapi ada juga dokter gigi yang bekerja di kantor
selama 10 bulan atau setiap dua setengah bulan dqkter gigi pemerintah belum pernah memanfaatkan program ini.
menulis 1 lembar resep DOPB. Hal ini dapat disebabkan oleh Beberapa alasan yang dikemukakan yang terbanyak adalah
beberapa kemungkinan : tidak mempunyai blanko resep DOPB. Hal ini sebenarnya
1) Banyak kasus perawatan gigi merupakan tindakan dapat diatasi dengan cara lain yaitu memberi tanda khusus
konservasi dan tidak memerlukan pemberian obat dengan DOPB path resep umum seperti yang dilakukan oleh beberapa
resep. dokter. Beberapa doktei mengatakan bahwa pasien menolak
2) Dokter gigi banyak menulis resep biasa tapi jarang menulis obat DOPB. Hal ini mungkin terjadi karena pandangan negatif
resep DOPB. Hal ini mungkin karena pasien yang datang ke pasien terhadap obat DOPB.
praktek swasta dokter gigi adalah pasien golongan mampu
sehingga dokter gigi tidakmenulis resep denganblankoDOPB;
atau banyak dokter gigi yang belum mengenal DOPB. Ke- KESIMPULAN DAN SARAN
mungkinan lain adalah banyak dokter gigi yang tidak mem- 1) Pola penulisan resep oleh dokter gigi tidak mengalami per-
punyai blanko resep DOPB (dari pengakuan dokter gigi yang ubahan bila dibandingkan dengan observasi yang lalu, perbeda-
bersedia diwawancarai terdapat sebanyak 75%). an terjadi pada jenis analgetika yang ditulis, asam mefenamat
Pengelompokan jenis obat yang ditulis, adalah berdasarkan digantikan oleh antalgin sebagai analgetika yang paling banyak
basil observasi serupa pada tahun 1984,(2) dengan jenis terbanyak dipreskripsi.
adalah golongan antibiotika dan analgetika (Tabel 1). Pola pe- 2) Keikutsertaan dokter gigi dalam program ini telah terlihat
nulisan jenis antibiotika pada tabel 2 pun tidak berbeda dengan meskipun belum besar.
observasi yang lalu.2 Ampisilin masih dirasa memadai untuk
mengatasi infeksi gigi. Tingginya penulisan jenis antibiotika
belum tentu menggambarkan tingginya infeksi gigi. Besarnya
insidensi infeksi ini harus dibandingkan dengan jumlah kunjung- KEPUSTAKAAN
an pasien kepada dokter gigi. Sebab seperti yang telah dikemuka-
kan di atas, tidak setiap kunjungan pasien memerlukan obat. 1. Nani Sukasediati dkk. Survey on physician's prescription containing drugs
belonging to DOPB (a list containing affordable essential drug names) at
Sulitnya memperoleh kasus abses dento alveolar pada pene- several pharmacies in DKI Jakarta. Laporan Penelitian Badan Litbang
litian resistensi,(3) menggambarkan insidensi infeksi gigi yang Kesehatan Dep. Kes. 1987 - 1988.
rendah. Seyogyanya pengobatan dengan antibiotika sistemik 2. Hertiana Ayati dkk. Observasi terhadap penulisan resep-resep dokter gigi
digunakan pada kasus-kasus infeksi gigi; selain itu, juga lazim di 2 apotik di Jakarta. Kongres Bmiah VI Ikatan Sarjana Farmasi
Indonesia. November 1986.
diberikan pada terapi pasca pencabutan gigi/manipulasi lain 3. Hertiana Ayati dkk. Penelitian pola resistensi kuman streptokokus dari
yang disertai luka dan cedera jaringan luas seperti odontektomi, abses gigi terhadap tiga jenis antibiotika di wilayah DKI Jaya. Laporan
ekstraksi multipel dan lain-lain terutama pada pasien degan Penelitian Badan Litbang Kesehatan DepKes 1986 - 1987.
higiene mulut yang burukS4)Bila ditinjau dari segi kerasionalan 4. Archer. Antibiotic Therapy. Dalam Archer (ed) : Oral dan Maxillo Facial
Surgery vol 1. Ed 5. Philadelphia WB Saunders Co., hal : 410 - 8.
penggunaan obat, masih belum diketahui apakah antibiotika 5. Suharti K Suherman. Adrenokortikotropin, Adrenokortikosteroid, Analog
tersebut memang diberikan sesuai diagnosis ataukah terjadi sintetik danAntagonisnya. Dalam : Farmakologi dan Terapi edisi 3. Bagian
penggunaan yang kurang diperlukan misalnya pada kasus Farmakologi FKUI 1987; hal 433 - 51.
pulpitis, ekstraksi rutin dan lain-lain. Kedua hal di atas tidak 6. Haynes Robert C, Murad Farid. Therapeutic uses of adrenocortical
dapat dikemukakan di sini karena tidak didukung oleh data steroids. Dalam : The Pharmacological Basis of Theraneutics ed 6,
Goodman & Gilman (ed) USA : Macmillan Publ; hal 1487 - 92.
diagnosis dari tempat praktek dokter gigi yang bersangkutan.
Efek Infus Daun Sembung
( Blumea balsamifera L) terhadap
Perkembangan Janin pada Tikus Putih
Yun Astuti N; Adjirni; Budi Nuratmi
Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan R.I., Jakarta

ABSTRAK
Infus serbuk daun sembung ekivalen dengan 140 mg/50 ml Tyrode memperlihat-
kan efek oksitosik sama dengan oksitosin. Oleh karena itu infus daun sembung diuji
pengaruhnya terhadap perkembangan janin tikus putih. Bahan diberikan secara oral
dengan dosis ekivalen 200 mg, 100 mg, 50 mg/100 gbb. Pemberian bahan percobaan
pada hari ke-9 sampai hari ke-12 dari kehamilan.
Hasil percobaan menunjukkan pemberian bahan mengurangi jumlah janin, tapi
secara makroskopis tidak menunjukkan adanya kelainan organ tubuh janin.

PENDAHULUAN pada janin atau dapat mengakibatkan keguguran pada induk


Tanaman Blumea balsamifera I (Sembung) termasuk familia tikus putih.
Compositae, merupakan tanaman perdu. Kandungan kimia dari
daun Blumea balsamifera L antara lain tanin, minyak terbang, BAHAN DAN CARA
zat samak, damar, glikosidal 1-3. Secara empirik tanaman ini Bahan :
syring dipakai sebagai astringens, datang bulan tidak teratur, Daun Blumea balsamifera L diperoleh dari pasaran, di-
ekspektoran2,3 . keringkan pada suhu tidak lebih dari 50°C, diserbuk dan diayak
Dalam jamu pengatur haid daun sembung merupakan salah dengan ayakan Mesh 48. Kemudian dibuat infus sesuai dengan
satu komponennya, dan suatu penelitian yang telah dilakukan Farmakope Indonesia ed. III.
membuktikan bahwa daun sembung merangsang terjadinya Hewan percobaan :
kontraksi uterus4. Sifat ini merupakan indikasi bahwa daun Tikus putih (rat) diperoleh dari Unit Gizi, J1. Diponegoro
sembung bersfiat oksitosiks. Zat yang bersifat oksitosik apabila Jakarta. Tikus putih betina siap kawin dengan berat 140–175
diberikan pada ibu yang sedang hamil bisa menyebabkan gram, sedangkan tikus jantan dewasa dengan berat badan 150–
keguguran, sedangkan pengaruh pada janin yang masih muda 180 gram.
dapat diatasi dengan mengganti bagian yang rusak oleh bagian Cara :
lain karena semua sel masih homogen. Tapi bahan yang Tiga puluh enam ekor tikus betina siap kawin, dikawinkan
bersifat oksitosik dapat menyebabkan keadaan yang kurang dengan perbandingan 3 ekor tikus betina dan 1 ekor tikus
menguntungkan apabila janin sudah berada pada stadium jantan dalam satu kandang. Pagi hari sesudah dikawinkan di-
morfogenesiss 4. Bahan memang tidak menyebabkan keguguran lakukan pemeriksaan usap vagina tikus betina, semua tikus
tapi dapat mempengaruhi perkembangan organ-organ janin yang pada usap vagina ditemukan sperma dianggap sudah
yang berakibat cacatnya bayi. kawin dan pada hari itu ditentukan sebagai hari pertama ke-
Percobaan ini dilakukan untuk melihat apakah infus daun hamilan. Jumlah janin dilihat dengan laparotomi pada hari ke-7
Blumea balsamifera L dapat menyebabkan resorpsi/cacat kehamilan.

Disajikan pada Simposium Tumbuhan Obat VI Depok, 15–19 Novem-


ber 1988.

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 43


Tikus yang dapat digunakan dibagi dalam 4 kelompok, an pada tikus putih.
masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor. Setiap kelompok Dari data pengaruh infus daun Blumea balsamifera L ter-
mendapat bahan secara oral dengan dosis sebagai berikut: hadap perkembangan janin, ternyata ketiga macam dosis
Kelompok I : Diberi bahan dengan dosis 200 mg/ 100 g.bb. mempunyai indikasi meresorbsi janin apabila dibandingkan
Kelompok II : Diberi bahan dengan doss 100 mg/100 g.bb. dengan akuades. Meskipun demikian dari ketiga macam dosis
Kelompok III Diberi bahan dengan dosis 50 mg/ 100 g.bb. bahan tidak terlihat adanya hubungan dosis dan efek, dosis 100
Kelompok IV : Diberi akuades 1 ml/100 g.bb. mg/ 100 g.bb. dan dosis 50 mg/ 100 g.bb. memperlihatkan
Pemberian bahan dilakukan pada hari ke-9 sampai hari ke- angka prosentase yang hampir sama. Sedangkan pengaruh infus
12 kehamilan. Pada hari ke-17 tikus dimatikan dan dilihat daun Blumea balsamifera L terhadap induk memperlihatkan
jumlahjanin yang masih ada serta ada tidaknya kelainan yang angka prosentase yang cukup tinggi apabila dibandingkan
dapat dilihat secara makroskopis. dengan akuades. Pada dosis 200 mg/ 100 g.bb : 40%; dosis 100
Dengan menghitung selisih jumlah janin pada waktu mg/100 g.bb : 40%; dosis 50 mg/100 g.bb : 60% dan akuades :
laparatomi dan jumlah janin yang masih tinggal pada hari ke-l7 20%. Dari data ini dapat disimpulkan bahwa infus daun Blumea
maka dapat diketahui prosentase janin yang hilang atau balsamifera L mempunyai sifat abortif apabila dibandingkan
mengalami resorbsi dengan jumlah janin mula-mula. Angka dengan akuades. Tetapi di sini juga tidak terlihat adanya
yang diperoleh dibandingkan antara kelompok bahan dari hubungan dosis dan efek; dosis 200 mg/ l00 g.bb efeknya sama
masing-masing dosis dengan kelompok akuades. dengan dosis 100 mg/ 100 g.bb, yaitu 40%, dan pada dosis 50
mg/ 100g.bb efeknya lebih besar yaitu 60%. Pemeriksaan
HASIL
makroskopis dengan menggunakan loupe tidak melihat adanya
Hasil percobaan terlihat pada tabel 1 dan 2. Tabel 1 mem-
kelainan pada organ janin.
perlihatkan pengaruh bahan dan akuades terhadap janin, dan
Seperti diketahui kandungan kimia daun Sembung adalah
tabel 2 pengaruh bahan dan akuades terhadap induknya.
tanin, minyak terbang, zat samak, damar, glikosida2,3,B. Tapi
Tabel 1. Pengaruh infus Blumea balsamifera L terhadap janin. masih belum diketahui kandungan kimia apa yang dapat me-
nyebabkan resorbsi dan yang mengakibatkan keguguran. Untuk
Jumlah janin % itu diperlukan penelitian lebih lanjut.
No. Bahan dan Dosis Jumlah janin
yang diresorbsi Resorbsi
Dari penelitian ini dapat dinyatakan bahwa daun Blumea
I. InfusB. balsami- balsamifera L yang sexing dipakai dalam ramuan jamu pe-
fera L 200 mg/100 ngatur haid mempunyai indikasi meresorbsi janin dan me-
38 (n=5) 4 10,52
g.bb. nyebabkan keguguran pada tikus putih. Bila suatu bahan atau
11. lnfusB. balsami- obat menyebabkan resorbsi dapat dipastikan bahwa bahan atau
fera L 100 mg/100
III. g.bb. 43 (n=5) 4 9,30
obat itu dapat mengganggu pertumbuhan embrio. Sifat
InfusB. balsami- meresorbsi janin merupakan salah satu indikasi dari sifat
fera L 50 mg/100 abortif, sedangkan sifat abortif erat hubungannya dengan efek
IV. g. bb. 41 (n=5) 4 9,75 teratogenik, apabila dosis yang dipakai tidak tepat9.
Akuades 1 ml/
Akan tetapi dari penelitian ini belum bisa dikatakan bahwa
100 g.bb. 43 (n=5) 1 2,32 Blumea balsamifera L mempunyai efek yang sama apabila
dicobakan pada spesies lain misalnya marmot. Karena suatu
Tabel 2. Pengaruh infusBlumea balsamifera L terhadap induk. bahan efek teratogeniknya bisa tidak sama antara spesies yang
satu dengan spesies yang lain7, juga untuk meneliti efek tera-
Jumlah Jumlah induk togenik banyak sekali faktor yang menentukan. Namun
%
No. Bahan dan Dosis induk yang kegugur-
(n=5) an
keguguran demikian basil penelitian ini dapat dipakai sebagai peringatan
agar lebih berhati-hati dalam menggunakan daun Blumea
I. InfusB. balsamifera L balsamifera L.
200 mg/100 g.bb.
II. 5 2 40 KESIMPULAN DAN SARAN
InfusB. balsamifera L
III.
100 mg/100 g. bb.
5 2 40 Infus daun Blumea balsamifera L yang diteliti mempunyai
Infus B. balsamifera L indikasi meresorbsi janin dan bersifat abortif pada tikus putih;
50 mg/100 g.bb. 5 3 60
oleh karena itu pemakaian daun Blumea balsamifera L (Sam-
IV. Akuades 1 ml/100 g.bb. 5 1 20
bung) dalam jamu pengatur haid harus berhati-hati untuk men-
cegah efek teratogenik.
PEMBAHASAN Perlunya penelitian dengan menggunakan spesies lain
Pada percobaan pengaruh infus daun Blumea balsamifera karena adanya perbedaan metabolisme, transpor dan hubungan
L terhadap uterus terisolasi marmot diketahui bahwa bahan ini antara ibu dan fetus.
bersifat oksitosik. Bahan yang bersifat oksitosik apabila diberi- KEPUSTAKAAN
kan pada periode kritis dari kehamilan dapat menyebabkan
1. Frazer FC, Fainstat TD. Known and suspected teratogenic hazards in range
carat bawaan ataupun dapat menyebabkan keguguran4,7. Ter- plants. Clin Toxicol 1972; 529.
nyata data penelitian membuktikan bahwa infils daun Blumea 2. Mardisiswojo, Rajakmangunsudarso. Cabe puyang warisan nenek moyang
balsamifera L dapat menyebabkan resorbsi janin dan kegugur II. Jakarta : PT. Karya Wreda 1975; 161-2.

44 Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990


3. Departemen Kesehatan RI. Pemanfaatan Tanaman Obat ed II. 1981; 72. 9. Departemen Kesehatan R.I. Farmakope Indonesia ed. III. 1979; hal. 12.
4. Nurendah PS et al. Pengaruh buah Merica (Piper nigrum L) dan buah Cabe 10. Tuchman Duplessis H. Drug effects on the fetus. New York, London :
Jawa (Piper retrofractum VAHL) terhadap kehamilan mencit. Indonesian Adis Press, 1975.
Pharmacol Therapeut 1987; 4 (1–2) : 4–6.
5. Turner RA. Screening methods in pharmacology. New York, London:
Academic Press 1965; hal. 282–3.
6. Goldstein A, Aronow L, Laman SM. Principles of Drug Action. The Basis
of Pharmacology. Second edition. New York London Sydney Toronto: Ucapan Terima Kasih.
John Wiley & Sons. 1974; hal. 703–23. Terima kasih kami tujukan kepada :
7. Avery GS. Drug Treatment. Principles of Clinical Pharmacology and Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi yang telah
Therapeutics. Sydney: Adis Press, 1976; hal. 356–9. memberikan fasilitas untuk penelitian.
8. Perry LM. Medicinal plants of East and Southeast Asia. Cam-bridge, Seluruh staf laboratorium Farmakologi Experimental yang telah
Massachusetts, London: MIT Press. 1988; haL 87; 88; 297; 352. membantu pelaksanaan penelitian.

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 45


Herbs dalam Pengobatan
Tradisional Cina

Dharma K. Widya
Unit Akupunktur Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN1-3 diri dari 41 buku kuno tentang pengobatan, 277 karya peng-
Pengetahuan tentang herbs dalam pencegahan dan peng- obatan dan buku resep, dan 440 jilid buku sejarah. Ia sendiri
obatan penyakit telah dikenal sejak jaman purbakala. Suatu mengumpulkan 413 macam obat dad pengalamannya sendiri
studi sistematis tentang kehidupan tanaman dimulai di kalang- dan dari informasi yang dikumpulkan dari masyarakat. Buku
an pendudukMesirdan Yunani kuno. Hippocrates merupakan tersebut berisikan 1892 obat dan indikasinya, terdiri dari
orang pertama yang melaksanakan pengobatan sebagai suatu 52 bab yang terbagi atas 16 bagian dan subbagian. Terdapat
seni. Dalam tulisannya, ia menerangkan tanaman sebagai obat. 492 jenis ()bat yang berasal dari binatang (ikan, burung,
Tanaman digunakan sebagai obat secara meluas sampai tahun mammalia dan lain-lain), 1094 jenis yang berasal dari tanaman,
1500 ketika Hohenhein. memulai penggunaan zat kimiawi 275 jenis yang didapat dari logam dan mineral, dan 31 jenis
untuk mengobati penyakit. dari benda sehari-hari. Sampai saat ini buku tersebut me-
Penggunaan. herbs untuk pengobatan telah tercatat pula rupakan karya yang sangat penting dalam pengobatan tradisi-
sejak periode sangat awal dalam sejarah Cina, dan dalam kurun onanl Cina.
waktu yang panjang banyak farmakopoeia ditulis dan direvisi.
Salah satu yang tertua adalah Pen Ts 'ao Ching, di mana Red KLASIFIKASI3
Emperor (Shen-ung) menjelaskan berbagai obatobatan dan Ramuan obat dalam pengobatan tradisonal Cina dibagi atas
menyertakan petunjuk penggunaannya. Red Emperor wafat tiga kelompok besar yaitu yang berasal dari tanaman, binatang,
pada tahun 2697 sebelum Masehi dan digantikan oleh Yellow dan mineral. Kelompok yang berasal dari tanaman merupakan
Emperor (Huang Ti) yang memerintah sejak 2697 sampai kelompok yang terbesar.
dengan 2595 sebelum Masehi. Ia menyusun buku yang terkenal Sifat kandungan zat aktif suatu tanaman ()bat berubahubah
yaitu The Yellow Emperor's Book of Internal Medicine (Huang sesuai dengan tahap pertumbuhan tanaman. Kandungan isi
Ti Nei Ching). Dalam buku tersebut terdapat kesamaan yang tertinggi dicapai pada waktu tanaman dalam keadaan segar,
menarik dengan pandangan modern tentang pengobatan tetapi tanaman tidak dapat disimpan lama dalam keadaan
pencegahan. Dinyatakan bahwa tubuh manusia dapat demikian. Oleh karena itu sebagai konsekuensinya umumnya
terlindung terhadap penyakit dengan adaptasi terhadap tanaman dikeringkan. Akar, bunga, daun, biji dan buah ke-
perubahan lingkungan. Penyakit haruslah diobati sebelum seluruhannya dapat dipergunakan. Dikenal cara preparasi
timbul dengan diet yang cocok, istirahat, bekerja, serta dengan ramuan obat dengan mempergunakan api, air, atau gabungan
menjaga ketenangan pikiran dan hati. Mengobati suatu keduanya. Cara preparasi dengan api meliputi pengeringan,
penyakit setelah timbul bagaikan menempa senjata setelah pencoklatan, pemanggangan dan pembakaran, dan dalam hal
perang mulai atau bagaikan menggali sumur setelah merasa bahan yang berasal dari logam, dilakukan peleburan. Cara
haus. Dalam buku tersebut dijelaskan pula tentang sirkulasi preparasi dengan air meliputi perendāman dan pelembaban.
darah di seluruh tubuh, juga tentang konsep penyakit Dan cara gabungan meliputi perebusan, penguapan dan
psikosomatis yang telah dikenal oleh para pengobat Cina pengeringan.
ribuan tahun yang lalu. Seni pengobatan tradisional juga membedakan antara
Li Shih-chen, seorang dokter dan farmakologis yang ter- bahan obat yang bersifat "dingin" dan "panas". Penyakit
kenal, telah menyusun sebuah farmakopōeia (Pen-ts ao Kang dengan sifat "panas" seharusnya diobati denganobat "dingin",
Mu) yang berisikan bahan-bahan dad masa sebelumnya dan dan `sebaliknya. Sebagai tambahan, bahan obat dibagi pula me-
karyanya sendiri. Buku ini disusun selama tiga puluh tahun dan nurut rasa – pahit, asam, manis, asin, pedas. Dinyatakan bahwa
diterbitkan pada tahun 1596 sebelum Masehi setelah rasa pahit mempengaruhi jantung, rasa asam dan mempe-
kematiannya. Dalam buku ini ia menganalisa 758 karya, ter- ngaruhi hati, rasa manis mempengaruhi limpa, rasa asin

4 Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990


46
mempengaruhi ginjal dan kandung kemih, rasa pedas mem- dan angin dari tubuh. Bubuk diberikan untuk kelainan lam-
pengaruhi paru-paru. Herbs dapat pula digolongkan berdasar- bung dan usus. Penyakit yang disebabkan oleh dingin pada
kan nilai pengobatannya, seperti herbs untuk kelainan jantung tubuh diredakan dengan obat panas, sedangkan pengobatan
dan sirkulasi, diuretika, pengobatan batuk, kelainan lambung dingin diberikan untuk penyakit yang disebabkan oleh panas.
dan sistem percernaan dan sebagainya. Obat untuk penyakit yang terletak di atas dada diberikan
Bahan obat yang berasal dari binatang didapat dari ber- sesudah makan. Obat untuk penyakit yang terletak di bawah
bagai jenis binatang seperti isi lambung dari musk-ox (sapi jantung dan lambung diberikan sebelum makan. Obat untuk
kasturi) yang umum dipakai untuk neurastenia, anemia, atau penyakit anggota gerak diberikan pada pagi hari saat perut
untuk pemulihan kesehatan. Tanduk rhinoceros Asia dijadikan kosong. Untuk penyakit tulang dan sumsum tulang diberikan
bubuk untuk dipakai sebagai antidot racun atau untuk sedativa pada malam hari sesudah makan.
dalam kasus ensefalitis. Tanduk antelop, kalajengking, dan Sop, brew, dan pengobatan dengan cairan terbaik untuk
berbagai jenis racun ular samp.ai saat ini masih ditemukan penyakit yang parah, pengobatan dalam bentuk pil terbaik
dalam farmasi Cina. Pada masa lampau para pengobat percaya untuk penyakit yang berkembang secara bertahap, dan pe-
akan efek penyembuhan dari plasenta, kuku jari, urine, faeces, ngobatan dalam bentuk bubuk digunakan untuk penyakit yang
siput, binatang laut, kerang dan sebagainya. Terdapat pula apa meletus dengan tiba-tiba. Herbs tidak boleh dimasak dalam
yang disebut "gigi naga" yang sebenarnya merupakan tulang alat-alat yang terbuat dari logam, yang paling memuaskan
dari binatang prasejarah yang ditemukan oleh para petani di adalah alat yang terbuat dui tanah liat. Untuk memotong herbs
ladang mereka. Banyaknya ketahayulan yang dihubungkan jangan digunakan pisau logam, sebaiknya digunakan alat dari
dengan bahan obat yang berasal dari binatang menyebabkan bambu atau bahan yang sejenis. Demikian pula, mortar untuk
jarangnya bahan ini dipergunakan pada masa kini. herbs jangan terbuat dari logam.
Bahan mineral sudah diketahui sejak lama di Cina, demikian Umumnya terdapat delapan pendekatan penggunaan herbs
pula bahan kimia yang ditemukan oleh para ahli kimia. Sebagai dalam pengobatan tradisional Cina :
contoh, merkuri tidak hanya digunakan dalam laboratorium ahli 1) Metode perspirasi.
kimia, tetapi juga digunakan dalam pengobatan sifilis. Belerang Metode ini cocok untuk penyakit luar/superfisial. Terbagi
dalam bentuk salep dipakai untuk pengobatan kudis di kulit; atas perangsangan perspirasi hangat untuk kelainan angin
arsenikum (Hung-p'i) digunakan untuk eksim, tuberkulosis dan dingin dan perangsangan perspirasi dingin untuk kelainan
sifilis; seng sulfat (Liu-suan-h sin) untuk kelainan kandung angin panas.
kemih; potasium nitrat (P'o-shih) digunakan untuk diuretika 2) Metode emetik/perangsangan muntah.
(sebagaimana juga dilakukan di Mesir, Srilanka, India, Iran dan Metode ini cocok untuk penyakit akut dan "ekses" yang
Meksiko); dan aluminium (Pai-fan) untuk radang, terutama di mempengaruhi bagian atas tubuh. Dengan menimbulkan
mulut dan gusi. Sebagai tambahan, terdapat pula obat yang muntah, bahan patogen dalam lambung dan usus dikeluarkan.
dibuat gips, kalomel, cinnabar dan sebagainya. Emas, perak, 3) Metode purgatif.
beberapa batu pertama digunakan pula dalam pengobatan, dan Metode ini akan melancarkan usus besar dan merangsang
beberapa bahananorganik sampai saat ini masih ditemukan pengeluaran faeces yang encer dan "panas" sehingga dapat
dalam toko-toko obat tradisional. membuang panas yang terkumpul dalam tubuh. Obat untuk ini
Selain pemakaian oral, herbs digunakan pula untuk peng- terbagi dua macam : purgatif yang memberikan efek kuat untuk
obatan luar. Salah satu cara yang seeing digunakan adalah pasien yang masih dalam keadaan kesehatan baik, dan laksatif
inhalasi, pasien menginhalasi uap dari sari herbs atau kadang- dengan daya lebih lemah untuk pasien tua, lemah atau dengan
kadang asap dad herbs yang dibakar. Cara ini umumnya di- penyakit kronis.
gunakan untuk kelainan pernapasan, kelainan kulit dan pe- 4) Metode netralisasi.
nyakit pada wanita. Pada metode Fu yen, madu dan anggur Metode ini menggunakan obat dengan daya netralisasi atau
diaduk ke dalam obat bubuk dan dibubuhkan di atas bagian melunakkan untuk mencapai tujuannya. Umumnya sesuai
tubuh yang terkena dalam bentuk plester. Bawang putih, yang untuk penyakit yang bersifat kombinasi "setengah dalam" dan
terkenal sebagai stimulan untuk kulit, dapat dipergunakan "setengah luar" seperti stagnasi enersi hati yang menyebabkan
dengan cara ini. Masih terdapat beberapa cara lain dalam menstruasi tidak teratur atau yang menimbulkan gangguan
hubungan pemakaian herbs ini. pada limpa-lambung.
5) Metode stimulasi.
PREPARASI RESEP4,5 Metode ini menghangatkan pada pusat untuk menghilang-
Terdapat beberapa jenis resep : kan dingin, menguatkan Yang dan merangsang sirkulasi dengan
– resep besar dengan banyak bahan obat hangat dan panas untuk merangsang fungsi tubuh dan
– resep kecil dengan sedikit bahan menghilangkan dingin.
– resep lambat untuk penguatan 6) Metode pembersihan panas (demam).
– resep dengan jumlah bahan ganjil Metode ini menggunakan obat dingin untuk membersih-
– resep dengan jumlah bahan genap kan panas, menurunkan suhu, memelihara aliran ludah, dan
Penyakit yang berbeda memerlukan pengobatan yang ber- detoksifikasi. Jenis obat ini terbagi atas empat macam : obat
beda. Pengobatan dengan cairan berfungsi untuk membersih- yang membuang panas untuk panas yang menetap dan gejala
kan usus, merangsang sirkulasi darah dan memulihkan ke- haus, stupor, delirium yang menyertai;obat yang mendingin-
seimbangan Yin dan Yang. H. digunakan untuk mengurangi kan darah untuk pengobatan campak dan berbagai jenis per-
sumbatan dan hambatan serta untuk menghilangkan dingin darahan; obat yang mengeringkan lembab untuk pengobatan

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 47


disentri dan ikterus karena dominasi panas lembab dari organ Banyak sinonim diberikan kepada ginseng yang
dalam; dan obat untuk detoksiflkasi untuk kasus abses, kar- menunjukkan penggunaan tradisional dari herbs ini, seperti :
bunkel dan sebagainya. Long Life Root; Man's Health, Queen of the Orient, Root of
7) Metode defleksi. Life, Promise of Immortality, Divine Herb, Wonder Root,
Metode ini menggunakan obat untuk menghilangkan Flower of Life, Wonder of the World, dan Man-Plant. Istilah
stagnasi meridian, memperbaiki sirkulasi enersi dan darah, dan terakhir ini berhubungan dengan bentuk akar ginseng yang
untuk melonggarkan kelembaban sputum dan sebagainya. menyerupai manusia (kata ginseng berarti man plant).
Kelompok ()bat ini cocok untuk pengobatan stagnasi, aku- Ginseng merupakan tanaman yang termasuk keluarga
mulasi, kongesti dan lain-lain, dan dibagi menjadi lima macam: Araliaceae, nama ilmiahnya adalah Panax schinseng dan nama
• Obat untuk pemulihan energi yang merangsang sifkulasi lengkapnya adalah Panax Schinseng Nees (Panax Ginseng C.A.
enersi, memperbaiki nafsu makan dan menghilangkan nyeri, Meyer). Dalam resep, ginseng ditulis sebagai Radix Ginseng
cocok untuk kasus distensi abdominal, hiccup, nausea, regur- karena akar ginsenglah yang digunakan sebagai herbs. Daun
gitasi atau menstruasi tidak teratur. ginseng pun mempunyai kegunaan namun kurang efektif
• Obat untuk pemulihan darah untuk kasus menstruasi tidak dibanding akarnya. Akar ginseng efektif- untuk mengobati
teratur, nyeri abdominal sesudah melahirkan, memar, artritis kelainan paru-paru, limpa, lambung dan sebagainya, khususnya
rematoid, abses dan sebagainya. organ dalam keadaan "defisien"/kelemahan (dan tidak
• Obat peningkatan digesti cocok untuk indigesti dan nyeri digunakan untuk keadaan "ekses"). Ginseng berisikan zat-zat
lambung, regurgitasi asam lambung, nausea dan vomitus, diare Panaquilon, Panaxin, Ginsenin, Panacene dan lain-lain dan
dan sebagainya yang timbul karena makan sembarangan dan dapat dipakai untuk mengobati neurastenia, anemia,
karena kelembahan limpa-lambung. indigesti,impotensi, kolaps dan sebagainya. Terdapat beberapa
• Obat pengenceran sputum untuk melonggarkan mukus dan efek samping pemakaian ginseng untuk jangka panjang seperti
mengubah lembab cocok untuk batuk produktif, asma, epilepsi, hiperemia serebral, gangguan lambung; namun efek samping
konvulsi, skrofula dan sebagainya. ini tidak terjadi pada semua kasus. Dari aspek positif, dipecaya
• Obat pengubahan lembab yang juga diuretika, cocok untuk bahwa pemakaian ginseng dalam jangka panjang akan
kasus edema, miksi yang sukar atau nyeri, poliuria dan sebagai- menghasilkan panjang umur dan kebahagiaan.
nya yang disebabkan oleh retensi air/kelembaban dalam tubuh.
8) Metode penguatan. PENUTUP
Obat-obat yang dapat mensuplemen ketidak-seimbangan Herbs telah digunakan dalam pengobatan tradisional Cina
Yin–Yang dari enersi dan darah dalam tubuh dan mengobati sejak ribuan tahun yang lalu dan banyak buku farmakopoeia
penyakit tertentu oleh kelemahan (defisiensi) disebut tonik telah disusun tentang herbs tersebut. Penggunaan herbs dalam
suplementer. Dibagi atas empat macam pengobatan tidak terlepas dari teori dasar kedokteran Cina
• suplemen Yang : untuk kasus degenerasi enersi Yang dan sehubungan dengan pengertian akan organ, meridian, teori
penyaldt defisiensi dingin. penyakit dan sebagainya yang dalam beberapa hal berbeda
dengan teori kedokteran Barat. Sampai saat ini herbs tetap
• suplemen Yin : untuk kasus demam karena kerusakan Yin
merupakan salah satu pengobatan yang masih dimanfaatkan
atau defisiensi Yin dalam masa konvalesen.
oleh masyarakat Timur pada khususnya dan masyarakat Barat
• suplemen enersi : cocok untuk kelemahan dalam masa
yang sedikit demi sedikit telah mulai mengenal cara
konvalesen, kelemahan lainnya karena kelelahan.
pengobatan ini.
• suplemen darah untuk anemia, hemoragi pasca persalinan
dan sebagainya. LAMPIRAN :

GINSENG2,6
Salah satu jenis herbs yang barangkali paling terkenal ada-
lah ginseng. Sejak ribuan tahun yang lalu telah diketahui bahwa
akar tanaman ini merupakan obat par excellence untuk
pencegahan dan pengobatan berbagai penyakit, juga me-
ngandung kekuatan luar biasa untuk mengembangkan enersi
dan semangat, menajamkan penglihatan, memperbaiki pen-
dengaran, meningkatkan efisiensi otak, memulihkan virilitas,
dan memperpanjang umur. Ginseng tumbuh liar dalam hutan KEPUSTAKAAN
pegunungan yang lebat. Tanaman ini menghindari sinar mata- 1. Bethel M. The Healing Power of Herbs. California : Wilshire Book
had yang langsung dan kuat, dan daunnya terbentuk unik untuk Company, 1977.
2. Lucas R. Secrets of the Chinese Herbalists. New York : Parker Publishing
menerima hanya sedikit sinar. Apabila tanaman lain Company Inc., 1977.
mengumpulkan zat makanannya dari akar, daun, bunga dan 3. Palos S. The Chinese Art of Healing. New York : Bantam Books Inc.
tunas, zat makanan ginseng terutama dikumpulkan dari akar. 1972.
Pada waktu lampau dianggap ginseng tidak dapat dibudidaya- 4. Wallnofer H & Anna _von Rottauscher. Chinese Folk Medicine. New
York : Crown Publishers Inc. 1965.
kan, tetapi kini ternyata dapat dikembangbiakkan di banyak 5. N.N. A Barefoot Doctor's Manual.
tempat. Dikenal adanya ginseng Cina, ginseng Korea, ginseng 6. Henry Lu. Use and Abuse of Ginseng. Vancouver : The Academy of
Jepang, dan ginseng Barat. Oriental Heritage, 1977.
Pengetahuan para Dokter yang
berpraktek di DKI Jakarta tentang
Program Bersama dan Pengaruhnya
pada Penggunaan Obat DOPB
Sarjaini Jamal
Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Departemen Kesehatan R.L, Jakarta

ABSTRAK
Sebagai salah satu alternatif dalam mengatasi keluhan masyarakat tentang mahalnya
harga obat, telah diadakan program bersama IDI, ISFI, PDGI dan GP Farmasi untuk
menyediakan sejumlah obat esensial yang banyak digunakan bagi masyarakat kurang
mampu di perkotaan. Terdapat 50 items obat yang disusun dalam suatu daftar yang di-
sebut daftar obat program bersama (DOPB) dengan kualitas yang terjamin dan harga
yang terjangkau oleh masyarakat banyak. Obat-obat tersebut disediakan di apotek-
apotek dan dapat dibeli bebas atau menggunakan resep dokter bagi obat-obat keras.
Setelah berjalan beberapa lama temyata obat-obat itu kurang laku dan sedikit sekali
para dokter yang menuliskan dalam resep. Sebanyak 58,9% dokter/dokter gigi di DKI
Jakarta pernah menggunakan obat DOPB, sedangkan yang sering menggunakannya
barn mencapai 3%. Sebanyak 65,4% dokter/dokter gigi di DKI Jakarta mempunyai
pengetahuan yang kurang tentang program DOPB. Melalui uji statistik dapat dibuktikan
bahwa tingkat pengetahuan dokter berpengaruh kuat pada penggunaan obat DOPB oleh
dokter/ dokter gigi di DKI Jakarta.
Tulisan ini membahas faktor-faktor yang menyebabkan kurang suksesnya program
DOPB ini di DKT Jakarta.
Beberapa usul telah diutarakan untuk peningkatan penggunaan obat DOPB.

PENDAHULUAN dalam resep bila dibutuhkan oleh pasien.


Obat esensial dibuat mengikuti persyaratan standar Cara Untuk itu kepada para dokter praktek di DKI Jakarta telah
Pembuatan Obat Yang Baik (CPOB). Kualitasnya yang tinggi dibagikan blanko resep dengan kepala "Program Bersama".
telah diakui oleh WHO.0) Obat ini banyak digunakan di Pusat- Apotek diwajibkan melayani resep DOPB sama seperti resep-
Pusat Pelayanan Kesehatan Pemerintah (RS dan Puskesmas). resep biasa dan sekali sebulan diwajibkan melaporkan peng-
Untuk masyarakat yang ingin berobat pada sore hari atau karena gunaan obat tersebut ke Suku Dinas Kesehatan di Wilayah
suatu sebab menggunakan pelayanan swasta, telah disediakan Kota masing-masing. Program ini sudah dimulai sejak 1
obat-obat dari jenis yang sama di apotek. Obat-obat tersebut Oktober 1986. Obat DOPB dapat juga digunakan bila diminta
tercantum dalam suatu daftar yang disebut Daftar Obat Program pasien, untuk obat-obat yang ditulis dokter dalam resep dengan
Bersama (DOPB) sebagai basil kerjasama antara Ikatan Dokter nama bukan paten.
Indonesia (IDI), Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI), Per- Program ini merupakan suatu sikap tanggap dan positif
satuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) dan Gabungan Pengusaha serta bertanggung jawab dari organisasi profesi nonpemerintah
Farmasi Indonesia (GP Farmasi). Daftar ini berisi 50 obat dari di bidang kesehatan dalam upaya penyediaan obat yang ber-
berbagai jenis antara lain : Antibiotika, Analgesik-antipiretika, kualitas dan harga yang terjangkau oleh masyarakat yang
Antituberkulosa, Antihistamin, Antidiare, dan Vitamin. Kualitas- kurang mampu. Keberhasilan program ini tergantung pada
nya terjaniin dan harga jualnya lebih murah 24 - 67% dibanding- banyak faktor, baik yang berasal dari diri dokter itu sendiri
kan obat paten. Dengan kata kunci : obat yang terjamin kualitas- maupun dari luar (seperti : pasien, apotek dan lain-lain).
nya, harga lebih murah dan pengobatan yang bertanggung jawab, Dalam tulisan ini akan dibahas tentang pengetahuan dokter/
para dokter telah dihimbau agar menuliskan obat-obat tersebut dokter gigi tentang program bersama tersebut serta pengaruhnya

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 49


pada penggunaan obat DOPB. Data yang digunakan berasal 4) Menawarkan obat DOPB pada pasien.
dari Penelitian Penggunaan Obat Program Bersama IDI, ISFT, Nilai : 2. sering
PDGI dan GP Farmasi oleh para dokter di DKI Jakarta ī pada 1. kadang-kadang
awal 1989 yang lalu. 0. tidak pernah
Penelitian ini dilakukan mengingat kurangnya penggunaan Rangking : – Cukup bila jumlah nilai 4 s/d 7
obat DOPB di DKI Jakarta. Dugaan ini diperkuat oleh – Kurang, bila jumlah nilai 0 s/d 3
keterangan ketua PB IDI bahwa penggunaan obat DOPB barn Skala yang digunakan ordinal.
meliputi kurang dari 3% dari jumlah resep yang masuk ke
apotekapotek yang ada di DKI Jakarta (2) HASIL
1. Tingkat penggunaan obat DOPB oleh para dokter
TUJUAN
praktek di DKI Jakarta.
1) Diketahuinya tingkat penggunaan obat DOPB oleh para
Tingkat penggunaan obat DOPB oleh para dokter, barn
dokter praktek di DKI Jakarta.
sampai pada taraf kadang-kadang (55,8% dari seluruh respon-
2) Diketahuinya tingkat pengetahuan dokter tentang program
den), sedangkan yang sering menggunakan obat DOPB barn
DOPB di DKI Jakarta.
mencapai 3% responden, sisanya tidak pemah menggunakan
3) Diketahuinya pengaruh faktor pengetahuan dokter tentang
obat DOPB 58,9% merupakan dokter umum, 27,9% adalah
program bersama pada penggunaan obat DOPB di DKI Jakarta.
dokter gigi dan sisanya (13,2%) adalah dokter spesialis. Dui
kelompok sering menggunakan obat DOPB kebanyakan juga
METODOLOGI
dokter umum (57,1%), kemudian dokter spesialis dan dokter
Penelitian dilakukan secara cross sectional survey, data
gigi. Di samping itu dari analisa persentase menurut bans dapat
diperoleh dengan mewawancarai 231 orang dokter/dokter gigi
diketahui bahwa 33,3% dari dokter umum, 44,8% dokter gigi
yang berpraktek di DKI Jakarta. Sampel dipilih secara acak
dan 56,9% dokter spesialis tidak pemah menggunakan obat
dari sejumlah populasi dokter praktek yang diketahui
DOPB.
jumlahnya (dokter umum 2020 orang, dokter spesialis 738
orang dan dokter gigi 1.135 orang) (Sumber : Bagian tabel 1 : Distribusi penggunaan obat DOPB di kalangan dokter
Pengolahan Data Dinas Kesehatan DKI Jakarta, 1988). Dugaan dibedakan menurut jenis dokter.
proporsi populasi yang menggunakan obat DOPB 20%,
penyimpangan yang dikehendaki 5% dan confidence level 95%.
Instrumen yang digunakan adalah kuesioner yang telah diuji
coba. Pengolahan dan analisa data dilakukan dengan program
komputer Dbase III dan SPSS/ PC. Analisis hubungan
dilakukan dengan uji chi-square dan uji gamma (Goodman
Kruskal G).
Jumlah responden adalah 231 orang dengan perincian :
120 orang dokter umum, 44 orang dokter spesialis, dan 67
orang dokter gigi. Distribusi responden tiap wilayah dilakukan
secara proporsional sesuai dengan banyaknya masing-masing
jenis dokter.
Pengetahuan dokter tentang program bersama diartikan se-
bagai dikenalnya keberadaan program DOPB oleh seorang
dokter di DKI Jakarta, karena pemah membaca/mendengar,
dikirimi blanko resep DOPB, diskusi dengan teman/orang lain
serta pemah pula menawarkan obat DOPB tersebut pada 2. Pernah membaca/mendengar informasi tentang
pasien. Pengetahuan dokter tentang program bersama program DOPB.
dibedakan berdasarkan jumlah skoring/nilai jawaban atas Sampainya informasi DOPB pada dokter dapat terjadi melalui
empat pertanyaan tentang : media massa (surat kabar, radio, TVRI dan berita IDI). Dari
1) Pernah membaca/mendengar tentang DOPB. tabel 2 dapat diketahui bahwa dari kelompok dokter yang sering
Nilai : 2. sering baca/dengar tentang program DOPB sebanyak 66,7% kadang-
1. kadang-kadang kadang menggunakan obat DOPB, 20,8% sering menggunakan
0. tidak pemah obat DOPB dan sisanya tidak pemah menggunakan obat
2) Pernah dikirimi blanko resep DOPB. DOPB. Dari kelompok kadang-kadang baca/dengar tentang
Nilai : 1. pernah program DOPB sebanyak 69,3% kadang-kadang menggunakan
0. tak pemah obat DOPB, 1,3% sering menggunakan obat DOPB dan sisanya
3) Diskusi dengan teman/orang lain. tidak pemah menggunakan obat DOPB. Selanjutnya dari ke-
Nilai : 2. sering lompok yang tidak pemah membaca/dengar tentang program
1. kadang-kadang DOPB sebagian besar tidak pernah pula menggunakan obat
0. tidak pernah DOPB. Dui analisa persentase mengikuti kolom dapat pula di-

50 Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990


ketahui bahwa dokter yang sering menggunakan obat DOPB tabel 4. Penggunaan obat DOPB oleh dokter dibedakan menurut
pernah mendiskusikan dengan sejawat/orang lain.
temyata sering pula membaca/mendengar tentang program
DOPB.

Tabel 2. Penggunaan Obat DOPB oleh dokter dibedakan menurut


peroleh» an hitormasi tinting program DOPB.

pernah menawarkan obat DOPB pada pasiennya, dan sisanya


menjawab sering menawarkan. Dari kelompok kadang-kadang
menawarkan obat DOPB pada pasiennya, 86,9% menjawab
3. Pernah dikirimi blanko resep DOPB kadang-kadang menggunaan obat DOPB, sedangkan dari ke-
Penggunaan obat DOPB yang terbanyak adalah oleh ke- lompok sering menggunakan obat DOPB 71,4% menjawab
lompok yang pemah dikirimi blanko resep DOPB, sedangkan sering pula menawarkan obat DOPB pada pasiennya. Demikian
kelompok yang tidak dikirimi blanko resep DOPB kebanyakan juga dari kelompok tak pemah menggunaan obat DOPB 82,1%
tidak menggunakan obat DOPB. Dari kelompok yang kadang- tidak pernah menawarkan obat DOPB pada pasiennya, sedang-
kadang menggunakan obat DOPB sebanyak 84,5% pernah di- kan dari kelompok tidak pemah menawarkan obat DOPB pada
kirimi blanko resep DOPB (tabel 3). Demikian juga dari ke- pasiennya 96,3% juga tidak pemah menggunakan obat DOPB
lompok yang sering menggunakan obat DOPB sebanyak 71,4% (tabel 5).
pemah dikirimi blanko resep DOPB. Sedangkan dari kelompok
Tabel 5. Distribusi penggunaan obat DOPB oleh dokter dibedakan atas
tidak pernah menggunakan obat-obat DOPB sebanyak 62,1% pemah/tak pernah menawarkan obat tersebut pada pasien.
tidak pemah dikirimi blanko resep tersebut.

Tabel 3. Distribusi penggunaan Obat DOPB oleh dokter dibedakan


menurut pemah/tdak pernah dikirimi blanko resep DOPB.

6. Pengetahuan dokter tentang program DOPB dan


4. Diskusi tentang DOPB dengan sejawat/orang lain hubungannya dengan penggunaan obat DOPB.
Hanya 3% dari responden yang mengatakan sering men- Untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan dokter
diskusikan DOPB dengan sejawat/orang lain, 37,2% menjawab tentang program DOPB dengan penggunaan obat DOPB oleh
kadang-kadang dan 59,7% menjawab tidak pernah. Dari ke- para dokter dilakukan uji Goodman Kruska/ G (gamma). Di
lompok kadang-kadang mendiskusikan DOPB dengan sejawat/ samping itu untuk melihat adanya perbedaan penggunaan obat
orang lain; sebanyak 77,9% menjawab kadang-kadang meng- DOPB di antara responden yang mempunyai pengetahuan
gunakan obat DOPB sedangkan dari kelompok tidak pemah cukup dan kurang dilakukan uji Chi-square (X2). Untuk itu data
mendiskusikan DOPB dengan sejawat/orang lain sebanyak disusun dalam bentuk tabel 2 x 2. Pengetahuan dokter tentang
55,1% tidak pemah menggunakan obat DOPB. Selanjutnya program DOPB dikelompokkan atas pernah dan tak pemah. Ini
dari kelompok tidak pemah menggunakan obat DOPB 80% dilakukan mengingat hanya terdapat sedikit sekali responden
memang tidak pernah mendiskusikannya dengan sejawat/orang yang menjawab sering menggunakan obat DOPB (yaitu 3%).
lain (tabel 4). Di samping itu adanya recall bias perlu pula dipertimbangkan.
Dengan demikian sebaiknya kedua kelompok jawaban tersebut
5. Menawarkan obat DOPB pada pasien dijadikan satu menjadi kelompok "pernah menggunakan obat
Sebanyak 59,3% responden menjawab kadang-kadang me- DOPB".
nawarkan obat DOPB pada pasiennya, 35,1% menjawab tidak Dari uji Chi-square dapat diketahui bahwa ada perbedaan
yang bermakna mengenai penggunaan obat DOPB oleh para

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 51


dokter praktek di DKI Jakarta antara yang berpengetahuan pula dengan banyaknya jumlah dokter yang pernah (kadang-
cukup dan kurang tentang program DOPB. Uji gamma (G kadang dan sering) menggunakan obat DOPB (tabel 1).
0,80030) meriunjukkan adanya hubungan yang erat antara pe- Penggunaan obat DOPB oleh dokter berawal dari perubahan
ngetahuan dokter tentang program DOPB dengan penggunaan sikap melalui suatu proses rasional. Perubahan tersebut adalah
obat DOPB oleh dokter praktek di DKI Jakarta. pengalihan kebiasaan menulis obat paten menjadi obat DOPB/
generik. Untuk itu diperlukan adanya keadaan menerima dan
Tabel 6. Tabel silang penggunaan obat DOPH oleh dokter dengan
percaya terhadap informasi obat DOPB yang sampai padanya.
pengetahuan dokter tentang program DOPB.
Di samping itu usaha memasyarakatkannya di kalangan dokter
Pengetahuan
Penggunaan Obat DOPB
Total
merupakan pula suatu inovasi dengan sasaran perilaku dokter
pemah tak pemah dalam memilih obat untuk pasiennya. Perilaku merupakan
Cukup 51.5% 70 87.5%
10
12.5%
80
100.0%
refleksi dari berbagai gejala jiwa seperti : keinginan, minat,
10.5% 34.6% kehendak, pengetahuan, emosi, berpikir, sikap, motivasi reaksi
85 151 dan persepsi. Perilaku timbul sebagai respon atas situasi atau
Kurang 48.5% 66 43.7% 56.3% 100.0%
89.5% 65.4% keadaan di luar diri seseorang. Respon tersebut dapat bersifat
136 95 231
aktif maupun pasif. (3)
Total 58.9% 41.1% 100.0% Bentuk operasional dari perilaku dapat dikelompokkan
100.0% 100.0% 100.0%
atas tiga jenis yaitu perilaku dalam bentuk pengetahuan
Gamma (G) – 0.80030 (knowledge) perilaku dalam bentuk sikap (attitude) dan
Chi-square (x2) – 39.62957 (df – 1),L Significance – 0.0000 perilaku dalam bentuk tindakan nyata (action). Green
menyebutkan tiga kelompok faktor yang mempengaruhi
Sebanyak 65,4% responden mempunyai pengetahuan yang perilaku yaitu : faktor pre-disposing, faktor enabling dan faktor
kurang tentang program DOPB. Dari kelompok yang kurang reinforcing.(4)! Pengetahuan dan kepercayaan termasuk
ini sebanyak 56,3% tidak pernah menggunakan obat DOPB,- kedalam faktor predisposing. Untuk sampai pada perubahan
sedangkan dari kelompok yang cukup pengetahuannya tentang perilaku nyata diperlukan beberapa tahap proses. Rogers
program DOPB sebanyak 87,5% pemah menggunakan obat menyebutkannya sebagai tahap pengetahuan, tahap persuasi,
DOPB. Demikian juga dari kelompok tidak pemah tahap pengambilan keputusan (decision) dan tahap
menggunakan obat DOPB ternyata memang pengetahuannya konfirmasi.,(5) Informasi tentang DOPB yang disampaikan
tentang program DOPB kurang (tabel 6). diharapkan dapat memasuki tahap pertama dari perubahan
perilaku tersebut di kalangan dokter. Penataran, ceramah dan
PEMBAHASAN dialog tentang DOPB diharapkan dapat masuk ke dalam tingkat
Uji G pada tabel 6 menunjukkan ballwa pengetahuan persuasi sehingga terbentuk situp yang para dokter terhadap
dokter tentang program DOPB berhubungan erat dengan obat DOPB. Adanya keinginan untuk mencoba menggunakan
penggunaan obat DOPB. Di samping itu didapatkan pula obat tersebut menunjukkan telah sampainya seorang dokter
bahwa kebanyakan para dokter masih kurang pengetahuannya pada tingkat pengambilan keputusan dalam proses pengubahan
tentang program DOPB di DKI Jakarta. perilaku. Sedangkan adanya diskusi dengan sejawat/ orang lain
Sesuai dengan yang diuraikan dalam metodologi, bahwa mengenai obat DOPB menandakan telah sampainya para
pengetahuan dokter tentang DOPB diukur melalui jawaban atas dokter pada tahap konfirmasi di mana dia berusaha mencari
4 pertanyaan tentang : dukungan dan pandangan tentang apa yang telah diputus-
− Pemah membaca/mendengar tentang DOPB kannya. Ada kemungkinan bila tidak mendapatkan dukungan
− Pernah menerima/dikirimi blanko resep DOPB atau tanggapan positip dari orang lain dia akan mengubah
− Pernah mendiskusikan DOPB dengan sejawat/orang lain keputusan yang telah diambil, dan sebaliknya.
− Pernah menawarkan penggunaan obat DOPB pada pasien. Untuk mengefektipkan perubahan pada fase-fase di atas
Ternyata 75,3% responden menjawab pemah (sering atau Leewin (1975)(6) mengemukakan tiga cara yaitu memperkuat
kadang-kadang) membaca/mendengar tentang DOPB, sebanyak driving force,mereduksi restraining force dan melalui kombinasi
64,9% responden menjawab pernah dikirimi blanko resep kedua cara tersebut.(4) Memperkuat driving force dapat dilakukan
DOPB. Hal ini menunjukkan bahwa cukup banyak para dokter melalui peningkatan pendidikan, penerangan dan peraturan
yang terpapar oleh informasi DOPB. Walaupun informasi perundang-undangan. Mereduksi restraining force dapat
tersebut sudah mencapai cukup banyak dokter, tetapi tingkat dilakukan melalui pengikutsertaan masyarakat atau individu
pengetahuan para dokter tersebut tentang DOPB masih kurang dalam memecahkan persoalan, memberikan saran-saran dan
(tabel 6). Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua informasi lain-lain sehingga ada rasa memiliki dan rasa keinginan untuk
yang disampaikan pada seorang dokter dapat mencapai sasaran mensukseskannya. Khusus tentang program DOPB, yang
yang diharapkan. Rendahnya jumlah dokter yang mendiskusikan dilakukan baru memperkuat driving force sedangkan mereduksi
DOPB dengan sejawat/orang lain menunjukkan kurangnya restraining force belum banyak dilakukan selama ini.
usaha yang bersangkutan untuk mengadakan klasifikasi pesan Kalau dilihat kembali tabel 1 dan 4, dokter yang sampai
yang disampaikan. Walaupun demikian jumlah dokter yang pada tahap konfirmasi masih sedikit. Barang kali hal ini terjadi
pemah menawarkan (kadang-kadang dan sering menawarkan) karena kurangnya diskusi, sebab forumnya memang tidak ada
obat DOPB pada pasien cukup tinggi yaitu 64,9%. Ini menanda- atau kalau ada tidak berfungsi, sehingga yang tadinya sudah
kan bahwa para dokter yang sampai pada tingkat ingin mencoba mulai mencoba tersebut kehilangan gairah untuk melanjutkan-
menggunakan obat DOPB sudah cukup banyak. Ini dikuatkan nya.

52 Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990


Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa walaupun 3) Jens obat-obat DOPB perlu ditambah sehingga diperoleh
banyak faktor yang mempengaruhi penggunaan obat DOPB suatu daftar obat generik yang mencakup spektrum penyakit
oleh seorang dokter, tetapi faktor informasi tetap merupakan yang lebih luas.
salah satu yang terpenting, karena merupakan tahap awal dari
perubahan perilaku. Oleh karena itu untuk memantapkan peng-
gunaan obat DOPB dan sejenisnya sempainya informasi pada KEPUSTAKAAN
para dokter dan masyarakat lain, adanya forum diskusi serta 1. Laurence (WHO). Obat Esensial Indonesia bermutu tinggi, Varia Farmasi
1987, 73 : 19.
keikut sertaan mereka perlu dilakukan dan dipelihara. 2. Kartono Muhamad, Dokter tak berkeberatan beri resep obat tanpa merk.
Di samping itu, obat DOPB sebagaimana barang konsumsi Suara Karya Sept. 27, 1988. Hal. 11.
lainnya juga memerlukan promosi dalam upayā memperkenal- 3. Soekidjo dick. Prinsip Prinsip Pendidikan Kesehatan.Dalam : Pendidikan
kan barang tersebut pada masyarakat, karena itu Kesehatan Masyarakat. Staf Jurusan PKIP - FKMUI Jakarta, 1984. hal. 33.
4. Green L W et al. Health Education Planning, A diagnostic approach, 1st
penampilannya hams menarik dan harga serta kualitasnya Ed. California; Mayfield Publ. Co., 1980, hal 14.
haruslah dapat dipertanggung jawabkan. Obat DOPB 5. Rogers EM, Shoemaker. Communication of Innovation, New York, Mc
merupakan juga sebagian dari obat esensial dan dibuat oleh Milian Publ. Co. Inc., 1971.
pabrik yang sama sehingga kualitasnya dijamin. Peningkatan 6. Leewin. Dalam : Mico P, Roos H. Health Education and Behavior
Sciences, California; Third Party Assoc. In., 1975.
kemasan dari tablet/kapsul lepas dalam kaleng/botol menjadi 7. AzwarA Kontribusi masyarakat terhadap biaya kesehatan melalui dokter
dalam blister pack atau strip dapat menghilangkan kesan obat- praktek swasta. (Laporan Pendahuluan), 1987.
obat DOPB sebagai "obat murahan". Hal ini dapat 8. Andrews FM., et al. A Guide for selecting Statistical Techniques for
dipertimbangkan karena biaya kemasan strip .tersebut Analysing Social Science Data, 2nd Ed., Michigan: University of
Michigan; 1981, hal. 17.
diperkirakan hanya akan menaikkan harga obat sebesar 5 - 10% 9. Anggarini Siregar K. Statistik nonparametrik. Jakarta: Badan, Penerbit
saja. Kesehatan Masyarakat, FKM-UI 1980, hal. 20.
Orang Indonesia sangat peka terhadap gengsi, karena me- 10. Arkin H, Colton RR Statistical Methods as applied to Economics Business,
nyangkut status dan kedudukannya. Dalam memasyarakatkan Psychology, Education and Biology. 5th ed. New York; Barnes & Noble
Inc. 1957. hal 100.
obat DOPB konotasi "murah dan sederhana" tentu tidak akan 11. Brotowasisto. Survai biaya kesehatan, Medika 1987, 5; 407.
mencapai sasaran yang diharapkan. Barangkali eksploitasi 12. Departemen Kesehatan RI. Daftar Obat Esensial Nasional, Departemen
penggunaan obat tersebut di kalangan tokoh-tokoh masyarakat Kesehatan RI. Jakarta, 1980. Hal. 6.
dapat membantu promosi obat ini. Efek ketakutan (fear effect) 13. Sasrodihardjo S. Mengajak masyarakat untuk menjadi sehat. Simposium
Peningkatan Jangkauan Pelayanan Kesehatan, Yogyakarta. November
dapat juga dimanfaatkan berupa sanksi bagi tenaga dokter yang 1986.
tidak mendukung penggunaan obat DOPB seperti yang
diberlakukan pada obat generik dengan Permenkes NO.
085/Menkes/Per/ 1989 tentang kewajiban menuliskan obat
generik dalam resep dokter bagi pasien yang berobat ke RS dan
Puskesmas pemerintah.

KESIMPULAN
1) Sebanyak 58,9% dokter praktek di DKI Jakarta pernah
menggunakan obat DOPB tetapi yang betul-betul sering
menggunakannya baru sebanyak 3%.
2) Sebanyak 65,4% dokter praktek di DKI Jakarta mempunyai
pengetahuan yang kurang tentang program DOPB.
3) Dokter yang mempunyai pengetahuan cukup tentang prog-
ram DOPB kebanyakan pemah menggunakan obat DOPB di
DKI Jakarta.
4) Pengetahuan dokter tentang program DOPB berpengaruh
kuat pada penggunaan obat DOPB oleh dokter praktek di DKI
Jakarta.

SARAN
1) Kepada kelompok dokter yang kurang mendukung program
DOPB karena berbagai sebab perlu dilakukan pendekatan per-
suasif misalnya dengan cara menatar mereka, memberikan
informasi yang rinci tentang obat-obat DOPB (pokok pikiran
konsep obat DOPB, jenis obat, efek farmakologis, harga dan
jaminan mutu), pengiriman brosur serta blanko resep DOPB
dan mengadakan forum diskusi obat DOPB.
2) Perlu dilakukan pengembangan dan peningkatan dukungan
sosial serta faktor-faktor yang mendorong penggunaan obat
DOPB oleh dokter dan masyarakat.
Kegiatan llmiah

Second international
Pediatric Headache Symposium,
Sydney, Australia, 15 th October 1989
Masalah nyeri kepala di kalangan anak-anak akhir-akhir ini ngurangi keluhan. Selain itu pemeriksaan oftalmologik dapat
mulai mendapatkan perhatian yang tersendiri, antara lain menemukan kelainan fundus okuli yang dapat mengarah ke
karena, prevalensinya yang cukup menonjol dan sifat kelainan intrakranial, atau tanda-tanda neuritis optika; dapat
keluhannya yang sering kurang spesifik sehingga tidak cepat juga dilihat adanya gangguan gerakan bola mata yang dapat
dikenali. Oleh karena itu, bersamaan dengan IV International dikaitkan dengan migren oftalmoplegik.
Headache Congress, baru-baru ini telah pula diadakan II Faktor alergi dibicarakan oleh AS Kemp dari Australia. Dia
International Pediatric Headache Symposium yang berlangsung berpendapat bahwa sampai saat ini belum dapat dibuktikan
pada tanggal 15 Oktober 1989 di Sydney, Australia. adanya reaksi IgE mediated sehingga lebih baik disebut sebagai
Para pembicara dari tujuh negara telah membawakan maka- intoleransi makanan.
lahnya, yang meliputi berbagai masalah nyeri kepala pada anak. Jenis makanan yang paling sering dihubungkan dengan
M. Sillanpaa dan kawan-kawan meneliti prevalensi nyeri migren ialah coklat dan keju; pada anak-anak juga dikaitkan
kepala pada anak-anak prasekolah di Turku, Finlandia. Semua dengan susu dan telur. Penelitian atas coklat menunjukkan
bayi yang dilahirkan antara 1 Juni 1981 sampai dengan 31 Mei bahwa tiramin tidak selalu dapat ditemukan pada coklat, se-
1982, diikuti sampai berusia 5 tahun; terdapat 4425 anak yang hingga tidak dapat dianggap sebagai pencetus migren;
berhasil menyelesaikan studi ini. meskipun demikian coklat diketahui mengandung feniletilamin
Nyeri kepala diderita oleh 861 (19,5%) anak dan yang hampir serupa dengan tiramin, sehingga dianggap bahwa
kejadiannya berhubungan bermakna dengan situasi tempat pada penderita migren tertentu dapat hipersensitivitas terhadap
tinggal yang ditinggali bersama oleh beberapa keluarga, zat tersebut. Walaupun zat aktif yang dapat mencetuskan
masalah sosial-ekonomi, banyaknya orang yang tinggal serangan migren belum dapat ditentukan, penelitian buta-ganda
serumah dan seringnya berpindah-pindah rumah. Selain itu menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara diet dengan
anak-anak penderita nyeri kepala, lebih banyak yang menderita cetusan serangan migren pada anak-anak tertentu, bahkan ada
sakit perut, temper tantrum, enuresis nokturna dan mempunyai juga yang mengaitkannya dengan serangan epilepsi.
masalah dalam pergaulan. Mereka menyimpulkan bahwa nyeri Penanganan migren pada anak-anak hendaknya juga mem-
kepala cukup banyak diderita di kalangan anak-anak dan perhatikan faktor diet,bila perlu dapat dicoba suatu diet oligo-
merupakan sebagian dari cermin stres psikososial. antigenik selama jangka waktu tertentu.
FC Tulunay mengedarkan kuesioner kepada 2550 pelajar JM Hockaday dari Inggris menyarankan, bila anak tidak
sekolah dasar di Turki. Ternyata 93,3% pernah menderita nyeri segera pulih kembali setelah serangan nyeri kepala, hendaknya
kepala dalam jangka waktu 1 tahun; 3,3% di antatanya setiap dipikirkan penyebab lain; demikian pula bila serangan tersebut
hari, tetapi umumnya tidak lama diderita, hanya 4,8% yang men- menjadi makin sering, makin berat dan makin sulit diatasi
deritanya lebih dari 24 jam. Umumnya nyeri kepala dirasakan dengan analgesik biasa. Sēlain itu juga perlu waspada bila
berdenyut (61,4%) dan terutama bermula dari daerah temporal ditemukan pula gangguan pertumbuhan dan perubahan
(35,89%), orbital (10,84%) atau frontal (24,13%). Hanya 17,2% kepribadian, tingkah laku dan/atau inteligensi. Hal-hal yang
yang ke dokter untuk konsultasi, meskipun tidak kurang dari menyebabkan si anak baru pada saat tersebut dibawa ke dokter
75,8% yang menyatakan minum obat untuk menghilangkan dapat merupakan petunjuk ke arah penyebab, baik organik
nyerinya. Nyeri terutama diderita pada hari-hari sekolah maupun psikogenik. Apapun penyebabnya, faktor pencetus
(85,2%), hanya 4,3% yang merasakannya di hari-hari libur. hams dikenali untuk kemudian dihilangkan. Conversion
Kebanyakan bersifat moderat (55,56%) dan hanya 20,84% di headache sudah dapat ditemukan pada usia 8 - 9 tahun.
antaranya yang didahului oleh gejala-gejala prodromal. Mungkin diperlukan beberapa kali kunjungan untuk me-
S Hing dari Australia membahasnya dari segi kelainan okuler; negakkan diagnosis yang pasti, selain itu kunjungan-kunjungan
meskipun jarang ditemukan kelainan mata yang dapat dikaitkan tersebut dapat sekaligus dimanfaatkan untuk memberikan pen-
dengan keluhan nyeri kepala, pemeriksaan ke arah tersebut dan jelasan dan mengurangi kekuatiran orang tuanya.
koreksi atas kelainan yang ditemukan dapat membantu me- Pengobatan yang dianjurkan ialah parasetamol atau aspirin
dalam bentuk mudah larut untuk mempercepat absorpsinya; Tigapuluh tiga anak berusia antara 6 - 15 tahun diterapi
metoklopramid kurang disukai pada anak-anak karena ke- dengan rangsangan atas m. trapezius dengan kekuatan 100 Hz
mungkinan distonia yang lebih besar daripada di kalangan selama 4 minggu. Hasilnya menunjukkan bahwa cara tersebut
dewasa. Bila cara tersebut gagal, dapat dicoba kodein, terbukti mengurangi frekuensi nyeri kepala lebih dari 50%
diazepam (parenteral) atau klorpromazin; ergotamin hendaknya pada 14 (73%) anak; hasil ini terutama menonjol pada kasus-
dihindarkan penggunaannya pada anak-anak di bawah 10 kasus nyeri kepala setelah trauma servikal atau tortikolis,
tahun. Obatobat tersebut hanya digunakan pada keadaan- sebaliknya kurang memuaskan pada kasus-kasus migren –
keadaan yang berat saja karena kemungkinan efek samping dan hanya 56% di antara kasus migren yang mengalami remisi.
bahaya "overmedication": Self-help relaxation diberikan olehDoberl dan kawan-
Kebanyakan anak-anak tidak memerlukan terapi kawan atas 160 remaja yang menderita tension headache (80%)
profilaktik; dan sampai saat ini belum ada obat profilaktik yang dan migren (20%) selama 5 minggu. Kepada mereka diberi
terbukti bermanfaat pada anak-anak. Beberapa yang pernah catatan harian nyeri kepala dan diikuti sampai 3 - 4 tahun.
dicoba ialah propranolo, timolol maleat, klonidin dan pizotifen; Hasilnya ialah 60% dari remaja tersebut merasakan
dan akhirakhir ini dilaporkan juga penggunaan flunarizin. pengurangan frekuensi nyeri kepala lebih dari 50%; lebih dari
F. Sorge dan kawan-kawan dari Italia memberikan 2,5 - 5 itu, penurunan frekuensi tersebut menetap walaupun training
mg. flunarizin untuk pencegahan migren pada anak selama 3 - telah selesai diberikan. Cara ini mungkin dapat merupakan
6 bulan. Mereka menyimpulkan bahwa obat tersebut sangat altematif bagi kasus nyeri kepala di kalangan remaja.
efektif sebagai profilaktik dan tidak/belum mengakibatkan efek Pembicara terakhir ialah G Lanzi dan kawan-kawan dari
samping. Italia yang mengetengahkan penelitiannya mengenai aspek
Pengobatan cara lain dikemukan oleh K. Winter dan R. psikopatologi penderita migren. Mereka menyimpulkan bahwa
Pothman dari Jerman Barat berupa transcutaneus electric nerve nyeri kepala cenderung menetap pada pasien-pasien yang
stimulation (TENS), dan oleh Doberl, Larsson dan Melba dari mempunyai mekanisme pertahanan yang kurang efektif dan
Swedia yang memberikan latihan self-help relaxation pada rapuh, dan pada pasien-pasien yang mempunyai defisit dalam
penderita nyeri dan remaja. hal kapasitas in-sight nya.
BRW

Kalender Kegiatan Ilmiah


23 – 28 Sept. 1990 – 8th Asian–Australasian Congress of Anaesthesiologists.
Seoul, Korea.
Secr.: Korean Society of Anaesthesiologists
+607 Korean Medical Assn Building
302–75 Ichon–dong, Yongsan–gu
Seoul 140, KOREA
7 – 12 Oct. 1990 – 22nd International Congress of International Confederation
of Midwives.
International Conference Centre, World Hall, Kobe, JAPAN
Secr.: Japanese Midwifery Assn.
1–8–21 Fujimi, Chiyoda–ku
Tokyo 102, JAPAN.
4 – 10 Nov. 1990 – 5th International Child Neurology Congress.
3rd Asian and Oceanian Congress of Child Neurology.
Nippon Convention Centre, Chiba, JAPAN
Secr.: Japanese Soc. of Child Neurology
2F Kobayashi Bldg.
10–1 Wakamatsu–cho, Shinjuku–ku,
Tokyo 162, JAPAN
5–10 Dec. 1990 – 9th Asia–Oceania Congress of Endocrinology
Jakarta, INDONESIA
Secr.: Div. of Metabolism and Endocrinology
Dept. of Internal Medicine
Faculty of Medicine, University of Indonesia.
Salemba 6, Jakarta Pusat 10403, INDONESIA

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 55


PELEPASAN EKSPOR PERDANA OBAT PRODUKSI P.T. KALBE FARMA
JAKARTA, 24 PEBRUARI 1990
Sejalan dengan program Pemerintah untuk meningkatkan RI di dalam dan di luar negeri dalam menerobos pasaran ekspor
ekspor nonmigas sebagai salah satu sumber devisa negara dan obat jadi amat positif. Hambatan ekspor yang hams ditanggu-
melihat peluang pasar obat jadi yang cukup menggembirakan langi adalah :
pada negara-negara di kawasan ASEAN, Timur Jauh, Asia • Diperlukannya pendaftaran obat di negeri yang mengimpor,
Selatan dan Afrika, maka pada awal tahun 1988 dintulailah yang dapat memakan waktu yang agak lama.
usaha-usaha pemasaran untuk menerobos pasaran ekspor.
Disadari bahwa untuk menerobos pasaran ekspor tidaklah
• Praktek dumping obat-obat substandar yang dilakukan oleh
eksportir negara tertentu.
mudah, mengingat persyaratan di negara tujuan ekspor yang
sangat ketat yang menyangkut persyaratan mutu obat yang • Subsidi ekspor oleh negara tertentu untuk meningkatkan
tinggi, persyaratan tata cara pembuatan obat yang baik (CPOB) ekspor mereka di samping menekan harga jual.
yang tinggi dengan kompetisi harga dan usaha-usaha Ekspor percobaan dari P.T. Kalbe Farma pada tahun 1989
pemasaran yang ketat. berjumlah kurang dari Rp. 100 juta dan pada tahun 1990
Dengan didukung oleh R & D yang modem, teknologi diharapkan berkembang lebih dari 10 x lipat. Upacara ekspor
produksi dan pengawasan mutu dengan peralatan-peralatan perdana untuk Srilanka, yang dilakukan pada tanggal 24
mutakhir serta usaha-usaha pemasaran yang gigih, pada tahun Pebruari 1990 adalah barn tahap pertama dari kontrak tahun
1988 berhasil dirintis terobosan ekspor percobaan pertama ke 1990. Di samping ekspor ke Srilanka juga dijalin suatu kerja
Singapura. Dipilihnya Singapura sebagai negara tujuan ekspor sama teknis antara P.T. Kalbe Farma dengan SPMC dalam
pertama bersifat strategis, mengingat persyaratan yang sangat bidang CPOB.
ketat dan hanya obat-obat modem dari perusahaan-perusahaan Kalbe Farma akan meneruskan rencana terobosan ekspor
farmasi multinasional dari Amerika, Eropa dan Jepang yang dan sedang dalam tahap penjajakan adalah Burma, Bangladesh
beredar di negara ini. Bila pasar Singapura berhasil diterobos, dan Amerika Serikat. Ekspor ke Amerika Serikat
maka akan terbuka peluang untuk memasarkan produk Kalbe dimungkinkan dengan sudah diperolehnya pengakuan US FDA
Farma di negara ASEAN lainnya. Pada tahun 1989 ekspor (Food and Drug Administration di Amerika Serikat) terhadap
percobaan dilanjutkan ke Singapura disamping : Hongkong, obat-obat OTC Kalbe Farma dan sedang dalam proses
Malaysia, Nigeria, Filipina, Sri Lanka dan Vietnam. Pada akhir pengakuan untuk obatobat Ethical yang diharapkan akan
tahun 1989 telah berhasil ditandatangani kontrak ekspor dalam diperoleh pada semester I 1990. Hal ini menunjukkan
skala besar dengan Sri Lanka. pengakuan internasional, terutama US FDA akan teknologi
Obat jadi adalah komoditi yang amat potensiil untuk diekspor proses obat jadi di Kalbe Farma yang telah, menerapkan prinsip
karena negara kita dianggap sebagai parlutan dalam bidang cara pembuatan obat yang baik/Good Manufacturing Practices.
CPOB oleh negara ASEAN khususnya dan negara-negara Asia/ P.T. Kalbe Farma merupakan satu-satunya industri farmasi
Afrika yang lain. Bantuan yang diberikan instansi pemerintah PMDN yang mendapat pengakuan dari US FDA.

Pelepasan ekspor perdana obat produksi P.T. Kalbe Farma yang


dilangsungkan pada hari Sabtu, 24 Februari 1990 ini secara resmi dilepas Drs. Slamet Soesilo (Dir. Jen. POM), Dr. B. Setiawan dan Bapak J. R. Kosasih.
oleh Menteri Kesehatan R.I., Dr. Adhyatma,-MPH. dengan.menandatangani Hadir dalam acara pelepasan ekspor perdana ini para Pejabat teras dari
prasasti dan penyiraman air kendi pada kendaraan yang mengangkut Departemen Kesehatan R.I, G.P., Farmasi Indonesia, pihak Licensor Supplier
container untuk segera dikapalkan ke Sri Lanka dengan didampingi Dula dan para undangan lainnya.
Besar Srilanka, Mr. Jaya Peri Sundaram,

56 Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990


HUMOR
ILMU KEDOKTERAN

SEMANGAT 45 ROKOK DAN UMUR


Seorang lelaki bekas pejuang ke- Seorang Profesor sedang memberikan ceramah pada hari Bebas Tembakau Se-
lihatan bersungut-sungut setelah ke dunia di depan para mahasiswanya. "Saudara-saudara" kata Profesor tersebut. "Me-
luar dari sebuah apotek. Gerutunya rokok adalah kebiasaan buruk yang dapat mengganggu kesehatan, seorang perokok
dalam hati, "Kalau 2–5 tersedia, kenapa pada umumnya tidak dapat menjadi tua". "Setuju Prof, kalau begitu orang yang
4–5 tidak." merokok tentunya akan awet muda" celetuk seorang mahasiswa yang kebetulan
Yon perokok berat.
Bandung "Bukan begitu maksud saya" jawab Profesor. "Seorang perokok tidak dapat
menjadi tua karena sebelum sempat menjadi tua, ia telah meninggal terlebih dahulu".
ATK
DALIH SANG PASIEN Salatiga
Seorang dokter memberi advis ke- HAFAL
pada pasiennya. "Di samping berobat Di poliklinik mata suatu rumah sakit militer, datang seorang prajurit untuk di-
Anda harus beristirahat dan rajin- periksa ketajaman penglihatannya.
rajinlah kontrol secara teratur !" Dokter : "Coba saudara baca tulisan yang ada di papan depan yang paling atas!"
Dengan kalem si pasien menjawab Prajurit : "E!"
"Kalau saya istirahat berarti saya tidak Dokter : "Yang di bawahnya itu!"
bisa bekerja. Kalau saya tidak bekerja, Prajurit : "F, B, M, A, W!"
dari mana saya dapat duit untuk mem- Dokter : "Bagus, yang lebih kecil lagi!"
bayar dokter yang mahal-mahal be- Prajurit : "M, N, E, P, 0, B, Q, R, S, D!"
gini .... ?!" Dokter : "Baik sekali, saya bangga akan penglihatan anda yang begitu tajam. Coba
Dr. Ketut Ngurah yang di bawahnya sekali!"
Lab. Parasitologi FK Unud, Prajurit : "PRODUKSI PABRIK ALAT OPTIK, JAKARTA TIMUR, Co. Ltd,
Denpasar INDONESIA!"
Dokter : "Lho kok yang itu, bagaimana mungkin? Mata normal saja belum tentu
BAGIAN YANG BERHARGA dapat membaca dalam jarak sekian."
Anda tabu bahwa bagi seorang Prajurit : "Jelas saja, dok! Semua bacaan yang ada di papan itu telah saya hafal luar
bangsawan baik dari Solo atau Jogya, kepala!"
mungkin bagian tubuhnya yang paling Any S.O.S.
berharga ialah . . . . jempolnya (ibu Jakarta
jarinya), karena hampir segala sikap TIDAK SATUNYA KATA DENGAN PERBUATAN
dan tindak-tanduknya harus disertai Seorang gadis datang untuk berobat ditemani oleh seorang pemuda yang agaknya
lambaian jempolnya, bahkan kalau adalah pacarnya. Setelah diperiksa, dokter bertanya kepada si gadis apakah mau di-
mungkin mau di . . . asuransikan ke .... suntik. Mulanya gadis itu agak enggan, namun sang pemuda dengan suara memelas
Asuransi Tanggung Jempol .. . herkata : "Suntik dong, enggak apa-apa, kan biar cepat sembuh !", akhirnya mau
Juvelin juga disuntik.
Jakarta Minggu depannya si pemuda datang sendiri untuk berobat. Setelah diperiksa
dokter kembali bertanya apakah mau disuntik, si pemuda dengan wajah ngeri berkata:
"Jangan, dok, takut …………….. !"
Dr. Dharma K. Widya
Jakarta

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 57


ABSTRAK
NIFEDIPIN MEMPERLAMBAT ATEROSKLEROSIS KEMATIAN AKIBAT KANKER
INTACT (International Nifedipine Trial on Anti-atherosclerotic Therapy) – suatu Kanker adalah salah satu dari tiga
studi mengenai nifedipin, telah menunjukkan bahwa obat tersebut dapat memper- penyebab kematian utama di kalangan
lambat terbentuknya aterosklerosis. usia produktif (15–55 tahun), baik di
425 pasien koroner ringan dan sedang menerima 80 mg. nifedipin perhari atau negara-negara maju maupun yang
plasebo selama 3 tahun; pada akhir percobaan terdapat 282 pasien yang dapat di- sedang berkembang. Dua penyebab ke-
evaluasi (134 nifedipin dan 148 plasebo). matian yang lain ialah kecelakaan dan
Setelah diameter lumen arteri koroner (yang diukur melalui angiografi bantuan penyakit kardiovaskuler. Kasus-kasus
komputer) dibandingkan antara sebelum dan sesudah percobaan, ternyata ditemukan kanker di negara-negara berkembang
rata-rata 0,58 lesi baru/pasien pada kelompok nifedipin, dan rata-rata 0,80 lesi barn/ makin meningkat, mendekati angka di
pasien pada kelompok plasebo. Bila diperinci lebih lanjut, nifedipin mengurangi lesi negara maju terutama akibat peningkatan
baru sebesar 40% di cabang left anterior descending dan 38% pada cabang harapan hidup, berkurangnya penyakit-
circumflex; pada cabang kanan, pengurangan yang terlihat tidak bermakna. Meskipun penyakit lain dan meningkatnya
demikian, nifedipin tidak berpengaruh pada lesi yang telah ada sebelumnya. penggunaan tembakau.
Scrip , 1989; 1450: 28 Kasus kanker yang paling sering di-
brw jumpai ialah kanker lambung (670.000
kasus baru tiap tahun), kahker paru
(660.000) dan kanker payudara
(570.000). Dan evaluasi yang dilakukan
HCT DAN VERAPAMIL PADA HIPERTENSI di sembilan negara (Amerika Serikat,
Suatu studi telah dilakukan untuk memtandingkan efektivitas hidroklorotiazid Australia, Cili, Finlandia, Inggris,
(HCT) dengan verapamil pada hipertensi. Jepang, Perancis, Polandia dan Swedia)
Pasien dengan tekanan diastolik 95–120 mmHg menerima 12,5 mg. HCT atau 120 terlihat bahwa mortalitas akibat kanker
mg. verapamil lepas–lambat; bila pada akhir minggu ke empat tekanan diastoliknya lambung menurun tajam karena per-
masih ) 90 mmHg, ditingkatkan menjadi 25 mg. HCT atau 240 mg. verapamil. baikan teknik pengawetan makanan dan
Pada akhir minggu ke delapan, 76 di antara 178 (43%) yang menerima HCT ber- perubahan diet. Kanker paru meningkat
hasil mencapai target diastolik ( 90 mmHg sedangkan pada kelompok verapamil ter- di banyak negara, terutama di kalangan
dapat 101 dari 175 (58%) pasien yang mencapai target serupa. Setelah 48 minggu, wanita, dan agaknya akan tetap, dominan
kelompok verapamil lebih banyak yang mencapai target terapi, pada dosis lebih sampai akhir abad ini. Sampai saat ini
rendah dan jarang memerlukan terapi kombinasi; lagipula penambahan verapamil barn program tobacco-control di
pada HCT lebih efektif daripada penambahan HCT pada verapamil. Finlandia dan Inggris yang berhasil
BMJ 1989; 299 : 881-2 menununkan angka kejadian kanker paru
Hk di kalangan pria. Kanker payudara juga
makin meningkat di banyak negara; hal
ini sebenarnya dapat dicegah dengan
meningkatkan kesadaran masyarakat
OBATFLU? akan deteksi dini dan pengobatan segera
Suatu senyawa nukleosid baru – 7–thia–8–oxoguanosin – menunjukkan aktivitas_ melalui program pendidikan masyarakat.
proteksi terhadap coronavirus dan encephalomyocarditis virus pada rodent yang World Health Forum 1989; 10 : 284-5
menderita common cold. Senyawa tersebut bekerja mengaktivasi sel–b dan natural- Hk
killer–cells, serta menginduksi kerja interferon. DAYA PROTEKSI ASI
Pemberian secara intranasal dan intraperitoneal terhadap tikus-tikus yang ter- Sekelompok ilmuwan di Inggris telah
infeksi coronaviius telah mengurangi mortalitas. Percobaan klinik telah dilakukan meneliti hubungan antara pemberian air
terhadap pasien common cold, tetapi hasilnya belum dapat disimpulkan sekarang. stisu ibu (asi) dengan angka kesakitan
Scrip 1989; 1452: 24 bayi pada dua tahun pertama, khususnya
brw atas penyakit gastrointestinal. Dan 750
bayi yang diselidiki, 618 dapat dinilai
* Para pembaca yang berminat mendapatkan naskah lengkapnya dalam jumlah terbatas - dapat diminta pada akhir tahun ke dua.
melalui alamat redaksi.

58 Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990


Temyata bayi yang mendapat asi TERAPI WARFARIN
lebih dari 13 minggu, secara bermakna Evaluasi atas 82 pasien yang mendapatkan terapi warfarin jangka panjang me-
menderita penyakit gastrointestinal lebih nunjukkan bahwa pasien yang berusia lebih muda cenderung lebih sulit mencapai
sedikit daripada yang mendapat susu dosis stabil; selain itu penyesuaian dosis lebih sexing harus dilakukan pada kasus-
botol; pengurangan angka kesakitan ini kastis emboli paru dan trombosis vena dalam.
tetap terlihat meskipun bayi-bayi Bila pasien telah mencapai dosis stabil selama tiga bulan, umumnya tidak lagi
tersebut sudah tidak lagi mendapat asi, dijumpai komplikasi ataupun memerlukan perubahan dosis.
dan disertai pula dengan rendahnya Pharmacotherapy 1989; 9 (4) : 207–13
angka perawatan di rumah sakit. Infeksi Brw
saluran pernafasan juga tercatat lebih
rendah pada kelompok asi yang berusia OBAT RINITIS
0-13 minggu dan 40-52 minggu. Beberapa obat yang dapat digunakan pada rinitis ialah :
Meskipun demikian tidak tercatat
Dosis
perbedaan yang bermakna dalam hal
infeksi mata, telinga, mulut atau kulit, Anak-anak Dewasa
kolik, eksim dan nappy rash.
BMJ 1990; 300 : 11-6 Oral
Hk Astemizol 0,2 mg/kg. bb/24 jam 10 mg. sekali sehari
Azatadin 0,5 – 1 mg bid 1 mg. bid
KONSUMSI ROKOK Bromfeniramin 0,35 mg/kg. bb/24 jam 8 – 12 mg. bid
Merokok bertanggung jawab ter- Klorfeniramin 0,35 mg/kg. bb/24 jam 8 – 12 mg. bid
hadap sedikitnya 90% kasus kanker paru. Loratadin 10 mg. sekali sehari
75% kasus bronkitis kronik dan Pseudoefedrin HCl 15 – 30 mg. tid. 60 mg. tid.
emfisema dan 25% kasus penyakit Setrizin 10 mg. sekali sehari
jantung iskemik di kalangan pria berusia Terfenadin 3–6 th. – 15 mg bid. 60 mg. bid atau
kurang dari 65 tahun. Meskipun demi- 7–12 th. – 30 mg bid. 120 mg. sekali sehari
kian konsumsi rokok dunia cenderung
tetap meningkat, terutama di negara-
negara sedang berkembang. Topilcal
Konsumsi rokok dunia hanya me- Oksimetazolon HC1 2–3 semprotan/tetes
ningkat sekitar 7,1% selama 15 tahun 1–3 kali/hari
(1970-1985); angka ini terutama berasal Sodium kromoglikat 1 semprotan 4–6 kali/
dari peningkatan konsumsi rokok di 2% hari
negara-negara berkembang : peningkatan Xilometazolon HC1 1–2 semprotan/8–12jam
sebesar 42% di Afrika, 24% di Amerika 2–3 tetes/8–12 jam
Latindan 22% di Asia. Sebaliknya
terdapat penurunan sebesar 25% di
Drugs 1989; 38 (2) : 313–31.
Inggris, 9% di Canada dan Amerika
Brw
Serikat, dan 6% di Australia dan Selan-
dia Baru.
Selain itu, juga dicatat adanya pe-
nurunan jumlah perokok di negaranegara
ANEURISMA AORTA
maju : Di Inggris, perokok di kalangan
Studi yang dilakukan atas pasien-pasien aneurisma aorta di Rochester, Minn. AS.,
pria turun dari 65% menjadi 45%,
menunjukkan bahwa diameter aneurisma rata-rata bertambah 0,21 cm. pertahun.
sedangkan di kalangan wanitanya turun
Angka kejadian ruptur ialah 6% setelah 5 tahun dan 8% setelah 10 tahun; meski-
dari 45% menjadi 34%. Di Amerika
pun demikian, bila dilihat dari diameter aneurismanya, pasien dengan diameter
Serikat, perokok pria turun dari 54%
kurang dari 5 cm tidak ada yang mengalami ruptur, sedangkan bila lebih dari 5 cm,
menjadi 29%, sedangkan perokok wanita
25% mengalami ruptur dalam 5 tahun.
dari 36% menjadi hanya 24%.
N Engl J Med. 1989; 321: 1009–14
World Health Forum 1989; 10 :185
Hk
Hk

Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990 59


Ruang Penyegar dan
Penambah Ilmu Kedokteran
Dapatkah saudara menjawab
pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?
1. Serotipe virus Dengue yang cenderung menyebabkan c) Kenaikan Ht > 20%.
gejala yang berat ialah serotipe : d) Hipoalbuminemia.
a) D1 e) Tanpa kecuali.
b) D2 6. Pernyataan yang salah mengenai Japanese Encephalitis :
c) D3 a) Vektornya nyamuk Culex.
d) D4 b) Virus penyebabnya termasuk golongan Flavivirus.
e) Semua sama berat. c) Salah satu gejala klinisnya ialah gejala ekstrapiramidal.
2. Demam Berdarah Dengue yang mulai memperlihatkan d) Cairan otak penderitanya keruh.
tanda-tanda renjatan termasuk dalam derajat : e) Semua benar.
a) 1 7. Toxoplasmosis :
b) 2 a) Dapat menyebabkan abortus.
c) 3 b) Dapat menimbulkan gejala ensefalitis.
d) 4 c) Dapat ditularkan oleh kucing peliharaan.
e) 5 d) Dapat ditularkan melalui daging setengah matang.
3. Jenis perdarahan yang dapat diderita oleh penderita e) Semua benar.
Demam Berdarah Dengue ialah : 8. Obat yang tidak digunakan pada rinitis :
a) Perdarahan gusi. a) Azatadin.
b) Hematemesis. b) Loratadin.
c) Epistaksis. c) Ranitidin.
d) Melena. d) Terfenadin.
e) Semua benar. e) Pseudoefedrin.
4. Tipe HLA yang diduga berkorelasi positif dengan antigen
DHF ialah :
a) HLA-A2
b) HLA - B
c) HLA-B 13
d) HLA - B 17
e) Semua salah.
5. Pemeriksaan laboratorium yang mendukung diagnosis
Dengue ialah sebagai berikut, kecuali :
a) Uji turniket mendapat 50 bercak dalam 1 inci persegi.
b) Trombosit 100.000/mi.

60 Cermin Dunia Kedokteran No. 61, 1990

You might also like