You are on page 1of 2

Pemerintahan Yang Demam Satgas Oleh : Dinoroy M.

Aritonang Beberapa waktu lalu pemerintah membentuk tiga jenis institusi temporer baru yang berbentuk satuan-satuan tugas (Satgas). Menurut informasi satgas-satgas tersebut khusus bertugas untuk mengatasi persoalan terkait keberlanjutan krisis keuangan yang terjadi di Eropa dan Amerika Serikat. Satuan tugas tersebut antara lain satgas makro moneter, satgas sektor riil, dan satgas perlindungan sosial (Media Indonesia, 11/12/2012). Sebelumnya juga, pemerintah sudah pernah membentuk institusiinstitusi seperti ini baik yang menggunakan nama satgas atau nama-nama lainnya, seperti komite atau komisi. Maraknya lembaga-lembaga nonstruktural seperti ini tentu saja mengundang reaksi dari berbagai pihak yang tidak setuju dengan keberadaannya, selain mengakibatkan semakin kompleks dan rumitnya rantai birokrasi juga menjadi beban anggaran negara. Politik Penghindaran Pemerintahan SBY-Boediono tampaknya amat gemar berkerja dengan institusi-institusi model seperti ini. Bukan tanpa alasan jika pemerintah saat ini lebih memilih membentuk institusi baru daripada memaksimalkan yang sudah ada. Salah satu sebab yang patut dipertimbangkan adalah tidak berjalannya rantai koordinasi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan yang berada di bawah kendali para menteri SBY. Persoalan tersebut bisa saja disebabkan oleh konflik politik yang sudah lama berada dalam lingkaran partai-partai koalisi. Sekretariat Bersama (Sekber) koalisi yang dibentuk tidak dapat lagi diandalkan untuk memaksimalkan peran dan kinerja dari para menteri yang duduk dalam kabinet. Ditambah lagi banyak perdebatan dan isu politik yang sebetulnya lebih sering melibatkan pihak-pihak dalam lingkaran koalisi. Ketidakcocokan tersebut boleh jadi salah satu sebab utama bagi SBY-Boediono untuk menghindarkan diri dari konflik-konflik politik (political avoidance) yang dianggap tidak perlu akibat kebijakankebijakan yang diambil tidak sejalan dengan keinginan dan kepentingan partai-partai koalisi lainnya. Belum lagi jika mempertimbangkan asumsi dari beberapa lembaga survei dan pengamat yang pernah menyatakan bahwa tahun 2012 adalah tahun dimana persaingan atau kontestasi politik semakin meningkat menjelang Pilpres 2014. Oleh karena itu amat masuk akal jika SBY-Boediono mungkin dianggap lebih nyaman bekerja dengan institusi-institusi non-struktural seperti ini, selain dapat memfokuskan koordinasi antar menteri atau

lembaga terkait juga dapat mengurangi gesekan politik akibat kontestasi yang terjadi di tubuh koalisi pemerintahannya. Presiden dan Wapres pun dapat bekerja dengan lebih tenang sebab tidak harus menghadapi partai politik yang berada di belakang para menterinya dan yang berada di parlemen (DPR), akibatnya kebijakan yang diambil dapat diamankan. Persoalan Pengawasan Hadirnya satgas-satgas baru dalam jejaring pemerintahan bukan tanpa masalah. Sebab pembentukan lembaga negara dengan bentuk apapun harus dilakukan sesuai dengan wewenang yang dimiliki oleh Presiden dan prosedur yang diatur dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya. Pembentukan kelembagaan negara tidak hanya dapat dilihat dari segi efektifitas penyelenggaraan pemerintahan tetapi harus juga dilihat dalam konteks ketatanegaraan dan pengawasan. Institusi seperti satgas biasanya dibentuk melalui Keputusan Presiden sebagai perwujudan dari kewenangan kepala pemerintahan yang dimiliki oleh Presiden. Hal tersebut memang diatur dalam UUD 1945 Pasal 4 ayat (1). Namun jika dilihat secara legalistik dalam konstitusi, maka pranata yang dimaksud adalah pembantu Presien yang duduk sebagai menteri negara yang fungsinya sebagai pelaksana kebijakan (policy executing) bukan pada lembaga-lembaga jenis baru seperti satgas. Selain itu, pembentukan institusi-institusi seperti satgas dapat menghindarkan Presiden dari pengawasan parlemen (DPR). UUD 1945 menyatakan bahwa DPR berwenang untuk mengawasi kinerja (performance) dan kebijakan yang diambil oleh Presiden dan jajaran menterinya dalam kabinet. Persoalannya, apakah satgas termasuk institusi yang bisa diawasi oleh DPR apabila tugas, fungsi, dan para pejabatnya adalah murni bentukan Presiden sebagai kepala pemerintahan dan tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan manapun. Kontestasi politik dalam hubungan antara parlemen dan eksekutif adalah hal yang pasti (conditio sine qua non) meskipun terkadang amat buruk. Namun menghindarkan diri dari pengawasan politik baik oleh parlemen ataupun lembaga terkait lainnya juga merupakan persoalan, sebab tanpa pengawasan, eksekutif dapat berubah menjadi lembaga otoriter. Publik tidak akan memperoleh informasi apapun dari pemerintah dan tidak bisa mengawasinya, akibatnya pemerintah menjadi tidak akuntabel. Oleh karena itu, perlu untuk tetap mengkritisi pembentukkan lembaga-lembaga baru seperti satgas, selain wajib mempertanyakan kedudukannya dalam konteks ketatanegaraan dan akibat hukum dari kebijakannya, juga apakah efektif keberadaanya dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sebab bagaimanapun juga tiada kewenangan tanpa pengawasan.*****

You might also like