You are on page 1of 5

Sejarah Premanisme dan Perkembangannya di Indonesia

Arti premanisme menurut bahasa.


Beberapa saat yang lalu kita sering melihat di televisi tentang penangkapan para preman-
preman di berbagai kota. Nama preman di anggap sebagai orang yang meresahkan
masyarakat. Sebenarnya apa sih premanisme? Premanisme (berasal dari kata bahasa
Belanda vrijman = orang bebas, merdeka dan isme = aliran) adalah sebutan pejoratif yang
sering digunakan untuk merujuk kepada kegiatan sekelompok orang yang mendapatkan
penghasilannya terutama dari pemerasan kelompok masyarakat lain. Atau dalam bahasa
Inggris “freeman” yang artinya manusia bebas. Di beberapa kamus bahasa Indonesia
akan kita temukan paling tidak 3 arti kata preman, yaitu: 1. swasta, partikelir, non
pemerintah, bukan tentara, sipil. 2. sebutan orang jahat (yang suka memeras dan
melakukan kejahatan) 3. kuli yang bekerja menggarap sawah. Namun khusus kata
premanisme, dipakai untuk arti kata yang kedua, yaitu sifat-sifat seperti orang yang suka
memeras dan melakukan kejahatan, bisa juga disebut sifat semau gue.

Fenomena preman di Indonesia mulai berkembang hingga sekarang pada saat ekonomi
semakin sulit dan angka pengangguran semakin tinggi. Akibatnya kelompok masyarakat
usia kerja mulai mencari cara untuk mendapatkan penghasilan, biasanya melalui
pemerasan dalam bentuk penyediaan jasa yang sebenarnya tidak dibutuhkan.
Contoh:
• Preman di terminal bus yang memungut pungutan liar dari supir-supir, yang bila
ditolak akan berpengaruh terhadap keselamatan supir dan kendaraannya yang
melewati terminal.
• Preman di pasar yang memungut pungutan liar dari lapak-lapak kaki lima, yang
bila ditolak akan berpengaruh terhadap dirusaknya lapak yang bersangkutan.
Sering terjadi perkelahian antar preman karena memperebutkan wilayah garapan yang
beberapa di antaranya menyebabkan jatuhnya korban jiwa.
Preman di Indonesia makin lama makin sukar diberantas karena ekonomi yang semakin
memburuk dan kolusi antar preman dan petugas keamanan setempat dengan mekanisme
berbagi setoran.Dengan adanya kongkalikong dengan para petugas , para preman dapat
melenggang dengan bebas.

Premanisme Sudah Marak sejak Zaman Jawa Kuno


Dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV di Cipanas, 1986, dibahas oleh Boechari
(alm)seorang epigraf (tulisan kuno) tentang dunia perbanditan melalui data prasasti.
Fenomena kekerasan dalam masyarakat Jawa kuno dapat diketahui melalui kajian
arkeologi dari sumber-sumber tertulis berupa prasasti, lontar, dan naskah-naskah. Adapun
penggambaran dalam beberapa panil relief candi terdapat di Candi Mendut di Jawa
Tengah serta Candi Surawana dan Rimbi di Jawa Timur.
Pemerintah kini sedang disibukkan oleh ulah para preman yang sering mengganggu
ketenteraman dan segala bentuk ketidaknyamanan bagi masyarakat. Polisi sebagai
pengayom masyarakat harus bekerja keras dan menumpas habis segala bentuk kejahatan.
Namun, usaha itu akan sia-sia jika tidak didukung sepenuhnya oleh masyarakat.
Gambaran ini juga terjadi pada masa pemerintahan kerajaan besar seperti Sriwijaya,
Kediri, Singosari, dan Majapahit.
Pada masa Jawa kuno, serangkaian undang-undang dan hukum berupa pemberian sanksi
yang keras diberlakukan tidak saja pada pelaku kejahatan, tetapi juga warga yang desanya
sebagai tempat kejadian perkara (TKP). Sanksi yang diberikan kepada desa-desa tersebut
berupa denda dan pajak yang sangat memberatkan. Oleh karena itu, penduduk desa
membuat pos-pos keamanan untuk meminimalisir kejahatan. Walaupun upaya itu telah
dilakukan, masih sering terjadi karena faktor alam dan lingkungan berupa hutan lebat dan
terisolirnya dari pusat pemerintahan.
Naskah-naskah hukum (awig-awig) banyak ditemukan di Bali dan ditulis dalam bahasa
Jawa kuno dari masa pasca-Majapahit. Naskah yang ditulis dan diterjemahkan oleh para
sastrawan tersebut diacu dari institusi kerajaan di India yang diperlukan dalam
menjalankan pemerintahan.
Dapat dibayangkan bahwa naskah-naskah hukum yang digunakan oleh para pejabat
kehakiman dari masa klasik (Hindu-Buddha) tidak semuanya ditulis di atas logam,
tembaga, atau perunggu karena tidak praktis dan terlalu berat. Biasanya ditulis di atas
ripta berupa daun lontar atau karas. Setelah berpuluh-puluh tahun ripta tersebut dapat
rusak dan disalin kembali serta dilakukan perubahan, penambahan, atau pengurangan
pasal-pasal sesuai dengan perubahan bahasa dan perkembangan masyarakat.
Adanya naskah hukum tadi memberikan gambaran yang jelas bahwa masyarakat Jawa
kuno bukanlah suatu masyarakat yang senantiasa aman, tenteram, dan damai, jauh dari
segala tindak kejahatan.

Kejahatan dari masa ke masa


Sumber-sumber hukum yang tertulis dalam prasasti abad ke-9-10 Masehi di Jawa Tengah
pada masa Dyah Balitung dan naskah pada masa pasca-Majapahit abad ke-13-15 Masehi
memuat tentang hukum dan kerawanan-kerawanan yang pernah terjadi. Beberapa di
antaranya adalah sebagai berikut.
Pertama, prasasti Balingawan berangka tahun 891 M dari bahan batu yang ditulis
berlanjut pada bagian belakang sebuah arca Ganesa (disimpan di Museum Pusat Jakarta).
Prasasti ini memuat penetapan sebidang tanah di Desa Balingawan menjadi sima (daerah
perdikan/otonom). Prasasti itu lahir karena rakyatnya ketakutan, menderita, dan melarat
lantaran senantiasa harus membayar pajak denda atas rah kasawur (darah tersebar
berceceran) dan wankay kabunan (mayat kena embun). Hal itu terjadi karena dalam
hukum Jawa kuno desa-desa yang menjadi tempat berlangsungnya peristiwa
kriminal—walaupun peristiwanya terjadi di tempat lain, tetapi mayatnya ditemukan di
desa tersebut—maka desa yang bersangkutan (TKP) mendapat sanksi keras harus
membayar denda/pajak kepada raja. Kenapa peristiwa semacam itu bisa terjadi? Hal
tersebut berkaitan erat dengan sistem dan struktur pemerintahan desa yang bergantung
pada hierarki pemerintahan di atasnya sehingga untuk pengamanan desa menjadi kurang
efektif. Akhirnya, permohonan desa tersebut dikabulkan. Desa Balingawan menjadi
sebuah sima, keamanan di jalan besar terjamin, rakyat desa dan dukuh-dukuhnya tidak
lagi merasa ketakutan.
Kedua, prasasti Mantyasih (907 M) yang ditulis dalam tiga versi berbeda, dua di
antaranya ditulis di atas lempengan perunggu dan satu di atas batu, tetapi yang terlengkap
yang ditulis di atas lempengan perunggu. Isi prasasti berkisar tentang penetapan sima dari
Raja Rakai Watukura Dyah Balitung kepada 5 patih yang telah berjasa mengerahkan
rakyat Desa Mantyasih pada waktu diselenggarakan pesta perkawinan raja. Pada suatu
ketika, rakyat desa merasa ketakutan oleh ulah para penjahat dan mereka tidak dapat
mengatasinya. Kelima patih diberi tugas untuk menumpas dan menjaga keamanan di
jalan. Daerah ini pada masa Jawa kuno terletak di sekitar Gunung Susundara (Sundara)
dan Gunung Sumbing di wilayah Temanggung, Jawa Tengah.
Ketiga, prasasti Kaladi (909 M). Prasasti ini juga bermasa dari Raja Rakai Watukura
Dyah Balitung. Isinya tentang pemberian sima atas permohonan pejabat daerah yang
bernama Dapunta Suddhara dan Dapunta Dampi karena ada hutan arapan yang
memisahkan (desa-desa) itu menyebarkan ketakutan. Mereka senantiasa mendapat
serangan dari Mariwun yang membuat para pedagang dan penangkap ikan merasa resah
dan ketakutan siang dan malam. Maka diputuskan bersama, hutan itu dijadikan sawah
agar penduduk tidak lagi merasa ketakutan.
Keempat, prasasti Sanguran (928 M). Berisikan beberapa hal yang menyangkut
kejahatan, di antaranya: wipati wankay kabunan (kejatuhan mayat yang terkena embun),
rah kasawur in dalan (darah yang terhambur di jalan), wakcapala (memaki-maki),
duhilatan (menuduh), hidu kasirat (meludahi), hastacapala (memukul dengan tangan),
mamijilakan turuh nin kikir (mengeluarkan senjata tajam), mamuk (mengamuk),
mamumpan (tindak kekerasan terhadap wanita), ludan (perkelahian?), tutan (mengejar
lawan yang kalah?), danda kudanda (pukul-memukul), bhandihaladi (kejahatan dengan
menggunakan kekuatan magis).
Kelima, naskah Purwwadhigama. Sistem pengadilan zaman klasik membagi segala
macam tindak pidana dan perdata ke dalam 18 jenis kejahatan yang disebut
astadasawyawahara. Penulisan ke-18 hukum tersebut tidak selalu lengkap, kadang hanya
garis besarnya, mungkin beberapa hal yang dianggap penting/sesuai dengan kondisi saat
itu.
Hukum tersebut berisikan: tan kasahuranin pihutan (tidak membayar lagi utang), tan
kawahanin patuwawa (tidak membayar uang jaminan), adwal tan drwya (menjual barang
yang bukan miliknya), tan kaduman ulihin kinabehan (tidak kebagian hasil kerja sama),
karuddhanin huwus winehakan (minta kembali apa yang telah diberikan), tan kawehanin
upahan (tidak memberi upah atau imbalan), adwa rin samaya (ingkar janji),
alarambaknyan pamalinya (pembatalan transaksi jual-beli), wiwadanin pinanwaken
mwan manwan (persengketaan antara pemilik ternak dan penggembalanya), kahucapanin
watas (persengketaan mengenai batas-batas tanah), dandanin saharsa wakparusya
(hukuman atas penghinaan dan makian), pawrttinin malin (pencurian), ulah sahasa
(tindak kekerasan), ulah tan yogya rin laki stri (perbuatan tidak pantas terhadap suami-
istri), kadumanin drwya (pembagian hak milik atau pembagian warisan), totohan prani
dan totohan tan prani (taruhan dan perjudian).
Dari 18 aturan hukum pidana tersebut, ada tiga yang sedang marak terjadi saat ini, seperti
ulah sahasa (tindak kekerasan), ulah tan yogya rin laki stri (perbuatan tidak pantas
terhadap suami istri), serta totohan prani dan totohan tan prani (taruhan dan perjudian).

Relief candi
Beberapa candi yang memuat adegan kekerasan dapat dilihat di Candi Mendut, Jawa
Tengah, bercorak Buddhis. Pada tangga masuk di sisi selatan candi peninggalan abad ke-
9-10 M itu terdapat panil relief yang menggambarkan dua figur, salah satunya memegang
gada/parang (?), sedangkan figur yang satunya memegang alat semacam perisai.
Di Jawa Timur, panil-panil relief yang menggambarkan kekerasan dapat dilihat pada
Candi Surawana (Pare, Kediri), merupakan peninggalan sekitar abad ke-14 M, bercorak
keagamaan Buddhis. Pada bagian kaki candi sisi utara terlihat relief yang
menggambarkan adegan kekerasan/perkelahian, yakni seorang tokoh sedang memilin
kepala seseorang. Sementara pada Candi Rimbi di Bareng, Jombang, (peninggalan abad
ke-13-14 M), pada bagian kaki candi, di sisi selatan, terdapat gambar dua pria sedang
berkelahi di tengah hutan dengan menggunakan kain cancut.
Fenomena masyarakat Jawa kuno tentang dunia kekerasan tidak terlepas dari kondisi
sosial, ekonomi, dan politik. Para penguasa pada masa itu sudah mengindahkan aturan-
aturan dan nilai-nilai hidup yang harmonis berupa pandangan hidup berdasarkan
kepercayaan/agama. Aturan-aturan tersebut disosialisasikan dengan cara pembuatan
prasasti dan gambar-gambar pada relief candi yang sarat akan pesan-pesan moral dan
etika, sebagai tuntunan hidup manusia.
Walaupun peraturan dengan segala sanksi hukum begitu kerasnya, bahkan desa-desa
dalam wilayah kekuasaan kerajaan tertentu juga harus berperan aktif dalam menjaga
ketertiban, tetapi masih sering terjadi tindak kekerasan. Apalagi jika penegakan hukum
tidak diimbangi dengan disiplin dan dedikasi dari aparatur pemerintah beserta kesadaran
seluruh masyarakatnya, niscaya tindak kekerasan masih sering terjadi di mana-mana,
bahkan secara kualitas dan kuantitas semakin merebak di negeri ini. (Sumber : TM Hari
Lelono, Peneliti pada Balai Arkeologi Yogyakarta)

Perkembangan Premanisme Zaman Sekarang


Kini premanisme menjadi lebih komplek. Perkembangannya hampir meliputi berbagai
bidang. Dari birokrasi, agama, hukum, hingga dalam dunia maya banyak sekali tindakan-
tindakan premanisme. Dalam birokrasi, kita sering sekali diperas oleh oknum-oknum
birokrat yang tidak bertanggung jawab. Dari mulai tingkat desa hingga tingkat pusat
selalu ada saja tindakan premanisme. Para pembaca mungkin pernah mengalaminya
sendiri, ketika membuat surat keterangan tidak mampu di kantor desa atau ketika
membuat kartu kuning (buat ngelamar kerja) di Disnaker selalu saja masyarakat dipaksa
untuk menyerahkan sejumlah uang. Padahal itu sudah menjadi kewajiban mereka para
birokrat untuk melayani masyarakat, tapi malah sebaliknya. Dalam lingkungan agama
sering kita lihat di televisi tindakan dari organisasi yang mengatasnamakan Islam seperti
FPI melakukan tindakan anarkisme yang sangat identik dengan premanisme. Atau dalam
dunia hukum, banyak sekali pemerasan oleh oknum-oknum polisi, jaksa, maupun hakim
dalam menghadapi suatu kasus tertentu. Di jalur pantura, banyak sekali para oknum polisi
yang memeras para supir truk di jalan-jalan. Dan yang sekarang marak sekali adalah
premanisme dalam dunia maya. Ketika Amrozi Cs akan di eksekusi banyak sekali
ancaman-ancaman bom dalam dunia maya bersebaran. Bukankan itu termasuk tidakan
premanisme? Ya, benar sekali.

Penumpasan Premanisme
Sebenarnya Undang-undang mengenai meremanisme dan tindakan kekerasannya sudah
banyak, akan tetapi sangat sulit ditegakkan. Karena banyaknya “kongkalikong” para
petugas hukumnya. Untuk itu, sebagai langkah utama untuk memberantas premanisme
adalah dengan membenahi sikap para petugas hukum yang tidak professional.
Premanisme pada dasarnya disebabkan oleh lemahnya tingkat ekonomi masyarakat. Oleh
karena itu, perlu penciptaan tenaga kerja yang memadai untuk mengurangi
pengangguran. Apabila para pengangguran berkurang, niscaya tindakan premanisme juga
akan berkurang.

You might also like