You are on page 1of 24

KAMPUNG KUTA DALAM TEROPONG ANTROPOLOGI KESEHATAN

Disusun sebagai Laporan Hasil Observasi Kampung Kuta tanggal 11-13 Mei 2010 Oleh : Rahmad Efendi 170510080013

Dwi Rahma Safitri 170510080033 Januar Firmansyah 170510080010 Tuflicatul Ilmiyah M. Arij Syauqi 170510080006 170510080025

JURUSAN ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UN IVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2010

BAB I PENDAHULUAN

Masyarakat Kampung Kuta dikenal sebagai masyarakat yang menjaga tradisi yang diamanahkan leluhur mereka. Berdasarkan penjelasan dari Ketua Adat Kampung Kuta, tradisi yang dipegang erat tersebut merupakan suatu tradisi yang mengatur hubungan antara masyarakat Kampung Kuta dan lingkungan alamnya, yang di dalamnya terkandung segala peraturan agar masyarakat Kampung Kuta senantiasa mau menjaga alam

lingkungannya. Tradisi-tradisi tersebut saat ini telah melekat dalam diri tiap-tiap masyarakat Kampung Kuta, yang membuat tiap orang di Kampung Kuta begitu welas asih terhadap alam sekitarnya. Menurut masyarakat Kampung Kuta, alam yang mereka jaga tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting bagi mereka, terutama hutan larangan yang luasnya lebih dari setengah luas seluruh wilayah Kampung Kuta sendiri. Masyarakat Kampung Kuta memang membutuhkan hutan tersebut demi ketersediaan sumber daya air untuk mereka. Oleh karena itulah para leluhur memberkan amanat agar generasi penerus selalu menjaga alam kampung Kuta dan hutan keramat tersebut. Akan tetapi, ada suatu hal yang menarik jika kita melihat kondisi masyarakat Kampung Kuta saat ini. Berdasarkan pengakuan Kepala Dusun, selaku pemegang jabatan administratif tertinggi di Kampung Kuta, saat ini masyarakat Kampung Kuta sedang mengalami penurunan jumlah penduduk yang cukup tajam. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Faktor apakah yang

mempengaruhinya? Apakah ada hubungan antara amanah-amanah leluhur yang menjadi pedoman bagi kebuduyaan masyarakat kampung Kuta dengan fenomena penurunan jumlah penduduk tersebut. untuk menemukan

jawaban dari persoalan tersebut, maka dari itu kami mencoba untuk menerangkannya dalam laporan penelitian ini.

Bab II Hasil Observasi

2.1.

Gambaran Lingkungan Alam Kampung Kuta

Kampung Kuta merupakan salah satu Kampung adat yang secara administratif berada di wilayah desa Karangpaninggal, kecamatan Tambaksari, kabupaten Ciamis, provinsi Jawa Barat. Secara geografis Kampung Kuta terletak di bagian timur laut kabupaten Ciamis, berada di lembah yang dikelilingi oleh tebing curam setinggi 30-60 meter dengan Ketinggian sekitar 500 m di atas permukaan laut. Adapun jarak pusat pemerintahan ke Kampung Kuta sebagai berikut :

a. Dari desa Karangpaninggal

: 1 km : 4 km : 45 km : 179 km : 578 km

b. Dari pusat pemerintahan kecamatan Tambaksari c. Dari ibukota kabupaten/kota Ciamis d. Dari ibukota provinsi Jawa Barat (Bandung ) e. Dari ibu kota Negara ( Jakarta )

Dengan batas wilayah, yaitu:

Utara Selatan Barat Timur

: dusun Margamulya : desa Bangunhardja : dusun Ciloa : sungai Cijolang/perbatasan dengan kecamatan Dayeuhluhur kabupaten Cilacap, Jateng

Luas keseluruhan Kampung Kuta adalah 97 hektar yang terdiri dari 40 hektar merupakan tanah larangan dalam bentuk hutan keramat dan 57 hektar lagi merupakan lahan pertanian dan perumahan penduduk. Perumahan penduduk di Kampung Kuta terdiri dari 2 RW dan 4 RT.

Pembagian fungsi tanah di Kampung Kuta, yakni : Tanah larangan Tanah milik warga warga Tanah desa : lahan yang dimiliki desa namun boleh diolah untuk kepentingan warga tapi tidak untuk dimiliki perseorangan Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala dusun, ketua adat dan ketua RW, dijelaskan bahwa lahan yang bisa dimiliki warga sebenarnya terbatas, pembagian lahan diupayakan sama rata. Jika ada warga yang menjual lahannya, baru warga yang lain bisa menambah luas lahannya dengan jalan membeli lahan yang dijual tersebut. Berikut ini adalah alokasi penggunaan lahan, dengan pembagian tanah milik warga berdasarkan perhitungan luas rata-rata tiap keluarga. Hutan Tanah desa perumahan Kolam Lahan persawahan : 17 Kebun : 40 ha : 4 ha : 112 KK = 133,92 m 2 = 0,13 ha ha : 112 KK = 89,28 m 2 = 0,09 ha : berupa hutan keramat yang tidak boleh diganggu : lahan persawahan, perkebunan dan perumahan milik

: 1,5 ha : 10 ha

: 112 KK = 152,78 m 2 = 0,15 ha : 112 KK = 218,75 m 2 = 0,22 ha + 0,58 ha /Keluarga

: 24,5 ha + 97 ha

Perkebunan 25%

Kolam/ balong 10%

Hutan Keramat 41%

Persawahan 18% Tanah Perumahan Desa 4% 2% Gambar 1 : Alokasi Lahan Di Kampung Kuta

Keterangan : a. Hutan larangan di Kampung Kuta ini merupakan hutan lindung dengan flora dan fauna yang tetap terjaga keasliannya. Dalam hutan lindung itu masih dijumpai pohon-pohon keras yang berumur puluhan atau mungkin ratusan tahun yang dibiarkan tumbuh subur tanpa diganggu siapapun. selain itu di hutan tersebut juga menyimpan banyak tanaman obatan. Di dalam hutan tersebut juga terdapat banyak mata air yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat Kuta. Hutan larangan tersebut dijaga secara bersama-sama oleh masyarakat Kuta dengan landasan sebagai bentuk kepatuhan kepada amanah leluhur. Banyak pantangan-pantangan yang mengatur interaksi antara masyarakat dengan hutan ini, termasuk diantaranya tidak boleh sama sekali merusak dengan cara mengambil apapun -selain air/cai karamat- dari hutan. b. Perkebunan di Kampung Kuta memiliki potensi tanaman aren yang sangat besar. Hal inilah yang membuat para pedagang asal Kampung Kuta terkenal dengan produksi gula arennya. Komoditi inilah yang menjadi andalan perekonomian mereka sejak bertahun-tahun silam. Kemudian tanaman yang dikembangkan masyarakat Kampung Kuta antara lain adalah jagung, kacang

dan lainnya. Selain itu, tanaman sayuran juga banyak yang dikembangkan dalam lahan perkebunan ini. c. Persawahan di Kampung Kuta memakai sistem pengairan yang berasal dari mata air sekitar Kampung Kuta. Saat ini, pertanian di Kampung Kuta masih mengandalkan bibit padi, racun hama dan pupuk yang dibeli dari luar. Berdasarkan keterangan dari kepala dusun, saat ini produktifitas pertanian di Kampung Kuta telah mengalami penurunan dibandingkan pada waktu dulu. Hal ini menurut beliau terjadi karena lahan ertanian di Kampung Kuta sudah ketergantungan terhadap pupuk, racun dan bibit yang dibeli dari toko tani. d. Kolam ikan/ balong sangat mudah ditemui di Kampung Kuta. Banyak balongbalong yang tersebar di sekitar rumah penduduk. Selain untuk tempat beternak ikan, balong tersebut juga digunakan sebagai tempat mandi, cuci dan kakus (mck) bagi sebagian besar penduduk Kampung Kuta. Pemandian umum dan jamban terletak di atas kolam ikan sehingga rantai kehidupan berjalan baik. Oleh karena itu, di setiap balong biasanya dilengkapi dengan satu unit kamar mandi yang berbentuk bilik bambu di atas balong tersebut, ditambah dengan adanya satu sumber air bersih yang mengalir sepanjang hari.

Sumber air bersih di Kampung Kuta berasal dari empat sumber mata air, yaitu Cibanguara, Ciasihan, Cinangka dan Cipanyipuhan, yang dialirkan dengan selang plastik dan bambu ke tempat pemandian umum. Masyarakat hanya memanfaatkan sumber mata air ini untuk semua kebutuhan hidup sehari-hari dan dilarang untuk menggali sumur sendiri. Pelarangan penggalian sumur ini untuk menjaga kondisi air bawah tanah agar selalu baik, bersih dan untuk menjaga tanah yang kondisinya sangat labil. Untuk menjaga kesucian tanah pulalah maka dilarang/tabu melakukan penguburan jenazah di Dusun ini. Untuk penguburan jenazah dilakukan di pemakaman umum Dusun Cibodas, sama seperti Ki Bumi yang juga dikuburkan disana. e. Tanah desa ini disebut warga Kampung Kuta sebagai lahan rambu-rambu. Lahan ini tidak boleh dimiliki orang-perorangan, melainkan dimiliki oleh seluruh warga Kampung Kuta yang digunakan untuk kepentingan mereka. Masyarakat boleh berusaha di lahan tersebut, tapi tidak boleh memilikinya.

f. Perumahan masyarakat Kampung Kuta bersifat seperti komplek perumahan. Rumah warga berdekatan dan berkumpul pada satu kawasan saja. tiap rumah biasanya dilengkapi juga dengan halaman yang cukup luas untuk tempat menanam bunga dan tanaman obat.

2.2.

Gambaran Masyarakat Kampung Kuta

Masyarakat Kampung Kuta merupakan salah satu masyarakat adat yang masih teguh memegang dan menjalankan tradisinya yang mematuhi amanat leluhur dengan pengawasan kuncen dan ketua adat. Meski demikian, penduduk Kampung Kuta mengaku sebagai pemeluk agama Islam yang taat, akan tetapi dalam kehidupan sehariharinya, ekpresi religi mereka masih diwarnai oleh kepercayaan-kepercayaan bersifat mitos dan animisme. Secara umum, masyarakat Kampung Kuta adalah masyarakat etnis sunda, namun ada juga sebagian kecil yang berasal dari etnis jawa, terutama yang datang ke Kampung Kuta akibat perkawinan dengan warga Kampung Kuta. System perkawinan pada masyarakat Kuta bersifat bebas, boleh endogami dan juga boleh eksogami. Oleh karena itu, ada orang luar yang bisa menetap dan menyatu dengan masyarakat Kuta. Selain itu, menurut ketua adat Kampung Kuta, syarat untuk menjadi warga Kuta sebenarnya mudah, cukup dengan menetap selama tiga bulan di Kampung Kuta

dengan mengikuti semua aturan adat Kuta. Menurut kepala dusun Kampung Kuta, masyarakat Kampung Kuta mengalami penurunan jumlah penduduk yang cukup besar beberapa waktu belakangan ini. Terhitung sejak tahun 2002 sampai 2010 penduduk yang tinggal di Kuta berkurang hingga 31 jiwa. Dimana pada tahun 2002 warga Kuta berjumlah 358 orang ( dari

Laporan Akhir Studi Kehidupan Sosial Budaya Dan Lingkungan, 2002), namun
pada tahun 2010 ini hanya tersisa 327 orang ( dari data ketua RW ). Saat ini warga Kuta terdiri dari 112 KK, dengan rincian 185 laki-laki dan 142 perempuan, 327 : 112 = ratarata 3 orang tiap keluarga.

Berdasarkan informasi dari Kepala Dusun, tercatat 301 orang warga Kampung Kuta yang telah terdaftar usianya di database kantor Dusun. Dengan gambarannya datanya adalah sebagai berikut:

55 keatas 50 s/d 54 45 s/d 49 40 s/d 44 34 s/d 39 30 s/d 34 25 s/d 29 20 s/d 24 15 s/d 19 10 s/d 14 5 s/d 9

75 52 30 24 10 24 14 21 9 24 8 10 0 20 40 60 80

Jumlah orang

Gambar 2: Piramida Penduduk Kampung Kuta Berdasarkan Kelompok Umur Total : 301 Orang

Dari data di atas, meski belum mencakup untuk semua penduduk serta belum dipisahkan antara laki-laki dan perempuan, namun gambaran data di atas telah menunjukkan bahwa saat ini masyarakat Kampung Kuta sedang mengalami

kekurangan generasi penerus. Terlihat bahwa jumlah penduduk yang berumuran muda jauh lebih sedikit dibandingkan penduduk yang sudah tua. Piramida penduduk di atas masuk pada kategori piramida terbalik yang berarti menunjukkan pertumbuhan penduduk menurun.

Kemudian berikut ini adalah presentase jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur (di baca searah putaran jarum).
3% 8% 25% 3% umur 0 s/d 4 5 s/d 9 10 s/d 14 7% 5% 8% 3% 10% 8% 15 s/d 19 20 s/d 24 25 s/d 29 30 s/d 34 17% 34 s/d 39 40 s/d 44 45 s/d 49 50 s/d 54

3%

55 keatas Gambar 3 : Persentase Penduduk Kampung Kuta Berdasarkan Kelompok Umur

Dari data tersebut dapat dilihat bahwa perbandingan antara penduduk usia muda (non-produktif), usia dewasa (produktif) dan usia tua (non-produktif) adalah sebagai berikut: Usia muda (0-19) : 17 %

Usia dewasa (20-49) : 51 % Usia tua ( 50 ke atas) : 42 %

Kemudian terdapat juga keterangan tentang perubahan penduduk dalam dua tahun belakangan ini. Berdasarkan informasi dari perangkat Kampung, masyarakat Kuta dari tahun 2008 2010 juga mengalami penurunan penduduk. Berikut ini adalah tabel dari data yang kami dapatkan. No 1 Kasus Jumlah Keterangan 2 orang Jatuh dari pohon 3 orang Sudah darah lanjut tinggi usia, dan

Mortalitas/Kematian 5 orang

menderita

penyakit lambung 2 3 Natalitas/Kalahiran 2 orang 1 orang, Mengikuti suami 1 orang, Setelah menikah Mengikuti istri 2 orang ( sepasang ), Setelah

Emigrasi/keluar dari 5 orang Kampung Kuta

menikah Pindah ke Jakarta 4 Imigrasi/masuk ke Kampung Kuta -

Dari sajian data diatas kita dapat menyimpulkan bahwa dari tahun 2008 hingga 2010 ini penduduk Kampung Kuta mengalami pengurangan tujuh orang penduduk, yakni dari perhitungan mortalitas+emigrasi dikurangi kelahiran+imigrasi (5+4-2+0= 7).

2.3.

Gambaran tentang aspek Kesehatan dan Reproduksi pada masyarakat

Kampung Kuta 2.3.1. Pengetahuan Masyarakat Kuta mengenai aspek Kesehatan Umum 2.3.1.1. Pengetahuan masyarakat Kampung Kuta tentang penyakit

Masyarakat Kampung Kuta merupakan masyarakat yang masih menganut kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan dari makhluk gaib dan arwah para leluhur. Oleh karena itu, keseharian hidup mereka juga ikut dipengaruhi oleh segala larang pantang yang mereka yakini berasal dari para leluhur. Maski tidak mematuhi secara total, akan tetapi sebagian besar dari kepercayaan-kepercayaan tersebut masih dijaga dan dipatuhi oleh masyarakat Kampung Kuta. Adapun beberapa pengetahuan yang menyangkut aspek kesehatan dan reproduksi antara lain. Dalam kepercayaan masyarakat Kuta, penyakit muncul karena melanggar tabu/pantangan adat yang menyebabkan adanya ketidakseimbangan hubungan antara manusia dengan alam. seperti contohnya kalau melanggar pantangan berkeliaran pada senja hari, akan terkena panyekit dari makhluk halus. Alasannya karena Pada

pergantian waktu ( siang-malam), adalah waktunya sanekala/makhluk halus keluar dan mereka akan menghukumi orang-orang yang masih berkeliaran. Begitu juga halnya pada waktu pergantian waktu ditengah hari. Masyarakat Kuta percaya bahwa leluhur yang membangun Kampung Kuta memunyai kekuatan magis yang masih menjaga setiap penjuru Kampung Kuta. Kekuatan gaib itu terwujud dalam bentuk makhluk gaib yang mereka sebut ambu, rama, raksa dan bima kalijaga. Mereka dipercaya bisa melakukan hal-hal yang tidak dapat dilakukan manusia, seperti contoh membuat orang kesambet, menjalankan kutuk bala penyakit dan sebagainya bagi orang-orang yang melanggar tabu/pantangan adat. Kemudian ada tokoh yang meraka sucikan yakni Reksabhumi/Aki Bumi. Aki bumi dipercaya sebagai salah satu tokoh sacral yang menjaga ketuguhan adat Kampung Kuta. Jika ada yang melanggar, beliau tak segan-segan menegur, baik terhadap pelaku maupun seluruh masyarakat, misalnya dengan memberi penyakit yang sulit disembuhkan atau membuat orang tersebut jadi gila. Upaya penyembuhan harus diweruhkan ( diperlihatkan ) berupa permintaan maaf kepada makhluk gaib tersebut. Selain menyakini penyakit yang bersifat gaib, masyarakat Kuta juga menyakini adanya berbagai penyakit yang diakibatkan karena faktor makanan, lingkungan, musim dan aktivitas harian. Penyakit-penyakit tersebut merupakan penyakit-penyakit yang sudah dikenal secara umum. Beberapa penyakit yang diderita oleh masyarakat Kuta, yaitu: 1. Muntaber Dulu sering kali diderita oleh warga adat Kampung Kuta, dan diobati dengan ramuan tumbuh-tumbuhan. Karena keseluruhan warga Kampung adat Kuta yang mengandalkan sumber mata air dari pegunungan setempat ini menjadi suatu indikasi penyakit muntaber itu timbul karena belum ada uji klinis yang menyatakan bahwa air yang dikonsumsi dari pegunungan itu bersih, bisa saja di dalam air tersebut terkandung bakteri Escherichia Coli ( E-coli). Penyakit muntaber ini tidak menjadi wabah hanya sesekali saja menjangkit warga

mungkin karena arus yang terbawa dari pegunungan tersebut dan tidak ada catatan kematian yang disebabkan oleh penyakit muntaber ini. 2. Panas dalam Panas dalam juga di alami oleh warga Kampung adat Kuta karena pada asupan makan mereka yang kurang mengandung B12 dan zat besi ini bisa dilihat dari keseharian mereka yang hanya makan nasi tahu, tempe dan lalap mereka juga jarang mengkonsumsi buah-buahan. 3. Rematik Rematik menyerang warga Kampung adat Kuta karena kebiasaan atau pola hidup mereka yang setelah melakukan aktivitas-aktivitas berat, seperti bekerja keras di sawah, mengambil air nira dan lainnya hingga larut malam lantas langsung mandi malam dengan air dingin. Selain itu disebabkan juga karena masyarakat Kuta terlalu banyak mengkonsumsi sayuran hijau yang memicu

bangkitnya asam urat. 4. Maag Akibat pola makan yang tidak teratur yang selalu melewat kan jam makan. Kesibukan bekerja para pria Kampung adat Kuta inilah yang menyebabkan pola makan yang tidak teratur sehingga terkena penyakit maag. 5. Penyakit Panas Pencetus penyakit ini memang sulit ditentukan, karena dapat bermacam-macam, misalnya lingkungan kurang sehat pada Kampung adat Kuta , polusi tinggi, dan ada perokok di rumah. Udara atau suhu yang dingin pada malam hari malam hari bisa menimbulkan alergi suhu dingin, sehingga hidung mampet, sehingga ia bernafas lewat mulut. 6. Chikungunya Penyakit ini pernah menjadi wabah di Kuta, mungkin di sebabkan oleh virus yang di bawa oleh warga pendatang atau wisatawan lokal. Secara medis Chikungunya merupakan sejenis penyakit atau sejenis demam virus yang disebabkan oleh alphavirus dari keluarga Togaviridae. Penyakit ini disebarkan oleh gigitan nyamuk Aedes aegypti. 7. Stroke Penyakit ini disebabkan oleh pola hidup mastarakat adat Kuta yang kurang sehat dan asupan makanan yang kurang bergizi . Stroke merupakan penyakit

neurologi yang utama. Stroke merupakan penyebab kematian nomor tiga (setelah penyakit jantung dan kanker), namun merupakan penyebab kecacatan nomor satu. Stroke terjadi akibat gangguan pembuluh darah di otak.

2.3.1.2.

Pengetahuan masyarakat Kampung Kuta tentang tanaman obat Nama tanaman Manfaatnya untuk menurunkan panas dan sakit lambung menbobati sakit pinggang, mules mengobati penyakit dalam mengobati penyakit ginjal mengobati penyakit mencret menyegarkan badan mengobati penyakit batuk mengobati luka luar obat keseleo, sakir perut, pinggang sakit obat penyakit panas mengobati penyakit kencing batu mengobati penyakit darah tinggi mengobati penyakit pinggang mengobati perut kambung atau penyakit lambung mengobati penyakit mata mengobati penyakit mencret-mencret

Kaca piring, Daun hanteup Brotowali Pecah beling Jambu batu Nira Cikur Penisilin (getah) Daun tara Daun sirih Daun cabeling (pecah beling) Daun alpukat dan pandan Daun pancasona/cingcau Daun kapuk dan daun kaca piring Daun sirih (pucuknya) Daun kiampet dan daun jambu biji Cangkudu Salihara Kikoneng Kibangkong, Daun sembung ujung daun Salak

mengobati penyakit stroke, darah tinggi obat luka mengobati penyakit kuning, mengobati penyakit batuk kering mengobati penyakit perut obat batuk

2.3.1.3.

Perilaku dalam mengatasi kondisi sakit

Dalam kesehariaannya, masyarakat Kuta telah memunyai mekanisme sendiri dalam mengatasi kondisi sakit yang sedang mereka hadapi. Pada tahap awal perilaku sakit, biasanya masyarakat Kuta mencoba mengobati sendiri dulu sakit yang dirasakan, sakit yang dirasakan biasanya batuk, sakit kepala, sakit gigi, demam panas dan masuk angin. Berbekal pengetahuan pribadi dan informasi dari tetangga ataupun kerabat, mereka akan mencari tanaman obat yang kira-kira berguna untuk mengobati penyakit tersebut. Jika tanaman obat tidak memberikan perubahan dan sakit terus berlanjut, biasanya kerabat terdekat akan menghadap pada kokolot untuk dimintai

penyembuhannya. Kemudian Kokolot biasanya mendiagnosis penyakit pasiennya dengan menggunakan dua cara, yakni berdasarkan keterangan dari kerabat, atau melihat langsung kondisi pasien. Setelah diagnosis, kokolot akan menerangkan apa penyakitnya dan apa sebabnya. Untuk sakit yang disebabkan makhluk halus, pasien biasanya dijampe dan di suruh untuk membayar kesalahan yang mungkin menjadi sebab marahnya makhluk halus tersebut. atau untuk penyakit yang disebabkan karena melanggar pantangan, kesalahan harus melakukan ritual tertentu untuk membeyar kesalahan tersebut. sementara itu jika penyakitnya alami karena factor kondisi

lingkungan ataupun kesalahan makan, biasanya kokolot akan menyebutkan tanaman apa saja yang harus dikumpulkan untuk kemudian dijampe, diracik dan diberikan pada pasien. Kebanyakan dari proses pengobatan berhenti pada tahap ini, karena

berdasarkan pengakuan warga, setelah diobati kokolot biasanya pasien sembuh lagi. Akan tetapi pada beberapa kasus, pengobatan dilanjutkan ke pengobatan modern di puskesmas kecamatan. Seperti pada kasus merebaknya chikungunya pada beberapa waktu lampau. Namun pada keadaan yang biasa, masyarakat Kuta jarang mau ke puskesmas ini, alasannya mereka tidak terbiasa dengan pengobatan seperti itu, dan biayanya mahal. Namun pada beberapa kasus, proses pengobatan bahkan sampai ke tingkat rumah sakit, biasanya terjadi pada kondisi darurat yang tidak bisa lagi ditangani oleh puskesmas. Seperti contoh etika anak pak Udin kecelakaan parah akibat jatuh dari motor, mereka mengobatinya sampai di rumah sakit di kota Bandung.

Para pelayan kesehatan di Kampung Kuta Dalam mengatasi masalah kesehatan, Kampung Kuta punya beberapa orang

penyembuh utama yang mereka panggil dengan sebutan para kokolot Kampung, diantaranya adalah : Kuncen, pak Maryono dan wakil ketua adat, yakni pak Warja. Pak Maryono sendiri, selaku kuncen memang sering diminta tolong untuk memohon kesembuhan kepada para leluhur dengan memberi jampe kepada orang yang sakit. Biasanya pak kuncen cukup memberi air putih yang sudah dijampe saja. Kemudian ada juga tukang urut yang terkenal yaitu pak Dasman dan pak Udin. Selain para penyembuh/tabib, Kampung Kuta juga memiliki seorang dukun beranak (paraji) yang mereka kenal sebagai seorang wanita yang bernama Tarsih.

2.3.2. Pengetahuan Masyarakat Kuta mengenai aspek Kesehatan Reproduksi 2.3.2.1. Amanah leluhur yang mengatur masalah reproduksi

a. pada saat upacara akad nikah, biasanya ada petuah-petuah dari ketua adat yang merupakan amanah dari para leluhur. Petuah tersebut menekankan bagaimana pasangan muda tersebut bisa memanejemen keluarganya dengan baik. Termasuk diantaranya mengatur jumlah anak dan waktu untuk memiliki anak. Adapun bentuk aturan tentang hal itu, yakni: Kewajiban bagi suami adalah menafkahi keluarganya. Oleh akrena itu suami harus rajin bekerja untuk mendapatkan reski yang layak bagi keuarganya. Anak adalah amanah dari Allah SWT, karena itu tidak boleh dizalimi karena tidak tercukupkan nafkahnya. Oleh karena itu, jika belum mempunyai reski yang cukup, janganlah dulu memounyai anak. Tunggu reski mencukupi, barulah punya anak. Anak tidak usah banyak-banyak, cukup satu atau dua saja.

b. Bagi wanita yang baru melahirkan atau yang belum ingin punya anak, dianjurkan untuk meminum ramuan untuk mengeringkan peranakan, yakni : Kunir putih, diparut diperas sarinya, Brotowali, teh pahit juga, dan lainnya.

2.3.2.2.

Paraji di Kampung Kuta, pengetahuan dan perannya

Sebagaimana yang dikatakan oleh Foster/Anderson dalam bukunya Antropologi Kesehatan bahwa para ahli kesehatan pada masyarakat tradisional memperoleh kererampilan dan pengetahuan dalam hal pengobatan dari kerabat dekat mereka. Dengan pengetahuan tersebut, mereka dapat mencatat pengaruh makanan dan ramuramuan pada para pasien dan saling menukar informasi dengan orang-orang lain yang memiliki keterampilan serupa; dengan cara ini mereka dapat membangun reputasi mereka sebagai penyembuh. Keterampilan dan pengetahuan local tentang kesehatan pada masyarakat Kuta juga kami dapatkan dari seorang wanita berumur 42 tahun bernama Tarsih. Keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki oleh Tarsih bergerak di bidang kehamilan dan kelahiran diturunkan oleh neneknya yang dulunya berprofesi sebagai dukun bayi. Orang-orang sekitar memanggilnya dengan sebutan paraji. Walaupun Tarsih bukan orang asli dari Kampung Kuta, tetapi ia tidak segan untuk membagi dan mengabdikan dirinya dengan ilmu yang ia miliki di desa yang telah ditempatinya selama 27 tahun. Walaupun umur Tarsih masih terhitung muda, tetapi warga setempat pun percaya bahwa Tarsih adalah seorang paraji yang baik di Kampung mereka. Pemerintah daerah Ciamis menetapkan satu bentuk peraturan bahwa Bidan dan Paraji harus bekerjasama dalam proses kelahiran. Adanya kerjasama yang sinergis antara paraji dan Bidan, tentunya membentuk hubungan yang lebih baik antara paraji, bidan, dan ibu yang melahirkan. Transformasi ilmu pun dapat terjadi diantara dua ahli tersebut. Dalam proses melahirkan, bidan dan paraji memiliki batasanya masingmasing. Biasanya paraji lebih berperan dalam hal kebatinan sedangkan bidan berperan penting dalam proses kelahiran. Berbagai ritual dilakukan oleh paraji pada ibu yang sedang mengandung. Ritual itu antara lain :

1. Pembacaan sahadat sebanyak tiga kali di detik-detik kelahiran bayi. 2. Pembuatan jimat kecil yang berisi bawang putih, kemenyan, rempe,panglai (lengkuas), dan jaringau. Kemudian diselipkan dipakaian dalam sang ibu dengan pembacaan beberapa baris mantra untuk menghindari sang ibu dan anaknya dari gangguan setan kunti begitu sebutan yang diberikan oleh Tarsih. Jimat itu digunakan oleh sang ibu seja umur kandungan menginjak usia empat bulan. 3. Membiasakan para ibu hamil untuk mengkonsumsi rutin ramuan kunyit, madu, gula, minyak kelapa, dan telur yang di campur selama tiga kali di setiap harinya sebelum makan. Hal ini dilakukan agar diberi kemudahan dalam proses kelahiran. 4. Paraji juga melarang para ibu hamil untuk minum minuman yang hangat dan mengkonsumsi obat-obatan baik ringan apalagi keras. Menurutnya ibu hamil harus bersih dari unsure-unsur kimia agar bayinya tumbuh sehat. 5. Rajin mengkonsumsi makanan-makanan berserat seperti bayam, katuk , kangkung, dan sayuran hijau lainnya yang diakhiri dengan segelas air kunyit. 6. Mengkonsumsi air kelapa hijau agar bayi lahir dalam keadaan bersih. 7. Hindari makanan goreng-gorengan. Paraji selanjutnya mengatakan bahwa ibu hamil akan lebih sehat jika mengkonsumsi makanan yang dikukus dan direbus. 8. Bagi para ibu yang biasa melakukan nyirih saat hamil, kegiatan itu dilarang. Hal itu dilakukan agar nafsu makan ibu tetap terjaga. 9. Pembacaan surat Ayat Kursi dan Yasin setiap hari Jumat agar ketenanan selalu menyertai ibu hamil. 10. Pengambilan air wudhu yang dilakukan oleh paraji sebelum membantu ibu hamil melahirkan.

Perawatan yang dilakukan oleh paraji tidak hanya terhenti setelah proses kelahiran dilaksanaan. Setelah selesai proses kelahiran, paraji biasanya tetap membantu para ibu untuk memulihkan kondisinya. Paraji biasanya mencatat waktu kelahiran bayi lalu menyerahkan catatan tersebut pada bidan untuk pembuatan akte kelahiran. Beberapa hal yang disarankan oleh paraji bagi ibu yang telah melahirkan adalah :
1. Pembuangan ari-ari bayi ke aliran sungai yang lurus agar kelak anaknya menjadi anak yang panjang umur dan mudah di setiap langkahnya. 2. Penguburan Bali dengan pembacaan beberapa mantera untuk kesempurnaan sang bayi.

3. Pembuatan ramuan Jahe dan Cabai kebun/hutan yang ditumbuk kemudian dimasukan kepada alat kelamin ibu. Ini dimaksudkan agar luka kelahiran cepat terobati. 4. Tidak melakukan hubungan suami istri selama 40 hari. 5. Ibu yang telah melahirkan pun disarankan untuk selalu dalam posisi duduk nyanda ketika duduk. Agar struktur rahim kembali seperti semula.

Pada praktiknya, dalam membantu proses kelahiran parajilah yang berkunjung ke rumah pasiennya. Terkadang jarak bidan yang jauh, menuntut paraji melakukan proses kelahiran seorang diri. Ketika menghadapi proses kelahiran yang sulit, paraji pun segera menghubungi bidan untuk membantunya. Alat kelahiran yang dimiliki oleh paraji hanya sebuah gunting untuk memotong ari-ari. Berbeda dengan bidan memiliki alat-alat yang lebih memadai. Dengan alat-alat dan pengetahuan formal tentang kandungan yang cukup, tentunya bidan dapat menyelesaikan situasi menegangkan yang sedang terjadi. Tarsih pun mempunyai cara yang unik dalam menebak jenis kelamin dari anak yang berada didalam perut ibu. Biasanya ia akan meminta ibu hamil untuk duduk, selanjutnya penebakan jenis kelamin ia lihat dari tegangan bayi pada posisi ibu saat duduk. Jika tegangan itu lebih condong ke kiri, maka anak yang dikandung tersebut berkelamin laki-laki. Sebaliknya, jika tegangan lebih condong ke kanan, maka anak yang dikandung berkelamin perempuan. Sejauh ini Tarsih mengaku bahwa tebakannya selalu tepat. Paraji tidak mengenal suntik perangsang yang biasanya diberikan oleh bidan pada ibu hamil untuk mempercepat proses kelahiran. Paraji masih memegang teguh bahwa proses kelahiran yang terjadi secara alami akan lebih baik hasilnya. Ketika proses melahirkan berhasil dilakukan, tetapi ada kejanggalan yang terjadi pada tubuh bayi, tarsih biasanya mengoleskan ramuan jeruk nipis, daun kunir, cikur hangat, dan tumbukan beras pada tubuh bayi. Hal lain yang kami rasa sangat menarik adalah cara ampuh yang dilakukan paraji untuk mengatasi bayi yang selalu menangis. Paraji biasanya menggunakan buah aren yang telah dimakan musang lalu dibungkus dalam satu kantong kosong selajutnya diletakkan disamping bayi.

2.3.3. Makanan di Kampung Kuta 2.3.3.1. Makanan sehari-hari Makanan sehari-hari masyarakat Kampung Kuta adalah sayur mayur yang biasanya dikonsumsi dalam bentuk lalapan dan sop sayur. Lalapan yang sering dikonsumsi seperti : Kacang panjang dengan daunnya, Timun, Daun Jintan, Daun cikur, Sampeg ( daun singkong), Surawangi ( kemangi ), Pete dan batang bambu muda. Sedangkan untuk sop mereka sering memasak nangka muda, sukun, kangkung, lobak kol dan sape, terong, melinjo, dan jamur. Kemudian kami juga menemukan bahwa masyarakat Kuta sangat jarang mengkonsumsi daging ikan ataupun ayam. Dari pengakuan mereka, meski banyak kolam ikan dan ternak ayam di sekitar rumah, akan tetapi ternak tersebut bukanlah untuk konsumsi sehari-hari, melainkan suatu bentuk simpanan yang berguna untuk acara-acara khusus, selain untuk dijual nantinya 2.3.3.2. Makanan Sakral Kemudian masyarakat Kampung Kuta juga mempunyai makanan yang khusus mereka hidangkan pada acara ritual-ritual tertentu. Mereka menyebutnya makanan sajen, adapun jenis-jenis makanannya adalah sebagai berikut : Kupat lepet ( kupat selamat segi lima ) Tang-tang angin ( kupat segi tiga dari bambu) Cai beureum ( teh ) Cai bodas ( air putih ) Cai herang/bening ( air mentah ) Ci kupi pait dan Cikupi manis ( air kopi pahit dan manis) Bubur beureum (bubur nasi pakai gula merah) Bubur bodas (bubur nasi pakai gula putih) Cohok ( nasi dari ujung hasupan/periuk ) Congcot ( sama dengan cohok ) Ndog ( telur ) ayam Kampung Rujakan ( cong, roti, kalapa, cawu raja ) Supaheun sakumplitna ( cengkeh, apu, gambir, jambe, lemo ) Tangkueh gula batu ( menyan, siong/rokok bau menyan, sulutu/rokok item )

BAB III PEMBAHASAN

Para ahli antropologi kesehatan, yang dari definisinya dapat disebutkan berorientasi ke ekologi, menaruh perhatiannya pada hubungan timbalbalik antara manusia dan lingkungan alamnya, tingkahlakunya, penyakit-penyakiitnya, dan caracara dimana tingkahlaku dan penyakit-penyakitnya mempengaruhi evolusi dari kebudayaannya melaui proses umpan-balik ( Foster/Anderson, 1999: 14) Sebagaimana fokus penelitian kami sejak awal adalah mencoba untuk melihat bagaimana kondisi lingkungan Kampung Kuta mempengaruhi system budaya yang dibagun oleh masyarakat Kampung Kuta, terutama kebudayaan dalam aspek kesehatan dan reproduksi. Kami ingin melihat bagaimana kerangka determinisme infrastructure dalam teori cultural materialism Marvin Harris berlaku pada kebudayaan masyarakat Kampung Kuta. Sejalan dengan hal tersebut, kami juga menggunakan pendekatan ekologis dari para ahli antropologi kesehatan untuk mengupas persoalan tesebut. Harris dalam bukunya, Cultural Materialism, 1979, berusaha menjelaskan aspekaspek pengorganisasian politik dan ekonomi (structure) dan simbol dan ideologi (superstructrure) sebagai akibat kombinasi berbagai variabel yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan bio-psikologi (modes of production and reproduction) dalam infrastructure . Cultural materialism ini melihat bahwa kelangsungan hidup dari suatu populasi manusia tergantung kepada bagaimana mereka berinteraksi dengan lingkungan alamnya. Dalam proses interaksi tersebut, factor determinan adalah infrastructure , diatur dalam system social sebagai structure, dan dikuatkan sebagai bentuk keyakinan di dalam suprastucture. Hasil dari proses Interaksi terhadap alam inilah yang melahirkan suatu bentuk kebudayaan mereka, yang diwariskan kepada generasi penerus. Sebagai factor determinan, infrastructure mempunyai dua komponen, yakni (1)Mode of production: mencakup teknologi dan aktivitas yang dilakukan untuk mengendalikan produksi kebutuhan dasar (produksi bahan subsisten) dan (2)Mode of reproduction: mencakup teknologi dan aktivitas untuk mengendalikan ukuran populasi. Kedua komponen ini dipengaruhi dan ditentukan oleh kombinasi varibelvariabel ekologi, teknologi, dan demografi. Mengapa masyarakat Kuta tidak berani mengganggu hutan yang ada di dekat mereka. Kalau dari jawaban warga Kuta sendiri hal tersebut adalah aturan adat yang merupakan amanah dari para leluhur yang masih menjaga Kampung Kuta itu. Dari hal ini terlihat, bagaimana struktur adat telah bermain untuk mengendalikan

masyarakatnya untuk tidak mengganggu hutan dengan menggunakan instrumen kepercayaan pada leluhur sebagai penguat. Berdasarkan hasil observasi kami mengenai variabel-variabel ekologi di Kampung Kuta, seperti hutan karamat, lahan perkebunan, lahan persawahan,lahan kolam, dan lahan perumahan penduduk. Dapat disimpulkan bahwa ketersediaan lahan untuk pengembangan kebutuhan warga Kuta hanyalah 49% dari luas lahan tersebut, yakni seluas 57 ha dari 97 ha. Jika dibagi kepada 112 keluarga di Kampung Kuta, masing-masingnya hanya mendapatkan jatah 0,5 ha. Keterbatasan ini tentunya berpengaruh terhadap eksistensi masyarakat Kuta sendiri. Akibat dari keterbatasan lahan inilah yang menjadi tolak ukur masyarakat Kampung Kuta ketika berusaha mengendalikan jumlah penduduknya. Di dasarkan pada amanah leluhur, yang mereka takuti sebagai suatu ancaman yang bersifat gaib. Berbagai cara mereka lakukan untuk pengendalian jumlah penduduk tersebut, seperti beberapa cara yang telah kami jelaskan pada bahasan bab II. Perilaku-perilaku mereka dalam upaya pengedalian jumlah populasi, seperti penangguhan waktu memiliki anak, meminum ramuan-ramuan pahit yang berefek negative terhadap kesehatan reproduksi mereka sendiri. Sehingga pada akhirnya secara medis, mereka bisa tidak subur lagi untuk bereproduksi. Jika dilihat dari pendekatan mode of reproduction, hal tersebut terjadi karena masyarakat Kuta berusaha untuk melakukan pengendalian jumlah populasi. Karena ditakutkan, jika penduduk semakin banyak, tentu akan membutuhkan banyak sumber daya lahan untuk keberlangsungan hidup. Oleh karena itu, mereka membuat aturan agar jangan memiliki anak banyak untuk mengurangi persaingan hidup antar-mereka. Namun jika hanya masalah ketersediaan lahan, mengapa mereka tidak menggunakan lahan hutan yang masih luas? Mengapa mereka malah mengorbankan keinginan-keinginan untuk memiliki keturunan yang banyak, daripada mengolah lahan yang masih tersedia? Mungkin jawabannya adalah mereka sendiri mau tidak mau, suka atau tidak suka, benar-benar membutuhkan hutan tersebut sebagai sumber kehidupan mereka yang krusial, yakni ketersediaan sumber daya air. Memang tidak salah jika mereka benar-benar mengikuti amanah leluhur yang mereka akui sangat cerdas tersebut. Alasanya memang masuk akal, karena menjaga kelestarian hutan sama artinya menjaga kelestarian masyarakat Kuta itu sendiri. Para lelhur Kampung Kuta, sebagai pionir yang membangun Kampung Kuta tersebut, mungkin telah menyadari bahwa alam sekitar Kampung Kuta memang benar-benar bergantung pada ketersediaan air di hutan tersebut. Oleh karena itu, mungkin mereka sengaja membuat sebentuk model adaptasi dengan lingkungan dengan cara mengendalikan jumlah populasi dan berusaha keras untuk tetap menjaga keberadaan hutan tersebut. Sebagaimana pendekatan Harris, hasil dari proses interaksi itulah yang menjadi kebudayaan masyarakat Kampung Kuta hingga saat ini, karena selalu diwariskan turun teumurun.

Akan tetapi, ada hal yang menjadi persoalan dari system kebudayaan seperti itu. Jika memang kebudayaan tersebut dibentuk sebagai upaya adaptif dalam mempertahankan keeksistensian masyarakat Kampung Kuta, lantas bagamana jika masyarakat Kampung Kuta itu sendiri yang pada akhrnya menjadi semakin sedikit dan kekurangan generasi penerus. Apakah ke depannya mereka masih tetap bisa eksis? Berdasarkan hasil observasi, demografi Kampung Kuta saat ini berbentuk piramida terbalik, artinya saat ini masyarakat Kampung Kuta sedang mengalami krisis generasi penerus. Dari keseluruhan penduduk, hanya 17 persen penduduk usia muda, jauh lebih sedikit dibandingkan dengan penduduk usia tua yang mencapai 42 persen, selain 51 persen penduduk dewasa yang sebentar lagi juga akan menjadi tua. Jika dilhat dari kajian dinamika populasi penduduk. Secara umum ada tiga model dinamika populasi penduduk, yaitu (1) apabila fertilitas lebih tinggi dari mortalitas, maka populasi penduduk akan naik sepanjang massa;(2) jika mortalitas lebih tinggi daripada fertilitas, maka populasi penduduk akan turun sepanjang masa: dan (3) jika fertilitas hanya sama dengan mortalitas, angka kelahiran akan sama dengan angka kematian, maka jumlah pupulasi penduduk akan konstan, terjadi dynamic equilibrium (Iskandar, 2009 : 99). Hal ini sejalan dengan pandangan pendukung ekologi kebudayaan, yang mengemukakan bahwa ciri-ciri kebudayaan, seperti halnya ciri-ciri biologi, dapat dianggap adaptif atau mal-adaptif. Banyak kalangan ekologi kebudayaan berasumsi bahwa adaptasi kebudayaan melibatkan mekanisme seleksi secara alami. Pada umumnya, masyarakat tersebut lebih sering bertahan ( survive ) dan berhasil berproduksi. Hal ini menunjukkan suatu adaptasi yang lebih baik. Dengan demikian, lingkungan termasuk lingkungan fisik dan lingkungan social, mempengaruhi perkembangan dari ciri kebudayaan, dimana, individu atau populasi yang berperilaku tertentu memiliki tingkat perbedaan terhadap keberhasilan survival dan perproduksi. Di lain pihak, berbagai perilaku tersebut dapat juga diwariskan dari suatu generasi ke generasi lainnya ( Iskandar, 2009 : 49). Melihat kenyataan bahwa saat ini angka pertumbuhan penduduk di Kampung Kuta sangat kecil, angka kematian dan keluar kampung lebih tinggi dari angka kelahiran dan yang masuk ke kampung. Berdasarkan kajian di atas, berarti ke depannya Masyarakat Kampung Kuta akan mengalami penurunan populasi sepanjangan masa. Jadi, memang di satu sisi kebudayaan masyarakat Kuta bersifat adaptif dengan jalan menjaga kelestarian alam demi ketersediaan sumber daya. Namun pada sisi lain bersifat mal-adaptif bagi masyarakat itu sendiri, karena dari sistem yang mereka kembangkan berakibat menurunnya pertumbuhan penduduk mereka. Disadari atau tidak, saat ini, jika masyarakat Kampung Kuta tetap saja dalam keadaan seperti ini, mungkin sebentar lagi akan terancam keeksistensiaannya dalam kehidupan ini.

Bab IV KESIMPULAN

Dari pembahasan yang telah dilakukan dapat kami simpulkan bahwa fenomena penurunan jumlah penduduk Kampung Kuta merupakan masalah kesehatan reproduksi yang ditimbulkan oleh kebudayaan masyarakat Kampung Kuta yang bersifat mal-adaptif. Amanah-manah yang diciptakan oleh para leluhur yang menjadi dasar kebudayaan tersebut diikuti saja tanpa melakukan telaah lebih jauh bagaimana efek dari amanah tersebut. memang secara umum amanah-amanah tersebut mempunyai manfaat besar dalam upaya pelestarian alam demi kepentingan masyarakat kuta itu sendiri. Namun ada beberapa amanah yang sebenarnya mempunyai dampak negatif terhadap eksistensi masyarakat kampung kuta tersebut. Diantaranya adalah amanah yang menganjurkan menunda waktu untuk memiliki anak dan amanah yang menganjurkan para wanita mengonsumsi ramuan yang berefek negatif terhadap kesuburan reproduksi wanita tersebut. karena hal ini telah menjadi suatu kebudayaan dalam masyarakat kuta, akibatnya terjadilah penurunan jumlah penduduk yang terus-menerus seperti yang terjadi saat ini. Jika hal ini tidak dirubah, maka penduduk kampung kuta akan mengalami krisis generasi penerus, yang berarti masalah besar bagi keberlangsungan masyarakat mereka. Jika masyarakat kampung kuta mengaggap hal seperti ini merupakan persoalan, saran kami adalah masayarakat kampung kuta harus melakukan perubahan besar dalam cara pandang mereka terhdap kesehatan reproduksi masyarakatnya. Namun, jika masyarakat kampung kuta menganggap hal ini adalah resiko yang mau tidak mau harus mereka tanggung demi kepatuhan pada amanah leluhur, mungkin tidak harus dipaksakan juga. Karena disadari ataupun tidak, suka atupun tidak, memang sistem budaya seperti ini sengaja di desain sesuai dengan kondisi lingkungan kampung kuta itu sendiri dan demi kepentingan masyarakatnya. Memang hal seperti ini akan susah kita temui pada masyarakat lain, karena ada satu hal istimewa dari masyarakat kampung kuta yang membuatnya berbeda dengan masyarakat lainnya, yakni kebersediaan masing-masing warganya untuk menundukkan ego pribadinya dibawah kepentingan dan keberlangsungan hidup masyarakat kampung kuta itu sendiri.

Daftar Pustaka

Foster, George M. & Anderson, Barbara Gallatin. 1999. Antropologi Kesehatan. Penerbit Universitas Indonesia : Jakarta. Hidayati, Nuri. 2008. Kontribusi Ustadz Bahrudin dalam Perkembangan Islam di Kampung Adat Kuta Desa Karangpaninggal, Kabupaten Ciamis (1981-1992). Skripsi S1 Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga: Yogyakarta. Ihromi, T.O. 1980. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Yayasan Obor Indonesia : Jakarta. Iskandar, Johan. 2009. Ekologi Manusia dan Pembangunan Berkelanjutan. Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Universitas Padjajaran : Bandung.

You might also like