You are on page 1of 62

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

Daftar Isi :
2. Editorial

4. English Summary
Artikel :
5. Penelitian Parasit Usus di Sungai Ciliwung
1. Kebiasaan Penduduk yang ada Kaitannya denga Penularan
Cacing usus Sepanjang Sungai Ciliwung – Suwarni, Purnomo,
Herry Ilahude, Harijani AM
8. Penelitian Parasit Usus di Sungai Ciliwung
2. Angka Pencemaran Cacing Usus – Suwarni, Herry Ilahude,
Harijani AM
12. Penelitian-penelitian “Soil-Transmitted Helminth” di Indonesia –
Emiliana Tjitra
17. Epidemiologi Disentri – Cyrus H Simanjuntak
20. Dampak Perbaikan Air Minum terhadap Penyakit Diare Anak dan
Hubungannya dengan Tingkat Pewndidikan, Pengetahuan tentang
Penyakit dan Kelompok Umur Kepala Keluarga – Sidik Wasito
24. Dampak Perbaikan Air Minum terhadap Kesehatan Penduduk
Pedesaan di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat – Sidik Wasito
30. Infeksi Bakteri Enteropatogen pada Penderita Diare Golongan
Umur Balita di Daerah Jawa Barat dan Pola Resistensi terhadap
Antibiotik – Pudjarwoto T, Cyrus H Simanjuntak, Eko Rahardjo,
Suharyono W, Sutoto, Sri Harjining
36. Pola Resistensi Bakteri Enteropatogen terhadap Lima Jenis Anti-
biotik – Pudjarwoto Triatmodjo

41. Epidemiologi dan Etiologi Penyakit Periodontal – Magdarina


Destri Agtini
46. Dosis antibiotika dalam Preskripsi Racikan untuk Anak Suatu
Studi Khusus – Ondri Dwi Sampurno, Umi Kadarwati, Vincent HS
Gan
50. A Study on Disability in Indonesia – Kartari DS
57. Humor Kedokteran
58. Abstrak
60. Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran
Ivan Illich dalam bukunya yang terkenal – Limits to Medicine – menyatakan
bahwa sumbangan terbesar bagi peningkatan taraf kesehatan masyarakat
bukanlah dari dunia kedokteran dan farmasi, melainkan dari perbaikan sanitasi
dan lingkungan. Pendapat yang seolah-olah menggugat eksistensi para dokter
ini, bila dikaji lebih mendalam, sedikit banyak mengandung kebenaran karena
manusia memang tidak bisa lepas dari pengaruh lingkungan sekitar termasuk
taraf kesehatannya.
Untuk lebih mengenal pengaruh lingkungan terhadap kesehatan, edisi Cermin
Dunia Kedokteran kali ini menyajikan artikel-artikel yang membahas masalah
sanitasi dan penyakit-penyakit yang dapat ditularkannya; yang ter- penting di
antaranya ialah diare dan infeksi cacing. Masalah ini masih tetap aktual, terutama
di negara-negara berkembang, meskipun secara teoritis dapat ditanggulangi
secara adekuat, bahkan mungkin dibasmi sama sekali.
Semoga para sejawat (terutama yang di kota-kota besar) dapat tetap
mengingat penyakit-penyakit infeksi sebagai masalah kesehatan yang masih
harus ditanggulangi.

Redaksi

2 Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991


International Standard Serial Number: 0125 – 913X

KETUA PENGARAH REDAKSI KEHORMATAN


Dr Oen L.H
– Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro – Prof. DR. B. Chandra
KETUA PENYUNTING Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf
Dr Budi Riyanto W Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga,
Jakarta. Surabaya.
PEMIMPIN USAHA – Prof. Dr. R. Budhi Darmojo
Dr Hari Tanudjaja – Prof. Dr. R.P. Sidabutar Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam
Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro,
Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi Semarang.
PELAKSANA Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Sriwidodo WS – Drg. I. Sadrach
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Lembaga Penelitian Universitas Trisakti,
Jakarta. Jakarta
ALAMAT REDAKSI
Majalah Cermin Dunia Kedokteran – Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo – DR. Arini Setiawati
Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi Bagian Farmakologi
P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Telp. 4892808 Jakarta. Jakarta,

NOMOR IJIN
151/SK/DITJEN PPG/STT/1976
Tanggal 3 Juli 1976 REDAKSI KEHORMATAN
PENERBIT
Grup PT Kalbe Farma – DR. B. Setiawan – Drs. Victor S Ringoringo, SE, MSe.

PENCETAK – Drs. Oka Wangsaputra – Dr. P.J. Gunadi Budipranoto


PT Midas Surya Grafindo – DR. Ranti Atmodjo – DR. Susy Tejayadi

PETUNJUK UNTUK PENULIS

Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan
aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang- yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk meng-
bidang tersebut. hindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan
Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated
diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuseripts Submitted
dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan menge- to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh:
nai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London:
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan William and Wilkins, 1984; Hal 174–9.
bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms.
berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mecha-
yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak nisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72.
mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus di- Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin
sertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pem- Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10.
baca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih,
dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.
berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran
Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ P.O. Box 3105
folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih Jakarta 10002
disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pe- Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu
ngarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat secara tertulis.
bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas- Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan
jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis


dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat
kerja si penulis.

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 3


English Summary
STUDY ON INTESTINAL PARASITES HEALTH IMPACT OF IMPROVED EFFECT OF IMPROVED RURAL
IN CILIWUNG RIVER RURAL WATER SUPPLY ON DI- WATER PIPING SYSTEM ON RURAL
II. Intestinal helminths contami- ARRHEAL DISEASE IN CHILDREN. HEALTH IN SUMEDANG REGENCY,
nations. ITS RELATION TO BASIC EDUCA- WEST JAVA.
TION, KNOWLEDGE OF HEALTHY
Suwarni*, Purnomo**, Herry D. LIVING, AND THE AGE GROUP OF
Ilahude***, Harijani AM* THE HEAD OF THE HOUSEHOLD. Sidik Wasito
* Research Centre on Communicable Research Centre on Health Ecology,
Diseases, Helth Research and De- Health Research and Development
velopment Board, Department of Board, Department of Health. Jakarta,
Sidik Wasito
Health, Jakarta, Indonesia Indonesia.
Research Centre on Health Ecology,
** US NAMRU-2, Jakarta, Indonesia.
Health Research and Development
*** Department of Parasitology, Faculty
Board, Department of Health, Jakarta, A study on the impact of
of Medicine, University of Indonesia,
Jakarta Indonesia.
improved rural water with piping
system on health was done in two
A study on the health impact subdistricts Tanjungsari and Ran-
A preliminary study on the of improved rural water supply
incidence of intestinal helminths cakalong, Sumedang Regency,
with piping system was done in West Java.
contaminations was carried out 2 subdistricts of the regency
along the Ciliwung River in 1989. Two desa(s) in each subdistricts
Sumedang, West Java. have been selected for the study.
Water samples were taken and An analysis was carried out to
examined under cluster random In each desa, 2 (two) Kampungs
elaborate the health impact of supplied with piped water were
sampling procedure. improved water supply on
Four hundred and thirty five used as study areas, while 2 (two)
diarrhea) disease in children other similar kampungs without
samples were collected and between 0 up 10 years-old, par-
examined. Contaminations were piped water were used as con-
ticularly in relation to basic edu- trol areas.
found in 15,6% of the samples; cation, knowledge of healthy
1,6% of those were contaminat- The result shows that the preva-
living, and the age-group of the lence rates of conjunctivitis, skin
ed by A. lumbricoides and T . head of the household.
t r i c h iur a . and diarrheal diseases were signi-
The results showed that : ficantly lower in the study areas
Ciliwung river can be consi- 1. The prevalence rate of di-
dered as potential source of compared to those in the control
arrheal disease correlates areas.
intestinal parasites transmission. significantly with the basic It was concluded that improv-
education of the head of the ed rural water supply resulted in
Cermin Dunia Kedokt. 1991; 72: 4-7 household.
brw/olh a positive health impact in the
2. The prevalence rate of di- study areas, especially in reduc-
arrheal disease correlates sig- ing abovementioned diseases.
nificantly with the knowledge
of diseases of the head of the
household. Cermin Dunla Kedokt. 1991; 72: 24-29
brw/olh
3. The prevalence rate of di-
arrheal disease correlates sig-
nificantly with the age group
of the head of the household.
Cermin Dunia Kedokt. 1991; 72: 20-23
brw/olh

4 Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991


Artikel

Penelitian Parasit Usus


di Sungai Ciliwung
I. Kebiasaan Penduduk yang ada Kaitannya dengan
Penularan Cacing Usus
Sepanjang Sungai Ciliwung
Suwarni*, Purnomo**, Harry D. Ilahude***, Harijani AM*.
* Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Departemen Kesehatan R.I., Jakarta.
** U.S. Namru-2, Jakarta.
***Bagian Parasitologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta.

ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian kebiasaan penduduk di sepanjang sungai Ciliwung
yang berkaitan dengan penularan cacing usus. Penelitian dilakukan dengan wawancara.
Dari hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa berbagai perilaku dan kebiasaan
penduduk menunjang meningkatnya penularan cacing usus karena penggunaan air
sungai secara langsung maupun tidak langsung. Kebiasaan penduduk yang langsung
mempengaruhi penularan, adalah mandi termasuk gosok gigi, mencuci perabot dapur
dan memakan lalapan yang mungkin tercemar telur cacing usus. Kebiasaan tidak
langsung adalah buang air besar di sungai.

PENDAHULUAN Hal tersebut memungkinkan timbulnya pola hidup kurang hi-


Infeksi cacing usus khususnya yang ditularkan melalui gienis a.l. cara pencucian sayuran; dikombinasi kebiasaan pen-
tanah masih merupakan masalah kesehatan masyarakat karena duduk makan lalapan mentah, memungkinkan tegadinya infeksi
prevalensinya masih cukup tinggi, yaitu 60-800/o'. Tingginya melalui lalapan tersebut. Padatnya penduduk dan terbatasnya
prevalensi tersebut ada hubungannya dengan tingkat sosial lahan mengakibatkan penggunaan sungai sebagai tempat buang
ekonomi suatu masyarakat2, yang pada umumnya mempengaruhi air besar di samping kegiatan-kegiatan lain yang berhubungan
tingkat pendidikan dan kebiasaan hidup suatu masyarakat3. dengan penggunaan air (mandi, cuci perabot dsb). Hal ini
Penularan cacing usus dapat pula terjadi akibat makan menyebabkan sungai mempunyai resiko sebagai sumber pen-
lalapan mentah yang cara pencuciannya tidak higienis, karena cemaran telur cacing usus.
temyata beberapa sayuran dapat tercemar telur/larva caci ig Sungai Ciliwung merupakan salah satu sungai yang meng-
usus4,5,6. Faktor utama dalam pencemaran cacing usus pada alir di Jakarta dan tepiannya juga dipakai sebagai hunian pen-
sayuran adalah air' mengingat telur Ascari.s dapat bertahan duduk, oleh karena itu dalam penelitian ini penulis ingin me-
hidup sampai + 100 hari7. ngetahui seberapa jauh kebiasaan penduduk di sepanjang
Terbatasnya air bersih menyebabkan hanya 50% dari pen- sungai Ciliwung berkaitan dengan kemungkinan penularan
duduk yang dapat menikmatinya (Ka Kanwil KesJakarta)4. cacing usus.

Dibacakan pada Seminar & Kongres Nasional Biologi ke-9, Juli 1989, di
Padang, Sumatera Barat.
Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 5
BAHAN DAN CARA Sungai Ciliwung lebih cenderung mempunyai risiko ter-
Penelitian dilakukan pada bulan Januari - Februari 1989. cemar telur cacing usus apabila penduduk mempunyai kebiasa-
Kebiasaan penduduk yang dimaksud dalam penelitian ini ada- an b.a.b di sungai.
lab : kebiasaan buang air besar (b.a.b), mandi termasuk gosok Hasil wawancara tentang kebiasaan makan lalapan yang
gigi, mencuci perabot dapur dan makan lalapan mentah. merupakan faktor penunjang terjadinya infeksi cacing usus
Responden yang diambil adalah kepala keluarga (k.k). Pe- terlihat pada tabel 2.
ngumpulan data dilakukan dengan wawancara terhadap k.k Tabel 2. Jumlah responden' menurut kesukaan makan lalapan dan daerahnya
(responden) dengan menggunakan kuesioner. Wawancara di- Makan lalapan
lakukan terhadap penduduk :
Daerah Ya Tidak Jumlah
a) Luar kota Jakarta di tepi sungai Ciliwung, kira-kita 15 km
n % n %
dari Kotip Depok dan kira-kira 30 km sebelum kota Bogor.
b) Pinggiran kota Jakarta (termasuk wilayah Jakarta Selatan Luar kota 2 8 23 92 25
dan Jakarta Timur) yaitu : Pinggir kota 21 87,5 3 12,5 24
Dalam kota 41 95,4 2 4,6 43
— Kelurahan (kel.) Tanjung Barat Rt 03/04, Kecamatan
Ps. Minggu; Kel. Tanjung Barat Rt 10/50 & Rt 09/05,
Jumlah 64 69,6 28 30,4 92
Kec. Ps. Minggu; Kel. Pejaten Timur Rt 05/08 Kec. Ps.
Minggu dan Kel. Balekambang Rt 12/03, Kec. Kramat
Jati. Dari tabel di atas terlihat bahwa frekuensi kesukaan makan
3) Dalam kota Jakarta yaitu penduduk di tepi sungai Ciliwung lalapan pada penduduk responden di sungai Ciliwung tinggi
di dalam kota Jakarta (termasuk wilayah Jakarta Selatan dan (69,6%), terutama daerah pinggiran (87,5%) dan dalam kota
Jakarta Timur) yaitu : (95,4%), sedangkan luar kota hanya 8%. Kebiasaan ini mem-
− Kel. Kebon Baru Rt 02/02 & Rt 17/04; Kel. Bukit Duri Rt punyai perbedaanbermakna (P< 0,01), sehingga dapat dikatakan
09/ 09, Rt 12/09, Rt 12/10 & Rt 05/12 dan kel. Manggarai Rt 01/10. bahwa makin ke arah kota kesukaan makan lalapan pen-
− Kel. Kampung Melayu Rt 16/07 dan kel. Bidara Cina Rt 03/ duduk responden makin tinggi.
02; Rt 12/14. Hasil penelitian tentang sayur-sayuran untuk lalapan di
Setiap daerah dibagi atas 5 lokasi. Masing-masing lokasi empat pasar di Bandung a.l. : Sawi putih (Bracia jucea),
berjarak 1—2 km. Di setiap lokasi diambil 10 kk untuk di- selada bokor (Lactuca saliva), selada air (Nasturtium officinale),
wawancarai (sisi kiri 5 kk dan sisi kanan 5 kk). Data yang serawung (Ocimum bacilium), mentimun (Cucumis sativus), ka-
diperoleh ditabulasi secara manual. cang panjang (Vsna sinensis), tomat (Lycorpecicum esculentum),
terong (Solanum melongena), tespong (0enanthe javanica), jo-
HASIL DAN PEMBAHASAN tang (Spilanthes sp), kol (Bracica sp) dan tauge (Phaseolus
radiatus), telah terkontaminasi telur cacing usus yang ditular-
Hasil wawancara tentang kebiasan b.a.b dapat dilihat pada kan lewat tanah5 seperti diketahui sayur-sayuran yang dijual
tabel 1. di pasar induk Jakarta sebagian berasal dari Bandung, dan
Tabel 1 : Jumlah responden menurut tempat buangan air besar dan daerahnya. sayur-sayuran yang ada di pasar Jakarta pada umunmya ber-
Tempat buangair besar asal dari pasar induk.
Jumlah
Daerah Sungai Bukan sungai responden Pencemaran sayuran oleh telur cacing usus diduga ber-
n % n %
asal dari air penyiram, karena air penyiram berasal dari kolam
yang juga dipergunakan untuk b.a.b. Setelah sayuran dipanen,
Luar kota 7 28 18 72 25 keesokan harinya dalam perjalanan menuju kota untuk dijual,
Pinggir kota 13 54,1 11 45,9 24
Dalam kota 43 100 0 0 43
agar tidak layu, sayuran disiram dengan air selokan yang ter-
dekat. Melihat keadaan tersebut dapat dikatakan bahwa air
Jumlah 63 68,5 29 31,5 92 merupakan media utama penyebaran cacing usus, dan meng-
ingat adanya kebiasaan makan lalapan mentah dengan cara
Dari tabel di atas terlihat bahwa lebih 50% dari responden pencucian yang kurang higienis, orang mudah terinfeksi me-
di tepi sungai Ciliwung b.a.b di sungai (68,5%), terutama lalui kebiasaan ini. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian parasit
responden di dalam kota Jakarta. Kebiasaan b.a.b responden di usus di Jakarta bahwa air mempunyai peran utama dalam
dalam kota Jakarta dengan responden di daerah lainnya pencemaran cacing usus pada sayuran, balk sebagai penyiram
mempunyai perbedaan sangat bermakna (p < 0,005). Hal ini maupun pencuci4.
dapat disebabkan oleh adanya faktor kemudahan di samping Kemungkinan lain, penduduk responden di tepi sungai
sempitnya lahan yang tidak memungkinkan pembuatan kakus. Ciliwung mendapatkan infeksi cacing usus melalui penggunaan
Sedangkan di luar kota dan di pinggir kota, tidak semuanya air sungai tersebut untuk mandi (termasuk gosok gigi) dan
b.a.b di sungai (28% & 54,1%) karena masalah lahan tidak mencuci perabot dapur. Dari wawancara terhadap penduduk
sebesar di daerah perkotaan, ditunjang juga dengan curamnya ternyata banyak responden di tepi sungai Ciliwung mempunyai
tepi sungai dan penduduk pada umumnya bertempat tinggal kebiasaan menggunakan air sungai Ciliwung untuk mandi (ter-
jauh dan sungai. masuk gosok gigi) dan mencuci perabot dapur (tabel 3 dan 4).

6 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


Tabel 3. Jumlah responden menurut sumber air untuk mandi dan Sedangkan di luar kota masih cukup tersedia lahan untuk
daerahnya tempat tinggal dan mendapatkan air bersih melalui sumur.
Sumber air
Di sini terlihat bahwa responden di pinggir kota tidak meng-
Jumlah gunakan air sungai untuk mencuci perabot dapur (tabel 4),
Daerah Sungai Bukan sungai responden karena tepi sungai sangat curam, walaupun penuh dihuni pen-
n % n % duduk. Secara keseluruhan 15,2% responden temyata mem-
Luar kota 7 28 18 72 25
punyai kebiasaan mencuci perabot dapur dengan memperguna-
Pinggir kota 4 16,7 20 83,3 24 kan air sungai (tabel 4). Hal ini memungkinkan penularan
Dalam kota 13 30,2 30 69,8 43 melalui kebiasaan Mi.
Dari basil penelitian in; didapat gambaran bahwa pen-
Jumlah 24 26,1 68 73,9. 92 duduk di tepi sungai Ciliwung, mempunyai kebiasaan yang
menunjang penyebaran dan tercemamya sungai Ciliwung oleh
telur cacing usus. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian
Tabel 4. Jumlah responden menurut asal air untuk mencuci perabot dapur lebih lanjut mengenai keberadaan telur cacing usus di sungai
dan daerahnya Ciliwung.
Asa! air
Jumlah SARAN
Daerah Sungal Bukan sungai responden Di samping perbaikan lingkungan pemukiman pcnduduk
n % n % dan ruang tata kota oleh Badan Pemerintah, partisipasi swasta
dan masyarakat untuk melakukan penyuluhan kesehatan baik
Luar kota 3 12 22 88 25
Pinggir kota 0 0 24 100 24 perorangan maupun lingkungan, dengan mengubah kebiasaan
Dalam kota 11 25,2 32 74,4 43 langsung pemakaian sarana air sungai maupun kebiasaan buang
air besar di sungai merupakan saran yang dianjurkan untuk
Jumlah 14 15,2 78 84,8 92 menurunkan angka kecacingan maupun angka pencemaran cacing
usus di sungai.

Penggunaan air sungai untuk mandi di luar kota Jakarta


dan di dalam kota Jakarta lebih kurang sama (28% dan 30%).
Sedangkan di pinggir kota Jakarta lebih rendah (16,7%), hal
KEPUSTAKAAN
ini disebabkan karena tepi sungai di luar kota dan di dalam
kota Jakarta landai sehingga mudah dicapai sedangkan di ping-
gir kota Jakarta curam. Tetapi secara keseluruhan dapat dikata- 1. Direktorat Jenderal P3M. Pedoman Pemberantasan Penyakit Cacing yang
Ditularkan Melalui Tanah di Indonesia. DepKes RI, Jakarta, 1980. h. 5.
kan bahwa responden di ketiga daerah penelitian mempunyai 2. Kumiawan L, Marwoto MA, Roesin R, Margono SS, Subijakto. Soil
kebiasaan mandi termasuk gosok gigi yang tidak berbeda ber- transmitted heiminthic infection among people of different socio-economic
makna (0,05 < p < 0,10) (tabel 3). Jadi di antara penduduk level (The prevalence and intensity of infection). Health Studies in
responden, kemungkinan mendapatkan infeksi melalui mandi Indonesia, 1976; 4:1 - 2.
3. Lila IN, Sudewa AAG, Soewamo H. Infeksi cacing usus pads penduduk
sama; tetapi kemungkinan mendapatkan infeksi melalui cuci desa Trunyan. Medika, 1981; 10 : 680.
perabot berbeda. Perbedaan ini terletak antara penduduk pinggir 4. Dewi RM, Marwoto HA, Renny M. Penelitian parasit usus pada sayuran
kota dan dalam kota (P < 0,005). Hal ini disebabkan karena di Jakarta. Cermin Dunia Kedokteran, 1987; 45 (Nomor khusus): 64.
terbatasnya air bersih - hanya 50% penduduk Jakarta yang 5. Safei S. Kontaminasi Telur-telur Nematoda Usus pada Sayuran di Pasar
Kotamadya Bandung Skripsi Sarjana Biologi F.IPPA Universitas Padja-
baru dapat menikmatinya dan 40% yang mempunyai jamban djaran, Bandung. 1980. h. 39.
(Ka Kanwil Kes)' - dan terbatasnya lahan yang lebih me- 6. Wangsadipura JG, Purnomo, Rahardja A. Parasit-parasit beberapa macam
mungkinkan timbulnya pola hidup kurang higienis di kota sayuran dari pasar di Jakarta. Dalam: Kumpulan Makalah Seminar
(terutama bagi mereka yang belum dapat menikmatinya) misal- Parasitologi Nasional II. Jakarta: Grafiti Medika Pers. 1981. bal. 596.
7. Muthalib MA. Viability of ascaris ova in water (abstract). 11th Asian
nya penggunaan sungai untuk tempat buang air besar, air Parasite Control and Family Planning Conference. APCO, Tokyo, 1984.
sungai untuk mencuci perabot dapur, cara pencucian sayuran. h. 86.

Experience is what you have


when you’ve lost everything

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 7


else.

8 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


Penelitian Parasit Usus
di Sungai Ciliwung
II. Angka Pencemaran Cacing Usus
Suwarni*, Purnomo**, Harry D. Ilahude ***, Harijani AM*
* Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Departemen Kesehatan RI, Jakarta
** US. Namru-2. Jakarta
*"°" Bagian Parasrtologi, Faku/tas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

ABSTRAK
Penelitian pendahuluan tentang angka pencemaran telur cacing usus telah dilaku-
kan di sepanjang sungai Ciliwung pada tahun 1989. Contoh air sungai diperiksa
menggunakan Rancangan Acak Kelompok.
Dari 435 contoh air yang diperiksa, 15,8% tercemar, 1,6% di antaranya tercemar
telur Astons lumbricoides dan Trichuris trichiura.
Dari hasil penelitian dapat dikatakan bahwa sungai Ciliwung dapat menjadi
sumber penularan cacing usus.

PENDAHULUAN sejauh mana air sungai Ciliwung sudah tercemar telur cacing
Air yang dipergunakan oleh penduduk Jakarta bersumber usus.
dari air tanah dan air sungai. Sungai Ciliwung adalah salah
satu sumber air, terutama bagi penduduk yang menghuni daerah BAHAN DAN CARA
tepiannya. Penduduk di sin, menunjukkan indikasi adanya ke- Penelitian dilakukan dengan mengambil contoh air di se-
biasaan meuipergunakan sungai dan air sungai untuk buang air panjang aliran sungai Ciliwung, pada bulan Maret—April 1989,
besar, mandi ( t e r asuk gosok gigi) dan mencuci peralatan da- secara Rancangan Acak Kelompok.
pur; di samping itu juga penduduk di tepi sungai Ciliwung ini Daerah penelitian dibagi menjadi 3 stasiun, di setiap
mempunyai kebiasaan suka makan lalapan mentah (Suwarni stasiun ditentukan 5 titik lokasi pengambilan contoh air.
dkk, tidak dipublikasi). Terbatasnya air bersih (KaKanwil.Dep. Stasiun A : Merupakan daerah aliran sungai Ciliwung yang
Kes. DHI Jakarta)! memungkinkan cara pencucian lalapan tidak mendekati hulu, terletak antara kota Bogor dan kota adminis-
higienis, sehingga penduduk dapat terinfeksi cacing usus me- tratip Depok (± 30 km dari kota Bogor dan 15 km dari kota
lalui lalapan ini. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa Depok).
berbagai sayuran tercemar telur cacing usus1 2 3 8 9.. Stasiun B : Merupakan daerah aliran sungai Ciliwung yang
Selain itu, masih banyaknya penduduk yang mempunyai terletak di antara stasiun A dan stasiun C, di tepi kota Jakarta.
kebiasaan buang air besar, mandi (termasuk sikat gigi), cuci Stasiun C : Merupakan daerah aliran sungai Ciliwung yang
peralatan dapur di sungai; dan bahwa telur cacing Astons lebih ke arah hilir hampir tengah kota Jakarta (Gambar 1,
dapat bertahan hidup selama ± 100 had', maka sungai dapat 2 dan 3).
merupakan sumber penularan. Oleh sebab itu ingin diketahui Pengambilan contoh air sungai Ciliwung, dilakukan di se-
besarnya angka pencemaran cacing usus di sungai Ciliwung. tiap titik lokasi, dari atas jembatan atau perahu dengan meng-
Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan gambaran gunakan alat yang dilengkapi tabung sentrifugasi 50 ml (Gam-

Dibacakan di Kongres Nasional Biologi ke-9, Juli 1989, di Padang, Sumatera


Barat.

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 9


Gambar 2. Lokasi Penelitian di stasiun A
(Kec. Bojong Gede, 1987)

Gambar 1. Peta Daerah Penelitian


(Dit.Jen. Pengairan, 1987)

bar 4). Setiap pengambilan contoh air dilakukan sebanyak apungan modifikasi Caldwel dan Caldwel (Masbar dan Pur-
15 kali cidukan dan setiap cidukan sebanyak 50 ml. nomo, 1979). Limapuluh ml contoh air dipusing selama 5
Contoh air sungai yang telah diambil dibawa ke labora- menit dengan kecepatan 1500 rpm; supernatan dibuang dan
torium dan diperiksa dengan teknik Pengendapan dan Peng- endapan dicuci dengan akuades 1-2 kali atau sampai bersih.

10 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


Gambar 4. Alat untuk mengambil contoh air.

5'
T li

kocok, didiamkan selama 15 menit. Untuk mendapatkan hasil


yang lebih peka, kira-kira 20 — 25 ml supernatan disaring
dengan nucleopore filter yang berdiameter 25 mm dan ber-
pori-pori 5,0 u. Selanjutnya dibuat sediaan dengan larutan
lugol 2% dan diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesar-
an 10 x 10.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil pemeriksaan contoh air di 3 stasiun dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah contoh air sungai Ciliwung yang diperiksa menurut
daerahnya.
Hasil pcmeriksaan
Daerah
Positif Negatif Jumlah

n % n % n %

Stasiun A 15 10 135 90 150 100


Stasiun B 15 11,1 120 88,9 135 100
Stasiun C 39 26,0 111 74,0 150 100

Jumlah 69 15,8 367 84,2 435 100

Dari 435 contoh air yang diambil, 15,8% tercemar telur


cacing dan larva dari ordo Rhabditorida. Frekuensi kehadiran
Gambar 3. Lokasi Penelitian di stasiun B dan stasiun C. Lokasi 1 dan 2 di baik telur cacing maupun larva Rhabditorida lebih besar di
stasiun B tidak terlihat dalam peta. stasiun C, mungkin karena di samping adanya telur cacing
(Peta DI{I Jakarta, 1988) dan larva tersebut di stasiun C, juga ditambah dengan akumu-
lasi telur dan larva dari stasiun A dan B. Demikian pula hal-
Kemudian 1—2 tetes endapan diperiksa di bawah mikroskop. nya pada stasiun B (st. A 10,0% sedangkan st. B 11,1%). Hal
Atas semua endapan yang negatif, dilakukan pemeriksaan ini sesuai dengan hasil penelitian Multihartini (1987), bahwa
kenibali dengan teknik pengapungan yaitu endapan ditambah kandungan telur cacing usus di sungai Cikapundung semakin
NaCl jenuh (Berat Jenis = 1,2) hingga 50 ml. Setelah di- ke hilir semakin bertambah.5

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 11


Dari 69 contoh air yang positif, 7 di antaranya (10,1%) manusia9.
positif telur cacing usus dan 62 (89,8%) positif larva dari ordo Tidak ditemukannya telur cacing usus di stasiun A dan B
Rhabditorida, jenisnya adalah Ascaris /umbricoides dan Trichuris (tabel 2), bukan berarti bahwa di kedua stasiun tersebut tidak
trichiura(Tabel 2). ada (negatif), tetapi mungkin tidak terbawa pada waktu peng-
ambilan contoh air.
Tabel 2. Jumlabsampelyang positipmenurutjenisparasitdandacrahnya.
Dari hasil penelitian ini walaupun temyata sebagian besar
Jenis parasit (14,2%) yang ditemukan adalah larva yang hidup bebas dan
Daerah Jumlah apatogen tetapi tidak boleh diabaikan karena ada jenis-jenis
A.1 T.t Hw R
tertentu dari ordo ini yang dapat menimbulkan penyakit; dan
n % n % n% n % n % walaupun telur parasit khususnya soil transmitted helminth yang
didapat rendah (1,6%), hal ini sudah menunjukkan bahwa
Stasiun A 0 0 0 0 0 0 15 100 15 100 sungai Ciliwung dapat merupakan sumber penularan. Untuk
Stasiun B 0 0 0 0 0 0 15 100 15 100
Stasiun C 4 10,3 3 7,6 0 0 32 82,1 39 100 mendapatkan gambaran yang lebih tepat, perlu penelitian lebih
lanjut dengan memperbanyak jumlah contoh air, pemeriksaan
Jumlah 4 5,8 3 4,3 0 0 62 89,8 69 100 tinja penduduk setempat maupun tanah dan sayuran.
A.I. = Ascaris lumbricoides
T.1. = Trichuris trichiura
Hw = Hookworm UCAPAN TERIMAKASIH
R = Rhabditorida Terima kasih kami ucapkan kepada Kepala Badan Litbangkes Jakarta,
Kepala Pus/it Penyakit Menular alas kesempatan yang diberikan, juga terhadap
Terlihat pada tabel 2, tidak ditemukan telur cacing tam- semua fihak yang telah memberikan bimbingan serta bantuan sehingga tulisan
bang; mungkin karena telur cacing tambang cepat menjadi ini selesai.
matang dan dalam 24–48 jam mengeluarkan larva rhabditifonn6,
sedangkan larva cacing tambang tidak begitu tahan terhadap KEPUSTAKAAN
pengaruh faktor luar; di samping itu juga mungktn telur cacing
tambang mudah hancur akibat agitasi air karena mempunyai 1. Dewi RM, Marwoto HA, Renny M. Penelitian parasit uses pada sayuran
di Jakarta. Cermin Dunia Kedokteran 1987; 45 (Nomor khusus):64.
dinding sel yang lebih tipis'. 2. Wangsadipura JG, Purnomo, Rahardja A. Parasit-parasit beberapa macam
Dari hasil pemeriksaan air yang positif (tabel 2), terlihat sayuran dari pasar Jakarta. Kumpulan Makalah Seminar Parasitologi Na-
bahwa sebagian besar (89,8%) yang ditemukan adalah larva sional II. Grafiti Medika Pers Jakarta, 1981. hal. 596.
dari ordo Rhabditorida, yang umumnya hidup bebas di tanah 3. Safei S. Kontaminasi telur-telur nematoda usus pads sayuran di pasar
Kotamadya Bandung. Skripsi Sarjana Biologi F. IPPA. Universitas Pa-
dan hancuran bahan-bahan organik, hanya satu genus, yaitu jajaran, Bandung, 1980, h. 39.
Strongyloides yang merupakan parasit pada vertebrata tingkat 4. Muthalib MA. Viability of ascaris ova in water. (abstract). Proc 11th Asian
tinggi8. Selain itu, salah satu jenis yaitu Rhabditis axel di- Parasite Control and Family Planning Conference. APCO, Tokyo, 1984 h. 86.
temukan dalam urine pada anak berusia 12 tahun yang men- 5. Multihartini, P. Telur-telur parasit helminthes penyebab gastroententeritis
pada manusia di sungai Cikapundung Bandung, Thesis Sarjana Biologi
derita nephritis dan seorang ibu muda di Cina (Feng and Li Institut Tehnologi Bandung, 1987. H. 24.
l950)8. Di samping itu juga yang mungkin perlu diperhatikan 6. Rukmono B, dkk, Edisi ketiga. Jakarta: Gramedia 1979.
adalah genus Micronema, anggota dari genus ini juga merupa- 7. Sri S. Margono: Komunikasi pribadi. Bagian Parasitologi FKUI
kan nematoda yang hidup bebas dan biasanya apatogen tetapi 8. Levine ND. Nematode Parasites of Domestic Animals and of Man
Burgess Publishing Company, 1968. hal. 62
salah satu jenisnya (Micronema deletrix) dapat menyebabkan 9. Hoogstraten J, Connor DH, Neaftl RC. Pathology of Tropical Diseases
luka pada kuda dan meningoensefalomielitis yang fatal pada Armed Forces Institute of Pathology, Washington D.C., I and II: 1979.

A wise man thinks what he says, a


fool says what he thinks

12 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


Penelitian-penelitian "Soil-Transmitted
Helminth." di Indonesia
Emiliana Tjitra
Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan PengembanganKesehatan,
Departemen Kesehatan R.I., Jakarta

PENDAHULUAN pengobatan dan lain-lain, prevalensi penyakit ini tetap tinggi.


Soil-transmitted helminth adalah cacing golongan nematoda Hal ini disebabkan karena sebagian penduduk hidup masih
yang memerlukan tanah untuk perkembangan bentuk infektif- secara tidak sehat.
nya. Di Indonesia golongan cacing ini yang penting dan me-
nyebabkan masalah kesehatan masyarakat adalah Ascaris PENELITIAN-PENELITIAN YANG TELAH DILAKU-
lumbricoides, Trichuris trichinra, dan cacing tambang yaitu : KAN
Necator americanus, dan Ankylostoma duodenale.
1. Penelitian epidemiologi
Infeksi cacing terdapatluas di seluruh Indonesia yang beriklim
tropis, terutama di pedesaan, daerah kumuh, dan daerah yang Penelitian epidemiologi telah dilakukan hampir di seluruh
padat penduduknya. Semua umur dapat terinfeksi cacing ini dan propinsi Indonesia, terutama pada anak-anak sekolah dan umum-
prevalensi tertinggi terdapatpada anak-anak. Penyakit ini sangat nya didapatkan angka prevalensi tinggi yang bervariasi. Pre-
erat hubungannya dengan keadaan sosial-ekonomi, kebersihan valensi askariasis, trichuriasis, dan infeksi cacing tambang path
diri dan lingkungan. manusia di propinsi DKI Jakarta adalah 4 — 91%, 30 -100%,dan
Prevalensi kecacingan ini sangat bervariasi dari satu daerah 1— 30%(3,4,5,6,7); Jabar adalah 20 — 90%, 46 — 91%, dan 5 — 67%(8,9);
ke daerah lain, tergantung dari beberapa faktor antara lain : Yogyakarta adalah 12 — 85%, 37 — 95%, dan 25 — 77%(10,11,12).;
daerah penelitian (desa atau kota, kumuh, dll), kelompok umur Jatim adalah 16 — 74%, 1 — 14%, dan 2 — 45%(13,14); Bali adalah
yang diperiksa, teknik pemeriksaan, kebiasaan penduduk se- 40 — 95%, 25 — 90%, dan 20 — 70%(15); NTT adalah 10 — 75%,
tempat (tempat buang air besar, cuci tangan sebelum makan, 4 — 78%, dan 1— 29%(16.,7,18,19); Sumut adalah 46— 75%, 65%, dan
tidak beralas kaki, dll), dan pekerjaan penduduk. Prevalensi di 20%(17,20); Sumbar adalah 2 — 71%, 6 — 10%, dan 20 — 36%(17.21);
Indonesia antara 60 — 90%01), Di antara ke empat macam cacing Sumsel adalah 51— 78%, 37%, dan 23%(17.22); Kalsel adalah 79 —
tersebut, A. lumbricoides adalah yang tertinggi prevalensinya, 80%, 78%, dan 82%(17.23); dan Sulut adalah 30 — 72%, 12%, dan
dan umumnya penderita menderita infeksi ganda. 13%(17,24).
Penyakit kecacingan ini umumnya tidak akut dan tidak fatal, Bila menurut golongan umur, askariasis dan trichuriasis
tetapi menyebabkan penyakit kronis yang sulit diukur invalidi- lebih banyak ditemukan pada anak-anak, sedangkan infeksi
tasnya. Gejala klinis yang ditimbulkan terutama berupa sakit cacing tambang pada dewasa muda dan dewasa(10,11,16,25,26,27).
perut, diare, anemia, dan gizi kurang. Prevalensi kecacingan anak balita juga lebih rendah dibandingkan
Program pemberantasan penyakit cacing telah dimulai sejak golongan umur lain, mungkin disebabkan anak balita relatif lebih
tahun 1975, sejak Pelita IV (1984) program pemberantasan sedikit tercemar infeksi(15). Penderita askariasis termuda adalah
penyakit cacing ini termasuk pada Program Pemberantasan bayi umur 16 minggu, dan 41 minggu pada trichusiasis; sedang-
Penyakit Diare (Pl Diare)(2). kan infeksi cacing tambang tidak diketemukan pada bayi, tetapi
Penelitian-penelitian epidemiologi dan pemberantasan dengan bertambahnya umur, prevalensi juga meningkat. Pre-
telāh banyak dilakukan sejak tahun 1970 oleh berbagai pihak. valensi askariasis, trichuriasis dan infeksi cacing tambang path
Walaupun telah dilakukan pemberantasan sejak lama dengan bayi 0—1 tahun adalah 82,8%, 11,1%, dan 0%; sedangkan untuk

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 13


anak 1–2 tahun adalah 100%, 75%, dan 3%(28). mengikutsertakan organisasi swasta antara lain PKBI, JOICP,
Prevalensi menurut jenis kelamin sangat erat hubungannya dan P41(2). Pemberantasan dilakukan dengan pengobatan atau
dengan pekerjaan dan kebiasaan penderita. Di Yogyakarta in- terpadu dengan perbaikan kebersihan lingkungan, penyuluhan
feksi cacing tambang lebih banyak ditemui pada penderita laki- keschatan atau terpadu dengan program-program lain antara lain
laki dibandingkan wanita(10), sedangkan di NTT lebih banyak KB dan Gizi.
pada wanita(16). Demikian juga askariasis di Yogyakarta lebih
banyak ditemui pada wanita(10), sedangkau di NTT pada laki- PENGOBATAN
laki(7). Prevalensi trichuriasis tidak begitu banyak berbeda antara Obat-obatan yang pernah dipakai dalam pemberantasan
laki-laki dan wanita(10,16) adalah: piperazin hidrat, pirantel pamoat (Combantrin®), oxantel-
Prevalensi kecacingan yang berhubungan• dengan jenis pirantel pamoat, mebendazol, flubendazol, albendazol, levami-
pekerjaan adalah infeksi cacing tambang yaitu ditemukan tinggi sol, dan Trivexan® (pirantel pamoat dan mebendazol). Karena
pada buruh waduk irigasi dan lapangan terbang (84 – 87,3%)(29), kasus reinfeksi di Indonesia sangat tinggi, maka perlu dilakukan
buruh kebun karet (93,1%)(30), dan buruh tambang batu bara pengobatan ulangan sesuai prevalensi kecacingan. Pada umum-
(79,8%)(31). nya dilakukan 3 kali setahun bila prevalensi > 30%, 2 kali setahun
Prevalensi kecacingan yang berhubungan dengan status bilaprevalensi 20 – 30%, 1 kali setahun bilaprevalensi 10 – 20%,
ekonomi dan kebersihan lingkungan diteliti di Cirebon, Jabar. dan bila < 10% maka hanya kasus positip saja yang diobati(17).
Ternyata prevalensi kecacingan semakin tinggi pada kelompok Piperazin hidrat pernah diberikan kepada 63 anak balita
sosial ekonomi kurang dan kebersihan lingkungan buruk, di- yang menderita askariasis berat dan gizi buruk di Bantul,
bandingkan kelompok sosial ekonomi dan kebersihan lingkung- Yogyakarta; ternyata memberikan angka penyembuhan 42,9%
an yang sedang dan baik. Adapun prevalensi golongan sosial dan angka penurunan jumlah telur 84,9%; dan berat badan anak
ekonomi dan kebersihan lingkungan kurang, sedang, dan baik bertambah(40). Ini berarti piperazin hidrat kurang efektif sebagai
untuk askariasis adalah 80%, 56,6%, dan 33%; untuk trichuriasis obat cacing.
adalah 92,4%, 74,1% dan 54%; sedangkan untuk infeksi cacing Pirantel pamoat 10 mg/kgBB, dosis tunggal sampai saat ini
tambang adalah 82,4%, 41,8%, dan 24%(32). masih banyak dipakai untuk mengobati kecacingan. Diketahui
Prevalensi kecacingan yang berhubungan dengan perbeda- bahwa basil pengobatan dengan obat ini memperbaiki status gizi
an daerah penelitian yaitu antara daerah pedesaan dan perkotaan (berat badan dan tinggi badan)(9A.41); menurunkan prevalensi dan
telah diteliti pada 2 SD di Depok. Ternyata prevalensi askariasis, TEPG (total egg count per gram tinja), dan pencemaran ta-
trichuriasis dan infeksi cacing tambang lebih tinggi di pedesaan nah(7,35,42). Angka penyembuhan pirantel pamoat terhadap A.
yaitu 66%, 63%, 53%; diba:ldingkan daerah perkotaan yaitu lumbricoides, T. trichiura, dan cacing tambang adalah 96,6%,
19%, 46%, dan 5%. Intensitas infeksi askariasis, trichuriasis, dan 22,6%, dan 81,6%(43). Jadi pirantel pamoat tidak efektif untuk
cacing tambang juga terlihat lebih berat di daerah pedesaan yaitu trichuriasis. Efek samping obat yang dilaporkan ringan dan
dengan RTPG (rata-rata telur pergram tinja) 12.803, 533, dan bersifat sementara.
618; dibandingkan di daerah perkotaan yaitu 4.878, 843, dan Oxantel-pirantel pamoat (150 mg oxantel pamoat dan 150
360(9). mg pirantel pamoat) tablet dengan dosis tunggal 10 – 30 mg/
Telur cacing dapat juga ada pada kuku jari tangan. Dua dari kgBB, memberikan angkapenyembuhan 94–96%,46-97% dan
213 anak yatim piatu di Jakarta yang diperiksa, ternyata mengan- 24% terhadap askariasis, trichuriasis, dan cacing tambang. Di
dung telur A. lumbricoides, dan seorang lagi mengandung telur samping itu juga memberikan angka penurunan jumlah telur
A. lumbricoides dan T. trichiura(33). Telur A. lumbricoides juga cacing 98,2 – 99,9%, 82 – 99,7%, dan 89% terhadap askariasis,
ditemukan pada 2 dari 131 anak sekolah di Jakarta yang diperiksa trichuriasis, dan cacing tambang(13.44.0.46). Ini berarti oxantel-
kukunya(34). pirantel pamoat kurang efektif untuk cacing tambang.
Selain pada manusia, penelitian epidemiologi juga dilakukan Mebendazol (Vermox®) dengan dosis tungga1 500 mg atau
terhadap tanah di Jakarta dan Jawa Barat (Serpong). Di Jakarta, 200 mg perhari selama 3 hari berturut-turut, memberi angka
37,5% (18 dari 48) pekarangan rumah positif telurA. Lumbricoi- penyembuhan terhadap askariasis 93 – 99,8%; trichuriasis 89,7–
des, dan 18,5% (23 dari 124) sampel tanah yang diperiksa positif 92,7%, cacing tambang 88,4 – 100%. Angka penurunan jumlah
telur A. lumbricoides(7). Di Serpong ditemukan 20,8 – 37,5% telur untuk askariasis adalah 99,8%, 89,7%, dan 100%(6). Efek
tanah positif telur A. lumbricoides(35) samping obat ini adalah erratic migration dari A. lumbricoides
Beberapa jenis sayuran (terutama kol dan selada) juga (3,4%)(6), sedangkan efek samping lainnya ringan dan bersifat
mengandung telur cacing (6 – 16%) terutama A. lumbricoides sementara. Mebendazol tampaknya cukup efektif untuk ke tiga
dan cacing tambang(36,37,39). jenis cacing tersebut.
Penelitian pada air dan lumpur yang dipakai untuk menyi- Flubendazol 300 mg, memberikan angka penyembuhan
ram dan menanam sayuran di Bandung, juga mengandung telur terhadap askariasis 82,8%, trichuriasis 15,2%, dan cacing tam-
A. lumbricoides, T. trichiura dan cacing tambang. Prevalensi bang 5,4%; sedangkan angka penurunan jumlah telur askariasis
pada air adalah 36,8%, dan pada lumpur 21%09). 95,7%, trichuriasis 80,5%, dan cacing tambang 50,4% dari 104
penderita kecacingan yang diobati(43). Ternyata flubendazol
2. Penelitian pemberantasan hanya efektif untuk askariasis.
Di Indonesia kegiatan pemberantasan dilakukan dengan Albendazol 400 mg, dosis tunggal memberikan angka

14 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


penyembuhan 100% untuk askariasis (31 kasus) dan cacing gram ini temyata juga meningkatkan status gizi anak (melalui
tambang (5 kasus); dan 59,3% untuk trichuriasis (32 kasus). pengukuran berat dan tinggi badan)(56.
Angka penurunan jumlah telur untuk askariasis dan cacing
tambang adalah 100%, sedangkan untuk trichurias is adalah 71,4%. PENELITIAN-PENELITIAN LAIN
Efek samping ringan dan tampaknya albendazol hanya efektif Penelitian untuk mencari faktor-faktor yang berhubungan
untuk askariasis dan cacing tambang(48). dengan askariasis telah diteliti oleh Ismid dkk (1988). Ternyata
Levamisol 120 mg dosis tunggal, memberi angka penyem- didapat hubungan bermakna antara adanya askariasis dengan
buhan 100% untuk askariasis dan cacing tambang, sedangkan kebersihan pribadi dan kebersihan lingkungan, tetapi tidak ada
untuk trichuriasis hanya 78,6%. Efek samping obat yang hubungan bermakna antara adanya askariasis dengan status
ditemukan adalah mual-mual dan mules pada 2 dari 43 penderita gizi(57).
yang diobati. Tampaknya levamisol cukup efektif untuk jenis Hanya 35% ibu-ibu yang mempunyai balita pernah men-
cacing tersebut(22). dapat informasi mengenai askariasis, dan 87,5% didapat dari
Trivexan® telah diteliti dengan 3 macam dosis. Angka media massa. Rendahnya informasi yang didapat dari petugas
penyembuhan dengan dosis pirantel pamoat 100 mg dan me- kesehatan mungkin disebabkan karena kecacingan merupakan
bendazol 150 mg/tablet, 1X 1 tablet/hari, selama 3 hari, pada program dengan prioritas rendah. Pada penelitian ini didapat
askariasis 96 – 100%, trichuriasis 75 – 99,3%, dan cacing hubungan bermakna antara adanya informasi dengan tingkat
tambang 98 – 100%(5,14,22,49,50). Angka penurunan jumlah telur pengetahuan ibu tersebut, tidak ada hubungan antara penghasilan
untuk askariasis 97% dan trichuriasis 94,1%m). Efek samping keluarga dan tingkat pengetahuan ibu, pendidikan formal tidak
obat dengan dosis ini hanya mual-mual(5). mempengaruhi tingkat pengetahuan mengenai askariasis, dan
Angka penyembuhan Trivexan® dengan dosis pirantel peningkatan pengetahuan paralel dengan kenaikan jumlah anak(58).
pamoat 60 mg dan mebendazol 200 mg/tablet, 1 tablet/hari, Pada penelitian efek Keluarga Berencana pada infeksi para-
selama 3 hari, pada askariasis 96 -100%, trichuriasis 87 -100%, sit usus pada anak-anak, ternyata tidak didapatkan perbedaan
dan cacing tambang 83 -100%(19,51.52). Dengan dosis ini beratnya bermakna mengenai prevalensi parasit usus yang ditemukan di
infeksi juga dapat diturunkan(1S). antara kelompok yang ber KB dan tidak ber KB. Keadaan gizi
Angka penyembuhan Trivexan® dengan dosis tunggal dan beratnya infeksi dari beberapa cacing usus (A. lumbricoides
pirantel pamoat 500 mg dan mebendazol 250 mg, pada askariasis dan T. trichiura) pada ke dua kelompok anak tersebut berbeda
100%, trichuriasis 63,6%, dan cacing tambang 78,8%; sedang- bermakna(59).
kan angka penurunan jumlah telur untuk askariasis 100%, trichu- Pada penelitian peran serta masyarakat dalam program
riasis 84,9%, dan cacing tambang 98,5%. Selamapengobatan tak integrasi Keluarga Berencana, pemberantasan penyakit cacing,
dijumpai efek samping obat(53). Ternyata Trivexan® cukup efek- dan perbaikan gizi, ternyata peran serta masyarakat dalam pro-
tif untuk ke tiga jenis cacing tersebut, terutama dengan pem- gram pemberantasan penyakit cacing, secara tidak langsung
berian selama 3 hari. menaikkan keikutsertaan anal( balita dalam program perbaikan
gizi(60).
PROGRAM TERPADU Rampen dkk (1988) membandingkan cara filtrasi dan peng-
Pemberantasan dengan program terpadu telah dilakukan apungan untuk pemeriksaan tanah yang tersangka tercemar telur
oleh beberapa peneliti. Dengan keterpaduan ini diharapkan kasus cacing usus. Ternyata cara filtrasi memberikan basil positif lebih
reinfeksi dapat dicegah dan prevalensi kecacingan dapat diper- banyak dan berbeda bermakna dibandingkan cara pengapungan
tahankan serendah-rendahnya. untuk telur A. lumbricoides(61)
Pemberantasan dengan melakukan pengobatan massal, pe- Pada penelitian pengaruh larutan desinfektans terhadap larva
nyuluhan kesehatan secara intensif, perumahan yang teratur, cacing tambang manusia, disimpulkan bahwa larutan kresol 1%
tersedianya sarana air minum dan jamban keluarga di dua daerah paling efektif membunuh larva dibandingkan dengan larutan lain
transmigrasi dapat menurunkan prevalensi kecacingan dan tidak (fenol dan denol). Perbedaan pengaruh konsentrasi larutan kresol
mencemari sekeliling rumah(20,54). juga bermakna yaitu antara 0,5% dan 1%. Waktu yang dibutuh-
Program terpadu pengobatan dengan penyuluhan kesehatan kan untuk membunuh larva oleh larutan kresol 1% adalah 8 ± 6
melalui kader Posyandu di daerah pinggiran kota juga telah menit(62).
dilakukan; dan hasilnya cukup baik, prevalensi kecacingan, Ketahanan hidup telur A. lumbricoides dalam cairan olahan
angka infeksi tanah, angka jumlah telur per gram tinja menjadi tinja tangki pencerna telah diteliti. Ternyata 43% telurA. lumbri-
menurun; sedangkan pengetahuan kesehatan meningkat(7). coides dapat didegenerasikan melalui proses kenaikan suhu yang
Program pemberantasan cacing juga telah dicoba terpadu terjadi karena adanya dekomposisi aerobik(63).
dengan program Keluarga Berencana dan Gizi di Sawahlunto Pengalaman klinik pada penderita askariasis dilaporkan
dan Serpong. Program terpadu tersebut ternyata dapat mem- oleh Hadi dkk. Pada penderita dewasa askariasis yang dirawat di
bangkitkan peran serta masyarakat untuk menciptakan keber- RS ditemukan 2 kasus ikterus kolestatik, 1 kasus ileus obstruktif,
sihan lingkungan yang baik, sehingga tujuan untuk mencapai 2 kasus apendisitis, 1 kasus esofagogastritis korosiva dan 1
masyarakat dan lingkungan yang sehat dapat tercapai(55). Pro- kasus merasa sering tidak enak di perut dan diare(64).

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 15


Dari basil penelitian pola reaksi atopi pada orang-orang 7. Margono SS, Ismid SS, Rukmono B. Effect of control of soil-transmitted
dengan infestasi parasit A. Lumbricoides dapat disimpulkan bahwa: helminth infections in a suburban area in Jakarta, Indonesia (second year
askariasis mampu merangsang peningkatan pembentukan Ig E report). The 10th Parasitologist Meeting, Beijing, October 31-November
1, 1988.
baik total maupun spesifik, askariasis merangsang peningkatan 8. Clarke MD dkk. Human malaria and intestinal parasites in Kresek, West
jumlah eosinofil darah tepi, dan tampaknya askariasis menekan Java,Indonesia, with a cursory aerological survey for tozoplasmosis and
reaksi atopi dari aler,gen inhalan(65). amoebiasis. Southeast Asian J Trop Med Pub Hlth 1973; 4 : 32-6.
Pada penderita penyakit cacing tambang di dua daerah 9. Damayanti NA, Mahfudin H, Chaffin A. Prevalensi dan intensitas infeksi
cacing yang ditularkan melalui tanah pads dua sekolah dasar dengan
endemik di Jatim, didapat bahwa periode ulang yang tepat untuk lingkungan berbeda. Seminar Parasitologi Nasional V dan Kongres P4I,
pengobatan infeksi cacing tersebut berkisar 18 bulan atau lebih Bogor, 20-22 Agustus, 1988.
yang didapat dengan memakai rumus : perkembdngan intensitas 10. Soeripto N, Dulyachman, Sumami S, Sutarti. Soil-transmitted helminths
infeksi cacing tambang di daerah endemik : y = a + bx. Di in Yogyakarta. Bull. Penchi. Kea. 1989; 17 (2) : 247-55.
11. Clarke MD, dkk. A parasitological survey in the Yogyakarta area of
samping ltu didapatkan beberapa hipotesa : di daerah endemik Central Java, Indonesia. Southeast Asian J Trop Med Pub Hlth 1973; 4 :
cacing tambang maka intensitas infeksi terpelihara pada suatu 195-201.
nilai yang senantiasa konstan selama tidak terjadi intervensi pada 12. Soeripto N, Soebagyo L, Mardihusodō SY, Susanto C, Wijono P, Utomo.
variabel yang berperan, nampaknya mekanisme yang mengatur Pengobatan infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah (soil-
transmitted helminths) dengan pirantel pamoate di Yogyakarta. Perkum-
stabilitas cacing terkandung adalah mekanisme imun hospes. pulan Naskah Lokakarya Pemberantasan Penyakit Cacing Tambang Dan
Fluktuasi kenaikan TPG akibat musiman yang berlangsung Parasit Perot Lain, 1978: 151-66.
periodik dan dibiarkan berkembang secara alamiah merupakan 13. Soedarto, Ideham B, Machfud, Widodo A, Kusmartisnawati. Pengobatan
faktor penting terjadinya anemia cacing tambang; bila pengaruh trikuriasis pada anak sekolah dasar di Sidoardjo, Jawa Timur, dengan
Oksantel-pyrantel pamoat. Maj Parasitol Indon 1988; 2 (1&2) : 45-50.
superinfeksi dan reinfeksi sudah dapat dihilangkan maka infeksi 14. Soebaktiningsih dkk. Pengobatan cacing usus dengan kombinasi obat
cacing tambang lambat laun akan lenyap dengan sendirinya(66). mebendazole dan pyrantel pamoate dosis tunggal pads karyawan-karya-
wan PTP XXIII, kebun Wonosari, Lawang. Seminar Parasitologi Nasional
KESIMPULAN ke II dan Kongres P4I, Jakarta, 24-27 Juni 1981.
1) Prevalensi soil-transmitted helminth di Indonsia sangat 15. Sutisna P. Human parasitic infection in Bali : a review. Bull Pencil' Kes
1989; 17 (2) : 276-83.
bervariasi dari satu daerah ke daerah lain yaitu 1—100% dan 16. Joesoef A, Dennis DT. Intestinal and blood parasites of man on Alor island,
prevalensi tertinggi adalah askariasis. Southeast Indonesia. Southeast Asian J Trap Med Pub Iilth 1980; 11 (1):
2) Prevalensi yang masih tinggi disebabkan karena banyaknya 43-7:
kasus reinfeksi, adanya kebiasaan buruk, dan kurangnya infor- 17. Kodijat S, Margono SS. Segi biologi dan epidemiologi sehubungan
dengan strategi pemberantasan ascariasis. Maj Kedokt Indon 1985, 35
masi kecacingan. (12) : 738-42.
3) Tampaknya mebendazol, levamizol, dan Trivexan® cukup 18. Pumomo, Oemijati S, Soewarta A, Pribadi W, Parton F. Pemberantasan
efektif untuk ke tiga macam cacing tersebut. cacing usus yang ditularkan melalui tanah dengan trivexan di desa Pau,
4) Pemberantasan terpadu dengan program kesehatan lainnya Flores Barat, Indonesia. Seminar Parasitologi Nasional ke II dan Kongres
P41, Jakarta, 24-27 Juni 1981.
merupakan cara yang baik untuk dilakukan. 19. Pumomo, Partono F, Soewarta A. Human intestinal parasites in Karakuak,
West Flores, Indonesia and the effect of treatment with mebendazole and
pyrantel pamoate. Southeast Asian I Trop Med Pub Hlth 1980; 11 (3) :
UCAPAN TERIMA KAS/H 324-7.
20. Depary AA, Kosman ML, Djali D. Helminthiasis di kalangan karyawan
Ucapan ter ima kasih dilujukan kepada BapakDr. Suriadi Gunawan DPII di Medan. Medika 1982; 6 : 451-5.
dan lbu Dra. Harijani AM yang mengijinkan ma/co/tab ini sebagai bahan 21. Indriyono, Roesin R, Syarifuddin M, Sujono J. Program pemberantasan
masukan persiapan Lokakaya Nasional Litbangkes 1990, dapat diterbitkan. penyakit cacing yang ditularkan melalui tanah di kalangan penduduk
daerah transmigrasi Sitiung L Seminar Parasitologi Nasional ke II dan
Kongres P4I, Jakarta, 24-27 Juni 1981.
22. Chandra B. Uji cobs banding antara obat cacing kombinasi mebendazole
KEPUSTAKAAN dan pyrantel pamoate dengan levamizole pada soil transmitted helminths.
Medika 1990; 2 : 115-7.
1. Adhyatma. Kebijaksanaan pemberantasan penyakit parasit di Indonesia. 23. Masbar S, Pumomo. Preliminary observation of human behavior in
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular, connection with the transmission of Ascaris lumbricoides, hookworm, and
Depkes RI, Jakarta, 1979. Trichurir trichiura in South Kalimantan. Seminar Parasitologi Nasional
2. Koinunikasi pribadi dengan Daryono, staf P2 Diare, 1990. ke III, Bogor, 1977.
3. Hendarwanto dkk. Prevalensi cacing usus 2ada penderita yang dirawat di 24. Mandagi HG, Tumewu M, Kapojos FX, dan Runtuwene J. Pemberantasan
RS Persahabatan, Jakarta. Seminar PamsitorogiNasional ke II dan Kongres cacing usus khusus yang ditularkan melalui tanah pada panti-panti asuhan
P4I, 24-27 Juni 1981, Jakarta. di kota madya Manado. Seminar Parasitologi Nasional ke II dan Kongres
4. Abidin SA. Epidemiologi racing usus yang ditularkan melalui tansh. P4I, Jakarta, 24-27 Juni 1981.
Seminar Albendazole, Jakarta, 1989. 25. Cross JH, Gunawan S, Gabs A, Wauen RH, Saroso IS. Survey for human
5. Ismid IS, Rasad R, Rukmono B. Prevalence and treatment of intestinal intestinal and blood parasites in Bojolali, Centre Java, Indonesia. Southeast
helminthic infections among children in orphanages in Jakarta, Indonesia. Asian I Trop Med Pub Hlth 1970; 5 (1) : 354-60.
Southeast Asian J Trop Med Pub Hlth 1981; 12 (3) : 371-5. 26. Clarke MD, Camey WP, Cross JH, Hadidjaja P, Oemijati S, Joesoef A.
6. Abidin SAN, Rasad R. Pengobatan infeksi nematoda usus dengan me- Schistosomiasis and other human parasitologis of the lake Lindu in Central
bendazole 500 mg dosis tunggaL Medika 1990; 3 : 192-7. Sulawesi (Celebes), Indonesia. Am J Trop Med Hyg 1974; 5 (23) : 385.
27. Cross JH dkk. Parasitological survey and seroepidemilogy of amoebiasis

16 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


in South Kalimantan (Borneo), Indonesia. Southeast Asian J Trop Med 49. Abidin SAN, Mahfudin H, Rasad R, Rasidi R, Margono SS, Rukmono B.
Pub H1th 1975; 5 (6) : 52—60. A combination of pyrantel pamoate and mebendazole in the treatment of
28. Lie KJ dick. Diarrhoea among infants in a crowded area of Jakarta, soil transmitted helmminthics infection. Collected papers on the control of
Indonesia, Bull WHO 1966; 34 : 197. soil transmitted helminths 1980; 1 : 301—8.
29. Margono SS, Blahude HD, Rasad R, Oemijati S. Intestinal helminths 50. Lubis RM, Gani EH, Rusaini K, Djali D. Pengobatan kecacingan asca-
infection among construction laboures in West Java. Maj Kedokt Indon riasis, trichuriasis, dan ankylostomiasis dengan kombinasi 100 mg pyran-
1975; 3-4 : 584. tel pamoate + 150 mg mebendazole. Seminar Parasitologi Nasional Ice II
30. Rasidi R, Illahude HD, Oemijati S, Dakung LS, dan Margono SS. Infeksi dan Kongres P4I, Jakarta: 24—27 Juni 1981.
parasit usus pads buruh perkebunan karet di Sukabumi, Jawa Barat. Maj 51. Pasaribu MP, Pumomo. Perbandingan hasil pengobatan cacing usus yang
Kedokt Indon 1876; 1—2 : 801—7. ditularkan melalui tanah dengan Trivexan® dan Combantrin® di Jakarta.
31. Adjung S. Diarhoeal diseases due to intestinal parasites in Inddnesia (a Seminar Parasitologi Nasional ke II dan Kongres P4I, Jakarta: 24—27 Juni
review). NICD, New Delhi, 28 Oktober - 1 Nopember 1985. 1981.
32. Margono SS, Oemijati S, Roesin R, Hardjawidjaja L, Rasidi R. Soil- 52. Pumomo. Usaha mengeluarkan berbagai macam cacing usus dengan
transmitted helminthic infection among people of different socio-economic pengobatan Trivexan®. Seminar Parasitologi Nasional ke III, Bandung:
levels in West Java. ii. The effect of treatment with pyrantel pamoate 29—31 Agustus 1983.
(Combantrin®).Bull Penelit Kes 1976; 4 : 57—62. 53. Soebagyo L, Triwibowo, Sumarni S. Pengalaman berbagai dosis kombi-
33. Ismid IS, Rukmono B. Nail and dust examination for helminthic eggs in nasi pyrantel pamoate dan mebendazole dosis tunggal pads pengobatan
orphanages. Collected papers on the control of soil-transmitted helmin- cacing usus di RS UGM bag Bmu Penyakit Dalam. Seminar Parasitologi
thiasis by the APCO resarch group II 1983 : 51—2. Nasional ke II dan Kongres P4I, Jakarta: 24—27 Juni 1981.
34. Ismid IS, Rasad R. Telur cacing yang ditemukan pada kuku anak sekolah 54. Ismid IS, Rasidi R, Blahude HD, Rasad R. Infeksi cacing yang ditularkan
dasar. Seminar Parasitologi Nasional ke III, Bandung, 29—31 Agustus, melalui tanah pada soak balita serta epidemiologi di daerah transmigrasi
1983. Batumara, Sumatera Selatan. Seminar Parasitologi Nasional ice III, Ban-
35. Ismid IS dkk. The effect of mass treatment in different target groups on dung: 29—31 Agustus 1983.
the dispersion of ascariasis eggs in the soil (research theme 1980, 55. Indrijono, Suyono D, Rukmono B. The effect of parasite control upon the
Indonesia). Proceedings Konferensi APC/FP VIII 1981 : 202—4. improvement of environmental sanitation (an Indonesian experience).
36. Harian umum Pikiran Rakyat, 1 Oktober, 1986. Presented at the fourth APCO Parasitologist's Meeting 1982. Collected
37. Widjana DP, Kapti N. Cacing-cacing yang ditularkan melalui tanah (soil- papers on the control of soil transmitted helminthiasis by the APCO
transmitted helminth) pads beberapa bahan sayuran dalam lingkungan kotif Research Group vol II : 261—5.
Denpasar. Maj Kedokt Univ Udayana 1986; 52 : 30—5. 56. Prihartono J dkk. The effect of regular deworming on the nutritional status
38. Devil RM, Marwoto HA, Marvel Renny. Penelitian parasit usus pads of underfives (research theme Indonesia, 1981). Presented at the fourth
sayuran di Jakarta. Cennin Dunia Kedokt 1987; 45. APCO Parasitologist's Meeting, 1982. Collected papers on the control of
39. Kodijat S. Kontaminasi sayuran mentah dengan telur cacing yang ditular- soil transmitted helminthiasis by APCO Research Group vol II : 312—9.
kan melalui tanah. Maj Parasitol Indon 1988; 2 (1&2) : 41—3. 57. Ismid IS, Margono SS. Kebersihan pribadi, sanitasi lingkungan dan status
40. Noerhajati, Soetarti, Moetrarsi, Baedhowi C, Soemami S, Rahardjo A. gizi anak sekolah yang menderita askariasis. Seminar Parasitologi Na-
Pengaruh pengobatan piperazine hydrate terhadap status gizi soak balita. sional ke V dan Kongres P4I ke IV, Ciawi, Bogor: 20—22 Agustus 1988.
Seminar Parasitologi Nasional ke II dan Kongres P4I, Jakarta: 24—27 Juni 58. Ismid IS, Santoso B, Rushwandi, Mulyadi. Pengetahuan mengenai aska-
1981. riasis pada ibu yang mempunyai soak balita. Seminar Parasitologi Na-
41. Kapojos FX, Tumewu M, Mandagi HG, Runtuwene J, Tambayong EF. sional ice V, Bogor: 20—22 Agustus 1988.
Pemberantasan penyakit cacing usus yang khusus ditularkan melalui tanah 59. Wijahno RS, Adipoetra S, Soegiyanto S, Gde Ranuh IGN. Efek program
pads anak-anak sekolah dasar di desa Pineleng. Seminar Parasitologi Keluarga Berencana pads infeksi parasit usus pads soak-soak. Seminar
Nasional ke III, Bandung: 29—31 Agustus 1983. Parasitologi Nasional ke II dan Kongres P4I, Jakarta: 24—27 Juni 1981.
42. Margono SS, Effendi F, Blahude HD, Tantoro I. Pengobatan mas sal 60. Ismid IS, Margono SS, Rukmono B. Peran serta masyarakat dalam
parasit usus di Proyek Integrasi Serpong, Jawa Barat. Seminar program integrasi Keluarga Berencana, Pemberantasan Penyakit Cacing
Parasitologi Nasional ke II dan Kongres P4I, Jakarta: 24—27 Juni 1981. dan Perbaikan Gizi di kelurahan Jembatan Besi, Jakarta Barat. Seminar
43. Rai T. Intestinal helminthic infestation among the Bali Hyatt Hotel staff Parasitologi Nasional IV. Yogyakarta, 1985.
and evaluation of mebendazole (Vermox®) and pyrantel pamoate 61. Rampen ASL, Suropati RW, Panget S, Tahitoe D, Pumomo. Metode
(Combantrin®) in mass treatment. Presented in the 1st Scientific Meeting pemeriksaan tanah untuk telur cacing usus yang ditularkan melalui tanah.
of the Indonesian Association of Medical Parasitology and Microbiology, Maj Parasitol Indon 1988; 2 (1&2) : 9—13.
Denpasar, 1980. 62. Fimgadi M, Soeripto N, Soemami S, Soetarti. Pengaruh lanttan desin-
44. Abidin SAN, Margono SS, Mahfudin H, Rasad R, Rasidi R. Flubendazole fcktans (kresol, fenol, denol) terhadap larva cacing tambang manusia.
dan oksantel-pirantel pamoat untuk pengobatan askariasis, trikhuriasis dan Seminar Parasitologi Nasional ke II dan Kongres P4I, Jakarta: 24—27 Juni
infeksi caning tambang. Seminar Parasitologi Nasional ke II dan Kongres 1981.
P4I, Jakarta: 24—27 Juni 1981. 63. lladidjaja P, Abidin SAN, Sulistyowani W. Ketahanan hidup (viability)
45. Abidin SAN, Olga TN, Margono SS, Rukmono B. Kombinasi oxantel telur Ascaris lwnbricoides dalam cairan olahan tinja tangki pencema. Bull
pamoate dan pyrantel pamoate pada pengobatan askariasis dan trikhuriasis. Penelit Kes 1989; 17 (1) : 49.
Medika 1982; 8 : 585—8. 64. Hadi S, Abdurachman. Pengalaman klinik pads penderita dengan aska-
46. Margono SS, Mahfudin H, Rasidi R, Rasad R. Oxantel pyrantel pamoate riasis. Seminar Parasitologi Nasional ke III, Bandung: 29—31 Agustus
for the treatment of soil-transmitted hehninthis. Southeast Asian J Trop 1983.
Med Pub Hlth 1980; 11 : 384-6. 65. Gde Konthen P. Pola reaksi atopi pads orang-orang dengan infeksi parasit
47. Parton F, Poemomo, Mahfudin H, Sutopo W. Usaha untuk menccgah Ascaris l wnbricoides. Kumpulan Makalah Seminar Nasional Hasil Pene-
erratic migration pads pengobatan cacing usus dengan kombinasi me- litian Perguruan Tinggi, jilid 3 bidang kesehatan. Dirjen Perguruan Tinggi
bendazole dan pirantel pamoate (laporan sementara). Kumpulan naskah Depdikbud, 1985.
Kursus Penyegar dan Penambah llmu Kedokteran, Fakultas Kedokteran 66. Tantular K. Penyakit racing tambang di dua daerah endemik di Jaws
Universitas Indonesia, Jakarta, 23—27 Januari 1979 : 672—9. Timur, beberapa aspek epidemiologi serta penanggulangannya. Kumpul-
48. Abidin SAN, Mochtar A, Margono SS, Rukmono B. Albendazole in the an Makalah Seminar Nasional Hasil Penelitian Perguruan Tinggi, jilid 3
treatment of intestinal helminthiasis. Maj Kedokt Indon 1986; 36 (8) : 377. bidang kesehatan. Dirjen Perguruan Tinggi Depdikbud, 1985.

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 17


Epidemiologi Disentri
Dr. Cyrus H. Simanjuntak
Pusat Penelitian Penyakit Menular, Rattan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan R.I., Jakarta

PENDAHULUAN cara kontak langsung (person to person). Inilah sebabnya


Disentri merupakan suatu infeksi yang menimbulkan luka penyakit ini disebut hand washing disease.
yang menyebabkan tukak terbatas di colon yang ditandai Kedua sifat yang kontradiktif yaitu ambang infeksi yang
dengan gejala khas yang disebut sebagai sindroma disentri, rendah dan sifat rapuh ini mewarnai epidemiologi penyakit
yakni: 1) sakit di perut yang sering disertai dengan tenesmus, ini. Dapatlah dimengerti bahwa penyakit ini akan menimbul-
2) berak-berak meperet, dan 3) tinja mengandung darah dan kan epidemi yang sulit dicegah di daerah yang kesehatan
lendir. Adanya darah dan lekosit dalam tinja merupakan suatu perorangannya rendah, sedang di daerah dengan kesehatan
bukti bahwa kuman penyebab disentri tersebut menembus perorangan cukup baik penyakit ini akan lebih cepat meng-
dinding kolon dan bersarang di bawahnya1-3. ltulah sebab- hilang. Kedua hal yang bertentangan ini akan lebih nyata
nya pada akhir-akhir ini nama diare invasif lebih disukai olch lagi karena hospes alami (tuan rumah) penyakit ini adalah
para ahli. manusia, walaupun kuman ini dapat diisolasi dari tinja primata
Dulu, disentri dianggap hanya terdiri dari dua jenis yang yang hidup dekat dengan habitat manusia.
didasarkan pada penyebabnya, yakni disentri basiler yang Shigella spp merupakan penyebab terbanyak dari diare
disebabkan oleh basil Shigella spp. dan disentri amuba yang invasif (disentri) dibandingkan dengan penyebab lainnya.
disebabkan oleh parasit Entamoeba histolytica 4. Akan tetapi Hal ini tergambar dari penelitian yang dilakukan oleh Taylor
berkat perkembangan pesat pengetahuan kita tentang mikro- dkk. di Thailand pada tahun 1984 5 (Tabel 1). Tabel ter-
biologi, sindroma disentri di atas temyata disebabkan oleh sebut juga memperlihatkan bahwa infeksi campuran, yakni
berbagai mikroba, bakteri dan parasit, yakni: Shigella spp., ditemukannya dua atau lebih penyebab diare invasif pada
Salmonella spp., Campylobacter spp., Vibrio parahaemoly- seorang penderita, sangat tinggi (48,8%). Hal ini memberi
ticus, I'leisomonas shigelloides, EIEC (Enteriinnasive E. coil), petunjuk dan memberi gambaran bahwa pada umumnya
Aeromonus spp., Entamoeba histolytica atau Giardia lambha5.. gejala klinik penyakit ini cukup ringan bahkan sering tanpa
1. Shigella spp. gejala. Tapi ini bukan berarti bahwa semua penyakit ini
Shigelloides terdapat di mana-rnana tapi yang terbanyak memberi gejala ringan. Sebagian ada yang berat dan bahkan
terdapat di negara dengan tingkat kesehatan perorangan yang dapat merenggut nyawa.
sangat buruk. Manusia sendiri merupakan surnber penularan Dikenal ada empat spesies dari Shigella berdasarkan reaksi
dan hospes alami dad penyakit ini, yang cara penularannya biokimia dan serologi, yaitu: Sh. Jlexneri, Sh. boydii, Sh.
adalah secara oro- faecal. dysentriae dan Sh. sonnei. Ketiga spesies pertama masih
Shigella spp. sebagai penyebab disentri basiler merupakan dibagi lagi dalam serotipe sedang Sh. sonnei dibagi menurut
kuman yang unik di antara enteropatogen lainnya. Ambang tipe colisin. Hingga sekarang sudah dikenal ada 8 scrotipe
infeksinya rendah yakni 10--100 kuman sudah cukup untuk Sh. Jlexneri, 15 serotipe Sh. boydii, 10 serotipe Sh. dysentriae
menularkan penyakit tersebut dari penderita ke orang lain. dan 15 tipe colisin Sh. sonnei.
Dengan demikian dapatlah dimengerti mengapa epidemi Berdasarkan isolasi penderita diare dari RS Karantina
penyakit ini bagi penduduk yang kesehatan perorangannya Jakarta pada tahun 1980—1985 spesies terbanyak dari Shigella
sangat buruk, sulit dicegah. Hal lain yang juga unik ialah sifat ialah Sh. Jlexneri (47,1%) lalu menyusul Sh. dysentriae
basil ini yang rapuh (fragile, cepat rnati di luar tubuh hospes- (27.4%) 6. Hal ini tidak jauh berbeda dengan apa yang di-
nya), menyebabkan penyakit ini lebih banyak tertular dengan temukan di Singapura dan negara ASEAN lainnya7.

18 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


Tabel 1. Enteropatogen yang diisolasi dad 200 anak penderita diare Diperkirakan unggas merupakan reservoir yang paling
dengan darah dan lendir (Thailand, Januari - Mei 1984). potensial. Hal ini amat penting karena Indonesia penduduknya
Jumlah kuman patogen yang diisolasi/episode lebih senang makan daging unggas daripada daging sapi.
Enteropatogen diare Selain itu telur juga memegang peran penting dalam,penular-
Satu Due atau lebih Jumlah an penyakit ini.
n=86 n=82 n=168 Berbagai letusan penyakit ini di Inggris, Amerika Serikat
dan Canada telah dihubungkan dengan susu yang tidak di-
Shigella spp, 47 41 88
pasteurisasi. Susu terkontaminasi melalui kontak langsung
P. shigelloides 7 36 43
dengan tinja sapi. C. jejuni akan dapat bertahan selama 22
Aeromonas spp. 6 25 31. hari dalam susu yang disimpan pada 4°C tapi segera mati
ETEC 6 25 31 apabila dipasteurisasi.
Campylobacter spp. 8 16 24
4. EIEC (Entero Invasive E. coli)
Salmonella spp. 2 17 19 Sejak 1967, para peneliti di Jepang, Brazil dan negara-
G. lamblia 3 16 19 negara lain telah membuktikan bahwa serotipe tertentu
EIEC 3 7 10 dari E. coli selain dari yang dinamakan EPEC (serotipe ter-
Vibrio spp. * 1 7 8 tentu lainnya dari E. coli), telah berhasil diisolasi dari tinja
E: histolytica 2 5 7 penderita anak dan dewasa yang menderita diare invasif.
EPEC 1 1 2 Sekarang telah diketahui bahwa serotipe dari I. coli yang
invasif ialah: 028ac, 029, 0112ac, 0124, 0136, 0143, 0144,
Jumlah 86 196 282 0152, 0164 dan 0167.
Serotipe 0124 merupakan EIEC yang paling sering me-
nimbulkan letusan epidemi, seperti yang terjadi di Hongaria
Keterangan: dan USA.
* V. parahaemolyticus (4), V. cholerae non 01 (3) dan V. cholerae EIEC sangat menyerupai Shigella karena sifat biokimia
El Tor Inaba (1).
yang sering sama yaitu laktosa negatif, tidak bergerak, dekar-
boksilase lysin juga negatif9, selain itu mempunyai antigen
Tabel 2. Serotipe Shigella yang diisolasi dari penderita diare akut somatik 0 yang bersamaan10
yang dirawat di RSK dan RSCM, 1 9 8 0 – 1 9 8 5 .
Kesulitan yang timbul dalam isolasi EIEC dari penderita
Species n % diare invasif ialah cara membedakannya dari If. coil lainnya.
Sh. flexneri 24 47,1 Karena dari 85% orang normal maupun yang diare dapat
Sh. dysentriae 14 27,4 diisolasi E. coli. Dengan begitu reaksi biokimia dan serologi
Sh. boydii 7 13,7 dari isolat E. coil yang cukup besar tak mungkin dilakukan
Sh. sonnei 6 11,8
secara rutin. Penentuan EIEC secara Sereny testil yaitu
dengan mempergunakan minimal dua marmut untuk tiap
Jumlah 51 100 isolat E. coli dari satu penderita, akan memakan biaya yang
sangat besar.

RINGKASAN DAN KESIMPULAN


2. Salmonella sp. Disentri merupakan suatu infeksiidengan gejala trias disentri:
Beberapa spesies Salmonella yang bukan S. typhi, S. para- sakit perut, tenesmus dan berak-berak darah; sekarang lebih
typhi A dan B dapat menyebabkan diare invasif. Seperti disukai disebut sebagai diare invasif. Oulu dikenal hanya
diketahui Salmonella merupakan penyaldt zoonosis, hewan dua macam disentri berdasarkan penyebabnya, yakni disentri
dan unggas merupakan reservoir penyakit ini, .dan manusia amuba dan basiler. Tapi sekarang telah diketahui banyak
tertular melalui makanan, daging, unggas dan telur. Penyakit penyebab lain berupa parasit dan bakteri.
ini lebih sering terdapat di negara yang penduduknya pe- Shigella terdapat di mana-mana dan merupakan penyebab
makan daging. Maka dapat dimengerti bahwa Salmonellosis terbanyak disentri. Penularan secara orofaecal dengan ambang
menjadi problem kesehatan yang lebih besar di negara yang
infeksi yang rendah dan merupakan basil yang rapuh sehingga
telah maju dibandingkan dengan negara yang sedang ber-
kembang. penularannya telah tercegah dengan cuci tangan saja (hand
washing disease). Ada empat spesies Shigella, yang berdasar-
3. Campylobacter spp. kan urutan frekuensinya di Indonesia ialah Sh. flexneri,
Pada akhir-akhir ini Campylobacter jejuni (dulu disebut Sh. disentriae, Sh. boydii dan Sh. sonnei.
"
vibrio lainnya" (related vibrio) mulai muncul sebagai pe- Beberapa spesies Samonella, yang umumnya zoonosis dan
nyebab penting penyakit diare. bukan S. typhi juga merupakan penyebab disentri. Di negara
Penyakit ini umumnya adalah zoonosis walaupun pe- industri/maju yang umumnya pemakan daging, diare invasif
nularan dari orang melalui air yang terkontaminasi. Infeksi lebih . sering terdapat daripada di negara yang sedang ber-
Campylobacter terutama terdapat pada masa kanak-kanak8 kembang, sehingga sering merupakan problem keracunan
makanan di negara maju.
dan, diare yang ditimbulkannya biasanya lebih dari 7 hari Akhir-akhir ini Campylobacter muncul sebagai penyebab
walaupun dengan gejala yang tidak terlalu berat.

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 19


diare invasif dan terutama terdapat pada anak-anak. Unggas 5. Taylor DN, Echeverria P, Pal T dkk. The role of Shigella spp,
merupakan reservoir yang potensial spesies ini. Enteroinvasive E. coli, and other Enteropathogens as causes of
EIEC (Enteroinvasive E. Coli) juga merupakan penyebab childhood dysentry in Thailand. J Inf Dis 1986; 153 (6) :
utama dari diare invasif ini. Pemeriksaan EIEC sulit dilakukan 1132-8.
6. Simanjuntak CH, Harjining S, Hasibuan MA, Pyjarwoto, Koiman I
secara rutin karena biaya y a n g sangat b e s t i r . (1988). Laboratory aspects of Gastrointestinal Infections in
Indonesia, 1 9 8 0 - 1 9 8 5 . Gastrointestinal infections in South
East Asia (V); Proceedings of the 14 th SEAMIC Workshop.
Ed. SEAMIC.
KEPUSTAKAAN 7. Goh KT. Of communicable diseases in Singapore: Epidemiological
surveilance. Eds SEAMIC, Tokyo, 1983; hal. 8 9 - 1 3 0 .
1. Harris JC, Du Pont HL, Hornick RB. Fecal leuqpcytes in diarrheal ilness. 8. Nayyar S, Bhan MK, Gupta dkk. Campylobacter jejuni as a cause
Am Intern Med 1972; 76 : 697-3. of childhood diarrhoea in a North Indian community. J Diaz Dis
2. Pickering LK, Du Pont HL, Olarte J, Conklin R, Ericsson C. Res 1983; 1 (1) : 2 6 - 8 .
Fecal leucocytes in enteric infections. Am J Clin Pathol 1977; 9. Silvia RM, Toledo MRF, Trabalsi LR. Biochemical and cultural
66 :562-5. characteristics of invasive E. coli. J Chin Microbiol .1980; 11,
3. Vogtlin J, Stalder H, Hurzcler L dkk. Modified Guaiac test may 441-4.
replace search for faecal leucocytes in acute infectious diarrheal. 10. Ewing WH. Serological relationship between Shigella and Coliform
Lancet 1983; ii : 1204. Culture. J Bacteriol 1965; 66 : 3 3 3 - 4 0 .
4. Hoesadha J. Disentri. Dalam: Ilmu Penyakit Dalam jilid I Ed II,
hal: 46-8. Penerbit: Balai Penerbit FKUI. 1983. 11. Sereny B. Experimental Shigella heraticonjuctivity. Acta Microbiol
Hung 1955; 2 : 1 9 3 - 6 .

20 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


Dampak perbaikan Air Minum terhadap
Penyakit Diare Anakdan Hubungannya
dengan Tingkat Pendidikan, Pengeta-
huan tentang Penyakit dan
Kelompok Umur Kepala Keluarga
Drs S idik Wasito MSc
Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK

Penelitian Dampak Perbaikan Air Minum Pedcsaan melalui perpipaan terhadap


kesehatan telah dilakukan di dua kecamatan Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.
Analisis lcbih lanjut telah dilakukan terhadap dampak keschatan khususnya path
anak bcrumur 0 s/d 10 tahun dalam hubungan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan
hidup schat maupun golongan umur kepala kcluarga.
Hasil menunjukkan, bahwa :
1. Prevalensi penyakit diare ada hubungan yang sangat bermakna dengan tingkat
pendidikan kepala kcluarga.
2. Prevalensi penyakit diare ada hubungan yang bcrmakna dengan pengetahuan hidup
sehat kepala keluarga.
3. Prevalensi penyakit diare ada hubungan yang sangat bcrmakna dengan golongan umur
kepala keluarga.

PENDAHULUAN sampah(3).
Meskipun demikian, dalam kenyataan masih banyak hal
Penelitian di banyak negara maupun di Indonesia menun-
yang perlu diketahui mengenai pcnyakit diare ini scbclum dapat
jukkan bahwa dengan adanya pengembangan sistem penyediaan
diatasi dengan baik. Oleh karcna itu akan dibahas lcbih Ian jut
air yang cukup dan terjamin, penyakit diare dapat menurun.
hasil penelitian di Sumedang tersebut; pembahasan masih di-
Satu di antara bcbcrapa penelitian mcngenai masalah ini di
batasi pada segi karakteristik demografik yakni yang bcrkaitan
Indonesia adalah penclitian yang dilakukan di Kabupaten
dengan tingkat pendidikan, pengetahuan hidup sehat, dan ke-
Sumedang, Jawa Barat; di antaranya dinyatakan, bahwa :
lompok umur kepala keluarga.
z Umumnya terdapat dampak positif dari peningkatan pc-
Mengena i ini sebenarnya ada bebcrapa penelitian yang
nyediaan air terhadap penyakit diare pada anak umur 0 s/d 10
pernah dilakukan di Indonsia, hanya hasilnya belum pernah
tahun, dikaitkan dengan bcsarnya keluarga, tingkat penghasilan,
ditcrbiikan; di antaranya dapat discbutkan :
jenis kelamin dan kclompok umur anak(1).
z Penelitian "Hubungan Kasus Gastroenteritis padaAnak de-
z Adanya hubungan bermakna antara prevalensi penyakit diare
ngan Tingkat Pendidikan Kepala Keluarga di R.S. Tjipto Ma-
anak umur 0 s/d 10 tahun dengan besarnya kcluarga, tingkat
ngunkusumo", menunjukkan bahwa penyakit diare sangat di-
penghasilan dan kelompok umur anak(2).
pengaruhi oleh tingkat pendidikan kepala kcluarga(4).
z Adanya hubungan bcrmakna antara prevalensi penyakit
Kesimpulan yang sama tclah dihasilkan pula pada penelitian
diare anak umur 0 s/d 10 tahun dengan cara membuang kotoran
yang sama dan dilakukan di Kelurahan Payang, Kecamatan
manusia, namun tidak ada hubungannya dengan cara membuang

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 21


Botoala, Ujung Pandang tahun 1985(5). Tabel 1. KarakteristikKepala Keluarga BerdasarkanTingkatPendidikan.
z
Penelitian "Hubungan Pengetahuan, . . . dengan Kejadian Kecamatan
Diare Anak Balita di Jakarta Barat, tahun 1985, menyatakan Tingkat Pendidikan Jumlah
bahwa tingkat pendidikan ibu . . . mempunyai hubungan yang Kepala Rumah Tangga TanJungsarl Rancakalong
bermakna dengan kejadian diare(6) . n % 'n % n %
Perlu dikemukanan di sini, bahwa "Pengetahuan tentang
Penyakit bagi Kepala Keluarga" yang dimaksud dalam pe- 1. Tidak sekolah (TS) 71 13,6 51 12,0 122 12,9
nelitian di Sumedang adalah pengetahuan kepala, keluarga di 2. Tidak tamat sekolah
dasar (TTSD) 166 31,8 63 14,8 229 24,2
daerah penelitian yang diperoleh atau diketahui dari jawaban 3. Tamat sekolah dasar
parā responden alas pertanyaan yang diajukan : "Mengapa air (TSD) 266 51,0 297 69,9 563 59,5
scbelum diminum perlu dimasak lebih dahulu". 4. Tidak tamat sekolah
lanjutan pertama
(TTSLP) 5 1,0 2 0,5 7 0,7
BAHAN DAN CARA 5. Tamat sekolah lanjut-
an pertama (TSLP) 6 - 1,1 2 0,5 8 0,8
Penelitian dilakukan di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat 6. Lain-lain 8 1,5 10 2,3 18 1,9
dengan dua daerah penelitian yakni kecamatan Tanjungsari dan
Rancakalong. Penelitian di dasarkan atas : Jumlah 522 100 425 100 947 100
1) Adanya kesamaan sistem penyediaan air minum, yakni di
masing-masing kecamatan sebagian penduduk desanya mem- Pengetahuan tentang Penyakit Kepala Keluarga
peroleh air minum perpipaan dan sebagian lainnya memperoleh Dari 947 sampel kepala keluarga yang diteliti diperolch data
air dari sumber alam atau mata air yang tidak terlindung. sebagai berikut :
2) Adanya kesamaan dalam beberapa hal antara lain :
z Tingkat perkembangan sosial ekonomi dan budaya. Tabel 2. Pengetahuan Kepala Keluarga tentang Penyakit
z Jenis mata pencaharian. Ada Tidak Ada Jumlah
z Jumlah dan susunan penduduk. Kecamatan
n % n % n %
z Daerah dataran dan pertanian.
z Tahun pembangunan sarana penyediaan air minum perpipaan. Tanjungsari 455 87,2 67 12,8 522 100
z Tingkat kehidupan saniter. Rancakalong 418 98,4 7 1,6 425 100
Dari 2 kecamatan tersebut dipilih masing-masing 1. dcsa Jumlah 873 92,2 74 7,8 947 100
proyek (DP) yang terdiri dari 2 kampung yang memperoleh
saran air minum perpipaan, dan 1 desa kontrol (DK) terdiri dari
2 kampung yang sama sekali belum memperoleh sarana air Kepala keluarga yang berpengetahuan tentang penyakit
minum perpipaan dan menggunakan sumber air alam yang tidak jauh lebih banyak daripada kepala keluarga yang tidak berpe-
terlindung. ngetahuan tentang penyakit di dua daerah penelitian. Ini diketah ui
Penelitian bersifat longitudinal, pengumpulan data di- dari jawaban para responden alas pertanyaan yang diajukan:
laksanakan dengan wawancara dan observasi lapangan, sebagai "Mengapa air sebelum diminum perlu dimasak lebih dahulu".
responden adalah suami atau isteri yang ada di rumah serta para 92,2% menyatakan agar tidak sakit, dan sisanya 7,8% me-
penanggung jawab sarana penyediaan air minum. nyatakan karena kebiasaan (artinya mereka tidak mengerti
Selanjutnya sebagai unit sampel adalah rumah tangga dari bahwa perlakuan demikian dimaksudkan untuk mencegah pe-
desa atau kampung penelitian. Sampel di ambil secara acak nyakit.
sebesar ± 500 kepala keluarga (KK). Jumlah Anak Berumur 0 — 10 Taun dan Kasus Diare
Penelitian ini memperoleh data bahwa jumlah anak berumur
0 -10 tahun di daerah penelitian adalah sebanyak 582 anak, dan
jumlah kasus diare di antara mereka adalah sebanyak 181 (di
HASIL Tanjungsari 108 dan di Rancakalong 73).
1. PrevalensiDiarepadaAnakdanHubungannyadenganTingkat
Tingkat Pendidikan Kepala Keluarga
Pendidikan Kepala Keluarga
Dari 947 sampel kepala keluarga seperti terlihat pada tabel
Dari tabel 3 tampak bahwa prevalensi diarc di dacrah
1, tampak bahwa kepala keluarga yang berpendidikan tamat
penelitian lebih tinggi pada kelompok keluarga yang kepala
sekolah dasar (TSD) adalah yang terbanyak — 564 (59,5%),
keluarga (responden)nya mempunyai tingkat pendidikan
kemudian diikuti tidak tamat sekolah dasar ( M D ) sebanyak
tamat sekolah dasar (TSD) daripada kelompok keluarga yang
229 (24,2%) dan 122 (12,9%) tidak sekolah (TS), selebihnya
kepala keluarga (responden)nya mempunyai tingkat
tidak tamat sekolah lanjutan pertama (TTSLP) — 7 (0,7%) dan
pendidikan tidak tamat sekolah dasar (TTSD).
tamat sekolah lanjutan pertama (TSLP) 8 (0,8%), scrta lain-lain
Prevalensi dare di daerah proyek (DP) umumnya lebih
18 (1,9%) orang.
rendah daripada di daerah kontrol (DK), baik itu pada ke-

22 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


lompok keluarga yang kepala keluarganya tidak tamat se- Setelah uji korelasi terdapat hubungan yang sangat ber-
kolah dasar (TTSD) maupun pada kelompok keluarga yang makna antara golongan umur kepala keluarga dengan pre-
kepala keluarganya tamat sekolah dsar (TSD); terdapat hu- valensi diare di desa tersebut, (X2= 32,7, X2K = 95% = 12,6,
bungan yang sangat bermakna antara kedua variabel tersebut, KK = 0,5).
(X2= 36,8, X2k = 95% = 384, KK = 0,7). Tabel 5. Angka Prevalensi Diare pads Anak di Kecamatan Tanjungsarl
Tabel 3. Prevalensi Mare Anak di Kecamatan Tanjungsarl dan Ranca- dan Rancakalong serta Hubungannya dengan Golongan Umur
kalong serta Hubungannya dengan Tingkat Pendidikan Kepala Kepala Keluarga.
Keluarga (Responden).
Kasus/180anak
Jumlah Jumlah Kasus/100 Jumlah Jumlah Umur kepala keluarga (tahun) Jumlah
Desa Anak Anak Berdasarkan Kasus Desa Seluruh
(0-10 thn) Tingkat Pendidikan Per 100 Anak
Anak (0-10 thn) >10-20 >20~30 >30-40 >40-50 >50-60
TTSD TSD
Deaa Proyek
1. Desa Proyek 318 7,2 14,5 21,7 (DP) 318 0,6 14,2 4,4 1,9 0,6 21,7
Deis Laurel
(DP)
(DK) 264 3,8 22,0 11,6 5,7 04 42,4
2. Desa Kontnol 264 27,7 14,7 42,4
(DK) 582 2,1 17,7 7,2 3,6 0,5 31,1
582 16,5 14,6 31,1
DISKUSI
2. Prevalensi Diare pada Anak dan Hubungannya dengan Pe- Seperti tampak pada tabel 3, angka prevalensi diare di desa
ngetahuan Kepala Keluarga (Responden) tentang Penyakit. proyek lebih rendah daripada di desa kontrol, baik pada ke-
Seperti tampak pada tabel 4 angka prevalensi diare baik lompok keluarga yang tingkatpendidikannya tidak tamat sekolah
di desa proyek maupun di desa kontrol, jauh lebih tinggi pada dasar (TTSD) maupun pada kelompok yang tamat sekolah dasar
kelompok keluarga yang kepala keluarganya mempunyai (TSD). Setelah uji korelasi, terbukti bahwa tingkat pendidikan
pengetahuan tentang penyakit daripada kelompok keluarga orangtua mempunyai hubungan sangat bermakna dengan pre-
yang kepala keluarganya tidak mempunyuai pengetahuan valensi diare pada anak berumur 0 -10 tahun di desa tersebut.
tentang penyakit. Hasil ini serupa dengan hasil penelitian di RS Cipto Mangun-
Adapun mengenai prevalensi diare di desa proyek pada kusumo, Jakarta, di Ujungpandang dan di Jakarta Barat tahun
kelompok keluarga yang kepala keluarganya mempunyai 1985.
pengetahuan tentang penyakit angkanya lebih rendah dari- Mengenai prevalensi diare pada anak dan hubungannya
pada di desa kontrol, sebaliknya prevalensi diare pada ke- dengan pengetahuan ten tang penyakit di kalangan kepala keluarga
lompok keluarga yang kepala keluarganya tidak mempunyai (responden), tampak pada label 4. Yang menarik perhatian ialah
pengetahuan tentang penyakit angkanya sedikit lebih tinggi di bahwa prevalensi diare di desa proyek maupun di desa kontrol,
desa proyek daripada di desa kontrol. Walaupun demikian, angkanya jauh lebih tinggi di kelompok keluarga yang kepala
bila dilihat terdapat hubungan yang bermakna antara kedua keluarganya berpengetahuan tentang penyakit, daripada yang
variabel tersebut, (X2= 12,4, X2K = 95% = 3,84, KK = 0,5). tidak; sedangkan prevalensi diare di desa proyek kenyataannya
Tabel 4. Angka Prevalensi Diare pads Anak di Kecamatan Tanjungsarl jauh lebih rendah dibandingkan dengan di desa kontrol (tabel 5).
dan Rancakalong serta Hubungannya dengan Ada/tldaknya Hal ini dapat disebabkan karena populasi kepala keluarga
Pengetahuan Kepala Keluarga (Responden) tenting Penyakit. yang tidak berpengetahuan tentang penyakit jauh lebih kecil -
Jumlah Kasus/100 soak baik di daerah proyek maupun di daerah kontrol - dibandingkan
Desa Jumlah Anak - dengan populasi kepala keluarga yang berpengetahuan. (Tabel
0 -10 tahun Berpenge- Tidak Berpe- Seluruh
tahuan ngetahuan 2). Perlu dicatat pula bahwa populasi kepala keluarga yang tidak
Kasus
berpengetahuan tentang penyakit di daerah proyek lebih banyak
Desa Proyek (Di) 318 17.9 3.8 21.7 daripada di daerah kontrol. Setelah uji korelasi, terbukti bahwa
Desa Kontrol (DK) 264 42.0 0.4 42.4 ada tidaknya pengetahuan tentang penyakit di kalangan kepala
Jumlah/Rata-rata 582 28.9 2.2 31.1 keluarga mempunyai hubungan bermakna dengan prevalensi
diare di kalangan anak usia 0-10 tahun di desa tersebut; demikian
pula mengenai prevalensi diare pada anak dan hubunganya de-
3. Prevalensi Diare pada Anak dan Hubungannya dengan
ngan usia kepala keluarga. Semakin muda usia orangtua, anak-
Golongan Umur Kepala Keluarga.
nya yang berusia kurang dari 10 tahun lebih banyak yang men-
Dari tabel 5 tampak bahwa pada umumnya angka pre-
derita diare.
valensi diare pada semua golongan umur kepala keluarga di
desa proyek lebih rendah dari pada di desa kontrol kecuali
KESIMPULAN
pada golongan umur 50 - 60 tahun, dimana di desa proyek
prevalensi diare adalah 0,6% dan di desa kontrol 0,4%. Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan, bahwa :

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 23


1) Terdapat hubungan yang cukup bermakna antara prevalensi 10 tahun, Bul Penelit Kes 1987; 15 : 3.
diare pada anak berumur 0 sampai 10 tahun di desa proyek 2. Abstrak Penelitian Ekologi Kesehatan di Indonesia 1969 — 1989. Badan
maupun di desa kontrol dengan tingkat pendidikan para kepala Penelitian Pengembangan Kesehatan, Jakarta, 1989.
3. Dampak perbaikan air minum pads kesehatan anak : Ditinjau dari segi
keluarga. kejadian diare dan hubungannya dengan kebiasaan membuang kotoran dan
2) Terdapat hubungan yang bermakna antara prevalensi diare sampah, Medika 1989;15 (9).
pada anak berumur 0 sampai 10 tahun di desa proyek maupun di 4. Alih G. Kodyat. Hubungan antara tingginya kasus gastroenteritis pads anak
desa kontrol dengan ada atau tidaknya pengetahuan tentang di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Tjipto Mangunkusumo, Jakarta dengan
tingkat pendidikan man tua. Akademi Penilik Kesehatan, Jakarta, 1975
penyakit para kepala keluarga. (Tidak diterbitkan).
3) Terdapat hubungan yang cukup bermakna antara prevalensi 5. SulemanMile.Tinjauantingkatpendidikanibuntmahtanggasettsfaktorlain
diare pada anak berumur 0 sampai 10 tahun di desa proyek kaitarnya dengan peristiwa diare pads ball's, Kelurahan Layang, Kecamatan
maupun di desa kontrol dengan golongan umur para kepala Bontoala, Ujung Pandang. Akademi Penilik Kesehatan, 1987. (Tidak di-
terbitkan).
keluarga. 6. Adi Hidayat. Hubungan pengetahuan, sikap dan praktek ibu dengan kejadian
KEPUSTAKAAN diare balita di Keluarahan Jelambar, Petamburan, Jak—Bar, APKTS, Jakarta,
1985. (Tidak ditetbitkan).
7. Sidik Wasito. Laporan teknis penelitian dampak pebaikan air minum ter-
1. Sidik Wasito, Sri Soewasti, Ida Bagus Indra Gotama. Pola distribusi dampak hadap kesehatan penduduk pedesaan di Kabupaten Sumedang, Jawa Baru
perbakan air minum terhadap penyakit diare pada anak umur0 sampai dengan (Tidak diterbitkan).

24 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


Dampak perbaikan Air Minum
terhadap
Kesehatan Penduduk Pedesaan di
Kabupaten Sumedang, Jawa Barat
Drs S idik Wasito MSc
Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN TUJUAN
Penyakit diare yang merupakan masalah utama di kalangan Tujuan umum penelitian adalah mendapatkan data per-
anak-anak yang berumur antara 0 sampai dengan 10 tahun, serta baikan atau peningkatan sarana air minum, karakteristik pen-
penyakit lain yang ada kaitan dengan rendahnya hygiene per- duduk, tingkat kehidupan saniter, serta adanya kejadian penya-
orangan seperti penyakit kulit dan mata mempunyai hubungan kit-penyakit diare, kulit dan mata, khususnya pada golongan
erat dengan penyediaan air minum. Masalah ini tidak saja ada di umur antara 0 sampai 10 tahun, di antara penduduk pedesaan
Indonesia, tapi juga di sebagian negara khususnya yang belum Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.
berkembang; penyakit diare merupakan penyebab kematian dan Tujuan khusus adalah mempelajari hubungan perbaikan air
kesakitan yang terbesar(1). Disentri amuba sebagai salah saw minum dengan penurunan angka penyakit diare, penyakit kulit
penyakit diare merupakan suatu penyakit utama penyebab ke- dan penyakit mata di antara golongan umur 0 sampai dengan 10
matian pada bayi dan anak-anak di bawah lima tahun(2). tahun; yang pada dasarnya mempelajari dampaknya terhadap
Oleh karenanya dalam rangka meningkatkan kesehatan kesehatan penduduk pedesaan Kabupaten Sumedang yang di-
masyarakat, khususnya untuk menurunkan angka kesakitan dan teliti.
kematian akibat penyakit yang disebarkan melalui air, Peme-
rintah melalui Departemen Kesehatan sejak tahun 1969 telah BAHAN DAN CARA
menyelenggarakan program peningkatan penyediaan air minum
pedesaan, yang dari tahun 1974 hingga sekarang telah dise- Penelitian dilakukan dalam tahun 1979 dan berlokasi di
lenggarakan melalui Instruksi Presiden yang terkenal dengan Kabupaten Sumedang, Daerah Tingkat I Jawa Barat, melalui
sebum Inpres Samijaga (Program Sarana Air Minum dan Jam- cara pengumpulan data awal (base-line data) di dua daerah
ban Keluarga). penelitian yakni: Kecamatan Tanjungsari dan Kecamatan
Namun hingga dewasa ini belum dapat diketahui dengan Rancakalong.
pasti apakah program tersebut telah dapat memperbaiki ke- Ditentukannya dua kecamatan tersebut didasarkan alas :
sehatan penduduk pedesaan, khususnya bila dilihat dari segi 1. Adanya kesamaan sistim penyediaan air minum, yakni di
penurunan angka kesakitan. masing-masing kecamatansebagianpenduduk desanya mem-
Penelitian mengenai dampak perbaikan air minum tersebut peroleh penyediaan air minum dari sistim perpipaan dan se-
dirasakan perlu dalam rangka meningkatkan program penyediaan bagian lainnya tidak, tetapi memperoleh penyediaan dari
air minum. Oleh sebab itu Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan sumber air alam (mata air).
pada tahun 1979 telah melakukan penelitian mengenai : Dampak 2. Adanya kesamaan dalam beberapa hal yakni :
Perbaikan Air Minum terhadap Kesehatan Pend uduk Pedesaan 2.1. Jarak dari masing-masing desa penelitian ke ibu kota
di Kabupaten Sumedang, Daerah Tingkat I Jawa Barat. Kecamatan.

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 25


2.2. Mempunyai sarana pelayanan kesehatan berupa Pus- sampel sebesar ± 500 K.K. yang dipilih secara acak berdasa
kesmas di masing-masing desa yang diteliti. nomor sensus yang tersedia di daerah tersebut.
2.3. Dapat dicapai oleh kendaraan umum. Sebagai alat pengumpul data digunakan kuesioner yank
2.4. Tingkat perkembangan sosial ekonomi dan budaya. berisi pertanyaan, mengenai :
2.5. Jenis mata pencaharian. 1. Sifat atau karakteristik rumah tangga, kondisi sanitasi dan
2.6. Jumlah dan susunan penduduk. sikap masyarakat terhadap penggunaan air untuk minum dan
2.7. Ketinggian dari permukaan laut. mandi.
2.8. Endemisitas gastroenteritis. 2. Prevalensi penyakit diare, infeksi kulit dan mata pada anak
2.9. Kesediaan penduduk untuk berpartisipasi dalam pene- berumur antara 0 sampai 10 tahun.
litian. 3. Pengelolaan sarana air perpipaan.
2.10. Daerah dataran dan daerah pertanian. 4. Pemanfaatan luapan air/limbah air dari sumber perpipaan
2.11. Tingkat pendidikan. untuk keperluan di luar kebutuhan rumah tangga (misalnya
2.12. Pola makanan. untuk mengisi kolam/empang pemeliharaan ikan).
2.13. Tahun pembangunan sarana penyediaan air. Pengumpulan data pada butir pertama dilakukan satu kali
Dari 2 (dua) Kecamatan Tanjungsari dan Rancakalong ter- selama survai. Butir ke dua dilakukan melalui surveillance
sebut telah dipilih masing-masing 2 (dua) Desa Proyek (D.P.) mingguan untuk menanyakan prevalensi penyakit-penyakit ter•
yakni desa yang memperoleh sarana penyediaan air sistim per- sebut dalam waktu seminggu yang lalu. Butir ke tiga dan ke
pipaan, dan 2 (dua) Desa Kontrol (D.K.) yakni desa yang sama empat dilakukan sebulan sekali.
sekali belum memperoleh sarana perpipaan, dan mengguna~can Untuk penyempurnaan alat pengumpulan data tersebut diper-
sumber air/mata air alam yang tidak terlindung. lukan pre test. Pelaksanaan survai dilakukan oleh para petugas
Desa yang terpilih adalah sebagai berikut : kesehatan setempat dibantu oleh petugas desa setempat yang
1. Kecamatan Tanjungsari : telah dilatih sebelumnya secara intensif. Supervisi dilakukan
1.1. Desa Proyek (D.P.) oleh tim peneliti dari pusat.
1.1.1. Kampung Pasigaran. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual.
1.1.2. Kampung Tonjong.
1.2. Desa Kontrol (D.K.) HASIL
1.2.1. Kampung Cikupa.
1.2.2. Kampung Jaringau. Hasil penelitian dampak perbaikan air minum terhadap
2. Kecamatan Rancakalong : kesehatan penduduk pedesaan di Kabupaten Sumedang, Daerah
2.1. Desa Proyek (D.P.) Tingkat I Jawa Barat ini diperoleh dari 947 sampel rumah tangga
2.1.1. Kampung Pasirbiru. dari 8 kampung yang berasal dari 2 kecamatan.
2.1.2. Kampung Cimanglid. Adapun data yang diperolch meliputi :
2.2. Desa Kontrol (D.K.) 1. Karakteristik Rumah Tangga.
2.2.1. Kampung Babakan. Dari dua kecamatan dengan 947 rumah tangga, didapati 323
2.2.2. Kampung Ciledug. (34.1%) rumah tangga yang beranggota 3 jiwa; ini merupakan
Penelitian bersifat longitudinal dengan pertimbangan bahwa prosentase yang tertinggi, balk di Kecamatan Tan jungsari maupun
dengan cara ini diperoleh peluang untuk mempelajari kecende- Rancakalong, yakni sebanyak 35.1% dan 32.9%. Yang terdiri
rungan prevalensi penyakit diare, infeksi kulit dan mata (kon- dari 2 jiwa ataukurang sebanyak 32.7% dan yang lebih dari 3 jiwa
jungtivitis), karena jumlah kasus akan mencapai jumlah yang sebanyak 33.2%. (Tabel 1)
memadai untuk analisis.
Tabel 1. Karakteristik Rumah Tangga Berdasar Jumlah Anggota
Pengumpulan data dilaksanakan dengan mengadakan survai Keluarga menurut Kecamatan
dan observasi lapangan, setelah sebelumnya dilakukan pengum-
pulan data awal guna menetapkan daerah penelitian tersebut di Jumlah anggota Kecamatan Jumlah
alas. Rumah Tangga Tanjungsarl Rancakalong n %
Pengumpulan data, balk data awal maupun survai dikerja- n % n %
kan dengan menggunakan kuesioner. Sumber data awal diper-
oleh baik dari data primer maupun sekunder dengan pengamatan 1 27 5.2 25 5.9 52 5.5
2 126 24.1 132 31.1 258 27.2
langsung; selanjutnya untuk survai serta observasi lapangan
3 183 35.1 140 32.9 323 34.1
diperoleh melalui cara wawancara langsung dari suami atau istri 4 93 17.8 77 18.1 170 18.0
di rumah masing-masing dan dari para penanggung jawab sarana 5 56 10.7 29 6.8 85 9.0
penyediaan air minum setempat sebagai responden, juga dengan 6 28 5.4 13 3.1 41 4.3
cara pengamatan langsung di lapangan. 7 5 0.9 5 1.2 10 1.1
8 4 0.8 4 0.9 8 0.8
Sebagai unit sampel adalah rumah tangga, mengingat keter-
batasan biaya dan sarana maka dari setiap kecamatan diambil Jumlah 522 100.0 425 100.0 947 100.0

26 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


2. Karakteristik Kepala Rumah Tangga. Tabel3. Karakteristik Penduduk menurut Jenis Kelamin menurut
Kecamatan
a) Tingkat Pendidikan.
Nama Jenis Kelamin Jumlah
Dan 947 kepala rumah tangga tingkat pendidikan yang ter- Kecamatan
tinggi adalah SD yakni sebanyak rata-rata 59.5%; di kecamatan Laki-laki Wanita
Tanjungsari 51.0% dan di kecamatan Rancakalong 69.9%. Se- n % n % N %
lebihnya yang tidak sekolah dan tidak tamat SD adalah 37.1%
Tanjungsari 877 51.1 838 48.9' 1715 100.0
dan yang tidak tamat SLP, tamat SLP, dan lain-lain adalah Rancakalong 655 49.9 656 50.1 1311 100.0
sebanyak 13.4% (Tabel 2).
b) Jenis Pekerjaan.
Dan 947 kepala rumah tangga yang dikunjungi prosentase
prosentase tertinggi di Tanjungsari adalah golongan umur 0 -10
jcnis pekcrjaan yang tertinggi dijumpai adalah pckerjaan pctani,
tahun sebesar 21.5%, sedangkan di Rancakalong adalah golong-
yakni sebanyak 75,2%; di kecamatan Tan jungsari sebanyak
an umur 10 - 20 tahun sebesar 19,2%. Di kedua kecamatan rata-
61.1% dan Rancakalong 92.4%. Selebihnya adalah tenaga kerja
rata umur penduduknya adalah 24,8 tahun (Tabel 4).
penggarap tanah, pegawai dan lain-lain (Tabel 2).
c) Tingkat Penghasilan.
Dari 947 kepala rumah tangga yang dikunjungi, sebanyak Tabel 4. Karakteristik Rumah Tangga berdasarkan Golongan Umur dalam
65,3% mempunyai tingkat penghasilan yang tergolong rendah, Keluarga di TanJungsari dan Rancakalong
yakni Rp. 120.000,- setiap tahunnya atau kurang; 25.1% ber-
Golongan Kecamatan
penghasilan antara Rp. 120.000,- dan Rp. 240.000,-. Sedangkan
Umur (tahun Jumlah
yang di alas Rp. 240.000,- per tahun adalah sebanyak 9.6% Tanjungsari Rancakalong
(TabeL2). n % n % N %

Tabel 2. Karakteristik Kepala Rumah Tangga berdasar Tlngkat 0-10 369 21.5 213 16.3 582 19.2
Pendidikan, Jenis Pekerjaan, Tingkat Penghasilan menurut 10 - 20 344 20.1 251 19.2 595 19.7
Kecamatan 20 - 30 360 21.0 247 18.8 607 20.1
30 - 40 242 14.1 201 15.3 443 14.6
Kecamatan 40 - 50 160 9.3 173 13.2 333 11.0
Jumiah
TanJungsarl Rancakalong 50 - 60 240 14.0 226 17.2 466 15.4
n % n % n % 1715 100.0 1311 100.0 3026 100.0
Tingkat Pendidikan
1. Tidak Sekolah (TS) 71 13.6 51 12.0 122 12.9
2. Tidak Tamat Sekolah 166 31.8 63 14.8 229 24.2
Dasar (TTSD)
4. Kondisi Sanitasi Rumah Tangga.
3. Tama' Sckolah Dasar 266 51.0 297 69.9 563 59.5
Kondisi sanitasi yang diteliti dalam hal ini meliputi cara-
(TSD) cara penanganan atau pembuangan air limbah, sampah dan
4. Tidak Tame Sekolah 5 1.0 2 0.5 7 0.7 kotoran manusia. Dan data yang diperolch dapat digambarkan
Lanjutan Panama pada Tabel 5 meliputi :
(TTSLP)
5. Tamat Sckolah Lan- a) Pembuangan Air Limbah.
6 1.1 2 0.5 8 0.8
jutan Pertama (TSLP) Dan 947 rumah tangga di 2 kecamatan yang diteliti didapati
6. Lain-lain 8 1.5 10 2.3 18 1.9 prosentase tertinggi menggunakancarapembuangankecomberan,
baik di kecamatan Tanjungsari maupun di kecamatan Ranca-
Jenis Pekerjaan kalong (Tabel 5) yakni sebesar rata-rata 64.3%. Selebihnya 9.8%
1. Pctani 319 61.1 393 92.4 712 75.2
2. Pcnggarap Tanah 94 18.0 0 0.0 94 9.9
pembuangan dilakukan di kolam ikan, 22,1% dimaksudkan
3. Pcgawai 7 1.4 9 2.1 16 1.7 untuk menyuburkan tanah, dan 3,8% pembuangan dilakukan
4. Lain-lain 102 19.5 23 5.4 125 13.2 dengan cara lain-lain.
b) Pembuangan Sampah.
Tingkat Pcnghasilan Dan 947 rumah tangga yang diteliti di 2 kecamatan, rata-rata
1. < Rp. 120.000,- 275 52.7 343 80.7 618 65.3
prosentase tertinggi pembuangan sampah dimaksudkan untuk
Rp. 120.000,- - 185 35.4 53 12.5 238 25.1
Rp. 240.000,- penyuburan tanah, yakni sebesar 52.1%. Prosentase tertinggi
3. > Rp. 240.000,- 62 11.9 29 6.8 91 9.6 pembuangan sampah untuk maksudpenyuburan ini dijumpai di
kecamatan Rancakalong, tapi tidak di kecamatan Tanjungsan. Di
Tanjungsari pembuangan sampah terutama dilakukan dengan
3. Jenis Kelamin dan Golongan Umur Penduduk. cara yang sembarangan di permukaan tanah (40,6%).
Mengenai jenis kelamin terdapat sedikit perbedaan dalam c) Pembuangan Kotoran Manusia.
jumlah di antara 2 kecamatan penelitian; (Tabel 3). Mengenai cara pembuangan kotoran manusia di 947 rumah
Juga mengenai golongan umur terdapat sedikit perbedaan; tangga nampak bahwa rata-rata prosentase tertinggi adalah

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 27


dengan cara pembuangan ke sungai yakni sebesar 54,2%. Pro- 6. Prevalensi Penyakit Diare, Infeksi Kulit, dan Mata.
sentase tertinggi ini dijumpai di kecamatan Tanjungsari tapi Dari Tabel 7 tampak bahwa prevalensi diare, penyakit kulit
tidak di kecamatan Rancakalong. Di Rancakalong dengan 425 dan infeksi mata ditemukan lebih tinggi di desa kontrol, di-
rumah tangga, prosentase tertinggi pembuangannya dilakukan bandingkan dengan di desa proyek. Perbedaan tersebut cukup
ke kolam ikan (49.4%). bermakna (p < 0,001).

Tabel S. Kondisl Sānitasi Rumah Tangga menurut Kecamatan Tabel 7. Angka Prevalensi Penyakit Mare, Infeksi Kulit, dan Mata di
Kecamatan TanJungsari dan Rancakalong
Kecamatan
Rata-rata Nama Dese Proyek Desa Kontrd
Tanjungsari Rancakalong Penyakit Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah
No.
anak Kasus Kasus Anak Kasus Kasus
n % n % N %
(0-10Th) per 100 (0-10Th) per 108
anak anak
Pembuangan Air Limbah
1. Comberan 276 52,9 333 78,4 609 64,3 1. Diare 318 69 21,7 264 112 42,4
2. Kolam ikan 55 10,5 38 8,9 93 9,8 2. Infeksi Kulit 318 76 23,9 264 97 36,7
3. Dimaksud untuk 3. Infeksi Mata 318 24 7,5 264 45 17,0
166 31,8 43 10,1 209 22,1
penyuburan tanah 954 169 17,7 792 253 31,9
4. Lain-lain 25 4,8 11 2,6 36 3,8
Keterangan : p < 0,001
522 100,0 425 100,0 947 100,0
Pembuangan Sampah
1. Pembakaran 102 19,6 84 19,8 186 19,6 Dan bila dilihat dari angga prevalensi di masing-masing
2. Dimaksud untuk 174 33,3 319 75,1 493 52,1
kecamatan, juga nampak adanya perbedaan yang cukup ber-
penyuburan tanah
3. Sembarangan secara 212 40,6 4 0,9 216 22,8
makna (masing-masing p < 0.001) (Tabel 8 dan 9).
Terbuka di atas
permukaan tanah Tabel 8. Angka Prcvalensi Penyakit Mare, Infeksi Kulit, dan Mata di
4. Lain-lain 34 6,5 18 4,2 52 Kecamatan Tanjungsari
5,5

522 100,0 425 100,0 947 100,0 Desa Proyek Desa Kontrol
Nama
Pembuangan Kotoran No. Penyakit Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah
Manusia anak kasus kasus anak kasus kasus
1. Permukaan tanah 2 0,4 - - 2 0,2 (0-10Th) per 100 (0-10Th) per 100
secara terbuka anak anak
2. Jamban Keluarga 52 9,9 25 5,9 77 8,1
3. Sungai 324 62,1 189 44,5 513 54,2 1. Diare 197 46 23,4 172 62 36,1
4. Kolam Ikan 107 20,5 210 49,4 317 33,5 2. Infeksi Kulit 197 52 26,9 172 90 52,3
5. Lain-lain 37 7,1 1 0,2 38 4,0 3. Infeksi Mata 197 13 6,6 172 23 16,9
Jumlah 591 111 18,8 516 181 35,1
522 100,0 425 100,0 947 100,0

5. Sikap Kepala Rumah Tangga terhadap Penggunaan Keterangan : p < 0,001


Air. Tabel 9. Angka Prevalensi Penyakit Diare, Infeksi Kulit, dan Mata di
Dari 947 rumah tangga yang diteliti, 92,2% mengarah path Kecamatan Rancakalong
segi kepentingan kesehatan, selebihnya (7,8%) mengarah path
Desa Proyek Desa Kontrol
kebiasaan dan lain-bin. Nama
Prosentase tertinggi mengenai hal tersebut dijumpai path No. Penyakit Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah
anak kasus kasus anak kasus kasus
masing-masing kecamatan (Tabel 6). (0-10Th) per 100 (0-10Th) per 100
anak anak
Tabel 6. Sikap Kepala Rumah Tangga terhadap Penggunaan Air untuk
Minum dan Mandi Diare
1. 121 23 19,0 92 50 54,4
2. Infeksi Kulit 121 24 19,8 92 7 7,6
Kecamatan
3. Infeksi Mata 121 11 9,1 92 16 17,4
Sikap Tanjungsari Rancakalong Jumlah
Jumlah 363 58 16,0 276 73 26,5
n % n % N %
Keterangan : p < 0,001

Agar dapat hidup 455 87,2 418 98,4 873 92,2


sehat
7. Pengelolaan Sarana Air Perpipaan.
Kebiasaan 54 10,3 6 1,4 60 6,3
Lain-lain
Dan penelitian ini diperoleh data sebagai berikut :
13 2,5 1 0,2 14 1,5
a) Kecamatan Tanjungsari.
522 100,0 425 100,0 947 100,0 Dari hasil wawancara setiap bulan dengan penanggungjawab

28 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


sarana air perpipaan selama penelitian, diperoleh informasi ada- 2) Karaktcristik Rumah Tangga mengenai golongan umur,
nya satu kali permasalahan dalam pengcloiaan sarana tersebut, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, tingkat penghasilan; de-
yakni kebocoran pada minggu-minggu permulaan bulan Maret mikian juga mengenai kondisi sanitasi serta sikap masyarakat
1980 akibat pipa utama tengah terbawa tanah longsor. Masalah nampak tidak jauh berbeda pula. Kemudian mengenai dampak
ini telah dapat diatasi dengan baik mclalui gotong royong ma- perbaikan air minum yang ada, di sini tampak adanya penurunan
syarakat setempat. prevalensi penyakit diare, infeksi kulit dan mata di desa proyek
b) Kecamatan Rancakalong. secara umum (Tabel 7).
Dan hasil wawancara yang dilakukan di kecamatan ini Dengan demikian, diperoleh gambaran bahwa program
tidak satupun masalah terjadi mengenai pengelolaan sarana air penyediaan air perpipaan di desa proyek mempunyai dampak
perpipaan selama penelitian. positif terhadapkesehatan penduduk, khususnya dalam penurunan
8. Pemanfaatan Limbah Air Sarana Perpipaan. prevalensi penyakit diare, infeksi kulit dan mata pada anak-anak r
Di kecamatan Tanjungsari, 55 (10,5%) rumah tangga berumur antara 0 sampai dengan 10 tahun.
memanfaatkan air limbah untuk kolam ikan. Penurunan angka prevalensi tersebut sesuai dengan hasil-
Di kecamatan Rancakalong, 38 (8,9%) rumah tangga yang hasil studi di luar negeri, di mana umumnya terdapat penurunan
memanfaatkan air limbah untuk kolam ikan (Tabel 10). prevalensi penyakit diare, infeksi kulit dan mata di daerah pene-
litian yang telah diberi air perpipaan atau penyediaan air yang
Tabel 10. Pemanfaatan Limbah Air Sarana Perpipaan untuk Kolam Ikan terjamin. Antara lain dapat disebutkan di sin :
di Kccamatan Tanjungsari dan Rancakalong • Studi di distrik Gorakhpur, Uttar Pradesh, India, tentang di-
Jumlah Jumlah Rumah Tangga bangunnya penyediaan air perpipaan di beberapa desa peneliti-
Kecamatan Rumah Tangga Yang Memanfaatkan Air Limbah an : tcrdapat penurunan secara umum penyakit-penyakit Ware,
disentri, tifus abdominalis, kudis, trakhoma, dan konjungtivitis.
N %
• Studi WHO di Venezuela (1965) menunjukkan rendahnya
Tanjungsari 522 55 10,5 penyakit diare sccara bermakna di Pompanito setelah diper-
Rancakalong 425 38 8,9 kenalkan sistim penyediaan air; di saat yang sama tidak terdapat
perubahan yang berarti mengenai diare di Monay yang penyediaan
airnya diperoleh dad truk tanki air.
Namun ternyata kolam-kolam ikan tersebut tidak semuanya • Studi olch Helen More dick. di Costa Rica (1965–1966) menya-
berfungsi untukpemeliharaan ikan, artinya tidak di semua kolam takan bahwa pemberian air dengan sistim perpipaan penting untuk
terdapat ikan, seperti terlihat pada Tabel 11. mengurangi infeksi oleh bakteria enteropatogenik.
Di kecamatan Tanjungsari hanya 20 rumah tangga yang
• Studi oleh White dkk. mengenai penggunaan air di kalangan
kolam ikannya masih berfungsi untuk memelihara ikan (3,8%).
rumah tangga di Afrika Timur (1972) menyatakan bahwa angka
Di kecamatan Rancakalong hanya 15 rumah tangga yang
diare yang tinggi secara bermakna telah dijumpai di beberapa
kolam ikannya masih berfungsi untuk memelihara ikan (3,5%).
keluarga yang tanpa penyediaan air secara perpipaan. Penyakit
Tabel 11. Kolam Titan yang Bcrfungsi di Kecamatan Tanjungsari dan diare diketahui sebagai penyakit yang umum di an tara anak-anak
Rancakalong yang bertempat tinggal di daerah-daerah yang tidak menyedi-
akan air perpipaan(5)
Kecamatan Jumlah Jumlah Kolam Ikan Penurunan secara umum angka prevalensi penyakit diare,
Rumah Tangga Yang Berfungsi
infeksi kulit dan mata memang terlihat di desa proyek pada
N % penelitian ini (Tabel 8), kecuali di Kecamatan Rancakalong, di
sini penyakit kulit tidak menurun (Tabel 9). Hal demikian
Tanjungsari 522 20 3,8
Rancakalong memang dimungkinkan karena adanya beberapa faktor tertentu
425 15 3,5
yang ikut menentukan, antara lain dari hasil-hasil penelitian di
Amerika Serikat di bawah ini :
PEMBAHASAN • Penelitian dari Departemen Kesehatan, Pendidikan, dan
Dan hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas nampak Kesejahteraan Amerika Serikat menyatakan bahwa kejadian
bahwa dua kecamatan yang dipilih scbagai daerah penelitian penyakit kulit menurun setelah pembangunan sarana sanitasi
tidak jauh be rbeda satu sama lain, sebagaimana telah diungkapkan (termasuk sarana kran air, jamban saniter, pancuran air untuk
dalam uraian terdahulu mengenai kesimpulan dari hasil data mandi), namun demikian di kemudian hari naik lagi. Hal ini
awal. diduga akibat tanpa adanya sistim pendidikan yang baik tentang
Ini tergambar dari data karakteristik rumah tangga yang penggunaan, cara kerja, serta pemeliharaan sarana dimaksudol.
diperoleh mengenai : • Azurin & Elvero(7) mengevaluasi upaya peningkatan sanitasi
1) Jumlah anggota keluarga di kedua kecamatan Tanjungsari lingkungan dalam melawan penyakit kolera. Mereka menyatakan
dan Rancakalong sebagian besar terdiri dari 3 jiwa (35,1% dan antara lain, bahwa dengan penyediaan air yang terjamin dapat
32,9%). menurunkan penyakit kolera hingga 73%.

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 29


• Misra dalam penelitiannya mengenai penyediaan air minum 3) Belum besarnya penurunan tersebut, mungkin akibat adanya
pedesaan di Uttar Pradesh, India, menyatakan bahwa dengan faktor lain yang ikut menentukan, antara lain belum masuknya
diperkenalkannya sistim penyediaan air perpipaan dengan keran sarana penyediaan air ke dalam rumah (indoor system).
rumah-rumah tangga telah dapat menurunkan prevalensi diare
hingga 77%, disentri 76%, infeksi kulit (skabies) 98%, infeksi Dengan demikian untuk meningkatkan keberhasilan pro-
mata (trachoma) 90%. Dan efektifitas penurunan prevalensi gram penyediaan air pedesaan serta program pengawasan atau
diare dengan sistim penyediaan air dengan keran umum (public pengendalian penyakit menular khususnya penyakit diare, kulit
standposts) diperkirakan hanya sampai 2/3 dari penggunaan dan infeksi mata, disarankan adanya program penyediaan air
keran dalam rumah tangga(6). perpipaan sampai masuk ke rumah dengan keran air perorangan,
Selanjutnya meskipun penurunan secara umum itu terjadi di dan bukan lagi keran umum.
daerah proyek, namun penurunan tersebut belumlah dapat di-
katakan besar; hal demikian kiranya dapat dimaklumi, karena se- UCAPAN TERIMA KASIH
bagaimana diketahui sistim penyediaan air perpipaan di desa
proyek di daerah penelitian ini penyelenggaraannya baru sampai Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Kepala Kantor Wilayah
ke keran-keran umum (keran air di luar rumah yang digunakan Departemen Kesehatan Jawa Barat beserta staf, serta Kepala Dinas Kesehat-
oleh banyak orang), dan bukan keran-keran air per keluarga an Kabupaten Sumedang beserta staf juga kepada Kepala Pusat Penelitian
Ekologi yang telah mengijinkan, membantu serta memungkinkan pelaksanaan
(keran air di dalam rumah yang dapat digunakan oleh satu penelitian ini.
keluarga); di samping itu masih ada beberapa faktor lain yang
berpengaruh dalam penurunan angka prevelensi penyakit ter- KEPUSTAKAAN
sebut.
1. Wall J W, Keeve JP. Water supply, diarrheal disease and nutrition : A survey of
the literature and recommendation for research,. Draft Working Paper,
KESIMPULAN DAN SARAN Washington DC 1974.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan adānya pro- 2. Stein J. Walter : Life and Death. A Report in preparation for the United
gram peningkatan penyediaan air minum pedesaan di daerah Nations Water Conference, Mar del Plata, Argentina, March 1977, Interna-
penelitian : tional Institute for Environment and Development.
3. Buku Rrencana Pembangunan Lima Tahun Ke Empat, IV. 1984.
1) Terdapat penurunan angka prevalensi diare hingga 49%, 4. Ratna Budiarso L, Putrali J, Muchtaruddin M. Laporan Survai Kesehatan
infeksi kulit 35%, dan infeksi mata 56%. Rumah Tangga, 1960.
2) Terdapat penurunan umum angka prevalensi penyakit diare, 5. Saunders RJ, Warford JJ. Village water supply, economics and policy in the
kulit dan mata yang walaupun belum begitu besar, sudah dapat developing world. Baltimore, London: John Hopkins Univ. Press. 1976.
6. McJunkin FE. Water and Human Health. Second Printing. 1983.
membuktikan adanya dampak positif terhadap kesehatan pen- 7. Azurin JC, Alvero M. Bull. WHO. 1974; 51 (1) : 19 – 25.
duduk setempat.

30 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


Infeksi Bakteri Enteropatogen
pada Penderita Diare Golongan Umur
Balita di Daerah Jawa Barat dan Pola
Resistensinya terhadap Antibiotik
Pudjarwoto T*, Cyrus H. Simanjuntak*, Eko Raharjo*, Suharyono W*, Sutoto**, Sri Harjining*

*Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan R.I., Jakarta


**Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman,
Departemen Kesehatan R.I., Jakarta

ABSTRAK

Untuik mengetahui spektrum penyebab penyakit diare di Jawa Barat, 461 sampel
rectal swab yang berasal dari penderita diare di beberapa daerah di Jawa Barat telah
diidentifikasi terhadap Entero-bakteri patogen, serta dilakukan uji resistensi terhadap
antibiotikpilihan padabakteri patogen yang ditemukan. Uji resistensi dilakukan terhadap
5 jenis antibiotik yaitu tetrasiklin, ampisilin, kanamisin, kloramfenikol dan kotrimixazol
dengan cara Disk Diffusion (Kirby Bauer, 1966).
Hasil pemeriksaan menunjukkan, distribusi entero-bakteri patogen pada penderita
diare golongan umur balita meliputi Vibrio-cholera dengan positive rate sebesar 4,1%,
Shigella 3,1%, E. coli patogen (ETEC) 4,9%, Campylobacter 5,4% dan Vibrio
parahaemolyticus0,2%. Dari basil uji resistensi kuman terhadap antibiotik menunjukkan
bahwa kotrimoxazol dan kanamisin masih cukup efektif untuk Shigella, E. coli patogen
(ETEC) maupun V. cholera. Selain kedua jenis antibiotik tersebut, tetrasiklin juga masih
efektif untuk V. cholera.
Multi resistensi yang terjadi berbeda antara jenis kuman yang satu dengan jenis
kuman yang lain. Pada kuman Shigella 14,2% bersifat multi resisten terhadap 4 jenis
antibiotik yaitu terhadap ampisilin, kloramfenikol, tetrasiklin dan kotrimoxazol. Pada V.
cholera 4,7% multi resisten terhadap kloramfenikol dan tetrasiklin, sedangkan pada E.
coli patogen (ETEC) 25,0% multi resisten terhadap kloramfenikol, tetrasiklin dan
ampisilin.

PENDAHULUAN menyebabkan lebih dari 80 penderita meninggal dunia.


Suatu hal yang menjadi masalah adalah belum ada informasi
Laporan Dir Jen P2M & PLP Departemen Kesehatan tahun 1987 mengenai spektrum penyebab penyakit diare sampai saat ini, ka-
menyebubkan bahwa propinsi Jawa Barat merupakan daerah dengan rena survai mengenai etiologi diare di Jawa Barat belum pernah
jumlah kasus diare terbesar dibandingkan dengan propinsi dilakukan(1). Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan bahwa Kepu-
lainnya di Indonsia. Sampai saat ini penyakit diare di Jawa Barat tusan Seminar Rehidrasi Tingkat Nasional ke III di Semarang
merupakan salah satu masalah kesehatan utama dengan tahun 1982 menyebatkan bahwa bakteri pen yebab diare di Jakarta
seringnya kejadian wabah diare yang menimbulkan kepanikan adalah Vibrio cholera dengan positive rate 0,8%, Salmonella
penduduk/masyarakat karena bila tidak segera diobati akan 4,0%, Shigella 0,6%, Vibrie NAG 2,1%, V. parahaemolyticus
menyebabkan kematian penderita. Seperti KLB (Kejadian Luar 1,6%, Campylobacter 1,2% dan E. coli patogen 12,2%. Di sini
Biasa) Muntaber yang timbul pada bulan September 1990 yang

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 31


terlihat bahwa penyebab terbesar adalah E. coli patogen. Untuk vitro dan berfungsi untuk menentukan obat terpilih dalam sua
daerah Yogyakarta infeksi Enterobakteri patogen pada penderita terapi antibiotik.
diare golongan anak-anak terdiri dari V. cholera, Salmonella,
Shigella dan E. coil patogen (ETEC)(2). Data etiologi dan HASIL DAN PEMBAHASAN
epidemiologi sangat diperlukan untuk menyusun program pe-
nanggulangan penyakit diare secara rasional dan terarah, serta Selama lebih kurang 9 bulan penelitian telah dapat
penting untuk membuat kebijakan dalam penyediaan obat-obatan diperiksa sejumlah 461 sampel rectal swab. Identifikasi ter-
di Rumah Sakit dan Puskesmas. hadap bakteri enteropatogen menunjukkan bahwa 16,9%
Upaya pengobatan pada penderita diare sebagian besar kejadian diare di Jawa Barat adalah disebabkan oleh infeksi
adalah dengan terapi rehidrasi atau dengan pemberian Oralit, bakteri enteropatogen. Distribusi spesies yang ditemukan ter-
karena sebagian terbesar penyakit diare pada golongan balita din dari V. cholera sebesar 4,1%, Shigella 3,1%,E. coil patogen
adalah disebabkan oleh rotavirus yang bersifat self-limiting. (ST) 4,9%, Campylobacter 5,4% dan V. parahaemolyticus 0,2%
Adapun fungsicairanrehidrasi atau oralitadalah untuk mengganti (Tabel 1). Tidak ditemukan spesies dari Salmonella, NAG
cairan tubuh yang hilang akibat adanya dehidrasi(3). Tetapi sekitar maupun jenis bakteri enteropatogen lain.
10% – 20% penvakit diare memerlukan terapi antibiotika, yaitu Tabel 1. Distribusl bakteri enteropatogen pada kasus-kasus Mare pad
diare yang disebabkan oleh infeksi V. cholera, Salmonella, golongan umur balita di daerah Jaws' Barat th 1989 (N = 461).
Shigella, ETEC dan Campylobacter(`). Masalah yang timbul
Bakteri enteropatogen Jumlah %
dalam kaitannya dengan antibiotik adalah adanya kuman yang
resisten terhadap antibiotik yang dapat terjadi secara genetik. Vibrio cholera Eltor Ogawa 19 4,1
Perkembangan resitensi ini dipercepat akibat penggunaan anti- Vibrio cholera Eltor Inaba 0 0,0
biotik yang tidak terarah. Oleh karena itu surveillance tentang E. coil patogen (ETEC) : ST 23 4,9
resistensi kuman terhadap antibiotik perlu dilakukan untuk me- : LT 0 0,0
0,0
nentukān kebijakan pemakaian antibiotik'secara rasional(5). Salmonella 0
Shigella 14 3,1
Untuk menambah informasi tentang spcktrum bakteriologi Vibrio parahaemolyticus 1 0,2
penyebab diare di Jawa Barat dan pola resistensinya terhadap Vibrio NAG 0 0,0
antibiotik, dalam makalah ini disajikan data basil penelitian Campylobacter 25 5,4
bakteri enteropatogenik pada penderita diare dan uji resisten- Yersinia 0. 0,0
sinya terhadap beberapa jenis antibiotik pilihan. Keterangan: ETEC = Entero Toxigenic Escherichia calf
BAHAN DAN CARA ST = Stabile Toxin; LT = Labile Toxin
NAG =Non Aglutinable
1). Cara mendapatkan sample rectal swab Campylobacter jejuni telah diakui sebagai bakteri patogen
Rectal swab sebagai bahan penelitian utama di laboratorium yang menyebabkan penyakit gastroenteritis, dan telah banyak
diperolch dari penderita diare yang datang berobat ke beberapa dibuktikan oleh para peneliti(6). Di Jakarta prevalensinya men-
rumah sakit di daerah Pandeglang dan daerah Kuningan, Jawa capai 5,3% (1980), sedangkan di Jawa Barat dalam penelitian ini
Barat. Rectal swab selanjutnya dimasukkan ke dalam medium tidak jauh berbeda yakni 5,4% (1989). Adapun gejala klinis
Carry & Blair sebagai medium transpor selektip untuk Entero- gastroenteritis yang ditimbulkannya adalah diare disertai de-
bacteria. mam, fase berdarah, nyeri abdomen dart muntah. Lama diare
berkisar antara 1 s/d 7 hari dengan frekuensi buang air antara 4 -
2). Identifikasi bakteri enteropatogen 20 kali. Sifat feses dapat seperti bubur, encer atau berupa air(6).
Identifikasi dilakukan untuk mendeteksi Vibrio chiolera, Antibiotik terpilih adalah eritromisin.
Salmonella, Shigella, E. coil patogen (ETEC, EIEC), V. para- Di daerah-daerah endemis diare, ETEC merupakan salah
haemolyticus, NAG, Campylobacter. Prosedur identifikasi ini satu penyebab utama diare akut yang menyerupai penyakit
meliputi 3 macam pemeriksaan yaitu plating media (penanaman kholera balk pada anak-anak maupun golongan umur dewasa.
pada perbenihan), test biokimia dan test serologi. Untuk identi- Penderita terbanyak adalah anak-anak di bawah umur 2 tahun
fikasi E. coli dan Campylobacter tidak dilakukan test serologi, dan prevalensinya menurun pada golongan umur 4 tahun serta
tetapi dengan test ELISA (untuk E. colt) dan test Oksidasi & tetap rendah pada umur-umur selanjutnya. Gejala klinis diare
Katalase (untuk Campylobacter) (lihat diagram 1). yang disebabkan oleh ETEC berkisar dari gejala ringan sampai
berat. Sebagai sumber penularan adalah manusia yang me-
3). Uji resistensi in-vitro terhadap antibiotik rupakan carrierm. Prevalensi ETEC (ST saja) di Jakarta tahun
Uji resistensi dilakukan terhadap 5 jenis antibiotik pilihan 1981 mencapai 6,0%, sedangkan di Jawa Barat dalam penelitian
yaitu kloramfenikol dengan potensi disk sebesar3014, ampisilin ini adalah sebesar 4,9%. Di sini tidal( ditemukan LT maupun
10 µg, tetrasiklin 30 µg, kanamisin 30 µg dan sulfametoxazol- kombinasi ST & LT.
trimetoprim 25 µg. Cara pengujian dilakukan secara Disk Diffu- Shigella pada umumnya terdapat dalam prevalensi yan
sion Method (Kirby Bauer, 1966) dengan menggunakan disk bervariasi. Di Jakarta berkisar antara 3% s/d 5% (1980), sedangka
antibiotik ukuran 6 mm (Product BBL). Pengujian ini bersifat in di Jawa Barat dalam penelitian ini mencapai 3,1%. Umumnya

32 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


Diagram 1. Pemeriksaan Enterobakteri patogen

Note :
* Use only when looking specially for S. Typhi; some pseudomonads and aeromonads may grow in it producing pink colonies

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 33


Diagram 2. GUIDANCE FOR IDENTIFICATION OF IMPORTANT ENTERIC BACTERIA

Note : *NLF = non-lactose fermenter

terdapat 4 spesies Shigella yaitu S. flexneri, S. dysentriae, S. 0,8%, sedangkan Eltor Ogawa 99,2%. Dalam penelitian ini tidak
boydii dan S. sonnei. Di Jawa Barat, S. dysentriae lebih banyak ditemukan Eltor Inaba; mungkin karena sampel yang diperiksa
ditemukan yakni sebesar 57%, sedangkan di Jakarta 50% relatif kecil (di bawah 500) sehingga V. cholera Eltor'lnaba
terdiri dari S. flexneri. belum sempat terjaring. Tentang tidak ditemukannya spesies
Campylobacter merupakan golongan bakteri enteropato- Salmonella di sini belum diketahui penyebabnya.
gen yang paling banyak ditemukan, yakni sebesar 5,4% di- Uji resistensi isolat bakteri enteropatogen yang berhasil
bandingkan dengan spesies yang lain seperti ETEC 4,9%, V. diisolasi terhadap antibiotik terpilih telah dilakukan pada isolat
cholera 4,1%, Shigella 3,1% dan V. parahaemolyticus 0,2%. V. cholera, E. coli patogen (ETEC), Shigella dan Vibrio
Populasi V. cholera Eltor Inaba memang relatif masih rendah. parahaemolyticus terhadap antibiotik tetrasiklin, khloramfei
Suatu penelitian tahun 1982 menemukan Eltor Inaba sebesar kanamisin, ampisilin dan sulfametoxazol-trimetoprim. Hasil uji

34 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


resistensi V. cholera menunjukkan bahwa umumnya kelima tidak bisa dilakukan.
jenis antibiotik tersebut masih cukup efektif secara in vitro. Dari tabe12, 3 dan 4 terlihatbahwa secara in vitro kanamisin
Ditinjau dari derajat efektivitasnya, kanamisin dan sulfame- dan sulfametoxazol-trimetoprim merupakan dua jenis antibiotik
toxazol-trimetoprim masih efektif 100%, sedangkan tetrasiklin yang masih cukup efektif untuk Shigella dan ETEC di Jawa
95,3%. Dua jenis lainnya yaitu khloramfenikol dan ampisilin Barat. Sedangkan untuk V. cholera di samping kedua jenis
efektivitasnya di bawah antibiotik yang disebutkan terdahulu antibiotik tersebut, tetrasiklin juga masih sangat efektif.
(Tabel 2). &1asil uji resistensi untuk isolat E. coli patogen Kanamisin adalah antibiotik golongan aminoglikosida yang
(ETEC) menunjukkan bahwa tingkat resistensi ETEC terhadap besifat bakteriostatik dan efektif untuk bakteri gram negatif.
kelima jenis antibiotik yang diuji masih relatif kecil. Namun Sifatnya menghambat sintesis protein sel mikroba dan kejadian
derajat efektivitasn ya paling baik yaitu pada antibiotik kanamisin resistensi bakteri terhadap kanamisin timbul secara perlahan-
dan sulfametoxazol-trimetoprim (Tabel 3). lahan(4).
Tabel 2. Pola resistensi isolat V. cholera yang berasal dad Jawa Barat Sulfametoxazol-trimetoprim mempunyai efektivitas tinggi
terhadap 5 jenis antibiotik terpilih pada pengujian dengan Disk terhadap berbagai jenis bakteri enteropatogen. Hal ini disebab-
Diffusion Method (Kirby Bauer, 1966) tahun 1989 (n = 21). kan karena meningkatnya resistensi kuman terhadap antibiotik
Jumlah
adalah seining dengan lama (usia) penggunaan antibiotic ter-
Antibiotik/Potensi Disk
resistensi sebut; sedangkan sulfametoxazol-trimetoprim adalah antibiotik
%
kombinasi yang relatif baru, sehingga rata-rata tingkat resistensi
Tetrasiklin/30 pg 1 4,7 bakteri terhadap antibiotik ini masih rendah.
Khloramfenikol/30 µg 2 9,4 Informasi tentang distribusi resistensi multi antibiotik di
Kanamisin/30 gg 0 0,0
Ampisilin/10 gg 4 19,0
Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 5, 6 dan 7.
Sulfametoxazol-trimetoprim/25 pg 0 0,0
Tabel 5. Pola resistensi multi antibiotik isolat V. cholera di Jawa Barat.
(n = 21)
Tabel 3. Pola resistensi isolat E. coli patogen (ETEC) yang berasal dari
Jawa Barat terhadap 5 jenis antibiotik terpilih pada pengujian Multi antibiotik Jumlah isolat
dengan Disk Diffusion Method (Kirby Baeuer, 1966) tahun 1989 resistensi %
(n = 23).
Khloramfenikol dan Tetrasiklin 1 4,7
Antibiotik/Potensi Disk Jumlah isolat Ampisilin 4 19,0
resistensi % Khloramfenikol 1 4,7

Tetrasiklin/30 µg 11 55,0 Tabel 6. Pala resistensi multi antibiotik isolat Shigella di Jawa Barat.
Khloramfenikol/30 µg 10 50,0 (n = 14).
Kanamisin/30 µg 1 5,0
Ampisilin/10 pg 6 30,0 Multi antibiotik Jumlah isolat
Sulfamctoxazol-trimetoprim/25 µg 0 0,0 resistensi '%
Hasil uji resistensi untuk isolat Shigella menunjukkan C, Te, Am, Sxt 2 14,2
bahwa dua jenis antibiotik yaitu kanamisin dan sulfametoxazol- C, Te, Am, K 1 7,1
trimetoprim masih cukup efektif, sedangkan pada tiga jenis C, Te, Am 5 35,7
Te, Am 3 21,4
antibiotik yang lain yaitu tetrasiklin, ampisilin dan khloram- Te 1 7,1
fenikol, isolat Shigella sudah menunjukkan tingkat resistensi
yang cukup tinggi (Tabel 4). Keterangan: C = Khloramfenikol Am = Ampisilin
Te = Tetrasiklin K = Kanamisin
Tabel 4. PolaresistensiisolatShigella yang berasaldaridaerahJawaBarat
Sxt = Sulfametoxazol-
terhadap 5 jenis antibiotik pada pengu jian dengan Disk
Trimetoprim
Diffusion Method (Kirby Bauer, 1966) tahun 1989 (n = 14).
Tabel 7. Pola resistensi multi antibiotik isolat E. coli patogen (EFEC) di
Antibiotik/Potensi Disk Jumlah Isolat Jawa Barat (n = 20).
resistensi %
Multi antibiotik Jumlah isolat
resistensi %
Tetrasiklin/30 µg 12 85,7
Khloramfenikol/30µg 8 57,1
C, Te, Am 5 25,0
Kanamisin/30 µg 1 7,1
C, Te 4 20,0
Ampisilin/10 µg 11 78,5
Sulfametoxazol-trimetoprim/25 µg 2 14,2 Keterangan : ldem label 6.

Keterangan: n = Jumlah isolat yang dilakukan uji resistensi.


Untuk Vibrio parahaemolyticus hanya terdapat 1 isolat dan Kejadian multiresistensi pada dasarnya disebabkan oleh
hasil uji resistensinya menunjukkan sensitif terhadap semua jenis penggunaan antibiotik secara berlebihanm. Tabel 5 memper-
antibiotik yang diujikan. Disayangkan karena alasan teknis lihatkan bahwa multiresistensi V. cholera di Jawa Barat masih
maka uji resistensi isolat Campylobacter terhadap antibiotik rendah yakni pada 2 jenis antibiotik yaitu C dan Te sebesar4,7%.

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 35


Keadaan ini masih belum menimbulkan kerisauan bagi Antibiotik kotrimoxazol dan kanamisin terbukti masih sa-
kalangan medis/klinisi, karena bila sewaktu-waktu terjadi out- ngat efektif untuk Shigella dan E. coli patogen. Untuk V. cholera
break kholera yang berasal dari isolat yang multiresistcn ini di samping kedua jenis antibiotik tersebut, tetrasiklin juga masih
masih terdapat beberapa jenis antibiotik pilihan yang masih cukup efektif. Kejadian multiresistensi terhadap antibiotik ber-
efektif untuk jenis baktcri ini. Untuk E. coil patogen, terdapat beda antara jenis kuman yang satu dengan jenis yang lain.
25% isolat ETEC yang bersifat multiresisten terhadap 3 jenis
KEPUSTAKAAN
antibiotik yaitu terhadap C, Te dan Am (Tabel 6); jadi keragam-
an sifat multiresistensi ETEC lebih luas dari pada V . cholera.
Kejadian multiresistensi yang bervariasi ini sering inenimbulkan 1. Alibasah Natakusumah. Kejadian Luar Biasa dan Wabah DiareBarat dan
Tatralaksana Penanggulangannya. Rehidrasi Oral, Pemantapan dan Pem-
kesulitan dalam memilih antibiotik yang tepat bila tidak disokong
budayaannya dalam upaya Penanggulangan Diare. Dir Jen PPM & PLP,
oleh konfirmasi etiologi dan pola resistensinya terhadap anti- 1984 hal : 297-307.
biotik. Di daerah endemis diare, ETEC merupakan juga pe- 2. Keputusan Seminar Rehidrasi Tingkat Nasional ke III. Rehidrasi Oral,
nyebab utama diare akut yang menyerupai penyakit kholera baik Pemantapan dan Pembudayaannya dalam Upaya Penanggulangan Diare.
Dit Jen PPM & PLP Dep Kes RI, 1984. hal : 415-42.
pada golongan umur dewasa maupun anak-anak(7).
3. Sunoto. Penatalaksanaan dan Pengobatan Dietetik Penderita Diare. Rehi-
Untuk isolat Shigella keadaan multiresistensi terhadap darasi Oral, Pemantapan dan Pembudayaannya Dalam Upaya Penanggu-
antibiotik lebih complicated. Dalam tabel 7 terlihat bahwa langan Diare. Dit Jen PPM & PLP 1984 hal : 180-200.
14,2% (2 dari 14) isolat Shigella bersifat multiresisten terhadap 4. Natrup RS, Ardie AS, Santoso S. Manual of Medical Therapeutics 21st
Edition. Edisi Indonesia : Pedoman Pengobatan. Yogyakarta : Yayasan
4 jenis antibiotik pilihan yaitu C, Te, Am dan SxT, serta 7,1% (1
Essentia Medica, 1979.
dari 14) bcrsifat multiresisten terhadap C, Te, Am dan K. 5. Rianto Setiabudi. Pemilihan Antibiotika secara Rasional. Maj Farmakol
Pengobatan terhadap Shigellosis lebih sering dilakukan dengan dan Terapi Indon 1988; 5 (1) : 29-36.
terapi antibiotik daripada terapi rehidrasi karena pada kasus- 6. Suharyono, Iskak Koiman. Penelitian Penyebab Mikrobiologis (Entero
bakteri + Rotavirus) Penyakit Diare Akut di Klinik 1974 - 1982. Proc
kasus epidemi Shigella hanya sekitar 10% yang mengalami
Pertemuan IImiah Penelitian Penyakit Diare di Indonesia; Jakarta, 21-23
dehidrasi serius. Dikhawatirkan bila terjadi KLB yang disebabkan OkLobar 1982. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Dep Kes RI
oleh kuman Shigella yang bersifat nultiresisten terhadap 1984. Hal : 199-208.
antibiotik tersebut di atas, tidak ada lagi antibiotika dapat mem- 7. Cyrus H Simanjuntak. Peranan ETEC sebagai Penyebab Diare Akut.
Dipresentasikan pada Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak, Konika V
bunuh bakteri penyebab infeksi tersebut sehingga banyak pen-
di Medan, 14-18 Juni 1981.
derita yang terancam jiwanya. 8. Sudannono P. Kebijakan Pemakaian Antibiotika dalam Kaitannya dengan
Resistensi Kuman. Mikrobiologi Klinik Indonesia, 198; I : 22-27.
KESIMPULAN 9. Anonymous. Perforance Standards for Antimicrobial Disk Susceptibility
Test. National Committee for Clinical Laboratory Standards, 1976.
10. WHO/CDD Program for Central Diarrhoeal Diseases. Manual for Labora-
Spektrum bakteriologi penyebab penyakit diare golongan tory Investigation of Acute Enteric Infection, 1987.
balita di Jawa Barat terdiri.dari Shigella, Campylobacter, E. coli 11. Cyrus H Simanjuntak. Aspek Mikrobiologi Penyakit Diare (Review). Proc
patogen (ETEC), V. cholera dan V. parahaemolyticus. Positive Pertemuan llmiah Penelitian Penyakit Diare di Indonesia. Badan Penelitian
rate terbesar adalah Campylobacter, sedang E. coli patogen dan Pengembangan Kesehatan, Dep Kes RI 21-23 Oktober 1982. hal:
176-98.
menduduki peringkat kedua.

36 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 35
Pola Resistensi Bakteri Enteropatogen
terhadap Lima Jenis Antibiotik
Pudjarwoto Triatmodjo
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Departemen Kesehatan R1., Jakarta

ABSTRAK

Untuk mengetahui pola resistensi enterobakteri patogen terhadap antibiotik, telah


dilakukan uji resistensi Salmonella, Shigella, Vibrio cholera dan E. coli patogen (ETEC)
terhadap 5 jenis antibiotik pilihan yaitu tetrasiklin, ampisilin, kanamisin, khloramfenikol
dan kotrimoxazol (sulfametaxazol-trimetoprim) dengan cara Disk Diffusion (Kirby
Bauer, 1966). Isolat-isolat bakteri yang diuji diperoleh dari basil isolasi sampel rectal
swab dari penderita gastroenteritis (diare) di Jakarta dan sekitarnya yang berobat ke
beberapa Rumah Sakit di Jakarta, tahun 1987 s/d 1989.
Hasil pengujian menunjukkan, 5 jenis antibiotika tersebut secara in vitro masih
cukup efektif untuk V. cholera namun dengan derajat efektivitas yang berbeda-beda,
khloramfenikol ternyata lebih efektif dari pada tetrasiklin. Tingkat resistensi V. cholera
terhadap khloramfenikol adalah sebesar 0,7%, sedangkan terhadap tetrasiklin sebesar
2,9%.
Untuk Salmonella dua jenis antibiotik yang cukup efektif adalah kanamisin dan
kotrimoxazol dengan tingkat resistensi sebesar 6,2% terhadap kedua jenis antibiotik
tersebut. Terhadap 3 jenis antibiotik yang lain yaitu tetrasiklin, ampisilin dan khloram-
fenikol tingkat resistensinya sudah mencapai > 30%. Untuk Shigella dan E. coli patogen
(ETEC) pola resistensinya mirip dengan Salmonella, dua jenis antibiotik yang efektif
untuk kuman tersebut adalah kanamisin dan kotrimoxazol.
Multiresistensi yang muncul pada enterobakteri patogen bervariasi. Sebesar 5%
isolat Salmonella bersifat multiresisten terhadap 5 jenis antibiotik, V. cholera 0,7%
terhadap 4 jenis antibiotik, Shigella dan E. coli patogen (ETEC) masing-masing 31,2%
dan 26,3% bersifat multiresisten terhadap 3 jenis antibiotik.

PENDAHULUAN selainrehidrasipadaumumnyadokterdiPuskesmas menggunakan


antibiotik(1). Hal ini sebenamya tidak sesuai dengan prinsip-
Diketahui sebagianbesarpenyakitdiare adalah SelfLimiting prinsip penggunaan antibiotik yang seharusnya didasarkan pada
Disease, ,meskipun secara klinis sulit ditentukan penyebabnya. diagnosis klinis dan etiologisnye.
Pusat-pusat pengobatan di daerah seperti Puskesmas tidak Penggunaan antibiotik secara tidak tepat ditinjau dari segi
mempunyai sarana laboratorium yang memadai untuk pe- indikasi, dosis, saat dimulai dan lama terapi dapat menimbulkan
mericsaan etiologi diare, sehingga untuk menanggulanginya, resistensi. Adanya resistensi kuman terhadap antibiotik menim-

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 37


bulkan kerisauan di kalangan klinisi karena infeksi kuman pa- Ketentuan mengenai resistensi atau sensitivitasnya mengikuti
togen tidak dapat lagi diobati dengan sempurna oleh antibiotik petunjuk dari Performance Standards for Antimicrobial Disk
pilihan(3,4). Susceptibility Tests (NCCLC , 1976).
Sekitar 10% – 20% kasus diare memerlukan terapi anti-
biotik, yaitu diare yang disebabkan oleh Salmonella, Shigella,
Vibrio cholera, E. coli patogen dan Campylobacter(2,5). Kepu-
HASIL DAN PEMBAHASAN
tusan Seminar Nasional Rehidrasi ke III di Semarang (1982)
menyebutkan bahwa terapi antibiotik pada kasus-kasus diare Dari hasil pemeriksaan sampel rectal swab terhadap En-
cholera adalah tetrasiklin dengan dosis untuk anak-anak: 30 mg/ terobacteriaceae tahun 1987 s/d 1989 telah dapat diperoleh
kgbb/hari selama 2 hari; sedangkan untuk dewasa: 4x500 mg/ isolat V. cholera sebanyak 137 spesimen, Salmonella 40
hari selama 2 hari(3,6). Jenis antibiotik lain yang dianjurkan adalah spesimen, Shigella 16 spesimen, E. coli patogen (ETEC) 19
khloramfenikol, ampisilin dan sulfametoxazol-trimetroprim(7). spesimen dan Campylobacter 25 spesimen. Uji resistensi untuk
Untuk diare yang disebabkan oleh Shigella (disebut juga diare Campylobacter tidak bisa dilakukan karena terjadi kekeliruan
disentri) antibiotik ampisilin dan sulfametoxazol-trimetoprim pemeliharaan sehinga spesimen mati sebelum dilakukan pe-
merupakan pilihan utama. Beberapa literatur menyebutkan anti- ngujian.
biotik lain yang dianjurkan adalah tetrasiklin dan khloram- Hasil uji resistensi Salmonella terhadap 5 jenis antibiotik
fenikol. Antibiotik pilihan untuk infeksi Salmonella adalah (tabel 1) memperlihatkan sulfametoxazol-trimetoprim me-
khloramfenikol, ampisilin dan sulfametoxazol - trimetoprim. rupakan antibiotik yang paling efektif untuk Salmonella dengan
Sedangkan antibiotikpilihan untukinfeksiCampylobacter adalah derajat resistensi sebesar 5%, kanamisin dan ampisilin nampak-
eritromisin(8,9). nya lebih efektif daripada khloramfenikol; derajat resistensi
Walaupun informasi mengenai pola resistensi bakteri en- Salmonella terhadap kanamisin adalah sebesar 12,5%, terhadap
teropatogen terhadap antibiotik telah banyak dilaporkan, namun ampisilin 17,5%, khloramfenikol 20,0% dan tetrasiklin 25,0%.
surveillance mengenai hal ini perlu dilakukan secara berkala,
Tabel 1. Pola resistensi Salmonella sp. terhadap antibiotik tetrasiklin, ampisilin,
baik dalam skala lokal, nasional maupun internasional, meng- kanamisin,; khloramfenikol dan sulfametoxazol-trimetoprim pada
ingat pola kuman dan resistensinya terhadap antibiotik dapat pengujian dengan Disk Diffusion Method (Kirby Bauer, 1966) th.1989.
bervariasi pada tempat dan waktu yang berbeda(2,3). (N = 40)*
Untuk menambah informasi mengenai resistensi bakteri Antibiotik Potensi disk Jumlah isolat
enteropatogen terhadap antibiotik, dalam makalah ini disajikan resistensi
hasil uji resistensi kuman dari spesies Salmonella, Shigella, n 96
Vibrio cholera dan E. coli patogen (ETEC) terhadap 5 macam
antibiotik pilihan yaitutetrasiklin, ampisilin, khloramfenikol, Khloramfcnikol 30 µg 8 20,0
kanamisin dan sulfametoxazol-trimetoprim. Ampisilin 10 µg 7 17,5
Sulfametoxazol-trimetoprim 25 µg 2 5,0
Tetrasiklin 30 µg 10 25,0
BAHAN DAN CARA Kanamisin 30 µg 5 12,5

1) Cara mendapatkan isolat bakteri enteropatogen. Keterangan :


Isolat Salmonella, Shigella, V. cholera dan ETEC diperoleh *) N = Jumlah isolat Salmonella yang diuji.
dari hasil identifikasi rectal swab yang berasal dari penderita
diare yang berobat ke beberaparumah sakit di Jakarta, antara lain Untuk isolat V. cholera telah dilakukan uji resistensi ter-
Rumah Sakit Karantina dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo hadap 4 macam antibiotik yaitu tetrasildin, khloramfenikol,
serta sampel-sampel rectal swab yang dikirim oleh beberapa ampisilin dan sulfametoxazol-trimetoprim. Hasil pengujian
instansi lain. Identifikasi bakteri enteropatogen dilakukan melalui menunjukkan bahwa ke empat macam antibiotik tersebut secant
3 tahap pemeriksaan, yaitu plating media, test biokimia dan test in-vitro masih cukup efektif untuk V. cholera (Tabel 2). Dilihat
serologi kecuali untuk ETEC. Pada indentifikasi ETEC sesudah dari derajat efektifitasnya, khloramfenikol merupakan antibiotik
test biokimia dilakukan tes ELISA (diagram 1). yang paling efektif untuk V. cholera, sedangkan peringkatkedua
adalah sulfametoxazol -trimetoprim, selanjutnya tetrasiklin dan
2) Cara uji resistensi terakhir ampisilin.
Ujiresistensidilakukan dengan Disk Diffusion Method dari Untuk isolat Shigella sp. telah dilakukan uji resistensi
Kirby Bauer (1966). Dalam pengujian ini media selektif adalah terhadap 5 jenis antibiotik yaitu tetrasiklin, khloramfenikol,
Muller Hinton Agar (Difco product). Antibiotik yang digunakan kanamisin, ampisilin dan sulfametoxazol-trimetoprim. Terlihat
adalah disk antibiotik (Product BBL) dengan diameter 6 mm, bahwa tingkat resistensi Shigella terhadap antibiotik tetra-
masing-masing dengan potensi disk untuk tetrasiklin sebesar 30 siklin, khloramfenikol dan ampisilin sudah cukup tinggi. Dua
µg, ampisilin 10 pg, khloramfenikol 30 µg, kanamisin 30 µg dan jenis antibiotik pilihan yang masih cukup efektif untuk Shigella
sulfametoxazol-trimetoprim 25 µg. sp. adalah kanamisin dan sulfanetoxazol-trimetoprim (Tabel
3). Kanamisin dan sulfametoxazol-trimetoprim mempunyai

38 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


Diagram 1. Pemeriksaan Enterobakteri patogen(1).

Tabel 2. Pola resistensl V. cholera terhadap antlbiotlk tetraslklin, amp kill n, derajat efektifitas yang sama dalam arti tingkat resistensi isolat
khioramfenikol din sulfametoxazol-trlmetoprim pads penguJian
Shigella terhadap kedua jenis antibiotik ini masih sama rendah
dengan Disk Diffusion Method (Kirby Bauer, 1966) tahun 1989.
(N = 137). yakni 6,25%. Tetrasiklin masih lebih balk daripada khloram-
fenikol dan ampisilin.
Atlbiotik Potensi disk Jumlah isolat Seperti halnya pada Shigella, untuk isolat E. coli patogen
resisten
(ETEC) telah dilakukan uji resistensi terhadap 5 jenis antibiotik
n % yang sama yaitu tetrasiklin, ampisilin, khloramfenikol, kanamisin
dan sulfametoxazol-trimetoprim.
Tetraaiklin 30 µg 4 2,9
Hasil pengujian menunjukkan bahwa dari 5 jenis antibiotik
Khlonunfenikol 30 µg 1 0,7
Ampisilin l0 µg 6 4,3 yang diuji terdapat 2 jenis yang masih efektif untuk E. colt
Sulfametoxazol-trintetoprim 25 µg 3 2,1 patogen; yaitu kanamisin dan sulfametoxazol-trimetoprim. Ter-
hadap tiga jenis antibiotik yang lain tingkat resistensi E. coli
Keterangan : patogen (ETEC) sudah cukup tinggi (tabel 4). Khusus untuk
N = Jumlah isolat V. cholera yang diuji.

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 39


Tabel 3. Pola resistensi Shigella sp. terhadap antibiotik tetrasiklin, khlo- Tabel 5. Pola resistensi multipel Salmonella terhadap lima jenis antibiotik
ramfen ikol, ampisilin, kanamisin dan sulfametoxazol-trimetoprim (n = 40).
pada pengu jian dengan Disk Diffusion Method (Kirby Bauer,1966)
tahun 1989 (N =16). Resistensi multipel Jumlah spesimen %

Antibiotik Potensi disk Jumlah isolat C, Te, K, Am, SxT 5 5,0


resistensi C, Te, K, Am 1 2,5
C, Te, Am 4 10,0
n % C 1 2,5
Te 3 7,5
Tetrasiklin 30 µg 5 31,2 K 2 5,0
Khloramfenikol 30 µg 7 43,7
Kanamisin 30 pg 1 6,2 Keterangan : C = khloramfenikol SxT = Sulfametoxazol-
Ampisilin 10 µg 8 50,0 Te = Tetrasiklin Trimetoprim
Sulfametoxazol-trimetoprim 25 µg 1 6,2 K = Kanamisin Am = Ampisilin

Keterangan : Tabel 6. Pola resistensi multipel Shigella sp terhidap lima jenis antibiotik
N = Jumlah isolat Shigella sp. yang diuji. (n = 16).
Resistensi multipel Jumlah spesimen %
sulfametoxazol-trimetoprim merupakan jenis antibiotik yang
istimewa untuk ETEC karena ternyata masih efektif 100% untuk C, Te, Am; 5 31,2
C, Am 1 2,5
bakteri tersebut. Te, Am 1 2,5
Tabel 4. Pola resistensi E. cod patogen (ETEC) terhadap antibiotik tetra- K, Am 1 2,5
sikiin, khloramfenikol, ampisilin, kanamisin dan sulfametoxazol- SxT 1 2,5
trimetoprim pads pengujian dengan DiskDtffurionMethod (Kirby
Keterangan : idem tabel 5.
Bauer, 1966) tahun 1989 (N = 19).

Antibiotik Potensi disk Jumlah Isolat Tabel 7. Pola resistensi multipel V. cholera terhadap lima jenis antibiotik
resistensi (n = 137).
n % Reslstensi multipel Jumlah spesimen %
Tetrasiklin 30 µg 11 57,8 C, Te, Am, SxT; 1 0,7
Khloramfenikol 30 µg 12 63,1 Te, Am; 1 0,7
Kanamisin 30 µg 1 5,2 Am, SxT; 2 1,4
Ampisilin l0 µg 6 31,5 Te; 2 1,4
Sulfametoxazol-trimetoprim 25 µg 0 0,0 Am; 3 2,1
Keterangan : idem tabel 5.
Suatu hal yang menimbulkan masalah lebih besar dalam
Tabel 8. Pola resistensi multipel E. coli patogen (ETEC) terhadap lima jenis
hubungannya dengan resistensi kuman adalah timbulnya jenis antibiotik (n =19).
kuman yang multiresisten terhadap beberapa antibiotik, yang
Resistensi multipel Jumlah spesimen %
pada umumnya terjadi karena superinfeksi akibat penggunaan
antibiotik secara berlebihan(4). C, Te, Am; 5 26,3
Tabel 5 s/d 8 mengemukakan informasi tentang besarnya C, Te; 3 15,7
resistensi antibiotik multipel dari golongan bakteri enteropato- K; 1 5,2
gen terhadap 5 jenis antibiotik. Te; 2 10,5
Am; 1 5,2
Kejadian multiresistensi terhadap berbagai jenis antibiotik C; 1 5,2
pada golongan bakteri enteropatogen dari spesies Salmonella,
Shigella, V. cholera dan ETEC dalam pengujian ini menunjuk- Keterangan : idem tabel 5.
kan adanya pola multiresistensi yang bervariasi. Multiresistensi yang sudah cukup luas pada golongan bakteri
Pada isolat Salmonella (Tabel 5) terlihat bahwa 5% multi- enteropatogen terhadap berbagai jenis antibiotik ini diduga di-
resisten terhadap kelima jenis antibiotik. Pada isolat Shigella sebabkan oleh penggunaan antibiotik yang berlebihan serta
terdapat 31,2% bersifat multiresisten terhadap 3 jenis antibiotik pemilihan antibiotik yang tidak sesuai dengan etiologinya. Tidak
yaitu terhadap khloramfenikol, tetrasildin dan ampisilin (Tabel adanyakonfirmasi laboratorium padapraktek-praktekpengobatan
6). Selanjutnya pada isolat V. cholera terdapat 0,7% (1 isolat) penyakit diare (terutama di daerah dengan sarana laboratorium
yang bersifat multiresisten terhadap 4 jenis antibiotik yaitu yang kurang memadai) akan memperbesar penyimpangan terapi
tetrasiklin, khloramfenikol, ampisilin dan sulfametoxazol-tri- antibiotik. Dikhawatirkan bila terjadi outbreak dengan bakteri
metoprim (Tabel 7). Akhirnya untuk isolat E. coli patogen yang multiresisten terhadap antibiotik pilihan ini sebagai penye-
(ETEC) terdapat 26,3% yang multiresistensi terhadap 3 jenis bab, terapi menjadi tidak efektif lagi karena tidak ada lagi yang
antibiotik yaitu terhadap tetrasiklin, ampisilin clan khloram- mampu membunuh bakteri penyebab sehingga penderita bisa
fenikol (Tabel 8). terancam jiwanya. Dirasakan sudah saatnya untuk memikirkan

40 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


adanya antibiotik baru yang lcbih potcn untuk pcngobatan diare. yaitu khloramfenikol, tctrasiklin dan ampisilin.
WHO (1974) menyebutkan bahwa meningkatnya resistensi
kuman terhadap antibiotik dapat menyebabkan naiknya angka
mortalitas diare(1); dalam hubungan ini angka kematian yang KEPUSTAKAAN
cukup tinggi pada kejadian diare akut di berbagai daerah (ter-
utama Jawa Barat) akhir-akhir ini mungkin akibat dari 1. WHO. CDD Program for Central Diarrhoeal Diseases. Manual for Labora-
tory Investigaton of Acute Enteric Infection, 1987.
meningkatnya resistensi kuman terhadap antibiotik serta 2. Informatorium Obat Generik. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan
meluasnya resistensi multipel kuman bakteri enteropatogen ter- Makanan. Dep Kes RI 1989.
hadap antibiotik pilihan. Hal ini sangat menarik untuk diteliti 3. Sudarmono P. Kebi jakan Pemakaian Antibiotika dalam Kaitannya dengan
lebih lanjut. Resistensi Kuman. Dibacakan pada Simposium Perkembangan Antibiotika
pada Penanggulangan Infeksi dan Resistensi Kuman. Jakarta, 6 September
1986.
4. Gan VHS. et al. Antimikroba. Farmakologi dan Terapi. Edisi III. Bagian
KESIMPULAN Farmakologi FKUI, 1987, bal. 514-26.
Lima jenis antibiotik yaitu tetrasiklin, ampisilin, kanamisin, 5. Sunoto. Pembahasan Penatalaksanaan Diare secara Nasional. Pertemuan
Ilmiah Teknologi Tepat Guns di bidang Kedokteran. Jakarta, 18-21 Sep-
khloramfenikol dan kotrimoxazol pada umumnya masih cukup tember 1985.
efektif untuk V. cholera; ditinjau dari efektivitasnya, khloram- 6. Keputusan Seminar Rehidrasi Ke III. Semarang, 1982. Rehidrasi Oral.
fenikol lebih efektif daripada tetrasiklin. Pemantapan dan Pembudayaannya dalam Upaya Penanggulangan Diare.
Kanamisin dankotrimoxazol (sulfametoxazol-trimetoprim) Dir Jen P2M PLP, Dep Kes RI 1984.
7. Anonymous. Performance Standards for Antimicrobial Disk Susceptibility
masih cukup efektif untuk Salmonella, Shigella dan E. coil Tests. National Committee for Clinical Laboratory Standards, 1976.
patogen (ETEC) sedangkan 3 jenis antibiotik lainnya yaitu 8. Notrup RS, Ardie AS, Santoso S. (terj.) Manual of Medical Therapeutics.
tetrasiklin, ampisilin dan khloramfenikol efektivitasnya lebih 21st Edition. Edisi Indonesia: Pedoman Pengobatan. Yogyakarta: Yayasan
rendah. Essentia Medica, 1979.
9. Suharyono, Koiman I. Penelitian penyebab mikrobiologis (Enterobakteri +
Penelitian ini menunjukkan bahwa 5% isolat Salmonella Rotavirus) penyakit diare akut di klinik (1974 - 1982). Proc Pertemuan
bersifat multiresisten terhadap kelima jenis antibiotik. 0,7% Ilmiah Penelitian Penyakit Diare di Indonesia. Jakarta, 21-23 Oktober
isolat V. cholera bersifat multiresisten terhadap 4 jenis antibiotik 1982. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Dep Kes
yaitu khloramfcnikol, tetrasiklin, ampisilin dan sulfametoxazol- RI, 1983.
10. Aswita Budiarso et al. Enterobakteri patogen dan resistensi obat pada
trimeroprim). Untuk Shigella, 31,2% dan untuk E. coli patogen gastroenteritis. Medika 1977'(Jun); 3 (2) : 39-41.
(ETEC) 26,3% bersifat multiresisten terhadap 3 jenis antibiotik 11. Warta Diare 1988; II (5) : 8.

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 41


Epidemiologi dan Etiologi Penyakit
Periodontal

Magdarina Destri Agtini


Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Departemen Kesehatan RJ, Jakarta

ABSTRAK

Di Asia dan Afrika prevalensi dan intensitas penyakit periodontal terlihat lebih tinggi
daripada di Eropa, Amerika dan Australia. Prevalensi tertinggi ditemukan pada kelompok
usia 35-44 tahun. Dan merupakan penyebab utama kehilangan gigi pada kelompok usia
35 tahun ke atas.
Pada tahap awal scring penyakit periodontal belum menimbulkan keluhan sakit atau
hampir tidak terasa sama sekali, dan bila terasa sakit penyakit telah berada pada tahap
lanjut. Penyakit periodontal bersifat khronis, kumulatif, dapat menjadi progresif dan
mengakibatkan kerusakan tulang penyanggah gigi, sehingga gigi terlepas dari socket nya.
Gambaran klinis dan etiologinya sangat kompleks, banyak mengenai usia yang lebih
tinggi dan erat hubungannya antara faktor lokal (oral) dan sistemik.
Dengan bertambahnya usia harapan hidup di Indonesia dan agar orang tetap pro-
duktif, maka perlu dikembangkan penclitian epidemiologi mengenai penyakit periodon-
tal, supaya data ini dapat digunakan sebagai salah satu sumber informasi dalam rangka
perencanaan alternatif prevensi yang disesuaikan dengan keadaan dan situasi setempat.

PENDAHULUAN di 9 propinsi bahwa prevalensi penyakit periodontal adalah


Penyakit periodontal adalah suatu keadaan peradangan dan 63.59% pada Pelita III dan 77% pada Pelita IV(5).
degencrasi dari jaringan lunak dan tulang penyangga gigi. Pada masalah ini selanjutnya akan diuraikan men
Penyakit periodontal bersifat khronis, kumulatif dan progresif epidemiologi, patologi klinis dan etiologi Penyakit periodi
yang dapat mengakibatkan penderita kehilangan gigi. Etiologi
penyakit periodontal ini sangat kompleks, dan merupakan pe- EPIDEMIOLOGI
nyebab utama kehilangan gigi pada kelompok usia 35 tahun ke Penyakit periodontal merupakan salah satu penyakit rongga
atas(1,2). Di Indonesia penyakit periodontal menduduki urutan ke mulut dengan prevalensi dan intensitas yang masih tinggi, Pre-
dua utama yang masih merupakan masalah di masyarakat. valensi maupun intensitas kelainan periodontal erat hubungan-
Banyak penelitian mengenai penyakit periodontal telah di- nya dengan keadaan geografi, social, kesehatan secara umum
lakukan. R.A. Tomasowa dkk di Sukabumi dan Jakarta me- keadaan rongga mulut dan kebiasaan-kebiasaan lainnya (oral
nemukan prevalensi penyakit periodontal pada kelompok usia habits). Prevalcnsi dan intensitas penyakit periodontal di Asia
produktif berkisar antara 70-90%(3). Kristanti dkk melaporkan dan Afrika lebih tinggi daripada Eropa, Australia dan Amerika(1).
bahwa hanya 6% murid SD UKGS di Jawa Tengah bebas dari Berdasarkan data dan 35 negara, dilaporkan oleh WHO bahwa
kelainan periodontal(4). Direktorat Kesehatan Gigi menemukan prevalensi penyakit periodontal pada kelompok usia 34-441 tahun

42 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


terlihat sangat tinggi (> 75%) di 7 negara, tinggi (40-75%) di 13 kelompok usia tersebut.
negara dan sedang (< 40%) di 15 negara. Pada Grafik 3 terlihat bahwa prevalensi penyakit periodon-
Di Indonesia penyakit periodontal masih merupakan masalah. tal pada Pelita IV yaitu 59,89% di kota dan 59,67% di desa pada
R.A. Tomasowa dick menemukan prevalensi penyakitperiodon- kelompok usia 8 tahun; 72,44% di kota dan 93,44% di desa pada
tal pada kelompok usia produktif di Jakarta Selatan dan Suka- kelompok usia 14 tahun; 88,67% di kota pada kelompok usia
bumi sebesar antara 70-90%(3). Kristanti dick melaporkan bahwa 35-44 tahun, sedangkan di desa tidak dilakukan survai pada
hanya6% dari sampel murid SDUKGS diJawaTengah (Cilacap, kelompok usia tersebut.
Magelang dan Pati) yang bebas dari kelainan periodontal(4). Secara keseluruhan pada Grafik 2 dan 3 di atas terlihat
Dari hasil survai di 9 propinsi yaitu Propinsi Jawa Barat, bahwa prevalensi penyakitperiodontal di desa lebih tinggi dari di
Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Bali, Jawa Timur, Kalimantan kota.
Barat, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan dan Sulawesi Utara Pada umumnya penyakit periodontal merupakan akibat dari
terlihat bahwa prevalensi penyakit periodontal 63,59% dengan higiene mulut yang jelek. Berbagai penelitian menunjukkan
rata-rata 2,07 sextan kelainan periodontal pada Pelita III dan 77% bahwa keadaan periodontal di negara berkembang sangat buruk
dengan rata-rata 2,66 sextan kelainan periodontal pada Pelita IV. dan terlihat keadaan tersebut berkaitan erat dengan keadaan
Angka tersebut terlihat sangat tinggi pada kelompok usia 35-44 higiene mulut yang jelek(6). Penyakit jaringan gusi ini oleh para
tahun yaitu 73,42% dengan rata-rata 2,62 sextan kelainan pe- ahli disebut juga penyakit sosial karena berhubungan dengan
riodontal pada Pelita III dan 88,87% dengan rata-rata 3,03 sextan tingkat sosial dan status pendidikae . Hal ini dapat terlihat pada
kelainan periodontal pada Pelita IV(S). beberapa survai yang menemukan status periodontal yang lebih
Pada Grafik 1 terlihat bahwa prevalensi penyakit periodon- baik pada kelompok dengan sosial ekonomi dan pendidikan
tal pada Pelita III yaitu 54,63% pada kelompok usia 8 tahun, tinggi.
62,44% pada kelompok usia 14 tahun dan 73,42% pada kelom- Pada umumnya status periodontal pada wanita lebih baik
pok usia 35-44 tahun. Pada Pelita IV prevalensi penyakit pe- dari pria, mungkin karena wanita lebih memperhatikan higiene
riodontal 59,78% pada kelompok usia 8 tahun, 82,94% pada mulut daripada pria. Namun, di beberapa negara berkembang
kelompok usia 14 tahun dan 88,67% pada kelompok usia 35-44 terlihat status periodontal yang sangat jelek pada wanita. Hal ini
tahun. Secara keseluruhan terlihat bahwa prevalensi penyakit mungkin karena wanita sering melahirkan dan keadaan gizinya
periodontal pada Pelita III lebih tinggi dari Pelita IV, dan pre- yang buruk(1).
valensi yang tertinggi ditemukan pada kelompok umur 35-44 Dikemukakan oleh para ahli bahwa penyakit periodontal
tahun. merupakan penyebab utama kehilangan gigi pada usia 35 tahun
Pada Grafik 2 terlihat bahwa pada Pelita III prevalensi ke atas. Dari suatu studi yang dilakukan di Amerika dilaporkan,
penyakit periodontal adalah 51,27% di kota dan 57,99% di desa bahwa secara keseluruhan persentase pencabutan gigi akibat
pada kelompok usia 8 tahun; 61,00% di kota dan 63,89% di desa penyakit periodontal lebih tinggi daripada persentase pencabutan
pada kelompok usia 14 tahun; 73,42% di kota pada kelompok gigi akibat karies maupun penyakit mulut lainnya, yaitu
usia 35-44 tahun, sedangkan di desa tidak dilakukan survai pada 50%, dibandingkan dengan 36% pencabutan gigi akibat penyakit
Grafik 1. Prevalensi Penyakit Periodontal berdasarkan Kelompok Umur di 9 Propinsi (5)

Propinsi yang diteliti : Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur,
Sumatera Selatan, Sulawesi Utara.

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 43


Grafik 2. Prevalensi Penyakit Periodontal berdasarkan Kelompok Umur di Kota dan Desa di 9 Propinsi pada Pelita III (5)

Propinsi yang diteliti : Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sumatera
Selatan, Sulawesi Utara.

Grafik 3. Prevalansi Penyakit Periodontal berdasarkan Kelompok Umur di Kota dan Desa di 9 Propinsi pada Pelita IV (5)

Propinsi yang diteliti : Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sumatera
Selatan, Sulawesi Utara.

Karies dan 14,6% pencabutan gigi akibat penyakit mulut lain- daripada jaringan gingiva sehat. Pada keadaan ini sudah terdapat
nya. Persentase tersebut terlihat naik mencolok pada kelompok keluhan pada gusi berupa perdarahan spontan atau perdarahan yang
usia 35-44 tahun, yaitu sekitar 65,5%. Angka ini semakin tinggi sering terjadi pada waktu menyikat gigi.
sejalan dengan bertambahnya usia (Grafik 4). Bila gingivitis ini dibiarkan melanjut tanpa perawatan,
keadaan ini akan merusak jaringan periodonsium yang lebih
PATOLOGI KLINIS dalam. Cemento enamel junction menjadi rusak, jaringan gingiva
Penyebab periodontal bersifat kronis, kumulatif, progresif lepas dan terbentuk periodontal pocket. Pada beberapa keadaan
dan bila telah mengenai jaringan yang lebih dalam menjadi sudah terlihat ada peradangan dan pembengkakan dengan keluhan
irreversibel. Secara klinis pada mulanya terlihat peradangan sakit bila tersentuh. Bilakeparahan telah mengenai tulang rahang
jaringan gingiva di sekitar leher gigi dan warnanya lebih merah maka gigi menjadi goyang dan lepas dari socket nya(1,2).

44 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


Grafik 4. Persentasi Pencabutan Gigi karena Karies Gigi, Penyakit Periodontal dan Penyebab Lain

* Dentistry, dental practice and the community. Third edition, 1983.

ETIOLOGI keadaan kehamilan, menopause dan pubertas(1,2,8). Dalam hal ini


Etiologi penyakit periodontal sangat kompleks. Para ahli dikemukakan bahwa hormon kelamin berperan penting dalam
mengemukakan bahwa etiologi penyakit periodontal dapat proses patogenesis penyakit periodontal ini.
dikelompokkan dalam dua kelompok yaitu faktor lokal dan
faktor sistemik(1,8), faktor lokal dan faktor sistemik sangat erat KESIMPULAN DAN SARAN
hubungannya dan berperan sebagai penyebab terjadinya ke- Dari banyak survai ditemukan bahwa prevalensi penyakit
rusakan jaringan periodontal. Umumnya, penyebab utama pe- periodontal cukup tinggi dan status periodontal masih kurang
nyakit periodontal adalah faktor lokal; keadaan ini dapat diper- baik. Prevalensi tertinggi dijumpai pada kelompok usia 35—44
berat oleh keadaan sistemik yang kurang menguntungkan, yang tahun, angka tersebut semakin tinggi sejalan dengan bertam-
memungkinkan terjadinya keadaan yang progresif(1,2,8). bahnya usia.
Faktor lokal adalah faktor yang berakibat langsung pada Etiologi penyakit periodontal sangat kompleks. Meskipun
jaringan periodonsium; dapat dibedakan dalam dua bagian yaitu umumnya faktor higiene mulut merupakan penyebab utama,
faktor iritasi lokal dan fungsi lokal(8). Yang dimaksud dengan faktor sistemik maupun faktor lainnya perlu mendapat perhatian
faktor lokal adalah plak bakteri sebagai penyebab utama. Faktor- antara lain keadaan geografi, sosial, pendidikan, ekonomi dan
faktor lainnya antara lain adalah bentuk gigi yang kurang balk lain-lain.
dan letak gigi yang tdak teratur, maloklusi, malfungsi gigi, over Di Indonesia sehubungan dengan bertambahnya usia ha-
hanging restoration dan bruksisme(1,2,8). rapan hidup dan agar orang tetap produktif maka perlu dikem-
Faktor sistemik sebagai penyebab penyakit periodontal antara bangkan penelitian epidemiologi mengenai penyakit periodon-
lain adalah pengaruh hormonal pada masa pubertas, kehamilan, tal, supaya data ini dapat digunakan sebagai salah satu sumber
menopause, defisiensi vitamin, diabetes mellitus dan lain-lain. informasi dalam rangka perencanaan alternatif prevensi yang
Terlihat adanya hubungan yang erat antara faktor lokal dan disesuaikan dengan keadaan dan situasi setempat.
faktor sistemik, yaitu penyakit diabetes mellitus dapat meng-
akibatkan meningkatnya insiden karies dentis(9) dan memper-
berat gingivitis maupun penyakit periodontal(9,10,11). Sebaliknya KEPUSTAKAAN
infeksi gigi dan jaringan sekitarnya dapat mempengaruhi stabili-
1. WHO. Epidemiology, Etiology and Prevention of Periodontal Disease.
tas kadar gula darah(9,10,11,12). Pernah dilaporkan bahwa destruksi Geneva: WHO Techn Rep Ser No. 621,1978.
jaringan periodontal pada penderita diabetes mellitus lebih parah 2. WHO. Prevention of Periodontal Disease. In: Prevention of Oral Disease.
dibandingkan dengan yang bukan penderita diabetes mellitus(13,14), Geneva: WHO Offset Publication No. 103, 1987.
meskipun penumpukan plak pada kelompok bukan penderita 3. Tomasowa dick. Survai Penyakit Periodontal pads Penduduk Usia Pro-
duktif. Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular, Badan Penelitian dan
diabetes mellitus lebih banyak dibanding penumpukan plak path Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan R.I, Jakarta. Laporan
penderita diabetes mellitus(15). Penelitian : 29 hal, 1981.
Banyak ahli yang mengemukakan bahwa faktor hormonal 4. Kristanti CHM. dick. Survai Kesehatan Gigi pads Anak Sekolah Dasar
adalah salah satu penyebab penyakit periodontal misalnya pada UKGS di Jawa Tengah. Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular, Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan R.I,

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 45


Jakarta. 1985. Laporan Penelitian : 100 hal.
5. Direktorat Kesehatan Gigi Departemen Kesehatan RI. Analisis Derajat 12. Kerr DA, Ash MM, Millard HD. Oral Diagnosis, 5th ed, St. Louis:C.V.
Kesehatan Gigi dan Mulut Pelita V. Lokakarya Sistem Informasi Ke- Mosby 1978.hal 384-5.
sehatan Gigi dan Mulut. Ciloto, 1988. 13. Belting MC, Hiniker JJ, Dummet CO. Influence of diabetes mellitus on
6. Barnes ED. Oral Health in the year 2000, World Health. WHO Magazine, the severity of periodontal disease, J.Periodontal 1964;35 : 476.
June 1981. 14. Bergquist JJ, Organ RJ, Ratliff MS. Biologic regulation and periodontal
7. Sheiham A. The Prevention and Control of Periodontal Disease. Scientific disease, a review. J.Periodontal 1979;50 : 134.
Group on Etiology, Epidemiology and Prevention of Periodontal diseases,
WHO Moscow 23 Nov – 2 Dec 1977.
8. Pawlak EA, Hoag PM. Essential of Periodontics, 2nd ed. St Louis: C.V.
Mosby, 1980 hal 18, 19,31. UCAPAN TERIMA KASIH
9. Burket LW. Oral Medicine, 6th ed, Philadelphia, toronto: J.B.Lippincott
Co 1971. Hal 462-71 Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Dr. Rudy Salan Kepala
10. Cohen DW, Friedman LA, Shapiro J, Kyle GC, Frankli S. Diabetes Puslit Penyakit tidak Menular, Badan Litbang kesehatan Departemen Ke-
Mellitus and Periodontal Disease, two year longitudinal observation, sehatan R.I., Direktorat Kesehatan Gigi Direktorat Jenderal Pelayanan Medik
Part 1, J. Periodontal 1970;41 : 709. Departemen Kesehatan R.I., sejawat lainnya serta semua pihak yang telah mem-
11. Grant DA, Stern IB, Everett FG. Periodontics, 5th ed, St. Louis: C.V. bantu dan memberikan saran-saran yang berharga dalam penulisan makalah
Mosby 1979. hal 176, 295-99. ini.

46 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


Dosis Antibiotika
dalam Preskripsi Racikan untuk Anak
Suatu Studi Kasus

Ondrl Dwl Sampurno, Umi Kadarwati, Vincent H.S. Gan


Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan R.I., Jakarta

ABSTRAK

Telah ditelaah secara eksploratif pola dosis antibiotika menurut kelompok umur
berdasarkan preskripsi racilcan dalam lembar resep. Studi kasus ini bertujuan meng-
eksplorasi dosis antibiotika yang digunakan pada anak serta masalah bermakna yang
terkait padanya, yang mungkin ada. Sampel lembar resep dari Apotek "X" Jakarta diambil
secara sensus untuk dua bulan, masing-masing bulan Maret dan September tahun 1988.
Hasil telaah memberikan gambaran sebagai berikut :
Dari seluruh lembar resep yang dilayani pada bulan Maret terdapat 237 lembar
resep dengan preskripsi racikan antibiotika yang berasal dari 43 orang dokter dengan 5
jenis keahlian; dan dari bulan September terdapat 186 lembar yang berasal dari 40 orang
dokter dengan 4 jenis keahlian. Jenis antibiotika yang sering dipreskripsi memberikan
gambaran yang sama yaitu amoksisilin. Dengan uji Pearson's r diketahui bahwa pada
preskripsi amoksisilin dalam R/racikan untuk anak, terlihathubungan yang linier (p 0,05)
antara umur dengan dosis amoksisilin sekali minum dalam kelompok umur <12 bulan dan
>1 th — 5 th, tempi tidak dalam kelompok tuna >5 th -12 th. Sedangkan pada preskripsi
ampisilin dalam R/racikan untuk anak, terlihat hubungan yang linier (p 0,05) antara umur
dengan dosis ampisilin sekali minum dalam kelompok umur >1 th — 5 th, tetapi tidak
dalam kelompok umur <12 bulan dan >5 th — 12 th.
Hasil penelaahan ini sifatnya hanya eksploratif mengenai kenyataan konkrit. Untuk
memahami ada tidaknya masalah pada kenyataan variasi dosis, diperlulcan penelaahan
lebih lanjutdengan memperhatikan berbagai faktor yang ada relevansinya dalam berbagai
aspek.

PENDAHULUAN baiknya, dosis merupakan salah satu faktor yang menentukan.


Dalam penentuan dosis antara lain perlu dipertimbangkan umur
Penyakit infeksi masih tetap tinggi prevalensinya; antara pasien yang ada kaitannya dengan keragaman fungsi organ
lain digambarkan pada Survai Kesehatan Rumah Tangga tahun tubuh, khususnya jumlah dan distribusi cairan tubuh (anak ber-
1980 dan tahun 19860.2). Dari basil penelitian lain diungkapkan beda terhadap dewasa)(5).
bahwa antibiotika masih merupakan salah satu kelompok obat Lebarnya rentang dosis yang dipreskripsikan dapat dijadikan
yang tertinggi preskripsi clan proporsi penggunaannya(3,4). salah satu gambaran konkritkemungkinan adanya masalah dalam
Untuk mendapatkan basil terapi antibiotika yang sebaik- penggunaan antibiotika.
Disajikan pada Kongres Nasional VII Ikatan Ahli Farmakologi Indonesia
(IKAFI) tanggal 16 - 1 8 Oktober 1989 di Yogyakarta

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 47


Studi kasus ini bertujuan mengeksplorasi dosis antibiotika Tabel 2. Distribusi frekuensi prrskripsi R/ radkan antibiotika untuk
yang digunakan pads anak serta masalah yang bermakna yang anak berdasarkan jenls antibiotika
terkait padanya, yang mungkin ada. Jenis Jumlah resep (lembar)
Antibiotika
Maret September
BAHAN DAN CARA
Studi kasus dilakukan dengan menelaah seluruh resep yang N % N %
dilayani di Apotek "X" Jakarta. Sampel resep diambil secara 1. Amoksisilin 146 61,6 116 62,4
sensus untuk dua bulan yang mencakup masing-masing bulan 2. Ampisilin 44 18,6 43 23,2
Maret dan September 1988. 3. Ampisilin + Kloksasilin 5 2,1 1 0,5
Data : * Jumlah Resep menurut Kategorinya 4. Kloramfenikol 1 0,4 - -
5. Doksisiklin 2 0,8 1 0,5
∗ Jenis Antibiotika
6. Eritromisin 14 5,9 13 6,9
∗ Dosis Antibiotika 7. Linkomisin 3 1,3 - -
∗ Keahlian Dokter 8. Oksitetrasiklin 1 0,4 - -
∗ Umur pasien 9. Rifampisin 2 0,8 - -
10. Spiramisin 19 8,1 12 6,5
Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual dan
elektronik dengan komputer dan hasilnya dalam bentuk label Jumlah 237 100 186 100
yang memperlihatkankaitan antara variabel-variabel tersebut di
atas. Tabel disajikan d a l a m bentuk univariat dan multivariat. Tabel 3. Distribusi frekuensi preskripsi R/ racikan antibiotika berdasar-
kan kelompok umur dan jenis antibiotika
HASIL Jumlah lembar resep (%)
Pada bulan Maret, jumlah resep yang masuk adalah 1642 Jenis < 12 bulan > 1 th - S th >5 th-12th
lembar, 541 lembar (32,9%) di antaranya terdapat R/ racikan, Anti-
termasuk 237 lembar (14,4%) R/ racikan antibiotika untuk anak biotika Maret September Maret September Maret September
n % n % n % n % n % n %
yang berasal dari 43 dokterdengan limajeniskeahlian. Sedangkan
pada bulan September, jumlah resep yang masuk adalah 1545 Amoksisilin 38 63,3 25 54,3 68 58,1 59 61,5 3965 31 70,5
lembar, 473 lembar di antaranya (30,6%) terdapat R/ racikan, Ampisilin 11 18,3 13 28,3 26 22,2 23 23,9 1321,7 7 15,9
Spiramisin 8 13,3 3 6,5 10 8,5 6 6,3 1 1,7 3 6,8
termasuk 186 lembar (12,0%) R/ racikan antibiotika untuk anak Eritroq iain 2 3,3 4 8,7 6 5,1 6 6,3 610 3 6,8
yang berasal dari 40 dokter dengan 4 jenis keahlian. Lain-lain 1 1,8 1 2,2 7 6,1 2 2 1 1,6 --
Jumlah 60 100 46 100 117 100 96 100 60100 44 100
Tabel 1. Distribusi frekuensi preskripsi R/ radkan antibiotika untuk
anak berdasarkan jenis keahlian dokter
setiap kali minum memberikan gambaran yang tidak berbeda
Jumlah resep (lembar) Jumlah dokter (orang)
antarabulan Maret dan September. Namun pada kelompok umur
Jenis keahiian Maret September
Maret September
> 1 th - 5 th bulan Maret terlihat dosis minimal lebih kecil
N % N % dibanding kelompok umur < 12 bulan. Berdasarkan asumsi
bahwa kondisi dalam bulan Maret berbeda dengan kondisi bulan
1. Umum 127 53,6 89 47,8 21 19
2. Anak 105 44,3 91 48,9 18 18
September, maka pada analisa data digunakan data gabungan
3. THT 3 1,3 5 2,7 2 2 (kumulatif).
4. Kulit 1 0,4 - - 1 - Dengan uji Pearson's r derajat pemaknaan 5%, diketahui
5. Psikiater 1 0,4 - - 1 - bahwa terdapat hubungan linierantara umur dengan dosis amoksi-
6. Bedah - - 1 0,5 - 1 silin setiap kali minum (r = 0,38856, n = 261). Jika ditelaah dalam
Jumlah 237 100 186 100 53 40 setiap kelompok umur, maka diketahui bahwa terdapat hubung-
an yang linier dalam kelompok umur < 12 bulan (r = 0,65918,
Jumlah rata-rata sampel resep yang berasal dari dokter n = 63), dan > 1 th - 5 th (r = 0,54275, n =127), tetapi tidak dalam
umum ataupun anak adalah 5 - 6 lembar. Hal ini menunjukkan kelompok umur > 5 th -12 th (r = -0,18251, n = 71).(Tabel 4)
adanya keragaman sampel sehinggapola yang dipengaruhi faktor Pada masing-masing kelompok umur, dosis ampisilin setiap kali
pemreskripsi dapat diabaikan. minum memberikan gambaran yang tidak berbeda antara bulan
Amoksisilin merupakan antibiotika yang terbanyak dipreskripsi Maret dan September. Namun pada kelompok umur > 5 th - 12
dan berikutnya ampisilin, spiramisin, eritromisin. Sebaliknya th bulan Maret terlihat dosis minimal lebih kecil dibanding dua
kloramfenikol, tersedikit dipreskripsi. kelompok umur lainnya. (Tabel 5)
Berdasarkan prosentase lembar resep, jenis antibiotika yang Dengan uji Pearson's r derajat pemaknaan 5% pada data
dipreskripsi menunjukkan gambaran yang tidak berbeda antar kumulatif, diketahui bahwa terdapat hubungan yang linierantara
kelompok umur. Untuk selanjutnya, hanya dibahas amoksisilin umur dengan dosis ampisilin setiap kali minum (r = 0,67173, n =
dan ampisilin. 94). Jika ditelaah dalam setiap kelompok umur, maka diketahui
Pada masing-masing kelompok umur, dosis amoksisilin bahwa terdapat hubungan yang limier dalam kelompok umur> 1

48 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


Tabel 4. Dosis amoksisilin setiap kali minum berdasarkan kelompok umur

D 0 S I S (mg)
Umur Rentang Rata-rata Mode
Maret September Kumulatif Maret September Kumulatif Maret September Kumulatif

1. < 12 bulan 75– 200 40 – 250 40 – 250 120 117,8 119,1 75 100 100
2. > 1 th – 5th 25– 300 125 – 250 25 – 300 167,3 182,7 174,4 160 200 160
3. > 5th – 12 th 150– 275 169 – 300 150 – 300 225,3 226,4 225,7 250 250 250

Tabel 5. Dosis ampisilin setiap kali minum berdasarkan kelompok umur

D O S I S (mg)
Umur Rentang Rata-rata Mode
Maret September Kumulatif Maret September Kumulatif Maret September Kumulatif

1. < 12 bulan 60– 150 62 – 250 60 – 250 108,6 129,4 120,3 125 125 125
2. > 1 th – 5th 125– 250 100 – 250 100 – 250 190,9 188,9 190 200 200 200
3. > 5th – 12 th 25– 400 200 – 375 25 – 400 234,6 253,6 241,3 250 250 250

th–5 th (r = 0,47358, n = 49), tetapi tidak dalam kelompok umur dapat dalam kelompok umur > 5 th — 12 th. Sedangkan pada
< 12 bulan (r = 0,06799, n = 25) dan > 5 th - 1 2 th (r = 0,33386, preskripsi ampisilin, terdapat dalam kelompok umur < 12 bulan
n = 20). clan > 5 th — 12 th (tabel 5). Dalam perhitungan dosis, selain
berdasarkan umur, juga dapat dihitung berdasarkan berat badan
PEMBAHASAN atau luas permukaan tubuh. Namun pada kenyataannya, berat
Preskripsi amoksisilin dalam R/ racikan untuk anak lebih badan atau luas permukaan tubuh, seringkali tidak tertulis di
sering dibanding ampisilin (tabel 2, 3). Amoksisilin dan ampisi lembar resep. Jadi seolah-olah perhitungan dosis adalah ber-
lin adalah derivat penisilin yang merupakan kelompok anti- dasarkan pada umur.
biotika betalaktam<sl. Ditinjau dari segi farmakokinetiknya, Untuk memahami adatidaknya masalah pada kenyataan
absorpsi amoksisilin dalam darah jauh lebih baik dibanding variasi dosis, diperlukan penelaahan lebih lanjut dengan mem-
ampisilin. Di samping itu absorpsi ampisilin dihalangi oleh perhatikan berbagai faktor yang ada relevansinya, dalam ber-
makanan(5,6). Karena itu per-oral, ekivalensi dosis adalah 500 mg bagai aspek.
ampisilin sama dengan 250 mg amoksisilin atau 2 : 1. Amoksi-
silin dan ampisilin dieliminasi sama cepat, karena itu tidak perlu
mengatur frekuensi dosis yang berbeda(5). Pada basil telaahan
(tabel 4, 5), dosis rata-rata pada masing-masing kelompok umur, KESIMPULAN DAN SARAN
antara amoksisilin dengan ampisilin menunjukkan perbandingan Penelaahan dosis antibiotika dalam preskripsi R/ racikan
dosis yang tidak berbeda. Sedangkan frekuensi dosis belum untuk anak dari lembar resep yang dilayani di Apotek "X"
dapat diungkapkankarena data tidak tercatat. Dalam penggunaan Jakarta, pada bulan Maret dan September 1988, memberikan
antibiotika, di samping dosis setiap kali minum dan frekuensi kesimpulan :
dosis dalam satu hari, perlu diperhatikan pula jangka waktu 1. Terdapat hubungan yang tinier (p 0,05) antara umur dengan
pemberian yang disesuaikan dengan basil diagnosis klinis dan dosis amoksisilin setiap kali minum dalam kelompok umur <
bakteriologisnya. 12 bulan clan > 1 th — 5 th, tetapi tidak dalam kelompok umur
Pada tabel 4 terlihat adanya dosis amoksisilin sekali minum >5th—12th.
untuk kelompok umur> 1 th— 5 th yang diberikan jauh lebih kecil 2. Terdapat hubungan yang tinier (p 0,05) antara umur
dibandingkan dosis minimal untuk kelompok umur < 12 bulan. dengan dosis ampisilin setiap kali minum dalam kelompok umur
Namun dari uji Pearson's r diketahui bahwa pada preskripsi > 1 th - 5 th, tetapi tidak dalam kelompok < 12 bulan dan
amoksisilin dalam R/ racikan untuk anak dalam kelompok umur >5th—12th.
> 1 th — 5 th terlihat hubungan yang linier (p 0,05) antara umur Hasil penelaahan ini sifatnya hanya eksploratif mengenai
dengan dosis sekali minum. Dengan demikian, tampaknya telah kenyataan konkrit. Untuk memahami adatidaknya masalah pada
menunjukkan kesesuaian antara umur dengan dosis setiap kali kenyataan variasi dosis, diperlukan penelaahan lebih lanjut
minum dalam kelompok tersebut. Hubungan yang tidak tinier dengan memperhatikan berbagai faktor yang ada relevansinya,
antara umur dengan dosis amoksisilin setiap kali minum, ter- dalam berbagai aspek.

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 49


KEPUSTAKAAN Puskesmas. Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian
1. Budiarso LR dkk. Survai Kesehatan Rumah Tangga 1980. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta 1984.
Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta. 4. Sukassediati dkk. Laporan Penlitian Penggunaan Obat Essensial di Pus-
1980. kesmas. Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan
2. Budiarso LR dkk. Survai Kesehatan Rumah Tangga 1985 – 1986. Pusat Pengembangan Kesehatan, Jakarta 1984.
Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Ke- 5. Gan Sulistia dkk. Farmakologi dan Terapi. Edisi 3, Bagian Farmakologi
sehatan, Jakarta 1987. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 1987.
3. Gitawati dkk. Laporan Penelitian Pendahuluan Pola Penggunaan Obat di 6. Farmakon 1989 : IX (4).

50 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


A Study on Disability in Indonesia

Kartari D.S.
National Institute of Health Research and Development
Department of Health, Jakarta

INTRODUCTION Figure 1. Conceptual framework of the disability process


Disability is a temporary or long term reduction of a person's
capacity to function in daily living. Disability is considered to be
a major medical, economic, social or psychological problem that
affects no less than 10% of the world population. Few studies has
been made in this area and lack comparability because different
criteria have been used.
The majority of cases of disability is mostly due to con-
ditions such as malnutrition, tuberculosis, leprosy and other
acute endemic infectious diseases. About half of all disability
can be prevented or postponed but preventive methods have not
received sufficient emphasis within the health services in
developing countries.
As social and economic development proceeds, the indi-
vidual is exposed to a greater variety of risks of disability such
as accident, injuries and chronic diseases.
In order to understand the magnitude of the disability pro-
blem the National Institute of Health Research and Development
with the assistance of the World Health Organization (WHO)
conducted in 1976, disability survey in 14 provinces.
The main objectives of the survey were :
− to find the size of the disability problem, for example the
pro portion of the population having long term impairment,
functional limitation and disability.
− to identify the impairments that contribute to functional
limitation and disability.
− to analyse the possible preventive actions to diminish and if
Chronic impairment is defined as a permanent or transitory
possible to prevent the onset of disability before it becomes a
psychological or anatomical loss or an abnormality, for example
financial or social burden upon the community.
a missing or defective part, tissue organ or mechanism of the
− and to propose intervention of new approaches and techniques body, such as an amputated limb, paralysis after poliomyelitis,
so as to reduce the problems of disability through community myocardial infarction, cerebrovascular thrombosis, restricted
participation and or if prevention is not feasible, simple pulmonary capacity, diabetes, myopia, disfigurement, mental
rehabilitation delivered through the existing health care sys- retardation, hypertension, perceptual disturbances etc.
tem.

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 51


Functional limitation is defined as an impairment, partial or total known.
inability to perform those activities necessary for motor,sensory The number of households members by age, showed tha
or mental functions within the range and manner of which a youngest age group of 0 — 14 years had the highest percen
human being is normally capable, such as walking, lifting of (44.3%) followed by age groups 15 — 34 years (30.6%) and
heavy loads, seeing, talking, hearing, reading, writing, counting, 54 years (20.5%) while those above 55 years had the lowe
taking an interest in making contact with the surroundings. 7.6% (table 1).
Disability is defined where functional limitation and/or impair- Table 2 shows the classification of occupation by sex. Ii
ment is a causative factor, and an existing difficulty in perform- sample population surveyed, 41.3% were working members
ing one or more activities which,in accordance with the person's and 58.7% have no work which consisted of old people
age, sex, and normative social role, are generally accepted as children and housewives. Among the males, 24.8% were
essential, basic components of daily living, such as self care, working with about an equal distribution who were jobless
social and economic activity. Depending in part on the duration (25.2%), while in the females, non working members were
of the functional limitation, disability may be short term, long 33,4% which was two times higher than the working members
term or permanent. In this context only the long term and (16.5%). A total of 25.4% of the working members were
permanent disability will be dealt. engaged in agriculture of which 14.5% were males and 10.8%
were females. The remaining 15.9% working members were
involved in a range of other jobs.
MATERIALS AND METHODS Table 3 shows the number and percentage distribution of
A five stage random sampling design was used and a total of persons by levels of education and sex. From the total sample
14 provinces were selected representing 82.4% of the total population males and females who are in the pre-school age was
population both urban and rural having different characteristics. 20.2%. Those who have no schooling or had education under 3
The population selected for the study was based on the 1971 years of primary school was 39%. Others who have completed
census (population of 118.4 million). Since the majority of the 3 and 6 years schooling was 30% and those who completed high
population live in the rural areas this study was predominately school and university was only 7%. The pre-school age group
rural, making 93 rural and 24 urban regencies/municipalities showed an equal distribution between males (10.4%) and fe-
from 14 provinces, prepared by the Central Bureau of Statistics males (9.8%). Those who have no schooling males were slightly
that a proportional sample from the total population was repre- lower (7.1%) compared to females (12.8%). There were more
sentative. Each province was divided into urban and rural areas males than females who completed high school or university, the
till the enumeration unit and by systematic random sampling percentage being 4.5% compared to 2.5%, and those who
households were selected. finished 6 years schooling, the percentage in males was 7.4%
A special questionnaire form was used to collect the data of compared to 5.7% in the females.
each household which was carried out by a medical doctor Table 1. Number of household members by age and province
working in the health centers of the area. All individuals were
recorded for name, age, sex, education, profession, socio- Number of household members
(Age in year)
economic status and anyone in the household who had an Province -
impairment with more or less persistent symptoms during the 0–14 15–34 35–54 55 & Total
last 3 months. above
The diagnosis were coded into the 4th digit International West Jawa 2035 1456 952 337 4780
Classification of Diseases based on the 9th Revision 1977. The Central Jawa 1716 1314 902 328 4260
conditions recorded were complaints as reported by the respon- East Jaws 1981 1638 1247 484 5377
dent, those as observed by the doctor and not perceived by the Jogjakarta 210 173 133 55 571
respondent and those perceived by other household members. Jakarta 497 422 194 69 1182
The diagnosis was made and recorded by the doctor. Aceh 215 143 85 27 470
North Sumatra 935 570 289 115 1909
RESULTS
West Sumatra 332 207 150 72 761
A total of 22.568 individuals from 4323 households, consist-
ing of 18% urban and 82% rural populations were interviewed. Riau 205 164 94 40 503
There was an equal distribution of both sexes in all the 14 Jambi 162 132 74 30 398
provinces. The number of individuals in each household ranged Bengkulu 68 44 31 13 156
from 1— 8 members, and the highest frequency was 4 members, South Sumatra 410 283 189 77 959
followed by the next highest 5 members. The sex distribution Lampung 358 207 162 27 754
was about equal. Bali 187 153 100 48 488
The economic status of these households showed 38% falls
in just below the average classification, average 28.5%, moderate
rich and rich 5.5%, poor 23%, very poor 2.8% and 2.1% un- TOTAL 9311 6906 4629 1722 22568
% 41.3 30.6 20.5 7.6 100

52 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


Tabel 2. Total population examined and classification of profession by sex

Male Female Total


Type of work
Number % Number % Number %
Agriculture 3279 14.5 2445 10.8 5724 25.4
Industrial 199 0.9 170 0.8 369 1.6
Clerical 133 0.6 23 0.1 156 0.7
Service workers 382 1.7 269 1.2 651 2.9
Shops, market etc. 410 1.8 400 1.8 810 3.6
Carpenters etc. ,. 239 1.1 51 0.2 290 1.3
Constructions workers 162 0.7 11 0.0 173 0.8
Professionals 297 1.3 102 0.5 399 1.8
Combined jobs 495 2.2 240 1.1 735 3.3
Total who are 5596 24.8 3711 16.5 9307 41.3
working
Total who are not
working, no work, 5684 25.2 7555 33.4 13239 58.7
under age, housewives,
old people, others
Grand total 11280 50.0 11266 49.9 22546 100.0

Note : * 22 omitted

Table 3. Number and percentage distribution of persons by levels of education and sex

Male Female Total


Category of education
Number % Number % Number %
Pre school age 2343 10.4 2216 9.8 4559 20.2
No schooling 1593 7.1 2886 12.8 4479 19.9
Primary school 2211 9.8 2090 9.3 4301 19.1
(below 3 years)
Completed 3 years 2086 9.2 1737 7.7 3823 16.9
Finished 6 years 1659 7.4 1293 5.7 2952 13.1
Completed high
school/university 1005 4.5 567 2.5 1572 7.0

Others/religion schools 236 1.0 281 1.2 517 2.3


Not stated 147 0.7 196 0.9 343 1.5
Total 11280 50.0 11266 49.9 22546 100.0

Note : * 22 omitted

The prevalence of chronic impairments of the sample popu- impairments by sex between urban and rural area. In urban area
lation of 22.568 individuals examined was 32.7% for both sexes the prevalence rate in females (34.5%) was slightly higher than
combined. The diagnosis for the different chronic impairments in those of males (30.3%), but in the rural area it was almost the
order of decreasing frequency is listed in table 4. Among the same (males 33.2%, females 32.4%).
various diseases, symptoms of the oral cavity showed the highest Respiratory diseases showed a higher prevalence in males
prevalence of 22.6% or 73.68 per 1000, followed by respiratory than females in the urban than those in the rural area. Teeth
system with 19.6% or 64.02 per 1000 and circulatory system/ problems were more common in males both rural and urban
hypertension were 12% or 39.30 per 1000. Symptoms of other while in females there were no differences between rural and
chronic impairments were each less than 10% of the people urban area. Hypertension was more prevalent for both sexes in
examined. In the category of others are included diagnosis related the urban area, while malnutrition and underweight were more
to the urinary system, female genital system and conditions as common in rural area for both sexes. The prevalence of
perceived by the household members and the doctors during he symptoms of other diseases, such as arthritis, skin, eye etc,
interview (6.2%). range from 1 - 7% and the frequency varied slightly between
Table 5 shows the number and prevalence rate of chronic sex as well as between urban and rural areas.

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 53


Table 4. The prevalence of diagnosis for the most important symptoms of chronic
impairments for both sexes combined (in order of frequency)

Diagnosis category Ranking Number of Proportion Prevalence


individuals percent rate per 1000
Diseases of oral cavity, 1 1663 22.6 73.68
salivary glands & jaw
Diseases of respiratory 2 1445 19.6 64.02
system
Diseases of circulatory 3 887 12.0 39.30
system/hyperten4on
Musculo-skeletal and 4 687 9.3 30.44
connective tissue
Skin & subcutaneous tissue 5 666 9.0 29.51
Diseases of digestive system 6 388 5.3 17.19
Diseases of eye and adnexa 7 369 5.0 16.35
Nutritional deficiencies/ 8 350 4.7 15.50
underweight
Diseases of ear and adnexa 9 232 3.1 10.28
Fevers of unknown origin 10 118 1.6 5.23
Accidents, fractures,missing 11 58 0.8 2.57
limb
Poliomyelitis, paralytic 12 53 0.7 3.35
spastic muscles
Others 13 457 6.2 20.25
Total 7373 100.0
Noot : % sick 32.7
healthy 67.3

Table 5. Prevalence of diagnosis for the most important symptoms by area of residence and sex

Male Female
Category of symptoms Total Total
of chronic impairments Urban Rural Urban Rural
No. No. % No. % No. % No. % No. %
1. Respiratory systems, bronchitis,
asthma, pulm. tbc, etc. 158 7.8 681 7.3 839 7.3 128 6.3 478 5.1 606 5.3
2. Circulatory system, hypertension
+ headache 90 4.4 248 2.6 338 2.9 128 6.3 421 4.5 549 4.8
3. Arthritis, etc 53 2.6 303 3.2 356 3.1 72 3.5 259 2.8 331 2.9
4. Peptic ulcer, gastritis 40 1.9 162 1.7 202 1.7 52 2.5 134 1.4 186 1.6
5. Diseases of eye 34 1.6 155 1.6 189 1.6 31 1.5 149 1.6 180 1.5
6. Diseases of ear 32 1.5 92 0.9 124 1.0 25 1.2 83 0.8 108 0.9
7. Diseases of skin 55 2.6 309 3.3 364 3.2 53 2.6 249 2.6 302 2.6
8. Chronic teeth problem 98 4.7 666 7.1 764 6.7 153 7.5 746 8.0 899 7.9
9. Chronic fever, malaria 11 0.5 54 0.5 65 0.5 7 0.3 46 0.4 53 0.4
10. Accident, missing limb,
fracture 5 0.2 33 0.3 38 0.3 1 0.04 20 0.02 21 0.2
11. Polio, spastic paralysis 5 0.2 30 0.3 35 0.3 5 0.2 13 0.1 18 0.16
12. Malnutrition/undcrweight 7 - 0.3 172 1.8 179 1.5 15 0.7 156 1.6 171 1.5
13..Others 26 1.2 165 1.7 191 1.6 28 1.3 237 2.5 265 2.3
Total 614 3070 3684 701 2988 3689
% 30.3 33.2 32.6 34.5 32.4 32.7

Table 6 shows the prevalence of all types of chronic years the highest prevalence rate of chronic impairments is in
impairments by age in both sexes. Among the 7373 individuals the 1-4 years group, while in the adult and old age from 25 – 65
examined, chronic impairments were 66.9%, mental impair- years and above is the in 55 – 64 years group.
ments 3.5%, functional limitations 15.5% and disability 14.1% Mental health impairments also show the same trend; it starts
respectively. In the young adult age specific groups from 0 – 24 to increase and is highest in the age group of 65 years and above.

54 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


Similarly functional limitation and disability showed that in the Females in the urban and rural areas were shown to have a higher
young adult age the prevalence was low while in the adult and old frequency of cases than that of the males. This may be due
age showed an increasing prevalence rate. to that females do have a higher blood pressure values than
males because of repeated pregnancies thereby causing pressure
on the ureter and kidneys. They also tend to have shorter urethras
DISCUSSION which are more vulnerable to ascending infections. Stress, and
The study revealed that 32.7%, or one third of the total probably consumption of more salt in the form of salted fish, a
sample population (22,568 individuals) have some kind of an favourite relish, could be also an important cause.
impairment with persistant symptoms during the last 3months The transition of chronic impairments to functional limita-
with either permanent or transitory abnormality. Thirteen cate- tion was 15.5% and 14.1% that of disability. The question
gories of symptoms of impairments were identified, and the most remains to what extent the most prevalence conditions are related
frequent ones were oral cavity and respiratory diseases. to functional limitations and to disability and to what extent the
Oral cavity problems for both sexes were shown to have conditions, if they are related to the presence of functional
higher prevalence rates in the rural than the urban area. This may limitations or disability are themselves preventable or treatable.
be due to ignorance and lack of clean water, poverty, personal If the impairments are found to be related to functional limitation
hygiene and attitudes towards teeth brushing. Good health and disability and preventable or treatable, this would provide
education programs regarding personal hygiene from an early means for reducing the occurrence of the disability in the popu-
age can prevent diseases of the oral cavity, such as caries, lation at risk. Diseases that lead to the limitation problem are the
periodontitis, gingivitis, missing teeth and others. respiratory diseases, musculoskeletal disorders, hypertension
Respiratory diseases due to such acute symptoms as and the unpreventable diseases are senile dementia, mental
infections of the upper respiratory system and which are usually retardation, congefiital anomalies, blindness, and others.
transient, were more prevalent in both sexes in the urban than Diseases that mostly lead to disability as diagnosed by
in the rural area. This can be associated to air pollution, congested physicians can be divided into 3 categories.
housing conditions, overcrowding and primarily also due to 1. Largely controllable diseases which include vitamin defi-
poverty. The prevalence rates of both sexes in urban were higher ciency, tuberculosis, leprosy, chronic anemias due to worm
than those of the rural. This does not necessary mean that the rural infections, malnutrition, night blindness, xerosis, poliomye-
community has less respiratory diseases, since they seem to litis chronic malaria, diabetes mellitus, glaucoma, recurrent
suffer more from chronic infections, such as chronic bronchitis, attack of the respiratory tract, as chronic bronchitis, asthma,
tuberculosis, etc. accidents, dental caries, primary prevention of
Most of the other diseases, such as diseases of the eyes, hypertension, other cardiovascular diseases.
malaria, arthritis and related musculoskeletal diseases, do not
show marked difference between urban and rural areas. How- 2. Partially controllable diseases which include some types of
ever, hypertension was higher in urban than the rural area. heart diseases, musculoskeletal disorders as arthritis, rheu-

Table 6. Age Specific Prevalence of all types of chronic impairments, mental health, Im-
pairments, functional limitation, and disability of both sexes. (No. Interviewed
22.568).

Age group Chronic Mental health All types of All types of Total
in years Impairments Impairments rune. limit. disability Impairments
No. % No. % No. % No. % No. %
less than one 55 11.7 - - 1 0.2 - - 56 11.9
1-4 667 23.8 6 0.2 56 2.1 20 0.7 749 29.0
5-9 814 24.0 13 0.4 86 2.5 35 1.0 948 27.9
10 - 14 420 14.5 25 0.8 49 1.7 46 1.5 540 18.7
15 - 19 271 12.0 30 1.3 38 1.6 46 2.0 385 17.1
20 - 24 310 17.0 24 1.3 38 2.0 43 2.3 415 22.8
25 - 34 580 20.3 43 1.5 104 3.6 117 4.1 844 29.6
35 - 44 794 29.1 50 1.8 174 6.3 149 5.4 1167 42.8
45 - 54 580 30.4 31 1.6 222 11.6 180 9.4 1013 53.2
55 - 64 326 31.0 7 0.6 198 18.8 190 18.1 723 68.7
65 & over 113 16.8 26 3.8 179 26.6 215 32.0 533 79.4
Total 4932 255 1145 1041 7373
% 66.9 3.5 15.5 14.1 100

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 55


matism, spondylosis, lumbago, epilepsy, cerebral palsy, pre- of a relapse. This sequence of events occur even in the most
senile dementia, blindness, paralytic syndroms, hemiplegia, simple societies. The difference between developed and deve-
deafness, cataract, peptic ulcer etc. loping countries is that the former rely on the services of scientific
3. Largely uncontrollable diseases which include congenital measure, while the latter have limited facilities at their disposal
defects, cancer, and other neoplasma, arteriosclerosis, and tend to rely on the unscientific measures.
infantile hemiplegia, schizophrenia, motor neuron diseases If preventive measures are not carried out intensively against
and others. the diseases that lead to chronic impairments, functional limita-
Health problems cannot be solved alone. Community tions or disability even though they are not all fatal, it may cause
involvement is important in sharing the responsibility and par- a heavy strain on the economic resources.
ticipating actively in planning and organizing health services. The policy implication is that efforts should be aimed to
The most rational starting point for a consideration of new reduce disability through the prevention of impairments. To
approaches to effective community participation is a realization prevent the impairments will require attack upon a different set
of the fact that individual, family and community are res- of diagnosis. The question is, what priority is to be given in
ponsible for their own health and well being, and that their preventing impairments that lead to disability and whether
attitudes, actions or habits either promote or endanger their chronic impairments are amenable to control measures. The
health. It is the individual who has to agree to carry out specific health problem of rural communities will not be automatically
diseases and accident prevention measures. He has to recognize solved by setting up sophisticated health centres and training
departures from normal health and seek for medical care. Then he special staff, but that the rural services must be integrated in the
has to accept the treatment given and carry out any supple- National Health Services in order to provide a reliable system of
mentary after care or rehabilitation including those prevention primary health care.

56 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


Informasi Obat
ALBIOTIN, Capsule, Dry Syrup
Compositon Indications
Each capsule contains : Albiotin® isindicatedinthe treatment of serious infections
Clindamycin Hydrochloride equivalent to Clindamycin.150 mg. caused by susceptible anaerobic bacteria. It is also indicated in
Each capsule, contains : the treatment of serious infections due to susceptible strains of
Clindamycin Hydrochloride equivalent to Clindamycin 75 mg. streptococci,pneumococci, and staphylococci.
Each 5 ml of suspension contains :
Contraindications
Clindamycin Palmitate Hydrochloride equivalent to Clindamy-
Individuals with history of hypersensitivity to preparations
cin 75 mg.
containing clindamycin or lincomycin.
Pharmacology
Warning & Precautions
Albiotin® is a semisynthetic derivative of lincomycin that is
1. Diarrhea and colitis have been reported with the use of
more potent and better absorbed than the parent compoundJt is
clindamycin. The appearance of marked diarrhea should be
primarily a bacteriostatic. However, depending on the antibiotic
regarded as an indication that the product should be discon-
concentration, the organism's susceptibility, and the size of the
tinued immediately.
inoculum, bactericidal activity has been demonstrated against
2. Safety for use in pregnancy has not been established.
some organism.
3. Should be used with caution in individuals with a history of
Clindamycin has been shown to have in vitro activity
gastrointestinal disease, particularly colitis.
against isolates of the following organisms :
4. Patients with renal disease and/or hepatic disease should be
— Aerobic gram-positive cocci, including: Staphylococcus au-
dosed with caution and periodic liver and kidney function
reus, Staphylocuccus epidermidis, Streptococci, and Pneu-
tests and blood counts should be performed.
mococci.
5. For infection caused by B-hemolytic streptococci a minimum
− Anaerobic gram-negative bacilli, including: Bacteroides of 10 days treatment is recommended to prevent occurrence of
species and Fusobacterium species. acute rheumatic fever or acute glomerulonephritis.
— Anaerobic gram-positive nonsporeforming bacilli, includ- 6. Should superinfections and overgrowth of yeasts occur, ap-
ing: Propionibacterium, Eubacterium, Actinomyces species. propriate measures should be taken.
— Anaerobic and microaerophilic gram-positive cocci, in-
cluding: Peptococcus species, Peptostreptococcus species, Adverse Reactions
and Microaerophilic streptococci. In general Albiotin® is well tolerated. Side effects referable
Clindamycin Hydrochloride is rapidly absorbed after oral to the gastro-intestinal tract include abdominal discomfort, di-
administration. Absorption of an oral dose is virtually complete arrhea, colitis, nausea, and vomiting.
(90%), and the concomitan administration of food does not Dosage & Administration
appreciably modify the serum concentration;serum levels have Albiotin® Capsules :
been uniform and predictable from person to person and dose to Adults:Serious infections : 150 to 300 mg every 6 hours.
dose. A single oral dose of 150 mg produces peak serum level of More severe infections : 300 to 450 mg every 6
2.50 mcg/ml in 45 minutes. Serum level studies following hours.
multiple doses for up to 14 days show no evidence of accumula- Albiotin® Dry Syrup :
tion or altered metabolism of drug. Clindamycin is widely Children: Serious infections : 8to 16mg/kg/day divided into 3
distributed in body fluids and tissues. The average biologic half- or 4 equal doses.
life is 2.4 hours. Approximately 10% of the bio-activity is More severe infections : 16 to 20 mg/kg/day divided
excreted in the urine and 3.6% in the feces; the remainder is into 3 or 4 equal doses.
excerted as bio-inactive metabolites.
Blood levels studies comparing Clindamycin Palmitate Presentation
Hydrochloride with Clindamycin Hydrochloride show that both Albiotin® 75 mg capsules :
products reach their peak active serum levels at the same time, Box of 3 strips of 10 capsules. Reg. No. DKL 9111613101 Al
indicating a rapid hydrolysis of the palmitate to the Clindamycin. Albiotin® 150 mg capsules :
Multiple-dose studies in newborns and infants up to 6 months of Box of 3 strips of 10 capsules. Reg. No. DKL 9111613101.B 1
age show that the drug does not accumulate in the serum and is Albiotin® Dry Syrup :
excreted rapidly. Bottle of 60 ml. Reg. No. DKL 9111613038 Al
VS0

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 57


HUMOR

ILMU KEDOKTERAN

SELAGI SENGGANG DEMAM ISTILAH ASING


Ada seorang pemuda yang tergila-gila akan istilah asing. Kalau ‘ngomong’ mesti
Seorang dokter dalam perjalanan
pakai istilah-istilah asing atau ‘semi asing’. Celakanya ia sering tidak paham akan arti
dinas bersama sopirnya mengendari
istilah itu. Suatu ketika ia jatuh dari sepeda motor. Tangan kanannya remuk. Dibawalah
mobil, tetapi karena jalan macet ter-
ia ke rumah sakit.
paksa berhenti menunggu giliran jalan.
“Bagaimana keadaan tangan saya, Dok?” tanyanya kepada dokter. Tahu akan kegemaran-
Melihat dokternya kecapaian,
nya menggunakan istilah asing, dokter itu menjawab: “Agar sembuh mesti diamputasi.”
sopirnya mempersilahkan tidur-tiduran
Pemuda itu menyeringai lega, tetapi ia ragu-ragu kemudian bertanya lagi : “Apa itu
sambil menunggu sampai ke tempat
amputasi, Dok?”
tujuan.
“Cutting”, jawab dokter sekenanya.
Dokter menjawab : “Apa, tidur-tiduran?
Tambah legalah pemuda itu, pikirnya: amputasi atau cutting tentu pengobatan
............. ini kan baru jam 11, masih jam
yang ajaib dan mujarab yang datang menyembuhkan tangan yang remuk.
kerja......................!”
Yon
Juvelin
Bandung
Jakarta

ATAS BAWAH KEGAGALAN


Dokabu : “Kenapa program KB di daerah anda kurang berhasil?”
Suatu ketika ibu-ibu sedang ber-
Dokter : “Yah, itulah Pak. Mungkin karena saya terlalu jujur.”
bincang-bincang tentang penggunaan
Dokabu : “Bagaimana itu?”
kaca mata model terbaru : “Satu kaca
Dokter : “Pada waktu penyuluhan, saya memperkenalkan diri kepada masyarakat.
mata untuk baca dan melihat jauh, jadi
Pada saat itulah ada pertanyaan yang saya jawab dengan terlalu jujur!”
yang atas min yang bawah plus”.
Dokabu : “Pertanyaan apa itu?”
Seorang ibu lain, yang rupanya tak Dokter : “Ada yang bertanya saya anak nomor berapa”.
tahu ujung pangkal pembicaraan lang- Dokabu : “Apa jawab Anda?”
sung menyahut : “Saya malah sebalik- Dokter : “Saya anak nomor delapan! Lalu ada yang berkata, anak nomor delapan
nya; suami saya atasnya plus, bawahnya saja bisa jadi dokter!”
malah minus.................., payah !”

Juvelin Hardi C.
Jakarta Yogyakarta

A friend is a present you give


yourself.

58 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


ABSTRAK
PERBEDAAN ETNIS DALAM pada South Asian harus diberikan dosis dengan Maret 1990 di Tasmania men-
FARMAKOKINETIK NIFEDIPIN nifedipin yang lebih rendah untuk men- dapatkan 23 di antaranya meninggal
ORAL capai efek terapi yang optimal tanpa akibat SIDS. Informasi was posisi tidur
Nifedipin merupakan suatu calcium adanya efek samping yang berlebihan. didapatkan pada 15 bayi, dan dari ana-
channel blocker derivat dihidropiridin Hasil ini tentunya menarik bagi lisis statistik, ternyata bahwa posisi
yang banyak digunakan dalam peng- peneliti di Indonesia untuk melakukan telungkup memperbesar risiko SIDS
obatan hipertensi dan angina. Obat ini penelitian yang serupa sehingga dosage (OR-4.47, 95%CI – 1.30–15.43).
mengalami metabolisme pre-sistemik adjustment dapat dilakukan untuk po-
yang ekstensif sehingga bioavailabilitas pulasi Indonesia. Lancet 1991;337:1244-7
oralnya hanya 45%. Nifedipin juga me- Hk
nunjukkan klirens plasma yang tinggi Br.J.Clin. Pharmacol. 1991; 31 : 399 – 403
yang disebabkan oleh ekstraksi hepatik VSR
VIRUS SCHIZOPHRENIA ?
dan metabolisme berupa oksidasi tahap Penelitian alas catatan kelahiran
pertama membentuk metabolit analog pasien-pasien schizophrenia di Inggris
piridin yang diikuti dengan pembentuk- dan Wales menunjukkan bahwa bayi-
ROKOK DAN TEKANAN DARAH
an metabolit asam yang diekskresikan bayi yang dilahirkan ± 5 bulan setelah
Pengukuran tekanan darah selama
dalam urin. pandemi influenza A2 di tahun 1957,
24 jam menunjukkan adanya perbedaan
Kleinbloesem et al melaporkan bahwa menderita schizophrenia dengan fre-
tekanan darah rata-rata antara kalangan
hampir 20% populasi orang Eropa me- kuensi 88% lebih tinggi dibandingkan
perokok dengan kalangan bukan
nunjukkan metabolisme yang kurang dengan bayi-bayi yang lahir di bulan-
perokok, meskipun bila diukur sesaat,
sempurna pada pemberian nifedipin bulan yang sama pada 2 tahun sebelum
hasilnya tidak berbeda bermakna.
dosis oral tunggal berupa kapsul 20 mg. dan 2 tahun sesudahnya.
Limapuluh sembilan pasien hiper-
Ahsan CH et al telah melakukan Ini menunjang basil penelitian se-
tensi yang merokok mempunyai tekan-
penelitian pada 27 sukarelawan sehat rupa di Helsinki dan memperkuat teori
an darah rata-rata 141/93 mmHg bila
Caucasian/dewasa dan 5 sukarelawan tentangperanan gangguan perkembang-
diukur di tempat praktek, dibandingkan
sehat South Asian/dewasa untuk mem- an otak selama masa kandungan dalam
dengan tekanan darah rata-rata 142/93
bandingkan profil farmakokinetik ni- patogenesis schizophrenia.
mmHg di antara 118 pasien bukan
fedipin pada pemberian dosis tunggal
perokok. Dcngan pengukuran tekanan
20 mg nifedipin oral dengan hasil se-
darah secara kontinu, ternyata tekanan Lancet 1991;337:1248-50
bagai berikut :
darah sistolik rata-rata di kalangan pe- Hk
1. Luas area di bawah kurva (AUC)
rokok adalah 145 mmHg, dibanding-
nifedipin pada South Asian (323 ±
kan dengan 140 mmHg di kalangan
116 ng ml/jam). Hal ini menunjuk-
bukan perokok; perbedaan tersebut
kan bahwa bioavailabilitas nifedipin
lebih nyata pada usia > 50 tahun (153 vs.
pada South Asian 3 kali lebih tinggi
142 mmHg), dan tidak bermakna di saat FUNGSI KOGNITIF PADA PE-
daripada Caucasian.
tidur (121/76 vs. 123/77 mmHg). NYAKIT HATI
2. Half-life nifedipin dan metabolit
nitropiridin lebih panjang pada South Penyakit hati menahun diketahui
JAMA 1991;265:2226-8 dapat menyebabkan gangguan fungsi
Asian dibandingkan Caucasian. Brw
3. Tidak ada pengaruh pola makanan kognitif penderitanya; untuk meneliti
(spicy curry diet) terhadap farmako- penyebabnya, dilakukan studi peng-
kinetik nifedipin. SIDS ukuran aliran darah otak regional de-
Disimpulkan bahwa populasi South SIDS (Sudden Infant Death Syn- ngan teknik SPECT.
Asian mempunyai kemampuan me- drome) adalah kematian mendadak di Ternyata, bila dibandingkan dcngan
metabolisme nifedipin yang lebih ren- kalangan bayi tanpa penyebab yang jelas, kontrol, pasien-pasien sirosis dengan
dah dibandingkan Caucasian. Perbeda- dan terjadi di saat tidur. gangguan kognitif menunjukkan pe-
an ini menyebabkan lebih tingginya Penelitian prospektif atas 3110 bayi ningkatan uptake di daerah ganglia
kadar nifedipin dalam plasma sehingga yang lahir antara Januari 1988 sampai basalis posterior bilateral dan di daerah

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 59


ABSTRAK
oksipital kanan, bersamaan dengan INTERAKSI CITRUS JUICE Peneliti dari Universitas Columbia,
penurunan uptake di daerah singuli DENGAN NIFEDIPIN AS, menggunakan nortriptilin pada 8
posterior. Interaksi obat dalam saluran cerna pasien transplantasi jantung yang
Derajat gangguan kognitif berhu- dapat tērjadi bila aksi suatu obat dimodi- menderita depresi mayor menurut kri-
bungan langsung dengan abnormalitas fikasi oleh obat atau senyawa lain yang teria DSM-III. Pasien-pasien tersebut
fungsional dari ganglia basalis dan diberikan bersamaan. Data farmakoki- mendapatkan nortriptilin 2 — 28 bulan
korteks limbik. netik suatu obat pada pemberian peroral setelah transplantasi.
Lancet 1991;337:1250-53 pada umumnya berdasarkan penelitian Obat tersebut cukup efektif dan tidak
Hk pada subyek puasa dengan pemberian terlihat efek kardiovaskular yang me-
obat tunggal; sedang kenyataannya se- rugikan, meskipun denyut jantung rata-
PENTOXIFYLLINE MERANG- ringkali berbeda. Saat pemberian obat rata dan QRS interval meningkat secara
SANG MOTILITAS SPERMA juga bervariasi, sebelum dan sesudah bermakna. Tidak terdapat perubahan
Kualitas ejakulat semen memegang makan atau bersamaan pada waktu bermakna pada tekanan darah, denyut
peranan penting pada fertilitas pria. makan. Faktor makanan dan minuman nadi dan QT level.
Pentoxzfylline merupakan suatu di dalam saluran cerna dapat menimbul-
hemorheologik yang dapat diberikan kan akibat yaitu berupa peningkatan atau Am J Psychiatr 1991;148:371-3
per oral dalam pengobatan gangguan penurunan efek terapi dan efek toksik
Hk
vaskular perifer. Obat ini merupakan suatu obat. Citrus juice seringkalidikon-
derivat metilksantin yang dapat me- sumsi pada saat sarapan pagi, dan pada
ningkatkan kadar cAMP intraseluler saat yang sama penderita juga dapat
melalui penghambatan fosfodiesterase. meminum obat.
Suatu penelitian mengenai interaksi PROGNOSIS KARSINOMA PA-
Atas dasar penelitian Schoenfeld et YUDARA
al yang menunjukkan bahwa derivat citrus juice dengan nifedipin baru-baru
ini dilakukan pada 6 pria sehat yang Saat melakukan operasi terhadap
metilksantin dapat meningkatkan durasi karsinoma payudara dapat mempenga-
aktivitas ejakulat spermatozoa, maka diberikan nifedipin 10 mg dengan air
dan dibandingkan secara cross-over ruhi prognosis.
Meng-Ru Shen et al meneliti efek pen- Selama tahun 1975—1985, 249 wa-
toxyfilline terhadap motilitas sperma dengan pemberian nifedipin 10 mg
dengan citrus juice. Hasil penelitian ini nita penderita karsinoma payudara yang
dengan menggunakan metoda migrasi dioperasi dibagi menjadi tiga kelompok
trans-membran dan kaitannya dengan menunjukkan bahwa bioavailabilitas
nifedipin pada pemberian bersama citrus menurut saat dioperasinya. Kelompok 1
pengobatan infertilitas padapria. Peneli- ialah yang dioperasi pada hari ke 3 — 12
tian ini menyimpulkanbahwapentoxyfil- juice secara rata-rata 34% lebih tinggi
dibandingkan pemberian dengan air setelah menstruasi terakhir, sedang ke-
line meningkatkan motilitas sperma- lompok 2 ialah yang dioperasi di luar
tozoa ejakulat in vitro yang berasal dari biasa. Peningkatan bioavailabilitas ini
diperkirakan karena berkurangnya saat-saat tersebut.
sampel ejakulat normal dan astheno- Ternyata 10-year survival rate di
zoospermic. Pada pemberian oral pen- metabolismepre-sistemikdari nifedipin.
kelompok 1 adalah 54%, sedangkan di
toxyfilline 800 -1200 mg perhari selama kelompok 2 adalah 84%. Perbedaan ini
3 bulan pada penderita asthenozoosper- Lancet 1991; 337: 268-9
cukup bermakna, bahkan setelah di-
VSR
mia diperoleh hasil bahwa motilitas koreksi dengan parameter lain, seperti
sperma meningkat secara signifikan, status kelenjar getah bening dan res-
walaupun konsentrasi sperma tidak ponsnya terhadap estrogen.
meningkat. EFEK KARDIOTOKSIK ANTI-
Disimpulkan bahwa pentoxyftlline DEPRESAN Lancet 1991;337:1261-64
merangsang motilitas sperma baik se- Meskipun antidepresan trisiklik
umumnya dianggap berbahaya bagi Hk
cara in vitro dan in vivo, sehingga dapat
digunakan untuk pengobatan normogo- jantung, nortriptilin agaknya cukup
nadotropic asthenozoospermia. aman.

Br. J. Clin. Pharmacol. 1991; 31: 711-4. * Para pembaca yang berminat mendapatkan naskah lengkapnya - dalam jumlah terbatas - dapat diminta me/alui
VSR alamat redaksi.

60 Cermin Dunia Kedokteran No. 72 1991


Ruang
Penyegar dan Penambah
Ilmu Kedokteran
Dapatkah saudara menjawab
pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?

1. Soil-transmitted helminths yang bukan merupakan masalah 5. Obat yang dikenal dapat menyebabkan erratic migration A.
kesehatan di Indonesia : lumbricoides :
a) Ascaris lumbricoides. a) Pirantel pamoat.
b) Trichuris trichiura. b) Oxantel pamoat.
c) Strongyloides stercoralis. c) Piperazin hidrat.
d) Ankylostoma duodenale. d) Mebendazol.
e) Necator americanus. e) Albendazol.
2. Program Pemberantasan Penyakit Cacing termasuk dalam : 6. Obat cacing kombinasi yang dikenal di pasaran :
a) Program Pemberantasan Penyakit Menular. a) Piperazin hidrat – pirantel pamoat.
b) Program Pemberantasan Penyakit Diare. b) Levamizol – pirantel pamoat.
c) Program Pemberantasan Penyakit yang Ditularkan c) Mebendazol – pirantel pamoat.
melalui Binatang. d) Levamizol – oxantel pamoat.
d) Program Kesehatan Lingkungan. e) Mebendazol – oxantel pamoat.
e) Merupakan program tersendiri. 7. Desinfektan yang dianggap paling efektif membunuh larva
3. Obat cacing yang paling kurang efektif : cacing :
a) Pirantel pamoat. a) H2O2
b) Oxantel pamoat. b) Fenol.
c) Piperazin hidrat. c) Kresol.
d) Mebendazol. d) Alkohol.
e) Albendazol. e) Semua sama efektif.
4. Pengobatan ulangan kecacingan dilakukan dua kali setahun, 8. Kuman yang tidak menyebabkan gejala sindrom disentri :
bila prevalensinya : a) Trichomonas.
a) > 30% b) Shigella.
b) 20 – 30% c) Salmonella.
c) 10 – 20% d) Vibrio.
d) 5 – 10% e) Giardia lamblia.
e) <5%

After all is said and done, there is


much more said than done.

Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 61

You might also like