Professional Documents
Culture Documents
Daftar Isi :
2. Editorial
4. English Summary
Artikel :
5. Penelitian Parasit Usus di Sungai Ciliwung
1. Kebiasaan Penduduk yang ada Kaitannya denga Penularan
Cacing usus Sepanjang Sungai Ciliwung – Suwarni, Purnomo,
Herry Ilahude, Harijani AM
8. Penelitian Parasit Usus di Sungai Ciliwung
2. Angka Pencemaran Cacing Usus – Suwarni, Herry Ilahude,
Harijani AM
12. Penelitian-penelitian “Soil-Transmitted Helminth” di Indonesia –
Emiliana Tjitra
17. Epidemiologi Disentri – Cyrus H Simanjuntak
20. Dampak Perbaikan Air Minum terhadap Penyakit Diare Anak dan
Hubungannya dengan Tingkat Pewndidikan, Pengetahuan tentang
Penyakit dan Kelompok Umur Kepala Keluarga – Sidik Wasito
24. Dampak Perbaikan Air Minum terhadap Kesehatan Penduduk
Pedesaan di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat – Sidik Wasito
30. Infeksi Bakteri Enteropatogen pada Penderita Diare Golongan
Umur Balita di Daerah Jawa Barat dan Pola Resistensi terhadap
Antibiotik – Pudjarwoto T, Cyrus H Simanjuntak, Eko Rahardjo,
Suharyono W, Sutoto, Sri Harjining
36. Pola Resistensi Bakteri Enteropatogen terhadap Lima Jenis Anti-
biotik – Pudjarwoto Triatmodjo
Redaksi
NOMOR IJIN
151/SK/DITJEN PPG/STT/1976
Tanggal 3 Juli 1976 REDAKSI KEHORMATAN
PENERBIT
Grup PT Kalbe Farma – DR. B. Setiawan – Drs. Victor S Ringoringo, SE, MSe.
Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan
aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang- yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk meng-
bidang tersebut. hindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan
Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated
diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuseripts Submitted
dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan menge- to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh:
nai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London:
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan William and Wilkins, 1984; Hal 174–9.
bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms.
berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mecha-
yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak nisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72.
mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus di- Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin
sertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pem- Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10.
baca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih,
dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.
berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran
Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ P.O. Box 3105
folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih Jakarta 10002
disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pe- Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu
ngarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat secara tertulis.
bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas- Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan
jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian kebiasaan penduduk di sepanjang sungai Ciliwung
yang berkaitan dengan penularan cacing usus. Penelitian dilakukan dengan wawancara.
Dari hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa berbagai perilaku dan kebiasaan
penduduk menunjang meningkatnya penularan cacing usus karena penggunaan air
sungai secara langsung maupun tidak langsung. Kebiasaan penduduk yang langsung
mempengaruhi penularan, adalah mandi termasuk gosok gigi, mencuci perabot dapur
dan memakan lalapan yang mungkin tercemar telur cacing usus. Kebiasaan tidak
langsung adalah buang air besar di sungai.
Dibacakan pada Seminar & Kongres Nasional Biologi ke-9, Juli 1989, di
Padang, Sumatera Barat.
Cermin Dunia Kedokteran No. 72, 1991 5
BAHAN DAN CARA Sungai Ciliwung lebih cenderung mempunyai risiko ter-
Penelitian dilakukan pada bulan Januari - Februari 1989. cemar telur cacing usus apabila penduduk mempunyai kebiasa-
Kebiasaan penduduk yang dimaksud dalam penelitian ini ada- an b.a.b di sungai.
lab : kebiasaan buang air besar (b.a.b), mandi termasuk gosok Hasil wawancara tentang kebiasaan makan lalapan yang
gigi, mencuci perabot dapur dan makan lalapan mentah. merupakan faktor penunjang terjadinya infeksi cacing usus
Responden yang diambil adalah kepala keluarga (k.k). Pe- terlihat pada tabel 2.
ngumpulan data dilakukan dengan wawancara terhadap k.k Tabel 2. Jumlah responden' menurut kesukaan makan lalapan dan daerahnya
(responden) dengan menggunakan kuesioner. Wawancara di- Makan lalapan
lakukan terhadap penduduk :
Daerah Ya Tidak Jumlah
a) Luar kota Jakarta di tepi sungai Ciliwung, kira-kita 15 km
n % n %
dari Kotip Depok dan kira-kira 30 km sebelum kota Bogor.
b) Pinggiran kota Jakarta (termasuk wilayah Jakarta Selatan Luar kota 2 8 23 92 25
dan Jakarta Timur) yaitu : Pinggir kota 21 87,5 3 12,5 24
Dalam kota 41 95,4 2 4,6 43
— Kelurahan (kel.) Tanjung Barat Rt 03/04, Kecamatan
Ps. Minggu; Kel. Tanjung Barat Rt 10/50 & Rt 09/05,
Jumlah 64 69,6 28 30,4 92
Kec. Ps. Minggu; Kel. Pejaten Timur Rt 05/08 Kec. Ps.
Minggu dan Kel. Balekambang Rt 12/03, Kec. Kramat
Jati. Dari tabel di atas terlihat bahwa frekuensi kesukaan makan
3) Dalam kota Jakarta yaitu penduduk di tepi sungai Ciliwung lalapan pada penduduk responden di sungai Ciliwung tinggi
di dalam kota Jakarta (termasuk wilayah Jakarta Selatan dan (69,6%), terutama daerah pinggiran (87,5%) dan dalam kota
Jakarta Timur) yaitu : (95,4%), sedangkan luar kota hanya 8%. Kebiasaan ini mem-
− Kel. Kebon Baru Rt 02/02 & Rt 17/04; Kel. Bukit Duri Rt punyai perbedaanbermakna (P< 0,01), sehingga dapat dikatakan
09/ 09, Rt 12/09, Rt 12/10 & Rt 05/12 dan kel. Manggarai Rt 01/10. bahwa makin ke arah kota kesukaan makan lalapan pen-
− Kel. Kampung Melayu Rt 16/07 dan kel. Bidara Cina Rt 03/ duduk responden makin tinggi.
02; Rt 12/14. Hasil penelitian tentang sayur-sayuran untuk lalapan di
Setiap daerah dibagi atas 5 lokasi. Masing-masing lokasi empat pasar di Bandung a.l. : Sawi putih (Bracia jucea),
berjarak 1—2 km. Di setiap lokasi diambil 10 kk untuk di- selada bokor (Lactuca saliva), selada air (Nasturtium officinale),
wawancarai (sisi kiri 5 kk dan sisi kanan 5 kk). Data yang serawung (Ocimum bacilium), mentimun (Cucumis sativus), ka-
diperoleh ditabulasi secara manual. cang panjang (Vsna sinensis), tomat (Lycorpecicum esculentum),
terong (Solanum melongena), tespong (0enanthe javanica), jo-
HASIL DAN PEMBAHASAN tang (Spilanthes sp), kol (Bracica sp) dan tauge (Phaseolus
radiatus), telah terkontaminasi telur cacing usus yang ditular-
Hasil wawancara tentang kebiasan b.a.b dapat dilihat pada kan lewat tanah5 seperti diketahui sayur-sayuran yang dijual
tabel 1. di pasar induk Jakarta sebagian berasal dari Bandung, dan
Tabel 1 : Jumlah responden menurut tempat buangan air besar dan daerahnya. sayur-sayuran yang ada di pasar Jakarta pada umunmya ber-
Tempat buangair besar asal dari pasar induk.
Jumlah
Daerah Sungai Bukan sungai responden Pencemaran sayuran oleh telur cacing usus diduga ber-
n % n %
asal dari air penyiram, karena air penyiram berasal dari kolam
yang juga dipergunakan untuk b.a.b. Setelah sayuran dipanen,
Luar kota 7 28 18 72 25 keesokan harinya dalam perjalanan menuju kota untuk dijual,
Pinggir kota 13 54,1 11 45,9 24
Dalam kota 43 100 0 0 43
agar tidak layu, sayuran disiram dengan air selokan yang ter-
dekat. Melihat keadaan tersebut dapat dikatakan bahwa air
Jumlah 63 68,5 29 31,5 92 merupakan media utama penyebaran cacing usus, dan meng-
ingat adanya kebiasaan makan lalapan mentah dengan cara
Dari tabel di atas terlihat bahwa lebih 50% dari responden pencucian yang kurang higienis, orang mudah terinfeksi me-
di tepi sungai Ciliwung b.a.b di sungai (68,5%), terutama lalui kebiasaan ini. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian parasit
responden di dalam kota Jakarta. Kebiasaan b.a.b responden di usus di Jakarta bahwa air mempunyai peran utama dalam
dalam kota Jakarta dengan responden di daerah lainnya pencemaran cacing usus pada sayuran, balk sebagai penyiram
mempunyai perbedaan sangat bermakna (p < 0,005). Hal ini maupun pencuci4.
dapat disebabkan oleh adanya faktor kemudahan di samping Kemungkinan lain, penduduk responden di tepi sungai
sempitnya lahan yang tidak memungkinkan pembuatan kakus. Ciliwung mendapatkan infeksi cacing usus melalui penggunaan
Sedangkan di luar kota dan di pinggir kota, tidak semuanya air sungai tersebut untuk mandi (termasuk gosok gigi) dan
b.a.b di sungai (28% & 54,1%) karena masalah lahan tidak mencuci perabot dapur. Dari wawancara terhadap penduduk
sebesar di daerah perkotaan, ditunjang juga dengan curamnya ternyata banyak responden di tepi sungai Ciliwung mempunyai
tepi sungai dan penduduk pada umumnya bertempat tinggal kebiasaan menggunakan air sungai Ciliwung untuk mandi (ter-
jauh dan sungai. masuk gosok gigi) dan mencuci perabot dapur (tabel 3 dan 4).
ABSTRAK
Penelitian pendahuluan tentang angka pencemaran telur cacing usus telah dilaku-
kan di sepanjang sungai Ciliwung pada tahun 1989. Contoh air sungai diperiksa
menggunakan Rancangan Acak Kelompok.
Dari 435 contoh air yang diperiksa, 15,8% tercemar, 1,6% di antaranya tercemar
telur Astons lumbricoides dan Trichuris trichiura.
Dari hasil penelitian dapat dikatakan bahwa sungai Ciliwung dapat menjadi
sumber penularan cacing usus.
PENDAHULUAN sejauh mana air sungai Ciliwung sudah tercemar telur cacing
Air yang dipergunakan oleh penduduk Jakarta bersumber usus.
dari air tanah dan air sungai. Sungai Ciliwung adalah salah
satu sumber air, terutama bagi penduduk yang menghuni daerah BAHAN DAN CARA
tepiannya. Penduduk di sin, menunjukkan indikasi adanya ke- Penelitian dilakukan dengan mengambil contoh air di se-
biasaan meuipergunakan sungai dan air sungai untuk buang air panjang aliran sungai Ciliwung, pada bulan Maret—April 1989,
besar, mandi ( t e r asuk gosok gigi) dan mencuci peralatan da- secara Rancangan Acak Kelompok.
pur; di samping itu juga penduduk di tepi sungai Ciliwung ini Daerah penelitian dibagi menjadi 3 stasiun, di setiap
mempunyai kebiasaan suka makan lalapan mentah (Suwarni stasiun ditentukan 5 titik lokasi pengambilan contoh air.
dkk, tidak dipublikasi). Terbatasnya air bersih (KaKanwil.Dep. Stasiun A : Merupakan daerah aliran sungai Ciliwung yang
Kes. DHI Jakarta)! memungkinkan cara pencucian lalapan tidak mendekati hulu, terletak antara kota Bogor dan kota adminis-
higienis, sehingga penduduk dapat terinfeksi cacing usus me- tratip Depok (± 30 km dari kota Bogor dan 15 km dari kota
lalui lalapan ini. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa Depok).
berbagai sayuran tercemar telur cacing usus1 2 3 8 9.. Stasiun B : Merupakan daerah aliran sungai Ciliwung yang
Selain itu, masih banyaknya penduduk yang mempunyai terletak di antara stasiun A dan stasiun C, di tepi kota Jakarta.
kebiasaan buang air besar, mandi (termasuk sikat gigi), cuci Stasiun C : Merupakan daerah aliran sungai Ciliwung yang
peralatan dapur di sungai; dan bahwa telur cacing Astons lebih ke arah hilir hampir tengah kota Jakarta (Gambar 1,
dapat bertahan hidup selama ± 100 had', maka sungai dapat 2 dan 3).
merupakan sumber penularan. Oleh sebab itu ingin diketahui Pengambilan contoh air sungai Ciliwung, dilakukan di se-
besarnya angka pencemaran cacing usus di sungai Ciliwung. tiap titik lokasi, dari atas jembatan atau perahu dengan meng-
Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan gambaran gunakan alat yang dilengkapi tabung sentrifugasi 50 ml (Gam-
bar 4). Setiap pengambilan contoh air dilakukan sebanyak apungan modifikasi Caldwel dan Caldwel (Masbar dan Pur-
15 kali cidukan dan setiap cidukan sebanyak 50 ml. nomo, 1979). Limapuluh ml contoh air dipusing selama 5
Contoh air sungai yang telah diambil dibawa ke labora- menit dengan kecepatan 1500 rpm; supernatan dibuang dan
torium dan diperiksa dengan teknik Pengendapan dan Peng- endapan dicuci dengan akuades 1-2 kali atau sampai bersih.
5'
T li
n % n % n %
ABSTRAK
PENDAHULUAN sampah(3).
Meskipun demikian, dalam kenyataan masih banyak hal
Penelitian di banyak negara maupun di Indonesia menun-
yang perlu diketahui mengenai pcnyakit diare ini scbclum dapat
jukkan bahwa dengan adanya pengembangan sistem penyediaan
diatasi dengan baik. Oleh karcna itu akan dibahas lcbih Ian jut
air yang cukup dan terjamin, penyakit diare dapat menurun.
hasil penelitian di Sumedang tersebut; pembahasan masih di-
Satu di antara bcbcrapa penelitian mcngenai masalah ini di
batasi pada segi karakteristik demografik yakni yang bcrkaitan
Indonesia adalah penclitian yang dilakukan di Kabupaten
dengan tingkat pendidikan, pengetahuan hidup sehat, dan ke-
Sumedang, Jawa Barat; di antaranya dinyatakan, bahwa :
lompok umur kepala keluarga.
z Umumnya terdapat dampak positif dari peningkatan pc-
Mengena i ini sebenarnya ada bebcrapa penelitian yang
nyediaan air terhadap penyakit diare pada anak umur 0 s/d 10
pernah dilakukan di Indonsia, hanya hasilnya belum pernah
tahun, dikaitkan dengan bcsarnya keluarga, tingkat penghasilan,
ditcrbiikan; di antaranya dapat discbutkan :
jenis kelamin dan kclompok umur anak(1).
z Penelitian "Hubungan Kasus Gastroenteritis padaAnak de-
z Adanya hubungan bermakna antara prevalensi penyakit diare
ngan Tingkat Pendidikan Kepala Keluarga di R.S. Tjipto Ma-
anak umur 0 s/d 10 tahun dengan besarnya kcluarga, tingkat
ngunkusumo", menunjukkan bahwa penyakit diare sangat di-
penghasilan dan kelompok umur anak(2).
pengaruhi oleh tingkat pendidikan kepala kcluarga(4).
z Adanya hubungan bcrmakna antara prevalensi penyakit
Kesimpulan yang sama tclah dihasilkan pula pada penelitian
diare anak umur 0 s/d 10 tahun dengan cara membuang kotoran
yang sama dan dilakukan di Kelurahan Payang, Kecamatan
manusia, namun tidak ada hubungannya dengan cara membuang
PENDAHULUAN TUJUAN
Penyakit diare yang merupakan masalah utama di kalangan Tujuan umum penelitian adalah mendapatkan data per-
anak-anak yang berumur antara 0 sampai dengan 10 tahun, serta baikan atau peningkatan sarana air minum, karakteristik pen-
penyakit lain yang ada kaitan dengan rendahnya hygiene per- duduk, tingkat kehidupan saniter, serta adanya kejadian penya-
orangan seperti penyakit kulit dan mata mempunyai hubungan kit-penyakit diare, kulit dan mata, khususnya pada golongan
erat dengan penyediaan air minum. Masalah ini tidak saja ada di umur antara 0 sampai 10 tahun, di antara penduduk pedesaan
Indonesia, tapi juga di sebagian negara khususnya yang belum Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.
berkembang; penyakit diare merupakan penyebab kematian dan Tujuan khusus adalah mempelajari hubungan perbaikan air
kesakitan yang terbesar(1). Disentri amuba sebagai salah saw minum dengan penurunan angka penyakit diare, penyakit kulit
penyakit diare merupakan suatu penyakit utama penyebab ke- dan penyakit mata di antara golongan umur 0 sampai dengan 10
matian pada bayi dan anak-anak di bawah lima tahun(2). tahun; yang pada dasarnya mempelajari dampaknya terhadap
Oleh karenanya dalam rangka meningkatkan kesehatan kesehatan penduduk pedesaan Kabupaten Sumedang yang di-
masyarakat, khususnya untuk menurunkan angka kesakitan dan teliti.
kematian akibat penyakit yang disebarkan melalui air, Peme-
rintah melalui Departemen Kesehatan sejak tahun 1969 telah BAHAN DAN CARA
menyelenggarakan program peningkatan penyediaan air minum
pedesaan, yang dari tahun 1974 hingga sekarang telah dise- Penelitian dilakukan dalam tahun 1979 dan berlokasi di
lenggarakan melalui Instruksi Presiden yang terkenal dengan Kabupaten Sumedang, Daerah Tingkat I Jawa Barat, melalui
sebum Inpres Samijaga (Program Sarana Air Minum dan Jam- cara pengumpulan data awal (base-line data) di dua daerah
ban Keluarga). penelitian yakni: Kecamatan Tanjungsari dan Kecamatan
Namun hingga dewasa ini belum dapat diketahui dengan Rancakalong.
pasti apakah program tersebut telah dapat memperbaiki ke- Ditentukannya dua kecamatan tersebut didasarkan alas :
sehatan penduduk pedesaan, khususnya bila dilihat dari segi 1. Adanya kesamaan sistim penyediaan air minum, yakni di
penurunan angka kesakitan. masing-masing kecamatansebagianpenduduk desanya mem-
Penelitian mengenai dampak perbaikan air minum tersebut peroleh penyediaan air minum dari sistim perpipaan dan se-
dirasakan perlu dalam rangka meningkatkan program penyediaan bagian lainnya tidak, tetapi memperoleh penyediaan dari
air minum. Oleh sebab itu Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan sumber air alam (mata air).
pada tahun 1979 telah melakukan penelitian mengenai : Dampak 2. Adanya kesamaan dalam beberapa hal yakni :
Perbaikan Air Minum terhadap Kesehatan Pend uduk Pedesaan 2.1. Jarak dari masing-masing desa penelitian ke ibu kota
di Kabupaten Sumedang, Daerah Tingkat I Jawa Barat. Kecamatan.
Tabel 2. Karakteristik Kepala Rumah Tangga berdasar Tlngkat 0-10 369 21.5 213 16.3 582 19.2
Pendidikan, Jenis Pekerjaan, Tingkat Penghasilan menurut 10 - 20 344 20.1 251 19.2 595 19.7
Kecamatan 20 - 30 360 21.0 247 18.8 607 20.1
30 - 40 242 14.1 201 15.3 443 14.6
Kecamatan 40 - 50 160 9.3 173 13.2 333 11.0
Jumiah
TanJungsarl Rancakalong 50 - 60 240 14.0 226 17.2 466 15.4
n % n % n % 1715 100.0 1311 100.0 3026 100.0
Tingkat Pendidikan
1. Tidak Sekolah (TS) 71 13.6 51 12.0 122 12.9
2. Tidak Tamat Sekolah 166 31.8 63 14.8 229 24.2
Dasar (TTSD)
4. Kondisi Sanitasi Rumah Tangga.
3. Tama' Sckolah Dasar 266 51.0 297 69.9 563 59.5
Kondisi sanitasi yang diteliti dalam hal ini meliputi cara-
(TSD) cara penanganan atau pembuangan air limbah, sampah dan
4. Tidak Tame Sekolah 5 1.0 2 0.5 7 0.7 kotoran manusia. Dan data yang diperolch dapat digambarkan
Lanjutan Panama pada Tabel 5 meliputi :
(TTSLP)
5. Tamat Sckolah Lan- a) Pembuangan Air Limbah.
6 1.1 2 0.5 8 0.8
jutan Pertama (TSLP) Dan 947 rumah tangga di 2 kecamatan yang diteliti didapati
6. Lain-lain 8 1.5 10 2.3 18 1.9 prosentase tertinggi menggunakancarapembuangankecomberan,
baik di kecamatan Tanjungsari maupun di kecamatan Ranca-
Jenis Pekerjaan kalong (Tabel 5) yakni sebesar rata-rata 64.3%. Selebihnya 9.8%
1. Pctani 319 61.1 393 92.4 712 75.2
2. Pcnggarap Tanah 94 18.0 0 0.0 94 9.9
pembuangan dilakukan di kolam ikan, 22,1% dimaksudkan
3. Pcgawai 7 1.4 9 2.1 16 1.7 untuk menyuburkan tanah, dan 3,8% pembuangan dilakukan
4. Lain-lain 102 19.5 23 5.4 125 13.2 dengan cara lain-lain.
b) Pembuangan Sampah.
Tingkat Pcnghasilan Dan 947 rumah tangga yang diteliti di 2 kecamatan, rata-rata
1. < Rp. 120.000,- 275 52.7 343 80.7 618 65.3
prosentase tertinggi pembuangan sampah dimaksudkan untuk
Rp. 120.000,- - 185 35.4 53 12.5 238 25.1
Rp. 240.000,- penyuburan tanah, yakni sebesar 52.1%. Prosentase tertinggi
3. > Rp. 240.000,- 62 11.9 29 6.8 91 9.6 pembuangan sampah untuk maksudpenyuburan ini dijumpai di
kecamatan Rancakalong, tapi tidak di kecamatan Tanjungsan. Di
Tanjungsari pembuangan sampah terutama dilakukan dengan
3. Jenis Kelamin dan Golongan Umur Penduduk. cara yang sembarangan di permukaan tanah (40,6%).
Mengenai jenis kelamin terdapat sedikit perbedaan dalam c) Pembuangan Kotoran Manusia.
jumlah di antara 2 kecamatan penelitian; (Tabel 3). Mengenai cara pembuangan kotoran manusia di 947 rumah
Juga mengenai golongan umur terdapat sedikit perbedaan; tangga nampak bahwa rata-rata prosentase tertinggi adalah
Tabel S. Kondisl Sānitasi Rumah Tangga menurut Kecamatan Tabel 7. Angka Prevalensi Penyakit Mare, Infeksi Kulit, dan Mata di
Kecamatan TanJungsari dan Rancakalong
Kecamatan
Rata-rata Nama Dese Proyek Desa Kontrd
Tanjungsari Rancakalong Penyakit Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah
No.
anak Kasus Kasus Anak Kasus Kasus
n % n % N %
(0-10Th) per 100 (0-10Th) per 108
anak anak
Pembuangan Air Limbah
1. Comberan 276 52,9 333 78,4 609 64,3 1. Diare 318 69 21,7 264 112 42,4
2. Kolam ikan 55 10,5 38 8,9 93 9,8 2. Infeksi Kulit 318 76 23,9 264 97 36,7
3. Dimaksud untuk 3. Infeksi Mata 318 24 7,5 264 45 17,0
166 31,8 43 10,1 209 22,1
penyuburan tanah 954 169 17,7 792 253 31,9
4. Lain-lain 25 4,8 11 2,6 36 3,8
Keterangan : p < 0,001
522 100,0 425 100,0 947 100,0
Pembuangan Sampah
1. Pembakaran 102 19,6 84 19,8 186 19,6 Dan bila dilihat dari angga prevalensi di masing-masing
2. Dimaksud untuk 174 33,3 319 75,1 493 52,1
kecamatan, juga nampak adanya perbedaan yang cukup ber-
penyuburan tanah
3. Sembarangan secara 212 40,6 4 0,9 216 22,8
makna (masing-masing p < 0.001) (Tabel 8 dan 9).
Terbuka di atas
permukaan tanah Tabel 8. Angka Prcvalensi Penyakit Mare, Infeksi Kulit, dan Mata di
4. Lain-lain 34 6,5 18 4,2 52 Kecamatan Tanjungsari
5,5
522 100,0 425 100,0 947 100,0 Desa Proyek Desa Kontrol
Nama
Pembuangan Kotoran No. Penyakit Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah
Manusia anak kasus kasus anak kasus kasus
1. Permukaan tanah 2 0,4 - - 2 0,2 (0-10Th) per 100 (0-10Th) per 100
secara terbuka anak anak
2. Jamban Keluarga 52 9,9 25 5,9 77 8,1
3. Sungai 324 62,1 189 44,5 513 54,2 1. Diare 197 46 23,4 172 62 36,1
4. Kolam Ikan 107 20,5 210 49,4 317 33,5 2. Infeksi Kulit 197 52 26,9 172 90 52,3
5. Lain-lain 37 7,1 1 0,2 38 4,0 3. Infeksi Mata 197 13 6,6 172 23 16,9
Jumlah 591 111 18,8 516 181 35,1
522 100,0 425 100,0 947 100,0
ABSTRAK
Untuik mengetahui spektrum penyebab penyakit diare di Jawa Barat, 461 sampel
rectal swab yang berasal dari penderita diare di beberapa daerah di Jawa Barat telah
diidentifikasi terhadap Entero-bakteri patogen, serta dilakukan uji resistensi terhadap
antibiotikpilihan padabakteri patogen yang ditemukan. Uji resistensi dilakukan terhadap
5 jenis antibiotik yaitu tetrasiklin, ampisilin, kanamisin, kloramfenikol dan kotrimixazol
dengan cara Disk Diffusion (Kirby Bauer, 1966).
Hasil pemeriksaan menunjukkan, distribusi entero-bakteri patogen pada penderita
diare golongan umur balita meliputi Vibrio-cholera dengan positive rate sebesar 4,1%,
Shigella 3,1%, E. coli patogen (ETEC) 4,9%, Campylobacter 5,4% dan Vibrio
parahaemolyticus0,2%. Dari basil uji resistensi kuman terhadap antibiotik menunjukkan
bahwa kotrimoxazol dan kanamisin masih cukup efektif untuk Shigella, E. coli patogen
(ETEC) maupun V. cholera. Selain kedua jenis antibiotik tersebut, tetrasiklin juga masih
efektif untuk V. cholera.
Multi resistensi yang terjadi berbeda antara jenis kuman yang satu dengan jenis
kuman yang lain. Pada kuman Shigella 14,2% bersifat multi resisten terhadap 4 jenis
antibiotik yaitu terhadap ampisilin, kloramfenikol, tetrasiklin dan kotrimoxazol. Pada V.
cholera 4,7% multi resisten terhadap kloramfenikol dan tetrasiklin, sedangkan pada E.
coli patogen (ETEC) 25,0% multi resisten terhadap kloramfenikol, tetrasiklin dan
ampisilin.
Note :
* Use only when looking specially for S. Typhi; some pseudomonads and aeromonads may grow in it producing pink colonies
terdapat 4 spesies Shigella yaitu S. flexneri, S. dysentriae, S. 0,8%, sedangkan Eltor Ogawa 99,2%. Dalam penelitian ini tidak
boydii dan S. sonnei. Di Jawa Barat, S. dysentriae lebih banyak ditemukan Eltor Inaba; mungkin karena sampel yang diperiksa
ditemukan yakni sebesar 57%, sedangkan di Jakarta 50% relatif kecil (di bawah 500) sehingga V. cholera Eltor'lnaba
terdiri dari S. flexneri. belum sempat terjaring. Tentang tidak ditemukannya spesies
Campylobacter merupakan golongan bakteri enteropato- Salmonella di sini belum diketahui penyebabnya.
gen yang paling banyak ditemukan, yakni sebesar 5,4% di- Uji resistensi isolat bakteri enteropatogen yang berhasil
bandingkan dengan spesies yang lain seperti ETEC 4,9%, V. diisolasi terhadap antibiotik terpilih telah dilakukan pada isolat
cholera 4,1%, Shigella 3,1% dan V. parahaemolyticus 0,2%. V. cholera, E. coli patogen (ETEC), Shigella dan Vibrio
Populasi V. cholera Eltor Inaba memang relatif masih rendah. parahaemolyticus terhadap antibiotik tetrasiklin, khloramfei
Suatu penelitian tahun 1982 menemukan Eltor Inaba sebesar kanamisin, ampisilin dan sulfametoxazol-trimetoprim. Hasil uji
Tetrasiklin/30 µg 11 55,0 Tabel 6. Pala resistensi multi antibiotik isolat Shigella di Jawa Barat.
Khloramfenikol/30 µg 10 50,0 (n = 14).
Kanamisin/30 µg 1 5,0
Ampisilin/10 pg 6 30,0 Multi antibiotik Jumlah isolat
Sulfamctoxazol-trimetoprim/25 µg 0 0,0 resistensi '%
Hasil uji resistensi untuk isolat Shigella menunjukkan C, Te, Am, Sxt 2 14,2
bahwa dua jenis antibiotik yaitu kanamisin dan sulfametoxazol- C, Te, Am, K 1 7,1
trimetoprim masih cukup efektif, sedangkan pada tiga jenis C, Te, Am 5 35,7
Te, Am 3 21,4
antibiotik yang lain yaitu tetrasiklin, ampisilin dan khloram- Te 1 7,1
fenikol, isolat Shigella sudah menunjukkan tingkat resistensi
yang cukup tinggi (Tabel 4). Keterangan: C = Khloramfenikol Am = Ampisilin
Te = Tetrasiklin K = Kanamisin
Tabel 4. PolaresistensiisolatShigella yang berasaldaridaerahJawaBarat
Sxt = Sulfametoxazol-
terhadap 5 jenis antibiotik pada pengu jian dengan Disk
Trimetoprim
Diffusion Method (Kirby Bauer, 1966) tahun 1989 (n = 14).
Tabel 7. Pola resistensi multi antibiotik isolat E. coli patogen (EFEC) di
Antibiotik/Potensi Disk Jumlah Isolat Jawa Barat (n = 20).
resistensi %
Multi antibiotik Jumlah isolat
resistensi %
Tetrasiklin/30 µg 12 85,7
Khloramfenikol/30µg 8 57,1
C, Te, Am 5 25,0
Kanamisin/30 µg 1 7,1
C, Te 4 20,0
Ampisilin/10 µg 11 78,5
Sulfametoxazol-trimetoprim/25 µg 2 14,2 Keterangan : ldem label 6.
ABSTRAK
Tabel 2. Pola resistensl V. cholera terhadap antlbiotlk tetraslklin, amp kill n, derajat efektifitas yang sama dalam arti tingkat resistensi isolat
khioramfenikol din sulfametoxazol-trlmetoprim pads penguJian
Shigella terhadap kedua jenis antibiotik ini masih sama rendah
dengan Disk Diffusion Method (Kirby Bauer, 1966) tahun 1989.
(N = 137). yakni 6,25%. Tetrasiklin masih lebih balk daripada khloram-
fenikol dan ampisilin.
Atlbiotik Potensi disk Jumlah isolat Seperti halnya pada Shigella, untuk isolat E. coli patogen
resisten
(ETEC) telah dilakukan uji resistensi terhadap 5 jenis antibiotik
n % yang sama yaitu tetrasiklin, ampisilin, khloramfenikol, kanamisin
dan sulfametoxazol-trimetoprim.
Tetraaiklin 30 µg 4 2,9
Hasil pengujian menunjukkan bahwa dari 5 jenis antibiotik
Khlonunfenikol 30 µg 1 0,7
Ampisilin l0 µg 6 4,3 yang diuji terdapat 2 jenis yang masih efektif untuk E. colt
Sulfametoxazol-trintetoprim 25 µg 3 2,1 patogen; yaitu kanamisin dan sulfametoxazol-trimetoprim. Ter-
hadap tiga jenis antibiotik yang lain tingkat resistensi E. coli
Keterangan : patogen (ETEC) sudah cukup tinggi (tabel 4). Khusus untuk
N = Jumlah isolat V. cholera yang diuji.
Keterangan : Tabel 6. Pola resistensi multipel Shigella sp terhidap lima jenis antibiotik
N = Jumlah isolat Shigella sp. yang diuji. (n = 16).
Resistensi multipel Jumlah spesimen %
sulfametoxazol-trimetoprim merupakan jenis antibiotik yang
istimewa untuk ETEC karena ternyata masih efektif 100% untuk C, Te, Am; 5 31,2
C, Am 1 2,5
bakteri tersebut. Te, Am 1 2,5
Tabel 4. Pola resistensi E. cod patogen (ETEC) terhadap antibiotik tetra- K, Am 1 2,5
sikiin, khloramfenikol, ampisilin, kanamisin dan sulfametoxazol- SxT 1 2,5
trimetoprim pads pengujian dengan DiskDtffurionMethod (Kirby
Keterangan : idem tabel 5.
Bauer, 1966) tahun 1989 (N = 19).
Antibiotik Potensi disk Jumlah Isolat Tabel 7. Pola resistensi multipel V. cholera terhadap lima jenis antibiotik
resistensi (n = 137).
n % Reslstensi multipel Jumlah spesimen %
Tetrasiklin 30 µg 11 57,8 C, Te, Am, SxT; 1 0,7
Khloramfenikol 30 µg 12 63,1 Te, Am; 1 0,7
Kanamisin 30 µg 1 5,2 Am, SxT; 2 1,4
Ampisilin l0 µg 6 31,5 Te; 2 1,4
Sulfametoxazol-trimetoprim 25 µg 0 0,0 Am; 3 2,1
Keterangan : idem tabel 5.
Suatu hal yang menimbulkan masalah lebih besar dalam
Tabel 8. Pola resistensi multipel E. coli patogen (ETEC) terhadap lima jenis
hubungannya dengan resistensi kuman adalah timbulnya jenis antibiotik (n =19).
kuman yang multiresisten terhadap beberapa antibiotik, yang
Resistensi multipel Jumlah spesimen %
pada umumnya terjadi karena superinfeksi akibat penggunaan
antibiotik secara berlebihan(4). C, Te, Am; 5 26,3
Tabel 5 s/d 8 mengemukakan informasi tentang besarnya C, Te; 3 15,7
resistensi antibiotik multipel dari golongan bakteri enteropato- K; 1 5,2
gen terhadap 5 jenis antibiotik. Te; 2 10,5
Am; 1 5,2
Kejadian multiresistensi terhadap berbagai jenis antibiotik C; 1 5,2
pada golongan bakteri enteropatogen dari spesies Salmonella,
Shigella, V. cholera dan ETEC dalam pengujian ini menunjuk- Keterangan : idem tabel 5.
kan adanya pola multiresistensi yang bervariasi. Multiresistensi yang sudah cukup luas pada golongan bakteri
Pada isolat Salmonella (Tabel 5) terlihat bahwa 5% multi- enteropatogen terhadap berbagai jenis antibiotik ini diduga di-
resisten terhadap kelima jenis antibiotik. Pada isolat Shigella sebabkan oleh penggunaan antibiotik yang berlebihan serta
terdapat 31,2% bersifat multiresisten terhadap 3 jenis antibiotik pemilihan antibiotik yang tidak sesuai dengan etiologinya. Tidak
yaitu terhadap khloramfenikol, tetrasildin dan ampisilin (Tabel adanyakonfirmasi laboratorium padapraktek-praktekpengobatan
6). Selanjutnya pada isolat V. cholera terdapat 0,7% (1 isolat) penyakit diare (terutama di daerah dengan sarana laboratorium
yang bersifat multiresisten terhadap 4 jenis antibiotik yaitu yang kurang memadai) akan memperbesar penyimpangan terapi
tetrasiklin, khloramfenikol, ampisilin dan sulfametoxazol-tri- antibiotik. Dikhawatirkan bila terjadi outbreak dengan bakteri
metoprim (Tabel 7). Akhirnya untuk isolat E. coli patogen yang multiresisten terhadap antibiotik pilihan ini sebagai penye-
(ETEC) terdapat 26,3% yang multiresistensi terhadap 3 jenis bab, terapi menjadi tidak efektif lagi karena tidak ada lagi yang
antibiotik yaitu terhadap tetrasiklin, ampisilin clan khloram- mampu membunuh bakteri penyebab sehingga penderita bisa
fenikol (Tabel 8). terancam jiwanya. Dirasakan sudah saatnya untuk memikirkan
ABSTRAK
Di Asia dan Afrika prevalensi dan intensitas penyakit periodontal terlihat lebih tinggi
daripada di Eropa, Amerika dan Australia. Prevalensi tertinggi ditemukan pada kelompok
usia 35-44 tahun. Dan merupakan penyebab utama kehilangan gigi pada kelompok usia
35 tahun ke atas.
Pada tahap awal scring penyakit periodontal belum menimbulkan keluhan sakit atau
hampir tidak terasa sama sekali, dan bila terasa sakit penyakit telah berada pada tahap
lanjut. Penyakit periodontal bersifat khronis, kumulatif, dapat menjadi progresif dan
mengakibatkan kerusakan tulang penyanggah gigi, sehingga gigi terlepas dari socket nya.
Gambaran klinis dan etiologinya sangat kompleks, banyak mengenai usia yang lebih
tinggi dan erat hubungannya antara faktor lokal (oral) dan sistemik.
Dengan bertambahnya usia harapan hidup di Indonesia dan agar orang tetap pro-
duktif, maka perlu dikembangkan penclitian epidemiologi mengenai penyakit periodon-
tal, supaya data ini dapat digunakan sebagai salah satu sumber informasi dalam rangka
perencanaan alternatif prevensi yang disesuaikan dengan keadaan dan situasi setempat.
Propinsi yang diteliti : Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur,
Sumatera Selatan, Sulawesi Utara.
Propinsi yang diteliti : Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sumatera
Selatan, Sulawesi Utara.
Grafik 3. Prevalansi Penyakit Periodontal berdasarkan Kelompok Umur di Kota dan Desa di 9 Propinsi pada Pelita IV (5)
Propinsi yang diteliti : Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sumatera
Selatan, Sulawesi Utara.
Karies dan 14,6% pencabutan gigi akibat penyakit mulut lain- daripada jaringan gingiva sehat. Pada keadaan ini sudah terdapat
nya. Persentase tersebut terlihat naik mencolok pada kelompok keluhan pada gusi berupa perdarahan spontan atau perdarahan yang
usia 35-44 tahun, yaitu sekitar 65,5%. Angka ini semakin tinggi sering terjadi pada waktu menyikat gigi.
sejalan dengan bertambahnya usia (Grafik 4). Bila gingivitis ini dibiarkan melanjut tanpa perawatan,
keadaan ini akan merusak jaringan periodonsium yang lebih
PATOLOGI KLINIS dalam. Cemento enamel junction menjadi rusak, jaringan gingiva
Penyebab periodontal bersifat kronis, kumulatif, progresif lepas dan terbentuk periodontal pocket. Pada beberapa keadaan
dan bila telah mengenai jaringan yang lebih dalam menjadi sudah terlihat ada peradangan dan pembengkakan dengan keluhan
irreversibel. Secara klinis pada mulanya terlihat peradangan sakit bila tersentuh. Bilakeparahan telah mengenai tulang rahang
jaringan gingiva di sekitar leher gigi dan warnanya lebih merah maka gigi menjadi goyang dan lepas dari socket nya(1,2).
ABSTRAK
Telah ditelaah secara eksploratif pola dosis antibiotika menurut kelompok umur
berdasarkan preskripsi racilcan dalam lembar resep. Studi kasus ini bertujuan meng-
eksplorasi dosis antibiotika yang digunakan pada anak serta masalah bermakna yang
terkait padanya, yang mungkin ada. Sampel lembar resep dari Apotek "X" Jakarta diambil
secara sensus untuk dua bulan, masing-masing bulan Maret dan September tahun 1988.
Hasil telaah memberikan gambaran sebagai berikut :
Dari seluruh lembar resep yang dilayani pada bulan Maret terdapat 237 lembar
resep dengan preskripsi racikan antibiotika yang berasal dari 43 orang dokter dengan 5
jenis keahlian; dan dari bulan September terdapat 186 lembar yang berasal dari 40 orang
dokter dengan 4 jenis keahlian. Jenis antibiotika yang sering dipreskripsi memberikan
gambaran yang sama yaitu amoksisilin. Dengan uji Pearson's r diketahui bahwa pada
preskripsi amoksisilin dalam R/racikan untuk anak, terlihathubungan yang linier (p 0,05)
antara umur dengan dosis amoksisilin sekali minum dalam kelompok umur <12 bulan dan
>1 th — 5 th, tempi tidak dalam kelompok tuna >5 th -12 th. Sedangkan pada preskripsi
ampisilin dalam R/racikan untuk anak, terlihat hubungan yang linier (p 0,05) antara umur
dengan dosis ampisilin sekali minum dalam kelompok umur >1 th — 5 th, tetapi tidak
dalam kelompok umur <12 bulan dan >5 th — 12 th.
Hasil penelaahan ini sifatnya hanya eksploratif mengenai kenyataan konkrit. Untuk
memahami ada tidaknya masalah pada kenyataan variasi dosis, diperlulcan penelaahan
lebih lanjutdengan memperhatikan berbagai faktor yang ada relevansinya dalam berbagai
aspek.
D 0 S I S (mg)
Umur Rentang Rata-rata Mode
Maret September Kumulatif Maret September Kumulatif Maret September Kumulatif
1. < 12 bulan 75– 200 40 – 250 40 – 250 120 117,8 119,1 75 100 100
2. > 1 th – 5th 25– 300 125 – 250 25 – 300 167,3 182,7 174,4 160 200 160
3. > 5th – 12 th 150– 275 169 – 300 150 – 300 225,3 226,4 225,7 250 250 250
D O S I S (mg)
Umur Rentang Rata-rata Mode
Maret September Kumulatif Maret September Kumulatif Maret September Kumulatif
1. < 12 bulan 60– 150 62 – 250 60 – 250 108,6 129,4 120,3 125 125 125
2. > 1 th – 5th 125– 250 100 – 250 100 – 250 190,9 188,9 190 200 200 200
3. > 5th – 12 th 25– 400 200 – 375 25 – 400 234,6 253,6 241,3 250 250 250
th–5 th (r = 0,47358, n = 49), tetapi tidak dalam kelompok umur dapat dalam kelompok umur > 5 th — 12 th. Sedangkan pada
< 12 bulan (r = 0,06799, n = 25) dan > 5 th - 1 2 th (r = 0,33386, preskripsi ampisilin, terdapat dalam kelompok umur < 12 bulan
n = 20). clan > 5 th — 12 th (tabel 5). Dalam perhitungan dosis, selain
berdasarkan umur, juga dapat dihitung berdasarkan berat badan
PEMBAHASAN atau luas permukaan tubuh. Namun pada kenyataannya, berat
Preskripsi amoksisilin dalam R/ racikan untuk anak lebih badan atau luas permukaan tubuh, seringkali tidak tertulis di
sering dibanding ampisilin (tabel 2, 3). Amoksisilin dan ampisi lembar resep. Jadi seolah-olah perhitungan dosis adalah ber-
lin adalah derivat penisilin yang merupakan kelompok anti- dasarkan pada umur.
biotika betalaktam<sl. Ditinjau dari segi farmakokinetiknya, Untuk memahami adatidaknya masalah pada kenyataan
absorpsi amoksisilin dalam darah jauh lebih baik dibanding variasi dosis, diperlukan penelaahan lebih lanjut dengan mem-
ampisilin. Di samping itu absorpsi ampisilin dihalangi oleh perhatikan berbagai faktor yang ada relevansinya, dalam ber-
makanan(5,6). Karena itu per-oral, ekivalensi dosis adalah 500 mg bagai aspek.
ampisilin sama dengan 250 mg amoksisilin atau 2 : 1. Amoksi-
silin dan ampisilin dieliminasi sama cepat, karena itu tidak perlu
mengatur frekuensi dosis yang berbeda(5). Pada basil telaahan
(tabel 4, 5), dosis rata-rata pada masing-masing kelompok umur, KESIMPULAN DAN SARAN
antara amoksisilin dengan ampisilin menunjukkan perbandingan Penelaahan dosis antibiotika dalam preskripsi R/ racikan
dosis yang tidak berbeda. Sedangkan frekuensi dosis belum untuk anak dari lembar resep yang dilayani di Apotek "X"
dapat diungkapkankarena data tidak tercatat. Dalam penggunaan Jakarta, pada bulan Maret dan September 1988, memberikan
antibiotika, di samping dosis setiap kali minum dan frekuensi kesimpulan :
dosis dalam satu hari, perlu diperhatikan pula jangka waktu 1. Terdapat hubungan yang tinier (p 0,05) antara umur dengan
pemberian yang disesuaikan dengan basil diagnosis klinis dan dosis amoksisilin setiap kali minum dalam kelompok umur <
bakteriologisnya. 12 bulan clan > 1 th — 5 th, tetapi tidak dalam kelompok umur
Pada tabel 4 terlihat adanya dosis amoksisilin sekali minum >5th—12th.
untuk kelompok umur> 1 th— 5 th yang diberikan jauh lebih kecil 2. Terdapat hubungan yang tinier (p 0,05) antara umur
dibandingkan dosis minimal untuk kelompok umur < 12 bulan. dengan dosis ampisilin setiap kali minum dalam kelompok umur
Namun dari uji Pearson's r diketahui bahwa pada preskripsi > 1 th - 5 th, tetapi tidak dalam kelompok < 12 bulan dan
amoksisilin dalam R/ racikan untuk anak dalam kelompok umur >5th—12th.
> 1 th — 5 th terlihat hubungan yang linier (p 0,05) antara umur Hasil penelaahan ini sifatnya hanya eksploratif mengenai
dengan dosis sekali minum. Dengan demikian, tampaknya telah kenyataan konkrit. Untuk memahami adatidaknya masalah pada
menunjukkan kesesuaian antara umur dengan dosis setiap kali kenyataan variasi dosis, diperlukan penelaahan lebih lanjut
minum dalam kelompok tersebut. Hubungan yang tidak tinier dengan memperhatikan berbagai faktor yang ada relevansinya,
antara umur dengan dosis amoksisilin setiap kali minum, ter- dalam berbagai aspek.
Kartari D.S.
National Institute of Health Research and Development
Department of Health, Jakarta
Note : * 22 omitted
Table 3. Number and percentage distribution of persons by levels of education and sex
Note : * 22 omitted
The prevalence of chronic impairments of the sample popu- impairments by sex between urban and rural area. In urban area
lation of 22.568 individuals examined was 32.7% for both sexes the prevalence rate in females (34.5%) was slightly higher than
combined. The diagnosis for the different chronic impairments in those of males (30.3%), but in the rural area it was almost the
order of decreasing frequency is listed in table 4. Among the same (males 33.2%, females 32.4%).
various diseases, symptoms of the oral cavity showed the highest Respiratory diseases showed a higher prevalence in males
prevalence of 22.6% or 73.68 per 1000, followed by respiratory than females in the urban than those in the rural area. Teeth
system with 19.6% or 64.02 per 1000 and circulatory system/ problems were more common in males both rural and urban
hypertension were 12% or 39.30 per 1000. Symptoms of other while in females there were no differences between rural and
chronic impairments were each less than 10% of the people urban area. Hypertension was more prevalent for both sexes in
examined. In the category of others are included diagnosis related the urban area, while malnutrition and underweight were more
to the urinary system, female genital system and conditions as common in rural area for both sexes. The prevalence of
perceived by the household members and the doctors during he symptoms of other diseases, such as arthritis, skin, eye etc,
interview (6.2%). range from 1 - 7% and the frequency varied slightly between
Table 5 shows the number and prevalence rate of chronic sex as well as between urban and rural areas.
Table 5. Prevalence of diagnosis for the most important symptoms by area of residence and sex
Male Female
Category of symptoms Total Total
of chronic impairments Urban Rural Urban Rural
No. No. % No. % No. % No. % No. %
1. Respiratory systems, bronchitis,
asthma, pulm. tbc, etc. 158 7.8 681 7.3 839 7.3 128 6.3 478 5.1 606 5.3
2. Circulatory system, hypertension
+ headache 90 4.4 248 2.6 338 2.9 128 6.3 421 4.5 549 4.8
3. Arthritis, etc 53 2.6 303 3.2 356 3.1 72 3.5 259 2.8 331 2.9
4. Peptic ulcer, gastritis 40 1.9 162 1.7 202 1.7 52 2.5 134 1.4 186 1.6
5. Diseases of eye 34 1.6 155 1.6 189 1.6 31 1.5 149 1.6 180 1.5
6. Diseases of ear 32 1.5 92 0.9 124 1.0 25 1.2 83 0.8 108 0.9
7. Diseases of skin 55 2.6 309 3.3 364 3.2 53 2.6 249 2.6 302 2.6
8. Chronic teeth problem 98 4.7 666 7.1 764 6.7 153 7.5 746 8.0 899 7.9
9. Chronic fever, malaria 11 0.5 54 0.5 65 0.5 7 0.3 46 0.4 53 0.4
10. Accident, missing limb,
fracture 5 0.2 33 0.3 38 0.3 1 0.04 20 0.02 21 0.2
11. Polio, spastic paralysis 5 0.2 30 0.3 35 0.3 5 0.2 13 0.1 18 0.16
12. Malnutrition/undcrweight 7 - 0.3 172 1.8 179 1.5 15 0.7 156 1.6 171 1.5
13..Others 26 1.2 165 1.7 191 1.6 28 1.3 237 2.5 265 2.3
Total 614 3070 3684 701 2988 3689
% 30.3 33.2 32.6 34.5 32.4 32.7
Table 6 shows the prevalence of all types of chronic years the highest prevalence rate of chronic impairments is in
impairments by age in both sexes. Among the 7373 individuals the 1-4 years group, while in the adult and old age from 25 – 65
examined, chronic impairments were 66.9%, mental impair- years and above is the in 55 – 64 years group.
ments 3.5%, functional limitations 15.5% and disability 14.1% Mental health impairments also show the same trend; it starts
respectively. In the young adult age specific groups from 0 – 24 to increase and is highest in the age group of 65 years and above.
Table 6. Age Specific Prevalence of all types of chronic impairments, mental health, Im-
pairments, functional limitation, and disability of both sexes. (No. Interviewed
22.568).
Age group Chronic Mental health All types of All types of Total
in years Impairments Impairments rune. limit. disability Impairments
No. % No. % No. % No. % No. %
less than one 55 11.7 - - 1 0.2 - - 56 11.9
1-4 667 23.8 6 0.2 56 2.1 20 0.7 749 29.0
5-9 814 24.0 13 0.4 86 2.5 35 1.0 948 27.9
10 - 14 420 14.5 25 0.8 49 1.7 46 1.5 540 18.7
15 - 19 271 12.0 30 1.3 38 1.6 46 2.0 385 17.1
20 - 24 310 17.0 24 1.3 38 2.0 43 2.3 415 22.8
25 - 34 580 20.3 43 1.5 104 3.6 117 4.1 844 29.6
35 - 44 794 29.1 50 1.8 174 6.3 149 5.4 1167 42.8
45 - 54 580 30.4 31 1.6 222 11.6 180 9.4 1013 53.2
55 - 64 326 31.0 7 0.6 198 18.8 190 18.1 723 68.7
65 & over 113 16.8 26 3.8 179 26.6 215 32.0 533 79.4
Total 4932 255 1145 1041 7373
% 66.9 3.5 15.5 14.1 100
ILMU KEDOKTERAN
Juvelin Hardi C.
Jakarta Yogyakarta
Br. J. Clin. Pharmacol. 1991; 31: 711-4. * Para pembaca yang berminat mendapatkan naskah lengkapnya - dalam jumlah terbatas - dapat diminta me/alui
VSR alamat redaksi.
1. Soil-transmitted helminths yang bukan merupakan masalah 5. Obat yang dikenal dapat menyebabkan erratic migration A.
kesehatan di Indonesia : lumbricoides :
a) Ascaris lumbricoides. a) Pirantel pamoat.
b) Trichuris trichiura. b) Oxantel pamoat.
c) Strongyloides stercoralis. c) Piperazin hidrat.
d) Ankylostoma duodenale. d) Mebendazol.
e) Necator americanus. e) Albendazol.
2. Program Pemberantasan Penyakit Cacing termasuk dalam : 6. Obat cacing kombinasi yang dikenal di pasaran :
a) Program Pemberantasan Penyakit Menular. a) Piperazin hidrat – pirantel pamoat.
b) Program Pemberantasan Penyakit Diare. b) Levamizol – pirantel pamoat.
c) Program Pemberantasan Penyakit yang Ditularkan c) Mebendazol – pirantel pamoat.
melalui Binatang. d) Levamizol – oxantel pamoat.
d) Program Kesehatan Lingkungan. e) Mebendazol – oxantel pamoat.
e) Merupakan program tersendiri. 7. Desinfektan yang dianggap paling efektif membunuh larva
3. Obat cacing yang paling kurang efektif : cacing :
a) Pirantel pamoat. a) H2O2
b) Oxantel pamoat. b) Fenol.
c) Piperazin hidrat. c) Kresol.
d) Mebendazol. d) Alkohol.
e) Albendazol. e) Semua sama efektif.
4. Pengobatan ulangan kecacingan dilakukan dua kali setahun, 8. Kuman yang tidak menyebabkan gejala sindrom disentri :
bila prevalensinya : a) Trichomonas.
a) > 30% b) Shigella.
b) 20 – 30% c) Salmonella.
c) 10 – 20% d) Vibrio.
d) 5 – 10% e) Giardia lamblia.
e) <5%