You are on page 1of 121

STUDI ANALISIS PENDAPAT AL-SYAFI'I

TENTANG PERKAWINAN ANTAR AGAMA



SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1)
Dalam Ilmu Syariah

















Oleh:
ARIFIN
NIM. 2199096



JURUSAN AHWAL SYAHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH
IAIN WALISONGO SEMARANG
2006
ii
DEPARTEMEN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS SYARIAH SEMARANG
JL. Raya Boja Km. 2 Ngalian Telp./ Fax. (024) 7601291 Semarang 50185


BERITA ACARA MUNAQASYAH SKRIPSI

Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang pada:
Hari : Kamis
Tanggal : 27 Juli 2006
Jam : 11.00-12.00 WIB

Telah mengadakan Ujian Munaqasyah Skripsi dengan judul:
STUDI ANALISIS PENDAPAT AL-SYAFI'I TENTANG PERKAWINAN
ANTAR AGAMA
Atas Nama :
Nama : Arifin
NIM : 2199096
Jurusan : Ahwal Syahsiyah
Keterangan : UTAMA/ULANG ..
LULUS/TIDAK LULUS

Semarang, 27 Juli 2006
Ketua Sidang, Sekretaris Sidang,



H.Khoirul Anwar, S.Ag, M.Ag. M.Solek, MA.
NIP. 150 276 114 NIP. 150 262 648


Penguji I, Penguji II,


Dr.H.Abd. Hadi, MA. Ade Yusuf Mujaddid, M.Ag.
NIP. 150 209 744 NIP. 150 289 443

Pembimbing,



M.Solek, MA.
NIP. 150 262 648
iii
ABSTRAK



Dalam prakteknya tidak sedikit adanya hubungan muda-mudi yang
berbeda agama yaitu muslim dengan non muslim. Hubungan itu tidak
menutup kemungkinan sampai pada jenjang pernikahan. Masalah yang
muncul, bagaimana pendapat Al-Syafi'i tentang perkawinan antar agama?
Bagaimana metode istinbath hukum Al-Syafi'i tentang perkawinan antar
agama? Penulisan ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dan penelitian
kepustakaan (Library research). Sedangkan Pendekatannya menggunakan
pendekatan deskriptif analisis. Adapun data primer yaitu karya al-Syafii yang
berhubungan dengan judul di atas di antaranya: (1) Al-Umm, dan al-Risalah.
Sedangkan data sekunder, yaitu literatur lainnya yang relevan dengan judul di
atas. Sebagai tknik pengumpulan data menggunakan teknik library research
(penelitian kepustakaan), dengan analisis data kualitatif.
Hasil dari pembahasan dapat diterangkan bahwa dalam perkawinan
antar agama menurut Imam Syafi'i, laki-laki muslim tidak boleh menikah
dengan wanita non muslim dengan alasan surat al-Baqarah 221: wal tankihul
musyrikti hatta yukminna walmatun mu'minatun khairun min musyrikatin
walau a'jabatkum. Wanita muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki
non muslim dengan alasan surat al-Baqarah 221: wal tunkihul musyrikna
hatta yukminu wala'abdun mu'minun khairun min musyrikin walau a'jabakum.
Laki-Laki muslim tidak boleh menikah dengan wanita non muslim kecuali
dengan wanita non muslim yang berasal dari ahli kitab. Menurut al-Syafi'i
yang dimaksud dengan ahli kitab tersebut adalah keturunan Bani Israil atau
orang-orang yang berpegang teguh pada kitab Taurat pada masa Nabi Musa
dan orang-orang yang berpegang teguh pada kitab Injil pada masa Nabi Isa.
Sedangkan Istinbath hukum al-Syafii yang membolehkan laki-laki muslim
menikah dengan wanita non muslim dari ahli kitab didasarkan atas di takhsis
surat al-Baqarah ayat 221 oleh surat al-Maidah ayat 5. Adapun ahli kitab yang
dimaksud oleh al-Syafi'i hanya terbatas kepada keturunan Bani Israil atau
orang-orang yang berpegang teguh pada kitab Taurat pada masa Nabi Musa
dan orang-orang yang berpegang teguh pada kitab Injil pada masa Nabi Isa.
Disebabkan: (a) Dalam ayat 5 al-Ma'idah terdapat lafal min qablikum yang
berarti orang-orang Bani Israil atau orang-orang yang berpegang teguh pada
kitab Taurat pada masa Nabi Musa dan orang-orang yang berpegang teguh
pada kitab Injil pada masa Nabi Isa. (b). Nabi Musa dan Nabi Isa hanya diutus
kepada Bani Israil. Dalam kaitan ini, penulis kurang sependapat dengan
pendapat al-Syafi'i yang mengkategorikan ahlul kitab seperti tersebut di atas.
Alasan penulis kurang setuju karena bila diaplikasikan di Indonesia, maka
orang-orang Indonesia yang menganut agama Yahudi atau Nasrani sesudah
turunnya al-Quran maka mereka tidaklah termasuk di dalam ahlul kitab,
konsekuensinya maka tidak halal bagi muslim menikahi perempuan-
perempuan mereka.
iv
DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Telaah Pustaka
E. Metode Penelitian
F. Sistematika Penulisan

BAB II: TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

A. Pengertian Nikah dan Dasar Hukumnya
B. Syarat dan Rukun Nikah
C. Pendapat Para Ulama tentang Perkawinan Antar Agama

BABIII: PENDAPAT AL-SYAFI'I TENTANG PERKAWINAN ANTAR
AGAMA
A. Biografi Al-Syafi'i, Pendidikan dan Karya-Karyanya
B. Pendapat Al-Syafi'i tentang perkawinan Antar Agama
C. Metode Istinbath Hukum Al-Syafi'i

BABIV: ANALISIS PENDAPAT AL-SYAFI'I TENTANG PERKAWINAN
ANTAR AGAMA
A. Pendapat Al-Syafi'i tentang perkawinan Antar Agama
B. Metode Istinbath Hukum Al-Syafi'i tentang perkawinan Antar
Agama

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran-saran
C. Penutup
1

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah
Allah SWT menciptakan dunia dan seluruh makhluk yang mendiami
jagad raya ini dibentuk dan dibangun dalam kondisi berpasang-pasangan. Ada
gelap dan terang, ada kaya dan miskin. Demikian pula manusia diciptakan
dalam berpasangan yaitu ada pria dan wanita. Pria dan wanita diciptakan
dengan disertai kebutuhan biologis.
Dalam memenuhi kebutuhan biologis ada aturan-aturan tertentu yang
harus dipenuhi dan bila dilanggar mempunyai sanksi baik di dunia maupun di
akhirat. Sanksi yang dimaksud yaitu manakala pria dan wanita dalam
memenuhi kebutuhan biologisnya tanpa diikat oleh suatu tali pernikahan.
Pernikahan itu terjadi melalui sebuah proses yaitu kedua belah pihak
saling menyukai dan merasa akan mampu hidup bersama dalam menempuh
bahtera rumah tangga. Namun demikian, pernikahan itu sendiri mempunyai
syarat dan rukun yang sudah ditetapkan baik dalam al-Quran maupun dalam
Hadis.
2
Menurut Sayuti Thalib perkawinan ialah perjanjian suci membentuk
keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan.
1
Sementara
Mahmud Yunus menegaskan, perkawinan ialah akad antara calon laki istri
untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syariat.
2

Sedangkan Zahry Hamid merumuskan nikah menurut syara ialah akad (ijab
qabul) antara wali calon istri dan mempelai laki-laki dengan ucapan tertentu
dan memenuhi rukun serta syaratnya.
3
Syekh Kamil Muhammad Uwaidah
mengungkapkan menurut bahasa, nikah berarti penyatuan. Diartikan juga
sebagai akad atau hubungan badan. Selain itu, ada juga yang mengartikannya
dengan percampuran.
4

As Shanani dalam kitabnya memaparkan bahwa an-nikah menurut
pengertian bahasa ialah penggabungan dan saling memasukkan serta
percampuran. Kata nikah itu dalam pengertian persetubuhan dan akad.
Ada orang yang mengatakan nikah ini kata majaz dari ungkapan secara
umum bagi nama penyebab atas sebab. Ada juga yang mengatakan bahwa
nikah adalah pengertian hakekat bagi keduanya, dan itulah yang
dimaksudkan oleh orang yang mengatakan bahwa kata nikah itu musytarak
bagi keduanya. Kata nikah banyak dipergunakan dalam akad. Ada pula yang
mengatakan bahwa dalam kata nikah itu terkandung pengertian hakekat yang

1
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI Press, Cet. 5, 1986, hlm.
47.
2
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta: PT Hidakarya Agung,
Cet. 12, 1990, hlm. 1.
3
Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang
Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978, hlm. 1.
4
Syekh Kamil Muhammad Uwaidah, Al-Jami' Fi Fiqhi an-Nisa, terj. M. Abdul
Ghofar, "Fiqih Wanita', (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2002, hlm. 375.
3
bersifat syari. Tidak dimaksudkan kata nikah itu dalam al-Quran kecuali
dalam hal akad.
5


Dari berbagai pengertian di atas, meskipun redaksinya berbeda akan
tetapi ada pula kesamaannya. Karena itu dapat disimpulkan perkawinan ialah
suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-
laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup
berkeluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara
yang diridhai Allah SWT. Dalam konteks ini Rasulullah bersabda:
` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` , ,
6


5
Sayyid al-Iman Muhammad ibn Ismail as-Sanani , Subul al-Salam Sarh Bulugh al-
Maram Min Jami Adillati al-Ahkam, Juz 3, Kairo: Dar Ikhya al-Turas al-Islami, 1960, hlm.
350.
6
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz 3, Beirut Libanon: Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M,
hlm. 251
4
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Sa'id bin Abi Maryam
telah memberitahu kepada kami dari Muhammad bin Ja'far
dari Himaid bin Abi Humaid ath-Thawail, sesungguhnya dia
telah mendengar dari Anas bin Malik r.a., katanya: Ada tiga
orang laki-laki datang berkunjung ke rumah isteri-isteri Nabi
saw; bertanya tentang ibadat beliau. Setelah diterangkan
kepada mereka, kelihatan bahwa mereka menganggap bahwa
apa yang dilakukan Nabi itu terlalu sedikit. Mereka berkata:
"Kita tidak dapat disamakan dengan Nabi. Semua dosa
beliau yang telah lalu dan yang akan datang telah diampuni,
Allah." Salah seorang dari mereka berkata: "Untuk saya,
saya akan selalu sembahyang sepanjang malam selama-
lamanya." Orang kedua berkata: "Saya akan berpuasa setiap
hari, tidak pernah berbuka." Orang ketiga berkata: "Saya
tidak akan pernah mendekati wanita. Saya tidak akan kawin
selama-lamanya." Setelah itu Rasulullah saw. datang. Beliau
berkata: "Kamukah orangnya yang berkata begini dan
begitu? Demi Allah! Saya lebih takut dan lebih bertaqwa
kepada Tuhan dibandingkan dengan kamu. Tetapi saya
berpuasa dan berbuka. Saya sembahyang dan tidur, dan saya
kawin. Barangsiapa yang tidak mau mengikuti sunnahku,
tidak termasuk ke dalam golonganku." (HR. al-Bhukhari)

Dari hadis di atas mengisyaratkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak
menyukai seseorang yang berprinsip anti menikah. Namun demikian dalam
prakteknya tidak sedikit adanya hubungan muda-mudi yang berbeda agama
yaitu muslim dengan non muslim. Hubungan itu tidak menutup kemungkinan
sampai pada jenjang pernikahan. Masalah yang muncul, apakah hukumnya
sah perkawinan muslim dengan non muslim?
Peristiwa di atas berarti menyangkut perkawinan antar agama yang
menurut Masjfuk Zuhdi, yaitu perkawinan antarorang yang berlainan agama,
dalam hal ini, perkawinan orang beragama Islam (pria/wanita) dengan orang
5
beragama non Islam (pria/wanita).
7
Perkawinan antaragama yang dimaksud
ini dapat terjadi antara
1. Calon istri beragama Islam dan calon suami tidak beragama Islam, baik
"ahlulkitab" maupun musyrik.
2. Calon suami beragama Islam dan calon istri tidak beragama Islam, baik
ahlulkitab maupun musyrik.
Akibat hukum dari perkawinan antaragama adalah sebagai berikut: apabila
perkawinan antaragama terjadi antara perempuan yang beragama Islam dan
laki-laki yang tidak beragama Islam, baik musyrik maupun ahlul kitab, maka
para ulama imamiyah sebagaimana halnya dengan keempat mazhab lainnya
sepakat bahwa wanita muslimah tidak boleh kawin dengan laki-laki non
muslim meskipun ahli kitab.
8
Hal ini berarti apabila perkawinan antaragama
terjadi antara perempuan yang beragama Islam dan laki-laki yang tidak
beragama Islam, baik musyrik maupun ahlulkitab, maka ulama fikih sepakat
hukumnya tidak sah.
9
Alasannya adalah firman Allah SWT dalam al-Baqarah
(2) ayat 221:
... ` ` ` ` ` ` ` ` ` ' ` ` ` ` ` ' ` `
` ` ,... 221 ,

7
Masjfuk Zuhdi, Masail Fikhiyah, Jakarta: PT Gunung Agung, 1997, hlm. 4.
8
Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqh 'ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj.
Masykur AB, et al, "Fiqih Lima Mazhab", Jakarta: PT Lentera Basritama, 2000, hlm. 336.
9
Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 4, Jakarta: PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1997, hlm. 1409.
6
Artinya: Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mu'min lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik
hatimu.
10



... ` ` ` ` ` ` ` ` ,... 10 ,

Artinya: Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-
orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka (Q.S.
Mumtahanah: 10).
11

Apabila perkawinan terjadi antara laki-laki muslim dengan perempuan
musyrik, ulama fikih sepakat menyatakan bahwa hukumnya tidak sah.
Argumen yang dikemukakan adalah firman Allah SWT dalam al-Baqarah (2)
ayat 221. Ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang disebut perempuan
musyrik itu. Selanjutnya apabila perkawinan terjadi antara laki-laki beragama
Islam dan perempuan yang tergolong ahlul kitab, terdapat beberapa pendapat
di antara ulama fikih:
a. Umar bin al-Khattab (42 SH/581 M-23 H/644 M) melarang perkawinan
antara laki-laki muslim dan perempuan ahlul kitab. Sebab, menurutnya,
Allah SWT telah mengharamkan laki-laki muslim menikahi perempuan
musyrik dan ia tidak pernah tahu adakah syirik yang lebih besar dari
seseorang yang beriktikad bahwa Nabi Isa AS atau hamba Allah SWT
yang lainnya adalah Tuhannya.
b. Jumhur ulama fikih membolehkan perkawinan laki-laki muslim dengan
perempuan ahlul kitab. Argumen mereka adalah pertama, penjelasan yang

10
Depag RI, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran
dan Terjemahnya, 1986, hlm. 53.
11
Ibid, hlm. 924
7
terdapat dalam Al-Qur'an dalam surah al-Ma'idah ayat 5 dan kedua,
pendapat Sayid Sabiq, ahli fikih di Mesir, yang menjelaskan bahwa
sekalipun boleh mengawini wanita ahlul kitab. namun hukumnya makruh.
Sekalipun jumhur ulama fikih sepakat tentang kebolehan seorang laki-laki
beragama Islam mengawini wanita ahlul kitab, namun mereka berbeda
pendapat dalam menentukan wanita ahlul kitab itu sendiri.
Dalam hubungannya dengan perkawinan antar agama, menurut al-
Syafi'i bahwa wanita muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki non
muslim, akan tetapi dibolehkan menikah antara laki-laki muslim dengan ahli
kitab. Hal ini ia nyatakan dalam kitabnya yaitu:
`

12

Artinya: wanita muslimah tidak halal (menikah) dengan laki-laki
musyrik dengan keadaan apa pun, dan wanita musyrik itu
kadang-kadang halal (boleh menikah) bagi lelaki Islam
dengan sesuatu hal dan wanita itu wanita kitabi.

Dalam kaitannya dengan ahli kitab, menurut Al-Syafi'i, yang termasuk
ahlul kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang
Israel, tidak termasuk bangsa-bangsa lain sekalipun penganut agama Yahudi
dan atau Nasrani. Di antara alasan yang diajukan adalah
(1). Karena Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS hanya diutus untuk orang-orang
bangsa Israel; dan

12
Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafii, Al-Umm, Beirut Libanon:
Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth, juz 4, hlm. 287
8
(2). Lafal min qablikum (umat sebelum kamu) dalam surah al-Ma'idah (5)
ayat 5 menunjuk kepada kedua kelompok Yahudi dan Nasrani bangsa
Israel.
Pendapat al-Syafi'i di atas dapat dijumpai dalam kitabnya yang pada
intinya menyatakan:

13

Artinya: siapa yang beragama dengan agama Yahudi dan Nasrani dari
orang Sabiin dan Samiri, maka boleh dimakan
sembelihannya dan halal dikawini wanitanya.
14


Mengingat kondisi yang demikian, maka terasa masih relevan
membicarakan perkawinan antar agama, karena perkawinan merupakan
sesuatu yang penting. Kecuali itu, masih banyak orang yang belum
memahaminya secara tepat, terutama di kalangan generasi muda. Di sinilah
terletak, antara lain urgennya mengkaji pendapat al-Syafi'i.
Berdasarkan uraian di atas mendorong diangkatnya tema ini dengan
judul: Studi Analisis Pendapat Al-Syafi'i dalam Kitab al-Umm tentang
Perkawinan Antar Agama

13
Ibid, hlm. 289
14
Sabi'in adalah nama golongan yang mengikuti nabi-nabi zaman dahulu. Sedangkan
Samiri adalah nama suatu suku dari bangsa Israil.
9
A. Perumusan Masalah
Permasalahan merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat
pertanyaan-pertanyaan apa saja yang ingin dicarikan jawabannya.
15
Bertitik
tolak pada keterangan itu, maka yang menjadi pokok permasalahan:
1. Bagaimana pendapat Al-Syafi'i tentang perkawinan antar agama?
2. Bagaimana metode istinbath hukum Al-Syafi'i tentang perkawinan antar
agama?
B. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pendapat Al-Syafi'i tentang perkawinan antar agama
2. Untuk mengetahui metode istinbath hukum Al-Syafi'i tentang perkawinan
antar agama
C. Telaah Pustaka
Berdasarkan penelitian di perpustakaan Fakultas Syariah ditemukan
kajian khusus berupa skripsi yang judulnya ada hubungan dengan penelitian
ini. Demikian pula ada beberapa buku yang membahas perkawinan antar
agama, walaupun secara khusus belum membahas konsep Al-Syafi'i secara
mendalam. Skripsi dan buku-buku yang dimaksud di antaranya:
1. Skripsi yang disusun oleh M. Rodli (NIM 2195143 IAIN Wali Songo
Semarang) berjudul: Analisis Pendapat Muhammad Rasyid Ridlo tentang
Kebolehan Laki-Laki Muslim Menikahi Wanita Kristen/Nasrani (Ahlul

15
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet. 7, Jakarta;
Pustaka Sinar Harapan, 1993, hlm. 312.
10
Kitab) dalam Al-Manar. Dalam skripsinya dijelaskan bahwa pada intinya
M. Rasyid Ridho membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita ahlul
kitab dengan syarat laki-laki muslim tidak terpengaruh dan ikut ke agama
istrinya, yang ia khawatirkan wanita ahlul kitab tersebut akan menarik
laki-laki muslim untuk masuk ke agamanya dengan kepandaiannya,
kecantikannya, dan hartanya. Terhadap pemikiran M. Rasyid Ridho di
atas, maka penulis mendukung karena Islam sebagai rahmat sekalian alam
tidak membedakan antara manusia satu dengan lainnya, demikian juga
terhadap penganut agama lain.
2. Skripsi yang disusun oleh Thoifah (NIM 2196073 IAIN Wali Songo
Semarang) dengan judul: Study Pemikiran Quraisy Syihab tentang Ahlul
Kitab dan Implikasinya pada pernikahan Beda Agama di Indonesia.
Dalam skripsinya dijelaskan bahwa M. Quraisy Shihab membolehkan
seorang pria menikah dengan ahlul kitab dengan catatan wanita itu yang
muhsonat yaitu perempuan yang dapat menjaga kehormatan diri dan
sangat menghormati serta mengagungkan kitab sucinya. Muhammad
Quraish Shihab, ahli tafsir kontemporer dari Indonesia, lebih cenderung
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah semua
penganut agama Yahudi dan Nasrani, kapanpun, di mana pun, dan
keturunan siapa pun mereka. Pendapatnya ini didasarkan kepada firman
Allah SWT dalam surah al-An 'am (6) ayat 156:
` ` ` ` `
` , 156 ,
11
Artinya: (Kami turunkan Al-Qur'an itu) agar kamu (tidak)
mengatakan: Bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada dua
golongan saja sebelum kami, dan sesungguhnya kami tidak
memperhatikan apa yang mereka baca. (Q.S. al-An'am: 156)

Penulis kurang sependapat dengan klasifikasi Quraish Shihab,
karena ia hanya membolehkan pada penganut agama Yahudi dan Nasrani.
Hal ini mengandung arti ia membedakan antara penganut agama yang satu
dengan lainnya. Padahal Shihab tidak memberi ukuran apa sehingga
agama Yahudi dan Nasrani dibolehkan. Di sini pula ia tidak memberi
argumentasi yang detail kenapa untuk penganut agama lain tidak boleh.
3. Hamka, dalam Tafsir Al-Azhar, terhadap surat al-Baqarah ayat 221,
menegaskan tentang perkawinan antar agama, khususnya perkawinan
wanita muslimah dengan pria non muslim. Menurut Hamka bahwa dalam
ajaran Islam, perempuan muslimah tidak boleh bersuamikan ahlul kitab
karena perempuan tidak akan melebihi kekuasaan suaminya dalam rumah
tangga. Apalagi dalam agama-agama lain yang tidak memberikan jaminan
kebebasan yang luas dalam peraturan agamanya terhadap perempuan,
sebagaimana dimiliki oleh Islam. Alhasil pada pokoknya bahwa orang
Islam laki-laki jodohnya ialah orang Islam perempuan, meskipun
perempuan itu masih budak, di zaman negeri-negeri masih mengakui
adanya budak. Orang perempuan Islam jodohnya laki-laki Islam.
Janganlah mencari jodoh karena hanya tertarik pada kecantikan, padahal
12
orangnya musyrik. Jangan tertarik oleh kekayaan atau keturunan kalau
laki-lakinya tidak beragama.
16

4. Yusuf Qardhawi, dalam Hadyul Islam Fatawi Muashirah berpendapat
bahwa hukum asal mengawini wanita ahli kitab menurut jumhur ulama
adalah mubah. Namun demikian di antara sahabat yang tidak berpendapat
demikian adalah Umar bin al-Khattab.
17
Umar bin al-Khattab (42 SH/581
M-23 H/644 M) melarang perkawinan antara laki-laki muslim dan
perempuan ahlul kitab. Sebab, menurutnya, Allah SWT telah
mengharamkan laki-laki muslim menikahi perempuan musyrik dan ia
tidak pernah tahu adakah syirik yang lebih besar dari seseorang yang
beriktikad bahwa Nabi Isa AS atau hamba Allah SWT yang lainnya
adalah Tuhannya.
18

5. Syekh Hasan Khalid, al-Zawaj Bighair al-Muslimin. Menurut Syekh
Hasan Khalid bahwa jumhur ulama fikih membolehkan perkawinan laki-
laki muslim dengan perempuan ahlul kitab.
19
Argumen mereka yang
menyatakan boleh adalah penjelasan yang terdapat dalam Al-Qur'an
dalam surah al-Ma'idah ayat 5
6. Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah. Ulama ahli fiqih ini menguraikan, para
ulama sepakat bahwa perempuan Muslim tidak halal kawin dengan laki-
laki bukan Muslim, baik dia musyrik ataupun Ahli Kitab.

16
Hamka, Tafsir Al Azhar, Jakarta: PT Pustaka Panji Mas, juz 2, 1999, hlm. 257
17
Yusuf Qardhawi, Hadyul Islam Fatawi Muashirah, Terj. Asad Yasin, Fatwa-
Fatwa Kontemporer, jilid 1, Jakarta: Gema Insani, 2001, hlm. 585
18
bid
19
Syekh Hasan Khalid, al-Zawaj Bighair al-Muslimin, Terj. Zaenal Abidin
Syamsudin, Menikah Dengan Non Muslim, Jakarta: Pustaka al-Sofwa, 2004, hlm. 145
13
Alasannya ialah firman Allah:
` ` ` ` ` ` ` ` '
` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` ` . ,.. 10 ,
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman jika datang kepadamu
perempuan-perempuan Mukmin yang berhijrah hendaklah
mereka kamu uji lebih dulu. Allah lebih mengetahui iman
mereka. Jika kamu telah dapat membuktikan bahwa mereka
itu benar-benar beriman, maka janganlah mereka
kembalikan kepada orang-orang kafir. Mereka ini
(perempuan-perempuan Mukmin) tidak halal bagi laki-laki
kafir. Dan laki-laki kafir pun tidak halal bagi mereka. " (Al-
Mumtahanah: 10)

Pertimbangan daripada ketentuan ini adalah bahwa di tangan suamilah
kekuasaan terhadap istrinya, dan bagi istri wajib taat kepada perintahnya
yang baik. Dalam pengertian seperti inilah maksud daripada kekuasaan
suami terhadap istri. Akan tetapi bagi orang kafir tidak ada kekuasaan
terhadap laki-laki atau perempuan Muslim.
Allah berfirman:
... ` ` ` ` , 141 ,
Artinya: Dan Allah tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang
kafir untuk menguasai orang-orang Mukmin. (An-Nisa':
141)

Selain itu seorang suami kafir tidak mau tahu akan agama istrinya yang
Muslim bahkan ia mendustakan Kitab Sucinya dan mengingkari ajaran
Nabinya. Di samping itu dalam rumah yang terdapat perbedaan paham
14
begitu jauh dan keyakinan begitu prinsip, maka rumah tangganya tidak
akan dapat tegak dengan baik dan berjalan langgeng. Akan tetapi hal ini
berbeda jika laki-laki Muslim kawin dengan perempuan Ahli Kitab, sebab
ia mau tahu agama istrinya, dan menganggap bahwa percaya kepada Kitab
Suci dan Nabi-nabi agama istrinya sebagai bagian daripada rukun iman,
dimana keimanan Islamnya ini tidak akan sempurna kalau tidak
mempercayai Kitab dan para Nabi Ahli Kitab.
20

7. Abd al-Rahman al-Jaziri, dalam Kitab al-Fiqh ala Majahib al-Arbaah.
Kitab ini berisi pendapat dari empat mazhab yaitu mazhab Maliki, Hanafi,
Hambali dan Syafii. Pada dasarnya pengarang kitab ini hanya
mengetengahkan pandangan berbagai mazhab dengan memberi komentar
di sana sini. Dalam kitab ini dijelaskan bahwa telah sepakat mazhab yang
empat, bahwa laki-laki Muslim boleh mengawini perempuan
Yahudi/Nasrani. Tetapi Imam Syafi'i dan Hanbali mensyaratkan, ibu bapa
perempuan itu harus orang Yahudi/Nasrani juga. Kalau bapak/nenek
perempuan itu menyembah berhala dan bukan ahli kitab (Taurat/Injil),
kemudian ia memeluk agama. Yahudi/Nasrani, maka tidak boleh
mengawini Perempuan itu. Menurut Hanafi dan Maliki asal perempuan itu
beragama Yahudi/Nasrani, boleh mengawininya, meskipun ibu bapaknya.
Menyembah .berhala.
21

8. Ahmad Asy-Syarbashi, Yas'alunaka fi ad-Din wa al-Hayah. Menurutnya

20
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, juz 2, tth, hlm. 182.
21
Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ala al-Mazahib al-Arbaah, juz 4, Beirut:
Dar al-Fikr, 1972, hlm. 147
15
umat Islam dengan segenap fukaha dan ulamanya sepakat bahwa tidak
boleh seorang Muslimah menikah dengan seorang laki-laki non-Muslim.
Baik laki-laki non-Muslim tersebut termasuk kelompok Ahlulkitab,
seperti Yahudi dan Nasrani, kelompok musyrikin, maupun kelompok
ateis. Allah SWT telah berfirman, "Dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik (dengan wanita- wanita mukmin) sehingga mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin itu lebih baik dan orang
musyrik, walaupun dia menarik hatimu." (QS. al-Baqarah: 221).
22

9. Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam. Dalam buku ini
Mahmud Yunus menjelaskan bahwa laki-laki muslim dibolehkan menikah
dengan perempuan Yahudi atau Nasrani. Tetapi perempuan muslimah
tidak boleh menikah dengan laki-laki Yahudi atau Nasrani.
23

10. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan Di Indonesia. Pengarang buku
ini menyatakan sekiranya tiap-tiap agama dalam peraturannya melarang
seorang pemeluk agama itu kawin dengan orang yang memeluk agama
lain, maka biasanya salah seorang dari mereka mengalah dan beralih
kepada agama dari pihak lain. Bila ini terjadi, tentunya tidak ada kesulitan
dalam hal perkawinan. Akan tetapi manakala kedua belah pihak masing-
masing mempertahankan agamanya maka akan muncul masalah.
24


22
Ahmad Asy-Syarbashi, Yas'alunaka fi ad-Din wa al-Hayah, Terj. Ahmad Subandi,
"Tanya Jawab Lengkap tentang Agama dan Kehidupan", Jakarta: Lentera, 1997, hlm. 238-241
23
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta: PT Hidayakarya
Agung, 1990, hlm. 50.
24
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Bandung: PT Sumur
Bandung, 1981, hlm. 46.
16
Spesifikasi skripsi ini dibandingkan dengan kepustakaan di atas,
yaitu membahas pendapat seorang tokoh Islam yaitu Imam Syafii tentang
perkawinan laki-laki muslim dengan ahlul kitab.
D. Metode Penelitian
Metode penelitan bermakna seperangkat pengetahuan tentang langkah-
langkah sistematis dan logis tentang pencarian data yang berkenaan dengan
masalah tertentu untuk diolah, dianalisis, diambil kesimpulan dan selanjutnya
dicarikan cara pemecahannya.
25
Dalam versi lain dirumuskan, metode
penelitian adalah cara yang dipakai dalam mengumpulkan data, sedangkan
instrumen adalah alat bantu yang digunakan dalam mengumpulkan data itu,
26

maka metode penelitian skripsi ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
27


Jenis Data
Penulisan ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yaitu jenis
penelitian yang tidak menggunakan angka-angka statistik, melainkan
dalam bentuk kata-kata. Di samping itu penelitian ini hanya menggunakan
penelitian kepustakaan (Library research). Yang dimaksud dengan
penelitian kepustakaan adalah penelitian yang menggunakan data-data
dari buku sebagai sumber kajian.

25
Wardi Bacthiar, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1997, hlm. 1.
26
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Cet. 12,
Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002, hlm. 194.
27
Menurut Hadari Nawawi, metode penelitian atau metodologi research adalah ilmu
yang memperbincangkan tentang metode-metode ilmiah dalam menggali kebenaran
pengetahuan. Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 1991, hlm. 24.
17
Pendekatan
Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif
analisis yakni menggambarkan dan menganalisis pemikiran Al-Syafi'i
tentang perkawinan antar agama, khususnya dalam perkawinan antara pria
muslim dengan wanita ahli kitab.
Sumber Data
Data Primer, dari karya-karya Al-Syafii yang berhubungan dengan judul
di atas di antaranya: (1) Al-Umm. Kitab ini disusun langsung oleh Al-
Syafii secara sistematis sesuai dengan bab-bab fikih dan menjadi
rujukan utama dalam Mazhab Syafi'i. Kitab ini memuat pendapat Al-
Syafii dalam berbagai masalah fikih. Dalam kitab ini juga dimuat
pendapat Al-Syafii yang dikenal dengan sebutan al-qaul al-qadim
(pendapat lama) dan al-qaul al-jadid (pendapat baru). Kitab ini
dicetak berulang kali dalam delapan jilid bersamaan dengan kitab usul
fikih Al-Syafii yang berjudul Ar-Risalah. Pada tahun 1321 H kitab ini
dicetak oleh Dar asy-Sya'b Mesir, kemudian dicetak ulang pada tahun
1388H/1968M. (2) Kitab al-Risalah. Ini merupakan kitab ushul fiqh
yang pertama kali dikarang dan karenanya Al-Syafii dikenal sebagai
peletak ilmu ushul fiqh. Di dalamnya diterangkan pokok-pokok
pikiran beliau dalam menetapkan hukum.
28
(3) Kitab Imla al-Shagir;
Amali al-Kubra; Mukhtasar al-Buwaithi;
29
Mukhtasar al-Rabi;
Mukhtasar al-Muzani; kitab Jizyah dan lain-lain kitab tafsir dan

28
Djazuli, Ilmu Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 131-132
29
Ahmad Asy Syarbasy, Al-Aimmah al-Arba'ah, Terj. Futuhal Arifin, "Biografi
Empat Imam Mazhab", Jakarta: Pustaka Qalami, 2003, hlm. 144.
18
sastra.
30
Siradjuddin Abbas dalam bukunya telah mengumpulkan 97
(sembilan puluh tujuh) buah kitab dalam fiqih Syafii. Namun dalam
bukunya itu tidak diulas masing dari karya Syafii tersebut.
31
Ahmad
Nahrawi Abd al-Salam menginformasikan bahwa kitab-kitab Imam al-
Syafi'i adalah Musnad li al-syafi'i; al-Hujjah; al-Mabsuth, al-Risalah,
dan al-Umm.
32

Data Sekunder, yaitu literatur lainnya yang relevan dengan judul di atas.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data menggunakan teknik library research
(penelitian kepustakaan). Pemilihan kepustakaan dilakukan secermat
mungkin dengan mempertimbangkan otoritas pengarangnya terhadap
bidang yang dikaji.
Teknik Analisis Data
Dalam menganalisis data,
33
peneliti menggunakan analisis data
kualitatif, yaitu data yang tidak bisa diukur atau dinilai dengan angka secara
langsung.
34
Dalam hal ini hendak diuraikan pemikiran Al-Syafi'i tentang

30
Ali Fikri, Ahsan al-Qashash, Terj. Abd.Aziz MR: "Kisah-Kisah Para Imam
Madzhab", Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003, hlm. 109-110
31
Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafii, Jakarta: Pustaka
Tarbiyah, 2004, hlm. 182-186.
32
Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam, Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul
Jadid, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 44
33
Menurut Moh. Nazir, Analisa adalah mengelompokkan, membuat suatu urutan,
memanipulasi serta menyingkatkan data sehingga mudah untuk dibaca. Moh. Nazir. Metode
Penelitian, Cet. 4, Jakarta: Ghalia Indonesia,1999, hlm, 419.
34
Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, Cet. 3. Jakarta: PT. Raja
grafindo persada, 1995, hlm. 134. Bandingkan dengan Lexy J. Moleong, Metode Penelitian
19
makna ahli kitab dalam perkawinan antar agama
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang masing-
masing menampakkan titik berat yang berbeda, namun dalam satu kesatuan
yang saling mendukung dan melengkapi.
Bab pertama berisi pendahuluan, merupakan gambaran umum secara
global namun integral komprehensif dengan memuat: latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan
sistematika Penulisan. Dalam bab pertama ini di ketengahkan keseluruhan isi
isi skripsi secara global namun dalam satu kesatuan yang utuh dan jelas.
Bab kedua berisi tinjauan umum tentang perkawinan yang meliputi
pengertian nikah dan dasar hukumnya, syarat dan rukun nikah, akibat hukum
pernikahan, pendapat para ulama tentang perkawinan antar agama
Bab ketiga berisi pendapat Al-Syafi'i tentang perkawinan antar agama
yang meliputi biografi Al-Syafi'i, pendidikan dan karya-karyanya, pendapat
Al-Syafi'i tentang perkawinan antar agama, metode istinbath hukum Al-Syafi'i
Bab keempat berisi analisis pendapat Al-Syafi'i tentang perkawinan
antar agama yang meliputi: pendapat Al-Syafi'i tentang perkawinan antar
agama, metode istinbath hukum Al-Syafi'i tentang perkawinan antar agama.
Bab kelima merupakan penutup yang berisi kesimpulan, saran dan
penutup.

Kulitatif, Cet. 14, Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2001, hlm. 2. Koencaraningrat, Metode-
Metode Penelitian Masyarakat, Cet. 14, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1970, hlm.
269.
20
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

A. Pengertian Nikah dan Dasar Hukumnya
Perkawinan merupakan kebutuhan fitri setiap manusia yang
memberikan banyak hasil yang penting.
35
Perkawinan amat penting dalam
kehidupan manusia, perseorangan maupun kelompok. Dengan jalan
perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara
terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan.
Pergaulan hidup berumah tangga dibina dalam suasana damai, tenteram, dan
rasa kasih sayang antara suami dan istri. Anak keturunan dari hasil
perkawinan yang sah menghiasi kehidupan keluarga dan sekaligus merupakan
kelangsungan hidup manusia secara bersih dan berkehormatan.
36

Oleh karena itu, pada tempatnyalah apabila Islam mengatur masalah
perkawinan dengan amat teliti dan terperinci, untuk membawa umat manusia
hidup berkehormatan, sesuai kedudukannya yang amat mulia di tengah-tengah
makhluk Allah yang lain. Hubungan manusia laki-laki dan perempuan
ditentukan agar didasarkan atas rasa pengabdian kepada Allah sebagai Al
Khaliq (Tuhan Maha Pencipta) dan kebaktian kepada kemanusiaan guna
melangsungkan kehidupan jenisnya. Perkawinan dilaksanakan atas dasar
kerelaan pihak-pihak bersangkutan, yang dicerminkan dalam adanya
ketentuan peminangan sebelum kawin dan ijab-kabul dalam akad nikah yang
dipersaksikan pula di hadapan masyarakat dalam suatu perhelatan (walimah).
Hak dan kewajiban suami istri timbal-balik diatur amat rapi dan tertib;
demikian pula hak dan kewajiban antara orang tua dan anak-anaknya. Apabila

35
Ibrahim Amini, Principles of Marriage Family Ethics, terj. Alwiyah Abdurrahman,
"Bimbingan Islam Untuk Kehidupan Suami Istri", Bandung: al-Bayan, 1999, hlm. 17.
36
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press, 2004,
hlm. 1.
21
terjadi perselisihan antara suami dan istri, diatur pula bagaimana cara
mengatasinya. Dituntunkan pula adat sopan santun pergaulan dalam keluarga
dengan sebaik-baiknya agar keserasian hidup tetap terpelihara dan terjamin.
Hukum perkawinan mempunyai kedudukan amat penting dalam Islam
sebab hukum perkawinan mengatur tata-cara kehidupan keluarga yang
merupakan inti kehidupan masyarakat sejalan dengan kedudukan manusia
sebagai makhluk yang berkehormatan melebihi makhluk-makhluk lainnya.
Hukum perkawinan merupakan bagian dari ajaran agama Islam yang wajib
ditaati dan dilaksanakan sesuai ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Al-
quran dan Sunah Rasul.
37

Kata kawin menurut bahasa sama dengan kata nikah, atau kata, zawaj.
Dalam Kamus al-Munawwir, kata nikah disebut dengan an-nikh ( ) '-' dan
az-ziwaj/az-zawj atau az-zijah ' - ' - =,' ( ). Secara harfiah, an-
nikh berarti al- wath'u (,' ), adh-dhammu ( -' ) dan al-jam'u ( _-=' ).
Al-wath'u berasal dari kata wathi'a - yatha'u - wath'an '= - '=, - '= ( ),
artinya berjalan di atas, melalui, memijak, menginjak, memasuki, menaiki,
menggauli dan bersetubuh atau bersenggama.
38
Adh-dhammu, yang terambil
dari akar kata dhamma - yadhummu dhamman ( - - -, - '-- ) secara
harfiah berarti mengumpulkan, memegang, menggenggam, menyatukan,
menggabungkan, menyandarkan, merangkul, memeluk dan menjumlahkan.
Juga berarti bersikap lunak dan ramah.
39

Sedangkan al-jam 'u yang berasal dari akar kata jamaa - yajma'u -
jam'an _-= - _-=, - '-= ( ) berarti: mengumpulkan, menghimpun,
menyatukan, menggabungkan, menjumlahkan dan menyusun. Itulah sebabnya
mengapa bersetubuh atau bersenggama dalam istilah fiqih disebut dengan al-

37
Ibid., hlm. 1-2.
38
Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997, hlm. 1461.
39
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT.Raja
Grafindo Persada, 2004, hlm.42-43
22
jima' mengingat persetubuhan secara langsung mengisyaratkan semua
aktivitas yang terkandung dalam makna-makna harfiah dari kata al-jam'u.
40

Sebutan lain buat perkawinan (pernikahan) ialah az-zawaj/az-ziwaj dan
az-zijah. Terambil dari akar kata zaja-yazuju-zaujan - , - '= ( ) yang
secara harfiah berarti: menghasut, menaburkan benih perselisihan dan
mengadu domba. Namun yang dimaksud dengan az-zawaj/az-ziwaj di sini
ialah at-tazwij yang mulanya terambil dari kata zawwaja- yuzawwiju-
tazwijan ) - , - =,- ' ( dalam bentuk timbangan "fa'ala-yufa'ilu-
taf'ilan" ) . - . -, - `,-- ( yang secara harfiah berarti mengawinkan,
mencampuri, menemani, mempergauli, menyertai dan memperistri.
41

Syeikh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary dalam kitabnya
mengupas tentang pernikahan dan tentang wali. Pengarang kitab tersebut
menyatakan nikah adalah suatu akad yang berisi pembolehan melakukan
persetubuhan dengan menggunakan lafadz menikahkan atau mengawinkan.
Kata nikah itu sendiri secara hakiki bermakna persetubuhan.
42

Kitab Fath al-Qarib yang disusun oleh Syekh Muhammad bin Qasim
al-Ghazzi menerangkan pula tentang masalah hukum-hukum pernikahan di
antaranya dijelaskan kata nikah diucapkan menurut makna bahasanya yaitu
kumpul, wati, jimak dan akad. Dan diucapkan menurut pengertian syara yaitu
suatu akad yang mengandung beberapa rukun dan syarat.
43


40
Ibid, hlm. 43.
41
Ibid, hlm. 43-44.
42
Syaikh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary, Fath al- Muin Bi Sarkh Qurrah al-
Uyun, Semarang: Maktabah wa Matbaah, karya Toha Putera , tth, hlm. 72.
43
Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazzi, Fath al-Qarib, Indonesia: Maktabah al-
lhya at-Kutub al-Arabiah, tth, hlm. 48.
23
Menurut Zakiah Daradjat, perkawinan adalah suatu aqad atau perikatan untuk
menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam
rangka mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa
ketenteraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhai Allah SWT.
44

Menurut Zahry Hamid, yang dinamakan nikah menurut Syara' ialah: "Akad
(ijab qabul) antara wali colon isteri dan mempelai laki-laki dengan ucapan-
ucapan tertentu dan memenuhi rukun dan syaratnya.
45

Dari segi pengertian ini maka jika dikatakan: "Si A belum pernah nikah atau
belum pernah kawin", artinya bahwa si A belum pernah mengkabulkan untuk
dirinya terhadap ijab akad nikah yang memenuhi rukun dan syaratnya. Jika
dikatakan: "Anak itu lahir diluar kawin", artinya bahwa anak tersebut
dilahirkan oleh seorang wanita yang tidak berada dalam atau terikat oleh
ikatan perkawinan berdasarkan akad nikah yang sah menurut hukum.
Menurut Hukum Islam, pernikahan atau perkawinan ialah: "Suatu ikatan lahir
batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk hidup bersama
dalam suatu rumah tangga dan untuk berketurunan, yang dilaksanakan
menurut ketentuan-ketentuan Hukum Syari'at Islam".
46

Dalam pasal 1 Bab I Undang-undang No. : 1 tahun 1974 tanggal 2 Januari
1974 dinyatakan; "Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa".
47


44
Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh, jilid 2, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm.
38.
45
Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang
Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978, hlm. 1. beberapa definisi perkawinan
dapat dilihat pula dalam Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis dari
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara,
2002, hlm. 1-4.
46
Ibid.
47
Muhammad Amin Suma, op. cit, hlm. 203. Dalam pasal 2 Kompilasi Hukum Islam
(INPRES No 1 Tahun 1991), perkawinan miitsaaqan ghalizhan menurut hukum Islam adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Lihat Saekan dan Erniati Effendi, Sejarah Penyusunan
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Surabaya: Arkola, 1977, hlm. 76.
24
Di antara pengertian-pengertian tersebut tidak terdapat pertentangan satu sama
lain, bahkan jiwanya adalah sama dan seirama, karena pada hakikatnya
Syari'at Islam itu bersumber kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa. Hukum
Perkawinan merupakan bahagian dari Hukum Islam yang, memuat ketentuan-
ketentuan tentang hal ihwal perkawinan, yakni bagaimana proses dan prosedur
menuju terbentuknya ikatan perkawinan, bagaimana cara menyelenggarakan
akad perkawinan menurut hukum, bagaimana cara memelihara ikatan lahir
batin yang telah diikrarkan dalam akad perkawinan sebagai akibat yuridis dari
adanya akad itu, bagaimana cara mengatasi krisis rumah tangga yang
mengancam ikatan lahir batin antara suami isteri, bagaimana proses dan
prosedur berakhirnya ikatan perkawinan, serta akibat yuridis dari berakhirnya
perkawinan, baik yang menyangkut hubungan hukum antara bekas suami dan
isteri, anak-anak mereka dan harta mereka. Istilah yang lazim dikenal di
kalangan para ahli hukum Islam atau Fuqaha ialah Fiqih Munakahat atau
Hukum Pernikahan Islam atau Hukum Perkawinan Islam.
Masing-masing orang yang akan melaksanakan perkawinan, hendaklah
memperhatikan inti sari dari sabda Rasulullah SAW. yang menggariskan,
bahwa semua amal perbuatan itu disandarkan atas niat dari yang beramal itu,
dan bahwa setiap orang akan memperoleh hasil dari apa yang diniatkannya.
Oleh karenanya maka orang yang akan melangsungkan akad perkawinan
hendaklah mengetahui benar-benar maksud dan tujuan perkawinan. Maksud
dan tujuan itu adalah sebagai berikut:
a. Mentaati perintah Allah SWT. dan mengikuti jejak para Nabi dan Rasul,
terutama meneladani Sunnah Rasulullah Muhammad SAW., karena hidup
beristri, berumah tangga dan berkeluarga adalah termasuk 'Sunnah beliau. ,
b. Memelihara pandangan mata, menenteramkan jiwa, memelihara nafsu
seksualita, menenangkan fikiran, membina kasih sayang serta menjaga
kehormatan dan memelihara kepribadian.
25
c. Melaksanakan pembangunan materiil dan spirituil dalam kehidupan
keluarga dan rumah tangga sebagai sarana terwujudnya keluarga sejahtera
dalam rangka pembangunan masyarakat dan bangsa.
d. Memelihara dan membina kwalitas dan kwantitas keturunan untuk
mewujudkan kelestarian kehidupan keluarga di sepanjang masa dalam
rangka pembinaan mental spirituil dan phisik materiil yang diridlai Allah
Tuhan Yang Maha Esa.
Mempererat dan memperkokoh tali kekeluargaan antara keluarga suami dan
keluarga istri sebagai sarana terwujudnya kehidupan masyarakat yang aman
dan sejahtera lahir batin di bawah naungan Rahmat Allah Subhanahu wa
Ta'ala.
48

Adapun dasar hukum melaksanakan akad perkawinan sebagai berikut:
Pada dasarnya perkawinan merupakan suatu hal yang diperintahkan dan
dianjurkan oleh Syara'. Beberapa firman Allah yang bertalian dengan
disyari'atkannya perkawinan ialah:
1) Firman Allah ayat 3 Surah 4 (An-Nisa'):
` ` ` ` ` `
` ` ` ` .. . , 3 ,
49

Artinya:Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya),
maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga
atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil,
maka (kawinlah) seorang saja (Q.S.An-Nisa': 3).


48
Zahry Hamid, op. cit, hlm. 2.
49
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran dan
Terjemahnya, Jakarta: Depag RI, 1986, hlm. 115.
26
2) Firman Allah ayat 32 Surah 24 (An-Nur): .
` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` ` , 32 ,
50

Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu
yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas pemberian-Nya
lagi Maha Mengetahui (Q.S.An-Nuur': 32)..
.
3) Firman Allah ayat 21 Surah 30 (Ar-Rum):
` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` , 21 ,
51

Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dari dijadikan di antaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (Q.S.Ar-
Rum: 21)

Beberapa hadis yang bertalian dengan disyari'atkannya perkawinan ialah:

' ` `
` ` ` `
.' .


50
Ibid, hlm. 549.
51
Ibid, hlm. 644.
27
52

Artinya: Dari Ibnu Mas'ud ra. dia berkata: "Rasulullah saw. bersabda:
"Wahai golongan kaum muda, barangsiapa diantara kamu
telah mampu akan beban nikah, maka hendaklah dia
menikah, karena sesungguhnya menikah itu lebih dapat
memejamkan pandangan mata dan lebih dapat menjaga
kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu (menikah),
maka hendaklah dia (rajin) berpuasa, karena sesungguhnya
puasa itu menjadi penahan nafsu baginya". (HR. Al-
Jama'ah).

' `
` ` , ' ,
53

Artinya: Dari Saad bin Abu Waqqash, dia berkata: Rasulullah saw.
pernah melarang Utsman bin mazh'un membujang. Dan
kalau sekiranya Rasulullah saw. mengizinkan, niscaya kami
akan mengebiri". (HR. Al Bukhari dan Muslim).

` `
` , ,
, ` ` '
` , , ` `
` ` .' .
54

Artinya: Dari Anas: "Sesungguhnya beberapa orang dari sahabat Nabi
saw. sebagian dari mereka ada yang mengatakan: "Aku tidak
akan menikah". Sebagian dari mereka lagi mengatakan:
"Aku akan selalu bersembahyang dan tidak tidur". Dan

52
Muhammad Asy Syaukani, Nail alAutar, Beirut: Daar al-Qutub al-Arabia, juz 4,
1973, hlm. 171.
53
Ibid, hlm. 171
54
Ibid, hlm. 171
28
sebagian dari mereka juga ada yang mengatakan: "Aku akan
selalu berpuasa dan tidak akan berbuka". Ketika hal itu
didengar oleh Nabi saw. beliau bersabda: "Apa maunya
orang-orang itu, mereka bilang begini dan begitu?. Padahal
disamping berpuasa aku juga berbuka. Disamping
sembahyang aku juga tidur. Dan aku juga menikah dengan
wanita. Barangsiapa yang tidak suka akan sunnahku, maka
dia bukan termasuk dari (golongan) ku".(HR. Al Bukhari
dan Muslim)

` `
, ` ` ,.
` ,
55

Artinya: Dari Sa'id bin Jubair, dia berkata: "Ibnu Abbas pernah
bertanya kepadaku: "Apakah kamu telah menikah?". Aku
menjawab: "Belum". Ibnu Abbas berkata: "Menikahlah,
karena sesungguhnya sebaik-baiknya ummat ini adalah yang
paling banyak kaum wanitanya". (HR. Ahmad dan Al-
Bukhari).

' ` `
` ` ' , , ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` , , 38 , ., ` .,
56

Artinya: dari Qatadah dari Al Hasan dari Samurah: "Sesungguhnya
Nabi saw. melarang membujang. Selanjutnya Qatadah
membaca (ayat): "Dan sesungguhnya kami telah mengutus
beberapa orang Rasul sebelum kamu dan kami berikan

55
Ibid
56
Ibid. Lihat juga TM.Hasbi ash Shiddieqy, Koleksi Hadis-Hadis Hukum, Semarang:
PT.Pustaka Rizki Putra, jilid 8, 2001, hlm. 3-8. TM.Hasbi Ash Shiddieqy, Mutiara Hadis, jilid
5, Semarang; PT.Pustaka Rizki Putra, 2003, hlm. 3-8
29
kepada mereka beberapa istri dan anak cucu". (HR. Tirmidzi
dan Ibnu Majah).

Menurut At Tirmidzi, hadis Samurah tersebut adalah hadis Hasan yang
gharib (aneh). Al Asy'ats bin Abdul Mulk meriwayatkan hadis ini dari Hasan
dari Sa'ad bin Hisyam dari Aisyah dan ia dari Nabi saw. Dikatakan bahwa
kedua hadis tersebut adalah shaheh.
Hadis senada diketengahkan oleh Ad Darimi dalam Musnad Al Firdaus dari
Ibnu Umar, dia mengatakan: "Rasulullah saw. bersabda: "Berhajilah nanti
kamu akan kaya. Bepergianlah nanti kamu akan sehat. Dan menikahlah nanti
kamu akan banyak. Sesungguhnya aku akan dapat membanggakan kamu
dihadapan umat-umat lain". Dalam isnad hadis tersebut terdapat nama
Muhammad bin Al Hants dari Muhammad bin Abdurrahman Al Bailamni,
keduanya adalah perawi yang sama-sama lemah.
Hadis senada juga diketengahkan oleh Al Baihaqi dari Abu Umamah
dengan redaksi: "Menikahlah kamu, karena sesungguhnya aku akan
membanggakan kalian dihadapan ummat-ummat lain. Dan janganlah kalian
seperti para pendeta kaum Nasrani". Namun dalam sanadnya terdapat nama-
nama Muhammad bin Tsabit, seorang perawi yang lemah.
Hadis senada lagi diriwayatkan oleh Daraquthni dalam Al Mu'talaf
dari Harmalah bin Nu'man dengan redaksi: "Wanita yang produktif anak itu
lebih disukai oleh Allah ketimbang wanita cantik namun tidak beranak.
Sesungguhnya aku akan membanggakan kalian di hadapan ummat-ummat lain
30
pada hari kiamat kelak". Namun menurut Al Hafizh Ibnu Hajar, sanad hadis
ini lemah.
Para Fukaha berbeda pendapat tentang status hukum asal dari
perkawinan. Menurut pendapat yang terbanyak dari fuqaha madzhab Syafi'i,
hukum nikah adalah mubah (boleh), menurut madzhab Hanafi, Maliki, dan
Hambali hukum nikah adalah sunnat, sedangkan menurut madzhab Dhahiry
dan Ibn. Hazm hukum nikah adalah wajib dilakukan sekali seumur hidup.
57

Adapun Hukum melaksanakan pernikahan jika dihubungkan dengan kondisi
seseorang serta niat dan akibat-akibatnya, maka tidak terdapat perselisihan di
antara para ulama, bahwa hukumnya ada beberapa macam, yaitu:
58

Perkawinan hukumnya wajib bagi orang yang telah mempunyai keinginan
kuat untuk kawin dan telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan
memikul beban kewajiban dalam hidup perkawinan serta ada kekhawatiran,
apabila tidak kawin, ia akan mudah tergelincir untuk berbuat zina.
Alasan ketentuan tersebut adalah sebagai berikut. Menjaga diri dari
perbuatan zina adalah wajib. Apabila bagi seseorang tertentu penjagaan diri
itu hanya akan terjamin dengan jalan kawin, bagi orang itu, melakukan
perkawinan hukumnya adalah wajib. Qa'idah fiqhiyah mengatakan, "Sesuatu
yang mutlak diperlukan untuk menjalankan suatu kewajiban, hukumnya
adalah wajib"; atau dengan kata lain, "Apabila suatu kewajiban tidak akan
terpenuhi tanpa adanya suatu hal, hal itu wajib pula hukumnya." Penerapan

57
Zahry Hamid, op, cit., hlm. 3-4.
58
Ahmad Azhar Basyir, op. cit, hlm. 14-16
31
kaidah tersebut dalam masalah perkawinan adalah apabila seseorang hanya
dapat menjaga diri dari perbuatan zina dengan jalan perkawinan, baginya
perkawinan itu wajib hukumnya.
Perkawinan hukumnya sunah bagi orang yang telah berkeinginan kuat untuk
kawin dan telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul
kewajiban-kewajiban dalam perkawinan, tetapi apabila tidak kawin juga tidak
ada kekhawatiran akan berbuat zina.
Alasan hukum sunah ini diperoleh dari ayat-ayat Al-quran dan hadis-
hadis Nabi sebagaimana telah disebutkan dalam hal Islam menganjurkan
perkawinan di atas. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa beralasan ayat-
ayat Al-quran dan hadis-hadis Nabi itu, hukum dasar perkawinan adalah
sunah. Ulama mazhab Syafii berpendapat bahwa hukum asal perkawinan
adalah mubah. Ulama-ulama mazhab Dhahiri berpendapat bahwa perkawinan
wajib dilakukan bagi orang yang telah mampu tanpa dikaitkan adanya
kekhawatiran akan berbuat zina apabila tidak kawin.
59

Perkawinan hukumnya haram bagi orang yang belum berkeinginan
serta tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul
kewajiban-kewajiban hidup perkawinan sehingga apabila kawin juga akan
berakibat menyusahkan istrinya. Hadis Nabi mengajarkan agar orang jangan
sampai berbuat yang berakibat menyusahkan diri sendiri dan orang lain.
Al-Qurthubi dalam kitabnya Jami li Ahkam al-Quran (Tafsir al-
Qurthubi) berpendapat bahwa apabila calon suami menyadari tidak akan

59
Ibid, hlm. 14.
32
mampu memenuhi kewajiban nafkah dan membayar mahar (maskawin) untuk
istrinya, atau kewajiban lain yang menjadi hak istri, tidak halal mengawini
seseorang kecuali apabila ia menjelaskan peri keadaannya itu kepada calon
istri; atau ia bersabar sampai merasa akan dapat memenuhi hak-hak istrinya,
barulah ia boleh melakukan perkawinan. Lebih lanjut Al-Qurthubi dalam
kitabnya Jami li Ahkam al-Quran mengatakan juga bahwa orang yang
mengetahui pada dirinya terdapat penyakit yang dapat menghalangi
kemungkinan melakukan hubungan dengan calon istri hams memberi
keterangan kepada calon istri agar pihak istri tidak akan merasa tertipu. Apa
yang dikatakan Al-Qurthubi itu amat penting artinya bagi sukses atau
gagalnya hidup perkawinan. Dalam bentuk apa pun, penipuan itu harus
dihindari. Bukan saja cacat atau penyakit yang dialami calon suami, tetapi
juga nasab keturunan. kekayaan. kedudukan, dan pekerjaan jangan sampai
tidak dijelaskan agar tidak berakibat pihak istri merasa tertipu.
60

Hal yang disebutkan mengenai calon suami itu berlaku juga bagi calon
isteri. Calon istri yang tahu bahwa ia tidak akan dapat memenuhi
kewajibannya terhadap suami, karena adanya kelainan atau penyakit, harus
memberikan keterangan kepada calon suami agar jangan sampai terjadi pihak
suami merasa tertipu. Bila ia mencoba menutupi cacad yang ada pada dirinya,
maka suatu hari masalah ini akan berkembang dengan pertengkaran dan
penyesalan.

60
Al-Qurthubi, al-Jami li Ahkam al-Quran (Tafsir al-Qurthubi), Beirut: Dar al-
Marifah, Juz 1, t.th, hlm. 265
33
Bahkan kekurangan-kekurangan yang terdapat pada diri calon istri, yang
apabila diketahui oleh pihak colon suami, mungkin akan mempengaruhi
maksudnya untuk mengawini, misalnya giginya palsu sepenuhnya, rambutnya
habis yang tidak mungkin akan tumbuh lagi hingga terpaksa memakai rambut
palsu atau wig dan sebagainya, harus dijelaskan kepada colon suami untuk
menghindari jangan sampai akhirnya pihak suami merasa tertipu.
Perkawinan hukumnya makruh bagi seorang yang mampu dalam segi
materiil, cukup mempunyai daya tahan mental dan agama hingga tidak
khawatir akan terseret dalam perbuatan zina, tetapi mempunyai kekhawatiran
tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya terhadap istrinya, meskipun
tidak akan berakibat menyusahkan pihak istri; misalnya, calon istri tergolong
orang kaya atau calon suami belum mempunyai keinginan untuk kawin.
Imam Ghazali berpendapat bahwa apabila suatu perkawinan dikhawatirkan
akan berakibat mengurangi semangat beribadah kepada Allah dan semangat
bekerja dalam bidang ilmiah, hukumnya lebih makruh daripada yang telah
disebutkan di atas.
61

Perkawinan hukumnya mubah bagi orang yang mempunyai harta,
tetapi apabila tidak kawin tidak merasa khawatir akan berbuat zina dan
andaikata kawin pun tidak merasa khawatir akan menyia-nyiakan
kewajibannya terhadap istri. Perkawinan dilakukan sekedar untuk memenuhi

61
Ahmad Azhar Basyir, op. cit, hlm. 16
34
syahwat dan kesenangan bukan dengan tujuan membina keluarga dan menjaga
keselamatan hidup beragama.
62

B. Syarat dan Rukun Nikah
Menurut UU No 1/1974 Tentang Perkawinan Bab: 1 pasal 2 ayat 1
dinyatakan, bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
63

Bagi ummat Islam, perkawinan itu sah apabila dilakukan menurut Hukum
Perkawinan Islam, Suatu Akad Perkawinan dipandang sah apabila telah
memenuhi segala rukun dan syaratnya sehingga keadaan akad itu diakui oleh
Hukum Syara'.
Rukun Akad Perkawinan ada lima, yaitu:
1. Calon suami, syarat-syaratnya:
a. Beragama Islam.
b. Jelas ia laki-laki.
c. Tertentu orangnya.
d. Tidak sedang berihram haji/umrah.
e. Tidak mempunyai isteri empat, termasuk isteri yang masih dalam
menjalani iddah thalak raj'iy. ,

62
Ibid, hlm. 16.
63
Arso Sosroatmodjo dan A.Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta;
Bulan Bintang, 1975, hlm. 80
35
f. Tidak mempunyai isteri yang haram dimadu dengan mempelai
perempuan, termasuk isteri yang masih dalam menjalani iddah thalak
raj'iy.
g. Tidak dipaksa.
h. Bukan Mahram calon isteri.
2. Calon Isteri, syarat-syaratnya:
a. Beragama Islam, atau Ahli Kitab.
b. Jelas ia perempuan.
c. Tertentu orangnya.
d. Tidak sedang berihram haji/umrah.
e. Belum pernah disumpah li'an oleh calon suami.
f. Tidak bersuami, atau tidak sedang menjalani iddah .dari lelaki lain.
g. Telah memberi idzin atau menunjukkan kerelaan kepada wali untuk
menikahkannya.
h. Bukan Mahram calon suami.
3. Wali. Syarat-syaratnya:
a. Beragama Islam jika calon isteri beragama Islam.
b. Jelas ia laki-laki.
c. Sudah baligh (telah dewasa).
d. Berakal (tidak gila).
e. Tidak sedang berihram Haji/Umrah.
f. Tidak mahjur bissafah (dicabut hak kewajibannya).
g. Tidak dipaksa.
36
h. Tidak rusak fikirannya sebab terlalu tua atau sebab lainnya.
i. Tidak fasiq.
64

4. Dua orang saksi laki-laki. Syarat-syaratnya:
a. Beragama Islam.
b. Jelas ia laki-laki.
c. Sudah baligh (telah dewasa).
d. Berakal (tidak gila),:
e. Dapat menjaga harga diri (bermuruah)
f. Tidak fasiq.
g. Tidak pelupa.
h. Melihat (tidak buta atau tuna netra).
i. Mendengar (tidak tuli atau tuna rungu).
j. Dapat berbicara (tidak bisu atau tuna wicara).
k. Tidak ditentukan menjadi wali nikah.
l. Memahami arti kalimat dalam ijab qabul.
5. Ijab dan Qabul.
Ijab akad perkawinan ialah: "Serangkaian kata yang diucapkan oleh wali nikah
atau wakilnya dalam akad nikah, untuk menerimakan nikah calon suami atau
wakilnya".
Syarat-syarat ijab akad nikah ialah:

64
Zahry Hamid, op. cit, hlm. 24-28. Tentang syarat dan rukun perkawinan dapat
dilihat juga dalam Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada, 1977, hlm. 71.
37
a. Dengan kata-kata tertentu dan tegas, yaitu diambil dari "nikah" atau
"tazwij" atau terjemahannya, misalnya: "Saya nikahkan Fulanah, atau saya
kawinkan Fulanah, atau saya perjodohkan - Fulanah"
b. Diucapkan oleh wali atau wakilnya.
c. Tidak dibatasi dengan waktu tertentu, misalnya satu bulan, satu tahun dan
sebagainya.
d. Tidak dengan kata-kata sindiran, termasuk sindiran ialah tulisan yang tidak
diucapkan.
65

e. Tidak digantungkan dengan sesuatu hal, misalnya: "Kalau anakku.
Fatimah telah lulus sarjana muda maka saya menikahkan Fatimah dengan
engkau Ali dengan maskawin seribu rupiah".
f. Ijab harus didengar oleh pihak-pihak yang bersangkutan, baik yang
berakad maupun saksi-saksinya. Ijab tidak boleh dengan bisik-bisik
sehingga tidak terdengar oleh orang lain. Qabul akad perkawinan ialah:
"Serangkaian kata yang diucapkan oleh calon suami atau wakilnya dalam
akad nikah, untuk menerima nikah yang disampaikan oleh wali nikah atau
wakilnya.
Syarat-syarat Qabul akad nikah ialah:
a. Dengan kata-kata tertentu dan tegas, yaitu diambil dari kata "nikah" atau
"tazwij" atau terjemahannya, misalnya: "Saya terima nikahnya Fulanah".
b. Diucapkan oleh calon suami atau wakilnya.

65
Zahry Hamid, op. cit, hlm. 24-25. lihat pula Achmad Kuzari, Nikah Sebagai
Perikatan, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1995, hlm.34-40.
38
c. Tidak dibatasi dengan waktu tertentu, misalnya "Saya terima nikah si
Fulanah untuk masa satu bulan" dan sebagainya.
d. Tidak dengan kata-kata sindiran, termasuk sindiran ialah tulisan yang tidak
diucapkan.
e. Tidak digantungkan dengan sesuatu hal, misalnya "Kalau saya telah
diangkat menjadi pegawai negeri maka saya terima nikahnya si Fulanah".
f. Beruntun dengan ijab, artinya Qabul diucapkan segera setelah ijab
diucapkan, tidak boleh mendahuluinya, atau berjarak waktu, atau diselingi
perbuatan lain sehingga dipandang terpisah dari ijab.
g. Diucapkan dalam satu majelis dengan ijab.
h. Sesuai dengan ijab, artinya tidak bertentangan dengan ijab.
i. Qabul harus didengar oleh pihak-pihak yang bersangkutan, baik yang
berakad maupun saksi-saksinya. Qabul tidak boleh dengan bisik-bisik
sehingga tidak didengar oleh orang lain.
Contoh ijab qabul akad perkawinan
1). Wali mengijabkan dan mempelai laki-laki meng-qabulkan.
a. Ijab: Ya Ali, ankahtuka Fatimata binti bimahri alfi rubiyatin halan".
Dalam bahasa Indonesia: "Hai Ali, aku nikahkan (kawinkan) Fatimah
anak perempuanku dengan engkau dengan maskawin seribu rupiah
secara tunai".
b. Qabul: "Qabiltu nikahaha bil mahril madzkurihalan". Dalam bahasa
Indonesia: "Saya terima nikahnya Fatimah anak perempuan saudara
dengan saya dengan maskawin tersebut secara tunai".
2). Wali mewakilkan ijabnya dan mempelai laki-laki meng-qabulkan.
39
a. Ijab: "Ya Ali, ankahtuka Fathimata binta Muhammadin muwakili
bimahri alfi rubiyatinhalan". Dalam bahasa Indonesia: "Hai Ali, aku
nikahkan (kawinkan) Fatimah anak perempuan Muhammad yang telah
mewakilkan kepada saya dengan engkau dengan maskawin seribu
rupiah secara tunai".
b. Qabul: "Qabiltu nikahaha bimahri alfi rubiyatinhalan". Dalam bahasa
Indonesia: "Saya terima nikahnya Fatimah anak perempuan
Muhammad dengan saya dengan maskawin seribu rupiah secara
tunai".
3). Wali mengijabkan dan mempelai laki-laki mewakilkan kabulnya.
a. Ijab: "Ya Umar, Ankahtu Fathimata binti Aliyyin muwakkilaka
bimahri alfi rubiyatin halan". Dalam bahasa Indonesia: "Hai Umar,
Aku nikahkan (kawinkan) Fathimah anak perempuan saya dengan Ali
yang telah mewakilkan kepadamu dengan maskawin seribu rupiah
secara tunai".
b. Qabul: "Qabiltu nikahaha li Aliyyin muwakkili bimahri alfi rubiyatin
halan", Dalam bahasa Indonesia: "Saya terima nikahnya Fatimah
dengan Ali yang telah mewakilkan kepada saya dengan maskawin
seribu rupiah secara tunai"
4). Wali mewakilkan Ijabnya dan mempelai laki-laki mewakilkan Qabulnya.
a. Ijab: "Ya Umar, Ankahtu Fathimata binta Muhammadin muwakkilii,
Aliyyan muwakkilaka bimahri alfi Rubiyyatin halan". Dalam bahasa
Indonesia: "Hai Umar, Aku nikahkan (kawinkan) Fathimah anak
perempuan Muhammad yang telah mewakilkan kepada saya, dengan
40
Ali yang telah mewakilkan kepada engkau dengan maskawin seribu
rupiah secara tunai".
b. Qabul: "Qabiltu Nikahaha lahu bimahri alfi rubiyatin halan". Dalam
bahasa Indonesia: "Saya terima nikahnya (Fathimah anak perempuan
Muhammad) dengan Ali yang telah mewakilkan kepada saya dengan
maskawin seribu rupiah secara tunai".

C. Pendapat Para Ulama tentang Perkawinan Antar Agama
Berbicara perkawinan antar agama, ada yang menyebut sama dengan
perkawinan campuran, dan ada pula yang berpendapat bahwa perkawinan
antar agama tidak masuk dalam perkawinan campuran melainkan istilah
tersebut berdiri sendiri. Istilah perkawinan campuran yang sering dinyatakan
anggota masyarakat sehari-hari, ialah perkawinan campuran karena perbedaan
adat/suku bangsa yang bhineka, atau karena perbedaan agama antara kedua
insan yang akan melakukan perkawinan. Perbedaan adat misalnya perkawinan
antara pria/wanita Jawa dengan pria/wanita Batak, pria/wanita Minangkabau
dengan pria/wanita Sunda, pria/wanita Sunda dengan pria/wanita Bali, dan
sebagainya. Sedangkan perkawinan campuran antara agama, misalnya antara
pria/wanita beragama Kristen dengan pria/wanita beragama Islam, pria/wanita
beragama Hindu/Buddha dengan pria/wanita Islam dan seterusnya.
66

Dalam pasal 57 Undang-Undang Nomor 1/1974 Tentang Perkawinan,
yang dimaksud perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah

66
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan,
Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju, Bandung, 1990, hlm. 13-14
41
perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia. Dengan demikian berdasarkan undang-
undang ini, maka perkawinan antar agama tidak termasuk perkawinan
campuran melainkan memiliki pengertian yang berdiri sendiri.
Adapun perkawinan antar agama dirumuskan oleh abdurrahman yang
dikutip Eoh yaitu suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang yang
memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda satu dengan yang lainnya.
67

Dari rumusan pengertian perkawinan antar agama tersebut, dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksud perkawinan antar agama adalah perkawinan antara dua
orang yang berbeda agama dan masing-masing tetap mempertahankan agama
yang dianutnya. Namun demikian, oleh karena UU Nomor 1/1974 Tentang
Perkawinan tidak mengatur tentang perkawinan antar agama, maka kenyataan
yang sering terjadi dalam masyarakat apabila ada dua orang yang berbeda
agama akan mengadakan perkawinan sering mengalami hambatan. Hal ini
disebabkan antara lain karena para pejabat pelaksana perkawinan dan
pemimpin agama/ulama menganggap bahwa perkawinan yang demikian
dilarang oleh agama dan karenanya bertentangan dengan UU Perkawinan.
Perkawinan antar agama ini menyangkut perkawinan antara orang
Islam (pria/wanita) dengan orang bukan Islam (pria/wanita). Mengenai
masalah ini, Islam membedakan hukumnya sebagai berikut:
1. Perkawinan antar seorang pria Muslim dengan wanita musyrik;

67
O.S.Eoh, Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1998, hlm. 35
42
2. Perkawinan antar seorang pria Muslim dengan wanita Ahlul Kitab;
3. Perkawinan antara seorang wanita Muslimah dengan pria non-Muslim.
Pertama, perkawinan antara seorang pria Muslim dengan wanita
musyrik. Islam melarang perkawinan antara seorang pria Muslim dengan
wanita musyrik, berdasarkan firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 221:
` ` ` ` ' ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ' ,... 221 ,
Artinya: Janganlah kamu mengawini wanita-wanita musyrik,
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak
yang beriman lebih baik daripada wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu (Q.S. al-Baqarah: 221)

Hanya di kalangan ulama timbul beberapa pendapat tentang siapa
musyrikah (wanita musyrik) yang haram dikawini itu? Menurut Ibnu Jarir
al-Thabari seorang ahli tafsir dalam kitabnya, al-Jamial-Bayan fi Tafsir
al-Qur'an yang dikutip Rasyid Ridha, bahwa musyrikah yang dilarang
untuk dikawini itu ialah musyrikah dari bangsa Arab saja, karena bangsa
Arab pada waktu turunnya Al-Qur'an memang tidak mengenal kitab suci
dan mereka menyembah berhala. Maka menurut pendapat ini, seorang
Muslim boleh kawin dengan wanita musyrik dari bangsa non-Arab, seperti
wanita Cina, India dan Jepang, yang diduga dahulu mempunyai kitab suci
atau serupa kitab suci, seperti pemeluk agama Budha, Hindu, Konghucu,
yang percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, percaya adanya hidup sesudah
mati, dan sebagainya. Muhammad Abduh juga sependapat dengan ini.
68


68
Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Cairo: Dar al-Manar, 1367 H, hlm. 187 193.
43
Tetapi kebanyakan ulama berpendapat, bahwa semua musyrikah
baik dari bangsa Arab ataupun bangsa non-Arab, selain Ahlul Kitab, yakni
Yahudi (Yudaisme) dan Kristen tidak boleh dikawini, dan jika
mengawinya maka berarti menentang syara. Menurut pendapat ini bahwa
wanita yang bukan Islam, dan bukan pula Yahudi/Kristen tidak boleh
dikawini oleh pria Muslim, apa pun agama ataupun kepercayaannya,
seperti Budha, Hindu, Konghucu, Majusi/Zoroaster, karena pemeluk
agama selain Islam, Kristen, dan Yahudi itu termasuk kategori
"musyrikah".
Dengan demikian para ulama sepakat bahwa laki-laki muslim tidak
halal kawin dengan perempuan penyembah berhala, perempuan zindiq,
perempuan keluar dari Islam, penyembah sapi, perempuan beragama
politeisme (menunggaling kawula lan Gusti). Alasannya, firman Allah
sebagaimana disebut di atas.
69

Kedua, perkawinan antara seorang pria Muslim dengan wanita
Ahlul Kitab. Kebanyakan ulama berpendapat, bahwa seorang pria Muslim
boleh kawin dengan wanita Ahlul Kitab (Yahudi atau Kristen),
berdasarkan firman Allah dalam Surat Al-Maidah ayat 5.
` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` ` ` ` `

69
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, juz 2, tth, hlm. 178
44
` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` , 5 ,

Artinya: Pada hari ini dihalalkan bagi kamu yang baik-baik.
Makanan [sembelihan] orang-orang yang diberi al-Kitab
itu halal bagi kamu, dan mahanan kamu halal [pula] bagi
mereka. [Dan dihalalkan bagi kamu menikahi] wanita-
wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-
wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab
sebelum kamu, bila kamu telah membayar mahar mereka
dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud
berzina dan tidak [pula] menjadikannya gundik-gundik.
Barangsiapa yang kafir sesudah beriman maka hapuslah
amalannya dan di hari akhirat dia termasuk orang-orang
yang merugi. (Q.S. al-Maidah: 5)

Selain berdasarkan Al-Qur'an Surat Al-Maidah ayat 5, juga
berdasarkan sunah Nabi, di mana Nabi pernah kawin dengan wanita Ahlul
Kitab, yakni Mariah al-Qibtiyah (Kristen). Demikian pula seorang Sahabat
Nabi yang termasuk senior bernama Hudzaifah bin Al-Yaman pernah
kawin dengan seorang wanita Yahudi, sedang para Sahabat tidak ada yang
menentangnya. Namun demikian, ada sebagian ulama yang melarang
perkawinan antara seorang pria Muslim dengan wanita Kristen atau
Yahudi, karena pada hakikatnya doktrin dan praktek ibadah Kristen dan
Yahudi itu mengandung unsur syirik yang cukup jelas, misalnya ajaran
trinitas dan mengkultuskan Nabi Isa dan ibunya Maryam (Maria) bagi
umat Kristen, dan kepercayaan Uzair putra Allah dan mengkultuskan
Haikal Nabi Sulaiman bagi umat Yahudi.
70


70
Rasyid Ridha sependapat dengan Jumhur yang membedakan musyrikin musyrikah
di satu pihak dengan Ahlul Kitab (Kristen dan Yahudi) di pihak lain, sesuai dengan
45
Menurut Yusuf Qardhawi, hukum asal mengawini wanita ahli kitab
menurut jumhur ulama adalah mubah. Namun demikian di antara sahabat
yang tidak berpendapat demikian adalah Umar bin al-Khattab.
71
Umar bin
al-Khattab (42 SH/581 M-23 H/644 M) melarang perkawinan antara laki-
laki muslim dan perempuan ahlul kitab. Sebab, menurutnya, Allah SWT
telah mengharamkan laki-laki muslim menikahi perempuan musyrik dan ia
tidak pernah tahu adakah syirik yang lebih besar dari seseorang yang
beriktikad bahwa Nabi Isa AS atau hamba Allah SWT yang lainnya adalah
Tuhannya. Dalam konteks ini, menurut Qardawi, perkawinan antara laki-
laki muslim dengan wanita non muslim boleh saja sepanjang wanita itu
berama tauhid. Menurut Qardawi, saat ini sulit untuk mengukur agama
mana yang selain Islam yang memiliki keyakinan tauhid. Dengan
demikian tampaknya Qardawi menganggap perkawinan yang demikian
tidak semudah itu.
72

Menurut Syekh Hasan Khalid, jumhur ulama fikih membolehkan perkawinan
laki-laki muslim dengan perempuan ahlul kitab.
73
Argumen mereka yang
menyatakan boleh adalah pertama, penjelasan yang terdapat dalam Al-Qur'an
dalam surah al-Ma'idah ayat 5, dan dari ayat ini maka menurut Ahmad Asy-

pengelompokan yang dibuat oleh Al-Qur'an, sekalipun pada hakikatnya Ahlul Kitab, Kristen
dan Yahudi itu sudah melakukan "syirik" menurut pandangan tauhid Islam. Karena itu,
perkawinan antara seorang pria Muslim dengan wanita Kristen/Yahudi diperbolehkan agama,
berdasarkan Surat Al-Maidah ayat 5, sunah dan ijma'. Lihat Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar,
Cairo: Dar al-Manar, 1367 H, hlm. 186. Mengenai perkawinan Sahabat Nabi Hudzaifah bin
Al-Yaman dengan seorang wanita Yahudi, Ibid., hlm. 180.
71
Yusuf Qardhawi, Hadyul Islam Fatawi Muashirah, Terj. Asad Yasin, Fatwa-
Fatwa Kontemporer, jilid 1, Jakarta: Gema Insani, 2001, hlm. 585
72
bid
73
Syekh Hasan Khalid, al-Zawaj Bighair al-Muslimin, Terj. Zaenal Abidin
Syamsudin, Menikah Dengan Non Muslim, Jakarta: Pustaka al-Sofwa, 2004, hlm. 145
46
Syarbashi dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang laki-laki Muslim boleh
menikahi Ahlul kitab, selama wanita Ahlul kitab tersebut layak untuk
dinikahi. Hikmah yang terkandung di dalam hukum bolehnya seorang laki-laki
Muslim menikahi wanita Ahlul kitab ialah tersedianya kesempatan supaya
terciptanya hubungan dan kerjasama di antara mereka; dan di samping itu agar
dengan keinginannya, wanita Ahlul kitab itu dapat mempelajari ajaran-ajaran
mulia yang terdapat dalam ajaran Islam.
74
Kedua, pendapat Sayid Sabiq, ahli
fikih di Mesir, yang menjelaskan bahwa laki-laki muslim halal kawin dengan
perempuan ahli kitab yang merdeka.
75
Sekalipun boleh mengawini wanita
ahlul kitab, namun kemudian Sayyid Sabiq menganggap hukumnya makruh.
76

Ketiga, perkawinan antara seorang wanita Muslimah dengan pria
non-Muslim. Menurut Muhammad Jawad Mughniyah, ulama telah
sepakat, bahwa Islam melarang perkawinan antara seorang wanita
Muslimah dengan pria non-Muslim, baik calon suaminya itu termasuk
pemeluk agama yang mempunyai kitab suci, seperti Kristen dan Yahudi
(revealed religion), ataupun pemeluk agama yang mempunyai kitab serupa
kitab suci, seperti Budhisme, Hinduisme, maupun pemeluk agama atau
kepercayaan yang tidak punya kitab suci dan juga kitab yang serupa kitab
suci. Termasuk pula di sini penganut Animisme, Ateisme, Politeisme dan
sebagainya.
77


74
Ahmad Asy-Syarbashi, Yas'alunaka fi ad-Din wa al-Hayah, Terj. Ahmad Subandi,
"Tanya Jawab Lengkap tentang Agama dan Kehidupan", Jakarta: Lentera, 1997, hlm. 244
75
Sayyid Sabiq, op. cit, hlm. 179
76
Ibid
77
Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqh 'ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj.
Masykur AB, et al, "Fiqih Lima Mazhab", Jakarta: PT Lentera Basritama, 2000, hlm. 336.
47
Adapun dalil yang menjadi dasar hukum untuk larangan kawin
antara wanita Muslimah dengan pria non-Muslim, ialah:
a. Firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 221:
... ` ` ` ` ` ' ` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ' ,... 221 ,
Artinya: Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mu'min lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia
menarik hatimu.
78


b. Ijma' para ulama tentang larangan perkawinan antara wanita
Muslimah dengan pria non-Muslim.
Adapun hikmah dilarangnya perkawinan antara orang Islam
(pria/wanita) dengan orang yang bukan Islam (pria/wanita, selain Ahlul
Kitab), ialah bahwa antara orang Islam dengan orang kafir selain Kristen
dan Yahudi itu terdapat way of life dan filsafat hidup yang sangat berbeda.
Sebab orang Islam percaya sepenuhnya kepada Allah sebagai pencipta
alam semesta, percaya kepada para nabi, kitab suci, malaikat, dan percaya
pula pada hari kiamat; sedangkan orang musyrik/kafir pada umumnya
tidak percaya pada semuanya itu. Kepercayaan mereka penuh dengan
khurafat dan irasional. Bahkan mereka selalu mengajak orang-orang yang
telah beragama/beriman untuk meninggalkan agamanya dan kemudian
diajak mengikuti "kepercayaan/ideologi" mereka.

78
Depag RI, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran
dan Terjemahnya, 1986, hlm. 53.
48
Mengenai hikmah dibolehkannya perkawinan antara seorang pria
Muslim dengan wanita Kristen atau Yahudi, ialah karena pada hakikatnya
agama Kristen dan Yahudi itu satu rumpun dengan agama Islam, sebab
sama-sama agama wahyu (revealed religion). Maka kalau seorang wanita
Kristen/Yahudi kawin dengan pria Muslim yang baik, yang taat pada
ajaran-ajaran agamanya, dapat diharapkan atas kesadaran dan kemauannya
sendiri masuk Islam, karena ia dapat menyaksikan dan merasakan
kebaikan dan kesempurnaan ajaran agama Islam, setelah ia hidup di
tengah-tengah keluarga Islam. Sebab agama Islam mempunyai
panutan/pedoman hidup yang lengkap, mudah/praktis, flexible,
demokratis, menghargai kedudukan wanita Islam dalam keluarga,
masyarakat, dan negara, toleran terhadap agama/kepercayaan lain yang
hidup di masyarakat, dan menghargai pula hak-hak asasi manusia terutama
kebebasan beragama, serta ajaran-ajarannya yang rasionable.
Fakta-fakta menunjukkan bahwa wanita-wanita Barat dan Timur
yang kawin dengan pria Muslim yang baik dan taat pada ajaran agamanya,
dapat terbuka hatinya dan dengan kesadaran sendiri si istri masuk agama
Islam.
Namun, kalau seorang pemuda Muslim itu kualitas iman dan
islamnya masih belum baik, misalnya islamnya masih Islam K.TP atau
Islam Abangan, maka seharusnya ia tidak berani kawin dengan pemudi
Kristen/Yahudi yang militan, karena ia dapat terseret kepada agama
istrinya. Dan hal ini sesuai dengan taktik dan strategi Ahlul Kitab untuk
49
memurtadkan umat Islam dan kemudian menariknya ke agama mereka
dengan berbagai cara.
79

Adapun hikmah dilarangnya perkawinan antara seorang wanita
Islam dengan pria Kristen atau Yahudi, karena dikhawatirkan wanita Islam
itu kehilangan kebebasan beragama dan menjalankan ajaran agamanya,
kemudian terseret kepada agama suaminya. Demikian pula anak-anak
yang lahir dari hasil perkawinannya dikhawatirkan pula mereka akan
mengikuti agama bapaknya, karena bapak sebagai kepala keluarga
terhadap anak-anak melebihi ibunya. Dalam hal ini, fakta-fakta sejarah
menunjukkan bahwa tiada sesuatu agama dan sesuatu ideologi di muka
bumi ini yang memberikan kebebasan beragama dan bersikap toleran
terhadap agama/kepercayaan lain, seperti agama Islam. Sebagaimana
firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 120:
` ` ` ` ` ` ` ` ,... 120 ,
Artinya: Orang Yahudi dan Kristen tidak akan senang kepada
kamu, hingga kamu mengikuti agama mereka.

Dan berfirman Allah dalam Surat Al-Nisa ayat 141:
... ` ` ` ` ,... 141 ,
Artinya: Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada
orang-orang kafir untuk melenyapkan orang-orang yang
beriman.


79
Muhammad Rasyid Ridha, op. cit, hlm. 193.

50
Firman tersebut mengingatkan kepada umat Islam, hendaknya selalu berhati-
hati dan waspada terhadap tipu muslihat orang-orang kafir termasuk Yahudi
dan Kristen, yang selalu berusaha melenyapkan Islam dan umat Islam dengan
berbagai cara. Dan hendaknya umat Islam tidak memberi jalan/kesempatan
kepada mereka untuk mencapai maksudnya. Misalnya dengan jalan
perkawinan seorang wanita Islam dengan pria non-Muslim.




























51
BAB III
PENDAPAT AL-SYAFI'I TENTANG
PERKAWINAN ANTAR AGAMA

A. Biografi Al-Syafi'i, Pendidikan dan Karya-Karyanya

1. Latar Belakang Keluarga
Kebanyakan ahli sejarah berpendapat bahwa Al-Syafii lahir di
Kota Gaza, Palestina,
80
Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Idris ibn
al-Abbas ibn Utsman ibn Syafii ibn al-Saib ibn Ubaid ibn Abd Yazid ibn
Hasyim ibn Abd al-Muthalib ibn Abd Manaf.
81

Lahir di Gaza pada tahun 150 H, kemudian dibawa oleh ibunya ke
Makkah. Beliau lahir pada zaman Dinasti Bani Abbas, tepatnya pada
zaman kekuasaan Abu Jafar al Manshur (137-159 H./754-774 M.), dan ia
meninggal di Mesir pada tahun 204 H
82

Al-Syafii berasal dari keturunan bangsawan yang paling tinggi di
masanya. Walaupun hidup dalam keadaan sangat sederhana, namun
kedudukannya sebagai putra bangsawan, menyebabkan ia terpelihara dari
perangai-perangai buruk, tidak mau merendahkan diri dan berjiwa besar.

80
Muhammad Abu Zahrah, Hayatuhu wa Asruhu wa Fikruhu ara-Uhu wa Fiqhuhu,
Terj. Abdul Syukur dan Ahmad Rivai Uthman, Al-Syafii Biografi dan Pemikirannya Dalam
Masalah Akidah, Politik dan Fiqih, Jakarta: PT Lentera Basritama, 2005, hlm. 27
81
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: PT.Remaja
Rosdakarya, 2000, hlm.101. Lihat juga Abdul Munim Saleh, Madzhab Syafii Kajian Konsep
Al-Maslahah, Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001, hlm. 7. Lihat juga Ali Fikri, Kisah-Kisah Para
Imam Madzhab, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003, hlm. 76.
82
Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid,
Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 27.
52
Ia bergaul rapat dalam masyarakat dan merasakan penderitaan-penderitaan
mereka.
Al-Syafii dengan usaha ibunya telah dapat menghafal al-Qur'an
dalam umur yang masih sangat muda. Kemudian ia memusatkan perhatian
menghafal hadis. Ia menerima hadis dengan jalan membaca dari atas
tembikar dan kadang-kadang di kulit-kulit binatang. Seringkali pergi ke
tempat buangan kertas untuk memilih mana-mana yang masih dapat
dipakai.
83

Di samping itu ia mendalami bahasa Arab untuk menjauhkan diri
dari pengaruh Ajamiyah yang sedang melanda bahasa Arab pada masa itu.
Ia pergi ke Kabilah Hudzail yang tinggal di pedusunan untuk mempelajari
bahasa Arab yang fasih. Sepuluh tahun lamanya Al-Syafii tinggal di
Badiyah itu, mempelajari syair, sastra dan sejarah. Ia terkenal ahli dalam
bidang syair yang digubah golongan Hudzail itu, amat indah susunan
bahasanya. Di sana pula ia belajar memanah dan mahir dalam bermain
panah. Dalam masa itu Al-Syafii menghafal al-Qur'an, menghafal hadis,
mempelajari sastra Arab dan memahirkan diri dalam mengendarai kuda
dan meneliti keadaan penduduk-penduduk Badiyah dan penduduk-
penduduk kota.
Al-Syafii belajar pada ulama-ulama Makah, baik pada ulama-ulam
fiqih, maupun ulama-ulama hadis, sehingga ia terkenal dalam bidang fiqh
dan memperoleh kedudukan yang tinggi dalam bidang itu. Gurunya

83
Mahmud Syalthut, Fiqih Tujuh Madzhab, terj. Abdullah Zakiy al-Kaaf, Bandung:
CV Pustaka Setia, 2000, hlm. 17.
53
Muslim Ibn Khalid Az-Zamzi, menganjurkan supaya Al-Syafii bertindak
sebagai mufti. Sungguhpun ia telah memperoleh kedudukan yang tinggi
itu namun ia terus juga mencari ilmu.
Sampai kabar kepadanya bahwa di Madinah ada seorang ulama
besar yaitu Malik, yang memang pada masa itu terkenal di mana-mana
dan mempunyai kedudukan tinggi dalam bidang ilmu dan hadis. Al-Syafii
ingin pergi belajar kepadanya, akan tetapi sebelum pergi ke Madinah ia
lebih dahulu menghafal al-Muwatha, susunan Malik yang telah
berkembang pada masa itu. Kemudian ia berangkat ke Madinah untuk
belajar kepada Malik dengan membawa sebuah surat dari gubernur
Makah. Mulai ketika itu ia memusatkan perhatian mendalami fiqh di
samping mempelajari al-Muwatha. Al-Syafii mengadakan mudarasah
dengan Malik dalam masalah-masalah yang difatwakan Malik. Di waktu
Malik meninggal tahun 179 H, Al-Syafii telah mencapai usia dewasa dan
matang.
84

2. Pendidikan dan Karir
Al-Syafii menerima fiqh dan hadis dari banyak guru yang masing-
masingnya mempunyai manhaj sendiri dan tinggal di tempat-tempat
berjauhan bersama lainnya. Ada di antara gurunya yang mutazili yang
memperkatakan ilmu kalam yang tidak disukainya. Dia mengambil mana
yang perlu diambil dan dia tinggalkan mana yang perlu ditinggalkan. Al-

84
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, Semarang: PT
Putaka Rizki Putra, 1997, hlm. 480 481.
54
Syafii menerima ilmunya dari ulama-ulama Makah, ulama-ulama
Madinah, ulama-ulama Iraq dan ulama-ulama Yaman.
Ulama Makah yang menjadi gurunya ialah: Sufyan Ibn Uyainah,
Mualim Ibn Khalid az-Zamzi, Said Ibn Salim al-Kaddlah, Daud Ibn abd-
Rahman al-Atthar, dan Abdul Hamid Ibn Abdul Azizi Ibn Abi Zuwad.
Ulama-ulama Madinah yang menjadi gurunya, ialah: Malik Ibn
Annas, Ibrahim Ibn Saad al-Anshari Abdul Aziz Ibn Muhammad ad-
Dahrawardi, Ibrahim Ibn Abi Yahya al-Asami, Muhammad Ibn Said Ibn
Abi Fudaik, Abdullah Ibn Nafi teman Ibn Abi Zuwaib.
Ulama-ulama Yaman yang menjadi gurunya ialah: Mutharraf Ibn
Mazim, Hisyam Ibn Yusuf, Umar Ibn abi Salamah, teman Auzain dan
Yahya Ibn Hasan teman Al-Laits.
Ulama-ulama Iraq yang menjadi gurunya ialah: Waki Ibn Jarrah,
Abu Usamah, Hammad Ibn Usamah, dua ulama Kuffah Ismail Ibn
Ulaiyah dan Abdul Wahab Ibn Abdul Majid, dua ulama Basrah. Juga
menerima ilmu dari Muhammad Ibn al-Hasan yaitu dengan mempelajari
kitab-kitabnya yang didengar langsung dari padanya. Dari padanyalah
dipelajari fiqh Iraqi.85
Setelah sekian lama mengembara menuntut ilmu, pada tahun 186 H
Al-Syafii kembali ke Makah, dalam masjidil Haram ia mulai mengajar
dan mengembangkan ilmunya dan mulai berijtihad secara mandiri dalam
membentuk fatwa-fatwa fiqihnya. Tugas mengajar dalam rangka

85
Ibid, hlm, 486-487
55
menyampaikan hasil-hasil ijtihadnya ia tekuni dengan berpindah-pindah
tempat. Selain di Makah, ia juga pernah mengajar di Baghdad (195-197
H), dan akhirnya di Mesir 198-204 H). Dengan demikian ia sempat
membentuk kader-kader yang akan menyebarluaskan ide-idenya dan
bergerak dalam bidang hukum Islam. Di antara murid-muridnya yang
terkenal ialah Imam Ahmad Bin Hanbal (pendiri madzhab Hanbali), Yusuf
Bin Yahya al-Buwaiti (w. 231 H), Abi Ibrahim Ismail Bin Yahya al-
Muzani (w. 264 H), dan Imam Ar-Rabi Bin Suliaman al-Marawi (174-270
H). tiga muridnya yang disebut terakhir ini, mempunyai peranan penting
dalam menghimpun dan menyebarluaskan faham fiqih Al-Syafii.86
Al-Syafii wafat di Mesir, tepatnya pada hari Jumat tanggal 30
Rajab 204 H, setelah menyebarkan ilmu dan manfaat kepada banyak
orang. Kitab-kitab beliau hingga saat ini masih banyak dibaca orang, dan
makam beliau di Mesir sampai detik ini masih diziarahi orang.87
3. Karya-karya Al-Syafii
Karya-karya Al-Syafii yang berhubungan dengan judul di atas di
antaranya: (1) Al-Umm. Kitab ini disusun langsung oleh Al-Syafii secara
sistematis sesuai dengan bab-bab fikih dan menjadi rujukan utama dalam
Mazhab Syafi'i. Kitab ini memuat pendapat Al-Syafii dalam berbagai
masalah fikih. Dalam kitab ini juga dimuat pendapat Al-Syafii yang
dikenal dengan sebutan al-qaul al-qadim (pendapat lama) dan al-qaul al-

86
Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1997, hlm.1680.
87
Ibid, hlm. 18.
56
jadid (pendapat baru). Kitab ini dicetak berulang kali dalam delapan jilid
bersamaan dengan kitab usul fikih Al-Syafii yang berjudul Ar-Risalah.
Pada tahun 1321 H kitab ini dicetak oleh Dar asy-Sya'b Mesir, kemudian
dicetak ulang pada tahun 1388H/1968M.
(2) Kitab al-Risalah. Ini merupakan kitab ushul fiqh yang pertama
kali dikarang dan karenanya Al-Syafii dikenal sebagai peletak ilmu ushul
fiqh.
88
(3) Kitab Imla al-Shagir; Amali al-Kubra; Mukhtasar al-Buwaithi;
89

Mukhtasar al-Rabi; Mukhtasar al-Muzani; kitab Jizyah dan lain-lain kitab
tafsir dan sastra.
90
Siradjuddin Abbas dalam bukunya telah mengumpulkan
sembilan puluh tujuh buah kitab dalam fiqih Syafii. Namun dalam
bukunya itu tidak diulas karya-karya Syafii tersebut.
91
Ahmad Nahrawi
Abd al-Salam menginformasikan bahwa kitab-kitab Imam al-Syafi'i
adalah Musnad li al-syafi'i; al-Hujjah; al-Mabsuth, al-Risalah, dan al-
Umm.
92


B. Pendapat Al-Syafi'i tentang Perkawinan Antar Agama

Al-Syafii dalam kitabnya al-Umm Juz V mengatakan, dihalalkan
menikahi wanita-wanita merdeka ahli kitab bagi setiap orang Islam. Karena
sesungguhnya Allah Ta'ala menghalalkan wanita-wanita tersebut, dengan

88
Djazuli, Ilmu Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 131-132
89
Ahmad Asy Syarbasy, Al-Aimmah al-Arba'ah, Terj. Futuhal Arifin, "Biografi
Empat Imam Mazhab", Jakarta: Pustaka Qalami, 2003, hlm. 144.
90
Ali Fikri, Ahsan al-Qashash, Terj. Abd.Aziz MR: "Kisah-Kisah Para Imam
Madzhab", Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003, hlm. 109-110
91
Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafii, Jakarta: Pustaka
Tarbiyah, 2004, hlm. 182-186.
92
Munawar Khalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Jakarta: Bulan Bintang,
1977 217 - 219
57
tanpa kecuali. Menurut Syafi'i bahwa ia lebih menyukai, jikalau wanita-wanita
itu tidak dikawini oleh orang Islam. Dikabarkan kepada kami oleh Abdul-
majid dari Ibnu Juraij, dari Abiz-Zubair, bahwa sesungguhnya ia mendengar
Jabir bin Abdullah ditanyakan tentang pernikahan orang Islam dengan wanita
Yahudi dan wanita Nasrani. Maka beliau menjawab: "Kami menikahi wanita-
wanita itu pada zaman pembukaan (penaklukan) kota Kofah bersama Sa'ad
bin Abi Waqqash. Dan kami hampir tiada mendapati wanita-wanita Islam
yang banyak. Maka tatkala kami kembali, kami ceraikan (talaq) mereka".
Jabir bin Abdullah berkata ; "Wanita-wanita kitabi itu tiada mewarisi dari
orang Islam. Dan orang-orang Islam itu tiada mewarisi dari mereka. Wanita
mereka itu bagi kita halal dan wanita kita haram kepada mereka".
93

Menurut Syafi'i, ahli kitab (yang berpegang dan beriman kepada kitab)
yang halal mengawini wanita-wanita mereka yang merdeka, ialah: ahli dua
kitab yang termasyhur : Taurat dan Injil. Mereka itu, ialah: orang Yahudi dan
orang Nasrani, tidak majusi. Orang Sabi-in dan Samiri itu dari Yahudi dan
Nasrani, yang halal mengawini wanita mereka dan memakan sembelihan
mereka. Kecuali, bahwa yang diketahui, mereka itu berselisih dengan ahli
kitab tersebut pada pokok yang mereka menghalalkan dari kitab dan yang
mereka mengharamkan. Maka haramlah mengawini wanita mereka,
sebagaimana haram mengawini wanita majusi. Dan mereka itu menta'wilkan,
lalu mereka itu berselisih. Maka tidak diharamkan oleh yang demikian akan
wanita mereka. Dan mereka itu daripadanya, yang halal mengawini wanita

93
Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafii, Al-Umm, Beirut Libanon:
Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth, juz 5, hlm. 7
58
mereka, dengan yang halal mengawini wanita lain, dari orang yang tidak
lazim disebut nama Sabi,in dan Samiri. Tidak halal mengawini wanita-wanita
merdeka dari orang Arab, orang yang beragama dengan agama Yahudi dan
agama Nasrani. Karena asal agama mereka adalah agama yang benar.
Kemudian, mereka itu sesat dengan menyembah berhala. Sesungguhnya
mereka itu berpindah kepada agama ahli kitab sesudahnya itu. Tidak bahwa
mereka itu adalah orang-orang yang beragama dengan Taurat dan Injil, lalu
mereka itu sesat daripadanya. Dan mereka mengada-adakan padanya.
94

Menurut Al-Syafi'i, saya tidak mengiranya dan yang lain, selain telah
disampaikan itu oleh Ali bin Abi Thalib ra., dengan isnad ini. Dikabarkan
kepada kami oleh Abdul Majid dari Ibnu Juraij, yang mengatakan: "kata Atha'
bahwa tidaklah Nasrani Arab itu ahli kitab. Sesungguhnya ahli kitab itu ialah
keturunan Bani Israil (dari agama Yahudi dan Nasrani) yang berpegang pada
Taurat pada masa Nabi Musa dan orang-orang yang berpegang teguh pada
Injil pada masa Nabi Isa. Adapun orang yang masuk pada mereka itu dari
orang banyak maka tidaklah mereka ini dari mereka itu".
95

Dikawini wanita Islam atas wanita kitabi dan wanita kitabi atas wanita
Islam. Dikawini empat wanita kitabi, sebagaimana dikawini empat wanita
Islam. Wanita kitabi pada semua perkawinannya dan hukum-hukumnya yang
halal dan yang haram dengan wanita kitabi itu, adalah seperti wanita Islam.
Tiada berselisih pada sesuatu pun dan pada yang harus atas suami baginya.
Tidak dikawini wanita kitabi, selain dengan dua orang saksi, yang adil, yang

94
Ibid, hlm. 7.
95
Ibid, hlm. 8.
59
Islam dan dengan wali dari ahli agamanya, seperti wali wanita Islam. Boleh
pada agama mereka yang lain dari itu atau tidak boleh. Tidaklah saya
memandang padanya, selain kepada hukum Islam.
Kalau wanita kitabi itu kawin dengan perkawinan yang shah dalam
Islam dan itu pada mereka perkawinan yang batal. Maka adalah
perkawinannya itu shah. Tidak ditolak perkawinan wanita Islam dari sesuatu,
melainkan ditolak perkawinan wanita kitabi dari yang seperti demikian.
Tidak boleh perkawinan wanita Islam dengan sesuatu, melainkan
boleh perkawinan wanita kitabi dengan seperti yang demikian. Dan tidaklah
wali wanita dzimmi itu muslim. Walau pun dia itu bapak wanita tersebut.
Karena Allah Ta'ala memutuskan ke-wali-an di antara orang Islam dan orang
musyrik.
Rasulullah Saw. kawin dengan Ummu Habibah binti Abi Sufyan. Dan
wali akad nikahnya Ibnu Sa'id bin Al-'Ash (namanya Khalid). Dan dia ini
muslim.
Dan Abi Sufyan masih hidup, maka yang demikian menunjukkan
bahwa tak ada ke-wali-an di antara kerabat, apabila berbeda agama. Walau
pun dia itu bapak. Bahwa ke-wali-an itu dengan kerabat dan bersamaan
agama.
96

Dibagikan waktu untuk isteri kitabi, seperti pembagiannya untuk isteri
Islam (1). Tidak ada perbedaan di antara keduanya. Bagi isteri kitabi, apa yang

96
Ibid, hlm. 8.
60
bagi isteri Islam. Dan bagi suami atas isteri kitabi, apa yang baginya atas isteri
Islam. Kecuali bahwa keduanya tiada pusaka-mempusakai, disebabkan
perbedaan agama. Kalau ia mentalakkan isteri kitabi atau ia me-illa'-kan atau
ber-dhihar atau ber-qadzaf (2), maka harus atas suami pada yang demikian itu
semua, apa yang harus atasnya pada isteri Islam. Kecuali, bahwa tiada
hukuman hadd atas orang yang ber-qadzaf kepada isteri kitabi. Dan dia itu
didera. Apabila suami mentalakkan isteri kitabi, maka boleh baginya ruju'
kepada isteri kitabi itu dalam iddah. Dan iddahnya, ialah iddah isteri Islam.
Kalau ditalakkannya isteri kitabi itu tiga talak, lalu isteri kitabi itu kawin
dengan orang lain sebelum lalu iddah dan dia disetubuhi, maka tidak halal dia
bagi suaminya yang pertama dahulu. Kalau isteri kitabi itu kawin dengan
perkawinan yang shah sesudah berlalu iddah, dengan seseorang suami
dzimmi. Lalu suami ini menyetubuhinya. Kemudian isteri itu diceraikan atau
suaminya yang kedua itu meninggal dan telah cukup iddahnya. Niscaya halal
isteri ini bagi suami pertama. Dihalalkan wanita itu bagi suami pertama oleh
setiap suami yang kedua yang telah menyetubuhinya, yang shah nikahnya.
Dan harus atas isteri itu iddah dan membatasi dirt karena kematian suami
(ihdad berkabung). Sebagaimana ada yang demikian itu atas isteri Islam.
Apabila isteri itu meninggal, maka kalau suami itu menghendaki, maka
ia menghadiri janazahnya, memandikan dan masuk ke kuburannya. Dan ia
tidak mengerjakan shalat kepada isterinya itu. Saya berpendapat makruh bagi
isteri memandikan suaminya, kalau suami itu yang meninggal. Kalau isteri itu
memandikan suaminya, maka memadailah pemandian isteri akan suami itu,
61
insya Allah Ta'ala.
97
Bagi suami boleh memaksakan isterinya itu mandi dari
haid. Dan tidaklah bagi suami itu menyetubuhi isterinya, apabila sudah suci
dari haid, sehingga ia mandi. Karena Allah 'Azza wa Jalla berfirman :
) : 222 (
Artinya: "Janganlah dekati mereka, sebelum suci!". S. Al-Baqarah,
ayat 222.

Berkata sebagian ahli ilmu Al-Qur'an: "Sehingga engkau melihat suci".
Apabila wanita itu sudah bersuci, yakni: dengan air, kecuali bahwa ia berada
dalam bermusafir, yang ia tiada memperoleh air, maka ia bertayammum.
Apabila isteri itu dari orang yang halal baginya shalat dengan suci,
maka halallah isteri itu bagi suaminya. Bagi suami itu, menurut saya dan Allah
Ta'ala Yang Maha tahu dapat memaksakan isterinya untuk mandi dari janabat,
kepada kebersihan dengan menggantikan pakaian baru, mengerat kuku dan
membersihkan diri dengan air, tanpa ada janabat, selama tidaklah yang
demikian itu, dan isteri itu sakit - mendatangkan melarat baginya dengan air,
atau dalam kesangatan dingin, yang air itu mendatangkan melarat baginya.
Suami dapat melarangnya ke gereja, keluar kepada perayaan-perayaan
dan yang lain dari itu, daripada yang isteri itu bermaksud keluar kepadanya.
Apabila boleh bagi suami itu melarang isterinya yang Islam untuk pergi ke
masjid dan itu adalah benar, maka bagi suami itu pada isterinya yang Nasrani,
dapat melarang pergi ke gereja. Karena itu adalah perbuatan batil. Bagi suami

97
Ibid, hlm. 8.
62
dapat melarang isterinya meminum khamar. Karena minum itu
menghilangkan akal isteri.
98
Dan melarangnya memakan daging babi, apabila
suami itu merasa jijik dengan daging babi itu. Melarangnya memakan yang
halal, apabila suami itu merasa terganggu dengan baunya, dari bawang putih
dan bawang merah, apabila tidak ada darurat (kepentingan) bagi isterinya
kepada memakannya. Kalau diumpamakan yang demikian dari yang halal,
yang tidak terdapat baunya, maka tidak boleh bagi suami melarangnya. Seperti
demikian juga, tidak boleh bagi suami melarang isterinyamemakai apa yang
dikehendakinya dari kain, selama ia tidak memakai kulit bangkai atau kain
yang berbau busuk, yang menyakiti oleh bau keduanya itu. Maka suami itu
melarang isterinya dari dua yang tersebut itu.
Apabila lelaki Islam mengawini wanita kitabi. Lalu wanita itu murtad
kepada agama majusi atau agama yang bukan agama ahli kitab. Maka kalau
wanita itu kembali kepada Islam atau kepada agama ahli kitab, sebelum
berlalu iddah. Maka kedua suami-isteri itu tetap atas perkawinan. Kalau isteri
itu tidak kembali kepada Islam, sehingga berlalu iddah. Maka sesungguhnya
telah putus ikatan di antara isteri itu dan suaminya. Tiada wajib nafkah bagi
isteri tersebut dalam iddah. Karena ia melarang dirinya bagi suami dengan
kemurtadan. Tidak dibunuh dengan sebab murtad, orang yang berpindah dari
agama kafir kepada agama kafir yang lain. Sesungguhnya yang dibunuh, ialah
orang yang keluar dari agama Islam ke agama syirik. Ada pun orang yang

98
Ibid, hlm. 8.
63
keluar dari agama yang batil ke agama yang batil, maka tidak dibunuh.
99
la
dibuang dari negeri Islam, kecuali bahwa ia masuk Islam atau ia kembali
kepada salah satu agama yang diambil dari pemeluknya jizyah, Yahudi atau
Nasrani atau majusi. Lalu ia tetap dalam negeri Islam.
Kalau murtad wanita itu dari Yahudi ke Nasrani atau nasrani ke
Yahudi, Maka tidak haram isteri itu kepada suaminya, karena adalah patut
baginya bahwa ia memulai mengawini wanita itu, kalau adalah wanita tersebut
dari pemeluk agama yang ia keluar kepada agama itu. Kata Ar-Rabi' : "Yang
saya hafal dari perkataan Asy-Syafi'i r.a. bahwa beliau berkata : "Apabila
suami itu orang Nasrani. Lalu ia keluar kepada agama Yahudi, bahwa
dikatakan kepada suami itu : "Tidak boleh bagi engkau, bahwa mendatangkan
agama baru, yang tidaklah engkau pada agama itu sebelum turun Al-Qur'an.
Kalau engkau masuk Islam atau engkau kembali kepada agama engkau, yang
kami ambil dari engkau atas agama itu akan jizyah. Maka kami membiarkan
engkau. Kalau tidak, maka kami mengeluarkan engkau dari negeri Islam. Dan
kami serahkan engkau kepada diri engkau sendiri. Maka manakala kami
kuasai engkau, niscaya kami bunuh engkau". Qaul ini lebih disukai oleh Ar-
Rabi'.
Tidak boleh mengawinkan budak wanita kitabi dengan budak lelaki
muslim dan dengan orang lelaki merdeka, dengan hal apa pun. Karena yang
saya terangkan dari nash Al-Qur-an dan petunjuknya. Jenis mana pun dari
orang-orang musyrik, yang halal mengawini wanita-wanita mereka yang

99
Ibid, hlm. 9.
64
merdeka, maka halal menyetubuhi budak-budak wanita mereka dengan jalan
milik.
100
Jenis mana pun yang haram mengawini wanita-wanita mereka yang
merdeka, maka haram menyetubuhi budak-budak wanita mereka dengan jalan
milik. Halal menyetubuhi budak wanita kitabi dengan jalan milik,
sebagaimana halal wanita-wanita mereka yang merdeka dengan perkawinan.
Tidak halal menyetubuhi budak wanita .musyrik yang bukan kitabi, dengan
jalan milik. Sebagaimana tidak halal mengawini wanita mereka.
Kalau adalah asal keturunan seorang budak wanita itu dari bukan ahli
kitab. Kemudian, budak wanita tersebut beragama dengan agama ahli kitab.
Niscaya tidak halal menyetubuhinya. Sebagaimana tidak halal mengawini
wanita-wanita merdeka dari mereka. Tidak halal mengawini budak wanita
kitabi bagi orang Islam, dengan hal apa pun. Karena budak wanita itu masuk
pada makna wanita musyrik yang diharamkan. Dan tidak halal itu dinashkan
dengan penghalalan. Sebagaimana dinashkan wanita-wanita merdeka ahli
kitab mengenai perkawinan. Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta'ala
menghalalkan perkawinan budak-budak wanita Islam itu dengan dua makna.
Sama saja bahwa tidak diperoleh oleh orang yang kawin itu akan perbelanjaan
yang cukup bagi wanita merdeka dan takut kepada perbuatan zina. Dan dua
syarat pada budak wanita Islam itu menunjukkan, bahwa pernikahan mereka
itu dihalalkan dengan suatu makna, tidak dengan suatu makna.
Pada yang demikian itu menunjukkan kepada pengharaman wanita-
wanita budak musyrik yang menyalahi dengan mereka. Dan Allah Yang Maha

100
Ibid, hlm. 9.
65
tahu. Karena Islam itu syarat ke tiga. Dan budak wanita musyrik itu keluar
daripadanya.
101
Kalau seseorang mengawini budak wanita kitabi, maka adalah
perkawinan itu batal, yang dibatalkan atas lelaki itu, sebelum bersetubuh dan
sesudahnya. Kalau dia belum bersetubuh, maka tiada mas kawin bagi budak
wanita itu. Dan kalau sudah bersetubuh, maka bagi isteri tersebut mas kawin
yang sepertinya. Dan dihubungkan anak dengan yang mengawini dan dia itu
Islam. Dan dijualkan atas tanggungan pemiliknya kalau pemilik itu orang
kitabi. Kalau dia itu orang Islam, maka tidak dijual anak itu atas
tanggungannya. Kalau suami itu menyetubuhi budak wanita yang bukan
kitabi, maka dilarang suami itu kembali kepada isterinya itu, sudah
mengandung atau belum mengandung. Dan kalau sudah mengandung, lalu ia
melahirkan. Maka budak wanita itu menjadi gundiknya. Dan tidak halal
baginya menyetubuhinya, karena agamanya. Sebagaimana ada itu budak
wanitanya. Tidak halal baginya menyetubuhinya, karena agamanya. Apabila
lelaki itu meninggal, maka budak wanita tersebut menjadi merdeka dengan
kematiannya. Dan tidak boleh baginya menjual budak wanita tersebut. Tidak
boleh baginya mengawininya dan budak itu tidak menyukai. Dan ia menerima
pelayanannya, pada yang disanggupi oleh budak wanita tersebut. Sebagaimana
ia menerima pelayanan dari budak wanita yang lain.

101
Ibid, hlm. 9.
66
Kalau budak wanita itu mempunyai saudara perempuan, yang
merdeka, yang Islam. Maka halal bagi lelaki itu mengawini saudara
perempuan yang tersebut.
102

Begitu juga kalau budak wanita itu mempunyai saudara perempuan
seibu yang merdeka, yang kitabi, yang bapaknya kitabi. Lalu ia membeli
saudara perempuan itu. Niscaya halal baginya menyetubuhi wanita itu dengan
jalan memilikinya sebagai budak. Dan tidaklah ini mengumpulkan diantara
dua wanita yang bersaudara. Karena penyetubuhan bagi wanita pertama itu,
yang dia itu bukan kitabi, adalah tidak boleh baginya. Sesungguhnya
mengumpulkan, ialah bahwa dikumpulkan diantara orang yang halal
penyetubuhannya atas sendiri-sendiri. Kalau budak wanita itu mempunyai
saudara perempuan se bapak, yang beragama dengan agama ahli kitab, niscaya
tidak halal wanita itu baginya dengan jalan milik. Karena keturunannya
kepada bapaknya. Dan bapaknya itu bukan kitabi.
Sesungguhnya saya memperhatikan pada yang halal dari wanita-
wanita musyrik itu kepada keturunan bapak. Tidaklah ini, seperti wanita, yang
Islam salah seorang dari ibu-bapaknya. Dan dia itu masih kecil. Karena Islam
tidak dapat dikongsikan oleh syirik. Dan syirik itu berkongsi dengan syirik.
Dan keturunan itu kepada bapak. Seperti demikian juga agama bagi bapak,
selama budak wanita itu belum dewasa.
Kalau saudara perempuannya sudah dewasa dan beragama dengan
agama ahli kitab. Dan bapaknya watsani atau majusi. Maka tidak halal

102
Ibid, hlm. 9.
67
menyetubuhinya dengan milik perbudakan. Sebagaimana tidak halal
menyetubuhi wanita watsani, yang berpindah kepada agama ahli kitab.
Karena asal agamanya itu bukan agama ahli kitab, kalau ia mengawini
budak wanita kitabi dan budak wanita ini mempunyai saudara perempuan,
yang merdeka, yang kitabi atau Islam.
103
Kemudian lelaki itu mengawini
saudara perempuan wanita tersebut, yang merdeka, sebelum bercerai antara
dia dan budak wanita kitabi itu. Niscaya adalah perkawinan wanita merdeka
yang Islam atau yang kitabi itu boleh. Karena itu halal, yang tidak dibatalkan
oleh pernikahan budak wanita yang kitabi, yang dia itu saudara perempuan
wanita yang dinikahi sesudahnya. Karena pernikahan dengan wanita yang
pertama itu bukan perkawinan. Dan kalau disetubuhinya, maka adalah seperti
yang demikian. Karena persetubuhan itu pada perkawinan yang batal.
Hukumnya tidak mengharamkan akan sesuatu. Karena wanita itu bukan isteri
dan tidak yang dimiliki dengan jalan budak. Lalu mengharamkan
dikumpulkan di antaranya dan saudara perempuannya.
Kalau orang mengawini seorang wanita, dengan syarat bahwa wanita
itu Islam. Tiba-tiba wanita tersebut itu kafir kitabi. Maka boleh bagi lelaki
tersebut membatalkan perkawinan, dengan tanpa membayar setengah mas
kawin. Kalau ia mengawininya dengan syarat bahwa wanita itu kitabi, lalu
tiba-tiba wanita itu Islam. Maka tidak boleh bagi lelaki tersebut membatalkan
perkawinan. Karena wanita Islam itu lebih baik dari wanita kitabi. Kalau ia
mengawini seorang wanita dan ia tidak mengabarkan bahwa wanita itu Islam

103
Ibid, hlm. 9.
68
atau kitabi. Lalu tiba-tiba wanita itu kitabi. Dan ia berkata : "Sesungguhnya
saya mengawininya, dengan syarat wanita itu Islam. Maka yang didengar ialah
perkataan lelaki itu. Baginya boleh melakukan pilihan. Dan atasnya sumpah
akan apa yang dikawininya. Dan ia mengetahuinya wanita kitabi.
104

Al-Syafii dalam kitabnya al-Umm Juz IV mengatakan,


105

Artinya: wanita muslimah tidak halal (menikah) dengan laki-laki
musyrik dengan keadaan apa pun, dan wanita musyrik itu
kadang-kadang halal (boleh menikah) bagi lelaki Islam
dengan sesuatu hal dan wanita itu wanita kitabi.

Pada halaman lain, Al-Syafii mengatakan:


106


Artinya: siapa yang beragama dengan agama Yahudi dan Nasrani dari
orang Sabiin dan Samiri, maka boleh dimakan
sembelihannya dan halal dikawini wanitanya.

C. Metode Istinbath Hukum Al-Syafi'i

Al-Syafii menyusun konsep pemikiran ushul fiqihnya dalam karya
monumental yang berjudul al-Risalah. Di samping dalam kitab tersebut,
dalam kitabnya al-Umm banyak pula ditemukan prinsip-prinsip ushul fiqh
sebagai pedoman dalam ber istimbath. Di atas landasan ushul fiqh yang

104
Ibid, hlm. 9.
105
Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafii, Al-Umm, Beirut Libanon:
Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth, juz 4, hlm. 287
106
Ibid, hlm. 289
69
dirumuskannya sendiri itulah ia membangun fatwa-fatwa fiqihnya yang
kemudian dikenal dengan mazhab Syafii. Menurut Al-Syafii ilmu itu
bertingkat-tingkat, sehingga dalam mendasarkan pemikirannya beliau
membagi tingkatan sumber-sumber itu sebagai berikut:
1. Ilmu yang diambil dari kitab (al-Quran) dan sunnah Rasulullah SAW
apabila telah tetap kesahihannya.
2. Ilmu yang didapati dari ijma dalam hal-hal yang tidak ditegaskan dalam
al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW.
3. Fatwa sebagian sahabat yang tidak diketahui adanya sahabat yang
menyalahinya.
4. Pendapat yang diperselisihkan di kalangan sahabat.
5. Qiyas apabila tidak dijumpai hukumnya dalam keempat dalil di atas.
107

Tidak boleh berpegang kepada selain al-Quran dan sunnah dari
beberapa tingkatan tadi selama hukumnya terdapat dalam dua sumber tersebut.
Ilmu secara berurutan diambil dari tingkatan yang lebih di atas dari tingkatan-
tingkatan tersebut.
Nukilan otentik dari Al-Syafii ini (dalam kitab al-Risalah)
menjelaskan landasannya dalam berfatwa. Seperti halnya pada mazhab
lainnya, bagi Al-Syafii Al-Quran adalah sumber pertama dan utama dalam
membangun fiqih, kemudian sunnah Rasulullah SAW bilamana teruji
kesahihannya.

107
Al-Imam Abi Abdillah Muhammad Ibn Idris Al-Syafii, al-Umm. Juz 7, Dar al-
Kutub, Ijtimaiyah, Beirut, Libanon, tt, hlm. 246
70
Dalam urutan sumber hukum di atas, Al-Syafii meletakkan sunnah
sejajar dengan al-Quran pada urutan pertama, sebagai gambaran betapa
penting sunnah dalam pandangan Al-Syafii sebagai penjelasan langsung dari
keterangan-keterangan dalam al-Quran.
Masdar-masdar istidlal
108
walaupun banyak namun kembali kepada
dua dasar pokok yaitu: al-kitab dan as-sunnah. Akan tetapi dalam sebagian
kitab Al-Syafii, dijumpai bahwa as-sunnah tidak semartabat dengan al-kitab.
Mengapa ada dua pendapat Al-Syafii tentang ini.
109

Al-Syafii menjawab sendiri pertanyaan ini. Ia berkata; al-kitab dalam
as- sunnah kedua-duanya dari Allah dan kedua-duanya merupakan dua sumber
yang membentuk syariat Islam. Mengingat hal ini tetaplah as-sunnah
semartabat dengan al-Quran. Pandangan Al-Syafii sebenarnya adalah sama
dengan pandangan kebanyakan sahabat.
110
Al-Syafii menetapkan bahwa as-
Sunnah harus diikuti sebagaimana mengikuti al-Quran. Namun demikian,
tidak memberi pengertian bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan dari nabi
semuanya berfaedah yakin. Ia menempatkan as-Sunnah semartabat dengan al-
kitab pada saat mengistimbathkan hukum, tidak memberi pengertian bahwa
as-Sunnah juga mempunyai kekuatan dalam menetapkan aqidah. Orang yang
mengingkari hadis dalam bidang aqidah, tidaklah dikafirkan.
Al-Syafii menyamakan as-Sunnah dengan al-Quran dalam

108
Masdar berarti sumber, sedang istidlal artinya mengambil dailil, menjadikan dalil,
berdalil. Lihat TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, PT Putaka
Rizki Putra, Semarang, 1997, hlm. 588, dan 585.
109
Ibid, hlm. 239.
110
Al-Imam Abi Abdillah Muhammad Ibn Idris Al-Syafii, al-Risalah, Mesir: al-
Ilmiyah, 1312H. hlm. 32.
71
mengeluarkan hukum furu, tidak berarti bahwa as-Sunnah bukan merupakan
cabang dari al-Quran. Oleh karenanya apabila hadis menyalahi al-Qur'an
hendaklah mengambil al-Qur'an. Al-Syafii menetapkan bahwa al-Qur'an
adalah kitab yang diturunkan dalam bahasa Arab yang murni, yang tidak
bercampur dengan bahasa-bahasa lain.
Adapun yang menjadi alasan ditetapkannya kedua sumber hukum
hukum itu sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah karena Al-Qur'an
memiliki kebenaran yang mutlak dan as-sunnah sebagai penjelas atau
ketentuan yang memerinci Al-Qur'an.
Ijma menurutnya adalah kesepakatan para mujtahid di suatu masa,
yang bilamana benar-benar terjadi adalah mengikat seluruh kaum muslimin.
Oleh karena ijma itu baru mengikat bilamana disepakati seluruh para mujtahid
di suatu masa, maka dengan gigih Al-Syafii menolak ijma penduduk
Madinah (amal ahl al-Madinah), karena penduduk Madinah hanya sebagian
kecil dari ulama mujtahid yang ada pada saat itu. Alasan Al-Syafii menolak
ijma penduduk Madinah adalah karena ijma harus merupakan kesepakatan
dari seluruh umat Islam yang tidak hanya terbatas pada satu negara apalagi
hanya satu kota.
111

Al-Syafii berpegang kepada fatwa-fatwa sahabat Rasulullah SAW
dalam membentuk mazhabnya, baik yang diketahui ada perbedaan pendapat,

111
Menurut Abd Wahab Khalaf, ijma menurut istilah para ahli ushul fiqh adalah
kesepakatan seluruh para mujtahid di kalangan umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah
SAW wafat atas hukum syara mengenai suatu kejadian. Lihat Abd Wahab Khalaf, Ilm Ushul
al-Fiqh, Maktabah al-Wal-Matbaah al-Islamiyah, Syabab al-Azhar, Jakarta: 1410 H/1990M.
hlm.45.
72
apalagi yang tidak diketahui adanya perbedaan pendapat di kalangan mereka.
Al-Syafii berkata:
112

'-~-- V '-- Q- ,-= '-- ;)-
Artinya: Pendapat para sahabat lebih baik dari pendapat diri kita
sendiri

Bilamana hukum suatu masalah tidak ditemukan secara tersurat dalam
sumber-sumber hukum tersebut di atas, dalam membentuk mazhabnya ia
melakukan ijtihad. Dengan ijtihad, menurutnya seorang mujtahid akan mampu
mengangkat kandungan al-Qur'an dan sunnah rasulullah SAW secara lebih
maksimal ke dalam bentuk siap untuk diamalkan. Oleh karena demikian
penting fungsinya, maka melakukan ijtihad dalam pandangan Al-Syafii
adalah merupakan kewajiban bagi ahlinya. Dalam kitabnya al-Risalah, Al-
Syafii pernah mengatakan, Allah mewajibkan kepada hambanya untuk
berijtihad dalam upaya menemukan hukum yang terkandung dalam al-Qur'an
dan as-Sunnah. Metode utama yang digunakannya dalam berijtihad adalah
qiyas.
Al-Syafii membuat kaidah-kaidah yang harus dipegangi dalam
menentukan mana ar-rayu yang sahih dan mana yang tidak sahih. Ia
membuat kriteria bagi istimbath-istimbath yang salah. Ia menentukan batas-
batas qiyas, martabat-martabatnya, dan kekuatan hukum yang ditetapkan
dengan qiyas. Juga diterangkan syarat-syarat yang harus sempurna pada qiyas.
Sesudah itu diterangkan pula perbedaan antara qiyas dengan macam-macam
istimbath yang lain yang dipandang, kecuali qiyas. Dengan demikian Al-

112
TM. Hasbi Ash shiddieqy, op. cit, hlm. 271.
73
Syafii merupakan orang pertama dalam menerangkan hakikat qiyas. Al-
Syafii sendiri tidak membuat tarif qiyas. Akan tetapi penjelasan-
penjelasannya, contoh-contoh, bagian-bagian dan syarat-syarat menjelaskan
hakikat qiyas, yang kemudian dibuat tarifnya oleh ulama ushul.
113

Terhadap istihsan, Al-Syafii hanya membenarkan qiyas saja dari
antara cara-cara ijtihad, ia menolak istihsan. Khusus mengenai istihsan ia
mengarang kitab yang berjudul Ibthalul Istikhsan. Dalil-dalil yang
dikemukakan Al-Syafii untuk menolak istihsan, disebutkan dalam kitab ini,
kitab Jimaul Ilmi, al-Risalah dan dalam al-Umm. Kesimpulan yang dapat
ditarik dari uraian-uraian Al-Syafii, ialah setiap ijtihad yang tidak bersumber
al-kitab, as-Sunnah, atsar atau ijma atau qiyas dipandang istihsan, dan ijtihad
dengan jalan istihsan, adalah ijtihad yang batal.
114
Jadi alasan Al-Syafii
menolak istihsan adalah karena kurang bisa dipertanggungjawabkan
kebenarannya.
115

Dalil hukum lainnya yang digunakan Al-Syafii adalah maslahah
mursalah, yaitu yang mutlaq, menurut istilah para ahli ilmu ushul fiqh ialah:
suatu kemaslahatan di mana syari tidak mensyariatkan suatu hukum untuk
merealisir kemaslahatan itu, dan tidak ada dalil yang menunjukkan atas

113
Al-Imam Abi Abdillah Muhammad Ibn Idris Al-Syafii, al-Risalah, op.cit, hlm.
477-497.
114
Al-Imam Abi Abdillah Muhammad Ibn Idris Al-Syafii, al-Risalah, op.cit, hlm.
146.
115
Ijtihad dari segi bahasa ialah mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan.
Perkataan ijtihad tidak digunakan kecuali untuk perbuatan yang harus dilakukan dengan
susah payah. Menurut istilah ijtihad ialah menggunakan seluruh kesanggupan untuk
menetapkan hukum-hukum syariat. Lihat A. Hanafie, ushul Fiqh, Cet. 14, Jakarta: Wijaya,
2001, hlm.151. lihat juga Abd Wahab kalaf, op.cit, hlm. 216
74
pengakuannya atau pembatalannya.
116

Dalam kaitannya dengan perkawinan antar agama, khususnya
mengenai makna ahlul kitab dalam versi al-Syafi'i, ia menggunakan metode
istinbath hukum yaitu Al-Qur'an surat Al-Maidah ayat 5.





) : 5 (

Artinya: Pada hari ini dihalalkan bagi kamu yang baik-baik.
Makanan [sembelihan] orang-orang yang diberi al-Kitab
itu halal bagi kamu, dan mahanan kamu halal [pula] bagi
mereka. [Dan dihalalkan bagi kamu menikahi] wanita-
wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita
yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab
sebelum kamu, bila kamu telah membayar mahar mereka
dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud
berzina dan tidak [pula] menjadikannya gundik-gundik.
Barangsiapa yang kafir sesudah beriman maka hapuslah
amalannya dan di hari akhirat dia termasuk orang-orang
yang merugi. (Q.S. al-Maidah: 5)

Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa para ahli tafsir dan para
ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan ayat wal muhsant minal lazna
tul kitb min qablikum menurut Ibnu Jarir yang dimaksud dengan muhsanat
adalah wanita baik-baik dari ahli kitab baik merdeka atau budak. Imam Syafi'i

116
Abd Wahab Khalaf, Ilm ushul al-Fiqh, Jakarta: Maktabah al-Dakwah al-
Islamiyah Syabab al-Azhar, 1410 H/1990M. hlm. 84. Cf. Sobhi Mahmassani, op.cit, hlm.184.
75
yang dimaksud ahli kitab di sini adalah wanita baik-baik dari Bani Israil. Dan
menurut yang lain muhsanat adalah wanita ahli kitab yang baik-baik tadi yang
merupakan penduduk Negeri Islam (Kafir Zimmi),
117
karena berdasarkan
firman Allah yang mengatakan:


Artinya: Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan
tidak pula pada hari kemudian.
118



























117
Ism'l ibn Katsr al-Qurasy al-Dimasyq, Tafsr al-Quran al-Azm., Beirut: Dr
al-Marifah, 1978, Juz 6, hlm. 252.
118
Depag RI, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran
dan Terjemahnya, 1986, hlm. 282.
76
BAB IV
ANALISIS PENDAPAT AL-SYAFI'I TENTANG
PERKAWINAN ANTAR AGAMA

C. Pendapat Al-Syafi'i tentang Perkawinan Antar Agama

Perkawinan antaragama dapat terjadi antara
3. Calon istri beragama Islam dan calon suami tidak beragama Islam, baik
"ahlulkitab" maupun musyrik.
4. Calon suami beragama Islam dan calon istri tidak beragama Islam, baik
ahlulkitab maupun musyrik.
Dalam konteksnya dengan perkawinan antaragama, Allah berfirman
dalam Surat Al-Baqarah ayat 221:
` ` ` ` ' ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ' ,... 221 ,
Artinya: Janganlah kamu mengawini wanita-wanita musyrik,
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak
yang beriman lebih baik daripada wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu (Q.S. al-Baqarah:
221).

Terhadap ayat ini, Imam Jalaluddin al-Mahalli, Imam Jalaluddin as-
Suyuti menjelaskan tentang Asbab an Nuzul Surat al-Baqarah ayat 221: di
ketengahkan oleh Ibnu Munzir, Ibnu Abi Hatim dan al-Wahidi dari Muqatil,
katanya: ayat ini diturunkan mengenai Ibnu Abu Marsad al-Ganawi yang
meminta izin kepad Nabi Muhammad SAW untuk mengawini seorang wanita
musyrik yang cantik dan mempunyai kedudukan tinggi. Maka turunlah ayat
77
ini.
119
Demikian pula dalam Tafsir Ibnu Kasir dijelaskan tentang tafsir surat
al-Baqarah ayat 221 sebagai berikut: melalui ayat ini Allah mengharamkan
atas orang-orang mukmin menikahi wanita-wanita yang musyrik dari kalangan
penyembah berhala. Kemudian jika makna yang dimaksud bersifat umum,
berarti termasuk ke dalam pengertian setiap wanita musyrik kitabiyah dan
wasaniyah. Akan tetapi dikecualikan dari hal tersebut wanita ahli kitab oleh
Firmannya dalam surah al-Maidah ayat 5.
120

Akibat hukum dari perkawinan antaragama adalah sebagai berikut:
1. Apabila perkawinan antaragama terjadi antara perempuan yang beragama
Islam dan laki-laki yang tidak beragama Islam, baik musyrik maupun
ahlulkitab, maka ulama fikih sepakat hukumnya tidak sah. Alasannya
adalah firman Allah SWT dalam al-Baqarah (2) ayat 221
2. Apabila perkawinan terjadi antara laki-laki muslim dengan perempuan
musyrik, ulama fikih sepakat menyatakan bahwa hukumnya tidak sah.
Argumen yang dikemukakan adalah firman Allah SWT dalam al-Baqarah
(2) ayat 221. Namun ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang
disebut perempuan musyrik itu.
3. Apabila perkawinan terjadi antara laki-laki beragama Islam dan
perempuan yang tergolong ahlul kitab, terdapat beberapa pendapat di
antara ulama fikih, namun jumhur ulama fikih membolehkan perkawinan
laki-laki muslim dengan perempuan ahlul kitab. Argumen mereka adalah

119
Imam Jalaluddin al-Mahalli, Imam Jalaluddin as-Suyuti, Tafsir Jalalain, Kairo:
Dar al-Fikr, t.th, juz 1, hlm. 6
120
Al-Imam al-Hafizh Imaduddin Abul Fida Ismail ibn Kasir, Tafsir al-Quran al-
Azhim, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, juz 2, Cairo, tth, hlm. 417
78
pertama, penjelasan yang terdapat dalam Al-Qur'an dalam surah al-
Ma'idah ayat 5 dan kedua, pendapat Sayid Sabiq, ahli fikih di Mesir, yang
menjelaskan bahwa sekalipun boleh mengawini wanita ahlul kitab. namun
hukumnya makruh.
Sekalipun jumhur ulama fikih sepakat tentang kebolehan seorang laki-
laki beragama Islam mengawini wanita ahlul kitab, namun mereka berbeda
pendapat dalam menentukan wanita ahlul kitab itu sendiri.
Dengan demikian persoalan yang paling menonjol sehingga
menimbulkan perbedaan pendapat dalam kasus perkawinan antar agama
adalah masalah makna istilah ahli Kitab dan Musyrik:
Menurut Al-Syafi'i, yang termasuk ahlul kitab adalah orang-orang
Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang Israel, tidak termasuk bangsa-
bangsa lain sekalipun penganut agama Yahudi dan atau Nasrani. Di antara
alasan yang diajukan adalah
(3). Karena Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS hanya diutus untuk orang-orang
bangsa Israel; dan
(4). Lafal min qablikum (umat sebelum kamu) dalam surah al-Ma'idah (5) ayat
5 menunjuk kepada kedua kelompok Yahudi dan Nasrani bangsa Israel.
Pendapat al-Syafi'i di atas dapat dijumpai dalam kitabnya yang pada
intinya menyatakan:
79

121

Artinya: siapa yang beragama dengan agama Yahudi dan Nasrani dari
orang Sabiin dan Samiri, maka boleh dimakan
sembelihannya dan halal dikawini wanitanya.
122


`

123

Artinya: wanita muslimah tidak halal (menikah) dengan laki-laki
musyrik dengan keadaan apa pun, dan wanita musyrik itu
kadang-kadang halal (boleh menikah) bagi lelaki Islam
dengan sesuatu hal dan wanita itu wanita kitabi.

Dalam perspektif Imam al-Syafii bahwa perempuan ahlul kitab yang
halal dinikahi oleh orang muslim ialah perempuan yang menganut agama
Nasrani atau Yahudi sebagai agama keturunan dari orangorang (nenek
moyang mereka) yang menganut agama tersebut semenjak masa sebelum Nabi
Muhammad dibangkitkan menjadi Rasul (yakni sebelum al-Quran
diturunkan. Tegasnya dalam pandangan al-Syafii bahwa orang yang baru
menganut agama Yahudi atau Nasrani sesudah al-Quran diturunkan, tidaklah
dianggap ahlul kitab, karena terdapat perkataan min qablikum (dari sebelum
kamu) dalam ayat 5 surah al-Maidah. Perkataan min qablikum tersebut
menjadi qayid bagi ahlul kitab yang dimaksud. Jalan pikiran al-Syafii ini

121
Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafii, Al-Umm, Beirut Libanon:
Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth, juz 4, hlm. 287 dan 289
122
Sabi'in adalah nama golongan yang mengikuti nabi-nabi zaman dahulu. Sedangkan
Samiri adalah nama suatu suku dari bangsa Israil.
123
Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafii, Al-Umm, Beirut Libanon:
Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth, juz 4, hlm. 287
80
mengakui ahlul kitab itu bukan karena agamanya, tetapi karena menghormati
keturunannya.
Dalam kaitan ini, penulis di satu segi kurang sependapat dengan
pendapat al-Syafi'i yang mengkategorikan ahlul kitab seperti tersebut di atas.
Alasan penulis kurang setuju karena bila diaplikasikan di Indonesia, maka
orang-orang Indonesia yang menganut agama Yahudi atau Nasrani sesudah
turunnya al-Quran maka mereka tidaklah termasuk di dalam ahlul kitab,
konsekuensinya maka tidak halal bagi muslim menikahi perempuan-
perempuan mereka.
Di segi lain, penulis setuju dengan pendapat al-Syafii yang
membolehkan pria muslim menikah dengan perempuan ahlul kitab. Alasan
penulis setuju karena surah al-Maidah ayat 5 merupakan petunjuk yang qathi
(tegas) tentang bolehnya menikahi wanita ahlul kitab. Dengan kata lain,
menikahi wanita ahlul kitab boleh karena ayat ke-5 dari al-Maidah itu secara
qath'i (tegas) menyatakan kehalalannya.
Kata al-Zamakhsyari, ayat -, , _ - = ' - - ' , = - - ` dinasikhkan
oleh ayat 5 dari al-Maidah itu. Ini pendapat orang yang menganggap ahli kitab
termasuk musyrik, sesuai dengan penegasan ayat 72 dari al-Maidah yang
berbunyi:
... ` ` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ,... 72 ,

81
Artinya: ... Isa al-Masih berkata: "Hai Bani Israil sembahlah Allah
[yaitu] Tuhanku dan Tuhanmu; Sesungguhnya siapa saja
menyekutukan Allah, maka Allah telah mengharamkannya
masuk surga; dan tempatnya adalah neraka...) (Q.S. al-
Maidah: 72)

Tapi bagi orang yang menganggap bahwa ahli kitab tidak termasuk
musyrik agaknya mereka akan berkata, bahwa syirik dalam al-Maidah 72 ini
berkonotasi umum atau pengertian syirik secara lughawi bukan pengertian
secara khusus yang penyembah berhala seperti tampak dalam al-Bayyinah: 1,
al-Hajj: 17 ataupun al-Maidah 82. Adapun al-Baqarah: 221 menurut mereka
membicarakan kaum musyrik selain ahli kitab; sedangkan al-Maidah: 5,
menjelaskan hukum perkawinan khusus mengenai ahli kitab. Menurut jumhur
ulama, ahli kitab ialah kaum Yahudi dan Nasrani, sementara musyrik ialah
para penyembah berhala. Pemilahan pengertian ini berawal dari redaksi ayat
Al-Qur'an sendiri yang menyebut kaum musyrik tersendiri di samping kaum
ahli kitab, yang dihubungkan dengan huruf 'athf (waw), yang menurut kaidah
bahasa Arab, antara lain menunjukkan bahwa mathuf berlainan dari
ma'thuf'alaih, sebagaimana tampak di dalam ayat-ayat berikut:
` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` , 1 ,

Artinya: Dan orang-orang kafir di antara ahli kitab (Yahudi, Nasrani)
dan orang-orang yang musyrik tidak mau meninggalkan
agama mereka sehingga datang keterangan kepada mereka
(Q.S. al-Bayyinah: 1).

82
` ` ` ` `
` ` ` ` ` `
,... 82 ,
Artinya: Sesungguhnya kamu [Muhammad] niscaya menemukan
orang-orang yang sangat keras memusuhi orang-orang
beriman, ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik
(mempersekutukan Allah). Dan kamu menemukan pula
orang-orang yang kasih kepada orang-orang yang beriman,
yaitu orang-orang yang berkata, "Kami adalah orang-orang
Nasrani ...") (Q.S. al-Maidah: 82)

` ` ` ` `
` ` ` ` `
` ` , 17 ,

Artinya: Sesungguhnya orang-orang beriman dan orang-orang Yahudi,
orang-orang Shabi'in (penyembah bintang), orang-orang
Nasrani dan Majusi, begitu pun orang-orang yang
mempersekutukan Allah sungguh Allah bakal memberikan
keputusan yang tegas di antara mereka pada hari kiamat.
Adalah Allah saksi pada tiap-tiap sesuatu (Q.S. al-Hajj: 17).

Di dalam ayat-ayat yang dinukilkan di atas tampak dengan jelas
berbagai golongan dan aliran agama yang dianut umat manusia. Pada urutan
pertama disebutkan kaum Yahudi, musyrik, Nasrani; dan pada urutan ketiga
lebih banyak lagi disebutkan, mulai dari kaum Yahudi terus Shabi'in, Nasrani,
Majusi, dan terakhir kaum musyrik. Akhir ayat ketiga Tuhan tutup dengan
suatu pernyataan tegas bahwa Dia akan memberikan keputusan di antara
mereka kelak pada hari kiamat. Seandainya mereka berada pada posisi yang
sama, tentu pernyataan Tuhan yang terakhir itu tidak diperlukan.
83
Jadi berdasarkan pola susunan redaksi ayat dan ditambah pula dengan
pernyataan Tuhan yang tercantum pada akhir ayat ketiga itu, maka dapat
disimpulkan bahwa masing-masing golongan itu mempunyai perbedaan
meskipun sama-sama kufur. Sekiranya mereka mempunyai status yang sama
di sisi Allah, tentu pernyataan tersebut tak akan diberikan, sebagaimana tak
perlu menyebutnya satu persatu melainkan cukup dengan sebutan kafir atau
musyrik saja. Dengan demikian maka kaum Shabiin dan Majusi, misalnya,
tidak dapat digolongkan ke dalam kelompok orang-orang yang musyrik
(, - , - ' ) yang disebut Allah bersama dengan dua kelompok itu pada
ayat ketiga tersebut.
Sekarang muncul persoalan berikutnya: jika mereka tidak musyrik
apakah mereka mempunyai nabi dan kitab suci? Memang tidak ada
keterangan yang tegas tentang itu. Tapi Sayyid Muhammad Rasyid Ridha,
cenderung berpendapat bahwa mereka dulunya mempunyai kitab dan nabi.
Namun karena masanya telah terlalu lama dan jarak mereka dari nabi tersebut
sangat jauh, maka kitab aslinya tidak dapat diketahui lagi.
124
Pendapat ini
didasarkannya pada firman Allah berikut:
... ` ` ` ` , 24 ,
Artinya: "... Dan tidak ada suatu umat pun melainkan telah ada pada
mereka seorang pemberi peringatan. " (Fathir: 24)

... ` ` ` ` , 7 ,

124
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Kairo: Maktabah al-Qahirah,
cet. Ke-4, 1380 H, juz VI, hlm. 186-187.
84
Artinya: "... Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi
peringatan dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi
petunjuk." (al-Ra'd: 7)

... ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` ` ` , 16 ,

Artinya: "... Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang
sebelumnya telah diturunkan al-Kitab kepada mereka,
kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati
mereka menjadi keras, dan kebanyakan di antara mereka,
adalah orang-orang yang fasik." (al-Hadid: 16)

` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ,...
78 ,
Artinya: "Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul
sebelum kamu, di antara mereka, ada yang telah Kami
ceritakan kepadamu dan ada pula yang tidak pernah Kami
ceritakan kepadamu ..." (Ghafir: 78)

Andaikata pemahaman Ridha itu benar, maka pengertian syirik
menjadi sangat sempit; tidak seperti pemahaman Ibn 'Umar, bahwa selain
mukmin adalah musyrik; sebagaimana telah dijelaskan. Namun bila dikaitkan
dengan kajian skripsi ini (perkawinan antar agama), maka timbul pertanyaan:
apakah seorang muslim boleh menikahi wanita non muslim selain ahli kitab
yang tidak disebutkan oleh Al-Qur'an dan sebaliknya?
Timbul berbagai pendapat dalam menetapkan kasus tersebut. Hal itu
membuktikan bahwa para ulama tidak mempunyai kata sepakat (ijma') atas
pengertian lafal ( , - - ' ) dan ' - ' , - , - '. Apakah mencakup semua
mereka yang ingkar kepada Nabi Muhammad atau tidak? Ataukah ayat itu
juga menunjuk kepada pemeluk-pemeluk agama non Islam secara umum?
85
Tidak dijumpai penjelasan yang tegas dalam hal ini. Kondisi inilah yang
membuat munculnya berbagai pendapat di kalangan ulama. Dengan demikian
tidak dapat disalahkan bila ada di antara ulama yang mengatakan bahwa lafal
itu ditujukan kepada kaum musyrik dari bangsa Arab yang menyembah
berhala; kemudian dikiaskan kepadanya para penganut agama (aliran) lain
yang juga tak mempunyai nabi dan kitab suci atau yang semisalnya,
sebagaimana dapat dikiaskan kepada kaum Yahudi dan Nasrani, para pemeluk
agama-agama lain yang tidak diketahui lagi asal-usul kitab suci mereka seperti
para penganut Majusi, dan lain-lain. Qatadah, seorang tokoh mufasir di
kalangan tabi'in sebagai dikutip Ridha, memang berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan musyrik di dalam ayat itu ialah bangsa Arab (penyembah
berhala) yang ada pada waktu Al-Qur'an diturunkan.
125

Oleh karena itu, tulis Ridha lagi, ayat: _ - = ' - - ' , = - - `
-, ,tidak tegas melarang menikahi wanita-wanita musyrik selain bangsa Arab
seperti Cina (penganut Kong Hu Cu, Budha, dan lain-lain).
126
Asbab (latar
belakang) turun ayat 221 dari al-Baqarah memang berkenaan dengan wanita
musyrik bukan ahli kitab, yang hendak kawin dengan seorang pria muslim,
Abu Martsad al-Ghanawi; lalu turunlah ayat tersebut melarangnya.
Jika "khusus sebab" itu saja yang dijadikan dasar dalam menetapkan
suatu hukum, maka memang masuk akal bahwa yang diharamkan Tuhan
mengawininya adalah wanita-wanita musyrik di kalangan bangsa Arab saja

125
Ibid., hlm. 190
126
Ibid.,
86
ketika Al-Qur'an diturunkan. Itu berarti, sekarang tidak haram lagi menikahi
wanita-wanita musyrik. Agaknya pemahaman serupa ini terlalu longgar.
Apabila umat Islam menganut sikap ini, maka budaya permissive
(serba boleh) yang diterapkan di Barat akan melanda kehidupan Timur (Islam)
yang tenang dan damai. Akibatnya akan menimbulkan kerancuan tatanan
sosial dan kerawanan di tengah masyarakat. Dampak semua ini dapat
menghancurkan masa depan umat Islam itu sendiri.
Untuk mengantisipasi pemahaman yang demikian, maka dalam
menafsirkan suatu ayat berbagai disiplin ilmu perlu diperhatikan. Di samping
menguasai bahasa Arab, kaidah-kaidah, dan balaghah serta aspek-aspek yang
berhubungan dengannya, seorang mufasir diharuskan pula menguasai ilmu
ushul fikih dan kaidah-kaidah yang berkaitan dengannya, Dalam kajian di sini,
misalnya, kaidah: - --' ,-=-` =-'' ,-- -'
Artinya: Yang menjadi ukuran ialah umum lafal, bukan khusus sebab.
Kalau kaidah ini diterapkan terhadap ayat 221 maka konotasi kata
syirik menjadi amat luas, sehingga masuklah ke dalamnya penganut agama
(aliran) Majusi, penyembah berhala, penganut animisme, Budhisme,
Hinduisme, Shintoisme, dan sebagainya. Apakah para pemeluk agama atau
aliran itu dianggap musyrik sehingga terlarang bagi pria muslim, mengikat
perkawinan dengan wanita-wanita mereka?
Sebagian ulama seperti Ridha, sebagaimana telah disebut, memang
menganggap mereka masuk golongan ahli kitab. Namun generasi salaf dan
pada umumnya ulama menyatakan mereka bukan ahli kitab karena tak ada
87
ketegasan dari Al-Qur'an tentang hal itu; sementara kaum Yahudi dan Nasrani
dengan tegas dinyatakan Allah sebagai ahli kitab seperti dijumpai di dalam
berbagai ayat Al-Qur'an mereka disebut dengan panggilan "ahli kitab".
Berdasarkan pendapat ulama salaf dan jumhur itu, maka Ibrahim
Husen menyatakan bahwa pemeluk agama non Islam seperti Hindu, Budha,
Kong Hu Cu, Shinto, dan Aliran Kepercayaan di Indonesia, sama statusnya
dengan Majusi. "Dus menikahi wanita-wanita mereka [bagi pria muslim]
adalah hal terlarang". Untuk mendukung pendapatnya itu, Ibrahim Husen
mengutip isi surat Rasul Allah kepada orang-orang Majusi. Antara lain
berbunyi: "Jika kamu menolak, kamu diwajibkan membayar fidyah dan
tidaklah halal bagi kami sembelihanmu, dan menikahi wanita-wanitamu." Di
dalam surat ini mereka tidak disebut 'ahli kitab'; padahal suratnya kepada
Kisra Rumawi, memanggilnya dengan sebutan 'ahli kitab'.
Di samping berbagai pendapat itu, ada pendapat lain dari ulama
Syafi'iyah yang menegaskan bahwa wanita-wanita ahli kitab yang halal
dinikahi itu ialah keturunan dari nenek moyang mereka yang memeluk agama
tersebut sebelum Muhammad saw ada/diutus. Tegasnya mereka yang
memeluknya setelah itu tidak halal lagi karena bukan ahli kitab sebagaimana
yang dimaksud oleh ayat dari al-Maidah itu.
Apabila pendapat ini diikuti, maka mereka yang masuk agama Kristen
atau Yahudi setelah Nabi Muhammad saw diutus tidak halal mengawininya.
Ibrahim Husen dengan tegas menganut pendapat ini karena konotasi kata
' - - = - ' di dalam ayat ke-5 dari al-Maidah itu, menurutnya dibatasi ruang
88
lingkupnya oleh lafal ' - - yang terletak sesudahnya. Jadi yang dimaksud
dengan wanita kitabiyah, tegasnya, ialah yang beragama dengan agama nenek
moyangnya sejak sebelum Nabi saw diutus.
Semua uraian di atas khusus menyangkut perkawinan lelaki muslim
dengan wanita non Islam, tidak sebaliknya. Ada pendapat yang melarangnya
sama sekali seperti yang dianut oleh Ibn 'Umar; ada yang membolehkannya
dengan syarat: sang suami tidak dikhawatirkan akan terpengaruh oleh istrinya
yang bukan Islam itu kelak; ini difatwakan oleh Mahmud Syaltut dalam kitab
al-Fatawa. Selain itu ada pendapat keempat yang dimajukan oleh ulama
Syafi'iyah. Mereka membolehkan menikahi wanita khitabiyah yang
merupakan anak cucu dari pemeluk agama ahli kitab sebelum Nabi
Muhammad saw diutus. Sebaliknya mengharamkan nikah dengan wanita yang
menjadi ahli kitab setelah kebangkitan tersebut.
Terjadi perbedaan pendapat sebagaimana dijelaskan itu, pada dasarnya
bermula dari berbedanya prinsip yang mereka anut dalam menetapkan batasan
'musyrik' dan 'ahli kitab'. Perkawinan yang dilarang Allah ialah dengan orang
musyrik; baik laki-laki, maupun perempuan. Sedangkan menikahi wanita ahli
kitab dibolehkan-Nya. Jadi para pemeluk agama non Islam yang dianggap
tidak masuk kategori ahli kitab maka haram nikah dengan wanita-wanita
mereka karena dianggap musyrik; sebaliknya, jika ahli kitab dikategorikan
sebagai musyrik, maka haram pula menikahi wanita-wanita mereka,
sebagaimana telah dijelaskan di muka.
89
Jika mayoritas ulama membolehkan pria muslim menikahi wanita ahli
kitab, maka dalam kasus wanita muslim dinikahi oleh pria non Islam, mereka
sepakat mengharamkannya. Di dalam ayat 5 dari al-Maidah di atas, kata
mereka, Allah hanya menegaskan: "makananmu halal bagi mereka, dan tidak
dikatakan-Nya wanita-wanitamu halal bagi mereka. Perbedaan redaksi ini,
kata al-Shabuni, dapat dijadikan indikator bahwa hukum kedua kasus ini tidak
sama; artinya, dalam masalah makanan, mereka boleh saling memberi dan
menerima, serta masing-masing boleh memakan makanan pihak lain; tidak
demikian halnya dengan kasus perkawinan karena jika memang dibolehkan
menikahkan wanita-wanita Islam dengan pria non Islam, niscaya Allah tidak
akan mendiamkannya begitu saja sebab persoalan 'kawin' jauh lebih urgen
ketimbang masalah 'makan'. Dampak perkawinan akan merambat tidak hanya
pada generasi sekarang, melainkan akan berlanjut pada generasi selanjutnya.
Sebaliknya makanan tidak memberikan dampak yang seluas itu. Permasalahan
makanan yang tidak begitu besar sengaja Tuhan sebutkan secara tegas, tentu
seyogyanya, masalah perkawinan lebih pantas diterangkan secara tegas dan
jelas, sehingga tidak menimbulkan kerancuan dalam pemahaman. Tapi
ternyata Allah tidak memberikan penegasan. Oleh karena itu dalam kasus
serupa ini dapat diberlakukan kaidah ushul fikih yang berbunyi:
',- ' , ',-' = , -'
Artinya: Diam dari memberi keterangan adalah suatu keterangan.
Dengan demikian, maka jika diterima bahwa ayat 221 dari al-Baqarah
itu dinasikhkan oleh ayat 5 dari al-Maidah, maka yang dinasikhkan itu ialah
kata "musyrikah'" tidak "musyrik" karena yang disebut terakhir itu tidak
90
tercantum di dalam al-Maidah: 5 sebagaimana dinukilkan di atas. Berdasarkan
kenyataan itu, maka dapat disimpulkan bahwa wanita-wanita Islam selamanya
tidak dikawinkan dengan pria bukan Islam sesuai dengan penegasan ayat dari
al-Baqarah yang telah dikutip di atas.
Al-Maraghi dalam mengomentari ayat ini berkata, bahwa menikahkan
wanita Islam dengan laki-laki non muslim adalah: haram, berdasarkan Sunnah
(hadis) Nabi dan Ijma' umat. Rahasia pelarangan ini, tulisnya lagi, ialah
karena istri tak punya wewenang seperti yang dimiliki oleh suami. Oleh
karena itu tak ada artinya ia dikawinkan dengan non muslim, bahkan
sebaliknya, keyakinan istri dapat rusak oleh wibawa suaminya, dan tidak
mustahil pula seorang suami yang sangat fanatik akan selalu berusaha agar
istrinya menukar iman dengan keyakinan suami.
127
Kekhawatiran al-Maraghi
itu memang cukup beralasan, terutama bila dikaitkan dengan firman Allah
berikut:
... ` ` ` ` ` ` ` `
` ... . , 221 ,
Artinya: Mereka itu (orang kafir) mengajak ke neraka, sedangkan
Allah mengajak ke surga dan keampunan.

Kekalutan di rumah tangga akan semakin mencekam, bila masing-masing
pihak (suami istri) ingin saling mempengaruhi dan sama-sama berusaha
menanamkan keyakinan kepada anak-anaknya. Bila hal ini terjadi jelas
keretakan rumah tangga tak dapat dihindarkan, suasana "surgawi" segera

127
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir al-Maragi, Mesir: Mustafa Al-Babi Al-Halabi,
1394 H/1974 M, juz 2, hlm. 153
91
berganti dengan gejolak api pertengkaran dan permusuhan, dan pada
gilirannya mengantarkan rumah tangga itu kepada kehancuran. Tidak hanya
itu, anak-anak yang lahir dari perkawinan itu, akan digerogoti terus-menerus
oleh kebimbangan, kerancuan pemikiran mengenai keyakinan agama, karena
tak tertanam secara mendalam di hatinya sejak kecil. Keyakinan semacam
inilah yang menjadi lahan yang subur bagi paham syirik, anti Tuhan, dan
sebagainya.
Kembali pada persoalan ahli kitab, Imam Abu Hanifah dan mayoritas ulama
fikih berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah siapa saja
yang mempercayai seorang nabi atau kitab yang pernah diturunkan Allah
SWT. Berdasarkan kriteria ini berarti apabila ada orang yang percaya kepada
Nabi Ibrahim AS dengan suhufnya, atau kepada Nabi Daud AS dengan Kitab
Zabur-nya, maka orang tersebut adalah tergolong ahlul kitab dan wanitanya
boleh dikawini. Sebagian kecil ulama salaf berpendapat bahwa setiap umat
yang memiliki kitab yang dapat diduga sebagai suci (samawi), seperti orang
Majusi, penyembah berhala di India, Cina, dan sebagainya, termasuk sebagai
ahlul kitab. Bahkan menurut Abu al-A'la al-Maududi, cakupan ahlul kitab
diperluas lagi oleh ulama fikih kontemporer sehingga menjangkau agama
Budha dan Hindu.
Muhammad Quraish Shihab, ahli tafsir kontemporer dari Indonesia, lebih
cenderung berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah
semua penganut agama Yahudi dan Nasrani, kapanpun, di mana pun, dan
92
keturunan siapa pun mereka. Pendapatnya ini didasarkan kepada firman Allah
SWT dalam surah al-An 'am (6) ayat 156:
` ` ` ` `
` , 156 ,
Artinya: (Kami turunkan Al-Qur'an itu) agar kamu (tidak)
mengatakan: Bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada dua
golongan saja sebelum kami, dan sesungguhnya kami tidak
memperhatikan apa yang mereka baca. (Q.S. al-An'am: 156)

Majlis Ulama Indonesia (MU1) pada tahun 1980 mengeluarkan fatwa bahwa
seorang wanita beragama Islam tidak boleh (haram) dinikahkan dengan pria
yang bukan beragama Islam; dan tidak diizinkan laki-laki beragama Islam
mengawini perempuan yang bukan beragama Islam. Alasan yang diajukan
antara lain firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah (2) ayat 221; surah al-
Ma'idah (5) ayat 5; surah at-Tahrim (66) ayat 6. Adapun pertimbangan fatwa
melarang laki-laki beragama Islam mengawini perempuan ahlul kitab yang
oleh Al-Qur'an secara tegas dibolehkan-adalah karena dampak negatifnya
lebih besar dari dampak positifnya.
Setelah mengkaji beberapa ayat Al-Qur'an, sebagaimana dikutip di
muka, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Haram mengikat perkawinan antara muslim dengan musyrik baik laki-laki
maupun perempuan.
2. Pada umumnya ulama membolehkan pria muslim menikahi wanita ahli
kitab, tidak sebaliknya.
93
Untuk menjelaskan silsilah Bani Israil dalam konteksnya dengan
makna ahli kitab, maka di sini penulis hendak memperjelasnya bahwa
Ahli kitab adalah orang-orang yang berasal dari pemeluk agama Musa
dan Isa As., serta pembawa kitab samawi baik Taurat atau Injil. Pertama
adalah orang-orang Yahudi dan terakhir orang-orang Nasrani. Setelah Nabi
Musa di utus kepada kaum Yahudi datanglah Nabi Isa membawa Injil kepada
mereka untuk meluruskan penyelewengan yang mereka perbuat dan
menunjukkan kepada jalan yang lurus namun mereka tidak memenuhi
panggilan itu, tidak mendengar ajakan dan nasehat serta peringatan beliau,
bahkan mereka menolak dan terus dalam kesesatan mereka, bahkan
menampakkan permusuhan secara terang-terangan serta menghalang-halangi
setiap orang yang teguh di atas jalan Allah. Mereka menebarkan ancaman dan
memasang perangkap untuk melunturkan istiqamah di atas kebenaran dan
tidak segan-segan membuat kedustaan dan tuduhan palsu kepada Nabi Isa
bahkan di antara mereka ada yang melakukan percobaan pembunuhan, namun
Allah menyelamatkan beliau dari maksud jahat mereka.
Allah menyelamatkan Nabi Isa dengan cara yang penuh muatan
mu'jizat dan sangat rapi serta rahasia agar mereka kesulitan menemukan
keberadaan beliau hingga selamat dari niat buruk mereka. Namun kerahasiaan
dan kesamaran itu justru membuka peluang bagi orang-orang Yahudi untuk
membuat cerita palsu dan berita bohong serta mengaburkan kebenaran dalam
rangka menyesatkan manusia dari jalan kebenaran.
94
Misteri itu tetap dibuat komoditi utama bagi para pendusta dan
pemalsu untuk menebarkan kesesatan kepada orang-orang yang lemah jiwa
dan akalnya serta dangkal ilmu pengetahuan dan hujjahnya hingga Allah
mengutus Nabi Muhammad Saw dengan membawa wahyu al-Qur'an yang
mampu menyingkap misteri dan membongkar kepalsuan dan kedustaan
Yahudi terhadap Nabi Isa As.
Allah Swt berfirman:
` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` ` ` ` `
' ` ` ` 153 ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` 154 ` ` `
` ` ` ` ' ` ` ` `
` ` ` ` ` ` 155
` ` ` ` ` ` 156 ` ` `
` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` 157 ` ` ` `
` 158
Artinya: Ahli Kitab meminta kepadamu agar kamu menurunkan
kepada mereka sebuah Kitab dari langit. Maka
sesungguhnya mereka telah meminta kepada Musa yang
lebih besar dari itu. Mereka berkata : "Perlihatkanlah Allah
95
kepada kami dengan nyata". Maka mereka disambar petir
karena kezalimannya, dan mereka menyembah anak sapi ,
sesudah datang kepada mereka bukti-bukti yang nyata, lalu
Kami ma'afkan dari yang demikian. Dan telah Kami berikan
kepada Musa keterangan yang nyata. Dan telah Kami angkat
ke atas mereka bukit Thursina untuk perjanjian mereka.
Dan kami perintahkan kepada mereka : "Masuklah pintu
gerbang itu sambil bersujud ", dan Kami perintahkan
kepada mereka : "Janganlah kamu melanggar peraturan
mengenai hari Sabtu ", dan Kami telah mengambil dari
mereka perjanjian yang kokoh. Maka , disebabkan mereka
melanggar perjanjian itu, dan karena kekafiran mereka
terhadap keterangan-keterangan Allah dan mereka
membunuh nabi-nabi tanpa yang benar dan mengatakan :
"Hati kami tertutup." Bahkan, sebenarnya Allah telah
mengunci mati hati mereka karena kekafirannya, karena itu
mereka tidak beriman kecuali sebahagian kecil dari mereka.
Dan karena kekafiran mereka dan tuduhan mereka terhadap
Maryam dengan kedustaan besar , dan karena ucapan
mereka : "Sesungguhnya kami telah membunuh Al Masih,
'Isa putra Maryam, Rasul Allah ", padahal mereka tidak
membunuhnya dan tidak menyalibnya, tetapi orang yang
diserupakan dengan 'Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-
orang yang berselisih paham tentang 'Isa, benar-benar dalam
keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak
mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu,
kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak yakin
bahwa yang mereka bunuh itu adalah 'Isa. Tetapi , Allah
telah mengangkat 'Isa kepada-Nya . Dan adalah Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS an-Nisa ayat 153 158).


Meskipun telah banyak orang yang mendapat petunjuk dan kembali
kepada kebenaran namun ada sebagian kecil orang yang terus menjalani
kesesatan dan kebimbangan aqidah hingga terjerumus ke dalam kesyirikan
dan penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya, mereka membuat kepalsuan
dengan menganggap bahwa Nabi Isa disalib dan berstatus menjadi anak Allah.
Menurut anggapan mereka, setelah Nabi Isa disalib kemudian dikubur lalu
diangkat ke atas langit. Apa pun yang terjadi, mereka tetap dianggap sebagai
96
pemegang kitab samawi dan masih ada sisa-sisa ajaran dan nasehat samawi
seperti iman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari Akhir,
takdir, kebangkitan, hisab, surga dan neraka serta perkara-perkara ghaib yang
dibawa oleh para rasul.
Dalam konteksnya dengan perkawinan antara agama, bahwa tidak ada
hadis yang secara eksplisit menegaskan tentang masalah itu, yang ada adalah
beberapa hadis yang secara implisit menunjuk ke arah itu. Hadis yang
dimaksud di antaranya:

` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` `
` ` , ,
128


Artinya: Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah Saw. bersabda: "Wanita
dikawini karena empat hal: karena harta-bendanya, karena
status sosialnya, karena keindahan, wajahnya, dan karena
ketaatannya kepada agama. Pilihlah wanita yang taat kepada
agama, maka kamu akan berbahagia (H.R. al-Bukhari).

` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` `

128
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn al-Mugirah ibn Bardizbah al-
Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz. 3, Beirut: Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M, hlm. 256
97
` ` ` ` `
` , ,
129


Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Abdul Malik bin Abiu
Sulaiman dari Atha': "Jabir bin Abdullah bercerita kepadaku;
"Pada zaman Rasulallah Saw. aku menikahi seorang wanita.
Suatu hari ketika bertemu dengan nabi Saw. beliau bertanya
kepadaku: "Wahai Jabir, kamu sudah menikah?" Aku
menjawab: "Benar." Beliau bertanya: ."Gadis atau janda?"
Aku menjawab: "Janda". Beliau bertanya: "Kenapa tidak
kamu cari saja yang gadis supaya kamu bisa bermain
dengannya?" Aku mencoba menjelaskan: "Wahai
Rasulallah, sesungguhnya aku ini memiliki beberapa orang
saudara perempuan. Aku "merasa khawatir ia mengganggu
hubunganku dengan saudara-saudara perempuanku itu
Rasulallah Saw. bersabda: "Baiklah kalau begitu.
Sesungguhnya wanita itu dinikahi karena agamanya,
hartanya, dan kecantikannya. Tetapi carilah wanita yang
punya agama, niscaya kamu akan bahagia." (HR. Muslim).


` ` ` ' ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ' ` ` ` ` ` ' ` `
, ,
130


Artinya: Telah mengabarkan kepadaku dari Muhammad bin Abdullah
bin Numair al-Hamdani dari Abdullah bin Yazid dari
Haiwatun dari Syurajil bin Syarik sesungguhnya dia
mendengar Abu Abdurrahman al-Khubuli dapat kabar dari
Abdullah bin Umar; sesungguhnya Rasulallah Saw.
bersabda: "Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baiknya
perhiasan dunia ialah wanita yang saleh

129
Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahih
Muslim, Juz. 2, Mesir: Tijariah Kubra, tth., hlm. 175.
130
Ibid., hlm. 178.
98
D. Metode Istinbath Hukum Al-Syafi'i tentang Perkawinan Antar Agama

Posisi "tengah" Al-Syafii terlihat dalam dasar-dasar mazhabnya.
Dalam buku metodologisnya, al-Risalah, ia menjelaskan kerangka dan dasar-
dasar mazhabnya dan beberapa contoh bagaimana merumuskan hukum-
hukum far'iyyah dengan menggunakan dasar-dasar tadi. Baginya, Al-Qur'an
dan Sunnah berada dalam satu tingkat, dan bahkan merupakan satu-kesatuan
sumber syariat Islam. Sedangkan teori-teori istidlal seperti qiyas, istihsan,
istishab dan lain-lain hanyalah merupakan suatu metode merumuskan dan
menyimpulkan hukum-hukum dari sumber utamanya tadi.
Pemahaman integral Al-Qur'an-Sunnah ini merupakan karakteristik
menarik dari pemikiran fiqih Syafii. Menurut Syafii, kedudukan Sunnah,
dalam banyak hal, menjelaskan dan menafsirkan sesuatu yang tidak jelas dari
Al-Qur'an, memerinci yang global, mengkhususkan yang umum, dan bahkan
membuat hukum tersendiri yang tidak ada dalam Al-Qur'an. Karenanya,
Sunnah Nabi saw. tidak berdiri sendiri, tetapi punya keterkaitan erat dengan
Al-Qur'an. Hal itu dapat dipahami karena Al-Qur'an dan Sunnah adalah
Kalamullah; Nabi Muhammad saw. tidak berbicara dengan hawa nafsu, semua
ucapannya adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah.
Hipotesa menarik lainnya dalam pemikiran metodologis Syafii adalah
pernyataannya, "Setiap persoalan yang muncul akan ditemukan ketentuan
hukumnya dalam Al-Qur'an." Untuk membuktikan hipotesanya itu Syafii
menyebut empat cara Al-Qur'an dalam menerangkan suatu hukum.
99
Pertama, Al-Qur'an menerangkan suatu hukum dengan nash-nash
hukum yang jelas, seperti nash yang mewajibkan salat, zakat, puasa dan haji,
atau nash yang mengharamkan zina, minum khamar, makan bangkai, darah
dan lainnya.
Kedua, suatu hukum yang disebut secara global dalam Al-Qur'an dan
dirinci dalam Sunnah Nabi. Misalnya, jumlah rakaat salat, waktu
pelaksanaannya, demikian pula zakat, apa dan berapa kadar yang harus
dikeluarkan. Semua itu hanya disebut global dalam Al-Qur'an dan Nabilah
yang menerangkan secara terinci.
Ketiga, Nabi Muhammad saw. juga sering menentukan suatu hukum
yang tidak ada nash hukumnya dalam Al-Qur'an. Bentuk penjelasan Al-Qur'an
untuk masalah seperti ini dengan mewajibkan taat kepada perintah Nabi dan
menjauhi larangannya. Dalam Al-Qur'an disebutkan: "Barangsiapa yang taat
kepada Rasul, berarti ia taat kepada Allah." Dengan demikian, suatu hukum
yang ditetapkan oleh Sunnah berarti juga ditetapkan oleh Al-Qur'an, karena
Al-Qur'an memerintahkan untuk mengambil apa yang diperintahkan oleh Nabi
menjauhi yang dilarang.
Keempat, Allah juga mewajibkan kepada hamba-Nya untuk berijtihad
terhadap berbagai persoalan yang tidak ada ketentuan nashnya dalam Al-
Qur'an dan hadis. Penjelasan Al-Qur'an terhadap masalah seperti ini yaitu
dengan membolehkan ijtihad (bahkan mewajibkan) sesuai dengan kapasitas
pemahaman terhadap maqashid al-Syari'ah (tujuan-tujuan umum syariat),
100
misalnya dengan qiyas atau penalaran analogis. Dalam Al-Qur'an disebutkan,
yang artinya:
"Hai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan
orang-orang yang mempunyai kekuasaan di antara kamu. Maka apabila kamu
berselisih tentang sesuatu kembalikanlah kepada Allah dan Rasul."
Menurut Al-Syafii, "Kembalikanlah kepada Allah dan Rasul", artinya
kembalikan pada Al-Qur'an dan Sunnah. Dan pengembalian itu hanya dapat
dilakukan dengan qiyas. Dengan landasan ayat ini, dan ayat- ayat lainnya, ia
ingin menyebutkan bahwa ijtihad merupakan perintah Al-Qur'an itu sendiri
dan bukan merekayasa hukum.
Dari keterangan di atas dapat diketahui "posisi tengah" pemikiran
metodologis Syafii. la begitu teguh dalam berpegang pada Al-Qur'an dan
Sunnah dan pada saat yang sama memandang penting penggunaan rasio dan
ijtihad.
Menurut Syafii, struktur hukum Islam dibangun di atas empat dasar
yang disebut "sumber-sumber hukum". Sumber-sumber hukum tersebut
adalah Al-Qur'an, Sunnah, ijma' dan qiyas. Meskipun ulama sebelumnya juga
menggunakan keempat dasar di atas, tetapi rumusan Syafii punya nuansa dan
paradigma baru. Penggunaan ijma', misalnya, tidak sepenuhnya mencaplok
rumusan Imam Malik yang sangat umum dan tanpa batas yang jelas.
Bagi Syafii, ijma' merupakan metode dan prinsip, dan karenanya, ia
tidak memandang konsensus orang-orang umum sebagai ijma', sebagaimana
dinyatakan oleh Imam Malik dan ulama-ulama Madinah. Ini dengan jelas
101
terlihat dalam percakapan dengan sekelompok ahli hukum Madinah dalam
bukunya Al-Umm dan dikutip lengkap oleh Fazlur Rahman:
Al-Syafii:
"Akankah kita katakan bahwa anda menganggap, misalnya Ibnu
Musayyib sebagai ulama yang otoritatif di Madinah, Atha' yang otoritatif di
Mekkah, Hasan di Bashrah dan Sya'bi di Kufah semuanya dari generasi
tabi'ien dan memandang apa yang mereka sepakati sebagai ijma'?"
Lawan: "Ya."
Al-Syafii:
"Tetapi anda menyatakan bahwa mereka tidak pernah bertemu dalam
pertemuan mana pun yang anda ketahui. Karena itu, anda menyimpulkan ijma'
mereka dari laporan-laporan tentang mereka, dan, sesungguhnya, karena anda
telah melihat bahwa ulama-ulama tersebut membuat pernyataan-pernyataan
mengenai masalah-masalah yang tidak anda temui pembahasannya dalam Al-
Qur'an dan Sunnah, maka anda menyimpulkan bahwa mereka telah melakukan
qiyas terhadap masalah-masalah tersebut dan anda berargumentasi bahwa
qiyas adalah kumpulan pengetahuan yang benar dan mapan yang disepakati
oleh para ulama."
Lawan: "Itulah yang kami katakan. Pengetahuan datang dalam
beberapa bentuk.
Pertama, apa yang dituturkan oleh seluruh masyarakat dari seluruh
masyarakat generasi-generasi yang telah lalu (pengetahuan yang dibentuk)
dengan kepastian yang dapat saya sumpahkan dengan nama Allah dan Rasul-
102
Nya. Contoh dari pengetahuan semacam ini adalah kewajiban-kewajiban
agama.
Kedua, bagian dari Al-Qur'an yang mengakui perbedaan-perbedaan
penafsiran haruslah diterima dalam artinya yang langsung dan sesuai dengan
akal sehat: ia tidak bisa diberi "batiniyah" dan allegoris walaupun ia mungkin
dapat menerima arti seperti itu kecuali bila hal itu menjadi konsensus
masyarakat.
Ketiga, pengetahuan yang disepakati oleh kaum Muslimin dan mereka
telah menyatakan persetujuan sebelumnya terhadapnya. Bahkan apabila yang
disebut terakhir ini mungkin tidak datang dari Al-Qur'an ataupun Sunnah, bagi
saya ia memiliki kedudukan yang sama dengan Sunnah yang telah disepakati.
Ini disebabkan karena kesepakatan kaum Muslimin tidak dapat dicapai
semata-mata dengan pendapat-pendapat pribadi (tapi hanya dengan melalui
qiyas), karena pendapat-pendapat pribadi hanya membawa pada perselisihan.
Keempat, pengetahuan para ahli yang merupakan argumen yang
konklusif kecuali bila disampaikan dengan cara kebal terhadap kekeliruan.
Terakhir, qiyas. Tidak ada perselisihan yang dapat memasuki
pengetahuan dalam bentuk-bentuk yang telah saya uraikan tadi, dan segala
sesuatu akan tetap berakar pada prinsip-prinsipnya kecuali bila masyarakat
umum setuju untuk melepaskannya dari prinsip-prinsipnya. Ijma' adalah
argumen final mengenai segala sesuatu, karena ia kebal terhadap kekeliruan."
Al-Syafii: Mengenai jenis pengetahuan yang pertama yang anda
jelaskan tadi, yakni transmisi dari seluruh masyarakat generasi sebelumnya,
103
memang dapat diterima. Tapi apakah anda tahu, dan dapatkah anda
menjelaskan pengetahuan jenis kedua yang sehubungan dengannya, dimana
anda mengatakan bahwa seluruh masyarakat bersepakat atasnya dan
mentransmisikan kesepakatan umum yang sama mengenai hal itu pada
generasi-generasi sebelumnya? Dan apa yang anda maksud dengan seluruh
masyarakat itu? Apakah ia meliputi baik ulama maupun non-ulama...?
Lawan: "Ini adalah ijma' para ulama saja ... karena hanya merekalah
orang- orang yang dapat mengetahui dan bersepakat pendapat tentang masalah
itu. Jadi, ketika mereka bersepakat pendapat, maka hal ini menjadi otoritatif
bagi mereka yang tidak mengetahuinya (yakni bagi non-ulama); tetapi jika
mereka tidak bersepakat pendapat, maka pendapat-pendapat mereka tidak
mempunyai otoritas bagi siapa pun, dan masalah-masalah seperti itu harus
dirujuk pada suatu qiyas (penalaran analogis) yang baru berdasarkan apa yang
telah disepakati bersama ... Tidaklah penting apakah ijma' didasarkan pada
sebuah hadis verbal yang mereka riwayatkan ataukah tanpa sebuah hadis pun
..., dan bahkan bila mereka berselisih, tidaklah penting apakah hadis verbal
yang sesuai dengan pendapat sebagian dari mereka ataukah tidak ada. Karena
saya tidak menerima sesuatu hadits pun ..., dan bahkan bila mereka berselisih,
tidaklah penting apakah ada hadits verbal yang sesuai dengan sebagian dari
mereka ataukah tidak ada. Karena saya tidak menerima sesuatu hadis pun
kecuali ada kesepakatan pendapat atasnya ..."
Selanjutnya, pada periode ini, interaksi antara qiyas dan ijma'
dipandang tidak sebagai sebuah prinsip yang statis, tapi sebagai suatu proses
104
asimilasi, interpretasi dan adaptasi yang dinamis dan wajar. Hal ini terlihat
dengan jelas dalam bagian lain dari tulisan Syafii yang, walaupun agak
berkepanjangan, adalah yang paling komprehensif mengenai masalah tersebut
dan mengungkapkan sikap sebenarnya dan yang serba meliputi dari ijma'.
Nuansa dan paradigma pemikiran Syafii itu selalu terlihat dalam
pemikiran-pemikirannya yang dibangun di atas pemikiran-pemikiran ulama
sebelumnya. Penalaran analogis (qiyas) Al-Syafii, juga, menawarkan
pernahaman baru. Apa yang dirumuskan oleh ulama-ulama sebelumnya oleh
Syafii disebut qiyas bilfuru', penalaran analogis terhadap masalah-masalah
partikular dengan berpijak pada suatu prinsip tertentu yang terkandung dalam
suatu preseden.
Sebuah kasus yang baru dapat dimasukkan ke dalam prinsip ini, atau
disamakan dengan preseden tersebut dengan kekuatan suatu sifat esensial
umum yang disebut 'illat. Sedangkan metode-metode yang lain, seperti
istihsan, istishab, sadd al-zarai' dan metode lainnya dimasukkan ke dalam
qiyas bil qawa'id (penalaran analogis terhadap prinsip umum yang terkandung
dalam suatu preseden itu sendiri).
Dalam hubungannya dengan perkawinan antar agama, bahwa dalam
perspektif Al-Syafii bahwa siapa yang beragama dengan agama Yahudi dan
Nasrani dari orang Sabiin dan Samiri, maka boleh dimakan sembelihannya
dan halal dikawini wanitanya. Selanjutnya menurut Al-Syafii, wanita
105
muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki non muslim, akan tetapi
dibolehkan menikah antara laki-laki muslim dengan ahli kitab.
131

Dalam kaitannya dengan ahli kitab, menurut Al-Syafi'i, yang termasuk
ahlul kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang
Israel, tidak termasuk bangsa-bangsa lain sekalipun penganut agama Yahudi
dan atau Nasrani. Di antara alasan yang diajukan adalah pertama, karena Nabi
Musa AS dan Nabi Isa AS hanya diutus untuk orang-orang bangsa Israel; dan
kedua, lafal min qablikum (umat sebelum kamu) dalam surah al-Ma'idah (5)
ayat 5 menunjuk kepada kedua kelompok Yahudi dan Nasrani bangsa Israel.
Dalam hal ini metode istinbath hukumnya Al-Syafii didasarkan pada
beberapa ayat dan surat di bawah ini:
` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` , 1 ,

Artinya: Dan orang-orang kafir di antara ahli kitab (Yahudi, Nasrani)
dan orang-orang yang musyrik tidak mau meninggalkan
agama mereka sehingga datang keterangan kepada mereka
(Q.S. al-Bayyinah: 1).

` ` ` ` `
` ` ` ` ` `
,... 82 ,
Artinya: Sesungguhnya kamu [Muhammad] niscaya menemukan
orang-orang yang sangat keras memusuhi orang-orang
beriman, ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik
(mempersekutukan Allah). Dan kamu menemukan pula

131
Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafii, Al-Umm, Beirut Libanon:
Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth, juz 4, hlm. 287 dan 289

106
orang-orang yang kasih kepada orang-orang yang beriman,
yaitu orang-orang yang berkata, "Kami adalah orang-orang
Nasrani ...") (Q.S. al-Maidah: 82)

` ` ` ` `
` ` ` ` `
` ` , 17 ,

Artinya: Sesungguhnya orang-orang beriman dan orang-orang Yahudi,
orang-orang Shabi'in (penyembah bintang), orang-orang
Nasrani dan Majusi, begitu pun orang-orang yang
mempersekutukan Allah sungguh Allah bakal memberikan
keputusan yang tegas di antara mereka pada hari kiamat.
Adalah Allah saksi pada tiap-tiap sesuatu (Q.S. al-Hajj: 17).

Dalam kaitan ini, penulis di satu segi kurang sependapat dengan
pendapat al-Syafi'i yang mengkategorikan ahlul kitab seperti tersebut di atas.
Alasan penulis kurang setuju karena bila diaplikasikan di Indonesia, maka
orang-orang Indonesia yang menganut agama Yahudi atau Nasrani sesudah
turunnya al-Quran maka mereka tidaklah termasuk di dalam ahlul kitab,
konsekuensinya maka tidak halal bagi muslim menikahi perempuan-
perempuan mereka.
Pembatasan pengertian yang hanya dalam dua komunitas agama:
Yahudi dan Nasrani versi Syafii, maka menurut penulis jelas akan melahirkan
implikasi sosiologis dalam konteks kehidupan sosial yang serius di Indonesia.
Karena, realitas keragaman agama, tidak hanya terbatas pada dua agama Semit
tersebut.
107
Di segi lain, penulis setuju dengan pendapat al-Syafii yang
membolehkan pria muslim menikah dengan perempuan ahlul kitab. Alasan
penulis setuju karena surah al-Maidah ayat 5 merupakan petunjuk yang qathi
(tegas) tentang bolehnya menikahi wanita ahlul kitab. Dengan kata lain,
menikahi wanita ahlul kitab boleh karena ayat ke-5 dari al-Maidah itu secara
qath'i (tegas) menyatakan kehalalannya.
Dalam kaitannya dengan perkawinan antar agama, khususnya
mengenai makna ahlul kitab dalam versi al-Syafi'i, ia menggunakan metode
istinbath hukum yaitu Al-Qur'an surat Al-Maidah ayat 5.
` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` ` ` ` ` `
` ` ` , 5 ,

Artinya: Pada hari ini dihalalkan bagi kamu yang baik-baik.
Makanan [sembelihan] orang-orang yang diberi al-Kitab
itu halal bagi kamu, dan mahanan kamu halal [pula] bagi
mereka. [Dan dihalalkan bagi kamu menikahi] wanita-
wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita
yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab
sebelum kamu, bila kamu telah membayar mahar mereka
dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud
berzina dan tidak [pula] menjadikannya gundik-gundik.
Barangsiapa yang kafir sesudah beriman maka hapuslah
amalannya dan di hari akhirat dia termasuk orang-orang
yang merugi. (Q.S. al-Maidah: 5)

108
Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa para ahli tafsir dan para
ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan ayat wal muhsant minal lazna
tul kitb min qablikum menurut Ibnu Jarir yang dimaksud dengan muhsanat
adalah wanita baik-baik dari ahli kitab baik merdeka atau budak. Imam Syafi'i
yang dimaksud ahli kitab di sini adalah wanita baik-baik dari Bani Israil. Dan
menurut yang lain muhsanat adalah wanita ahli kitab yang baik-baik tadi yang
merupakan penduduk Negeri Islam (Kafir Zimmi),
132
karena berdasarkan
firman Allah yang mengatakan:
` ` ` `

Artinya: Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan
tidak pula pada hari kemudian.
133


Menurut analisis penulis seorang laki-laki Muslim boleh menikahi
Ahlul kitab, selama wanita Ahlul kitab tersebut layak untuk dinikahi. Hikmah
yang terkandung di dalam hukum bolehnya seorang laki-laki Muslim
menikahi wanita Ahlul kitab ialah tersedianya kesempatan supaya terciptanya
hubungan dan kerjasama di antara mereka; dan di samping itu agar dengan
keinginannya, wanita Ahlul kitab itu dapat mempelajari ajaran-ajaran mulia
yang terdapat dalam ajaran Islam.
Tentang makna ahlul kitab, maka penulis lebih cenderung berpendapat
bahwa yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah semua penganut agama
Yahudi dan Nasrani, kapanpun, di mana pun, dan keturunan siapa pun mereka.

132
Ism'l ibn Katsr al-Qurasy al-Dimasyq, Tafsr al-Quran al-Azm., Beirut: Dr
al-Marifah, 1978, Juz 6, hlm. 252.
133
Depag RI, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran
dan Terjemahnya, 1986, hlm. 282.
109
Pendapatnya ini didasarkan kepada firman Allah SWT dalam surah al-An 'am
(6) ayat 156:
` ` ` ` `
` , 156 ,
Artinya: (Kami turunkan Al-Qur'an itu) agar kamu (tidak)
mengatakan: Bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada dua
golongan saja sebelum kami, dan sesungguhnya kami tidak
memperhatikan apa yang mereka baca. (Q.S. al-An' am 156)










110
BAB V
PENUTUP

D. Kesimpulan
Berdasarkan uraian sebelumnya, dan dengan mengacu pada rumusan
masalah sebagaimana termuat dalam bab pertama sampai bab keempat skripsi
ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Dalam perkawinan antar agama menurut Imam Safi'i:
- Laki-laki muslim tidak boleh menikah dengan wanita non muslim
dengan alasan surat Al-Baqarah 221: wal tankihul musyrikti hatta
yukminna walmatun mu'minatun khairun min musyrikatin walau
a'jabatkum.
- Wanita muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki non muslim
dengan alasan surat al-Baqarah 221:
wal tunkihul musyrikna hatta yukminu wala'abdun mu'minun khairun
min musyrikin walau a'jabakum.
2. Laki-Laki muslim tidak boleh menikah dengan wanita non muslim kecuali
dengan wanita non muslim yang berasal dari ahli kitab. Menurut al-Syafi'i
yang dimaksud dengan ahli kitab tersebut adalah keturunan Bani Israil
atau orang-orang yang berpegang teguh pada kitab Taurat pada masa Nabi
111
Musa dan orang-orang yang berpegang teguh pada kitab Injil pada masa
Nabi Isa.
3. Istinbath hukum Al-Syafii yang membolehkan laki-laki muslim menikah
dengan wanita non muslim dari ahli kitab didasarkan atas di takhsis surat
al-Baqarah ayat 221 oleh surat al-Maidah ayat 5. Adapun ahli kitab yang
dimaksud oleh al-Syafi'i hanya terbatas kepada keturunan Bani Israil atau
orang-orang yang berpegang teguh pada Kitab Taurat pada masa Nabi
Musa dan orang-orang yang berpegang teguh pada kitab Injil pada masa
Nabi Isa. Disebabkan:
(a) Dalam ayat 5 al-Ma'idah terdapat lafal min qablikum yang berarti
orang-orang Bani Israil atau orang-orang yang berpegang teguh pada
Kitab Taurat pada masa Nabi Musa dan orang-orang yang berpegang
teguh pada kitab Injil pada masa Nabi Isa.
(b). Nabi Musa dan Nabi Isa hanya diutus kepada Bani Israil.
E. Saran-Saran
Meskipun pendapat al-Syafii dibuat dalam kurun waktu yang sudah
lama, namun hendaknya dijadikan studi banding oleh peneliti lainnya, ketika
membahas perkawinan dengan non muslim. Di samping itu pendapat al-Syafi'i
memperkaya wacana perkawinan dengan non muslim. Oleh karena itu kita
perlu menghargai pendapat al-Syafi'i tersebut.
F. Penutup
112
Meskipun tulisan ini telah diupayakan secermat mungkin namun
mungkin saja masih ada kekurangan dan kekeliruannya. Menyadari akan hal
itu, penulis mengharap kritik dan saran menuju kesempurnaan tulisan ini,
semoga Allah SWT meridhoi, mn.





















113
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Siradjuddin, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafii, Jakarta: Pustaka
Tarbiyah, 2004
Abd al-Salam, Ahmad Nahrawi, Al-Imam al-Syafi'i fi Madzhabaih fi al-Qadim wa
al-Jadid, Kairo: Dar al-Kutub, 1994
Abu Hasan, Ali al-Walid, Asbab Nuzul al-Qur'an, (ed) Sayyid Ahmad Shaqr, Dar
al-Qiblat, tt
Abu Zahrah, Muhammad, Hayatuhu wa Asruhu wa Fikruhu ara-Uhu wa Fiqhuhu,
Terj. Abdul Syukur dan Ahmad Rivai Uthman, Al-Syafii Biografi dan
Pemikirannya Dalam Masalah Akidah, Politik dan Fiqih, Jakarta: PT
Lentera Basritama, 2005
Al-Bukhari, Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn al-Mugirah ibn
Bardizbah, Sahih al-Bukhari, Juz 3, Beirut Libanon: Dar al-Fikr, 1410
H/1990 M
Al-Ghazzi, Syekh Muhammad bin Qasim, Fath al-Qarib, Indonesia: Maktabah al-
lhya at-Kutub al-Arabiah, tth
Al-Jauziyah, Ibn Qayyim, Ilamul Muwaqiin an Rabbil Alamin, Juz 2, al-
Muniriyyah
Al-Jaziri, Abdurrahman, Kitab al-Fiqh ala al-Mazahib al-Arbaah, juz 4, Beirut:
Dar al-Fikr, 1972
Al-Malibary, Syaikh Zainuddin Ibn Abd Aziz, Fath al-Muin Bi Sarkh Qurrah al-
Uyun, Semarang: Maktabah wa Matbaah, karya Toha Putera , tth
Al-Maragi, Ahmad Mustafa, Tafsir al-Maragi, Mesir: Mustafa Al-Babi Al-
Halabi, 1394 H/1974 M, juz 2
Al-Qardhawi, Yusuf, Hadyul Islam Fatawi Muashirah, Terj. Asad Yasin,
Fatwa-Fatwa Kontemporer, jilid 1, Jakarta: Gema Insani, 2001
Al-Shabuni, Muhammad Ali, Tafsir Ayat al-Ahkam, Dar al-Qur'an al-Karim, 1972
Al-Syafii, Al-Imam Abi Abdillah Muhammad Ibn Idris, al-Risalah fi Ilmu al-
ushul , al-Ilmiyah, Mesir, 1312 H
____________, Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris, Al-Umm, Beirut
Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth, juz 4
Al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasyaf, Beirut: Dar al-Ma'rifah, tth
114
Amini, Ibrahim, Principles of Marriage Family Ethics, terj. Alwiyah
Abdurrahman, "Bimbingan Islam Untuk Kehidupan Suami Istri",
Bandung: al-Bayan, 1999
Amirin, Tatang M., Menyusun Rencana Penelitian, Cet. 3. Jakarta: PT. Raja
grafindo persada, 1995
Ash Shiddieqy, TM. Hasbi, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, PT Putaka
Rizki Putra, Semarang, 1997
_____________, Koleksi Hadis-Hadis Hukum, Semarang: PT.Pustaka Rizki
Putra, jilid 8, 2001
_____________, Mutiara Hadis, jilid 5, Semarang; PT.Pustaka Rizki Putra, 2003
As-Sanani, Sayyid al-Iman Muhammad ibn Ismail Subul al-Salam Sarh Bulugh
al-Maram Min Jami Adillati al-Ahkam, Juz 3, Kairo: Dar Ikhya al-Turas
al-Islami, 1960
As-Suyuti, Imam Jalaluddin, Tafsir Jalalain, Kairo: Dar al-Fikr, t.th
Asy Syarbasy, Ahmad, Al-Aimmah al-Arba'ah, Terj. Futuhal Arifin, "Biografi
Empat Imam Mazhab", Jakarta: Pustaka Qalami, 2003
______________, Yas'alunaka fi ad-Din wa al-Hayah, Terj. Ahmad Subandi,
"Tanya Jawab Lengkap tentang Agama dan Kehidupan", Jakarta: Lentera,
1997
Asy Syaukani, Muhammad, Nail alAutar, Beirut: Daar al-Qutub al-Arabia, juz
4, 1973
Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press, 2004
Dahlan, Abdul Aziz, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 4, Jakarta: PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1997
Daradjat, Zakiah, Ilmu Fiqh, jilid 2, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995
Depag RI, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran
dan Terjemahnya, 1986
Djazuli, Ilmu Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005
Eoh, O.S., Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1998
Fikri, Ali, Kisah-Kisah Para Imam Madzhab, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003
115
Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan,
Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju, 1990
Hamid, Zahry, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang
Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978
Hamka, Tafsir Al Azhar, Jakarta: PT Pustaka Panji Mas, juz 2, 1999
Hanafie, A., Ushul Fiqh, Cet. 14, Jakarta: Wijaya, 2001
Ibn Kasir, Al-Imam al-Hafizh Imaduddin Abul Fida Ismail, Tafsir al-Quran al-
Azhim, Cairo: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, juz 2, tth
Khalaf, Abd Wahab, Ilm ushul al-Fiqh, Jakarta: Maktabah al-Dakwah al-
Islamiyah Syabab al-Azhar, 1410 H/1990M
Khalid, Syekh Hasan, al-Zawaj Bighair al-Muslimin, Terj. Zaenal Abidin
Syamsudin, Menikah Dengan Non Muslim, Jakarta: Pustaka al-Sofwa,
2004
Khalil, Munawar, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Jakarta: Bulan
Bintang
Koencaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Cet. 14, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 1970
Kuzari, Achmad, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,
1995
Moleong, Lexy J., Metode Penelitian Kulitatif, Cet. 14, Bandung: PT Remaja
Rosda Karya, 2001
Mubarok, Jaih, Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul
Jadid, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002
____________, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: PT.Remaja
Rosdakarya, 2000
Mughniyah, Muhammad Jawad, Al-Fiqh 'ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj.
Masykur AB, et al, "Fiqih Lima Mazhab", Jakarta: PT Lentera Basritama,
2000
Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, Cet. 5, Yogyakarta: Gajah
Mada University Press, 1991
Nazir, Moh., Metode Penelitian, Cet. 4, Jakarta: Ghalia Indonesia,1999
116
Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Bandung: PT Sumur
Bandung, 1981
Ramulyo, Moh. Idris, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis dari Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Bumi
Aksara, 2002
Rasyid Ridha, Sayyid Muhammad, Tafsir al-Manar, Kairo: Maktabah al-Qahirah,
cet. Ke-4, 1380 H
Razak, Nasruddin, Dienul Islam, Cet. 9, Bandung: PT. Al-Maarif, 1986
Ridha, Rasyid, Tafsir al-Manar, juz 6, Cairo: Dar al-Manar, 1367 H
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,
1977
Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, juz 2, tth
Saekan dan Erniati Effendi, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, Surabaya: Arkola, 1977
Saleh, Abdul Munim, Madzhab Syafii Kajian Konsep Al-Maslahah, Yogyakarta:
Ittaqa Press, 2001
Sosroatmodjo, Arso, dan A.Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia,
Jakarta: Bulan Bintang, 1975
Suma, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada, 2004
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet. 7, Jakarta;
Pustaka Sinar Harapan, 1993
Syalthut, Mahmud, Fiqih Tujuh Madzhab, terj. Abdullah Zakiy al-Kaaf, Bandung:
CV Pustaka Setia, 2000
Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI Press, Cet. 5, 1986
Uwaidah, Syekh Kamil Muhammad, Al-Jami' Fi Fiqhi an-Nisa, terj. M. Abdul
Ghofar, "Fiqih Wanita', (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2002
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran dan
Terjemahnya, Jakarta: Depag RI, 1986
Yunus, Mahmud, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta: PT Hidakarya
Agung, Cet. 12, 1990
117
Zuhdi, Masjfuk, Masail Fikhiyah, Jakarta: PT Gunung Agung, 1997

You might also like