You are on page 1of 15

KONSEP MUDARABAH DALAM HUKUM PERBANKAN SYARIAH ALTERNATIF SOLUSI KRISIS MONETER DI INDONESIA Oleh A.

Agus Bahauddin

A. Pendahuluan : Pembangunan ekonomi Indonesia diperlukan pengaturan pengelolaan sumber sumber ekonomi yang tersedia secara terarah dan terpadu dimanfaatkan maksimal bagi peningkatan kesejahteraan rakyat yang diambil dari unsur unsur ekonomi tersebut yang meliputi kekayaan alam, modal, tenaga kerja dan skill. Prinsipnya tercapai pemuasan pelbagai keperluan manusia, baik perorangan maupun masyarakat dan mencapai hasil sebesar besarnya dengan tenaga dan ongkos sekecil kecilnya dalam waktu sesingkat singkatnya menurut ukuran akal. Prinsip ini juga berlaku untuk sistem ekonomi syariah. Islam meletakkan norma norma etik asasi, asas keseimbangan dan sistem ekonomi syariah sebagai system penengah antara sistem ekonomi komunis dan sistem ekonomi kapitalis. Pesatnya perkembangan perekonomian syariah dewasa ini pemerintah semakin memperhatikan kelengkapan fasilitas perundang undangan yang mendukung kelancaran aktivitas keseharian lembaga lembaga ekonomi syariah tersebut diantaranya perbankan syariah. Berbagai peraturan baru telah dikeluarkan dalam berbagai bentuk dari surat edaran, peraturan administratif sampai bentuk undang undang. Lembaga perbankan umumnya, perbankan syariah khususnya berperanan semakin penting dan strategis dalam menggerakkan perekonomian Indonesia. Ini bukti bahwa lembaga perbankan syariah salah satu pilar utama pembangunan ekonomi nasional dituntut mampu mewujudkan tujuan perbankan nasional sebagaimana terkandung dalam UU No 7 Tahun 1992 sebagaimana telah dirubah dengan UU No 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, yaitu menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional kearah kesejahteraan rakyat banyak. Ini akan terwujud apabila didukung sistem perbankan yang sehat dan stabil. Peraturan Pemerintah No 72 Tahun 1992 tanggal 30 Oktober 1992 mengatur tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No 32 Tahun 1999 juga mengatur tentang bank umum berdasarkan prinsip syariah. Secara faktual, sistem ekonomi syariah melalui perbankan syariah telah terbukti keunggulannya di masa masa krisis khususnya tahun 1997. Semua bank goncang hebat, sebagian besar dilikuidasi, tetapi bank bank syariah tetap aman dan selamat, karena menggunakan sistem bagi hasil atau yang dikenal dengan mudarabah. Ajaibnya bank syariah dapat berkembang tanpa dibantu sesenpun oleh pemerintah. Bank bank konvensional hanya dapat bertahan karena memeras dana APBN ratusan triliun rupiah melalui BLBI dan bunga obligasi. APBN adalah hak seluruh rakyat Indonesia, tetapi rakyat terpaksa

dikorbankan untuk membela bank bank sistem konvensional agar bisa bertahan. Perbankan syariah tampil sebagai penyelamat ekonomi negara dan bangsa. Ekonomi syariah menawarkan nilai nilai keadilan, kejujuran, transparansi, tanggung jawab yang menjadi nilai nilai universal bagi semua orang yang berasal dari Quran dan Hadis, bukan menawarkan ajaran agama tertentu. B. Dasar Ekonomi Syariah : Ekonomi syariah adalah usaha-usaha manusia dalam memenuhi kebutuhannya melalui metode atau cara yang sesuai dengan kaidah kaidah Islam untuk mengharapkan ridha Allah SWT. Diantara usaha tersebut adalah usaha perbankan syariah, yang berlandaskan pada : 1. Hukum : Islam mencapai tujuan yang pasti berupa terbentuknya masyarakat yang sehat dan bersih berorientasi pada perkembangan dan pertumbuhan. Pengarahan : a. Islam mendorong mencapai tujuan yang wajar dalam mempertinggi kebutuhan yang ideal. b. Islam tidak menghalangi masyarakat mengejar kehidupan ideal tersebut. c. Islam selalu membuka pintu pertumbuhan dan perkembangan umatnya. Landasan Filosofis : Terletak pada hubungan manusia dengan Allah SWT, alam semesta, manusia serta tujuan hidupnya di muka bumi. Landasan Moral dan Etika : a. Doa Muslim ; Rabbana anugerahi kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan selamatkan kami dari siksa neraka (QS.2 : Al-Baqarah : 201).

2.

3.

4.

b. Alam ini hak milik mutlak Allah SWT.(QS. 5 : Al-Maidah ; 120)

c. Alam ini nikmat karunia Allah yang diperuntukkan bagi manusia (QS : 20, Ibrahim : 33 35).

d. Alam karunia Allah ini untuk dinikmati dan dimanfaatkan dengan tidak melampaui batas batas ketentuan. (QS. 7 : Al-Araf : 31).

e. Hak milik relatif perseorangan diakui sebagai hasil jerih payah usaha yang halal dan hanya boleh digunakan untuk hal hal yang halal pula. (QS. 4 : An-Nisa : 32).

f. Allah melarang menimbun kekayaan tanpa ada manfaat bagi sesama manusia. (QS. 9 : At-Taubah : 43).

g. Di dalam harta si kaya terdapat hak orang miskin, fakir dan lain lain. (QS. 17 : Al-Isra : 26, QS. 9 : at-Taubah : 60).

h. Allah memerintahkan perniagaan atas dasar sama sama suka (antaraadin) dan melarang keras harta sesama dengan batil. (QS. 4 : an-Nisa : 29).

i. Allah menghalalkan perniagaan dan mengharamkan riba. (QS. 2 : alBaqarah : 275).

5.

Landasan Sosial : a. Islam memberikan peluang seluas luasnya bagi kehidupan perekonomian manusia. b. Islam menempatkan manusia sebagai khalifah di bumi dengan dibekali kelebihan kelebihannya. Karakteristik Sistem Ekonomi Syariah : a. Berhimpun atas dasar nilai nilai kebenaran, keadilan, dan persaudaraan berdasarkan semangat Quraniy. b. Dari Quran dan Sunnah dapat mendeduksikan prinsip untuk merumuskan suatu kerangka aturan dan ketetapan syariat. Tujuan Ekonomi Syariah : a. Menyediakan dan menciptakan peluang peluang yang sama dan luas bagi semua orang untuk berperan serta dalam kegiatan ekonomi. b. Memberantas kemiskinan absolut dan memenuhi kebutuhan dasar bagi semua individu masyarakat. Asas Keseimbangan : a. Satu segi Islam melarang pemborosan, dan dalam waktu yang sama juga melarang kebakhilan. (QS. 25 : al-Furqan : 67).

6.

7.

8.

b. Satu segi Islam memerintahkan yang kaya untuk tidak melupakan yang miskin (QS. 17 : al-Isra : 26), dan pada waktu yang sama melarang yang miskin untuk mempertahankan (statusquo) kemiskinan mereka, memerintahkan berusaha melepaskan diri dari kemiskinan.

c. Satu segi Islam tidak melarang manusia untuk mencari keuntungan semaksimal mungkin dan pada waktu yang sama juga berfungsi sosial. C. Sistem Ekonomi Syariah Sebagai Sistem Penengah.

1. Sistem ekonomi komunis : Orang yang memimpin dan memutuskan persoalan ekonomi adalah pemerintah. Individu hanya menjalankan komando pemerintah dan tidak memiliki yang mereka hasilkan sendiri, karena hasilnya hak milik pemerintah. 2. Sistem ekonomi kapitalis : Orang yang memegang peranan utama dalam melaksanakan prinsip ekonomi adalah individu dan swasta. 3. Sistem ekonomi syariah : a. harmoni kepentingan individu dan masyarakat. b. Hak hak perseorangan dan hak hak masyarakat mencapai keseimbangan. c. Ketinggian dan kemajuan duniawi di satu pihak dan menghalangi timbulnya suatu golongan kecil manusia yang amat kaya raya dan memiliki hak hak lebih tinggi yang memegang kekuasaan modal yang amat besar di pihak lain. d. Memadu hal hal yang baik dalam sistem ekonomi kapitalis dan sosialis dengan tidak mengambil bagian buruknya. D. Hukum Perbankan Syariah : Bank dalam bahasa Italia berasal dari kata Banco berarti bangku atau Counter, karena segala aktivitas pertukaran uang orang orang Italia menggunakan bangku atau counter,berarti pertukaran (exchange) ; penjualan mata uang dengan mata uang yang lain. Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Sedangkan Bank merupakan badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Bank Umum ; bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Pasal 1 ayat (1) UU No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah menjelaskan bahwa Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Pasal 1 ayat (1),(2),dan (3) UU No 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas UU No 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan). Dalam ayat (13) pasal 1 UU No 10 Tahun 1998 ditegaskan bahwa prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah antara lain pembiayaan berdasarkan sistem mudarabah. Pasal 1 ayat (24) UU No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah menyatakan bahwa Investasi adalah dana yang dipercayakan oleh Nasabah kepada Bank Syariah

dan/atau UUS berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dalam bentuk deposito, tabungan, murabahah, musyarakah atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, yang penjelasan singkatnya sebagai berikut : 1. Prinsip-Prinsip Mudarabah : a. Pengertian Mudarabah : Pemilik modal menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan, sedangkan keuntungan dagang tersebut dibagi menurut kesepakatan bersama. Apabila terjadi kerugian, maka kerugian itu sepenuhnya ditanggung pemilik modal. Hal ini agar dipahami bahwa sesungguhnya pekerja atau pelaksana inipun mengalami kerugian tenaga dan pikiran. Dalam kontek fiqih, mudarabah berarti pemilik modal menyerahkan modalnya kepada pekerja atau pedagang untuk diusahakan. Sedangkan keuntungannya dibagi menurut kesepakatan bersama. b. Mudarabah sebenarnya membentuk suatu perjanjian kemitraan ( contract of co-partnership ) antara pemilik modal dengan pengelola perusahaan. Apabila perusahan ini memperoleh keuntungan maka pengelola akan memperoleh keuntungan berdasarkan prinsip bagi hasil yang telah disepakati. Sedangkan bila perusahaan mengalami kerugian, maka resiko finansial ditanggung sepenuhnya oleh pemilik modal, pengelola tidak menanggung sama sekali selain resiko non finansial, atau kecuali apabila kerugian tersebut terjadi akibat kecurangan pengelola. Itu sebabnya mudarabah kadang disebut partnership in profit . Dalam praktek perbankan syariah, mudarabah merupakan suatu sistem pendanaan operasional realitas bisnis, berusaha mengembangkan kegiatan ekonomi masyarakat, yang merupakan salah satu sebab mendapatkan hasil atau kepemilikan yang sah menurut syara. c. Dalam transaksi mudarabah, ketika investor (sahibul maal) menyerahkan modalnya tidak terdapat persyaratan baginya untuk meminta jaminan dari debitur (mudarib) untuk mengembalikan investasinya, sekalipun terdapat ketentuan Pasal 131 KUH Perdata bahwa segala kekayaan debitur baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun akan ada dikemudian hari menjadi jaminan dari utang debitur. Mudarabah bukan perjanjian utang piutang melainkan perjanjian kerjasama dalam usaha untuk memperoleh keuntungan yang dibagi berdasarkan akad perjanjian semula. Oleh karena itu kepercayaan merupakan unsur terpenting dalam transaksi pembiayaan mudarabah. Mekanisme dalam lembaga keuangan syariah, pendapatan bagi hasil ini berlaku untuk produk produk penyertaan menyeluruh maupun sebagian sebagian, atau bentuk bisnis korporasi (kerjasama). Keuntungan harus dibagihasilkan secara proporsional antara sahibul mal dengan mudarib. Kelebihan investasi berdasarkan bagi hasil terletak pada kerjasama yang

baik antara sahibul maal dengan mudarib yang merupakan karakter dalam masyarakat ekonomi Islam yang didasarkan ayat ayat al-Quran: >Doktrin kerjasama dalam ekonomi Islam dapat menciptakan kerja produktif sehari hari (QS 2 : al-Baqarah : 190). >Meningkatkan kesejahteraan dan mencegah kesengsaraan sosial (QS 3 : Ali-Imran : 103). >Mencegah penindasan ekonomi dan distribusi kekayaan yang tidak merata (QS 107 : Al-Maun : 1-7). >Melindungi kepentingan ekonomi lemah (QS 4 : An-Nisa : 5-10) >Membangun organisasi yang berprinsip syarikat, sehingga terjadi proses yang kuat membantu yang lemah (QS 43 : Az-Zukhruf : 32) >Pembagian kerja atau spesialisasi berdasarkan saling ketergantungan serta jasa pertukaran barang dan jasa karena tidak mungkin berdiri sendiri (QS 92 : Al-Lail : 8-10). 2. Aplikasinya Dalam Perbankan Syariah : Pasal 19 UU No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah menyebutkan bahwa kegiatan usaha Bank Umum Syariah meliputi : a. Menghimpun dana dalam bentuk simpanan berupa giro, tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan akad wadiah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; b. Menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa deposito, tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan akad mudarabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; c. menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; d. Menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad murabahah, akad salam, akad istishna, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; e. Menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad qard atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; f. Menyalurkan pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada nasabah berdasarkan akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; g. Melakukan pengambilalihan utang berdasarkan akad hawalah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; h. Melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan prinsip syariah; i. Membeli, menjual, atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan prinsip syariah, antara lain, seperti akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah; j. Membeli surat berharga berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia;

k.

l. m. n. o. p. q.

Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antar pihak ketiga berdasarkan prinsip syariah; Melakukan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu akad yang berdasarkan prinsip syariah; Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan prinsip syariah; Memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah berdasarkan prinsip syariah; Melakukan fungsi sebagai Wali Amanat berdasarkan akad wakalah; Memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan prinsip syariah; dan Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), Bank Umum Syariah sesuai Pasal 20 UU No 21 Tahun 2008 dapat pula:

a. Melakukan kegiatan valuta asing berdasarkan prinsip syariah; b. Melakukan kegiatan penyertaan modal pada Bank Umum Syariah atau lembaga keuangan yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah; c. Melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya; d. Bertindak sebagai pendiri dan pengurus dana pensiun berdasarkan prinsip syariah; e. Melakukan kegiatan dalam pasar modal sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal ; f. Menyelenggarakan kegiatan atau produk bank yang berdasarkan prinsip syariah dengan menggunakan sarana elektronik; g. Menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka pendek berdasarkan prinsip syariah, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pasar uang; h. Menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pasar modal; dan i. Menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Umum Syariah lainnya yang berdasarkan prinsip syariah. 3. Sekilas Asal-Usul Mudarabah :

Unsur-unsur mudarabah meliputi : Ijab dari pemilik modal, dan kabul dari pedagang atau pelaksana (Ulama Madzhab Hanafi). Berakal, modal, keuntungan, kerja dan akad (Jumhur Ulama). Berkaitan dengan orang yang bertransaksi, harus cakap bertindak atas nama hukum dan cakap diangkat sebagai wakil. Berkaitan dengan modal, harus berbentuk uang, jelas jumlahnya, tunai, dan diserahkan sepenuhnya kepada pedagang itu, dan keuntungan harus jelas prosentasinya. Perhitungan keuntungan suatu perusahaan dengan menggunakan perkiraan atau pendekatan, yang dalam akuntansi dikenal persamaan sebagai berikut : keuntungan = hasil penjualan biaya keseluruhan yang memerlukan metode perhitungan yang bersifat perkiraan dan pendekatan. Perhitungan keuntungan bagi hasil memerlukan laporan keuangan yang rutin dan sesering mungkin. Hal ini menyulitkan nasabah peminjam khususnya pedagang atau pengusaha kecil. Ditemukan nasabah peminjam menyerahkan perhitungan jumlah pembayaran tambahan (bagi hasil) kepada pihak bank tanpa harus menyesuaikannya dengan keuntungan yang diperolehnya. Pada akhirnya perhitungan nisbah bagi hasil tersebut tidak sesuai dengan konsepnya, dan menetapkan besarnya jumlah pembayaran tambahan tertentu pada waktu akad menjadi hal yang biasa. Banyak ulama yang meyakini bahwa praktik mudarabah sudah terjadi sejak awal dan dilakukan oleh beberapa sahabat. Al-Mawardi salah seorang ulama mazhab Syafii mempercayai bahwa kontrak bekerja antara Khadijah RA dan Nabi Muhammad SAW dalam perjalanan dagang beliau ke Syria adalah kontrak mudarabah. Karena itu mudarabah diperkenankan dalam syariat Islam. Sebelumnya Ibnu Ishaq penulis sirah pertama, juga menyatakan bahwa Khadijah biasa mempekerjakan laki-laki untuk perdagangannya dengan kontrak mudarabah. Nabi Muhammad SAW ditawari kontrak sebagai pekerja yang dibayar lebih besar dari kebiasaan, untuk menjual barang dagangan ke Syria, begitu juga sebaliknya membeli barang-barang dari Syria ke Mekah. Praktik Nabi seperti ini, tentu saja bukan praktik mudarabah yang diilustrasikan oleh ahli fikih. Tidak ada satu catatanpun yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW atau sahabat pada masa Nabi masih hidup telah melakukan kontrak mudarabah, baik di Mekah maupun di Madinah. Semua hadis yang menyebutkan hal tersebut menurut para pakar hadis adalah tidak dapat dipertanggungjawabkan dan lemah untuk menjadi dasar argumentasi. Hal ini secara tegas dinyatakan Ibnu Hazm seseorang yang paling tekstualis dalam fikih, tetapi hampir kebanyakan ulama percaya bahwa praktik mudarabah sudah terjadi dan dilakukan di semenanjung Arabia di zaman pra-Islam, tidak ada larangan terhadap kontrak tersebut, baik dari Quran maupun Hadis. Dengan alasan ini, mereka berpendapat bahwa kontrak mudarabah mempunyai status hukum mubah atau boleh. 4. Bunga Bank : Riba dalam bahasa Inggris disebut usury, sedangkan bunga disebut interest. Dilarangnya riba oleh agama agama samawi tidak ada yang membantah.

Itulah yang ditulis dalam Taurat dan Injil. Secara perlahan tapi pasti pelarangan riba di Eropa dihilangkan, diganti dengan istilah interest (bunga). Setelah perjalanan ratusan tahun, terciptalah citra sampai saat ini bahwa riba tidak sama dengan bunga. Riba dilarang, sedangkan bunga boleh. Guru Besar Columbia University Frederic Mishkin (1992) menelaah secara kritis teori pembungaan uang, selanjutnya menjelaskan bahwa ekonom Amerika bernama Irving Fisher (1911) berkesimpulan bahwa permintaan akan uang semata mata ditentukan oleh besarnya pendapatan seseorang, sedangkan tingkat suku bunga tidak mempunyai pengaruh apapun terhadap permintaan uang. Motif orang memegang uang adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksinya saja. Jika demikian mengapa perekonomian sekarang penuh riba. Bunga uang merupakan bagian dari teori riba. Ibnu Qayyim membedakan antara riba terang terangan (al-jaliy) dan riba terselubung (alkhafiy). Menurut Ulama Fiqih menjelaskan riba karena perpanjangan waktu (annasiah) dan riba dalam pertukaran barang sejenis (al-fadl). Bunga bank termasuk riba nasiah. Teori pembungaan uang merupakan bagian dari teori riba yang lebih komprehensif. Praktek pembungaan uang oleh bank lebih parah dari praktek riba nasiah pada zaman jahiliyah. Imam Suyuti, Imam Thabari, Imam Baihaqi dan Imam ar-Razi menjelaskan bahwa riba nasiah di zaman jahiliyah baru dikenakan pada saat peminjam tidak mampu melunasi utangnya dan meminta perpanjangan waktu. Jika peminjam mampu melunasi pada saat jatuh temponya, tidak dikenakan riba, padahal bank konvensional telah mengenakan bunga sehari setelah uang dipinjamkan. Logika ekonomi syariah tentang pelarangan bunga bank, adalah uang dalam Islam merupakan alat tukar dan modal dasar, bukan komoditas yang dapat diperjualbelikan, disewakan, apalagi memperoleh nilai tambah hanya karena dipinjamkan. Pertambahan nilai dalam uang, hanya diperkenankan ketika uang itu diinvestasikan dalam bentuk aktivitas perniagaan, perindustrian, pertanian, atau kerajinan sehingga pertambahan yang diperoleh adalah laba dari aktivitas tersebut, bukan bunga melalui pertambahan unsur waktu. Pengharaman riba ala Indonesia suatu hal yang prinsip dan sudah mutlak, karena riba secara jelas dan tegas diharamkan Quran. Bagi orang yang hanya membaca Quran saja, tidak akan dapat mengerti langsung secara pasti apa itu riba. Ada empat kelompok ayat Quran yang berbicara mengenai riba : a. Riba yang dilakukan oleh orang tidak akan mendapat nilai tambah di sisi Allah, -berbeda dengan zakat, yang akan mendapat nilai tambah dari Nya (QS. 30 : Ar-Rum : 39 ): b. Orang-orang yahudi telah dilarang melakukan transaksi dengan riba, tetapi mereka tetap melakukannya, mereka layak untuk mendapat siksaan yang pedih. (QS. 4 : An-Nisa : 159-160). c. Larangan terhadap orang-orang yang beriman untuk memakan riba yang berlipat ganda. (QS. 3 : Ali Imran : 130).

d. Ayat yang membicarakan riba ; orang yang makan riba sama seperti orang yang kerasukan setan, riba itu haram, riba yang lalu bisa dimaafkan, Allah tidak memberkati riba, perintah untuk meninggalkan praktik riba, kalau tidak maka sama saja ia berperang dengan Allah dan pernyataan bahwa praktik riba terkait dengan kezaliman yang niscaya ditinggalkan. (QS. 2 : Al-Baqarah : 275-280). Ayat-ayat Quran tentang pelarangan riba tersebut adalah riba orangorang Arab yang dalam praktiknya meliputi : 1. Pertambahan nilai pokok dalam transaksi utang, atau pertambahan karena unsur waktu. 2. Apabila tiba masa pembayaran utang, mereka akan menagih sejumlah sesuai utang, jika tidak sanggup bayar maka pembayaran bisa ditunda tahun depan dengan syarat dilipatkan 100 % dan seterusnya akan berlipat-lipat. 3. Usman bin Affan dan Abbas bin Abdul Mutalib biasa membeli kurma ke petani sebelum waktu panen. Ia akan menyerahkan separoh jumlah kontrak dan separohnya akan dibayar akan dibayar pada musim panen berikutnya, dengan perjanjian dibayar dua kali lipat, ketika saat memetik petani tidak sanggup menyerahkan sejumlah uang sesuai kontrak. Nabi juga menjelaskan bahwa riba mencakup : 1. Pertambahan nilai dari pertukaran barang-barang tertentu yang tidak seimbang. 2. Pertambahan nilai yang penangguhan pertukaran dalam pertukaran barang-barang ribawi : emas dengan emas dan lain-lain. 3. Pertambahan nilai sekecil apapun yang diterima oleh pemberi utang dari penerima utang dalam transaksi utang piutang, termasuk pemanfaatan barang milik penerima utang. Dibalik pengharaman riba, teori bunga bank juga terdapat banyak kelemahan, antara lain : 1. Tidak semua penabung berniat meminjamkan uangnya, sehingga tanpa bunga orang juga bersedia untuk menabung. 2. Sebagian besar tabungan bukan berasal dari tabungan individu dari penghematan, melainkan berasal dari tabungan perusahaan. 3. Seseorang dapat saja tidak mengkonsumsi dan melakukan kegiatan produktif, tetapi juga tidak meminjamkan tabungannya, lebih memilih menabung dalam bentuk likuid. 4. Tingkat penderitaan akibat pengorbanan menahan nafsu untuk tidak mengkonsumsi atau melakukan kegiatan produktif akan berbeda menurut tingkat pendapatan penabung. 5. Bank dengan kesewenangannya tanpa perlu harus menahan nafsu, dapat menghasilkan bunga dari uang. 6. Bukan suku bunga yang menjamin keseimbangan antara tabungan dan investasi, melainkan tingkat investasi. 7. Suku bunga kecil pengaruhnya terhadap tabungan dan investasi. 8. Peningkatan produktivitas barang modal dapat menurunkan harga. 9. Tabungan yang direncanakan tidak selalu sama dengan investasi yang direncanakan. 10. Suku bunga bukan faktor yang menjamin untuk menyamakan tingkat tabungan dengan tingkat investasi, melainkan tingkat pendapatan.

11. Suku bunga yang tinggi akan mempengaruhi turunnya investasi, tingkat produksi dan kesempatan kerja. 12. Perilaku spekulasi mempengaruhi ketidakstabilan mekanisme ekonomi dan berdampak pada terpuruknya ekonomi. 13. Bunga bank yang terjadi saat ini, banyak bertanggung jawab terhadap terpuruknya kondisi perekonomian dunia ketiga, terjadinya inflasi yang tidak terkendali, melingkarnya putaran keuangan pada orang-orang tertentu saja yang jumlahnya sedikit, melambungnya harga-harga barang yang dikeluarkan oleh pengusaha-pengusaha peminjam uang bank dan makin melemahnya posisi tawar masyarakat miskin terutama yang terkait langsung dalam jaringan perusahaan-perusahaan peminjam uang bank, seperti para buruh dan konsumennya. 14. Substansi pengharaman riba, bukan sekedar pelarangan bunga bank, tetapi pelarangan segala bentuk eksploitasi dalam setiap persoalan perekonomian. E. Alternatif Solusi Krisis Moneter : Krisis ekonomi dan moneter yang melanda Indonesia dan Asia beberapa tahun yang lalu, menunjukkan bahwa sistem yang dianut dan dibanggakan oleh bangsa Indonesia selama ini khususnya di bidang perbankan kiranya tidak mampu untuk menanggulangi dan mengatasi kondisi yang ada, bahkan terkesan sistem yang ada saat ini dengan tidak adanya nilai-nilai Ilahi yang melandasi operasional perbankan dan lembaga keuangan lainnya sebagai penyebab tumbuh dan berkembangnya perampok berdasi yang telah menghancurkan sendi-sendi perekonomian bangsa Indonesia sendiri. Sebaliknya bagi dunia perbankan dan lembaga keuangan Islam yang dalam operasionalnya bersendi pada syariah Islam, krisis ekonomi dan moneter yang terjadi merupakan momen positif. Hal itu menunjukkan bukti secara nyata dan jelas kepada dunia perbankan khususnya, bahwa bank yang berdasarkan syariah Islam tetap dapat hidup dan berkembang dalam kondisi ekonomi yang tidak menguntungkan. Sudah saatnya bagi para penguasa negara, alim ulama dari ormas manapun dan cendekiawan muslim Indonesia untuk mengubah cara pandang yang ada bahwa sistem perbankan syariah dengan skim mudarabah merupakan alternatif yang cocok untuk ditumbuhkembangkan dalam dunia perbankan saat ini, karena dalam teori dan praktik skim mudarabah memiliki kelebihan-kelebihan tertentu : 1. Sistem Mudarabah atau Bagi Hasil Stabilkan Ekonomi : Dalam sistem mudarabah, tingkat bunga yang dibayarkan bank kepada nasabah digantikan dengan persentase atau porsi bagi hasil, dan tingkat bunga yang diterima oleh bank dari debitur akan digantikan dengan persentase bagi hasil. Dua bentuk rasio keuntungan dijadikan instrumen untuk memobilisasi tabungan dan disalurkan pada aktivitas-aktivitas produktif. Walaupun rasio bagi hasil ditetapkan lebih dahulu, namun ketika tingkat

keuntungan berfluktuasi, maka tingkat pendapatannyapun akan berfluktuasi atau tidak menentu. Sistem mudarabah juga akan menjamin alokasi sumber ekonomi yang lebih baik dan terjadinya distribusi pendapatan yang lebih sesuai. 2. Sistem Mudarabah Dapat Alokasikan Sumber Dana : Pengalokasian sumber sektoral dalam ekonomi modern bersifat persaingan, ini dapat dijelaskan dengan berdasarkan tingkat keuntungan yang diharapkan. Pengenalan tentang sistem mudarabah tidak akan mengacaukan mekanisme ini. Pembagian diantara para pengusaha secara proporsional oleh pemilik modal tidak mempengaruhi peranan ekonomi dari tingkat keuntungan yang diharapkan. Alasan pengusaha untuk memaksimalkan laba dan kecenderungan berkompetisi akan menjamin keseimbangan dalam tingkat keuntungan pada berbagai sektor. Hal ini tidak dipengaruhi oleh penyusunan kelembagaan, sehingga pengusaha harus menggantungkan pada persentase bagian keuntungan bagi pemilik modal. Tidak adanya tingkat bunga dalam mekanisme mudarabah tidak akan menjadikan situasi ekonomi labil. Peranan bunga dalam keputusan investasi saat ini secara nyata tergantung pada realitas kelembagaan dari pada kebutuhan ekonomi. Tidak adanya tingkat suku bunga masih banyak ditemukan alat-alat kebijakan moneter. Tingkat bagi hasil dapat membantu sebagai alat kebijakan moneter. Efisiensi sistem mudarabah bagaimanapun lebih dapat dipercaya dibandingkan dengan efisiensi dalam sistem bunga, dengan alasan : a. Tingkat keuntungan yang diharapkan akan membantu menunjukkan situasi pasar yang lebih sempurna untuk pengalokasian sumber dana dan tidak adanya bunga tidak akan menimbulkan banyak masalah dikemudian hari. b. Pengalokasian sumber dana melalui mekanisme penentuan rasio bagi hasil bagi penabung, pemilik bank dan pengusaha akan lebih rasional dan efisien dari pada yang dilakukan oleh lembaga yang menggunakan sistem bunga. 3. Sistem Mudarabah Sebagai Alat Distribusi Pendapatan : Dalam kerangka kerja kelembagaan saat ini, pemilik modal dapat mendistribusikan resiko melalui pembagian manajemen dan utang dalam bentuk bergabung dalam pemilikan saham. Sementara pemilik tenaga tidak dapat membagikan tenaganya kepada pemilik modal. Jika dalam usaha bersama mengalami resiko, maka dalam konsep mudarabah kedua belah pihak akan sama-sama menanggung resiko. Disatu pihak pemilik modal menanggung kerugian modalnya, di pihak lain pelaksana proyek akan mengalami kerugian atas tenaga atau biaya tenaga kerja yang telah dikeluarkan. Dengan kata lain masing-masing pihak yang melakukan

kerjasama dalam sistem mudarabah akan berpartisipasi dalam kerugian dan keuntungan. Itulah keadilan konsep mudarabah dalam menstabilisasikan ekonomi, dapat mengalokasikan sumber dana, dan berlaku sebagai alat distribusi pendapatan, sekaligus alternatif mengatasi krisis moneter yang terjadi sewaktu-waktu kapanpun di Indonesia. Wallahu Alam Bissawab. (A.Agus Bahauddin, Hakim Tinggi PTA Jambi).

DAFTAR PUSTAKA Abdullah Abdul Husain at-Tariqi, Ekonomi Islam, Prinsip, Dasar dan Tujuan, Magistra Insania Press, Yogyakarta, 2004. Ahmadi Sofyan, Islam On Business 25 Kiat Sukses Bisnis Ala Rasulullah, Lintas Pustaka Publisher, Jakarta, 2006. Abdul Mannan, Prof. M, MA, Ph.D, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Diterjemahkan Oleh Drs. M. Nastangin, PT Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1995. Adiwarman A.Karim, Ir, H, SE, MBA, M.A.E.P, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontem porer, Gema Insani Press, Jakarta, 2001. Magistra Insania Pers Bekerjasama dengan MSI-UII, Bangunan Ekonomi Yang Berkeadilan, Teori, Praktek dan Realitas Ekonomi Islam, Yogyakarta, 2004. M. Amin Summa, Prof. Dr. Drs. SH. MA. MM, Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional, Teori, Sistem, Aplikasi dan Pemasaran, Kholam Publishing, Jakarta, 2006. ------------------------, Menggali Akar, Mengurai Serat Ekonomi dan Keuangan Islam, Kholam Publishing, Jakarta, 2008. Muhamad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil di Bank Syariah, UII Press, Yogyakarta, 2001. Muhammad Ismail Yusanto dan Muhammad Karebet Widjajakusuma, Mengggagas Bisnis Islami, Gema Insani, Jakarta, 2002. Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2000. Sunaryo, SH. MH, Hukum Lembaga Pembiayaan, Sinar Grafika, Jaakarta, 2008. Syahid Muhammad Bagir as-Sadr, Keunggulan ekonomi Islam, Penerjemah : M. Hasyem, Pustaka Zahra, Jakarta, 2002.

Taqyuddin An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Diterjemahkan Drs. Moch. Maghfur Wachid, Risalah Gusti, Surabaya, 1996. Zainuddin Ali, Prof. Dr. H. MA, Hukum Ekonomi Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, 2008. Peraturan Pemerintah No 72 Tahun 1992 tanggal 30 Oktober 1992 mengatur tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No 32 Tahun 1999 mengatur tentang bank umum berdasarkan prinsip syariah. UU No 7 Tahun 1992 sebagaimana telah dirubah dengan UU No 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.

You might also like