You are on page 1of 24

.

Latar Belakang Akad perkawinan dalam hukum islm bukanlah perkara perata semata, melainkan ikatan suci (mitsaqan ghalizan) yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada Allah. Dengan demikian ada dimensi ibadah dalam sebuah perkawinan. Untuk itu perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan apa yang menjadi tujuan perkawinan dalam islam yani terwujudnya keluarga sejahtera (mawaddah wa rahmah) dapat terwujud.[1] Namun sering kali apa yang menjadi tujuan perkawinan kandas di perjalanan. Perkawinan harus putus ditengah jalan. Sebenarnya putusnya perkawinan merupakan hal yang wajar saja, karena mana dasar sebuah akad nikah adalah ikatan atau dapat juga dikatakan perkawinan pada dasarnya adalah kontrak. Konsekuensinya ia dapat lepas yang kemudian dapat disebut dengan thalaq. Mana dasar dari thalaq itu adalah melepaskan ikatan atau melepaskan perjanjian.[2] Thalaq sebagai sebab putusnya perkawinan adalah intuisi yang paling dibahas para ulama. Seperti apa yang dinyatakan oleh Sarakhsi, thalaq itu ukumnya diperbolehkan ketika berada dalam keadaan darurat, baik atas inisiaf suami (thalaq) atau inisiatif istri (khulu).[3]

Sebenarnya islam mendorong terwujudnya perkawinan yang bahagi dan kekal tampak dan menghindarkan terjadinya perceraian (thalaq). Dapatlah dikatakan, pada prinsipnya islam tidak memberi peluang untuk terjadinya perceraiankecuali pada hal-hal yang darurat.

B. Rumusan Masalah 1. Thalaq dalam perspektif Undang-undang No. 1 tahun 1974 2. Thalaq dalam perspektif hukum islam

C. Tujuan

Agar kita mengetahui lebih mendalam mengenai masalah thalaq menurut hukum yang ada di Indonesia dan hukum Islam, khususnya bagi penyusun umumnya bagi pembacanya. BAB II PEMBAHASAN

PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN (THALAQ) DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

A. Perceraian Dalam Perspektif Hukum Positif 1. Perceraian Dalam Perspektif Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Didalam UUP tidak diatur secara terperinci tentang cara-cara perceraian, melainkan hanya menyebutkan secara umum mengenai putusnya hubungan perkawinan ini, namun dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam Bab VIII tentang putusnya perkawinan serta akibatnya, pasal 38 menegaskan bahwa perkawinan dapat putus karena: a. Kematian salah satu pihak b. Perceraian c. Atas putusan pengadilan[4]

Dalam perspektif Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 di atas, perceraian dilakukan oleh suami istri karena sesuatu yang dibenarkan oleh pengadilan melalui persidangan. Pengadilan mengadakan upaya perdamaian dengan memerintahkan kepada pihak yang akan bercerai untuk memikirkan segala mudaratnya jika perceraian itu dilakukan, sedangkan pihak suami dan pihak istri dapat mengadakan perdamaian secara internal, dengan musyawarah keluarga atau cara lain yang dianjurkan oleh ajaran Islam.hanya jika perdamaian yang disarankan oleh majelis hakim di pengadilan dan oleh pihak-pihak lain tidak memberikan solusi, sehingga runah tangga akan lebih madarat jika dilanjutkan, perceraian pun akan diputuskan.[5]

Putusnya hubungan perkawinan karena kematian salah satu pihak, tidak banyak menimbulkan persoalan, karena putusan perkawinannya disini bukan atas kehendak bersama ataupun kehendah salah satu pihak, tetapi karena kehendah Tuhan. Sehingg akibat putusnya perkawinana seperti ini tidak banyak menimbulkan masalah. Oleh karena itu pembahasan yang akan diuraikan lebih detail adalah mengenai putusnya hubungan perkawinan yang disebabkan oleh perceraian dan putusan pengadilan.[6] Dalam pasal 39 diungkapkan bahwa: 1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak; 2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami-istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami-istri; 3) Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangundangan tersendiri.

Dalam pasal 39 ayat 1 diatas disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Walaupun perceraian itu adalah urusan pribadi baik atas kehendak bersama maupun kehendak salah satu pihak yang seharusnya tidak perlu adalanya campur tangan dari pemerintah, namun demi menghindarkan tindakan sewenang-wenang terutama dari pihak suami dan akan bayak terjadi perceraian liar, juga demi kepastian hukum, maka perceraian harus melalui saluran lembaga pengadilan.[7]

Sehubungan dengan adanya ketentuan bahwa perceraian harus dilakukan didepan sidang pengadilan, maka ketentuan ini berlaku juga bagi masyarakat yang beragama islam. Walaupun pada dasarnya hukum islam tidak menentukan bahwa perceraian harus dilakukan didepan sidang pengadilan, namun karena ketentuan ini lebih banyak mendatangkan kebaikan bagi kedua belah pihak maka sudah sepantasnya apabila orang islam wajib mengikuti ketentuan tersebut.

Adapun pengadilan yang berwenang memeriksa dan memutuskan tentang percerian habagi mereka yang beragama islam di pengadilan Agama dan bagi mereka yang beragama lain selain islam di pengadilan negeri.[8]  Alasan-alasan Perceraian 1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjdi pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya yang sekiranya sulit disembuhkan. 2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut, tanpa izin pasangannya, dan tanpa alasan yang sah atau karena l lain diluar kemampuannya. 3) Salah satu piak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. 4) Salah satu pihak melakukan kekerasan atau penganiayaan berat yang membahayakan pasangan. 5) Salah satu pihak menapat cacat badan atau penyakitdengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri. 6) Antara suami isti terus menerus terjadi perselisihan dan pertngkran serta tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Disamping melihat ketentuan-ketentuan atas perceraian di atas, perceraian juga harus dilakukan didepan sidang pengadilan. Dari sini dapat disimpulkan, bahwa pada dasarnya walaupun perceraian dalam perkawinan itu tidak dilarang, namun orang tidak boleh begitu saja memutuskan hubungan perkawinana tanpa alasan yang kuat, untuk mewujudkan tujuan dari pada perkawinan yaitu untuk selama-lamanya, oleh karenanya UUP No. 1 tahun 1974 memepersulit terjadinya perceraian.[9] Menurut Undang-undang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya bahwa setiap perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan. Djaren Siragih mengatakan bahwa Seorang suami yang akan menceraikan istrinya yang didasari perkawinan secara agama Islam harus menyampaikan surat pemberitahuan keinginannya untuk menceraikan istrinya kepada pengadilan sesuai dengan tempat tinggalnya. Surat ini harus disertai dengan alasan-alasan perceraian, sebagaimana terdapat dalam Pasal 14 PP.9/1975.[10]

Tertibnya suatu hukum berkaitan dengan substansi perbuatan subjek hukum. Sebagaimana dalam hal yang berkaitan dengan perceraian yang dilihat dalam perspektif Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Secara sistematis, Undang-undang menetapkan bahwa perceraian adalah bubar atau putusnya ikatan perkawinan suami-istri; bahwa putusnya ikatan suami-istri disebabkan oleh berbagai alasan; alasan-alasan yang dikemukakan oleh suamiistri disidangkan di depan majlis hakim di Pengadilan; pengadilan memerintahkan agar suami-istri melakukan upaya yang mendamaikan dan memikirkan dampak negatif dari perceraian; pengadilan menyimpulkan bahwa suami-istri yang hendak bercerai tidak dapat didamaikan,; dan jika perceraian lebih maslahat dibandingkan mempertahankan rumah tangganya, perceraian pun akan diputuskan; putusan ikatan perkawinan dinyatakan sah jika Akta Cerai telah diterima oleh kedua belah pihak dan telah dicatat di Kantor Pencatatan Sipil. Suami-istri yang telah bercerai dapat melakukan rujuk, sepanjang bukan merupakan gugat cerai karena nusyuz, tetapi cerai talak yang bukan merupakan talak tiga. Dengan demikian, perceraian dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 lebih mengutamakan legal formalnya Putusan Pengadilan bukan sah tidaknya secara Materil.[11]

2. Perceraian Dalam Perspektif KUHPerdata atau BW (Burgerlijk Wetboek) Perceraian dalam KUHPerdata adalah salah satu alasan terjadinya pembubaran perkawinan, dalam hal ini termuat pada Bab ke-10. pada bagian kesatu tentang pembubaran perkawinan umumnya dikemukakan alasan bubarnya perkawinan, yaitu karena kematian, karena ketidakhadiran suami atau istri selama 10 tahun, diikuti dengan perkawinan baru isterinya/suaminya sesuai dengan ketentuan-ketantuan dalam bagian keliama bab delapan belas. Pembubaran perkawinan disebabkan pula karena putusan Hakim setelah adanya perpisahan ranjang dan pembukuan pernyataan bubarnya perkawinan dalam putusan yang terdapat pada register catatan sipil sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Dengan demikian, perceraian harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam undangundang.[12] Dalam bagian kedua KUHPerdata (BW) tentang pembubarkan perkawinan, setelah perpisahan meja dan ranjang, atas permintaan kedua belah pihak dan perpisahan itu telah berjalan lima tahun lamanya tanpa ada usaha perdamaian antara kedua belah pihak, maka

tiap-tiap mereka adalah leluasa menarik pihak yang lain di muka pengadilan dan menuntut supaya perkawinan dibubarkan. Pembubaran perkawinan yang terdapat dalam KUHPerdata (BW) pada Bab ke-10 berkaitan dengan bagian ketiga dalam KUHPerdata (BW) tentang perceraian perkawinan. Sebagaimana terdapat dalam Pasal 208 dikatakan bahwa perceraian suatu perkawinan sekalikali tak dapat dicapai dengan suatu persetujuan antara kedua belah pihak. Alasan-alasan yang dapat mengakibatkan perceraian adalah sebagai berikut: a. Zina b. Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad jahat; c. Penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau dengan hukuman yang lebih berat, yang diucapkan setelah perkawinan; d. Melukai atau berat menganiaya, dilakukan oleh suami atau oleh isteri terhadap isteri atau suaminya sehingga membahayakan jiwa pihak yang dilukai atau dianiaya, atau sehingga mengakibatkan luka-luka yang membahayakan.[13] Dalam pokok-pokok hukum perdata, Subekti menerangkan bahwa perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu. Alasan yang sah dalam perceraian adalah zina (overspel), ditinggalkan dengan sengaja (kwaadwillige verlating), penghukuman yang melebihi 5 tahun karena dipersalahkan melakukan suatu kejahatan, dan penganiayaan berat atau membahayakan jiwa (Pasal 209 BW).

3. Dalam Perspektif Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 pasal 19 tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, dikatakan bahwa salah satu alasan perceraian adalah jika antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangganya.[14]

B. Perceraian (Thalaq) Dalam Perspektif Hukum Islam

Putusnya perkawinan adalah perceraian. Dalam istilah hukum islam, perceraian disebut dengan thalaq, artinya melepaskan atau meninggalkan. Menurut Sayyid Sabiq Thalaq artinya melepaskan ikatan perkawinan. Apabila telah terjadi perkawinan, hal yang harus dihindari adalah perceraian, meskipun perceraian bagian dari hukum adanya persatuan atau perkawinan itu sendiri. Semakin kuat usaha manusia membangun rumah tangganya sehingga dapat menghindarkan diri dari perceraian, semakin baik rumah tangganya. Akan tetapi, sesuatu yang memudharatkan harus ditinggalkan, meskipun cara meninggalkannya berdampak buruk bagi yang lainnya. Demikian pula, dengan perceraian, bukan hanya suami istri yang menjadi korban permainan duniawinya, tetapi anak-anak dan keluarga dari kedua belah pihak yang awalnya saling bersilaturahim dengan seketika dapat bercerai-berai. Oleh karena itu, perceraian merupakan perbuatan yang dihalalkan, tetapi dibenci oleh Allah SWT.[15] Berkaitan dengan hal diatas, salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Al-Hakim menyebutkan sebagai berikut:

: ( ).

Dari Ibnu Umar sesungguhnya Rasulullah SAW. Telah bersabda, perbuatan yang halal tetapi sangat dibenci Allah adalah Thalaq. Dalam hukum islam, hak thalaq hanya ada pada suami, sedangkan cerai gugat dimiliki oleh suami oleh istri. Seorang istri berhak mengugat cerai suaminya dengan cara membayar kembali mahar yang telah diberikan oleh suaminya. Karena hak thalaq ada pada suami, suami harus berhati-hati dalam mengeluarkan kata-kata yang dapat beakibat jatuhnya thalaq. Katakata sindiran pun dapat menyebabkan jatuhnya thalaq jika diucapkan dengan niat menceraikan istrinya. Menurut para ulama, sebagaimana dikatakan oleh Sayyid Sabiq bahwa thalaq yang sah adalah thalaq yang diucapkan oleh suami yang baligh dan berakal. Jika suami gila, sedang mabuk sehingga tidak menyadari perkataannya, thalaqnya sia-sia, seperti thalaq yang diucapkan oleh suami yang belum baligh.[16]

1. Pengertian Thalaq

Secara etimologi kata thalaq berasal dari kata thalaqa-yathluqu-thalaqan yang bermakna Al-Irsalu Wa Al-Tarku[17] yang artinya melepas, mengurangi, atau meninggalkan tali pengikat, baik tali pengikat itu real atau manawi seperti tali pengikat perkawinan.[18]

Sedangkan secara terminologi ada beberapa rumusan yang dikemukakan para ulama, antara lain: Menurut Sayyid Sabiq adalah: Melepas tali perkainan dan mengakhiri hubungan suami istri. Menurut Abdur Rahman Al-Jaziri adalah: Menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan lafadz khusus. [19] Dalam islam bercerai pada dasarnya terlarang atau tidak diperbolehkan kecuali karena ada alasan yang dibenarkan oleh syara. Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum asal thalaq, ada yang berpendapat haram tapi ada yang mengatakan makruh. Pendapat yang rajih adalah yang mengatakan bahwa suami diharamkan menjatuhkan thalaq kecuali karena darurat.[20] Tepaksa yaitu dengan alasan yang kuat dan setelah dicari jalan keluar tetapi tidak berhasil. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi SAW: Allah melanat suami yang suka mencicipi wanita dan suka menthalaq istrinya.[21] Pendapat diatas sejalan dengan pendapat Madzhab Hanafi dan Hambali, mereka beralasan bahwa bercerai merupakan kufur nimat Allah hukumnya haram, sehingga bercerai adalah haram kecuali darurat.

2. Hukum Thalaq Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai hukum asalnya, tetapi hukum menjatuhkan thalaq bisa bermacam-macam tergantung dari ada atau tiaknya alasan dan kuat

tidaknya alasan tersebut, dengan demikian thalaq itu hukumnya bisa mubah (boleh), wajib, sunnah dan haram adalah: a. Dikatakan mubah apabila memang perlu terjadi perceraian dan tidak ada pihakpihak yang dirugikan dengan perceraian itu dan ada manfaatnya.[22] b. Dikatakan wajib yaitu thalaq yang djatuhkan oleh pihak hakam (penengah) dikenakan terjadinya perpecahan antara suami istri yang sudah sangat berat dan tidak bisa diperbaiki lagi sehingga menurut keputusan hakam hanya perceraianlah jalan satu-satunya untuk menghentikan perpecahan (syiqaq) tersebut. Begitu juga perceraian wajib dijatuhkan bagi perempuan yang diilla sesudah berlaku waktu menunggu 4 bulan, tetapi suami tidak mau kembali pada istrinya dengan membayar kafarah sumpah lebih dahulu. Apabila tidak diceraikan istri mendapatkan madarat.[23] c. Dikatakan sunnah apabila dalam keadaan rumah tangga sudah tidak bisa dijanjutkan dan seandainya dipertahankan juga kemadaratan yang lebih banyak akan timbul. Menurut Sayyid Sabiq, thalaq yang hukumnya sunnat adalah bila istri mengabaikan kewajibannya kepada Allah, seperti mengabaikan shalat, sementara suami tidak mampu memaksa istri agat ia menjalankan kewajibannya tersebut. Demikian juga thalaq itu disunnahkan apabila istri kurang rasa malunya. Imam Ahmad mengatakan, tidak patut suami mempertahankan istri yang tidak mempunyai rasa malu, karena dapat mengurangi keimanan suami, tidak membuat aman ranjang suami karena bisa memberikan anak yang bukan keturunnnya.[24] d. Dikatakan haram yaitu thalaq yang dijatuhkan dengan tanpa alasan, sedangkan istri dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci tetapi pada suci tersebut sudah digauli dan tidak adanya kemaslahatan yang akan dicapai dengan perbuatan thalaqnya tersebut.[25]

3. Macam-macam Thalaq Perempuan yang dapat dithalaq adalah perempuan yang berada dalam iktan suami istri dan perempuan yang berada pada masa Iddah thalaq Raji atau Iddah thalaq Bain Sughra.

Secara hukum, perempuan yang dalam kondisi tersebut masih menjadi istri sah suaminya hingga masa iddahnya habis. Demikian pula, istri atau suami yang berada dalam keadaan pisah ranjang atau salah satunya melakukan kemudharatan. Hal tersebut karena orang Muslim haram menikah dengan orang Musyrik, termasuk yang murtad dari islam. a. Dilihat dari pengaturanya, thalaq ada dua macam, yaitu: 1) Taliq dimaksudkan seperti janji, karena mengandung pengertian melakukan pekerjaan atau meninggalkan suatu perbuatan atau menguatkan suatu khabar. Taliq seperti ini menurut Sayyid Sabiq disebit dengan taliq sumpah atau qasami, seperti seorang suami berkata pada seorang istrinya, jika keluar rumah, engkau terthalaq. Maksudnya, suami melarang istrinya keluar rumah ketika suami tidak ada di rumah. 2) Thalaq yang dijatuhkan bila telah terpenuhi syaratnya. Thalaq seperti ini disebut dengan taliq syarat. Umpamanya, seorang suami berkata kepada istrinya: jika engkau membebaskan aku dari membayar sisa maharnya, engkau terthalaq.[26] Disamping pembagian thalaq, sebagaimana ditegaskan oleh Sayyid Sabiq, thalaq dapat juga dilihat dari dua macam ketentuan, yaitu: 1) Thalaq sunnah, yaitu thalaq yang berjalan sesuai dengan ketentuan agama, yaitu orang yang menalaq istri yang telah digaulinya dengan sekali thalaq dimasa bersih dan belum ia sentuh kembali selama masa bersih itu. Menurut Rahmat Hakim, thalaq sunni merupakan thalaq yang sudah biasa dilakukan oleh pasangan suami istri. 2) Thalaq Bidi, yaitu thalaq yang menyalahi ketentuan agama, misalnya thalaq yang diucapkan dengan tiga kali thalaq pada waktu bersamaan atau thalaq dengan ucapan thalaq tiga, atau menthalaq istri yang dalam keadaan haid atau menthalaq istri dalam keadaan suci, tetapi sebelumnya telah dicampuri. Dalam hal ini, Rahmat Hakim mengatakan bahwa Thalaq Bidi jatuhnya sah, tetapi thalaq sejenis ini jika dilakukan akan berdosa. b. Ditinjau dari berat ringannya thalaq, thalaq dibagi pada dua jenis: 1) Thalaq Raji, yaitu thalaq yang dijatuhkan suami kepada istri yang telah dicampuri, bukan thalaq yang karena tebusan, bukan pula thalaq yang ketiga kalinya. Suami secara langsung dapat kembali kepada istrinya yang dalam masa Iddah tanpa harus melakuakan akad nikah yang baru.[27]

2) Thalaq Bain, yaitu jenis thalaq yang tidak dapat dirujuk oleh suami, kecuali dengan perkawinan baru walaupun dalam masa iddah, seperti thalaq perempuan yang belum digauli. Thalaq bain terbagi dua macam, yaitu: a) Bain sughra, thalaq ini dapat memutuskan ikatan perkawinan. Artinya, jika sudah terjadi thalaq, istri dianggap bebas menentukan pilihannya setelah habis masa iddahnya. Suami pertama dapat ruju dengan akad perkawinan yang baru.[28] b) Bain kubra, suami tidak dapat ruju dengan istrinya, kecuali apabila istrinya telah menikah dengan laki-laki lain dan bercerai kembali. Cara ini tidak boleh sekadar rekayasa sebagaimana dalam nikah Muhallil.[29] Muhammad Jawud Mughniyah mengatakan bahwa thalaq bain adalah thalaq suami tidak berhak untuk ruju. Jenis thalaq bain adalah:  Wanita yang dithalaq sebelum dicampuri  Wanita yang dithalaq tiga  Thalaq khulu. Khulu adalah fasakh nikah maka fasakh nikah bukan termasuk thalaq. Akan tetapi, para ulama menegaskan substansinya yang sama dengan thalaq.  Wanita yang telah memasuki masa menopouse, karena wanita yang tidak haid tidak memiliki masa iddah, dan hukumnya sama dengan wanita yang belum dicampuri. c. Thalaq ditinjau dari syighat (lafadz). 1) Lafadz sharih (jelas) Thalaq dengan kata-kata yang sharih sah meskipun tanpa niat. Kata-kata thalaq yang menggunakan lafadz sharih (3) adalah: y Thalaq y Farq y Sirah-saraha Ketiga kata-kata tersebut memiliki arti yang sama yaitu cerai. 2) Lafadz thalaq kinayah (sindiran)

Thalaq yang menggunakan dengan kata-kata kinayah harus dengan niat, maka apabila tidak, tidak sah pula thalaqnya.[30] Kata-kata thalaq yang menggunakan lafadz kinayah adalah seperti:  Engkau tidak bersuami  Engkau haram untukku, apabila menggunakan katai ini, maka wajib membayar kifarah. d. Thalaq datinjau dari waktu terjadinya 1) Thalaq munjaz (perceraian kontan) adalah thalaq yang diucapkan tanpa syarat maupun penangguhan, seperti kata-kata yang digunakan dalam lafadz sharih diatas. 2) Thalaq muallaq (perceraian bersyarat) adalah thalaq yang digantungkan dengan suatu peristiwa yang bakal terjadi di masa yang akan datang. Sepeti bila suami mengucapkan thalaq dibarengi dengan syarat atau yang semakna dengannya, misalnya: Jika kamu pergi, maka kamu terthalaq.

4. Sifat Thalaq a. Thalaq suami yang dipaksa, menurut jumhur ulama hukum thalaqnya tidak sah. Karena ia tidak menginginkan thalaq, ia melakukannya hanya untuk membela dirinya dari orang yang memaksanya. Seperti disebutkan dalam hadits Nabi SAW: Tidak sah thalaq dan memerdkakan budak karena terpaksa. b. Thalaq suami yang main-main, menurut jumhur ulama hukum thalaqnya sah. Hal ini berkaitan dengan hadits Nabi SAW: Ada tiga perkara yang tidak boleh diucapkan main-main, yaitu thalaq, nikah dan memerdekakan budak. c. Thalaq suami yang mabuk, menurut kebanyakan fuqaha hukum thalaqnya sah, karena sekalipun waktu itu akalnya tidak normal, namun hal itu dibuatnya sendiri dengan sengaja. Sedangkan menurut Utsman bin Affan ra hukum thalaqnya tidak sah.

d. Thalaq suami yang lupa, hukum thalaqnya tidak sah, karena seperti thalaq yang tergelincir lidahnya. Begitu juga dengan thalaq suami yang linglung, bingung dan gila hukum thalaqnya tidak sah. e. Thalaq tidak sah bukan hanya suaminya gila atau belum baligh. Jika thalaq diucapkan oleh suami karena paksaan bukan kehendak sendiri, itu pun tidak sah. Demikian pula, thalaq yang diucapkan oleh suami yang dalam keadaan marah sehingga kata-katanya tidak jelas dan dia sendiri tidak menyadarinya. Kemarahan menurut Sayyid Sabiq ada tiga macam, yaitu:[31]  Kemarahan yang menghilngkan akan sehingga tidak sadar apa yang dikatakannya. Dalam keadaan seperti itu, tidak ada perbedaan pendapat tentang tidak sah thalaqnya.  Kemarahan yang pada dasarnya tidak megakibatkan orang kehilangan kesadaran atas apa yang dimaksudkan oleh ucapan-ucapannya, maka keadaan seperti ini mengakibatkan thalaqnya sah.  Keadaan sangat marah, tetapi sama sekali tidak menghilangkan kesadaran akalnya. Jika bermaksud dengan niat untuk menalaqnya, thalaqnya tidak sah. Akan tetapi, jika tidak diniatkan, melainkan sekadar main-main, para ulama menyatakan bahwa thalaq tersebut sebagian ulama lain menyatakan sah karena ucapan thalaq bukan untuk dipermainkan. Dengan ucapan yang sekadar mainmain, thalaqnya dapat jatuh dengan kedudukan sah.[32]

5. Syarat Thalaq a. Syarat-syarat suami yang menjatuhkan thalaq adalah: 1) Mukallaf 2) Baligh 3) Berakal sehat 4) Kemauan sendiri atau tanpa paksaan 5) Dilakukan setelah nikah 6) Betul-betul bermaksud menjatuhkan thalaq[33] b. Syarat-syarat istri yang dapat dithalaq adalah: 1) Istri telah terikat perkainan yang sah dengan suami. Apabila akad nikahnya diragukan kesahannya, maka istri itu tidak dapat dithalaq oleh suaminya.[34]

2) Istri harus dalam keadaan suci yang belum dicampuri oleh suaminya dalam waktu suci itu, sesuai yang dijelaskan dalam Al-Quran surat Ath-Thalaq ayat 1, tetapi jika thalaq tersebut telah terjadi pada waktu istri haid, maka menurut jumhur ulama sah thalaqnya, hanya orang yang menthalaq istri yang sedang haid.[35] 3) Istri berada dalam iddah raji atau iddah thalaq bain shugra. Sebab dalam keadaan-keadaan seperti ini secara hukum ikatan suami istri masih berlaku sampai habisnya masa iddah.[36] 4) Jika istri berada dalam pisah badan dapat dianggap sebagai thalaq, seperti pisah badan karena suami murtad, atau karna illa, keadaan seperti ini dianggap thalaq oleh madzhab Hanafiyah.[37]

6. Rukun Thalaq a. Menutut ulama Hanafi adalah lafadz yang mengandung mana thalaq baik diucapkan secara sharih (jelas) ataupun dengan kinayah (sindiran). b. Menurut Imam Maliki adalah:  Suami[38]  Istri  Wali  Lafadz yang sharih ataupun kinayah[39] c. Menurut Imam Syafii adalah: y Muthaliq (suami) y Syighat y Muhallun (istri) y Wali y Pilihan sendiri

7. Hak Thalaq Yang berhak menjatuhkan Thalaq hanyalah suami.

8. Hikmah Thalaq Apabila suasana rumah tangga telah panas sementara undang-undang memakasa mereka tidak boleh cerai, maka tak ayal, hati mereka akan hangus termakan dendam. Yang satu akan memperdayakan yang lain dan selanjutnya mencari kehidupan di luar rumah. Maka menurut Bintam seorang filosof Inggris, menyimpulkan bahwa hikmah thalaq adalah Thalaq is the best solution. Pada dasarnya, perceraian dalam pandangan hukum islam merupakan keniscayaan yang tidak mungkin terhindarkan karena dinamika rumah tangga manusia tidak kekal sifatnya, meskipun tujuan perkawinan adalah membangun rumah tangga yang kekal dan bahagia. Oleh karena itu, dalam fiqih munakahat diatur sedemikian detailnya tata cara melakukan perceraian. Bahkan, suami yang hendak menceraikan istri harus mengetahui etika yang benar. Syariat islam membenarkan thalaq, tetapi thalaq yang benar adalah yang dilakukan dengan cara yang benar. Alasan-alasan dilakukannya perceraian dalam perspektif hukum Islam adalah sebagai alasan yang mendasar, yani tidak dilakukan thalaq, kehidupan suami istri akan lebih banyak mendatangkan kemadharatan dari pada kemaslahatan. Dengan demikian, perceraian sebagia jalan sat-satunya yang harus dilakukan.[40] Istri yang telah dithalaq harus diberikan nafkah iddah sampai habis masanya, bahkan dianjurkan bagi suami untuk membayar mutahnya sepanjang ia memiliki kemampuan. Selama masa iddah, suami harus memberikan tempat tinggal kepada istrinya demi menjaga kehormatan dan harga dirinya. Hal demikian menunjukkan bahwa syariat islam bukan hanya menjunjung tunggu hak-hak kemanusiaan, tetapi melindungi manusia dari jatuhnya harga diri dan martabatnya. Abbas Mahmud Al-Aqad mengatakan bahwa perceraian adalah bagia dari hukum duniawi, tetapi setelah terjadi perceraian, dalam ajaran Islam, suami atau istri harus tetap memlihara silaturahmi, apalagi bagi istri yang telah diceraikan. Sebaliknya, suami yang telah menalaq istrinys memiliki keturunan yang wajib dididik dan dipelihara dengan baik.[41] BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Menurut hukum positif khususnya dalam undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 adalah thalaq dapat dikatakan sah apabila dilakukan didalam sidang pengadilan. 2. Sedangkan menurut hukum islam khususnya yang diatur dalam fiqih adalah sah thalaq yang dilakukan walaupun diluar sidang pengadilan asalkan terpenuhi syarat dan rukun thalaq tersebut, namun sehubungan dengan adanya ketentuan bahwa perceraian harus dilakukan didepan sidang pengadilan, maka ketentuan ini berlaku juga bagi masyarakat yang beragama islam. Walaupun pada dasarnya hukum islam tidak menentukan bahwa perceraian harus dilakukan didepan sidang pengadilan, namun karena ketentuan ini lebih banyak mendatangkan kebaikan bagi kedua belah pihak maka sudah sepantasnya apabila orang islam wajib mengikuti ketentuan tersebut. Adapun pengadilan yang berwenang memeriksa dan memutuskan tentang percerian bagi mereka yang beragama islam di pengadilan Agama dan bagi mereka yang beragama lain selain islam di pengadilan negeri.

B.Kritik dan Saran Tentunya dalam pembuatan makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat kami perlukan.

DAFTR PUSTAKA

Al-Jaziri, Abdurrahman. Kitab Al-Fiqh Ala Mazhab Al-Arbaah. Kairo: Dar Al-Fikr Ayyub, Hasan. 2005. Fiqih Keluarga. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar Basyir, Azhar. 1990. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Hamid, Zahri.1974. Fiqih Munakahat, Yogyakarta: Tnp

Kuzari, Ahmad. 1995. Perkawinan Sebagai Sebuah Perikatan Jakarta: Rajawali Pers Mughniyah, Muhammad Jawad. 2006. Fiqih Lima Madzhab. Jakarta: Lentera Nurudin, Amiur dan Tarigan, Azhari Tarigan. 2004. Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta: Kencana Nasution, Khairuddin. 2002. Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundangundangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malayasia. Jakarta Rafiq, Ahmad. 1995. Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers Rasjidi, Lili. 1991. Hukum Perkawinan Dan Perceraian Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Rusyd, Ibnu. Bidayah Al-Mujtahid Wa Nihayah Al-Muqtasid Sabiq, Sayyid. 1983. Fiqih Sunnah. Beirut: Dar Al-Fikr. Selanjutnya diterjemahkan Oleh Thalib, Muhammad. 1990. Fiqih Sunnah. Bandung: Al-Maarif Supriatna, Amalia Fatma dan Baidi Yasin. 2009. Fiqih Munakahat II. Yogyakarta: Teras Syarifudin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia. Jakarta: Prenada Media Wasman dan Nuroniyah, Wardah. 2011. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Perbandingan Fiqih dan Hukum Positif. Yogyakarta: Teras Zahrah, Abu. Al-ahwal Al-Syakhshiyyah. Dar Al-Fikr Al-Arabi

------------------------------------------------------------------

Kuzari, Perkawinan Sebagai Sebuah Perikatan (Jakarta: Rajawali Pers, 1995). Selanjutnya disebut Ahmad Kuzari, Perkawinan Sebagai Sebuah Perikatan.
[2]Dr. H. Amiur Nurudin, M. A dan Drs. Azhari Tarigan, M. Ag, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), cet ke-1. hlm. 207. Selanjutnya disebut Amiur Nurudin dan. Azhari Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia. [3]Khairuddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundangundangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malayasia (Jakarta: 2002), hlm. 203. Selanjutnya disebut Khairuddin Nasution, Studi Terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malayasia.

[1]Ahmad

H. Wasman, M. Ag dan Wardah Nuroniyah, S. Hi, M. Si, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Perbandingan Fiqih dan Hukum Positif. (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 155. Selanjutnya disebut Wasman, dan Wardah Nuroniyah, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Perbandingan Fiqih dan Hukum Positif.
[5]Prof. Dr. Lili Rasjidi, S. H, LLM, Hukum Perkawinan Dan Perceraian (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1991), hlm. 194. Selanjutnya disebut Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan Dan Perceraian. [6]Wasman, dan Wardah Nuroniyah, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Perbandingan Fiqih dan Hukum Positif, Hlm. 156

[4]Drs.

Beni Ahmad Saebani, M. Si, Perkawinan Dalam Hukum Islam Dan Undangundang. dan Wardah Nuroniyah, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Perbandingan Fiqih dan Hukum Positif, Hlm. 157
[9]Wasman, dan Wardah Nuroniyah, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Perbandingan Fiqih dan Hukum Positif, Hlm. 158 [10]Drs. Beni Ahmad Saebani, M. Si, Perkawinan Dan Hukum Islam Dan Undangundang. [11]Drs. Beni Ahmad Saebani, M. Si, Perkawinan Dan Hukum Islam Dan Undangundang. [8]Wasman,

[7]Drs.

[12]Drs. Beni Ahmad Saebani, M. Si, Perkawinan Dan Hukum Islam Dan Undangundang. [13]Drs. Beni Ahmad Saebani, M. Si, Perkawinan Dan Hukum Islam Dan Undangundang. [14]Drs.

Beni Ahmad Saebani, M. Si, Perkawinan Dan Hukum Islam Dan Undang-

undang.

[15]Drs.

Beni Ahmad Saebani, M. Si, Perkawinan Dan Hukum Islam Dan Undang-

undang. [16]Drs. Beni Ahmad Saebani, M. Si, Perkawinan Dan Hukum Islam Dan Undangundang.
[17]Al-Asqalani,

Subul Al-Salam, Ttp: Dar Al-Fikr, hlm. 168

[18]Drs. Supriatna, M. Si, Hj. Fatma, Amalia, M. Si dan Yasin Baidi, Fiqih Munakahat II (Yogyakarta: Teras, 2009). hlm.19. Selanjutnya disebut Supriatna, Fatma, Amalia, dan Yasin Baidi. Fiqih Munakahat II. [19]Supriatna,

Fatma, Amalia, dan Yasin Baidi. Fiqih Munakahat II. hlm. 20

[20]Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 1995), hlm. 272. Selanjutnya disebut Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia. [21]Supriatna, [22]Supriatna,

Fatma, Amalia, dan Yasin Baidi. Fiqih Munakahat II. hlm. 23 Fatma, Amalia, dan Yasin Baidi. Fiqih Munakahat II. hlm. 24

[23]Wasman, dan Wardah Nuroniyah, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Perbandingan Fiqih dan Hukum Positif, hlm. 85

As-Sabiq, Fiqih Sunnah (Beirut: Dar Al-Fikr, 1983). Selanjutnya diterjemahkan Oleh Thalib, Muhammad, Fiqih Sunnah. (Bandung: Al-Maarif,1990), hlm. 208 dan Wardah Nuroniyah, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Perbandingan Fiqih dan Hukum Positif, hlm. 86
[26]Drs. [25]Wasman,

[24]Sayyid

Supriatna, M. Si, Hj. Fatma, Amalia, M. Si dan Yasin Baidi, Fiqih Munakahat II

[27]Hasan Ayyub, Fiqih Keluarga (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), hlm. 210. Selanjutnya disebut Hasan Ayyub, Fiqih Keluarga. [28]Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab (Jakarta: Lentera, 2006), hlm. 452. Selanjutnya disebut Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab

A. Azhar Basyir, M. A, Hukum Perkawinan Islam (Yogyakarta: UII, 1990), hlm. 6768. Selanjutnya disebut Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam.

[29]H.

[30]Zahri Hamid, Fiqih Munakahat, (Yogyakarta: Tnp, 1974), hlm. 17. Selanjutnya disebut Zahri Hamid, Fiqih Munakahat

[31]Drs.

Beni Ahmad Saebani, M. Si, Perkawinan Dan Hukum Islam Dan Undang-

undang

[32]Drs.

Beni Ahmad Saebani, M. Si, Perkawinan Dan Hukum Islam Dan UndangFiqih Lima Madzhab, hlm. 441-443

undang
[33]Muhammad Jawad Mughniyah,

[34]Abu Zahrah, Al-ahwal Al-Syakhshiyyah (Ttp: Dar Al-Fikr Al-Arabi), hlm. 283. Selanjutnya disebut Abu Zahrah, Al-ahwal Al-Syakhshiyyah.

Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid Wa Nihayah Al-Muqtasid (Ttp: Syirkah An-Nur Asia), hlm. 74. Selanjutnya disebut Ibnu Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid Wa Nihayah AlMuqtasid.
[36]Abu Zahrah, [37]Abu Zahrah, [38]Supriatna, [39]Supriatna,

[35]Ibnu

Al-ahwal Al-Syakhshiyyah, hlm. 284 Al-ahwal Al-Syakhshiyyah, hlm. 286

Fatma, Amalia, dan Yasin Baidi. Fiqih Munakahat II. hlm. 26 Fatma, Amalia, dan Yasin Baidi. Fiqih Munakahat II. hlm. 28

[40]Drs. Beni Ahmad Saebani, M. Si, Perkawinan Dan Hukum Islam Dan Undangundang [41]Drs. Beni Ahmad Saebani, M. Si, Perkawinan Dan Hukum Islam Dan Undangundang

| Free Bussines? | Posted by Asep Anwar at 06:33 Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to Facebook Labels: FiQih Reactions: 0 comments: Post a Comment Links to this post BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja dimulai pada saat anak secara seksual menjadi matang dan berakhir pada saat ia mencapai usia matang secara fisik dan psikis. Secara umum masa remaja dibagi menjadi dua bagian yaitu masa remaja awal dan masa remaja akhir (Hurlock, 1980).

Selain itu masa remaja itu sendiri merupakan periode perkembangan antara masa kanak kanak dan dewasa. Hal ini ditandai dengan pubertas dan timbulnya perubahan fisik, psikis dan sosial yang dialami oleh remaja, sehingga dapat dimaklumi jika pada remaja timbul tindakantindakan yang kurang pas seperti: ingin berbeda dengan tindakan orang tua, mulai menyukai lawan jenis, merasa dirinya lebih dari yang lain. Adanya kondisi seperti ini dapat membawa remaja pada keadaan emosi yang tidak stabil karena belum tercapainya kematangan kepribadian dan pemahaman nilai sosial remaja sebagai manusia yang sedang berkembang menuju tahap dewasa yang mengalami perubahan dan pertumbuhan yang pesat. Perkembangan pada masa remaja pada dasarnya meliputi aspek fisiologi, aspek psikologis dan aspek sosial (Walgito, 1988). Perkembangan aspek fisiologi ditandai dengan berfungsinya hormon dan perubahan suara. Perkembangan psikologis meliputi keadaan emosi, kognisi dan pemahaman tentang diri pribadi sosial meliputi pemahaman nilai sosial dan melakukan interaksi sosial dengan teman sebaya (Santrock, 2002). Tugastugas perkembangan remaja dipusatkan pada penanggulangan sikap dan pola perilaku yang kekanakkanakan dan mengadakan persiapan untuk menghadapi masa remaja. Tugas perkembangan pada masa remaja menuntut perubahan besar dalam sikap dan pola perilaku anak, hanya sedikit anak laki-laki dan anak perempuan yang dapat diharapkan untuk menguasai tugas- tugas masa remaja awal, apalagi mereka yang terlambat untuk matang (Hurlock, 1980). Adapun tugas - tugas perkembangan remaja yaitu mencapai peran sosial pria dan wanita, mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita, menerima keadaan fisiknya dan mengunakan tubuhnya secara efektif, mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya, mempersiapkan karier ekonomi untuk masa yang akan datang, mempersiapkan perkawinan dan keluarga, memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan berperilaku dan mengembangkan ideologi (Hurlock, 1999). Penyesuaian diri adalah kemampuan seseorang untuk hidup dan bergaul secara wajar dengan lingkungan sehingga individu merasa puas terhadap diri dan lingkungannya. Penyesuaian diri itu dilakukan untuk melepaskan diri dari hambatan-hambatan dan ketidakenakan yang ditimbulkannya sehingga akan mendapatkan suatu keseimbangan psikis yang dalam hal ini tentu tidak menimbulkan konflik bagi dirinya sendiri dan tidak melanggar norma-norma yang berlaku dimasyarakat (Willis, 198). Penyesuaian diri merupakan suatu usaha yang dilakukan manusia untuk mengubah keadaan diri dan keinginannya agar sesuai dengan keadaan dan keinginan lingkungan (Berungan, 1991). Penyesuaian diri adalah suatu faktor yang mencakup respon mental dan tingkah laku yaitu individu berusaha keras agar mampu mengatasi konflik dan frustasi karena terhambatnya kebutuhan didalam dirinya sehingga tercapai keselarasan dan keharmonisan antara dorongan dari diri dan tuntutan dari luar dirinya (Irawan, 2000). Berdasarkan hasil wawancara dan observasi, penulis mendapatkan beberapa informasi bahwa dampak perceraian terhadap perkembangan seorang anak, khususnya anak remaja awal adalah ketika mereka bercerai, orang tua akan lebih siap menghadapi perceraian

dibandingkan anak-anak mereka. Hal tersebut karena sebelum mereka bercerai biasanya didahului proses berpikir dan pertimbangan yang panjang, sehingga terdapat persiapan mental dan fisik dari mereka. Tidak demikian halnya dengan anak yang sudah beranjak remaja, mereka tiba-tiba saja harus menerima keputusan yang telah dibuat oleh orang tua, tanpa ada bayangan bahwa hidup mereka akan berubah secara tiba-tiba. sehingga keadaan rumah menjadi berubah. Hal yang mereka tahu sebelumnya mungkin hanyalah ibu dan ayah sering bertengkar. Kadangkala, perceraian adalah satu-satunya jalan bagi orangtua untuk dapat terus menjalani kehidupan sesuai yang mereka inginkan, namun perceraian selalu menimbulkan akibat buruk pada anak anak mereka, meskipun dalam kasus tertentu dianggap alternatif terbaik daripada membiarkan anak tinggal dalam keluarga dengan kehidupan pernikahan yang buruk. Biasanya dilihat saja perkembangan anak akibat perceraian orangtuanya yaitu anak akan lebih menderita dan akan menimbulkan trauma, sehingga anak juga akan bingung untuk memihak ayah atau ibunya. Setelah perceraian hal akan membawa pengaruh langsung bagi anakanak mereka terlihat pula dalam menyesuaikan diri dengan situasi baru ini yang diperlihatkan dengan cara dan penyelesaian yang berbeda. Peranan lingkungan keluarga sangat penting bagi seorang anak yang menginjak remaja, terlebih lagi pada tahuntahun pertama dalam kehidupannya setelah orang tuanya bercerai. Perceraian pasangan suami-istri seringkali berakhir menyakitkan bagi pihak-pihak yang terlibat, termasuk di dalamnya adalah anak-anak. Peristiwa ini menimbulkan anakanak tidak merasa mendapatkan perlindungan dan kasih sayang dari orang tuanya. Perceraian juga dapat menimbulkan stres dan trauma untuk memulai hubungan baru dengan lawan jenis. Perceraian adalah penyebab stres kedua paling tinggi, setelah kematian pasangan hidup. Seringkali perceraian diartikan sebagai kegagalan yang dialami suatu keluarga (Holmes dan Rahe, 2005). Anggapan mengenai perceraian sama dengan suatu kegagalan yang biasa karena semata mata mendasarkan perkawinan pada cinta yang romantis, padahal pada semua sistem perkawinan paling sedikit terdiri dari dua orang yang hidup dan tinggal bersama dimana masingmasing memiliki keinginan, kebutuhan serta latar belakang sosial yang berbeda satu sama lain. Akibatnya sistem ini biasanya memunculkan ketegangan dan ketidakbahagiaan yang dirasakan oleh semua anggota keluarga (Erna, 1999) Perceraian dan perpisahan orangtua menjadi faktor yang sangat berpengaruh bagi pembentukan perilaku dan kepribadian anak. Banyak studi dilakukan untuk memahami akibat-akibat perceraian bagi anggota keluarga khususnya seorang anak (Johnston, 1996; Hurlock, 1992) Dalam kasus perceraian, tidak hanya orang tua yang menanggung kepedihan, tapi yang lebih merasakan beratnya perceraian adalah anak. Severe (2000) mengemukakan bahwa anak bukannya tidak tahu tapi ia tidak mampu menjelaskan, mengapa ia tidak ingin ada orang tahu bahwa ia sedang pedih hatinya, dia juga tidak ingin mengatakan apapun yang dapat memperburuk keadaan di rumah. Sebenarnya anak dapat melihat ketegangan yang dialami orang tuanya. Tetapi dia khawatir jika dia mengungkapkan emosinya, akan menambah kepedihan setiap orang. Inilah alasan mengapa sebagian besar anak tidak pernah bicara dengan orang tuanya tentang perasaannya mengenai perceraian. Perasaan tersembunyi ini akan meningkatkan kecemasan dan memperlemah kemampuan anak untuk berprestasi di sekolah. Selain itu, perasaan yang tertekan bisa menjadi bibit bagi permasalahan yang lebih

besar dalam kehidupannya nanti. Secara psikologis, anak terikat pada kedua orang tuanya, jika orang tuanya bercerai, seperti separuh kepribadiannya dirobek, hal ini akan berpengaruh terhadap rasa harga diri yang buruk, timbul rasa tidak aman dan kemurungan yang luar biasa dan dalam kondisi demikian maka sekolah bagi anak bukan merupakan sesuatu yang penting. Menurut Handoko (2002) perceraian bagi anak adalah "tanda kematian" keutuhan keluarganya, rasanya separuh "diri" anak telah hilang, hidup tak akan sama lagi setelah orang tua mereka bercerai dan mereka harus menerima kesedihan dan perasaan kehilangan yang mendalam. Contohnya, anak harus memendam rasa rindu yang mendalam terhadap ayah/ibunya yang tiba-tiba tidak tinggal bersamanya lagi. Perasaan kehilangan, penolakan dan ditinggalkan akan merusak kemampuan anak berkonsentrasi di sekolah. Perasaanperasaan tersebut akan meningkat bila kedua orang tuanya saling menyerang atau menghina. Bila salah satu orang tua mengatakan hal-hal yang jelek mengenai pasangannya di depan anak mereka, anak akan cemas bahwa ciri-ciri yang tidak menyenangkan itu akan melekat pada diri mereka. Mereka akan berpikir, "Kalau ayah orang jahat, jangan-jangan nanti aku juga jadi orang jahat. Kata orang aku sangat mirip ayah. "Perasaan penolakan dan kehilangan akan sangat membekas, dia berkeyakinan, dirinya seorang anak yang tidak punya nilai, hilangnya hubungan dengan salah satu orang tua berarti ia tidak pantas mendapatkan waktu dan kasih sayang. Tiadanya harga diri itu akan mengganggu kehidupannya. Ia takut menjalin persahabatan. Ia takut berusaha keras di sekolah, bahkan ia juga takut untuk terlalu dekat dengan ibunya karena kalau ayahnya saja tidak peduli, orang lain pasti akan begitu. Ada ketakutan juga jangan-jangan orang tua yang sekarang bersamanya juga akan meninggalkannya. Amarah dan agresi merupakan reaksi yang lazim dalam perceraian, hal itu terjadi bila orang tuanya marah di depan anaknya. Akibatnya, anak biasanya akan menumpahkan amarahnya kepada orang lain, misalnya kepada rekan-rekan sebayanya dan adik-adiknya karena relatif lebih aman. Bisa dilihat kembali pada awal tahun 1960an dan tahun 1970an ratarata tingkat perceraian semakin tinggi secara dramastis dengan adanya kasus yang menemukan bahwa anakanak hasil perceraian mengalami trauma, memperlihatkan gejalagejala depresi ringan dan anti sosial. Dampak ini terlihat hampir seluruh kehidupan anak ketika orang tua mereka baru saja bercerai. Hal ini juga berdampak pada masa muda mereka dimana remaja yang menjadi korban perceraian dari orang tua mereka memiliki angka perceraian yang tinggi dibandingkan dengan mereka yang berasal dari keluarga yang tidak bercerai. Dalam penelitian terakhir hubungan anak remaja yang orang tuanya bercerai adalah remaja yang menjadi korban perceraian akan memiliki sikap pesimis mengenai kehidupan pernikahannya. Penelitian tersebut menandai anak-anak hasil perceraian selalu memusatkan opininya tentang pernikahan pada sesuatu yang lain (Franklin, dkk, 1990) Remaja yang menjadi korban perceraian orang tuanya akan kurang menpercayai pasangan mereka bila dibandingkan mereka yang berasal dari keluarga yang utuh. Mereka menganggap hubungan mereka berpacaran terlalu beresiko (Johnston dan Thomas, 1996) Remaja pada pernikahan pertamanya akan mengalami ketidakstabilan karena peneliti menemukan bahwa diantara mereka tidak begitu bahagia dalam pernikahannya terlihat mereka lebih tegang dalam menjalin hubungan dengan pasangannya. Mereka yang berasal dari keluarga tidak utuh memiliki tingkat perceraian yang tinggi dan merasa kalau pernikahannya dalam masalah (Weber, dkk, 1995)

Berdasarkan hasil survey nasional AS sebanyak 11 macam dari tahun 1973 hingga 1985 diperoleh bermacam-macam argumen tentang dampak perceraian yaitu dalam hal ini bentuk peran pasangan seperti pernikahan yang buruk akan menghasilkan tipe anak yang buruk juga. Kurang mempunyai kontrol sosial seperti kurangnya dukungan keluarga terhadap pernikahan hilangnya bentuk peran pasangan, pendidikan yang rendah, keinginan besar untuk bercerai, mereka lebih suka memilih bercerai untuk mengakhiri konflik, menikah pada usia muda biasanya menikah pada usia muda cenderung akan lebih cepat bercerai (Glenn and Kramer, 1987) B. Perumusan masalah Dengan adanya uraian yang penulis paparkan pada latar belakang diatas menunjukkan apakah ada dampak perceraian orang tua terhadap penyesuaian diri pada remaja awal? C. Tujuan Penelitian Tujuan penulis dalam melakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak perceraian orang tua terhadap penyesuaian diri pada remaja awal. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Secara Teoritis Dengan penelitian ini diharapkan dapat merupakan sumbangan pemikiran ilmiah yang dapat menambah pengetahuan dalam bidang ilmu psikologi perkembangan yang berkaitan dengan dampak perceraian orang tua terhadap penyesuaian diri pada remaja awal 2. Manfaat Secara Praktis a. Remaja Memberikan gambaran secara khusus mengenai penyesuaian diri remaja yang dihadapkan dari keluarga yang memiliki status perceraian, karena dapat menjadi acuan untuk mengatasi masalah-masalah remaja yang menjadi korban perceraian orang tuanya sendiri. b. Orang Tua Bagi orang tua hal ini merupakan salah satu cara untuk memberikan pengertian tentang dampak perceraian didalam keluarga dan dampak bagi anak anak mereka. c. Masyarakat Harapan peneliti dari hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan bagi orang tua yang ingin bercerai dalam mengambil keputusan dan pertimbangan untuk bercerai dan diharapkan dapat membantu orang yang sudah bercerai untuk dapat meminimalkan efeknya terhadap anak-anak mereka.

You might also like