You are on page 1of 29

Karya Wisata ke Kota Yogyakarta

CANDRA AJI WIJAYA Kelas : VIII D

SMP NEGERI 2 BANJAR


Jl. BKR No. 16 Kota Banjar

KATA PENGANTAR

Artikel ini merupakan usaha penyusunan yang diterapkan berdasarkan sistem pembelajaran pada kurikulum sekarang ini yaitu CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Artikel ini merupakan ringkasan dari materi penting yang diajarkan di Sekolah dan telah disesuaikan oleh GBPP yang berlaku. Arikel ringkasan ini dapat digunakan sebagai pegangan siswa dalam penerapan secara langsung daripada teori karena memang disusun untuk mempermudah dan mendukung kegiatan belajar siswa di rumah. Saya melengkapi artikel ini dengan contoh gambar-gambar, dengan harapan para siswa dapat menggambarkan objek wisata. Saya mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari para pembaca ataupun pengguna artikel ini. Saya ucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah memberikan, membantu terselesainya artikel ini. Semoga artikel ini dapat memberikan sumbangan dalam bidang pendidikan kita pada umumnya.

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................. DAFTAR ISI ................................................................................................ BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang .................................................................................. B. Tujuan .............................................................................................. C. Manfaat ............................................................................................. BAB II LOKASI KARYA WISATA A. Borobudur ........................................................................................ B. Musium Sudirman .............................................................................

i ii

1 1 2

3 7

C. Musium Biologi ................................................................................ 10 D. Musium Dirgantara Mandala ............................................................. 12 E. Kotagede ........................................................................................... 15 F. Keraton Yogyakarta .......................................................................... 20 BAB III KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ....................................................................................... 25 B. Saran ................................................................................................ 26

ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Dalam menghadapi perjuangan hidup senantiasa kita mesti bercermin kepada sejarah untuk melangkah dalam upaya melestarikan dan menumbuhkan sikap dan erat khas bangsa yang berjiwa besar. Dari sejarahlah kita banyak memperoleh pelajaran serta dapat inspirasi guna melanjutkan perjuangan para wali yang berperan dalam menyebarkan Agama Islam di Pulau Jawa. Atas pertimbangan inilah yang kemudian mendorong kami untuk memberikan Laporan Karyawisata ke salah satu Objek Wisata Sejarah yaitu Kota Yogyakarta, sebagai salah satu warisan peninggalan sejarah yang masih berdiri tegak sampai sekarang, yang dilakukan pada tanggal 1-2 Januari 2012 sebagai tuntunan kurikulum yang telah menjadi Program sekolah.

B. Tujuan Tujuan dari penulisan Karya ilmiah tentang Kota Yogyakarta adalah : a. Tujuan Umum Sebagai salah satu upaya untuk mentransfer pengalaman dan pengetahuan kami dalam bentuk tulisan yang pada akhirnya dapat memunculkan rasa cinta terhadap Agama, Bangsa dan Tanah Air tercinta.

b. Tujuan Khusus Secara khusus tulisan ini kami buat sebagai bahan laporan wajib untuk memenuhi tugas akhir kelas VIII dan IX serta mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua.

C. Manfaat Adapun manfaat dari penelitian dan Penulisan Karya Ilmiah tentang Kota Yogyakarta adalah : a. Mengetahui keadaan di sekitar Kota Yogyakarta b. Mengetahui peninggalan Sejarah di Kota Yogyakarta c. Mengetahui Sejarah objek Wisata di Kota Yogyakarta.

BAB II LOKASI KARYA WISATA

A. Borobudur Borobudur adalah nama sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi berbentuk stupa ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang diatasnya terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel relief dan aslinya terdapat 504 arca Buddha. Stupa utama terbesar teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini, dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang yang didalamnya terdapat arca buddha tengah duduk bersila dalam posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap tangan) Dharmachakra mudra (memutar roda dharma). Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah untuk menuntun umat manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha. Para peziarah masuk melalui sisi timur memulai ritual di dasar candi dengan berjalan melingkari bangunan suci

ini searah jarum jam, sambil terus naik ke undakan berikutnya melalui tiga tingkatan ranah dalam kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah K madh tu (ranah hawa nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak berwujud). Dalam perjalanannya ini peziarah berjalan melalui serangkaian lorong dan tangga dengan menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief indah yang terukir pada dinding dan pagar langkan. Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14 seiring melemahnya pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta mulai masuknya pengaruh Islam. Dunia mulai menyadari keberadaan bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak saat itu Borobudur telah mengalami serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran. Proyek pemugaran terbesar digelar pada kurun 1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah Republik Indonesia dan UNESCO, kemudian situs bersejarah ini masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia. Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap tahun umat Buddha yang datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di Borobudur untuk memperingati Trisuci Waisak. Dalam dunia pariwisata, Borobudur adalah obyek wisata tunggal di Indonesia yang paling banyak dikunjungi wisatawan.

Nama Borobudur

Stupa Borobudur dengan jajaran perbukitan Menoreh. Selama berabadabad bangunan suci ini sempat terlupakan. Dalam Bahasa Indonesia, bangunan keagamaan purbakala disebut candi; istilah candi juga digunakan secara lebih luas untuk merujuk kepada semua bangunan purbakala yang berasal dari masa Hindu-Buddha di Nusantara, misalnya gerbang, gapura, dan petirtaan (kolam dan pancuran pemandian). Asal mula nama Borobudur tidak jelas, meskipun memang nama asli dari kebanyakan candi di Indonesia tidak diketahui. Nama Borobudur pertama kali ditulis dalam buku "Sejarah Pulau Jawa" karya Sir Thomas Raffles. Raffles menulis mengenai monumen bernama borobudur, akan tetapi tidak ada dokumen yang lebih tua yang menyebutkan nama yang sama persis. Satu-satunya naskah Jawa kuno yang memberi petunjuk mengenai adanya bangunan suci Buddha yang mungkin merujuk kepada Borobudur adalah Nagarakretagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada 1365. Nama Bore-Budur, yang kemudian ditulis BoroBudur, kemungkinan ditulis Raffles dalam tata bahasa Inggris untuk menyebut desa terdekat dengan candi itu yaitu desa Bore (Boro); kebanyakan candi memang seringkali dinamai

berdasarkan desa tempat candi itu berdiri. Raffles juga menduga bahwa istilah 'Budur' mungkin berkaitan dengan istilah Buda dalam bahasa Jawa yang berarti "purba" maka bermakna, "Boro purba". Akan tetapi arkeolog lain beranggapan bahwa nama Budur berasal dari istilah bhudhara yang berarti gunung. Banyak teori yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya menyatakan bahwa nama ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara, yaitu artinya "gunung" (bhudara) di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat beberapa etimologi rakyat lainnya. Misalkan kata borobudur berasal dari ucapan "para Buddha" yang karena pergeseran bunyi menjadi borobudur. Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata "bara" dan "beduhur". Kata bara konon berasal dari kata vihara, sementara ada pula penjelasan lain di mana bara berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya kompleks candi atau biara dan beduhur artinya ialah "tinggi", atau mengingatkan dalam bahasa Bali yang berarti "di atas". Jadi maksudnya ialah sebuah biara atau asrama yang berada di tanah tinggi. Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor pada 1950 berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasarkan prasasti Karangtengah dan Tri Tepusan, Casparis memperkirakan pendiri Borobudur adalah raja Mataram dari wangsa Syailendra bernama Samaratungga, yang melakukan pembangunan sekitar tahun 824 M. Bangunan raksasa itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardhani. Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad. Dalam prasasti Karangtengah pula disebutkan mengenai penganugerahan tanah sima

(tanah bebas pajak) oleh r Kahulunan (Pramudawardhani) untuk memelihara Kam l n yang disebut Bh misambh ra. Istilah Kam l n sendiri berasal dari kata mula yang berarti tempat asal muasal, bangunan suci untuk memuliakan leluhur, kemungkinan leluhur dari wangsa Sailendra. Casparis memperkirakan bahwa Bh mi Sambh ra Bhudh ra dalam bahasa Sanskerta yang berarti "Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa", adalah nama asli Borobudur.

B. Musium Sudirman Museum Sudirman di Kota

Magelang dulunya adalah rumah tinggal Jenderal Sudirman. Di rumah inilah Jenderal Sudirman menikmati masa

peristirahatan, bahkan sampai meninggal dunia. Rumah ini sekarang telah menjadi Museum Sudirman, menyimpan koleksi barang-barang pribadi sang jenderal. Namun pemeliharaanya terkesan

serampangan, asal-asalan, dan tidak berorientasi pada nilai jual museum itu sendiri. Kota Magelang memiliki beberapa objek wisata musem, diantaranya Museum Bumi Putera, Museum Abdul Djalil, Museum BPK, Museum Diponegoro, serta Museum Sudirman. Dari jumlah tersebut hanya Museum Sudirman yang pengelolaannya berada di bawah Pemerintah Kota Magelang, yaitu Museum Sudirman. Museum Sudirman yang terletak di jalan Ade Irma

Suryani nomor C7 Kota Magelang adalah rumah tinggal sekaligus tempat peristirahatan Jenderal Sudirman setelah purna tugas memimpin pergerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Di rumah inilah Jenderal Sudirman menghabiskan akhir hidupnya dibawah perawatan dokter pribadi. Jenderal Sudirman kala itu disarankan untuk beristirahat di Kota Magelang yang hawanya sejuk, tenang, dan nyaman. Rumah tinggal di kawasan Potrobangsan inipun sangat mendukung sebagai tempat beristirahat karena di sebelah barat langsung berhadapan dengan panorama gunung Sumbing yang berdiri gagah dan megah. Sungguh suatu tempat yang sangat nyaman untuk rehat atau mengaso. Di rumah ini Jenderal Sudirman selain didampingi keluarga dekat, juga ditemani dokter pribadi, serta ajudan setia. Kompleks rumah tersebut terdiri dari 5 ruang di gedung utama serta beberapa ruang tambahan di bagian

belakang yang terpisah dari gedung induk. Di gedung utama terdapat ruang tamu, ruang dokter pribadi, ruang istirahat, ruang tidur, serta ruang makan. Terpisah dari rumah induk adalah kamar ajudan, perpustakaan pribadi, mushola, dapur, serta kamar mandi. Saat ini, pengelolaan Museum Sudirman berada dibawah tanggung jawab Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata Kota Magelang, utamanya Bidang Kebudayaan. Ini sebagai kelanjutan tugas dari Kantor Kebudayaan dan Pariwisata Kota Magelang yang pada tahun 2008 dilebur dengan Subdin

Pembinaan Pemuda Olahraga Dinas Pendidikan Kota Magelang menjadi Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata Kota Magelang. Sebagai pihak yang diberi tanggung jawab mengelola Museum Sudirman, Bidang Kebudayaan di Disporabudpar memiliki wewenang mengajukan anggaran dari APBD Kota Magelang, dan apabila disetujui, selanjutnya mengelola anggaran tersebut. Anggaran itu meliputi dana pemeliharaan gedung, penambahan koleksi (repro foto), serta peningkatan kapabilitas penjaga museum. Pada tahun 2007, dilaksanakan rehabilitasi gedung senilai 240 juta. Ini untuk pemasangan paving, perbaikan kayu penyangga atap gedung yang rapuh dan penggantian genting yang bocor disana-sini sebesar 200 juta; sisa 40 juta digunakan untuk pengelolaan kekayaan budaya. Setelah tahun 2007 itu, praktis tidak lagi ada rehab besar di Museum Sudirman. Tiap tahun hanya dilaksanakan perbaruan warna cat tembok museum. Padahal tiap tahunnya Disporabudpar lewat Bidang Kebudayaan mengajukan anggaran yang cukup besar untuk pemeliharaan museum. Koleksi museum juga tidak mengalami penambahan berarti. Benda-benda koleksi lama, seperti meja kursi tamu, tempat tidur, meja kursi makan, almari makan juga terkesan tidak terawat dan terabaikan. Koleksi foto-foto lama banyak yang telah pudar, kusam. Usaha penambahan koleksi dilakukan dengan repro foto-foto lama. Namun itupun tidak memberikan banyak sumbangan signifikan bagi perkembangan museum. Kepemilikan gedung pun sebenarnya masih menjadi polemik. Dalam catatan Badan Pertanahan Nasional status Rumah Sudirman adalah milik Ziebang TNI Angkatan Darat. Entah mulai kapan menjadi Museum Sudirman. Saat ini

dikonfirmasi kepada Bidang Kebudayaan Disporabudpar, Kepala Bidang maupun Kasi Sejarah dan Kepurbakalaan serempak menggelengkan kepala tanpa bisa memberikan keterangan lebih lanjut. Wisata museum apabila dikelola dengan tepat dapat menjadi media pendidikan ilmu sejarah bagi para siswa maupun wisatawan. Dengan anggaran APBD yang tersedia, seharusnya Disporabudpar mampu menghadirkan museum yang memiliki daya tarik untuk dikunjungi; menampilkan citra museum sebagai tempat pembelajaran yang menyenangkan tentang cerita masa lalu, dan bukan hanya sekedar gedung suram muram penanda masa silam.

C. Musium Biologi Museum sejak Biologi dirintis Museum

terbentuknya

Zooligicum pada tahun 1964, yang menempati salah satu ruang di Sekip, Sleman, DIY, di dalam Kampus UGM, yang dipimpin oleh Prof. drg. R.G. Indrojono dan koleksi herbarium yang menempati sebagian gedung di Jalan Sultan Agung 22 Yogyakarta, yang dipimpin oleh Prof. Ir. Moeso

Suryowinoto.Pengelolaan keduanya ditangani oleh Fakultas Biologi, yang pada waktu itu bertempat di nDalem Mangkubumen, Ngasem, Yogyakarta, yang lebih dikenal dengan nama fakultas-fakultas "Kompleks Ngasem". Koleksi hewan dan

10

tumbuhan pada waktu itu berasal dari Seksi Zoologi dan Anatomi Fakultas Kedokteran UGM, dan Seksi Botani Fakultas Pertanian UGM. Atas prakarsa Dekan Fakultas

Biologi, yang pada waktu itu dijabat oleh Ir. Soerjo Sodo Adisewoyo, pada tanggal 20 September 1969, yaitu pada penringatan Dies Natalis Fakultas Biologi, Museum Biologi diresmikan. Museum tersebut merupakan penggabungan dari koleksi Museum Zoologicum dan Herbarium, dengan menempati gedung di Jalan Sultan Agung 22 Yogyakarta. Museum Biologi memiliki koleksi spesimen hewan dan tumbuhan dalam bentuk awetan kering, awetan basah, serta fosil, yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia dan beberapa dari luar negeri. Koleksi museum tersebut digunakan sebagai sarana studi dosen, mahasiswa, pelajar, dan umum. Tiket masuk: 1. Pelajar : Rp. 1.500,2. Umum : Rp. 2.000,Jam buka: 1. Senin - Kamis : 07.30 - 14.00 WIB 2. Jum'at - Sabtu: 07.30 - 12.00 WIB 3. Minggu : 08.00 - 12.00 WIB

11

D. Musium Dirgantara Mandala Museum ini terletak di ujung utara Kabupaten Bantul perbatasan dengan Kabupaten Sleman tepatnya di komplek Pangkalan Udara TNIAU Adisucipto Yogyakarta. Museum ini banyak menampilkan sejarah kedirgantaraan bangsa Indonesia serta sejarah perkembangan angkatan udara RI pada khususnya. Selain terdapat diorama juga terdapat bermacam-macam jenis pesawat yang dipergunakan pada masa perjuangan. Beberapa model dari pesawat tersebut adalah milik tentara jepang yang digunakan oleh angkatan udara Indonesia. Keberadaan Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala berdasarkan atas gagasan dari Pimpinan TNI AU untuk mengabadikan dan mendokumentasikan segala kegiatan dan peristiwa bersejarah di lingkungan TNI AU. Hal tersebut telah lama dituangkan dalam Keputusan Menteri/ Panglima Angkatan Udara No. 491, tanggal 6 Agustus 1960 tentang Dokumen dan Museum Angkatan Udara. Setelah mengalami proses yang lama, pada tanggal 21 April 1967, gagasan itu dapat diwujudkan dan organisasinya berada di bawah Pembinaan Asisten Direktorat Budaya dan Sejarah Menteri Panglima Angkatan Udara di Jakarta. Berdasarkan Instruksi Menteri/ Panglima Angkatan Udara Nomor 2 tahun 1967, tanggal 30 Juli 1967 tentang peningkatan kegiatan bidang sejarah, budaya, dan museum, maka Museum Angkatan Udara mulai berkembang dengan pesat. Berkat perhatian yang

12

besar, baik dari Panglima Angkatan Udara maupun Panglima Komando Wilayah Udara V (Pang Kowilu V), pada tanggal 4 April 1969 Museum Pusat TNI AU yang berlokasi di Markas Komando Udara V, di Jalan Tanah Abang Bukit Jakarta, diresmikan oleh Panglima Angkatan Udara Laksamana Roesmin Noerjadin. Berdasarkan berbagai pertimbangan bahwa kota Yogyakarta pada periode 1945-1949

mempunyai peranan penting dalam sejarah, yaitu tempat lahirnya TNI AU dan pusat kegiatan TNI AU, serta merupakan kawah Candradimuka bagi Kadet Penerbang/ Taruna Akademi Angkatan Udara. Berdasarkan Keputusan Kepala Staf TNI AU Nomor Kep/11/IV/1978, museum yang semula

berkedudukan di Jakarta, kemudian dipindahkan ke Yogyakarta. Selanjutnya, berdasarkan Surat Keputusan Kepala Staf TNI AU Nomor Skep/04/IV/1978 tanggal 17 April 1978, museum yang berlokasi di Kampus Akabri Bagian Udara itu ditetapkan oleh Marsekal TNI Ashadi Tjahyadi menjadi Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala, pada tanggal 29 Juli 1978 yang bertepatan dengan peringatan Hari Bhakti TNI AU. Perkembangan selanjutnya, museum itu tidak dapat menampung lagi koleksi alutsista yang ada karena lokasinya yang sukar dijangkau oleh umum dan kendaraan. Oleh karena itu, Pimpinan TNI AU memutuskan untuk memindahkannya ke gedung bekas pabrik gula di Wonocatur Lanud Adisucipto. Sebelum pemindahan dilakukan gedung itu direhabilitasi untuk dijadikan Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala. Pada tanggal 17 Desember

13

1982, Kepala Staf TNI AU Marsekal TNI Ashadi Tjahjadi menandatangani prasasti sebagai bukti dimulainya rehabilitasi gedung itu. Penggunaan dan pembangunan kembali gedung bekas pabrik gula itu diperkuat dengan Surat Perintah Kepala Staf TNI AU Nomor Sprin/05/IV/1984, tanggal 11 April 1984. Dalam rangka memperingati Hari Bhakti TNI AU, tanggal 29 Juli 1984, Kepala Staf TNI AU Marsekal TNI Sukardi meresmikan gedung yang sudah direhabilitasi itu sebagai gedung Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala. Lokasi Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala itu berada di Pangkalan Udara Adisucipto, di bawah Sub Dinas Sejarah, Dinas Perawatan Personel TNI AU, Jakarta. Bangunan, Gedung Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala yang ditempati sekarang adalah bekas pabrik gula Wonocatur pada zaman Belanda, sedangkan pada zaman Jepang digunakan untuk gudang senjata dan hanggar pesawat terbang. Koleksi, Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala memamerkan bendabenda koleksi sejarah, antara lain : koleksi peninggalan para pahlawan udara, diorama, pesawat miniatur, pesawat terbang dari negara-negara Blok Barat dan Timur, senjata api, senjata tajam, mesin pesawat, radar, bom atau roket, parasut dan patung-patung tokoh TNI Angkatan Udara.

14

E. Kotagede Pada abad ke-8, wilayah Mataram

(sekarang disebut Yogyakarta) merupakan pusat Kerajaan Mataram Hindu yang menguasai seluruh Pulau Jawa. Kerajaan ini memiliki kemakmuran dan peradaban yang luar biasa sehingga mampu membangun candi-candi kuno dengan arsitektur yang megah, seperti Candi Prambanan dan Candi Borobudur. Namun pada abad ke-10, entah kenapa kerajaan tersebut memindahkan pusat pemerintahannya ke wilayah Jawa Timur. Rakyatnya berbondong-bondong meninggalkan Mataram dan lambat laun wilayah ini kembali menjadi hutan lebat. Enam abad kemudian Pulau Jawa berada di bawah kekuasaan Kesultanan Pajang yang berpusat di Jawa Tengah. Sultan Hadiwijaya yang berkuasa saat itu menghadiahkan Alas Mentaok (alas = hutan) yang luas kepada Ki Gede Pemanahan atas keberhasilannya menaklukkan musuh kerajaan. Ki Gede Pemanahan beserta keluarga dan pengikutnya lalu pindah ke Alas Mentaok, sebuah hutan yang sebenarnya merupakan bekas Kerajaan Mataram Hindu dahulu. Desa kecil yang didirikan Ki Gede Pemanahan di hutan itu mulai makmur. Setelah Ki Gede Pemanahan wafat, beliau digantikan oleh putranya yang bergelar Senapati Ingalaga. Di bawah kepemimpinan Senapati yang bijaksana desa itu tumbuh menjadi kota yang semakin ramai dan makmur, hingga disebut Kotagede

15

(=kota besar). Senapati lalu membangun benteng dalam (cepuri) yang mengelilingi kraton dan benteng luar (baluwarti) yang mengelilingi wilayah kota seluas 200 ha. Sisi luar kedua benteng ini juga dilengkapi dengan parit

pertahanan yang lebar seperti sungai. Sementara itu, di Kesultanan Pajang terjadi perebutan takhta setelah Sultan Hadiwijaya wafat. Putra mahkota yang bernama Pangeran Benawa disingkirkan oleh Arya Pangiri. Pangeran Benawa lalu meminta bantuan Senapati karena pemerintahan Arya Pangiri dinilai tidak adil dan merugikan rakyat Pajang. Perang pun terjadi. Arya Pangiri berhasil ditaklukkan namun nyawanya diampuni oleh Senapati. Pangeran Benawa lalu menawarkan takhta Pajang kepada Senapati namun ditolak dengan halus. Setahun kemudian Pangeran Benawa wafat namun ia sempat berpesan agar Pajang dipimpin oleh Senapati. Sejak itu Senapati menjadi raja pertama Mataram Islam bergelar Panembahan. Beliau tidak mau memakai gelar Sultan untuk menghormati Sultan Hadiwijaya dan Pangeran Benawa. Istana pemerintahannya terletak di Kotagede. Selanjutnya Panembahan Senapati memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram Islam hingga ke Pati, Madiun, Kediri, dan Pasuruan. Panembahan Senapati wafat pada tahun 1601 dan dimakamkan di Kotagede berdekatan dengan makam ayahnya. Kerajaan Mataram Islam kemudian menguasai hampir seluruh Pulau Jawa (kecuali Banten dan Batavia) dan mencapai puncak kejayaannya di bawah pimpinan raja ke-3, yaitu Sultan Agung (cucu Panembahan Senapati). Pada tahun 1613, Sultan Agung memindahkan pusat

16

kerajaan ke Karta (dekat Plered) dan berakhirlah era Kotagede sebagai pusat kerajaan Mataram Islam. Peninggalan Sejarah Dalam perkembangan selanjutnya Kotagede tetap ramai meskipun sudah tidak lagi menjadi ibukota kerajaan. Berbagai peninggalan sejarah seperti makam para pendiri kerajaan, Masjid Kotagede, rumah-rumah tradisional dengan arsitektur Jawa yang khas, toponim perkampungan yang masih menggunakan tata kota jaman dahulu, hingga reruntuhan benteng bisa ditemukan di Kotagede.
y

Pasar Kotagede Tata kota kerajaan Jawa biasanya menempatkan kraton, alun-alun dan pasar dalam poros selatan - utara. Kitab Nagarakertagama yang ditulis pada masa Kerajaan Majapahit

(abad ke-14) menyebutkan bahwa pola ini sudah digunakan pada masa itu. Pasar tradisional yang sudah ada sejak jaman Panembahan Senopati masih aktif hingga kini. Setiap pagi legi dalam kalender Jawa, penjual, pembeli, dan barang dagangan tumpah ruah di pasar ini. Bangunannya memang sudah direhabilitasi, namun posisinya tidak berubah. Bila ingin berkelana di Kotagede, Anda bisa memulainya dari pasar ini lalu berjalan kaki ke arah selatan menuju makam, reruntuhan benteng dalam, dan beringin kurung.

17

Kompleks Makam Pendiri Kerajaan Berjalan 100 meter ke arah selatan dari Pasar Kotagede, kita akan menemukan kompleks makam para pendiri kerajaan Mataram Islam yang dikelilingi tembok yang tinggi dan kokoh. Gapura ke kompleks makam ini memiliki ciri arsitektur Hindu. Setiap gapura memiliki pintu kayu yang tebal dan dihiasi ukiran yang indah. Beberapa abdi dalem berbusana adat Jawa menjaga kompleks ini 24 jam sehari. Kita akan melewati 3 gapura sebelum sampai ke gapura terakhir yang menuju bangunan makam. Untuk masuk ke dalam makam, kita harus mengenakan busana adat Jawa (bisa disewa di sana). Pengunjung hanya diperbolehkan masuk ke dalam makam pada Hari Minggu, Senin, Kamis, dan Jumat pukul 08.00 - 16.00. Untuk menjaga kehormatan para pendiri Kerajaan Mataram yang dimakamkan di sini, pengunjung dilarang memotret / membawa kamera dan mengenakan perhiasan emas di dalam bangunan makam. Tokoh-tokoh penting yang dimakamkan di sini meliputi: Sultan Hadiwiijaya, Ki Gede Pemanahan, Panembahan Senopati, dan keluarganya.

Masjid Kotagede Berkelana ke Kotagede tidak akan lengkap jika tidak berkunjung ke Masjid Kotagede, masjid tertua di Yogyakarta yang masih berada di kompleks makam. Setelah itu tak ada salahnya untuk berjalan kaki menyusuri lorong sempit di balik tembok yang mengelilingi kompleks makam untuk melihat arsitekturnya secara utuh dan kehidupan sehari-hari masyarakat Kotagede.

18

Rumah Tradisional Persis di seberang jalan dari depan kompleks makam, kita bisa melihat sebuah rumah tradisional Jawa. Namun bila mau berjalan 50 meter ke arah selatan, kita akan melihat sebuah gapura tembok dengan rongga yang rendah dan plakat yang yang bertuliskan "cagar budaya". Masuklah ke dalam, di sana Anda akan melihat rumah-rumah tradisional Kotagede yang masih terawat baik dan benar-benar berfungsi sebagai rumah tinggal.

Kedhaton Berjalan ke selatan sedikit lagi, Anda akan melihat 3 Pohon Beringin berada tepat di tengah jalan. Di tengahnya ada bangunan kecil yang menyimpan "watu gilang", sebuah batu hitam berbentuk bujur sangkar yang

permukaannya terdapat tulisan yang disusun membentuk lingkaran: ITA MOVENTUR MUNDU S - AINSI VA LE MONDE - Z00 GAAT DE WERELD - COSI VAN IL MONDO. Di luar lingkaran itu terdapat tulisan AD ATERN AM MEMORIAM INFELICS - IN FORTUNA CONSOERTES DIGNI VALETE QUIDSTPERIS INSANI VIDETE IGNARI ET RIDETE, CONTEMNITE VOS CONSTEMTU - IGM (In Glorium Maximam). Entah apa maksudnya, barangkali Anda bisa mengartikannya untuk kami? Dalam bangunan itu juga terdapat "watu cantheng", tiga bola yang terbuat dari batu berwarna kekuning-kuningan. Masyarakat setempat menduga bahwa "bola" batu itu adalah mainan putra Panembahan Senapati. Namun tidak tertutup kemungkinan bahwa benda itu sebenarnya merupakan peluru meriam kuno.

19

Reruntuhan Benteng Panembahan Senopati membangun benteng dalam (cepuri) lengkap dengan parit pertahanan di sekeliling kraton, luasnya kira-kira 400 x 400 meter. Reruntuhan benteng yang asli masih bisa dilihat di pojok barat daya dan tenggara. Temboknya setebal 4 kaki terbuat dari balok batu berukuran besar. Sedangkan sisa parit pertahanan bisa dilihat di sisi timur, selatan, dan barat. Berjalan-jalan menyusuri Kotagede akan memperkaya wawasan sejarah

terkait Kerajaan Mataram Islam yang pernah berjaya di Pulau Jawa. Selain itu, Anda juga bisa melihat dari dekat kehidupan masyarakat yang ratusan tahun silam berada di dalam benteng kokoh. Berbeda dengan kawasan wisata lain, penduduk setempat memiliki keramahan khas Jawa, santun, dan tidak terlalu komersil. Di Kotagede, Anda takkan diganggu pedagang asongan yang suka memaksa (hawkers).

F. Keraton Yogyakarta Lonceng Kyai Brajanala

berdentang beberapa kali, suaranya tidak hanya memenuhi Regol Keben namun terdengar hingga Siti Hinggil dan Bangsal Pagelaran Kraton

Yogyakarta. Sedangkan di Sri Manganti terdengar lantunan tembang dalam Bahasa Jawa Kuna yang didendangkan oleh seorang abdi dalem. Sebuah kitab tua, sesaji, lentera, dan gamelan terhampar di depannya. Beberapa wisatawan

20

mancanegara tampak khusyuk mendengarkan tembang macapat, sesekali mereka terlihat menekan tombol shutter untuk mengambil gambar. Meski tidak tahu arti tembang tersebut, saya turut duduk di deretan depan. Suara tembang jawa yang mengalun pelan bercampur dengan wangi bunga dan asap dupa, menciptakan suasana magi yang melenakan. Di sisi kanan nampak 4 orang abdi dalem lain yang bersiap untuk bergantian nembang. Di luar pendopo, burung-burung berkicau dengan riuh sambil terbang dari pucuk pohon sawo kecik yang banyak tumbuh di kompleks Kraton Yogyakarta kemudian hinggap di atas rerumputan. Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama Kraton Yogyakarta merupakan pusat dari museum hidup kebudayaan Jawa yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Tidak hanya menjadi tempat tinggal raja dan keluarganya semata, Kraton juga menjadi kiblat perkembangan budaya Jawa, sekaligus penjaga nyala kebudayaan tersebut. Di tempat ini wisatawan dapat belajar dan melihat secara langsung bagaimana budaya Jawa terus hidup serta dilestarikan. Kraton Yogyakarta dibangun oleh Pangeran Mangkubumi pada tahun 1755, beberapa bulan setelah penandatanganan Perjanjian Giyanti. Dipilihnya Hutan Beringin sebagai tempat berdirinya kraton dikarenakan tanah tersebut diapit dua sungai sehingga dianggap baik dan terlindung dari kemungkinan banjir. Meski sudah berusia ratusan tahun dan sempat rusak akibat gempa besar pada tahun 1867, bangunan Kraton Yogyakarta tetap berdiri dengan kokoh dan terawat dengan baik. Mengunjungi Kraton Yogyakarta akan memberikan pengalaman yang berharga sekaligus mengesankan. Kraton yang menjadi pusat dari garis imajiner

21

yang menghubungakn Pantai Parangtritis dan Gunung Merapi ini memiliki 2 loket masuk, yang pertama di Tepas Keprajuritan (depan Alun-alun Utara) dan di Tepas Pariwisata (Regol Keben). Jika masuk dari Tepas Keprajuritan bisa maka

wisatawan

hanya

memasuki

Bangsal Pagelaran dan Siti Hinggil serta melihat koleksi beberapa kereta kraton sedangkan jika masuk dari Tepas Pariwisata maka Anda bisa memasuki Kompleks Sri Manganti dan Kedhaton di mana terdapat Bangsal Kencono yang menjadi balairung utama kerajaan. Jarak antara pintu loket pertama dan kedua tidaklah jauh, wisatawan cukup menyusuri Jalan Rotowijayan dengan jalan kaki atau naik becak. Ada banyak hal yang bisa disaksikan di Kraton Yogyakarta, mulai dari aktivitas abdi dalem yang sedang melakukan tugasnya atau melihat koleksi barang-barang Kraton. Koleksi yang disimpan dalam kotak kaca yang tersebar di berbagai ruangan tersebut mulai dari keramik dan barang pecah belah, senjata, foto, miniatur dan replika, hingga aneka jenis batik beserta deorama proses pembuatannya. Selain itu, wisatawan juga bisa menikmati pertunjukan seni dengan jadwal berbeda-beda setiap harinya. Pertunjukan tersebut mulai dari wayang orang, macapat, wayang golek, wayang kulit, dan tari-tarian. Untuk menikmati pertunjukkan seni wisatawan tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan. Jika datang pada hari selasa wage, Anda bisa menyaksikan lomba jemparingan atau panahan gaya Mataraman di Kemandhungan Kidul.

22

Jemparingan ini dilaksanakan dalam rangka tinggalan dalem Sri Sultan HB X. Keunikan dari jemparingan ini adalah setiap peserta wajib mengenakan busana tradisional Jawa dan memanah dengan posisi duduk. Usai menikmati pertunjukan macapat, YogYES pun beranjak mengitari kompleks kraton dan masuk ke Museum Batik yang diresmikan oleh Sri Sultan HB X pada tahun 2005. Koleksi museum ini cukup beragam mulai dari aneka kain batik hingga peralatan membatik dari masa HB VIII hingga HB X. Selain itu di museum ini juga disimpan beberapa koleksi hadiah dari sejumlah pengusaha batik di Jogja maupun daerah lain. Saat sedang menikmati koleksi museum, pandangan YogYES tertuju pada salah satu sumur tua yang dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono VIII. Di atas sumur yang telah ditutup menggunakan kasa alumunium tersebut terdapat tulisan yang melarang pengunjung memasukkan uang. Penasaran dengan maksud kalimat tersebut YogYES pun mendekat dan melihat ke dalam sumur, ternyata di dasar sumur terdapat kepingan uang logam dan uang kertas yang berhamburan. Puas berjalan mengitari Kraton Yogyakarta, YogYES pun melangkahkan kaki keluar regol dengan hati riang. Dalam perjalanan menuju tempat parkir, terlihat sebuah papan nama yang menawarkan kelas belajar nembang / macapat, menulis dan membaca huruf jawa, menari klasik, serta belajar mendalang. Rupanya di Kompleks Kraton Yogyakarta ada beberapa tempat kursus atau tempat belajar budaya serta kesenian Jawa. YogYES pun berjanji dalam hati, suatu saat akan kembali untuk belajar mengeja dan menulis huruf hanacaraka maupun belajar menari.

23

Jam Buka: 08.00 - 14.00 WIB Tiket masuk:


y y

Tepas Kaprajuritan: Rp. 3.000 Tepas Pariwisata: Rp. 5.000

Ijin kamera/video: Rp. 1.000 Jadwal pertunjukan harian di kraton


y y y y y y

Senin - Selasa: Musik gamelan (mulai jam 10.00 WIB) Rabu: Wayang golek menak (mulai jam 10.00 WIB) Kamis: Pertunjukan tari (mulai jam 10.00 WIB) Jumat: Macapat (mulai jam 09.00 WIB) Sabtu: Wayang kulit (mulai jam 09.30 WIB) Minggu: Wayang orang & pertunjukan tari (mulai jam 09.30 WIB)

24

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Yogyakarta (sering juga disebut Jogja, Yogya, atau Jogya) terletak di tengah Pulau Jawa Indonesia, tempat segalanya masih murah. Cukup dengan 200rb sehari, anda sudah bisa menginap, menyantap masakan tradisional yang terkenal, dan menyewa motor untuk menjelajahi pantai-pantai yang masih perawan dan candi-candi kuno berusia ribuan tahun. Seribu tahun silam, Yogyakarta merupakan pusat kerajaan Mataram Kuno yang makmur dan memiliki peradaban tinggi. Kerajaan inilah yang mendirikan Candi Borobudur yang merupakan canti Buddha terbesar di dunia, 300 tahun sebelum Angkor Wat di Kamboja. Peninggalan lainnya adalah Candi Prambanan, Istana Ratu Boko, dan puluhan candi lainnya yang sudah direstorasi maupun yang masih terpendam di bawah tanah (lihat Wisata Candi). Namun oleh suatu sebab yang misterius, Kerjaan Mataram Kuno memindahkan pusat pemerintahannya ke Jawa Timur pada abad ke-10. Candicandi megah itu pun terbengkalai dan sebagian tertimbun material letusan Gunung Merapi. Perlahan-lahan, wilayah Yogyakarta pun kembali menjadi hutan yang lebat. Enam ratus tahun kemudian, Panembahan Senopati mendirikan Kerajaan Mataram Islam di wilayah ini. Sekali lagi Yogyakarta menjadi saksi sejarah kerajaan besar yang menguasai Pulai Jawa dan sekitarya. Kerajaan Mataram Islam

25

ini meninggalkan jejak berupa reruntuhan benteng dan makam kerajaan di Kotagede yang kini dikenal sebagai pusat kerajinan perak di Yogyakarta.

B. Saran a. Pentingnya pelestarian objek wisata di Yogyakarta pada khususnya, umumnya ditempuh oleh Pejuang dahulu. Objek wisata tua lainnya yang mengandung nilai historis, karena hal tersebut dapat dijadikan suatu bukti sejarah yang menunjukkan pada generasi berikutnya tentang betapa pentingnya sebuah perjuangan dan menghargai hasil perjuangan yang telah ditempuh. b. Peninjauan dan peringatan majelis ulama dalam menindaklanjuti berbagai kegiatan ritual yang berlebihan di lingkungan candi Borobudur. Banyaknya pemahaman-pemahaman yang keliru yang bisa

menjerumuskan warga masyarakat dan peziarah ke jurang kemusrikan .

26

You might also like