You are on page 1of 19

BAB I PENDAHULUAN

A. Demam Typhoid Penyakit Typhus atau Demam Tifoid (bahasa Inggris: Typhoid fever) yang biasa juga disebut typhus atau types dalam bahasa Indonesianya, merupakan penyakit infeksi akut yang selalu ada di masyarakat (endemik) di Indonesia, mulai dari usia balita, anak-anak,dewasa yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica, khususnya turunannya yaitu Salmonella Typhi terutama menyerang bagian saluran pencernaan. Menurut keterangan dr. Arlin Algerina, SpA, dari RS Internasional Bintaro, Di Indonesia, diperkirakan antara 800 100.000 orang terkena penyakit tifus atau demam tifoid sepanjang tahun. Insidensi di Indonesia rata-rata 900.000 kasus/tahun dengan angka kematian > 20.000 dan 91% kasus terjadi pada umur 319 tahun .Demam ini terutama muncul di musim kemarau dan konon anak perempuan lebih sering terserang.Penelitian di daerah endemis menunjukkan bahwa banyak pasien dengan tifoid terjadi pada usia dibawah 5 tahun memiliki penyakit yang tidak spesifik yang tidak dikenali secara klinis sebagai tifoid. Salmonella Typhi adalah bakteri gram negative, termasuk keluarga Enterobacteriaceae.Bakteri ini memiliki antigen 09 dan 012 LPS, antigen protein flagelar Hd dan antigen kapsular Vi. Di Indonesia beberapa isolat memilki jenis flagella yang unik yaitu H. Seseorang terinfeksi Salmonella Typhi melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi bakteri tersebut. Waktu inkubasi sangat tergantung pada kuantitas bakteri dan juga host factors. Waktu inkubasi umumnya berkisar antara 3 hari sampai > 60 hari.Organisme yang masuk ke dalam tubuh akan melewati pylorus dan mencapai usus kecil. Organisme secara cepat berpenetrasi ke dalam epitel mukosa melalui sel-sel microfold atau enterocytes dan mecapai lamina propia, di mana secara cepat ditelan oleh makrofag. Beberapa bakteri masih berada di dalam makrofag jaringan limfoid usus kecil. Beberapa mikroorganisme melewati sel-sel retikuloendotelial hati dan limpa. Salmonella Typhi dapat bertahan dan bermultiplikasi dalam sel-sel fagosit mononuclear folikel-folikel limfoid, hati dan limpa.Pada fase bakteremia, organisme menyebar ke seluruh bagian tubuh. Tempat yang paling banyak untuk infeksi sekunder adalah hati, sumsum tulang, empedu dan Peyer's Patches dari terminal ileum. Invasi empedu terjadi secara langsund dari darah atau oleh penyebaran retrograde dari bile. Organisme diekskresikan ke dalam empedu (melalui reinvasi dinding intestinal) atau ke dalam feses. Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat keparahan dan outcome klinis demam tifoid. Faktor-faktor tersebut adalah lamanya sakit sebelum memperoleh terapi yang sesuai, pilihan antimikroba yang digunakan, paparan sebelumnya/riwayat vaksinasi, virulensi strain bakteri, kuantitas inokulum yang tertelan, host factors (tipe HLA, keadaan imunosupresi, dan pengobatan lain seperti H2 blockers atau antasida yang mengurangi asam lambung).

B. Gambaran klinis Gambaran klinis penyakit demam tifoid sangat bervariasi dari hanya sebagai penyakit ringan yang tidak terdiagnosis, sampai gambaran penyakit yang khas dengan komplikasi dan kematian. Hal ini mungkin menyebabkan seorang ahli yang sudah berpengalamanpun dapat mengalami kesulitan dalam menegakkan diagnosis demam tifoid apabila hanya berdasarkan gambaran klinis. Oleh karena itu, pemeriksaan laboratorium mikrobiologi tetap diperlukan untuk memastikan penyebabnya. Tes ideal untuk suatu pemeriksaan laboratorium seharusnya bersifat sensitif, spesifik, dan cepat diketahui hasilnya. Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis demam tifoid yang ada sampai saat ini adalah dengan metode konvensional, yaitu kultur kuman dan uji serologi Widal serta metode nonkonvensional, yaitu antara lain Poly-merase Chain Reaction (PCR), Enzyme Immunoassay Dot (EIA), dan Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Secara garis besar, tanda dan gejala yang ditimbulkan antara lain ; 1. Demam lebih dari seminggu. Siang hari biasanya terlihat segar namun menjelang malamnya demam tinggi(demam ringan) 2. Lidah kotor. Bagian tengah berwarna putih dan pinggirnya merah. Biasanya anak akan merasa lidahnya pahit dan cenderung ingin makan yang asam-asam atau pedas. 3. Mual Berat sampai muntah. Bakteri Salmonella typhi berkembang biak di hatidan limpa, Akibatnya terjadi pembengkakan dan akhirnya menekan lambung sehingga terjadi rasa mual. Dikarenakan mual yang berlebihan, akhirnya makanan tak bisa masuk secara sempurna dan biasanya keluar lagi lewat mulut. 4. Diare atau Mencret. Sifat bakteri yang menyerang saluran cerna menyebabkan gangguan penyerapan cairan yang akhirnya terjadi diare, namun dalam beberapa kasus justru terjadi konstipasi (sulit buang air besar). 5. Lemas, pusing, dan sakit perut. Demam yang tinggi menimbulkan rasa lemas, pusing. Terjadinya pembengkakan hati dan limpa menimbulkan rasa sakit di perut. 6. Pingsan, Tak sadarkan diri. Penderita umumnya lebih merasakan nyaman dengan berbaring tanpa banyak pergerakan, namun dengan kondisi yang parah seringkali terjadi gangguan kesadaran C .Diagnosis Tidak adanya gejala-gejala atau tanda yang spesifik untuk demam tifoid, membuat diagnosis klinik demam tifoid menjadi cukup sulit. Di daerah endemis, demam lebih dari 1 minggu yang tidak diketahui penyebabnya harus dipertimbangkan sebagai tifoid sampai terbukti apa penyebabnya. Diagnosis pasti demam tifoid adalah dengan isolasi/kultur Salmonella typhi dari darah, sumsum tulang, atau lesi anatomis yang spesifik. Adanya gejala klinik yang karakteristik demam tifoid atau deteksi respon antibody yang spesifik hanya menunjukkan dugaan demam tifoid tetapi tidak defenitif/pasti. Sampel darah yang positif dibuat untuk menegakkan diagnosa pasti. Sample urine dan faeces dua kali berturut-turut digunakan untuk menentukan bahwa penderita telah benar-benar sembuh dan bukan pembawa kuman (carrier). Sedangkan untuk memastikan apakah penyakit yang diderita pasien adalah penyakit lain maka perlu ada diagnosa banding. Bila terdapat demam lebih dari lima hari, dokter akan memikirkan kemungkinan selain demam tifoid yaitu

penyakit infeksi lain seperti Paratifoid A, B dan C, demam berdarah (Dengue fever), influenza, malaria, TBC (Tuberculosis), dan infeksi paru(Pneumonia) .Perawatan dan Pengobatan Penyakit Demam Typhus (Tifoid)Perawatan dan pengobatan terhadap penderita penyakit demam Tifoid atau types bertujuan menghentikan invasi kuman, memperpendek perjalanan penyakit, mencegah terjadinya komplikasi, serta mencegah agar tak kambuh kembali. Pengobatan penyakit tifus dilakukan dengan jalan mengisolasi penderita dan melakukan desinfeksi pakaian, faeces dan urine untuk mencegah penularan. Pasien harus berbaring di tempat tidur selama tiga hari hingga panas turun, kemudian baru boleh duduk, berdiri dan berjalan.Selain obat-obatan yang diberikan untukmengurangi gejala yang timbul seperti demam dan rasa pusing (Paracetamol), Untuk anak dengan demam tifoid maka pilihan antibiotika yang utama adalah kloramfenikol selama 10 hari dan diharapkan terjadi pemberantasan/eradikasi kuman serta waktu perawatan dipersingkat. Namun beberapa dokter ada yang memilih obat antibiotika lain seperti ampicillin, trimethoprim-sulfamethoxazole, kotrimoksazol, sefalosporin, dan ciprofloxacin sesuai kondisi pasien. Demam berlebihan menyebabkan penderita harus dirawat dan diberikan cairan Infus. D. Cara Penularan Penularan penyakit tifus ini, pada umumnya itu disebabkan oleh karena melalui makanan ataupun minuman yang sudah tercemar oleh agen penyakit tersebut. Bisa juga, karena penanganan yang kurang begitu higenis ataupun juga disebabkan dari sumber air yang sering digunakan untuk mencuci dan yang dipakai untuk seharihari.sehingga terjadi infeksi saluran pencernaan yaitu usus halus. Dan melalui peredaran darah, kuman sampai di organ tubuh terutama hati dan limpa. Ia kemudian berkembang biak dalam hati dan limpa yang menyebabkan rasa nyeri saat diraba. E. Komplikasi Penyakit Demam Typhus (Tifoid),Komplikasi yang sering dijumpai pada anak penderita penyakit demam tifoid adalah perdarahan usus karena perforasi, infeksi kantong empedu (kolesistitis), dan hepatitis. Gangguan otak (ensefalopati) kadang ditemukan juga pada anak.Diet Penyakit Demam Typhus (Tifoid)Penderita penyakit demam Tifoid selama menjalani perawatan haruslah mengikuti petunjuk diet yang dianjurkan oleh dokter untuk di konsumsi, antara lain 1. Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin & protein. 2. Tidak mengandung banyak serat. 3. Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas. 4. Makanan lunak diberikan selama istirahat. Untuk kembali ke makanan normal, lakukan secara bertahap bersamaan dengan mobilisasi. Misalnya hari pertama dan kedua makanan lunak, hari ke-3 makanan biasa, dan seterusnya. F. Pencegahan Penyakit Demam Typhus (Tifoid) Pencegahan penyakit demam Tifoid bisa dilakukan dengan cara perbaikan higiene dan sanitasi lingkungan serta penyuluhan kesehatan. Imunisasi dengan menggunakan vaksin oral dan vaksin suntikan (antigen Vi Polysaccharida capular) telah banyak digunakan. Saat ini pencegahan terhadap kuman Salmonella sudah bisa dilakukan dengan vaksinasi

bernama chotipa (cholera-tifoid-paratifoid) atau tipa (tifoid-paratifoid). Untuk anak usia 2 tahun yang masih rentan, bisa juga divaksinasi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Patogenesis Salmonella typhi adalah bakteri gram negatif, termasuk keluarga Enterobacteriaceae. Bakteri ini memiliki antigen O9 dan O12 LPS, antigen protein flagelar Hd dan antigen kapsular Vi. Di Indonesia beberapa isolate memiliki jenis flagella yang unik yaitu Hj. Seseorang terinfeksi Salmonella typhi melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi bakteri tersebut. Waktu inkubasi sangat tergantung pada kuantitas bakteri dan juga host factors. Waktu inkubasi umumnya berkisar antara 3 hari sampai > 60 hari . Organisme yang masuk ke dalam tubuh akan melewati pilorus dan mencapai usus kecil. Organisme secara cepat berpenetrasi ke dalam epitel mukosa melalui sel-sel microfold atau enterocytes dan mencapai lamina propria, di mana secara cepat ditelan oleh makrofag. Beberapa bakteri masih berada di dalam makrofag jaringan limfoid usus kecil. Beberapa mikroorganisme melewati sel-sel retikuloendotelial hati dan limpa. Salmonella typhi dapat bertahan dan bermultiplikasi dalam sel-sel fagosit mononuclear folikel-folikel limfoid, hati dan limpa. Pada fase bakteremia, organisme menyebar ke seluruh bagian tubuh. Tempat yang paling banyak untuk infeksi sekunder adalah hati, limpa, sumsum tulang, empedu dan Peyers Patches dari terminal ileum. Invasi empedu terjadi secara langsung dari darah atau oleh penyebaran retrograde dari bile. Organisme diekskresikan ke dalam empedu (melalui reinvasi dinding intestinal) atau ke dalam feses. Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat keparahan dan outcome klinis demam tifoid. Faktor-faktor tersebut adalah lamanya sakit sebelum memperoleh terapi yang sesuai, pilihan antimikroba yang digunakan, paparan sebelumnya/riwayat vaksinasi, virulensi strain bakteri,kuantitas inokulum yang tertelan, host factors (tipe HLA, keadaan imunosupresi, dan pengobatan lain seperti H2blockers atau antasida yang mengurangi asam lambung). B. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan Laboratorium meliputi pemeriksaan hematologi, urinalis, kimia klinik, imunoreologi, mikrobiologi, dan biologi molekular. Pemeriksaan ini ditujukan untuk membantu menegakkan diagnosis (adakalanya bahkan menjadi penentu diagnosis), menetapkan prognosis, memantau perjalanan penyakit dan hasil pengobatan serta timbulnya penyulit.  Hematologi Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila terjadi penyulit perdarahan usus atau perforasi. Hitung leukosit sering rendah (leukopenia), tetapi dapat pula normal atau tinggi. Hitung jenis leukosit: sering neutropenia dengan limfositosis relatif. LED ( Laju Endap Darah ) : Meningkat Jumlah trombosit normal atau menurun (trombositopenia).  Urinalis

Protein: bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam)

Leukosit dan eritrosit normal; bila meningkat kemungkinan terjadi penyulit.  Kimia Klinik y Enzim hati (SGOT, SGPT) sering meningkat dengan gambaran peradangan sampai hepatitis Akut.  Imunorologi Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan. Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit). Widal Pemeriksaan widal adalah salah satu pemeriksaan yg bertujuan untuk menegakan diagnosa demam tipoid. Pemeriksaan ini masih banyak dipakai di negara-negara berkembang dikarenakan biayanya yg relatif terjangkau dan hasilnyapun dapat diketahui dgn segera. Pemeriksaan widal bertujuan untuk mendeteksi adanya antibodi (kekebalan tubuh didalam darah) terhadap antigen kuman salmonela typhi / paratyphi (reagen) dengan cara mengukur kadar aglutinasi antibodi terhadap antigen O dan H dalam sampel darah. Antigen yang digunakan pada tes widal ini berasal dari suspense salmonella yang sudah dimatikan dan diolah dalam laboratorium. Dengan jalan mengencerkan serum, maka kadar anti dapat ditentukan. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan reaksi aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. Tubuh kita akan membentuk antibodi jika terpapar kuman salmonela typhi, baik kuman yg masuk secara alamiah dan menyebabkan sakit, kuman yg masuk namun tidak menunjukan gejala (karier) ataupun melalui vaksinasi. Pemeriksaan Uji ini merupakan test kuno yang masih amat popular dan paling sering diminta terutama di negara dimana penyakit ini endemis seperti di Indonesia. Sebagai uji cepat (rapitd test) hasilnya dapat segera diketahui. Hasil positif dinyatakan dengan adanya aglutinasi. Karena itu antibodi jenis ini dikenal sebagai Febrile agglutinin ,namun berbagai cara dan teknik dalam pemeriksaan laboratorium telah banyak berkembang ke arah yg lebih baik, sehingga pemeriksaan widal tidak lagi bisa mengetahui apakah hasil positif pada pemeriksaan tersebut terkait dengan infeksi yg saat ini sedang terjadi atau infeksi yg terdahulu (sebelumnya). Tekhnik pemeriksaan uji widal dapat dilakukan dengan dua metode yaitu uji hapusan/ peluncuran (slide test) dan uji tabung (tube test). Perbedaannya, uji tabung membutuhkan waktu inkubasi semalam karena membutuhkan teknik yang lebih rumit dan uji widal peluncuran hanya membutuhkan waktu inkubasi 1 menit saja yang biasanya digunakan dalam prosedur penapisan. Umumnya sekarang lebih banyak digunakan uji widal peluncuran. Sensitivitas dan spesifitas tes ini amat dipengaruhi oleh

jenis antigen yang digunakan. Menurut beberapa peneliti uji widal yang menggunakan antigen yang dibuat dari jenis strain kuman asal daerah endemis (local) memberikan sensitivitas dan spesifitas yang lebih tinggi daripada bila dipakai antigen yang berasal dari strain kuman asal luar daerah enddemis (import). Walaupun begitu, menurut suatu penelitian yang mengukur kemampuan Uji Tabung Widal menggunakan antigen import dan antigen local, terdapat korelasi yang bermakna antara antigen local dengan antigen S.typhi O dan H import, sehingga bisa dipertimbangkan antigen import untuk dipakai di laboratorium yang tidak dapat memproduksi antigen sendiri untuk membantu menegakkan diagnosis demam typhoid. Hasil uji ini dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat memberikan hasil positif palsu atau negatif palsu. Pada pasien yg saat ini tidak sedang sakitpun pemeriksaan widal mungkin saja menunjukan hasil yg positif dan hasil positif palsu dapat disebabkan oleh faktor-faktor, antara lain pernah mendapatkan vaksinasi tifoid, reaksi silang dengan spesies lain (Enterobacteriaceae sp), reaksi anamnestik (pernah sakit), serta adanya faktor rheumatoid (RF). Perlu diperhatikan semua bahwa pemeriksaan widal yg positif bukan hanya terjadi pada infeksi kuman salmonella typhi, namun juga akibat infeksi kuman salmonella yg lain, sehingga pada saat ini pemeriksan ini tidak dapat lagi dijadikan acuan pemeriksaan yg spesifik terhadap penyakit tipoid. Hasil negatif palsu dapat disebabkan oleh karena antara lain penderita sudah mendapatkan terapi antibiotika, waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu sakit, keadaan umum pasien yang buruk, dan adanya penyakit imunologik lain. Diagnosis Demam Tifoid / Paratifoid dinyatakan bila a/titer O = 1/160, bahkan mungkin sekali nilai batas tersebut harus lebih tinggi mengingat penyakit demam tifoid ini endemis di Indonesia. Titer O meningkat setelah akhir minggu. Melihat hal-hal di atas maka permintaan tes widal ini pada penderita yang baru menderita demam beberapa hari kurang tepat. Bila hasil reaktif (positif) maka kemungkinan besar bukan disebabkan oleh penyakit saat itu tetapi dari kontrak sebelumnya. Pengambnilan sampel pasien untuk pemeriksaan widal juga kadang kurang tepat waktunya, karena berdasarkan perjalanan penyakitnya antibodi terbentuk pada hari ke 5-7 ke atas, sehingga tidak bijak jika pemeriksaan widal dilakukan sebelum hari ke 5, dan kalaupun pada pemeriksaan widal didapat hasil yg positif pada sebelum hari ke 5 maka yg terdeteksi tersebut dimungkinkan antibodi yg terbentuk tersebut berasal dari infeksi sebelumnya. Mengingat adanya kelemahan tersebut maka pada saat ini di era kemajuan teknik pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan tersebut seharusnya tidak lagi menjadi pilihan, meskipun masih saja dilakukan di laboratorium-laboratorium pratama atau di daerah-daerah dimana teknik pameriksaan yg lain belum tersedia, namun tetap memperhatikan hal-hal penting dalam menegakan diagnosa tipoid yaitu tanda klinis yg menunjang (demam lebih dari 7 hari, anamnesis dan pemeriksaan fisik) atau dilakukan pemeriksaan widal serial pada minggu ke 1 dan minggu ke 2 dan pada periode convalescence saat demam mulai turun (pemeriksaan cukup bermakna jika terdapat kenaikan titer 2-4 kali). Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebesar 89% pada titer O atau H >1/40 dengan nilai prediksi positif sebesar 34.2% dan nilai prediksi negatif sebesar 99.2%. Beberapa penelitian pada kasus demam tifoid anak dengan hasil biakan positif, ternyata hanya didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas sebesar 76-83%.

Pada pemeriksaan uji widal dikenal beberapa antigen yang dipakai sebagai parameter penilaian hasil uji Widal. Berikut ini Struktur Antigen Salmonella a. Antigen H atau antigen flagel dibuat tidak aktif oleh pemanasan di atas 600C dan juga oleh alcohol dan asam. Antigen H merupakan antigen yang terletak di flagela, fimbriae atau fili S. typhi dan berstruktur kimia protein. Kuman ini paling baik disiapkan untuk tes serologi dengan menambahkan formalin pada biakan kaldu muda yang bergerak dengan serum yang mengandung antibody anti H. antigen demikian akan beraglutinasi dengan cepat dalam gumpalan besar menyerupai kapas. Antigen H ini mengandung beberapa unsure imunologik. Dalam satu spesies Salmonella antigen flagel dapat ditemukan dalam salah satu atau kedua bentuk yang dinamakan fase 1 dan fase 2. organisme cenderung berubah dari satu fase ke fase lainnya. Ini dinamakan variase fase anti bodi terdapat antigen H adalah terutama Ig C. b. Antigen O atau antigen somatic adalah bagian dari dinding sel pada 1000C terdapat alcohol dan terdapat asam yang encer. Antigen O dibuat dari kuman yang tidak bergerak atau dengan pemberian panas dan alcohol. Dengan serum yang mengandung anti O antigen ini mengadakan aglutinasi dengan lambat membentuk gumpalan berpasir. Antigen terdapat antigen O terutama Ig M. anti somatic O adalah Lipopolisakarida. Beberapa polisakarida spesifik O mengandung gula yang unik, diosiribosa. c. Antigen V, antigen kapsul K khusus yang terdapat pada bagian paling pinggir dari kuman yang melindungi kuman dari fagositosisdengan struktur kimia glikolipid. Strainstrain yang baru diisolasi dengan anti sera yang mengandung agglutinin anti O . antigen Vi dirusak oleh pemanasan selama satu jam pada 60C dan oleh asam fenol. Biakan yang mempunyai antigen Vi cenderung lebih virulen. Antigen K mirip polisakarida kapsul meningokokus atau Haemophilus sp .Antigen ini digunakan untuk mengetahui adanya karier. d.OuterMembrane Protein (OMP) Antigen OMP S typhi merupakan bagian dinding sel yang terletak di luar membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel terhadap lingkungan sekitarnya. OMP ini terdiri dari 2 bagian yaitu protein porin dan protein nonporin. Porin merupakan komponen utama OMP, terdiri atas protein OMP C, OMP D, OMP F dan merupakan saluran hidrofilik yang berfungsi untuk difusi solut dengan BM < 6000. Sifatnya resisten terhadap proteolisis dan denaturasi pada suhu 85100C. Protein nonporin terdiri atas protein OMP A, protein a dan lipoprotein, bersifat sensitif terhadap protease, tetapi fungsinya masih belum diketahui dengan jelas. Beberapa peneliti menemukan antigen OMP S typhi yang sangat spesifik yaitu antigen protein 50 kDa/52 kDa. Interpretasi dari uji widal ini harus memperhatikan beberapa factor antara lain sensitivitas, spesifitas, stadium penyakit; factor penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; saat pengambilan specimen; gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non endemis); factor antigen; teknik serta reagen yang digunakan.

Beberapa factor yang dapat mempengaruhi uji Widal dapat dijelaskan sebagai berikut, antara lain : 1.Keadaan umum : gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi. 2.Saat pengambilan specimen : berdasarkan penelitian Senewiratne, dkk. kenaikan titer antibodi ke level diagnostic pada uji Widal umumnya paling baik pada minggu kedua atau ketiga, yaitu 95,7%, sedangkan kenaikan titer pada minggu pertama adalah hanya 85,7%.

3.Pengobatan dini dengan antibiotika ; pemberian antibiotika sebelumnya dapat menghambat pembentukan antibodi. 4.Vaksinasi terhadap salmonella bisa memberikan reaksi positif palsu. Hal ini dapat dijelaskan bahwa setelah divaksinasi titer agglutinin O dan H meningkat dan menetap selama beberapa waktu. Jalan keluarnya adalah dengan melakukan pemeriksaan ulang tes Widal seminggu kemudian. Infeksi akan menunjukkan peningkatan titer, sementara pasien yang divaksinasi tidak akan menunjukkan peningkatan titer. 5.Obat-obatan immunosupresif dapat menghambat pembentukan antibodi. 6.Reaksi anamnesa. Pada individu yang terkena infeksi typhoid di masa lalu, kadangkadang terjadi peningkatan antibodi salmonella saat ia menderita infeksi yang bukan typhoid, sehingga diperlukan pemeriksaan Widal ulang seminggu kemudian. 7.Reaksi silang ; Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S. paratyphi A, B, C) memiliki antigen O dan H juga, sehingga menimbulkan reaksi silang dengan jenis bakteri lainnya, dan bisa menimbulkan hasil positif palsu (false positive). Padahal sebenarnya yang positif kuman non S. typhi (bukan tifoid). 8.Penyakit-penyakit tertentu seperti malaria, tetanus, sirosis dapat menyebabkan positif palsu. 9.Konsentrasi suspense antigen dan strain salmonella yang digunakan akan mempengaruhi hasil uji widal. Penilaian,Kegunaan uji Widal untuk diagnosis demam typhoid masih kontroversial diantara para ahli. Namun hampir semua ahli sepakat bahwa kenaikan titer agglutinin lebih atau sama dengan 4 kali terutama agglutinin O atau agglutinin H bernilai diagnostic yang penting untuk demam typhoid. Kenaikan titer agglutinin yang tinggi pada specimen tunggal, tidak dapat membedakan apakah infeksi tersebut merupakan infeksi baru atau lama. Begitu juga kenaikan titer agglutinin terutama agglutinin H tidak mempunyai arti diagnostic yang penting untuk demam typhoid, namun masih dapat membantu dan menegakkan diagnosis tersangka demam typhoid pada penderita dewasa yang berasal dari daerah non endemic atau pada anak umur kurang dari 10 tahun di daerah endemic, sebab pada kelompok penderita ini kemungkinan mendapat kontak dengan S. typhi dalam dosis subinfeksi masih amat kecil. Pada orang dewasa atau anak di atas 10 tahun yang bertempat tinggal di daerah endemic, kemungkinan untuk menelan S.typhi dalam dosis subinfeksi masih lebih besar sehingga uji Widal dapat memberikan ambang atas titer rujukan yang berbeda-beda antar daerah endemic yang satu dengan yang lainnya, tergantung dari tingkat endemisitasnya dan berbeda pula antara anak di bawah umur 10 tahun dan orang dewasa. Dengan demikian, bila uji Widal masih diperlukan untuk menunjang diagnosis demam typhoid, maka ambang atas titer rujukan, baik pada anak dan dewasa perlu ditentukan.o Salah satu kelemahan yang amat penting dari penggunaan uji widal sebagai sarana penunjang diagnosis demam typhpid yaitu spesifitas yang agak rendah dan kesukaran untuk menginterpretasikan hasil tersebut, sebab banyak factor yang mempengaruhi kenaikan titer. Selain itu antibodi terhadap antigen H bahkan mungkin dijumpai dengan titer yanglebih tinggi, yang disebabkan adanya reaktifitas silang yang luas sehingga sukar untuk diinterpretasikan. Dengan alas an ini maka pada daerah endemis tidak dianjurkan pemeriksaan antibodi H S.typhi, cukup pemeriksaan titer terhadap antibodi O S.typhi. Titer widal biasanya angka kelipatan : 1/32 , 1/64 , 1/160 , 1/320 , 1/640. 1.Peningkatan titer uji Widal 4 x (selama 2-3 minggu) : dinyatakan (+).

2.Titer 1/160 : masih dilihat dulu dalam 1 minggu kedepan, apakah ada kenaikan titer. Jika ada, maka dinyatakan (+). 3.Jika 1 x pemeriksaan langsung 1/320 atau 1/640, langsung dinyatakan (+) pada pasiendengan gejala klinis khas. dalam penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat. Dalam penelitian kecil yang dilakukan terhadap 29 anak didapatkan hasil widal yang tinggi pada hari ke tiga hingga ke lima antara 1/320 hingga 1/1280. Setelah dilakukan follow up dalam waktu demam pada minggu ke dua hasil widal tersebut menurun bahkan sebagian kasus menjadi negatif. Padahal seharusnya pada penderita tifus nilai widal tersebut seharusnya semakin meningkat pada minggu ke dua. Dalam follow up pada minggu ke dua ternyata hasil nilai widal menghilang atau jauh menurun. Padahal seharusnya akan pada penderita tifus seharusnya malahan semakin meningkat. Karakteristik penderita adalah usia 8 bulan hingga 5 tahun, dengan rata-rata usia 2,6 tahun. Jenis kelamin laki-laki 41% dan perempuan 59%. Semua penderita menunjukkan hasil kultur darah gall degatif dan semua penderita tidak diberikan antibiotika dan mengalami self limiting disease atau penyembuhan sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa penyebab infeksi pada kasus tersebut adalah infeksi virus. Yang menarik dalam kasus tersebut 10 penderita (34%) sebelumnya mengalami diagnosis penyakit tifus sebanyak 2-4 kali dalam setahun. Sebagian besar penderita atau sekitar 89% pada kelompok ini adalah kelompok anak yang sering mengalami infeksi berulang saluran napas. Dan sebagian besar lainnya atau sekitar 86% adalah penderita alergi. Penelitian lain yang dilakukan penulis pada 44 kasus penderita demam beradarah, didapatkan 12 (27%) anak didapatkan hasil widal O berkisar antara 240-360 dan 15 (34%) anak didapatkan hasil widal O 1/120. Semua penderita tersebut menunjukkan hasil kultar darah gall negatif dan tidak diberikan terapi antibiotika membaik. Dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada infeksi virus pada penderita tertentu terutama penderita alergi dapat meningkatkan nilai Widal. Banyak penderita alergi pada anak yang mengalami peningkatan hasil widal dalam saat mengalami infeksi virus tampak menarik untuk dilakukan penelitian lebih jauh. Diduga mekanisme hipersensitif atau proses auto imun yang sering terganggu pada penderita alergi dapat ikut meningkatkan hasil widal. Dengan adanya penemuan awal tersebut tampaknya sangat berlawanan dengan

pendapat yang banyak dianut sekarang bahwa peningkatan hasil widal terjadi karena Indonesia merupakan daerah endemis tifus. Fenomena ini perlu dilakukan penelitian lebih jauh khusus dalam hal biomolekuler dan imunopatofisiologi. Banyak akibat atau konsekuensi nyang ditimbulkan bila terjadi overdiagnosis tifus. Pertama penderita harus mengkonsumsi antibiotika jangka panjang padahal infeksi yang terjadi adalah infeksi virus. Konsekuensi lain yang diterima adalah penderita seringkali harus dilakukan rawat inap di rumah sakit. Hal lain yang terjadi seringkali penderita seperti ini mengalami diagnosis tifus berulang kali. Semua kondisi tersebut diatas akhirnya berakibat peningkatan biaya berobat yang sangat besar padahal seharusnya tidak terjadi. Belum lagi akbat efek samping pemberian obat antibiotika jangka panjang yang seharusnya tidak diberikan.PERBEDAAN DEMAM TIFUS DAN DEMAM KARENA INFEKSI VIRUS DEMAM TIFUS SERINGKALI BILA TIDAK CERMAT SULIT DIBEDAKAN DENGAN DEMAM KARENA INFEKSI VIRUS, TETAPI KALAU MELIHAT POLA DEMAMNYA RELATIF MUDAH DIBEDAKAN DEMAM KARENA VIRUS (VIRUS TERTENTU TERMASUK DENGUE) : 1-2 HARI AWAL MENDADAK SANGAT TINGGI, KEMUDIAN PADA HARI KETIGA TURUN, HARI KE 4-5 NAIK TAPI TIDAK SETINGGI HARI 1-2 (POLA PENURUNAN ANAK TANGGA , DBD POLA PELANA KUDA) DEMAM KARENA TIFUS : DEMAM AWALNYA TIDAK TERLALU TINGGI, TETAPI HARI BERIKUTNYA SEMAKIN TINGGI DAN SEMAKIN TINGGI (POLA KENAIKKAN ANAK TANGGA) gejala tifus juga mirip beberapa penyakit lainnya, beberapa gejala yang sering m,engecoh sehingga membuat overdiagnosis tifus sering terjadi. BEBERAPA GEJALA DAN TANDA UMUM YANG BUKAN HANYA ADA PENYAKIT TIFUS : LIDAH KOTOR, pada anak dengan sensitif saluran cerna ATAU GANGGUAN FUNGSI SALURAN CERNA (PENDERITA ALERGI/GER yang sebelumnya dalam keadaan sehatpun juga sering mengalami gangguan lidah putih dan kotor) ternyata bila demam juga menimbulkan gangguan warna putih pada lidah, hanya saja pada tifus lidah putih sangat tebal dengan tepi kemerahan NYERI PERUT, MUNTAH, DIARE, SULIT BAB. Pada anak dengan sebelumnya punya riwayat sensitif saluran cerna atau gangguan fungsi saluran cerna (alergi, GER, nyeri perut berulang, konstipasi berulang dll) Ternyata pada saat demam gangguan saluran cerna ini juga seringkali timbul DEMAM MALAM HARI, pada anak tertentu ternyata juga mempunyai pola demam terjadi pada malam hari bila terkena infeksi. Hal ini sering terjadi pada penderita alergi. Mungkin karena pengaruh hormon sirkadial, hal ini juga yang menjelkaskan kenapa gejala alergi lebih berat pada malam hari KONDISI DAN KEADAAN YANG HARUS DIWASPADAI PADA PENDERITA YANG SERING MENGALAMI OVER DIAGNOSIS TIFUS

Terdapat beberapa kondisi dan keadaan yang harus diwaspadai pada penderita penderita yang telah divonis tifus yang dapat berakibat over diagnosis tifus. Dalam penelitian tersebut di atas terdapat beberapa karakteristik penderita yang sering mengalami overdiagnosis tifus, diantaranya adalah : yang sangat tinggi pada hari ke 3-5 saat demam. rumah terdapat penderita demam tinggi dalam waktu yang hampir bersamaan (dalam waktu kurang dari 3-5 hari). y Penderita divonis gejala tifus atau tifus ringan y Demam disertai gejala batuk dan pilek pada awal penyakit y Penderita yang sering mengalami infeksi berulang (sering demam, batuk dan pilek) y Penderita alergi (batuk lama, pilek lama, sinusitis, asma) yang disertai GER (gastrooesephageal refluks) atau sering muntah. y Penderita tifus berulang atau penderita yang divonis tifus lebih dari sekali y Peningkatan nilai widal H, (widal H bukan merupakan petanda infeksi tifus) y Penderita demam berdarah y Penderita berusia kurang dari 2 tahun Bila penderita mengalami hal tersebut maka sebaiknya harus cermat dalam menerima diagnosis tifus. Penyakit demam yang disebabkan karena infeksi virus disertai kondisi tersebut di atas sering mengalami terjadi peningkatan nilai widal, padahal tidak mengalami infeksi tifus. Diagnosis tifus ditegakkan bukan hanya berdasarkan hasil laboratorium. y Pemeriksaan Serologi Terbaru Pemeriksaan serologi untuk Salmonella typhi telah banyak berkembang, diantaranya yaitu : (a) Tubex TF (mendeteksi antibodi IgM tehadap antigen 09 IPS Salmonella typhi) TUBEX TF (ANTI Salmonella typhi IgM)Tubex TF adalah pemeriksaan diagnostik in vitro semikuantitatif yang cepat dan mudah untuk deteksi demam tifoid akut. Pemeriksaan ini mendeteksi antibodi IgM terhadap antigen 09 LPS Salmonella typhi. Sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan adalah > 95% dan > 93%. 1 Prinsip Pemeriksaan Metode pemeriksaan yang digunakan adalah Inhibition Magnetic Binding Immunoassay (IMBI). Antibodi IgM terhadap antigen 09 LPS dideteksi melalui kemampuannya untuk menghambat interaksi antara kedua tipe partikel reagen yaitu indikator mikrosfer lateks yang disensitisasi dengan antibodi monoklonal anti 09 (reagen berwarna biru) dan mikrosfer magnetik yang disensitisasi dengan LPS Salmonella typhi (reagen berwarna coklat). Setelah sedimentasi partikel dengan kekuatan magnetik, konsentrasi partikel indikator yang tersisa dalam cairan menunjukkan daya inhibisi. Tingkat inhibisi yang dihasilkan adalah setara dengan konsentrasi antibodi IgM Salmonella typhi dalam sampel. Hasil dibaca secara visual dengan membandingkan warna akhir reaksi terhadap skala warna. Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.
y Hasil pemeriksaan widal y Dalam lingkungan satu

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. (b)Metode Enzyme Immunoassay Dot didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.4 Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif.2,8 Dikatakan bahwa Typhidot-M ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat. Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien. (c)Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis. Elisa Salmonella typhi/ paratyphi lgG dan lgM Pemeriksaan ini merupakan uji imunologik yang lebih baru, yang dianggap lebih sensitif dan spesifik dibandingkan uji Widal untuk mendeteksi Demam Tifoid/ Paratifoid. Sebagai tes cepat (Rapid Test) hasilnya juga dapat segera di ketahui. Diagnosis Demam Typhoid/ Paratyphoid dinyatakan 1/ bila lgM positif menandakan infeksi akut; 2/ jika lgG positif menandakan pernah kontak/ pernah terinfeksi/ reinfeksi/ daerah endemik. (d)Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini

menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap. Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.  Mikrobiologi y Kultur 1. Kultur Aspirasi Sumsum Tulang Kultur aspirasi sumsum tulang merupakan gold standard untuk diagnosis pasti demam tifoid. Kultur aspirasi sumsum tulang tepat untuk pasien yang sebelumnya telah diobati, long history of illness dan hasil kultur darah negatif. Kultur sumsum tulang positif pada 80-95% pasien demam tifoid bahkan pada pasien-pasien yang telah menerima antibiotik selama beberapa hari. 2. Kultur Feses Kultur feses dapat dilakukan untuk isolasi Salmonella typhi dan khususnya bermanfaat untuk diagnosis carrier tifoid. Isolasi Salmonella typhi dari feses adalah sugestif demam tifoid. 3. Kultur Darah Kultur darah positif pada 60-80% pasien tifoid. Sensitivitas kultur darah lebih tinggi pada minggu pertama sakit dan sensitivitasnya meningkat sesuai dengan volume darah yang dikultur dan rasio darah terhadap broth. Sensitivitas kultur darah dapat menurun karena penggunaan antibiotik sebelum dilakukan isolasi, namun hal ini dapat diminimalisasi dengan menggunakan sistem kultur darah otomatis seperti BacT Alert, Bactec 9050 dengan menggunakan media kultur (botol kultur) yang dilengkapi dengan resin untuk mengikat antibiotik 4. Kultur (Gall culture/ Biakan empedu),Uji ini merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan Demam Typhoid/ paratyphoid. Interpretasi hasil : jika hasil positif maka diagnosis pasti untuk Demam Tifoid/ Paratifoid. Sebalikanya jika hasil negati, belum tentu bukan Demam Tifoid/ Paratifoid, karena hasil biakan negatif palsu dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu antara lain jumlah darah terlalu sedikit kurang dari 2mL), darah tidak segera dimasukan ke dalam medial Gall (darah dibiarkan membeku dalam spuit sehingga kuman terperangkap di dalam bekuan), saat pengambilan darah masih dalam minggu- 1 sakit, sudah mendapatkan terapi antibiotika, dan sudah mendapat vaksinasi. Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu untuk pertumbuhan kuman (biasanya positif antara 2-7hari, bila belum ada pertumbuhan koloni ditunggu sampai 7 hari). Pilihan bahan spesimen yang digunakan pada awal sakit adalah darah, kemudian untuk stadium lanjut/ carrier digunakan urin dan tinja. Beberapa penyebab kegagalan dalam mengisolasi kuman Salmonella typhi adalah : 1. Keterbatasan media di laboratorium 2. Konsumsi antibiotik 3. Volume spesimen yang dikultur 4. Waktu pengambilan sampel (positivitas tertinggi adalah demam 7-10 hari).  Biologi molekular.

PCR (Polymerase Chain Reaction) Metode ini mulai banyak dipergunakan. Pada cara ini di lakukan perbanyakan DNA kuman yang kemudian diindentifikasi dengan DNA probe yang spesifik. Kelebihan uji ini dapat mendeteksi kuman yang terdapat dalam jumlah sedikit (sensitifitas tinggi) serta kekhasan (spesifitas) yang tinggi pula. Spesimen yang digunakan dapat berupa darah, urin, cairan tubuh lainnya serta jaringan biopsi. Metode untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi. Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian. Dengan melakukan pemeriksaan yang terarah diharapkan demam tipoid dapat ditegakan dengan cepat dan tepat.

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam menafsirkan hasil pengujian perlu dipertimbangkan beberapa keterbatasan. Salmonella merupakan kuman yang tersebar secara luas di sekeliling kita, sehingga besar sekali kemungkinan seseorang terinfeksi tanpa diketahui. Oleh karena itu ada kemungkinan bahwa dalam darah seseorang yang tidak sakit dijumpai sejumlah antibody terhadap Salmonella.Interprestasi hasil reaksi Widal ditandai dengan adanya aglutinasi pada titer paling rendah. Beberapa pakar menyatakan bahwa titer agglutinin sebesar 1/40 atau 1/80 masih dianggap normal. Vaksinasi yang diberikan belum lama berselang dapat meningkatkan titer agglutinin, khususnya agglutinin H. di samping itu Enterobacteriaceae lain diketahui dapat mengadakan reaksi silang dengan agglutinin O tetapi tidak dengan agglutinin H. Adanya factor rheumatoid dalam serum juga dapat menghasilkan positif palsu. Sebaliknya pada penderita yang telah diberikan antibiotika pada awal penyakit uji Widal sering menunjukkan hasil negativ, demikian pula bila specimen tidak ditampung pada saat yang tepat. Salmonella typhi merupakan bakteri gram negatif yang dapat menginfeksi manusia melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. Untuk mendeteksi infeksi tersebut dilakukan dengan pemeriksaan Widal atau dengan metode ELISA, dimana pemeriksaan tersebut mempunyai masing-masing keunggulan dan kelemahan. Pemeriksaan Widal sering di lakukan untuk mendeteksi adanya antibodi (didalam darah) terhadap antigen kuman Salmonella typhi dan sebagai uji yang cepat sehingga dapat segera diketahui. Pemeriksaan ini menggunakan titer yang ditandai dengan titer paling rendah, akan tetapi hasil dari uji ini dapat menunjukkan hasil yang positif palsu atau negatif palsu sehingga pemeriksaan ini sedikit banyak mulai ditinggalkan. Peran widal dalam diagnosis demam tifoid sampai saat ini masih kontroversial karena sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramalnya sangat bervariasi tergantung daerah geografis. Pemeriksaan widal mendeteksi antibodi aglutinasi terhadap antigen O dan H. Biasanya antibodi O muncul pada hari ke 6-8 dan H pada hari 10-12 setelah onset penyakit. Pemeriksaan pada fase akut harus disertai dengan pemeriksaan kedua pada masa konvalesens. Hasil negatif palsu pemeriksaan widal bisa mencapai 30%. Hal ini disebabkan karena pengaruh terapi antibiotik sebelumnya. Spesifisitas pemeriksaan widal kurang begitu baik karena serotype Salmonella yang lain juga memiliki antigen O dan H. Epitop Salmonella typhi juga bereaksi silang dengan enterobacteriaceae lain sehingga menyebabkan hasil positif palsu. Hasil positif palsu juga dapat terjadi pada kondisi klinis yang lain misalnya malaria, typhus bacteremia yang disebabkan oleh organisme lain dan juga sirosis.

BAB IV KESIMPULAN

Wabah Salmonella dapat terjadi di mana-mana terutama didaerah yang tidak memperhatikan kebesihan makanan dan air. Salmonella yang mencari makanan dan minuman dapat berkembang biak dengan cepat karena keadaan lingkungan. Telah dibahas gejala klinis dan diagnosis laboratorium penyakit demam tifoid yang disebabkan oleh infeksi Salmonella typhoid dan Salmonella paratyphoid. Penyakit ini endemis di Indonesia dan potensial berbahaya dengan penyulit yang dapat menyebabkan kematian. Kemampuan para tenaga medis untuk dapat mendiagnosis dini penting untuk penyembuhan dan pencegahan timbulnya penyulit. Diagnosis laboratorium meliputi pemeriksaan dari hematologi, urinalisis, kimia klinis, imunoserologis, mikrobiologi biakan sampai PCR. Penting untuk mengetahui kelebihan dan disesuaikan dengan waktu (sudah berapa hari sakit saat akan diperiksa) dengan beberapa metode pemerikasaan yang biasa digunakan yaitu Widal dan Eliza juga jenis bahan spesimen serta faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan.

BAB V PENUTUP

Dari uraian di atas dapat di tarik kesimpulan mengenai hasil pengumpulan data bahwa di daerah yang kurang memperhatikan kebersihan lingkungan kemungkinan besar dapat dengan mudah terinfeksi Salmonella typhoid dan Salmonella paratyphoid yang datang baik dari unsur makanan dan minuman yang tela terkontaminasi oleh kuman tersebut. Maka dari itu kebersihan lingkungan maupun makanan sangatlah penting untuk menjaga agar tidak terinfksi. Salmonella merupakan kuman yang tersebar secara luas di sekeliling kita, sehingga besar sekali kemungkinan seseorang terinfeksi tanpa diketahui. Oleh karena itu ada kemungkinan bahwa dalam darah seseorang yang tidak sakit dijumpai sejumlah antibody terhadap Salmonella.Interprestasi hasil reaksi Widal ditandai dengan adanya aglutinasi pada titer paling rendah. Beberapa pakar menyatakan bahwa titer agglutinin sebesar 1/40 atau 1/80 masih dianggap normal. Vaksinasi yang diberikan belum lama berselang dapat meningkatkan titer agglutinin, khususnya agglutinin H. Isolasi Salmonella typhi adalah metode sold standard untuk diagnosis pasti demam tifoid namun membutuhkan waktu yang cukup lama dan sensitivitasnya di pengaruhi oleh banyak faktor. Saat ini telah berkembang berbagai pemeriksaan serologi untuk menunjang diagnosis tifoid, dengan waktu pemeriksaan yang lebih cepat. Tubex TF mendeteksi antibodi 09 IPS IgM untuk diagnosis infeksi akut maupun reinfeksi dengan cepat dan mudah, juga memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang jauh lebih baik dibandingkan Widal yang saat ini banyak digunakan di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA http://www.obat-pengobatanalami.com/typhus.php http://www.kesad.mil.id/content/diagnosis-demam-tifoid http://nillaaprianinaim.wordpress.com/2011/09/28/120/ http://analislabkes.blogspot.com/2011/03/pemeriksaan-widal-masih-akuratkah.html

You might also like