You are on page 1of 3

Penonaktifan Pejabat Publik Oleh : Dinoroy M.

Aritonang Persoalan mengenai pemberhentian pejabat publik kerap muncul seiring wacana pemberantasan korupsi. Sejumlah pejabat publik yang tidak puas dengan mekanisme pemberhentian sementara (penonaktifan) tersebut biasanya mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait undangundang yang mengatur tentang jabatan publik yang didudukinya. Salah satu contohnya, judicial review yang diajukan oleh Bupati Lampung Timur nonaktif terhadap UU 32/2004 dan UU 8/1981 ke MK (Media Indonesia, 21/12/2011). Pejabat yang bersangkutan mengklaim belum adanya pengaktifan kembali oleh Mendagri terhadap dirinya akibat pengajuan kasasi yang dilakukan oleh Kejaksaan merupakan tindakan yang merugikan hak-hak konstitusionalnya. Non Aktif Proses penonaktifan (pemberhentian sementara) pejabat publik terutama kepala daerah diatur dalam UU 32/2004. Dalam undang-undang tersebut terdapat beberapa syarat dan mekanisme pemberhentian sementara. Namun pada intinya, yang menjadi sebab atau alasan sehingga pejabat publik tersebut dinonaktifkan adalah persoalan pidana yang didakwakan terhadap dirinya. Pemberhentian sementara memang menyisakan pertanyaan yang belum bisa dijawab hingga saat ini, yaitu sampai berapa lama pejabat publik yang dinonaktifkan harus menjalani proses nonaktif tersebut. Undang-undang terkait hanya memberikan batasan hingga pejabat publik yang bersangkutan dinyatakan tidak bersalah melalui putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Proses selanjutnya adalah rehabilitasi dan pengaktifan kembali oleh Presiden. Terhadap jabatan Bupati, proses pengaktifan kembali tersebut dilakukan oleh Mendagri. Persoalan ketidakpastian masa nonaktif inilah yang kerap dijadikan salah satu dasar untuk mengajukan judicial review ke MK karena dianggap sebagai kerugian konstitusional bagi si pemohon, selain adanya anggapan pelanggaran terhadap prinsip presumption of innocent. Resiko Jabatan Persoalan pemberhentian sementara sebetulnya lebih merupakan resiko jabatan bagi pejabat publik yang bersangkutan, sebab mau tidak mau hal tersebut sudah diatur dalam undang-undang yang mengatur jabatan publik yang diembannya. Mekanisme tersebut lebih sebagai resiko jabatan akibat diterapkannya konsep pemerintahan yang bersih (good governance) di semua level pemerintahan. Bahkan apabila dibaca dalam risalah-risalah pembahasan UU 32/2004 konsep tersebut menjadi salah satu bagian utama original intent DPR.

Hal ini berarti mau tidak mau pejabat publik juga harus menerima konsekuensi tersebut. Yang menjadi masalah adalah gerak kinerja dari aparat penegak hukum terkait proses pemeriksaan hingga persidangan perkara yang melibatkan pejabat publik nonaktif tersebut. Dalam proses ini, seharusnya penegak hukum (dalam hal ini JPU) harus taat prinsip due process of law. Pemeriksaan hingga tahap persidangan sebaiknya dijalankan sesuai dengan kaidah hukum acara yang benar. Perkara korupsi pun seharusnya lebih didahulukan untuk diselesaikan sebab hal tersebut menyangkut tanggung jawab dan masa jabatan dari pejabat publik terkait. Oleh karena itu, wajar terjadi jika masa persidangan pejabat publik tersebut lebih lama dari masa nonaktif jabatannya, sehingga berujung pada pemberhentian secara tetap, akibat masa jabatan yang telah habis. Konstitusionalkah? Persoalan kemudian adalah apakah tepat ketika pemohon mengajukan judicial review ke MK terkait undang-undang yang mengatur mengenai jabatan publiknya. MK dalam beberapa putusan sebelumnya telah memberikan jawaban yang tegas bahwa persoalan pemberhentian sementara bukan termasuk isu konstitusionalitas namun urusan legislasi di DPR. Dalam UUD 1945 pun tidak ada satu Pasal pun yang mengatur khusus pemberhentian sementara. Oleh karena itu mekanisme pemberhentian sementara lahir semata-mata karena praktik legislasi di DPR. Persoalan lain adalah apakah pemberhentian sementara merupakan kerugian konstitusional. Sebab syarat untuk diterimanya permohonan judicial review salah satunya adalah terdapat kerugian atau potensi kerugian konstitusional dari pemohon. Apabila dibaca dari beberapa putusan MK sebelumnya, maka MK sendiri tidak menerima apa yang dimohonkan oleh pemohon. Artinya pemberhentian sementara bukan merupakan kerugian konstitusional namun hanya merupakan akibat dari praktik legislasi. Dalam hal ini pula, seharusnya MK tidak perlu menerima permohonan dari pemohon karena itu bukan merupakan kerugian konstitusional. Tempat yang tepat untuk menyelesaikannya secara politik adalah melalui usulan legislative review ke DPR dengan merevisi undang-undang terkait. Oleh karena itu, memang amat diperlukan proses penegakan hukum yang cepat dan efektif terutama dari pihak penegak hukum agar proses pemberhentian sementara tidak menjadi persoalan yang berlarut-larut. Selain itu dari pihak pejabat publik yang diduga melakukan tindak pidana, seharusnya bersikap lebih koorperatif sehingga proses pemeriksaan dan persidangan dapat berjalan dengan sederhana dan cepat. ***** (Lampung Post, 27 Desember 2011)

You might also like