You are on page 1of 65

2005

http://www.kalbefarma.com/cdk

ISSN : 0125-913X

147. Kardiologi

2005
http. www.kalbefarma.com/cdk
International Standard Serial Number: 0125 913X

147. Kardiologi
Daftar isi :
2. Editorial 4. English Summary

Artikel
5. Penyakit Jantung Koroner Santoso, M. Setiawan, T. 10. Current Trends of Treatment in Hypertension William Sanjaya, Abdul Hakim Alkatiri 13. Peranan Penghambat Reseptor Angiotensin II dalam Hipertrofi Ventrikel Kiri Sunarya Soerianata, William Sanjaya 16. Angiotensin-II dan Remodelling Vaskuler Idris Idham, William Sanjaya 20. Disfungsi Endotel dan Obat Antihipertensi Selvinna 26. Gas Nitrogen Oksida - Polutan atau Vital bagi Kehidupan? Jansen Silalahi 31. Pengalaman Klinis Transplantasi Jantung Yanto Sandy Tjang, Gero Tenderich, Lech Hornik, Michiel Morshuis, Kazutomo Minami, Richardus Budiman, Reiner Korfer
Keterangan: Infark miokard dan gambaran EKG-nya. Dikutip dari: Clinical Symposia 1984; 36 (6): 14.

35. Pengenalan Miopati Mitokondria Santosa, Soenarto, Suyanto Hadi 43. Diet Sehat dengan Serat Olwin Nainggolan, Cornelis Adimunca 47. Efek Teh Hitam [(Camellia sinensis O.K. Var. Assamica (Mast)] terhadap Plak Aterosklerosis pada Kelinci (Oryctolagus cuniculus) strain New Zealand White Sulistyowati T, Cornelis Adimunca, Raflizar 51. Rokok di Sinetron Tjandra Yoga Aditama 54. Kenaikan Kadar Hemoglobin setelah Pemberian Epoeitin Alfa (HEMAPO) selama 12 Minggu pada Penderita Gagal Ginjal yang Menjalani Hemodialisis Rully MA Roesli, Enday Sukandar, Rubin Gondodiputro, Rachmat Permana 58. Produk Baru 59. Informatika Kedokteran 60. Kegiatan Ilmiah 62. Kapsul 63. Abstrak 64. RPPIK

EDITORIAL
Masalah kardiologi kembali menjadi topik bahasan Cermin Dunia Kedokteran edisi ini. Meskipun sebagian besar artikel mengupas masalah yang mendasar, bukan berarti tidak mempunyai manfaat klinis-praktis, karena para klinisi seyogyanya juga memahami masalah-masalah tersebut agar pengobatan dan pengelolaan pasien lebih dilandasi oleh pemahaman patofisiologik yang sesuai. Kami selalu berharap agar artikel dalam majalah ini dapat selalu menyumbang sesuatu bagi perkembangan pengetahuan para sejawat, untuk itu komentar dan kritik selalu kami nantikan agar dapat dimanfaatkan guna perbaikan isi majalah kami. Selamat membaca, Redaksi

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

2005

International Standard Serial Number: 0125 - 913X KETUA PENGARAH


Prof. Dr. Oen L.H. MSc

REDAKSI KEHORMATAN
- Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soedarmo
Staf Ahli Menteri Kesehatan Departemen Kesehatan RI Jakarta

PEMIMPIN UMUM
Dr. Erik Tapan

- Prof. Dr. R Budhi Darmojo

KETUA PENYUNTING
Dr. Budi Riyanto W.

Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang

PELAKSANA
Sriwidodo WS.

- Prof. Drg. Siti Wuryan A Prayitno, SKM, - Prof. DR. Hendro Kusnoto, Drg, SpOrt. Laboratorium Ortodonti MScD, PhD.
Bagian Periodontologi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti Jakarta

TATA USAHA
- Dodi Sumarna INFORMASI/DATABASE Ronald T. Gultom

ALAMAT REDAKSI
Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval Jl. Letjen. Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510, P.O. Box 3117 JKT. Tlp. 021 - 4208171 E-mail : cdk@kalbe.co.id http: //www.kalbefarma.com/cdk

- DR. Arini Setiawati


Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

NOMOR IJIN
151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976

DEWAN REDAKSI

PENERBIT
Grup PT. Kalbe Farma Tbk.

- Dr. Boenjamin Setiawan Ph.D

- Prof. Dr. Sjahbanar Zahir MSc.

Soebianto

PENCETAK
PT. Temprint

http://www.kalbefarma.com/cdk PETUNJUK UNTUK PENULIS

Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidangbidang tersebut. Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah medis sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto disertai/atau dalam bentuk disket program MS Word. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/ grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor sesuai dengan urutan

pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/ atau Uniform Requirement for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh : 1. Basmajian JV, Kirby RL.Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore, London: William and Wilkins, 1984; Hal 174-9. 2. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanism of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974;457-72. 3. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. 1990; 64: 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O. Box 3117 JKT. Tlp. (021) 4208171. E-mail : cdk@kalbe.co.id Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis. Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis.

English Summary
MITOCHONDIRIAL MYOPATHY Santosa, Soenarto*, Suyanto Hadi** Resident, *Professor, **Head of Rheumatology subdivision, Dept. of Internal Medicine, Faculty of Medicine, Diponegoro University, Semarang, Central Java, Indonesia CLINICAL EXPERIENCE TRANSPLANTATION ON HEART Yanto Sandy Tjang, Gero Tenderich, Lech Hornik, Michiel Morshuis, Kazutomo Minami, Richardus Budiman, Reiner Korfer Dept. of Cardiovascular and Thoracic Surgery, Cardiac and Diabetes Center, Nordrhein Westfalen/ Ruhr Bochum University Teaching Hospital, Bad Oeynhausen, Germany

Mitochondria are unique organella because they have DNA in self called mitochondria DNA with specific characteristics. The term mitochondria myopathy refers to various syndromes with diverse pathology, histochemistry and biochemistry characteristics. These syndromes are often multisystemic with varying signs and symptoms affecting many organ system; and were under exotic names such as CPEO (chronic progressive external ophthalmoplegia), MELAS (mitochondrial encephalomyopathy, lactic acidosis, and stroke-like episodes), MERRF (myoclonic epilepsy with ragged-red fibers), MNGIE (myoneurogastrointestinal encephalopathy), NARP (neurogenic weakness, ataxia, retinitis pigmentosa). The main function of mitochondria is to produce chemical energy in the form of ATP molecule that is used by body cells. When a key component of respiration chain is missing or defective, the result is like the aftermath of a train derailment. Mutation and deletion of mitochondria DNA results many mitochondrial syndromes. The common approaches are to give drug(s) that stimulate enzymatic activity for transporting electron or to give artificial electron acceptor. Gene therapy may be used in the future.
Cermin Dunia Kedokt.2004; 147; 13-22 sta, sno, shi

Improved longevity, advances in prevention, diagnosis and treatment of cardiovascular diseases have led to the rapidly growing number of patients with heart failure. The prevalence of heart failure is increasing with age, ranging from <1% in patients under 50 years of age to 5% in patients 50 to 70 years and 10% in patients over 70 years of age. Prognosis of chronic heart failure is still very bad if the underlying causes of disease are untreated. Almost 50% of patients suffered from chronic heart failure will die within 4 years, whereas 50% of end stage patients will die within 1 year. Despite different novel treatment modalities either non pharmacologic, pharmacologic or surgical procedures which have recently emerged, heart transplantation is still well accepted as treatment of choice for these patients. On December 3th, 1967; Christian Barnard successfully performed the first human orthotopic heart transplantation in South Africa. This success was then rapidly followed by other cardiac transplant centers around the world. The improvement in actuarial survival following cardiac transplantation is related not only to better postoperative care but also to improved patient selection. Futhermore, the selection of donor

hearts for cardiac transplantation also have impacts on success. Since the initiation of the transplantation programmes in the Heart & Diabetes Center NRW in Bad Oeynhausen, Germany on March the 13th, 1989; 1406 orthotopic heart transplantation have been successfully perfomed. The actuarial survival rates range between 80%, 69%, 54%, and 39% in the first, fifth, tenth and fifteenth year respectively.
Cermin Dunia Kedokt.2004; 147; 41-4 yst, gth, lhk, mms, kmi, rbn, rkr

NITROGEN OXIDES ESSENTIAL OR POLLUTANT FOR LIFE ? Jansen Silalahi Dept. of Pharmacies, Faculty of Mathematics and Physical Sciences, Sumatra Utara University, Medan, North Sumatra, Indonesia

Nitrogen oxide is generated from amino acid L-arginine by nitric oxide synthase enzymes in endothelial mammalian cells including humans. It functions as biological mediator allowing cells to communicate each other. Nitrogen oxide has an important role in controlling blood vessel tone, blood flow and regulating platelet function, gastrointestinal motility, and reactivity of certain airways as well as urinary bladder. Nitrogen oxide also contributes to host defense and pathophysiological changes such as in life threatening hypotension and also might cause tissue damage. By understanding the physiological roles, new drug development and therapeutic application may be developed by selectively enhance or inhibit the production of nitrogen oxide from nitrogen oxidearginine pathway in biological system.
Cermin Dunia Kedokt.2004; 147; 36-40 jsi

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

Artikel
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Penyakit Jantung Koroner


Santoso M., Setiawan T.
SMF Penyakit Dalam RSUD Koja / Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Ukrida, Jakarta

PENDAHULUAN Penyakit jantung koroner terutama disebabkan oleh kelainan miokardium akibat insufisiensi aliran darah koroner karena arterosklerosis yang merupakan proses degeneratif, di samping banyak faktor lain. Karena itu dengan bertambahnya usia harapan hidup manusia Indonesia, kejadiannya akan makin meningkat dan menjadi suatu penyakit yang penting; apalagi sering menyebabkan kematian mendadak.(1) Tujuh jenis penyakit jantung terpenting ialah : 1. Penyakit jantung koroner (penyebab 80% kematian yang disebabkan penyakit jantung) 2. Penyakit jantung akibat hipertensi (9%) 3. Penyakit jantung rernatik (2-3%) 4. Penyakit jantung kongenital (2%) 5. Endokarditis bakterialis (1-2%) 6. Penyakit jantung sifilitik (1%) 7. Cor pulmonale (1%), 8. dan lain-lain (5%).(4) Aterosklerosis adalah suatu keadaan arteri besar dan kecil yang ditandai oleh endapan lemak, trombosit, makrofag dan leukosit di seluruh lapisan tunika intima dan akhirnya ke tunika media.(5) Telah diketahui bahwa aterosklerosis bukanlah suatu proses berkesinambungan, melainkan suatu penyakit dengan fase stabil dan fase tidak stabil yang silih berganti. Perubahan gejala klinik yang tiba-tiba dan tak terduga agaknya berkaitan dengan ruptur plak, meskipun ruptur tidak selalu diikuti gejala klinik. Seringkali ruptur segera pulih; agaknya dengan cara inilah proses plak berlangsung.(3,6) Sekarang aterosklerosis tak lagi dianggap merupakan proses penuaan saja. Timbulnya "bercak-bercak lemak" di dinding arteria koronaria merupakan fenomena alamiah bahkan sejak masa kanak-kanak dan tidak selalu harus menjadi lesi aterosklerotik; terdapat banyak faktor saling berkaitan yang dapat mempercepat proses aterogenik. Telah dikenal beberapa faktor yang meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis koroner pada individu tertentu.

FAKTOR FAKTOR RISIKO Ada empat faktor risiko biologis yang tak dapat diubah, yaitu: usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga. Risiko aterosklerosis koroner meningkat dengan bertambahnya usia; penyakit yang serius jarang terjadi sebelum usia 40 tahun. Tetapi hubungan antara usia dan timbulnya penyakit mungkin hanya mencerminkan lebih panjangnya lama paparan terhadap faktor- faktor aterogenik. Wanita agaknya relatif kebal terhadap penyakit ini sampai menopause, dan kemudian menjadi sama rentannya seperti pria; diduga oleh adanya efek perlindungan estrogen. Orang Amerika-Afrika lebih rentan terhadap aterosklerosis daripada orang kulit putih. Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung koroner (saudara atau orang tua yang menderita penyakit ini sebelum usia 50 tahun) meningkatkan kemungkinan timbulnya aterosklerosis prematur. Pentingnya pengaruh genetik dan lingkungan masih belum diketahui. Komponen genetik dapat diduga pada beberapa bentuk aterosklerosis yang nyata, atau yang cepat perkembangannya, seperti pada gangguan lipid familial. Tetapi, riwayat keluarga dapat pula mencerminkan komponen lingkungan yang kuat, seperti misalnya gaya hidup yang menimbulkan stres atau obesitas.( 1 ) Faktor-faktor risiko lain masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik. Faktorfaktor tersebut adalah peningkatan kadar lipid serum, hipertensi, merokok, gangguan toleransi glukosa dan diet tinggi lemak jenuh, kolesterol, dan kalori. Penyakit jantung akibat insufisiensi aliran darah koroner dapat dibagi menjadi 3 jenis yang hampir serupa.( 4 ) : - Penyakit jantung arteriosklerotik - Angina pektoris - Infark miokardium PATOFISIOLOGI Peningkatan tekanan darah sistemik pada hipertensi menimbulkan peningkatan resistensi terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri, sehingga beban kerja jantung bertambah, akibatnya terjadi hipertrofi ventrikel kiri untuk

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

meningkatkan kekuatan kontraksi. Kemampuan ventrikel untuk mempertahankan curah jantung dengan hipertrofi kompensasi dapat terlampaui; kebutuhan oksigen yang melebihi kapasitas suplai pembuluh koroner menyebabkan iskemia miokardium lokal. Iskemia yang bersifat sementara akan menyebabkan perubahan reversibel pada tingkat sel dan jaringan, dan menekan fungsi miokardium. Berkurangnya kadar oksigen memaksa miokardium mengubah metabolisme yang bersifat aerobik menjadi metabolisme anaerobik. Metabolisme anaerobik lewat lintasan glikolitik jauh lebih tidak efisien apabila dibandingkan dengan metabolisme aerobik melalui fosforilasi oksidatif dan siklus Krebs. Pembentukan fosfat berenergi tinggi menurun cukup besar. Hasil akhir metabolisme anaerob, yaitu asam laktat, akan tertimbun sehingga menurunkan pH sel. Gabungan efek hipoksia, berkurangnya energi yang tersedia, serta asidosis dengan cepat mengganggu fungsi ventrikel kiri. Kekuatan kontraksi daerah miokardium yang terserang berkurang; serabut-serabutnya memendek, dan daya serta kecepatannya berkurang. Selain itu, gerakan dinding segmen yang mengalami iskemia menjadi abnormal; bagian tersebut akan menonjol keluar setiap kali ventrikel berkontraksi. Berkurangnya daya kontraksi dan gangguan gerakan jantung mengubah hemodinamika. Perubahan hemo-dinamika bervariasi sesuai ukuran segmen yang mengalami iskemia, dan derajat respon refleks kompensasi sistem saraf otonom. Menurunnya fungsi ventrikel kiri dapat mengurangi curah jantung dengan berkurangnya curah sekuncup (jumlah darah yang dikeluarkan setiap kali jantung berdenyut). Berkurangnya pengosongan ventrikel saat sistol akan memperbesar volume ventrikel. Akibatnya, tekanan jantung kiri akan meningkat; tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan tekanan baji dalam kapiler paru-paru akan meningkat. Peningkatan tekanan diperbesar oleh perubahan daya kembang dinding jantung akibat iskemia. Dinding yang kurang lentur semakin memperberat peningkatan tekanan pada volume ventrikel tertentu Pada iskemia, manifestasi hemodinamika yang sering terjadi adalah peningkatan ringan tekanan darah dan denyut jantung sebelum timbul nyeri. Jelas bahwa, pola ini merupakan respon kompensasi simpatis terhadap berkurangnya fungsi miokardium. Dengan timbulnya nyeri sering terjadi perangsangan lebih lanjut oleh katekolamin. Penurunan tekanan darah merupakan tanda bahwa miokardium yang terserang iskemia cukup luas atau merupakan suatu respon vagus. Iskemia miokardium secara khas disertai oleh dua perubahan elektrokardiogram akibat perubahan elektrofisiologi selular, yaitu gelombang T terbalik dan depresi segmen ST. Elevasi segmen ST dikaitkan dengan sejenis angina yang dikenal dengan nama angina Prinzmetal. Serangan iskemi biasanya mereda dalam beberapa menit apabila ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen sudah diperbaiki. Perubahan metabolik, fungsional, hemodinamik dan elektrokardiografik yang terjadi semuanya bersifat reversibel.(1, 2, 3, 5, 7) Penyebab infark miokardium adalah terlepasnya plak arteriosklerosis dari salah satu arteri koroner dan kemudian tersangkut di bagian hilir sehingga menyumbat aliran darah ke

seluruh miokardium yang diperdarahi oleh pembuluh tersebut. Infark miokardium juga dapat terjadi jika lesi trombotik yang melekat di arteri menjadi cukup besar untuk menyumbat total aliran ke bagian hilir, atau jika suatu ruang jantung mengalami hipertrofi berat sehingga kebutuhan oksigen tidak dapat terpenuhi.( 1,2,5 ) Penyakit Jantung Arteriosklerotik Pembuluh arteri mengikuti proses penuaan yang karakteristik seperti penebalan tunika intima, berkurangnya elastisitas, penumpukan kalsium terutama di arteri-arteri besar.(2) menyebabkan fibrosis yang merata menyebabkan aliran darah lambat laun berkurang. Iskemi yang relatif ringan tetapi berlangsung lama dapat pula menyebabkan kelainan katup jantung.(4) Manifestasi penyakit jantung koroner disebabkan ketidak seimbangan antara kebutuhan oksigen miokrdium dengan masuknya. Masuknya oksigen untuk miokardium sebetulnya tergantung dari oksigen dalam darah dan arteria koronaria. Oksigen dalam darah tergantung oksigen yang dapat diambil oleh darah, jadi dipengaruhi oleh Hb, paru-paru dan oksigen dalam udara pernapasan. Di kenal dua keadaan ketidakseimbangan masukan terhadap kebutuhan oksigen yaitu : - Hipoksemi (iskemi) yang ditimbulkan oleh kelainan vaskular. - Hipoksi (anoksi) yang disebabkan kekurangan oksigen dalam darah. Perbedaannya ialah pada iskemi terdapat kelainan vaskular sehingga perfusi ke jaringan berkurang dan eleminasi metabolit yang ditimbulkannya menurun juga, sehingga gejalanya akan lebih cepat muncul.(1) Ada beberapa hipotesis mengenai apa yang pertama kali menyebabkan kerusakan sel endotel dan mencetuskan rangkaian proses arteriosklerotik, yaitu : 1. Kolesterol Serum yang Tinggi Hipotesis pertama mengisyaratkan bahwa kadar kolesterol serum dan trigliserida yang tinggi dapat menyebabkan pembentukan arteriosklerosis. Pada pengidap arteriosklerosis, pengedapan lemak ditemukan di seluruh kedalaman tunika intima, meluas ke tunika media. ( 2,5,6,9 ) Kolesterol dan trigliserid di dalam darah terbungkus di dalam protein pengangkut lemak yang disebut lipoprotein. Lipoprotein berdensitas tinggi (high-density lipoprotein, HDL ) membawa lemak ke luar sel untuk diuraikan, dan diketahui bersifat protektif melawan arteriosklerosis. Namun, lipoprotein berdensitas rendah (low density lipoprotein,LDL) dan lipoprotein berdensitas sangat rendah (very-low-density lipoprotein,VLDL) membawa lemak ke sel tubuh, termasuk sel endotel arteri, oksidasi kolesterol dan trigliserid menyebabkan pembentukan radikal bebas yang diketahui merusak sel-sel endotel. 2. Tekanan Darah Tinggi Hipotesis ke dua mengenai terbentuknya arteriosklerosis di dasarkan pada kenyataan bahwa tekanan darah yang tinggi secara kronis menimbulkan gaya regang atau potong yang merobek lapisan endotel arteri dan arteriol. Gaya regang terutama timbul di tempat-tempat arteri bercabang atau mem-

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

belok: khas untuk arteri koroner, aorta, dan arteri-arteri serebrum. Dengan robeknya lapisan endotel, timbul kerusakan berulang sehingga terjadi siklus peradangan, penimbunan sel darah putih dan trombosit, serta pembentukan bekuan. Setiap trombus yang terbentuk dapat terlepas dari arteri sehingga menjadi embolus di bagian hilir. (5) 3. Infeksi Virus Hipotesis ke tiga mengisyaratkan bahwa sebagian sel endotel mungkin terinfeksi suatu virus. Infeksi mencetuskan siklus peradangan; leukosit dan trombosit datang ke daerah tersebut dan terbentuklah bekuan dan jaringan parut. Virus spesifik yang diduga berperan dalam teori ini adalah sitomegalovirus, anggota dari famili virus herpes. 4. Kadar Besi Darah yang Tinggi Hipotesis ke empat mengenai arterosklerosis arteri koroner adalah bahwa kadar besi serum yang tinggi dapat merusak arteri koroner atau memperparah kerusakan yang di sebabkan oleh hal lain. Teori ini diajukan oleh sebagian orang untuk menjelaskan perbedaan yang mencolok dalam insidens penyakit arteri koroner antara pria dan wanita pramenopause. Pria biasanya mempunyai kadar besi yang jauh lebih tinggi daripada wanita haid. Angina Pektoris Angina pektoris ialah suatu sindrom klinis berupa serangan nyeri dada yang khas, yaitu seperti ditekan atau terasa berat di dada yang sering menjalar ke lengan kiri. Nyeri dada tersebut biasanya timbul pada saat melakukan aktivitas dan segera hilang bila aktivitas dihentikan. Merupakan kompleks gejala tanpa kelainan morfologik permanen miokardium yang disebabkan oleh insufisiensi relatif yang sementara di pembuluh darah koroner. ( 1,4,5,7) Nyeri angina dapat menyebar ke lengan kiri, ke punggung, ke rahang atau ke daerah abdomen. Penyebab angina pektoris adalah suplai oksigen yang tidak adekuat ke sel-sel miokardium dibandingkan kebutuhan. Jika beban kerja suatu jaringan meningkat maka kebutuhan oksigen juga meningkat; pada jantung yang sehat, arteria koroner berdilatasi dan mengalirkan lebih banyak darah dan oksigen ke otot jantung; namun jika arteria koroner mengalami kekakuan atau menyempit akibat arterosklerosis dan tidak dapat berdilatasi sebagai respon peningkatan kebutuhan akan oksigen, maka terjadi iskemi miokardium; sel-sel miokardium mulai menggunakan glikolisis anaerob untuk memenuhi kebutuhan energi mereka. Cara ini tidak efisien dan menyebabkan terbentuknya asam laktat. Asam laktat menurunkan pH miokardium dan menimbulkan nyeri yang berkaitan dengan angina pektoris. Apabila kebutuhan energi sel-sel jantung berkurang, maka suplai oksigen menjadi adekuat dan sel-sel otot kembali ke proses fosforilasi oksidatif untuk membentuk energi. Proses ini tidak menghasilkan asam laktat. Dengan hilangnya penimbunan asam laktat, maka nyeri angina pektoris mereda. Dengan demikian, angina pektoris merupakan suatu keadaan yang berlangsung singkat.(4,5,9) Terdapat tiga jenis angina, yaitu : 1. Angina stabil Disebut juga angina klasik, terjadi jika arteri koroner yang

arterosklerotik tidak dapat berdilatasi untuk meningkatkan alirannya sewaktu kebutuhan oksigen meningkat. Peningkatan kerja jantung dapat menyertai aktivitas misalnya berolah raga atau naik tangga. 2. Angina prinzmetal Terjadi tanpa peningkatan jelas beban kerja jantung dan pada kenyataannya sering timbul pada waktu beristirahat atau tidur. Pada angina prinzmetal terjadi spasme arteri koroner yang menimbulkan iskemi jantung di bagian hilir. Kadangkadang tempat spasme berkaitan dengan arterosklerosis. 3. Angina tak stabil Adalah kombinasi angina stabil dengan angina prinzmetal ; dijumpai pada individu dengan perburukan penyakit arteri koroner. Angina ini biasanya menyertai peningkatan beban kerja jantung; hal ini tampaknya terjadi akibat arterosklerosis koroner, yang ditandai oleh trombus yang tumbuh dan mudah mengalami spasme. Infark Miokardium ( MCI ) Infark miokardium adalah nekrosis miokard akibat gangguan aliran darah ke otot jantung. Klinis sangat mencemaskan karena sering berupa serangan mendadak umumya pada pria 35-55 tahun, tanpa gejala pendahuluan.(1,4) Infark miokard biasanya disebabkan oleh trombus arteri koroner; prosesnya mula-mula berawal dari rupturnya plak yang kemudian diikuti oleh pembentukan trombus oleh trombosit. Lokasi dan luasnya infark miokard tergantung pada jenis arteri yang oklusi dan aliran darah kolateral.(1,2,6) GAMBARAN KLINIS DAN LABORATORIUM (1,5,8) Penyakit Jantung Arteriosklerotik Gejala klinis : - Sesak napas mulai dengan napas yang terasa pendek sewaktu melakukan aktivitas yang cukup berat, yang biasanya tak menimbulkan keluhan. Makin lama sesak makin bertambah, sekalipun melakukan aktivitas ringan. - Klaudikasio intermiten, suatu perasaan nyeri dan keram di ekstremitas bawah, terjadi selama atau setelah olah raga Peka terhadap rasa dingin - Perubahan warna kulit - Laboratorium(5) : - Kadar kolesterol di atas 180 mg/dl pada orang yang berusia 30 tahun atau kurang, atau di atas 200 mg/dl untuk mereka yang berusia lebih dari 30 tahun, dianggap beresiko khusus mengidap penyakit arteri koroner. - Radiografik. Angina Pektoris( 5,8,11 ) Gejala klinis : Diagnosis seringkali berdasarkan keluhan nyeri dada yang mempunyai ciri khas sebagai berikut : - Letak Sering pasien merasakan nyeri dada di daerah sternum atau di bawah sternum (substernal), atau dada sebelah kiri dan kadang-kadang menjalar ke lengan kiri, dapat menjalar ke punggung, rahang, leher, atau ke lengan kanan. Nyeri dada juga

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

dapat timbul di tempat lain seperti di daerah epigastrium, leher, rahang, gigi, bahu. - Kualitas Pada angina, nyeri dada biasanya seperti tertekan benda berat, atau seperti di peras atau terasa panas, kadang-kadang hanya mengeluh perasaan tidak enak di dada karena pasien tidak dapat menjelaskan dengan baik, lebih-lebih jika pendidikan pasien kurang. ( 4 ) - Hubungan dengan aktivitas Nyeri dada pada angina pektoris biasanya timbul pada saat melakukan aktivitas, misalnya sedang berjalan cepat, tergesagesa, atau sedang berjalan mendaki atau naik tangga. Pada kasus yang berat aktivitas ringan seperti mandi atau menggosok gigi, makan terlalu kenyang, emosi, sudah dapat menimbulkan nyeri dada. Nyeri dada tersebut segera hilang bila pasien menghentikan aktivitasnya. Serangan angina dapat timbul pada waktu istirahat atau pada waktu tidur malam. - Lamanya serangan Lamanya nyeri dada biasanya berlangsung 1-5 menit, kadang-kadang perasaan tidak enak di dada masih terasa setelah nyeri hilang. Bila nyeri dada berlangsung lebih dari 20 menit, mungkin pasien mendapat serangan infark miokard akut dan bukan angina pektoris biasa. Pada angina pektoris dapat timbul keluhan lain seperti sesak napas, perasaan lelah, kadang-kadang nyeri dada disertai keringat dingin. (4) Pemeriksaan penunjang - Elektrokardiogram (EKG) Gambaran EKG saat istirahat dan bukan pada saat serangan angina sering masih normal. Gambaran EKG dapat menunjukkan bahwa pasien pernah mendapat infark miokard di masa lampau. Kadang-kadang menunjukkan pembesaran ventrikel kiri pada pasien hipertensi dan angina; dapat pula menunjukkan perubahan segmen ST dan gelombang T yang tidak khas. Pada saat serangan angina, EKG akan menunjukkan depresi segmen ST dan gelombang T dapat menjadi negatif. - Foto rontgen dada Foto rontgen dada seringmenunjukkan bentuk jantung yang normal; pada pasien hipertensi dapat terlihat jantung membesar dan kadang-kadang tampak adanya kalsifikasi arkus aorta. - Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan laboratorium tidak begitu penting dalam diagnosis angina pektoris. Walaupun demikian untuk menyingkirkan diagnosis infark jantung akut sering dilakukan pemeriksaan enzim CPK, SGOT atau LDH. Enzim tersebut akan meningkat kadarnya pada infark jantung akut sedangkan pada angina kadarnya masih normal. Pemeriksaan lipid darah seperti kolesterol, HDL, LDL, trigliserida dan pemeriksaan gula darah perlu dilakukan untuk mencari faktor risiko seperti hiperlipidemia dan/atau diabetes melitus. Infark Miokardium (1,2,8,11) Gejala klinis : - Nyeri dada kiri seperti ditusuk-tusuk atau diiris-iris menjalar ke lengan kiri.

Nyeri dada serupa dengan angina tetapi lebih intensif dan lama serta tidak sepenuhnya hilang dengan istirahat ataupun pemberian nitrogliserin - Dada rasa tertekan seperti ditindih benda berat, leher rasa tercekik. - Rasa nyeri kadang di daerah epigastrikum dan bisa menjalar ke punggung. - Rasa nyeri hebat sekali sehingga penderita gelisah, takut, berkeringat dingin dan lemas. Pemeriksaan penunjang : - Pada EKG terdapat elevasi segmen ST diikuti dengan perubahan sampai inversi gelombang T; kemudian muncul peningkatan gelombang Q minimal di 2 sadapan. - Peningkatan kadar enzim atau isoenzim merupakan indikator spesifik infark miokard akut yaitu kreatinin fosfoskinase (CPK/CK), SGOT, LDH, alfa hidroksi butirat dehidrogenase, dan isoenzim CK-MB. - Yang paling awal meningkat adalah CPK tetapi paling cepat turun. PENATALAKSANAAN (1,2,9,11) Dibagi menjadi 2 jenis yaitu : 1. Umum 2. Mengatasi iskemia yang terdiri dari : a. Medikamentosa b. Revaskularisasi Penatalaksanaan Umum 1. Penjelasan mengenai penyakitnya; pasien biasanya tertekan, khawatir terutama untuk melakukan aktivitas. 2. Pasien harus menyesuaikan aktivitas fisik dan psikis dengan keadaan sekarang 3. Pengendalian faktor risiko 4. Pencegahansekunder. Karena umumnya sudah terjadi arteriosklerosis di pembuluh darah lain, yang akan berlangsung terus, obat pencegahan diberikan untuk menghambat proses yang ada. Yang sering dipakai adalah aspirin dengan dosis 375 mg, 160 mg, 80mg. 5. Penunjang yang dimaksud adalah untuk mengatasi iskemia akut, agar tak terjadi iskemia yang lebih berat sampai infark miokardium. Misalnya diberi O2. Mengatasi Iskemia Medikamentosa 1. Nitrat, dapat diberikan parenteral, sublingual, buccal, oral,transdermal dan ada yang di buat lepas lambat 2. Berbagai jenis penyekat beta untuk mengurangi kebutuhan oksigen. Ada yang bekerja cepat seperti pindolol dan propanolol. Ada yang bekerja lambat seperti sotalol dan nadolol. Ada beta 1 selektif seperti asebutolol, metoprolol dan atenolol. 3. Antagonis kalsium Revaskularisasi 1. Pemakaian trombolitik 2. Prosedur invasif non operatif, yaitu melebarkan aa coronaria dengan balon. 3. Operasi.

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

Angina Pektoris Penatalaksanaannya : - Pengobatan pada serangan akut, nitrogliserin sublingual 5 mg merupakan obat pilihan yang bekerja sekitar 1-2 menit dan dapat diulang dengan interval 3 5 menit. - Pencegahan serangan lanjutan : + Long acting nitrate, yaitu ISDN 3 dd 10-40 mg oral. + Beta blocker : propanolol, metoprolol, nadolol, atenolol, dan pindolol. + Calcium antagonist : verapamil, diltiazem, nifedipin. - Mengobati faktor presdiposisi dan faktor pencetus : stres, emosi, hipertensi, DM, hiperlipidemia, obesitas, kurang aktivitas dan menghentikan kebiasaan merokok. - Memberi penjelasan perlunya aktivitas sehari-hari untuk meningkatkan kemampuan jantung Infark Miokardium Penatalaksanaan : - Istirahat total - Diet makanan lunak serta rendah garam - Pasang infus dekstrosa 5 % emergency - Atasi nyeri : Morfin 2,5 5 mg iv atau petidin 25 50 mg im Lain - lain: nitrat , antagonis kalsium , dan beta bloker - Oksigen 2 4 liter/menit - Sedatif sedang seperti diazepam 3 dd 2 5 mg per oral - Antikoagulan : Heparin 20000 40000 U/24 jam atau drip iv atas indikasi Diteruskan dengan asetakumarol atau warfarin - Streptokinase / trombolisis. KESIMPULAN 1. Penyakit jantung koroner merupakan kelainan miokardium akibat insufisiensi aliran darah koroner oleh arteriosklerosis yang merupakan proses degeneratif meskipun di pengaruhi oleh banyak faktor. 2. Penyebab penyakit jantung koroner adalah terjadinya penyempitan aliran darah ke otot jantung yang terjadi akibat penebalan lapisan tunika intima dan rupturnya plak yang diikuti oleh pembentukan trombus.

3. Pada penyakit jantung arteriosklerosis di kenal 2 keadaan ketidakseimbangan Masukan kebutuhan oksigen yaitu terjadi hipoksemi karena kelainan vaskular dan hipoksia karena kekurangan oksigen dalam darah. 4. Ada 4 hipotesis penyebab kerusakan endotel yaitu kolesterol serum yang tinggi, tekanan darah tinggi, infeksi virus, kadar besi yang tinggi. 5. Sel endotel rusak akibat oksidasi kolesterol dan trigliserida yang mengedap di tunika intima sampai ke dalam tunika media. 6. Nyeri dada hampir sama tempat dan kualitasnya, yang membedakan adalah lama terjadinya. Pada angina pektoris biasanya 1 - 5 menit sedangkan pada infark mio-kardium lebih dari 20 menit. 7. Pada saat serangan EKG akan menunjukkan depresi segmen ST dan gelombang T dapat menjadi negatif. 8. Untuk membedakan apakah angina pektoris atau infark miokardium dilakukan pemeriksaan enzim CPK, SGOT, LDH yang meninggi pada infark miokardium.

KEPUSTAKAAN Hanafi, Muin Rahman, Harun. Ilmu Penyakit Dalam jilid I. Jakarta: FKUI 1997, hal 1082-108. 2. Kusmana, Hanafi. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: FKUI 1996, hal 15984. 3. Kalim H. Penyakit Kardiovaskular dari Pediatrik sampai Geriatrik. Jakarta: Balai Penerbit RS Jantung Harapan Kita. 2001. hal 226 35. 4. Kusumawidjaja. Patologi. Jakarta: FKUI 1996. hal 110 16. 5. Corwin E. Handbook of Pathophysiology, alih bahasa, Brahm U.Pendit ; Endah P ed,, Jakarta 2000. hal 352 71. 6. Lumanau J. Hiperhomosisteinemia., Dalam: Meditek. Jakarta : FK Ukrida 2004, hal 46 9 . 7. Harun, Alwi ,Rasyidi, Infark miokard akut, Dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI, 2001, hal 165 72. 8. Mardi Santoso. Standar Pelayanan Medis RSUD Koja. Jakarta: RSUD Koja 1992, hal. 252 56. 9. Suyatna FD. Obat antiangina. Dalam; Farmakologi dan Terapi. Jakarta: FKUI 1995, hal. 343 63. 10. Burnside JW. Physical Diagnosis, alih bahasa: Henny Lukmanto. Jakarta: EGC 1995, hal 213 56. 11. Kapita Selekta Kedokteran. FKUI 2001, hal. 437 41. 1.

A picture is a poem without words

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

PRAKTIS

Current Trends of Treatment in Hypertension


William Sanjaya, Abdul Hakim Alkatiri
Department of Cardiology and Vascular Medicine, Faculty of Medicine, University of Indonesia National Cardiovascular Center Harapan Kita Hospital, Jakarta, Indonesia Introduction Several epidemiological studies1-7 have demonstrated that systolic and diastolic blood pressure have a strong, continuous, graded and etiologically significant positive association with cardiovascular disease outcomes.1 These relations are consistent in both men and women, in young, middle-aged, and older subjects, among different racial and ethnic groups,1-5 and within and between countries.6-7 Although there is a continuum of cardiovascular risk across levels of blood pressure,1-7 the classification of adults according to blood pressure provides a framework for differentiating levels of risk associated with various blood pressure categories and for defining treatment thresholds and therapeutic goals. Systolic, and diastolic blood pressures as predictors Historically more emphasis has been placed on diastolic than systolic blood pressure as a predictor of cerebro-vascular and coronary heart disease. This was reflected in the design of the major randomized controlled trials of hypertension management, which almost universally, used diastolic blood pressure thresholds as inclusion criteria until the 1990s.8 Subjects with isolated systolic hypertension were excluded by definition from such trials. Nevertheless, large compilations of observation data before4 and since 1990s9 confirm that both systolic and diastolic blood pressure show a continuous graded independent relationship with risk of stroke and coronary events. In practice, given that we have randomized controlled trial data supporting the treatment of isolated systolic10,11 and diastolic hypertension8, we should conclude to use both systolic and diastolic blood pressure for guidance of treatment thresholds. Classification of hypertension In consequence, it would be appropriate to use a classification of blood pressure without the term hypertension. However, this could be confusing and might detract blood pressure and diminish the case for tight blood pressure control.12 Therefore, the 1999 WHO/ISH classification13 has been retained in Table 1, with the reservation that the real threshold for hypertension must be considered as flexible, being higher or lower based on the total cardiovascular risk profile of each individual. Accordingly, the definition of high normal blood pressure in Table 1 includes values that may be considered as high (i.e. hypertension) in high-risk subjects, or acceptable in individuals at lower risk. As a result, the subgroup borderline hypertension, present in the 1999 WHO/ ISH guidelines13 has not been retained.
Table 1. Definition and classification of blood pressure levels (mmHg) Category Optimal Normal High Normal Grade 1 (mild) Grade 2 (moderate) Grade 3 (severe) Isolated systolic hypertension Systolic < 120 120-129 130-139 140-159 160-179 180 140 Diastolic < 80 80-84 85-89 90-99 100-109 110 < 90

When a patients systolic and diastolic blood pressure fall into different categories, the higher category should apply. Isolated systolic hypertension can also be graded (grades 1,2,3) according to systolic blood pressure values in the range indicated, provided diastolic value are < 90. Total cardiovascular risk Historically, therapeutic intervention thresholds for the treatment of cardiovascular risk factors such as blood pressure, blood cholesterol and blood sugar have been based on variably arbitrary cut-points of the individual risk factors. Because risk factors cluster in individuals14-5 and there is a graded association between each factor and overall cardiovascular risk16, the contemporary approach to treatment is to determine the threshold, at least for cholesterol and blood pressure reduction, based on the calculation of estimated coronary17-8, or cardiovascular (coronary plus stroke)19 risk over a defined, relatively short-term (e.g. 5- or 10-year) period. On this basis, a classification using stratification for total cardiovascular risk is suggested in Table 2. It is derived from the scheme included in the 1999 WHO/ISH guidelines13, but extended to indicate the added risk in some group of subjects with normal or high normal blood pressure. The terms low, moderate, high, and very high added risk are calibrated to indicate an approximate absolute 10-year risk of cardiovascular disease of < 15%, 15-20%, 20-30%, and > 30%, respectively, according to Framingham criteria.19

10 Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

Table 2. Stratification of risk to quantify prognosis Other risk factors and disease history No other RF 1-2 RF 3RF, TOD, DM ACC Normal SBP 120-129 DBP 80-84 Average Low Moderate High Blood pressure (mmHg) High Normal Grade 1 Grade 2 SBP 130-139 SBP 140-159 SBP 160-179 DBP 85-89 DBP 90-99 DBP 100-109 Average Low Moderate Low Moderate Moderate High High High Very high Very high Very high Grade 3 SBP 180 DBP 110 High Very high Very high Very high

RF, risk factors; ACC, associated clinical conditions; TOD, target organ damage; SBP, systolic blood pressure; DBP, diastolic blood pressure

When to initiate anti-hypertensive treatment? Guidelines for initiating anti-hypertensive treatment are based on two criteria: (1) the total level of cardiovascular risk, as indicated in Table 2; and (2) the level of systolic and diastolic blood pressure (Table 1). The total level of cardiovascular risk is the main indication for intervention, but lower or higher blood pressure values are also less or more stringent indicators for blood pressure lowering intervention. With respect of the European Societies17-8 or the WHO/ISH13, the recommendations summarized are no longer limited to patients with grade 1 and 2 hypertension, but also extend to subjects with high normal blood pressure. They also describe in greater detail how to deal with patients with grade 3 hypertension. Consideration of subjects with systolic blood pressure 130139 mmHg and diastolic blood pressure 85-89 mmHg for possible initiation of anti-hypertensive treatment is based on the following recent evidence: 1. The PROGRESS study20 has shown that patients with previous stroke or transient ischemic attack and blood pressure < 140/90 mmHg, if left untreated (placebo), have an incidence of cardiovascular events of about 17% in 4 years (very high risk according to the guidelines) and their risk is decreased by 24% by blood pressure lowering. 2. Similar observations have been made in the HOPE study21 for normotensive with high coronary risk. 3. The ABCD-Normotensive trial22 has shown that type 2diabetic patients with blood pressure < 140/90 mmHg may also benefit by more aggressive blood pressure lowering, at least for stroke prevention and progression of proteinuria. 4. The Framingham Heart Study23 has shown that male subjects with high normal blood pressure have a 10-year cardiovascular disease incidence of 10%, i.e. in the range that these guidelines classify as low added risk. Current therapeutic strategies In most, if not at all, hypertensive patients, therapy should be started gradually, and target blood pressure values achieved progressively through several weeks. To reach such target blood pressures, it is likely that a large proportion of patients requiring combination therapy with more than one agent. The proportion of patients requiring combination therapy will depend on baseline blood pressure values. In grade I hypertension, mono-therapy is likely to be successful more frequently. The baseline blood pressure and the presence or

absence of complications appears to consider initiating therapy either with a low dose of a single agent or with a low dose combination of two agents.24 An obvious disadvantage of initiating with two drugs, even if at a low dose, is that of potentially exposing the patient to an unnecessary agent. The following two-drug combinations have been found to be effective and well tolerated Diuretic and -blocker; Diuretic and ACE inhibitor or angiotensin receptor antagonist; Calcium antagonist (dihidropyridine) and -blocker; Calcium antagonist and ACE-inhibitor or angiotensin receptor antagonist; Calcium antagonist and diuretic; -blocker and -blocker. Therefore, it can be concluded that the major classes of anti-hypertensive agents: diuretics, -blockers, calcium antagonists, ACE inhibitors and angiotensin receptor antagonists, are suitable for the initiation and maintenance of anti-hypertensive therapy.24 Conclusion The primary goal of treatment of the hypertensive patient is to achieve the maximum reduction in the long-term total risk of cardiovascular morbidity and mortality. This requires treatment of all reversible risk factors identified, including smoking, dyslipidemia or diabetes, and the appropriate management of associated clinical conditions, as well as treatment of the raised blood pressure per se. Recommendations about pharmacological therapy are preceded by large randomized trials based on fatal and non-fatal events of the benefits obtained by the various classes of agents. This is the strongest type of evidence available.

REFERENCES 1. 2. 3. Stamler J, Stamler R, Neaton JD. Blood pressure, systolic and diastolic, and cardiovascular risks: US population data. Arch Intern Med 1993; 153: 598-615. Kennel WB. Blood pressure as a cardiovascular risk factor: prevention and treatment. JAMA 1996; 275: 1571-6. Sagie A, Larson MG, Levy D. The natural history of borderline isolated systolic hypertension. N Engl J Med 1993; 329: 1912-7.

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

11

4.

5.

6. 7.

8.

9. 10.

11. 12. 13. 14.

MacMahon S, Peto S, Cutler J, et al. Blood pressure, stroke, and coronary heart disease. 1. Prolonged differences in blood pressure: prospective observational studies corrected for the regression dilution bias. Lancet 1990; 335: 765-74. Neaton JD, Wentworth D. Serum cholesterol, blood pressure, cigarette smoking, and death from coronary artery disease: overall findings and differences by age for 316,099 white men. Arch Intern Med 1992; 152: 56-64. Eastern Stroke and Coronary Heart Disease Collaborative Research Group: Blood pressure, cholesterol and stroke in eastern Asia. Lancet 1998; 352: 1801-7. van den Hoogen PCW, Feskens EJM, Nagelkerke NJD, Menotte A, Nissinen A, Kromhout D. The relation between blood pressure and mortality due to coronary heart disease among men in different parts of the world. N Engl J Med 2000; 342: 1-8. Collins R, Peto R, MacMahon S, et al. Blood pressure, stroke, and coronary heart disease. Part 2, short-term reductions in blood pressure: overview of randomized drug trials in the epidemiological context. Lancet 1990; 335: 827-39. Prospective Studies Collaboration. Age specific relevance of usual blood pressure to vascular mortality: a meta-analysis of individual data for one million adults in 61 prospective studies. Lancet 2002; 360: 1903-13. SHEP Collaborative Research Group. Prevention of stroke by antihypertensive drug treatment in older persons with isolated systolic hypertension: final results of the Systolic Hypertension in the Elderly Program (SHEP). JAMA 1991; 265: 3255-64. Staessen JA, Fagard R, Thijs L, et al. Randomized double-blind comparison of placebo and active treatment for alder patients with isolated systolic hypertension. Lancet 1997; 350: 757-64. Zanchetti A, Mancia G. Editors Corner. New year, new challenges. J Hypertens 2003; 21: 1-2. Guidelines Sub-committee. 1999 World Health OrganizationInternational Society of Hypertension guidelines for the management of hypertension. J Hypertens 1999; 17: 151-83. Meigs JB, DAgostino RB, Wilson PW Cuppies LA, Nathan DM, Singer DE. Risk variable clustering in the insulin resistance syndrome,

15. 16.

17.

18.

19. 20. 21.

22. 23. 24.

The Framingham Offspring Study. Diabetes 1997; 46: 1595-600. Zanchetti A. The hypertensive patient with multiple risk factors: is treatment really so difficult? Am J Hypertens 1997; 10: 223-9S. Stamler J, Wentworth D, Neaton JD. Is relationship between serum cholesterol and risk of premature death from coronary heart disease continuous and graded? Findings in 356,222 primary screenees of the Multiple Risk Factor Intervention Trial (MRFIT). JAMA 1986; 256: 2823-8. Pyorala K, De Backer G, Graham I, Poole-Wilson P, Wood D. Prevention of coronary heart disease in clinical practice. Recommendations of the Task Force of the European Society of Cardiology, European Atherosclerosis Society and European Society of Hypertension. Eur Heart J 1994; 15: 1300-31. Wood D, De Backer G, Faergeman O, Graham I, Mancia G, Pyorala K. Prevention of coronary heart disease in clinical practice. Recommendations of the second joint Task Force of European and other societies on coronary prevention. Eur Heart J 1998; 19: 1434-503. Anderson KM, Wilson PW, Odell PM, Kannel WB. An updated coronary risk profile. A statement for health professionals. Circulation 1991; 83: 356-62. PROGRESS Collaborative Study Group. Randomized trial of Perindopril based blood pressure lowering regiment among 6,108 individuals with previous stroke or transient ischemic attack. Lancet 2001: 358: 1033-41. The Heart Outcomes Prevention Evaluation Study Investigators. Effects of an angiotensin converting enzyme inhibitor, ramipril, on cardiovascular events in high-risk patients. N Engl J Med 2000; 342: 14553. Schrier RW, Estacio RO, Esler A, Mehler P. Effects of aggressive blood pressure control in normo-tensive type 2 diabetic patients on albuminuria, retinopathy, and stroke. Kidney Int 2002; 61: 1086-97. Vasan RS, Larson MG, Leip EP, Evans JC, ODonnell CJ, Kannel WB, Levy D. Impact of high-normal blood pressure on the risk of cardiovascular disease. N Engl J Med 2001; 345: 1291-7. Guidelines Committee. 2003 European Society of HypertensionEuropean Society of Cardiology guidelines for the management of arterial hypertension. Journal of Hypertension 2003; 21: 1011-53.

12 Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Peranan Penghambat Reseptor Angiotensin II dalam Hipertrofi Ventrikel Kiri


Sunarya Soerianata, William Sanjaya
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita

PENDAHULUAN Hipertensi merupakan suatu bentuk percepatan utama perubahan patologis jantung dan pembuluh darah. Selain sebagai penyebab terpenting kerusakan berbagai organ sasaran, hipertensi dapat mencetuskan aterosklerosis, disfungsi endotel, hipertrofi ventrikel kiri yang meningkatkan risiko kejadian stroke, kardiovaskuler, dan gagal ginjal.1,2 Prevalensi hipertrofi ventrikel kiri (HVK) HVK sangat sering terjadi pada pasien-pasien hipertensi. Pada tahun 1992, kelompok studi TOMHS melaporkan kejadian HVK yang dideteksi dengan ekokardiografi berkisar dari 24% sampai 45% pada pasien-pasien hipertensi ringan.3 Studistudi lain melaporkan kejadian yang sama, berkisar 20% pada pasien hipertensi ringan sampai sekitar 50% pada pasien hipertensi berat.4,5 Yang menarik perhatian adalah kejadian HVK (yang dideteksi dengan elektrokardiogram) secara bermakna lebih tinggi pada kelompok pasien dengan peningkatan tekanan darah pada pagi hari.6-7 Penyebab dan faktor-faktor risiko Tekanan darah yang tinggi berhubungan kuat dengan kejadian HVK, meskipun HVK itu sendiri sudah meramalkan bahwa individu dengan tekanan darah yang normal akan berkembang menjadi hipertensi.8 HVK itu sendiri lebih dipertimbangkan sebagai salah satu manifestasi awal kerusakan organ sasaran akibat hipertensi. Tekanan darah diastolik (TDD) berhubungan dengan peningkatan pembebanan tekanan yang berkaitan dengan penebalan dinding ventrikel, sedangkan tekanan darah sistolik (TDS) lebih berhubungan erat dengan massa ventrikel kiri akibat peningkatan tekanan dan volume.9 Banyak penyebab HVK yang serupa dengan penyebab semua penyakit kardiovaskuler. Penentu-penentu demografik seperti usia, suku bangsa, dan riwayat keluarga sudah dikenal berperan di dalam perkembangan HVK.10-13 Sumbangsih genetik terhadap perkembangan HVK sudah merupakan bahan penelitian tahun-tahun terakhir ini, dan hasilnya menunjukkan bahwa saudara kembar dan genetik Afrika-Amerika mempunyai kecenderungan peningkatan massa ventrikel kiri.14-15

Dalam studi Framingham, HVK meningkatkan risiko penyakit jantung koroner sebesar 3 sampai 5 kali lipat, stroke 6 kali lipat, dan gagal jantung 15 kali lipat pada populasi umum.18 Studi terbaru EUROSTROKE menemukan hal serupa yaitu bahwa HVK meningkatkan risiko stroke 2 kali lipat, dan kejadian stroke fatal 4 kali lipat.17 Patofisiologi HVK Hipertensi arterial merupakan penyebab utama HVK. Hipertensi meningkatkan stres hemodinamik pada dinding ventrikel, yang mencetuskan peningkatan segera aktifitas sistem renin angiotensin aldosteron (SRAA). Hal ini selanjutnya akan meningkatkan penampilan faktor-faktor pertumbuhan yang merangsang pertumbuhan /hipertrofi.18 SRAA menginduksi HVK baik secara tidak langsung melalui peningkatan tekanan darah, dan secara langsung sebagai pengaruh tropik langsung pada miokardium. SRAA adalah salah satu dari sejumlah faktor-faktor tropik yang meliputi sistem saraf umum yang berperan pada HVK. Akan tetapi SRAA kelihatannya memainkan peran tersendiri di dalam kejadian patologis HVK dengan memainkan perubahan-perubahan biokimiawi dan patologi yang memulai kejadian HVK.19 Kadar aldosteron dan angiotensin-II yang beredar berhubungan secara langsung dengan massa ventrikel kiri.19 Angiotensin-II mempunyai kemampuan kardiotropik yang diperantarai sebagian besar oleh reseptor AT-1.2 Pengikatan angiotensin II dengan reseptor ini menginduksi pertumbuhan dan proliferasi miosit jantung21-1 , otot polos vaskuler23 dan selsel endotel koroner24, dan juga menghasilkan sekresi kolagen melalui fibroblas jantung.25 Angiotensin II juga mempercepat disfungsi endotel, dan mengakibatkan vasokonstriksi dan destabilisasi bersamaan plak aterosklerotik.26 Diagnosis HVK Elektrokardiografi (EKG) mendeteksi HVK dengan mengukur perubahan elektrikal dan kecepatan repolarisasi di dalam jantung yang disebabkan oleh peningkatan masa jantung. Sudah terdapat sejumlah kriteria untuk menentukan HVK dengan EKG, tetapi yang paling umum digunakan adalah

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

13

kriteria durasi voltase Cornell (HVK didiagnosis bila lama voltase melebihi 2400 mm/detik) dan kriteria voltase SolokowLyon (HVK didiagnosis jika penjumlahan amplitido SV1 dan RV5/6 lebih besar dari 35 mm) dengan spesifisitas yang tinggi dan sensitivitas yang dapat diterima.27 Ekokardiografi merupakan cara non-invasif yang aman untuk menilai anatomi dan fungsi jantung. Prosedur ini biasanya tersedia luas di rumah sakit atau klinik jantung dan mempunyai kemampuan pengukuran HVK yang akurat dengan sensitivitas dan spesifisitas tinggi (80%). Ekokardiografi mode M dan 2-dimensi selalu dipergunakan bersama-sama. Ekokardiogram mode-M hanya menilai bagian kecil ventrikel kiri. Hasilnya dapat memberikan informasi tentang berbagai bentuk yang berbeda dari geometri verntrikel kiri dan besarnya fungsi sistolik dan diastolik.28 Pencitraan resonansi magnetik (Magnetic Resonance Imaging = MRI) telah dikenal sebagai baku emas deteksi LVH, selain pencitraan bermutu tinggi, memungkinkan pengukuran ketebalan dinding ventrikel kiri dan dimensi interna yang lain.27 Dalam praktek klinis, MRI memungkinkan pengukuran pengaruh pengobatan pada regresi ventrikel kiri yang lebih akurat, karena mampu mengenal perubahan ketebalan ventrikel kiri sampai 1 mm.29 Pengobatan antihipertensi pada HVK Ada lebih dari 1.000 uji klinis yang membandingkan pengaruh berbagai kelas obat-obat antihipertensi terhadap massa ventrikel kiri. Terdapat persetujuan umum di antara berbagai uji klinis bahwa penurunan tekanan darah yang substansial disertai oleh pengurangan massa ventrikel kiri. Kecuali vasodilator perifer, kebanyakan kelas obat-obat antihipertensi telah ditemukan menurunkan massa ventrikel kiri dengan berbagai rentang.30 Sebuah metaanalisis atas uji klinis ekokardiografi acak dan terkontrol selama 6 bulan atau lebih menemukan bahwa pengurangan massa ventrikel kiri dengan penghambat reseptor angiotensin lebih besar secara bermakna daripada dengan penghambat beta.30 Penghambat reseptor angiotensin dan EKA menurunkan tekanan darah dengan menghambat kinerja angiotensin II. Akan tetapi penghambat EKA tidak menghambat SRAA secara sempurna karena stimulasi kompensasi alternatif yaitu pada jalur lokal EKA untuk pembentukan angiotensin II.31 Telmisartan Effectiveness of Left Ventricular Mass Reduction (TELMAR) TELMAR akan menilai pengaruh penghambat reseptor angiotensin, telmisartan pada HVK dibandingkan dengan penghambat beta, metoprolol pada dosis antihipertensi yang serupa. TELMAR adalah uji klinis yang acak, tersamar ganda, dan kelompok paralel dengan sejumlah 140 pasien dengan usia 18-80 tahun dengan hipertensi esensial yang tidak terkontrol (TDS rerata pada waktu siang 140 mmHg, atau TDD 90 mmHg dan atau TDS malam 120 mmHg atau TDD n 70 mmHg yang diukur dengan pemantauan tekanan darah ambulatori, dan indeks masa ventrikel kiri > 0,8 g/cm pada wanita, > 1,1 g/cm pada laki-laki (secara MRI). Dosis telmisartan dimulai 40 mg selama 2 minggu pertama, 80 mg selama 5,5 bulan dan

40 mg untuk 2 minggu terakhir. Metoprolol akan diberikan pada dosis 47,5 mg selama 2 minggu, 95 mg selama 5,5 bulan, dan 47,5 mg selama 2 minggu. Pemberian obat-obat tambahan yang lain dengan hidroklorotiazid dan amlodipine diijinkan. Titik akhir primernya adalah persentase perubahan indeks massa ventrikel kiri dibandingkan basal dengan menggunakan MRI. Variabel sekunder meliputi perubahan tekanan darah dan respon laju nadi yang dinilai dengan pemantauan tekanan darah ambulatori dan manual, dan stres dinding akhir sistolik, fungsi sistolik dan diastolik ventrikel kiri yang dinilai dengan MRI. Studi terpisah dilakukan sebelum studi utama untuk menentukan rentang normal data MRI pada berbagai usia populasi.32
KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. Chung O, Unger T. Angiotensin II receptor blockade and end-organ protection. Am J Hypertens 1999; 12: 150S-156S. Guidelines Subcommittee. 1999 WHO - ISH. Guidelines for the management of hypertension. J Hypertens 1999; 17: 151-83. Liebson PR, Grandits GA, Prineas R, et al. Echocardiography correlates of left ventricular structure among 844 mildly hypertensive men and women in the treatment of mild hypertension study (TOMHS). Circulation 1993; 87: 476-86. Hammond IW, Devereux RB, Alderman MH et al. The prevalence and correlates of echocardiographic left ventricular hypertrophy among employed patients with uncomplicated hypertension. J Am Coll Cardiol 1986; 7: 639-50. Savage DD, Drayer JI, Henry WL et al. Echocardiographic assessment of cardiac anatomy and function in hypertensive subjects. Circulation 1979; 59: 623-32. Matsuo K, Kusogi T, Kamiya H et al. Morning rise in blood pressure is a risk factor for cardiovascular complications in treated hypertensive patients. J Hypertens 2002; 20: S314. Ikeda T, Yamamoto K, Okada J et al. Morning rise in blood pressure associates with hypertensive cardiovascular complications. J Hypertens 2002; 20: S150. Post W, Larson M, Levy D. Impact of left ventricular structure on the incidence of hypertension. The Framingham Heart Study. Circulation 1994; 90: 179-85. Kahan T. The importance of left ventricular hypertrophy in human hypertension. J Hypertens 1998; 16 (Suppl.7): S23-9. Levy D, Anderson KM, Savage DD et al. Echocardiographically detected left ventricular hypertrophy; prevalence and risk factors. Ann Intern Med 1988; 108: 7-13. Xie M-H, Liu F-Y, Wong PC et al. Proximal nephron and renal effects of DuP 753, a nonpeptide angiotensin II receptor antagonist. Kidney Int 1990; 38: 473-9. Gardin JM, Wagenknecht LE, Anton-Culver H et al. Relationship of cardiovascular risk factors to echocardiographic left ventricular mass in healthy young black and white adult men and women. The CARDIA study. Coronary Artery Risk Development in Young Adults. Circulation 1995; 92: 380-7. Kannel W. Prognostic implications of electrocardiographically determined left ventricular mass in the Framingham Study. Am J Cardiol 1996; 60: 86-93. Harshfield GA, Hwang C, Grim CE. Circadian variation of blood pressure in blacks: influence of age, gender, and activity. J Hum Hypertens 1990; 4: 43-7. Arnett D, Devereux R, Hong Y et al. Strong heritability of left ventricular mass in hypertensive African Americans and relative wall thickness in hypertensive whites: the HyperGEN Echocardiography Study. Circulation 1998; 98: 1-658. Kannel WB, Cobb J. Left ventricular hypertrophy and mortality - results from the Framingham study. Circulation 1994; 90: 179-85. Bots ML, Nikitin Y, Salonen JT et al. Left Ventricular Hypertrophy and risk of fatal and non-fatal stroke. EUROSTROKE: a collaborative study among research centers in Europe. J Epidemiol Community Health 2002; 56: 18-13.

4.

5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.

13. 14. 15.

16. 17.

14 Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

18. Tin LL, Beevers DG, Lip GY. Hypertension, left ventricular hypertrophy, and sudden death. Curr Cardiol Rep 2002; 4: 449-57. 19. Levy D, Labib S, Anderson K. Determinants of the sensitivity and specificity of electrocardiographic criteria for left ventricular hypertrophy. Circulation 1990; 81: 815-820. 20. Unger T, Chung O, Csikos T et al. Angiotensin receptors. J Hypertens 1996 ; 14 (Suppl 5) : S95-103. 21. Schrunkert H, Sadoshima J, Cornelius T et al. Angiotensin II-induced growth responses in isolated adult rat heart. Evidence for loadindependent induction of cardiac protein synthesis by angiotensin II. Circ Res 1995; 76: 489-97. 22. Paquet JL, Baudouin-Legros M, Brunelle G et al. Angiotensin II-induced proliferation of aortic myocytes in spontaneously hypertensive rats. J Hypertens 1990; 8: 565-72. 23. Gopal AS, Schnellbaecher MJ, Shen Z et al. Freehand three-dimensional echocardiography for determination of left ventricular volume and mass in patients with abnormal ventricles: comparison with magnetic resonance imaging. J Am Soc Echocardiogr 1997; 10: 853-61. 24. Stoll M, Steckelings UM, Paul M et al. The angiotensin AT2-receptor mediates inhibition of cell proliferation in coronary endothelial cells. J Clin Invest 1995; 95; 651-7. 25. Lijnen PJ, Petrov VV, Fagard RH. Angiotensin II-induced stimulation of collagen secretion and production in cardiac fibroblast is mediated via angiotensin II subtype 1 receptors. JRAAS 2001; 2: 117-22.

26. Berry C, Brosnan MJ, Fennel J et al. Oxidative stress and vascular damage in hypertension. Curr Opin Nephrol Hypertens 2001; 10: 247-55. 27. Liu J, Devereux R. Clinical assessment of cardiac hypertrophy. In: Left Ventricular Hypertrophy. Sheridan D, ed. Churchill Livingstone: London, 1998. 28. Devereux RB, Roman M. Evaluation of cardiac and vascular structure and function by echocardiography and other noninvasive techniques. In: Hypertension: pathophysiology, diagnosis and management, Laragh JH, Brenner B, eds. Raven Press Ltd; New York, 1995: 1969-85. 29. Otterstad JE, Smiseth O, Kjeldsen SE. Hypertensive left ventricular hypertrophy: pathophysiology, assessment and treatment. Blood Press 1996; 5: 5-15. 30. Schmieder RE, Martus P, Klingbeil A. Reversal of left ventricular hypertrophy in essential hypertension. A meta-analysis of randomized double blind studies. JAMA 1996; 275: 1507-13. 31. Mervaala E, Muller DN, Schmidt F et al. Blood-pressure independent effects in rats with human renin and angiotensinogen genes. Hypertension 2000; 35: 587-94. 32. Friedrich MG, Dahlof B, Sechtem U et al. Telmisartan Effectiveness on Left Ventricular Mass Reduction (TELMAR) as assessed by magnetic resonance imaging in patients with mild to moderate hypertension - a prospective, randomized, double-blind comparison of telmisartan with metoprolol over a period of six months - rationale and study design. JRAAS 2003; 4: 234-43.

KALENDER KEGIATAN ILMIAH PERIODE APRIL JUNI 2005


Bulan Tanggal 05 11 Kegiatan Kongres Nasional II Asosiasi Psikogeriatri Indonesia (KONAS II API) 6th Jakarta Antimicrobial Update 2005 dan 1st International Parasitic Update 2005 Kongres PANDI 19 23 Temu Ilmiah Reumatologi 2005 06 08 The 8th Course & Workshop Basic Sciences in Oncology The 5th Jakarta Nephrology and Hypertension Course & Symposium on Hypertension Indonesian Acupuncture Expo Tempat dan Sekretariat Hotel Borobudur, Jakarta Dept. Psikiatri FKUI-RSCM Jl. Salemba Raya no. 6, Jakarta Pusat Tlp. : 021-70748554; Fax. : 021-39899128; e-mail: api_pdskji@yahoo.com Hotel Sahid Jaya, Jakarta Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi, Departemen IP Dalam FKUI/RSCM Telp: 021-3908157, 392 5491; Faks: 021-391 9106 E-mail: tropik@indosat.net.id; jade_update@yahoo.com Hotel Borobudur, Jakarta Bagian Biologi Kedokteran, FKUI/RSCM, Jl. Diponegoro no. 71, Jakarta Tlp.: 021-53650013/15; Fax.: 021-56650015 E-mail: kongres_pandipersandi@hotmail.com Hotel Sahid Jaya, Jakarta Divisi Reumatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jl. Diponegoro no. 71, Jakarta Pusat Tlp.: +62-21-31930166; Fax. : +62-21-31936736 E-mail : reumatik@indosat.net.id RSK Dharmais, Perhimpunan Onkologi Indonesia, Lt.5 RS Kanker Dharmais Jl.S.Parman Kav 84-86, Slipi Jakarta Barat Telp/Fax : 021-569 44168; e-mail : isosecr@link.net.id Hotel Borobudur, Jakarta PERNEFRI, FKUI / RSCM, Jl. Diponegoro no. 71, Jakarta Tlp.: 3149208; Fax.: 3155551; e-mail: pernefri@cbn.net.id, jnhc@cbn.net.id Jakarta Convention Center Pacto Convex Ltd, Jakarta Hilton International Jl.Gatot Subroto, Jakarta; Tlp.: 021-570 5800 ext 430 Fax.: 021- 570 5798 / 572 4608; email : iit@cbn.net.id Hotel Horison, Bandung Tlp.: 62-22-70-776-871; Fax.: 62-22-70-776-871/ 62-21-55-960-179 E-mail: pitperapi@pharma-pro.com Hotel Borobudur, Jakarta Departemen Farmakologi, FKUI/RSUPN CM, Jl. Salemba Raya 6, Jakarta Tlp.: 021-4532202; Fax.: 021-4535833; e-mail : globalmedica@cbn.net.id Hotel Planet Holiday, Padang Bag. Mata RS. Dr. M. Djamil Padang Tlp. : 0751-24245; Fax. : 0751-24245; e-mail : perdami@pdg.vision.net.id Hotel Patra Jasa Semarang GEO convex; Jl. Kebon Sirih Timur 4, Jakarta Pusat 10340 Tlp.: 62-21-314 9319; 315 3392; fax.: 62-21-230 5835; 314 9318 E-mail: perdici@geoconvex.co.id

April

16 17

19 21 Mei 20 22

20 22 9th Annual Meeting of Indonesian Society of Plastic Surgery (PIT 9 PERAPI) Antimicrobials 2005 : Tailored Therapy for Severe Infection The 31th Annual Meeting Indonesian Ophthalmologist Association 2nd National Congress of PERDICI 23 24

23 25 08 11 09 11 Juni

Informasi terkini, detail dan lengkap (jadwal acara/pembicara) bisa diakses di http://www.kalbefarma.com/calendar

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

15

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Angiotensin-II dan Remodelling Vaskuler


Idris Idham, William Sanjaya
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia R.S. Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, Jakarta

PENDAHULUAN Pengobatan hipertensi sudah diketahui tidak menurunkan risiko infark miokard akut secara bermakna dan tidak meregresi hipertrofi ventrikel kiri meskipun kelihatannya cukup untuk mengendalikan tekanan darah pada saat pemeriksaan rawat jalan. Keberhasilan penghambat Enzim Konversi Angiotensin (EKA) untuk pengobatan penyakit kardiovaskuler menandakan perlunya menilai kembali peranan sistem renin angiotensin (SRA) dalam patofisiologi kelainan kardiovaskuler. Saat ini sudah diterima dengan baik bahwa SRA bukan hanya sistem sirkulasi hormonal, tetapi juga merupakan sistem jaringan yang tersebar di berbagai organ kardiovaskuler.1-4 Sistem Renin Angiotensin Sudah hampir 100 tahun yang lalu, Tigersted dan Bergman5 menemukan renin, satu dari enzim utama SRA, yang merupakan suatu bahan endokrin dari ekstraksi ginjal yang dapat meningkatkan tekanan darah jika disuntikkan ke kelinci.

cairan atau aktivasi simpatetik mengakibatkan pelepasan protease renin oleh ginjal dan pemecahan dekapeptida angiotensin (Ang) 1 dari prekursor protein angiotensinogen yang berberat molekul tinggi. Efektor utama oktapeptida, Ang II, kemudian dibentuk sebagian besar oleh aksi EKA dan enzimenzim yang lain seperti kimase kardiovaskuler. (Gb. 1) Enzim Konversi Angiotensin Saat ini sudah banyak diketahui bahwa EKA dapat diclone dari sebuah gen manusia pada kromosom 17.11 EKA yang terdiri dari 4024 basa dan 1306 asam amino merupakan sebuah glikoprotein yang besar dan metalopeptidase seng yang sebagian besar dalam bentuk ektoenzim. Secara struktural, bagian ekstraseluler yang besar merupakan sebuah homodimer dari dua lobus identik terdekat, yang satu mengandung bagian katalitik, dan yang lain mengikat satu atom seng, dengan pertautan transmembran oleh sebuah cabang pendek terminal karboksil intraseluler. (Gb. 2) Pemberian penghambat EKA menunjukkan induksi EKA dan peningkatan kadar plasma EKA.12-14. Endotelin juga dilaporkan dapat merangsang produksi EKA.15 Sudah diketahui pula bahwa kadar plasma EKA juga meningkat pada keadaankeadaan inflamasi seperti pada penyakit sarkoidosis.16 Angiotensin II Dahulu dipercaya bahwa pengaruh perifer dan sentral SRA diperantarai oleh reseptor tunggal Ang. Saat ini dengan perkembangan reseptor ligan Ang II yang sangat spesifik dan selektif, dikenal beberapa subtipe reseptor Ang pada mamalia yang meliputi AT1 dan AT2. Reseptor AT1 memerantarai pengaruh SRA yang paling klasik yang berkaitan dengan pengendalian tekanan darah dan hipertensi. Subtipe kedua reseptor Ang II, AT 2, dapat dihambat secara khusus oleh komposisi PD123177, dimana CGP42112 dapat melepaskan bahan-bahan agonis dan antagonis.17-19 Ang II itu sendiri terlibat dalam pertumbuhan sel melalui pengaruhnya pada jalur kinase, induksi faktor-faktor transkripsi, proliferasi, dan diferensiasi sel.20

Gambar 1. Diagram skematik sistem renin angiotensin

Pada dekade selanjutnya ditemukan enzim-enzim lain dan peptida-peptida efektor dari SRA.6-8 Kehilangan garam dan

16 Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

Gambar 2. Diagram skematik yang menunjukkan struktur EKA.

Manfaat reseptor-reseptor AT2 masih dalam penyidikan dan berpengaruh pada antiproliferasi21-23, diferensiasi24,25, program kematian sel26, dan regenerasi neuronal27, yang menambah manfaat SRA baru dari yang sudah ditetapkan. (Gb. 3)

Perkembangan konsep remodeling vaskuler Spektrum signal yang mengaktifkan sel-sel endotel bervariasi dari kekuatan mekanis (aliran dan tekanan) sampai pada bahan-bahan vasoaktif dan mediator-mediator inflamasi. (Gb. 4)28 Spektrum perubahan struktural pembuluh darah diilustrasikan pada gambar 5. Sebagai tanggapan terhadap peningkatan tekanan arterial, struktur pembuluh berubah sedemikian sehingga perbandingan lebar lumen meningkat baik karena peningkatan massa otot (Gb. 5, pembuluh A), atau pengaturan unsur-unsur seluler dan bukan seluler (Gb. 5, pembuluh B). Perubahan-perubahan ini meningkatkan reaktifitas vaskuler, yang mengakibatkan peningkatan karakter tahanan perifer hipertensi. Bentuk lain remodeling vaskuler melibatkan perubahan-perubahan utama pada ukuran luminal (Gb.5, pembuluh C dan D). Di dalam contoh ini, restrukturisasi aktif komponen-komponen seluler dan bukan seluler dinding pembuluh mengakibatkan perubahan-perubahan bermakna ukuran luminal, dengan perubahan-perubahan relatif kecil ketebalan dinding. Contoh-contoh klinis bentuk remodeling meliputi pelebaran pembuluh yang berkaitan dengan kecepatan aliran darah yang tinggi (Gb.1, pembuluh D) (sebagai contoh fistula arteriovena) atau hilangnya sel dan proteolisis matriks akibat pembentukan aneurisma. Sebaliknya pengurangan massa dan ukuran vaskuler terjadi karena pengurangan aliran darah jangka panjang (Gb.5, pembuluh C). Selain itu mikrosirkulasi yang jarang atau hilangnya area kapiler merupakan bentuk lain dari remodeling vaskuler yang menyebabkan hipertensi dan iskemi jaringan. Arsitektur dinding pembuluh juga berubah sebagai tanggapan terhadap injury yang meliputi trombosis, migrasi dan proliferasi sel-sel vaskuler, produksi matriks dan infiltrasi sel-sel inflamasi.28

Gambar 3. Reseptor-reseptor sistem renin angiotensin

Gambar 5. Spektrum remodeling vaskuler

Gambar 4. Agen-agen remodeling vaskuler (signal, sensor, dan mediator)

Pembuluh A mewakili penyakit hipertensi vaskuler, dengan hipertrofi vaskuler dengan lapisan media yang menebal dan diameter lumen mengecil; pembuluh B: penyakit hipertensi vaskuler tanpa hipertrofi medial, dan diameter lumen mengecil; pembuluh C: pengurangan dimensi vaskuler sebagai respon terhadap pengurangan aliran dalam jangka panjang; pembuluh D: peningkatan dimensi pembuluh sebagai respon terhadap peningkatan aliran jangka panjang; pembuluh E: hiperplasia neointimal (migrasi dan proliferasi sel-sel otot polos vaskuler) sebagai respon terhadap injury vaskuler; dan pembuluh F:

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

17

aterosklerosis sebagai tanggapan terhadap injury vaskuler dari lumen pembuluh. Angiotensin dalam hipertrofi jantung dan vaskuler Perhatian sekarang ini banyak dipusatkan kepada SRA lokal yang berhubungan dengan peranannya dalam memelihara struktur dan pertumbuhan kardiovaskuler.29-31 Sejumlah pendapat kuat telah mengemukakan peranan SRA dalam pertumbuhan dan hipertrofi kardiovaskuler. Angiotensin ini tidak hanya menyebabkan pembebanan hemodinamik oleh aksi vasokonstriksinya, tetapi juga meningkatkan tahanan perifer, pembebanan akhir ventrikuler, dan beberapa pengaruh nonhemodinamik terhadap pertumbuhan. Di dalam biakan sel angiotensin sudah terbukti merupakan stimulator kuat hiperplasia dan hipertrofi otot polos vaskuler.30,32
Tabel 1. Sistem renin angiotensin di dalam hipertrofi jantung dan vaskuler

1. 2.

Pengaruh-pengaruh hemodinamik Meningkatkan tahanan perifer. Meningkatkan beban awal dan akhir. Aksi-aksi nonhemodinamik Merangsang hipertrofi otot polos vaskuler. Melepaskan faktor-faktor pertumbuhan (faktor pertumbuhan yang diperantarai platelet). Mengaktifkan protoonkogen. Mengatur aktifitas lokal simpatetik.

kardiovaskuler praklinik dan faktor risiko bebas untuk semua komplikasi kardiovaskuler akibat hipertensi, sehingga pemulihan hipertrofi ventrikel kiri memungkinkan keuntungan prognostik.39 Karena Ang II berkaitan dengan hipertrofi ventrikel kiri40, maka penghambatan angiotensin II dapat bermanfaat dalam mengembalikan hipertrofi ventrikel kiri tersebut.41-2 Uji klinis The Losartan Intervention For Endpoint reduction (LIFE)43 telah membandingkan keuntungan losartan dan atenolol dalam pengobatan hipertensi dan perlindungan sekunder kardiovaskuler. Titik akhir primernya adalah kesakitan dan kematian kardiovaskuler, sedangkan titik akhir kombinasi adalah kematian kardiovaskuler, infark miokard, dan stroke. Keluaran klinis lain yang diukur adalah jumlah kematian, perawatan rumah sakit akibat angina pektoris dan gagal jantung, prosedur revaskularisasi pembuluh koroner dan perifer, resusitasi henti jantung dan timbulnya diabetes melitus. Losartan telah ditetapkan sebagai obat penurun tekanan darah dosis efektif sekali sehari dengan toleransi yang sempurna untuk menghambat Ang II pada reseptor tipe 1 dan mencegah nefropati diabetik.44 Keuntungan klinis yang lebih besar pada kelompok pasien risiko tinggi dan toleransi yang lebih baik daripada atenolol menunjukkan bahwa penggunaan nya akan memperbaiki hasil pengobatan pasien-pasien hipertensi. Hasil-hasil ini dapat secara langsung diterapkan dalam klinik.43 KESIMPULAN Proses remodeling vaskuler merupakan dasar berbagai penyakit vaskuler yang selalu menjadi tantangan bagi para dokter, sehingga strategi pengobatan diarahkan pada pengaruh respon remodeling yang bermakna klinis.28 Ang II berhubungan dengan berbagai jalur yang melibatkan proliferasi sel yang menuju remodeling vaskuler dan hipertrofi ventrikel kiri, dan reseptor AT2 dapat terlibat di dalam perkembangan, hambatan pertumbuhan, diferensiasi sel, dan perbaikan jaringan yang memerantarai vasodilatasi. Hal yang diterima secara luas adalah bahwa stimulasi reseptorreseptor AT2 dapat membantu mencegah keadaan-keadaan seperti hipertrofi ventrikel kiri, dan remodeling pasca infark.26
KEPUSTAKAAN 1. 2. Johnston CI. Franz Volhard Lecture: renin angiotensin system: a dual tissue and hormonal system for cardiovascular control. J Hypertens 1992; 10 (Suppl 7): 513-26. Campbell DJ. Circulating and tissue angiotensin systems. J Clin Invest 1987; 79: 1-5. Dzau VJ. Circulating versus local renin angiotensin system in cardiovascular homeostasis. Circulation 1988; 77: 1-4. Ganten D, Hermann K, Unger T, Lance R. The tissue renin angiotensin system: focus on brain angiotensin, adrenal gland and arterial wall. Clin Exp Hypertens A. 1983; 5: 1009-18. Tigerstedt R, Bergmann P. Niere und Kreislauf. Scan Arch Physiol 1898; 8: 223-71. Page I, Helmer O. A crystalline pressor substance (angiotonin) from the reaction between renin and renin activator. J Exp Med 1940; 71: 29-42. Braun-Menendez E, Fasciolo JC, Leloir LF, Munoz JM. The substance causing renal hypertension. J Physiol 1940; 98: 283-98. Skeggs L, Kahn J, Shumway N. The preparation and function of the hypertension-converting enzyme. J Exp Med 1956; 103: 295-9.

Perbaikan dan remodeling ventrikuler Penurunan kesakitan dan kematian yang bermakna pada penggunaan penghambat EKA di dalam gagal jantung kongesti seperti yang dilaporkan studi CONSENSUS33 telah mengakibatkan para peneliti mempelajari penggunaan dini penghambat EKA untuk disfungsi ventrikel kiri. Sesudah infark miokard akut, ventrikel kiri mengalami ekspansi dan remodeling.34 Pada studi hewan, kadar EKA mula-mula menurun pada infark miokard akut. Akan tetapi setelah 48 jam, EKA meningkat baik di dalam area infark miokard maupun hipertrofi /remodeling miokardium.35-7 Peningkatan EKA pada jaringan parut dan otot-otot yang hipertrofi ini dapat bertahan selama berbulan-bulan. Saat ini juga telah ditunjukkan peningkatan reseptor-reseptor Ang II tipe 1 yang sesuai dengan perbaikan parut dan otot. Kesakitan dan kematian kardiovaskuler sebagai titik akhir penurunan tekanan darah Keuntungan penggunaan obat-obat hipertensi untuk menurunkan tekanan darah telah diketahui pada kelompok pasien dengan risiko tinggi.38 Akan tetapi mereka masih mempunyai laju komplikasi kardiovaskuler yang lebih cepat daripada pasien-pasien tanpa hipertensi. Hal ini dapat merupakan akibat kegagalan mencapai tekanan darah yang normal, atau sisa-sisa kerusakan organ sasaran seperti hipertrofi ventrikel kiri atau keduanya. Hipertrofi ventrikel kiri merupakan wujud utama penyakit

3. 4. 5. 6. 7. 8.

18 Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

9. 10. 11. 12. 13.

14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.

23. 24. 25. 26.

Okunishi BJ, Miyazaki M, Okamura T, Tada N. Different distribution of two types of angiotensin-II-generating enzymes in the aortic wall. Biochem Biophys Res Commun 1987; 149: 1186-92. Husain A. The chymase angiotensin system in humans. J Hypertens 1993; 11: 1155-9. Soubrier F, Alhenc-Gelas F, Hubert C, et al. Two putative active centers in human angiotensin I converting enzymes revealed by molecular cloning. Proc Natl Acad Sci USA 1988; 85: 9386-90. Fyhrquist F, Hartling L, Gronhagen-Riska C. Induction of angiotensin 1 converting enzyme by captopril in cultured human endothelial cells. J Clin Endocrinol Metab 1982; 55: 783-6. Kohzuki M, Johnston CI, Chai SY et al. Measurement of angiotensin converting enzyme induction and inhibition using quantitative in vitro autoradiography: tissue selective induction after chronic lisinopril treatment. J Hypertens 1991; 9: 579-87. Chai SY, Perich R, Jackson B et al. Acute and chronic effects of angiotensin converting enzyme inhibitors in tissue angiotensin converting enzyme. Clin Exp Pharmacol Physiol 1992; 19(suppl 19): 7-12. Kawaguchi H, Sawa H, Yasuda H. Effects of endothelin on angiotensin converting enzyme activity in cultured pulmonary artery endothelial cells. J Hypertens 1991; 9:171-4. Weinstock JV. The significance of angiotensin 1 converting enzyme in granulomatous inflammation: functions of ACE in granulomas. Sarcoidosis 1986; 3: 19-26. Bottari SP, De Gasparro M, Steckelings UM, Levens NR. Angiotensin II receptor subtypes: characterization, signaling mechanism, and possible physiological implications. Front Neuroendocrionol 1993; 14: 123-71. Timmermans PBMWM, Wong PC, Chiu AT, et al. Angiotensin II receptors and angiotensin II receptor antagonists. Pharmacol Rev 1993; 45: 123-71. Unger T, Chung O, Csikos T et al. Angiotensin receptors. J Hypertens 1996; 14: S95-103. Stroth U, Unger T. The Renin-angiotensin system and its receptors. J. Cardiovasc.Pharmacol. 1999; 33(Suppl I): S21-28. Stoll M, Steckelings UM, Paul M, Bottari SP, Meizger R, Unger T. The angiotensin AT2 receptor mediates inhibition of cell proliferation in coronary endothelial cells. J Clin Invest 1995; 95: 651-7. Nakajima M, Hutchinson HG, Fujinaga M, et al. The angiotensin II type 2 (AT2) receptor antagonized the growth effects of the AT1 receptor: gain of function study using in vivo gene transfer. Proc Natl Acad Sci USA 1995; 92: 10663-7. Munzenmatter DH, Greene AS. Opposing actions of angiotensin II on microvascular growth and arterial blood pressure. Hypertension 1996; 27: 760-5. Laflamme L, DeGasparo M, Gallo JM, Payet MD, Gallo-Payet N. Angiotensin II induction of neurite outgrowth by AT2 receptors in NG108-15 cells. J Biol Chem 1996; 271: 22729-35. Meffert S, Stool M, Steckelings MU, Bottari SP, Unger T. The angiotensin AT2 receptor inhibits proliferation and promotes differentiation in PC12W cells. Mol Cell Endocrinol 1996; 122: 59-67. Yamada T, Horiuchi M, Dzau VJ. Angiotensin II type 2 receptor mediates programmed cell death. Proc Natl Acad Sci USA 1996; 93: 156-60.

27. 28. 29. 30. 31. 32. 33.

34. 35. 36. 37. 38.

39.

40. 41. 42. 43.

44.

Gallinat S, Csikos T, Meffert S, Herdegen T, Stoll M, Unger T. The angiotensin AT2 receptor mediates down-regulation of neurofilament M in PC12W cells. Neurosci Lett 1997; 227: 29-32. Gibbons GH, Dzau VJ. The emerging concept of vascular remodeling. N Engl J Med 1994; 330: 1431-8. Dzau VJ, Gibbon GH. Endothelium and growth factors in vascular remodeling of hypertension. Hypertension 1991; 18(suppl III): III-11521. Schelling PM, Fischer H, Ganten D. Angiotensin and cell growth: a link to cardiovascular hypertrophy? J Hypertens 1991; 9: 3-15. Weber KT, Janicki JS. Angiotensin and the remodeling of the myocardium. Br J Clin Pharmacol 1989; 28: 1415-505. Baker KM, Booz GW, Doetal DE. Cardiac actions of angiotensin II: role of an intracardiac renin angiotensin system. Ann Rev Physiol 1992; 54: 227-41. The CONSENSUS Trial Study Group. Effect of enalapril on mortality in severe congestive heart failure: results of the Cooperative North Scandinavian Enalapril Survival Study (CONSENSUS). N Engl J Med 1987; 316: 1429-35. Pfeffer MA, Braunwald E. Ventricular remodeling after myocardial infarction: experimental observations and clinical implication. Circulation 1990; 81: 1161-72. Fabris B, Jackson B, Kanazawa M, et al. Increased cardiac ACE in rats with CHF. Clin Exp Pharmacol Physiol 1990; 17: 309-14. Johnston CI, Mooser V, Sun Y, et al. Changes in cardiac angiotensin converting enzyme after myocardial infarction and hypertrophy in rats. Clin Exp Pharmacol Physiol 1990; 18: 107-10. Jackson B, Mendelsohn FAO, Johnston CI. Angiotensin converting enzyme inhibition: prospects for the future. J Cardiovasc Pharmacol 1991; 18(suppl 7): S4-8. Neal B, MacMahon S, Chapman N. Effects of ACE inhibitors, calcium antagonists, and other blood pressure lowering drugs results of prospectively designed overviews of randomized trials. Blood Pressure Lowering Treatment Trialists Collaboration. Lancet 2000; 356: 1955-64. Mathew J, Sleight P, Lonn E, et al. Reduction of cardiovascular risk by regression of electrocardiographic markers of left ventricular hypertrophy by the angiotensin converting enzyme inhibitor ramipril. Circulation 2001; 104: 1615-21. Brunner HR. Experimental and clinical evidence that angiotensin II is an independent risk factor for cardiovascular disease. Am J Cardiol 2001; 87(8A): 3C-9C. Dahlof B, Pennert K, Hansson L. Reversal of left ventricular hypertrophy in hypertensive patients- a meta-analysis of 109 treatment studies. Am J Hypertens 1992; 5: 95- 110. Dahlof B. Left ventricular hypertrophy and angiotensin II antagonists. Am J Hypertens 2001; 14: 174- 82. Dahlof B, Devereux RB, Kjeldsen SE et al. Cardiovascular morbidity and mortality in the Losartan Intervention For Endpoint reduction in hypertension study (LIFE): a randomized trial against atenolol. Lancet 2002; 359: 995-1003. Brenner BM, Cooper Me, de Zeeuw D et al. Effects of losartan on renal and cardiovascular outcomes in patients with type 2 diabetes and nephropathy. N Engl J Med 2001; 345: 861-9.

Crime, when it succeeds is called virtue (Seneca)

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

19

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Disfungsi Endotel dan Obat Antihipertensi


Selvinna, Rianto Setiabudy
Bagian Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

PENDAHULUAN Dewasa ini dunia kedokteran dan pengobatan maju dengan sangat pesat, seiring dengan kemajuan pengetahuan di berbagai bidang yang tak henti mencari dan meneliti sesuatu dari berbagai sudut pandang. Teori patofisiologi atau terjadinya suatu penyakit terus berkembang seiring dengan berbagai temuan penelitian. Salah satu teori tentang terjadinya penyakit adalah adanya gangguan aliran darah ke jaringan maupun organ. Pada tingkat seluler, para ahli menemukan bahwa sel endotel yang merupakan lapisan terdalam dinding pembuluh darah, memiliki peran dalam pengaturan aliran darah ke suatu organ(1,2). Gangguan atau kerusakan fungsi endotel dapat berakibat terjadinya gangguan pada organ terkait(1-3). Misalnya pada hipertensi esensial, yang merupakan suatu keadaan terjadinya peningkatan tekanan darah. Selama ini patogenesis hipertensi esensial tidak diketahui, hanya diungkapkan tentang adanya faktorfaktor pencetus terjadinya peningkatan tekanan darah. Kini, banyak ahli berpendapat bahwa hipertensi esensial antara lain disebabkan karena terjadinya gangguan fungsi endotel pembuluh darah (disfungsi endotel)(1-5). Kelainan ini juga berperan pada komplikasi kardiovaskuler yang menyertai aterosklerosis(1-4), diabetes melitus(1,2), hiperkolesterolemi(1,2), gagal jantung(4,5), preeklampsi(6) dan lain-lain. Diketahuinya peran endotel menimbulkan pemikiran bahwa sebaiknya strategi pengobatan terhadap penyakitpenyakit tersebut juga ditujukan untuk memperbaiki fungsi endotel(1,2,7). Obat-obat antihipertensi, yang terdiri dari banyak golongan, sering disebut memiliki efek perbaikan disfungsi endotel sehingga memberi manfaat bagi pembuluh darah pada pasien hipertensi(1,2,7). Makalah ini akan membahas peranan endotel dalam patofisiologi hipertensi dan pengaruh beberapa obat antihipertensi terhadap disfungsi endotel tersebut.

ENDOTEL DAN DISFUNGSI ENDOTEL Endotel Endotel adalah lapisan sel epitelial yang berasal dari mesoderm yang membatasi dinding pembuluh darah dan dinding pembuluh limfe(8). Endotel terletak di antara sirkulasi darah dan pembuluh darah. Pada orang dewasa dengan berat badan 70 kg, endotel meliputi area seluas 700 m2 dengan berat 11,5 kg(1). Endotel sebagai organ vasoaktif telah banyak dibicarakan oleh berbagai ahli(1,2,4) sehingga endotel makin dikenal peranannya bukan hanya dalam mensekresi substansi yang mengatur struktur dan tonus pembuluh darah(1-4) namun juga beberapa fungsi lain seperti pengaturan hemodinamik, metobolisme, inflamasi(3,9), dan proses trombogenik(9). FUNGSI DAN DISFUNGSI ENDOTEL 1. Fungsi Endotel Fungsi utama endotel adalah : 1. mengatur tonus pembuluh darah, 2. mengatur adesi lekosit dan inflamasi, dan 3. mempertahankan keseimbangan antara trombosis dan fibrinolisis(3). Fungsi endotel ini dilakukan oleh substansisubstansi khusus(1-5) yang dikelompokkan dalam 2 golongan besar yaitu Endothelium Derived Relaxing Factors (EDRFs) dan Endothelium Derived Contrcting Factors (EDCFs) (Gambar 1 dan Tabel 1). EDRFs Substansi yang tergolong EDRFs adalah : nitric oxide (NO), prostasiklin, dan faktor relaksasi hiperpolarisasi (Endothelium Derived Hyperpolarizing Factor, EDHF)(3-5). NO merupakan EDRFs terpenting yang terbentuk dari transformasi asam amino L-arginin menjadi sitrulin(7,10) melalui jalur L-arginine-nitric oxide(10) dengan bantuan enzim NO sintetase (NOS). NO diproduksi atas pengaruh asetilkolin, bradikinin, serotonin, dan bertindak sebagai reseptor endotel

20 Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

spesifik(7). NOS diaktivasi oleh adanya robekan pada pembuluh darah dan estrogen, sebaliknya aktivasi NOS dihambat oleh asam amino dalam sirkulasi dan oleh ADMA (asymmetrical dimethylarginine). Pada pembuluh darah, sintesis NO mempengaruhi tonus pembuluh darah sehingga berperan pada pengaturan tekanan darah(3-5,9), selain itu pada sistem saraf pusat NO merupakan neurotransmiter yang menjalankan beberapa fungsi termasuk pembentukan ingatan(10). Prostasiklin dihasilkan endotel sebagai respons adanya shear stress dan hipoksia. Prostasiklin meningkatkan cAMP pada otot polos dan trombosit(1). NO(3,10) dan prostasiklin secara sinergistik menghambat agregasi trombosit sehingga dengan adanya kedua zat ini terjadilah penghambatan aktivasi trombosit secara maksimal(1).

endotelin-2, dan endotelin-3. Telah ditemukan dua reseptor endotelin, yaitu reseptor ETA dan ETB. Reseptor ETB berperan dalam pembentukan NO dan prostasiklin, hal ini menjelaskan mengapa endotelin memiliki efek vasodilatasi sesaat(1). ET-1 menyebabkan vasodilatasi pada konsentrasi rendah dan terusmenerus menimbulkan kontraksi pada konsentrasi tinggi sehingga dapat menyebabkan iskemi, aritmi dan kematian (otot) jantung(5). Angiotensin II menyebabkan proliferasi dan migrasi sel otot polos melalui reseptor AT1, selain itu angiotensin II memproduksi vasokonstriktor poten dan menyebabkan retensi garam dan air. Hal ini merupakan komponen utama dalam patogenesis berbagai penyakit vaskuler seperti hipertensi(4,5).

Trombosit

Trombosit

Endotel vaskuler

Kontraksi

Relaksasi

Sel otot polos vaskuler

Gambar 1. Faktor-faktor yang menimbulkan relaksasi dan kontraksi yang dihasilkan endotel(1) Ang I/II=angiotensin I/II, Thr=thrombin, TGF1= transforming growth factor 1, Ach= asetilkolin, 5-HT=5-hydroxy triptamine, serotonin, ET-1=endothelin-1, ADP=adenosine diphosphate, BK=bradikinin, ACE=angiotensin converting enzyme, ECE=endothelin converting enzyme, TXA2=tromboxane A2, PGH2=prostaglandin H2, O2-=superoxide, L-Arg=L-Arginin, NOS=nitric oxide synthase, NO= nitric oxide, EDHF= endothelium derived hyperpolarizing factor, ETA/B= endothelin receptor type A/B, AT1=angiotensin receptor type 1, TX=thromboxane, PGI2=prostasiklin I2, cAMP=cyclic adenosin mono phosphate, cGMP= cyclic guanosine mono phosphate

EDCFs Endotel juga menghasilkan faktor kontraksi yang disebut EDCFs seperti ET-1 (endotelin-1), tromboksan A2 (TXA2), prostaglandin H2 (PGH2) , dan angiotensin II(1,3,9). Pembuluh darah intramiokard lebih sensitif terhadap efek vasokontriksi ET-1 daripada arteri koronaria, sehingga endotel berperan penting dalam pengaturan aliran darah koroner. Hingga kini terdapat 3 isoform endotelin, yaitu : endotelin-1,

Disfungsi Endotel Pada keadaan tertentu seperti penuaan(1,2), menopause(1,2), dan keadaan patologis seperti hipertensi(1-4), diabetes melitus(1,2), aterosklerosis(1-4), sel endotel teraktivasi untuk menghasilkan faktor konstriksi seperti EDCF (TXA2, PGH2) dan radikal bebas yang menghambat efek relaksasi NO. Radikal bebas dapat menghambat fungsi endotel dengan menyebabkan rusaknya NO(7,9).

2.

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

21

Tabel 1. Pengaturan fungsi oleh endotel(4) Fungsi Vasorelaksasi Substansi EDRFs : NO Prostasiklin, PGE2, PGD2 EDHF EDCFs : Endotelin-1 TXA2 PGH2 Angiotensin II Superoksida NO Eikosanoid Prostasiklin Prostasiklin E2 Trombomodulin Glikosaminoglikan Hepatan sulfat Dermatin sulfat

Vasokonstriksi

Anti trombosit

Antikoagulan

Ketidakseimbangan antara faktor kontraksi dan relaksasi yang terjadi pada endotel inilah yang disebut disfungsi endotel(1-4). Sumber lain menyebutkan disfungsi endotel merupakan perubahan fungsi sel endotel yang berakibat pada kegagalan availabilitas NO, sehingga disfungsi endotel harus dibedakan dari kerusakan endotel yang berarti terjadinya kerusakan anatomi endotel(7)(Gambar 2). Letak endotel pada pembuluh darah sangat menguntungkan tapi juga sekaligus merugikan, karena pada keadaan hipertensi, diabetes melitus, dan hiperlipidemia, endotel menjadi sasaran (target organ) dari kerusakan akibat penyakitpenyakit tersebut(2).

bilitas NO. Dibanding orang normal, pemberian infus LNMMA (NGmonomethyl-L-arginine) pada pasien hipertensi esensial menyebabkan tonus pembuluh darah menjadi lebih rendah dan tidak terjadi penurunan respons terhadap asetilkolin (vasodilator yang tergantung endotel) atau bradikinin(5,7). Hal ini menunjukkan adanya kerusakan NO dan munculnya rangsangan pelepasan NO pada arteri pasien hipertensi esensial. Kerusakan NO ini kemudian dibuktikan dengan adanya penurunan kadar nitrit dan nitrat plasma, yang merupakan produk akhir dari oksidasi NO(7). Adanya penurunan respons terhadap agonis endotel pada pasien hipertensi tampaknya tidak berhubungan dengan kerusakan reseptor membran atau jalur transduksi sinyal karena penurunan ini terjadi pada berbagai agonis yang bekerja pada reseptor atau pada jalur transduksi intraseluler yang berbeda(7). Pendapat lain menyatakan bahwa hipertensi esensial berhubungan dengan perubahan fungsi dan morfologi endotel menyebabkan peningkatan volume sel sehingga endotel mencembung ke dalam lumen. Pada pembuluh darah yang hipertensi interaksi antara endotel dengan trombosit dan monosit meningkat(4). Pengaruh NO dalam terjadinya disfungsi endotel pada hipertensi diuji pada sebuah penelitian dengan hewan coba tikus hipertensi. Pada tikus yang mengalami hipertensi spontan, aktivitas NOS meningkat namun aktivitas biologis NO menurun, hal ini mungkin menunjukkan adanya inaktivasi oleh O2, dan selain itu produksi TXA2 dan PHG2 juga meningkat. Pada tikus yang hipertensinya diinduksi dengan garam, terjadi penurunan produksi NO. Produksi ET-1 meningkat pada tikus yang diinduksi dengan garam namun menurun pada tikus-tikus

S tim u la si

In h ib isi

Gambar 2. Stimulasi dan inhibisi faktor-faktor kontraksi dan dilatasi endotel(9)

DISFUNGSI ENDOTEL PADA HIPERTENSI Mekanisme disfungsi endotel pada hipertensi Hasil penelitian menunjukkan bahwa disfungsi endotel pada hipertensi esensial disebabkan oleh penurunan availa-

yang mengalami hipertensi spontan. Hal ini menunjukkan adanya heterogenisitas disfungsi endotel dalam hipertensi (Gambar 3)(1,5). Penelitian pada manusia juga menunjukkan bahwa pada pasien hipertensi esensial terjadi penurunan vasodilatasi oleh

22 Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

Hipertensi genetik

Hipertensi yang diinduksi garam

Sel otot polos vaskuler

Kontraksi

Relaksasi

Relaksasi

Kontraksi

Gambar 3. Heterogenisitas disfungsi endotel pada hipertensi(1,5)

endotel. Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya penurunan respons terhadap asetilkolin yang merupakan vasodilator yang tergantung pada endotel(11). Peran stres oksidatif Pendapat lain tentang mekanisme terjadinya kerusakan NO adalah produksi stres oksidatif. Stres oksidatif yang berupa ROS (Reactive Oxygen Species) terutama anion superoksida ini dapat bergabung dan menghancurkan peroksinitrat yang menghasilkan NO, sehingga terjadi efek negatif terhadap struktur dan fungsi pembuluh darah(7). Pendapat tentang peran stres oksidatif tersebut didukung oleh adanya bukti bahwa asam askorbat(2,3,9), yang merupakan scavenger radikal bebas, dapat meningkatkan respons terhadap asetilkolin pada sirkulasi perifer dan pada arteri koroner epikardial(7)dan arteri brakial(2) pasien hipertensi esensial. Kemungkinan lain dari mekanisme penurunan produksi NO adalah terbentuknya analog L-arginin yaitu ADMA (NG NGdimethyl-L-arginine) yang merupakan kompetitor endogen bagi NOS(7,9,10). Belakangan ditemukan bahwa kadar ADMA plasma berhubungan dengan tekanan arteri rata-rata dan faktor risiko kardiovaskuler lain(7). Interaksi antara NO dan vasokonstriktor Interaksi antara sistem NO dan vasokonstriktor endotel, terutama ET-1(4,5) dan angiotensin II, berperan dalam patogenesis disfungsi endotel. Walaupun pada pasien hipertensi tidak terdapat peningkatan kadar ET-1 plasma, namun terjadi peningkatan aktivitas vasokonstriktor ET-1 akibat penurunan NO. NO mampu menginhibisi produksi dan aktivitas ET-1, dan pada hipertensi esensial kemampuan inhibisi ini menghilang karena adanya penurunan produksi NO(7). Angiotensin II memiliki efek yang berbeda pada sistem

NO. Walaupun reseptor AT1 menyebabkan penurunan NO, namun stimulasi AT2 menyebabkan sintesis NO pada endotel. Dengan demikian apakah angiotensin II akan mempengaruhi fungsi atau disfungsi endotel, tergantung dari efek reseptor mana yang lebih dominan(5,7). DISFUNGSI ENDOTEL DAN OBAT ANTIHIPERTENSI Obat antihipertensi adalah obat yang memberi efek penurunan tekanan darah. Obat-obat ini terdiri dari berbagai golongan, berdasar mekanisme kerjanya (Tabel 2). Sebagian besar telah diteliti manfaatnya pada endotel, terutama efek untuk menimbulkan vasodilatasi(3-5,7).
Tabel 2. Berbagai golongan antihipertensi dan contohnya(12) Golongan Penyekat beta ( blocker) Antagonis kalsium Penghambat EKA (ACE Inhibitor) Antagonis reseptor angiotensin II Atenolol Nebivolol Karvedilol Nifedipin Verapamil Diltiazem Kaptopril Kuinapril Lisinopril Losartan Kandesartan Telmisartan Contoh

Penyekat beta (beta blockers) Penyekat beta merupakan golongan obat antihipertensi yang bekerja dengan menghambat adrenoseptor saraf simpatis sehingga menimbulkan efek penurunan rangsang simpatis(12). Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menilai efekti-

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

23

vitas penyekat beta dalam memperbaiki disfungsi endotel. Pengunaan atenolol selama 1 maupun 3 tahun terbukti tidak memperbaiki respons terhadap asetilkolin maupun bradikinin sehingga tidak menyebabkan vasodilatasi(7). Nebivolol yang memiliki profil vasodilatasi mampu meningkatkan relaksasi yang tergantung pada endotel, terbukti dengan terjadinya peningkatan FBF (fore-arm blood flow, aliran darah lengan bawah) setelah pemberian infus nebivolol pada arteri brakialis. Efek ini secara nyata dihambat oleh LNMMA dan diperbaiki oleh L-arginin. Namun demikian, pada penelitian lain penggunaan nebivolol pada pasien hipertensi tidak berhasil menunjukkan adanya efek vasodilatasi jika tidak disertai dengan pemberian asam askorbat sebagai antioksidan(7). Karvedilol terbukti potensial dalam memperbaiki fungsi endotel dan meningkatkan efek antioksidan. Hal ini tampak karena karvedilol dapat meningkatkan dilatasi arteri brakialis pasien hipertensi esensial(7). Antagonis kalsium Antagonis kalsium adalah golongan obat yang bekerja menghambat masuknya ion kalsium melalui kanal yang terdapat pada membran sel sehingga menyebabkan vasodilatasi dan penurunan tekanan darah(12). Kalsium intraseluler berperan dalam banyak proses intraseluler, yaitu dalam mekanisme pemberian sinyal. Pada penyakit pembuluh darah, peningkatan kalsium intraseluler berperan dalam aktivasi trombosit, vasokonstriksi, proliferasi otot polos pembuluh darah, serta pelepasan substansi vasoaktif oleh sel-sel endotel. Penghambat jalur kalsium menghalangi masuknya kalsium intraseluler melalui voltage operated channels ke dalam sel-sel otot polos, sehingga terjadi vasodilatasi terutama pada arteri-arteri besar. Selain itu, antagonis kalsium mempermudah vasodilatasi yang diinduksi oleh NO. NO menurunkan kalsium intraseluler melalui guanilil siklase sehingga menimbulkan peningkatan cGMP intraseluler(5). Terapi jangka panjang dengan nifedipin atau isradipin pada tikus hipertensi spontan dapat memperbaiki relaksasi endotel terhadap asetilkolin(5,13). Hal yang menarik adalah pada terapi jangka panjang dengan verapamil, tapi tidak pada terapi jangka pendek, terjadi peningkatan efek relaksasi pada tikus hipertensi dengan defisiensi NO(5). Pendapat lain juga menyebutkan bahwa antagonis kalsium menurunkan efek kontraktilitas ET-1, karena produksi ET-1 berhubungan dengan Ca++ intraseluler, walaupun secara in vitro maupun in vivo antagonis kalsium tidak mengubah kuantitas produksi ET-1(5). Selain itu, endotelin mempotensiasi efek vasokonstriktor lain seperti serotonin dan norepinefrin, bahkan pada konsentrasi yang tidak merangsang respons kontraktilitas. Efek potensiasi tidak langsung dari endotelin ini disebabkan oleh peningkatan sensitivitas kalsium dari sel-sel otot polos dalam kondisi hipertensi. Beberapa studi menunjukkan bahwa pembuluh darah kecil lebih tergantung pada masuknya kalsium ekstraseluler ke dalam sel daripada pembuluh darah besar. Jadi pada sirkulasi lengan manusia, pemberian verapamil dan nifedipin intraarteri dapat menghambat efek vasokonstriksi

endotelin endogen(5). Data yang didapat dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa antagonis kalsium terutama kelas dihidropiridin seperti nifedipin mampu meningkatkan relaksasi yang tergantung pada endotel(7). Muncul pertanyaan, yaitu bagaimana antagonis kalsium mampu menimbulkan aktivitas tersebut pada sel endotel, mengingat fungsi sel endotel tidak tergantung pada kerja kanal kalsium. Bukti dari penelitian menunjukkan bahwa antagonis kalsium memiliki efek antioksidan yang menjaga sel endotel terhadap kerusakan akibat radikal bebas sehingga antagonis kalsium mencegah rusaknya NO pada keadaan hipertensi, yang pada akhirnya mencegah disfungsi endotel(7). Mungkin dengan mekanisme antioksidan tersebut pula penelitian pada hewan membuktikan bahwa antagonis kalsium mampu menghambat aterogenesis(2). Penghambat Enzim Konversi Angiotensin (EKA) Dalam sistem renin angiotensin, EKA mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II(3-5,12). Walaupun perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II ini terjadi terutama di paru-paru, ternyata ditemukan pula sistem EKA jaringan di sepanjang endotel pembuluh darah(2). Obatobat yang termasuk dalam penghambat EKA (ACE inhibitor) bekerja dengan menghambat enzim ini sehingga angiotensin II(12), yang merupakan salah satu EDCFs, tidak terbentuk. Selain itu, EKA menyebabkan degradasi bradikinin menjadi peptida inaktif sehingga pemberian penghambat EKA akan menyebabkan bradikinin tidak diubah(2,5,7). Dengan demikian, peran penghambat EKA dalam disfungsi endotel adalah meningkatkan kadar bradikinin yang merupakan vasodilator serta mencegah efek angiotensin II yang bersifat sebagai vasokonstriktor poten(2-5,7). Pendapat lain menyatakan bahwa penghambat EKA memperbaiki fungsi endotel yang mengatur pembentukan superoksida, bahkan pada konsentrasi di bawah ambang dari angiotensin II yang tidak meningkatkan tekanan darah dapat melipatgandakan aktivitas NADH dan produksi superoksida(5). Salah satu penelitian yang membuktikan hal ini adalah studi TREND (Trial on Reversing ENdothelial Dysfunction) yang menggunakan regimen kuinapril 40 mg/hari pada pasien penyakit jantung koroner. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya penurunan vasokonstriksi pembuluh darah koroner(5,7) dan peningkatan fungsi vasomotor pada endotel(4). Terapi dengan cilazapril selama 2 tahun mampu meningkatkan respons terhadap asetilkolin pada pasien hipertensi esensial, hal ini juga terjadi pada penggunaan lisinopril selama 3 tahun. Pemberian perindroprilat intravena mengembalikan respons normal pembuluh darah terhadap rangsang endotel. Bahkan pada pasien dengan penyakit arteri koroner, ramipril 10 mg/hari selama 4 minggu mampu meningkatkan dilatasi. Selain itu, karena pemberian ramipril dapat mempertahankan aktivitas vasodilatasi asam askorbat, diduga penghambat EKA memiliki aktivitas antioksidan(7). Efek penghambat EKA terhadap perbaikan fungsi endotel juga berlaku pada sirkulasi ginjal. Pada pasien hipertensi, penghambat EKA terbukti secara spesifik memperbaiki respons vasodilatasi pembuluh darah ginjal(7).

24 Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

Namun, apakah efek penghambat EKA pada fungsi endotel ini merupakan class effect atau hanya melibatkan jenis obat tertentu, masih merupakan kontroversi dan memerlukan penelitian lebih lanjut(3). Antagonis reseptor angiotensin II Angiotensin II yang terbentuk dari perubahan angiotensin I oleh EKA merupakan vasokonstriktor kuat yang menyebabkan kenaikan tekanan darah(12). Selain itu, angiotensin II memiliki efek negatif terhadap fungsi endotel yaitu menyebabkan pelepasan ET-1 dari sel pembuluh darah, produksi vasokonstriktor PGH2 dari endotel dan penghambatan aktivitas NOS. Lebih dari itu, penelitian pada tikus menunjukkan bahwa angiotensin II meningkatkan produksi radikal bebas yang akan merusak fungsi relaksasi asetilkolin(7). Obat-obat yang termasuk dalam antagonis reseptor angiotensin II bekerja dengan menduduki reseptor AT1 secara kompetitif sehingga efek angiotensin II tidak terjadi(12). Penelitian menunjukkan bahwa pemberian antagonis reseptor angiotensin II seperti losartan dapat menyebabkan produksi anion superoksida dan relaksasi asetilkolin kembali normal. Pemberian losartan jangka panjang akan memperbaiki disfungsi endotel karena terjadi peningkatan relaksasi oleh NO dan turunnya pembentukan EDCFs(7). Selain itu, karena antagonis reseptor angiotensin II hanya menghambat reseptor AT1, angiotensin II dapat berikatan dengan reseptor AT2. Hal ini mungkin dapat menguntungkan karena pengikatan angiotensin II dengan reseptor AT2 akan merangsang sintesis NO pada sel endotel(7). Pada studi lain, penggunaan kandesartan 8-16 mg/hari selama lebih dari 1 tahun tidak terbukti meningkatkan respons terhadap asetilkolin. Namun demikian, kandesartan dinyatakan memiliki efek positif karena dapat mempengaruhi aktivitas endotelin dengan cara menghambat umpan balik angiotensin II pada sintesis endotelin(7). Demikian pula halnya dengan penggunaan telmisartan 4080 mg/hari selama lebih dari 6 bulan tidak berhasil menunjukkan adanya perbaikan dilatasi pada pasien hipertensi esensial(7). Secara keseluruhan, peran antagonis reseptor angiotensin II terhadap perbaikan fungsi endotel pada pasien hipertensi masih membutuhkan pembuktian lebih lanjut. KESIMPULAN Endotel merupakan organ yang memiliki peran penting dalam patogenesis berbagai keadaan patologis seperti hipertensi, aterosklerosis, hiperkolesterolemi, diabetes melitus,

dan lain-lain. Peran penting endotel terletak pada fungsinya dalam mensekresi berbagai substansi yang mengatur konstriksi dan relaksasi pembuluh darah. Ketidakseimbangan antara faktor konstriksi dan relaksasi tersebut dapat menyebabkan keadaan disfungsi endotel yang pada akhirnya menyebabkan gangguan pada organ. Hipertensi esensial merupakan salah satu keadaan patologis yang berhubungan dengan disfungsi endotel. Kini berbagai antihipertensi diteliti peranannya dalam memperbaiki disfungsi endotel sebagai keadaan yang mendasari terjadinya hipertensi esensial. Dari banyaknya golongan antihipertensi, beberapa di antaranya memang sudah terbukti memperbaiki disfungsi endotel melalui mekanisme penghambatan faktor konstriksi maupun melalui mekanisme antioksidan. Namun demikian, apakah efek obat yang sudah diteliti tersebut dapat mewakili semua obat dalam golongannya, masih diperlukan banyak studi dan pembuktian lebih lanjut.
KEPUSTAKAAN 1. Luscher TF, Barton M. Biology of the endothelium. Clin. Cardiol.1997; 20 Suppl 2:3-10 2. Cooke JP. Therapeutic interventions in endothelial dysfunction: endothelium as a target organ. Clin Cardiol. 1997; 20 Suppl 2:45-51 3. Sowinski KM. Endothelial function and dysfunction. Report of the American College of Clinical Pharmacy 2000 Annual Meeting; 2000 Nov 5-8, Los Angeles, California 4. Kadirvelu A, Chee KH, Chim CL. Endothelial dysfunction in cardiovascular diseases. Med. Progr. 2002 : 4-12 5. Sargowo D. Peran endotel pada patogenesis penyakit kardiovaskular dan program pencegahannya. Medika 1999; 10 : 643-55 6. Chambers JC, Fusi L, Malik IS, Haskard DO, de Swiet M, Kooner JS. Association of maternal endothelial dysfunction with preeclampsia. JAMA 2001; 285 : 1607-12 7. Taddei S, Virdis A, Ghiadoni L, Sudano I, Salvetti A. Effects of antihypertensive drugs on endothelial dysfunction. Drugs 2002; 62 : 26584 8. Dorlands Illustrated Medical Dictionary, 27th ed., WB. Saunders, 1988 : 556 9. Goligorsky MS, Gross SS. The ins and outs of endothelial dysfunction : much a do about NO-thing. Drug New Perspect 2001; 14 : 133-42 10. Moncada S, Higgs A. The L-arginine-nitric oxide pathway. N Engl J Med 1993; 329 : 2002-12 11. Panza JA, Quyyumi AA, Brush JE, Epstein SE. Abnormal endotheliumdependent vascular relaxation in patients with essential hypertension. N Engl J Med 1990; 323 : 22-7 12. Oates JA, Brown NJ. Antihypertensive agents and drug therapy of hypertension. In: Hardman JG, Gilman AG, eds. The pharmacological Basis of Therapeutics. 10th ed.New York : McGraw-Hill; 2001.p. 891-5 13. Tschudi MR, Criscione L, Novosel D, Pfeiffer K, Lscher TF. Antihypertensive therapy augments endothelium-dependent relaxations in coronary arteries of spontaneously hypertensive rats. Circulation 1994; 89: 2212-8.

It is a great shame to man to have a poor heart and rich purse

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

25

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Gas Nitrogen Oksida : polutan atau vital bagi kehidupan?


Jansen Silalahi
Jurusan Farmasi F-MIPA Universitas Sumatera Utara, Medan

ABSTRAK Gas nitrogen oksida dihasilkan dari asam amino L-arginin oleh enzim nitric oxide synthase dalam sel-sel mamalia termasuk manusia dan berfungsi sebagai mediator biologis yang memungkinkan sel-sel berkomunikasi dengan sesamanya. Nitrogen oksida yang diproduksi secara kontiniu oleh sel-sel endotelium berperan mengendalikan tonus pembuluh darah, aliran darah, tekanan darah, fungsi platelet, gerakan saluran pencernaan, saluran pernafasan dan saluran kemih. Nitrogen oksida dalam jumlah banyak terbentuk karena respon sistim imunitas untuk mempertahankan diri; tetapi juga dapat menimbulkan perubahan patofisiologis seperti hipotensi yang fatal dan mungkin juga menyebabkan kerusakan jaringan. Pemahaman mekanisme fisiologis, pengembangan obat dan penerapan metode terapi baru dapat dikembangkan dengan mempengaruhi secara selektif baik peningkatan dan inhibisi produksi nitrogen oksida dalam sistim biologis. PENDAHULUAN Nitrogen monooksida (NO), juga disebut nitrogen oksida atau nitrat oksida (nitric oxide) adalah suatu gas tak berwarna, tanpa oksigen larut di dalam air; pada kondisi seperti ini nitrogen oksida sangat stabil. Di udara, nitrogen oksida cepat bereaksi dengan oksigen membentuk NO2, suatu gas berwarna yang dapat memicu kerusakan jaringan. Pada konsentrasi yang sangat rendah, nitrogen oksida relatif stabil, walaupun ada oksigen1,2. Di alam terbuka, nitrogen oksida terbentuk dengan memanaskan udara pada suhu tinggi seperti dalam mesin mobil dan waktu terjadinya petir. Dalam hal ini, nitrogen dan oksigen yang ada di udara akan bereaksi membentuk nitrogen oksida. Pada saat petir nitrogen oksida dapat berubah menjadi NO2; nitrogen oksida dan NO2 akan terbawa ke tanah dan menjadi pupuk alami. Akan tetapi di daerah perkotaan nitrogen oksida dan NO2 merupakan oksida nitrogen yang terdapat dalam knalpot mobil dan berperan dalam pembentukan kabut fotokimia (photochemical smog)3,4,5; jadi dua puluh tahun yang lalu gas nitrogen oksida masih dianggap sebagai polutan atau pencemar udara. Tetapi pada tahun 1987 diketahui bahwa sel mammalia memproduksi nitrogen oksida, dan satu tahun kemudian diketahui bahwa sel berkomunikasi sesamanya dengan nitrogen oksida. Nitrogen oksida terbentuk dalam tubuh yang berfungsi secara fisiologis, sehingga pada tahun 1992, nitrogen oksida oleh para ahli dikategorikan sebagai molecule of the year6,7. Nitrogen oksida adalah suatu radikal bebas (memiliki satu elektron yang belum berpasangan) sehingga sangat reaktif8. Obat antiangina nitrat organik sebagai vasodilator, sekarang diketahui ternyata bekerja dengan melepaskan nitrogen oksida. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa nitrogen oksida bukan saja hanya sebagai vasodilator dan bronkhodilator tetapi juga berperan dalam sistim kekebalan dan sistim saraf5,7. Nitrogen oksida berfungsi sebagai messenger biologis yang penting dalam berbagai fungsi biologis sebagai neurotransmitter, pembekuan darah, pengendalian tekanan darah, dan pada kemampuan sistim imunitas untuk membunuh sel-sel tumor dan parasit intraseluler. Tetapi produksi yang berlebihan pada kondisi tertentu dapat menimbulkan keadaan patologis1,2,7,9,10. BIOSINTESIS Nitrogen oksida disintesis di dalam sel oleh enzim nitric oxide synthase (NOS). Genom manusia dan tikus mengandung 3 gen yang menghasilkan tiga nitrogen oxide synthase yang

26 Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

berbeda yakni (1) neuronal NOS atau nNOS ditemukan dalam neuron (2) inducible NOS atau iNOS terdapat dalam makrofag (3) endothelial NOS atau eNOS atau cNOS ditemukan dalam endotel yakni sel-sel yang terutama terdapat sepanjang lumen pembuluh darah. Kadar enzim nNOS dan eNOS relatif stabil, aktivitasnya tergantung pada kadar kalsium. Sebaliknya kerja iNOS tidak tergantung pada kadar kalsium, tetapi pada adanya rangsangan seperti masuknya parasit ke dalam tubuh, menghasilkan lebih banyak nitrogen oksida dalam waktu yang lebih lama dan berperan penting pada sistim imunitas dan inflamasi. Semua jenis NOS menghasilkan nitrogen oksida dari L-arginin dengan bantuan oksigen molekuler dan NADPH1,5,11.
HOOC-CH-(CH2)3-NH-C-NH2+2O2 HOOC-CH-(CH2)3-NH-C-NH2 + NO+2H2O 2NADPH

2%, jika kadarnya meningkat menjadi 20% dapat mengganggu pengangkutan oksigen namun masih dapat ditoleransi. Darah yang mengandung methaemoglobin yang tinggi disebut methaemoglobinemi dengan gejala-gejala sianosis, sesak napas, mual dan muntah, dan syok. Kematian dapat terjadi jika kadar methaemoglobin mencapai 70%13. Nitrogen Oksida Pada Sistem Kardiovaskular Sintesis nitrogen oksida di endotelium vaskular berperan sebagai vasodilator yang penting untuk mengatur tekanan darah; nitrogen oksida dilepaskan secara kontinu dari endotelium arterial dan arteriol. Dalam sistim saraf pusat, nitrogen oksida adalah suatu neurotransmiter yang mendukung berbagai fungsi seperti pembentukan memori. Pada tingkat perifer, jaringan saraf yang semula dikenal sebagai nonadrenergik dan nonkolinergik, melalui mekanisme yang tergantung pada nitrogen oksida berperan sebagai mediator berbagai bentuk vasodilatasi neurogenik dan meregulasi fungsi saluran pencernaan, pernafasan, alat kelamin5,6. Nitrogen oksida juga berperan menghambat agregasi platelet dan regulasi kontraksi jantung. Banyak fakta menunjukkan beberapa penyakit berkaitan dengan gangguan pembentukan dan fungsi nitrogen oksida1. Selain itu, nitrogen oksida diproduksi dalam jumlah besar selama reaksi-reaksi imunologis untuk mempertahankan diri. Karena nitrogen oksida memiliki sifat sitotoksis dan dibentuk oleh makrofag yang aktif, nitrogen oksida tampaknya berperan dalam imunitas nonspesifik. Akan tetapi, produksi nitrogen oksida yang berlebihan terlibat dalam patogenesis septic shock, sirosis dan inflamasi1,9,14. Inhibitor derivat arginin seperti dimetil arginin bersifat vasokonstriksi dan menyebabkan hipertensi. Inhibisi tidak terjadi pada otot polos dan tidak mempengaruhi sistim lain di dinding vaskular; kerja inhibitor ini tidak tergantung pada endotelium, dan sifat vasokontriksinya disebabkan oleh inhibisi mekanisme vasodilator endogen. Fakta ini menggiring pada kesimpulan bahwa vasodilator nitrogen oksida esensiil dalam pengendalian aliran dan tekanan darah. Oleh karena itu, konsep lama yang menyatakan bahwa sistim kardiovaskular sebagai satu sistim jaringan yang resisten harus dievaluasi kembali. Tonus vasodilator oleh nitrogen oksida tampaknya dipertahankan selama aktivitas fisik sel-sel endotelium oleh stimuli seperti aliran, denyutan dan tekanan. Nitrogen oksida yang dilepaskan dari neuron nonadrenergik dan nonkolinergik juga berperan mengendalikan aliran dan tekanan darah1,11. Penemuan tonus vasodilator ini menunjukkan keberadaan sistim nitrovasodilator endogen, yang kerjanya menyerupai kerja senyawa seperti nitrogliserin, natrium nitroprusid; senyawa tersebut merupakan vasodilator yang efektif secara klinis, ternyata aktivitasnya adalah melalui perubahannya menghasilkan nitrogen oksida. Reaksi nitrogen oksida dengan ion ferro dalam gugus prostetik heme pada guanylate cyclase yang larut dalam sel-sel otot polos vaskular meningkatkan konsentrasi cGMP yang menyebabkan relaksasi vaskular1,14. Fungsi ini semuanya dimediasi oleh aktivasi guanylate cyclase yang larut (soluble guanylate cyclase) yang menyebabkan peningkatan konsentrasi cyclic guanosine monophosphate (cGMP) pada sel target. Karena adanya tekanan atau aktivasi

NOS

NH2 Arginin

N+H2

NH2 Sitrullin

Nitrogen oksida dapat berdifusi bebas melalui membran sel. Nitrogen oksida bersifat reaktif dan berinteraksi dengan berbagai molekul sehingga cepat habis di sekitar lokasi tempat disintesis; nitrogen oksida bekerja mempengaruhi sel-sel di sekitar titik lokasi sintesis7. Nitrogen oksida terdapat di dalam udara yang dikeluarkan pernapasan (exhaled air), dan jumlahnya meningkat pada saat olah raga. Inhibitor kompetitif NOS telah diidentifikasi yakni derivat arginin seperti N-monometilL-arginin, dimetilamin arginin, merupakan bahan dan alat yang penting dalam meneliti peran nitrogen oksida dalam sistim biologis1,11,12. METABOLISME Afinitas hemoglobin sangat tinggi terhadap nitrogen oksida (sekitar 3000 kali lebih kuat dibanding dengan oksigen), sehingga gas nitrogen oksida dapat diberikan melalui inhalasi, karena akan bergabung dengan hemoglobin sebelum bergabung dengan oksigen. Dalam air dan plasma, nitrogen oksida dioksidasi menjadi nitrit, yang stabil selama beberapa jam1; tetapi dalam darah, nitrit cepat berubah menjadi nitrat sehingga konsentrasi nitrit dalam darah rendah sementara nitrat 100 kali lebih tinggi (30 mol per liter). Sintesis nitrat endogen pada orang yang rendah asupan nitratnya meningkat pada diare dan demam dan dua kali lipat selama latihan fisik. Konsentrasi nitrit dan nitrat meningkat dalam plasma pasien dengan syok septik. Nitrogen oksida juga cepat teroksidasi menjadi oksida nitrogen yang lebih tinggi dan akan menyebabkan nitrosasi molekul-molekul yang mengandung gugus sulfhidril seperti glutation, sistein dan albumin. Di samping itu, nitrogen oksida berinteraksi dengan protein yang mengandung heme termasuk mioglobin, gugus prostetik dari guanylate cyclase yang larut, dan enzim-enzim yang mengandung pusat ion besi-sulfur. Jadi, metabolisme nitrogen oksida sangat rumit1,2. Dalam sistim biologis nitrogen oksida cepat berubah menjadi nitrit dan nitrat, dan reaksi ini dipicu oleh logam transisi termasuk besi. Hemoglobin menonaktifkan nitrogen oksida dengan mengikatnya membentuk nitrosohaemoglobin, dan dengan mengubahnya menjadi nitrat dan nitrit, akan menghasilkan methaemoglobin2,13. Oleh karena itu darah manusia secara normal mengandung methaemoglobin pada konsentrasi tidak melebihi

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

27

reseptor pada endotelium vaskular oleh bradikinin atau asetilkolin, menyebabkan influks kalsium. Konsekuensi peningkatan kalsium intraseluler merangsang eNOS. Nitrogen oksida yang terbentuk dari L-arginin oleh enzim ini berdifusi ke sel-sel otot polos yang terdekat, dan menstimulasi guanylate cyclase, yang menyebabkan peningkatan sintesis cGMP dari guanosine triphosphate (GTP)1. Nitrogen oksida juga menghambat agregasi platelet melalui suatu mekanisme yang tergantung pada cGMP dan bersinergi dengan prostasiklin, yang akan menghambat agregasi platelet. Tidak seperti prostasiklin, nitrogen oksida juga menghambat adhesi platelet. Di samping itu platelet sendiri menghasilkan nitrogen oksida yang akan bekerja sebagai suatu mekanisme negative-feedback untuk menghambat aktivasi platelet. Maka, agregasi platelet in vivo mungkin dikendalikan oleh nitrogen oksida yang dihasilkan platelet dan juga oleh nitrogen oksida dan prostasiklin yang dihasilkan oleh endotelium vaskular. Oleh karena itu, nitrovasodilator dikombinasikan dengan prostasiklin merupakan suatu pengobatan antithrombotik1,5. Beberapa contoh sediaan farmasi (obat paten) antara lain adalah Nitromack retard, Nitrocine, Nitrostat, Vascardin. Obat ini mengandung senyawa organik nitrat yakni nitrogliserin dan sejenisnya yang digunakan pada pengobatan angina pektoris dan penyakit jantung koroner untuk berperan sebagai vasodilator koroner, relaksan otot polos, mencegah agregasi platelet dengan cara melepaskan nitrogen oksida sebagai zat aktifnya5,14,15. Alpha-tokoferol dan gamma-tokoferol meningkatkan produksi nitrogen oksida dan aktivitas NOS, sementara gamma-tokoferol juga mencegah perubahan nitrogen oksida menjadi NO2. Dengan demikian, berarti antioksidan melindungi nitrogen oksida sehingga memperpanjang aktivitasnya yang berdampak positif pada kesehatan kardiovaskular2,9. IMPLIKASI KLINIS Relaksasi endotelium lebih nyata pada arteri daripada vena yang berarti bahwa arteri lebih banyak memproduksi nitrogen oksida daripada vena. Gliseril nitrat memberi efek dilatasi pada vena; karena vena mensintesis lebih sedikit nitrogen oksida dibandingkan dengan arteri, vena lebih peka terhadap nitrogen oksida dari luar (gliseril nitrat)2,5. Relaksasi endotelium pada arteri koroner yang telah mengalami penebalan (atherosclerotic coronary arteries) berkurang sedangkan pengaruh dan kepekaan terhadap vasokonstriktor meningkat. Pemberian arginin dapat menormalkan gangguan vaskular ini pada individu dengan hiperkolesterolemi. Pemberian arginin akan mencegah hipertensi pada hewan percobaan yang berbakat menderita hiperkolesterolemi dan juga menyebabkan penurunan tekanan sistolik dan diastolik yang cepat jika diberikan pada orang normal dan pasien dengan hipertensi esensial1. Turunan arginin yang termetilasi seperti N-N-dimetilarginin, N-monometilarginin, adalah inhibitor NOS yang terdapat dalam plasma dan urin. Senyawa ini terakumulasi dalam plasma pasien yang mengalami gagal ginjal akut. Inhibisi NOS oleh senyawa ini dapat menjelaskan, paling tidak ikut berperan pada, keadaan hipertensi dan gangguan sel darah

putih yang terjadi pada kondisi ini1,2. Inhalasi gas nitrogen oksida pada saluran pernapasan menyebabkan penurunan hipertensi pulmonal. Pemberian nitrogen oksida secara inhalasi (18-36 ppm) selama tujuh hari dapat memperbaiki fungsi paru pasien, yang menunjukkan bahwa inhalasi nitrogen oksida membantu penyembuhan gangguan paru-paru. Perlu dicatat bahwa nitrogen oksida endogen ditemukan dalam udara yang dikeluarkan dari pernapasan (exhaled air) dengan konsentrasi 5-20 ppb1,7. Sistim Saraf Pusat dan Perifer Nitric oxide synthase telah dideteksi dengan jumlah yang beragam di semua daerah di otak manusia. Fakta menunjukkan bahwa nitrogen oksida berperan dalam pembentukan memori. In vitro, sesudah rangsangan reseptor spesifik, nitrogen oksida dilepaskan dari postsinap dan bekerja pada presinap satu saraf atau lebih pada berbagai arah. Nitrogen oksida dapat berperan sebagai pembawa balik berita, sehingga sel-sel postsinap dapat mengirim kembali signal ke neuron presinap. Hal ini akan meningkatkan pelepasan glutamat sehingga terjadi peningkatan transmisi sinaptik, suatu fenomena yang dikenal dengan long term potentiation (potensiasi jangka panjang), dan diduga terkait dengan pembentukan memori. Percobaan pada hewan menunjukkan bahwa nitrogen oksida terlibat dalam memori, karena inhibisi sintesis nitrogen oksida in vivo ternyata mengganggu proses pembelajaran1,2,5. Nitrogen oksida juga ditemukan dalam sebagian saraf perifer yang mungkin berperan terhadap transmisi sensorik, dan juga menjadi transmiter atau modulator dalam saraf nonadrenergik dan nonkolinergik. Di saluran pencernaan tikus, nitrogen oksida menjadi mediator beberapa bentuk relaksasi, termasuk dilatasi lambung dalam menyesuaikan tekanan dalam lambung. Pada manusia, inhibitor NOS menurunkan relaksasi elektris. Maka, sebagaimana dengan sistim kardiovaskular, tampaknya nitrogen oksida sangat berperan pada fungsi fisiologis organ-organ saluran pencernaan1,2. Jalur L-arginin-nitrogen oksida bertanggung jawab untuk relaksasi bagian rongga dan oleh karena itu berperan pada ereksi penis manusia. Nitrogen oksida terdapat dalam jaringan penis berbagai hewan, juga manusia. Di samping itu, dosis kecil inhibitor NOS akan menurunkan ereksi penis tikus yang dipicu secara elektris. Jadi, nitrogen oksida diduga merupakan mediator terakhir pada ereksi penis. Selama hubungan seks, ereksi penis dimediasi oleh pelepasan nitrogen oksida dari ujung saraf yang dekat ke pembuluh darah penis. Relaksasi pembuluh darah ini menyebabkan darah menumpuk dalam penis yang menyebabkan ereksi terjadi1,5. Menginhibisi sintesis nitrogen oksida pada tikus memicu aktivitas berlebihan kandung kemih dan mengurangi kapasitasnya. Ada sistim saraf yang tersebar luas dalam tubuh yang menggunakan nitrogen oksida sebagai neurotransmitter. Sarafsaraf ini terbukti penting sebagaimana halnya dengan saraf adrenergik dan kolinergik, dan tidak berfungsinya sistim ini dapat menyebabkan berbagai gangguan termasuk impotensi1. Cara kerja obat sildenafil sitrat (Viagra) adalah dengan menghambat penguraian nitrogen oksida sehingga efek fisiologis nitrogen oksida meningkat dan lebih lama bertahan5.

28 Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

Juga diyakini bahwa nitrogen oksida bekerja dalam sistim reproduksi bukan hanya pada proses ereksi. Pada saat terjadi kontak antara sperma dan telur, pelepasan nitrogen oksida oleh sperma mengaktifkan sel telur untuk melangsungkan meiosis dan langkah lain dari proses pembuahan. Akrosom pada bagian kepala sperma mengaktifkan nitrogen oksida sintase pada saat memasuki sel telur. Pelepasan nitrogen oksida dalam sel telur sangat penting untuk memicu tahap berikutnya dalam proses menghalangi masuknya sperma lain dan mengatur pronuklei untuk pembelahan. Pelepasan nitrogen oksida di sekitar glomerulus ginjal meningkatkan aliran darah yang melaluinya sehingga laju penyaringan dan pembentukan urin akan meningkat1,5. Nitrogen Oksida dalam Imunitas dan Inflamasi Satu abad yang lalu diyakini bahwa resistensi terhadap kanker disebabkan adanya imunitas nonspesifik. Fenomena ini dikaitkan dengan aktivitas makrofag. Data saat ini mengindikasikan bahwa imunitas nonspesifik ini berkaitan dengan induksi NOS. Jika hal ini benar, imunitas nonspesifik karena nitrogen oksida adalah suatu fenomena umum yang meliputi bukan hanya sistim retikuloendotel tetapi juga sel-sel nonretikuloendotel seperti hepatosit, otot polos vaskular, dan endotelium vaskular yang di dalamnya mengandung NOS. Dalam organ paru-paru dan hati, sistim imunitas nonspesifik karena nitrogen oksida ini tampaknya sangat penting, karena kedua organ ini berada pada posisi yang sangat strategis dalam sistim sirkulasi sebagai filter pertahanan tubuh. Nitrogen oksida juga terlibat dalam imunitas spesifik, tetapi mekanismenya belum diketahui dengan tuntas1,2. Nitrogen oksida berperan secara parsial dalam inflamasi akut dan kronis. Pengobatan dengan inhibitor NOS mengurangi tingkat inflamasi akut pada tikus, sedangkan arginin bekerja sebaliknya. Konsentrasi nitrit dalam plasma dan cairan sinovial meningkat pada pasien artritis rematoid dan penyakit sendi degeneratif1. Sumber nitrogen oksida dalam proses inflamasi belum jelas, tetapi mungkin berasal dari pembuluh darah, neutrofil dan makrofag. Nitrogen oksida diduga dapat merusak jaringan, karena bersifat sitostatik atau sitotoksik tidak hanya terhadap mikroba tetapi juga terhadap sel-sel penghasil nitrogen oksida dan terhadap sel tetangganya. Kerusakan jaringan dan sel dapat terjadi karena terbentuknya peroksinitrit (ONOO-) hasil reaksi antara nitrogen oksida dengan superoksida (O2._) yang terbentuk pada keadaan inflamasi. Di samping itu, ONOO- juga dapat terurai menjadi zat toksis seperti nitrogen dioksida15,18,19. Tetapi nitrogen oksida berperan ganda yakni di satu pihak bersifat sitotoksik dan juga sebagai vasodilator sehingga akan bersifat protektif. Dengan demikian nitrogen oksida tampaknya bersifat multifungsi dalam reaksi inflamasi, mulai dari vasodilator dan pembentukan edema, modulasi ujung saraf sensoris dan aktivitas leukosit, sampai ke toksisitas jaringan1,7,19. Aktivasi makrofag oleh lipopolisakarida dan gamma interferon, baik secara tersendiri atau bersamaan, menimbulkan induksi NOS yang tidak tergantung pada kalsium (calcium independent nitric oxide synthase). Induksi yang demikian menyebabkan produksi berkesinambungan nitrogen oksida, yang berdifusi ke sel target seperti sel-sel tumor, bakteri, fungi

dan cacing. Di sini, nitrogen oksida bergabung dengan inti pusat besi dan sulfur dalam enzim kunci dari siklus pernapasan dan jalur sintesis DNA. Enzim-enzim tersebut antara lain adalah aconite hydratase, NADH dehydrogenase, succinateNADH dehydrogenase, dan ribonucleoside diphosphate reductase1,17. Nitrogen Oksida pada Keadaan Patologis Produksi iNOS dalam dinding pembuluh dapat diinduksi oleh sitokin dan oleh endotoksin lipopolisakarida yang bekerja melalui pelepasan sitokin. Induksi ini terjadi baik dalam sel-sel endotelium dan otot polos. In vitro, terjadi relaksasi yang resisten terhadap vasokonstriktor tetapi dapat dicegah dengan glukokortikoid dan inhibitor NOS. Pada syok endotoksin pada hewan peningkatan produksi nitrogen oksida berhubungan langsung dengan tingkat hipotensi. Nitrogen oksida yang dilepaskan oleh enzim iNOS ini menyebabkan vasodilatasi dan bersifat resisten terhadap vasokonstriktor seperti pada septik syok, dan pada hipotensi karena terapi sitokin pada pasien kanker1,2,5. Inhibitor NOS dapat mencegah hipotensi pada hewan yang diinduksi dengan lipopolisakarida dan pada hewan dengan syok hemoragik dan anafilaktik. Pada pasien syok septik, dosis rendah monometil arginin pada terapi standar, memulihkan hipotensi. Percobaan hewan menunjukkan bahwa tingkat inhibisi terhadap sintesis nitrogen oksida menjadi sangat penting untuk menentukan hasil yang akan dicapai, karena dosis tinggi akan menjurus ke vasokonstriksi kuat, yang dapat menyebabkan kerusakan organ, dan kematian. Efek ini terjadi pada kondisi tertentu seperti syok septik, karena pada kondisi ini hipotensi terjadi bersamaan dengan peningkatan konsentrasi vasokonstriktor sirkulasi. Salah satu cara untuk mengatasi hal ini adalah menghambat total pembentukan nitrogen oksida endogen dan diikuti dengan pemberian nitrovasodilator untuk mengatasi hipertensi dan mempertahankan homeostasis vaskular. Perlakuan demikian juga akan menghalangi agregasi platelet yang mungkin terjadi selama inhibisi sintesis nitrogen oksida1,2. Endotoksin juga menginduksi NOS dalam otot polos vena, dan dalam miokardium dan endokardium, peningkatan sintesis nitrogen oksida oleh enzim ini dapat menimbulkan disfungsi jantung jika terjadi endotoksinemia. Lagi pula, disfungsi jantung akibat dilatasi juga karena induksi enzim ini. Maka, dalam jantung sebagaimana dalam sistim vaskular, nitrogen oksida mempunyai peran fisiologis jika diproduksi oleh enzim eNOS yang biasanya terdapat dalam miokardium; dan dapat menjadi patologis, menyebabkan dilatasi dan kerusakan jaringan jika diproduksi dalam jumlah banyak dalam jangka lama oleh enzim iNOS. Konsentrasi nitrat dan nitrit serum, metabolit oksidasi nitrogen oksida, menjadi relevan pada pasien dengan sirosis, terutama dengan sindrom hepatorenal, dan konsentrasi ini berkorelasi dengan tingkat endotoksinemia1,2,5. KESIMPULAN Nitrogen oksida adalah mediator penting pada proses homeostasis dan mekanisme pertahanan. Penyimpangan pembentukan dan aktivitasnya bersifat patologis. Produksi nitrogen

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

29

oksida yang berlebihan pada keadaan infeksi serius seperti syok septik menyebabkan dilatasi vaskuler yang kuat dan diikuti dengan hipotensi yang fatal. Bagaimana perubahan konsentrasi L-arginin mempengaruhi inisiasi, perkembangan, dan resolusi dari sebagian kondisi patologis ini belum diketahui. Sejauh ini, tampaknya peningkatan asupan arginin mempengaruhi reaktivitas vaskular dan menurunkan ketebalan intima pada aterosklerosis dan juga dapat mengurangi tekanan darah dan pertumbuhan berlebihan dari sel-sel otot polos pada hipertensi. Efek fisiologis dapat dimodifikasi dengan cara meningkatkan konsentrasi aktif nitrogen oksida endogen seperti memperpanjang waktu paruh atau lamanya aktivitas. Senyawa nitrat organik yang dapat menghasilkan nitrogen oksida dapat digunakan untuk tujuan terapi jika produksi nitrogen oksida terganggu. Inhalasi nitrogen oksida telah terbukti bermanfaat pada pengobatan hipertensi pulmoner dan gangguan pernafasan pada bayi dan orang dewasa. Inhibitor nitrogen oksida synthase yakni derivat arginin seperti monometil arginin, dimetil arginin sangat bermanfaat sebagai alat untuk meneliti fungsi fisiologis nitrogen oksida. Inhibisi selektif produksi nitrogen oksida membuka kemungkinan untuk tujuan terapi. Kadar produk sampingan produksi nitrogen oksida dari arginin seperti nitrit, nitrat, L-sitrullin dalam sistim biologis dapat menjadi alat untuk memantau kondisi patologis dan perkembangan terapi yang dilakukan. KEPUSTAKAAN
1. 2. 3. 4. 5. Moncada S, Higgs A. The L-Arginine-Nitric Oxide Pathway. N Engl J Med. 1993; 329: 2002-12. Valiance P, Collier J. Biology and Clinical Relevance of Nitric Oxide. BMJ 1994; 309 (August): 453-7. Kiely G. Environmental Enginering. Mc Graw-Hill. New York. 1998: 341-4. Silberberg MS. Chemistry: The Molecular Nature of Matter and Change. 2nded. Sydney: Mc Graw Hill. 2000: 575- 576. Nitric Oxide (NO). http://users.rcn.com/jkimball.ma.ultranet/Biology Pages/N/NO.html (diakses October 2003).

6. 7. 8. 9. 10.

11.

12. 13. 14. 15. 16. 17.

18.

19. 20. 21.

Cassens RG. Use of Sodium Nitrite in Cured Meats Today. Food Technol. 1995(July): 72 - 80. Lazarus SC. Just say NO: Nitric oxide and its role in allergic disease. American Academy of Allergy, Asthma and Immunology 56th Annual Meeting: Day 2. March 5, 2000 Silalahi J. Free radicals and antioxidant vitamins in degenerative diseases. Maj. Kedokt. Indon. 2001; 51:1(1): 16-21. Papas AM. Beyond alpha-tocoferol: The role of the other tocoferols and tocotrienols. In: Meskin MS, Bidlack WR, Davies AJ., Omaye ST (eds). Phytochemicals in Nutrition and Health. CRC. London. 2002: 61-77. Sumanont Y, Murakami Y, Tohda M., Vajragupta O, Matsumoto K, Watanabe H. Evaluation of the Nitric Oxide Radical Scavenging Activity of Manganese Complexes of Curcumin and Its Derivative. Biol. Pharm. Bull. 2004; 27(2): 170-173. Ruschitzka FT, Wenger RH, Stallmach T, Gassmann M. et al. Nitric oxide prevents cardiovascular disease and determines survival in polyglobulic mice overexpressing erythropoietin. Proc. Natl. Acad. Sci. 2000: 92 (21): 11609-11613. Adachi H, Nguyen PH, Belardinelli R, Jung T, Wasserman K. Nitric Oxide Production during Exercise in Chronic Heart Failure. Am. Heart J. 1997:134(2): 196-203. Finan A, Keenan P, Donovan F, Mayne P. Methemoglobinemia associated with sodium nitrite and nitrate in three siblings. BMJ 1998; 317(24 Oct): 1138 - 9. Breckenridge A. Recent Advances: Clinical pharmacology and therapeutics. BMJ 1995;310: 377- 80. Informasi Spesialite Obat (ISO) Indonesia. ISFI. Jakarta, 2002. Woodley M, Whelan A. Pedoman Pengobatan. Yogyakarta:Yayasan Essentia Medica.. 1995: 131-135. Shen JG, Zhao JL, Li MF, Wan Q, Xin WJ. Inhibitory effects of Ginkgo Biloba Extract (EGb 761) on Oxygen free radicals, Nitric oxide, Myocardial Injury in Isolated Ischemic-Reperfused Hearts. In: Packer L, Traber MG, Xin W. (eds). Proc. Internat. Symposium on Natural Antioxidants. June 20-24. 1995. Peking, China. AOAC Press. 1996: 453-65. Zhang Z, Frears ER, Blake RD, Winyard PG. Inactivation of alphaProteinase Inhibitor by Simultaneous Generation of Nitric oxide and Superoxide. In: Packer L, Traber MG, Xin W. (eds). Proc. Internat. Symposium on Natural Antioxidants. June 20-24. 1995. Peking, China. AOAC Press. 1996: 359-66. Kikugawa K, Hiramoto K, Ohkawa T. Effects of Oxygen on the Reactivity of Nitrogen Oxide Species Including Peroxynitrite. Biol. Pharm. Bull. 2004: 27(1):17-23. Friel JP. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 26. Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah EGC. Jakarta. 1996 Wardlaw GM, Kessel MW. Perspective in Nutrition. 5th ed. McGraw-Hill. 2002: 249.

30 Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

LAPORAN KLINIS

Pengalaman Klinis Transplantasi Jantung


Yanto Sandy Tjang, Gero Tenderich, Lech Hornik, Michiel Morshuis, Kazutomo Minami, Richardus Budiman, Reiner Krfer
Bagian Bedah Thoraks dan Kardiovaskuler, Pusat Jantung dan Diabetes Nordrhein Westfalen/ RS Pendidikan Universitas Ruhr Bochum, Bad Oeynhausen, Jerman

ABSTRAK Meningkatnya umur harapan hidup, kemajuan bidang prevensi dan diagnosis serta terapi dasar penyebab penyakit kardiovaskuler telah memberikan sumbangan besar bagi meningkatnya jumlah penderita gagal jantung kronis. Prevalensi penyakit ini meningkat sesuai dengan usia, berkisar dari <1% pada usia <50 tahun hingga 5% pada usia 50-70 tahun dan 10% pada usia >70 tahun. Prognosis penderita gagal jantung kronis sangatlah buruk jika penyebab yang mendasarinya tidak ditangani. Hampir 50% penderita gagal jantung kronis meninggal dalam kurun waktu 4 tahun; 50% penderita stadium akhir meninggal dalam kurun waktu 1 tahun. Meskipun berbagai terapi gagal jantung kronis baik yang bersifat non farmakologis, farmakologis maupun bedah telah berkembang pesat, transplantasi jantung masih merupakan pilihan terapi utama bagi penderita gagal jantung. Pada 3 Desember 1967, di Afrika Selatan, Christian Barnard berhasil melakukan transplantasi jantung orthotopik antar manusia untuk pertama kali. Keberhasilan ini segera diikuti oleh pusat transplantasi jantung lainnya di berbagai belahan dunia. Meningkatnya angka harapan hidup pasca transplantasi jantung tidak hanya ditentukan oleh makin baiknya mutu perawatan pasca bedah, namun juga akibat makin baiknya sistem seleksi kandidat transplantasi. Selain itu seleksi donor juga sangat menentukan keberhasilan transplantasi jantung. Sejak dimulainya program transplantasi di Pusat Jantung & Diabetes NRW di Bad Oeynhausen, Jerman pada 13 Maret 1989, sebanyak 1406 transplantasi jantung orthotopik telah berhasil dilakukan. Angka harapan hidup berkisar antara 80%, 69%, 54% dan 39% berturut-turut pada tahun pertama, ke lima, ke sepuluh dan ke lima belas. Kata kunci: Gagal jantung, transplantasi jantung, angka harapan hidup. PENDAHULUAN Gagal jantung kronis sebagai penyebab utama kematian di negara industri, saat ini juga menjadi salah satu penyebab kematian utama di negara-negara berkembang(1). Di samping meningkatnya umur harapan hidup manusia, kemajuan bidang prevensi dan diagnosis serta terapi dasar penyebab penyakit kardiovaskuler telah memberikan sumbangan besar bagi meningkatnya jumlah penderita gagal jantung kronis. Saat ini diperkirakan hampir 5 juta penduduk di AS menderita gagal jantung, dengan 550.000 jumlah kasus baru terdiagnosis setiap tahunnya(2). Di samping itu gagal jantung kronis juga menjadi penyebab 300.000 kematian setiap tahunnya. Lebih dari 34 milyar USD dibutuhkan setiap tahunnya untuk perawatan medis penderita gagal jantung kronis ini. Bahkan Eropa diperkirakan membutuhkan sekitar 1% dari seluruh anggaran belanja kesehatan masyarakat(3). Prevalensi gagal jantung kronis meningkat sesuai dengan umur, berkisar dari <1% pada usia <50 tahun hingga 5% pada usia 50-70 tahun dan 10% usia >70 tahun(2). Prognosis penderita gagal jantung kronis sangatlah buruk jika penyebab nya tidak ditangani. Hampir 50% penderita gagal jantung kronis meninggal dalam kurun waktu 4 tahun ; 50% penderita

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

31

stadium akhir meninggal dalam kurun waktu 1 tahun(4) Meskipun berbagai kemajuan terapi gagal jantung kronis baik yang bersifat non farmakologis, farmakologis maupun secara bedah telah berkembang dengan pesat, transplantasi jantung masih merupakan pilihan terapi utama bagi penderita gagal jantung stadium akhir. Artikel ini bertujuan memberikan gambaran tentang sejarah, indikasi, kontraindikasi transplantasi jantung dan kriteria donor jantung serta pengalaman klinis transplantasi jantung di pusat jantung kami. SEJARAH TRANSPLANTASI JANTUNG Rasa ingin tahu manusia yang tidak terbatas serta keinginan hidup abadi tercermin secara nyata sejak tahap awal sejarah transplantasi jantung. Oleh sebab itu, ide penggantian jantung yang rusak dengan yang baru telah berkobar dalam imajinasi manusia sejak beberapa abad yang lalu. Beberapa catatan sehubungan dengan transplantasi jantung dapat ditemukan dalam Kitab Perjanjian Lama maupun dalam cerita mitologi Cina.(5,6,7). Karya pionir Alexis Carrel di awal abad ke-20 telah membawa ide transplantasi jantung keluar dari alam mitologi dan menjadi kenyataan; bersama Morel, dia mengembangkan teknik jahitan vaskuler di Perancis. Pada tahun 1904, dia pindah ke Universitas Chicago dan setahun kemudian bersama Charles Guthrie melakukan transplantasi jantung pertama pada anjing yang hanya bertahan hidup selama 2 jam(8) . Untuk karya besar ini, Carrel menerima Penghargaan Nobel di bidang kedokteran di tahun 1912. Pada tahun 1933 Frank C. Mann mengembangkan penelitian untuk mempelajari fisiologi dan imunologi transplantasi jantung(9). Dialah yang pertama menggambarkan perubahan patologi reaksi penolakan organ dan mengkaitkannya dengan inkompatibilitas biologis antara donor dan resipien. Berbagai penelitian eksperimental lainnya terus berkembang untuk menyempurnakan transplantasi jantung(10). Pada tahun 1951 Demikhov dari Rusia memelopori transplantasi jantung-paru pada anjing(11). Penggabungan transplantasi jantung-paru ini bertujuan untuk menyederhanakan teknik operasi. Penelitian penting lainnya berasal dari Lower dan Shumway, yang pada tahun 1960 melaporkan transplantasi jantung dengan menggunakan gabungan teknik bedah sederhana dengan upaya proteksi organ pada anjing; 5 dari 8 anjing yang ditransplantasi jantungnya hidup kembali normal, namun karena tidak mendapatkan obat imunosupresif, hewan-hewan tersebut kemudian meninggal. Diperkirakan penyebab kematiannya adalah reaksi penolakan organ(12) . Fase klinis transplantasi jantung dimulai pada tahun 1964. James Hardy saat itu merencanakan transplantasi jantung dari seorang lelaki muda yang meninggal karena kerusakan otak irreversibel kepada seorang lelaki penderita gagal jantung kronis berusia 68 tahun. Penderita itu tiba-tiba menjadi tidak stabil namun karena si donor masih hidup (dalam arti belum berhentinya fungsi jantung-paru, menurut definisi konsep mati pada waktu itu), transplantasi jantung belum dapat dilaksanakan. Hardy terpaksa mentransplantasikan jantung seekor simpanse. Meskipun secara teknis transplantasi ini sangat memuaskan, jantung simpanse tersebut ternyata terlalu kecil

sehingga tidak mampu mengambil alih fungsi sirkulasi manusia yang menyebabkan penderita tersebut meninggal beberapa saat kemudian(13). Christian Barnard tiba-tiba mengejutkan seluruh dunia ketika pada tanggal 3 Desember 1967 berhasil melakukan transplantasi jantung antar manusia pertama kalinya di RS Groote Schuur Cape Town, Afrika Selatan. Louis Washkansky, lelaki berusia 54 tahun dengan gagal jantung stadium akhir memperoleh donor jantung dari seorang wanita muda berusia 24 tahun yang didiagnosis menderita kerusakan otak berat akibat kecelakaan lalu lintas. Sayangnya, resipien hanya mampu bertahan hidup selama 18 hari dan meninggal karena radang paru-paru(14). Keberhasilan ini segera diikuti oleh pusat transplantasi jantung lainnya di berbagai belahan dunia. Meskipun hasil awal kurang memuaskan, dengan makin baiknya kriteria seleksi donor dan resipien, penanganan terhadap infeksi, penemuan teknik biopsi endomiokard untuk mendeteksi reaksi penolakan akut dan penemuan obat imunosupresif, angka harapan hidup telah mencapai sekitar 80% di tahun pertama(15) dan 70% di tahun ke lima(16). Saat in lebih dari 66.000 transplantasi jantung(17) dan 3047 transplantasi jantungparu(18) telah berhasil dilakukan di lebih dari 220 pusat jantung di seluruh dunia(19). Program transplantasi jantung di Pusat Jantung & Diabetes Northrhine Westphalia Bad Oeynhausen berawal pada tanggal 13 Maret 1989, dan pada tahun yang sama sebanyak 39 transplantasi jantung telah dilakukan. Satu tahun kemudian, sejumlah 129 penderita gagal jantung kronik berhasil ditransplantasi(20). Angka ini melebihi jumlah total transplantasi jantung di Jerman saat itu. Pada tahun berikutnya, jumlah transplantasi meningkat menjadi 148, dalam arti hampir 3 kali transplantasi jantung per minggu dan jumlah ini telah menembus rekor nasional. Saat ini, program transplantasi jantung di Bad Oeynhausen termasuk salah satu pusat transplantasi jantung tersibuk di dunia (21). INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI Menurut data dari ISHLT Registry (Badan registrasi perkumpulan internasional untuk transplantasi jantung dan paru), latar belakang diagnosis yang menjadi indikasi utama transplantasi jantung adalah kardiomiopati dan penyakit jantung koroner stadium akhir (Tabel 1).
Tabel 1. Diagnosis Kardiomiopati Penyakit Jantung Koroner stadium akhir Penyakit Katup Jantung Penyakit Jantung Kongenital Retransplantasi jantung Lain-lain Latar Belakang Diagnosis Indikasi Transplantasi Jantung Proporsi (%) 45% 45% 3- 4% 2% 2% 2-3%
(17)

Meningkatnya angka harapan hidup pasca transplantasi jantung tidak hanya ditentukan oleh makin baiknya mutu perawatan pasca bedah, namun juga akibat makin baiknya sistem seleksi kandidat transplantasi. Namun begitu hal ini masih menjadi masalah yang kontroversial dan kriteria seleksi

32

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

kandidat umumnya bervariasi di antara pusat jantung. Kriteria kandidat transplantasi yang lazim saat ini merupakan modifikasi dari acuan yang diterbitkan oleh Perhimpunan Kardiologi Amerika (ACC) pada tahun 1993, dengan berdasarkan pada Heart Failure Survival Score (HFSS) (Tabel 2).
Tabel 2. Kriteria seleksi resipien(22) 1. Diterima Heart Failure Survival Score (HFSS) risiko tinggi Peak VO2 <10 ml/kg/min setelah mencapai batas ambang anaerobik Gagal jantung NYHA class III/IV, refrakter terhadap terapi medis secara maksimal Iskemi berat, tidak memungkinkan untuk revaskularisasi secara intervensi atau bedah Aritmi ventrikuler simptomatik rekuren, refrakter terhadap obat, ICD, dan tindakan bedah HFSS risiko menengah Peak VO2 <14 ml/kg/min dan keterbatasan fungsional berat Instabilitas keseimbangan cairan dan fungsi ginjal meski dengan disiplin tinggi, penimbangan berat badan tiap hari, pembatasan garam & cairran serta pemakaian diuretik Iskemia rekuren tidak stabil, tidak memungkinkan untuk revaskularisasi. Hanya HFSS risiko rendah Peak VO2 >1518 ml/kg/min tanpa indikasi lain Hanya ejeksi fraksi ventrikel kiri < 20 % Hanya riwayat gejala NYHA class III/IV Hanya riwayat aritmi ventrikuler

SELEKSI DONOR Seleksi donor juga sangat menentukan keberhasilan transplantasi jantung. Karena suplai donor jantung sangat terbatas, maka sangatlah diharapkan untuk sedapat mungkin mengidentifikasi donor jantung yang sesuai. Upaya ini berdampak pada modifikasi cara skrining donor, sehingga banyak kriteria lama yang ada, saat ini tidak berlaku lagi. Tabel 4 memuat daftar kontraindikasi absolut dan relatif sebagai donor jantung di Pusat Jantung & Diabetes Northrhine Westphalia (Heart and Diabetes Center NRW) di Bad Oeynhausen.
Tabel 4. Absolut Kontraindikasi absolut and relatif sebagai donor jantung(20) Keracunan Karbonoksida (CO) dengan kadar Met-Hb. >20% Aritmia ventrikuler kompleks pO2 arterial < 80% meski dengan bantuan respirator Penyakit jantung koroner berat dan difus secara angiografis Riwayat miokardial infark Infeksi HIV Hipokinesia berat dan global dengan ejeksi fraksi <10% Tumor intrakardial Tumor infratentorial Trauma toraks dengan melibatkan jantung Infeksi Hepatitis B/ C, transplantasi memungkinkan pada resipien positif Hipoperfusi berkepanjangan dengan tekanan sistolik < 60 mmHg > 6 jam Takikardi supraventrikuler rekuren Terapi poli katekholamin dosis tinggi > 24 jam Resusitasi kardiopulmoner > 30 menit Hipertrofi ventrikuler kiri berat Hipokinesia ventrikuler dengan ejeksi fraksi sekitar 10 - 25% Keracunan CO dengan kadar Met-Hb. < 20%

2. Mungkin

3. Inadekuat

Relatif

Tabel 3. Kontraindikasi transplantasi jantung bagi resipien(22) Penyakit jantung Penyakit lain Hipertensi pulmonal irreversibel (PVR >6 WU) Infeksi aktif Infark pulmonal dalam 68 minggu terakhir Gangguan ginjal kronik yang signifikan dengan creatine >2.5 or clearance <25 ml/min secara persisten Gangguan hepatik kronik yang signifikan dengan bilirubin >2.5 or ALT/AST >2X secara persisten Malignansi aktif atau baru berlalu Penyakit sistemik seperti amiloidosis Penyakit paru kronik yang signifikan Penyakit pembuluh darah karotis atau perifer yang signifikan Koagulopati yang signifikan Penyakit ulkus lambung Penyakit kronis utama Diabetes dengan kerusakan end-organ dan/ atau diabetes laten Obesitas eksesif (e.g. >30% nilai normal) Penyakit jiwa yang masih aktif Bukti adanya penyalahgunaan obat, rokok dan alkohol dalam kurun waktu 6 bulan terkhir, refrakter terhadap nasehat ahli Instabilitas psikososial, refrakter terhadap nasehat ahli > 65 tahun ratio serum alanine aminotransferase terhadap aspartate aminotransferase; PVR: pulmonary vascular resistance; WU: woods units.

Psikososial

Usia ALT/AST:

Keadaan yang dipertimbangkan sebagai kontraindikasi transplantasi jantung, didasarkan bukti menurunnya angka harapan hidup baik jangka pendek maupun benefit jangka panjang tertera dalam tabel 3.

PENGALAMAN KLINIS Sejak dimulainya program transplantasi di Pusat Jantung & Diabetes NRW di Bad Oeynhausen, Jerman; dari tanggal 13 Maret 1989 hingga 31 Desember 2004, sebanyak 1406 transplantasi jantung orthotopik telah berhasil dilakukan pada 1153 (82%) laki-laki dan 253 (18%) wanita dengan rentang umur dari 2 hari hingga 78 tahun (mean 50,3 16.9). Umur donor berkisar dari 1 hari hingga 72 tahun (mean 34,2 15,4). Indikasi transplantasi jantung berupa kardiomiopati dilatatif (50,9 %), penyakit jantung koroner (38,6%), penyakit katup jantung (5,3%), penyakit jantung kongenital (2,8%), retransplantasi jantung (2,0%), akut miokarditis (0,1%) dan lain-lain (0,3%). Lama tunggu transplantasi jantung berkisar antara beberapa jam hingga 1283 hari ( mean 198 240.5). Penyebab kematian donor adalah: perdarahan traumatik (39,5%), perdarahan spontan (41,5), hipoksi (7,3%), luka tembak (2,6%), iskemi serebral (3,3%), tumor otak (2,4%), intoksikasi (1,8%) dan lain-lain (1,5%). Donor organ ditransportasi dengan memakai cairan Kardioplegia dengan masa iskemik berkisar antara 68 menit hingga 340 menit (mean 195,9 41,3). Begitu ditemukan donor yang sesuai, pemberian obat imunosupresif segera dimulai dengan siklosporin A, azathioprin dan metilprednisolon. Terapi induksi dengan antibodi mono/ poliklonal sangat dibatasi, dan terapi jangka panjang sebisanya tanpa menggunakan steroid. Umumnya pasien mendapatkan terapi siklosporin A dan azathioprin atau tacrolimus (FK 506) dan Mycophenolat

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005 33

Mofetil (CellCept). Pemantauan reaksi penolakan dilakukan dengan memakai biopsi endomiokardium, elektrokardiografi, monitor sitoimunologi, maupun dengan diagnostik radiologi. Pengambilan keputusan penanganan lebih lanjut tergantung gejala klinis pasien. Pemeriksaan tekanan darah, denyut jantung, berat badan dan suhu tubuh mutlak diperlukan.
1.0 .9 .8

REFERENSI 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Mendez GF, Cowie MR. The epidemiological features of heart failure in developing countries: a review of the literature. Int J Cardiol. 2001; 80: 213-9. American Heart Association. 2002 Heart and Stroke Statistical Update. Dallas, TX: American Heart Association, 2002. Vitali E, Colombo T, Fratto P, et al. Surgical therapy in advanced heart failure. Am J Cardiol. 2003;91(suppl):88F-94F. Schocken DD, Arietta MI, Leaverton PE, et al. Prevalence and mortality rate of congestive heart failure in the United States. J Am Coll Cardiol.1992;20:301-6. Sarton G. Introduction to the History of Science, Vol. I. Baltimore: Williams & Wilkins, 1927. Veith I. Huang Ti Nei Ching Su Wen - The Yellow Emperors Classic of Internal Medicine. Baltimore: Williams & Wilkins, 1949. Wong KC, Lien-Tae O. History of Chinese Medicine, 2nd ed. New York: AMS Press, 1973: 21-57. Carrel A, Guthrie CC. The transplantation of veins and organs. Am Med. 1905; 10:1101-2. Mann FC, Priestly JT, Markowitz J et al. Transplantation of the intact mammalian heart. Arch Surg. 1933;26:219-24. Barnard CN. A human cardiac transplant: an interim report of a successful operation performed at Groote Schuur Hospital, Cape Town. S Afr Med J. 1967; 41:1271-4. Demikhov VP. Experimental transplantation of vital organs. New York: Consultants Bureau, 1962. Miller LW, Missov ED. Epidemiology of heart failure. Cardiol Clin. 2001; 19: 547-55. Hardy JD, Chavez CM, Kurrus FD et al. Heart transplantation in man. JAMA 1964; 188:114-22. Marcus E, Wong SNT, Luisada AA. Homologous heart grafts. I. Technique of interim parabiotic perfusion, II. Transplantation of the heart in dogs. Surg Forum. 1953; 66:179-91. OConnell JB, Renlund DG, Bristow MR. Cardiac transplantation: Emerging role of the internist/ cardiologist. J Int Med. 1989; 225:147-56. Lower RR, Shumway NE. Studies in orthotopic homotransplantations of the canine heart. Surg Forum. 1960;11:18-9. Taylor DO, Edward LB, Boucek MM et al. The registry of the international society for heart and lung transplantation: Twenty-first official adult heart transplant report - 2004. J Heart Lung Transplant. 2004;23:796-803. Trulock EP, Edwards LB, Taylor DO et al. The registry of the International Society for Heart and Lung Transplantation: Twentyfirst official adult lung and heart-lung transplant report - 2004. J Heart Lung Transplant. 2004;23:804-15. Hertz MI, Mohacsi PJ, Taylor DO, et al. The registry of the international society for heart and lung transplantation: Introduction to the twentieth annual reports 2003. J Heart Lung Transplant. 2003; 22: 610-5. Tenderich G, Schulte-Eistrup S, El-Banayosy A et al. Aktueller Stellenwert der Herztransplantation. Z Allg Med. 2001;77:67-72. Schmid C, Schmitto JD, Scheld HH. Herztransplantation in Deutschland. Ein geschichtlicher berblick. Steinkopff, Darmstadt, 2003. Deng MC. Cardiac transplantation. Heart 2002; 87:177-84.

Angka kumulatif harapan hidup

.7 .6 .5 .4 .3 .2 .1 0.0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Fungsi survival Sensor

11. 12. 13. 14.

Tahun

Gambar 1.

Kurve angka kumulatif harapan hidup transplantasi jantung 15.

Terapi terhadap reaksi penolakan akut diawali dengan pemberian obat imunosupresif dasar dengan dosis tinggi dan terapi kortison dosis tinggi, yaitu 3 kali 1 gram sehari. Dalam kasus tertentu diberikan FK 506 dan/atau Cell Cept atau terapi dengan antibodi mono/ poliklonal selama beberapa hari. Angka kematian dini sebesar 9,2%. Penyebab utama kematian berupa: reaksi penolakan (24.8%), kegagalan multiorgan (16.3%), kegagalan jantung kanan (11.6%), dan infeksi (10.9%). Kegagalan jantung kanan umumnya terjadi pada resipien yang telah memiliki tekanan resistensi pulmonalis >400 dyne atau gradien transpulmonalis >15 mmHg. Angka harapan hidup di tahun pertama sekitar 80%, 69% di tahun ke lima, 54% di tahun ke sepuluh dan 39% di tahun ke 15 (gambar 1). Angka ini tentu sangat bermakna jika dibandingkan dengan prognosis penderita gagal jantung kronik stadium akhir yang tidak menjalani transplantasi jantung.

16. 17.

18.

19.

20. 21. 22.

My only wish is that my wishes should be at rest Ruckert

34

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Pengenalan Miopati Mitokondria


Santosa, Soenarto*, Suyanto Hadi**
Peserta Program Pendidikan Spesialis I, * Guru Besar, ** Kepala Sub Bagian Rematologi Bagian Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/ Rumah Sakit Dr Kariadi Semarang

ABSTRAK Mitokondria adalah rangkaian organela yang unik karena memiliki DNA tersendiri yang disebut DNA mitokondria dengan sifat-sifat yang spesifik. Miopati mitokondria menampilkan berbagai sindrom dengan karakteristik patologi, histokimia dan biokimia yang berbeda-beda yang terjadi sebagai akibat kelainan pada mitokondria. Sindrom ini sering mengenai multisistem dengan berbagai gejala dan tanda dari sistem organ yang terkena. Terdapat nama-nama yang eksotik sindrom ini seperti CPEO (chronic progresive external ophthalmoplegia), MELAS (mitochondrial encephalomyopathy, lactic acidosis, and strokelike episodes), MERRF (myoclonic epilepsy with ragged-red fibers), MNGIE (myoneurogastrointestinal encephalopathy), NARP (neurogenic weakness, ataxia, retinitis pigmentation). Fungsi utama mitokondria adalah memproduksi energi kimia dalam bentuk molekul ATP yang akan dipergunakan sel-sel tubuh. Bila komponen kunci rantai respirasi dalam mitokondria hilang atau rusak maka akan terjadi proses berkelanjutan yang tidak terkendali. Beberapa sindrom mitokondrial dapat disebabkan oleh berbagai perubahan tingkat molekuler yang dapat berupa mutasi dan delesi dari DNA mitokondria. Terapi yang paling umum adalah pemberian zat untuk merangsang aktivitas enzim transport elektron sisa atau memberikan aseptor elektron buatan. Terapi gen menjadi terapi baru dalam pengobatan kelainan-kelainan mitokondria di masa mendatang. PENDAHULUAN Miopati adalah istilah umum untuk penyakit-penyakit yang mengenai otot. Istilah miopati mitokondria berarti berbagai sindrom dengan karakteristik patologi, histokimia dan biokimia yang berbeda-beda. Sindrom ini sering timbul pada multisistem dengan berbagai gejala dan tanda dari sistem organ yang terkena. Miopati mitokondria secara khas disebabkan kelainan pada rantai respirasi atau rantai transpor elektron mitokondria.1.2.4 Mitokondrion (jamak mitokondria: Inggris- mitochondrion, mitochondria) adalah kompartemen sel atau organel tempat proses konversi energi dalam bentuk molekul ATP (adenosine triphosphate) yang dibutuhkan berbagai aktivitas fungsi sel. Mitokondria adalah suatu rangkaian organela unik yang mengandung DNA sendiri.4,5 Pengetahuan tentang mitokondria mengantar kita ke cakrawala baru yaitu mithocondrial medicine sebagai dampak kemajuan pesat dalam dekade delapanpuluhan dan sembilan puluhan dalam pengenalan kita mengenai mutasi DNA mitokondria (mtDNA); yang mendasari sekelompok kelainan neuromuskular dengan struktur dan fungsi mitokondria abnormal. Kelainan neuromuskular ini merupakan kelompok gejala penyakit, yang pada waktu lalu dinamai mitochondrial myopathies atau cytopathies. Dan pengetahuan neuromuskular tersebut masih merupakan yang terlengkap tentang kelainan mitokondria. Sebagai penyakit yang pada hakekatnya merupakan kelainan gen tunggal, menunjukkan adanya hubungan antara mutasi dan ekspresi fenotip sebagai cacat biokimia serta manifestasi klinis.1,6 Pada makalah ini akan dibahas mengenai miopati mitokondria sebagai suatu manifestasi klinis dari kelainan mitokondria.

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

35

MITOKONDRIA SEBAGAI ORGANEL TRANSDUKSI ENERGI Mitokondria berasal dari kata Yunani mito yang berarti benang, dan chondrion yang berarti seperti granul (butiranbutiran), sehingga dapat diartikan sebagai organela dengan rangkaian butir-butir yang tersusun seperti benang. Mitokondria merupakan organela yang unik karena memiliki DNA tersendiri dengan sifat-sifat yang spesifik pula.4,7 1. Struktur Mitokondria Mitokondria merupakan organel berupa kantung yang diselaputi oleh dua membran, yaitu membran luar dan membran dalam; sehingga mitokondria memiliki dua kompartemen, yaitu ruang antar membran (intermembrane space) dan matriks (matrix) mitokondria yang diselimuti langsung oleh membran dalam.1,8 Membran luar Membran luar mengandung protein transport yang disebut porin. Porin membentuk saluran yang berukuran relatif lebih besar di lapisan ganda lipid membran luar; sehingga membran luar dapat dianggap sebagai saringan yang memungkinkan lolosnya ion maupun molekul kecil berukuran 5 kDa atau kurang, termasuk protein berukuran kecil. Molekul-molekul tersebut bebas memasuki ruang antar membran, namun sebagian besar tidak melewati membran dalam yang bersifat impermeabel. Ini berarti bahwa dalam hal kandungan molekul kecil, di ruang antar membran bersifat ekuivalen dengan sitosol sedangkan di ruang matriks berbeda.8 Protein yang terletak pada membran luar meliputi berbagai enzim yang terlibat dalam biosintesis lipid mitokondria dan enzim-enzim yang mengubah substrat lipid menjadi bentuk lain untuk selanjutnya dimetabolisme di matriks mitokondria.8

dengan aktivitas utama mitokondria yaitu terlibat dalam siklus asam trikarboksilat, oksidasi asam lemak dan pembentukan energi. Rantai respirasi terdapat dalam membran dalam ini.8,9 Ruang antar membran Ruang antar membran adalah ruang yang berada di antara membran luar dan membran dalam mitokondria. Ruang ini mengandung sekitar 6% dari total protein mitokondria dan beberapa enzim yang bekerja menggunakan ATP (adenosine triphosphate) yang tengah melewati ruang tersebut untuk memfosforilasi nukleotida lain.8 Matriks Sebagian besar (sekitar 67%) protein mitokondria dijumpai pada bagian matriks. Enzim-enzim yang dibutuhkan untuk proses oksidasi piruvat, asam lemak dan untuk menjalankan siklus asam trikarboksilat terdapat pada matriks ini.8 Rantai respirasi Rantai respirasi dan inhibitornya dapat dilihat pada Tabel 1 yang juga merupakan ringkasan jalur metabolik mitokondria pada gambar 2. Semua kompleks ini berada di membran dalam dan mereka dapat dicapai oleh substrat baik yang berada pada membran maupun pada matriks. Telah diketahui pula berbagai inhibitor rantai respirasi dan efek kliniknya yang dapat dianggap sebagai pengetahuan awal dari mitochondrial medicine.5,8,9
Tabel 1. Kompleks enzim respirasi mitokondria, subunit yang disintesa oleh mitokondria dan inhibitor rantai respirasi.5
Kompleks I II III IV V Aktivitas enzim NADH-coQ reductase succinate- coQ reductase CoQH2 Cytochrome c reductase Cytochrome c oxidase ATP shyntase Jumlah Polipeptida (yang disintesis di Pusat redoks mitokondria) >45[7;ND1-4,4L,5,6] 8 FeS(3 pusat) 2Cytochrome b Cytochrome c1 2FeS(1pusat) 7-8 [1;cytochrome b] Cytochrome a Cytochrome a3 2 Cu 10 [3;CO I, COII,COIII] 10-16[2;ATP6,ATP8] tidak relevan 4[tidak ada] Inhibitor Rotenone Piericidine Amytal Malonate Antimycin A CO CN Oligomycin

Keterangan: NADH : nicotinamide adenine dinucleotide;CoQ:coenzyme Q; ATP : adenosine triphospate

Gambar 1. Struktur mitokondria Keterangan: diagram struktur tiga dimensi mitokondria, bagian bawah adalah elektromikrograf mitokondria.

Membran dalam dan krista Membran dalam dan matriks mitokondria terkait erat

2. Metabolisme mitokondria Fungsi utama mitokondria adalah memproduksi energi kimia dalam bentuk ATP yang akan dipergunakan untuk aktivitas seluruh sel-sel tubuh manusia. Secara garis besar, reaksi pembentukan ATP yang berlangsung di mitokondria dapat dibagi menjadi 3 tahap:8 a. Reaksi oksidasi piruvat (atau asam lemak) menjadi CO2. Reaksi ini terkait dengan reduksi NAD+ dan FAD menjadi NADH dan FADH2. Reaksi-reaksi ini berlangsung dalam ruang matriks mitokondria (lihat gambar 2). b. Transfer elektron dari NADH dan FADH2 ke O2. Rentetan reaksi ini berlangsung pada membran dalam dan terkait dengan pembentukan proton motive force atau gradien elektrokimia lintas membran dalam mitokondria. c. Pemanfaatan energi yang tersimpan dalam bentuk gradien elektrokimia untuk memproduksi ATP. Reaksi ini dikatalisis oleh kompleks enzim F0-F1 ATP sintetase yang berlokasi pada membran dalam.

36 Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

Gambar 2. Jalur metabolik dalam mitokondria Spiral menunjukkan reaksi oksidasi yang menghasilkan pelepasan acetyl-coenzim A dan penurunan flavoprotein. ADP singkatan dari adenosine diphospate, ATP adenosine triphospate, ANT adenine nucleotide translocator, CACT carnitineacyl carnitine translocase, CoQ coenzyme Q, CPT carnitine palmitcyltransferase, DIC dicarboxylate carrier, ETF electron-transfer flavoprotein. ETH-DH electron transfer dehydrogenase, FAD flavin adenine dinucleotide, FADH2 berarti FAD2, NADH nicotinamide adenine dinucleotide, PDHC pyruvate dehydrogenase complex, TCA tricarboxylic acid, angka romawi I s/d V menunjukkan kompleks I s/d V. Dikutip dariDiMauro S, Schon E.A. Mitochondrial Respiratory-Chain Diseases. N Eng J Med. 2003;348:2658-68. http://www.nejm.org

3.

GENETIKA MITOKONDRIA DNA mitokondria manusia merupakan DNA sirkuler tertutup yang berada pada matriks mitokondria yang mengandung 37 gen, dan berukuran 16569 pasang basa. Dua puluh empat gen (24) diperlukan untuk translasi mtDNA [2 RNA ribosom (rRNAs) dan 22 RNA transfer (tRNA)] dan 13 mengkode subunit rantai respirasi, dengan perincian sebagai berikut: 7 subunit untuk kompleks I [ND1, ND2, ND3, ND4, ND4L, ND5 DAN ND6 (ND singkatan dari NADH dehydrogenase)], 1 subunit untuk kompleks III (sitokrom b), 3 subunit untuk sitokrom oksidasi (COX1,II,III) serta 2 subunit untuk ATP sintetase. Sebagian rantai respirasi dikode oleh DNA nukleus. Genom DNA mitokondria manusia dapat dilihat pada gambar 3. Genetika mitokondria berbeda dengan hukum Mendel

dalam 3 aspek utama: diturunkan dari ibu, heteroplasmi dan segregasi mitotik.2,8,9 1. Diturunkan dari ibu Secara hukum umum, semua DNA mitokondria dalam zigot berasal dari ovum. Sehingga seorang ibu membawa mutasi mtDNA pada semua anak-anaknya, tetapi hanya anak perempuannya yang akan memindahkan mutasi tersebut pada keturunannya. Bukti baru transmisi paternal mtDNA pada otot rangka (tetapi tidak pada jaringan lain) pada pasien dengan miopati mitokondria memberikan peringatan penting bahwa sifat mtDNA yang diturunkan dari ibu bukan merupakan hukum yang mutlak, tetapi tidak disangkal bahwa penyakitpenyakit yang berhubungan dengan mtDNA terutama diturunkan dari pihak ibu.9,10

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

37

Gambar 3. Sebagian rantai respirasi dikode oleh DNA nukleus. Genom DNA mitokondria manusia

Gambar 3A menunjukkan genom mitokondria manusia. Gambar 3B menunjukkan subunit rantai respirasi yang dikode oleh DNA nukleus (nDNA) dan mtDNA. Dikutip dariDiMauro S, Schon E.A. Mitochondrial Respiratory-Chain Diseases. N Eng J Med. 2003;348:2658-68. http://www.nejm.org

2. Heteroplasmi dan efek ambang batas (threshold effect) Terdapat ribuan molekul mtDNA dalam tiap sel, dan secara umum terdapat beberapa mutasi patogenik mtDNA, tetapi bukan semuanya. Sehingga sel dan jaringan tercampur mtDNA normal dan mutan, keadaan ini disebut heteroplasmi. Hetero-

plasmi juga terdapat pada tingkat organel yaitu mitokondrion dengan mtDNA normal dan mutan yang bercampur. Pada orang normal semua mtDNA adalah identik (homoplasmi). Tidaklah mengherankan bila dengan jumlah mtDNA minimal belum terjadi disfungsi oksidatif dan belum tampak tanda

38 Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

klinis, ini yang disebut efek ambang batas. Tiap-tiap sel organ memiliki ambang batas tersendiri, tergantung metabolisme jaringan tersebut. Efek tersebut lebih rendah pada jaringan yang tergantung pada metabolisme oksidatif, seperti: otak, jantung, otot rangka, retina, tubulus ginjal, dan kelenjar endokrin.9,10,11 3. Segregasi mitotik Redistribusi acak organela saat pembelahan sel dapat mengubah proporsi mtDNA mutan yang diterima oleh sel anak perumpuan, jika efek ambang patogenik dalam jaringan yang tidak terkena terlampaui, maka fenotip dapat juga berubah. Pada gangguan mtDNA sering berhubungannya dengan umur, jaringan yang terkena, dan variabilitas gambaran klinik.9,10 Mutasi DNA mitokondria ternyata relatif tinggi. mtDNA secara alami dihadapkan pada faktor-faktor yang tidak menguntungkan (Tabel 2) seperti: (a) tingginya kadar spesies oksigen reaktif sebagai produk samping metabolisme oksidatif mitokondria, (b) terpaparnya mtDNA terhadap oksigen reaktif tersebut karena tidak adanya proteksi oleh nukleoprotein, yang berlainan dengan DNA inti sel dan (c) tidak adanya sistem repair DNA yang efektif di dalam organela ini.5
Tabel 2. Karakteristik mutasi pada DNA mitokondria Terjadi dengan laju tinggi Tidak ada mekanisme repair DNA yang efektif pada mitokondria DNA mitokondria tidak memiliki proteksi nukleoprotein Produksi spesies oksigen reaktif (ROS) yang tinggi di mitokondria Faktor-faktor mitokondria adanya hot spot untuk mutasi mutasi yang sama terjadi berkali-kali secara independen (seperti mutasi DM/ketulian/MELAS A3243G dan LHON G11778A) Faktor di inti sel menentukan fidelitas replikasi mtDNA Ekspresi mutasi mtDNA poligenik dipengaruhi oleh faktor pemodifikasi di inti sel, lingkungan sekuens mtDNA dan faktor lingkungan Dikutip dariSangkot M. Mitochondrial Medicine: Perspektif ke Depan. Dalam: Suryadi H, dkk. Ed. Mitochondrial Medicine. Lembaga Eijman. Jakarta. 2003. 1-17.

(kehilangan keseimbangan dan koordinasi) dan keterlambatan belajar.11,12 Penyakit-penyakit mitokondria berhubungan dengan berbagai manifestasi klinis (Tabel 3). Kadang terdapat abnormalitas biokimia dan kelainan pada otot rangka, tetapi miopati mungkin tidak tampak secara klinis. Secara umum, abnormalitas dapat dibagi dalam sindrom yang menyebabkan miopati ekstremitas dengan atau tanpa oftalmoplegia dan yang terutama manifestasi susunan saraf manusia. Dahulu pernah diungkapkan kelainan yang terutama mengenai otot dengan manifestasi intoleransi latihan, kelemahan otot dengan distribusi sekitar ekstremitas atau fascioscapulohumeral, atau disfungsi otot ekstra artikuler dengan atau tanpa keterlibatan mata dan ekstremitas. Pada kasus yang lain dilaporkan kasus dengan gejala hipermetabolisme, sangat menyukai garam, neuropati perifer yang menunjukkan heterogenitas yang ekstrim. Walaupun sebagian besar kasus terjadi pada bayi, beberapa kasus baru menimbulkan gejala setelah mencapai masa kanak-kanak dan baru diketahui setelah dewasa.4 Miopai mitokondria yang timbul saat dewasa paling banyak menyebabkan intoleransi latihan, kelemahan proksimal atau menyeluruh dan jarang terjadi mioglobinemia, yang dapat ditemukan pada umur 70-an. Kadar kretinin kinase dapat normal atau meningkat, elektrofisiologi tidak menunjukkan kelainan. Gambaran khas terbanyak pada biopsi otot adalah peningkatan jumlah red ragged fiber dengan peningkatan aktivitas succinate dehydrogenase dan penurunan sitokrom oksidase. Dengan mikroskop elektron menunjukkan peningkatan jumlah mitokondria dan terdapat mitokondria dengan ukuran lebih besar atau penurunan jumlah mitokondria. Dengan pemeriksaan Magnetic resonance spectroscopy menunjukkan penurunan perbandingan fosfokreatinin terhadap fosfat inorganik. 4
Tabel 3. Penyakit-penyakit mitokondria Sindrom Early onset Alpers (progressive infantile poliodystrophy) Leighs (sub acute necrotizing enchephalomyelopathy) Pearsons (bone marrow/pancreas syndrome) Chilhood or adult onset Kearns-Sayre syndrome MELAS (mitochondrial encephalomyopathy, lactic acidosis, and strokelike episodes) MERRF (myoclonic epilepsy with ragged-red fibers) MNGIE (myoneurogastrointestinal encephalopathy) Dementia, ataxia, deafnes, myopathy NARP( neurogenik weakness, ataxia, retinitis pigmentation Poximal weakness and exercise intolerance Exercise intolerance and myoglobinuria Kelainan rantai respirasi I,VI,PDC I,IV,PDC I I,II,III,IV,I+IV IV I,II,III,IV,I+IV IV I,I+IV IV I,I-III III

MANIFESTASI KLINIS MIOPATI MITOKONDRIA Beberapa gangguan mitokondria hanya mengenai satu organ, tetapi kadang dapat mengenai berbagai sistem organ dan yang sering tampak gambaran menonjol adalah neurologis dan miopati. Terdapat beberapa klasifikasi klinis, tetapi tidak ada yang tepat sama karena sering tumpang tindih. Gangguan mitokondria terdapat pada umur dewasa atau akhir masa akil balik, ini yang membedakan dengan gangguan DNA nukleus, yang sering tampak pada masa kanak-kanak. Banyak pasien terdapat sekelompok gambaran klinis yang menjadi satu sindrom (Tabel 3).4,15 Sebenarnya kelainan mitokondria dapat mengenai semua sel-sel organ tubuh, tetapi ada pula yang terjadi pada organ tertentu, ini tergantung efek ambang batas tiap-tiap organ tersebut. Gambaran klinis yang umum adalah kelemahan, miopati proksimal, intoleran terhadap latihan, cepat lelah, kramp otot, problem gastrointestinal, ptosis, paralisis otot mata (oftalmoplegia eksternal), degenerasi retina (retinitis pigmentosum) dengan penurunan kemampuan melihat, kejang, ataksi

Ket: I-IV : kompleks sitokrom I-IV, PDC : pyruvate dehydrogenase complex. Dikutip dari Wortmann RL. Metabolic diseases of muscle, in: Koopman WJ, ed. Arthritis and Allied Conditons, 4th ed, volume two. Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins,2001:2416-2434.

Secara ringkas manifestasi kelainan mitokondria dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini.

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

39

Tabel 4. Sindrom Klinis Penyakit-penyakit mitokondria

Sindrom Alper syndrome Pearson syndrome Leigh syndrome

Gambaran utama Polidistrofi infantil yang progresif Anemia sideroblastik pada anak-anak, Pansitopenia, Kegagalan eksokrin pankreas Ensefalopati relaps subakut, Tanda serebelar dan batang otak Oftalmoplegi eksternal, ptosis bilateral Oftalmoplegi ptosis eksternal, Retinopati pigmentosum, Salah satu dari: Protein LCS > 1 gr/l Ataksia serebelar Blok jantung Stroke like episode sebelum 40 tahun, Kejang dan/atau demensia, Ragged red fiber dan/atau asidosis laktat Mioklonus, Kejang, Ataksia serebelar, Miopati Ensefalopati, neurogastoinstestinal, Miopati, Tuli, Ataksia, Demensia Ataksia, Neuropati perifer, Kelemahan dan intoleransi latihan, Retinitis pigmentosum

Gambaran tambahan

Defek tubulus ginjal Lusensia ganglia basalis, Riwayat penyakit keluarga dengan kelainan neurologis atau Leigh syndrome Miopati proksimal ringan Tuli bilateral, Miopati, Disfagia, Diabetes mellitus, Hipoparatiroidi, Demensia,

CPEO KearnsSayre syndrome

MELAS

MERRF

Diabetes mellitus, Kardiomiopati (awal: hipertrofi, lanjut: dilatasi) Tuli bilateral, Retinopati pigmentosum, Ataksia serebelar Demensia, Atrofi optik, Tuli bilateral, Neuropati perifer, Spastisitas, Lipomata multipel

MNGIE

NARP

Lusensia ganglia basalis, Abnomalitas, elektroretinogram, Neuropati sensorimotor

Keterangan: CPEO chronic progresive external ophthalmoplegia, MELAS mitochondrial encephalomyopathy, lactic acidosis, and strokelike episodes, MERRF myoclonic epilepsy with ragged-red fibers, MNGIE myoneurogastrointestinal encephalopathy, NARP neurogenic weakness, ataxia, retinitis pigmentation Dikutip dari Chinnery P.F. Mitochondrial Disorder Overview (Mitochondrial Enchephalomyopathies, Mitochondrial Myopathies, Oxydative Phosphorylation Disorder, Respiratory Chain Disorder). Genereviews. http://www.genetest.org

ETIOLOGI Dalam tiap-tiap sel, mitokondria dapat disamakan dengan mesin mobil. Mesin biologi yang kecil ini mengkombinasikan makanan yang kita makan dengan oksigen untuk memproduksi energi bagi kelangsungan hidup. Energi yang dibentuk oleh mitokondria disimpan dalam bentuk zat kimia yang disebut adenosine triphosphate (ATP).12,14 Selain memproduksi energi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, mitokondria juga terlibat dalam berbagai aktivitas yang penting seperti memproduksi hormon steroid dan membangun blok DNA. Adanya defek pada bagian mitokondrion yang disebut rantai respirasi atau rantai transport

elektron akan menyebabkan miopati mitokondria yang melibatkan otot, dan bila melibatkan otak disebut ensefalomiopati mitokondria. Proses yang terjadi tersebut menimbulkan gangguan suplai energi, timbunan sekunder produk toksik seperti radikal bebas dan asidosis laktat, atau kombinasi dari kedua keadaan tersebut.11 Bila komponen kunci rantai respirasi dalam mitokondria hilang atau terjadi kerusakan maka akan terjadi proses yang saling berkelanjutan. Peristiwa tersebut dapat terjadi dalam dua tahap yaitu; (a)Yang pertama terjadi adalah tidak terbentuk elektron. ATP tidak terbentuk secara efisien dan sel kehilangan energi untuk melakukan fungsi normal. (b) Kedua, semua dari tahap-tahap sesudahnya menjadi terhenti, selanjutnya sering menimbulkan bahan kimia abnormal yang akan memproduksi bahan toksik. Produk tersebut adalah radikal bebas dan metabolik yang berlebihan seperti asam laktat yang dalam jumlah besar akan membahayakan.11 Radikal bebas adalah molekul reaktif yang dapat merusak DNA dan membran sel melalui jalur oksidasi. Normalnya, rantai respirasi mitokondria membuat radikal bebas dalam jumlah yang rendah selama proses pembuatan ATP. Bila terdapat malfungsi pada rantai respirasi, maka produksi radikal bebas meningkat. Radikal bebas ini kemudian menyebkan kerusakan lebih lanjut mtDNA, yang akan mengakibatkan vicious cycle timbulnya kerusakan dan produksi radikal bebas. Tidak jelas berapa besar peranan pembentukan radikal bebas ini dapat menyebabkan atau memperburuk keadaan sehingga terjadi gejala-gejala penyakit mitokondria.11 Telah dilaporkan defek aktivitas enzim rantai respirasi dan mutasi spesifik gen cytochrome b yang dibuktikan dengan pemeriksaan biopsi, test biokimia dan molekuler pada pasienpasien dengan miopati mitokondria.13 Beberapa sindrom penyakit-penyakit mitokondria dapat disebabkan oleh berbagai perubahan dalam tingkat molekuler. Mutasi dapat terjadi pada DNA inti dan DNA mitokondria (mtDNA). Kearns-sayre syndrome, Pearsons syndrome dan chronic progresive external ophthalmoplegia (CPEO) berhubungan dengan berbagai defek yang mengenai kompleks rantai respirasi mtDNA. Mitochondrial enchephalopathy, lactic acidosis and stroke like (MELAS) syndrome dan myoclonus epilepsy, regged red fiber disease (MERRF) disebabkan mutasi tunggal gen mtDNA. Delesi multipel telah dilaporkan pada lebih tiga kasus miopati familial dan miopati mitokondria awitan lambat pada orang tua. Mutasi lokus tunggal gen nukleus yang mengkonde protein pada kompleks I dan IV menyebabkan sindrom miopati ekstremitas murni dan asidosis laktat fulminan pada bayi. Deplesi mtDNA dapat menyebabkan miopati pada anak-anak (lihat tabel 3 dan gambar 6 ).4,10 Sindrom mitokondrial yang didapat mungkin terjadi antara lain miopati mitokondria akibat keracunan terapi zidofudine (AZT) pada pasien dengan HIV, miopati yang diinduksi clofibrate dan defesiensi selenium. Keracunan CN (sianida) CO juga merupakan kelainan rantai respirasi mitokondria yang sering terjadi. Abnormalitas mitokondria dapat juga terjadi sebagai akibat proses penuan dan pada otot pasien-pasien dengan polimiositis, miositis inclusion bodies dan reumatika polimialgia.1,4,5

40 Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

Gambar 6. Mutasi pada genom mitokondria manusia yang diketahui menyebakan penyakit.

Gangguan yang sering atau menonjol yang berhubungan dengan mutasi gen tertentu tercetak tebal. Penyakit akibat mutasi yang mengganggu sintesis protein mitokondria. Penyakit yang disebabkan mutasi gen yang mengkode protein. ECM encephalomyopathy; FBSN familial bilateral striatal necrosis; LHON Lebers hereditary optic neuropathy; LS Leighs syndrome; MELAS mitochondrial encephalomyopathy, lactic acidosis, and strokelike episodes; MERRF myoclonic epilepsy with ragged-red fibers; MILS maternallyinherited Leighs syndrome; NARP neuropathy, ataxia, and retinitis pigmentosa; PEO progressive external ophthalmoplegia; PPK palmoplantar keratoderma; dan SIDS sudden infant death syndrome. (Dikutip dariDiMauro S, Schon E.A. Mitochondrial Respiratory-Chain Diseases. N Eng J Med. 2003;348:2658-68. http://www.nejm.org

PENGELOLAAN Pada beberapa pasien dapat terlihat gambaran klinis kelainan mitokondria yang spesifik. Evaluasi secara klinis digunakan untuk menentukan fenotip yang kemudian dilakukan konfirmasi diagnosis dengan pemeriksaan laboratorium termasuk tes genetik DNA dari sampel darah atau otot pasien. Anamnesis riwayat keluarga secara lengkap penting dalam diagnosis dan mengarahkan pemeriksaan laboratorium dan test DNA yang akan dilakukan.11,15 Beberapa pemeriksaan penunjang diperlukan untuk konfirmasi diagnosis miopati mitokondria:11 Kadar laktat dan piruvat meningkat dapat menunjukkan defisiensi rantai respirasi. Kreatinin kinase serum yang tinggi terjadi pada deplesi DNA mitokondria.

Biopsi otot untuk melihat fungsi rantai respirasi Histokimia untuk mendeteksi proliferasi abnormal mitokondria dan defisiensi sitokrom C oksidase. Immunohistokimia digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya protein spesifik untuk menyingkirkan diagnosis penyakit lain atau konfirmasi hilangnya protein pada rantai respirasi. Parameter biokimia dapat menentukan enzim rantai respirasi spesifik, tes khusus ini disebut polarography measure oxygen. Tes genetik dapat dilakukan pada DNA genom yang diekstraksi dari darah bila dicurigai mutasi DNA dan mtDNA, atau dari DNA genom yang diekstraksi dari otot bila dicurigai mutasi mtDNA.11,15 Terapi yang paling umum adalah pemberian zat untuk merangsang aktivitas enzim transport elektron sisa atau

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

41

memberikan aseptor elektron buatan. Strategi metabolic by pass dengan vitamin C dan menadion terbukti berhasil secara bermakna untuk pasien dengan defisiensi kompleks respirasi III. Kedua vitamin ini adalah akseptor elektron dengan potensi elektrik yang tepat, sehingga memungkinkan rantai respirasi berjalan kembali.1,6 Pemberian riboflavin oral bermanfaat untuk pasien dengan defisiensi kompleks I dan /atau kompleks II.15 Sekarang ini mulai dipakai agen metabolik seperti Coenzim Q10 (ubikuinon), yang merupakan komponen penting dalam rantai transport elektron yang dapat meningkatkan produksi ATP dan berperan sebagai anti oksidan. Obat lain yang digunakan adalah L-carnitine, vitamin K, nicotinamide, creatine. Latihan aerobik dengan intensitas sedang dapat juga bermanfaat pada beberapa pasien dengan miopati mitokondria. Walaupun bukti efikasinya masih terbatas, terapi ini telah digunakan.1,4 Pemberian infus triacylglycerol ternyata tidak memberikan perbedaan bermakna dibanding glukosa. Terapi gen menjadi harapan baru dalam pengobatan kelainan - kelainan mitokondria di masa mendatang. 6,21,22
KEPUSTAKAAN 1. Beal MF, Martin JB. Nutritional and Metabolic Disease of the Nervous Sistem in: Fauci A.S, Brunwald E, Isselbacher K.J. et all, ed. Harrisons Principle of Internal Medicine 14th. McGraw-Hill. New York. 1998; 2: 2451-2457. Mendell JR et al. Disease of Muscle in: Fauci A.S, Brunwald E, Isselbacher K.J. et all, ed. Harrisons Principle of Internal Medicine 15th. McGraw-Hill. New York. 2001; 2 : 2536-2540. Wortmann RL. Myopathic Diseases. Buletin on the Rheumatic Disease. 2004; 51: 1-6. Wortmann RL. Metabolic diseases of muscle, in: Koopman WJ, ed. Arthritis and Allied Conditons, 4th ed , volume two. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia. 2001: 2416-2434. Sangkot M. Mitochondrial Medicine: Perspektif ke Depan. Dalam: Suryadi H, dkk. Ed. Mitochondrial Medicine. Lembaga Eijman. Jakarta. 2003. 1-17. M. Sangkot. Kelaian Mitokondria, Diagnosis dan Pengobatan. Dalam: Suryadi H, dkk. Ed. Mitochondrial Medicine. Lembaga Eijman. Jakarta. 2003. 71-89.

7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.

14. 15.

16. 17.

18.

2. 3. 4. 5. 6.

19. 20.

21. 22.

Dorland W.A.N. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. EGC. Jakarta; 2002 : 442,1363. Artika I.M, Struktur, Fungsi, dan Biogenesis. Mitokondri. Dalam: Suryadi H, dkk. Ed. Mitochondrial Medicine. Lembaga Eijkman. Jakarta. 2003. 19-51. DiMauro S, Schon E.A. Mitochondrial Respiratory-Chain Diseases. N Eng J Med. 2003 ; 348 : 2658-68. http://www.nejm.org John DR, Disease Caused by Genetic Defect of Mitochondria, in : Fauci A.S, Brunwald E, Isselbacher K.J. et all, ed. Harrisons Principle of Internal Medicine 15th. McGraw-Hill. New York. 2001; 1: 2451-2457. Hesterlee S. Mitochondrial Disease in Perspective Symptoms, Diagnosis and Hope for The Future. http://www.mitoresearch.org/Quest_6_5.htm Hesterlee S. Mitochondrial Myopathy: An Energy Crisis in The Cells. http://www.mitoresearch.org/Quest_6_4a.htm Flaherty KR, Wald J, Weisman IM, et al. Unexplained Exertional Limitation, Characterization of Patien with a Mitochondrial Myopathy. Am J Respir Crit Care Med. 2001 ; 164 : 425-452. htttp : // www.atsjournal.org Griggs RC, Karpati G. Muscle Pain, Fatique, and Mitochondriopathies. N Engl J Med.1999 ; 341 : 1076-1078. http://www.nejm.org Chinnery P.F. Mitochondrial Disorder Overview (Mitochondrial Enchephalomyopathies, Mitochondrial Myopathies, Oxydative Phosphorylation Disorder, Respiratory Chain Disorder). Genereviews. http://www.genetest.org Jhons D.R. Mitochondrial DNA and Disease. http://www.nejm.org Wang L, Saada A, Eriksson S. Kinetic Properties of Mutant Human Thymidine Kinase 2 Suggest a Mechanism for Mitochondrial DNA Depletion Myopathy. The Jornal of Biological Chemistry. 2003 ; 278 : 6963-6968. http://www.cjb.org Roef MJ, Kalhan SC, Reijngond D EL et al. Lactate Disposal via Guconeogenesis Is Increased During Exercise in Patient with Mitochondrial Myopathy Due Compex I Deficiency. Pediatric Research. 2001 : 592-597. Wredenburg A, Wibom R, Graft C, et al. Increased Mitochondrial Mass in Mitochondrial Myopathy Mice. PNAS. 2002 ; 99 : 15066-71. http://www.pnas.org/cgi/doi/10.1073/pnas.232591499. Yonemura K, Hasegawa Y, Kimura K, et al. Diffusion-Weighted Mr Imaging In A Case Of Mitochondrial Mypathy, Enchepalopathy, Lactic Acidosis, Strokelike Episodes. American Journal Neuroradiology. 2001 ; 22 : 269-272. Roef MJ, Meer KD, Reijngoud DJ. Et al . Triacylglycerol infusion improve exercise endurance in patients with mitochondrial myopathy due to complex I deficiency. American Journal Nutrition. 2002 ; 75 : 237-44. Taivalsalo T, Fu K, Johns T, et al. Gene shifting: a novel theraphy for mitochondrial myopathy. Human Molekular Genetik. 1999 ; 8 : 0471052.

42 Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Diet Sehat dengan Serat


Olwin Nainggolan, Cornelis Adimunca
Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK Akhir-akhir ini peran serat dalam makanan turut diperhitungkan oleh para ahli kesehatan. Berdasarkan bukti-bukti penelitian, serat dalam makanan dapat turut mencegah penyakit, antara lain penyakit jantung, diabetes melitus, diare, kanker kolon dan juga digunakan untuk menurunkan berat badan. Serat dapat diperoleh dari sayursayuran, buah dan rumput laut. Asupan serat yang dianjurkan adalah 25-35 g/hari.

PENDAHULUAN Di masa sekarang ini telah terjadi pergeseran atau perubahan pola penyakit penyebab mortalitas dan morbiditas di kalangan masyarakat; ditandai dengan perubahan pola penyakit-penyakit infeksi menjadi penyakit-penyakit degeneratif dan metabolik. Hasil Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan kecenderungan kenaikan kematian yang disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler dari 16,5% (SKRT 1992), menjadi 18,9% (SKRT 1995). Kecenderungan ini tidak hanya semata-mata akibat usia lanjut, tetapi juga menyerang orang-orang yang usianya lebih muda. Salah satu faktor yang mungkin menjadi penyebabnya adalah gaya hidup (life style); mulai dari pola makan yang tidak sehat sampai kurangnya aktivitas olah raga. Pola makan tidak sehat meliputi antara lain diet tinggi lemak dan karbohidrat, makanan dengan kandungan garam sodium yang tinggi, rendahnya konsumsi makanan mengandung serat serta kebiasaan merokok dan minum minuman beralkohol. Pola hidup di perkotaan yang sebagian masyarakatnya begitu mobile dan sibuk, cenderung mengkonsumsi makanan cepat saji; padahal diketahui makanan-makanan tersebut adalah makanan rendah serat dan mengandung banyak garam. Menurut Widiatmo (1989), makin tinggi tingkat sosial ekonomi seseorang biasanya berkorelasi dengan makin tingginya konsumsi makanan tinggi lemak, protein dan gula. Di masyarakat golongan menengah ke atas, terjadi pergeseran pola makan dari

tinggi karbohidrat, tinggi serat dan rendah lemak ke konsumsi rendah karbohidrat, tinggi lemak dan protein serta miskin serat (Sujono, 1993). Hal inilah yang menyebabkan pergeseran pola penyakit dari pola infeksi ke penyakit-penyakit degeneratif. Perhatian terhadap peranan serat makanan (dietary fiber) terhadap kesehatan mulai muncul setelah para ahli membandingkan tingginya kejadian kanker kolon di negara industri maju yang konsumsi seratnya rendah dibandingkan dengan negara-negara berkembang terutama di pedalaman Afrika yang konsumsi seratnya tinggi. Penelitian epidemiologis membuktikan bahwa orang-orang Afrika berkulit hitam yang mengkonsumsi makanan tinggi serat dan rendah lemak mempunyai angka kematian akibat kanker usus kolon yang rendah dibandingkan orang Afrika berkulit putih dengan diet rendah serat, tinggi lemak. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa diet tinggi serat mempunyai efek proteksi terhadap kanker kolon. Hipotesis ini diperkuat oleh penelitian di Finlandia, di sana konsumsi produk hewani sangat tinggi, tetapi karena konsumsi serat juga tinggi, maka prevalensi kanker kolon tetap rendah. Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika (US FDA) telah menyetujui klaim kesehatan untuk serat larut yang berasal dari Psyllium husk yaitu dapat mengurangi risiko penyakit jantung koroner jika digunakan sebagai bagian dari diet rendah lemak jenuh dan rendah kolesterol. Pengurangan risiko tersebut disebabkan oleh rendahnya kadar kolesterol darah akibat

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

43

mengkonsumsi serat larut; keputusan tersebut berkaitan dengan petisi yang diminta oleh Kellogg Co. JENIS-JENIS SERAT Serat makanan dapat didefinisikan berdasarkan dua aspek, yaitu definisi fisiologis dan definisi kimia. Definisi fisiologis: serat makanan merupakan sisa sel tanaman setelah dihidrolisis oleh enzim pencernaan manusia. Sedangkan secara kimia, serat adalah polisakarida bukan pati dari tumbuhan ditambah dengan lignin. Terminologi serat makanan (dietary fiber) sebenarnya berbeda dengan istilah serat kasar (crude fiber), yang juga biasanya terikut dalam analisis proksimat bahan makanan. Yang dimaksud dengan crude fiber adalah bagian tanaman yang tidak dapat dihidrolisis menggunakan pelarut asam sulfat (H2SO4) 1,25% dan alkali natrium hidroksida (NaOH) 1,25%. Sedang dietary fiber adalah bagian dari bahan pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan. Dengan demikian nilai crude fiber selalu lebih rendah dibandingkan dengan dietary fiber; lebih kurang 1/5 dari seluruh nilai serat makanan. Ada dua tipe fiber yang penting yaitu soluble fiber dan insoluble fiber . Soluble fiber (serat makanan larut dalam air) antara lain: pectin, gum, -glucans, psyllium seed husk (PSH). Serat makanan tidak larut air (insoluble fiber) berupa selulosa, hemiselulosa serta lignin. SUMBER SERAT Penelitian menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi serat masyarakat Indonesia masih jauh dari kebutuhan serat yang dianjurkan (30 g/hari)(1). Dari penelitian tersebut diketahui pula tidak terdapat perbedaan yang mencolok antara konsumsi serat di pedesaan dengan masyarakat di perkotaan. Konsumsi serat di desa 10,78,1g., sedang rata-rata konsumsi di perkota-an 9,9 6,0 g. Rata-rata konsumsi serat di Amerika Utara hanya 8-12 g/hari. Konsumsi Amerika Serikat 10-15 g, sedangkan konsumsi di Kanada 4,5-11 g/hari Sayur-sayuran dan buah-buahan adalah sumber serat makanan yang sangat mudah ditemukan dalam bahan makanan. Sayuran dapat dikonsumsi dalam bentuk mentah maupun setelah melalui proses perebusan. Berikut dicantumkan beberapa jenis bahan makanan yang paling sering dikonsumsi beserta dengan kandungan seratnya dalam 100 gram bahan (tabel 1). DIET TINGGI SERAT UNTUK KONTROL BERAT BADAN Serat larut air (soluble fiber) mis : pectin, -glucans dan gum serta beberapa hemiselulosa mempunyai kemampuan menahan air dan dapat membentuk cairan kental dalam saluran pencernaan. Dengan kemampuan ini serat larut dapat menunda pengosongan makanan dari lambung, menghambat percampuran isi saluran cerna dengan enzim-enzim pencernaan, sehingga terjadi pengurangan penyerapan zat-zat makanan di bagian proksimal. Mekanisme inilah yang menyebabkan terjadinya penurunan penyerapan (absorbsi) asam amino dan asam lemak oleh serat larut air. Cairan kental ini mengurangi keberadaan asam amino dalam tubuh melalui penghambatan peptida usus.

Makanan dengan kandungan serat kasar yang tinggi dilaporkan juga dapat menurunkan bobot badan. Makanan akan tinggal dalam saluran pencernaan dalam waktu yang relatif singkat sehingga absorbsi zat makanan akan berkurang. Selain itu makanan yang mengandung serat relatif tinggi akan memberi rasa kenyang sehingga menurunkan konsumsi makanan. Makanan dengan kandungan serat kasar yang tinggi biasanya mengandung kalori rendah, kadar gula dan lemak rendah yang dapat membantu mengurangi terjadinya obesitas.
Tabel. Daftar kandungan serat per 100 gram sayur-sayuran, buahbuahan serta produk olahannya. JENIS BAHAN MAKANAN
Sayursayuran Kandungan serat/100 gr Buahbuahan Kandungan serat/100 gr Kacangkacangan dan produk olahannya Kandungan serat/100 gr

Bayam Daun pepaya Daun singkong Kangkung Seledri Selada Tomat Paprika Cabai Kacang panjang Bawang putih Bawang merah Kentang Lobak Wortel Brokoli Kembang kol Asparagus Jamur Terong Sawi Buncis Nangka muda Daun kelor

0,8 2,1 1,2 1 0,7 0,6 1,2 1,4 0,3 2,5 1,1 0,6 0,3 0,7 0,9 0,5 0,9 0,6 1,2 0,1 2,0 3,2 1,4 2,0

Alpukat Anggur Apel Belimbing Jagung Jambu biji Jeruk bali Jeruk sitrun Mangga Melon Nenas Pepaya Pisang Semangka Sirsak Srikaya Strawberi Pear

1,4 1,7 0,7 0,9 2,9 5,6 0,4 2 0,4 0,3 0,4 0,7 0,6 0,5 2 0,7 6,5 3,0

Kacang kedelai Kacang tanah Kacang hijau Kedelai bubuk Kecap kental Tahu Susu kedelai Tauge Kacang panjang Tempe kedelai

4,9 2 4,1 2,5 0,6 0,1 0,1 0,7 3,2 1,4

Cat: Diambil dari berbagai sumber

DIET TINGGI SERAT UNTUK MENCEGAH PENYAKIT JANTUNG Penyebab utama penyakit jantung koroner (PJK) adalah hiperlipidemi di dalam darah. PJK dimulai dengan terjadinya aterosklerosis yaitu penebalan dinding arteri bagian dalam oleh komponen lipid berupa kolesterol dan trigliserida. Mekanisme terjadinya aterosklerosis dihubungkan dengan konsep disfungsi

44 Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

endotel. Lapisan endotel merupakan lapisan yang berperan pada pengaturan fungsi fisiologis pembuluh darah. Endotel juga mencegah terjadinya agregasi trombosit dan menempelnya sel-sel darah pada dinding pembuluh darah. Oleh karena itu setiap gangguan pada dinding endotel akan menyebabkan arteriosklerosis. Serat lignin (insoluble fiber), pectin dan -glucans (soluble fiber) mempunyai efek mengikat zat-zat organik seperti asam empedu dan kolesterol sehingga menurunkan jumlah asam lemak di dalam saluran pencernaan. Pengikatan empedu oleh serat juga menyebabkan asam empedu keluar dari siklus enterohepatik, karena asam empedu yang disekresi ke usus tak dapat diabsorbsi tetapi terbuang ke dalam feses. Penurunan jumlah asam empedu menyebabkan hepar harus menggunakan kolesterol sebagai bahan untuk membentuk asam empedu. Hal ini yang menyebabkan serat dapat menurunkan kadar kolesterol. DIET TINGGI SERAT UNTUK KONTROL GULA DARAH Adanya serat larut memperlambat absorbsi glukosa, sehingga dapat ikut berperan mengatur gula darah dan memperlambat kenaikan gula darah. Kemampuan tersebut dinyatakan dalam Glycaemic Index (GI) yang angkanya dari 0 sampai dengan 100. Makanan yang cepat dirombak dan juga cepat diserap dapat meningkatkan kadar gula darah, mempunyai angka GI yang tinggi; sedangkan makanan yang lambat dirombak dan lambat diserap masuk ke aliran darah mempunyai angka GI yang rendah. Hasil penelitian pada hewan percobaan maupun pada manusia mengungkapkan bahwa kenaikan kadar gula darah dapat ditekan jika karbohidrat dikonsumsi bersama serat makanan. Hal ini sangat bermanfaat bagi penderita diabetes, baik tipe I maupun tipe II. DIET TINGGI SERAT UNTUK MENCEGAH DIARE DAN KONSTIPASI Pada umumnya seseorang buang air besar setiap hari. Konstipasi dimulai dari kebiasaan makan yang tidak sehat. Kebanyakan penderita kanker kolon, radang, luka berdarah pada dinding usus memiliki riwayat kesulitan buang air besar. Seseorang yang mengkonsumsi sedikit makanan berserat, tinjanya akan keras, kering dan kecil-kecil. Memperbaiki intake makanan berserat akan membantu seseorang untuk buang air besar secara normal. Serat makanan di dalam usus, akan menyerap cairan dan mengembang seperti karet busa, membentuk tinja menjadi besar dan lembab, sehingga lebih mudah keluar; konsumsi dietary fiber khususnya insoluble fiber misalnya pectin akan menghasilkan feses yang lunak. Dengan konsistensi feses yang lunak, hanya diperlukan sedikit kontraksi otot untuk mengeluarkannya. Sebaliknya intake serat yang rendah menyebabkan feses menjadi keras sehingga diperlukan kontraksi otot rektum yang lebih besar untuk mengeluarkannya; hal ini menyebabkan konstipasi, atau lebih lanjut dapat menyebabkan wasir. Fungsi serat makanan yang bersifat menyerap air dapat mencegah terjadinya diare.

DIET TINGGI SERAT UNTUK MENCEGAH KANKER KOLON Kanker kolon merupakan salah satu masalah kesehatan di negara Barat. Kejadian kanker kolon menempati urutan ke 4, dan menempati peringkat ke 2 penyebab kematian karena kanker. Penelitian di RS Dharmais (2001) mendapatkan 15 (6,5%) kasus kanker kolon dari 232 pada pasien yang di kolonoskopi. Sedang di RSCM (1996-2001) terdapat 224 kasus kanker kolon, terbanyak, yaitu 50 kasus pada tahun 2001; berarti setiap minggu ditemukan 1 kasus kanker usus besar dari tindakan kolonoskopi. Konstipasi kronis mempunyai peluang untuk berkembang menjadi kanker kolon. Ini disebabkan oleh tertumpuknya karsinogen di permukaan kolon akibat tinja yang keras, kering dan lambatnya gerak pembuangan. Konsumsi serat yang cukup akan mempercepat transit feses dalam saluran pencernaan; sehingga kontak antara kolon dengan berbagai zat karsinogen yang terbawa dalam makanan lebih pendek, dengan demikian mengurangi peluang terjadinya kanker kolon. Transit makanan yang lebih cepat juga mengurangi kesempatan berbagai mikroorganisme dalam kolon untuk membentuk zat karsinogen. KEBUTUHAN SERAT Belum ada patokan baku atas konsumsi serat untuk setiap orang. Anjuran biasanya ditujukan untuk kelompok tertentu. US FDA menganjurkan Total Dietary Fiber (TDF) 25 g/2000 kalori atau 30 g/2500 kalori. The American Cancer Society, The American Heart Association dan The American Diabetic Association menyarankan 25-35 g fiber/hari dari berbagai bahan makanan. Konsensus nasional pengelolaan diabetes di Indonesia menyarankan 25 g/hari bagi orang yang berisiko menderita DM. PERKI (Perhimpunan Kardiologi Indonesia) 2001 menyarankan 25-30 g/hari untuk kesehatan jantung dan pembuluh darah. American Academy of Pediatrics menyarankan kebutuhan TDF sehari untuk anak adalah jumlah umur (tahun) ditambah dengan 5 (g). PENUTUP Meskipun tidak mengandung zat gizi, peranan serat makanan sangat penting. Jika konsumsi serat makanan yang sehari-hari masih jauh dari yang dianjurkan, dapat ditambah dengan serat yang banyak dipasarkan dalam bentuk kemasan. Namun penggunaannya harus sesuai dosis yang dianjurkan, sebab serat juga mempunyai efek yang tidak baik, misalnya dapat mengurangi ketersediaan beberapa zat gizi. Fungsi serat yang dapat mengikat asam empedu, juga mengurangi penyerapan lemak sehingga vitamin larut lemak (vitamin D) juga akan terhambat penyerapannya. Enzim protease yang berperan dalam pencernaan protein bisa terganggu karena kehadiran serat. Penurunan aktivitas enzim tersebut diduga disebabkan oleh pengikatan atau interaksi dengan serat makanan. Oleh sebab itu Pemerintah melalui Badan POM perlu memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang produk ini. Badan POM (No KB 03.018.SP.2002) mengeluarkan penjelasan tentang produk-produk serat alami yang banyak dipasarkan di Indonesia yang biasanya mempunyai komposisi antara lain:

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

45

Psyllium husk (Plantago ovata) dan Isphagula hursk. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa, serat alami telah banyak digunakan di seluruh dunia dan telah melalui penelitian ilmiah/ uji klinik di negara-negara maju. Berdasarkan penelitian tersebut, sepanjang digunakan sesuai dengan anjuran, maka produk serat alami psyllium dinyatakan aman dan bermanfaat. Juga disebutkan bahwa serat alami jangan digunakan bersamasama dengan obat; digunakan sedikitnya - 1 jam setelah mengkonsumsi obat karena serat yang diberikan bersamaan dengan obat dapat menghambat absorbsi obat. Produk ini juga tidak boleh digunakan tanpa air atau tidak boleh dimakan dalam bentuk serbuk. Badan POM juga menganjurkan untuk tidak mengkonsumsi serat pada penderita obstruksi usus besar, penyempitan patologis saluran cerna dan juga pada penderita diabetes mellitus yang kadar gulanya tidak bisa diatasi dengan baik. Oleh sebab itu Badan POM meminta kepada produsen serat alami untuk melengkapi informasi produk yang dicantumkan pada kemasan. Masyarakat konsumen diminta untuk membaca secara cermat aturan pakai dan informasi yang membaca keterangan yang tercantum pada kemasan atau pada brosur yang tersedia.

KEPUSTAKAAN Jahari AB, Sumarno I. Epidemiologi Serat di Indonesia, Simposium Seminar hasil Monica III, Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta, 2002. 2. Achmad MA. Pengaruh perubahan pola hidup dan pola makan terhadap peningkatan epidemi penyakit degenerasi. RS Pelni Petamburan, 2002. 3. Badan POM. Penjelasan Badan POM no. KB.03.018.SD.2002 tentang produk sehat alami yang mengandung Psyllium husk/Plantago ovata/ Isphagula husk. 4. Dietary fiber. www.well.net.com/cardiof/fiber.htm 5. Dietary fiber facts. www.makeriples.com/education/library/dietary_fiber/ dietary _fiber_facts 6. Fiber. www.naturaltechniquer.com/dietary_fiber.htm 7. Lestiany L. Peran serat dan penatalaksanaan kasus masalah berat. Bagian Ilmu Gizi FKUI, Jakarta, 2002. 8. Joseph G. Manfaat serat makanan bagi kesehatan kita. Makalah falsafah sains (PPS 702), Program Pasca Sarjana IPB, 2002 9. Syam AF. Peran dokter keluarga dalam penatalaksanaan penyakit degeneratif khususnya peranan diet tinggi serat. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UI/RSCM, Jakarta 2002. 10. Slavin J, Darling M. Fiber in the diet. Department of Food Science and Nutrition, University of Minnesota , 2000. 11. The Importance of dietary fiber. www.Geocities.com/b_sherback/ matol_fibre_fact. 12. Winarsi H. Peran serat makanan (dietary fiber) untuk mempertahankan tubuh sehat. Makalah Falsafah Sains (PPS 702), Program Pasca Sarjana IPB, 2001 1.

46 Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

HASIL PENELITIAN

terhadap Plak Aterosklerosis pada Kelinci (Oryctolagus cuniculus) strain New Zealand White
Sulistyowati T, Cornelis Adimunca, Raflizar
Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

[(Camellia sinensis O.K. Var. Assamica (Mast)]

Efek Teh Hitam

ABSTRAK Teh merupakan bahan minuman alami yang mengandung zat antioksidan flavonoid yang dapat bersifat antikarsinogenik, hipokolesterolemik serta kariostatik. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui apakah teh hitam bersifat antiaterosklerosis pada kelinci. Penelitian dilakukan dengan membagi kelinci ke dalam 4 kelompok perlakuan. Kecuali kelompok A (kontrol positif) dan kelompok B (kontrol negatif), kelinci diberi sari seduhan teh hitam (SSTH). Kecuali kelompok B, kelinci diberi margarin yang mengandung asam lemak trans. Dosis SSTH yang diberikan untuk kelompok C (1X Dosis Manusia = 211,68 mg/1,5 kgbb.) dan kelompok D (3X DM = 635,04 mg/1,5 kg bb.). Setiap 2 minggu sekali, 12 ekor kelinci yang mewakili ke-4 kelompok diambil aorta jantungnya, untuk dibuat preparat awetan yang selanjutnya diamati secara histologis dan diukur tebal dinding arkus aortanya. Kesimpulan : makin lama masa perlakuan TDA3 akan makin tebal. Pemberian SSTH 1X DM belum mampu mencegah terjadinya ateroma, sedangkan SSTH 3X DM sudah dapat mencegah terbentuknya ateroma dan aterosklerosis. Kata kunci : teh hitam; plak aterosklerosis; asam lemak tak jenuh trans

PENDAHULUAN Aterosklerosis merupakan suatu penyakit degeneratif; lemak dan kolesterol terakumulasi di bawah lapisan endotel dinding arteri (plak) menyebabkan penebalan serta kerusakan lapisan intima dinding arteri. Plak ini mungkin berasal dari pembentukan trans-isomer dan bermutasi dalam sel otot polos dinding arteri. Meningkatnya ukuran plak menyebabkan penyempitan lumen pembuluh darah, sehingga merintangi aliran

darah; atau plak tersebut dapat terlepas ke dalam sirkulasi darah menjadi emboli dan menyumbat pembuluh-pembuluh yang lebih kecil. Hal ini dapat menyebabkan infark karena terhentinya suplai darah(1). Hasil penelitian menunjukkan bahwa teh hitam mengandung senyawa flavonoid dengan kadar tinggi yang bersifat antioksidan dan diperkirakan dapat melindungi tubuh terhadap plak(2). Flavonoid berfungsi mengurangi radikal bebas

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

47

hidroksil, radikal bebas superoksida dan radikal bebas peroksil lipid(3). Wanita berusia 55 tahun atau lebih yang minum sedikitnya 1-2 cangkir teh hitam sehari, aterosklerosisnya 54% lebih sedikit dibandingkan dengan yang tidak minum teh hitam(4). Sebagian besar asam lemak tak jenuh terdapat secara alami sebagai cis-isomer, hanya sedikit yang trans-isomer. Asam lemak trans berasal dari 3 sumber, yaitu produk lemak hewan pemamah biak (susu, daging, jaringan adiposa), minyak yang dihidrogenasi sebagian (margarin, shortening, cooking fats), dan minyak yang telah dihilangkan baunya; terutama minyak yang mengandung asam -linolenik (misal, kacang kedelai dan rapeseed oils); sumber utama asam lemak trans pada manusia adalah minyak yang dihidrogenasi sebagian(5). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa asam lemak trans pada derajat yang sama dengan asam lemak jenuh menurunkan kadar kolesterol HDL, sedangkan asam lemak jenuh tidak. Dengan demikian rasio kadar kolesterol LDL terhadap kolesterol HDL pada asam lemak trans lebih besar daripada asam lemak jenuh. Peningkatan absolut sebesar 2% dari konsumsi asam lemak trans akan meningkatkan rasio kolesterol LDL terhadap kolesterol HDL sebesar 0,1 unit. Karena peningkatan 1 unit pada rasio dikaitkan dengan 53% peningkatan risiko PJK, rata-rata konsumsi 2% kalori dari asam lemak trans di AS diperkirakan menyebabkan sejumlah besar kematian akibat PJK(6). Tujuan penelitian : mengetahui efek teh hitam terhadap plak aterosklerosis pada kelinci percobaan. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian bersifat Eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap Petak Terbagi. Variabel Independen I : dosis sari seduhan teh hitam (SSTH), terdiri dari 4 taraf. 1. Kelompok A (kontrol positif), hanya diberi margarin 8% tanpa SSTH. 2. Kelompok B (kontrol negatif), tanpa margarin maupun SSTH. 3. Kelompok C : SSTH 1X DM (211,68mg/ml/1,5kgbb.) + 8% margarin. 4. Kelompok D : SSTH 3X DM (635,04mg/ml/1,5kgbb.) + 8% margarin. Variabel Independen II : lama perlakuan, terdiri dari 4 taraf. 1. M2 = lama perlakuan 2 minggu. 2. M4 = lama perlakuan 4 minggu. 3. M6 = lama perlakuan 6 minggu. 4. M8 = lama perlakuan 8 minggu. Variabel Dependen : - Pengukuran dinding pembuluh darah (Arcus Aorta Ascenden) Jumlah sampel : menurut rumus Federer (T1 x T2) (n-1) 15 T = T1 = T2 = jumlah perlakuan 16n 16 15 n = jumlah ulangan minimal 16n 31 n 1,9375 2

Cara Kerja A. Teh Hitam : daun tanaman teh hitam [Camellia sinensis O.K. Var. Assamica (Mast)] sesuai dosis masing-masing diseduh dengan air mendidih, didiamkan selama 15 menit, kemudian disaring dan diambil filtratnya. B. Aterogen berupa hydrogenated vegetable oil, yaitu margarin yang dicairkan. C. Kelinci Percobaan: berumur 3 bulan; berat 1,5 kg sebanyak 48 ekor; dibagi menjadi 4 kelompok perlakuan SSTH serta 4 macam lama perlakuan, masing-masing terdiri dari 3 ekor kelinci dengan cara kerja sebagai berikut: 1. Semua kelinci diberi minum air putih dan makanan baku berupa pelet RB-11 yang mengandung kolesterol 109,59mg/100g. secara ad-libitum. 2. Semua kelinci kecuali kelompok B, diberi aterogen 8%. 3. Semua kelinci kelompok C D, diberi SSTH sesuai dosis masing-masing. 4. Dilakukan pembedahan kelinci untuk mengambil arkus aorta pada minggu ke-2, minggu ke-4, minggu ke-6 dan minggu ke-8. 5. Dibuat preparat awetan aorta dengan Metode Parafin. 6. Dilakukan pengamatan histologis dan pengukuran tebal dinding arkus aorta ascenden. ANALISIS DATA Data kuantitatif yang diperoleh, diuji kenormalan dan homogenitasnya. Uji kenormalan dengan Metode Distribusi Frekuensi menunjukkan bahwa data tidak normal. Uji homogenitas dengan Metode Barlett menunjukkan bahwa data tidak homogen. Selanjutnya, data ditransformasi dan diuji kembali kenormalan dan homogenitasnya dengan Metode masingmasing seperti disebut di atas. Dari hasil uji kenormalan diketahui bahwa data normal, tetapi dari hasil uji homogenitas diketahui bahwa data tidak homogen. Data kemudian dianalisis secara Non Parametrik menggunakan Analisis Friedman dilanjutkan dengan uji Berganda menurut Daniel. Derajat kepercayaan untuk menerima hipotesis adalah 95%. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pengukuran Tebal Dinding Arkus Aorta Ascenden Dari data yang diperoleh, dengan jumlah ulangan total masing-masing 12 ekor dapat diketahui bahwa rata-rata tebal dinding arkus aorta ascenden (TDA3) pada kelompok A 68,4056 um; kelompok B 58,7667 um; kelompok C 56,2833 um; kelompok D 49,9445 um. Persentase selisih kelompok A-B = 14,0908 %; kelompok B-C = 4,2259 %; kelompok selisih CD = 11,2623 %. Rata-rata TDA3 kelompok M2 45,1889 um; kelompok M4 49,3667 um; kelompok M6 65,6556 um; kelompok M8 73,1889 um. Persentase selisih kelompok M2M4 = 8,4628 %; kelompok M4-M6 = 24,8096 %; kelompok M6-M8 = 10,2930 %.

48 Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

Tabel 1.
No 1. 2. 3.

Tebal Dinding Arkus Aorta Ascenden (TDA3) pada kelinci dengan 4 macam dosis dan 4 macam lama perlakuan (m)
T1 = DOSIS A (n) 1 2 3 T2 = LAMA PERLAKUAN (MINGGU) M2 M4 M6 M8 50,1333 68,4667 79,4000 82,8667 75,2000 66,2667 71,6667 66,0000 68,8000 53,3333 63,6667 75,0667 64,7111 13,0240 1 2 3 X SD 46,4667 44,6667 36,2667 42,4667 5,4443 1 2 3 48,2000 44,3333 38,5333 43,6889 4,8655 1 2 3 32,4667 36,0667 21,1333 29,8889 7,7933 62,6889 8,1765 39,0000 49,4667 39,2667 42,5778 5,9675 52,7333 62,2000 49,4000 54,7778 6,6404 36,2667 36,0667 39,9333 37,4222 2,1770 71,5778 7,8670 61,9333 48,8667 75,0000 61,9333 13,0667 73,6667 64,6667 43,6667 60,6667 15,3948 69,8000 65,1333 70,4000 68,4444 2,8832 74,6445 8,4413 119,866 7 64,2667 80,1333 88,0889 28,6410 67,6000 69,8667 60,5333 66,0000 4,8681 70,6667 56,5333 64,8667 64,0222 7,1044

Perlakuan (k) A B C D Rangking (R) 46 26 29 19

A 46 20* 17* 27*

B 26 3 7

C 29

D 19

10

X SD 4. 5. 6. B

Keterangan : * = berbeda bermakna ( = 0,05) 1. TDA3 kelompok A berbeda nyata terhadap TDA3 kelompok B, C dan D (p < 0,05). 2. TDA3 kelompok B tidak berbeda nyata terhadap TDA3 kelompok C dan D (p> 0,05). 3. TDA3 kelompok C tidak berbeda nyata terhadap TDA3 kelompok D (p > 0,05).

7. 8. 9.

Tabel 3. Hasil Uji Berganda Daniel antar lama perlakuan M2 Perlakuan (k) M2 M4 M6 M8 Rangking (R) 14 22 36 48 14 8 22* 34* 22 14* 26* 36 48 M4 M6 M8

X SD 10. 11. 12. D

12*

X SD

Hasil analisis data secara Non Parametrik dengan Metode Friedman menunjukkan bahwa perbedaan perlakuan menyebabkan perbedaan ketebalan dinding arkus aorta ascenden (p < 0,05). Sedangkan hasil Uji Berganda Daniel ditunjukkan oleh Tabel 2 :
Tabel 2. Hasil Uji Berganda Daniel antar dosis perlakuan Tabel 4. Hasil Uji Berganda Daniel antar dosis dan lama perlakuan K1 K2 A M2 M4 M6 M8 M2 M4 M6 M8 M2 M4 M6 M8 M2 M4 M6 M8 R 34 27 41 44 11 13 26 47 12 20 25 31 3 6 38 30 M2 34 7 7 10 23 21 8 13 22 14 9 3 31 28 4 4 M4 27 14 17 16 14 1 20 15 7 2 4 24 21 11 3 A M6 41 M8 44 M2 11 M4 13 B M6 26

Keterangan : * = berbeda bermakna ( = 0,05) 1. TDA3 kelompok M2 berbeda nyata terhadap TDA3 kelompok M6 dan M8 (p< 0,05), tetapi tidak berbeda nyata terhadap TDA3 kelompok M4 (p> 0,05). 2. TDA3 kelompok M4 berbeda nyata terhadap TDA3 kelompok M6 dan M8 (p< 0,05). 3. TDA3 kelompok M6 berbeda nyata terhadap TDA3 kelompok M8 (p< 0,05).

C M8 47 M2 12 M4 20 M6 25 M8 31 M2 3 M4 6

D M6 38 M8 30

3 30 28 15 6 29 21 16 10 38 35 3 11

33 31 18 3 32 24 19 13 41* 38 6 14

2 15 36 1 9 14 20 8 5 27 19

13 34 1 7 12 18 10 7 25 17

21 14 6 1 5 23 20 12 4

35 27 22 16 44* 41* 9 17

8 13 19 9 6 26 18

5 11 17 14 18 10

6 22 19 13 5

28 25 7 1

3 35 24

32 24

Keterangan : * = berbeda bermakna ( = 0,05) 1. TDA3 kelompok AM8 berbeda nyata terhadap TDA3 kelompok DM2 (p< 0,05), sedangkan TDA3 kelompok BM8 berbeda nyata terhadap TDA3 2. kelompok DM2 dan DM4 (p < 0,05). 3. Selain dari yang disebut di atas, TDA3 antara tiap kelompok dosis perlakuan/lama perlakuan tidak berbeda nyata (p > 0,05).

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

49

B. Pengamatan Preparat Awetan B.1. Preparat hewan yang diberi perlakuan selama 2 dan 4 minggu Pada pengamatan preparat hewan yang diberi perlakuan selama 2 minggu, pada kelompok A (kontrol positif), kelompok B (kontrol negatif), kelompok C (1X DM) serta kelompok D (3X DM) tidak terdapat ateroma ataupun aterosklerosis. Hal ini mungkin karena paparan aterogen asam lemak trans berupa hydrogenated vegetable oil (margarin) kurang lama sehingga peningkatan kadar kolesterol LDL masih reversibel. B.2. Preparat hewan yang diberi perlakuan selama 6 minggu Pemberian aterogen mengandung asam lemak trans selama 6 minggu, menyebabkan 33,33% dari kelinci kelompok A (kontrol positif) mengalami aterosklerosis serta ateroma di lapisan intima arkus aorta ascendennya. Sedangkan di kelompok C, yang diberi perlakuan aterogen serta SSTH sebanyak 1X DM (dosis manusia yang sudah dikonversi ke dalam dosis kelinci) 33,33% didapati ateroma di lapisan intima arkus aorta ascendennya, tetapi tidak terdapat aterosklerosis, mungkin karena sensitivitasnya terhadap penyakit berbeda, sehingga masing-masing 33,33% dari kelompok A dan C lebih cepat mendapatkan ateroma / aterosklerosis dibandingkan dengan kelinci lain. Pada A1 M6, terdapat deposit lemak di dinding arkus aorta ascenden (ateroma) yang kemudian mengeras (mengalami pengapuran) dan terbentuk aterosklerosis. Pada C1 M6, juga terdapat deposit lemak di lapisan intima dinding arkus aorta ascenden (ateroma). Dalam hal ini khususnya pada C1 M6, ternyata flavonoid dalam SSTH efeknya hanya sebatas menghambat perkembangan ateroma menjadi aterosklerosis, tetapi tidak menghambat terjadinya ateroma; sedangkan pada kelinci lain yang mempunyai daya tahan tubuh lebih baik, efek flavonoid dalam SSTH dapat menghambat terbentuknya ateroma dengan melindungi lapisan intima terhadap radikal bebas peroksil lipid sehingga mencegah masuknya kolesterol LDL. B.3. Preparat hewan yang diberi perlakuan selama 8 minggu Pemberian aterogen selama 8 minggu menyebabkan adanya ateroma pada 66,67% di kelompok A dan menyebabkan

ateroma serta aterosklerosis pada 33,33% di kelompok B (kontrol negatif). Sedangkan pada kelinci lain tidak terdapat ateroma ataupun aterosklerosis. Pemberian aterogen menyebabkan masuknya kolesterol LDL ke dalam lapisan intima arkus aorta ascenden kelinci A2 M8 dan A3 M8, kemudian teroksidasi selama 8 minggu sehingga terbentuklah ateroma. Khususnya pada kelinci A2 M8 terdapat banyak sekali ateroma yang beberapa di antaranya mulai ada pengapuran. Ternyata, pada kelinci B1 M8 juga terdapat ateroma maupun aterosklerosis; mungkin akibat munculnya sifat genetik strain New Zealand White yang mempunyai kecenderungan terkena aterosklerosis (40%), sehingga hanya dengan pemberian makanan mengandung kolesterol selama 8 minggu tanpa aterogen asam lemak trans sudah dapat menyebabkan terjadinya aterosklerosis. KESIMPULAN Pemberian SSTH sebesar 1X DM tidak cukup untuk menghambat terjadinya ateroma. Sedangkan pemberian SSTH sebanyak 3X DM sudah mampu mencegah terbentuknya baik ateroma maupun aterosklerosis. Pemberian asam lemak trans berupa hydrogenated vegetable oil (dalam hal ini margarin) selama 6-8 minggu pada kelinci betina strain New Zealand White menyebabkan aterosklerosis dan atau ateroma di lapisan intima dinding arkus aorta ascenden saja, belum sampai ke arkus aorta descenden ataupun aorta thoracalis.

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. Sutantyo E. The Effect of Palm Oil, Peanut Oil and Margarine on Serum Lipoprotein and Atherosclerosis in Rats. Maj. Gizi Indon. 1994;19 (1-2) : 6989. Geleijnse. Drinking Tea Protects Arteries from Cholesterol Build-up. Arch. Intern. Med.1999;159 : 2170 - 4. Tuminah S. Radikal Bebas dan Antioksidan - kaitannya dengan Nutrisi dan Penyakit Kronis. Cermin Dunia Kedokt. 2000; 18 : 49-51. Licher S. Whether its Green, Black, Jasmine or Earl Gray Tea could be the Elixir of Health. 2000 June WebMD Medical News. [cited 2000 July 07] Silalahi J. Hypocholesterolemic Factors in Foods : A Review. Indonesian Food and Nutrition Progress. 2000; 7(1) : 26-35. Trans Fatty Acid and Coronary Heart Disease., URL://www.nejm.org/ content/1999/0340/0025/1994.asp.

To do good to the bad is a danger just as great is to do bad to the good


Plautus

50 Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

HASIL PENELITIAN

Rokok di Sinetron
Tjandra Yoga Aditama
Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta Penerima WHO Award on Tobacco Control , 1999

PENDAHULUAN Lima ratus juta orang yang dewasa yang hidup di muka bumi akan meninggal akibat kebiasaan merokok. Sekitar 100 juta orang telah meninggal akibat rokok di abad 20, dan kalau trend ini terus berjalan maka di abad 21 akan ada 1 milyar orang yang meninggal akibat rokok. Setiap harinya sekitar 80100 ribu remaja di dunia menjadi pecandu dan ketagihan rokok. Bila pola ini terus menetap maka sekitar 250 juta anak-anak yang hidup sekarang ini akan meninggal akibat penyakit yang berhubungan dengan kebiasaan merokok(1,2). Ada berbagai alasan orang untuk mulai dan tetap, atau bahkan meningkatkan konsumsi rokoknya. Salah satu yang penting adalah pengaruh panutan dan tontonan. Dalam hal ini peran artis serta film (termasuk sinetron) amatlah penting. Hal inilah yang antara lain menjadi dasar sehingga di tahun 2003 yang lalu tema Hari Tanpa Tembakau seDunia adalah Tobacco Free Film, Tobacco Free Fashion (3). Untuk mengetahui pola merokok di sinetron - tontonan TV yang amat populer di Indonesia - maka dilakukan penelitian untuk melihat ada tidaknya adegan merokok di sinetron yang disiarkan berbagai stasiun TV swasta di Jakarta. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei 2003 untuk mengetahui pola merokok di kalangan para selebritis Indonesia, utamanya artis sinetron, dan juga kebiasaan merokok yang diperlihatkan pada adegan sinetron TV Indonesia BAHAN DAN CARA KERJA Dilakukan pengamatan pada sinetron yang diputar di beberapa stasiun TV swasta yang ada di Jakarta. Pengamatan dilakukan oleh 5 orang perawat RS Persahabatan Jakarta pada sore dan malam hari. Pada setiap sinetron kemudian dicatat beberapa hal : Stasiun TV Judul sinetron

Jam dan tanggal penayangan Ada tidaknya orang merokok Siapa / peran apa yang merokok Sebagai penelitian tambahan, dilakukan pula pengumpulan data kebiasaan merokok di kalangan kameraman 2 stasiun TV swasta. Kepada para kameraman ini ditanyakan apakah pada saat penelitian berlangsung mereka perokok atau tidak. Pertanyaan diajukan oleh wartawan di stasiun TV tersebut yang biasa meliput program-program kesehatan. Seluruh data yang ada kemudian ditabulasikan dan disajikan berikut ini.

HASIL PENELITIAN Pengamatan dilakukan tanggal 29 Mei sampai dengan 2 Juni 2003 (5 hari). Pengamatan dilakukan pada 14 episode sinetron yang disiarkan oleh 6 stasiun TV swasta, yaitu : RCTI SCTV Indosiar AnTV Trans TV Lativi Dari 14 sinetron yang diamati ternyata 9 sinetron (64,28%) menampilkan adegan merokok (Tabel 1):
Tabel 1. Adegan merokok di sinetron Adegan merokok Ada Tidak ada Total Jumlah 9 5 100 Persentase 64,28 % 35, 72 % 100 %

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

51

Dari 9 sinetron, 6 ada adegan merokoknya (66,66%); yang merokok adalah pemeran penting di sinetron itu. Tabel 2 memperlihatkan pola jenis kelamin perokok di sinetron.
Tabel 2. Jenis kelamin perokok di sinetron Yang Merokok Laki-laki saja Perempuan saja Laki & Perempuan Total Jumlah 5 sinetron 1 sinetron 4 sinetron 14 Persentase 55,55% 11,12% 33,33% 100 %

Tabel 3 menggambarkan tokoh apa saja yang beradegan merokok di dalam sinetron yang diamati. Data ini menunjukkan bahwa perokok terlihat pada pemeran bapak, pengusaha dan sampai tukang parkir dan calo.
Tabel 3 . Peran perokok di sinetron No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Peran perokok di sinetron Bapak Pengusaha Mandor Penjual bunga Wanita panggilan Tamu di caf & rumah Petugas parkir Calo Guru Dokter Pacarnya dokter

Sementara itu, data tentang kamerawan stasiun TV didapat dari 2 stasiun TV swasta. Jumlah seluruh responden 92 orang, 89 di antaranya laki-laki dan 3 orang perempuan. Tidak ada satupun dari responden perempuan yang merokok. Dari 89 kamerawan laki-laki 86 ( 96,62%) di antaranya perokok . DISKUSI Penelitian ini dilakukan selama 5 hari atas sebagian besar (6) stasiun TV swasta yang ada. Pengamatan hanya dilakukan di sore dan malam hari karena dilakukan oleh perawat rumah sakit yang di pagi dan siang hari bekerja sehingga tidak dapat menonton sinetron. Didapatkan bahwa di sekitar dua per tiga sinetron kita ternyata ada adegan merokok. Dalam kurun waktu 1988 1997 setidaknya 85% dari film Holywood ternama menampilkan adegan merokok. Penelitian lain di India dari 395 film yang diproduksi antara 1991 2002 menunjukkan bahwa 302 di antaranya (76,5%) juga memperlihatkan adegan merokok. Penelitian lain oleh National Coalition of TV Violence menunjukkan bahwa dari 150 film yang dipantau di tahun 1989 ternyata 83% di antaranya memperlihatkan adegan merokok pula (3). Sementara itu, data penelitian ini juga menunjukkan bahwa baik laki-laki maupun perempuan sama saja punya kebiasaan merokok, hanya memang lebih banyak sinetron yang ada lakilaki yang merokok. Dari data tentang siapa yang merokok

dalam sinetron tampak tidak ada pola tertentu; baik peran orang baik ataupun orang jahat sama-sama merokok di sinetron. Data ini menunjukkan bahwa adegan merokok merupakan bagian tidak terpisahkan dari sinetron di negara kita. Hal ini jelas berakibat buruk bagi masyarakat karena seringkali orang mulai, meneruskan atau makin banyak merokok karena melihat public figure termasuk artis - merokok dan mengaitkannya dengan dunia glamour. WHO SEARO (South East Asia Regional Office) Indonesia salah satu anggotanya - mentargetkan bahwa dalam periode 2000 2010 harus dilakukan berbagai upaya agar total konsumsi rokok turun setidaknya 1% setahun, dan jumlah perokok anak-anak, wanita dan kelompok miskin turun masingmasing setidaknya 1% setahun di setiap kelompok masyarakat itu. Untuk itu perlu dilakukan sedikitnya 9 prioritas kegiatan, yang tampaknya harus pula dilakukan di Indonesia yang disesuaikan dengan keadaan di sini (4). Pertama adalah promosi kesehatan, yang seyogyanya dilakukan dengan baik, terprogram dan sesuai ke sasaran, tidak kalah meriah ketimbang promosi rokok yang amat gencar. Ke dua perlindungan konsumen, yang meliputi pemberian seluruh informasi secara lengkap, benar dan jujur ke pada konsumen yang akan membeli rokok. Hal ini meliputi tulisan peringatan bahaya yang tertera di bungkus rokok yang harusnya cukup besar dan jelas, pencantuman kadar tar dan nikotin dalam bungkus rokok dll. Ke tiga, bantuan bagi mereka yang ingin berhenti merokok, antara lain dengan pembuatan brosur/kit cara berhenti merokok, pelayanan klinik berhenti merokok dll. Ke empat, perlindungan bagi mereka yang tidak merokok. Perlu ditegaskan adanya hak azasi para non perokok untuk menghirup udara bersih sehat bebas asap rokok. Ke lima, pendekatan dari sudut fiskal dengan menaikkan cukai rokok. Menurut WHO ini adalah bentuk pendekatan win win karena pendapatan dapat meningkat sementara dampak buruk pada populasi yang rentan (anak-anak dan kelompok miskin) akan menurun. Ke enam adalah pengaturan iklan rokok di berbagai media, agar memberi infiormasi yang sahih dan jangan bersifat mengajak kaum muda untuk mulai merokok. Pendekatan ke tujuh adalah penelitian-penelitian di berbagai sektor, yang meliputi kuantitas merokok, dampak rokok, pengaruh pada lingkungan, kecenderungan merokok dari waktu ke waktu dll. Penelitian dalam berbagai bentuknya belum banyak dilakukan di negara kita, dan perlu terus digalakkan. Kegiatan ke delapan adalah pembatasan penjualan rokok, jangan dekat sekolah, jangan di vending machine dll. Sementara itu, pendekatan terakhir adalah pencegahan penyelundupan yang banyak menjadi masalah di beberapa negara tetangga kita. Sementara itu, pendekatan terbaik dewasa ini dalam penanggulangan merokok adalah dengan menerima dan mengimplementasikan FCTC (Framework Convention on Tobacco Control). FCTC adalah suatu perjanjian/traktat (treaty) internasional pertama di bidang kesehatan masyarakat di dunia (5). Materi FCTC sendiri secara lengkap terdiri dari beberapa bab / bagian, yaitu preambul, definisi, tujuan, prinsip umum dan obligasi umum. Kemudian dilanjutkan dengan Bab pola

52 Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

tarif dan perpajakan untuk menurunkan kebutuhan dan konsumsi tembakau serta pendekatan non tarif untuk menurunkan kebutuhan dan konsumsi tembakau, yang meliputi perlindungan perokok pasif, peraturan perundangan, bungkus rokok dan peringatannya, pendidikan pelatihan & pengetahuan masyarakat serta iklan promosi & sponsor. Bab berikutnya membahas penanganan ketergantungan rokok / bantuan berhenti merokok. Isi FCTC selanjutnya adalah upaya yang berhubungan dengan penyediaan rokok, yang meliputi pencegahan penyelundupan / perdagangan tidak sah, penjualan oleh dan untuk anak-anak / usia muda dan pengaturan tentang produksi dan pertanian. Di bagian akhir FCTC dibahas tentang kompensasi, surveilans, riset dan tukar menukar informasi, kerjasama ilmiah, teknik dan legal, pertemuan antar negara, sekretariat, peran WHO, pelaporan dan implementasi, sumber dana dan penutup Banyak hal amat penting yang terkandung dalam FCTC, dan tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa FCTC merupakan kumpulan aturan yang amat lengkap untuk menanggulangi masalah merokok. FCTC antara lain menjamin perlunya diimplementasikan peraturan perundangan untuk perlindungan perokok pasif, antara lain dalam bentuk larangan merokok secara total di seluruh tempat-tempat umum. Sejauh mungkin harus pula dibuat aturan pelarangan penjualan rokok pada anak berusia di bawah 18 tahun, dan juga bila mungkin pelarangan penjualan rokok oleh mereka yang berusia di bawah 18 tahun Selain itu, perlu ada standar yang meliputi semua proses pembuatan rokok, yang mengacu pada standar internasional (WHO) dan perusahaan rokok harus mau memberi informasi lengkap (disclosure) tentang produknya. Sementara itu, untuk para perokok juga harus disediakan program untuk membantu proses berhenti merokok. Yang juga fundamental adalah aturan dalam FCTC bahwa bungkus rokok harus mencantumkan secara jelas tentang bahaya merokok dan kandungan bahan berbahayanya. Disepakati bahwa peringatan bahaya rokok dalam bentuk berbagai gambar penyakit dan tulisan bahaya rokok - akan mencakup minimal 30% sampai setengah permukaan depan bungkus rokok. Pencantuman istilah low, light, mild dll. yang selama ini memang menyesatkan tidak boleh digunakan lagi. Istilah-istilah itu menyesatkan karena sebenarnya tidak ada penurunan bahaya yang bermakna dengan penurunan kadar tar dan nikotin dengan cara ini, dan istilah itu memberi kesan rokok yang aman sehinggga si perokok cenderung merasa boleh merokok dan bukan tidak mungkin akan mengkonsumsi rokok lebih banyak lagi karena merasa yang dihisapnya adalah rokok yang ringan.

Hal lain yang amat penting adalah pelarangan segala bentuk iklan rokok, langsung atau tidak langsung. Ini akan merupakan langkah raksasa. Harus diakui bahwa banyak sekali remaja mulai merokok akibat melihat iklan, apalagi yang diperankan oleh wanita cantik atau pria gagah. Perlu diingatkan di sini bahwa merokok akan menimbulkan kulit keriput, bukan kecantikan, dan merokok akan menyebabkan sakit paru dan jantung dll, bukan kegagahan. FCTC juga mengatur bahwa pelarangan iklan ini harus diimbangi dengan digalakkannya penyuluhan kesehatan, termasuk di dalamnya adalah counter advertising. FCTC juga mengatur perlunya dibentuk dan diaktifkannya suatu national coordinating mechanism untuk program penanggulangan masalah merokok dan perlu ada aturan hukum yang diharmonisasi antar negara untuk menurunkan konsumsi rokok. Ditegaskan pula bahwa pendekatan melalui pola tarif dan perpajakan merupakan salah satu pendekatan ampuh dalam penanggulangan masalah merokok. Cukai rokok dapat segera dinaikkan hingga didapat dana untuk penanggulangan akibat buruk kebiasaan merokok, sementara harus ada larangan penjualan rokok tax free atau duty free. Selain itu FCTC juga mengatur perlunya aturan tegas tentang penyelundupan rokok, antara lain dengan tulisan bahwa rokok ini hanya boleh dijual di negara tertentu dll., terlaksananya program surveilans, riset dan tukar menukar informasi antar negara serta tersedianya global funds untuk membantu program penaggulangan masalah merokok ini. Indonesia tidak ikut menandatangai FCTC. Tetapi, masih ada kesempatan karena dapat dilakukan accession, yaitu kegiatan diplomatik yang menyatakan kita menerima FCTC (6). Amat diharapkan agar pemerintah Indonesia dapat segera melakukan accession terhadap FCTC ini, demi kesehatan masyarakat kita, kini dan di masa mendatang !
KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. de Beyer J, Bridgen LW. Tobacco Control Policy.Ottawa: World Bank & RITC, 2003, hal. : 1-5 Tjandra Yoga Aditama. Masalah Merokok dan Penanggulangannya. Jakarta : YP IDI, 2001 , hal. : 1 - 8. WHO Tobacco Free Film , Tobacco Free Action. Geneve : WHO 2003 :1, 8-10 WHO SEARO. A Policy Framework for Tobacco Control. New Delhi : WHO SEARO 2000 : 24-6 Tjandra Yoga Aditama. FCTC, Senjata Andalan Melawan Rokok. Harian Kompas, 31 Mei 2003, hal. 12 Hammond R. Framework Convention on Tobacco Control. Dipresentasikan di Framework Convention Alliance Awareness Raising and Capacity Building Workshop on Tobacco Control and the FCTC, Bangkok, 15 18 Juli 2004.

Unhappy is the man who is in advance of his time

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

53

HASIL PENELITIAN

Kenaikan Kadar Hemoglobin setelah Pemberian Epoeitin Alfa (HEMAPO) selama 12 minggu, pada Penderita Gagal Ginjal yang Menjalani Hemodialisis
Rully MA Roesli, Enday Sukandar, Rubin Gondodiputro, Rachmat Permana
Sub-bagian Ginjal dan Hipertensi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin, Bandung

ABSTRAK Recombinant human erythropoeitin (rHu-EPO) dianjurkan diberikan pada semua tingkat penderita Penyakit Ginjal Kronis (PGK) baik yang belum atau telah menjalani terapi dialisis. Terapi EPO pada penderita PGK telah terbukti secara signifikan (evidence level A) dapat menghilangkan gejala maupun mengurangi komplikasi akibat anemi pada penderita PGK. Namun demikian, walaupun sudah dibuktikan bahwa pemberian rHuEPO pada penderita PGK secara bermakna memperbaiki kualitas hidup penderita, mengingat harganya yang mahal, tidak semua pasien beruntung mendapatkannya. Kemajuan bioteknologi di negara-negara Asia menghasil-kan kemampuan memproduksi salah satu jenis rHu-EPO, yaitu epoeitin alfa (Hemapo) dengan biaya yang lebih murah sehingga lebih terjangkau oleh pasien. Dilakukan pengobatan epoeitin alfa (Hemapo), yang dibuat di Indonesia (dengan lisensi dari Cina) terhadap 32 penderita gagal ginjal yang sedang menjalani hemodialisis di 3 pusat dialisis di Bandung. Pengobatan dilakukan menggunakan Konsensus PERNEFRI mengenai Manajemen Anemi Pasien Gagal Ginjal Kronik. Penelitian dilakukan selama 12 minggu. Terjadi kenaikan kadar Hb (g/dl) setelah pemberian epoeitin alfa pada minggu ke-4 (sebesar 13,10%), pada minggu ke-8 (24,40%), dan pada minggu ke 12 (29,30%). Hal serupa terlihat pada kadar Ht. Terdapat kenaikan Ht(%) setelah pemberian epoeitin alfa pada minggu ke-4 (sebesar 18,80%), pada minggu ke-8 (26,60%), dan pada minggu ke 12 (31,80%). Peningkatan Hb tertinggi, sebesar 5,1-6 g/dl terlihat pada 2 penderita (6,20%). Sedangkan peningkatan Hb tertinggi adalah sebesar 2,1-3 g/dl pada 11 penderita (34,40%). Pada 4 penderita (12,50%) kadar Hb justru menurun (respon tidak adekuat). Peningkatan Ht tertinggi, sebesar 16-20% terjadi pada 4 penderita (12,50%); kebanyakan meningkat 6-10% (pada 9 penderita - 28,10%). Pada 5 penderita (15,64%) kadar Hb justru menurun (respon tidak adekuat). Kemungkinan penyebab tidak naiknya Hb dan Ht adalah defisiensi besi (pada 10 orang penderita),dan proses inflamasi (pada 2 penderita). Efek samping yang didapatkan pada penelitian ini adalah peningkatan tekanan darah (15%), flu like syndrome (12,5%) dan kemungkinan vascular access clotting (1%). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian epoeitin alfa (Hemapo) selama 12 minggu efektif meningkatkan Hb dan Ht pada penderita gagal ginjal yang sedang menjalani dialisis.

54 Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

PENDAHULUAN National Kidney Foundation di Amerika (NKF-K/DOQI) merekomendasikan pemberian Recombinant human erythropoeitin (rHu-EPO) pada semua tingkat penderita Penyakit Ginjal Kronis (PGK) baik yang belum atau telah menjalani terapi dialisis1. Terapi EPO pada penderita PGK telah terbukti secara bermakna (evidence level A) dapat menghilangkan gejala maupun mengurangi komplikasi akibat anemi pada penderita PGK. Selain itu terapi EPO dapat mengurangi kebutuhan transfusi darah, mengurangi komplikasi transfusi, mengurangi efek sekunder anemi terhadap sistim kardiovaskuler, serta meningkatkan kualitas hidup secara umum1,2. Sebelum terapi EPO digunakan, penanggulangan anemia hanya dengan cara transfusi darah. Transfusi digunakan secara luas pada penderita PGK, karena murah dan mudah; namun berpotensi menularkan berbagai penyakit seperti hepatitis B, hepatitis C dan HIV; serta berbagai komplikasi lain, seperti hemosiderosis, overhidrasi, depresi sumsum tulang dan meningkatnya sensitisasi terhadap HLA3. Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) pada tahun 2001, membuat konsensus manajemen anemi pada penderita gagal ginjal yang disesuaikan dengan kondisi di Indonesia4. Namun demikian, walaupun sudah dibuktikan bahwa pemberian EPO pada penderita PGK secara bermakna memperbaiki kualitas hidup penderita, mengingat harganya yang mahal, tidak semua pasien beruntung mendapatkan pengobatan ini. Terdapat beberapa jenis EPO yang dapat digunakan untuk manajemen anemi. Komposisi rantai karbohidrat, terutama asam sialat membedakan efikasi obat, stabilitas, maupun klirensnya. Ada 3 macam EPO berdasarkan kadar oligosakaridanya, yaitu epoeitin alfa (39% oligosakarida), epoeitin beta (24%), dan epoeitin omega (21%). Kemajuan bioteknologi di negara-negara Asia menghasilkan epoeitin alfa (Hemapo) dengan biaya yang lebih murah sehingga lebih terjangkau oleh pasien. Uji klinik telah dilakukan di beberapa rumah sakit di Cina, dengan kenaikan Hb rerata sebesar 46%, dan Ht rerata sebesar 47%, setelah 12 minggu pengobatan5. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas epoeitin alfa dalam hal kenaikan Hb dan Ht pada penderita gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia dan efek sampingnya. METODE Penelitian ini merupakan clinical trial melalui quasi experimentation Rancangannya adalah setiap pasien berlaku sebagai kontrol dirinya masing-masing yang akan dibandingkan dengan keadaan baseline (repeated measures design, comparison to baseline). Penelitian dilakukan di RS Perjan Dr. Hasan Sadikin, Klinik Spesialis Penyakit Dalam Perisai Husada Bandung dan RS Khusus Ginjal Ny Habibie. Kriteria inklusi: pasien gagal ginjal yang sudah menjalani hemodialisis sekurang-kurangnya selama 6 bulan dan bersedia mengikuti penelitian. Pada semua subjek penelitian yang terpilih dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, foto thorax dan EKG. Keadaan anemia ditentukan dari pemeriksaan Hb dan Ht (Hb < 8 g/dl atau Ht < 30 %). Sebelum terapi diharap-

kan konsentrasi feritin serum > 100 ug/L, nilai saturasi transferin > 20%. Ditentukan kriteria eksklusi, yaitu : tekanan darah sistolik > 180 mmHg dan atau diastolik > 110 mmHg, sedang mengalami infeksi/inflamasi, kehilangan darah kronik, malnutrisi, hemoglobinopati dan anemi hemolisis. Sebagai protokol pengobatan, digunakan Konsensus Manajemen anemia pasien gagal ginjal kronik (PERNEFRI 2001). Pemberian selama 3 bulan (12 minggu). Target : Hb > 10 g/dL dan Ht > 30% Dosis epoeitin alfa fase koreksi Epoeitin alfa : 3000 IU iv, 2 kali seminggu, selama 4 minggu. Pemeriksaan Hb dan Ht setiap 4 minggu. Target respons: Hb naik 1-2 g/dL dalam 4 minggu atau Ht naik 2-4% dalam 2-4 minggu. Jika target respons belum tercapai, dosis dinaikkan 50%, dan jika Hb naik > 2,5 g/dL atau Ht naik > 8% dalam 4 minggu, dosis diturunkan 25%. Jika target respons tercapai, pertahankan dosis EPO pada kadar Hb > 10 g/dL Terapi epoeitin alfa fase pemeliharaan Dilakukan jika target Hb sudah tercapai (> 10 g/dL) Dosis : 2000 IU iv., 2 kali seminggu, selama 2 bulan. Pemeriksaan Hb dan Ht setiap 4 minggu. Bila Hb mencapai > 12 g/dL dan status besi cukup, dosis diturunkan 25%. Sediaan Epoeitin Alfa (Hemapo) Berupa sediaan dalam bentuk prefilled syringe 3000 IU. Cara pemberian obat: intravena Sediaan disimpan dalam suhu 2-8oC di tempat gelap, tidak boleh dikocok atau disimpan dalam keadaan beku HASIL PENELITIAN Dilakukan penelitian terhadap 40 orang penderita gagal ginjal yang telah menjalani hemodialisis, 32 orang mengikuti penelitian sampai selesai selama 12 minggu; 8 orang berhenti : 6 orang karena efek samping obat dan 2 orang meninggal oleh sebab yang tidak berhubungan dengan penelitian ini. Karakteristik pasien Data rerata pasien pada awal penelitian : Usia 51.5 48 tahun ; 22 laki-laki dan 10 perempuan. Lama menjalani hemodialisis (HD) 41.2 33 bulan. Penyebab gagal ginjal adalah glomerulonefritis (14 orang), pielonefritis (16 orang), hipertensi dan nefropati urat, masing-masing 1 orang. Hipertensi didiagnosis pada 27 orang; semuanya sedang dalam pengobatan anti hipertensi. Dari hasil pemeriksaan EKG, foto toraks maupun nilai CRP pasien dianggap tidak sedang mengalami gangguan kardiovaskuler6, tidak menderita infeksi atau inflamasi7. Kadar protein total dan albumin tidak menunjukkan pasien dalam keadaan malnutrisi 7. Rentang (range) kadar Hb 7,1- 9,7 g/dL dengan rerata 8,05 g/dL. Kadar Ht 21-30% dengan rerata 24.58%. Kadar Fe

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005 55

23-282 g/dL dengan rerata 112.2 g/dl. TIBC 37-422 g/dl dengan rerata 50,2 g/dL. Kadar Ferritin 100-385 g/dL dengan rerata 158.1 g/dL. Sedangkan kadar Sat transferrin 11,296,7% dengan rerata 45,3%. Kenaikan Kadar Hemoglobin (Hb) dan Hematokrit (Ht) Sebelum pengobatan kadar Hb rata-rata 8,05 g/dL, Ht rata-rata 24,58 %. Setelah diberi epoeitin alfa, kadar Hb maupun Ht naik bermakna (grafik 1).
Grafik 1. Kenaikan Hemoglobin dan Hematokrit

Tabel 1. Rata-rata kenaikan Hb KEL I II III IV V VI VII Total KENAIKAN Hb (-2) 0 01 1,1 2 2,1 3 3,1 4 4,1 5 5,1 6 Jumlah (n) 4 4 3 11 4 4 2 32 Persentase (%) 12.50 12.50 9.40 34.40 12.50 12.50 6.20 100.00

Tabel 2. Rata-rata kenaikan Ht KEL I II III IV V Total KENAIKAN Ht (-5) 0 05 6 - 10 II 15 16 20 Jumlah (n) 5 7 9 7 4 32 Persentase (%) 15.64 21.88 28.10 21.88 12.50 100.00

PERUBAHAN Hb DAN Ht SETELAH TERAPI HEMAPO


40.00 30.00

NILAI

20.00 10.00 0.00

Terapi Sebelum
8.05 24.58

stlh terapi 2 mgg


9.11 29.22
Hb (g/dL)

stlh terapi 4 mgg


10.02 31.13
Ht (vol %)

stlh terapi 8 mgg


10.41 32.41

Hb (g/dL) Ht (vol %)

Tetapi peningkatan terbanyak pada kelompok III (antara 6-10%), yaitu pada 9 penderita (28,10%). Terlihat bahwa pada 5 penderita (15,64 %) terjadi respon yang tidak adekuat, karena justru terjadi penurunan kadar Ht (kelompok 1) (Tabel 2). Prosentase peningkatan kadar Hb dan Ht tersebut juga dapat dilihat pada Grafik 2 dan Grafik 3 .
Grafik 3. Prosentase Perubahan kadar Hb setelah Terapi Epoeitin Alfa Selama 12 Minggu
PROSENTASE PERUBAHAN HB SETELAH TERAPI EPOITIN ALFA SELAMA 12 MINGGU

Grafik 2 . Kenaikan Rata-rata Hemoglobin dan Hematokrit


PROSENTASE KENAIKAN RATA-RATA HB DAN HT
35.00% 30.00% 25.00% 20.00% 15.00% 10.00% 5.00% 0.00% 13.10% 18.80% 24.40% 29.30% 26.60% 31.80%

40.00%

Jumlah pasien (%) yang Mengalami Peningkatan HB

34.40%

30.00% 20.00%
12.50% 12.50% 9.40% 6.20% 12.50%

10.00% 0.00% (-2) - 0 -10.00%


-12.50%

Terapi 4 mgg
13.10%

Terapi 8 mgg
24.40%

Terapi 12 mgg
29.30%

0-1

1,1 - 2

2,1 - 3

3,1 - 4

4,1 - 5

5,1 - 6

Hb (g/dL)

Ht (vol %)

18.80%

26.60%

31.80%

-20.00%

Ke naikan HB

Peningkatan kadar Hb dan Ht sudah terjadi secara bermakna pada minggu ke 4, yaitu dari Hb 8.05 g/dl menjadi 9.11 g/dl (meningkat 13,10%) dan Ht dari 24,58% menjadi 29,22% (meningkat 18,8%). Selanjutnya dibandingkan dengan sebelum terapi, pada minggu ke 8 telah terjadi peningkatan sebesar 24,4% untuk Hb dan 26,6% untuk Ht. Pada minggu ke 12 peningkatan Hb mencapai 29,3% dan Ht 31,8% (Grafik 2). Dari 32 penderita, peningkatan kadar Hb tertinggi terjadi pada 2 orang, 5,4 g/dl pada seorang penderita wanita, dan 5,1 g/dl pada seorang penderita laki-laki, (kelompok VII, tabel 1). Kebanyakan meningkat 2,1-3 g/dl di kelompok IV (11 orang 34,4 %). Pada 4 orang (12,5%) kadar Hb tidak meningkat (respon tidak adekuat) bahkan turun (kelompok I). Hal serupa terjadi pada kenaikan Ht. Peningkatan tertinggi pada 4 orang (12,50%) dari kelompok V (meningkat 16-20%).

Berdasarkan laporan8,9,10, penyebab respon tidak adekuat penggunaan epoeitin alfa adalah defisiensi besi, hiperparatiroid sekunder, keracunan aluminium, anemia hemolitik, defisiensi asam folat dan vitamin B12, inflamasi, mieloma multipel, dan pure red cell anemia. Pada penelitian ini penyebab respon tidak adekuat tidak diketahui pasti, juga tidak didapatkan komplikasi pure red cell anemia; mungkin penyebabnya adalah defisiensi Fe. Hingga minggu ke 12 terdapat 10 (31%) penderita dengan defisiensi besi absolut (feritin < 100g/dL). Dari 4 orang penderita dengan respons tidak adekuat, 3 di antaranya mempunyai kadar feritin < 100 g/dL yang tidak meningkat walaupun sudah diberikan tablet besi sesuai panduan. Sedangkan kemungkinan infeksi pada penelitian

56

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

Grafik 4. Prosentase Perubahan Ht Setelah Terapi Epoeitin Alfa Selama 12 Minggu


PROSENTASE PERUBAHAN HT SETELAH TERAPI EPOITIN ALFA SELAMA 12 MINGGU
35.00% 28.10% 21.88% 21.88% 12.50%

Jumlah Pasien (%) yang Mengalami Peningkatan HT

30.00% 25.00% 20.00% 15.00% 10.00% 5.00% 0.00% -5.00% -10.00% -15.00% -20.00% -15.64%
(-5) - 0 0-5

6 - I0

II - 15

16 - 20

dihentikan. Satu penderita melanjutkan penyuntikan disertai pemberian parasetamol dan keluhan hilang pada minggu ke-3 setelah penyuntikan. Kejadian pembekuan sebagian atau keseluruhan pada vascular access (arteriovenous (AV) fistula), dapat ditemukan pada pasien yang menggunakan epoeitin alfa. Komplikasi trombosis sering karena kenaikan eritrosit akibat pemberian epoeitin dan viskositas darah yang meningkat pada 13% pasien hemodialisis6,11,13. Pada penelitian ini ditemukan 1 orang dengan dugaan vascular access clotting. Sedangkan komplikasi lain, seperti kejang, reaksi alergi, nyeri kepala, nyeri dada yang dilaporkan sering ditemukan2,9, tidak dijumpai.
Tabel 4. Efek Samping Epoeitin Alfa pada Subjek Penelitian Jenis efek samping 1. 2. 3. Hipertensi Flu like syndrome Vascular access clotting jumlah 6 5 1 persen 15,0 12,5 2,5

Kenaikan Hematokrit

ini ditemukan pada 2 penderita, penderita pertama terkena infeksi paru pada minggu ke-4: kadar Hb pada saat awal 8,1 g/dL, setelah terkena infeksi paru kadar Hb turun sampai 7 g/dL. Setelah infeksi parunya teratasi kadar Hb meningkat sampai 11,1 g/dL pada akhir penelitian. Penderita ke dua terkena gingivitis pada minggu ke-2, kadar CRP meningkat sampai 11,98 mg/dL, tetapi kadar hemoglobinnya hanya sedikit berubah. Berbagai variabel lain yang dapat menyebabkan tidak beresponnya epoeitin alfa seperti dialisis yang tidak adekuat, kualitas cairan dialisat, biokompatibilitas membran, tidak ditentukan dalam penelitian ini7,11. Penggunaan dialiser tipe selulosa dan ginjal re-use di tempat penelitian dapat berpengaruh terhadap respon dari eritropoesis7. Sedangkan kelainan darah yang mungkin ada seperti pure red cell aplasia, hemoglobinopati, dan hiperparatiroid sekunder juga tidak diteliti11,12. Efek Samping Ditemukan efek samping hipertensi pada 6 orang, flu like syndrome pada 5 orang, dan kemungkinan vascular access clotting pada 1 orang. Hipertensi merupakan efek samping yang sering terjadi pada pemberian epoeitin alfa. Angka kejadiannya 23% dan terjadi saat awal pemberian6,8. Pada penelitian ini kenaikan tekanan darah rata-rata 22/10 mmHg terjadi pada 6 orang; sebelum terapi berkisar 140/90 mmHg. Para penderita ini sejak awal sudah menggunakan obat antihipertensi, dan setelah dosis obat dinaikkan tekanan darah kembali ke semula; hanya pada satu penderita perlu ditambah jenis obat anti hipertensinya. Flu like syndrome, menurut kepustakaan, hanya terjadi pada kurang dari 1 %. Keadaan ini berhubungan dengan pemberian obat secara intravena dan dilaporkan juga pada pemberian subkutan. Gejalanya berupa menggigil, perasaan dingin atau panas, nyeri otot, nyeri tulang, demam, kesemutan dan nyeri abdomen yang muncul pada 2-12 jam setelah penyuntikan; jika demikian, pengobatan dihentikan. Efek samping flu like syndrome ini dilaporkan bersifat self limiting.8,11,12. Pada penelitian ini didapatkan 5 (15%) penderita mengalami keluhan flu like syndrome. Keluhan timbul setelah pemberian suntikan pertama; yang menonjol adalah nyeri otot. Karena keluhan tersebut 3 orang menghentikan pengobatan pada penyuntikan pertama dan 1 orang pada penyuntikan kedua. Keluhan flu like syndrome hilang setelah pemberian

KESIMPULAN Pemberian epoeitin alfa (Hemapo) selama 12 minggu efektif dalam hal peningkatan Hb dan Ht, pada penderita gagal ginjal yang sedang menjalani dialisis. Setelah 12 minggu rerata Hb meningkat bermakna sebesar 29,30%, dan rerata Ht meningkat bermakna sebesar 31,80%. Terdapat peningkatan tekanan darah pada 15% penderita, tetapi dapat diatasi dengan peningkatan dosis obat hipertensi. Sedangkan flu like syndrome terjadi pada 12,5% penderita. Tidak ditemukan efek samping lain selama pengobatan.
KEPUSTAKAAN 1. National Kidney Foundation: K/DOQi Clinical Practice Guidelines for Anemia of Chronic Kidney Disease 2000. Am J Kidney Dis. 2001;37 (suppl 1):182-238 2. Treatment of renal anaemia. Nephrol Dial Transplant 2004;19 (suppl 2): ii16 ii31 3. Eckardt KU. Anemia in end-stage renal disease: pathophysiological considerations. Nephrol Dial Transplant 2001;16(suppl):2-8 4. Konsensus manajemen anemia pada penderita gagal ginjal kronik. Perhimpunan Nefrologi Indonesia, 2001. 5. Schellekens H. Biosimilar epoetins : how similar are they?. EJHP.3/2004; Scientific section 43. 6. Plassman GS, Horl WH. Effect of Erythropoietin on Cardiovascular diseases. Am J Kidney Dis. 2001:4 (suppl) 205 7. Madore F, Lowrie E, Lew NL, Lazarus JM, Bridges K, Owen WF. Anemia in hemodialysis patients: variables affecting this outcome predictor. J Am Soc Nephrol. 1997;8:1921-28 8. Kampf D, Eckardt KU, Fischer HC. Pharmacokinetics of recombinant human erythropoietin in dialysis patients after single and multiple subcutaneous administrations. Nephron. 1992;61:393-8 9. Anemia Work Group. NKF-DOQI clinical practice guidelines for the treatment of anemia of chronic renal failure. Am J Kidney Dis. 1997;30 (suppl):192-240 10. European best practice guidelines for management in patient with chronic renal failure. Working Party for European Best Practice Guidelines for the Management of Anemia in Patient with Chronic Renal Failure. Nephrol Dial Transplant 1999;14:1-50 11. Richardson. Clinical factors influencing response to epoetin. Nephrol Dial Transplant. 2002;17:53-9 12. Epoetin alfa injection. Drug info. http://www.medscape.com 13. Parfrey PS. Cardiac disease in dialysis patients: diagnosis, burden of disease, prognosis, risk factors and management. Nephrol Dial Transplant. 2000;15:58-68.

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

57

Produk Baru
Kalferon
KOMPOSISI Tiap vial mengandung interferon alfa-2b rekombinan 3 juta UI FARMAKOLOGI Interferon merupakan kelompok senyawa protein dan glikoprotein alami dengan berat molekul 15.000 hingga 27.600 dalton. yang diproduksi dengan teknik DNA rekombinan. Interferon alfa-2b rekombinan dihasilkan dari fermentasi bakteri strain Escherichia coli pembawa plasma yang terbentuk secara genetik yang mengandung gen interferon dari leukosit manusia. Interferon memiliki aktivitas seluler berikatan dengan reseptor membran spesifik di permukaan sel. Hal ini bertanggung jawab atas berbagai respons selular yang meliputi penghambatan replikasi virus pada sel-sel yang terinfeksi virus, supresi proliferasi sel dan aktivitas immunomodulasi seperti peningkatan aktivitas fagositik makrofag dan meningkatkan sitotoksisitas spesifik limfosit terhadap sel-sel target FARMAKOKINETIK Kadar serum rata-rata interferon alfa-2b setelah injeksi intramuskular dan subkutan adalah sebanding. Konsentrasi puncak dalam darah pada kedua cara pemberian tersebut adalah 18-116 UL/ml, dicapai dalam waktu 3-l2 jam setelah pemberian. Waktu paruh eliminasi rata-rata adalah 2-3 jam ; sudah tidak terdeteksi lagi dalam darah setelah 16 jam penyuntikan. Ginjal merupakan tempat utama katabolisme interferon. INDIKASI KALFERON diindikasikan untuk pengobatan hepatitis C akut maupun kronis. Untuk hasil pengobatan hepatitis C kronis yang optimal sebaiknya dikombinasikan dengan Ribavirin {Hepaviral). DOSIS DAN CARA PEMBERIAN Hepatitis C akut Dosis yang dianjurkan adalah 3 juta UI KALFERON, 3 kali seminggu selama 12 minggu. Hepatitis C kronis Dosis yang dianjurkan adalah 3 juta UI KALFERON, 3 kali seminggu selama 24-48 minggu (sesuai genotipe virus hepatitis C), dikombinasikan dengan ribavirin (Hepaviral). Pemberian ribavirin (Hepaviral) disesuaikan dengan berat badan pasien
Berat badan pasien < 55 kg 56 - 75 kg > 75 kg Dosis ribavirin (Hepaviral ) per hari 800 mg 1000 mg 1200 mg Jumlah kapsul 200 mg 2 kapsul pagi, 2 kapsul sore 2 kapsul pagi, 3 kapsul sore 3 kapsul pagi, 3 kapsul sore

dengan riwayat penyakit jantung dan pembuluh darah, penyakit paru, atau diabetes melitus yang cenderung ketoasidosis, pasien dengan gangguan koagulasi (misalnya tromboflebitis, emboli paru) atau mielosupresi berat. Perhatian Pasien yang menerima terapi interferon alfa-2b dosis tinggi sebaiknya menghindari pekerjaan yang membutuhkan kesiagaan mental penuh, seperti mengoperasikan mesin atau mengendarai kendaraan bermotor. Reaksi hipersensitivitas akut (seperti urtikaria, angioedema, bronkokonstriksi, anafilaksi) terhadap injeksi interferon alfa-2b jarang dijumpai. Jika terjadi, obat harus dihentikan dan segera diberi terapi medis yang sesuai. Ruam kulit, yang sifatnya sementara, dilaporkan terjadi pada beberapa pasien setelah penyuntikan, tetapi tidak sampai menyebabkan penghentian terapi. INTERAKSI OBAT Perlu diperhatikan pemberian interferon alfa-2b yang dikombinasikan dengan obat-obat mielosupresif seperti zidovudine. Pemberian interferon alfa bersama-sama dengan theophylline akan menurunkan klirensnya, sehingga kadar theophyilline dalam darah meningkat 100%. Karsinogenesis, Mutagenesis dan Gangguan Fertilitas Wanita usia produktif sebaiknya tidak diterapi dengan interferon kecuali mereka juga memakai alat kontrasepsi yang efektif selama terapi. Perlu diperhatikan pemberian interferon alfa-2b pada pria subur. Penelitian menunjukkan bahwa interferon alfa-2b tidak bersifat mutagenik. Kehamilan : Kategori C Terapi interferon alfa-2b hanya diberikan jika keuntungan terapi lebih besar dibandingkan risikonya terhadap janin. Wanita Menyusui Perlu dipertimbangkan penghentian pemberian ASI atau menghentikan terapi interferon alfa-2b; juga perlu dipertimbangkan pentingnya obat bagi si ibu. Anak-anak Keamanan dan efektivitas obat ini pada pasien anak usia di bawah 18 tahun belum ditetapkan untuk indikasi lain selain hepatitis B. Keamanan dan efektivitas interferon untuk hepatitis B kronik pada pasien anak usia 1-17 tahun ditentukan hanya berdasarkan 1 uji klinis. Keamanan dan efektivitas pada pasien anak di bawah usia 1 tahun belum diketahui. EFEK SAMPING Efek samping yang umum adalah gejala mirip flu, seperti demam, nyeri kepala, lelah, anoreksia, mual dan muntah yang makin ringan saat terapi dilanjutkan. Beberapa gejala flu tersebut dapat diminimalkan jika penyuntikan dilakukan menjelang tidur. Antipiretik juga dapat digunakan untuk mencegah atau mengatasi demam dan nyeri kepala. Efek samping lain adalah menipisnya rambut. Dianjurkan agar pasien terhidrasi dengan baik, terutama pada tahap awal pengobatan. Efek samping spontan yang juga terjadi adalah gejala nefrotik, pankreatitis, psikosis termasuk halusinasi, gagal ginjal dan insufisiensi ginjal. PENYIMPANAN Simpan KALFERON Interferon alfa-2b, sebelum dan setelah rekonstitusi pada suhu 2-8C (36-46F). KALFERON kit disimpan pada suhu kamar (<30C). Hepaviral disimpan pada suhu <25C. KEMASAN KALFERON 3 juta UI/vial : Box berisi 3 vial KALFERON Kit : Box berisi 3 aqua pro injection + 3 disposable syringe + 3 alcohol swab Hepaviral : Box berisi 4 blister @ 10 kapsul Ribavirin 200 mg HARUS DENGAN RESEP DOKTER Diimpor dan dipasarkan oleh: PT Kalbe FarmaTbk., Bekasi-Indonesia DIPRODUKSI OLEH: Shenzhen Neptunus Interlong Bio-Technique Co., Ltd., Shenzhen-China.

KALFERON diberikan secara subkutan atau intramuskular. DOSIS PENYESUAIAN Untuk pasien dengan jumlah leukosit, granulosit, atau trombosit yang rendah, sebaiknya mengikuti panduan modifikasi dosis sebagai berikut:
Dosis KALFERON Jumlah Trombosit Jumlah Sel Darah Putih Jumlah Granulosit Dikurangi 50% < 1,5 x I09/L < 0,75 x 109/L < 50 x 109/L Dihentikan secara permanen < 1,0 x 109/L < 0,5 x 109/L < 25 x 109/L

Pasien dengan jumlah trombosit kurang dari 50.000/mm3 jangan diberi KALFERON secara intramuskular, tetapi dengan pemberian subkutan. Terapi KALFERON dapat dilanjutkan dengan dosis seperti dosis awal, jika kadar eritrosit, granulosit, dan/atau jumlah trombosit kembali normal. KALFERON harus disuntikkan segera setelah dilarutkan dengan 1 ml aqua pro injeksi steril atau 1 ml larutan NaCI untuk injeksi. KONTRAINDIKASI Riwayat hipersensitivitas terhadap interferon alfa-2b rekombinan atau komponen lainnya dari produk ini. PERINGATAN DAN PERHATIAN Peringatan Hati-hati pada pasien dengan kondisi medis lemah seperti pada pasien

58

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

Informatika Kedokteran
Website Kalbe Farma hadir dengan tampilan baru

Tampilan website Kalbe Farma yang baru, bisa diakses di http://www.kalbefarma.com

Memenuhi permintaan dari pelbagai pihak terutama para dokter dan mereka yang ingin mendalami info-info kesehatan / kedokteran praktis, maka sejak bulan Maret 2005, website PT Kalbe Farma Tbk telah berubah bentuk wajah dan menambah feature-featurenya. Selain fasilitas yang sudah ada seperti: (1) berita-berita kesehatan dan kedokteran setiap hari di up date, (2) informasi agenda seminar / simposium skala lokal hingga internasional, (3) multiple search engines (Google, Yahoo, SearchIndonesia, dll), (4) lowongan kerja di Kalbe Farma, dan (5) berita-berita untuk para investor pemegang saham Kalbe Farma, saat ini dengan wajah baru para netter bisa melakukan

hal-hal yang lebih interaktif seperti: (1) Forum Diskusi / Tanya jawab mengenai pelbagai hal, penyakit, produk, dll., juga para member website bisa (2) menyumbang artikel, reportase hingga informasi simposium dan seminar yang akan diadakan. Mudahmudahan dengan tampilan dan pelbagai feature baru, website kalbefarma dot com bisa lebih melayani masyarakat awam dan kedokteran sesuai dengan moto perusahaan kami The Scientific Pursuit of Health for a Better Life atau Mengabdikan Ilmu untuk Kesehatan dan Kesejahteraan. Silakan akses website kami di http://www.kalbefarma.com. [SIM]

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

59

Kegiatan Ilmiah
Laporan lengkap dari simposium, bisa diakses di http://www.kalbefarma.com/seminar. Pada topik yang diberi tanda Breaking News, berarti peserta simposium bisa memperoleh berita dalam bentuk cetak (print) bersamaan dengan acara di Stand Kalbe Farma, dan bisa langsung diakses pada homepage Kalbe Farma. Management of Typhoid Fever with Levofloxacin: A Clinical Experience, Surabaya 26 Februari 2005 Bertempat di Isyana Ballroom, Hotel Hyatt - Surabaya, PETRI (Perhimpunan Peneliti Penyakit Tropik dan Infeksi Indonesia) bekerjasama dengan PT Kalbe Farma, pada tanggal 26 Februari 2005 mengadakan simposium sehari dengan topik: Management of Typhoid Fever with Levofloxacin : A Clinical Experience. Seminar yang dihadiri sekitar 200 dokter menghadirkan pembicara seperti: Dr. Nasronudin, SpPD-KPTI dan Prof. Dr. H. H. Nelwan, DTMH, SpPDKPTI. Dan sebagai moderator adalah : Prof. Dr. Eddy Soewandojo, SpPD-KPTI dan DR. Dr. Suharto, MSc, DTMH, SpPD-KPTI. Seminar Nyeri Kepala di Surabaya, 26 Februari 2005 Pada Sabtu, 26 Februari 2005, bertempat di Hotel Hyatt Regency Surabaya, PERDOSSI (Persatuan Dokter Spesialis Saraf Indonesia) bekerjasama dengan PT Kalbe Farma mengadakan Seminar Awam Nyeri Kepala. Menurut Ma Djon, Product Manager Neuralgin PT Kalbe Farma, tujuan utama diadakannya seminar ini adalah sebagai edukasi ke masyarakat awam agar mengetahui penyebab dan pencegahan problema nyeri kepala yang sering dialami dan kemudian dapat mencegah lebih dini bila nyeri kepala yang diderita ternyata berbahaya. Seminar Tuberkulosis & HIV/AIDS, Jakarta 2 Maret 2005 Dalam rangka menyambut Hari TB sedunia yang jatuh pada tanggal 24 Maret 2005, PPTI (Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia) mengadakan seminar Tb dan HIV/AIDS, pada hari Rabu, 2 Maret 2005 bertempat di Gedung Pusat PPTI, Jakarta Respiratory Center. Pertemuan Ilmiah Terpadu Bedah Anak Indonesia, Jakarta 11 12 Maret 2005 Dengan tema Manajemen Komprehensif Pembedahan pada Bayi dan Anak, bertempat di Hotel Borobudur Jakarta, pada tanggal 11 - 12 Maret 2005 telah diadakan Pertemuan Ilmiah Terpadu Bedah Anak Indonesia untuk pertama kalinya. Acara yang diikuti oleh sekitar 350 peserta terdiri dari dokter-dokter spesialis anestesi, penyakit anak, penyakit dalam, bedah umum, dan bedah anak. Sebagian peserta (sekitar 150) adalah dokter umum. Tidak mengherankan, karena saat ini spesialis bedah anak, bisa langsung ditempuh oleh para dokter umum di FK-FK seperti: Bandung, Surabaya dan Yogyakarta. The Second Asian Congress of Pediatric Nutrition, Hotel Sahid Jaya Jakarta, 1 4 Desember 2004 Pemenuhan kebutuhan nutrisi sangatlah penting bahkan sejak dalam kandungan. Pada manusia, malnutrisi yang terjadi pada intrauterine dan postnatal dini terutama mempengaruhi pada jumlah sel otak. Perkembangan dari otak kecil (cerebellum) terutama dipengaruhi oleh kurangnya zat-zat gizi selama kehamilan. Hubungan antar sinaps terutama dipengaruhi jika malnutrisi terjadi pada tahun ketiga kehidupan. The 9th Western Pacific Congress On Chemotherapy And Infectious Diseases, Bangkok, 1 - 5 Desember 2004 Infeksi regional merupakan hal yang menarik perhatian dunia, dan masalah ini menjadi tema menarik dari pertemuan dua tahunan Western Pacific Congress On Chemotherapy And Infectious Diseases (WPCCID) kesembilan yang diadakan di Bangkok 1-5 Desember 2004 lalu. Salah satu yang dibahas misalnya mengenai penyakit infeksi seperti TBC dan HIV yang termasuk penyebab terbesar kematian dan kesakitan sehingga dijuluki sebagai pembunuh utama di negara-negara tropis. Simposium Current Diagnosis and Treatment In internal Medicine 2004, Hotel Borobudur Jakarta, 4 - 5 Desember 2004 Nyeri muskuloskeletal yang umum dijumpai dalam masyarakat seringkali tidak mudah didiagnosis. Suatu data dari poliklinik Reumatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI / RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 1992 bahkan menunjukkan ketidaktepatan diagnosis pada kasus ini mencapai lebih dari 70%. Hal ini dikemukakan dr. Yoga Iwanoff Kasjmir, SpPD-KR pada acara Simposium Current Diagnosis and Treatment In internal Medicine 2004 beberapa waktu lalu di Jakarta. Update on TB Management, Hotel Borobudur Jakarta, 7 Desember 2004 Tuberkulosis masih merupakan masalah kesehatan besar. Indonesia sendiri sampai saat ini 'betah' menjadi jawara sebagai penyumbang jumlah pasien terbanyak ketiga di dunia. Penanggulanan penyakit ini belum optimal, walaupun telah diperkenalkan strategi DOTS yang telah berjalan lebih dari empat dekade. Demikian sekilas ulasan Dr.Mukhtar Ikhsan, SpP(K), MARS pada acara seminar sehari mengenai TB di Jakarta Selasa (7/12) lalu. Pertemuan Ilmiah Tahunan V Endokrinologi, Hotel Patra Jasa Semarang, 9-11 Desember 200 Komplikasi pada hati jarang sekali menjadi perhatian saat memantau komplikasi kronik penderita Diabetes Melitus. Padahal mengenai penyakit ini telah lama diketahui, tepatnya sejak tahun 1980 oleh Ludwid. Saat itu ia menyebut kondisi tersebut Non-alcoholic Steatohepatitis (NASH), untuk sekelompok kelainan hati yang secara histopatologi tidak dapat dibedakan dengan perlemakan hati akibat alkohol. PIT VIII PERDOSKI 2004, Hotel Discovery Kartika Plaza Bali, 912 Desember 2004 Saat ini semakin banyak aspek dalam etiologi dan patogenesis dermatitis atopik yang telah ditemukan sehingga mengubah konsep penatalaksanaan penyakit ini. Di antara penemuan yang penting adalah mengenai toksin Staphylococcus aureus dan Streptococcus B hemolyticus yang dapat bertindak sebagai superantigen pemacu produksi IgE dan IL-4 oleh sel T yang berperan dalam inflamasi. Superantigen memang dianggap sebagai salah satu faktor pencetus kekambuhan dermatitis atopik. Train of the Trainers (TOT), Jakarta 15 Januari 2005 Adalah menjadi pengetahuan umum bahwa belajar bisa dilakukan seumur hidup. Namun saat menyampaikan informasi kepada orang dewasa tentu harus berbeda caranya jika hal tersebut disampaikan

60 Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

pada mereka yang masih sekolah. Guna meningkatkan ketrampilan 'mendidik' orang dewasa atau sering disebut dengan fasilitator, maka pada tanggal 15 Januari 2005 bertempat di LAKESPRA SARYANTO Jakarta diadakan suatu pelatihan "Train of the Trainers" oleh Perhimpunan Dokter Kesehatan Kerja Indonesia (PP IDKI). Seminar Upaya Minimalisasi Tuntutan Hukum di RS, Jakarta, 18 Januari 2005 Seminar awal tahun PERMAPKIN (Perhimpunan Manajer Pelayanan Kesehatan Indonesia) kali ini mengambil topik "Upaya Minimalisasi Tuntutan Hukum di RS". Topik dalam seminar ini mengingatkan kita semua akan ramainya pelbagai berita mengenai pelayanan kesehatan di Indonesia serta adanya kecenderungan masyarakat Indonesia untuk menikmati pelayanan di luar negeri, meskipun itu hanya berkonsultasi dengan dokter saja. Seminar Menuju Sehat dan Cantik Sepanjang Masa, Jakarta, 22 Januari 2005 Proses penuaan (aging process), menurut dr Edwin Djuanda dari PASTI, adalah suatu proses alamiah yang akan dialami setiap manusia. Proses ini bisa dihambat sehingga usia biologi tidak sama dengan usia KTP. Artinya sel-sel tubuh manusia tidak setua dengan tahun yang tercantum dalam KTP. Cabang baru ilmu kedokteran yang mempelajari proses pemudaan kembali seluruh tubuh dikenal dengan Anti Aging Medicine. Temu Pers Perkumpulan Awet Sehat Indonesia (PASTI), Jakarta 22 Januari 2005 Aktifitas seksual yang optimal guna menjaga tubuh tetap awet sehat, menurut Ketua I PASTI (Perkumpulan Awet Sehat Indonesia), dr Edwin Djuanda SpKK, adalah 2 kali seminggu. Hal ini dikemukakan pada Acara Temu PERS pendirian PASTI di Hotel JW Marriot Jakarta, Sabtu 22 Januari 2005. PASTI atau Indonesia AntiAging Society merupakan perkumpulan pertama di Indonesia yang peduli terhadap segala hal yang ada hubungannya dengan proses ketuaan. Perkumpulan yang beranggotakan segenap lapisan masyarakat seperti ini sudah lama eksis di negara-negara maju termasuk negara tetangga kita Singapura, Malaysia dan Thailand. Sepsis: from Basic Science to Clinical Management, Jakarta 28 30 Januari 2005 Akhir bulan Januari 2005, unit perawatan intensif (ICU) RSPAD Gatot Subroto menyelenggarakan simposium mengenai Sepsi, yang sehari sebelumnya diawali dengan workshop yang membahas tentang farmakokinetik / farmakodinamik obat, ventilator pada anak dan dewasa, serta tata laksana jalan napas. Obrolan Manis: Ballancing Your Life, Jakarta 5 Februari 2005 Dari semua pasien yang menjalani terapi cuci darah, lebih dari 50% karena penyakit Kencing Manis yang tidak dikendalikan dengan baik. Demikian pernyataan ahli ginjal dr Toga A Simatupang, saat berbicara di hadapan peserta Seminar Awam Obrolan Manis, 5 Februari 2005 di Jakarta. Seminar yang diikuti oleh sekitar ratusan peserta ini merupakan kerjasama PT Kalbe Farma dengan Medika, Johnson and Johnson, Siloam Graha Medika Hospital, Prodia, Garuda Sentra Medika, Tabloid Senior dan Koran Tempo.

The 2nd Annual Meeting of ISOA-ISRA, Jakarta 18 - 19 Februari 2005 Sejak tanggal 18 hingga 19 Februari 2005 telah dilaksanakan acara The 2nd Annual Meeting of ISOA-ISRA (Indonesian Society of Obstetric Anesthesia-Indonesian of Regional Anesthesia and Pain Medicine). Tema yang diambil tahun ini adalah 21th Century Challenge to Improve Professionalism and Quality of Anesthesia Services in Indonesia. Sebagai ketua pelaksana adalah dr Susilo Chandra, SpAn. Disamping acara simposium sekitar 300 peserta bisa juga mengikuti plenary lecture, workshop, pro-con debate dan PBLD (Problem-based leraning Discussion). Acara juga dimeriahkan dengan pameran produk anestesia dari berbagai industri farmasi termasuk PT Kalbe Frama Tbk. PIN Dietetic II 2005, Bandung 18 - 19 Februari 2005 Sekitar 450 orang yang terdiri dari ahli gizi, dokter spesialis gizi dan peminat gizi lainnya berkumpul di Bandung sejak tanggal 18 hingga 19 Februari 2005 yang lalu. Mereka menghadiri suatu acara yang disebut dengan Pertemuan Ilmiah Nasional (PIN) Dietetic II 2005. Sebagai nara sumber acara ini adalah para dokter spesialis gizi dan ahli gizi yang terhimpun dalam wadah Asosiasi Dietisien Indonesia (ASDI). Pelatihan Pengelolaan Linen & Laundry, 23 - 24 Februari 2005 di Jakarta Tidak mudah mengelola Rumah Sakit saat ini. Banyak hal yang harus dipelajari agar Rumah Sakit yang dikelola bisa berjalan efisien dan efektif. Tentu ini diperlukan agar rumah sakit tersebut bisa bersaing di era kompetisi saat ini. Inilah yang mendasari Pengurus Besar PERMAPKIN (Perhimpunan Manajer Pelayanan Kesehatan Indonesia) mengadakan Pelatihan selama 2 hari bertajuk Pengelolaan Linen & Laundri, yang diadakan di Jakarta sejak tanggal 23 Februari yang lalu. Simposium Satelit II, Nutritional & Complementary in Cancer Therapy, Surabaya 5 Maret 2005 Saat ini terapi atau pengobatan nutrisi dan komplemen/pelengkap penyakit kanker mulai mendapat tempat tidak hanya pada penderita, namun juga termasuk para dokter. Penyebabnya antara lain, kesulitan menyembuhkan penyakit kanker. Apalagi seperti di Indonesia, umumnya pasien datang berobat ke dokter pada tahap sudah sangat lanjut. Belum lagi jika diperhitungkan biaya-biaya obat kanker yang bisa dibilang tidak murah lagi (meskipun untuk saat ini, pihak Kalbe Farma telah menyediakan obat-obat kanker generik yang juga bisa diperoleh para anggota Askes). Bersama ini disampaikan laporan dari Surabaya mengenai presentasi pengobatan nutrisi dan komplemen yang diperoleh saat menghadiri simposium yang diadakan oleh Perhimpunan Onkologi Indonesia. Pelatihan Pengelolaan Linen & Laundry, 23 - 24 Februari 2005 di Jakarta Tidak mudah mengelola Rumah Sakit saat ini. Banyak hal yang harus dipelajari agar Rumah Sakit yang dikelola bisa berjalan efisien dan efektif. Tentu ini diperlukan agar rumah sakit tersebut bisa bersaing di era kompetisi saat ini. Inilah yang mendasari Pengurus Besar PERMAPKIN (Perhimpunan Manajer Pelayanan Kesehatan Indonesia) mengadakan Pelatihan selama 2 hari bertajuk Pengelolaan Linen & Laundri, yang diadakan di Jakarta sejak tanggal 23 Februari yang lalu.

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005 61

apsul
Medication for Chronic Musculoskeletal Pain
Area of Concerns Chronic low back pain NSAID or Antipyretics Effective acute back pain in first week Contradictory for CLBP Level of evidence CLBP with sciatica Level III No systematic reviews found No systematic reviews found Anticonvulsants No systematic reviews found Antidepressants Not effective Opioids Sustainedrelease opioid effective May be attempted Level II Sustained release opioid may be attempted Level II Sustained release opioid effective May be attempted Level of evidence Chronic generalized soft tissue musculoskeletal pain Level of evidence Not effective No studies Contradictory Level II No studies No studies No systematic reviews found Topical (NSAIDs or capsaicin) No systematic reviews found

Not recommended Level III No systematic reviews found

Level of evidence Neck with/without limb pain

No systematic reviews found

No systematic reviews found

No systematic reviews found

No systematic reviews found

Level III

Level III

Sumber : Evidence-based Recommendations for Medical Management of Chronic Non-Malignant Pain Reference Guide for Clinicians of Physicians and Surgeons of Ontario, Nov. 2000

brw

62

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

ABSTRAK
ASMA ATOPIK DAN LINGKUNGAN RUMAH Suatu penelitian melibatkan 397 anak 5-11 tahun penderita asma atopik dilakukan untuk menilai pengaruh lingkungan rumah terhadap perjalanan penyakitnya. Mereka tinggal di 7 kota di AS dan secara acak dibagi dua kelompok : satu kelompok (469) mendapat 5 kali kunjungan rumah wajib dan 2 kali kunjungan tak wajib (optional) untuk penerangan dan pencegahan terhadap alergen tungau, asap rokok, kecoa, hewan peliharaan, tikus dan jamur ; lantai dan alat tidur anak dilapisi dengan lapisan kedap alergen, diberi mesin penyedot debu (jika lantainya berkarpet) atau sikat lantai; selain itu juga dilengkapi dengan alat penyaring udara di kamar anak. Kelompok ke dua (468) tidak diberi perlakuan apa-apa. Penilaian tiap 2 minggu menunjukkan bahwa kejadian serangan asma lebih rendah di kalangan intervensi, baik selama intervensi (3.39 hari vs. 4.20 hari, p<0.001) maupun satu tahun sesudahnya (2.62 vs. 3.21 hari, p<0.001). Juga didapatkan penurunan alergen seperti Dermatophagoides farinae (Der f1) di tempat tidur (p<0.001). Penurunan alergen kecoa dan tungau (Der f1) di lantai kamar tidur berhubungan bermakna dengan penurunan komplikasi asma (p<0.001).
N.Engl.J.Med.2004;351:1068-80 brw

ikutsertakan karena didiagnosis major stroke (NIHSS >3). Semua pasien tersebut di follow-up selama 3 bulan; selama masa tersebut 15 pasien TIA terserang stroke 2 fatal, 3 skala Rankinnya meningkat, 10 minor stroke. Di kelompok minor stroke, 16 terserang stroke 4 fatal dan 2 meningkat disabilitasnya setelah 3 bulan. Analisis statistik menghasilkan risiko stroke setelah TIA sebesar 8% (95%CI 2.3%-13,2%) dalam 7 hari, 11,5% (4.8%-18.2%) dalam 1 bulan dan 17.3% (9.3%-25.3%) dalam 3 bulan; sedangkan untuk minor stroke, risikonya berturut-turut 11.5% (4.811.2%); 15% (7.5-22.5%) dan 18.5% (10.3%-26.7%). Data ini menunjukkan bahwa risiko stroke setelah TIA lebih besar dari yang diperkirakan.
BMJ 2004; 328:326-8 brw

banyak yang hipertensi, lebih sedikit yang hipertensinya diobati; mereka 45% lebih banyak yang hiperkholestrol dan lebih sedikit yang diobati; sebaliknya mereka yang hanya diet lebih sedikit yang menderita komplikasi akibat DMnya (65%) dibandingkan dengan yang menggunakan OAD (80%).
Lancet 2004;363:423-28 brw

RISIKO STROKE BERULANG Studi di Oxfordshire, Inggris pada April 2002 sd. April 2003 bertujuan untuk menilai risiko stroke setelah TIA atau minor stroke (skala NIHSS < 3); selama periode tersebut ada 87 pasien TIA dan 87 pasien minor stroke yang datang; 83 pasien lain tidak di-

EFEKTIVITAS KONTROL DM DENGAN HANYA DIET Suatu studi cross sectional dilakukan atas 8626 pasien DM tipe 2 di antara 253 618 pasien yang mendatangi 42 dokter praktek di Inggris (prevalensi: 3.4%); 756 (8.8%) dengan diabetes tipe 1, 5170 (59.9%) dengan diabetes tipe 2 yang menggunakan obat antidiabetes dan 2700 (31.3%) pasien diabetes tipe 2 yang hanya menggunakan cara diet tanpa OAD. Mereka yang menggunakan cara diet saja lebih sedikit yang menjalani pemeriksaan tambahan seperti kadar HbA1c, cholesterol dan mikroalbuminuri; juga pengukuran tekanan darah dan denyut nadi kaki. Sejumlah 38.4% pasien dengan OAD kadar HbA1c nya di atas 7.5%, dibandingkan dengan 17.3% di kalangan pasien dengan diet saja; pasien dengan diet saja cenderung lebih

DETEKSI DINI KELAINAN COLON Saat ini terdapat tiga cara deteksi kelainan colon barium enema dengan kontras udara (ACBE), CT colonography (CTC) dan kolonoskopi; ketiga cara ini dibandingkan sensitivitasnya untuk deteksi polip dan kanker kolon. Sejumlah 614 pasien dengan riwayat darah samar faeces (+), hematochezia, anemi defisiensi besi atau riwayat keluarga kanker colon, pertama-tama menjalani ACBE, kemudian 7-14 hari sesudahnya menjalani CTC dan kolonoskopi sekaligus pada hari yang sama. Data dari 614 pasein tersebut menun-jukkan bahwa untuk lesi 10 mm (n=63) sensitivitas ACBE 48% (95%CI: 35-61), CTC 59% (46-71) p=0.1083 (CTC vs. ACBE) dan untuk kolonoskopi 98% (91-100); p=0.080 (kolonoskopi vs. CTC). Untuk lesi 6-9 mm (n=116) sensitivitas ACBE 35% (27-45), CTC 51% (41-60) p=0.0080 (CTC vs. ACBE) dan kolonoskopi 99% (95100); p< 0.0001 (kolonoskopi vs. CTC) Untuk lesi 10 mm spesifisitas tertinggi ialah kolonoskopi (0.996) dibandingkan dengan ACBE (0.90) atau CTC (0.96); lagipula spesifisitas ACBE dan CTC menurun jika lesinya lebih kecil.
Lancet 2005;365:305-11 brw

Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

63

Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran


Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?
1. Kematian akibat penyakit jantung terutama disebabkan oleh: a) Penyakit jantung hipertensi b) Penyakit jantung rematik c) Penyakit jantung kongenital d) Penyakit jantung koroner e) Payah jantung Yang tidak disebabkan oleh gangguan aliran darah koroner : a) Infark miokard b) Angina pektoris c) Penyakit jantung aterosklerotik d) Penyakit jantung hipertensi e) Semua termasuk 7. 3. Panduan hipertensi mutakhir menentukan diagnosis hipertensi jika sistolik dan diastolik masing-masing di atas: a) 120 dan 80 mmHg b) 130 dan 80 mmHg c) 140 dan 80 mmHg d) 130 dan 90 mmHg e) 140 dan 90 mmHg Rantai respirasi mitokhondria terdapat di bagian : a) Membran luar b) Membran dalam c) Ruang antar membran d) Matriks e) Di semua bagian 5. Fungsi utama mitokhondria : a) Membentuk protein b) Membentuk ATP c) Menangkap radikal bebas d) Mengurai ATP menjadi energi e) Mengurai glukosa menjadi energi Pemeriksaan baku emas (gold standard) untuk diagnosis LVH: a) EKG b) Tes treadmill c) Ekhokardiografi d) MRI e) Ro thorax Di antara bahan makanan berikut yang kadar seratnya relatif tertinggi ; a) Daun pepaya b) Daun singkong c) Brokoli d) Bayam e) Tomat Konsumsi serat yang dianjurkan: a) 15 25 g/hari b) 25 35 g/hari c) 35 45 g/hari d) 45 60 g/hari e) 60 80 g/hari

6. 2.

8.

4.

JAWABAN RPPIK : 1. 5. D B 2. 6. D D 3. 7. E C 4. 8. B B

64 Cermin Dunia Kedokteran No. 147, 2005

You might also like