You are on page 1of 40

1

PENGARUH PAPARAN DEBU TEMBAKAU TERHADAP PENURUNAN


FUNGSI PARU (FVC, FEV-1, RASIO FEV-1/FVC) TENAGA KERJA
WANITA DI BAGIAN PENSORTIRAN PT EXPORT LEAF INDONESIA
STATION LOMBOK






LANIRA ZARIMA N.
H1A 008 038



FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM
2011
2

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dunia perindustrian merupakan salah satu pencipta lapangan kerja yang
potensial bagi penyerapan tenaga kerja, di antaranya industri rokok. Industri
rokok banyak menyerap tenaga kerja khususnya tenaga kerja dengan tingkat
keahlian dan pendidikan formal yang rendah. Hal ini sangat membantu upaya
pemerintah dalam menekan angka pengangguran (Likke, 2000).
Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa industri rokok juga memberikan
berbagai dampak negatif bagi masyarakat. Salah satu dampak negatifnya terjadi
pada kesehatan pernapasan para pekerja (Yunus, 1997). Gangguan fungsi paru
yang terjadi pada para pekerja pabrik rokok telah banyak dilaporkan
(Mustajbegovic, 2003).
Paru-paru merupakan organ manusia yang mempunyai fungsi sebagai
ventilasi udara, difusi O
2
dan CO
2
antara alveoli dan darah, transportasi O
2
dan
CO
2
, serta pengaturan ventilasi dan hal-hal lain dari pernapasan. Fungsi paru
dapat menjadi tidak maksimal oleh karena faktor dari luar tubuh atau faktor
ekstrinsik yang meliputi kandungan komponen fisik udara dan komponen
kimiawi, serta faktor dari dalam tubuh penderita itu sendiri atau intrinsik. Faktor
ekstrinsik yang penting adalah keadaan bahan yang diinhalasi (gas, debu, uap).
Ukuran dan bentuk berpengaruh dalam proses penimbunan debu, demikian pula
dengan kelarutannya. Bahan tersebut dapat menimbulkan fibrosis yang luas di
paru dan dapat bersifat sebagai antigen asing yang masuk ke dalam paru. Faktor
3

ekstrinsik lainnya adalah lamanya paparan, perilaku merokok, penggunaan alat
pelindung diri (APD) terutama yang dapat melindungi sistem pernapasan, dan
kebiasaan berolah raga. Faktor intrinsik dari dalam diri manusia juga perlu
diperhatikan, terutama yang berkaitan dengan sistem pertahanan paru, baik secara
anatomis maupun fisiologis, jenis kelamin, riwayat penyakit yang pernah
diderita,
indeks massa tubuh (IMT) penderita dan kerentanan individu (Yulaekah, 2007).
Penumpukan dan pergerakan debu pada saluran napas dapat menyebabkan
peradangan jalan napas. Peradangan ini dapat mengakibatkan penyumbatan jalan
napas sehingga dapat menurunkan kapasitas paru. Dampak paparan debu yang
terus menerus dapat menurunkan faal paru berupa obstruksi. Akibat penumpukan
debu yang tinggi di paru dapat menyebabkan kelainan dan kerusakan paru.
Penyakit akibat penumpukan debu pada paru disebut pneumoconiosis. Salah satu
bentuk kelainan paru yang bersifat menetap adalah berkurangnya elastisitas paru,
yang ditandai dengan penurunan pada kapasitas vital paru. Sebagai upaya
pencegahan terhadap hal tersebut, penegakan diagnosis pada kasus penurunan
kapasitas paru harus dilakukan secara rutin, minimal setahun sekali dengan
melakukan pengukuran kapasitas paru (Yulaekah, 2007).
Pada penelitian sebelumnya disebutkan bahwa para pekerja di industri
tembakau memperlihatkan adanya gejala gangguan fungsi paru dan kerusakan
paru-paru sebanyak 70,8%. Sebagian besar para pekerja tersebut adalah wanita
(Yanev, 2004). Wanita tergolong kelompok yang rawan terkena gangguan fungsi
paru akibat paparan debu tembakau. Walaupun tenaga kerja yang mayoritas
4

perempuan tidak menghirup asap rokok, mereka tetap berpotensi terkena toksin
yang terkandung dalam rokok karena intensif berhubungan dengan tembakau
hampir setiap hari. Debu tembakau dalam proses pemotongan, perajangan,
maupun produksi rokok bisa menganggu kesehatan (Lee, 2009).
Dalam kondisi tertentu, debu merupakan bahaya yang dapat menimbulkan
kerugian besar. Tempat kerja yang prosesnya mengeluarkan debu, dapat
menyebabkan gangguan penglihatan, gangguan fungsi paru, bahkan dapat
menimbulkan keracunan umum (Triatmo, 2006).
Penyakit paru akibat debu industri mempunyai gejala dan tanda yang mirip
dengan penyakit paru lain yang tidak disebabkan oleh debu di lingkungan kerja.
Penegakan diagnosis perlu dilakukan melalui anamnesis yang teliti meliputi
riwayat pekerjaan dan hal-hal lain yang berhubungan dengan pekerjaan, karena
penyakit baru timbul setelah paparan yang cukup lama (Mengkidi, 2006).
Mengingat dampak yang dapat ditimbulkan oleh paparan debu industri
terhadap kesehatan para pekerja, terutama pengaruhnya terhadap fungsi paru-paru
yang cukup besar, maka perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh paparan
debu tembakau terhadap kesehatan para tenaga kerja wanita di perusahaan rokok.

1.2 Rumusan Masalah
Apakah paparan debu tembakau dapat menurunkan fungsi paru (FVC, FEV-
1, rasio FEV-1/FVC) pada tenaga kerja wanita di bagian pensortiran PT
Export Leaf Indonesia Station Lombok ?

5

1.3 Tujuan Penelitian
Mengetahui pengaruh paparan debu tembakau terhadap penurunan fungsi
paru (FVC, FEV-1, rasio FEV-1/FVC) pada tenaga kerja wanita di bagian
pensortiran PT Export Leaf Indonesia Station Lombok.

1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.4.1 Bagi pekerja industri (masyarakat)
Sebagai bahan masukan mengenai bahaya pencemaran udara bagi kesehatan
paru sehingga diperlukan adanya kesadaran untuk menggunakan alat
pelindung diri (APD) untuk mengantisipasi paparan partikulat pencemar
udara.
1.4.2 Bagi pemilik perusahaan/industri
Menjadi bahan masukan bagi perusahaan untuk mengambil langkah-
langkah kebijakan dalam menunjang pelaksanaan kesehatan dan
keselamatan kerja para pekerjanya.
1.4.3 Bagi peneliti
Sarana untuk menambah wawasan pengetahuan dan pengalaman sehingga
menjadi bekal di kemudian hari yang kelak dapat diterapkan dalam praktek
yang sesungguhnya sehingga tercapai keselarasan antara teori dan praktek
di lapangan sekaligus sebagai media belajar untuk dapat memecahkan
masalah secara ilmiah.
6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Sistem Pernapasan
Sistem pernapasan merupakan saluran penghantar udara yang terdiri dari
beberapa organ dasar seperti hidung, faring, laring, trakea, bronkus, dan paru-
paru. Organ-organ ini bekerja sama dalam menerima udara bersih, pergantian
udara dari darah, dan mengeluarkan udara yang telah dimodifikasi (Seeley,
2004).
Sistem pernapasan dapat dibagi menjadi 2 bagian tergantung fungsinya,
yaitu konduksi, sebagai bagian yang berfungsi dalam proses penghantaran dan
bagian respiratorik yang terdiri atas alveoli dan regio distal lainnya yang
berfungsi dalam pertukaran gas. Organ-organ respirasi dapat dibagi lagi menurut
letaknya, yaitu upper respiratory tract yang terdiri dari daerah dari hidung hingga
laring dan lower respiratory tract yang terdiri dari trakea, bronkus, bronkiolus,
dan paru-paru (Seeley, 2004).
7


Gambar 2.1 Sistem Pernapasan
Saluran pernapasan dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh membran
mukosa bersilia. Ketika udara masuk melalui rongga hidung, maka udara
disaring, dihangatkan, dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan fungsi
utama dari mukosa respirasi yang terdiri dari sel epitel bertingkat, bersilia, dan
bersel goblet. Permukaan epitel diliputi oleh lapisan mukus yang disekresi oleh
sel goblet dan kelenjar mukosa. Partikel debu yang kasar disaring oleh rambut-
rambut yang terdapat dalam lubang hidung, sedangkan partikel yang halus akan
terjerat dalam lapisan mukus. Gerakan silia mendorong lapisan mukus ke bagian
posterior di dalam rongga hidung dan ke bagian superior di dalam sistem
pernapasan bagian bawah menuju ke faring. Dari sini partikel halus akan tertelan
atau dibatukkan keluar. Lapisan mukus memberikan air untuk kelembaban, dan
8

banyaknya jaringan pembuluh darah di bawahnya akan menyuplai panas ke udara
inspirasi. Jadi udara inspirasi telah disesuaikan sehingga ketika mencapai faring
hampir bebas debu, bersuhu mendekati temperatur tubuh, dan kelembabannya
mencapai 100% (Price, 2006).
Udara akan mengalir dari faring menuju laring. Laring terdiri dari
rangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot-otot dan mengandung
pita suara. Laring juga mempunyai fungsi batuk untuk membantu menghalau
benda-benda asing dan sekret keluar dari saluran pernapasan bagian bawah. Di
antara pita suara terdapat ruang berbentuk segitiga (glotis) yang bermuara ke
dalam trakea, dan merupakan pemisah antara saluran napas bagian atas dan
bawah. Trakea disokong oleh cincin tulang rawan yang berbentuk seperti sepatu
kuda. Struktur trakea dan bronkus dianalogikan sebagai pohon trakeobronkial.
Tempat trakea bercabang menjadi bronkus utama kiri dan kanan disebut karina.
Karina memiliki banyak saraf dan dapat menyebabkan bronkospasme serta batuk
yang berat jika dirangsang (Price, 2006).
Bronkus utama kiri dan kanan tidak simetris. Bronkus utama kanan lebih
pendek dan lebar serta merupakan kelanjutan dari trakea yang arahnya hampir
vertikal. Sebaliknya, bronkus utama kiri lebih panjang dan sempit serta
merupakan kelanjutan dari trakea dengan sudut yang lebih tajam. Oleh sebab itu,
benda asing yang terhirup lebih sering tersangkut pada percabangan bronkus
kanan karena arahnya yang vertikal. Cabang utama bronkus kanan dan kiri akan
membentuk bronkus lobaris dan kemudian bronkus segmentalis. Percabangan ini
berjalan terus menjadi bronkus yang ukurannya lebih kecil sampai akhirnya
9

membentuk bronkiolus terminalis, yaitu saluran udara terkecil yang tidak
mengandung alveolus. Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus yang
merupakan unit fungsional paru sebagai temapat pertukaran udara. Asinus terdiri
dari bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, dan sakus alveolaris terminalis
yang merupakan struktur akhir paru. Alveolus merupakan bagian dari struktur
paru-paru yang sangat fungsional. Alveolus merupakan kantong bundar
berdiameter 0.2-0.5 mm (Price, 2006).
Paru-paru merupakan organ yang luas, berbentuk konkaf pada bagian
basalnya pada diafragma, serta berbentuk tumpul pada bagian apeksnya. Paru-
paru merupakan muara dari bronkus, pembuluh darah, pembuluh limfe, dan
nervus. Paru-paru kiri berukuran lebih kecil daripada yang kanan akibat
kemiringan jantung ke sisi kiri. Paru-paru kiri memiliki dua lobus, yaitu lobus
superior dan lobus inferior. Kedua lobus ini dipisahkan oleh fisura obliqua.
Sedangkan paru-paru kanan memiliki tiga lobus, yaitu lobus superior, lobus
medius, dan lobus inferior. Ketiga lobus tersebut dipisahkan oleh fisura obliqua
dan fisura horizontalis (Price, 2006).
Pleura merupakan suatu lapisan membran serosa yang menutupi paru-paru.
Pleura ada dua macam, yaitu pleura viseralis yang menjulur ke dalam fisura, serta
pleura parietalis yang melekat di mediastinum dan permukaan superior dari
diafragma. Di antara pleura parietalis dan pleura viseralis terdapat suatu ruangan
yang disebut pleural cavity, yang diisi oleh cairan pelumas dengan beberapa
fungsi, contohnya sebagai lubrikan. Cairan pleural bersifat licin sehingga dapat
10

mengurangi gesekan pada saat paru-paru mengembang. Selain itu, cairan pleural
juga akan menciptakan suatu gradien tekanan di dalam paru-paru (Seeley, 2006).

2.2 Fisiologi Sistem Pernapasan
Sistem pernapasan mempunyai fungsi utama untuk menyediakan oksigen
(O
2
) dan mengeluarkan karbondioksida (CO
2
) dari tubuh. Fungsi ini merupakan
fungsi yang vital bagi kehidupan. Oksigen dibutuhkan dalam metabolisme sel
untuk menghasilkan energi bagi tubuh yang dipasok terus-menerus, sedangkan
karbondioksida merupakan bahan toksik yang harus segera dikeluarkan dari
tubuh. Bila CO
2
menumpuk di dalam darah akan menyebabkan penurunan pH
sehingga dapat menimbulkan keadaan asidosis yang mengganggu fungsi tubuh
dan bahkan dapat menyebabkan kematian (Seeley, 2004).
Proses pernapasan berlangsung melalui beberapa tahapan, yaitu :
1) Ventilasi paru, yang berarti pertukaran udara antara atmosfer dan alveolus
paru
2) Difusi oksigen dan karbondioksida antara alveoli dan darah
3) Pengangkutan oksigen dan karbondioksida dalam darah dan cairan tubuh ke
dan dari sel jaringan tubuh (Guyton, 2006).
Udara bergerak masuk dan keluar paru karena adanya selisih tekanan yang
terdapat antara atmosfer dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot. Diantaranya
itu perubahan tekanan intrapulmonar, tekanan intrapleural, dan perubahan
volume paru (Guyton, 2006). Keluar masuknya udara pernapasan terjadi melalui
2 proses mekanik, yaitu :
11

1) Inspirasi : proses aktif dengan kontraksi otot-otot inspirasi untuk menaikkan
volume intratoraks, paru-paru ditarik dengan posisi yang lebih
mengembang, tekanan dalam saluran pernapasan menjadi negatif dan udara
mengalir ke dalam paru-paru.
2) Ekspirasi : proses pasif dimana elastisitas paru (elastic recoil) menarik dada
kembali ke posisi ekspirasi, tekanan recoil paru-paru dan dinding dada
seimbang, tekanan dalam saluran pernapasan menjadi sedikit positif
sehingga udara mengalir keluar dari paru-paru, dalam hal ini otot-otot
pernapasan berperan (Yulaekah, 2007).

2.2.1 Parameter Fungsi Paru
1) Volume Paru
Ada empat jenis volume paru, yaitu :
a) Volume tidal, yaitu jumlah udara yang dihirup atau dihembuskan
dalam satu siklus pernapasan normal. Besarnya kira-kira 500 ml
pada rata-rata orang dewasa.
b) Volume cadangan inspirasi, yaitu jumlah maksimal udara yang
masih dapat dihirup setelah akhir inspirasi kuat. Biasanya mencapai
3.000 ml.
c) Volume cadangan ekspirasi, yaitu jumlah maksimal udara yang
masih dapat dihembuskan sesudah akhir ekspirasi kuat. Jumlahnya
sekitar 1.100 ml.
12

d) Volume residu, yaitu jumlah udara yang masih ada di dalam paru
sesudah melakukan ekspirasi maksimal atau ekspirasi yang paling
kuat. Volume tersebut 1.200 ml (Guyton, 2006).
2) Kapasitas Paru
Peristiwa dalam sikus paru mencakup dua atau lebih nilai volume
paru. Kombinasi ini disebut kapasitas paru, yang dijelaskan sebagai
berikut :
a) Kapasitas inspirasi sama dengan volume tidal ditambah volume
cadangan inspirasi. Ini adalah jumlah udara (kira-kira 3.500 ml)
yang dapat dihirup oleh seseorang, dimulai pada tingkat ekspirasi
normal dan pengembangan paru sampai jumlah maksimal.
b) Kapasitas residu fungsional sama dengan volume cadangan
ekspirasi ditambah volume residu. Ini adalah jumlah udara yang
tersisa dalam paru pada akhir ekspirasi normal (kira-kira 2.300 ml).
c) Kapasitas vital sama dengan volume cadangan inspirasi ditambah
volume tidal dan volume cadangan ekspirasi. Ini adalah jumlah
udara maksimum yang dapat dikeluarkan oleh seseorang dari paru,
setelah terlebih dahulu mengisi paru secara maksimum dan
kemudian mengeluarkan sebanyak-banyaknya (kira-kira 4.600 ml).
d) Kapasitas paru total adalah volume maksimum yang dapat
mengembangkan paru sebesar mungkin dengan inspirasi sekuat
mungkin (kira-kira 5.800 ml). Jumlah ini sama dengan kapasitas
vital ditambah volume residu (Guyton, 2006).
13


Gambar 2.2 Volume dan Kapasitas Paru

Semua volume dan kapasitas paru pada wanita 25% lebih kecil
dibandingkan dengan pria. Kapasitas vital rata-rata pria dewasa kira-kira 4,8 liter
sedangkan wanita dewasa 3,1 liter. Pengukuran kapasitas vital paru seringkali
digunakan secara klinis sebagai indeks fungsi paru. Nilai tersebut memberikan
informasi mengenai kekuatan otot-otot pernapasan serta beberapa aspek fungsi
pernapasan lainnya (Yulaekah, 2007).

2.2.2 Pengukuran Faal Paru
Pemeriksaan faal paru sangat dianjurkan bagi tenaga kerja, yaitu
menggunakan spirometer, karena pertimbangan biaya yang murah, ringan, praktis
14

dibawa kemana-mana, akurasinya tinggi, cukup sensitif, tidak invasif dan dapat
memberi sejumlah informasi yang handal. Dari berbagai pemeriksaan faal paru,
yang sering dilakukan adalah :
1) Kapasitas Vital (VC) adalah volume udara maksimal yang dapat
dihembuskan setelah inspirasi maksimal. Ada dua macam kapasitas vital
paru berdasarkan cara pengukurannya, yaitu vital capacity (VC) dengan
subjek tidak perlu melakukan aktivitas pernapasan dengan kekuatan penuh
dan forced vital capacity (FVC), subjek melakukan aktivitas pernapasan
dengan kekuatan maksimal. Pada orang normal tidak ada perbedaan antara
FVC dan VC, sedangkan pada kelainan obstruksi terdapat perbedaan antara
VC dan FVC. VC merupakan refleksi dari kemampuan elastisitas jaringan
paru atau kekakuan pergerakan dinding toraks. VC yang menurun
menunjukkan kekakuan jaringan paru atau dinding toraks, sehingga dapat
dikatakan pemenuhan (compliance) paru atau dinding toraks mempunyai
korelasi dengan penurunan VC. Pada kelainan obstruksi ringan, VC hanya
mengalami penurunan sedikit atau mungkin normal.
2) Forced Expiratory Volume in 1 Second (FEV1) merupakan besarnya
volume udara yang dikeluarkan dalam satu detik pertama. Lama ekspirasi
pertama pada orang normal berkisar antara 4-5 detik dan pada detik pertama
orang normal dapat mengeluarkan udara pernapasan sebesar 80% dari nilai
VC. Fase detik pertama ini dikatakan lebih penting dari fase-fase
selanjutnya. Adanya obstruksi pernapasan didasarkan atas besarnya volume
pada detik pertama tersebut. Interpretasi tidak didasarkan pada nilai
15

absolutnya tetapi pada perbandingan nilai FEV1 dengan FVC. Bila
FEV1/FVC kurang dari 75 % berarti abnormal. Pada penyakit obstruktif
seperti bronkitis kronik atau emfisema terjadi pengurangan FEV1 yang
lebih besar dibandingkan kapasitas vital (kapasitas vital mungkin normal)
sehingga rasio FEV1/FVC kurang dari 75%.

Gambar 2.3 Klasifikasi Penilaian Fungsi Paru

2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kapasitas Fungsi Paru
1) Jenis kelamin. Kapasitas vital rata-rata pria dewasa muda lebih kurang 4,6
liter dan perempuan muda kurang lebih 3,1 liter. Volume paru pria dan
wanita berbeda dimana kapasitas paru total pria 6,0 liter dan wanita 4,2
liter.
2) Posisi tubuh. Nilai kapasitas fungsi paru lebih rendah pada posisi tidur
dibandingkan posisi berdiri. Pada posisi tegak, ventilasi persatuan volume
paru di bagian basis paru lebih besar dibandingkan dengan bagian apeks.
Hal ini terjadi karena pada awal inspirasi, tekanan intrapleura di bagian
16

basis paru kurang negatif dibandingkan bagian apeks, sehingga perbedaan
tekanan intrapulmonal-intrapleura di bagian basis lebih kecil dan jaringan
paru kurang teregang. Keadaan tersebut menyebabkan persentase volume
paru maksimal posisi berdiri lebih besar nilainya.
3) Kekuatan otot-otot pernapasan. Pengukuran kapasitas fungsi paru
bermanfaat dalam memberikan informasi mengenai kekuatan otot-otot
pernapasan. Apabila nilai kapasitas normal tetapi nilai FEV1 menurun,
maka dapat mengakibatkan rasa nyeri, contohnya pada penderita asma.
4) Ukuran dan bentuk anatomi tubuh. Obesitas meningkatkan resiko
penurunan kapasitas residu ekspirasi dan volume cadangan ekspirasi dengan
semakin beratnya tubuh. Pada pasien obesitas, volume cadangan ekspirasi
lebih kecil daripada kapasitas vital sehingga dapat mengakibatkan sumbatan
saluran napas.
5) Proses penuaan atau bertambahnya umur. Umur meningkatkan resiko
mortalitas dan morbiditas. Selain itu juga dapat terjadi penurunan volume
paru statis, arus puncak ekspirasi maksimal, daya regang paru, dan tekanan
O
2
paru. Aktivitas refleks saluran napas berkurang pada orang yang lanjut
usia, akibatnya kemampuan daya pembersih saluran napas juga berkurang.
Insiden tertinggi gangguan pernapasan biasanya pada usia dewasa muda.
Pada wanita frekuensi mencapai maksimal pada usia 40-50 tahun,
sedangkan pada pria frekuensi terus meningkat sampai sekurang-kurangnya
mencapai usia 60 tahun.
17

6) Daya pengembangan paru (compliance). Peningkatan volume dalam paru
menghasilkan tekanan positif, sedangkan penurunan volume dalam paru
menimbulkan tekanan negatif. Perbandingan antara perubahan volume paru
dengan satuan perubahan tekanan saluran udara menggambarkan
compliance jaringan paru dan dinding dada. Compliance paru sedikit lebih
besar apabila diukur selama pengempisan paru dibandingkan diukur selama
pengembangan paru.
7) Masa kerja dan riwayat pekerjaan. Semakin lama tenaga kerja bekerja pada
lingkungan yang menyebabkan gangguan kesehatan, maka penurunan
fungsi paru pada orang tersebut akan bertambah dari waktu ke waktu.
8) Riwayat penyakit paru. Banyak para pekerja yang terkena gangguan
pernapasan bukan karena keturunan, melainkan akibat tertular oleh kuman
atau basilnya. Biasanya kuman tersebut berasal dari lingkungan rumah,
pasar, terminal, stasiun, lingkungan kerja, ataupun tempat-tempat umum
lainnya.
9) Olahraga rutin. Kebiasaan olah raga akan meningkatkan denyut jantung,
fungsi paru, dan metabolisme saat istirahat.
10) Kebiasaan merokok. Tembakau merupakan penyebab penyakit gangguan
fungsi paru-paru yang bersifat kronis dan obstruktif, yang pada akhirnya
dapat menurunkan daya tahan tubuh (Yulaekah, 2007).



18

2.3 Gangguan Fungsi Paru
Pada individu normal terjadi perubahan (nilai) fungsi paru secara fisiologis
sesuai dengan perkembangan umur dan pertumbuhan parunya (lung growth).
Mulai dari fase anak sampai kira- kira umur 22-24 tahun terjadi pertumbuhan
paru sehingga pada waktu itu nilai fungsi paru semakin besar bersamaan dengan
pertambahan umur. Beberapa waktu nilai fungsi paru menetap (stasioner)
kemudian menurun secara gradual, biasanya pada usia 30 tahun mulai mengalami
penurunan, selanjutnya nilai fungsi paru mengalami penurunan rata-rata sekitar
20 ml tiap pertambahan satu tahun usia seseorang (Yulaekah, 2007).
Gangguan fungsi ventilasi paru menyebabkan jumlah udara yang masuk ke
dalam paru-paru akan berkurang dari normal. Gangguan fungsi ventilasi paru
yang utama adalah :
1) Restriksi, yaitu penyempitan saluran paru-paru yang diakibatkan oleh bahan
yang bersifat alergen seperti debu, spora jamur, dan sebagainya, yang
mengganggu saluran pernapasan.
2) Obstruksi, yaitu penurunan kapasitas fungsi paru yang diakibatkan oleh
penimbunan debu-debu sehingga menyebabkan penurunan kapasitas fungsi
paru.
3) Kombinasi obstruksi dan restriksi (mixed), yaitu terjadi juga karena proses
patologi yang mengurangi volume paru, kapasitas vital dan aliran udara,
yang juga melibatkan saluran napas. Rendahnya FEVl/FVC (%) merupakan
suatu indikasi obstruktif saluran napas dan kecilnya volume paru
merupakan suatu restriktif (Yulaekah, 2007).
19

2.4 Debu
2.4.1 Pengertian Debu
Debu merupakan salah satu bahan yang sering disebut sebagai partikel yang
melayang di udara dengan ukuran 1 mikron sampai dengan 500 mikron. Partikel
debu akan berada di udara dalam waktu yang relatif lama dalam keadaan
melayang-layang di udara, kemudian masuk ke dalam tubuh manusia melalui
pernapasan (Pudjiastuti, 2002).
Debu industri yang terdapat dalam udara dibagi menjadi dua, yaitu :
1) Deposit Particulate Matter (DPM) merupakan partikel debu yang hanya
sementara berada di udara, partikel ini segera mengendap di udara oleh
karena gaya gravitasi bumi.
2) Suspended Particulate Matter (SPM) merupakan debu yang tetap berada di
udara dan tidak mengendap (Ashari, 2006).
Beberapa jenis debu dapat menyebabkan penyakit pernapasan atau paru,
diantaranya berupa debu organik dan anorganik. Debu organik dapat
menyebabkan penyakit pernapasan. Ini karena kepekaan dari saluran napas
bagian bawah terutama alveoli terhadap debu meningkat. Kepekaan inilah yang
mengakibatkan penyempitan saluran nafas, hingga dapat menghambat aliran
udara yang keluar masuk paru, dan akibatnya terjadi sesak nafas (Heqris, 2009).
Sedangkan debu anorganik, bila terhirup dalam jumlah banyak, dapat
menimbulkan gangguan paru pula. Debu ini banyak menyerang para pekerja di
pabrik semen, asbes, keramik, tambang emas atau besi. Debu ini mengandung
partikel-partikel besi, timah putih, asbes dan lainnya. Kemampuan debu untuk
20

bisa masuk ke dalam paru tergantung dari besar kecilnya partikel tersebut
(Heqris, 2009).
Ada 4 pengaruh fisik dari partikel debu yang mengendap di dalam saluran
pernapasan, yaitu :
1) Debu berukuran 5-10 mikron yang mengendap pada dinding saluran
pernapasan bagian atas dapat menimbulkan efek berupa iritasi yang ditandai
dengan gejala faringitis.
2) Debu berukuran 2-3 mikron yang mengendap lebih dalam pada
bronkus/bronkiolus dapat menimbulkan efek berupa bronchitis, alergi, atau
asma.
3) Debu yang berukuran 1-3 mikron yang mengendap di alveoli, dimana
gerakannya sejalan dengan kecepatan yang konstan.
4) Debu yang berukuran 0.1-1 mikron karena terlalu ringan tidak dapat
menempel pada saluran napas tetapi mengikuti gerak brown dan berada
dalam bentuk suspensi (Pudjiastuti, 2002).
Menurut WHO 1996, ukuran debu partikel yang membahayakan adalah
berukuran 0,1-5 atau 10 mikron, sedangkan Depertemen Kesehatan
mengisaratkan bahwa ukuran debu yang membahayakan berkisar antara 0,1
sampai 10 mikron (Pudjiastuti, 2002).

2.4.2 Mekanisme Penimbunan Debu pada Saluran Pernapasan
Mekanisme penimbunan debu dalam paru diawali dengan proses inhalasi
debu dalam bentuk partikel debu solid atau suatu campuran dengan asap
21

(Mengkidi, 2006). Mekanisme penimbunan debu di dalam paru-paru terjadi
dalam 3 mekanisme, yaitu :
1) Pengaruh inersia menyebabkan timbulnya kelembaban dari debu itu sendiri
yang ketika bergerak dan melalui belokan-belokan, debu menjadi lebih
mudah masuk akibat adanya dorongan dari aliran udara. Sepanjang saluran
pernapasan yang lurus, debu akan mengikuti aliran pernapasan lurus ke
dalam, sedangkan partikel-partikel yang besar yang tidak ikut dalam aliran
udara tersebut akan mencari tempat-tempat yang lebih ideal untuk
menempel atau mengendap seperti pada lekukan selaput lendir dalam
saluran pernapasan.
2) Pengaruh sedimentasi terjadi di saluran-saluran pernapasan dengan
kecepatan arus udara kurang dari 1 cm/detik, sehingga partikel-partikel
tersebut dapat melewati gaya berat dan akhirnya mengendap di saluran
pernapasan.
3) Gerakan Brown berlaku untuk debu-debu yang berukuran kurang dari 0.1
mikron. Melalui gerakan udara, partikel debu yang masuk ke dalam tubuh
akan mengganggu alveoli kemudian mengendap di sana (Ashari, 2006).
Partikel debu yang masuk ke dalam paru-paru akan membentuk fokus dan
berkumpul di bagian awal saluran limfe paru. Debu ini akan difagositosis oleh
makrofag. Debu yang bersifat toksik terhadap makrofag akan merangsang
terbentuknya makrofag baru. Pembentukan dan destruksi makrofag yang terus-
menerus berperan penting dalam pembentukan jaringan ikat kolagen dan
pengendapan hialin pada jaringan ikat tersebut. Fibrosis ini terjadi pada parenkim
22

paru yaitu pada dinding alveoli dan jaringan ikat interstisial. Akibat fibrosis paru
akan terjadi penurunan elastisitas jaringan paru (pergeseran jaringan paru) dan
menimbulkan ganggguan pengembangan paru. Bila pengerasan alveoli mencapai
10% akan terjadi penurunan elastisitas paru yang menyebabkan kapasitas vital
paru akan menurun dan dapat mengakibatkan menurunnya suplai oksigen ke
dalam jaringan otak, jantung dan bagian-bagian tubuh lainnya (Mengkidi, 2006).

2.4.3 Pengaruh Debu terhadap Saluran Pernapasan
Untuk mendapatkan energi, manusia memerlukan oksigen yang digunakan
untuk pembakaran zat makanan dalam tubuh. Pemenuhan kebutuhan oksigen
tersebut diperoleh dari udara melalui proses respirasi. Paru merupakan salah satu
organ sistem respirasi yang berfungsi sebagai tempat penampungan udara,
sekaligus merupakan tempat berlangsungnya pengikatan oksigen oleh
hemoglobin. Interaksi udara dengan paru berlangsung setiap saat, oleh karena itu
kualitas udara yang terinhalasi sangat berpengaruh terhadap faal paru. Faktor-
faktor yang mempengaruhi pencemaran udara yaitu kelembaban, suhu, dan
penyebaran (Mengkidi, 2006).
Pada udara yang dalam keadaan tercemar, partikel polutan ikut terinhalasi
dan sebagian akan masuk ke dalam paru. Selanjutnya sebagian partikel akan
mengendap di alveoli. Dengan adanya pengendapan partikel dalam alveoli, ada
kemungkinan terjadinya penurunan fungsi paru. Terdapatnya debu di dalam
alveolus akan menyebabkan terjadinya statis partikel debu dan dapat
menyebabkan kerusakan dinding alveolus (Mengkidi, 2006).
23

Faktor yang dapat berpengaruh pada inhalasi bahan pencemar ke dalam
paru adalah faktor komponen fisik, faktor komponen kimiawi dan faktor
penderita itu sendiri. Aspek komponen fisik yang pertama adalah keadaan dari
bahan yang diinhalasi (gas, debu, uap). Ukuran dan bentuk akan berpengaruh
dalam proses penimbunan dalam paru, demikian juga dengan kelarutan dan nilai
higroskopisitasnya. Komponen kimia yang berpengaruh antara lain
kecenderungan untuk bereaksi dengan jaringan sekitarnya, keasaman atau tingkat
alkalisitasnya yang tinggi sehingga dapat merusak silia atau sistem enzim. Bahan-
bahan tersebut dapat menimbulkan fibrosis yang luas di jaringan paru-paru dan
dapat bersifat sebagai antigen asing yang masuk ke dalam paru-paru (Mengkidi,
2006).
Selain itu, faktor individual seseorang juga penting untuk diperhitungkan.
Sistem pertahanan paru baik secara antomis maupun secara fisiologis, merupakan
satu mekanisme yang baik dalam melindungi saluran pernapasan. Mekanisme ini
tentu saja dapat terganggu, baik karena faktor bawaan maupun lingkungan.
Orang-orang tertentu mempunyai silia yang aktif sekali bekerja menyapu debu
yang masuk, sementara pada sebagian orang lain gerak cambuk silia relatif lebih
lambat (Mengkidi, 2006). Jadi gangguan pernapasan akibat inhalasi debu dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor debu itu sendiri, yaitu ukuran
partikel, bentuk, daya larut, konsentrasi, sifat kimiawi, lama pajanan, dan faktor
individu yang berupa mekanisme pertahanan tubuh (Ashari, 2006).


24

2.5 Alat Pelindung Diri
Dalam suatu kegiatan industri, paparan dan resiko yang ada di tempat kerja
tidak selalu dapat dihindari. Upaya untuk pencegahan terhadap kemungkinan
penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja harus senantiasa dilakukan. Ada
beberapa alternatif pengendalian (secara teknis dan administrasi) yang bisa
dilaksanakan, namun mempunyai beberapa kendala. Pilihan yang sering
dilakukan adalah melengkapi tenaga kerja dengan alat pelindung diri yang
sebenarnya merupakan suatu keharusan. Hal ini sesuai dengan UU No.1 Tahun
1970 tentang Keselamatan Kerja, khususnya pasal 9, 12 dan 14 yang mengatur
penyediaan dan penggunaan alat pelindung diri di tempat kerja, baik bagi
pengusaha maupun tenaga kerja (Mengkidi, 2006).
Secara sederhana yang dimaksud dengan alat pelindung diri adalah
seperangkat alat yang digunakan tenaga kerja untuk melindungi sebagian atau
seluruh tubuhnya dari potensi bahaya atau kecelakaan kerja. APD tidak secara
sempurna melindungi tubuh tetapi dapat mengurangi tingkat keparahan yang
akan terjadi. Pengendalian ini sebaiknya tetap dipadukan dan sebagai pelengkap
pengendalian administratif. APD yang cocok bagi tenaga kerja yang berada pada
lingkungan kerja yang mempunyai paparan debu dengan konsentrasi tinggi
adalah alat pelindung pernapasan yang berfungsi untuk melindungi pernapasan
terhadap gas, uap, debu, atau udara yang terkontaminasi di tempat kerja yang
bersifat racun, korosi, maupun rangsangan. Alat pelindung pernapasan terdiri dari
:
25

1) Masker, berfungsi untuk melindungi saluran pernapasan dari debu/partikel-
partikel yang lebih besar yang masuk ke dalam saluran pernapasan, dapat
terbuat dari kain dengan ukuran pori-pori tertentu.
2) Respirator, berfungsi untuk melindungi saluran pernapasan dari debu,
kabut, uap logam, asap, dan gas (Mengkidi, 2006).


















26

2.6 Kerangka Konsep Penelitian


2.7 Hipotesis
Terdapat perbedaan nilai fungsi paru (FVC, FEV-1, rasio FEV-1/FVC)
pada tenaga kerja wanita yang terpapar debu dengan tenaga kerja wanita
yang tidak terpapar debu di PT Export Leaf Indonesia Station Lombok.

Penurunan FVC, FEV-1,
rasio FEV-1/FVC
Gangguan Fungsi Paru
Status Gizi
Ruang Pensortiran
Daun Tembakau
Penggunaan APD
Umur
Kebiasaan Merokok
Riwayat Penyakit
Masa Kerja
Kebiasaan Olahraga
Kadar partikel
di udara
Kadar partikel debu
yang terhisap
27

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian analitik non-eksperimental dengan
menggunakan studi cross sectional. Pada penelitian cross sectional peneliti
mencari hubungan antara variabel bebas (faktor risiko) dengan variabel
tergantung (efek/penyakit) pada satu saat tertentu.
Pada penelitian ini terdapat dua kelompok penelitian, yaitu kelompok
dengan faktor risiko dan kelompok tanpa faktor risiko. Kelompok dengan faktor
risiko adalah tenaga kerja wanita yang bekerja di bagian pensortiran PT Export
Leaf Indonesia Station Lombok, sedangkan kelompok tanpa faktor risiko yang
diteliti adalah tenaga kerja wanita yang tidak terpapar debu tembakau pada PT
Export Leaf Indonesia Station Lombok.

3.2 Populasi dan Sampel Penelitian
3.2.1 Populasi Penelitian
Populasi pada penelitian ini merupakan populasi terbatas waktu dan
tempat, yaitu para tenaga kerja wanita yang bekerja di PT Export Leaf Indonesia
Station Lombok di Desa Praubanyar, Kecamatan Terara, Kabupaten Lombok
Timur.


28

3.2.2 Sampel Penelitian
3.2.2.1 Kriteria Pemilihan Sampel
1) Kriteria Inklusi :
a) Tenaga kerja yang bersedia menjadi subjek penelitian setelah
menandatangani permohonan persetujuan (informed concent).
b) Tenaga kerja yang berusia 20-35 tahun.
c) Tenaga kerja yang telah bekerja selama 4-6 kali masa kontrak. Satu
kali masa kontrak berlangsung dari bulan Juli November tiap
tahunnya.
d) Tenaga kerja yang tidak memiliki faktor-faktor risiko lainnya, seperti
perokok aktif, sedang menderita penyakit pada sistem pernapasan
(batuk, flu, bronkitis akut, tuberculosis, dan tumor paru), sedang
menjalani terapi akibat menderita penyakit pada sistem pernapasan,
dan orang yang memiliki riwayat genetik terhadap gangguan
pernapasan tertentu (asma).
e) Tenaga kerja dengan status gizi baik.
2) Kriteria Eksklusi :
a) Tenaga kerja yang memiliki tempat tinggal atau bertempat tinggal di
lingkungan dengan paparan jenis debu lainnya yang cukup banyak.
b) Tenaga kerja yang memiliki tempat tinggal dengan jarak yang jauh
dari tempat kerja sehingga kemungkinan untuk terpapar jenis debu
lainnya cukup besar.
29

3.2.2.2 Cara Pemilihan Sampel
Pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan cara acak
sederhana (simple random sampling) karena anggota populasi bersifat homogen
dan setiap anggota atau unit dari populasi mempunyai kesempatan yang sama
untuk diseleksi sebagai sampel.
3.2.2.3 Besar Sampel
Pada penelitian ini dipilih sekelompok tenaga kerja wanita pada bagian
pensortiran di PT Export Leaf Indonesia Station Lombok yang terpapar debu
tembakau dan memenuhi kriteria-kriteria inklusi tertentu. Besar sampel penelitian
dihitung dengan rumus :
n


Keterangan :
y n : besar sampel
y s : simpang baku kedua kelompok (dari pustaka)
y x
1
-x
2
: perbedaan klinis yang diinginkan (clinical judgement)
y : kesalahan tipe I (ditetapkan)
y : kesalahan tipe II (ditetapkan)

3.3 Variabel Penelitian
Berdasarkan fungsi dan perannya, maka variabel penelitian dapat
diklasifikasikan menjadi :
30

1) Variabel bebas : paparan debu tembakau
2) Variabel tergantung : penurunan fungsi paru (FVC, FEV-1, rasio FEV-
1/FVC) pada tenaga kerja wanita di PT Export Leaf Indonesia Station
Lombok.
3) Variabel kendali (kontrol) : umur, masa kerja, dan status gizi.

3.4 Definisi Operasional Variabel
1) Paparan debu tembakau : konsentrasi debu yang didapatkan oleh seseorang
dalam jangka waktu tertentu sehingga menyebabkan terjadinya iritasi,
kerusakan jaringan paru yang irreversibel, hingga suatu tingkatan yang
dapat mencederai dan mengurangi efisiensi fungsi paru.
2) Penurunan fungsi paru : abnormalitas secara struktural dan fungsional pada
bagian, organ, ataupun sistem pernapasan, yang ditandai dengan penurunan
indeks fungsi paru (FVC, FEV-1, rasio FEV-1/FVC).
3) FVC : volume udara yang dapat diekspirasi secara paksa setelah inspirasi
secara maksimal.
4) FEV-1 : volume udara yang diekspirasikan secara paksa pada detik pertama
saat ekspirasi. Fase detik pertama ini dapat menunjukkan adanya obstruksi
pernapasan yang didasarkan atas besarnya volume pada detik pertama
tersebut.
5) Rasio FEV-1/FVC : perbandingan antara nilai FEV-1 dengan FVC. Bila
FEV1/FVC kurang dari 80% menunjukkan adanya kelainan obstruktif.
Contohnya pada bronkitis kronik, terjadi pengurangan FEV-1 yang lebih
31

besar dibandingkan kapasitas vital (kapasitas vital mungkin normal)
sehingga rasio FEV-1/FVC kurang dari 80%.
6) Tenaga kerja wanita : para wanita yang bekerja di PT Export Leaf Indonesia
Station Lombok.
7) Umur : lamanya orang hidup yang dihitung sejak orang tersebut terlahir
sampai pada waktu dilakukan penelitian ini, data diperoleh dari hasil
pengisian kuesioner.
8) Masa kerja : lamanya seseorang bekerja di PT Export Leaf Indonesia
Station Lombok yang dihitung pada saat ia mulai bekerja sampai dengan
sekarang, diperoleh dari hasil pengisian kuesioner.
9) Status gizi : gambaran kesehatan seseorang pada waktu tertentu yang dinilai
dengan menentukan Indeks Massa Tubuh (IMT).

3.5 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di PT Export Leaf Indonesia Station Lombok di
Desa Praubanyar, Kecamatan Terara, Kabupaten Lombok Timur, Provinsi NTB.
Pengambilan data dilakukan dari bulan September sampai dengan Oktober 2011.

3.6 Alat Pengumpulan Data
Alat ukur atau instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a) Kuisioner
b) Timbangan berat badan
c) Alat ukur (microtoise) untuk tinggi badan
32

d) Spirometri
e) Kapas atau tissue
f) Alkohol

3.7 Prosedur Penelitian
3.7.1 Permohonan Persetujuan (Informed Concent)
Para tenaga kerja wanita yang akan diteliti sebelumnya harus
menandatangani surat persetujuan untuk ikut serta dalam penelitian. Hal ini
sangat penting karena semua penelitian dengan subjek manusia baru dapat
dilaksanakan bila telah diperoleh persetujuan dari calon sampel penelitian.
3.7.2 Pengisian Kuisioner
Kuisioner merupakan salah satu instrumen penilaian yang paling sering
digunakan untuk studi cross sectional. Oleh karena itu, pada penelitian ini juga
dilakukan pengisian kuisioner oleh para tenaga kerja wanita yang bekerja di PT
Export Leaf Indonesia Station Lombok. Pengisian kuisioner dilakukan untuk
menentukan subjek yang memenuhi kriteria inklusi. Dari hasil pengisian
kuisioner tadi akan diperoleh data mengenai para tenaga kerja wanita di PT
Export Leaf Indonesia Station Lombok yang berisiko dan tidak berisiko terhadap
paparan debu tembakau.
3.7.3 Pemeriksaan Fungsi Paru
Tenaga kerja wanita dengan ataupun tanpa faktor risiko terpapar debu
tembakau selanjutnya akan melakukan pengukuran kapasitas ventilasi.
Pengukuran ini dilakukan dengan merekam kapasitas vital paksa (FVC)
33

menggunakan spirometer. Nilai FVC pada keadaan normal kurang lebih sama
dengan kapasitas vital (VC), tetapi akan sangat berkurang pada mereka yang
menderita obstruksi saluran napas. Perbedaan yang besar terlihat dari jumlah
udara yang dapat diekspirasikan setiap detiknya, terutama pada detik pertama.
Oleh karena itu biasanya juga dilakukan pengukuran terhadap volume ekspirasi
paksa selama detik pertama (FEV-1). FEV-1 merupakan petunjuk yang sangat
berharga untuk mengetahui adanya gangguan kapasitas ventilasi.
Pengukuran nilai FEV-1 dan FVC pada penelitian ini dilakukan dengan
cara membandingkan nilai mutlak yang didapatkan dari hasil pengukuran dengan
nilai prediksi (normal) yang telah ada berdasarkan usia dan tinggi badan
seseorang. Dari hasil perbandingan tersebut akan didapatkan nilai dalam bentuk
persentase yang menunjukkan apakah seorang responden mengalami penurunan
fungsi paru atau tidak.
Pada penelitian ini juga akan dilakukan pengukuran terhadap rasio FEV-
1/FVC. Pada orang normal, persentase FEV-1 dibagi dengan FVC adalah sebesar
80%. Rasio ini besar sekali manfaatnya untuk membedakan antara penyakit-
penyakit yang disebabkan oleh obstruksi saluran napas dengan penyakit-penyakit
yang tidak dapat membuat paru-paru mengembang sepenuhnya. Pada penyakit
obstruktif, seperti bronkhitis kronis, terjadi penurunan rasio FEV-1/FVC kurang
dari 80%.



34

3.8 Prosedur Pengukuran
1) Pengukuran Berat Badan
a) Pemeriksa memberikan informasi mengenai pemeriksaan yang akan
dilakukan.
b) Pasien diminta naik ke timbangan berat badan yang sudah dikalibrasi
dengan baik.
c) Bacalah hasil pemeriksaan dan catat hasil yang didapatkan.
2) Pengukuran Tinggi Badan
a) Pemeriksa memberikan informasi terlebih dahulu tentang pemeriksaan
yang akan dilakukan.
b) Minta responden melepaskan alas kaki (sandal/sepatu), topi (penutup
kepala).
c) Reponden diminta berdiri tegak dengan posisi kepala dan bahu bagian
belakang, lengan, pantat dan tumit menempel pada dinding tempat alat
ukur (microtoise) dipasang.
d) Pandangan lurus ke depan, dan tangan dalam posisi tergantung bebas.
e) Gerakan alat ukur sampai menyentuh bagian atas kepala responden.
Pastikan alat ukur berada tepat di tengah kepala responden. Dalam
keadaan ini bagian belakang alat ukur harus tetap menempel pada
dinding.
f) Lakukan pengukuran tinggi badan pada responden tersebut.
g) Catat hasil yang didapatkan.

35

3) Penilaian Status Gizi (Pengukuran IMT)
Status gizi dinilai dengan menentukan indeks massa tubuh (IMT) para
responden berdasarkan hasil pengukuran berat badan dan tinggi badan.

beiat bauan kg
tinggi bauan cm

Skala pengukuran :
a) Status gizi kurang : skor IMT < 18,5
b) Status gizi baik (normal) : skor IMT 18,5 24,9
c) Status gizi lebih (overweight dan obesitas) : skor IMT > 25
4) Pengukuran Spirometri
Prosedur pemeriksaan faal paru dengan spirometri :
a) Meminta persetujuan pasien
b) Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.
c) Menjelaskan kepada pasien mengenai prosedur pemeriksaan yang
akan dilakukan
d) Memposisikan pasien, berdiri tegak dan mouthpiece dipegang di
tangan kanan.
e) Meminta pasien untuk menarik napas sedalam mungkin, setelah itu
cuping hidung ditutup dengan tangan kiri dan mouthpiece diletakkan
pada mulut serapat mungkin, selanjutnya pasien melakukan ekspirasi
maksimal melalui mulut.
f) Untuk melakukan pemeriksaan FVC, mula-mula orang yang diperiksa
melakukan inspirasi maksimal sampai kapasitas paru total, kemudian
36

melakukan ekspirasi ke dalam spirometer dengan upaya ekspirasi
maksimal secepatnya dan sesempurna mungkin.
g) Selain itu juga dilakukan pengukuran terhadap volume ekspirasi paksa
selama detik pertama (FEV-1).
h) Catat hasil pemeriksaan.
i) Pemeriksaan dilakukan sebanyak 3 kali dan diambil hasil yang
reproduksibel.

3.9 Analisis Data
Data yang didapatkan disajikan dalam bentuk tabel dan gambar. Untuk
menganalisis perbedaan nilai faal paru pada kelompok dengan dan tanpa faktor
risiko paparan debu tembakau digunakan uji-t independen dengan interval
kepercayaan 95% (IK95%). Uji-t independen digunakan untuk menganalisis data
dengan variabel bebas yang berskala nominal dan variabel tergantung dengan
skala numerik.








37

3.10 Alur Penelitian

Permohonan persetujuan Pengisian kuisioner
Kriteria inklusi Kriteria eksklusi
Populasi tenaga
kerja wanita
Besar sampel Simple random sampling
Dilakukan pengukuran fungsi paru
menggunakan spirometer
Nilai fungsi paru
(FVC, FEV-1, rasio FEV-1/FVC)
Faktor risiko (+) Faktor risiko (-)
Efek (+) A Efek (-) B Efek (+) C Efek (-) D
Analisis data
(uji t-independen)
Faktor risiko (+)
Faktor risiko (-)
38

DAFTAR PUSTAKA

Ashari, Irwan. 2006. Penyakit Paru Akibat Gangguan Kerja. Available from :
http://unhas.ac.id/Irwanashari.pdf (Accessed : 2011, February 14)
Guyton & Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. EGC : Jakarta.
Lee, Antony. 2009. Kesehatan Ribuan Buruh Perempuan Pabrik Rokok
Diperiksa. Available from :
http://kesehatan.kompas.com/read/2009/10/29/18131659/Kesehatan.
Ribuan.Buruh.Perempuan.Pabrik.Rokok.Diperiksa (Accessed : 2011,
February 12)
Likke, et al. 2000. Analisis Cost-Benefit Terhadap Industri Rokok di Indonesia.
Available from :
http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/man/article/viewPDFInterstitial
/ 15604/15596 (Accessed : 2011, February 13)
Mengkidi, Dorce. 2006. Gangguan Fungsi Paru & Faktor yang
Mempengaruhinya Pada Karyawan PT. Semen Tonasa Pangkep
Sulawesi Selatan. Available from :
http://eprints.undip.ac.id/15485/1/Dorce_Mengkidi.pdf (Accessed : 2011,
February 13)
Mustajbegovic, et al. 2003. Respiratory Findings in Tobacco Workers.
Available from :
http://chestjournal.chestpubs.org/content/123/5/1740.full.pdf
(Accessed : 2011, February 14)
39

Price & Wilson, 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Edisi 6. Volume 2. EGC : Jakarta.
Pudjiastuti, Wiwiek. 2002. Debu Sebagai Bahan Pencemar yang
Membahayakan Kesehatan Kerja. Available from : http://www.mail-
archive.com/penggemar-sepeda-jelajah-
nusantara@googlegroups.com/msg00843/debu.pdf (Accessed : 2011,
February 15)
Seeley, et al. 2004. Anatomy & Physiology. Sixth Edition. The McGraw-Hill
Companies.
Sudigdo, 2008. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi 3. Sagung Seto
: Jakarta.
Triatmo, et al. 2006. Paparan Debu Kayu dan Gangguan Fungsi Paru Pada
Pekerja Mebel (Studi di PT Alis Jaya Ciptatama). Jurnal Kesehatan
Lingkungan Indonesia Volume 5 Nomor 2. Available from :
http://ejournal.undip.ac.id/index.php/jkli/article/view/213 (Accessed : 2011,
February 12)
Yanev & Kostianev. 2004. Respiratory Findings in Tobacco Industry Workers.
Available from :
http://chestjournal.chestpubs.org/content/123/5/1740.full.pdf (Accessed :
2011, February 12)
Yulaekah, Siti. 2007. Paparan Debu & Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja
Industri Batu Kapur. Available from :
40

http://eprints.undip.ac.id/18220/1/SITI_YULAEKAH.pdf (Accessed :
2011, February 13)
Yunus, Faisal. 1997. Dampak Debu Industri pada Paru Pekerja dan
Pengendaliannya. Available from :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6409/1/paru-antaruddin.pdf
(Accessed : 2011, February 15)

You might also like