You are on page 1of 6

Mekanisme Imunopatogonesis Infeksi HIV-1 Fase Laten [Pre dan PostIntegrasi] pada Sel T CD4+ Inaktif Fase laten

HIV-1 merupakan konsekuensi dari fisiologi normal sel T CD4+ (Persaud dkk, 2003). Untuk beberapa waktu tertentu, sebagian besar sel T CD4+ berada pada tahap resting Go. Pada fase resting Go, limfosit T CD4+ merupakan sel dengan laju metabolisme yang rendah dan memiliki morfologi yang unik dengan karakterisasi volume sitoplasma yang kecil. Ketika dewasa, sebagian dari sel resting [inaktif] merupakan sel T naf [nave/virgin], belum berdiferensiasi dan belum pernah terpajan dengan antigen [Ag], dengan menunjukkan molekul permukaan CD45RA serta marker permukaan spesifik, CD69, CD38 dan CD95. Paparan Ag yang memicu aktivasi sel T CD4+ akan meningkatkan proliferasi seluler dan diferensiasi, sehingga sel T naif berkembang menjadi sel Th0, untuk selanjutnya berkembang menjadi sel efektor Th1 dan Th2. Kebanyakan sel efektor akan mengalami apoptosis secara cepat, tetapi beberapa subsetnya masih bertahan dan kembali pada fase resting Go (Coiras dkk, 2009).. Kumpulan sel ini bertahan sebagai sel T CD4+ memori, dengan perubahan pola dari ekspresi gen untuk dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama dan memiliki respon yang cepat ketika nantinya mengalami paparan Ag [Kaech dkk, 2002; Coiras dkk, 2009]. Sel T CD4+ yang berada pada tahap resting Go memiliki waktu hidup yang panjang. Pengukuran awal menunjukkan bahwa pada orang yang tidak terinfeksi, sel T CD4+ memori akan mengalami apoptosis atau membelah dengan waktu paruh [t1/2] 6 bulan, dimana sel T CD4+ naf memiliki t1/2 intermitotik yang lebih lama [Mc Laen dkk, 1995; Michie dkk, 1992]. Populasi sel T CD4+ naif dilengkapi lagi dengan sel T generasi baru dari timus ketika dewasa, sedangkan kelompok sel T CD4+ memori dipelihara oleh adanya proses renewal proliferatif yang tergantung pada paparan Ag, dimana sel T memori CD4+ adakalanya akan mengalami siklus sel sebagai respon terhadap paparan sitokin. Kombinasi dari efek waktu hidup yang lama dan adanya renewal proliferatif memberikan peluang untuk terjadinya memori imunologi jangka panjang terhadap berbagai agen infeksius. Infeksi HIV-1 memanfaatkan hemostatis

normal sel T CD4+ untuk membentuk sel laten reservoir pada fase laten klinis (Persaud dkk, 2003; Janet dan Robert Siliano, 2000). Individu yang terinfeksi menunjukkan penurunan produksi sel T CD4+ naf oleh timus dan terjadi peningkatan aktivasi sel T CD4+ (Douek dkk, 1998; Grossman dkk, 2002). Virus melakukan replikasi pada sel T CD4+ yang aktif, kemudian memicu proses apoptosis setelah beberapa hari pasca infeksi ( Ho dkk, 1995; Wei dkk, 1995; Richman dkk, 2009). Karena memerlukan waktu beberapa minggu bagi sel T efektor untuk kembali pada fase resting G0 [inaktif], kebanyakan limfoblast sel T CD4+ akan mati sebelum menjadi sel T memori. Namun, beberapa beberapa sel T CD4+ yang aktif mengalami infeksi ketika sel tersebut mengalami fase perubahan menuju resting G0 [inaktif]. Kelompok sel ini akan masih permisif untuk tahap awal siklus hidup virus [hingga tahap integrasi], tetapi tidak untuk mengekspresikan gen virus (Stevenson, 1997). Mekanisme infeksi HIV sel laten diinisiasi dengan proses pelekatan antara gp120 dan reseptor spesifik CD4+ pada sel T CD4+ naf/inaktif [pre-resting G0]. Interaksi gp120CD4+ akan diperkuat oleh koreseptor CCR5 dan CXCR4. Ikatan tersebut mencetuskan perubahan pada selubung gp 120 yang mengakibatkan fusi antarmembran envelope virus dengan sel host. Reaksi fusi ini dapat terjadi pada plasma membran melalui endositosis termediasi reseptor. Reaksi fusi membran menyebabkan penetrasi nukleokapsid virus masuk ke sitoplasma dan memulai proses infeksi (Groozman dkk, 2006). Pada tahap ini akan terjadi dua bentuk infeksi HIV-1 pada sel T CD4+ pre-resting G0 [inaktif]. Yang pertama adalah akan terdapat kelompok sel dengan un-integrated viral double-stranded cDNA [dscDNA] sehingga membentuk pre-integrasi laten. Sedangkan pada sel T CD4+ pre- resting G0 [inaktif] yang mengalami aktivasi sub-optimal, dscDNA akan sukkses berintegrasi dengan genom sel host, untuk membentuk post-integrasi laten (Coiras dkk, 2009). Ekspresi gen HIV-1 sangat tergantung pada induksi faktor transkripsi sel host,yang secara transien akan diaktivasi akibat paparan Ag (Duh dkk, 1989; Nabel dan Bal timore, 1987; Tong Starksen dkk, 1987). Ekspresi gen virus akan secara otomatis akan dihentikan ketika sel T CD4+ sudah berada pada fase resting G0 [inaktif]. Yang

dihasilkan dalam proses ini adalah sel laten reservoir yang stabil dengan tanpa proses replikasi untuk membentuk progeni virus baru di dalam sel T CD4+ resting G0 [inaktif], sehingga mampu untuk bertahan untuk jangka waktu yang lama (laten). Oleh karena itu, fase laten HIV-1 mengeksploitasi karakteristik fundamental dari sistem imun, yaitu memori imunologi yang bertempat pada sel T limfosit CD4+ yang mengalami fase resting G0 yang lama (Persaud dkk, 2003; Coiras dkk, 2009; Marcello, 2006; Shen dan Siliciano dkk, 2008).

Gambar 5. Proses pembentukan dan pemeliharaan sel laten reservoir pada sel T CD4+ memori pada fase resting G0 [inaktif]. (a) Limfoblast CD4+ (merah) sangat rentan untuk terjadi infeksi dan mengalami apoptosis setalah beberapa hari pasca infeksi. Sel laten terinfeksi dengan non atau integrasi DNA HIV-1 terjadi ketika sel Limfoblast CD4+ dalam proses untuk menuju resting G0 [inaktif]. Sel laten reservoir ini dipelihara oleh satbilitas intrinsik seperti proses renewal proliferatif. (b). Infeksi HIV-1 pada sel T CD4+ naf akan menghasilkan dua bentuk sel laten, yaitu pre-dan post integrasi CD4+.

Peran Gen Env dan Nef pada Mekanisme Patogenesis dan Tingkat Virulensi HIV-1 Protein nef merupakan salah satu contoh dari non-struktural protein dari HIV-1. Protein nef terletak pada 3end dari genom virus, overlaping dengan 3LTR (Harris, 1996). Dari namanya, protein nef adalah protein faktor negatif [Negative Factor] yang dalam perkembangan penelitian berikutnya hingga sekarang lebih dikenal sebagai faktor positif dalam penentuan tingkat virulensi virus HIV-1. Protein nef termasuk protein kecil, hanya terdapat pada HIV-1/2 dan SIV. Protein ini tersusun atas beberapa bagian yaitu domain inti [core domain], N-terminal yang berfungsi untuk melekat pada membran sel inang, dan C-terminal loop yang berfungsi untuk berikatan dengan molekul-molekul sinyal dalam sel. Aktivasi nef melalui mekanisme phosphorilasi pada N-terminal sehingga protein Nef akan teraktivasi menjadi bentuk terbuka. Kemudian bagian C-terminal loop mengalami pengikatan dengan molekul jalur pensinyalan endositosis. Setelah menngalami phosporilasi dan terkativasi, makan protein Nef dapat melakukan fungsi regulator. Protein nef sebagai regulator berperan dalam memodulasi CD4+ MHC kelas I dan CD28 sehingga berfungsi menghindar dari mekanisme imun tubuh. Modulasi CD4+ oleh protein nef terjadi melalui 2 tahap. Pada tahap pertama protein nef berfungsi dalam menghambat interaksi antara CD4+ dengan APCs. Interaksi antara domain ekstraseluler CD4+ dan domain non-polimorfik region dari molekul kelas II MHC pada APCs serta menstabilkan interaksi antara reseptor sel T (TCR) dan molekul kelas II. Dengan menurunkan konsentrasi dari CD4+, nef mencegah aktivasi sel T melalui reseptor sel T atau memberikan sinyal transuksi yang tidak tepat. Pada tahap yang kedua, nef akan menghambat sinyal transduksi CD4+ ke reseptor sel T. Melalui fingsi ini, HIV-1 mampu mempertahankan jumlah virus dalam sel inang dan meningkatkan progresivitas HIV-1 menjadi AIDS. Tinjauan Farmakologi Rekombinan Virus Semliki Forest [rSFV] Virus Semliki Forest (SFV) adalah virus RNA rantai positif yang berasal dari genus Aphavirus, famili Togaviridae (Atkins dkk, 1999). Terdapat dua subtipe SFV yakni

SFV L10 dan A7 (Onate dkk, 2005). Perbedaan keduanya terletak pada kapasitas virulensi. Varian L10 bersifat neurovirulen pada tikus yang mampu menyebabkan ensefalitis dan demielinasi neuron hingga menyebabkan mortalitas (Fleeton dkk, 1999). Sedangkan subtipe A7 bersifat avirulen sehingga tidak patogen (Onate dkk, 2005). Tidak seperti varian Togavirus lainnya, SFV tidak menginfeksi manusia, walaupun pernah menyebabkan wabah demam ringan (Atkins dkk, 1999; Mathiot dkk, 1990). Klon SFV (L10 dan A7) dibentuk dari hasil transkripsi strain prototipe pSP6-SFV4 (disebut SFV4) [Glasgow dkk, 1991]. Berbagai penelitian terhadap SFV menunjukkan potensi pemanfaatan SFV sebagai vektor vaksin rekombinan (Berglund dkk, 1997; Forsell dkk, 2005; Schoenly dan Weiner, 2008). Hal ini dimungkinkan melalui rekonstruksi biomolekuler yang relatif simpel dibandingkan strain virus lain (Thompson dkk, 2006). Vektor vaksin rekombinan SFV (rSFV) unggul karena kompatibilitas yang baik dengan banyak jenis sel target (dalam hal ini sel-sel imun, yakni: sel T CD4+, sel dendritik, monosit, dan makrofag), mampu memproduksi protein antigen dalam jumlah besar, jarang terpapar pada manusia sehingga tidak menimbulkan reaksi imunitas pendahulu, serta kemampuan menginduksi imunitas innate dan adaptif (Schoenly dan Weiner, 2008). SFV memiliki 9 protein fungsional, masing-masing 5 protein struktural dan 4 protein non-struktural (Atkins dkk, 1999). Protein non-struktural berfungsi dalam sintesis RNA sedangkan protein struktural berperan dalam sintesis kapsid (protein C) dan selubung virus (protein E1, E2, dan E3) [Liljestrm dkk, 1991]. Protein struktural disandi oleh RNA subgenomik 26S, sedangkan protein non-struktural ditranslasi oleh RNA subgenomik 42S. Protein struktural dan non-struktural dibentuk dari prekursor melalui jalur pemotongan pos-translasi yang terpisah (Strauss dan Strauss, 1994). Produksi vektor rSFV melibatkan beberapa tahapan modifikasi genetik. Pertama, dilakukan pemotongan region gen SFV yang menyandi fenotip infeksius. Kemudian, gen spesifik yang menjadi target produksi (dalam hal ini Eiss-gp120) direkatkan pada region gen infeksius SFV yang telah dipotong (Forsell dkk, 2007). RNA hasil penggabungan ditambahkan gen helper C (S219A) dan S melalui delesi RNA

penyandi sinyal packaging (yakni penanda yang dibutuhkan protein kapsid untuk memulai proses enkapsidasi) [Atkins dkk, 1999]. Penambahan gen helper dan delesi sekuens RNA packaging (RNA struktural) memungkinkan rSFV-Eiss-gen spesifik dilepas secara ekstraseluler berupa partikel tanpa kapsid untuk mencegah produksi virus infeksius yang terjadi akibat translasi sekuens RNA SFV yang lengkap (Smerdou & Liljestrm, 1999).

Gambar. (a) Genom prototipe SFV pSP6-SFV4 (SFV4), (b) sistem vektor rSFV: panah menunjukkan promoter yang dikenali replikase viral dalam proses transkripsi RNA subgenomik yang menyandi protein struktural. Pada vektor, insersi gen spesifik dilakukan setelah pemotongan region infeksius (Atkins dkk, 1999).

You might also like