You are on page 1of 24

A.

Teknik Teknik Konseling Konseling mengandung suatu proses komunikasi antarpribadi yang berlangsung melalui saluran komunikasi verbal dan nonverbal. Dengan menciptakan kondisi positif seperti empati, penerimaan serta penghargaan, keikhlasan sera kejujuran, dan perhatian yang tulen (facilitative conditions), konselor memungkinkan konseliuntuk merefleksi atas diri sendiri serta pengalaman hidupnya, memahami diri sendiri serta situasi kehidupannya dan,berdasarkan itu,menemukan penyelesaian masalah yang dihadapi. Melalui berbagai tanggapan verbal dan reaksi nonverbal, konselor mengkomunikasikan kondisi positif itu kepada konseli, sehingga konselimenyadari adanya kondisi pendukung dan karenanya bersedia pula untuk berkomunikasi dengan konselor. Kondisi serasi dapat dapat dikomunikasikan melalui suatu teknik nonverbal, seperti sikap badan dan pandangan mata. Bantuan yang diberikan konselor meliputi baik penciptaaan serta pembinaan seluruh kondisi (core condition) maupun struktur serta organisasi pada pembicaraan, sehingga konseli secara bertahap dapat menemukan penyelesaian atas masalah yang dihadapinya. Tanggapan batin merupakan dasar bagi konselor di dalam tanggapan verbal dan suatu reaksi nonverbal kepada konseli, 1. Teknik Teknik Konseling Verbal Suatu teknik konseling verbal adalah suatu tanggapan verbal yang diberikan oleh konselor, yang mewujudkan konkert dari maksud, pikiran, dan serta perasaan yang terbentuk dalam batin konselor (tanggapan batin) untuk membantu konseli pada saat tertentu. Wawancara konseling terdiri atas rangkaian ungkapan dipihak konseli yang disusul dengan ungkapan ungkapan dipihak konselor: setiap ungkapan konseli disusul dengan suatu ungkpan dipihak konselor. Ungkapan konselor yang berupa tanggapan verbal dengan maksud membantu konseli dapat berupa satu atau lebih teknik yang verbal, tergantung dari intense konselor seperti: 1. Menunjukan penerimaan. 2. Memantulkan perasaan. 3. Memantulkan pikiran dan memberikan informasi serta menanyakan hal tertentu. Tanggapan verbal konselor dapat dituangkan dalam bentuk pernyataan atupun dalam bentuk pertanyaan atau dalam bentuk kombinasidari pernyataan dan pertanyaan.Teknik

konseling yang digunakan tergantung dari intense konselor yang terdapat dibelakang kata kata yang diucapkan. Khusus kalimat tanya, perlu dibedakan antara bentuk pertayaan terbuka (open question) dan pertanyaan tertutup (close question). Dalam kalimat tanya yang mengandung pertanyaan terbuka, konselor memberikan kesempatan kepada konseli unyuk menanggapi secara luas dan memberikan ulasan menerutu ketentuan dan kesukaan sendiri, sehingga tanggapan ini tidak dapat diberikan dalams satu dua kata. Contahnya,bila lonselor berkata: Bagaimana perasaanmu pada saat itu? Selanjutnya bagaimana?,konseli diharuskan untuk memberikan tanggapan yang panjang. Pada kalimat tanya yang mengandungpetanyaan tertutup, konselor

mengharapkantanggapan terbatas yang cukup tertuangkan dalam satu-dua kata saja, sesuai dengan hal dan segi tertentu yang ditanyakan. Misalnya, bila konselor bertanyaan: Apa perasaanmu pada saat itu?, cukup jawab Sedih Wawancar yang corak demikian membuat konseli mengambil sikap pasif. Konselor juga harus berhati hati dalam memulai suatu kalimat tanya dengan mengapa atau kenapa. Penggunaan kedua kata itu mengandung banyak bahaya karena konseli mendapat kesan dia diminta pertanggungjawaban atau konselormenyatakan kebenaran atas keheranannya atas hal yang sudah terjadi, bahkan secara implicit dia diadili; kalau konseli mendapat kesan demikian,mungkin sekali konseli cenderung membela diri daripada memberikan gambaran yang sejujurnya. Misalnya kalimat tanya: Mengapa kamu menjadi marah?, mudah merangsang konseli menghindari, apalagi bila nada konselor mengandung suatu tuduhan sehingga terdengar: Mengapa, sih kamu menjadi marah?. Kalimat tanya mengapa dan kenapa dapt diubah menjadi Kiranya ada alas an untuk menjadi marah: coba jelaskan atau Alasan apa yang mendorong Anda untuk marah? Oleh Karen itu hendaknya pemggunaan kata-kata Mengapa atau Kenapa sebaiknya dihindari; kalau toh digunakan, hendaknya konselor waspada terhadap nada bicaranya, jangan sampai mengandung tuduhan, tuntutan pertanggungjawaban, atau keheranan. Selama ini tidak asa pembakuan dalam hal sistematika pengaturan teknik teknik dan dalam hal peristilahan yang digunalan, akan ditemukanperbedaan dalamcara menyusun daftar aneka teknik verbal dan cara pembahasannya daftar teknik itu. daftar inidisusun mengingat urutan fase yang umumnya terdapat dalam konseling, yaitu: fase pembukaan; fase konseli mengungkapkan masalah; fase konselor bersama konseli menggali masalah dan berusaha

memperoleh gambaran yang lengkap serta cukup mendalam; fase memikirkan bersaabentuk penyelesaian masalah yang paling tepat, dengan membuat pilihan diantara alternative atau meninjau kembali sikap dan pandangan demi penyesuaian diri yang lebih baik; dan fase penutup. Teknik verbal dengan nomor a-i mengandung pengarahan sedikit lebih sesuai dengan metode nondirektif dan j-u pengarahan lebih sesuai dengan motode direktif. a) Ajakan untuk Memulai (Invitation to talk) Pada akhir fase pembukaan konselor mempersilahkan konseli untuk memulai menjelaskan masalah yang ingin dibicarakan. Konselor dapat berkarta: Apa yang ingin Saudara bicarakan sekarang?, saya dapat membantu dalan hala apa?; kiranya ada sesuatu yang ingin anda bicara dengan saya?; dan sebagainya. b) Penerimaan/Menunjukan Pengertian (Acceptance, Understanding) Konselor menyatakan pengertian atau penerimaannya terhadap hal yang terungkapkan, misalnya dengan mengatakan: Saya mengerti; Ya y; dan sebagainya. c) Perumusan Kembali Pikiran Gagasan / Refleksi Pikiran (Reflection of Content) Menyangkut komponen pengalaman dan komponen refleksi dalam pesan konseli; disebut pikiran gagasan karena subjek menggunakan suatu bentuk representasi mental. Peristiwa / kejadian/ pengalam, gagasan dan perasaan dipihak orang lain, atau pendapat / pandangan konseli sendiri terhadap apa yang terjadi (kompone refleksi), yang telah terungkap secara eksplisit oleh konseli, dirumuskan kembali oleh konselor dalam bentuk: 1. Menggunakan kata kaata sendiri (paraphrase); 2. Menggunakan akta kata konseli (restatement). Dalam pemantulan kembali konselor tidak boleh menambahkan atau mengurangi apa yang telah diungkapkan oleh konseli, baik dalam makna maupun bobotnya. d) Perumusan Kembali Perasaan / Refleksi Perasaan (Reflection of Feeling) Menyangkut komponen afektif dalam pesan konseli. Konselor memantulkan kembali kepada konseli perasaan tentang kejadian atau pengalaman yang telah diungkapkan secara verbal maupun secara nonverbal, namun jelas dan eksplisit. Pemantulan perasaan

tersebutdirumuskan dalam bentuk restatement atau dalam bentuk parafase. e) Penjelasan Pikiran Gagasan / Klarifikasi Pikiran (Clarification of Content)

Konselor merumuskan secara eksplisit kepada konseli apa yang telah diungkapkan nya secara implicit; dan sekaligus minta umpan balik dari konseli, apakah penangkapannya tentang isi dan makna dari pesan yang telah diungkap secara implicit itu memang tepat. Unuk itu konselor dapat bekata sebagai berikut apakah saudara ingin mengatakan., Betulkah demikian dan sebagainya. Jelaskan bahwa penjelasan (clarification) ini agak bersifat tentatif, artinya meraba atau menduga; maka konseli diminta untk memberikan umpan balik kepada konselor, apa penagkapan konselor memang tepat. f) Penjelasan Perasaan / Klarifikasi Perasaan (Carification of Feeling) Konselor ingin mengecek apakah ia telah menagkap dengan tepat isi dan bobot / kedalaman perasaan yang secara implisit telah diungkapkan oleh konseli. Ungkapan perasaan implicit dapat terjadi secara verbal ataupun secara verbal tak langsung. Secara eksplisit konselor mereumuskan kepada konseli perasaan apa yang kiranya dialami (underlying feeling = perasaan latar belakang). Penjelasan juga masih bersifat tentative sampai konseli

memberikan umpan balik, bahwa penangkapan konselor memang tepat. Dengan kata lain konselor mengadakan apa yang disebut peceprion check paraphrase. g) Permintaan untuk Melanjutkan (General Lead) Konselor mempersilahkan konseli utuk memaberikam ulasan/ penjelasan lebih lanjut mengenai sesuatu yang telah dikemikakan; isi ulasan / penjelasan dan arahnya kemana terserah kepada konseli, contoh: Coba Saudara jelaskan lebih lanjut tentang diri saudara. h) Pengulangan Satu Dua kata (Accent) Konselor mengulang satu atau dua kata kunci dari pernyataan konseli dalam bentuk kalimat tanya, dengan tujuan supaya konseli memberikan penjelasan lebih lanjut. i) Ringkasan / Rangkuman (Summary) Secara singkat dan dalam garis besar, konselor merumuskan apa yang telah dikatakan. Megenai isi terdapat empat kemungkinan berikut: 1. Pikiran dan gagasan yang telah dikemukakan oleh konseli sampai sekarang. 2. Sejumlah perasaan yang telah diungkapkan oleh konseli sampaisekarang 3. Inti pembincaraan antara konseli dan konselor samapai sekarang. 4. Inti pembicaran selama wawancara (ringkasan pada akhir wawancara). dengan menggunakan bentuk

j) Pertanyaan Mengenai Hal tertentu (Questioning/Probing). Kalimat Tanya ini dapat mengandung pertanyaan terbuka atau pertanyaan tertutup; pada umumnya lebih baik digunakan pertanyaan terbuka. Hal yang ditanyakan dapat mengenai sesuatu yang perlu diketahui oleh konselor untuk mendapat gambaran yang lebih lengkap,misalnya: Saudara belajar dirumah dari jam berapa sampai jam berapa?;Jumlah saudara sekandung ada berapa?. Dalam hal ini konselor minta informasi faktual. Pertanyaan juga dapat mengenai contoh yang harus diberikan oleh konseli, misalnya: Apakah kamu dapat memberikan contoh tentang hal yang sering menimbulkan pertengkaran dengan adik?; dengan jalan bagaimana kakak mencampuri urusanmu?. Pertanyaan dapat berupa meminta penjelasan atas istilah atau kata tertentu yang dipakai oleh konseli, misalnya: Apa yang dimaksudkan dengan semiprofesional?; Apa yang kamu maksud dengan berkata terangsang ?. pertanyaan-pertanyaan ini akan paling sering diajukan selama fase penggalian latar belakang masalah. Mengajukan suatu pertanyaan dapat relevan juga di fase penyelesaian masalah dan fase penutup. Misalnya, di fase penyelesaian masalah konselor dapat minta tanggapan atas pertanyaan tertentu untuk mengarahkan pikiran konseli, sepertiPandanganmu sekarang sebaiknya bagaimana?;Kalau anda berbuat begitu, apakah kesukarannya teratasi?. Pada akhir wawancara yang masih akan di lanjutkan pada lain waktu, konselor dapat bertanya: Kapan sebaiknya kita bertemu kembali?. k) Pemberian Umpan Balik (Feedback) Dalam hal ini konselor menyampaikan kepada konseli pikiran atau perasaanya sendiri tentang sikap konseli selama wawancara berlangsung atau mengenai kemajuan yang telah dicapai dalam proses konseling. Pikiran atau perasaan itu dituangkan dengan jujur dan secara konkret, sehingga konseli tidak ragu-ragu akan apa yang dimaksud oleh konselor. Secara implicit pemberian umpan balik dapat mengandung pujian atau celaan. Disini konselor memberikan umpan balik atas prakarsanya sendiri dan tidak minta umpan balik dari konseli, seperti terjadi pada sejumlah teknik yang lain. l) Pemberian Informasi (Information Giving) Konselor menyampaikan pengetahuan tentang sesuatu kepada konseli; sesuatu yang sebaiknya diketahui, namun ternyata belum diketahuinya. Penyampaian pengetahuan ini tidak mengandung unsur saran. Misalnya,konselor menerangkan syarat-syarat masuk ke PT negeri dan swasta; menerangkan ciri-ciri khas masa remaja;menjelaskan arti skor dalam tes.

Pemberian informasi ini lebih baik tidak disebut penjelasan supaya tidak dikacaukan dengan Penjelasan seperti dalam butir (e) dan (f). m) Penyajian Alternatif (Forking Response) Konselor mengemukakan beberapa alternatif; konseli diminta untuk memilih salah satu.Contoh Kr: Tekad Saudara untuk menjadi seorang dokter ini dapat bersumber pada keinginan untuk menjadi kaya; dapat juga berpangkal pada kerelaan mengabdi kepada sesame manusia. Mana kiranya yang mendorong Anda?. n) Penyelidikan (Investigation) Konselor mengajak konseli untuk bersama-sama menyelidiki berbagai alternatif yang dapat dipilih, meninjau bersama-sama alasan pro dan kontra pada masing-masing alternatif, memprakirakan segala akibat yang kiranya timbul jika alternatif tertentu dipilih. Untuk itu biasanya sangat perlu lebih dulu menentukan alternatif alternatif yang ada( inventarisasi). Teknik ini paling sering digunakan dalam fase penyelesaian masalah yang memungkinkan beberapa alternatif pemecahan,dalam rangka apa yang disebut decision making .Contoh Kr:Apa keuntungan bagi anda kalau memilih program studi arsitektur?,lalu apa kerugiannya? Kr: Bagaimana? Apakah saudara masih melihat kemungkinan lain? o) Pemberian struktur (Structuring) Konselor memberikan petunjuk tentang urutan langkah berfikir atau urutan tahap dalam pembicaraan yang sebaiknya diikuti, supaya akhirnya sampai pada pemecahan atau penyelesaian masalah. p) Interpretasi (Interpretation) Kepada konseli diutarakan arti atau makna dari kata-katanya atau perbuatannya. Teknik interpretasi menggali lebih dalam daripada teknik penjelasan. Pada teknik penjelasan konselor memperjelas pikiran atau perasaan yang telah terungkap secara implisit; kalau persepsi konselor tepat,konseli akan membenarkannya. Konselor tidak menambah sesuatu pada apa yang telah terungkap,hanya memperjelasnya. Konseli setengah-setengah sudah menyadari pikiran atau perasaan itu(subsconcious). Pada teknik interpretasi konselor menambahkan sesuatu pada hal-hal yang sudah terungkap dan yang belum disadari oleh konseli(unconscious). Konselor menggali arti dan makna yang

terdapat dibelakang kata-kata konseli atau dibelakang perbuatan atau tindakannya yang telah diceritakan. Berdasarkan kesan-kesannya selama wawancara berlangsung, dengan didukung oleh pengalamannya dalam bergaul dengan orang serta pemahaman psikologis, konselor menunjukkan motif yang biasanya mendasari tingkah laku orang serta sumber kebutuhan psikologis yang menjadi ujung pangkal motivasi itu. Pemberian interpretasi dapat membantu konseli untuk lebih memahami diri sendiri, kalau konseli bersedia mempertimbangkannya dengan pikiran terbuka. Namun, suatu interpretasi dapat pula meniggalkan kesan pada konseli, bahwa konselor lebih mengenal konseli daripada dia mengenal diri sendiri; kesan yang demikian pada gilirannya dapat menimbulkan sikap defensif. Oleh karena itu, interpretasi harus diberikan dengan cara yang bijaksana dan pada saat yang tepat, bila konselor cukup yakin interpretasinya akan diterima dengan baik. Sebaiknya konselor mengemukakan lebih dahulu kata-kata atau tindakan konseling yang melandasi pemberian interpretasi; baru kemudian menawarkan interpretasinya sebagai kemungkinan dengan disertai permintaan umpan balik, sehingga konseling bebas untuk menerimanya atau menolaknya. Tentu saja konselor harus cukup yakin pula mengenai ketepatan interpretasi yang akan diberikan, tanpa maksud memamerkan pengetahuan dibidang ilmu psikologi. Contoh Kr :Tadi saudari mengatakan,merasa sangat sukar memilih antara pemuda A dan pemuda B. apakah mungkin kesukaran itu timbul karena status sosial pemuda A akan menaikkan gengsi Saudara,sedangkan Pemuda B akan membuat saudara merasa puas karena mendapatkan kehangatan? Bagaimana menurut pendapat saudari?. Kr :Anda mengatakan tadi bahwa anda merasa malu berbadan gemuk. Anda juga mengatakan di lain saat, bahwa anda kerap berkata-kata kasar terhadap teman-teman dan suka membeberkan kepada mereka semua kesalahan yang mereka perbuat. Apakah mungkin semua itu hanyalah merupakan siasat yang anda gunakan untuk menutupi rasa malu itu? Bagaimana pendapat anda?. q) Konfrontasi (Confrontation) Konselor mengarahkan perhatian konseli atas beberapa hal yang menurut pandangan konselor tidak sesuai satu sama lain. Ketidaksesuaian atau ketidak cocokan terdapat diantara dua hal yang telah dikatakan oleh konseli (inconsistency), atau diantara ungkapan verbal dan nonverbal konseli(kontradiksi) ,atau diantara kata-kata dan tindakan konseli(inconsistency).

Biasanya konseli belum menyadari ketidakcocokan itu; maka konselor menyadarkannya dengan maksud supaya konseli menghadapi diri sendiri secara lebih jujur. Penggunaan teknik ini pun menuntut kebijaksanaan baik dalam cara merumuskan maupun dalam memilih saat yang tepat. Suatu konfrontasi dapat mengejutkan konseli dan menimbulkan sifat defensif. Sebaiknya konselor mengemukakan lebih dahulu kata-kata yang didengarkan atau perilaku yang diamatinya, yang melandasi ketidakcocokan itu, baru kemudian ditunjukkan unsur ketidakcocokan dengan disertai permintaan umpan balik, sehingga konseling bebas untuk menerima atau menolak. Apa alasannya ketidaksesuaian itu timbul, tidak disinggung oleh konselor; alasan itu dapat dibicarakan kemudian setelah konseli mengetahui adanya ketidaksesuaian itu. Tentu saja konselor harus cukup yakin tentang apa yang ditunjukkan sebagai pertentangan dan tidak boleh bicara nada mengadili menuduh,atau memamerkan ketajaman pengamatannya. Contoh (1) Kontradiksi antara ungkapan verbal dan nonverbal: Kr : Bagaimana keadaan Saudara sekarang? Ki : Baik-baik saja semuanya berestidak ada halangan apa-apa.(berbicara sangat lambat ,dengan nada suara rendah, bermuka suram,tunduk kepala). Kr :Maaf ya. Saudara berkata: semua baiktetapi cara saudara berbicara mencerminkan rasa sedih. Ini kiranya bagaimana? (2) Ketidakcocokan antara kata-kata dan tindakan konseli: Kr :Anda tadi berkata tidak suka bertele-tele; tetapi,maaf ya,selama pembicaraan ini anda terus berbicara bertele-tele. ini kiranya bagaimana? (3) Pertentangan antara dua hal yang dikatakan oleh konseli: Kr ;Tadi saudara berkata beberapa kali, bahwa sewaktu dirawat dirumah sakit ingin segera pulang. Sekarang ini saudara menyatakan keseganan untuk berkumpul dengan keluarga dan ingin tinggal ditempat lain. Apakah disini tidak terdapat sesuatu yang ganjil? (4) Kr :Tadi saudara mengatakan bahwa saudara menuntut dari pacar, agar ia menceritakan semua pengalamannya dengan bekas pacarnya, termasuk semua penyelewengannya. Kemudian saudara menyatakan tidak suka, jika pacar saudara yang sekarang ini menanyakan

riwayat hidup saudara dalam hal percintaan. Menurut saudara bagaimana? Apakah kedua hal itu tidak bertentangan satu sama lain, ditinjau dari kesamaan hak antara pria dan wanita? r) Diagnosis (Diagnosis) Konselor menyatakan pada konseli apa yang menjadi inti masalah dan/atau mengapa masalah itu timbul. Konselor memanfaatkan semua data yang diperolehnya, baik yang diperoleh dari hasil testing psikologis maupun yang diperoleh dari konseli sendiri secara langsung atau diperoleh dari orang lain. Konselor sampai pada diagnosis tertentu setelah semua data yang tersedia dihubungkan satu sama lain. Sebaiknya konselor minta umpan balik dari konseli, supaya dia terlibat pula dalam proses pemikiran. Contoh Kr : rasa jijik pada warna merah yang kerap saudara alami kiranya bersumber pada pengalaman yang saudara ceritakan tadi, ketiaka menolong seseorang korban kecelakaan dan pakaian saudarapun kena darah. Kiranya demikian?. s) Dukungan/Bombongan (Reassurance/Support) Konselor memberikan semangat dan keyakinan pada konseli, lebih-lebih pada saat segalanya terasa sulit. Konselor dapat membesarkan hati memberikan/menunjukkan harapan, supaya konseli tidak kehilangan semangat. Namun, perlu diperhatikan agar bombongan itu tidak bertele-tele atau berlebihan, dan menimbulkan kesan pada konseli bahwa dia masih dianggap sebagai anak kecil. Dalam kata-katanya konselor harus hati-hati, jangan sampai memberikan kepastian yang sebenarnya tidak dapat diberikan, misalnya dengan mengatakan:pasti semuanya akan baik dan berhasil,atausaya yakin,bahwa saudara akan berhasil. Contoh Kr : Pada mulanya akan sedikit sukar melaksanakan keputusan itu; tetapi sekali mulai melangkah anda akan melihat sendiri, bahwa kiranya semuanya tidak sesukar yang anda bayangkan pada saat sekarang. Kr : Nah, Anda sendiri menyatakan keinginan untuk menyelesaikan persoalan salah paham antara anda dan pacar. Apakah keinginan ini tidak menimbulkan harapan pula, bahwa persoalan ini dapat diselesaikan secara memuaskan, bagaimana? t) Usul /saran (Suggestion/Advice) Konselor memberikan nasihat agar konseli mengambil tindakan tertentu atau memilih cara A daripada cara B. ada konseli yang kadang-kadang membutuhkan hal ini,lebih lebih bila dia

sedang keadaan bingung. Konselor yang berpengalaman tidak akan ragu-ragu menggunakan teknik ini,tetapi dia harus sangat bijaksana dalam menentukan terhadap siapa dan kapan teknik ini sebaiknya digunakan. Nasihat biasanya baru diberikan dalam fase penyelesaian masalah, bila seluk beluk permasalahannya sudah jelas dan konselor yakin bahwa usul dan sarannya memang sesuai dengan keadaan konseli. Namun, nasihat harus diterima baik oleh konseli dan diyakini kecocokannya; untuk itu koselor minta umpan balik. Bujukan (persuasion) adalah saran yang disertai desakan kuat untuk menerimanya dan

melaksanakannya namun konseli tidak boleh merasa dikejar-kejar atau dipaksa. Contoh Kr :Seandainya saudara mencari kesempatan untuk berbicara terus terang pada orang tua mengenai hal ini, pada waktu orang tua tidak terlalu sibuk,misalnya pada hari libur. Bagaimana? Kr : Coba ya,saya ada usul:mengambil tes minat di lembaga testing yang sudah lama menjalin hubungan kerjasama dengan sekolah kita. Bagaimana menurut pendapatmu? u) Penolakan (Criticism, Negative Evaluation) Konselor menyatakan pendapatnya berdasarkan pertimbangan obyektif, yang bersifat monolak pandangan, tindakan, atau rencana konseli. Teknik ini hanya boleh digunakan jika hubungan antara konseli dengan konselor sangat baik, sehingga komentar negatif dari konselor tidak akan merusak hubungan. Konselor yang bertugas di institusi pendidikan dapat mempunyai pertimbangan tertentu sebagai dasar yang membenarkan penggunaan teknik ini, missal pertimbangan moral dan pedagogis. Contoh: pendapatmu, bahwa orang yang sudah berpacaran lama harus melakukan hubungan intim untuk melihat apakah mereka cocok dalam bidang seksual, harus ditolak karena melanggar norma moralitas!. Teknik-teknik konseling verbal harus digunakan secara luwes dan lama-kelamaan diterapkan secara spontan, oleh Karen aitu dibutuhkan pengalaman di lapangan yang cukup lama. Serangkaian latihan terarah dalam rangka praktikm konseling dapat membiasakan mereka dengan penggunaan teknik-teknik ini sebagaimana mestinya. Banyak calon konselor mengalami kesulitan dalam mengenali pikiran serta perasaan yang terungkap, baik secara eksplisit maupn

secara implicit. Yaitu dengan demikin timbul kesulitan pula dalam merumuskan tanggapan verbal berupa Refleksi Pikiran, Refleksi Perasaan, Klarifikasi Perasaan dan Klarifikasi Pikiran. Konselor dapat lebih memperhatikan ungkapan pikiran atau lebih memperhatikan ungkapan perasaan dalam menanggapi pesan konseli. Mengutamakan ungkapan perasaan atau mengutamakan ungkapan pikiran, masing-masing mengandung pro dan kontra. Dalam memberikan pemantulan perasaan melalui teknik refleksi dan klarifikasi, konselor harus mendeskripsikan perasaan yang dialami konseli. Untuk membantu konselor

mendeskripsikan perasaan konseli dengan menyebutkan nama perasaan psikologi tersebut, ada dua daftar nama perasaann, dengan menggolongkan semua perasaan itu dalam kelompok perasaan senang dan perasaan tidak senang. Namun, perlu dicatat bahwa kata merasa dalam bahasa percakapan sehari-hari tidak selalu menunjukkan pada ungkapan perasaan. 2. Teknik-Teknik Konseling yang Nonverbal Menurut Mehrabian dalam bukunya Silent Messages (1981), istilah perilaku nonverbal dapat diartikan secara sempit dan secara luas. Dalam arti sempit perilaku nonverbal menunjuk pada reaksi atau tanggapan yang dibedakan dari berbahasa dengan memakai kata-kata, misalnnya ekspresi wajah, gerakan lengan dan tangan, isyarat dan pandangan mata, sikap badan, anggkan kepala, berbagai gerakan tungkai kaki dan tangan. Dalam arti luas perilaku nonverbal, di samping hal-hal yang disebutkan di atas juga menunjuk pada gejala-gejala vocal yang menyertai ucapan kata-kata, seperti kekeliruan pada waktu berbicara, saat-saat diam, kecepatan berbicara, lamanya berbicara, volume suara, intonasi dan nada berbicara; selain itu juga termasuk berbagai cara membawa diri dan penampilan, seperti berjalan, duduk, cara berpakaian, cara menata rambut, penggunaan kosmetika, dan perhiasan, menyentuh, sinkronasi antara bicara dan

bergerak, perlengkapan kantor, perabot di dalam rumah, hiasan-hiasan di ruang, dan sebagainya. Teknik-teknik nonverbal antara lain: a. Senyuman: untuk menyatakan sikap menerima, misalnya pada saat menyambut kedatangan konseli. b. Cara duduk: untuk menyatakan sikap rileks dan sikap mau memperhatikan, missal membungkuk ke depan, duduk agak bersandar.

c. Anggukan kepala: untuk menyatakan penerimaan dan menunjukkan pengertian. d. Gerak-gerik lengan dan tangan: untuk memperkuat apa yang diungkapkan secara verbal. e. Berdiam diri: untuk memberikan kesempatan kepada konseli berbicara secara leluasa, mengatur pekirannya atau menenangkan diri. f. Mimik (ekspresi wajah, roman muka, air muka, raut muka): untuk menunjang atau mendukung dan menyertai reaksi-reaksi verbal. g. Kontak mata (konselor mencari kontak mata dengan konseli): untuk menunjang atau mendukung tanggapan tanggapan verbal dan/ menyatakan sikap dasar, cara menatap muka konseli haruslah sesuai dan wajar. 1. Pendekatan afektif a. Psikoanalsis Pesikoanalisis yang bersumber pada sederetan pandangan Sigmund Freud dalam abad 20 mengalami perkembangan yang pesat. Terapi psikoanalisis berusaha membantu individu untuk mengatasi ketegangan psikis yang bersumber pada rasa cemas dan rasa terancam yang berlebihlebihan (anxiety). Sebelum orang datang pada ahli terapi, dia telah berusaha untuk menghilangkan ketegangan itu, tapi tidak berhasil. Menurut pandangan Freud, setiap manusia didorong-dorong oleh kekuatan irassional didalam dirinya sendiri, dan oleh kebutuhankebutuhan alamiah yang bersifat biologis dan naluri. Bilamana beraneka dorongan itu tidak selaras dengan apa yang diperkenankan serta diperbolehkan menurut kata hati atau kode moral seseorang, timbul ketegangan psikis yang disertai kecemasan dan ketidaktegangan tinggi. Kalau seseorang tidak berhasil mengontrol dan membendung kecemasan itu dengan suatu cara yang rasional dan realistis, dia akan menggunakan prosedur yang irasional dan tidak realistis, yaitu menggunakan mekanisme pertahanan diri demi menjaga keseimbangan psikis dan rasa harga diri, seperti rasionalisasi, penyangkalan, proyeksi dan sebagainya. Selama terapi konseli menerapkan terhadap konselor corak hubungan antarpribadi sama seperti dilakukannya dimasa lampau terhadap orang-orang yang berperan penting dalam hidupnya. Dengan kata lain, perasaan terpendam terhadap orang tertentu serta segala konflik yang dialami dalam berkomunikasi dengan pihak lain/orang itu, selama proses terapi dihidupkan kembali dan dilimpahkan pada konselor sebagai wakil dari pihak/orang itu (transference). Perasaan, pertentangan dan konflik yang sengaja ditimbulkan itu, kemudian diolah kembali sampai konseli menjadi sadar akan berbagai dorongan yang ternyata berperan sekali dalam kehidupannya sampai sekarang.

Kesadaran ini memungkinkan suatu perubahan keadaan dalam batin konseli dan dalam cara mengatur kehidupannya sendiri. b. Psikologi individual Aliran psikologi individual (individual psychology) dipelopori oleh Alferd Adler dan dikembangkan sebagai sistematika terapi oleh Rudolf Dreikurs dan Donald Dinkmeyer, yang dikenal dengan nama Adlerian Counselling. Dalam corak terapi ini perhatian utama diberikan pada kebutuhan seseorang untuk menempatan diri dalam kelompok sosialnya. Ketiga konsep pokok dalam corak terapi ini adalah rasa rendah diri (inferiority feeling), usaha untuk mencapai keungulan (striving for superiority), dan gaya hidup perseorangan (a persons lifestyle). Manusia kerap mengalami rasa rendah diri karena berbagai kelemahan dan kekurangan yang mereka alami, dan beruasaha untuk menghilangkan ketidakseimbangan dalam diri sendiri melalui aneka usaha mencari kompensasi terhadap rasa rendah diri itu, dengan mengejar kesempurnaan dan keunggulan dalam satu atau beberapa hal. Dengan demikian, manusia bermotivasi untuk menguasai situasi hidupnya, sehingga dia merasa puas dapat menunjukkan keunggulannya, paling sedikit dalam bayangannya sendiri. Selama proses terapi konselor mengumpulkan informasi tentang kehidupan konseli dimasa sekarang dan masa yang lampau sejak berusia sangat muda, antara lain berbagai peristiwa dimasa kecil yang masih diingat, urutan kelahiran dalam keluarga, impian-impian, dan keanehan dalam perilaku. Dari semua informasi itu, konselor menggali perasaan rendah diri pada konseli yang bertahan sampai sekarang dan menemukan segala usahanya untuk menutupi perasaannya itu melalui bentuk kompensasi, sehingga mulai tampak gaya hidup perseorangan. Selanjutnya konselor membantu konseli untuk mengembangkan tujuan-tujuan yang lebih membahagiakan bagi konseli dan merancang suatu gaya hidup yang lebih konstruktif. Dalam melayani anak muda yang menunjukkan gejala salah suai dalam bergaul dengan pihak teman disekolah, konselor berusaha menemukan perasaan rendah diri yang mendasari usaha kompensasi dengan bertingkah laku aneh, yang ternyata menimbulkan berbagai gangguan didalam kelas. Menurut pendapat Schmidt (1993) banyak unsur dalam psikologi individual cocok untuk diterapkan dalam konseli disekolah, baik dalam konseli individual maupun dalam konseli kelompok.

c. Terapi Gestalt Terapi Gestalt (Gestalt Therapy) dikembangkan oleh Fredrick Perls. Dalam corak terapi ini konselor membantu konseli untuk menghayati diri sendiri dalam kehidupannya yang sekarang dan menyadari halangan yang diciptakan sendiri untuk merasakan serta meresapi makna dari konstelasi pengalaman hidup. Keempat konsep pokok dalam terapi ini adalah penghayatan diri sendiri dalam situasi hidup yang konkret (awareness), tanggung jawab perseorangan (personal resposibility), keutuhan dan kebulatan kepribadian seseorang (unity of the person), dan penyadaran akan berbagai halangan yang menghambat penghayatan diri sendiri (blocked awareness). Konseli harus mengusahakan keterpaduan dan integrasi dari berpikir, berperasaan dan berperilaku, yang mencakup semua pengalamannya yang nyata pada saat sekarang. Konseli tidak boleh berbicara saja tentang kesulitan dan kesukaran yang dihadapi, karena berbicara itu mudah menjadi suatu permainan memutar balikan kata-kata (word game), tanpa disertai penghayatan seluruh perasaannya sendiri dan tanpa menyadari tanggungnya sendiri. Oleh karena itu, konselor mendesak konseli untuk menggali macam-macam perasaan yang belum terungkap secara jujur dan terbuka, seperti rasa jengkel, sakit hati, rasa duka cita dan sedih, rasa bersalah, rasa berdosa, rasa kesal, atau rasa diasingkan. Semua rasa itu belum pernah dibiarkan muncul kepermukaan dan masuk alam kesadaran konseli, namun berpengaruh sekali dalam kehidupan batin (unifinished business). Isi batin ini harus diterima sebagai pemilik konseli sendiri dan tanggung jawabnya sendiri dan tidak boleh dipandang sebagai tanggung jawab orang lain. Dengan demikian konseli menyadari bahwa dia telah memasuki suatu jalan buntu, tetapi sekaligus diakui bahwa seharusnya dia berdiri diatas kaki sendiri dan harus mendapat dukungan moral dari diri sendiri, bukan dari orang lain. Dengan bantuan konselor, konseli mulai mambuka jalan buntu itu dengan meninggalkan berbagai siasat untuk mendapat simpati dari orang lain, dan mulai mengambil peranan lebih aktif dalam mengatur kehidupannya sendiri. Berbeda dengan kebanyakan terapi yang lain, Terapi Gestalt membuat konseli frustasi (berada dijalan buntu), tetapi frustasi itu dipandang sebagai landasan bagi usaha baru yang lebih konstruktif. Dengan kata lain, mengakui kegagalan dalam diri sendiri adalah cerminan bagi diri sendiri pula. d. Konseli Eksistensial Aliran konseling eksistensial (existential counseling) tidak terikat pada nama salah seorang pelopor. Konseling eksistensial dilakanakan dengan berbagai variasi, yang semuanya

dengan satu atau lain cara mengambil inspirasinya dari karya-karya ilmuwan falsafah di Eropa Barat, seperti Paul Tillich, Martin Heidegger, Jean Paul Sarte. Konseling eksistensial sangat menekankan implikasi dari falsafah hidup ini dalam menghayati makna kehidupan manusia didunia ini. Konseling eksistensial berfokus pada situasi kehidupan manusia dialam semesta, yang mencangkup: kemampuan kesadaran diri; kebebasan untuk memilih dan menentukan nasib hidupnya sendiri; tanggung jawab pribadi; kecemasan sebagai unsur dasar Untuk mengembangkan dirinya semaksimal mungkin. Selama wawancara konseling, konseli membuka pikiran dan perasaannya, bagaimana ia menghayati dan meresapi kehidupan didunia ini. Sebaliknya, konselor juga membuka diri dan ingin berkomunikasi sebagai manusia yang menghadapi beraneka tuntutan kehidupan manusiawi yang sama. Melalui proses komunikasi antarpribadi ini, konseli mulai semakin menyadari kemampuannya sendiri untuk mengatur dan menentukan arah hidupnya sendiri secara bebas dan bertanggung jawab. Dalam hal ini konseli belajar dari konselor, yang mengkomunikasikan suatu hidup penuh rasa dedikasi terhadap segala tuntutan hidup sebagai tanggung jawab pribadi. Konseli diharapkan akan menjadi semakin mampu mengatasi beraneka kesulitan dan bermacam tantangan dengan menempatkannya dalam kerangka suatu sikap mendasar terhadap kehidupannya sebagai manusia, yang harus menerima realita hidup sebagaimana adanya dan harus memperkaya diri sendiri melalui penghayatan makna kehidupannya. 2. Pendekatan Kognitif a. Analisis Transaksional Analisis transaksional (Transactional Analysis) dipelopori oleh Eric Berne. Analisis transaksional menekankan pada pola interaksi antara orang-orang, baik yang verbal maupun nonverbal (transactions). Corak konseling ini dapat diteraokan dalam konseling individual, tetapi dianggap paling bermanfaat dalam konseling kelompok, karena konselor mendapat kesempatan untuk langsung mengamati pola-pola interaksi antara seluruh anggota kelompok. Perhatian utama diberikan pada manipulasi dan siasat yang digunakan oleh orang dalam berkomunikasi satu sama lain (games people play) dibedakan antara tiga pola berperilaku atau keadaan diri (ego states), yaitu orang tua (parents), orang dewasa (adult), dan anak (child). Keadaan orang tua (parent ego state) adalah berperilaku yang dianjurkan oleh pihak orang atau instansi sosial yang berperan penting selama masa pendidikan seseorang, seperti orang tua kandung, sekolah, dan

badan keagamaan. Keadaan orang dewasa (adult ego state) adalah bagian kepribadian yang berhadapan dengan realitas sebagaimana adanya dan mengolah fakta serta data untuk membuat keputusan-keputusan. Segala situasi kehidupan yang dihadapi ditafsirkan untuk kemudian mengambil sikap dan bertindak menurut apa yang dianggap tepat. Keadaan anak (child ego state) adalah bagian kepribadian yang didorong oleh beraneka perasaan spontan dan keinginan untuk melakukan apa yang disukai, seperti dapat disaksikan dalam perilaku tindakan anak kecil. Dalam keadaan ini, orang berperilaku secara bebas dan spontan. Pada kebanyakan orang, hal ini berarti bahwa mereka mengejar kesenangannya sendiri. Tiga keadaan diri ini tidak terikat pada umur atau fase perkembangan tertentu, sehingga seorang yang berumur dewasa berada dalam salah satu dari tiga keadaan diri itu dan dapat berpindah dari keadaan diri yang satu ke keadaan diri yang lain. Selama proses konseling orang belajar mengidentifikasi tiga keadaan diri pada dirinya sendiri, dan menyadari keadaan diri manakah yang menjadi dominan serta menentukkan pola interaksi dengan orang lain. Konselor memberikan informasi tentang pola-pola interaksi sosial sesuai dengan berbagai keadaan diri (tansactional), dan membantu untuk menganalisis diri sendiri sehingga disadari keadaan diri mana yang dominan dalam perilakunya. Dalam berhadapan dengan orang lain pada suatu saat orang dapat berbicara dalam keadaan diri tertentu dan mengharapkan tanggapan dari pihak yang lain dalam diri yang sama, misalnya suami bertanya kepada istri: Makan malam nanti pukul berapa? dan mendapat jawaban: pukul 7, (orang dewasa berbicara dengan orang dewasa). Bilamana suami mendapat jawaban dari istri: Jangan memburu-buru saya! Kamu tidak pernah memberikan waktu kepada saya untuk menghidangkan makanan yang lezat!, dia tidak mendapat tanggapan dari istrinya dalam keadaan orang dewasa, tetapi dalam keadaan anak. Dengan demikian komunikasi mereka pada saat itu tidak lancar dan dapat menghasilkan rasa sakit hati dikedua belah pihak. Istri itu mungkin mengharapkan tanda simpati dari suami atas jerih payahnya sebagai ibu rumah tangga (a positive stroke), namun cara yang ditempuh untuk mendapatkan tanda penghargaan itu adalah dengan menimbulkan rasa kasihan dalam hati suami. Dengan kata lain, dia memanipulasi suamiya (play a game) yang mengganggu kontak antarpribadi sebagai suami dan istri. Jadi, tujuan dari konseling menurut pendekatan Analisis Transaksional ialah supaya konseli menjadi sadar akan seluruh hambatan yang diciptakannya sendiri dalam berkomunikasi dengan orang lain, serta kemudian mengembangkan suatu pola interaksi sosial yang sesuai dengan situasi dan kondisi,

dengan menempatkan diri dalam keadaan diri yang memungkinkan proses komunikasi yang sehat.

B. Metode dan Alat 1. Metode Survai Metode survai dapat diterapkan untuk mendapatkan data tentang lingkungan yang di dalamnya program bimbingan harus beroprasi; tentang pengolahan program bimbingan ; tentang sikap dan pandangan staf pendidik di sekolah yang bukan tenaga bimbingan terhadap program bimbingan; dan tentang sikap dan pandangan alumni terhadap pelayanan bimbingan yang mereka terima ketika masih terdaftar sebagai siswa di institusi pendidikan bersangkutan. Alat yang digunakan ialah item yang harus dijawab oleh responden. Daftar item dapat berupa angket tertutup, dan dalam rangka survai dapat diberikan angket terbuka, dimana jawaban pada setiap item dapat dirumuskan dalam bahasa sendiri. Terkadang juga diberikan angket campuran, yaitu pertanyaan tertutup dan terbuka.  Survai tentang lingkungan hidup bertujuan untuk memperoleh data yang menghasilkan latar belakang. Item-item yang dimuat dalam angket dapat mencangkup: jumlah tenaga bimbingan yang ada, jumlah siswa yang terdaftar di sekolah, rasio konselor-siswa, kualifikasi akademik tenaga-tenaga bimbingan, berbagai sarana material dan teknik yang tersedia, seluruh sumber informasi tertulis yang tersedia, ada tidaknya program bimbingan tertuangkan dalam dokumen tertulis, dana financial yang tersedia. Jumlah item yang disediakan dapat dikelompokan dalam sejumlah kategori tertentu, yang masing-masing mencakup sejumlsh item dan sub-item. Di halaman terakhir angket, dapat dimuat daftar rangkuman, yang menyatakan keadaan nyata dalam setiap kategori bersama dengan pandangan evaluative keseluruhan masing-masing kategori.  Survai tentang pengelolaan program bimbingan menggali lebih dalam dan menyangkut banyak cirri internal serta pencapaian tujuan-tujuan bimbingan yang diharapkan. Item-item dalam angket dapat meliputi: rencana program bimbingan yang bersumber pada kebutuhan-kebutuhan siswa yang lebih realistis, sifat dan bentuk bimbingan, stabilitas pelayanan bimbingan, semangat kerja staf pembimbing,

pertanggung jawaban konselor mengenai peranan dan tugasnya, cara coordinator melaksanakan tugasnya, realisasi berbagai perubahan dalam program bimbingan yang dianggap perlu setelah evaluasi program terakhir, proporsi pembagian waktu tenaga bimbingan antara layanan bimbingan seperti pengumpulan data, pemberian informasi, penempatan dan konseling, serta kegiatan konsultasi dan evaluasi program, kegiatan

professional internal, pelaksanaan dan pengelolaan masing-masing layanan bimbingan yang sesuai dengan tujuanrelevan yang ditentukan, dan pencapaian tujuan khusus dari survai tersebut.  Survai tentang sikap dan pandangan staf pendidik yang bukan tenaga bimbingan terhadap program bimbingan, untuk meneliti sikap (attitude) dan pandangan evaluative (judgment) mereka terhadap berbagai aspek program bimbingan, misalnya konselor di sekolah, peranan dan tugasnya, hubungan kerjasama, manfaat layananlayanan bagi siswa, manfaat seluruh layanan konsultasi dengan para guru dan orang tua, dampak pelayanan dan bimbingan terhadap semangat belajar siswa, keterlibatan konselor dalam kegiatan ekstrakulikuler, dan sebagainya. Alat yang digunakan dalam survai ini adalah angket campuran. Namun dalam penginterpretasian jawaban-jawaban dalam angket ini harus diingat bahwa criteria dalam penelaian yang digunakan oleh banyak staf pendidik bersifat agak subjektif, yang dipengaruhi oleng pengetahuan mereka tentang bimbingan dan konseling serta pengalaman mereka dalam berhubungan dengan tenaga bimbingan. Oleh karena itu sangat dianjurkan dalam angket untuk menanyakan beberapa hal tentang taraf pengetahuan mereka dan segala pengalamannya selam bertugas di sekolah.  Survai tentang sikap dan pandangan para siswa terhadap program bimbingan, dimaksud untuk meneliti sikap (attitude), pemahaman dan pandangan evaluative (judgment) mereka terhadap program bimbingan yang relevan untuk mereka. Misalnya pemahamannya tentang peranan dan tugas konselor sekolah, sikapnya terhadap kahadiran konselor, pandangannya terhadap manfaat dankegunaan yang diperoleh dari seluruh kegiatan bimbingan individual dan kelompok, keterlibatan konselor dalam pilihan program studi dan kegiatan ekstrakulikuler, keterlibatan konselor dalam kegiatan ekstrakulikuler, dan harapan mereka terhadap konselor sekolah. Alat yang digunakan angket campuran. Dalam angket perlu ditanyakan informasi yang menggambarkan latar belakang siswa, seperti umur, jenis kelamin, tingkat kelas, program studi, frekuensi kontak langsung dengan konselor, corak pelayanan yang didapat, cara mendapat kontak dengan konselor, keterlibatan dalam bimbingan di kelas. Informasi ini sangat membantu menafsirkan makna dari jawaban yang diberikan oleh masing-masing siswa untuk menarik kesimpulan umum.

 Survai tentang sikap dan pandangan alumni terhadap layanan bimbingan yang mereka terima ketika masih terdaftar sebagai siswa di sekolah, dimaksud untuk meneliti sikap (attitude), pemahaman dan pandangan evaluative (judgment) mereka terhadap program bimbingan yang relevan untuk mereka yang sudah lulus beberapa tahun yang lalu, misalnya pandangan tentang kelengkapan pelayanan bimbingan, pandangan terhadap manfaat yang diperoleh dari BK secara kelompok, khususnya bimbingan karier, sikapnya sekarang ini terhadap kehadiran konselor di sekolah menengah,dan asal-usul perbaikan program bimbingan yang mereka alami dulu. Alat yang digunakan adalah angket campuran. Survai biasanya dilaksanakan dengan mengirimkan naskah angket tertulis melalui pos. Dalam angket harus ditanyakan informasi factual, seperti status perkawinan, jumlah anak, pekerjaan,dan program studi yang sedang dijalani. Semua survai di atas jarang sampai pada evaluasi produk dalam arti yang sesungguhnya, sehingga belum dapat membuktikan bahwa program BK efektif dan efisien. Data yang diperoleh berfungsi sebagai indikasi awal yang dapat membantu dalam membentuk pendapat evaluative dalam menilai mutu program bimbingan. 2. Metode Observasi Evaluasi informal untuk sebagian besar dilakukan berdasarkan observasi, tetapi observasi ini tidak diadakan dengan berpedoman pada suatu rencana atau desain penelitian ilmiah, dan, oleh karena itu, menghasilkan data yang kurang terandalkan. Dalam rangka evaluasi produk dibutuhkan suatu rencana terinci, yang mencakup berbagai perilaku siswa yang akan diamati, kapan akan diamati, oleh siapa akan diamati, akan direkam dengan cara yang bagaimana, dan akan diberi interpretasi evaluative menurut norma apa. Perilaku konkret yang ditetapkan sebagai criteria harus relevan dan signifikan bagi tujuan tertentu dalam program bimbingan, misalnya perilaku: keterlibatan para siswa dalam kegiatan bimbingan di kelas; keseriusan siswa dalam mengerjakan tugas-tugas dalam rangka bimbingan karier; usaha siswa dalam menemukan sendiri informasi yang dibutuhkan dari sumber-sumber yang tersedia; partisipasi siswa dalam diskusi kelompok; partisipasi siswa dalam penyelenggaraan Hari Karier; dan isi pertanyaan/persoalan yang diajukan kepada konselor atau orang yang menjadi narasumber. Sebagai alat bantu disediakan daftar perilaku yang harus diamati pada waktu kegiatan bimbingan tertentu

berlangsung, dengan ruang untuk mencatat jawaban observasi berupa pencatatan frekuensi perilaku yang muncul dan pencatatan pendapat evaluative (baik, cukup, kurang). Unsure subyektivitas dalam mengadakan observasi dapat dikurangi dengan melibatkan lebih dari satu orang, yang kemudian membandingkan hasil observasinya. Dengan demikian, kegiatan observasi yang biasanya berlangsung dengan agak spontan dapatg diangkat dari taraf evaluasi informal dan ditingkatkan menjadi kegiatan yang bermanfaat bagi evaluasi formal. Namun harus tetap diingat bahwa data yang dihasilkan melalui observasi terencana belum memenuhi standar yang ketat, yang sebenarnya dibutuhkan dalam evaluasi produk. 3. metode studi kasus Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data mengenai berbagai aspek tentang seorang siswa yang dijadikan obyek studi kasus dan menilai arah serta taraf perubahan yang dialami orang itu sebagai akibat dari pelayanan bimbingan, misalnya wawancara konseling. Dalam rangka studi kasus dikumpulkan lebih dahulu data yang relevan untuk menemukan dalam aspekaspek apa siswa tertentu seharusnya berubah; kemudian ditentukan apa bentuk dan isi perubahan yang perlu diusahakan serta diatur bentuk dan isi pelayann bimbingan yang akan diberikan. Sesudah program pelayanan bimbingan yang dirancang khusus untuk individu ini mulai berjalan, dikumpulkan data mengenai kemajuan yang dicapai dan sampai berapa jauh perubahan yang ditargetkan tercapai. Dalam pembahasan studi kasus di Bab 6, B, 9, tekanannya terletak pada pengumpulan data yang selengkap mungkin tentang salah seorang siswa sebelum dirancang suatu program pelayanan khusus bagi siswa itu, sedangkan di tempat ini tekanannya terletak pada pengumpulan data dan penafsiran data, sesuai dengan criteria perubahan yang ditetapkan untuk mengetahui apakah sasaran yang dituju memang tercapai (evaluasi produk). Metode studi kasus memusatkan perhatian pada perkembangan siswa tertentu; karena itu metode ini mempunyai kelebihan disbanding dengan metode evaluasi yang lain, yang lebih memperhatikan perubahan yang terjadi dalam kelompok siswa. Namun, menyelenggarakan studi kasus menuntut banyak waktu, lebih-lebih bila sejumlah siswa dijadikan obyek studi kasus. Dalam praktek di lapangan jumlah studi kasus sebagai metode evaluasi akan terbatas, meskipun metode ini sebenarnya membawa banyak manfaat bagi konselor sekolah dalam mengevaluasi efisiensi dan efektivitas dari kegiatan bimbingan yang dikelolanya.

4. metode eksperimental Penggunaan metode eksperimental untuk mempelajari satu atau lebih kelompok dalam satu atau beberapa variable menuntut rangkaian langkah kerja dalam urutan tertentu, yaitu penetapan tujuan yang akan dicapai dan menentukan saluran untuk mencapai tujuan itu, penentuan saluran yang akan diguanakan untuk mengetahui apakah tujuan tercapai; pemilihan kelompok eksperimental yang akan diperlakukan secara khusus dan kelompok control; pelaksanaan proses mengimplementasikan cara/saluran yang direncanakan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan; dan pengumpulan data mengenai produk yang dihasilkan oleh kelompok eksperimental. Kegunaan dari kelompok control ialah untuk mengetahui apakah perbedaan yang mungkin tampak antara kelompok eksperimental dan kelompok control dalam hal variable yang diselidiki, disebabkan oleh perbedaan dalam cara memperlakukan kelompok eksperimental dan kelompok control. Dengan kata lain, dicari hubungan sebab dan akibat, sehingga dapat dipasikan bahwa pelayanan bimbingan dengan bentuk dan isi tertentu menghasilkan produk yang diharapkan. Dalam penelitian di bidang bimbingan dan konseling, biasanya persoalan yang paling rumit menyangkut criteria (independent variable) yang digunakan dan penentuan kelompok control. Penetapan criteria yang jelas tidak mudah karena yang diteliti adalah salah satu aspek dari perilaku manusia yang pada dasarnya kompleks dan kait mengait, apalagi bila penelitian itu dilakukan du luar laboratorium psikologis. Penentuan kelompok control pun tidak mudah karena harus dibentuk kelompok yang sama dengan kelompok eksperimental kecuali dalam variable tertentu yang khusus diselidiki. Selain itu, timbul masalah etis apakah dapat

dipertanggungjawabkan kalau satu kelompok siswa diberi pelayanan bimbingan secara khusus (kelompok eksperimental) dan kelompok lain tidak (kelompok kontrol), lebih-lebih bila kelompok control tidak akan mendapat pelayanan bimbingan dalam bentuk apa pun. Dalam literature professional yang terbit di Amerika Serikat, diakui bahwa jauh lebih banyak tersedia data hasil penelitian tentang layanan konseling daripada tentang program bimbingan dalam keseluruhannya; maklumlah, layanan konseling hanya merupakan salah satu komponen bimbingan. Menurut Smith dan Glass (Shertzer dan Stone buku Fundamentals of Guidance, 1981) dari hampir 400 studi evaluative tentang efek-efek konseling, ditemukan bahwa pada umumnya para klien menunjukkan perubahan sejauh kegelisahan berkurang (anxiety), peningkatan rasa harga diri, kemampuan penyesuaian diri dan taraf prestasi dalam belajar atau

bekerja, meskipun yang terakhir ternyata paling sulit dicapai (halaman 467-468). Dalam peninjauan terhadap literature professional, Riggs menyimpulkan bahwa studi-studi evaluasi terutama menyoroti layanan konseling, meskipun dalam mengevaluasi suatu program bimbingan terdapat kemajuan juga. Dalam suatu studi evalusasi mengenai keberhasilan program bimbingan, semua metode yang diuraikan di atas dapat digunakan. Karena setiap metode mengandung beberapa kelemahan, keempat metode itu akan saling melengkapi. Dalam fundamentals of Guidance, 1981, Schertzer dan Stone menunjukkan sejumlah kelemahan yang masih terdapat dalam banyak studi evaluative di bidang bimbingan, yaitu: (1) tujuan-tujuan pelayanan bimbingan yang kurang jelas dan tegas; (2) kaitan yang kurang jelas antara berbagai tujuan pelayanan bimbingan dan tujuan institusional di lembaga pendidikan; (3) penggunaan criteria yang terlalu terbatas pada beberapa sasaran dalam jangka waktu pendek dan kurang meyakinkan karena kaitannya dengan suatu tujuan bimbingan dalam jangka waktu panjang kurang jelas; (4) memandang suatu tujuan tertentu sebagai tujuan yang sebaiknya dicapai oleh semua siswa, dengan kurang mengindahkan perbedaan-perbedaan individual; (5) pembedaan yang kurang jelas antara kegiatan aktivitas bimbingan dan hasil yang harus diperoleh atau diantara proses dan produk; (6) terlalu mengandalkan bobot evaluative dari berbagai pandangan subyektif mengenai manfaat dan kegunaan program bimbingan; (7) kurang berhasil dalam merancang suatu desain studi evaluative yang memenuhi persyaratan penilaian ilmiah. Akhirnya dikatakan: It is distressing but nevertheless true that these criticism equally hold for many of the guidance assessments that are conducted today, no matter which approach is used (Halaman 468-469). Kapan staf tenaga bimbingan sebaiknya mengadakan studi evaluasi formal tentang efektivitas program bimbingan? Dalam hal ini tidak terdapat pedoman yang pasti. Menyelenggarakan suatu evaluative yang lengkap pada akhir setiap tahun ajaran kiranya sulit terjangkau karena keterbatasan dalam dana, waktu, dan tenaga yang dapat dikerahkan. Barangkali penyelenggaraan studi evaluative yang lengkap pada waktu suatu angkatan siswa tertentu, yang mendapatkan pelayanan bimbingan selama tiga tahun dan akan tamat sekolah, lebih realistis. Jadi setiap tiga tahun sekali, misalnya pada tahun 1987 terhadap angkatan yang pada tahun 1984, pada tahun 1990 terhadap angkatan yang masuk pada tahun 1987, dan selanjutnya. Namun menjelang setiap tahun ajaran dapat diadakan studi evaluasi formal terhadap salah satu komponen atau aspek

program bimbingan, sesuai dengan rencana yang sudah disusun pada awal tahun ajaran, dengan menggunakan angkatan lainnya yang tidak masuk angkatan studi evaluasi yang lengkap sebagai subyek penelitian, misalnya angkatan 1985 dan 1986 serta angkatan 1988 dan 1989, dan selanjutnya. Sebagaimana dikatakan di bagian A, evaluasi produk dan evaluasi proses bersifat komplementer. Seandainya dalam rangka evaluasi produk tampak beberapa kelemahan, masih harus ditanyakan apa factor penyebab pokok munculnya kelemahan itu. Untuk itu perlu diadakan evaluasi proses dengan menggunakan metode dan alat yang sesuai, misalnya metode survey dengan menyebarkan angket tertulis yang menanyakan pengalaman dan pandangan siswa mengenai seluruh kegiatan bimbingan yang terselenggarakan, atau dengan mewawancarai beberapa siswa di masing-masing satuan kelas yang dianggap cukup mewakili teman-temannya. Penerapan metode observasi selama berbagai kegiatan bimbingan berlangsung, pun dapat berguna untuk menemukan sebab-sebab munculnya kelemahan dalam produk yang dihasilkan.

You might also like