You are on page 1of 12

Referat Respirologi Dr.

Irwan Effendi 22 Juli 2010

Kepada Yth. Dr...............................

PITFALLS DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA ASMA

1. PENDAHULUAN
Dalam 20 tahun terakhir kesakitan dan kematian akibat asma meningkat terutama di negara industri. Hal ini menyebabkan semakin banyak studi tentang patofisiologi penyakit dan perkembangan terapi yang efektif untuk kontrol asma. Disamping itu, organisasi nasional dan internasional telah membuat guideline untuk evaluasi dan pengobatan asma. Asma masih merupakan penyebab utama kunjungan ke gawat darurat dan rawatan anak.1 Batuk, wheezing dan dispnu merupakan gejala respiratorik yang umum dengan berbagai macam diferensial diagnosis.2 Karena asma merupakan penyakit yang sering, gejala tersebut sering terjadi pada penderita asma sebagai konsekuensi dari inflamasi kronik saluran respiratorik. Kegagalan mendiagnosis dan menilai derajat asma dengan menggunakan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan fungsi paru sederhana dapat menyebabkan kegagalan dalam tatalaksana asma.3 Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengingatkan tentang pitfalls yang mungkin ada pada diagnosis dan penatalaksanaan asma pada anak.

2. DEFINISI
Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran respiratorik dengan karakterikstik adanya sumbatan aliran nafas, total atau sebagian dapat hilang dengan atau tanpa terapi khusus. Peradangan saluran respiratorik adalah hasil interaksi dari berbagai sel, elemen selular, dan sitokin. Pada individu yang rentan, dapat menimbulkan peradangan saluran respiratorik berulang atau persisten bronkospasme, yang menyebabkan gejala termasuk wheezing, sukar bernafas, dada rasa tertekan dan batuk, terutama pada malam hari atau setelah aktifitas fisik.3-7 Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) menggunakan definisi operasional, yaitu wheezing dan/atau batuk dengan karakteristik sebagai berikut : timbul secara episodik dan/atau kronik, cenderung pada malam/dini hari (nokturnal), musiman, adanya faktor pencetus, diantaranya aktifitas fisik, dan bersifat reversibel, baik secara spontan maupun dengan pengobatan, serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien/keluarganya, sedangkan sebab-sebab lain sudah disingkirkan.8

Diagnosis asma secara klinis dapat diduga jika ditemukan batuk, wheezing, atau sesak nafas. Tetapi gejala tersebut juga dapat disebabkan oleh penyakit lain. Karakteristik yang khas dari asma adalah gejala yang muncul memiliki respons yang baik terhadap terapi bronkodilator atau kortikosteroid. Pada pasien yang cukup besar dapat dilakukan tes fungsi paru, perbaikan obstruksi saluran respiratorik setelah inhalasi bronkodilator mendukung diagnosis ke arah asma.3

3. PITFALLS DIAGNOSIS ASMA


3.1. BATUK YANG BUKAN ASMA Asma adalah penyebab terbanyak inflamasi saluran respiratorik kronis atau berulang, dan dapat menyebabkan batuk. Ada beberapa batuk yang memiliki karakteristik menyerupai asma dan menghasilkan overdiagnosis asma dan menyebabkan tatalaksana asma yang salah.9 3.1.1. Pertusis Pertusis, yang dikenal dengan batuk 100 hari, menyebabkan batuk lama dan ditemukan banyak kesalahan kasus pertusis diterapi sebagai asma oleh dokter umum. Karakteristik spasmodik, whooping atau muntah, yang merupakan gejala klasik pertusis sering tidak muncul pada populasi yang mendapat immunisasi. Diagnosis pertusis penting dicurigai pada penderita batuk persisten lebih dari 2 minggu dan tidak memiliki riwayat asma atau penyebab batuk kronik lain.3,10 3.1.2. Primary Ciliary Dyskinesia Primary Ciliary Dyskinesia merupakan kasus yang jarang dan harus dicurigai pada penderita batuk persisten yang terjadi sejak lahir, umumnya berhubungan dengan otitis media kronis. Sering terjadi sindrom gawat nafas neonatus. Juga termasuk variasi abnormalitas pada struktur dan fungsi siliar saluran respiratorik yang menyebabkan abnormalitas dari sistem mucociliary clearance, yang merupakan sistem imunitas alami yang penting pada paru. Aliran normal lapisan mukus pada mukosa saluran respiratorik secara normal tergantung dari koordinasi irama gerakan silia sel epitel saluran respiratorik. Tidak adanya kooardinasi irama gerakan silia menyebabkan penumpukan mukus dalam saluran respiratorik yang berhubungan dengan terjadinya infeksi kronik pada saluran respiratorik. Hal ini akan menyebabkan batuk dan dapat berlanjut menjadi bronkhiekstasis. Setengah penderita Primary Ciliary Dyskinesia memiliki situs inversus totalis, seperti kasus yang dikenal dengan sindrom Kartagener.11-12 Batuk biasanya terjadi sejak lahir dan sering ditemukan otitis media kronik. Diagnosis ditegakkan dengan melihat struktur siliar dengan mikroskop elektron, tetapi hal ini sulit dilakukan. Pemeriksaan yang lebih sederhana adalah dengan koordinasi irama gerakan silia dari epitel nasal dan orotrakea menggunakan mikroskop cahaya atau mikroskop fase kontras.11

3.1.3. Bakterial Bronkitis Bakterial bronkitis memiliki karakteristik batuk lama, netrofilia, dan ditemukannya bakteri di saluran respiratorik pada pemeriksaan sputum. Beberapa disertai dengan bronkomalasia yang juga berperan menimbulkan batuk dan penumpukan mukus di saluran respiratorik bawah, yang memudahkan anak terkena infeksi sekunder. Bakteri yang teridentifikasi umumnya sama dengan otitis media : Haemophilus species, Moraxella catarrhalis, dan Streptococcus pneumoniae. Meskipun biasanya respons terhadap pemberian antibiotik, beberapa memerlukan terapi ulangan atau bahkan memerlukan terapi profilaks. Umumnya perbaikan dengan bertambahnya usia. Diagnosis membutuhkan bronkoskopi flexibel dan hitung diferansial sel pada sputum dengan kejadian netrofilia yang signifikan (>10% total sel darah putih) dan kultur sputum.13-14 3.1.4. Tracheomalacia Tidak adanya tulang rawan trakea menyebabkan tidak adekuatnya rigiditas trakea atau cabang bronkus utama. Kolaps trakea atau cabang bronkus utama selama tekanan intratorak meningkat seperti dalam pernafasan kuat atau batuk dapat menyebabkan dinding anterior dan posterior menyempit yang menghasilkan fokus yang merangsang batuk lebih lanjut. Selain itu, terjadi penumpukan mukus karena terganggunya airway clearance, hal ini sebagai stimulus lanjutan untuk batuk produktif. Meskipun tracheomalacia dan bronchomalacia dapat mengganggu pada bayi, beberapa kasus tidak menimbulkan masalah sampai akhir masa kanak-kanak.15 3.1.5. Habit-Cough Syndrome (Sindrom Kebiasaan-Batuk) Sindrom Kebiasaan Batuk merupakan gangguan yang umumnya diperlakukan sebagai asma dan sering menghasilkan pengobatan tidak efektif. Sindrom ini dapat disembuhkan dengan terapi saran (edukasi) dan perubahan perilaku. Presentasi klasik Sindrom Kebiasaan-Batuk adalah batuk keras, seperti menggonggong (barking), berulang-ulang yang terjadi beberapa kali per menit selama berjam-jam. Karakteristik Sindrom Kebiasaan-Batuk adalah tidak adanya batuk sama sekali ketika pasien tertidur. Walaupun orang-orang dengan gangguan ini sering mendapat beberapa tes diagnostik dan terapi dengan obat anti asma, Sindrom Kebiasaan-Batuk harus dicurigai bila terdapat karakteristik batuk bersifat menggonggong, pola berulang, dan sama sekali tidak ada ketika pasien tertidur.16 Jika tidak ditangani dengan intervensi perilaku yang tepat, gejala dapat berlangsung terus selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun pada beberapa pasien, seperti ditunjukkan dalam follow-up pasien yang didiagnosis dengan Sindrom Kebiasaan-Batuk di Mayo Clinic.17 Pada tahun 1966, Berman menggambarkan 6 pasien dengan gangguan ini yang berhasil diobati dengan terapi yang "semata-mata difokuskan pada seni memberi saran". Terapi menggunakan self-hypnosis untuk menghentikan batuk telah menunjukkan tingkat keberhasilan tinggi.16

3.1.6. Penyebab Batuk Kronik yang Jarang Beberapa penyebab batuk kronis yang jarang ditemui dan salah didiagnosis sebagai asma antara lain : 1. Uvula yang memiliki kontak dengan epiglotis adalah penyebab batuk lama dalam anak laki-laki 4 tahun yang tidak ada perbaikan setelah diberikan terapi asma, ini dapat diketahui ketika dilakukan bronkoskopi pada pasien. Anak terbatuk karena ia merasakan ada sesuatu di belakang tenggorokannya batuknya disembuhkan dengan uvulectomy. 2. Tonsil menempel pada uvula pada seorang gadis 3 tahun yang terlihat saat bronkoskopi dengan batuk kronis lama yang awalnya diperlakukan sebagai asma. Operasi amandel menyembuhkan batuk dalam pasien.18 Di sisi lain, batuk sering dikaitkan dengan gastroesophageal refluks atau postnasal drip, kadang disebut sebagai sindrom batuk saluran napas atas. Namun, diagnosis ini jarang yang didukung oleh evidence-base. Ketika lavage bronchoalveolar dilakukan sebagai bagian dari studi diagnostik untuk batuk lama pada anak-anak, baik sindrom batuk saluran respiratorik atas atau refluks gastroesofagus adalah diagnosis yang umum ditemukan.19 3.2. WHEEZING YANG BUKAN ASMA Dalam mempertimbangkan wheezing penting untuk menilai bahwa pasien, orang tua, dan bahkan dokter yang merujuk belum tentu wheezing yang sebenarnya.20-21 Wheezing didefinisikan sebagai suara ekspirasi yang disebabkan oleh obstruksi jalan napas intrathoracic. Namun, orang tua akan menjelaskan suara inspirasi atau stridor sebagai wheezing, dan ada banyak laporan suara inspirasi dari obstruksi saluran napas atas disebut wheezing oleh tenaga medis dan salah didiagnosis sebagai asma.21 3.2.1. Disfungsi Pita Suara Disfungsi Pita Suara dapat terjadi karena berbagai alasan termasuk kompresi batang otak dari malformasi Chiari 1 atau kelumpuhan pita suara dari berbagai sebab.22 Sindrom disfungsi pita suara adalah gangguan fungsional pita suara. Hal ini umumnya salah didiagnosis sebagai asma berdasarkan deskripsi wheezing yang tidak tepat. Suara pernafasan sebenarnya sebuah stridor inspirasi bernada tinggi disebabkan oleh paradoks adduksi pita suara selama inspirasi. Ini tercermin dalam spirometri terdapat menumpulan dari inspirasi sebagian dari aliran-volume loop dengan ekspirasi yang normal menunjukkan obstruksi jalan napas bagian atas. Variasi terakhir dari sindrom disfungsi pita suara ditandai dengan penutupan hebat dari pita suara dengan adduksi yang berlangsung selama inspirasi dan ekspirasi dan ditemukan penumpulan saat inspirasi dan ekspirasi loop pada spirometri, yang menunjukkan obstruksi jalan napas tetap atas yang menetap.22 Dua macam fenotipe disfungsi pita suara adalah: 1) Jenis terjadi secara spontan, dengan pasien mengalami dispnu dan stridor inspirasi (seringkali

digambarkan sebagai "wheezing"). Apakah ini adalah reaksi dari serangan panik atau kecemasan. 2) Reaksi yang terjadi hanya saat olahraga, yang sering terlihat pada atlet remaja selama kompetisi olahraga aerobik. Biasanya dapat menghilang secara spontan saat istirahat. Meskipun kebanyakan pasien dengan sindrom disfungsi pita suara terjadi hanya 1 dari 2 tipe, beberapa akan menunjukkan kedua pola.22 Diagnosis disfungsi pita suara perlu dibedakan dengan obstruksi saluran respiratorik atas dan bawah. Gambaran dari spirometri di IGD sangat penting untuk menghindari kesalahan diagnosis dengan asma, seperti sudah dilaporkan sebelumnya. Gambaran spirometrik adalah penurunan rasio dari aliran paksa midinspiratory (FIF50) terhadap aliran paksa midexpiratory (FEF50) harus 1, secara visual dibuktikan oleh mendatarnya bagian inspirasi dari aliran-volume loop. Hal ini mengindikasikan obstruksi jalan napas atas, yang bisa termasuk penyebab lain seperti subglottic stenosis dan kelumpuhan pita suara. Laringoskopi atau bronkoskopi fleksibel penting untuk mengkonfirmasi diagnosis disfungsi pita suara.22 Pengobatan untuk fenotipe yang terjadi secara spontan dari sindrom disfungsi pita suara adalah terapi bicara dibawah pengawasan dari speech pathologist yang sudah biasa dengan kelainan ini untuk meningkatkan kontrol volunter dari pita suara. Tetapi teknik ini tidak efektif untuk disfungsi pita suara yang dicetuskan oleh olahraga, karena teknik ini memerlukan menghentikan aktivitas atletik, hal ini menyebabkan resolusi spontan. Antikolinergik aerosol (inhaler Atrovent oral), ketika digunakan sebelum latihan, mencegah disfungsi pita suara. Pengamatan ini konsisten dengan evidence-base pada refluks vagal terlibat dalam pola disfungsi pita suara. Laringoskopi fleksibel pada waktu gejala adalah penting untuk membedakan laringomalasia diinduksi oleh olahraga yang relatif jarang dari disfungsi pita suara diinduksi oleh olahraga yang lebih sering.23 3.2.2. Obstruksi Saluran Respiratory Sebagian Obstruksi parsial dari bronkus dapat mengakibatkan wheezing yang biasanya salah didiagnosis dan diperlakukan sebagai asma. Aspirasi benda asing di bronkus adalah salah satu penyebab dan perlu dibedakan dari mukus plug pada asma yang juga dapat menyebabkan obstruksi bronkus. Contoh lain adalah bronchomalacia, umumnya terkait dengan wheezing pada bayi.15 Mukus plug pada asma atau penyakit inflamasi saluran respiratorik adalah penyebab obstruksi respiratorik parsial, menyebabkan wheezing lokal, dapat bervariasi dari waktu ke waktu sebagai efek dari batuk pasien dan menyebabkan perubahan lokasi obstruksi saluran respiratorik parsial oleh lendir.24 3.3. DISPNEU YANG BUKAN ASMA 3.3.1. Hiperventilasi Serangan hiperventilasi sulit dibedakan dengan asma, baik pada penderita asma maupun bukan. Penderita asma yang mengalami hiperventilasi tidak mudah membedakan apakah dispnu terkait dengan hiperventilasi atau berhubungan dengan asma. Spirometri pada saat pasien merupakan gejala dapat membantu membedakan

persepsi dispnu terkait dengan serangan hiperventilasi atau asma. Pulse oksimetri normal, pengukuran gas darah yang menunjukkan PCO2 rendah dan pH tinggi pada saat gejala memberikan bukti yang mendukung untuk hiperventilasi.25 3.3.2. Kecemasan (Anxiety) Dispnu adalah kesulitan bernapas, pasien mungkin mengalami kesulitan bernapas atau merasa sesak dada, tanpa ditemukan gangguan fisiologis. Simon dkk., menggunakan anxiety-sensitivity index menunjukkan bahwa kecemasan berperan penting dalam pengalaman dispnu, tanpa disertai gangguan fisiologis.26 3.3.3. Dispnu Saat Latihan Dispnu pada anak-anak dan remaja sering merupakan bagian dari gambaran klinis asma. Dalam penelitian terhadap 142 anak-anak dan remaja dengan dispnu yang dicetuskan oleh latihan, 100 anak sudah didiagnosa dan pernah dirawat sebagai asma tanpa respons klinis. Ketika latihan treadmill dilakukan dengan pemantauan kardiopulmoner pada 112 dari 142, bronkospasme jarang ditemukan pada pasien dispnu yang dicetuskan oleh latihan.27 Penyebab paling umum dispnu yang dicetuskan oleh latihan adalah keterbatasan fisiologis pasien dengan berbagai pengkondisian kardiovaskular. Dispnu dapat disebabkan oleh penumpukan laktat yang menyebabkan asidosis karena metabolisme anaerobik saat latihan. Asidosis metabolik merangsang tubuh untuk mengkompensasi dengan meningkatkan pernafasan dalam upaya untuk meningkatkan pH dengan mengurangi PCO2. Peningkatan pernafasan dianggap dispnu oleh pasien.28 Membuat diagnosis yang benar dengan latihan treadmill dan pemantauan kardiopulmoner termasuk pertukaran gas dapat menurunkan kesalahan pemberian terapi asma yang tidak efektif dan tindakan koreksi yang tepat.28

4. PITFALLS MANAGEMENT ASMA


Menurut guideline GINA, tujuan pengobatan asma adalah untuk mencapai dan mempertahankan control dari gejala (asma terkontrol), mencegah eksaserbasi dan kunjungan ke rumah sakit, meminimalkan penggunaan obat emergensi dan mempertahankan tingkat aktifitas dan fungsi paru normal.29 Guideline GINA menyatakan bahwa untuk asma terkontrol, pasien harus: 1) memiliki gejala atau hanya dua kali kurang per minggu; 2) tidak mempunyai batasan aktivitas sehari-hari mereka; 3) menggunakan obat pereda dua kali atau kurang per minggu; 4) memiliki fungsi paru normal, dan 5) tidak memiliki eksaserbasi (serangan) asma.29 Meskipun sudah ada guideline dari GINA, masih banyak pasien dengan asma tidak terkontrol. Di Eropa, penelitian menunjukkan bahwa tingkat kontrol asma juga rendah. Asthma Insights and Reality in Europe (AIRE) studi mewawancarai hampir 3.000 anggota rumah tangga dengan penderita asma di Perancis, Jerman, Italia, Belanda, Spanyol, Swedia dan Inggris, dan menemukan bahwa hanya 5,3% memenuhi

kriteria GINA untuk asma terkontrol.30 Selain itu, 18% dari anak-anak dan 11% dari orang dewasa melaporkan setidaknya satu kunjungi ke IGD, dan 7% harus dirawat inap dalam 12 bulan terakhir. Penelitian tambahan AIRE yang dilakukan di Eropa Tengah dan Timur, Amerika Serikat dan Asia menunjukkan bahwa kontrol asma suboptimal adalah merupakan fenomena global.31 Alasan untuk kontrol asma yang rendah sangat kompleks dan melibatkan baik faktor klinis dan faktor perilaku, seperti penerapan guideline yang rendah, penggunaan terapi yang tidak adekuat atau tidak tersedia, kurangnya kepatuhan terhadap regimen terapi, kurangnya keterlibatan pasien dalam rencana pengobatan mereka, dan ketidaksesuaian antara dokter dan pasien tentang apa definisi asma terkontrol.32 4.1. PENERAPAN GUIDELINE YANG RENDAH Laporan Survei undertreatment asma, bahkan pada pasien dengan asma berat atau persisten. Dalam studi AIRE, pasien dengan gejala asma lebih berat tidak lebih sering menggunakan pengobatan preventif. Dalam faktanya pasien dengan asma persisten lebih sering menggunakan obat pereda, ini menunjukkan rendahnya kontrol asma. Paradoksnya, ditemukan bukti overtreatment yang tinggi dengan Inhalasi Corticosteroid (ICS). Survei pada lebih dari 30.000 pasien asma di Inggris menemukan bahwa 27% dari pasien menerima dosis ICS >800 mcg per hari beclomethasone.33 Dari jumlah tersebut, 32% belum menerima tambahan terapi seperti yang direkomendasikan dalam guideline tatalaksana asma terkini. Tambahan terapi memiliki potensi untuk meningkatkan hasil dan memungkinkan pasien untuk tetap pada dosis ICS yang lebih rendah. Studi serupa pada anak-anak ditemukan pola yang sebanding ICS dosis tinggi dan penggunaan tambahan terapi yang rendah.34 Studi asma di Italia pada dewasa muda menyatakan bahwa salah satu alasan rendahnya kontrol asma adalah penggunaan obat yang tidak adekuat. Hampir setengah dari penderita asma persisten mendapat regimen terapi dibawah derajat asmanya dan 66% tidak menggunakan obat harian mereka selama 3 bulan terakhir. Kontrol asma yang baik dapat tercapai jika rekomendasi GINA dilaksanakan secara maksimal.32 4.2. KURANGNYA KEPATUHAN TERHADAP REGIMEN TERAPI Studi dari orang dewasa dan anak-anak telah menunjukkan bahwa, 50% dari pasien yang mendapat terapi jangka panjang tidak menggunakan obat sesuai petunjuk. Kepatuhan dapat diidentifikasi dengan memantau resep, menghitung jumlah obat, tetapi pada tingkat klinis, yang terbaik adalah terdeteksi dengan menanyakan tentang kepatuhan secara langsung pada pasien.3 4.3. KURANGNYA KETERLIBATAN PASIEN DALAM RENCANA TERAPI Manajemen efektif asma membutuhkan suatu kemitraan antara penderita asma dan profesional kesehatannya (dan orang tua / wali dalam kasus anak-anak dengan asma). Tujuan dari kemitraan ini adalah untuk memungkinkan pasien dengan asma untuk mendapatkan pengetahuan, keyakinan dan keterampilan untuk mengambil peran utama dalam pengelolaan asma mereka. Kemitraan antara pasien dan profesional kesehatan mereka membahas dan menyetujui program pengobatan, mengembangkan selfmanagement, ditulis rencana aksi termasuk pemantauan diri, dan pemantauan

berkala pasien dan tingkat kontrol asma kontrol. Pendekatan ini, dipandu manajemen diri, telah terbukti mengurangi morbiditas asma pada orang dewasa dan anak-anak. Sejumlah sistem tertentu dipandu manajemen diri telah dikembangkan untuk digunakan secara luas, termasuk di perawatan primer, rumah sakit, bagian IGD dan pemantauan rumah berbasis internet, dan beragam kelompok diskusi anak-anak dan remaja penderita asma.3 4.4. KURANGNYA EDUKASI ASMA PADA PASIEN DAN ORANG TUA Peran orang tua/pasien dan dokter penting dalam pengendalian asma, tetapi peran orang tua jauh lebih penting. Orang tua atau pasien harus diberi pengertian KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang asma secara menyeluruh dalam hal perjalanan asma, gejala-gejala asma dan penangulangan asma. Untuk itu, dokter perlu meluangkan waktu untuk menjalankan KIE kepada orangtua dan pasien.35 Kurangnya pengetahuan asma dan tatalaksananya berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas penyakit ini. Hal ini bukan saja terjadi pada pasien dan keluarganya, tetapi juga pada tenaga kesehatan, bahkan pada dokternya. Banyak dokter tidak pengikuti perubahan dan perkembangan konsep tentang asma dan tatalaksananya. Lebih jauh lagi, mereka tidak mempunyai keterampilan praktis penggunaan alat-alat inhalasi, sehingga bahkan ada yang melarang pasien yang sudah menggunakannya. Di banyak tempat di dunia asma anak masih banyak yang underdiagnosis dan undertreatment.35 Dengan demikian pendidikan asma sangat perlu dilakukan pada tenaga kesehatan di satu pihak, dan pasien dengan keluarga serta guru sekolah di lain pihak. Selain kemitraan keluarga dan gurunya, keterlibatan unsur-unsur lain juga penting misalnya Lembaga Swadaya Masyarakat yang terkait. Media masa dapat berperan konstruktif dalam menyebarkan informasi tentang asma dan penanggulangannya kepada masyarakat luas.35 4.5. KURANGNYA EVALUASI KEMAJUAN TERAPI Pemantauan berkelanjutan adalah penting untuk mempertahankan kontrol dan membangun langkah selanjutnya, yang dapat meminimalkan biaya dan memaksimalkan keamanan pengobatan. Variabel dan pengobatan penyakit asma harus disesuaikan secara berkala, sehingga dapat dipantau perburukan atau gejala serangan lebih awal. Monitoring asma harus dipantau oleh profesional kesehatan secara teratur. Biasanya, pasien follow up tiap 1-3 bulan.3 Pasien memerlukan evaluasi individual rutin yang dapat mengidentifikasi faktor-faktor psikologis dan gaya hidup yang mungkin akan menyebabkan kontrol asma tidak baik.32

5. KESIMPULAN
Walaupun asma merupakan penyebab umum berbagai gejala pernafasan, tidak semua batuk, wheezing, nafas cepat atau dispnu adalah asma. Pengetahuan tentang riwayat

asma dan observasi terhadap respons yang cepat terhadap terapi harus mengarah kepada kecurigaan terhadap asma. Tes diagnostik yang tepat termasuk spirometri ketika gejala muncul, bronkoskopi fleksibel, lavage bronchoalveolar, dan latihan treadmill dengan pemantauan kardiopulmoner menghasilkan diagnosis yang tepat dan pengobatan yang spesifik. Kontrol asma yang baik dapat tercapai jika rekomendasi GINA dilaksanakan secara maksimal. Edukasi mengenai asma sangat penting sehingga pasien dapat dilibatkan dalam tatalaksana asma mereka. Tatalaksana asma dapat meliputi modifikasi gaya hidup (olahraga dan diet) bersama dengan intervensi psikologis dan terapi obat.

DAFTAR PUSTAKA

1. 2.

3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.

11.

12. 13. 14.

15.

16. 17.

18.

Kwong KYC, Jones CA. Chronic Asthma Therapy. Pediatr Rev 1999;20:327-33. Pasterkamp H. The history and physical examination. In: Chernick V, Boat TF, Wilmott RW, Bush A, eds. Kendigs Disorders of the Respiratory Tract in Children. 7 ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2006:7593. Bateman ED, Hurd SS, Barnes PJ, et al. Global strategy for asthma management and prevention: GINA executive summary. Eur Respir J 2008;31:143-78. Lefant C, Khaltaev N. Global initiative for asthma. NHLBI/WHO Workshop Report 2002. Cantani A. Asthma. In: Pediatrics Alergy, Asthma and Immunology. NewYork: Springer Berlin Heidelberg; 2008: 725-92. Spahn JD, Leung DYM. Chilhood astma. In: Behrman, Kliegman, Jenson, eds. Nelsson Textbook of Pediatrics. 18 ed. Philadelphia: Elsevier; 2008:953-70. Fanta CH. Asthma. N Engl J Med 2009;360:1002-14. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Pedoman nasional asma anak. 2004. Thomson F, Masters IB, Chang AB. Persistent cough in children and the overuse of medications. J Paediatr Child Health 2002;38:578-81. Bateman ED, Boulet LP, Cruz AA, et al. Global Strategy for Asthma Management and Prevention in Children 5 Years and Younger. GINA Asthma 2009:1-28. Leigh MW. Primary ciliary dyskinesia. In: Chernick V, Boat TF, Wilmott RW, Bush A, eds. Kendigs Disorders of the Respiratory Tract in Children. 7 ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2006:902-9. Ferkol T, Leigh M. Primary ciliary dyskinesia and newborn respiratory distress. Semin Perinatol 2006;30:335-40. Selvadurai H. Investigation and management of suppurative cough in pre-school children. Paediatr Respir Rev 2006;7:15-20. Saito J, Harris WT, Gelfond J. Physiologic, bronchoscopic, and bronchoalveolar lavage fluid findings in young children with recurrent wheeze and cough. Pediatr Pulmonol 2006;41:709-19. Finder JD. Bronchomalacia and Tracheomalacia. In: Behrman, Kliegman, Jenson, eds. Nelsson Textbook of Pediatrics. 18 ed. Philadelphia: Elsevier; 2008:1771-2. Anbar RD, Hall HR. Childhood habit cough treated with selfhypnosis. J Pediatr 2004;144:2137. Rojas AR, Sachs MI, Yunginger JW, OConnell EJ. Childhood involuntary cough syndrome: a long-term follow-up study. Ann Allergy Asthma Immunol 1991;66:106. Najada A, Weinberger M. Unusual cause of chronic cough in a four-year-old cured by uvulectomy. Pediatr Pulmonol 2002;34:144-6.

10

19.

20. 21. 22. 23.

24. 25. 26.

27.

28.

29. 30.

31.

32. 33.

34.

Marchant JM, Masters B, Taylor SM, Cos NC, Seymour GJ, Chang AB. Evaluation and outcome of young children with chronic cough. Chest 2006;129:113241. Cane RS, Ranganathan SC, McKenzie SA. What do parents of wheezy children understand by wheeze? Arch Dis Child 2000;82:327-32. Elphick HE, Sherlock P, Foxall G. Survey of respiratory sounds in infants. Arch Dis Child 2001;84:359. Doshi D, Weinberger M. Long-term outcome of vocal cord dysfunction. Ann Allergy Asthma Immunol 2006;96:7949. Ayres JG, Gabbott PL. Vocal cord dysfunction and laryngeal hyperresponsiveness: a function of altered autonomic balance? Thorax 2002;57:284-5. Guill MF. Asthma Update: Clinical Aspects and Management. Pediatr Rev 2004;25:335-44. Keeley D, Osman L. Dysfunctional breathing and asthma: it is important to tell the difference. BMJ 2001;322:1075-6. Simon NM, Weiss AM, Kradin R. The relationship of anxiety disorders, anxiety sensitivity and pulmonary dysfunction with dyspnea-related distress and avoidance. J Nerv Ment Dis 2006;194:9517. Abu-Hasan M, Tannous B, Weinberger M. Exercise-induced dyspnea in children and adolescents: if not asthma then what? Ann Allergy Asthma Immunol 2005;94:366-71. Hammo AH, Weinberger M. Hammo AH, Weinberger M. Exercise-induced hyperventilation: a pseudoasthma syndrome. Ann Allergy Asthma Immunol 1999;82:5748. Bateman ED, Bousquet J, FitzGerald M, et al. Global Strategy for Asthma Management and Prevention 2008. GINA Asthma 2008:1-28. Rabe KF, Vermeire PA, Soriano JB, Maier WC. Clinical management of asthma in 1999: the Asthma Insights and Reality in Europe (AIRE) study. Eur Respir J 2000;16:8027. Rabe KF, Adachi M, Lai CK, et al. Worldwide severity and control of asthma in children and adults: the global asthma insights and reality surveys. . J Allergy Clin Immunol 2004;114:407. Holgate S, Bisgaard H, Bjermer L, et al. The Brussels Declaration: the need for change in asthma management. Eur Respir J 2008;32:143342. Thomas M, Leather D, Price D. Thomas M, Leather D, Price D. High-dose inhaled corticosteroids and add-on therapy use in adults with asthma in the UK in 2003: an observational study. Prim Care Respir J 2006;15:166-72. Thomas M, Turner S, Leather D, Price D. Thomas M, Turner S, Leather D, Price D. High-dose inhaled corticosteroid use in childhood asthma: an observational study of GP prescribing. Br J Gen Pract 2006;56 78890.

11

35.

Peran KIE pada orang tua. In: Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB, eds. Pedoman Nasional Asma Anak: UKK Pulmonologi PP IDAI 2004.

12

You might also like