You are on page 1of 27

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berdasarkan Peraturan Walikota bandung Nomor 112 Tahun 2008 tentang pengelolaan pasar di Lingkungan Perusahaan Daerah Pasar Bermartabat. Perlu ditetapkan mekanisme dan pengaturan jasa pelayanan fasilitas pasar.

Pasar tradisional sebagai salah satu tempat perputaran uang, yang berarti penguat bagi struktur ekonomi tingkat mikro. Pasar tradisional tempat usaha bagi para pedagang kecil memiliki banyak nilai-nilai strategis. Pasar tradisional secara nyata mampu memberikan pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang berpenghasilan rendah, sehingga tercipta suatu kondisi pemerataan hasil-hasil pembangunan. Di pasar tradisional nilai-nilai kekeluargaan dibangun dari hasil interaksi dan komunikasi antar masyarakat. Di pasar tradisional pula interaksi antara penjual dan pembeli menemukan eksistensinya dalam proses tawar-menawar antara penjual dan pembeli. Tawar-menawar tesebut menghilangkan monopoli harga oleh penjual yang menjadi ciri dari sistem ekonomi kapitalis. Selain itu, pola bangunan pasar tradisional sangatlah khas dimana pasar tradisional memiliki los-los yang memungkinkan interaksi antara penjual dan pembeli berlangsung dengan terbuka. Dengan kata lain, bagi bangsa Indonesia, pasar tradisional tidak saja merupakan penyangga ekonomi namun juga merupakan aset budaya yang harus dilestarikan. Bahkan pasar tradisional, secara nyata mampu memberikan pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang berpenghasilan rendah, sehingga dengan demikian tercipta suatu kondisi pemerataan hasil-hasil pembangunan. Selain itu,
1

sebagai sarana perputaran ekonomi, pasar tradisional terbukti efektif. Salah satu buktinya adalah perputaran uang di pasar tradisional yang setiap hari bisa mencapai milyaran rupiah. Dengan nilai perputaran ekonomi yang mencapai milyaran rupiah.

Sebagai akibat dari longgarnya pengelolaan pasar berdampak pada munculnya masalah persaingan yang tidak seimbang antara pasar tradisional dengan pasar modern. Pasar tradisional telah kalah segala-galanya, diantaranya penerapan harga,\kenyamanan tempat, dan kelengkapan produk yang ditawarkannya. Pada sisi lain, pasar modern semakin melengkapi diri dengan segala fasilitas yang memudahkan dan membuat konsumen nyaman. Selain itu tentu saja kemampuan modal pasar modern yang kuat membuat mereka mampu menekan harga jual pada konsumen.

Pemerintah Daerah sebenarnya telah berupaya memperbaiki penampilan pasar tradisional yang selama kondisinya kumuh dan semrawut. Pemerintah Kota Bandung merenovasi bangunan pasar untuk menarik kembali minat pembeli untuk berbelanja di pasar tradisional. Dengan menjalin kerjasama bersama investor, Pemerintah Kota telah melakukan renovasi fisik di sejumlah pasar tradisional, seperti Pasar Kosambi, Pasar\ Kebon Kelapa, Pasar Baru, dan Pasar Gedebage, agar terlihat lebih modern. Namun, upaya ini ternyata berujung pada permasalahan baru karena banyak pedagang lama yang tersingkir akibat tidak mampu membeli kios baru. Ada pula pedagang yang memilih berjualan di luar kompleks pasar karena di dalam tidak laku, terutama di pasar yang bangunannya lebih dari satu lantai. Alih-alih meningkatkan daya saing para pedagang tradisional, kenyataannya program renovasi pasar tradisional justru menyebabkan para pedagang tradisional menjadi semakin termarginalkan di tengah derasnya arus kapitalisme. Kondisi inilah yang melatarbelakangi perlunya pengkajian mengenai kebijakan pengelolaan pasar yang dilakukan Pemerintah Kota Bandung.
2

Carut marutnya permasalahan pengelolaan pasar di Kota Bandung tidak terlepas dari kondisi normatif yang telah ada. Oleh karena itu penting kiranya untuk melihat bagaimana evaluasi terhadap kebijakan pengelolaan pasar di Kota Bandung. Sementara itu, saat ini diperlukan suatu model alternatif yang dapat memberikan solusi agar pasar tradisional dapat terevitalisasi, sehingga mereka mampu bersaing di tengah-tengah keberadaan pasar modern. Sehubungan hal tersebut peneliti melakukan mengajukan penelitian dengan judul Pengaruh Evaluasi Pelayanan Pengelolaan Pasar Terhadap Kepuasan Warga Pedagang Di Pasar Sederhana Kota Bandung.

1.2 Pokok Permasalahan


1.2.1 Identifikasi Masalah

Bertitik tolak dari Latar Belakang, Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini berfokus pada Pengaruh Kualitas Pelayanan Pengelolaan Pasar Terhadap Kepuasan Warga Pedagang Di Pasar Sederhana Kota Bandung. Secara rinci, focus masalah tersebut dirumuskan dalam sejumlah pertanyaan kajian sebagai berikut :
A. Bagaimana evaluasi pelayanan pengelolaan di pasar Sederhana Bandung ? B. Bagaimana kepuasan warga pedagang di pasar Sederhana Bandung ?

C. Bagaimana pengaruh evaluasi pelayanan pengelolaan pasar terhadap kepuasan warga pedagang di pasar Sederhana kota Bandung ?
3

Maksud dan Tujuan Maksud dari evaluasi terhadap pelayanan pengelolaan pasar meliputi Lingkup

jasa pelayanan fasilitas pasar, mekanisme jasa pelayanan fasilitas pasar, untuk mengelola perkembangan pasar agar dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan sekaligus peningkatan perekonomian masyarakat. Tujuan dari upaya peningkatan pelayanan pasar terhadap pedagang diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengkajian evaluasi kebijakan publik, khususnya yang menyangkut kebijakan pengelolaan pasar di pasar Sederhana Bandung.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Pelayanan Publik Kebijakan publik pada umumnya dibuat berlandaskan hukum dan kewenangan tertentu. Para warga masyarakat menerima kebijakan pemerintah sebagai suatu produk hukum yang absah. Dengan demikian, kebijakan publik memiliki daya ikat yang kuat terhadap publik secara keseluruhan dan memiliki daya paksa tertentu yang tidak dimiliki oleh kebijakan yang dibuat oleh organisasi-organisasi swasta. Kebijakan publik dibedakan dari kebijakan-kebijakan lain yang dikeluarkan oleh individu atau kelompok. Bambang Sunggono mengutip pendapat A. Hoogerwerf (dalam Sunggono, 1994: 24) yang mengemukakan adanya dua unsur yang membedakan kebijakan publik dari kebijakan yang dikeluarkan oleh aktor-aktor lain, yakni :
Kebijakan publik mengenai langsung atau tidak langsung

semua anggota masyarakat di daerah kekuasaan tertentu.


Kebijakan publik mengikat bagi anggota masyarakat daerah

kekuasaan tertentu, jugadisebabkan karena kebijakan publik mengikat, maka selalu timbul pertanyaan apa yang menjadi ukuran kebijakan itu.

Selain berlaku atau mengikat sebagian atau seluruh anggota masyarakat, kebijakan publik juga dirumuskan dan disahkan oleh suatu lembaga resmi dalam hal ini lembaga-lembaga pemerintah. Mengenai hal ini, Thomas R. Dye menjelaskan bahwa suatu kebijakan tidak dapat menjadi kebijakan publik kalau tidak dirumuskan, disahkan dan dilaksanakan oleh lembaga pemerintahan seperti legislatif, eksekutif, dan yudikatif (dalam Sunggono, 1994: 25). Irfan Islamy selanjutnya mengemukakan empat ciri penting dari kebijakan publik, sebagai berikut:
Bahwa

kebijakan

publik

itu

dalam

bentuknya

berupa

penetapan tindakantindakan pemerintah;


Bahwa kebijakan publik itu tidak cukup hanya dinyatakan

tetapi dilaksanakan dalam bentuk yang nyata;


Bahwa kebijakan publik baik untuk melakukan atau tidak

melakukan sesuatu mempunyai dan dilandasi dengan maksud dan tujuan tertentu;
Bahwa kebijakan publik itu harus senantiasa ditujukan bagi

kepentingan seluruh anggota masyarakat. Sebagai suatu penuntun, maka kebijakan publik memberikan arah tindakan bagi perilaku di masa depan sekaligus merupakan suatu kesatuan arah bagi sejumlah program dan proyek yang membutuhkan keputusan-keputusan besar dan kecil. Arah tindakan ini dihasilkan melalui proses pemilihan oleh pengambil kebijakan dari sejumlah alternative pilihan yang tersedia sehingga tindakan ini merupakan tindakan yang disengaja. Pilihan tersebut tidak

bermaksud memecahkan semua masalah, tetapi memberikan solusi dari suatu situasi yang terbatas. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa

kebijakan publik merupakan serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan tertentu berkenaan dengan masalah tertentu yang diorientasikan pada kepentingan masyarakat. Dengan demikian, kebijakan public merupakan suatu fenomena yang kompleks karena ada variasi kompleksitas, melibatkan multiaktor dengan beragam kepentingan di mana masing-masing pihak mencermati Mengingat kebijakan kompleksitas dari perspektifnya kebijakan masing-masing. publik, maka konteks

pemerintah sebagai pihak yang memiliki otoritas untuk mengambil keputusan dituntut untuk mampu memilih alternatif keputusan secara tepat dengan berorientasi pada sebesar mungkin kepentingan masyarakat. 2.2 Evaluasi Kebijakan Publik Untuk mengetahui sejauhmana pelaksanaan kebijakan

mencapai tujuan yang telah ditetapkan, maka tahap terakhir dari proses kebijakan adalah melakukan evaluasi kebijakan. Evaluasi kebijakan implementasi, pencapaian tujuan, dan dampak dari kebijakan tersebut, bahkan evaluasi juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan suatu kebijakan, sehingga hasil pengkajian tersebut dapat digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan apakah kebijakan tersebut akan dilanjutkan, diubah, diperkuat atau diakhiri (Anderson, 1997: 272).

Evaluasi

biasanya

didefinisikan

sebagai

kegiatan

untuk

mengukur keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Adapun kriteria lain dalam rangka mengevaluasi suatu kebijakan adalah:
Efisiensi : suatu kebijakan dikatakan efisien, jika hasil (output

atau outcomes) lebih besar (berarti) dari pada biaya untuk implementasi serta penegakan hukuk kebijakan tersebut. Artinya, yang digunakan adalah kriteria costeffectiveness, dengan kata lain, suatu kebijakan bersifat efisien, maka pasti cost-effectiveness, tetapi tidak sebaliknya

Keadilan : yang dimaksud dengan keadilan adalah kebijakan, di antara kelompok masyarakat

pembagian (penyebaran) keuntungan, yang diperoleh dari suatu (stakeholders).

Insentif untuk perbaikan : kebijakan yang baik adalah yang mendorong para stakeholders untuk

kebijakan perbaikan.

mencari dan menerapkan pendekatan atau teknologi untuk Kemudahan untuk penegakan hukum (enforceability) :

dapat atau tidaknya suatu kebijakan diimplementasikan serta ditegakkan. Pertimbangan Moral.

Dengan

demikian,

dapat

disimpulkan

bahwa

evaluasi

kebijakan merupakan proses yang dilakukan untuk mengukur sejauhmana suatu kebijakan dapat mencapai hasil yang telah ditetapkan sebelumnya. Pengukuran ini didasarkan pada

tercapainya indikator-indikator pelaksanaan kebijakan, yang dapat diukur dari sisi efisiensi, efektivitas, maupun outcome kebijakan. 2.3 Pemaknaan Pasar Secara sosiologis dan kultural, makna filosofis sebuah pasar tidak hanya merupakan arena jual beli barang atau jasa, namun merupakan tempat pertemuan warga untuk saling interaksi sosial atau melakukan diskusi informal atas permasalahan kota (Wahyudi dan Ahmadi, 2003). Pemaknaan ini merefleksikan fungsi pasar yang lebih luas, namun selama ini kurang tergarap pengelolaannya dalam berbagai kebijakan. Kebijakan-kebijakan yang terkait dengan pengelolaan pasar, seperti kebijakan perdagangan, tata ruang, dan perizinan lebih banyak berorientasi pada dimensi ekonomi dari konsep pasar. Pengabaian terhadap fungsi sosial-kultural pasar inilah yang kemudian melahirkan bentuk-bentuk pasar modern yang bernuansa kapitalistik, yang lebih menonjolkan kenyamanan fisik bangunan, kemewahan, kemudahan, dan kelengkapan fasilitas namun menampilkan sisi lain yang individualistis, dingin, dan anonim. Keunggulan pasar tradisional mungkin juga didapat dari lokasi. Masyarakat akan lebih suka berbelanja ke pasar-pasar yang lokasinya lebih dekat. Akan tetapi pusat-pusat perbelanjaan modern terus berkembang memburu lokasi-lokasi potensial. Dengan semakin marak dan tersebarnya lokasi pusat perbelanjaan modern maka keunggulan lokasi juga akan semakin hilang. Kedekatan lokasi kini tidak lagi dapat dijadikan sumber keunggulan bagi pasar tradisional. Upaya untuk menyeimbangkan kedudukan pasar tradisional dengan pasar modern belum secara konkret dilakukan

karena tidak ada kebijakan yang mendukung pasar tradisional, misalnya dalam hal pembelian produk pertanian tidak ada subsidi dari pemerintah sehingga produk yang masuk ke pasar tradisional kalah bersaing dalam hal kualitas dengan produk yang masuk ke pasar modern. Bahkan dewasa ini berkembang pengkategorian pasar yang cenderung memarginalkan masyarakat, seperti pasar tradisional untuk masyarakat berdaya beli menengah ke bawah tapi kualitas barang yang dijual tidak sesuai standar, sementara pasar modern untuk masyarakat menengah ke atas dengan kualitas produk sesuai bahkan melebihi standar minimal.

2.4

Kondisi Pasar Tradisioanal Perda No. 19 Tahun 2001 dibuat dengan maksud untuk perkembangan kepada pasar agar dan dapat sekaligus meningkatkan peningkatan

mengelola pelayanan

masyarakat

perekonomian masyarakat. Namun, maksud ini belum sepenuhnya tercakup dalam materi muatan perda karena perda ini hanya mengatur pengklasifikasian pasar menurut golongan dan jenis; ketentuan mengenai pendirian/pembangunan pasar dan penghapusan pasar; penunjukan dan pemakaian tempat berjualan; penyelenggaraan reklame, parkir, dan kebersihan di areal pasar; retribusi; kewajiban dan larangan; sanksi; dan ketentuan penyidikan. Sekalipun penamaan perda ini adalah pengelolaan pasar, pada kenyataannya tidak tercantum konsep pengelolaan pasar yang diterapkan di Kota Bandung. Pengklasifikasian pasar tidak disertai dengan mekanisme pengelolaan bagi setiap golongan dan
10

jenis pasar, padahal pengelolaan pasar induk tentu akan berbeda dengan pasar eceran, tapi dalam perda ini tidak dibahas mengenai perbedaan pengelolaan tersebut. Substansi perda juga tidak membahas mengenai pengelolaan pasar tradisional dan pasar modern, bahkan dalam perda sama sekali tidak termuat mengenai pasar modern, baik pengertian maupun pengelolaannya. Pendefinisian pasar yang digunakan dalam perda ini sangat limitatif, hanya bersumber dari perspektif ekonomi dan cenderung bersifat normatif. Dalam pasal 1 huruf f perda tersebut, dinyatakan bahwa pasar adalah tempat yang disediakan dan/atau ditetapkan oleh Walikota sebagai tempat berjualan umum atau sebagai tempat memperdagangkan barang dan atau jasa yang berdiri di lahan milik/dikuasai Pemerintah Daerah. Selanjutnya ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan pasar tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah, Swasta, Koperasi atau Swadaya Masyarakat dengan tempat usaha berupa toko, kios dan meja yang dimiliki/dikelola oleh pedagang dengan usaha skala kecil dan modal kecil dan dengan proses jual beli melalui tawar menawar. Kedua definisi di atas tidak menempatkan pasar dalam konsepsi dan pemaknaan yang sesungguhnya, sebagai tempat berlangsungnya masyarakat, tapi interaksi sebatas lintas strata sosial dalam umum. suatu Bahkan tempat berjualan

pendefinisian pasar tradisional semakin tereduksi dengan kriteria serba marginal, seperti tempat usaha berskala kecil, modal kecil, dan proses transaksinya melalui tawar-menawar. Berdasarkan definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa paradigma

11

pengelolaan pasar yang terkandung dalam perda tersebut sangat bernuansa ekonomi-kapitalistik. Paradigma inilah yang kemudian mendasari model revitalisasi pasar tradisional yang diterapkan di Kota Bandung selama ini, yakni model yang berbasis pada penguasaan kapital. Permasalahan yang paling krusial dalam pengelolaan pasar tradisional dan modern di Kota Bandung meliputi: (1) pembatasan perkembangan pusat belanja di wilayah pusat kota; (2) mendorong pengembangan pusat belanja di wilayah timur dan tenggara (pinggiran) kota sesuai dengan arahan struktur ruang kota; (3) belum ada pengembangan sektor penunjang dan mekanisme insentif disinsentif; serta (4) prioritas pengembangan pusat belanja di wilayah luar pusat kota. Untuk menangani permasalahanpermasalahan tersebut, upaya yang telah dilakukan Pemerintah Kota Bandung adalah melalui pembatasan pusat perdagangan di pusat kota Konflik kepentingan merupakan kewajaran dalam proses kebijakan, namun pada saat yang sama harus direspon secara baik oleh pengambil keputusan. Pemerintah Kota sebagai pemegang otoritas seyogianya dapat berperan lebih besar dalam mencari konsensus untuk mengelola kepentingan pihak-pihak yang terkait dalam pengelolaan pasar. Konsensus tersebut dapat diperbaharuhi untuk memastikan agar misi kebijakan tercapai dan pada saat yang sama, untuk pihak yang menerima konflik dampak dapat merelakannya. dalam Pemerintah Kota menggunakan mekanisme perizinan sebagai alat meredam kepentingan, namun pelaksanaannya, perizinan dalam pendirian ataupun pengelolaan

12

pasar hanya sebatas formalitas. Kewenangan untuk memberikan izin semestinya tidak hanya dimaknai secara legaladministratif, tapi juga secara politis. Kewenangan secara legal-administratif hanya dapat ditegakan manakala dianggap legitimate oleh mereka yang terkena dampak kebijakan, terutama oleh mereka yang terkena dampak negatif. Munculnya protes terhadap keputusan yang diambil keputusan pemerintah tersebut sesungguhnya tidak legitimate, mencerminkan meskipun bahwa memenuhi

persyaratan administrative 1. Lingkup Jasa Pelayanan Fasilitas Pasar Lingkup jasa pelayanan pasar terdiri atas : Jasa pelayanan SPTB dan atau SSTU, meliputi : 1. Permohonan pembuatan SPTB dan atau SSTU; 2. Perpanjangan SPTB dan atau SSTU; 3. Permohonan pemindahan hakj sewa/balik nama SPTB dan atau SSTU; 4. Permohonan pembuatan rekomendasi penjaminan SPTB dan atau SSTU Jasa Pelayanan fasilitas harian pasar; Jasa pelayanan fasilitas kebersihan pasar; Jasa pelayanan fasilitas ketertiban pasar;
Jasa pelayanan fasilitas Listrik dan atau air; Jasa pelayanan fasilitas Mandi cuci kakus ( MCK );

Jasa pelayanan fasilitas parker; Jasa pelayanan fasilitas bongkar muat; Jasa pelayanan fasilitas reklame; 2. Kewajiban dan Larangan Kewajiban
13

Setiap

pedagang

atau

pemakai

tempat

usaha/tempat

berjualan wajib untuk : Tempat usaha atau tempat berjualan harus dipakai dan dipergunakan sesuai fungsinya Jenis barang yang diperdagangkan harus sesuai dengan jenis yang telah ditetapkan berdasarkan SPTB dan atau SSTU Mengatur, menata, dan menempatkan barang juaklan denhan tertib dan rapi, tidak membahayakan keselamatan umum, dan tidak melebihi batas rampung ruang dagang Menyediakan alat pemadam kebakaran, tempat sampah, dan alat kebersihan lainnya di ruang dagang Menjaga dan memelihara ketertiban, kebersihan, dan keindahan ruang dagang dang lingkungannya Membayar tariff jasa pelayanan pasar yang telah ditetapkan oleh peraturan Walikota an Direksi PD. Pasar Bermartabat Membayar biaya langganan listrik, air, pajak Bumi bangunan, dan fasilitas lainnya bagi pedagang yang mempergunakan sesuai ketentuan yang berlaku Larangan Tanpa seizing Direksi perusahaan daerah pasar bermartabat, para pedagang dilarang untuk : Mendirikan, mengubah bentuk/konstruksi dan serta atau menambah/mengubah dagang bentuk/konstruksi

memperkecil tempat berjualan dan mengubah jenis

14

Menempatkan atau mempergunakan mesin generator, sumur bor di dalam dan sekitar tempat usaha/berjualan Menjual, menyimpan barang-barang lain yang mengganggu kesehatan dan dilarang oleh pemerintah Memanfaatkan lahan, arena, barang milik perusahaan daerah pasar Bermartabat Menjual atau memindahtangankan hak pakai/hak sewa tempat berjualan/tempat usaha Menjual atau memindahtangankan hak pengelolaan MCK dan pengelolaan listrik di areal pasar kepada pihak lain Menggunakan alat-alat pembangkit api antara lain kompor, tungku api, dan sejenisnya Melakukan penyambungan, penambahan, dan pemasangan daya listrik dan atau air Menyimpan gerobak, roda dagangan dan barang-barang lain di tempat yang bukan peruntukannya di areal pasar. Setiap orang dan atau badan hukum dilarang untuk : Bertempat tinggal, menginap atau bermalam di toko, kios, los dan lapak dio areal pasar Mengotori dan merusak tempat/bangunan pasar dan atau barang-barang milik perusahaan daerah pasar bernmartabat Menyampah tempatnya Memasuki dan membuat onar atau keribuatan di areal pasar dan membuang sampah tidak pada

15

Memasuki areal pasar bagi yang menderita penyakit menular Melakukan usaha atau kegiatan di areal pasar yang dapat mengganggu ketertiban umum dan membahayakan pedagang dan pengunjng pasar. Dalam melakukan pengelolaan pasar diperlukan beberapa paradigma, pertama pasar harus bergeser dari tempat bertransaksi ekonomi menjadi ruang publik tempat berlangsungnya interaksi social. Kedua, model revitalisasi pasar tradisional difokukan pada upaya memperbaiki jalur distribusi komoditas yang diperjual-belikan di pasar-pasar tradisional. Ketiga, pembangunan pasar jangan dihambat oleh kepentingan mencari keuntungan finansial karena pembangunan pasar selain memiliki tujuan sosial juga berperan untuk mereduksi biaya sosial, di mana revitalisasi pasar tradisional harus dipandang sebagai investasi jangka panjang dalam kerangka pengembangan properti kota (property development). Keempat, modernisasi pasar juga merupakan langkah untuk meningkatkan perekonomian pedagang kecil. Kelima, model kemitraan menjadi penting untuk dirumuskan bersama karena APBD Provinsi Jawa Barat maupun Kota Bandung tidak pernah membuat pos khusus untuk penataan pasar, sehingga mau tidak mau pemerintah kota selalu melibatkan pengembang untuk merevitalisasi pasar. Keenam, pasar tradisional harus dikelola secara kreatif untuk memecahkan persoalan ruang usaha bagi masyarakat. Dengan menerapkan paradigma dalam upaya meningkatkan penerapan kewajiban serta larangan dan sanksi yang telah

16

diterapkan pemerintah, akan sejalan dengan kebutuhan para pedagang sekarang khususnya pedagang pasar tradisional dalam meningkatkan pelayanan terhadap konsumen maupun menghadapi persaingan dengan pasar modern. Peran serta pemerintah daerah sangat berperan penting dalam pengelolaan pelayanan terhadap pedagang pasar tradisional berupa peraturan pemerintah daerah yang melindungi pedagang pasar tradisional serta mempermudah semua pelayanan di semua aspek pelayanan yang dibutuhkan yang meliputi prinsip pelayanan sebagai berikut : Prinsip kesederhanaan Prinsip keamanan, kejelasan dan kepastian Prinsip keterbukaan Prinsip Efisiensi dam ekonomis Prinsip Keadilan Prinsip Kecepatan dan ketepatan waktu Upaya informasi sosialisasi yang perlu ditingkatkan bagi atau untuk memberikan guna yang

sangat Birokrasi

penting

pedagang

menginformasikan pelayanan. 2.5

peraturan/persyaratan

diperlukan untuk kebutuhan pedagang sehingga mempermudah

Pengertian Kepuasan Tjiptono (2005:20) berpendapat bahwa kepuasan atau ketidak

puasan merupakan respon pelanggan sebagai hasil dan evaluasi ketidakpuasan kinerja atau tindakan yang dirasakan sebagai akibat dari tidak terpenuhinay harapan. Menurut Irawan kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa dari seseorang ynag
17

mendapat

kesan

dari

membandingkan harapannya.

hasil

pelayanan

kinerja

dengan

harapan

Untuk mengukur tingkat kepuasan pelanggan perlu adanya indeks kepuasan. Indeks kepuasan adalah data dan informasi tentang tingkat kepuasan pelanggan yang diperoleh dari hasil pengukuran kuantitatif dan kialitatif atas pendapat pelanggan dalam memperoleh pelayanan public dengan membandingkan antara harapan dan kebutuhan. Indeks kepuasan pelanggan tesebut mharus memiliki 14 unsu yang relevan, valid dan reliable sebagai unsure yang harus ada, 14 unsur tersebut adalah : a. Prosedur pelayanan b. Persyaratan pelayanan c. Kejelasan petugas pelayanan d. Kedisiplinan petugas pelayanan e. Tanggung jawab petugas pelayanan f. Kemampuan petugas pelayanan g. Kecepatan pelayanan h. Keadilan dalam mendapatkan pelayanan i. Kesopanan dan keramahan petugas j. Kewajaran biaya k. Kepastian biaya l. Kepastian jadwal pelayanan m. Kenyamanan lingkungan
n. Keamanan pelayanan

2.6

Pengaruh

Evaluasi Pelayanan Terhadap Kepuasan

Warga Pedagang Kepuasan adalah salah satu hal terpenting untuk mengetahui seberapa tingkat pelayanan yang telah dilakukan suatu instansi

18

atau organisasi. Kepuasan akan tercapai apabila pelayanan sudah memenuhi standar yang baik, namun bila dalam melakukan balau
2.7

pelayanan tiak akan

tidak

dilakukan

evaluasi kepuasan

terhadap terhadap

pelayanan maka pelayanan yang dilakukan pun akan kacau dan menimbulkan pelanggan. Model Penelitian Model penelitian adalah paradigm penelitian yang bertujuan untuk menemukan fakta dan interprestasi yang tepat pada variable variable yang akan diteliti, kemudian membuat variable satu dengan yang lainnya. Adapun model penelitian sebagai berikut: Evaluasi Pelayanan ( Variabel X ) Efesiensi Keadilan Insentif untuk perbaikan Pertimbangan moral

: 39 ) rumusan masalah

Kepuasan (Variabel Y ) Mutu produk / jasa Mutu pelayanan Harga Waktu penyerahan Keamanan

2.8 Hipotesis

MenurutSugiyono sementara

(2000

Hipotesis

adalah

jawaban Artinya

terhadap

penelitian.

sementara karena jawaban yang diberikan belum didasarkan pada fakta empiris yang diperoleh dari pengumpulan data. Jadi hipotesis juga dapat dinyatakan sebagai jawaban teoritis

19

terhadap

perumusan

masalah

penelitian,

tetapi

belum

merupakan jawaban empiris. Adapun hipotesis dari proposal ini adalah: Ho : = 0 tidak terdapat hubungan variable evaluasi pelayanan terhadap kepuasan warga pedagang HI : 0 terdapat hubungan antara variable evaluasi pelayanan terhadap kepuasan warga pegdagang

20

BAB III METODA PENELITIAN


3.1. Metode Penelitian Metode penelitian merupakan langkah atau komponen yang terlihat langsung dalam memecahkan masalah penelitian karena berkenan dengan cara memperoleh data yang diperlukan dan akhirnya dapat memecahkan masalah dengan baik. Metode penelitian menurut Sugiyono (2011 : 2) adalah : Metode penelitian pada adasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuandan kegunaan teetentu. Berdasarkan hal tersebut terdapat empat kata kunci yang diperhatikan, yaitu : cara ilmiah, data, tujuan, dan kegunaan,.

Metode kuantitatif,

penelitian tipe

yang

digunakan yaitu

adalah

penelitian yang

dengan

explamatory

penelitian

menjelaskan pengaruh antara variable-variable penelitian melalui pengujian hipotesis (Singarimbun, 1986). Penelitian Cross Sectional meruopakan penelitian yang

pengumpulandatanya dilakukan melalui proses kompromi (silang) terhadap beberapa kelompok subjek penelitian dan diamati/diukur satu kali untuk tiap kelompok sujek penelitian tersebut sebagai

21

wakil perkembangan dari setiap tahapan perkembangan subjek (menembak satu kali terhadapsatu kasus) (Marzuki, 1999). 3.2. Populasi dan Sampel 3.2.1 Populasi Populasi menurut Arikanto (1989 :102) adalah keseluruhan objek penelitian sampel. Mengenai Totalitas perhitubgan karakteristik sifatnya. Berdasarkan definisi di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa sampel. 3.2.1. Karakteristik Responden Jumlah Kuisioner dalam penelitian ini sebanyak 45 kuisioner yang disebarkan secara acak ke seluruh warga pasar Sederhana. Adapun karakteristik responden yang penulis teliti berdasarkan jenis kelamin, dan usia sebagai berikut: a. Karakteristik berdasarkan jenis kelamin Table 3.1 Jenis Kelamin Laki laki Jumlah responden 52
22

populasi semua

menurut nilai

Sudjana yang

(1990

6)

mengemukakan sebagai berikut : mungkin,. kuantitasif sekumpulan Hasil dan objek ataupun tertentu pengukuran, mengenai

yang lengkap dan jelas yang ingin dipelajari sifat-

populasi

adalah

keseluruhan

objek

penelitian

yang

memenuhi syarat tertentu dan merupakan sumber pengambilan

Presentase % 48,15%

Perempuan Total

56 108

51,85% 100%

b. Karakteristik berdasarkan usia Usia 20 - 30 tahun 31 - 40 tahun 41 - 50 tahun Total Jumlah responden 25 43 40 108 Presentase % 23,15% 39,81% 37.04% 100%

3.2.2. Teknik Sampling dan Sampel Menurut sugiyono definisi sampel adalah bagian dari jumlah karakteristik yang di miliki oleh populasi . Sedangkan menurut Suharsini Arikuntoro (1998 :117) sampel merupakan sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Teknik pengambilan sampel yang dilakukan adalah random sampling yaitu sampel yang dilakukan berdasarkan kaidah teori peluang. Yang termasuk dalam kategori ini adalah sampling acak sederhana, karena cara pengambilan sampel dari semua anggota populasi, Budi Setiawan (2006:21). Apabila anggota populasi dianggap homogeny maka cara pengambilan sampel dari semua anggota populasi dilakukan secara acak tanpa melihat strata yang ada dalam anggota populasi itu. Untuk mengetahui besarnya sampel yang akan diambil digunakan rumus sebagai berikut : n= N N (d) 2 + 1

Keterangan : n = Jumlah sampel


23

N = Jumlah Populasi d = NIlai ktritis( tingkat kesalahan yang ditetapkan sebesar 5% atau 10%) Sesuai dengan rumus tersebut,maka jumlah sampel peneliti sebagai berikut:

n=

N N (d) 2 + 1

n=

108 108 (0,1)2 +1

= 108 2,08

= 51,93 52 responden

3.2.3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data adalah cara cara yang dugunakan utuk mengumpulkan data dan keterangan keterangan lainnya dalam penelitian terhadap objek penelitian adapun untuk menunjang penulisan mengunakan teknik pengumpulan data langsung pada objek penelitian sebagai berikut ; a. Studi lapangan, pencarian data langsung dari lokasi dengan cara menyebarkan angket, wawancara, obsevasi. b. Studi literature yaitu mengumpulkan data dengan menggunakan bahan yang di dapat dari pendapat para ahli yang berhubungan dengan permasalahan yang sedang di bahas. 3.2.4.Defiisi OPersional Variabel Dan Indikator Indikatornya Dalam penulisan ini , variable diartikan sebagai segala sesuatu yang akan menjadi objek pengamatan penelitian.

24

Berdasarkan judul penelitian Pengaruh Evaluasi Pelayanan Terhadap Kepuasan Warga Pedagang di Pasar Sederhana Kota Bandung, maka terdapat dua variable yaitu 1. Variable Bebas Variabel bebas adalah variable yang mempengaruhi variable lainnya. Yang menjadi variable bebas dalam penelitian ini adalah evaluasi pelayanan.
2. Variable Terikat

Variable terikat adalah variable yang dipengaruhi oleh variable lainya. Dalam kaitannya dengan masalah yang diteliti maka yang menjadi di variable atas, terikat maka adalah definisi kepuasan warga pedagang. Berdasarkan penjelasan opersionalnya adalah sebagai berikut : a. Evaluasi pelayanan Evaluasi biasanya didefinisikan sebagai kegiatan untuk mengukur keberhasilan pelaksanaan pelayanan. Adapun kriteria lain dalam rangka mengevaluasi suatu kebijakan adalah:
Efisiensi : suatu kebijakan dikatakan efisien, jika hasil (output

atau outcomes) lebih besar (berarti) dari pada biaya untuk implementasi serta penegakan hukuk kebijakan tersebut. Artinya, yang digunakan adalah kriteria costeffectiveness, dengan kata lain, suatu kebijakan bersifat efisien, maka pasti cost-effectiveness, tetapi tidak sebaliknya

Keadilan : yang dimaksud dengan keadilan adalah kebijakan, di antara kelompok masyarakat

pembagian (penyebaran) keuntungan, yang diperoleh dari suatu (stakeholders).


25

Insentif untuk perbaikan : kebijakan yang baik adalah yang mendorong para stakeholders untuk

kebijakan perbaikan.

mencari dan menerapkan pendekatan atau teknologi untuk Kemudahan untuk penegakan hukum (enforceability) :

dapat atau tidaknya suatu kebijakan diimplementasikan serta ditegakkan. Pertimbangan Moral. demikian, dapat disimpulkan bahwa evaluasi

Dengan

kebijakan merupakan proses yang dilakukan untuk mengukur sejauhmana suatu kebijakan dapat mencapai hasil yang telah ditetapkan sebelumnya. Pengukuran ini didasarkan pada tercapainya indikator-indikator pelaksanaan kebijakan, yang dapat diukur dari sisi efisiensi, efektivitas, maupun outcome kebijakan. b. Kepuasan Warga Pedagang Tjiptono (2005:20) berpendapat bahwa kepuasan atau ketidak puasan merupakan respon pelanggan sebagai hasil dan evaluasi ketidakpuasan kinerja atau tindakan yang dirasakan sebagai akibat dari tidak terpenuhinya harapan.

26

DAFTAR PUSTAKA
Irfan Islamy, 1988, Materi Pokok Kebijakan Public. Jakarta Karunika Imawan, Riswandha. 1999. Kebijakan Publik. Yogyakarta : Program Pascasarjana Magister Administrasi Publik UGM.
Anderson, James E. 1997. Public Policy-Making. Third Edition. New York : Holt, Rinehart and Winston Barata, Ateb adya 2004. Dasar dasar pelayanan prima. Jakarta : Elex Media Komputindo Supranto, 2006.Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan. Cetakan ketiga. Jakarta:PT.Rineka Cipta.

27

You might also like