You are on page 1of 11

BAB III METODE KERJA

3.1 Kondisi umum daerah pengamatan 3.1.1 Taman Nasional Baluran Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, kawasan TN Baluran beriklim kering tipe F dengan temperatur berkisar antara 27,2C-30,9 C, kelembaban udara 77 %, kecepatan angin 7 nots dan arah angin sangat dipengaruhi oleh arus angin tenggara yang kuat. Musim hujan pada bulan November-April, sedangkan musim kemarau pada bulan April-Oktober dengan curah hujan tertinggi pada bulan Desember-Januari. Namun secara faktual, perkiraan tersebut sering berubah sesuai dengan kondisi global yang mempengaruhi (Baluran Natonal Park Website, 2011). Secara geologi TN Baluran memiliki dua jenis golongan tanah, yaitu tanah pegunungan yang terdiri dari jenis tanah aluvial dan tanah vulkanik, serta tanah dasar laut yang terbatas hanya pada dataran pasir sepanjang pantai daerah-daerah hutan mangrove. Tanah yang berwarna hitam yang meliputi luas kira-kira setengah dari luas daratan rendah, ditumbuhi rumput savana. Daerah ini merupakan daerah yang sangat subur, serta membantu keanekaragaman kekayaan makanan bagi jenis satwa pemakan rumput (Baluran Natonal Park Website, 2011). TN Baluran mempunyai tata air radial, terdapat sungai-sungai besar termasuk sungai Kacip yang mengalir dari kawah menuju Pantai Labuhan Merak, Sungai Klokoran dan Sungai Bajulmati yang menjadi batas TN Baluran di bagian Barat dan Selatan. Pada musim hujan, tanah yang hitam sedikit sekali dapat ditembus air dan air mengalir di permukaan tanah, membentuk banyak kubangan (terutama di sebelah selatan daerah yang menghubungkan Talpat dengan Bama). Pada musim kemarau air tanah di permukaan tanah menjadi sangat terbatas dan persediaan air pada beberapa mata air tersebut menjadi berkurang (Baluran Natonal Park Website, 2011).

Pada tanggal 6 Maret 1980 bertepatan dengan hari Strategi Pelestarian se-Dunia, Suaka Margasatwa Baluran oleh menteri Pertanian diumumkan sebagai Taman Nasional. Kawasan TN Baluran terletak di Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo, Propinsi Jawa Timur dengan batas-batas wilayah sebelah utara Selat Madura, sebelah timur Selat Bali, sebelah selatan Sungai Bajulmati, Desa Wonorejo dan sebelah barat Sungai Klokoran, Desa Sumberanyar. Berdasarkan SK. Menteri Kehutanan No. 279/Kpts.-VI/1997 tanggal 23 Mei 1997 kawasan TN Baluran seluas 25.000 Ha. Sesuai dengan peruntukkannya luas kawasan tersebut dibagi menjadi beberapa zona berdasarkan SK. Dirjen PKA No. 187/Kpts./DJ-V/1999 tanggal 13 Desember 1999 yang terdiri dari zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan inti dan intensif (Baluran Natonal Park Website, 2011).

Gambar 3.1 Peta Kawasan Konservasi di Pulau Jawa (kiri atas), TN Baluran (kanan atas). dan TN Bromo Tengger Semeru (bawah) (Departemen Kehutanan, 2011)

3.1.2 Taman Nasional Bromo Tengger Semeru Taman Nasional Bromo Tengger Semeru adalah taman nasional di Jawa Timur, Indonesia, yang terletak di wilayah administratif Kabupaten

Pasuruan, Kabupaten Malang, Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Probolinggo. Letak secara geografisnya adalah 751 - 811 LS, 11247 11310 BT. Taman ini ditetapkan sejak tahun 1982 dengan luas wilayahnya sekitar 50.276,3 ha. Taman Nasional Bromo Tengger Semeru memiliki tipe ekosistem sub-montana, montana dan sub-alphin dengan pohon-pohon yang besar dan berusia ratusan tahun antara lain cemara gunung, jamuju, edelweis, berbagai jenis anggrek dan rumput langka. Temperatur udara berkisar 3 - 20 C dengan curah hujan rata-rata: 6.600 mm/tahun dan ketinggian tempat: 750 3.676 m. dpl (Departemen Kehutanan, 2011).

3.1.3 Lokasi Pengamatan pada TN Baluran dan Bromo Tengger Semeru Pengamatan dilakukan di taman nasional di pulau Jawa, yakni TN Baluran (TNB) dan Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Di TNB, dilakukan pengamatan analisis vegetasi, hutan mangrove, ekosistem lamun dan terumbu karang, pengamatan burung, pencuplikan serangga dan hewan malam. Sedangkan di TNSTS hanya dilakuakan pengamatan analisis vegetasi dengan metode plot kuadrat 3x3 m. Adapun lokasi plot kuadrat pada TNBTS adalah sebagai berikut.

Gambar 3.2 Penginderaan TNBTS (kiri) dan lokasi plot kuadrat 3x3 m (kanan) (Google earth, 2011)

Pengamatan analisis vegetasi dilakukan dengan 3 metode yakni metode kuadrat di savana terinvasi, kuadran/kuarter di hutan evergreen, dan digram profil pohon di hutan musim (gambar 3.3). Di hutan evergreen juga dilakukan pengamatan burung dan hewan malam serta pencuplikan serangga nokturnal. Di savana dilakukan pencuplikan serangga dengan metode malaise trap. Analisis vegetasi di hutan mangrove, pengamatan lamun dan terumbu karang dilakukan di daerah pantai Bama.

Gambar 3.3 Posisi plot analisis vegetasi di TN Baluran (kanan bawah): metode diagram profil pohon di hutan musim (kiri atas), metode kuadrat di savana terinvasi (kanan atas), dan metode kuarter di hutan evergreen (kiri bawah) (Google earth, 2011)

3.2 Tata Kerja 3.2.1 Analisis Vegetasi y Metode Kuadrat Analisis vegetasi, di savana terinvasi dan savana Bromo digunakan metode kuadrat. Metode ini merupakan metode plot yang berbentuk bujur sangkar dengan luas masing-masing plot adalah 10x10m. Plot tersebut merupakan area pencuplikan untuk perdu yang lebih dari 1 m. Pada 2 buah

sudut plot tersebut, terdapat plot kecil berukuran masing-masing 3x3m untuk area pencuplikan perdu yang kurang dari 1 m. Sedangkan area pencuplikan herba adalah persegi ukuran 1x1m pada dua sudut setiap plot 3x3m. Lebih jelasnya, gambar plot pencuplikan vegetasi terdapat pada gambar 2.8. Sedangkan untuk plot di Bromo, hanya dibuat 2 buah plot berukuran 3x3 m untuk perdu yang didalamnya terdapat 2 buah plot 1x1 m untuk pencuplikan herba. Plot ini diulang sebanyak 12 kali.

Gambar 3.4 Sketsa plot metode kuadrat pada savana terinvasi

Di savana terinvasi, plot 10x10 m dilbuat sebanyak 12 buah. Dari pencuplikan tersebut akan didapatkan jumlah individu per spesies beserta keliling perdu dengan tinggi diatas 1 m dan kerimbunan dari perdu dibawah 1 m dan herba. Dari data tersebut maka akan dapat ditentukan kerapatan relatif (Kr rf), frekuensi relatif (Fr rf), kerimbunan relatif (Kb rf), dan Luas Area Basal (LAB). Parameter-parameter tersebut akan membentuk Nilai Penting (NP) dimana rumusnya pada pohon, perdu, dan herba berbeda. Adapun rumusnya adalah sebagai berikut.
                     

Selain Nilai Penting, analisis vegetasi yang dilakukan adalah Indeks Kanekaragaman (H) yang memakai versi Shannon-Wiener. Adapun rumusnya adalah sebagai berikut.
  dimana Pi =
  

Metode Kuarter Analisis vegetasi menggunakan metode kuarter dilakukan di hutan

evergreen. Dalam metode ini, 4 titik pengamatan ditentukan secara acak dimana titik ini menjadi pusat kuadran yang sesuai dengan arah mata angin. Di setiap kuadran, diukur jarak dari titik pusat ke spesies pohon yang berdiameter lebih dari 10 cm terdekat beserta diameter dan tingginya. satu titik pusak memiliki 4 kudran sehingga pohon yang dihitung ada 4 pula. Adapun bagan kudran tersebut adalah sebagai berikut.

Gambar 3.5 Bagan pembagian daerah pengamatan metode kuarter

Dari data jarak titik pusat ke pohon, diameter dan tinggi pohon, dapat dihitung nilai penting dan volume kayu total dari pohon tersebut. Nilai penting didapatkan dari penjumlahan relatif dari kerapatan pohon (RDi), frekuensi (Rfi), dan penutupan pohon (RCi). Secara matematis rumusnya adalah NP = RDi + Rfi + RCi. y Diagram Profil Pohon Metode ini bertujuan untuk menstratifikasi pohon secara vertikal dalam komunitasnya. Adapun lokasi yang dipilih adalah hutan musim Baluran. Pengerjaannya adalah dengan membuat plot sebesar 20 x 50 m dan setiap pohon yang termasuk dalam plot tersebut diidentifikasi.. Pohon tersebut dihitung koordinatnya (x,y) terhadap titik pusat, tinggi pohon, dan tinggi 3 percabangan utama pohon, diameter batang, dan lebar penutupan kanopi. Setelah semuanya dihitung, maka data tersebut diproyeksikan tampak depan (sesuai sumbu x) sehingga didapatkan diagram profil pohon di dalam plot tersebut.

3.2.2 Analisis Vegetasi Mangrove Pengamatan analisis vegetasi di hutan mangrove dilakukan dengan metode transect line plot di hutan mangrove pantai Bama. Plot diposisikan sesuai dengan garis transek dimana plot terletak pada sebelah kanan dan kiri garis. Plot berukuran 10 x 10 m dibuat dengan pengulangan 12 kali. Dalam plot tersebut dihitung diameter (DBH) dari tumbuhan mangrove yang terbagi atas pohon (d>20cm), tiang (10<d<20), dan pancang (d<10cm). Selain DBH juga dilakukan identifikasi spesies, pengukuran kerapatan, kerimbunan, frekuensi, dan parameter fisika kimia sehingga didapatkan nilai penting, indeks keanekaragaman Shanon Wiener, dan status kerusakan mangrove. Tumbuhan semai juga diukur kerapatan dan frekuensinya. 3.2.3 Pengamatan Burung Metode pengamatan burung yang dilakukan adalam metode point counting dimana pengamatan dilakukan secara langsung di titik pengamatan. Pada metode ini, batas jarak pengamat dengan titik pusat adalah 50 m. Pengamatan dilakuakan 2 kali yakni saat pagi hari di hutan evergreen dan pantai Bama selama 1-2 jam. Bentuk morfologi burung diamati dengan binokuler sehingga burung yang ditemukan dapat diidentifikasi.Metode pencatatan yang digunakan adalah metode pencatatan yang berisikan nama spesies burung, jumlah individu dan waktu perjumpaan. Hasil pengolahan data tersebut didapatkan kurva penemuan jenis dan indeks kelipahan relatif. 3.2.4 Pencuplikan Hewan y Mist net Jaring kabut atau mist net terbuat dari bahan polyster dengan ukuran lubang jaring 30-36 mm. Perangkap ini ditujukan untuk sampling kelelawar, burung kecil, dan mamalia kecil. Perangkap ini dipasang di savana Baluran pada sore hari dan diambil pada keesokan harinya. Jaring ini dipasang melintang sesuai arah angin ataupun arah terbang. Ketinggian pemasangan disesuaikan dengan kondisi setempat yang biasanya 3-4 meter dari permukaan tanah. hasil tangkapan akan dianalisis sehingga didapatkan data

kelimpahannya dengan rumus jumlah individu per luas jaring per jam pemasangan. Perangkap mis net itu sendiri tergambar dalam gambar 3.6.

Gambar 3.6 Bagan mist net (Kunz and Kurta, 1988)

Light trap Metode pencuplikan serangga ini lebih ditujukan pada serangga

terbang nokturnal. Desain dari alat ini tergambar dalam gambar 3.7. Alat ini digantung pada sore menjelang malam pada percabangan pohon yang kuat. Pada malam hari, lampu UV yang ada pada alat ini akan memancing serangga nokturnal untuk datang.

Gambar 3.7 Bagan light trap (Martin, 1977)

Malaise trap Perangkap ini menyerupai tenda yang dibuat dari kain kasa dengan

botol penampung serangga di ujung ketinggiannya. Botol ini diisi alkohol 70%. Perangkap ini dipasang di ekosistem savana Baluran. Perangkap ini

dipasang selama 1 hari dan serangga yang tertangkap diidentifikasi di laboratorium untuk dianalisis kelimpahan dan keanekaragamannya.

Gambar 3.8 Desain malaise trap (Martin, 1977)

3.2.5 Pengamatan Hewan Malam Pengamatan dilakukan satu kali pada malam hari di ekosistem hutan evergreen. Pengamatan dapat berupa perjumpaann langsung, penemuan tapak, feses, tulang rahang, rambut, sarang, dan guratan pohon. Pengamatan ini bertujuan untuk menganalisis keanekaragaman hewan malam di Baluran. 3.2.6 Analisis Vegetasi Lamun Pengamatan lamun ditujukan untuk mengetahui komposisi lamun dan biota yang ada di Pantai Bama. Pengamatan dilakukan dari pagi hari dengan membuat transek pada titik 0, 50, 100, dan 150 dan transek garis 25 m sejajar garis pantai. Dalam transek garis 25 m dibuat 5 buah plot 1x1 m berisikan 25 subplot 20x20 cm. Pada setiap kuadrat dilakukan identifikasi spesies lamun, penutupan lamun, tinggi kanopi lamun, identifikasi biota, jumlah biota, dan pengukuran fisika kimia perairan tersebut. Tujuan dari pengamatan ini adalah didapatkan nilai penutupan lamun dan status ekologis lamun tersebut.

3.2.7 Line Intercepts Transect Terumbu Karang Prinsip dari metode ini adalah menggunakan garis transek yang diletakkan di atas koloni karang sehingga dilihat tutupan karang hidup per jenisnya, karang mati, bentuk substrat, alga, dan keberadaan biota lain seperti

ikan karang. Transek garis dibuat sepanjang 25 meter. Pada transek tersebut dilakukan sensus ikan karang dan pencatatan parameter terumbu karang setiap satuan panjang. Parameter yang diukur adalah bentuk hidup karang, tutupan karang hidup, dan tutupan karang mati yang terkena garis transek, jenis subtrat seperti patahan karang, pasir, lumpur, air, dan batu. Data sensus ikan digunakan sebagai data pendukung bagi data terumbu karang karena sifat terumbu karang yang dapat berasosiasi dan melindungi ikan karang yang hidup di dekatnya. Sehingga dapat diasumsikan bahwa semakin beragam ikan karangnya maka semakin baik kondisi karang tersebut. 3.2.8 Pencuplikan tanah Pencuplikan tanah menggunakan alat auger dan core sampler di dalam plot 10x10 m pada ekosistem savana terinvasi, hutan evergreen, hutan musim, dan savana bromo. Prinsip penggunaan kedua alat tersebut adalah dengan menancapkan alat tersebut ke tanah dengan kedalaman tertentu sehingga tanah terbawa pada rongga silinder pada kedua alat. Pencuplikan tanah menggunakan auger dimaksudkan untuk mengetahui profil tanah di daerah plot 10x10m dengan kedalaman tanah rata-rata 30cm dan kandungan organiknya. Di laboratorium sampel tanah ditimbang seberat 10 gram kemudian disimpan di oven sampai berat tanah stabil, lalu 5 gram tanah diambil dan ditimbang di dalam krus kemudian dimasukkan ke dalam vurnice dengan temperatur 450C selama 4 jam. Setelah 4 jam, krus dimasukkan ke dalam desikator kemudian ditimbang kembali untuk mengetahui nilai kandungan organik pada tanah tersebut. Saat penentuan tekstur tanah digunakan gambar segitiga tanah untuk mengidentifikasi tekstur pada sampel tanah. Berdasarkan segitiga tekstur tanah dan kertas identifikasi tanah, terdapat 3 komponen partikel utama yang menyusun tanah, yaitu: pasir, liat dan debu. Sedangkan dengan core sampler digunakan untuk menghitung bulk density tanah. Tanah yang dicuplik sebeanyak volume core sampler. Core sampler yang digunakan terbuat dari paralon berdiameter 7 cm dan tinggi 5

cm. Setelah tanah dicuplik dan dibungkus aluminium foil, tanah dianalisis sehingga tanah dapat ditentukan tekstrurnya. Di laboratorium sampel tanah ditimbang dan dimasukkan ke dalam oven sampai berat tanah stabil. 3.2.9 Pengambilan Data Fisika Kimia Parameter fisika kimia yang diukur adalah cuaca, posisis geografis, suhu tanah, pH tanah, suhu udara, kelembaban udara, kelembaban tanah, dan intensitas cahaya. Penentuan cuaca dilakukan dengan pengamatan langsung di daerah sekitar plot. Posisi geografis ditentukan dengan bantuan alat Global Positioning System (GPS). Suhu tanah dan udara dihitung dengan menggunakan termometer raksa dimana untuk mengukur suhu tanah, termometer ditancapkan secara perlahan ke tanah. Intensitas cahaya dapat diukur dengan Lux meter. Kelembaban dan pH tanah diukur dengan menggunakan Soil Tester. Sedangkan kelembaban udara diukur dengan Sling Psichometer. Pengambilan data fisika dan kimia ini dilakuakn setiap melakukan pengamatan baik saat analisis vegetasi, pengamatan ataupun pencuplikan hewan.

You might also like