Professional Documents
Culture Documents
Surat 2. 15/11/2005
Demi teh yang suci
demi segala mesin yang suci
tongkat,
piala, pedang,
dan berbagai recehan
yang setara.
Demi bandul pendulum yang berputar,
membuat kita tersihir,
dan mengingat masa depan dan masa lalu,
dan menjadi sehat,
tanpa terikat pada kebenaran.
Demi urapan, yang membasahi kepala, dan
dada.
Juga arak yang legit, dan membikin hati
yang lumpuh terbangkitkan,
segalanya akan berlangsung baik-baik saja.
Semoga arah karir,
bergereak ke diireksi yang baik,
dan nyaman.
Merah hitam,
warna yang keren.
Surat 3. 16/11/2005
Oh siang-siang di sini cukup adem
tetapi aku punya fikiran
tak ada lagi kesempatanku untuk
mandeg dan menerima arah-arah yang sama
ini.
Berkerut,
keningku,
dan kulihat fakta-fakta,
tentang berartinya apa yang kurumuskan.
Aku sedang sedih,
memikirkan semua orang,
yang tidak melihat dan mendengar
peringatanku selama ini.
Peralatan sihirku,
agak berkarat,
karena lama tak kugunakan.
Seakan sudah lemah,
hati ini,
sebagai pengingat para utusan,
akan kekeliruan mereka.
Akan kugiring masa depan dunia,
ke arah yang baik,
demikianlah.
Surat 4. immortal
Hei!!!
Aku lebih suka melihat
tontonan mistik
yang tanpa pretensi sektarian!!!
Gugon tuhon semestinya bebas
dari belenggu para petugas pemegang
pedang,
dan cambuk.
Biar kita terbebas,
dari terorisme.
Surat 5. immortal
Kebodohan adalah sebuah karunia jika ia
dilandaskan pada sekularisme.
Kecerdasan adalah sebuah bencana jika ia
dilandaskan kepada fundamentalisme.
Yakinlah.
Surat 6. 25/11/2005
Betapa sulitnya ini
betapa takutnya
untuk mengkritik dan menentang
kuasa-kuasa itu.
Aku bisa faham
betapa bermilyar orang takluk
dan mengikuti arus itu.
Dalam karunia dan hukuman,
semua berjalan demikian sibuknya.
Tak ada alternatif, selain kekalahan.
Ini adalah ujian besar
bagi diriku yang kecil.
Semua orang telah menjadi kecil
ternyata.
Bahkan untuk si maha raksasa.
Apakah aku akan tetap terdiam
di kaki raksasa itu?
Hati yang tak ada,
ia,
tak memiliki hati.
Surat 7. 4/12/2005
Sedih,
dan kini aku sedang menunggu,
rasanya fikiran ini hampa,
hanya tersisa jejak-jejak yang aku
pun takut memijaknya lagi.
Waktu hidupku demikian sempit
tetapi apa yang hendak kuberikan
untuk para penatah batu nisan?
Kulihat benda-benda ini
yang kuanggap demikian berbahaya.
Semenyedihkan inikah cermin
menjawab solekanku?
Apa lagi yang isa kubawa
dalam petualangan kecil ini?
Apa ada yang masih mengingatku?
Terlalu banyak pertanyaan,
dan aku mungkin perlu lebih banyak diam.
Kini duniaku bukan tempat aku
bisa berkata dengan keras,
tentang apa yang menjadi pilihanku.
Cuma sedikit,
secuil,
sejumput,
yang belum tentu bisa membuatku
kenyang dan tak kehausan.
Mungkin jari-jariku ini, yang bisa menjawab.
Mendaki koral-koral batu yang
belum pernah kukenal kini.
Semua hitam.
Semua sepi.
Semua dingin.
Adakalanya aku menguapkan
sampah-sampah yang mengeram di dalam
diri.
Menguap tetapi semuanya tetap
mengandung beban.
Mengapa langit,
dan kakiku,
selalu bergetar.
Tangan dan kaki,
basah,
seperti air mata.
Surat 8. immortal
Kalaupun aku jadi si penyair gua itu,
biar-biarkan saja.
Aku perlu belajar tersenyum,
dalam kepuasan,
dengan sejumput rumput,
yang kukunyah bersama sup itu.
Akan kubuat nyanyian dan puisi
tentang gunung yang dingin dan memadat.
Di sana
sepertinya air mataku lebih berarti.
Seberarti canda tawaku
kepada berbagai jenis burung
yang selamat bersama dengan kiamat.
Surat 9. immortal
Harus kuakui aku takut pada banyak hal
aku merasa ringkih sekali.
Dengannya aku bertahan
note :
prekk !!!