You are on page 1of 65

Percakapanku Dengan Seorang Bartender

Sejenak ia menatapku penuh perhatian, lalu berkata:


“Aku sudah lama disini, bang, dan aku kenal dengan banyak orang. Kebanyakan yang
datang kesini adalah bajingan.Ya ini kerja di bar. Seks berkeliaran di mana-mana, dan juga
narkoba, you know? Apa lagi yang diharapkan oleh orang datang kesini selain itu?”
Aku amati wajahnya yang lelah. Masih saja penuh senyum.
“Mau minum apa?”
“Anggur putih, tanpa es.” aku berkata cepat. Kutatap pipi bersih dan mulus itu. Wajahnya
cukup ganteng. Aku menjilat bibir membayangkan betapa nikmat minuman itu sambil ditemani
olehnya.
“Anggur?” ia bertanya. Ia menatapku dalam-dalam, dan kemudian tersenyum lagi. “Kau
tahu, bang. Aku membedakan orang berdasarkan apa yang mereka minum.”
“Seperti apa itu?” kutatap gerakan tangannya yang terampil dan cepat menggelegakkan
cairan putih bening dari botol, menyodorkannya sempurna padaku.
“Orang yang terbaik, tentu minum anggur. Yang kedua peminum teh, dan yang terburuk
adalah peminum sirop. Tentu saja diantaranya banyak sekali antara. Peminum kopi termasuk
yang terburuk. Saya lebih suka orang yang suka minum bir.”
“So. Kau adalah peminum anggur mestinya?” aku tersenyum melihat wajahnya berkejap-
kejab diantara lampu-lampu bar yang melintas dalam kegelapan. Terus terang aku tersanjung atas
pujiannya. Membuat jantungku berdesir halus.
“Dan aku benci beberapa hal, bang. Polisi, orang fanatik agama. Ya kira-kira orang-orang
seperti mereka lah. Abang tahu khan?”
“Yep.”
“Yang jelas saya bukan pemabuk atau pengguna narkoba. Tetapi di bisnis ini, kita akan
selalu saja kena stigma.”
“Begitu?” tanyaku tersenyum simpul menikmati semburat merah kemarahan yang meluap
dari pipinya yang hitam manis itu.
“Ya.” mereka cuma tahu aturan-aturan anjing itu. Abang tahu orang-orang yang ditangkap
disini. Mereka yang terjerat itu, saya tahu mereka semua, orang-orang baik.” katanya, sambil
menggeser tangannya dan perlahan meletakkannya ke meja. Tangannya berbulu.
Aku diam dan tersenyum. Tangannya tadi berdekatan dengan tanganku yang sedang
menggenggam gelas sloki yang tergeletak di meja. Hatiku berdesir. Tapi aku tak berani
memegangnya. Kini ia sibuk melayani pembeli di sampingku. Wajahnya tampan. Nampaknya
sebuah modal yang amat penting bagi bartender.
“Saya benci jika ada fanatik-fanatik agama saat musim puasa. Mereka bikin kisruh. Kita tak
pernah kisruh, itu kerjaan mereka. Saya sebut mereka bajingan, dan juga tak bisa berfikir. Mereka
tak tahu apa-apa.”
“Menurutmu apa yang tak mereka tahu?’
“Abang tahu? Bahwa hukum selalu memojokkan orang-orang seperti kami. Kami tak
pernah merugikan orang lain, hanya ingin fun.”
“Tapi kalian khan ada juga yang menjual narkoba, menyebarkan virus HIV, dan juga hal-
hal buruk lainnya untuk anak-anak muda. Apa salah mereka jika menggerebeg kalian jika begitu?”
Ia menatap wajahku heran. Wow. Matanya besar dan berbulu panjang melengkung lentik.
Aduh tampannya!!
Namun ia nampak sangat terkejut dengan kata-kataku dan merasa terpukul. Ia berkata
pelan, sedikit bergetar, ”Abang kok bilang gitu?”
“Aku?” aku menunjuk diriku sendiri dengan gelasku itu, dan berkata pelan kepadanya
setelah menyeruput sedikit anggurku. “Aku? Aku sih ikut saja suara orang banyak.”
Aku pun tertawa terbahak-bahak.

1
“Ah, jangan begitu bang.”
“Sudah-sudah. Sekarang aku minta anggur lagi.”
“Baiklah bang” ia mengangkat botol anggurnya dan mengucurkannya lagi ke gelasku.
“Penuh.” kataku.
“Penuh?
“Ya. Penuh.”
“Baik” katanya. Ia mengucurkan penuh ke dalam gelasku.
Kuseruput anggur dalam gelasku, dan menikmati rasa manis pahitnya. Kutatap semua
orang yang bergembira ria malam ini. Tercenung. Mungkin aku melamun.
Bartender itu nampak cemas atas wajahku yang pasti nampak tertekuk jelek.
“Ada apa, bang? Nggak enak anggurnya? Atau ada sesuatu yang tak memuaskan?”
“Nggak... enak kok.”
Selama beberapa waktu kami berdiam. Aku menikmati anggur itu dalam-dalam,
menyeruputnya pelan. “Disini orang datang menikmati suasana, bukan untuk membeli minuman
murah.” batinku ironis.
Tapi entah kenapa, tiba-tiba kini aku melihat petugas bar nampak sibuk bergegas kesana
kemari. Mereka nampak membisiki para pelanggan, membuat para pelanggan nampak pucat.
Musik dihentikan. Lampu dihidupkan. Mataku jadi beerkejab-kerjab silau.
“Lho ada apa ini?”
“Nampaknya malam ini ada kejadian. Abang perlu deh pulang cepat.”
“Apa??”
“Semestinya FPI menyerbu malam ini.”
“Hah??? Dapat info dari mana?” tanyaku agak panik.
“Orang dalam. Dari orang FPI sendiri dan polisi. Kita punya tangan disana. So, we have to
get out of here, Sir. As soon as possible.”
“Secepat itu?”
“Ya. ya... Dan kami akan padamkan lampunya. Malam ini saya nampaknya bisa tidur
nyenyak.”
“Kesempatan yang amat genting. Harus segera dimanfaatkan. Jika tidak aku akan
kehilangan dia!!!” pikirku. Campuran senang tapi juga panik.
“Santai saja. Kalau begitu ikut saja denganku. Aku punya bar sendiri di rumahku. Kau mau
mampir?” kataku dengan hati berdesir.
“Benarkah?”
“Tak ada gunanya aku berbohong.”
“Tetapi abang bukan pemakai kan?” dia bertanya dengan penuh kecurigaan.
Aku tergelak dengan cepat. “ tidak-tidak. Tak ada narkoba. Aman. Hanya anggur, dan
minuman reguler yang lain. Teh jika kau mau. Juga ada teman-temanku yang datang. Kukenalkan
nanti.”
“Tak ada ganja?”
“Tidak”
Ia nampak merenung agak lama, menimbang-nimbang. Aku tahu bahwa dunia dugem
seperti ini adalah dunia yang berbahaya. Dan tentunya ia sudah terbiasa dengannya, dan aku tak
yakin bahwa ia pun tidak menyukai sebuah eksperimentasi, seksual misalnya. Aku berharap. Aku
menunggu dengan sabar, sambil menghabiskan isi gelasku.
“Bolehkah aku aku membayar billnya sekarang?” tanyaku tak membiarkan waktu sempit itu
terbuang percuma. Tapi aku tak mau kelihatan menggegas kegiatan dia memberesi barnya.
“Tentu saja. Silakan.” katanya datar.
“Tentu saja.” Aku pun melangkah meninggalkan dia menuju konter kasir dekat pintu keluar.
Nampak wajah cewek penjaga kasir yang kelelahan dan khawatir. Kubayarkan berapa yang
tertera dalam bill-ku, dan segera aku beranjak menuju bar lagi. Nampak bartender itu tersenyum
padaku.

2
“Disini saya jarang sekali bisa minum. Abang tahu khan disiplin seorang bartender? Kami
hanya bisa minum saat tamu semua telah pulang. Seperti ritual bunuhdiri terakhir saja.”
“Dan kau akan minum dulu disini...” kataku.
“Tidak lah. Waktunya sangat genting.”
“So kita bisa minum-minum di rumahku saja. Ya kan?” kataku agak memaksa dia.
Ia diam saja. Ia segera menutup barnya dengan cepat, menyelamatkan botol-botol
minuman terbaiknya ke dalam ceruk terlindung besi yang tersembunyi di lantai bar, ia menumpuk-
numpukkan botol-botol dan peralatan bartender dengan cepat, dan setelah itu menguncinya
dengan palang besi. Nampak sangat rata dengan lantai ubin yang kemilau di sekelilingnya. Ia
kemudian menutupnya dengan karpet. Banyak orang sibuk dalam kegiatan itu. Ia dibantu
beberapa pekerja yang lain meringkas semua benda yang lain. Aku menatap peristiwa itu dengan
takjub, juga saat semua tamu berhamburan keluar dengan cepat dan tergesa-gesa menghilang
dalam kegelapan malam.
Dalam hitungan menit semuanya telah selesai. Kini aku tinggal bersama hanya beberapa
orang pekerja yang tersisa, juga dengan beberapa pelanggan yang nampaknya hendak menyertai
para pekerja pulang.
Aku beranjak dari tempat duduk di bar, dan kemudian menarik lengannya. “Ayo.”
Ia kelihatan menurut saja seperti terhipnotis. Mengikuti langkahku. Kami pergi dalam
pandangan acuh-tak acuh dari teman-temannya yang lain. Beberapa orang sempat
menyampaikan salam seperti biasa dan segera berlalu.
Kami berdua berjalan cepat dalam kegelapan malam menuju tempat parkir. Aku membuka
pintu mobilku dan berkata, ”Jangan takut. Sekali lagi aku tak suka memaksamu melakukan apa
yang kau tak biasa lakukan. Dan juga tak ada narkoba di rumahku. Aku bersih.”
“Thanks God.”
“Masuklah.”
“Baiklah bang”
Maka ia pun masuk ke dalam mobilku, dan aku pun segera duduk di belakang kemudi.
Tanpa sadar aku pun bersiul. Wajahku pasti nampak demikian gembira terlihat dari kaca spion.
Nampak ia sedikit curiga.
Mobilku mulai kulajukan kencang. Ia nampak terdiam di sampingku. Ia menyulut rokoknya,
dan kemudian menghisapnya pelan. Aku pun tersenyum simpul melihat sikap itu. aku menangkap
sebuah ketakutan dan kecurigaan, dan kerja kerasnya untuk bersikap santai. Tetapi aku pun
selalu harus kerja keras untuk bisa menyantaian diriku. Tentu saja.
“Mobil abang bagus. Abang orang kaya, pasti.”
“Lumayan.”
“Kerja apa?’
”Ah kerja biasa saja.”
“Tidak. Asal bukan seorang polisi saja. Tetapi saya tahu semua polisi disini.”
“Hah. Jangan menghina. Aku bukan polisi.”
“Lantas?”
“Tebak coba.”
“Paling bisnismen atau kalau tidak, ya pejabat. Seperti semua orang yang lain yang
kutemui.”
“Dosen. Aku seorang profesor.”
Aku menikmati sekali wajah tertegun dan terkejutnya. Nampak sangat tampan.
Tapi...tapi...Tubuhnya mencondong menjauh. Menempel ke pintu mobilku, memegangi kenop
bukaan pintu. Ia nampak pucat pasi. “Pasti anda gay. Pasti. Anda menjebakku kan?” kini kata-
katanya berubah agak kasar, tak lagi sopan seperti biasanya. Aku mulai berdebar. Setiap saat
kegagalan bisa menghadangku untuk bisa membawa dia ke rumah.
“Tidak, lah.”

3
“Saya tahu semua dosen yang ketempat dugem adalah gay. Laki perempuan. Mereka
semua gay.”
“Kau sangat paranoid. Apa salahnya menjadi gay. Aku punya banyak teman gay, dan
mereka adalah orang-orang yang baik. Andaikan aku cewek cakep pasti kau tak akan menjadi
histeris seperti ini.”
“Itu karena saya bukan gay.” katanya sedikit histeris.
“Sudahlah. Baiklah. OK. OK. Aku memang gay. Tetapi memangnya kenapa dengan hal
itu? Aku toh bukan orang jahat. Hanya seorang yang ingin berteman denganmu.” aku tahu jika
diriku sudah kalah dalam tawar menawar ini.
“Kau juga dengan kejam telah memberikan stigma atas kaumku....” kataku lirih.
Ia pun terdiam dan kemudian memusatkan pandangannya ke depan. Tubuhnya masih
merapat di pintu mobilku. Aku berdebar-debar. Jangan-jangan ia mau melompat keluar. Hal itu
amat berbahaya. Maka aku pun mulai melambatkan mobilku, meminggirkannya ke trotoar. Ia
berkata pelan, “Saya berhenti disini saja.”
“Kenapa kau? Pleaseee....” kataku memohon.
“Maafkan saya bang, tetapi saya sama sekali tak merasa nyaman malam ini. Mau pulang
saja ke rumah. Saya mau istirahat. Lelah.”
“Aku menakutkanmu kah? Kenapa? Maafkan abang dong.” kataku berusaha tidak
kelihatan genit. Tapi nampak tubuhnya bergetar, pasti sedikit merinding.
“Maafkan saya juga, bang. Tetapi saya harus pulang. Saya ingin pulang saja.”
“Baiklah kalau begitu. Di mana rumahmu? Kuantarin ya...” aku mencoba membujuknya
halus.
“Saya jalan kaki saja deh.”
Permintaannya membuat hatiku perih dan terhina. Siapa merasa senang dirinya ditolak?
Tapi aku tak berdaya. Kuberhentikan mobilku pelan, dan ia pun membuka pintunya, segera
beranjak keluar.
“Terimakasih atas tumpangannya, bang. Maafkan saya juga kalau membuat abang tak
enak hati.” katanya pelan dari luar pintu mobil.
“Tak apa. Benarkah itu keinginanmu?” aku menatapnya sambil tersenyum sayu. Aku masih
saja berusaha bersikap sopan padanya, mengharap konyol agar ia mengurungkan niatnya, dan
bisa ikut denganku. Kuhentikan mobilku, membiarkan beberapa menit kami berlalu dalam diam. Ia
nampak berdiri gelisah. Ia masih saja bersikap sopan padaku. Seolah adalah dosa membuatku
marah. Sungguh pelayan yang baik. Aku merasa kasihan padanya.
”Ya. Selamat malam.” ia memecah keheningan. Pasti sudah tak betah.
“Ya?”
“Ya.”
“Ya sudah. Besok aku akan ke bar itu lagi. Aku suka minumannya, kok. Selamat malam.”
kataku berusaha keras tersenyum tulus.
“Selamat malam, bang. Mungkin besok malam kami belum bisa buka. Kami pasti harus
membersihkan kerusakan hasil kerjaan FPI terlebih dahulu.”
“Ya. Pasti.” aku berkata pelan. Ia pun beranjak pergi. Aku pun melajukan mobilku lagi
pelan meninggalkan dia. “Hampir saja.” Aku mengeluh dalam hati. “Bah gagal lagi. Sudahlah.”
Kuputar radio dalam mobilku menyetel sebuah stasiun radio berita yang kusukai, dan terdengar
siaran langsung tentang penyerbuan sebuah bar. Bar tempatku minum barusan. FPI tengah
mengobrak-abrik bar yang sudah kosong sepi itu. Dari latar belakang terdengar suara suara
gemuruh penghancuran disertai pekikan takbir dan juga teriakan-teriakan keras lainnya. Aku
menyalakan rokokku dan segera mengepulkan asap perlahan. Kulajukan mobilku pulang ke
rumah. Kutahu disana telah menunggu bar pribadi dengan koleksi minuman keras terbaikku.
“Bodoh sekali bartender itu.” kataku dalam hati. mencoba menghibur diri. Kupindah stasiun
radio, dan terdengar musik jazz yang merdu. Mobilku kugeber kencang melewati jalan-jalan yang
semakin sepi, makin mendekati rumahku.

4
Memasuki pintu rumahku, aku segera bergegas masuk ke ruang besarku, kulihat dengan
cermat barku yang sengaja kuletakkan di ruang keluarga. Sangat lengkap. Aku merogoh
kantongku, dan segera mendial nomer komunitiku. Terdengar beberapa orang yang berhasil
kuhubungi secara bersamaan di teleponku. Ada Rudi, ada Adi, ada Ivan, juga berapa teman yang
lain.
“Hai. Datang ya malam ini.”
“Apa?” tanya Rudi.
“Kita minum lagi disini. Dan main-main lagi bareng. Asyik kan?”
“Lagi? Dasar pria mesum.” kata Rudi.
“Ya, biarlah. Itu hidup dan perjuangan kita, kan?”
“Kau berhasil atau gagal bawa orang baru?” tanya Rudi lagi.
“Ya... gimana ya...” kataku malu.
“Bah. Dasar bodoh. Gimana siiiiih?” rutuk Ivan, si pemuda yang paling feminin di antara
kami.
“Please..... jangan marah begitu dong.” kataku mendesis pelan.
“OK. OK. Kita bahas itu nanti lagi. Tapi kenapa sih kau selalu saja gagal membawa cowok
baru ke pesta kita? Ada apa denganmu? Aku harus komplain atas hal ini.” kata Rudi. Si maskulin.
“Yah aku khan tidak bisa memaksa orang melakukan cara kita.”
“Paling karena kau berhasil membuat mereka berfikir bahwa kaum gay semuanya jahat
dan mengerikan.” Rudi berkata agak marah.
“Tidak dong. Aku....”
“Yah... kamu lagi... kamu lagi... bosan ahhhh...” si Ivan mengomel.
“Kalian mau datang atau tidak?” kataku tak sabar dan mulai sebal.
“Ya. Kami datang...” terdengar suara malas-malasan dari beberapa orang yang kuhubungi
itu.
“Tetapi aku harus mengajar besok pagi. Jadi aku tak ingin terlalu lelah.
“So kita pesta apa enaknya?”
“69?”
“Kau suka sekali main emut. Apakah kau takut anusmu rusak?”
“Tentu saja tidak. Minyak sodomiku hampir habis. Sekarang sulit mencarinya di pasaran.”
“Oh. Dasar pelit.” kata Ivan. Kini tidak lagi terdengar genit.
Aku sebal sekali. Aku pun segera menutup line telepon selularku, dan segera masuk ke
kamar mandi untuk kencing sebanyak-anyaknya, sambil menggerutu. Cuuurrrrrrr. Ah enaknya.
Aku membuka seluruh bajuku. Kubuka kran shower dan aku pun pelan menggosok tubuhku,
mandi dengan semburan air hangat yang segar. Aku pun mulai berkhayal mandi digosok oleh
Rudi dan Ivan. Mhhhh... asyiknya. Hal itu cukup meredakan kepenatan dan rasa marah sesaatku
tadi. Kubayangkan pesta penuh gelora asmara kami nanti malam, dan aku pun mulai ereksi lagi.
Menunggu mereka datang sungguhlah menyiksa, membuat geloraku seksku makin menjadi-jadi.
Kenapa lama benar?
Aku merasakan hari-hari berlalu begitu saja. Banyak hal tak berarti yang terjadi. Aku
seorang pendidik yang tentu saja tak akan sembarangan mengajarkan pada murid-muridku
tentang gaya hidup berminum-minuman keras dan berkebebasan seksual, paling tidak di negeri
dimana aku tinggal sekarang ini. Di kehidupan sosial pun aku masih harus terjebak pada rutinitas
sopan santun umum. Kubiarkan semua orang tak tahu tentang orientasi seksualku. Semua itu
makin membuat rambut di kepalaku membotak. Sungguh tak enak menjadi munafik. Toh
syukurlah, aku masih saja memiliki uang, gaji anggota senat gurubesar, dan memiliki kawan-
kawan sejenis yang memahami dan selalu mendukungku. Aku pun mengucapkan rasa syukur
walau tak bisa benar-benar tulus, “Thanks God.”

Cara Memasak Rumput yang Baik

5
Sapi dan kerbau, juga kambing, dan banyak binatang yang lainnya makan rumput. Dan ternyata
mereka berhasil melewati masa-masa kehidupan yang baik, gemuk-gemuk, dan pandai berlari.
Tetapi mereka memang bukan mahluk serakah seperti manusia.
Yang menjadi persoalan bagi orang modern adalah pertama kenikmatan dan yang kedua adalah
rasa aman. Hal itu merupakan bentuk pergeseran yang sungguh unik sejak manusia mengalami
fase kebinatangan, fase berburu dan meramu, bertani, dan kemudian modern. Dulunya rasa aman
dan kemampuan bertahan hidup adalah nilai yang paling utama dan pertama. Dan kini semuanya
dinilai pertama dalam kerangka kenikmatan, termasuk dalam persoalan diet. Memang rumput
nampaknya tidaklah terlalu menjanjikan kenikmatan untuk dimakan, terkecuali jika dicampur
dengan daging ataupun bumbu-bumbu yang lain seperti garam, merica, ataupun bawang. Tetapi
akan sangat lain jika kemudian memakan rumput menjadi sebuah trend yang sangat funky dan
cool. Itu yang menjadi harapan bagi para pemikir diet post-alternatif.Yang menjadi pertanyaan
selanjutnya lagi adalah apakah juga rumput hanya bisa di sop, ataukah juga bisa digoreng,
ataukah juga bisa dijadikan dalam bentuk instan. Ada sebuah laporan bahwa sebuah perusahaan
makanan ringan mencoba membuat chips/keripik siap saji dengan rasa rumput. Sayangnya
kemudian perusahaan itu tidak bertahan lama dalam perebutan pasar keripik instan di Indonesia.
Memang sebanyak mungkin cara yang bisa dilakukan untuk bisa dimakan membuat rumput dan
jenis-jenis serupa seperti alang-alang ataupun juga bentuk yang lainnya seperti perdu-perduan
menjadi layak tidak hanya untuk sekedar bertahan hidup. Ada juga pertanyaan apakah rumput
dan sebagainya, tidaklah beracun, meskipun ini adalah pertanyaan yang sangat minor dan ironis
dalam era budaya konsumer. Dan ternyata jawabannya adalah toh menjadi sangatlah bersifat
politis, meninggalkan perdebatan tanpa henti. Nampaknya memang ada jenis-jenis rumput yang
beracun, dan nampaknya kita bisa meminta tolong pada sapi maupun kerbau kita untuk
menentukan apakah rumput tertentu beracun atau tidak. Kenyataannya makanan-makanan utama
manusia seperti padi, kacang polong, maupun kentang di dalam era revolusi hijau justru lebih
beracun dan mematikan. Tumbuhan-tumbuhan itu dengan semena-mena kita tumpahruahi
dengan pestisida dan pupuk, direkayasa tak karuan gennya, sekedar untuk memaksa mereka
agar bisa memenuhi kebutuhan diet masyarakat dunia yang semakin lama semakin membengkak
jumlahnya ini. Dan tentunya akan sangat ironis pertanyaan lugu apakah rumput ini dan itu beracun
untuk dimakan, ketika kita tak faham apa esensi dari kata racun itu lagi. Tetapi ada banyak sekali
jenis rumput yang sama sekali tidak beracun, bahkan memiliki kandungan gizi yang tinggi, justru
karena ia merupakan bentuk gulma. Sifatnya yang selalu merebut kesempatan hidup dari
tumbuhan-tumbuhan yang lain membuatnya menyerap kandungan gizi yang luarbiasa. Ada
sebuah cerita yang sangat terkenal di Tibet tentang seorang yogi besar bernama Milarepa yang
hampir sepanjang waktu hidup bertapanya bertahan hanya dengan memakan rumput ilalang yang
ia rebus dalam periuk tanahnya. Saya juga punya pengalaman dalam memakan rumput yang
bernama rumput teki. Hal itu saya lakukan saat saya masih kanak-kanak dibimbing oleh orang tua
saya sendiri. Umbi dari rumput teki itu membesar sedikit seperti ketela kecil, memiliki rasa yang
sangat enak, pedas-pedas manis gimana gitu. Konon menurut orang tua saya, terutama nenek
saya, rumput teki sangat berguna untuk meningkatkan daya tahan tubuh kita dari penyakit-
penyakit seperti flu, tetanus, maupun hepatitis. Selain itu jika sering memakan rumput teki akan
meningkatkan kecerdasan otak anak. Dan juga harus difahami bahwa bawang, serai, tebu, padi,
jewawut, dan sebagainya adalah bagian dari keluarga rumput-rumputan. Toh juga banyak orang
yang hidupnya sangat tergantung pada bawang. Ia tak mau makan jika tak ada bawang goreng
atau spring onion di dalam sup atau burgernya. Ada sebuah tulisan bahwa seorang dokter
Belanda di sebuah kamp interniran di zaman Jepang bernama Dr. Pieter Geyl yang sangat
merasa khawatir terhadap kondisi gizi warga interniran Belanda yang semakin lama semakin
memburuk. Menurut catatannya begitu banyak kasus kekurangan gizi yang membuat warga kamp
tewas secara berturut-turut, dan hal itu terutama karena kekurangan vitamin dan mineral.

6
Berdasarkan pengalamannya sendiri, rumput mengandung begitu banyak vitamin dan mineral,
selain kandungan karbohidrat dan proteinnya. Kandungan vitamin C dan B1, B2, B6, B12, maupun
vitamin E rumput ternyata melebihi kandungan dalam bayam dalam proporsi menu yang sama.
Selain itu kandungan Zinc, zat besi, dan juga kalsiumnya sangatlah besar. Menurut
perhitungannya kandungan karbohidrat dalam rumput secara umum setara dengan kandungan
dalam daun selada maupun kubis dalam proporsi berat basah yang sama, sementara kandungan
proteinnya justru secara mengejutkan lebih besar 3 kalilipat dari kandungan protein dalam beras
yang banyak dikonsumsi masyarakat Hindia Belanda pada saat itu. Ia memandang secara
obyektif bahwa rumput yang begitu banyak tersedia di sekeliling kamp merupakan kesempatan
untuk memperjuangkan kehidupan warga kamp. Ia membuat sebuah antisipasi berani dengan
memasak banyak sekali rumput di kuali besar, dan menyarankan setiap orang di kamp dalam
sehari paling tidak memakan sup rumput itu sebanyak 1 pint. 1 pint kira-kira setara dengan ½ liter.
Memang kemudian tercatat dalam laporannya bahwa warga kamp hampir semuanya menolak
untuk tetap melanjutkan mengikuti anjuran dan jejak langkahnya setelah kali pertama percobaan
yang gagal, karena rasa sup rumput itu menurut mereka sama sekali tidaklah enak. Tetapi terbukti
bahwa beberapa orang yang bertekad keras untuk mengikuti anjurannyalah yang kemudian
berhasil bertahan hidup hingga saat-saat Jepang menyerah oleh sekutu 3,5 tahun setelahnya.
Termasuk sang dokter sendiri. Nampaknya kegagalan membuat sajian masakan sup rumput itu
lebih banyak disebabkan karena keterbatasan-keterbatasan bumbu yang tersedia pada saat itu,
selain juga karena keawaman kulinari sang dokter yang pantas dimaklumi dalam memahami cara
memasak sup dari bahan sayuran secara baik dan ideal. Fakta-fakta historis seperti itu
sungguhlah penting untuk meyakinkan orang-orang bahwa memakan rumput sangatlah berguna
tak hanya bagi seorang pertapa seperti Milarepa ataupun warga interniran maupun kamp
konsentrasi, tetapi juga pada para bisnisman, politisi, pemikir dan bahkan yang terpenting adalah
orang-orang melarat di seluruh dunia. Dalam kasus Milarepa, memang karena ia terus menerus
memakan rumput ilalang, diceritakan bahwa seluruh tubuhnya kemudian berubah warna menjadi
hijau. Tetapi alangkah noraknya jika warna hijau seperti itu kemudian dianggap buruk. Rumput
mengandung banyak sekali klorofil yang tentunya mengandung efek yang alami bagi tubuh, sama
saja dengan jika kita terlalu banyak makan daging dan lemak mengakibatkan obesitas
(kegemukan), penyakit jantung dan kolesterol. Semua hal seperti itu adalah konsekuensi-
konsekuensi logis yang patut diterima dengan lapang dada. Dan juga warna hijau tentunya adalah
warna yang indah. Toh banyak sekali warga indonesia yang mengharapkan warna rambutnya
menjadi pirang atau paling tidak kecoklat-coklatan, dan matanya menjadi biru, sehingga mereka
terpaksa harus membayar mahal di salon-salon kecantikan dan membeli kontak lens untuk
meniru-niru biji mata orang bule. Warna hijau tubuh sungguh keren dan funky. Apalagi jika
kemudian hal itu menular pada warna rambut ataupun matanya. Tentunya saya tidak tahu apakah
warna mata kemudian bisa berubah menjadi hijau, tetapi alangkah indahnya sebuah proses
pembuktian. Oleh karena sedikit sekali orang melarat maupun bisnisman yang punya kesempatan
mengadakan penelitian yang komprehensif tentang gizi rumput memerlukan uluran bantuan dari
para pemikir biologi maupun antropologi gizi. Sampai saat ini, kecenderungan yang ada adalah
bahwa penelitian-penelitian ilmiah tentang makanan alternatif sangatlah sedikit mendapatkan
uluran bantuan dana, karena kepentingan-kepentingan kapitalis dan politik memang mengarah
pada pemenuhan kebutuhan yang sifatnya komersial dan sesaat. Sangatlah menohok perasaan
bagaimana kasus revolusi hijau yang menghancurkan tanah dan kondisi air di negeri berkembang,
meracuni gen masyarakat dunia ketiga, kemudian diteruskan dengan penelitian-penelitian
transgenetik tumbuhan yang lebih beresiko lagi. Padahal rumput tersedia luas dari padang Zaire di
Afrika yang panas hingga Siberia yang sebeku apapun, dengan resiko bahaya yang hampir-
hampir bisa dibuktikan dengan pengalaman empiris yang sangat sederhana belaka. Memang
kemudian ada pertanyaan klasik, jika masyarakat tradisional tidak menggunakan rumput untuk
makanan sejak zaman dahulu, tentunya rumput memang tidak layak untuk dimakan. Jawabannya
adalah bahwa, memang benar bahwa hampir tak ada satu pun etnis di dunia yang memanfaatkan

7
rumput untuk menjadi bagian alami dari diet mereka. Tetapi tidak berarti bahwa tidak ada kasus-
kasus tertentu yang tidak mengharuskan sebuah masyarakat memakan rumput, dan juga, tidak
bisa kita memaksakan diri dengan fakta-fakta logis yang terbatas seperti itu bahwa kebijaksanaan
tradisional akan selalu 100% benar. Selalu ada kondisi-kondisi meleset, dan juga
ketidakkonsistenan kultural yang harus dihapus dan dirombak, seperti contohnya dalam kasus
Milarepa maupun kamp interniran. Sama saja seperti bahwa meskipun hampir tak ada sebuah
etnis di dunia pun yang memasukkan cacing sebagai bagian dari pola diet mereka, hal itu tidaklah
kemudian bisa meruntuhkan nilai ilmiah dari sebuah penelitian independen yang sangat terkenal
yang menemukan fakta bahwa cacing memiliki kandungan protein yang luarbiasa, dan rasanya
enak. Jadi memang persoalannya kembali pada persoalan politik, estetika, dan juga kemauan
membuka mata pada pengalaman-pengalaman baru. Dan jika persoalannya seperti itu maka
giliran paling utama yang bisa mengambil peran adalah kaum expert kulinari. Yaitu para koki, chef,
ibu rumahtangga, anak-anak kost, dan juga para pengamat/pencicip makanan. Persoalannya
akhirnya menjadi cuma dua hal: bagaimana menjamin bahwa bahan makanan dari rumput aman
untuk dimakan, dan yang kedua adalah bagaimana cara memasaknya sehingga rasanya enak.
Cara paling sederhana dalam melihat apakah rumput tertentu beracun apakah tidak adalah
dengan mencoba membubuhinya dengan apa yang oleh orang Jawa disebut kapur injet. Setelah
ditoreh akan kelihatan apakah warna kapur itu kemudian tetap putih atau kemudian berubah
menjadi biru atau bahkan ungu. Jika berwarna biru atau ungu, berarti rumput jenis tertentu itu jelas
sekali mengandung racun. Dan setelah dibuktikan lewat kebijaksaan tradisional seperti itu,
selanjutnya akan ditemukan dan didefinisikan jenis-jenis rumput yang aman untuk dimakan.
Selanjutnya bisa dipilih dan dicoba-coba apakah jenis rumput tertentu enak untuk dimakan apakah
tidak. Rumput tertentu seperti rumput jepang sangatlah keras sehingga memerlukan waktu yang
sangatlah lama untuk dimasak hingga lunak, sementara rumput-rumput jenis yang lain lebih lunak
dan memiliki kandungan klorofil yang lebih banyak. Selanjutnya adalah fase memasak dan
membumbui. Fase terpenting yang difahami jelas dan mutlak oleh para koki seluruh penjuru
dunia.

Saya akan memberikan sebuah usul resep masakan sup rumput yang paling mudah, sederhana,
murah, dan bisa dilakukan oleh semua orang.
Bahan:
1. kumpulkan rumput berupa daun kira-kira ½ kilogram.
2. garam dapur kira-kira ½-1 ons.
3. gula ¼ ons
4. bawang putih 5 siung.
5. bawang merah 3 siung.
6. cabai rawit 5-10 biji
7. merica 1 sdk makan.
8. tepung maizena atau sagu ±8 sendok makan.
9. minyak sayur/wijen 3 sndk makan
Alat-alat:
1. kompor
2. periuk besar/panci rebus.
3. pengaduk panjang dari kayu.
4. sendok sup besar.
5. mangkuk saji & sendok-sendok.

Cara memasak:
1. rendam rumput dalam air garam selama ± 2 jam.
2. setelah direndam hingga lunak, bilas rumput dengan air hingga bersih.
3. siapkan kuali/panci berisi air 2½ liter.

8
4. potonglah rumput hingga kecil-kecil, kira-kira sepanjang ½ - 1 cm. Jika bisa menggunakan
food proccessor akan lebih menghemat tenaga.
5. kupas bawang, bawang putih, dan kemudian geprak gingga gepeng.
6. potong cabai rawit kecil-kecil
7. rebus air dalam kuali itu hingga hampir mendidih dalam api medium.
8. masukkan rumput secara perlahan-lahan.
9. aduk perlahan-lahan dan tetaplah terus diaduk biarpun telah mendidih.
10. terus rebus hingga adonan rumput menjadi lembut, dan volume air menyusut hingga ±
75% dari semula.
11. masukkan bawang putih dan bawang merah, cabe rawit, dan disusul oleh merica.
12. masukkan juga tepung maizena/sagu secara sepat, dan kemudian aduk, jaga jangan
sampai menggumpal.
13. masukkan garam dan gula, cicipi sampai rasanya pas.
14. aduk terus dalam api medium hingga adonan menjadi kental dan berwarna hijau lembut.
15. tambahkan minyak sayur/wijen ke dalam adonan dan aduk hingga merata.
16. masakan sop rumput siap dihidangkan, cukup untuk porsi 5 orang.

Alternatif resep yang lainnya adalah bakwan rumput:


Bahan:
1. rumput ½ ons
2. cabai merah 5 biji
3. cabai jumprit 3-5 biji
4. bawang 3-5 siung
5. garam
6. tepung terigu ¼ kg
7. minyak goreng untuk menggoreng
Alat-alat:
1. kompor
2. wajan/pan
3. mangkuk
4. piring-piring saji dan sendok garpu
5. sothil
Cara memasak:
1. rumput direndam 1-2 jam dalam air bersih, kemudian dibersihkan. Cacah hingga lembut
2. cacahlah cabai, dan bawang hingga lembut.
3. sediakan mangkuk, dan buatlah adonan tepung terigu dengan air hingga kental
didalamnya.
4. masukkan cacahan rumput itu kedalam adonan tepung dan aduk hingga kental.
5. masukkan garam, bawang, dan cabai ke dalam adonan, dan diaduk hingga merata.
6. panaskan minyak goreng dalam wajan hingga mendidih dalam api medium.
7. dengan sendok besar masukkan adonan satu per satu ke dalam minyak mendidih hingga
coklat dan berbau gurih.
8. bolak-balik, dan angkat dan ditiriskan. Sajikan di piring besar. Masakan bakwan rumput
siap untuk disajikan bagi 5 orang.

Variasi-variasi memasak rumput yang lain juga bisa dilakukan, misalnya dengan menambahkan
daging ayam ataupun udang, kacang, kentang, wortel, maupun bumbu yang lain seperti bumbu
kari ataupun juga berbagai jenis cabai. Dengan kesempatan dan keberanian kreatif dari ahli-ahli
kulinari seperti itu, maka diharapkan bisa dibuat selanjutnya resep-resep masakan rumput yang
lebih beraneka ragam, nikmat, dan berkesadaran kultural. Sekaligus juga memberikan sumbangan
bagi dunia kesehatan, demokrasi, dan kebebasan bagi masyarakat dunia.

9
Cara mengumpulkan rumput yang baik

Mengumpulkan rumput bukan sesuatu yang sangat sukar. Tentu saja artinya adalah
gampang, sepanjang disana musimnya memadai, atau iklimnya mendukung. Artinya kita
mengumpulkan rumput di daerah yang bukan padang pasir, atau bukan di saat musim dingin yang
bersalju, atau bukan di padang artik-antartik. Mencari rumput di padang pasir artinya kita harus
mencari daerah tertentu dimana memang semua tumbuhan berarti untuk hidup, biarpun itu
rumput. Dan mencari di masa musim dingin membuat kita akan berhadapan dengan rumput yang
mengering berwarna coklat tua, dan tentu saja sudah kehilangan zat-zat yang penting untuk
pencernaan kita1.
Ada juga tempat-tempat yang sangat sukar untuk mencari rumput meskipun disana adalah
daerah iklim tropis sekalipun. Di tempat dimana beton-beton menjulang sangatlah sedikit rumput
tumbuh2, meskipun kita bisa mencarinya-tetapi akan menguras tenaga kita. Dengan berkeliling
sepanjang hari di tempat-tempat seperti itu, kita hanya akan mendapatkan satu tangguk-dua
tangguk rumput yang hanya cukup untuk satu kuali masak saja. Juga di daerah-daerah jalan
aspal, atau lebih jauh lagi plaza-plaza yang mewah. Saat ini memang amatlah mustahil mencari
rumput di daerah-daerah dimana kapitalisme tumbuh pesat dan berkuasa. Misalnya—amatlah sulit
untuk berkeliaran di halaman gedung-gedung pemerintahan atau swasta untuk sekedar
mengumpulkan rumput, meskipun kita tahu bahwa rumput di sana tumbuh cukup banyak.
Risikonya kita akan ditangkap satpam dan dituduh melakukan tindakan percobaan pencurian
mobil, melanggar batas wilayah, atau bahkan lebih buruk lagi—dianggap sebagai teroris yang
mencoba meledakkan gedung-gedung tempat kaki mereka mengangkang3.
Mencari rumput di pinggir jalan raya kota juga akan mengakibatkan asap kendaraan akan
masuk ke tenggorokan kita, ke paru-paru dan seluruh pembuluh darah kita, dan mengurangi
umur4. Selain itu kita akan dianggap orang aneh dan gila (meskipun kita tahu bahwa justru karena
perjuangan kita dalam melawan kapitalisme itu kita memang sering dianggap gila oleh masyarakat
luas), meskipun ada juga cara lain dengan cara menyamar sebagai tukang pembersih jalan atau
tukang kebun. Selain itu kita akan terganggu dan mengganggu orang lewat yang demikian
banyak.
Mungkin ada saat yang baik untuk mengumpulkannya di waktu sore hari atau malam.
Tetapi juga banyak rampok dan preman berkeliaran. Tentu saja hal itu berbahaya. Selain itu tahi-
tahi anjing, ludah orang yang berkeliaran di siang hari, juga pijakan kaki yang kotor, penuh dengan

1
Untuk persoalan penyimpanan bahan makanan untuk persiapan musim dingin atau kekeringan, hal itu akan dibahas
lebih lanjut dalam tulisan saya yang selanjutnya. Hal tersebut sangatlah penting, karena juga menyangkut
penyimpanan, pengolahan, alat-alat penyimpan yang murah dan hemat energi, dan juga persoalan yang rumit dalam
soal hygiene.
2
Ada pandangan lain yang menjelaskan bahwa rumput yang bsia tumbuh di daerah-daerah berbeton seperti gedung-
gedung justru merupakan rumput yang terbaik untuk dimasak. Ia memiliki kandungan kekuatan zat hidup yang sangat
luarbiasa. Tetapi yang menjadi masalah juga, tempat-tempat seperti itu juga merupakan tempat-tempat terkotor di
dunia, dimana tikus-tikus, kecoak-kecoak, juga berbagai macam sampah dan bahan buangan beracun bertaburan dan
mengendap. Sangatlah tidak aman untuk mengkonsumsinya tanpa ada sebuah penjelasan yang benar untuk hidup kita.
3
Meminta izin pada fihak yang menguasai gedung atau daerah tersebut merupakan alternatif, tetapi tidak menjamin
apapun juga selain kita kemudian menjadi bagian dari orang yang terkontrol kembali. Perjuangan melawan kezaliman
kapitalisme kemudian akan runtuh dengan sangat mudah oleh keabaian ideologis kita sendiri karena ketakutan terhadap
norma, estetika, dan hukum. Kita menjadi pengamin terhadap kekuasaan mereka.
4
Karbon monoksida, timbel, debu mikroskopik, plastik terbakar, juga virus-virus yang beraneka ragam.

10
bibit penyakit yang menakutkan tengah mengumpul dan menanti kita untuk memunguti mereka.
Rumput yang tumbuh di kota adalah rumput dengan kualitas yang terburuk dalam sejarah
peradaban manusia. Terkecuali jika kita benar-benar lapar dan membutuhkan makanan, maka
tidak ada jalan lain. Mana tahan. Mungkin kita harus mencuci rumput-itu berkali-kali di WC umum5.
Jika kita memiliki rumah atau tempat kost sendiri hal itu akan sangat nyaman, karena kita bisa
mengambil air dari tempat kita sendiri.
Tentu saja tempat terbaik untuk mencari rumput adalah di daerah terbuka, di lapangan, di
hutan-hutan yang masih bersih, di lembah-lembah yang menghijau, atau di padang stepa yang
luas. Tentu saja di tempat seperti itu bahan makanan yang lain yang lebih enak dan bergizi juga
tersedia dengan mudah, sehingga sangatlah ironis bagi seseorang untuk mencari rumput untuk
dibuat sop atau tepung rumput, terkecuali untuk makanan ternak. Hal tersebut memang
merupakan paradoks yang luarbiasa menyedihkan6.
Tetapi terlepas dari itu semuanya, ada sebuah kesadaran yang sangat penting yang harus
selalu dipegang, bahwa perjuangan makan rumput adalah perjuangan ideologis untuk
menawarkan konsep kebebasan dan kesederhanaan -- selain juga untuk melawan lapar.
Perjuangan ideologis artinya akan melatih diri kita untuk menikmati makanan yang tidak enak
tetapi berguna, dimana segala sesuatunya kita perhitungkan masak-masak, demi perjuangan
kesederhanaan dan melawan keangkaramurkaan7.
Jadi, mencari rumput di manapun adalah tindakan baik. Sepanjang kita bisa menjamin
kebersihannya. Juga sepanjang kita tahu kondisi keuangan dan ideologis kita. Dan juga kalau kita
tak cerewet tentang nilai kebersihan yang serba steril. Artinya jika kita miskin dan bukan boss,
atau kaum kapitalis, dan kita berani untuk menanggalkan perhitungan enak tidak, jijik atau tidak,
bermoral atau tidak, maka sudah waktunya kita menjalankan mencari dan makan rumput –
begitulah.
Nah – sekarang saatnya untuk mencari tahu bagaimana teknis mencabut atau memotong
rumput tersebut.
Hal yang harus kita perhitungkan tetaplah higiene. Pertama kita akan mencari kantung
yang cukup besar, bisa kantung pandan, atau kantung plastik, bahkan juga tas sekolah. Yang
penting ia adalah bersih, dan mudah dicuci. Tentu saja kita harus memperhitungkan besar kecil
dari kantung tersebut sesuai dengan rencana kita dalam mengumpulkan rumput tersebut.
Selain itu kita perlu alat untuk memotong atau mencukil rumput tersebut. Zaman dahulu
atau di desa-desa sekarang, para angon kebo atau kambing selalu membawa sebuah alat
bernama arit. Sebuah parang yang melengkung dan tajam di bagian dalam. Alat itu demikian
efektif dan ergonomis untuk memotong rumput ddalam jumlah sekaligus banyak dengan
menghemat demikian banyak tenaga. Kita bisa mencari alat bernama arit tersebut di toko-toko
bangunan atau di pasar-pasar tradisional. Jika kita mencari rumput di daerah padang-padang atau
tempat terbuka bebas, membawa-bawa arit tidaklah terlalu berbahaya. Tetapi jika kita mencari
rumput di kota, maka kita setiap saat bisa ditangkap polisi karena dianggap membawa senjata

5
Hal itu tergantung pada kemampuan kota untuk memfasilitasi masyarakatnya. Seperti di Bradford sangatlah sukar
mencari WC umum. WC umum kota ada di daerah pusat kota dengan harus membayar 10 pence, sebuah harga yang tak
sepadan dengan harga rumput yang kita kumpulkan. Ada juga beberapa supermarket yang menyediakan WC umum
gratis, juga stasiun kereta api maupun bis juga menyediakan WC umum gratis. Tentu saja kita harus sangat berhati-hati
untuk mencuci di tempat itu. Di satu sisi hal tersebut bisa menimbukan pertengkaran dengan orang lain, meskipun
bertengkar untuk alasan kebebasan dan ideologis seperti itu juga sangatlah penting bagi kita sebagai bagian dari
kampanye. Semua itu tergantung keinginan kita. Di daerah miskin seperti Indonesia, justru kita akan mudah mencari
WC umum yang murah. Dengan harga 100 di Yogyakarta atau 500 di Jakarta kita bisa mencuci rumput dengan bebas.
Kita bisa menghemat pengeluaran dengan cara mengumpulkan rumput sebanyak-banyaknya pada suatu waktu dan
mencucinya secara sekaligus di WC umum.
6
Tak ada gunanya untuk marah terhadap apa yang sudah terjadi.
7
Saya tak tahu apakah hal itu akan bisa disebut sebagai pandangan utilitarianisme, sebuah pandangan dan juga cara
hidup yang sangat penting dalam melawan “tirani kekuasaan dan kebenaran”.

11
tajam8. Arit, karena sifat ergonomiknya yang demikian tinggi dalam memotong rumput, ternyata
juga secara historis sedemikian ergonomisnya pula untuk membabat leher dan perut manusia.
Karena sama-sama setiap saat bisa dihukum, maka sebenarnya kita juga bisa mengumpulkan
rumput di kota dengan menggunakan celurit, parang, tombak, ataupun pedang9. Kalau berani.
Cara yang lebih tidak mengundang perhatian tentunya dengan penggunakan alat-alat kecil
seperti pisau lipat atau alat cukur jenggot, meskipun alat-alat ini pun bisa digunakan sebagai
alasan oleh polisi untuk menangkap kita. Alat yang lain bisa menggunakan pisau roti atau bahkan
juga keris, kalau mau. Sebenarnya di daerah pertanian padi di daerah rural Jawa ada sebuah alat
kecil yang biasa digunakan oleh kaum perempuan dalam memanen padi, bernama ani-ani. Ia
adalah alat kecil dari kayu dengan sebuah pisau melengkung melintang kecil di tengah yang
sangat ergonomis pula untuk memotong batang-batang tumbuhan lunak. Cuma masalahnya, alat
ini demikian efektif untuk memotong padi yang batangnya tinggi, dimana yang dimanfaatkan
hanya untaian yang ada di bagian atas saja, sementara untuk rumput, secara ideologis dan juga
praktis, semua bagian dari batang (bahkan umbi rumput10) sangatlah penting untuk dimanfaatkan.
Untuk memotong rumput yang panjang seperti alang-alang atau rumput genjah, tentu saja alat ini
cukup berguna, tetapi jika rumput yang kita panen panjangnya sangatlah minimal, tentu saja alat
ini tak ada gunanya sama sekali. Bahkan bisa melukai dan memotong jari-jari kita yang manis dan
masih penuh guna.
Dalam keadaan hukum dan kekuasaan fasistik yang luarbiasa11, dimana kita tercekam
bahaya saat membawa senjata tajam sekecil apapun12, nyatanya kita tetap bisa mengumpulkan
rumput dengan tangan kita yang masih terbuka lebar dan bebas. Dengan cara mencabutinya,
tentu saja.
Saudara-saudaraku. Perjuangan kita tak akan selesai, sebelum zaman berubah, dimana
manusia bakalan kembali kedalam kesederhanaan dan penghargaan terhadap alam. Kembali
pada makanan yang sehat – dan bukan sekedar pada makanan yang enak, bermerk, ataupun
indah13.

8
Bagi kaum radikal yang ingin menantang hukum, ia bisa saja membiarkan dirinya ditangkap dan dibawa ke meja
hakim, untuk menjelaskan secara gambling dan penuh kesadaran ideologis tentang kebutuhannya untuk mencari
rumput demi makan. Hal tersebut merupakan bagian dari kritik yang amat demikian tajam terhadap nilai hukum
modern yang korup dan kapitalisme itu sendiri. Kita akan membutuhkan pengacara yang baik, juga hubungan yang
solid antar elemen-elemen gerakan bebas pemakan rumput.
9
Pertanyaan yang sama dibandingkan dengan banyaknya kaum milisia dari partai-partai fasis di negeri kita yang
berkeliaran dengan pentungan dan pedang di jalan-jalan kota yang menurut mereka merupakan basis kekuatan mereka,
dan bisa mereka kontrol. Mereka menggunakan pedang dan pentungan bukan untuk mencari rumput tetapi untuk
memuaskan kebuasan biologis dan ideologis mereka.
10
Saya pernah menyebutkan bahwa umbi rumput teki sangatlah enak. Selain itu secara umum, umbi dari semua
tumbuhan berumbi merupakan tempat dimana gizi-gizi tumbuhan terkonsentrasi.
11
Keadaan yang sulit dan tidak demokratis seperti itu, menurut analisa dari Amartya Sen (jika saya tak salah ingat)
adalah saat-saat dimana kelaparan merajalela. Saat itu, kita harus semakin menggiatkan kampanye untuk memakan
rumput bagi masyarakat yang tertindas.
12
Atau justru kemanapun harus membawa senjata tajam. Dalam keadaan itu, perhatian kita dalam urusan bunuh
membunuh sering lebih besar daripada urusan mempertahankan kehidupan dengan mencari makan yang efektif. Tetapi
bagaimanapun juga kita sebisa mungkin harus tetap rasional. Kelengahan dan terseret arus kebencian yang meluap-luap
hanya akan menyebabkan keadaan tragedi kemanusiaan seperti Rwanda 90-an, Ethiopia tahun 80-an, Aceh 2005,
Senayan 1945 - 2008, dan entah nanti mana lagi akan terjadi.
13
Dan juga mahal. Saya gunakan istilah ini di catatan kaki, karena pada beberapa kenyataan kontemporer, sejak awal
peradaban modern hingga modernitas lanjut saat ini -- keadaan dimana manusia modern mengkonsumsi sesuatu karena
image-image. Image dan mitos-mitos itu bisa saja berupa rasa, penampilan, kelangkaan, bahkan juga sekedar harga atau
merek bahan makanan itu. Fucking shit.

12
Dendam Kesumat

Nanang merasa demikian sakit hati. Kegeramannya seperti hendak tumpah ruah.
Tubuhnya menggigil, bergetar hebat memandang gerobak dagangannya hancur berkeping-keping
dihantam tongkat-tongkat kayu para Petugas Trantib. Para pedagang yang lain telah semburat
menjauh dari tempat itu, menyelamatkan diri mereka masing-masing. Menyeret pergi barang
dagangan yang bisa mereka raih. Tapi Nanang terpaku di atas tanah, tak bisa menggerakkan
kakinya sedikit pun. Tersihir kaku. Dengan kelu ia memandang reruntukan itu. Disanalah ia tiap
hari berusaha menabung uang sepeser demi sepeser. Kini semuanya musnah tak bersisa.
Tubuhnya perlahan-lahan merosot menggelusur di konblok yang basah dan kotor. Disana ia
dengan histeris memukul-mukul tanah dengan kepalan hingga buku-buku jarinya terluka.
“Bangsat!” Teriaknya tersedan.
“He! Ngapain kamu. Bilang bangsat ke kami, ya? Bajingan!! Yang bangsat itu kamu. Dasar
tak bisa diatur. Kubabat sekalian kepalamu.” Kata seorang Petugas Trantib berkumis tebal
melintir. Dengan sabetan keras, ia mengayunkan tongkat panjangnya ke punggung ceking
Nanang. Nanang mengaduh saat rasa sakit menerpanya.
“He cepat minggir, menyingkir kau bajingan! Kau tahu tak boleh berjualan disini. Dasar
orang miskin. Rasain sendiri akibatnya jika melawan peraturan pemerintah.” Tendang seorang
Petugas Trantib lain dengan sepatu lars ke dada Nanang. Ia pun terjengkang ke belakang.
Kepalanya membentur lantai konblok. “Jdug!!”
Semua pedagang asongan telah lari jauh, hingga tak bisa menolong Nanang yang kini
menjadi bulan-bulanan tendangan dan sabetan kayu para Petugas Trantib. Ketua Petugas Trantib
nampak dari jarak jauh berkacakpinggang, mengacung-acungkan pistolnya kepada para warga
yang berlarian menjauh. Ia tadi sempat mengancam akan menembak siapapun, baik lelaki
maupun perempuan, yang berani melakukan tindakan premanisme dengan cara melawan para
petugas Petugas Trantib. Ia berteriak garang lewat corong megaphone, “Siapapun yang
melanggar prosedur, kami akan siap menghadapi!! Kami akan bertindak tegas sesuai dengan
peraturan!!” Di kejauhan beberapa aparat kepolisian nampak berjaga-jaga, menonton santai
sambil duduk di mobil mereka. Senapan-senapan mereka terselempang santai di bahu. Mereka
terlihat sibuk bercakap-cakap dan merokok sendiri.
Sejenak kemudian huru-hara usai, dan tempat itu kembali sepi. Gerobak-gerobak yang
bagus, beserta barang-barang dagangan telah diangkut ke dalam truk Petugas Trantib. Polisi pun
sudah pergi, mengawal para Petugas Trantib kembali ke markas mereka. Di markas mereka, para
Petugas Trantib bakalan bersukaria berebut memunguti barang-barang berharga dari gerobak-
gerobak sitaan itu. Mereka biasanya bisa membawa pulang dan mengoleh-olehi anak istri dengan
berbagai jenis jam tangan palsu, kacamata murahan, batu batere Made in China, boneka kain,
bahkan juga butiran-butiran bakso dan mie ayam yang enak. Untuk diri mereka sendiri, akan
saling berbagi puluhan boks rokok kretek beraneka merk.
Kini para pedagang asongan itu, dengan wajah kuyu kembali ke tempat bencana, tempat
sebelumnya mereka berusaha giat berdagang. Wajah mereka pucat pasi dan marah. Mulut
mereka mengumpat-umpat, menghujat tak karuan.
“Bajingan!!!”
“Asu!”
“Dasar anjing pemerintah!!”
“Kakitangan walikota penindas rakyat”
Beberapa ibu-ibu pedagang sisir dan bando menangis menggerung mengamati dagangan
mereka berceceran dan ringsek terbenam dalam genangan air comberan. Barang mereka lumat
dipijak sepatu-sepatu lars para petugas itu. Semua pedagang asongan faham bahaya serangan

13
Petugas Trantib adalah serupa dengan serangan serigala di hutan rimba. Bisa terjadi kapan saja,
juga tanpa ampun, dan hanya akan menyisakan duka di hati dan jiwa mereka.
Tobias pedagang kaos kaki mendekati Nanang, yang pelan-pelan duduk. Tubuhnya kotor
dengan rasa sakit yang menyengat. Perlahan, dibantu seorang mahasiswa yang kebetulan lewat,
Tobias memapah Nanang. Nanang mengaduh kesakitan saat terpaksa ia berjalan berjingkat.
Rasa nyeri masih menyerang tulang keringnya yang dipukuli Petugas Trantib berkumis baplang.
“Mana yang sakit, Nang?” tanya Tobias. Perlahan ia mendudukkan Nanang di pagar
gedung Istana Negara lama.
“Nggak papa, Tob.... Makasih ya..” Ujar Nanang lemas, menyandarkan punggungnya ke
jeruji pagar. ‘Aduh....” Teriaknya tertahan, saat punggungnya yang biru lebam terasa sakit
tersentuh lempeng besi pagar.
“Bah. Jahanam-jahanam itu!! Semoga Tuhan membalasnya segera!!” Sendat Tobias.
“Aku akan membalasnya, Tob...” Nanang dengan bibir gemeletar berkata pelan, sambil
memeluk lengan kekar Tobias. Nanang mulai menitikkan air matanya. Kedua bolamatanya lebam
dan sembab basah mengalirkan bulir-bulir airmata. Pelupuknya hitam kelam. Perlahan Nanang
mengusap airmatanya dengan telapak tangannya yang berlumpur.
Tobias menghela nafas panjang. Diam. Kelu.
“Heh, sudah... Nanti ada masalah lagi. Sudah. Kita orang miskin memang selalu begini
nasibnya. Nrimo aja lah.” Kata Slamet, sang pedagang akik, dengan enteng melangkah lontang-
lantung melewati tempat mereka berdua duduk.
“Heh. Kau mau dihajar juga ya? Kau saja yang nrimo. Tapi aku selamanya tidak sudi
melakukannya. Dasar kau bangsat penakut!!” Teriak Tobias kencang. Wajah Slamet yang bopeng
menjadi pucat ketakutan dan ia pun segera lari menjauh dari hadapan mereka.
“Aku dendam. Sungguh dendam.” Kata Nanang perlahan. Lebih seperti berbicara kepada
dirinya sendiri.

---

Sore hari mengurangi pekat asap knalpot kendaraan, dan deru bising jalan raya
menghilang. Orang-orang berjalan mencari rasa hangat di plaza itu, karya belai cahaya matahari
sore. Pasar utama kota telah tutup, membuat keramaian dagang di sekelilingnya berganti dengan
riuh suara obrolan para pejalan santai dan turis yang mencari suasana khas kota. Kini plaza kecil
di depan Istana Negara lama itu dipenuhi oleh pemuda-pemudi yang duduk santai.
Biasanya disanalah dahulu para pedagang asongan berkerumun menunggu pembeli,
berbaur dengan para pelancong yang melihat-lihat. Mereka menawarkan berbagai baju dan pernik
asesoris khas kota itu. Kini, memang para warga kota dapat duduk nyaman di bangku-bangku
baru yang indah. Tempat itu pun terlihat bersih, tentu saja dari perspektif para penguasa kota.
Tetapi disini hanya ada tanaman rumput yang artifisial. Hanya ada tampilan rapi yang steril dan
mandul. Tak ada lagi gerombolan para penjual yang ramah, dan rentengan pernik-pernik seronok
asesori khas. Tak ada lagi para seniman yang menawarkan lukis wajah pada para pasangan
berpacaran. Disana kini telah bercokol bangku-bangku semen besar yang dibangun atas perintah
walikota, sengaja untuk mengusir ruang pedagang kakilima dan artis jalanan.
Di pagar putih kotor Istana itu, Nanang masih bersandar tercenung tak peduli pada
keindahan dan nikmatnya sore. Matanya kosong memandang bawah, ke timbunan ludah yang ia
muncratkan di konblok merah. Sekali-kali ia meludah lagi, mengeluarkan sisa-sisa darah dari
mulut yang terluka. Beberapa orang melengos jijik saat memandang tindakannya.
Perlahan mentari sore pun habis redup, gelap datang, dan lampu-lampu jalan mulai
menyala dengan otomatis. Kini tubuhnya sudah amat penat. Nanang sudah tak tahan lagi
bertahan duduk. Dengan lunglai, ia bangkit dan berjalan menyelusuri gang-gang sempit dan
kumuh di utara, tempat ia mengontrak kamar bersama banyak rekannya. Disana ia berpapasan
dengan beberapa pedagang angkringan yang berangkat berjualan, mendorong gerobak kayu

14
dengan sigap. Mereka memandang Nanang yang berkerut muram. Semua terdiam, seakan faham
apa yang telah terjadi.
Sesampai di kamar Nanang menghempaskan diri ke samping tubuh beberapa temannya
yang berbaring lelap, beralaskan tikar.
“Kena gusur Nang?” Tanya Agus hambar, menengok sejenak.
“Apa lagi yang mungkin?” Jawab Nanang dengan sama hambarnya. Ia merebahkan dirinya
ke tikar, berdempet, berdesak mencari tempat kosong diantara baringan tubuh-tubuh yang juga
kelelahan. Nanang perlahan menghela nafas panjang. Terdengar suara suara keroncongan dari
perutnya yang kurus.
“Kau sudah makan?” tanya Agus lagi. Kini bangkit dan duduk memandang tubuh Nanang
yang terbaring lemas.
“Belum.” Kata Nanang.
“Ambil saja dua bungkus nasi di gerobakku. Juga lauk pauk. Apa saja yang kaubutuhkan.
Catat saja di buku biru. Kapan-kapan saja mbayarnya. Kau kena gebuk di mana?” kata Agus
mengernyit.
Nanang memandang temannya dengan mata pilu. Tetapi ia tetap berbaring, menutup
matanya pelan dan tak menjawab. Ia perlahan tertidur pulas.
Dalam mimpinya yang dalam, Nanang seperti terbang naik dan menuruni bukit-bukit kapur.
Ia melihat sebuah kampung miskin di bawah. Ia sangat ingat gubug reot itu. Gubug tempat ia
dilahirkan dan dibesarkan oleh ibunya tercinta. Nanang melongok girang ke arah seorang
perempuan tua. Ia berteriak gembira. Tetapi mulut dan kerongkongannya senyap tak mampu
mengeluarkan nada. Ia lihat sosok itu kini telah demikian tua dan rapuh. Kerontang dimakan
cuaca. Nanang merasa aliran nyaman menerpa hatinya, saat sosok yang teramat ia sayangi itu
terlihat makin jelas. Tubuh Nanang menurun ke bawah, mendekat.Ia melihat ibunya yang keriput
kurus kering dengan rambut putihnya yang tergelung. Tubuh keriput itu sedang duduk
melengkung di balai-balai reotnya. Tangannya yang gemetaran dan kurus kering tengah menguliti
timbunan kacang tanah. Ibunya menembangkan sebuah kidung lama. Suaranya bergetar,
membuat hati Nanang tercekat. “Mingkar mingkuring angkoro, akarono karenan mardi siwi....”
Geletar suaranya membuat rongga dada Nanang rekat tak bisa bernafas, karena rindu dan pilu.
Juga rasa tidak rela.
Ia tahu ibunya dibayar oleh pak lurah pelit, sang pemilik bisnis kacang goreng, 100 rupiah
untuk setiap kilogram kacang tanah yang berhasil dia kuliti. Dengan uang hasil kerjanya seharian
penuh, ibunya cuma bisa membeli garam dan ikan teri basi untuk teman makan jagung rebus hasil
panenan dari tegalan sempitnya.
Nanang menangis lagi sedih. Tersedu sedan, tubuhnya perlahan melayang turun,
berusaha memeluk sosok ibundanya. Tangannya menggapai-gapai. Nanang menangis tersedu
dan berseru memanggil, “Simbokkkkk....” Tetapi sebelum ia berhasil memeluknya, ia terbangun
dengan tubuh bermandi peluh dan berurai air mata. Tubuhnya diguncang-guncang keras oleh
beberapa orang rekannya.
“Hehhhh. Sadar Nang. Sadar. Nyebut. Ini kamu mimpi atau kerasukan setan sih? Keras
banget.” Kata Agus. Nampak di sekelilingnya, Nurdin, Tugiyo, Wage, Rudi dan beberapa teman
sekamarnya yang lain.
Rudi bertanya,”Kamu mimpi apa nang? Mimpi gerobakmu lagi ya? Kok nyebut simbokmu
segala?”
Nanang masih tersedu sedan. Kepalannya memukul-mukul lantai semen beralas lembaran
plastik kembang.
“Sudah. Yang sudah ya sudah. Uang bisa dicari lagi...” kata Wage mengelus punggung
Nanang, berusaha menghibur.
Nanang semakin tersedu, dipandangi heran oleh teman-temannya yang tak berdaya
menghiburnya. Mereka pun akhirnya menyerah dan kembali menggeletak tidur. Sudah biasa
mereka melihat sesama rekan tiba-tiba menangis karena putusasa. Bahkan sesekali seorang

15
diantara mereka mengamuk histeris, mungkin tak tahan lagi melawan dan menahan kekejaman
kota.

--

Hari ini Nanang mendatangi gedung megah dan mewah itu. Gedung tempat walikota
tinggal. Nanang mengenakan pakaian yang terrapi dan tersantun yang ia miliki. Rambutnya
tersisir rapi, mengenakan sepatu pinjaman.
Seorang provos menghentikannya di gerbang depan dan bertanya ketus, “Siapa kamu?
Ada perlu apa?”
Nanang berusaha menjawab dengan tenang dan santun, “Saya tukang kebon pak, diminta
pak wali memangkas cemara di halaman belakang.”
“OK. Sebentar. Saya cek dulu.” Kata provos menunjuk kursi plastik butut, menyuruh
Nanang duduk menunggu. Provos menelepon dari gardu, berbicara entah pada siapa.
“OK. Yak. Memang ada janji untuk tukang kebon. Kamu ya? Tinggalkan KTPmu. Kamu
masuk. Tapi lewat samping, ya...” Kata provos.
“Baik pak. Terimakasih...” Kata Nanang. Ia merogoh dompet dari saku bokongnya, menarik
lembaran KTPnya yang sudah lusuh, dan menyodorkannya pelan. Provos menerimanya acuh,
dan kemudian menyuruh masuk Nanang dengan isyarat kepalanya.
Nanang berdebar berjalan memasuki halaman yang amat luas dan sejuk. Di tengah
halaman itu ia melihat dengan kagum muncratan air mancur yang melengkung turun dengan
indah. Airnya terlihat begitu bersih dan jernih. Nanang meneguk ludahnya sendiri menahan
dahaga dan gentar, berjalan masuk dengan kakinya yang gemerutuk.
Gerbang samping itu dijaga oleh seorang pegawai laki-laki yang memandanginya curiga.
Nanang menyeka perlahan peluh dingin dari dahi dan lehernya, menunduk menghindari tatapan.
Perlahan ia menapaki halaman belakang yang juga sangat luas. Disana terlihat kolam renang
besar yang berair biru bening. Terlihat di sekelilingnya tumbuhan bunga dan pepohonan rindang
beraneka ragam. Ia melihat ke arah cemara rimbun itu. Disinilah ia harus memangkas. Ia teringat
bagaimana ia berhasil melobi temannya seorang tukang kebun agar menggantikan tugasnya
memangkas tanaman di rumah pak walikota. “Boleh saja. Aku juga nggak begitu suka mangkas di
sana. Byuh-byuh. Si pelit itu mbayarnya cuma 20 ribu. Padahal aku bekerja setengah mati
seharian. Walikota edan.” Kata tukang kebun itu meludah ke tanah.
Nanang menatap kekiri dan kekanan. Di tembok berukir, tergantung beberapa peralatan
pangkas. Ada gunting besar. Ada pisau dahan. Ia segera merapat ke tembok, cepat mengantungi
pisau itu ke saku celananya.
Untung ia bergerak cepat, karena sejenak kemudian seorang petugas rumahtangga
walikota nampak datang mendekatinya. Ia menyuruh Nang mengikutinya dan menunjukkan
Nanang sebatang pohon cemara berbentuk tak karuan di sudut, dan berkata, “Mulailah kerja.
Yang cepat saja, ya. Jangan sampai bapak bangun dari tidur siangnya. Nanti kita semua dimarahi
lagi.” Kata lelaki itu meninggalkan Nanang.
Nanang membiarkan lelaki itu menghilang. Ia menunggu semenit, dua menit dengan dada
berdebar kencang. Nanang menoleh ke kanan kiri. Sepi. Ia melihat pintu rumah belakang yang
berukir rumit itu. Terbuka lebar. Perlahan ia menoleh ke kanan dan kekiri lagi. Tak juga terlihat
seorang pun. Perlahan ia berjingkat ke pintu, masuk ke ruang mewah itu. Sepatunya yang basah
dan kotor membekas di lantai granit berwarna-warni. Nanang dengan kagum melihat piano
berkaki tiga, meja kursi ukir, dan juga televisi raksasa. Tetapi ia sedang tak minat mencuri apapun.
Berjingkat-jingkat ia mendekati kamar itu.
“Kamar walikota bangsat itu ada di kiri. Yang di depannya ada lukisan besar
pemandangan. Setelah itu kau bisa lakukan kemauanmu.” Kata tukang kebun temannya, sambil
meringis tertawa mesum, memperlihatkan gigi yang menghitam.

16
Nanang memandang lukisan itu, dan mendengus. “Lukisan jelek.” Batinnya. Di sinilah
tempatnya. Ia merasakan tangannya berpeluh dingin. Nanang menghela nafas sejenak, dan
kemudian dengan menguatkan hati meraih kenop. Ia memutar kenop tembaga ukir itu. Kretttt. Ia
mendorong pelan, membuka pintu yang berat itu.
Nanang melongok ke ruangan luas itu. Gelap gulita. Sejenak ia berusaha menyesuaikan
pupil matanya dengan gulita ruang. Pelan ia berhasil melihat kemewahan disana-sini. Semilir
dingin AC yang digenjot penuh, membuat hidung Nanang mulai berair. Nanang perlahan
melangkah, dan mengusap ingus yang meleleh turun. Ia leletkan ingus itu ke tembok ruangan. Ia
memandang ranjang merah keemasan, melihat sesosok lelaki tambun tidur menelentang.
Telanjang dada.
“Grokkkkkk. Grokkkkkk....gerokkkkkk!!!!”
Nanang tertawa mengejek dalam hati. “Seorang walikota tidur ngorok.” Batinnya.
Dendamnya demikian membara membuat jari tangannya mengepal menggeretuk. Perlahan ia
merogoh saku celananya, menggenggam dan menghunus pisau dahan. Ia angkat tinggi-tinggi.
Berjingkat ia mendekat. Dadanya berdebar bercampur gembira. Dengan sekuat tenaga ia
menghunjamkan pisau ke perut tambun itu.
“Blusssss!!!!” pisau melesak masuk ke perut lelaki itu. Membuat darah merah muncrat ke
atas.
Lelaki itu berusaha berteriak, tetapi mulutnya dibekap erat-erat oleh Nanang. Dengan
ganas ia menusuk berkali-kali tubuh malang itu. Darah memancar kemana-mana, membasahi
baju Nanang, mengalir menyatu dengan warna sprei ranjang mewah itu. Tubuh itu menggeliat-
geliat tak karuan, sebelum akhirnya menyentak-nyentak sekarat. Akhirnya sentakan berhenti total,
dan sang walikota terdiam beku dengan mata membelalak.
“Mati kau!! Jahanam.” Batin Nanang meludahi muka itu.
Nanang pun keluar dari kamar, keluar lewat pintu depan. Tangannya menggenggam pisau
itu erat, berjalan tegap dan dada membusung. Nanang berjalan lurus gardu itu. Ia memandang
tenang provos yang menoleh heran ke arahnya. Provos itu nampak tercekat melihat sosok
Nanang yang berlumuran darah, menggenggam pisau terhunus. Nampak di halaman para
pegawai rumah walikota berhamburan kebingungan dan ketakutan. Beberapa pembantu
rumahtangga perempuan berteriak histeris. Nampak seorang pembantu wanita keluar dari pintu
depan dan berteriak keras menangis menggerung, “Pak walikota mati dibunuh oleh bangsat
itu.....”
Dengan gelagapan provos itu meraih senapannya yang tersandar, dan mulai mengokang.
Tangannya gemetaran saat mengarahkan ujung laras membidik Nanang. Provos itu berteriak
keras, “Berhenti. Angkat tangan atau kutembak!!”
Nanang tetap berjalan tenang. Matanya menerawang jauh sambil tersenyum puas.
Sekarang ia mulai berlari kencang mendekati provos itu, mengacungkan pisau dahan tinggi-tinggi.
“Stop. Atau kutembakkkkk!!!” Teriak provos itu. Dengan gemetar dan pucat pasi ia akhirnya
menekan picu senapan.
“Dorrrrr. Dorrrr. Dorrrr.” Cahaya menyilaukan. Muntahan api yang haus darah menerjang
menyayat secepat kilat. Menghunjam daging dan tulang. Nanang merasakan tubuhnya tiba-tiba
limbung dan perlahan ia pun jatuh terkapar. Langit biru berputar. Matahari merah cerah berputar
dan tertawa terbahak. Mendung datang menangis. Perlahan Nanang memejamkan mata,
meresapi waktu-waktunya yang terakhir. Ia coba nikmati rasa sakit luarbiasa yang berasal dari
dadanya yang bolong-bolong tertembus timah panas.
Pelan, rasa itu hilang. Beban itu hilang. Pelan-pelan kesadarannya melayang,
meninggalkan raganya yang mendingin. Ia merasa tubuh barunya berbinar-binar melayang jauh
ke angkasa, meninggalkan tubuh kurusnya beku, dikerubuti para budak belian walikota. Tubuh
halusnya ringan melayang jauh ke angkasa, melewati mendung-mendung hitam, meninggalkan
kota sumpek itu ke selatan. Bersama angin pagi ia mengelana melewati bukit-bukit kapur tandus,
melewati bekas sungai-sungai yang kering dan pecah retak. Ia melihat ladang-ladang jagung yang

17
kerontang. Pelan ranggasan angin pagi menyeret tubuh halusnya, membelai tubuhnya dan
berbisik-bisik resah. Melaporkan derita lara para penduduk desa.
Tubuhnya melayang jauh ke selatan, mendekati kembali sebuah desa kecil yang miskin,
tempat sebuah gubug reot. Disanalah semasa kecil ia ditimang manja oleh ibundanya yang
perkasa. Batinnya tercekat lagi. Adukan rasa rindu dan lara mendera batinnya. Kini ia memandang
sedih sosok tubuh perempuan renta, yang masih saja duduk terbungkuk-bungkuk di balai-balai
reotnya, sibuk menguliti timbunan kacang-kacang tanah. Tanpa akhir. Tanpa henti. Dari mulut
keriputnya, serak terlantun tembang anak-anak,”Bapak pocung, dudu watu dudu gunung, sabane
neng sendang, pencokane lambung kering, prapting wismo, si pocung muntah guwoyo....”
perlahan tangannya yang keriput menyeka sebulir air mata yang mengalir dari sudut mata tuanya.

Catatan1: cerpen ini kelihatan amat klise, menceramahi dan menggurui, serta berpola hitam putih.
Seorang teman berkata, tokoh antagonisnya tampil terlalu jahat. Yang benar-benar mau saya
akui, tulisan ini memang bersifat agitatif. Toh bagaimanapun gores potret realitas seperti dalam
cerpen ini biasa terjadi dalam hajat hidup rakyat jelata kita, terkecuali (tentu saja!!!) pada bagian
pembalasan dendam Nanang. Kenapa demikian?
Catatan2: Beberapa hari ini ada beberapa berita di TV tentang amuk massa pedagang Makassar
yang digusur. Mereka dengan sangat berani (khas masyarakat Makassar) melawan tindakan
penggusuran semena-mena yang dilakukan para petugas Petugas Trantib itu. Seorang bapak
bahkan berani menelentangkan tubuhnyaq ke depan mobil Petugas Trantib. Pada akhirnya para
pedagang dan warga yang telah menyatupadu pun menyandera mobil itu selama setengah jam.
Para pedagang dan warga itu juga marah karena ada warung yang kebetulan dibacking/dimiliki
seorang polisi yang tidak ikut digusur. Polisi pemilik warung yang bertubuh tegap kekar itu
menantang warga yang marah, tetapi dengan berani warga pun melawannya, menjotosinya,
hingga ia pun akhirnya terbirit masuk ke dalam warungnya. Kita ingat zaman dahulu ibu-ibu
pedagang sayur yang dengan berani mengangkat kain penutup tubuhnya, membuka auratnya,
berdemonstrasi melawan serbuan para Petugas Trantib itu. Hak untuk tetap bisa bertahan hidup
memang lebih berharga daripada apapun juga. Sebuah aksi perlawanan simbolik yang luarbiasa.
Di Jakarta hari ini juga ada berita bagaimana seorang penjaga lahan informal ditembak oleh ketua
Petugas Trantib yang menggusurnya. Hingga saat ini ia masih terbaring kritis, koma di RS Moh
Husni Thamrin Jakarta. Dia tertembus peluru mulai dari tenggorokan tembus hingga proyektil
mengeram didalam batok kepalanya. Seorang bekas Wakil Kepala Petugas Trantib saat
diwawancarai oleh TV berkata garang bahwa selama ini para petugas Petugas Trantib sudah
melakukan segala sesuatu sesuai dengan prosedur. Dengan intimidatif ia berkata akan
menghadapi siapa saja (maksudnya masyarakat kecil) yang berani melakukan tindakan
premanisme(?), dan melawan prosedur. Stasiun TV itu dengan cerdik sempat menzoom sejenak
barang-barang yang tertata rapi di meja mantan Wakil Kepala Trantib itu. Disana terpampang
secara demonstratif sebuah hiasan besar, berupa sebilah belati asli yang terhunus. Mewah namun
mengerikan. Bilah belati itu nampak begitu tajam, berkilat-kilat putih dikerjap sorot lampu kamera.

Gigi

Crott….
Ludah menyambar ke mata, hidung, dan bibir beberapa mahasiswa yang duduk di depan.
Buah-buah, hoek. Sungguh menyebalkan. Tetapi mereka hanya bersikap dalam hati. Mereka nanti
akan membasuh muka di luar setelah selesai kuliah. Kini mereka harus sabar dan membiarkannya
mengering dulu secara alami, dan kalau tidak naas, disemprot sekali lagi oleh Profesor Usman.

18
Professor Usman sedang berbicara lantang dengan penuh keseriusan, tentang norma hukum
positif. Padahal semua orang tahu jika giginya yang mekar dan berkeliaran ke mana mana itu jika
dibayangkan secara surealistik, akan mengingatkan pada besi-besi beton di tempat bangunan,
berkecambah mengerikan kesana kemari. Itu mengakibatkan mulutnya sama sekali tidak terkatup.
Sedang jika ngomong, maka airmancur berbau harum akan memancar sejauh satu meter. Lebih
tepat lagi seperti hairspray raksasa ke segala penjuru. Mungkin dengan radian 45 derajad ke
samping kiri dan kanan. Sungguh luarbiasa. Bagaimana seorang punya tandon ludah sebanyak
itu. Tetapi professor Usman tetap jumawa. Berbicara berteriak-teriak di kelas, dan bergantian para
murid terkena ludahnya, basah kuyup. Para murid memang selalu berebut mencari tempat duduk
paling belakang untuk menghindari semprotan ludah. Tetapi dengan cerdik Profesor Usman selalu
berkeliling dalam kelas dan dengan adil membagi curahan ludahnya pada semua anak yang hadir.
Orang hebat itu memang beruntung, karena karirnya yang cemerlang di bidang ilmu hukum,
membuatnya dihormati hingga luar negeri. Sungguh tak terbayangkan orang-orang bule dengan
takzim menerima giliran diludahi olehnya satu persatu. Yang lebih luarbiasa lagi ia begitu percaya
diri, dan mungkin sedikit banyak sengaja menggunakan kelemahannya itu untuk membikin repot
kolega-kolega dan murid-muridnya. Sampai sekarang ia tidak mau operasi mulut. Itu rumor yang
campur baur di antara para mahasiswa. Konon memang semua anggota dewan dosen sudah
menyarankan dia untuk operasi mulut, mungkin karena mereka sudah lebih dulu harus terus
menerima curahan air liur Profesor Usman tersebut. Profesor Usman ternyata marah besar pada
mereka dan ingin balas dendam. Ia kemudian kasak kusuk dari satu dosen ke dosen yang lain
untuk membuat kacau kantor. Ia dekati mereka satu demi satu, memanaskan hati mereka
terhadap satu dengan yang lainnya. Hal itu, konon sekali lagi, membuat ketegangan besar terjadi
di antara dosen. Intrik yang dulu terpendam menjadi terbuka. Mengakibatkan persoalan-persoalan
di luar masalah utama muncul. Betapa kemudian muncul ungkit-ungkit tentang persoalan dua
orang dosen yang berebut seorang mahasiswi. Kemudian rumor tentang salah seorang dosen
yang homoseksual terungkap sampai ke rektorat. Begitu juga rahasia memalukan dua orang
dosen perempuan yang belum kunjung menikah juga menjadi ikut terungkit-ungkit ke mana-mana.
Juga persoalan uang yang ditilep oleh ketua jurusan, soal perseteruan ide dan logika
ilmupengetahuan antar dosen. Juga tentang persoalan rebutan jatah rumah dinas. Semuanya
tersebar ke telinga anak-anak didik mereka, tersiar sampai keluar fakultas. Lengkap sudah balas
dendam Profesor Usman yang kejam itu. Akhirnya dewan dosen nyata terbelah menjadi dua kubu.
Entah kubu apa. Pokoknya kubu yang satu berhadapan dengan kubu yang lainnya. Pokoknya
ngawur semua. Dendam-dendam para ilmuwan bertebaran. Jika mahasiswa masuk ke kamar
dosen itu dijamin ia akan bisa merasakan hawa panas menyengat seperti bara dari kompor arang.
Dan itu semua gara-gara gigi Profesor Usman. Semua mahasiswa tahu dan cekikikan
membicarakan di kantin. Memang akhirnya mahasiswa toh terbelah juga, menjadi dua kubu.
Tetapi itu cuma antara orang-orang yang ingin dapat proyek atau ingin menjadi dosen. Mereka
nantinya akan menjadi penerus dari intrik-intrik itu juga natinya. Dan toh jumlah mereka cuma
sedikit dibanding ratusan mahasiwa lainnya yang bloon-bloon menengah. Sementara itu Profesor
Usman dengan gigi mencongotnya tetap mengajar dengan cuek, mengajar tentang konsep-
konsep etika hukum. Jadi semua anak di kelas menerima kebatilan dari gigi dan mulut profesor
Usman lagi dan lagi. Ludahnya bertebaran rata di wajah-wajah belia yang penuh harap akan ilmu
dan pekerjaan. Tetapi mereka menerimanya sebagai sesuatu yang jujur. Bukan kelemahan yang
pernah ditutup-tutupi. Itulah yang membuat mereka akhirnya lebih menghormati Profesor Usman
dibanding dosen-dosen yang lainnya.

Handphone

lumayan. kenyal. dingin, tetapi empuk. fikir Soeharto sambil mengunyah perlahan.
mmmhhh. enakk. mmmhh. kenyal enak. dingin, empuk. mmmhh. enak.

19
berulang ulang Soeharto berkata. sambil tak henti-hentinya ia mengunyah. saus
berlepotan di bibirnya. menetes perlahan ke bawah pangkuannya. tetapi ia tak peduli. sangat
jarang ia makan sesuatu seenak itu. biarpun terasa dingin. tetapi memang makan impor selalu
disajikan dingin, fikir Soeharto naif. anggapan senaif seperti itu sah-sah saja. toh ia sedang duduk
di meja restoran itu, sambil mengganyang makanan itu perlahan-lahan. mulutnya tak habis-habis
mengunyah. rasanya legit, gurih, dan membuatnya ingin menggigit dan mengunyah terus.
tangannya memegang erat makanan itu.
ia merasa seperti di surga, dan masuk ke kelas sosial yang paling tinggi sejagad, setaraf
dengan orang-orang yang memiliki ponsel yang bertiiit setiap beberapa menit di sampingnya. ia
menatap makanan mereka, sama dengan dirinya. mereka pun mengunyah dan menikmati dengan
cara yang sama pula. mmmhhh. betapa asyiknya makanan dari luar negeri seperti ini.
Soeharto benar-benar sejak dulu ingin makan makanan seperti ini. sekeping demi
sekeping ia kumpulkan uang hasil jualan koran di bis, dan akhirnya setelah ia rasa cukup, ia
putuskan untuk masuk ke rumah makan itu. dengan mengenakan setelannya yang terbaik,
menggunakan celana jeans yang ia banggakan, dan dengan rambut disisir rapi ke belakang. ia
bubuhi dengan pomade banyak-banyak. ia berjalan setenang mungkin masuk ke dalam restoran
itu. dulunya ia takut ditolak oleh pelayan restoran ini. tetapi ternyata perasaan waswasnya terlalu
berlebihan. ia melihat pelayanan terhadap dirinya sama baiknya dengan terhadap orang-orang
yang berhandpon di sampingnya. sebenarnya Soeharto terkesiap juga melihat bon yang diberikan
pelayan. edan!! fikirnya. masak ada makanan semahal ini. tetapi ia bayar juga di depan. memang
setahu dia dari teman-temannya, kalau makan di restoran itu harus bayar dulu sebelum dilayani,
tidak seperti kalau ia biasa makan di warung Tegal samping kontrakannya tepat di gang sempit
dekat mesjid.
Soeharto sangat teliti. sebelum ia datang ke situ ia membuat riset terlebih dulu. tanya sana
sini tentang caranya, berapa harganya, bagaimana cara makan yang sopan, dan sebagainya pada
teman-temannya. teman-temannya sebagian besar sudah sering makan makanan seperti itu saat
gajian mereka tiba. ya biar, biar miskin kita harus pernah ngrassain jadi orang kota sedikit lah.
demikian kata temannya. Soeharto setuju belaka dengan teori itu.
kini ia makan makanan itu. sungguh lezat dan membuat ia lupa diri. apalagi di restoran
diperdengarkan musik jedang-jedung. sebenarnya Soeharto lebih suka musik dangdut. tetapi
nggak apalah, fikirnya. pokoknya aku harus bisa menyesuaikan diri dengan cara-cara dan
kesukaan orang kaya. toh nggak setiap hari aku begini. ia teringat kenapa ia repot-repot
menabung untuk bisa makan makanan itu. ahh hari ini adalah hari ulang tahunnya. ulang tahun
harus dirayakan dengan cara yang paling hebat. umur bertambah, berarti pengalaman harus
bertambah dong. begitu fikir Soeharto.
Soeharto menatap orang-orang yang datang dan pergi. orang-orang muda yang berwajah
perlente. sebagian besar mereka datang berpasang-pasangan. dan nampak semuanya membawa
handpon. wah ia bayangkan bisa punya handpon seperti itu, bisa ia banggakan pada teman-
temannya.
wah tetapi mahal. ia berfikir ulang, dan tidak ingin macam-macam. ia sudah bisa menikmati
makanan seperti ini sudah sangat senang dan bangga. ia berkonsentrasi pada makanannya lagi.
mmmhh enak, mmmhhh kenyal, mmmh dingin. wah tinggal sedikit. sudah hampir dua jam ia
duduk di meja itu sambil menggigit, menggerogoti perlahan-lahan makanan itu. barang mahal
harus dihemat-hemat, begitu fikirnya.
ia melihat ke samping kanan kiri depan, orang berseliweran tak karuan. mereka makan
ngebut seperti dikejar setan. orang kaya kok hidup tergesa-gesa semuanya kayak gitu. nggak bisa
nikmati makanan enak. eh, tapi mereka khan tiap hari makanannya ini, fikirnya geli. ya sudah aku
memang miskin jadi nikmati makanan seperti ini juga perlahan-lahan.
ia lihat orang-orang di sampingnya sudah beranjak pergi. orang-orang kaya yang
meninggalkan sisa makanan banyak sekali di meja. minuman merka tak dihabiskan. dan tanpak
separoh makan yang seperti dimakan oleh Soeharto kini tergeletak di meja, terkapar begitu saja.

20
Soeharto melihatnya dengan mengelus dada. orang-orang itu meninggalkan meja dengan segera
dan dengan canda tawa mereka dengan bahasa gaul bergegas keluar. nampak dua orang
memencet-mencet handponnya.
Soeharto menatap meja yang kini kosong itu. melihat sisa-sisa makanan berceceran di
meja. ia mengeluh dengan wajah masam. ia sedikit tersinggung sebenarnya. tetapi kini ia melihat
sesuatu tergeletak di kursi. benda berwarna biru tua. bentuknya kecil, kotak. ahhh handpon
ketinggalan. jeritnya dalam hati. ia sedikit tegang. ia ingin beranjak dan mendekati meja.
Soeharto menoleh kanan kiri. para pelayan sibuk mengantar makanan dalam hingar-bingar
restoran yang penuh celoteh. tak ada orang yang memperhatikan dirinya. Soeharto menahan
nafas. menahan diri sebentar. aku bisa mengambilnya. tetapi jangan sampai ketahuan. jangan
cepat-cepat, perlahan-lahan, santai saja. bisiknya dalam hati. ia menoleh lagi ke kanan dan kiri.
tetap tak ada seorang pun yang memperhatikannya. nampaknya semua orang memang sibuk
dengan urusannya sendiri-sendiri.
kini dengan tegang Soeharto beringsut perlahan. ia punya ide. ia bangkit berdiri dan pergi
ke meja itu. ia melihat ada makanan empuk separuh, sisa orang-orang tadi. ia ambil dengan
tangan kirinya. nampak di dekatnya seorang pelayan meliriknya dengan jijik. ih.. makan makanan
sisa. dasar norak. mungkin fikirnya. tetapi itu memang rencana Soeharto. ia seolah mengambil
makanan itu, dan perlahan hampir tak terlihat, ia menyorongkan tubuhnya ke depan, menutupi
pandangan orang terhadap kursi tempat handpon tergeletak. tangan kirinya beraksi. ia gaet
handpon itu. yak. ia ambil dan masukkan saku celananya. ah, aku mencuri. katanya dalam hati.
kalau aku ketahuan pasti penjara. masuk bui. hiii. tetapi jika handpon ini kujual, pasti harganya
mahal. aku bisa makan ke restoran lain. tidak ke sini lagi. toh siapa yang tahu nama dan wajahku.
biar orang tadi mencari-cari handponnya.
Soeharto dengan segera berlagak makan makanan sisa itu. sang pelayan melihatnya
makin jijik, kemudian berpaling. dan Soeharto bersorak di dalam hati. Sesaat, akhirnya dengan
gerak sesantai mungkin ia pergi keluar. berjalan keluar pintu. tiba-tiba, terdengar dering suara.. tiit-
tiit-tiit. Soeharto terkesiap. hatinya berdegup. handpon itu berbunyi. ia tak tahu bagaimana cara
menggunakan handpon.
mas-mas handponnya bunyi. kata seorang pengunjung yang duduk dekat pintu keluar.
semua orang memandang dia. tiba-tiba saja seakan-akan semua orang memandang dirinya.
Soeharto kelabakan. dengan keberanian tersisa, ia merogoh handpon di saku celananya. suara
handpon sekarang telah berhenti. tertulis di sana missed call. Soeharto tak tahu apa artinya. ia
menatap handpon itu, dan ia punya ide. ah, pura-pura menerima telepon saja.
kemudian ia mendekatkan handpon ke telinganya, dan berkata. hallo.. oh ya.. ya. mmhh,..
ya. ya nanti oh… ia berpura-pura berbincang sambil berjalan menuju keluar pintu. tepat hampir
tiba di pintu, saat ia masih berpura-pura berbincang-bincang, tiba-tiba handpon itu berdering
kembali. tuuut-tuuut. Karena suara keras itu Soeharto terperanjat, kaget sekali, dan tak sengaja
handpon itu tergelincir dari tangannya, jatuh ke lantai. sambil terus berdering. semua orang di
ruangan restoran menatap dia. restoran tiba-tiba terasa hening sekali, semua orang terdiam,
pelayan-pelayan berhenti melayani tetamu. Soeharto terpaku di ambang pintu keluar, mulutnya
lebar ternganga.

-†`À-

catatan: Saya lupa kapan tepatnya menulis cerpen ini. Mungkin sekitar tahun 2001, ketika
handphone masih merupakan barang mewah bagi masyarakat Indonesia pada umumnya. Saat itu
pun teringat jelas sekali, saya dan istri saya hanya memiliki satu buah handphone untuk dipakai
berdua. Tetapi saat ini (tahun 2005) kami sudah berkali-kali berganti berbagai merk handphone,
dan bahkan kini sedang memiliki 4 batangan handphone bersama-sama, yang justru kini kerap
membikin repot karena kadang membuat sesak kantong-kantong baju kami. Handphone low end
beserta nomer telepon serta pulsanya (baik GSM maupun CDMA) telah menjadi demikian murah

21
dan dapat dijangkau kocek masyarakat bawah. Sangat umum saat ini, untuk menyaksikan para
pedagang bakso atau mie ayam tengah sibuk memencet-mencet tombol handphone-nya
(terutama untuk saling ber-sms), sembari dengan nafas ngos-ngosan tetap saja berusaha
mendorong gerobak butut mereka, di tengah terikpanas jalanan kota yang ganas meranggas.
Meski demikian handphone mewah yang berharga sangat mahal dan berfasilitas amat canggih
pun bertaburan di pasaran, dengan beragam janji kenikmatan, keselalubaruan, dan keindahannya.
Dan segmen high end ini nampaknya tetap merupakan hak prerogratif para orang kaya dan
berkuasa. Jadi, bagaimanapun juga, mencuri handphone masih kerap dilakukan (sekerap orang
mencuri sandal di masjid); bukan hanya karena tindakan itu bisa menguntungkan secara
ekonomis, tetapi juga karena handphone nampaknya telah menjadi kebutuhan dan “hak”
masyarakat umum, bahkan sejak kanak-kanak --ketika mereka mulai menginjakkan dirinya di
bangku sekolah untuk pertama kali. Kini sebaliknya, mungkin para rakyat kecil seperti halnya
Soeharto masih amat jarang dan segan untuk berhobi memakan junkfood yang harganya mahal
(bagi ukuran orang-orang miskin di Indonesia) tapi tak bermutu gizi itu; sama segannya dengan
saya dan banyak orang lain, yang cerewet dengan persoalan kesehatan gizi serta keadilan global.
Apakah kata “kerap” boleh dipergantikan dengan kata “patut”?

Indonesia!! Indonesia!

Kereta berdesak-desak tak karuan, sementara bergerak dengan amat cepat. Semua orang
nampak sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri. Beberapa orang pedagang sedang berjualan
racun tikus. Beberapa orang berdiri atau duduk terkantuk-kantuk.
Sutiyoso, salah seorang penumpang kereta itu, sudah tak mampu lagi melawan kehendak
yang seperti meluap-luap dalam batinnya, sebuah kehendak yang selama bertahun-tahub
berusaha ia lawan keras-keras, karena ia tahu hal itu merupakan sesuatu yang melawan moral,
melawan hukum. Hampir tak terpikirkan, ia sendiri merasa sedemikian kaget pada apa yang telah
ia lakukan. Saat itu ia ada di bibir kereta api. Di depannya bergelantung seorang bapak-bapak
yang tepat berdiri di depan Sutiyoso. Sesaat tangan Sutiyoso bergerak, seperti tak terkendali,
dan… Ia dorong laki-laki itu dari pintu kereta api listrik. Dan orang itu jatuh, seperti layang-layang,
langsung seperti sampah, melayang tertelan jatuh ke jurang. Tertelan oleh udara dan deru laju
kereta listrik yang berjalan demikian cepat. Sedetik ia merasa puas sekali, lalu menjadi pucatpasi.
Dan orang-orang yang ada di sekelilingnya menjadi demikian terpana, ibu-ibu dan perempuan-
perempuan muda nampak berteriak-teriak histeris, kemudian seperti ada aba-aba gaib yang hadir,
orang-orang, mulai dari bapak-bapak, para mahasiswa, dan juga beberapa penjual barang aneka
ragam segera menerkam dirinya, dan tak ayal beberapa orang mulai menanamkan bogem
mentahnya pada Sutiyoso. Beberapa orang mahasiswi berteriak histeris dan juga ibu-ibu nampak
demikian terpukul dan terpukau pada peristiwa itu. Bagi mereka tragedi yang aneh dan tidak
bermoral seperti itu tentu saja bisa saja difikirkan, karena mereka sangat akrab dengan segala
macam kekerasan virtual. Mereka juga akrab dengan tawuran pelajar, dan tentu saja mengerti jika
ada orang yang hendak terbunuh atau membunuh karena adanya kebencian atau karena dendam
kelompok. Tetapi ini, seperti ada sebuah ketololan. Apa yang bisa diharapkan untuk menjelaskan
tindakan orang itu? Dua orang laki-laki yang nampaknya tidak saling kenal, dan nampaknya salah
satu orang itu, si Sutiyoso yang kita kenal, tiba-tiba mendorong orang itu jatuh keluar dari kereta
yang melaju demikian kencang. Tentu saja pasti orang yang didorong mati. Pasti mati. Lihatlah di
bawah pintu kereta yang melaju kencang itu, pemandangan yang langsung anjlok ke bawah, ke
arah kerumunan dari rumah-rumah bedeng yang nampak demikian kecil di bawah. Kereta sedang
melintasi jurang. Pasti orang yang didorong itu akan muncrat seluruh isi batok kepalanya, seluruh
isi perutnya, muncrat-muncrat darah. Dan sempat orang-orang, termasuk si Sutiyoso sendiri

22
menikmati pemandangan itu. Lelaki itu melayang, tanpa teriakan sedikitpun. Mungkin saking
kagetnya. Hanya orang-orang di dalam kereta yang berteriak-teriak.
Kini mereka meringkus. Dan kini Sutiyoso telah babak belur. Satu orang berkata.
"Panggil polisi!"
"Kita buang aja dia juga dari kereta..."
"Jangan! Kita jangan seperti dia."
"Lalu gimana"
"Bakar saja"
"Jangan di sini."
"Nanti."
"Jangan.... kita butuh hukum. Kita serahkan polisi. Kita semua sebagai saksi."
"Tetapi aku nanti terlambat ke kantor.."
"Wooo, dasar."
"Pokoknya gebuki saja dulu."
Maka dengan segenap tenaga orang-orang, para laki-laki, terdiri dari para pekerja,
mahasiswa, dan mungkin juga para copet, segera mendaratkan bogem mentahnya lagi ke seluruh
penjuru tubuh Sutiyoso. Sutiyoso nampak meringkuk demikian mengenaskan di lantai karet kereta
listrik yang kotor dan penuh liudah itu. Nampak wajahnya bonyok dan mulutnya mengucurkan
darah segar. Tubuh dan pakaiannya sekarang penuh dengan lumpur dan ludah dari orang-orang
yang sesaat kemudian meludahinya.
"Bajingan!!"
"Siapa dia?"
"Nggak tahu."
"Orang tak waras. Jahat. Bajingan."
Demikainlah umpatan-umpatan yang bervariasi mengalir ke Sutiyoso yang sekarang sudah
tak terlihat bergerak lagi. Nampak nafasnya tertatih-tatih dan tersendat.
"Mati loe"
"Biarin."
"Orang seperti ini tak layak hidup bermasyarakat." kata orang yang lain.
Maka perlahan-lahan mereka mulai bangkit dan menendangi Sutiyoso dengan sepatu dan
sandal mereka. Bak-buk-bak-buk!!! Ke arah muka, tubuh, kaki Sutiyoso. Nampak tubuh Sutiyoso
tersentak-sentak sedikit dan perlahan-lahan kemudian ia mulai tak bergerak. Nafasnya nampak
mulai habis dan putus.
"Mati..."
"Hah?"
"Mati. Ya mati. Wong digebuki begitu."
"Panggil ambulan."
"Hush. Pokoknya gimana ini? Kita pasti ditangkap polisi semua."
"Aduh"
“Kita ternyata juga jahat, ya…”
“Ah diem lu.. udah terlanjur.”
“Iya udah terlanjur.”
“Lalu gimana?”
"Ya. Ayo kita segera turun dari sini."
"Ya mumpung polisi dan kondektur tak ada."
"Biar nanti ditemukan orang."
"Ya. Ayo dekat sini stasiun. Pokoknya kita punya perjanjian bahwa kita sama sekali tak
saling kenal. Nah itu ibu-ibu dan perempuan yang lain juga turun. Nanti jadi masalah harus
bersaksi dan sebagainya. Ayo turun semuanya."
“Memang kita saling tidak kenal, kok” gerutu salah seorang penumpang sambil
memalingkan wajah dan menjauh dari depan pintu tempat sosok mendiang Sutiyoso tergolek.

23
Nampak beberapa perempuan nampak menangis histeris dan beberapa orang menutupi
wajah mereka dengan tangan mereka. Mereka demikian merasa muak pada peristiwa keji
tersebut. Beberapa orang laki-laki muda juga nampak memalingkan wajah, dan tidak ikut terlibat
dengan peristiwa itu. Tetapi mereka tidak berbicara apa-apa dan hanya sebentar-sebentar melirik
mencuri pandang penuh minat pada peristiwa itu. Beberapa orang nampak melongok pada
kerumunan yang mengelilingi Sutiyoso.
Seorang berkata pada mereka semuanya. "Kita harus memastikan bahwa bajingan ini
sudah mati beneran. Gimana kalau kita periksa dia, dan kalau dia masih hidup kita mampusin
sekalian? Biar urusannya beres.
"Akur."
"Setuju!!"
“Jangan. Kalau ia hidup biarlah hidup.”
“Hushh. Ia bisa bersaksi di depan polisi.”
“Wah gawat jika begitu.”
“Makanya….”
Maka beberapa orang kemudian menunduk sejenak di dekat tubuh Sutiyoso yang tergolek,
nampak mereka meneliti-neliti, meskipun tak ada seorang pun yang berkehendak untuk
menyentuh tubuh Sutiyoso. Dan kemudian salah seorang berkata.
"Wah nampaknya masih bernafas."
"Wah masih hidup dong kalau begitu."
“Gimana?"
"Kok gimana. Kita tonjok lagi biar mampus."
"Aku punya cara yang lebih asyik." Kata seorang berperawakan kokoh, berrambut cepak,
dan dengan wajah dingin. Nampak warna pakaian hijaunya menyolok sekali di udara siang yang
terik itu.
“Gimana?"
"Lihat nih.."
Maka laki-laki itu kemudian segera berjongkok lebih dekat ke tubuh Sutiyoso, lalu
kemudian memegang kepala Sutiyoso dari samping. Ia genggam bongkahan bulat bonyok itu
dengan kedua tangannya yang kukuh. Kepala Sutiyoso terkulai. Kemudian secara tiba-tiba
kemudian laki-laki berotot itu lalu memuntirkan kepala itu ke arah belakang. Sesaat kemudian
terdengar suara krekkk yang keras dari leher Sutiyoso.
"Wahhhh" kata orang-orang, begitu kaget dan ngeri.
“Hiiiiii. Sadis.”
"Patah. Puas khan?"
Beberapa perempuan dan ibu-ibu nampak memekik dan kemudian terdengar isak tangis
makin keras dari beberapa sudut ruangan gerbong.
"Yahhh, berarti kita memang membunuhnya. Ayo segera kita keluar dari sini. Tuh kereta
api sudah melambat."
Dengan berbondong-bondong maka orang-orang berloncatan turun dari kereta saat kereta
melambatkan dirinya dan sampai di sebuah stasiun kecil. Semua orang nampak keluar begegas-
gegas, sementara para perempuan dan orang-orang yang takut pada kematian sadis itu nampak
keluar cepat-cepat lewat pintu antar gerbong sebelum entah turun atau meneruskan perjalanan
mereka. Nampak mereka nampak demikian shock.
Semua orang turun, meninggalkan Sutiyoso yang tergolek dengan mengenaskan.
Almarhum. Mati. Tewas. Mampus.
Sesaat kemudian pintu gerbong kereta api itu semburat dijejali kembali oleh orang-orang
yang berebut masuk ke dalam kereta. Sementara itu sosok mayat Sutiyoso masih juga tergeletak
di dekat pintu kereta. Beberapa orang penumpang melihat sosok Sutiyoso, dan kemudian seorang
berkata.
"Lho kok ada orang tergeletak."

24
"Hah, gimana?"
“Ada-apa-ada apa---?”
"Kayaknya gelandangan. Kotor sekali tubuhnya."
"Heh-- tapi ada darah di sana-sini."
"Ya itu bekas gebukan"
"Berarti ini orang dikeroyok."
"Masih hidup nggak?"
"Ayo diperiksa saja."
"Nggak mau. Nanti dikira aku yang melukai dia."
"Ya kita semua khan jadi saksi."
"Kalau begitu kita periksa bersama-sama."
Beberapa perempuan dan ibu-ibu, serta beberapa laki-laki yang hendak masuk nampak
mengurungkan niat mereka saat melihat peristiwa yang menghebohkan itu. Mereka segera
bergegas mencari gerbong-gerbong yang lain. Beberapa orang laki-laki yang sudah terlanjur naik
tetap mengerumuni tubuh Sutiyoso. Dan segera kereta pun bergerak dengan sangat cepat
meninggalkan stasiun itu, sambil membawa serta para penumpang gerbong yang mengerumuni
Sutiyoso serta tubuh Sutiyoso yang tergolek. Lalu beberapa orang berjongkok dan kemudian
seorang memegang nadinya. Seorang memegang dadanya. Seorang lagi memegang antara
hidungnya.
"Mati!!!"
"Mati? Waahhhhhh...."
"Hiiii"
"Ngeri sekali."
"Teganya orang-orang. Salah apa dia?"
"Mungkin copet.."
"Ya, mungkin saja."
“Kalau begitu kita lapor sama kondektur."
"Tapi mana kondekturnya?"
"Iya-ya..."
"Kalau begitu siapa bawa telpon genggam lapor polisi atau rumah sakit."
Kemudian salah seorang yang memegang handphone memencet-mencet tombol dan
kemudian menelepon entah kemana.
"Telepon kemana tadi pak?"
"Rumah sakit saja. Biar mereka yang ngurusi dulu. Daripada polisi, nanti kita dilibat-
libatkan."
"Kalau begitu lebih baik kita turun segera di stasiun terdekat."
"Pindah saja ke gerbong lain khan bisa.."
"Penuh. Semua penuh."
"Wah runyam. Kalau begitu baiklah. Kita tunggu sebentar. Paling 3 menit."
Benar. Setelah sekitar 3 atau 5 menit, kemudian kereta berhenti, dan orang-orang
berhamburan keluar dari kereta. Cepat-cepat. Nampak mereka berusaha menutupi wajah-wajah
mereka dan berusaha menunduk dan melangkah cepat-cepat menuju peron stasiun yang pesing
menguning.
Sesaat kemudian gerbong itu dimasuki lagi oleh orang-orang yang hendak menumpang.
Mereka sebagian berteriak, perempuan-perempuan muda dan ibu-ibu nampak mengurungkan diri
untuk naik ke kereta. Mereka semua demikian kaget dengan sosok Sutiyoso yang tergeletak tak
bergerak dengan mata mendelik tepat di depan pintu masuk gerbong yang kotor dan penuh ludah
itu. Sebagian orang mulai berkerumun di tempat yang demikian sempit dan ramai itu, dan seorang
berkata, "Ada orang tergeletak."
"Mungkin gelandangan."
"Tetapi nampaknya korban pengeroyokan."

25
"Mungkin copet atau apa.."
"Ya mungkin."
"Kalau begitu kita segera keluar saja dari kereta ini..."
"Pindah saja ke gerbong lain, yuk.."
"Penuh..."
"Kalau begitu paling tidak kita lapor polisi atau rumah sakit. Siapa punya handphone?....."
“Kita turun saja sebelum kereta mulai berangkat.”
“Baiklah kalau begitu. Mending saya naik bis kota saja.”
Maka orang-orang pun bergegas keluar lagi dari gerbong kereta itu, nampak saling
berbisik-bisik, atau tidak berbicara sama sekali. Mereka segera bergegas meninggalkan tempat
itu. Nampak beberapa orang yang hendak naik ke gerbong itu juga mengurungkan niatnya, dan
segera setelah itu kereta mulai bergerak dengan suara mendesing berat dan bengis,
meninggalkan stasiun itu.
Seorang lelaki yang duduk di stasiun berkata pada temannya saat melihat kereta itu
melintas, “Tumben kok ada gerbong yang kosong. Padahal gerbong yang lain isi penuh
semuanya.”
Temannya menjawab, “Iya…ya…”
“Paling ada apa-apa di sana.”
“Paling nanti juga ada di koran”
“Iya.”

***

Jalan

Harmoko tiap hari melewati jalan yang becek di gang kosnya di Jakarta. Melewati jalur
tempat pembuangan sampah sementara yang bergumpal bertumpuk-tumpuk. Tiap berjalan di
pinggir jalan itu ia mencincing celananya karena takut kakinya secara tak sengaja mencipratkan
sendiri lumpur bau itu ke celananya. Sambil berjalan ia berusaha menahan nafas semaksimal
mungkin, menghindari rasa mual yang kini telah menyerang seluruh syarafnya. Sungguh sial ia
pergi keluar jalan hanya memakai sandal jepit. Bagi orang lain hal itu mungkin tak berarti apa-apa,
apalagi mengingat Harmoko waktu itu hanya ingin membeli puyer untuk sakit giginya. Tetapi
betapa mengkalnya hati Harmoko saat tiap langkah kaki, membuat cipratan tak tanggung-
tanggung pada celananya. Padahal laundry di jakarta sangatlah mahal. Satu celana bisa dipatok
biaya 5000 rupiah, sementara Harmoko sendiri orang yang sangat malas untuk mencuci sendiri.
Setelan baju yang ia pakai kini sudah ia kenakan pada hari ke 15, dan ia rencanakan untuk bisa ia
pakai sampai sebulan penuh. “Menghemat”, katanya suatu kali. Paling banter ia hanya
mempersering mandi. Itu pun tak mampu menutupi bau dari baju dan celana yang akhirnya
meresap lagi ke tubuhnya yang kecil dan dekil.
Hampir putus asa ia berjalan sehati-hati mungkin. Tetapi tak mampu mengatasi efek dari
cara berjalan jingkatnya. Setiap langkah hati-hatinya menyipratkan lumpur lagi, sekali lagi. Ia
begitu mendongkol. Ia sudah sampai di tengah jalan, dan celana itu sudah kotor sekali.
Meneruskan perjalanan ataupun kembali ke kos sama saja, hanya memperparah cipratan.
Dengan pasrah ia berhenti diam. Cara berjalannya memang sangat unik. Sejak kecil ia cenderung
untuk berjalan berjingkat. Konon kabarnya karena saat bayi ia tak belajar untuk berjalan terlebih
dahulu, tetapi langsung berlari. Seorang teman pernah mengatakan cara berjalannya persis
seperti setan dalam gambar-gambar di gereja. Harmoko dengan keras kepala membantah dan tak
percaya. Tetapi betapa mendongkolnya ia saat pernah melihat film humor Cina tentang vampir-

26
vampir, dimana diceritakan tentang ciri orang yang dikuasai oleh roh jahat.. cirinya salah satunya
adalah berjalan berjingkat.
Kini ia berdiri diam di tengah jalan becek itu. Persis dekat sekali dengan timbunan sampah
berderet-deret. Ia lihat para pengumpul sampah bersliweran dekatnya dengan tubuh kotor.
Sementara bau menyengat menyebar menusuk hidungnya. Campuran antara tai manusia,
kencing, bangkai, sayuran busuk, kertas terbakar, entah apa lagi. Harmoko bergidik, mual. Ia
heran dan berfikir, betapa mengerikannya hidup sebagai tukang sampah. Bersekutu dengan
kotoran, dan mungkin sekali bakal segera tertular segala macam koreng, lepra, dan anekaragam
penyakit menjijikkan lainnya. Ia tak sadar ia juga sosok amat menjijikkan bagi teman-temannya,
karena tak pernah berganti pakaian.
Perlahan ia berjingkat, dan cepret, terciprat juga celananya oleh comberan busuk itu.
Apakah aku harus membuka sandalku, dan berjalan bercakar ayam? Fikirnya dalam hati. Hiiiihh.
Ia lihat kakinya yang berjingkat-jingkat itu. Sebenarnya tapak kaki hingga punggung kakinya sudah
berlepot lumpur penuh bau mengerikan itu. Tetapi ia tetap jijik untuk mencopot sandalnya. Hal itu
berarti celananya akan lebih kotor lagi. Gawat!! Fikirnya.
Ia akhirnya pasrah. Berjalan seperlahan-lahan mungkin, meloncat-loncat perlahan diantara
kubangan. Mencari tempat yang tidak menggenang. Ia berjalan seperti kijang amatir. Sia-sia saja.
Ia mengutuk kebodohannya karena pergi keluar memakai sandal jepit itu. Ia pandangi sekali lagi
celana bagian belakangnya. Penuh lumpur sudah. Jijik deh. Ia bergidik perlahan hingga seluruh
bulu badannya berdiri.
Beberapa mobil melintas santun dan perlahan di sampingnya. Ia bersyukur karena ia
berjalan di lintasan kampung yang sempit. Hingga hampir mustahil mobil-mobil untuk ngebut dan
menceprot dirinya. Sesungguhnya ia sering iri pada orang-orang yang kaya, dan punya mobil itu.
Ia selalu melirik kagum pada segala macam merk mobil mewah. Ia teringat zaman SMA
dahulukala sering duduk di depan parkiran sambil berbincang-bincang ribut dengan teman-
temannya soal merk-merk mobil terbaru, meskipun seumurhidup mereka tak pernah sempat
duduk di dalamnya.
Ia mengingat dirinya yang miskin dengan sedikit marah dan kecewa. Mereka bekerja apa
ya sehingga bisa kaya seperti itu, sih? Fikirnya. Tetapi kini ia sudah terbiasa dengan ketimpangan-
ketimpangan itu. Apalagi di Jakarta ia tak sendiri. Orang yang lebih miskin darinya pun seabrek.
Kini ia lebih peduli pada kerjanya sebagai pegawai cetak yang punya gaji dan menabung sedikit-
sedikit. Dan ia kini lebih peduli untuk bisa menghindari comberan daripada mengenang kosa kata
tentang jenis mobil jreng zamannya yang tentu saja sudah kadaluarsa.
Kini jalan telah sepi. Ia berjalan perlahan, setengah melamun. Ia hampir tak peduli ketika
dari belakang terdengar deru mesin. Harmoko akhirnya terkesiap, nalarnya berjalan, tetapi
terlambat. Aduh, mobil.. fikir Harmoko. Ia menyadari mobil itu ngebut. Tak bisa dihindari. Ruuung..
ruuuung!! mobil melintas cepat. Melintasi dengan congkak ke diri Harmoko yang sial. Menggilas
lumpur di tengah jalan itu… dan… ceproooottttt. Musibah bagi Harmoko.
Harmoko hampir tak percaya. Ia diam sedetik, memandang tubuhnya. Mulutnya ternganga
lucu. Ia berdiri setengah meringkuk menyipitkan matanya. Ia rasakan basah di seluruh tubuhnya,
menetes-netes. Perlahan ia membuka lebar matanya…. Dan ia mulai mengumpat-umpat. Ia lihat,
mobil apa yang leintas tadi. Mercedes warna merah yang bagus sekali. Tetapi ia hanya melihat
bokongnya saja. Asuuuu.. ia berteriak keras. Tentu tak terdengar dari dalam mobil yang tertutup
rapat itu.
Asuuuu. Ia mengumpat sekali lagi. Ia melihat mercedes itu berhenti di depan rumah
mewah satu-satunya yang ada di kampung itu. Dari matanya yang membelalak ia melihat
pemandangan ini: keluarlah seorang pemuda yang berbaju perlente menggandeng seorang gadis
yang cantik sekali. Lelaki muda itu sedang sibuk menerima telepon genggam dan dengan cuek
menggenggam tangan gadis cantik itu dan masuk ke dalam gerbang yang kini dibukakan dengan
takzim oleh seorang satpam berseragam.

27
Asuuu.. rutuk Harmoko lagi. Harmoko melihat dirinya dengan kecewa dan haru. Ia lihat ke
sekujur badannya. Basah kuyup dengan cairan lendir berwarna coklat kehitaman. Ia lihat
tangannya, berlepot dengan cairan yang sama. Wajahnya terciprat banyak sekali. Tanpa sadar ia
raba wajahnya dengan telapak tangannya. Terasa lendir menetes basah hampir memenuhi
wajahnya, menetes dan hiieeekkk, buhhhh-buuuuhhhh cairan hitam itu menetes-netes hingga
bibirnya, masuk ke dalam mulutnya. Bau membusuk menyeruak memenuhi seluruh paru-parunya.
Buh-buh-buh. Harmoko meludah tak karuan. Hampir-hampir Harmoko ingin menangis. Campuran
antara tangis sedih, tangis marah, dan tak berdaya. Oh, ternyata ia takut pada orang kaya.
Asu… teriaknya. Terdengar suara sekedar bisikan. Harmoko baru sadar bahwa ia takut
untuk berteriak marah-marah pada orang-orang kaya itu. Ia merutuki kepengecutannya. Ia malu
untuk terus berjalan sampai di depan rumah mewah itu. Namun, ia tak punya pilihan lain…
berjalan mendekati mobil dan rumah mewah itu. Ia berjalan terus dan hampir melewati mobil itu.
tanpa sadar ia masih sempat mengagumi mobil mercedes itu. memang luarbiasa gerutunya dalam
hati. Luarbiasa indah. Aku selalu suka pada bagian depannya yang khas. Nampak di jauh
sampingnya, laki-laki itu sedang menelepon dengan telepon genggamnya. Nampak ia melirik
sesaat pada Harmoko. Ia nampak mengernyit jijik. Dan kemudian sibuk kembali nyerocos lewat
telepon genggamnya.
Asuuu. Rutuk Harmoko. Ia mengkerut nyalinya. Kini ia kok malah cuma bisa mengumpat
dalam hati. Seperti orang tolol yang hanya berjalan perlahan sambil menoleh ke rumah, mobil,
dan pemuda perlente itu. Wajahnya diam tak berkedip, mungkin berusaha berekspresi marah
tetapi gagal. Bagaimana ini. Ia sudah berhenti sekitar semenit di depan orang itu. Persis seperti
pengemis hendak meminta derma. Atau rakyat jelata yang berdemonstrasi pasrah di depan alun-
alun kerajaan. Lelaki itu tetap menelepon dengan telepon genggamnya. Bahkan kini ia sama
sekali tak melirik kepada Harmoko yang berdiri santun penuh harap. Ia sebenarnya pantas sekali
marah untuk ukuran Jakarta yang keras ini. Jika ia mengamuk pasti orang kampung akan
membelanya sebagai sesama orang miskin yang punya sentimen pada kaum berada. Tetapi kini
ia tak tahu bagaimana caranya untuk marah. Ia merasa bloon sekali. Di tengah kemarahannya ia
merasa sangat grogi melihat mobil mewah itu, merasa sangat iri dan tak berdaya di hadapan lelaki
perlente itu. Ia juga takut pada satpam itu. Ketiga orang di depannya tetap dengan cuek sibuk
dengan urusannya sendiri. Meninggalkan Harmoko terpana dengan wajah campuran geram,
tersinggung, marah, sedih, dan bloon.
Dengan perlahan Harmoko akhirnya beringsut. Sambil tetap mengusap-usap lumpur
wajahnya yang kini telah mengering dan membentuk kerak, Harmoko berlalu. Sambil menggerutu.
Ia berjalan jauh. Ia tak tahu harus apa kini. Ia berjalan lagi. Makin menjauh, meneruskan
perjalanan. Ia menundukkan wajah ke bawah, malu pada dirinya sendiri. Menyaruk-nyaruk, tanpa
peduli pada kekotoran seluruh tubuhnya, ia berjalan membenamkan kakinya ke genangan lumpur.
Ia tak berani melihat ke belakang lagi. Ia sudah lupa hendak apa tadi. Pokoknya pergi, gerutunya
dalam hati. Ia melihat ke tanah becek itu dan tangannya mengepal erat. Dadanya mendidih, tetapi
ia ingin menangis.
Kenapa orang kaya selalu beruntung? Dan bisa seenaknya semena-mena bersikap pada
orang miskin seperti aku? Dalam genangan comberan tengik itu ia seperti melihat bayangan
dirinya sendiri. Mungkin bagi mereka aku pun juga semacam comberan. Tak terasa air matanya
mulai mengalir membasahi lumpur di pipinya. Air matanya melarutkan lumpur di pipinya,
membuatnya wajahnya makin kumal.
Matanya nyalang menatap bawah. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada batu yang
bercahaya. Sebuah batu yang cukup besar. Tergeletak di genangan comberan, nampak berkilat-
kilat. Jalan Harmoko terhenti sejenak. Naluri harga dirinya berdesir naik dalam nadinya. Terlintas
dalam benaknya. “Ambil. Lempar!! Lemparlah kaca mobil itu. Hancurkan kesombongan dan
ketidakpedulian orang-orang kaya itu!!!”, Darahnya menghangat. “Ya. Itu harus dilakukan, sebagai
bentuk perlawanan kita sebagai orang melarat.”

28
Dengan tangan dan tubuh gemetar ia berjongkok, mengambil batu itu. Ia menggenggam.
Batu itu terasa berat, dan rasa sakit di hatinya seakan bisa berpindah mengalir ke batu itu. Ia tatap
batu hitam itu dengan dekat, nampak makin bercahaya. Dadanya berdegub kencang. Ada rasa
menyenangkan yang luarbiasa. Terbangun lagi rasanya harkat kemanusiaannya yang sempat
tercabik barusan.
Harmoko berbalik. Dengan wajah yang binar bercahaya ia berjalan. Ia lupakan rasa perih
karena lumpur di atas matanya mulai mengalir ke bawah masuk ke matanya. Ia lupakan bau apak
dan memualkan dari seluruh tubuhnya. Ia lupakan tubuhnya yang kuyup hitam. Ia berjalan gagah
seperti tentara yang melangkah ke medan perang, mengikuti genderang musik. Ia berjalan
menyusuri jalan berlumpur itu, siap bertempur. Matanya tajam memancarkan cahaya. Ia berjalan
tegap seperti pejuang. Tegap, ….telapak kakinya tak lagi berjingkat-jingkat....

Jembatan

Jembatan itu sangat tua. Mungkin sejak tahun 60-an ia tak diperbaiki. Kukenali hal itu dari
lobang-lobang di kaki-kaki kukuhnya yang menghunjam tanah. Lubang peluru AK yang bulat
sempurna… sangat bagus. Warna pejal putih jembatan itu karena dipelihara oleh penduduk
setempat yang melaburnya tiap akan menyambut tanggal 17 Agustus. Entah mengapa mereka tak
kunjung menambal lubang-lubang peluru itu. Manusia-manusia sederhana ini pandai memilih cara
asyik itu untuk mengenang sejarah secara apa-adanya.
Blok-blok batu ditumpuk dengan sangat rapi, menyerupai piramida atau trapesium. Panas
matahari saat itu begitu menyengat, menggetarkan orang-orang yang lewat dengan caping-caping
mereka. Nampak dua orang tua yang bercakap perlahan. Caping mereka menutupi mata, tapi tak
menyembunyikan kerut merut wajah mereka. Tangan-tangan hitam, dan kaki-kaki kurus kering,
kuat hanya karena memang harus hidup. Perlahan-lahan mereka berjalan, serasi sekali dengan
alam yang serba murni tak bermesin. Gabah-gabah di dekat kaki, luas di belakang sawah yang
kering. Memang ini daerah petani, lama tak tertembus oleh asap motor dan listrik. Dan jembatan
itu pun tertawa tak bergeming pada perubahan.
Semuanya membuatku berdiri tercenung di sini. Jembatan di Jawa selalu mengandung
bencana dan karunia sekaligus. Seorang tua bercerita bahwa dahulu, zaman Indonesia masih
dikuasai Belanda, ketika segalanya masih makmur, dan harga-harga masih terraih, mulailah
dibangun piramida putih itu, membelah sungai deras. Insinyur-insinyur kulit putih berdatangan, hilir
mudik dengan wajah-wajah mereka yang cerdas, dengan mata mereka yang dalam dan biru
bening. Mereka memandangi para kuli yang nampak kecil tapi liat, dan mereka terus sibuk berfikir.
Demikianlah para penjajah selalu bersikap. Tetapi jangan kaget saudara, bahwa di dalam tanah
itu terkandung 4 mayat yang nampak mendelik dengan mulut menganga, di setiap batang tiang
beton cor. Andaikan tiang beton itu dibelah, akan mengelontok keluar mayat yang sudah habis
dimakan ngengat dan belatung. Disana akan kita temui cetakan sempurna manusia yang terikat
ke belakang. Tangan dan kaki terbelenggu, dengan tubuh meliuk-liuk tak karuan. Akan nampak
raut-raut wajah kengerian, pasrah terbekukan. Hasil karya kekejaman luarbiasa dari manusia
kepada manusia yang lain. Mungkin suatu saat batang beton itu bisa dijual mahal di balailelang
terbaik di Singapura.
Apakah para Belanda itu yang telah melakukan? Mungkin mereka tahu, dan mengikuti
tradisi orang jajahan mereka. Dan para penjajah Belanda selalu sangat berhati-hati terhadap
tradisi. Bagi rakyat terjajah tumbal memang harus ada. Untuk membuat mereka bisa kembali
berkhayal bahwa mereka tidaklah terletak di rantai makanan terbawah. Mungkin tak difahami oleh
fikiran rasional orang Belanda. Tetapi di sini lain, karena manusia hidup dikungkung baik oleh
alam maupun kekuasaan raja-raja. Maka muncul hantu-hantu, gendruwo-gendruwo, mulailah
penduduk menjadi korban para mahluk halus itu. Kita mengenang calon arang, mengenang leak

29
dan santet yang membuat partai-partai politik kini lebih serupa mandor-mandor itu. Demikianlah
ratusan tahun berlalu dan kejadian berulang. Tentu saja kepala kerbau tak bisa digunakan karena
jembatan itu demikian besar, sementara gendruwo minta ganti rugi penggusuran yang setimpal.
Pasti nanti banyak terjadi kecelakaan karena dedemit gendruwo penunggu sungai itu akan
tersinggung dengan sajian yang terlalu sederhana. Seperti andaikata kita sekarang menjamu
seorang tamu negara dengan sekedar semangkok indomi rebus.
Seperti pendahuluku para antropolog kolonial, aku selalu mencoba bertanya dan
membedah otak para petani sederhana itu. Kubuat mereka terkesan oleh kesopansatunanku, dan
kubuat mulut mereka mulai berbicara panjanglebar, sementara kuaktifkan mikrofon kecilku dalam
saku. Nenek kecil rapuh itu bercerita bahwa pada suatu saat banyak para pekerja yang
mengalami kecelakaan yang aneh. Aku membayangkan bagi statistika kolonial itu berarti
inefisiensi yang besar. Seorang mati jatuh, langsung tertusuk oleh kawat-kawat baja, tembus dari
dada ke punggung. Tentu saja mati, seperti daging sate. Kemudian seorang kejatuhan beton blok
yang akan digunakan sebagai kunci antar lembar jembatan. Tentu juga mati, plus gepeng.
Kemudian ada lagi, salah seorang kerabat nenek itu terperosok ke dalam mesin adonan semen,
hingga membuat adonan bubur semen itu merah oleh puing-puing tubuh dan darah. Semuanya
mengerikan sekali, dan membuat mandor gelisah. Ya, ia punya istri, mungkin gundik, yang harus
dibiayai. Ia ingin mempertahankan jabatannya.
Kata nenek itu, dikuatkan seorang kakek: di malam hari sering terdengar lolongan dan
tangisan dari arah jembatan yang tengah dibangun, membuat para penduduk dan kuli ketakutan
setengah mati. Pernah terjadi di suatu malam sesosok tubuh datang ke warung nasi. Ia ikut
berteduh. Setelah dilongok pemilik warung, ternyata tak punya wajah sama sekali. Darah
menetes-netes dari wajah gepeng itu. Tentu hal itu membuat perempuan warung menjerit
ketakutan dan pingsan. Besoknya orang melihat sisa darah menetes-netes di warung, tercecer
berkitar-kitar sekeliling bangku kayu dan makanan di meja. Demikianlah kemudian berturut-turut
ada gendruwo datang, ada pocongan, ada gundul pringis. Kampung menjadi demikian tercekam.
Sudah menjadi kebiasaan untuk mencari seorang pintar. Ya, biasanya seorang yang
dihormati di kampung, atau justru sangat ditakuti. Dukun yang ada di kampung sebenarnya sudah
pernah memperingatkan untuk memberi tumbal manusia. Zaman dahulu para raja dan Sultan pun
dengan penuh khidmat mengikuti petunjuk itu. Belanda jelas melarang praktek-praktek penting itu.
Hal itu tentu adalah sesuatu yang tidak bisa diterima oleh para penjajah yang serius dan berfikir
modern. Mereka hanya tahu bahwa semua pembangunan menjadi sama sekali tidak beres,
karena para kuli menjadi malas-malasan, dan mereka sebal menangkap nada-nada ketakutan
indigeneous itu. Tetapi sepanjang zaman para penjajah agung melihat, bahwa memang
demikianlah sikap ras yang lebih rendah. Dikuasai oleh takhayul dan kebodohan. Dan tugas
mereka sebagai pegawai jajahan adalah membangun jembatan secara bagus, kuat, tepat waktu,
dan dengan biaya yang efisien. Dan hal itu diganggu kebodohan-kebodohan itu. Mereka marah-
marah pada para mandor, mengumpat dalam bahasa ibu mereka. Mereka dengan putusasa
memberi uang, candu, mengancam, dan sebagainya, asal semuanya lancar. Demikian usaha
Belanda merubah keadaan.
Para mandor pun punya cara sebndiri. Mereka membayar orang untuk menculik 4 orang
lelaki. Asal culik saja. Mereka dibayar banyak. Asal bisa dapat 4 orang untuk dijadikan tumbal
jembatan. “Culiklah di dusun tetangga yang jauh, culik mereka yang tak punya siapa-siapa lagi.
Culiklah mereka yang miskin. Ikat mereka dan jangan sampai ketahuan oleh polisi kolonial, karena
nantinya kamu yang akan digantung. Jika kamu tertangkap, maka diantara kita tidak terdapat
hubungan apa-apa. Paham?” Nampaknya demikian cara omong para mandor itu.
Malam hari, empat sosok terikat dengan digulung oleh tikar basah, nampak menggeliat-
geliat dan berusaha berteriak, namun mulut mereka terkunci rapat oleh tali yang melilit bibir dan
gigi mereka. Saat molen beton mulai berputar mengecor dengan suara bergemuruh, mengaduk
semen menjadi adonan yang rata dan kental, mereka mulai akan dimasukkan ke dalam rongga
cetak. Perlahan-lahan dengan kerekan tali, tubuh-tubuh yang menggeliat-geliat ngeri itu

30
dimasukkan dalam cetakan itu. Tegak dengan kepala di atas. Mereka nampak menggapai-gapai
ketakutan. Mungkin ada yang terkencing-kencing atau mengeluarkan tinja. Dan mata mereka
mendelik, berusaha melepaskan ikatan di kaki dan tangan merka. Nampak para pekerja lain yang
pucat menatap nasib absurd itu. Para mandor berteriak-teriak memerintah diantara bunyi molen
yang bergemuruh. Dan mulailah orang-orang malang itu dibenami adonan semen, sampai
pinggang. Mereka makin meronta. Adonan sudah sampai ke dada mereka. Mereka makin
meronta, dan nampak air mata berlinang. Dan perlahan adonan sampai leher, hingga mereka
semuanya lemas. Perlahan-lahan wajah dan kepala mereka tertutup oleh semen dan beton. Dan
semua wajah pekerja nampak lega. Wajah para mandor pun menjadi tidak lagi tegang. Mereka
mulai tertawa-tawa santai. Segala tatacara sudah selesai, dan kini tinggal menunggu cetakan itu
mengering sempurna dan bisa digunakan besok untuk empat tiang pancang yang diletakkan di
ujung-ujung jembatan.
Demikainlah cerita ibu itu, dan dibenarkan oleh bapak di sampingnya. Mereka semuanya
terbatuk-batuk karena sakit tua. Mereka orang desa yang selalu berkata dengan kata-kata yang
sederhana dan jujur. Mata mereka yang sudah rabun nampak tulus, semurni minuman teh
suguhan mereka padaku yang dibumbui garam pengganti gula. Saat aku mengecap air teh garam
itu, terasa sensasi seperti meminum darah segar. Mulutku berdecap-decap. Mungkin memang
manusia diberi bakat untuk membantai dan memangsa tetangganya.
Dan aku tidak punya hasrat sama sekali untuk tidak mempercayai mereka. Mempercayai
kata-kata orang sederhana seperti sebuah ibadah sunyi. Saat ini aku ada di atas jembatan itu,
menatap tiang-tiang pancang di bawahku dengan muram. Panas matahari seperti gelap malam
yang kacau. Aku melihat beton hitam itu nampak demikian kokoh, mengalahkan kekokohan
bangunan-bangunan yang dibangun saat kami sudah merdeka. Kurasakan sensasi melihat mayat-
mayat itu menggantung dan tercetak sempurna dalam blok beton itu. Kurasakan nuansa
kekejaman itu sebagai sebuah kenyataan biasa.
Nampak di antara jembatan itu mengalir keluar masuk orang. Mereka selalu yakin pada
cara tradisional. Kubayangkan kini menjadi salah seorang arsitek Belanda yang penuh rasio, yang
sangat terkejut dan marah mengetahui bahwa mandor-mandor yang ada di bawah kendaliku
melakukan pengorbanan manusia yang menjijikkan dan brutal. Aku kemudian muntah-muntah,
dan mengundurkan diri dari proyek-proyek memuakkan di negeri tropis yang indah dan hangat ini,
yang dipenuhio pribumi bodoh dan kejam.
Tetapi aku ingat juga tentang peluru-peluru yang membenam di dalam tembok tua ini juga.
Saat pemberontakan dan semangat untuk merdeka bergemuruh, para pemuda dusun mulai
mencincang semua Belanda congkak itu. Mungkin mayat-mayat di dasar beton itu akan mendelik
dengan isi tubuh mereka yang sudah menjadi lumpur, melihat nanar kekacauan itu. Dingin dan
beku. Tetapi mayat-mayat dari Belanda dan pribumi yang berjatuhan di atas air, sama-sama pucat
dan membeku. Begitu juga saat mengetahui bagaimana leher-leher menganga, tersembelih saat
salah satu partai terlarang dibantai habis oleh pemuda-pemuda masjid dan tentara AD. Lelaki
wanita, anak-anak digorok. Sebagian lagi diberondong peluru, sebagian besar tak diberi
kesempatan untuk mendelik dan megap-megap seperti orang-orang yang diculik itu. Aku
mendapat cerita bagaimana warna putih dari jembatan ini pernah tiba-tiba menjadi merah dan
berbau busuk ratusan mayat merana anggota partai. Air di bawah menjadi merah dan mayat-
mayat menyembul diantara lalat-lalat yang beterbangan gembira campur heran. Selalulah
demikian di sebuah medan pembantaian. Betapa tak berartinya kematian 4 orang dalam beton
masif itu. Dusun menjadi penuh hantu kembali. Bertahun-tahun terdengar lagi erangan, tangis,
dan teriakan hantu di malam hari. Malam-malam sering muncul gendruwo, gundul pringis,
pocongan, dan sebagainya.
Betapa menggusarkannya jembatan yang sederhana dan kokoh ini. Betapa banyak tumbal
digunakan untuk kenikmatan sesaat. Nampak di atasnya dua orang tua menuntun sepeda
mereka. Wajah mereka yang kerutmerut mungkin telah merekam berbagai hal peristiwa.
Kurasakan betapa berbahayanya peradaban. Dan sesaat aku tersadar, betapa leganya aku

31
terbakar panas matahari, sendirian berdiri di atas beton putih kokoh ini. Lega karena asing. Dada-
dada manusia selalu diisi oleh darah yang panas, yang akan mudah tertumpah setiap saat. Tanpa
mereka tahu kenapa bisa begitu.

Kota

“Bah! Ditolak mentah-mentah!!”


Sudah sekian banyak lamaran yang diajukan oleh Syahnakri kepada pabrik-pabrik. Sudah
dua bulan penuh ia mencari pekerjaan. Sedih sekali merasakan di PHK. Tetapi mau apa lagi. Ia
tak menyalahkan pabrik. Sejak dulu ia faham bahwa memang posisi sebagai buruh itu sulit.
Apalagi saat krisis datang. Meski orang yang berfikiran sederhana, Syahnakri toh tetap sempat
mendengarkan berita di radio, atau menyempatkan diri melihat TV bersama teman-teman di
kontrakannya. Pabrik-pabrik gulung tikar. Para pekerja di PHK massal, dan demo merebak di
mana-mana. Ia sempat dulu saat kerusuhan turut mengambil radio yang sekarang menjadi
hiburan satu-satunya di kamarnya yang sempit. Ia menyewa kamar itu bersama dengan dua orang
temannya. Pokoknya malam bisa tidur sudah cukup deh. Dempet-dempetan kayak gini malah
anget. Asal nggak bool-boolan saja. Ia masih suka perempuan, demikian juga dengan teman-
teman satu kamarnya. Jadi ia merasa lega.
Saat ia diPHK ia sedikit gembira karena Hartinah gacoannya tak turut diPHK. Yah,
memang gaji perempuan khan memang lebih rendah. Jadinya pabrik milih tetap mempekerjakan
buruh perempuan. Sementara itu Syahnakri naas. Termasuk yang terkena. Ia memang
mendapatkan pesangon. Tetapi sebagian sudah ia buat makan, sebagian dikirim ke desa, dan
sebagian ia gunakan mabuk. Bukan karena ia suka mabuk, tetapi karena stress. Nganggur
memang bikin sakit kepala dan uring-uringan. Mending mabuk aja. Tepati sebulan ia minum-
minum langsung bobotnya turun drastis, dan kepalanya sering pusing, dan ia kerap masuk angin.
“Nah luh. Rasain, kata temannya. Untung lu belon kena lever. Jika kena bikin repot kita semua.
Sadar kek kenapa sih? Sono cari kerjaan. Atau pulang ke kampung lo, macul lagi.”
“Huh. Enak saja mereka ngomong. Emangnya aku di desa punya sawah. Dulu bapak
simbok buruh tani. Sekarng aku buruh di kota. Sama aja. Tapi sekarang tanah di desa remuk
karena dibangun pabrik juga kok. Cuma aku pilih ke kota sini karena cari pengalaman. Juga cari
pacar. Biar nggak cuma dapat bini anak tetangga melulu.”
“Emang kenapa jika dapat tetangga? Malah asyik”
“Diam luh. Udah deh. Gua mau tidur”, katanya membalikkan badan ke tikar bututnya. Ia
menyetel radio ke saluran ndangdut.
“Aku harus bayar kos bulan ini. Aduh makk. Duh gusti tulungin aku dapat kerja.” Ia berdoa.
Dalam hati ia berjanji tidak akan mabuk lagi. Dan ia perlahan terlelap.
Besoknya ia bangun, dengan dongkol. Pasti ditolak lagi deh hari ini. Ah. Pokoknya jalan
dulu. Ia sarapan ke warung Tegal, minum the tawar hangat dan merokok sebatang Jarum 76.
Dengan letoy ia berjalan keluar, menghadang sinar matahari yang mulai terik. Ia berjalan
menyaruk keluar masuk gang dan sampai di jalan raya. Mencegat bis jalur kota.
“Lama bener sih?”, umpatnya. Untung segera setelah itu bis datang. Dan ia segera naik. Ia
melihat keluar jendela bis, melongok dari samping ketiak orang yang berdiri di depannya. Ia cari
kesana-kemari musti ada pabrik nih. Harus ada. Kalau nggak makin parahlah nasibku ini, fikirnya
dalam hati setengah berharap setengah mengutuk. Dengan sia-sia ia melihat kesana kemari dan
ternyata yang ia lewati adalah pabrik yang kemarin-kemarin juga.
“Bangsat ini kota. Apes deh.” katanya dalam hati.
Sampai di pasar ia putuskan turun saja. Ia berjalan gontai. Dengan mulut yang haus dan
ingin merokok. Ia keluarkan uang di saku.

32
“Eh Cuma gopek. Mau cari warung cuma bisa beli rokok dua batang, makannya terus
gimana?”, fikirnya. Akhirnya dengan nekat ia pilih warung dan membeli rokok juga. “Laper boleh
tapi kagak ngerokok? Amit-amit,” fikirnya dalam hati.
Dengan makin letoy ia berjalan lagi di antara kerumunan orang-orang. Dia lihat dengan
tubuhnya yang pendek itu orang-orang sedang memilih barang-barang. Pedagang kakilima
tersebar di mana-mana. Syahnakri sempat berfikir keras. “Jika aku jualan batu batere di bis
gimana ya, atau jualan sisir di atas jembatan layang? Atau jualan koran saja? Kayaknya aku bisa
hidup deh.” Ia menatap pedagang-pedagang itu dengan iri.
“Atau aku ngamen saja. Paling aku malah bisa kaya. Hi-hi-hi.” Ia tertawa sendiri. Tetapi
dasar watak kuli, ia merasa segan harus bertarung seperti itu. ia berjalan dan menepiskan ide-ide
itu. baginya itu penuh resiko. “Gimana kalau aku rugi? Aku khan orang miskin. Jualan tetap harus
pakai modal. Modalku sekarang cuma duit pesangon. Secuil. Juga kalau aku keliling kota perlu
makan banyak. Kalau nggak bisa pingsan aku. Duitnya dari mana juga?” Fikirnya melayang-
layang.
Suara bis berseliweran. Cepat sekali. Ramai, dan kacau. Ia menatap. “Ah, jadi sopir bis
atau kenek. Ah tapi aku nggak punya kenalan, juga nggak bisa nyupir. Paling bisa jadi tukang ojek
sepeda doang.” Ia menggerutu pada ketidakmampuan dan keterbatasannya.
Ia menatap orang, menatap mobil-mobil mewah yang berseliweran. Ia tatap perempuan-
perempuan cantik yang masuk ke pertokoan mewah, dan terdengar tulalit-tulalit suara handpon
mereka seperti mengejeknya.
“Jadi orang miskin di kota besar susah benar. Mending bunuh diri saja gimana ya?
Fikirnya. Ah nanti pulang beli racun tikus saja terus kuminum. Ahh..... Astaghfirullah”, jerit hati
nuraninya. “Masak aku menyia-nyiakan hidupku dan mudah putus asa?”
Ia dengan kesal berjalan lagi, sambil nyengir menatap barang dagangan di pasar yang
membikinnya ngiler. “Andaikan aku ada duit kubelikan Hartinah kalung monel dengan batu akik.
Kubelikan juga radio kecil dengan hedpon. Terus kawin. Hihihi.” Ia berfikir sambil tertawa.
Tetapi kini ia menatap jalan raya yang ruwet dan pusing sendiri. Jam pasti sudah sekitar
jam dua. Paling semua kantor sudah hampir tutup. Dan nampaknya Syahnakri sudah tak begitu
bergairah lagi mencari lowongan pekerjaan. Ia pilih putar-putar saja di pasar. Perutnya
keroncongan. Dan batang rokok tinggal satu. Ia sulut dengan cepat. Kretek-kretek, nampak api
bara rokok muncrat menghibur hatinya. Uffhh. Asyiknya. Ia menatap jalan sekali lagi. Keruwetan
ada di mana-mana. Kenek bis berteriak-teriak, dan pedagang kakilima nampak lesu. Udara
menyesakkan sekali, dan siang terik menerpa kepalanya yang pening. Asap knalpot bau dan ia
tahu itu racun. Tetapi ia hirup juga dengan cuek. Ada masalah yang lebih penting. Perutnya sudah
keroncongan. Ia tak punya uang lagi di kantong….

Lelaki di Atas Rel

Kereta api berjalan cepat sekali. Tetapi sesosok tubuh nampak berdiri meliuk-liuk di tengah
rel kereta api, tepat di pintu perlintasan kereta api yang sepi itu. Ia melambaikan tangannya di
depan rel keretas, seperti mengejek pada masinis yang dengan begitu panik membunyikan
klakson keretanya berkali-kali. Tetapi orang itu nampak menari-nari dengan penuh gaya,
menjentit-jentitkan bokongnya ke arah kereta api yang tentunya tak bisa distop begitu saja.
“Tetttttt—tetttttt-tetttttt” klakson kereta api berkumandang makin dekat. Dan orang itu belum
beranjak juga dari tarian yang memuakkan itu. Dengan wajah putus asa, masinis untuk
terakhirkalinya membunyikan klakson.. “Teetttttttttttttttttttt” kini makin keras. Nampak ia kemudian
mengeluarkan bagian tubuhnya dari jendela kereta api. Topi merahnya berkibar-kibar sementara
tangannya melambai menyuruh orang itu untuk minggir. Nampak wajahnya memerah campuran

33
antara kemarahan dan keputusasaan. Tepat sebelum 10 meter kereta itu hendak menyambar,
maka orang itu kemudian meloncat turun ke pematang yang penuh dengan kerikil, sambil tertawa-
tawa penuh ejekan. Nampak dengan sigap ia mendaratkan kakinya ke antara kerikil-kerikil yang
tajam. Kereta melaju dengan keras dan cepat, membuat rambut awut-awutan lelaki itu berkibar-
kibar. Tertinggal di depan, masinis menoleh ke belakang sambil mengepalkan tangan kirinya
sambil berteriak nyaring sekali. “Asu!! Bajingan!!”
Orang itu terkekeh-keheh memandangi kereta yang menderu melaju di depannya,
meninggalkan dirinya sendiri. Kini, di tengah cuaca yang panas kerontang, ia berdiri di jalur yang
demikian panjang dan sepi. Udara berhembus lembut menyuarakan desau yang lembut dan
melenakan. Jauh di sana domba-domba merumput dan tak peduli pada perilaku nekat dan
mengesalkan dari orang tersebut.
Dengan perlahan orang itu berjalan melintasi jalan setapak yang biasa dilalui oleh domba-
domba dan para penggembala. Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam, berjalan demikian
perlahan. Terdengar siulan yang tak begitu jelas dan sumbang yang berasal dari suaranya. Ia
melewati jalan setapak itu menuju ke sebuah gubuk yang terletak menjorok di atas tegalan yang
kering. Nampak beberapa domba mengembik di depannya. Dengan penuh perasaan ia berkata
pada domba itu, “Hebat khan aku, wahai kambing-kambing? Cuma kalian yang mengerti aku
selama ini..” katanya sambil berusaha meraih kepala seekor domba paling muda untuk dielus-
elus. Tetapi domba itu dengan segera lari menghindar dari tangannya yang kukuh liat dan hitam
legam.
Setengah terpana orang itu terlihat demikian kecewa dan terpukul atas peristiwa itu. Dan
berkata pelan, melanjutkan kata-katanya, “Bahkan kambing?”. Ia mengusap tengkuknya yang
hitam terbakar matahari, dan kemudian melangkahkan kakinya secara cepat menuju gubuk kecil
itu. Saat tiba di gubuk, ia menghempaskan dirinya ke seluruh papan dari kayu yang tersandar
melintang. Semilir angin yang sejuk membuat lelehan keringatnya menetes perlahan-lahan di
dahinya. Kaus singlet putih yang sudah berwarna coklat itu nampak basah kuyup oleh keringatnya
sendiri. Ia kemudian mengibas-kibaskannya dengan cepat, memperlihatkan seluruh dadanya yang
legam. Sesaat ia terdiam. Secara tiba-tiba ia seperti kerkesiap oleh sebuah ingatan, dan sesaat
berteriak mengumpat perlahan-lahan, “Bajingan juga!!” Tiba-tiba ia tertawa tergelak-gelak lagi.
Mungkin ia mengingat sikap masinis yang barusan.
Perlahan ia menatap ke arah lintasan kereta yang panjang. Ia menyelusuri dengan
matanya jelujuran panjang rel yang seperti ular tak berpangkal. Perlahan ia menyenandungkan
sebuah lagu yang tidak jelas dan sumbang. Wajahnya tetap nampak muram durjana. Ia menghela
nafas, dan kemudian membaringkan tubuhnya yang kurus tapi keras penuh otot ke papan kayu
itu. Nampak wajahnya kosong dan matanya menerawang jauh ke lintasan awan yang ada di atas
dahinya. Terdengar celoteh burung-burung dan suara domba yang mengembik di sana sini.
Ia seperti orang yang terlelap dalam doa yang tak berkesudahan. Ia mulai memejamkan
matanya dan sesaat kemudian terlelap dalam mimpi yang resah. Semenit, dua menit, entah
berapa menit. Suara celoteh burung dan domba bersahut-sahutan panjang pendek. Suara
kelintingan yang biasa diikatkan pada leher domba bergemerincing. Suara desau angin
menggesek daun-daunan di pohon-pohonan yang bergoyang keras. Bergemerisik seperti desis
ular. Orang itu tetap terlelap, hingga terdengar suara klakson kereta api perlahan di kejauhan.
“Tettttttt”
Pupil mata lelaki itu bergerak cepat, dan matanya terbuka terbeliak. Senyumnya yang aneh
mulai berkembang. Ia bangkit dan duduk tegak di atas papan. Ia menoleh pada domba-domba itu
dan berkata agak keras, “Mau lihat pertunjukanku wahai kambing-kambing?”
Kambing-kambing mengembik keras dan mulai berlarian menjauh dengan kakinya yang
jenjang, membawa lari tali-temali kusam yang menjerat leher mereka, berserabutan kesana-
kemari. Lelaki itu bangkit perlahan dari duduknya, dan melangkah dengan cepat, mulai mendaki
tumpukan kerikil-kerikil tajam. Tangan dan kakinya yang legam dan berotot merayap di sela kerikil
yang tajam dan panas. Dengan susah payah ia mencapai besi rel dan sesaat kemudian mulai

34
berusaha tegak berdiri, sesaat kemudian mulai menari-nari, menjentit-jentitkan bokongnya, dan
melantunkan lagu-lagu yang tak jelas maknanya. Suara kereta api diesel melaju
memperdengarkan derunya yang bengis, makin dekat dan dekat. Suara klakson berulang-ulang
berkaok-kaok, nampak seorang masinis mengeluarkan badannya dari jendela lokomotif, dan mulai
mengibas-kibaskan tangannya ke udara—menyuruh lelaki itu minggir. Tetapi ia seolah tak peduli.
Lelaki itu tersenyum memandangi sosok masif yang menuju lurus ke arahnya berdiri. Ia
merentangkan tangannya seperti seekor burung berusaha membentangkan sayapnya. Suara
klakson kereta api berteriak-teriak serak, “Tettttt-tettttt”, demikian keras, membahana. Tetapi lelaki
itu tetap merentangkan tangannya, berdiri tegak tepat di atas rel kereta api, persis seperti patung
perunggu yang gagah. Ia mulai memejamkan matanya yang gelap dan basah itu. Dan mulutnya
nampak menyunggingkan senyuman puas.

Uang

Hari sudah mulai sore. Sugeng terpaku berdiri di tempatnya. Tubuhnya meliuk ke depan
dengan kaku. Udara malam mulai berdesir dan menciumkan aroma malam yang dingin ke
wajahnya yang tirus. Matanya tak kunjung lepas dari lembaran uang yang tergeletak di tanah.
Pecahan yang besar, 100.000 itu tergeletak di pinggir kuburan. Sugeng melihatnya saat berjalan
bergegas pulang. Toh akhirnya ia tertarik. Sejenak ia berfikir. Ada sedikit kejerian. Ambil, atau
tidak ambil… Sebagai orang yang dilahirkan di desa ia akrab dengan cerita-cerita horror, ia perlu
menimbang dengan serius. Fikirannya bekerja keras. Konon ada ilmu yang berkembang di daerah
desanya di Godean, Yogyakarta. Seseorang memasang uang logam atau uang kertas pecahan
besar di dekat pasar, atau kuburan. Siapa yang mengambilnya, maka keberuntungan hidupnya
akan diambil oleh pemasangnya. Sering terjadi malah, si pengambil mengalami kesialan atau
kecelakaan bertubi-tubi. Semakin besar nilai mata uang yang ditaruh, makin gawatlah bahaya
yang mengancam.
Sugeng menatap lembaran uang yang tergeletak itu. Ia merasa sangsi dan jeri. Siapa tahu
di kota besar seperti ini pun ada seorang pencari pesugihan yang berkeliaran mencari mangsa.
Uang seratusribu tentulah sesuatu yang amat besar bagi dirinya. Ia sudah bayangkan bisa makan
enak beberapa hari dengan uang itu. ia bandingkan dengan penghasilannya sebagai pedagang
koran di atas bis. Wuihhh jauh sekali. Sehari paling ia bisa mengumpulkan uang 10.000. Itu pun
dengan kelelahan tubuh yang luar biasa.
Kini ia dihadapkan pada uang pecahan besar. Gratis lagi. Mana bisa aku meninggalkannya
begitu saja. Tetapi jika aku kesantet gimana? Aku bisa sial, atau celaka bertubi-tubi. Dengan
bimbang ia menimbang-nimbang terus. Ia membungkuk dan melihat lebih jelas. Ia belum berani
memegang atau bahkan memungutnya.
Dengan perlahan ia mengheningkan cipta dan berdoa. “Sluman-slumun slamet. Dhemit-
dhemit lungaa. Ojo ngganggu aku, anak turune Ki Ageng Giring. Ambil, tidak, ambil, tidak.” Ah
tetap takut. Bahkan ia kini merinding. Bulu kuduknya berdiri. brrrr. Ia melihat kanan kiri, sepi
sekali. Nampak tunggul-tunggul nisan berdiri dalam kegelapan. Jantung Sugeng berdegub
kendang. Ambil, tidak, sial, tidak sial, santet, uang biasa. Ia merasakan dirinya diamati mahluk-
mahluk beraneka ragam yang menakutkan. Kakinya sedikit lemas, tetapi hatinya masih ia kuat-
kuatkan. Fikirannya sudah kacau balau. Saat ia dengan menguatkan hati mulai mencoba
memungut uang itu, di matanya uang itu sudah seperti sudah berubah menjadi lembaran kertas
merah yang penuh dengan ajian-ajian ilmu hitam. Dengan semakin menguatkan hati ia
berjongkok, dan perlahan-lahan tangannya memegang uang itu. Aduh, ia setengah menyesal,
setengah lega. Ia sudah memegang uang itu, sudah separuh jalan untuk memungutnya. Dengan
memegang uang itu, Sugeng merasa sudah setengah kemungkinan untuk mengalami kesialan.

35
Kesialan mungkin saja sudah masuk ke seluruh pori-porinya, dan si tukang santet sudah tertawa
terbahak-bahak.
Tetapi di sisi lain ia juga membayangkan besok akan makan enak. Makan bakso dua
mangkok, dan beli koka-kola. Asyiknya.
Dengan berdebar ia memegang dengan jarinya. Jarinya bergetar perlahan, tetapi tiba-tiba
saja tangannya mulai tenang dan mantap. Sudah kadung dipegang, masak kulepas lagi. Sudah
kubawa saja. Peduli amat, pokoknya percaya pada gusti Allah saja, pasrah. Aku orang miskin.
Apa yang akan dicari oleh tukang santet. Mati atau hidup pun aku miskin, nggak mungkin akan
menjadi kaya. Perlahan ia ambil, ia dekatkan pada wajahnya. Uang itu nampak mengerikan,
mungkin lebih karena jeri di hatinya, dan juga saking jarangnya memegang uang sebesar itu. Ia
bergumam, pokoknya besok makan bakso. Nanti kalau mencret ya sudah, mungkin sakit perut,
peduli amat. Hari-hari biasanya ia sering lapar. Ia tatap uang itu lagi, kini mulai ia lipat perlahan-
lahan. Bersama dengan lipatan-lipatannya, ia mulai bergumam semampunya membaca ayat suci
seingatnya.
Entah berapa, mungkin tiga atau empat lipatan. Ia masukkan saku celana. Pasrah dan
puas. Dan ia mulai berjalan melanjutkan perjalanan. Meninggalkan kuburan ngeri itu, pulang ke
tempat kosnya yang sumpek. Besok pagi ia akan makan bakso dua mangkok dan minum koka
kola. Terbayang di benaknya kenikmatan yang akan diraih besok.
Sugeng berjalan menembus malam yang kelam. Bayangan tubuhnya memanjang dan
perlahan menghilang ditelan jalan setapak. Sementara kuburan itu tertinggal dalam kegelapan,
menyisakan bayang-bayang tunggul-tunggul nisan yang kaku. Daun-daun bergemerisik, dan
suara angin menyuarakan desis malam. Tanpa henti. Secarik daun perlahan jatuh ke tanah, dan
berubah menjadi selembar uang 100.000 rupiah.

Joker

Satu jenis peradaban mungkin tidak pernah tampil sendirian.


Contohnya: Dalam acara kehidupan dan kematian selalu saja ada pelawak yang bertugas
mencuri perhatian dari kenyataan, bertugas sebagai sang pelucu. Adalah para pelawak istana di
zaman Kasunanan Solo dahulu yang dengan beringas dan seolah tanpa akal menggotong penis
raksasa dari kayu bercat merah dan hitam, dan berlarian mengejar para penonton perempuan.
Demikianlah cara orang mensiasati kepedihan dari kejumudan dunia tatatertib keraton. Kejorokan
pun harus dipuja, walaupun hanya untuk kembali dihina. Dimana kepatutan dan peradaban perlu
diyakinkan lagi fungsinya, saat tekanan jiwa yang bertumpuk selalu menerpa.
Dua orang sahabat berbincang, dalam kekerdilan tubuh mereka, dalam wajah mereka
yang lucu sekaligus mengerikan. Mereka dengan susah payah duduk bersila di suatu pojok yang
lembab di keraton itu. Sang tua yang lebih berkerut wajahnya, yang memiliki tangan-tangan yang
menekuk seperti busur terpentang berkata dengan tajam, menggelegak menahan marah. Sang
cebol muda nampak tersenyum dengan santai dan berkata:
“Hilangkan dahulu semua ide-ide konyolmu itu, dan segalanya akan beres. Kita nikmati
hari ini, dan esok. Apa perlunya perubahan, jika kemudian membuat kita menderita dan semakin
menderita?”
“Tidak. Kau ikut aku atau tidak terserah. Tapi sebagai teman aku perlu mengingatkanmu
untuk bisa lepas dari keadaan mandeg ini. Ini yang selalu membuatku menderita.”
“Itu yang membuatmu selalu saja tidak puas. Kau perlu sabar mengikuti aliran nasib.”
“Aku tahu apa itu nasib. Aku jauh lebih tua daripadamu.”
“Aku akan bertahan. Disini aku bisa makan dan minum, dan tidur. Dan bisa mengangkat
kontol-kontol kayu itu mengejar perempuan-perempuan cantik.”
“Kita juga bisa melakukannya di desa-desa. Meski kita hanya para pelawak. Kita tukar baju
mahal kita ini dengan karung goni dan berkeliling dari desa ke desa. Melawak dan berakrobat.

36
Dan kita akan mendapatkan sepicis untuk makan. Dan tak perlu kita menghamba pada raja
mesum itu. Kalau perlu kita bisa membuat lawakan baru yang lebih lucu, daripada menggotong
kesana kemari kontol kayu itu. Dimana letak lucunya?”
“Apa lagi? Banyak yang membuatku ingin tetap bertahan disini. Aku takut pada para
prajurit itu. Jika kita lari, maka tak ayal kita akan dikejar, dibasmi. Kau ingat bagaimana anak istri
Suta si begal pasar. Mereka dibantai habis di alun-alun. Semuanya dipicis.”
“Dan kita bisa lari dimana raja-raja dibenci. Apakah kau suka mengabdi pada orang yang
sukaria memicis orang seenaknya? Di rakyatlah sana kita bersembunyi.”
“Sampai kapan?”
“Sampai mati. Sampai anak cucu kita lahir dan besar, dan bisa bertani sendiri.”
“Hah!! Bertani?Aku ingin hidup enak untuk selamanya! Justru dengan bekerja disini aku
membayangkan hidupku berjalan dengan nyaman, tanpa harus berkubang dalam lumpur.
Mungkin memang kematian dan ketakutan bersliweran dengan mudah di keraton ini. Tetapi itu
kan wajar. Dimana saja seluruh dunia juga seperti ini.”
“Tidak benar. Kau jangan menutup matamu. Apa banyak dunia yang belum pernah
kaulihat.”
“Untuk apa seorang cebol mencoba melihat dunia. Selama ada orang yang kasihan dan
menggunakan tenagaku, aku akan mengabdi padanya.”
“Baiklah kau suka mengabdi. Apakah kau tahan menghadapi kebobrokan ini? Andaikan
mengabdi, lebih baik mengabdi pada Diponegoro”
“Sttttt. Jangan keras-keras. Lantas kau akan ikut memberontak?”
“Kenapa tidak?”
Kedua orang teman lama itu terdiam dengan lama. Nampak beberapa orang abdi dalem
berjalan di sekeliling mereka, nampak tertawa menggoda sekaligus menjauh menjaga jarak dari
keduanya. Apakah rasa lucu ada hubungannya dengan rasa kejijikan di dunia keraton ini? Aneh
sekali.
“Aku akan bergabung dengan Diponegoro. Tangan dan kakiku cacat, tetapi hatiku tidak.”
Hah? Kau gila. Kau tidak sadar tentang tubuh kita ini? Kita adalah cebol. Dengan tangan
dan kaki yang demikian lemah dan tidak sempurna. Bagaimana kita bisa memegang senjata?
Memegang jarum pun tanganmu bergemeletar. Dan aku sendiri juga bukan seorang yang terlalu
percaya dengan pangeran muda itu. Pangeran yang terlalu banyak berdoa.”
“Kita pun lebih kini banyak berdoa daripada tertawa. Kita mungkin merasa telah membuat
orang lain tertawa terbahak-bahak. Padahal kita lebih banyak membuat mereka tertawa
mencemooh dan jijik pada kita. Dibandingkan dengan rasa gembira, kita lebih banyak merasa
sakit hati dan ketakutan. Terkutuklah semua raja beserta semua keraton-keratonnya.”
“Dan Diponegoro pun nantinya akan menajdi raja jika ia menang. Apa bedanya?”
“Jelas berbeda.”
“Apa coba? Karena ia alim?”
“Ia akan selalu kalah.”
“Hahahaha......”
“Kenapa kau tertawa?’
“Kau seperti ahli nujum. Mungkin kau lebih baik menjadi abdi dalem nujum saja. Sekalian
membuat seluruh isi keraton ini ketakutan terhadap wajah mengerikan dan tubuh cebolmu.”
“Aku menujum seperti ini karena aku tidak bodoh. Aku awas terhadap jagad langit dan
bumi. Dan aku tahu karena aku adalah cebol.”
“Apa hubungannya.”
“Lihatlah orang-orang Belanda itu.”
“Ya apa?”
“Tubuh mereka besar. Otak mereka pun besar, dan benar-benar mereka pakai. Dan
hasilnya mereka bisa buat itu senapan dan meriam, dan mereka mau menghitung bulan dan
bintang. Sementara itu, raja kita lebih banyak ngaceng memelototi tubuh para selirnya, dan

37
bersetubuh tanpa henti, minum arak tanpa henti, dan juga bermimpi tentang keunggulan ajaib
kekuasaan batinnya yang omong kosong itu. Dan rakyatnya tunduk lesu dengan penuh takzim di
bawah kakinya. Takut untuk berfikir. Apa yang membuatnya akan menang?”
“Tapi yang akan kaubela khan Diponegoro? Mestinya kau ingin ia menang. Ia banyak
berdoa.”
“Apa bedanya. Sama saja. Saat ia akan menjadi raja, seperti katamu, ia akan sama saja
busuknya. Biarpun agamanya baik, bukan berarti akan membuat tindakannya benar. Bangsa
Jawa ini adalah bangsa yang demikian bodohnya. Terikat pada kekuasaan bangsawan-
bangsawan itu.”
“Kau sangat sinis. Lantas apa yang kau mau?”
“Aku membayangkan dunia yang dipenuhi rakyat yang bebas. Yang bisa menciptakan
meriam itu sendiri, dan menghitung jumlah bintang. Masa depan dimana anak cucuku bebas dari
penindasan, dimana mereka berani bertarung untuk hal itu.”
“Nah. Dan kita punya pujangga besar sekarang ini. Hahaha....”
“Mereka sang penguasa adalah penipu. Semuanya. Kini dan masa depan.”
“Jika kau menujum tentang kekalahan Diponegoro, apakah kau juga tidak menipu? Menipu
harapan rakyat Jawa melawan para bule itu?”
“Tidak. Karena aku tidak menghitung nasib untuk zaman sekarang saja. Aku menghitung
kenyataan demi kenyataan. Menghitung harapan sejati dari kawula suatu saat nanti.”
“Ah sudahlah. Aku akan tetap tinggal disini. Kau mau apa dan kemana?”
“Medan perang. Kalau begitu, temanku. Selamat tinggal.”
“Yaaahhhh. Teman... Semoga kau selamat... aku mungkin tak seberani dirimu. Tetapi
doaku selalu bersama jalanmu. Berhati-hatilah selalu.”
Kedua orang cebol itu saling bertatap muka untuk terakhir kalinya, dan akhirnya saling
membuangmuka. Rasa kesedihan yang dalam telah melekat erat di tembok-tembok yang lembab
dan tebal itu. Nampak beberapa abdi dalem berjalan lagi dan tertawa cekikikan melihat mereka. Si
tua bangkit dan berdiri. Ia menatap nanar pada langit yang mulai meredup. Kini saatnya
melupakan segala masalalu, dan segera melangkahkan kakinya. Ia bisa mencium api, dan dimana
ada api ada semangat. kesana ia akan menuju.
Sang cebol melangkah tertatih-tatih, menghilang di balik tembok terluar ruang pengap abdi
dalem. Berapa lamakah ia akan berjalan di dalam jalanan keraton yang berliku seperti labirin,
menghilang menuju keramaian rakyat jelata yang setiap saat bisa membuatnya mati kelaparan
atau terbunuh? Tapi tak seorang pun yang boleh menghadangnya, melarangnya pergi. Sebuah
keyakinan dasar yang membuatnya untuk pertama kali tersenyum gembira secara tulus.
Ia melangkah jauh, dengan kaki-kakinya yang cacat, perlahan demi perlahan. Tubuhnya
bergoyang susah saat berjalan, ke kanan dan kekiri. Dan keringat mengucur deras dari dahinya.
Ia memandang keraton yang nampak misterius dan gelap gulita itu. Ia tersenyum sinis. Kini ia
harus menentukan jalan hidupnya sendiri di jalanan nasib yang abadi.

------&&&------

Gelegar perang yang berkecamuk sudah berhenti di sekeliling keraton. Dahulu teriakan
manusia dan hewan beradu dengan teriakan kematian dan kesakitan. Dahulu lembing saling
bersahutan, anak-anak panah menghujan, senapan dan meriam berdentam menghamburkan api
neraka. Tetapi kini segalanya sudah jelas, Diponegoro sudah kalah dan ditawan, dan dua ratus
ribu rakyat Jawa terkapar mati membusuk dalam kekejaman perang besar itu. Nampak di antara
puing-puing itu seorang cebol tua dengan rambut putihnya berjalan terseok-seok di jalanan yang
kotor dan becek. Rumah-rumah hangus terbakar, dan orang-orang nampak berlarian kesana
kemari mencari-cari kerabat mereka yang masih bisa diselamatkan. Sang cebol itu dengan
menghela nafas berjalan pelan seakan tak peduli lagi. Nampak ia sudah semakin tua, alis
matanya sudah memutih seperti warna deretan gunung gamping. Tubuhnya semakin gering,

38
tetapi otot-otot tubuhnya makin liat. Nampak sebilah pisau keris terselip di pinggangnya, menonjol
mengganggu gerak langkahnya. Tetapi ia takkan mau membuangnya. Selama lima tahun ia erat-
erat menggenggamnya mengacungkannya berperang, dan kini bilah dingin itu adalah bagian dari
dirinya sendiri. Ia melangkah ke gunung selatan, dan dengan kaki telanjangnya yang kecil
menjejak kerikil-kerikil padas.
Ia bergumam pendek ke arah keraton yang nampak kecil dan mengepulkan asap sisa
pertempuran. Angin bersemilir sejuk. Ia teringat akan temannya yang bertahan di dalam keraton.
Ia teringat akan kontol kayu besar yang ia pernah sangga bersama-sama mengejar menggodai
para abdi dalem perempuan, dan sang raja yang tertawa terkekeh sambil meneguk anggur
Madeiranya. Segalanya akan kembali kepada tatatertib sediakala. Tetapi tentu saja tanpa dia,
sang pemberontak kerdil.
“Kalian menang lagi seperti biasa, wahai para bajingan kulit putih dan orang-orang
bangsawan Jawa yang bodoh. Entah sampai kapan semua ini akan terjadi.”
Ia langkahkan kaki pendeknya yang telanjang itu ke jalanan tanah yang menanjak. Kakinya
sakit sekali. Panas menyengat, namun semilir angin sedikit menghiburnya. Hatinya teriris
mengingat kekalahan-demi kekalahan dalam pertempuran. Ia melihat banyak kematian rakyat,
membuat hatinya hancur luluh. Gemuruh perang yang harusnya membanggakan telah sirna. Kini
ia mengungsi ke arah bukit-bukit kapur itu.

------&&&-----

Seorang pemuda yang bertubuh tinggi dan langsing menatap catatan berhuruf Jawa di
tangannya. Daluwang yang sudah sangat menguning. Kakinya memijak di aspal panas, di
keringnya batas jalan terakhir tanjakan bukit selatan tempat ia dilahirkan. Ia berhenti sejenak dari
kendaraan sepedamotor bututnya. Duduk di batas tebing yang terbuat dari besi panjang, ia buka
lembar-demi lembar daluwang itu. Terbata-bata ia mulai mengeja huruf melingkar-lingkar itu
dengan bantuan karton cetak alfabet Jawa, bagian utama pedoman pelajaran bausastra bahasa
Jawi untuk anak-anak SD. Ia masih bingung tentang apa isinya. Namun ia menangkap sebuah
jiwa pemberontak dari moyangnya. Ia bingung tentang istilah kontol kayu yang disebut berulang
kali. Tetapi ia tahu pasti, nama Diponegoro, perang Jawa, dan juga sebuah kraton bernama
Kasunanan. Ia menatap jalan berliku beraspal di bawahnya, seakan bisa melihat bayangan
keraton yang disebut dalam buku menguning itu. Ia melangkah setapak ke bawah, melongok
dengan lehernya yang jenjang. Berpegangan pada ranting-ranting pohon yang meranggas.
Entah kenapa ia berfikir tentang kematian dan juga tentang perang. Ia teringat cerita
kekalahan Diponegoro, dan bagaimana seluruh keluarganya selalu saja membangga-banggakan
kakek moyangnya yang berperang melawan Belanda dan para bangsawan tengik. Ketika kecil ia
diberitahu bagaimana kakek moyangnya pergi dari keraton karena sumpeg melihat tanda-tanda
buruk zaman, turut berperang menjadi laskar Diponegoro.
Ia tahu dari koran-koran dan buku sejarah bagaimana keraton itu telah kehilangan artinya.
Bagaimana dahulu para rajanya membela dan menjilat telapak kaki Belanda tanpa daya. Dan
bagaimana akhirnya di zaman modern seluruh keraton itu ludes termakan api. Kehilangan arti.
Ia meraba tas hitamnya. Terasa sebuah benda menonjol. Lima tahun yang lalu ayahnya
memberikan warisan yang membuatnya serba salah. Sebilah keris pendek yang aneh, pendek
kerdil dengan bilah lebar. Bilah berangka kayu keras, dan dibungkus kain mori putih. Ayahnya
berkata: “Ini diwariskan turun-temurun. Oleh para nenek moyang kita yang selalu melawan para
penjajah.” Pemuda itu tersenyum.
“Kenapa melawan penjajah pakai keris kerdil, bukan memakai senapan atau pedang
panjang?” Ia bertanya dalam hati.Tetapi saat itu ia diam saja. Bersama dengan waktu, ia mulai
bisa menikmati membawa keris itu kesana kemari.
Di langit biru yang keras dan panas, angin tetap semilir sejuk, mendesiskan suara daun-
daunan jati. Lelaki langsing itu memandang ke arah bawah, ke titik-titik rumah yang tak terhingga,

39
membuatnya merinding takut. Nampak asap abu-abu mengepul dari arah kota itu, membayang
kelam seperti jamur pekat, tempat kendaraan bermotor dan keriuhan manusia bertarung
menyangga beban hidup mereka. Disanalah pemuda itu juga hendak ikut bertarung, berebut
mencari pekerjaan.

Pendekar Pembela Masyarakat

Siang hari ini aku tidak berpuasa karena harus mendapatkan asupan gizi yang cukup untuk
membantu proses penyembuhan luka di jari manis tangan kiriku. Hari ini adalah tanggal 11
November 2004, sebentar masa saja menuju hari raya Idul Fitri. Dan aku baru saja sadar bahwa
aku telah memimpikan sesuatu jenis mimpi yang istimewa. Padahal bahkan sangatlah jarang aku
bisa mengingat kembali mimpi sesederhana apapun itu, saat aku biasa terbangun di keesokan
hari. Aku teringat bahwa di pagi hari ini aku bangun dengan tubuh agak lelah, walau aku kemarin
malam berangkat tidur cukup dini. Dan aku akhirnya sesiang ini berhasil merekonstruksikan
kembali mimpiku. Mimpi tentang sebuah petualangan yang hebat. Dalam mimpi itu, aku telah
terjebak di sebuah kampung kecil, dimana seluruh penduduknya tengah ketakutan kepada sebuah
mahluk tinggi kurus yang dengan demikian ganasnya telah membunuh dan membrakot orang-
orang kampung yang sedang berladang di tegalan-tegalan mereka yang berteras-teras indah.
Kampung kecil itu memang terletak di sebuah kaki pegunungan yang tinggi, dengan udara yang
sangat sejuk. Saat siang hari pun, selalu nampak kabut yang menggelayut dan bergerak sangat
cekatan menembus rumah-rumah indah bertingkat yang umumnya terbuat dari kayu. Beberapa
kali saat kabut itu dengan cepat menembus wajahku, terasa beban udara pekat berisi air dingin
yang luarbiasa, memasuki paru-paruku. Dengan terpaksa, kuusaha-hangatkan kembali kantung
dadaku dengan desis asap rokok lintingan kegemaranku. Tetapi apa arti keindahan dan
kenyamanan suasana itu jika semua orang disana harus tercekam ketakutan kepada sesosok
mahluk tinggi kurus yang mengerikan. Kata beberapa orang yang telah selamat dari serangannya,
mahluk itu matanya sangat tajam menusuk, merah membara, dan giginya lancip-lancip seperti
mata gergaji kayu. Tangannya yang panjang konon demikian kuat sehingga mampu mencabut
putus leher dan lengan-kaki para penduduk dengan demikian mudahnya. Mahluk itu diberitakan
pula suka memakan otak anak-anak kecil yang tertangkap tangan olehnya. Beberapa orang anak
kecil katanya telah ditemukan tergolek di pinggiran kampung dengan kepala pecah terkoyak dan
terburai habis isinya. Tetua kampung telah berusaha menghubungi polisi dan petugas hutan yang
tinggal di lereng lebih bawah dari kaki pegunungan ini. Tetapi siapakah pejabat yang mau peduli
dengan nasib segerombolan orang-orang tua miskin itu, yang tentunya dianggap sebelah mata
oleh mereka. Tak ada tanggapan apapun dari aparat yang dianggap berwenang itu. Dan
penduduk pun melanjutkan menikmati perasaan takut yang tercekam seperti biasa setiap harinya.
Nenek-nenek tua di kampung yang ketakutan pun akhirnya terpaksa menyekap dan tidak
memperbolehkan cucu-cucunya bermain keluar rumah. Di sejuknya siang itu, aku dengan penuh
rasa ingin tahu melongok dari dalam benteng pertahanan kami yang terbuat dari balok-balok
besar kayu. Kutatap deretan rumah di bawah mataku, nampak seperti kotak-kotak kecil yang
berwarna merah. Kulihat kampung kecil itu demikian sepi, pintu-pintu rumah dan jendela terpalang
rapat. Bagaimana suatu masyarakat normal bisa hidup dengan kondisi seperti itu? Maka aku pun
dengan sangat terpaksa berusaha menolong para penduduk itu. Bersama dengan beberapa
voluntir aku memutuskan untuk berusaha menangkap dan membunuh raksasa itu. Pertama
memang sulit meyakinkan orang-orang kampung itu bahwa aku adalah seorang yang benar-benar
teguh dan tulus ikhlas ingin membantu mereka. Hal itu memang wajar karena aku toh hanya
seorang pelancong yang kebetulan terjebak dalam pemukiman senyap di pegunungan yang sama
sepi itu. Aku sebenarnya sudah hendak komplain dengan tour travel yang membuatku terjebak
dalam situasi sulit ini, tetapi HP-ku tak sanggup menangkap sinyal apapun dalam ketinggian itu,

40
sementara saat aku hendak mencoba menelepon dari wartel satu-satunya di kampung itu, pintu
gedung sempit itu tertutup rapat-rapat. Beberapa menit aku menggedornya, tetapi tak ada
jawaban sedikit pun dari dalam. Aku memang tertidur sepanjang perjalanan saat berada dalam bis
travel, dan dengan menurut demikian saja dibangunkan dan ditinggalkan begitu saja di kampung
yang indah ini oleh bus travelku yang terbirit turun. Akhirnya dengan serba kesulitan berhasil
kubujuk beberapa penduduk lelaki tua untuk bersamaku bertahan di sebuah benteng tua kecil
yang terbuat dari kayu, peninggalan para petugas penjaga hutan. Sebenarnya benteng itu lebih
serupa seperti sebuah pos gardu pandang seperti yang sering kita lihat di lereng-lereng
pegunungan. Aku menanyakan pada penduduk tentang asal-usul mahluk itu, dan para lelaki tua
itu bercerita bahwa sejak zaman dahulu memang selalu ada legenda mahluk itu. Biasanya ibu-ibu
menceritakan tentang mahluk itu pada anak-anaknya yang nakal dan bengal, yang tanpa takut
dengan jiwa mudanya bermain menembus pinggiran hutan mengejar binatang-binatang kecil yang
lucu. Tetapi semua penduduk saat itu selalu dalam kondisi aman. Hanya kadangkala terdengar
raungan mengerikan dari arah hutan. Dulu para petugas hutan selalu berhasil menghalau mahluk
itu agar tidak masuk ke wilayah pemukiman. Petugas-petugas itu selalu siaga dengan senapan
yang siap dengan peluru besarnya. Mahluk itu pun, dahulu saat dipergoki, akhirnya selalu lari
kembali ke dalam hitam dan gelapnya hutan yang rapat dan misterius di sekeliling kampung itu.
Tetapi kini saat hutan menjadi hilang dibabat penduduk dan pencuri kayu yang lain, dan korps
penjaga hutan dihapuskan oleh pemerintah daerah demi penghematan, penduduk kampung pun
menjadi terteror oleh mahluk yang kelaparan itu. Para pemuda dan pemudi telah lama
meninggalkan kampung itu, meninggalkan para kakek-nenek bersama dengan cucu-cucu mereka.
Anak-anak muda itu kebanyakan bertarung mencari sesuap nasi, menjadi TKI di Malaysia atau
Arab Saudi. Kini kami para penduduk kampung, bersama aku, seorang pelancong bingung, harus
mempertahankan diri kami sendiri. Seorang tukang jam bertahan di dalam dekat jendela utama
benteng merancang alat jebakan untuk mendeteksi raksasa itu. Ia memasang tali yang
bersliweran di sekeliling benteng, dihubungkan dengan beberapa weker bekas yang telah ia
modifikasi. Beberapa orang dengan berani berjaga-jaga sambil membawa senjata seadanya.
Orang-orang tua yang renta itu sebenarnya nampak menggelikan saat menggenggam alat-alat
pembunuh itu. Ada diantara mereka yang membawa tombak panjang, ada yang membawa
pedang-pedang tua. Dan aku, sebilah pedang besar dan panjang nampak tergenggam erat di
tangan kananku. Perlu kuceritakan, bahwa pedangku itu sesungguhnya adalah sebuah bilahan
plat besi yang kebetulan kutemukan di sebuah kandang kambing Ettawa di kampung ini. Entah
apa guna bilahan itu zaman dahulu, mungkin semacam gerendel besar sebagai penghalang
pencuri menyikat kambing-kambing yang ada di sana. Tetapi kini siapa di kampung ini peduli
dengan pencuri kambing, saat pencuri nyawa manusia dengan sangat bebasnya berkeliaran?
Kubalut bilahan besi itu dengan kain gombal, yang juga kutemukan di kandang itu, di bagian
ujungnya sebagai pegangan tanganku. Sementara itu, untuk menajamkan sisi-sisi pembunuhnya,
kuserut plat besi nan keras itu dengan bungkah batu hitam yang kutemukan di pinggiran jalan
kampung. Aku telah menyerutnya berjam-jam dengan bantuan air ludahku, sehingga akhirnya
kedua sisinya menjadi demikian tajam dan membuatku yakin bahwa pedang itu bisa digunakan
untuk membunuh mahluk apapun yang bernyawa, selama aku berhasil membabatkan dengan
tepat ke bagian-bagian vitalnya. Dan pada akhirnya, setelah malam menjelang, saat aku akhirnya
terseliut tidur di pojokan benteng kayu kami, terjadi kegaduhan dan kekacauan luarbiasa. Saat
yang ditunggu-tunggu telah tiba. Rancangan bel jebakan pak tukang jam terbukti berhasil, dan
terdengar suara deringan amat keras yang membangunkan orang-orang yang berjaga di dalam
benteng kayu kami. Nampaknya raksasa itu dengan tololnya telah menyerimpang jalinan dan
rentangan tali yang dibelitkan pak tukang jam di sekeliling benteng kayu kami. Raksasa itu
nampak kebingungan, dan dengan buas akhirnya menyerang orang-orang kampung yang
berusaha mempertahankan benteng kami yang dengan tombak-tombak terhunus mencoba
mencolok-colok monster itu. Dia dengan suara bergetar keras mencoba mendobrak pintu benteng
kecil kami yang terbuat dari papan kayu tebal. Dan ia berhasil. Pintu benteng kami pun jebol. Ia

41
berlari masuk mengitari kami dalam ruangan benteng yang sempit itu. Kami yang ketakutan
bagaimanapun juga berusaha bertahan hidup dan berjuang keras menangkap dia. Ini adalah
pertaruhan hidup dan mati kami. Memang pada awalnya, kami justru seperti terkurung oleh
geraknya yang demikian cepat dan giras. Kebanyakan diantara orang-orang yang bersamaku saat
itu adalah bapak-bapak tua renta yang loyo karena kelelahan bertani di ladang yang luas dan
mendaki. Beberapa orang dari kami sudah tersungkur dengan perut atau dada yang robek.
Sebagian dari para orang tua berlarian serabutan, tetapi aku berusaha memberikan contoh
keberanian kepada mereka. Dengan gigih, aku berteriak-teriak dengan energi kemarahan dan
segera menyerbu ke arahnya, membabat tubuhnya dengan pedangku. Ia nampak dengan gesit
mengelak. Nampak seorang penduduk menusukkan tombaknya melewati sisi kanan kepalaku.
Dada mahluk yang menyeringai mengerikan itu nampak tertusuk dan mengucurkan darah merah
kehitaman. Aku mencium bau anyir yang luarbiasa yang berasal dari lukanya yang menganga.
Kami semua pun bersorak gempita. Dengan gerakan cepat kusabetkan pedangku ke arah
kakinya. Nampak kakinya dengan cepat terpenggal, dan ia meraung ganas, mungkin karena
kesakitan dan marah. Ia tersungkur seperti sebuah bongkahan gedebog yang tertetak putus.
Darah mahluk itu berbau sangat busuk, tercecer menggenang di lantai, dan aku pun sempat
terpeleset olehnya. Kurasakan diriku semakin kalap, kusabetkan pedangku ke kanan dan kekiri,
menyayat-nyayat tubuh dan lengan-lengan tangannya yang berjuang mempertahankan wajah dan
nyawanya. Entah berapa kali sabetanku itu mengenai bagian apa dari dirinya. Para penduduk
kampung yang menyertaiku dalam pertahanan benteng itu pun dengan cepat menyerbu ke arah
tubuh raksasa yang tersungkur itu, dan dengan ganas menusuk-nusukkan berbagai benda tajam
ke arahnya. Terdengar raungan mengerikan dan memilukan dari mulut mahluk itu. Di malam itu
sorot mata yang mengerikan itu seolah berubah menjadi sorot takut dan berharap belas kasihan
dari kami, tetapi kami tetap saja melakukan kerja kejam kami secara sistematis dan tanpa ampun.
Proses pembantaian itu berjalan hingga malam semakin menggelayut. Akhirnya kegaduhan itu
berubah menjadi suasana sunyi senyap, bersama tewasnya mahluk itu. Para kakek itu nampak
terdiam memandang onggokan daging yang tercacah-cacah kecil. Di malam itu api berkobar
membakar tubuh monster yang sudah terburai-burai itu. Bau kucuran bensin yang terbakar di
onggokan almarhum monster itu membuat kami semua penduduk kampung bersukaria. Semua
penduduk kampung keluar dari rumahnya. Anak-anak bermain-main dan berlarian bercanda
dengan teman-teman mereka, gembira diterangi api unggun dari hasil pembakaran mahluk
jahanam itu. Ibu-ibu membawa berbagai nyamikan kepada kami para lelaki yang malam itu telah
berjuang keras membantai mahluk yang telah menteror mereka selama ini. Suara musik dangdut
bertalu-talu dari tape compo milik seorang tetua dukuh. Beberapa orang yang luka dirawat oleh
bidan satu-satunya di kampung kecil itu. Dan aku pun menghirup udara dingin malam yang telah
berubah menjadi hangat oleh api unggun yang menjilat panjang ke angkasa. Kucium bau daging
yang hangus, berasal dari tubuh mahluk raksasa yang kini berubah menjadi onggokan arang
menghitam. Aku mendongak ke atas bukit, menembus tempat gundul yang dahulunya mestinya
adalah hutan yang sangat lebat. Kulihat kabut tetap saja berarak di atas kepalaku, bergerak cepat
menembus rumah-rumah bertingkat yang terbuat dari kayu. Kuhisap rokok lintinganku dalam-
dalam. Kutatap pedangku yang masih berlumuran darah mahluk itu. Di bilahnya yang terwarnai
merah, nampak membias bayangan wajahku yang kelelahan. Wajah dan sorot mataku nampak
kuyu dan masih terpana, merah kelam. Aku pun bergidik. Dengan gugup aku pun melangkahkan
kakiku berbaur dengan penduduk yang menyambut kehadiranku dengan penuh kegembiraan,
hormat, dan rasa terimakasih. Aku dipersilakan duduk di tempat yang terhormat di tengah
kerumunan pesta itu. Tentu saja hal itu kutolak dengan halus, dan kupilih tempat duduk di sebuah
bangku tua dekat dengan meja tempat botol-botol anggur KTI ditaruh. Dan dengan sopan aku pun
menerima gelas anggur KTI yang disuguhkan oleh seorang ibu tua yang nampak demikian
gembira menatap masa depan baru kampungnya. Kuhirup dengan nikmat bergelas-gelas cairan
legit nan harum itu. Kurasakan rasa nyaman dan percaya diri yang tumbuh perlahan demi
perlahan. Kurenungkan siapa diriku ini kini. Inilah diriku sang pendekar pembela warga kampung.

42
Kunikmati terus gelas yang selalu terisi kembali, sebagai buah layanan ibu tua itu yang dengan
sangat sabar menungguiku. Perlahan-lahan kepala dan tubuhku menjadi terasa ringan dan
melayang nyaman. Kutatap dengan mataku, pemandangan sekelilingku agak bergoyang-goyang
dan kabur. Kukerjap-kerjapkan mataku dan kuusap-usap dengan tanganku yang masih
berkeringat. Perlahan kini penglihatanku makin membaik. Namun kini, entah kenapa aku
merasakan sebuah perasaaan tidak suka yang semakin aneh. Suara pesta kampung ini seolah
berubah menjadi kumpulan raungan yang mengerikan dan tak beraturan. Kini, dengan hati yang
tercekat kutatap sekelilingku, nampak yang dahulunya adalah para penduduk itu nampak telah
berubah bentuk menjadi raksasa-raksasa yang secara menjijikkan tengah gembira ria berpesta.
Wajah-wajah mereka menyeringai menakutkan, monster-monster jantan, betina, dan anak-anak
dengan beringas mengelilingi api unggun seperti suku-suku biadab berpesta kanibal. Bentuk dan
wajah mereka sangatlah persis dengan raksasa yang telah kubunuh malam ini. Dengan gemetar
kugenggam erat kembali pedangku, dan kuangkat dengan perlahan ke depan wajahku. Keringat
meleleh dari dahiku. Butiran bening itu menetes menjatuhi bilahan pedangku bagian bawah,
menyatu dengan merah darah monster itu yang menempel di bilah, dan meleleh kembali ke kedua
tanganku yang menggenggam erat balutan gombal di pedangku. Seluruh nadi dan ototku
mengeras, jantungku berdegup kencang, darahku tersirap naik ke ubun-ubunku. Sedetik waktu tak
boleh berlalu. Aku harus menyelesaikan tugasku, sebagai pendekar penyelamat kampung,
membasmi raksasa-raksasa jahat itu.

Pohon dan Rokok; malaikat yang bodoh

Aku naik bersama keponakanku yang masih amat kecil, mungkin berumur 4 tahun, aku
lupa sekali. Bayangkan! Orang tua mana yang tega-teganya membiarkan anaknya balita
memanjat pohon rambutan yang begitu tinggi? Tetapi memang demikianlah nasib orang miskin
yang hidup di antara bahaya kematian kecelakaan ataukah mati karena kelaparan. Lihatlah wajah
imut dari anak muda ini, begitu menggemaskan, terlihat binar di senyumnya yang bertakik lesung
pipit. Tentu saja aku bukan pedofil yang suka pada anak kecil secara seksual, sama sekali tidak,
tetapi binar itu benar-benar membuatku terpesona. Sambil menyeka keringat yang berpeluh keras
sekali, aku mengisap rokok kretekku, terasa nikmat bukan main. Ibu anak itu yang membuat,
masih saudara jauhku. Paling tidak aku masih bisa memanggil anak kecil ini keponakan. Lihatlah
tangannya yang kecil dan indah, ramping, dan halus itu.. betapa menyenangkannya kemudaan,
dan tak kelihatan bekas penderitaan dan lapar yang biasa kami alami sehari-hari. Kulirik tanganku
sendiri, dan terlihat sisik-sisik kering, dan juga keriput-keriput. Tak ingin kulirik wajahku sendiri.
Ya.. aku memang menganggur. Siapa lelaki sebayaku yang akan punya waktu untuk naik
pohon rambutan dan mengupas bola-bola berambut merah itu, dan menelannya dengan rakus,
tepat di siang bolong; jika bukan penganggur siapa lagi. Tetapi paling tidak aku tak bergerombol
dengan orang-orang itu dan bermain judi. Aku berkumpul dengan anak ini, dan menikmati sesuatu
yang alami, tak kehilangan duit, juga tidak mati karena tertusuk belati gara-gara tengkar soal duit
taruhan.
Anak kecil itu, keponakanku memanjat makin ke atas, sambil tertawa dan berceloteh
padaku. Aku terpana pada keberaniannya. Kaki-kaki kecil yang tangkas luarbiasa, dan juga
keberanian yang tak tertandingi. Bayangkan jika aku setinggi dia, tentunya akan melihat 10 meter
ke bawah dengan perasaan takut luarbiasa. Tetapi mungkin anak kecil memang lain. Aku teringat
zaman dulu ketika kecil berani turun ke sumur bersama temanku pakai tali dari karet ban bekas.
Sekarang paling tidak aku akan ketakutan terkena gas beracun, seperti nasib mbah Adi yang
tinggal di sebelah. Mati.
Yah, biarlah dia memanjat. Aku sendiri takut jika dia jatuh, karena bahayanya tentu
nyawanya akan terancam. Tetapi nampaknya ia memang cekatan sekali. Aku kalah. Maka

43
kubiarkan dia melangkah makin ke atas, menembus dahan-dahan yang makin lama makin kecil,
menggoyang-goyanglkan daun hingga rambutan-rambutan yang sudah memerah berjatuhan
berdetam di atas tanah yang berlumpur itu. Dan ia makin berani, menggelayut seperti monyet. Aku
terpaksa mengingatkannya,
“Haii. Jangan ke atas-atas. Bahaya. Sini turun dekat paman saja. Duduk sambil makan.”
Tetapi ia tertawa seperti mengejekku dan tetap bergelayut dengan beraninya. Sekarang
tangannya berpegang tanpa pijakan kaki. Aku terkesiap atas tindakannya yang nekad itu.
“Heiii--- ayo jangan. Bahaya. Jangan gelayutan. Cepat pijakkan kaki, nanti kamu jatuh, aku
nanti dimarahi ibumu!” kataku demikian cemas.
“Nggak apa-apa kok paman.. aduh…”
Gawat!! Ia nampak terpeleset sedikit, dan nampak berusaha memijak sebisa mungkin di
antara dahan-dahan, tetapi ia begitu kecil dan dahan-dahan bersebelahan jauh-jauh. Ia pasti akan
jatuh.
“Paman!!” teriaknya kecil dan parau.
Aku terkesiap dan segera bangkit dari dudukku di dahan yang nyaman ini, dan segera
bergegas ke atas menyusulnya. Aku berteriak padanya, “Jangan panik. Tetap berpegang erat-
erat!! Paman akan segera meraihmu.” Kataku. Dan aku segera bergegas memanjat satu-persatu
ranting licin yang kuanggap paling aman dan kuat. Kutahu bahwa ranting rambutan amatlah
rapuh. Tetapi perasaan bertanggung jawab mengalahkan ketakutanku sendiri, dan aku segera
saja menyusul dia makin ke atas. Kudongakkan kepala ke arahnya dan ia nampak pucat pasi. Aku
berdebar kencang. Keringat di dahiku makin mengucur keras, dan kubayangkan ia akan jatuh dan
mati. Maka segera kubergegas, hampir kuraih tubuhnya. Sekarang aku tepat berada di bawahnya,
dan andaikan ia jatuh pasti akan menimpaku terlebih dahulu. Maka kukencangkan peganganku ke
dahan yang terdekat, membayangkan ngeri bahwa tangan mungil itu tak akan kuat lagi
berpegangan. Sementara itu dahan yang ia pegang terlalu kecil untukku, andai kuraih pasti akan
segera patah.
“Pamaaaaan!” tangisnya. Dan tepat benar sebelum aku sadar, ia mulai meluncur jatuh
menimpa tubuhku, sebelum aku sempat bisa menggenggam erat leher pohon yang terkuat. Dan
aku terseret oleh beban tubuhnya. Aduh sakit sekali!! Tubuhku yang ringkih karena terlalu banyak
merokok dan kurang makan meluncur ke bawah bersama-sama dengan tubuhnya, terserempet-
serempet daun-daun dan dahan pohon yang segera berpatahan. Hatiku berdesir cepat sekali,
tetapi tak lagi sempat berteriak. Serasa ada campuran rasa kenikmatan, ketakutan, dan kekagetan
yang aneh dalam waktu sedetik itu. Dan akhirnya kami berdua berdebum jatuh ke atas tanah yang
becek itu. Bummm!! Aku jatuh lebih dulu dengan mula kepala, sedangkan keponakanku berdebam
jatuh menimpa tubuhku. Ia selamat.
**
Nampak malaikat itu bersidekap di depan mejanya yang kotor. Nampak ia mencoba
meraba-raba menerka apakah ada kebohongan tersirat di dalam mataku. Ia berkata, “Jadi?”
“Ya, leher saya patah. Mati, begitu saja.” Kataku merasa aneh terhadap pertanyaannya.
Aku pun masih merasa asing dengan arwahku yang terasa ringan dan tanpa kontrol hendak
melayang terbang.
“Anda mengatakan bahwa dengan begitu akan bisa masuk surga?” Tanya malaikat itu. Uh
betapa menjengkelkannya birokrasi. Bahkan di akhirat pun masih ada birokrasi bertele-tele seperti
ini.
“Saya mati dan hidup bukan kehendak saya, pak!” Kataku, seperti jika mencoba
membantah saat ditilang oleh polisi di jalan. Malaikat itu seperti mengerti tentang fikiranku.
Sebenarnya aku ketakutan sekali andaikan dibawa ke dalam neraka. Tetapi barusan saja sebelum
aku bertemu dengannya aku bertemu dengan malaikat pengurus registrasi yang menyatakan
bahwa ia bisa menjamin aku lolos dari neraka. Aku sampai bersorak demikian hebat. Dan
menggenggamkan beberapa lembar uang akhirat ke tangannya untuk membalas budibaiknya.

44
“Jadi anda masuk surga....” Akhirnya ia berkata. Seolah tak rela. Aku tak merasa
bergembira atas sikapnya itu. Bagiku bertemu ia hanya membuang waktuku saja. Aku sudah sejak
dari tadi ingin merasakan rasanya surga, makan enak, dan bertemu dengan para bidadari.
“Tetapi ada sesuatu yang harus saya sampaikan, mas..” kata malaikat itu sambil
memegangi pundakku. Terasa dingin sekali.
“Apa, pak?”
“Waktu hidup khan anda nganggur.”
Aku demikian tersinggung oleh kata-katanya, namun terpaksa menjawab, “Itu juga bukan
kemauan saya pak..”
“Tetapi itu justru letak persoalannya, kok. Jangan takut.”
“Maksudnya? Saya khan tetap akan bisa di surga khan pak? Jangan dimasukkan neraka
atau jadi hantu. Tak mau.”
“Tidak-tidak…” katanya. Ekspresinya persis polisi yang dulu pernah menangkap aku
karena masih saja bermain mercon bersama beberapa anak-anak kampung. Aku dulu dilepaskan,
karena dianggap lelaki dewasa yang masih kekanak-kanakan.
“Lantas gimana pak? Saya harus apa?” Aku mulai menangkap maksudnya.
“Ada yang harus anda kerjakan di sini, sebelum masuk benar-benar ke surga.” Katanya.
“Apa saja, deh pak. Asalkan saya masuk surga.” Kataku.
**
Maka aku pun bertugas menjadi penjaga anak-anak surgawi yang suka sekali memanjat
pohon-pohon keemasan. Paling tidak aku bersyukur karena jika mereka jatuh tak akan mati. Dan
aku menikmati situasi bermain bersama mereka. Selama tiga bulan aku melihat sosok anak-anak
yang bersinar terang itu, mengingatkanku pada keponakanku tersayang yang selamat karena
jatuh tepat di atas perutku. Aku sempat melihat ia menangis menggerung-gerung di tanah saat
keranda jenasahku dibawa oleh orang kampung ke pekuburan desa. Ibunya nampak memegangi
erat tubuh mungilnya, dan nampak air matanya menetes pula. Sementara arwahku terbang
menembus makin jauh ke awan.
Kini setelah tiga bulan, aku melapor pada malaikat, dan berkata, daripada masuk surga
lebih baik bisa bergelayutan terus di pohon seperti saat aku masih hidup.
Dengan muram sersan kepala malaikat yang menyuruhku menjaga anak-anak itu
bergegas melapor menuju gunung Surgawi yang nampak bersalju di depanku. Lapor pada Tuhan.
Toh aku tahu bahwa permohonanku akan dikabulkan juga oleh Tuhan. Betapa sulitnya mencari
penjaga anak-anak di dalam arus kenikmatan yang memabukkan dan tanpa batas ini, kecuali jika
Tuhan berani mempekerjakan orang-orang yang dihukum di neraka. Pasti mereka akan rebutan.
Hanya satu yang tak kusukai di sini: rokok kretek yang disediakan di sini sangat artifisial.
Aroma dan rasanya begitu wangi seperti parfum hingga membuatku pusing-pusing, sama sekali
tidak mirip dengan rasa kretek kesukaanku di saat hidup. Padahal jika pusing-pusing di sini aku
segera melayang-layang ke udara. Suasana yang tak terlalu menyenangkan diriku mengingat aku
dulu mati karena terjatuh dari ketinggian. Ternyata akherat pun tidak sempurna.

Ramuan Rahasia

Dengan tersenyum simpul Robert menumpahkan kaldu sapi ke dalam panci prestonya.
Kemudian ia masukkan beberapa jenis sayurmayur yang sudah ia cincang, antara lain wortel,
sawi hijau, kapri, bayam, dan berbagai jenis biji-bijian. Biji-bijian itu antara lain adalah biji kacang
polong, kacang hijau, dan berbagai jenis yang yang lain. Ia masukkan semua dengan cepat dan ia
ratakan, kemudian dengan tangan yang basah, ia memutar kunci panci hingga klik mengatup. Ia
taruh panci itu ke atas kompor. Dengan perlahan dan hati-hati ia nyalakan kompor gas, ia atur api
pada posisi menengah, dan ia tinggalkan. Robert menepuk-nepuk tangan puas, menunggu.

45
Setelah setengah jam terdengar desis peluit. Terlihat panci presto mengepulkan uap
panas. Ia mematikan api, menunggu selama sekitar 10 menit hingga panci agak dingin. Ia
kemudian membukanya. Wah, ternyata sudah berubah menjadi bubur hijau. Semacam adonan
kental berbau sapi. Sebenarnya Robert merasa mual memandang adonan aneh itu, tetapi ia tetap
harus menjalankan apa perintah dukunnya.
Perlahan-lahan ia ciduk bubur aneh itu dengan ciduk logam. Ia muntahkan ke dalam
mangkok porselen putih. Masih panas, mengepulkan uap. Kental dan berbau basin. Robert
memencet hidungnya, tidak berani menghirup nafas. Dengan usaha keras ia berkonsentrasi, dan
perlahan menyendok bubur itu, memasukkannya ke rongga mulutnya yang ia buka lebar.
Perlahan-lahan ia menelan. Terasa amat nek. Rasanya ada cairan lendir yang asin, kental, amis,
meleleh masuk ke kerongkongannya. Cairan itu terasa hendak berbalik melalui lubang hidungnya.
Tetapi terus coba ia tahan. Ia suap lagi yang kedua. Ia telan. Suap ketiga, keempat, kelima,
hingga akhirnya adonan habis, berpindah ke dalam perutnya.
Dengan terengah-engah Robert menahan rasa melilit dan teraduk-aduk di perut. Ada rasa
yang luarbiasa memualkan, hendak muncrat menggelegak menyesakkan. Ia menahan nafas.
Tetapi toh akhirnya ia tak bisa bertahan lagi. Tiba-tiba mual luarbisa itu memuncak, dan sejurus
kemudian ia pun muntah semuntahnya. Ia tak sempat berlari menuju kamar mandi, hingga
sebagian besar ceceran muntahan berhambur di ruang itu, berceceran di lantai. Ia pun berlari
sambil menyeka mulut, menutup rasa mual susulan menuju WC. Tiba disana, ia berjongkok
meneruskan muntah. Lendir yang berbuih berwarna hijau dan kuning tumpah ruah, campuran bau
sapi dengan anyir ludah, bau busuk perut dan berbagai bentuk lendir aneh lain.
Hooekkkk. Hoooekkkk. Robert muntah terus menerus hingga isi perutnya terkuras habis,
bahkan isi empedunya pun terasa lepas keluar. Di mulut ia rasa muntahan yang asin dan anyir,
lalu rasa pahit yang menggigit.Terasa sakit meninggalkan bau asam lambung dan pahit
menyengat sangat. Ia lihat warna hijau yang tercecer di bawah tubuhnya meleleh melebar,
menumpuk seperti adonan di panci prestonya.
“Bajingan.” Katanya dengan terngah-engah. “Ia berbohong. Kurangajar. Hoeeeekkkkk.”
Robert pun muntah lagi tak karuan, sebelum akhirnya duduk lemas di lantai. Ia tak peduli rasa
basah yang masuk di celananya, campuran antara muntahan berlendir dan air kloset yang kotor.
Ia bersandar ke dinding WC beristirahat, menikmati dingin air merembesi celana dan kausnya.
“Bajingan. Kurangajar. Anjing. Kunyuk. Babi ngepet. Aku ditipu.” Kata Robert terengah-
engah. Ia menyeka bibirnya dengan tangannya yang basah oleh air kloset. Ia menghela nafas
panjang. Hambur keluar nafas lebih panjang. Tarik nafas lagi, keluaaaarrr...... dan perlahqan ia
pun tertidur. Beberapa menit.
Ketika terjaga, ia pelan bangkit, membuka kaosnya yang basah oleh keringat dingin. Ia
rasakan hawa segar menerpa dada dan punggungnya yang ceking. Ia akhirnya mencopot lepas
celananya yang kuyup oleh lendir dan air jamban bau. Dengan lemas ia membuka keran bak
mandi, dan menciduk air. Ia hamburkan air itu ke kepala, turun meluncur membasahi seluruh
tubuhnya. Ia guyur berulang-ulang, dan ia bilas dengan sabun mandi. Ia pun keramas dengan
shampoo terbagus yang ia miliki. “Segar.” Batinnya dalam hati.
“Kapok.” Katanya, sambil mencari-cari handuk di atas ring, untuk menyeka tubuhnya
kering. Dan ia pun keluar dengan lilitan handuk di pinggang. Ia menoleh ke panci presto, ke
ceceran muntahan di lantai dapurnya. Ia merasa mual lagi. Ia pun berlari ke depan menghindari
muntah, dan duduk di depan meja telepon. Ia putar nomer telepon dukun itu. Tak sabar ia
menunggu respon. Terdengar beberapa nada dering, sebelum akhirnya diangkat. “Haloooo...”
Suara mengantuk, khas dukun itu.
“Halooo. Anda bohong!! Menjijikkan sekali. Gimana ini. Katanya dengan makan itu saya
bisa jadi sakti? Mana buktinya?” Cerocos Robert geram.
“Sabar nak....” Kata bapak dukun sabar.
“Tidak bisa begitu. Ini gimana sekarang? Saya harus bersihkan muntahan saya, tapi lihat
muntahan itu saya jadi mual lagi. Pokoknya lihat sendiri kesini!” Kata Robert lagi keras.

46
“Sabar nak...”
“Sabar.. sabar... saya sudah habis banyak untuk membayar bapak. Tak ada hasilnya.
Dasar penipu.”
“Sabar nakk....!!!”
“Baaaahhhhhhhh!!!!!!!” Teriak Robert sambil membanting telepon. Ia pun tercenung
menatap telepon hitam dalam sunyi. Ia pun bangkit, masuk ke kamar tidur, dan menghempaskan
tubuhnya ke ranjang, menghela nafas panjang, dan perlahan tertidur lelap.

---&&&---

Robert bangun dengan kepala pening, seperti habis mabuk berat. Namun ia punya cara
menghilangkan perasaan tidak enak itu. Ia mengunci pintu kamar, dan menghidupkan monitor TV
kecilnya. Ia melongok pemandangan gang dari televisi yang tersambung ke kamera CCTV. Ia beli
peralatan itu beberapa bulan yang lalu di Glodog. Dengan puas ia melihat pemandangan di gang
itu. “Aman.” Batinnya. Ia kemudian membuka laci lemarinya, mengambil tabung kaca kecil beserta
botol berisi serbuk kristal berwarna kecoklatan yang ia sembunyikan dalam-dalam. Ia ambil korek
untuk menyulutnya, perlahan-lahan. Ia pun menikmati suasana malam dengan perlahan dan
sejahtera.
Robert mengepul dan menelan asap yang halus putih. Terasa angkatan dan desiran halus,
rasa yang nyaman dan sederhana. Sebuah kedamaian dan kegembiraan yang tak terperi,
menerobos masuk ke sisi tersembunyi dari kesadarannya. Ia pun tenggelam di kenikmatan azasi
itu
Tiba-tiba terdengar suara dobrakan yang amat keras menggeretak dari luar pintu
kamarnya. Brak. Pintu itu pun berderai, menyisakan kunci yang remuk. Robert masih tak sadar
tentang apa yang sedang terjadi. Beberapa orang berambut gondrong dengan pistol teracung
menerobos masuk dari pintu yang pecah jebol.
“Angkat tangan. Kami polisi. Tak ada gunanya melawan!” Kata orang itu cepat.
Mereka membekuk dan menelikung tangan Robert yang letoy. Robert hanya bisa pasrah.
Ia masih bisa tahu apa yang tengah terjadi. Ia sedang tertangkap tangan. Tak ada gunanya untuk
melawan.
Dengan keras dan kasar Robert pun diinterogasi bermacam-macam hal secara bertubi-
tubi.
“Dari mana kamu beli? Cepat jawab!!”
“Siapa bandarmu? Kamu bandar ya?”
“Kamu sembunyikan di mana benda yang lainnya? Cepat jawab!!”
“Siapa bossmu?”
Robert tak kuasa menjawab. Ia masih bingung dan fly. Hal itu tentu saja membuat polisi-
polisi berang. Beberapa kali pipinya ditempeleng. Tetapi ia diam saja menahan rasa sakit.
Akhirnya para reserse itu bosan pada kediaman Robert dan berkeputusan untuk mengobrak-abrik
ruangan kamar Robert. Mereka mengaduk-aduk lemari, dan menemukan beberapa paket kristal
yang tersimpan rapi. Mereka juga menemukan beberapa bong kaca di atas para-para kamar.
Ruangan itu menjadi hiruk pikuk. Sementara itu Robert tercenung hening menatap yang terjadi di
sudut kamar. Tangannya terborgol erat, dan kepalanya beberapa kali ditampar keras oleh seorang
reserse gendut. Ialah yang paling galak padanya. Saat ia tak juga menjawab, maka kepala
belakangnya pun diantukkan keras ke tembok. Sakit sebenarnya. Tapi Robert tetap saja diam,
meringis.
Akhirnya Robert pun diseret keluar, hingga tersuruk-suruk. Beberapa polisi nampak
bingung melihat panci presto dan cairan hijau yang menggumpal di lantai. Seorang petugas
forensik mengambil kantung plastik dari bajunya untuk mengambil sampel. Nampaknya polisi itu
sudah terbiasa melihat ceceran darah atau tubuh mayat yang membusuk. Ia dengan santai
menjumputi cairan itu.

47
Robert diseret keluar gang. Disana sudah menunggu beberapa orang yang
mengacungkan-acungkan kamera. Mereka adalah beberapa wartawan stasiun TV acara kriminal.
Cahaya lampu yang demikian terang menerpa wajahnya tanpa ampun. Robert berusaha menutupi
wajahnya dengan kaus, namun dengan kasar tangannya ditarik oleh para polisi dan rambut
kepalanya dijambak keatas. Ia akhirnya pasrah saja, membiarkan wajahnya menjadi bulan-
bulanan pers. Nampak beberapa tetangganya menyembulkan kepala dari halaman-halaman
rumah, makfum tentang apa yang sedang terjadi. Sebagian mencibir, sebagian yang lain kelihatan
iba.
Ia digelandang menuju ke mobil kijang gelap yang standby di depan gang. Entah kenapa
kamera CCTV-nya gagal mendeteksi, mungkin karena para polisi itu bergerak amat cepat, dan
menyergap mendadak. Atau mungkin karena ia tadi terlampau fly, sehingga tidak waspada.
Mungkin juga ia sudah lama diintai para reserse itu. Dengan kaki gemetaran Robert digelandang
ke pintu mobil kijang itu yang menganga mengerikan. Kepalanya dicekal seorang polisi reserse
bertubuh gempal, dan ia pun didorong dengan kasar masuk ke dalamnya. Di kanan kirinya
beberapa polisi mengepung. Mereka tertawa-tawa puas. Wajah-wajah itu berseri-seri karena hasil
intaian mereka selama beberapa hari tercokok basah. Malam ini mereka bisa pulang dan
beristirahat bersama keluarga.

---&&&---

Robert menghela nafas. Ia merasakan pengap udara menyergap dadanya dari jok kulit
sintetis. Ia sesak nafas, dan kehilangan orientasi ruang. Ketakutan utamanya adalah ganjaran
penjara beserta siksaan seksual dari rekan-rekan sesel. Hal itu membuatnya gemeretuk
ketakutan. Di antara ciutnyalinya itu, ia berfikir keras, berdoa, berharap, berkhayal tentang sebuah
operasi penyelamatan yang dilakukan oleh teman-temannya geng pemakai obat. Dalam pelupuk
matanya, terkhayal beberapa orang dengan balaclava penutup wajah menyerbu masuk dan
menembaki para polisi hingga kocar-kacir. Persis seperti di film-film Hongkong yang kadang ia
lihat di TV. Tetapi akhirnya Robert sadar bahwa hal itu adalah impian yang absurd. Ia pun
kebingungan mencari akal lain. Ia sempat hendak nekad memberontak dan lari dari mobil polisi
itu. Kakinya sempat mengejang, bersiap-siap menerjang. Tetapi ia teringat kisah temannya yang
tertangkap, lalu nekad lari, sehingga akhirnya saat tertangkap lagi lalu ditembak kepalanya oleh
polisi hingga tewas. Ia pun merinding ciut ketakutan. “Apa yang harus kulakukan?” Ia menggeram
putusasa.
Namun tiba-tiba matanya berbinar, dengan senyum harapan menyembul dari wajah
pucatnya. Ia masih ingat ajian yang diajarkan oleh gurunya sebelum ia membuat adonan itu. ada
sebuah mantra.
Ia bergumam. “Omyamyemyi hohahitler, proprabhataridurgayi, tulalitut kaliyuyujha, sifata
balthazary ilangsun, nyap zap, kersaning al-lusyifar!!” Ia gumamkan mantra aneh itu. Iseng.
Ia pun menunggu kelu. Beberapa menit berlalu. Tak terjadi apapun juga. Ia pasrah.
“Mampus deh gua.” Rutuknya. Namun tiba-tiba ia merasakan hal aneh. Tubuhnya tiba-tiba
melembek, meluntur dan mengelupas, meleleh perlahan-lahan, mencair menjadi adonan hijau.
Kini wajah Robert terlihat meringis, menampakkan gigi dan bola mata yang pelan-pelan bergulir
jatuh ke jok mobil, membuat para polisi itu tersirap ketakutan. Seorang polisi reserse yang
berambut gondrong berteriak kaget dan histeris. Robert pun terus saja mencair. Cairan Robert
pun bergoyang-goyang pelan dan menguap menggelitik, menyeruakkan baunya ke seluruh sendi
para polisi itu. Mereka pun merasa geli jijik dan berteriak kaget. Mobil polisi pun berdecit direm
secara mendadak hingga hampir saja terguling di jalanan yang licin. Para polisi di dalamnya
berteriak-teriak panik.
“Stop.......”
“Tolong. Ia mencair.”
“Ia meleleh. Hiiiiii matanya lepas!!!”

48
“Waaaahhhhhhh!!! Tolong.!!”
“Ia punya ilmu gaib.”
“Setan....”
Adonan itu pun perlahan habis menguap, membuat beberapa polisi muntah-muntah
karena mual dan rasa geli menjijikkan yang meruak di persendian, lambung, dan kepala mereka.
Uap hijau keluar dari sela kaca dan lubang AC mobil. Meliuk-liuk menuju angkasa yang gelap,
berpendar seperti gambar film horor murahan. Para polisi berhamburan keluar.
Beberapa kru televisi acara kriminal yang menguntit dari belakang pun tak tinggal diam.
Mereka dengan rakus menyorot dan merekam seluruh peristiwa aneh itu, yakin bahwa rekaman
peristiwa itu bakal hit di acara kriminal maupun acara dunia gaib. Hingga malam hari berganti pagi
dini, para wartawan tetap berdesak-desakan mengulas peristiwa itu dengan penuh gairah.
Sementara itu para polisi nampak tertunduk lesu menyaksikan kegagalan dan kekalahan mereka.
Beberapa orang diantaranya gemetaran tak karuan. Beberapa polisi yang lain nampak beregegas
berdatangan dan mengepung TKP, menghamparkan pita batas polisi di sekeliling mobil kijang
mereka.

---&&&---

Di langit malam yang kelam, Robert melayang-layang, memandang senang ke bawah. Ia


menatap peristiwa itu dengan perasaan kaget dan bangga. Ia terlongong menyaksikan apa yang
terjadi, masih mencoba untuk tak percaya. Ia bisa melihat tubuh mayanya melayang-layang
diangkasa. Ia tatap tangannya yang bening, memandang ke bawah, ke arah orang-orang yang
panik, para polisi yang tertunduk lesu, para wartawan yang buas dan haus berita. Dengan tubuh
transparannya ia pun turun cepat, berusaha melihat lebih dekat.
Ia mendekati seorang polisi muda yang duduk tepekur di atas batu besar. Tatapan mata
polisi itu nampak kosong melompong karena syok. Robert dengan iseng menghembuskan nafas
busuknya ke wajah polisi itu. Polisi itu tercekat kaget dan berteriak histeris, membuat rekan-
rekannya serta para wartawan kembali heboh. Robert pun tertawa terbahak-bahak. “Hahahahaha.
Aku sakti. Aku sakti. Terimakasih pak dukun terimakasih.” Tangan gaibnya mengepal dan
mengacung-acungkan jari tengah mengejek para polisi.
Robert akhirnya berlalu dari TKP, melayang jauh ke angkasa. Melayang tak henti-henti,
semakin lama semakin cepat hingga menembus awan-awan menghitam, bersatu dengan kilasan
petir dan bias rembulan.

Satu Jam

Dan kemudian hari-hari pun berlalu di hadapan sebatas tembok yang disuluri oleh
tumbuhan itu. Seminggu sebelumnya seorang pekerja berhelm kuning telah mengguntingi dahan-
dahan kecilnya, naik berlama-lama dengan tangga yang berbentuk seperti segitiga. Kini sulur-
sulur itu nampak sedikit rapi, dan hijau daun-daunnya yang jarang-jarang kembali terpanggang
terik panas matahari. Beberapa orang pengemis yang biasa berteduh di bawahnya nampak
mengeluh panjang pendek dan segera bangkit dan berjalan dengan kaki-kaki kerontang mereka,
berpindah naik ke atas jembatan penyeberangan besi.
Udara gelap. Semestinya saat-saat hujan datang. Dan saat-saat becek akan menyerap
bau knalpot dalam lumpurnya. Kini, bis-bis tetap berlari di jalan mulus itu. Mereka menurunkan
tarif, walaupun harga barang-barang naik seperti hantu-hantu mengejar-ngejar. Tak ada liang-
liang lagi nampaknya, setelah jalur bis merah megah di tengah itu hadir menyita ruang-ruang
lama, dan seperti merusak bebangkangan awak cuap berbaju hijau-hijau itu. Dan di sudut
tikungan dekat pusat perbelanjaan yang tegap besar dan modern itu para pedagang yang lusuh

49
menahan nyeri urat di trotoar yang lusuh, tetap berteriak-teriak pada orang yang berjalan
berlarian, merengek-rengek membendungi jalan-jalan becek itu agar tak dilalui terbirit oleh para
pelanggan. Para entertain itu konon telah menusuk sejarah besar ke dalam ranting lain, di
hadapan kegalauan jalan dan nasib yang pengap. Dan orang-orang berteriak bersama banyak
deru yang lain, dalam lumpur yang lain.
Nampak di trotoar terluar dan terkotor seorang perempuan pengamen tua duduk
bersimpuh tanpa peduli basah yang merambat di kaki dan pantatnya yang lunglai. Ia
menggenjrengkan gitar ukulele birunya, ditemani oleh beberapa anak kecil kurus kering yang
bernyanyi cepat dan riang, duduk melingkar di sekelilingnya. Kepang perempuan tua itu nampak
berkibar, membiarkan orang melihat betapa gagahnya sebuah nada berhasil membela sebentuk
kehidupan. Beberapa orang yang budiman nampak melemparkan kepingan receh ke baskom
seng itu. Dan orang-orang yang lainnya tetap berjalan tegak mendongak ke atas, bahagiannya
yang terbesar bergerak menaiki tangga-tangga granit gedung perbelanjaan megah itu.
Hingar-bingar, dan orang-orang seperti ingin melupakan semua makna di rumah-rumah
mereka untuk kegiatan pasar itu. Mereka denmgan tekun melihat vision yang hebat dan menilai
kantong dan keinginan, dari lem tikus, baju yang lumayan ngejreng, sampai radio brengsek yang
berbentuk seperti HP mewah. Beberapa satpol PP nampak mengistirahatkan punggung mereka di
pagar tinggi, bertampang garang, menahan agar orang-orang miskin itu tak meruak masuk ke
lingkaran elit lantai-lantai granit gedung mewah itu.
“Blok M terakhir. Blok M akhir. Ayo nggak masuk terminal. Ayo mbak-ayo mbakk-mbak.”
Seorang kernet turun dari bisnya sejenak seperti tentara lari keluar dari pansernya. Dan
tangannya bergerak memegang pundak orang-orang. Tubuhnya kecil dan lusuh, dan berwajah
hitam. Nampak matanya merah. Tangannya kecil tetapi berotot, dan wajahnya seperti seorang
Batak atau Aceh.
“Tarik”, dan bis berjalan meninggalkan dengan banyak asap hitam. Suara musik dangdut
yang membenging dari atas bis berlalu hilang bersama dengan deru mesinnya yang menghebat.
Suara bis dan mobil di belakang merobek sisa suara itu hingga tak berjejak lagi.
Seorang pejalan kaki, dengan bajunya yang hitam seperti berlari, menembus jalan-jalan
trotoar di samping. Sudah berapa kilo ia berjalan. Peluh mengalir dari atas dahinya. Dan sudah
seharusnya ia lupa, melihat dari ketidakpedulian kota itu pada para pedestriannya. Mungkin saat
1, 2 kilo pertama dengan perlahan ia menyeka wajahnya yang lelah itu. setelah itu, ada banyak
waktu untuk mengumpat, bersenggolan dengan para pedagang asongan, atau pencopet.
Sang pejalan, Ia, berhenti di hadapan penjual koran dan menatap sekilas dengan mata
miring pada judul-judul. Penjual koran bertanya padanya,
“Mau beli apa, Pak? Kompas, Indopos, Batavia yang banyak bolanya..”
Lelaki itu nampak mundur setapak, dan menegakkan tubuh. “Mmmhh, nggak.” Jawabnya.
Ia berjalan menjauh dan makin cepat, di bawah bayangan tolehan leher penglihatan penjual
koran. Mulut pak tua itu terlihat masam di balik topi mindringnya. Lelaki pejalan itu ngacir
menyelinap di jalan yang panjang dan berpetak tegel merah, luruh dan lusuh bersama dengan
para pejalan yang bergerak tanpa henti, berpagutan seperti semut yang kekenyangan. Tetapi
nampaknya manusia-manusia itu lapar semuanya. Banyak jenis lapar. Contohnya, saat lelaki itu
bertemu dengan penjual koran lain, ia segera melirik ke arah koran-koran yang beraneka macam
itu untuk meneruskan mencicipi sedikit nikmatnya informasi gratis.
Siang hari sudah merangkak demikian jelas. Matahari tegak lurus, namun perlahan-lahan
bergerak lewat ubun menggelincir ke pipi, dan tentu orang-orang banyak itu bukan mahluk-mahluk
yang rela tenggelam dalam neraka lembab dan panas itu. Tetapi terik di atas awan hitam itu tetap
mencengkeram hingga ke otak-otaknya. Idiotnya kota berlangsung terus ke arah barat dari arah
jalan itu.
Ada perempuan berblazer hitam yang nampak lelah berjalan juga, seperti mengejar jejak-
jejak dari lelaki itu. Ia nampak miskin walau berblazer, karena nampak blazernya jenis yang murah
dan tidak fit dengan bentuk ukuran tubuhnya. Ia berjalan tak secepat lelaki itu, dan ada berbagai

50
lagi jenis perbedaan lain. Ia tak melirik penjual koran. Ia seperti melihat ke depan, dan sedikit
melirik dengan mulut sedikit terbuka pada tembok yang ditumbuhi oleh tumbuhan sulur itu.
Selambat apapun berjalan ia segera menyelinap di antara berbagai orang yang hilir mudik.
Penjual koran bertanya pada seorang temannya. Berbisik. Tak terdengar jelas. Nampak
keringat yang melelah itu. memang mereka semua terlindung oleh besi jembatan penyeberangan
yang berbentuk V terjungkir, tetapi api tropis bukan milik para pejabat. Itu adalah milik rakyat.
Terdengar suara tinggi yang timbul tenggelam di balik deru deram derap kendaraan.
“Lu, udah dapet itu barang?”
“Belon”
“Cepetan dong. Paksa dia dikit ngapain kek. Emangnya duit nenekmoyangnya? Bisa
seenaknya saja nahan barang kayak gitu.”
“Udah deh nanti juga beres. Lu kagak usah takut. Lu kan tau aku tak pernah ngebo’ongin
siape-siape.”
Dan suara percakapan mereka tiba-tiba hilang tenggelam oleh deru sebuah bajaj yang
menurunkan seorang ibu tua bersanggul. Sebuah bis merah nampak berhenti berdecit, dan
memuntahkan beberapa orang lelaki dengan tas-tas hitam mereka. Kenek selanjutnya berteriak
menunjukkan arah, sambil menggerungkan mesinnya menunggu penumpang. Sebuah mobil taksi,
nampak dengan cemas menunggu di belakang pantat bis itu. Diam saja.
Di kios koran itu, batangan rokok satu orang diantaranya, yaitu sang lelaki yang lebih tua
dengan topi mindring, nampak tersulut. Sebuah cetusan butiran kretek terlontar, bersama dengan
luapan api merah di ujung sigaret dan gelembung asap yang mengepul dari antaranya. Percik api
itu terloncat, menerpa celana orangtua itu. Dan ia pun berjingkat cepat, mengibaskan butir bara itu
ke bawah, sambil mengumpat pendek. Entah bolong atau tidak celana birunya yang dekil itu.
Tetapi panas seperti hari ini sudah demikian mengalahkan api. Tak ada seorangpun yang
nampak tak berkerut berjalan di trotoar itu. Seorang pemuda keriting nampak berjalan melewati
kedua pedagang koran itu, nampak berjalan menunduk sambil memencet-mencet HP dengan
sangat cepat. Ya. Seorang berjalan dengan memainkan SMS. Handphonenya kelihatan besar. Ia
pun berpeluh. Dan celananya agak kependekan sedikit. Ia nampaknya bukan seorang
fundamentalis, tetapi hanya seorang yang tak begitu peduli dengan penampilan. Di samping
badannya tas tersandang. Dengan terseok ia bergerak cepat, dengan sigap, dan gesit melintas
zigzag menghindari orang-orang yang bebapapasan dengannya. Jarinya terus saja memencet
tombol HP-nya. Sungguh mengesankan, berhasil meliuk tanpa cela.
Dua orang berjalan melewatinya, nampak mereka sedang memegang sesuatu di dekat
telinganya. Nampaknya sejenis freehand canggih. Nampaknya mereka orang kaya, karena
pakaiannya bagus sekali dan licin, si laki-laki memakai kemeja biru yang bagus dan rapi,
sementara sang perempuan mengenakan blazer biru yang fit dengan tubuhnya yang ramping.
Mereka berjalan dengan cepat, sambil nyerocos ke arah freehandnya. Entah kenapa mereka
berjalan di suasana panas menyengat itu. Nampak kacamata mereka berdua bagus sekali. hebat
sekali, berkerjab memantulkan cahaya matahari kuning. Si perempuan muda dan cantik itu
berbicara cepat kepada lelaki di sampingnya, sambil memegang dan mengamati layar
handphonnya, menunjukkan sesuatu. Sang lelaki nampak memandang sejenak, sambil tetap
berjalan pelan di sampingnya. Saat berpapasan dengan pemuda keriting yang memegang
handphone itu mereka nampak tak peduli. Tidak melihat sama sekali, demikian juga dengan si
orang miskin tetap memainkan SMS dengan tangannya, tak peduli pada piranti canggih
handphone orang-orang kaya itu. Kelihatannya lelaki keriting itu sudah selesai dan memencet
tanda send.
Pedagang koran yang sedang bercakap menatap mereka bertiga yang berjalan cepat. Ia
menghembuskan asap rokoknya sejauh-jauhnya, hingga menerpa sisa bayangan tubuh mereka,
disambut oleh tiubuh-tubuh baru manusia yang berjalan menggantikan sosok-sosok itu. Udara
tetap masam dan memuakkan.

51
Dan akhirnya ia pun menghilang diantara orang-orang yang berjalan di kanan dan kirinya,
berjalan searah atau berlawanan arah. Sebuah bajaj nampak berjhenti kembali, menurunkan dua
orang penumpang lelaki perempuan muda. Nampak pak bajaj meludah ke arah jalan, dan
kemudian berhenti tawar menawar dengan seorang ibu yang nampak kelelahan menenteng
barang belanjaannya. Ibu itu nampak merengut, dan pengemudi bajaj itu pun berlalu dengan
mesin roda tiganya, menyentak dan menggeram mengejar lalulintas sepi. Di trotoar yang sempit
itu nampak melintas lagi seorang berambut cepak, dan seorang lagi yang berambut gondrong.
Kaus mereka kumuh, namun bergambar unik. Salah satu berkaus hitam bergambar wajah Che,
sementara yang lainnya, sang gondrong bertuliskan sebuah slogan panjang. Di lengan mereka
banyak asesori dan pin, dan nampak gitar disandang oleh si gondrong. Apakah mereka
mahasiswa seni, pengamen, atau cuma pemuda kampung? Nampak si rambut cepak, melongok
ke dalam kantong bekas bungkusan plastik permen yang besar. Sayup-sayup terdengar ia berkata
pada temannya.
“Busset. Tak ada lagi yang tersisa.”
Dan mereka melewati pedagang koran, dan si rambut cepak melirik berita dalam koran. Ia
berkata cepat sambil berpaling. Wajahnya nampak puas. Giginya, ompong, giginya tanggal satu
tepat di sebelah kiri. Tak ada luka lain di wajah atau lengannya. Ia nampak bersih walaupun hitam,
dan berkata,
“Nah loh, si Adiguna kena!”
“Sukurin…” kata temannya cepat dan wajahnya yang sedikit lebih putih, nampak cukup
riang. Nampak kumis tipis mempertegas keriangannya. Tangannya merentang cepat dan
bergelombang, seperti menggenggam sesuatu di udara. Mungkin sebuah ekspresi perayaan kecil
menyambut sedikit bencana bagi sang kaya. Mereka berjalan makin cepat, seperti berbaris
menembus kelokan dengan ranting ranggas itu. Nampak bis-bis mempercepat jalan mereka
biarpun mereka melambai-lambaikan tangan. Tinggalan asap hitam mereka hirup dengan
sukarela. Dan mereka pun kembali berjalan berbaris. Seharusnya mereka tak mencegat bis
disana, karena letaknya yang tepat di tikungan masuk terminal. Nampak memang orang-orang tak
ada yang hendak naik. Hanya ada orang-orang turun. Semntara itu di trotoar sempit dan
melengkung itu, orang-orang hanya dalam dua arah seperti semut, dari dan ke kompleks terminal
dan perbelanjaan itu.
Panas matahari sedikit tereduksi oleh semacam awan. Mungkin hadiah kecil permen
lolipop dari dewa. Tetapi orang tak ada seorangpun yang menatap ke atas langit untuk
berterimakasih apalagi memuja. Walaupun demikian dewa dan malaikat tetap saja tersenyum
membantu mereka, mungkin karena saat-saat yang lain lebih seperti bencana.
Bis-bis dan mobil berjalan dengan cepat, hanya sesekali berhenti dengan suara berdecit.
Mobil mewah banyak berjalan juga. Ada Mercedes, dan ada BMW juga, semuanya terlihat jreng
dan baru. Keadaan ternyata aman-aman saja. Tak ada tukang gores atau palak, karena di ujung
sana dua orang polisi nampak mengatur lalulintas. keduanya kelihatan kerdil di tengah rutukan
dendam kesumat jalanan itu, dan terlihat pasrah seperti onggokan coklat insan yang tertimbun
asap dari kendaraan racun. Tangan si polisi kecil bergerak-gerak, geraknya hampir sama dengan
gerak para pengamen menggenjreng ukulele. Gerak ritmis yang terpotong dan keliru ritmenya.
Konon Itulah gerak pengamen. Di sini tempat lebih sempit dibandingkan dengan tempat ia berdiri.
Tetapi bau apek dari keringat orang toh kalah oleh deru knalpot. Di sana polisi-polisi itu langsung
berhadapan dengan moncong-moncong kendaraan dan terterkam oleh asap yang hitam, dan
menimbulkan awan kelabu di atas. Tetap tak ada seorang pun yang memandang ke arah langit.
Dan orang tetap berjalan dengan mata-mata seperti cermin, membiaskan cermin-cermin dan
tembok, semuanya berwarna kelabu di atas batako yang berwarna merah itu. Nampak warna
merahnya kelam oleh debu dan kotoran lain, tetapi tak ada sampah.
Kemana para pengemis tadi? Nampaknya tempat itu makin ramai dan sesak saja.
Biasanya mereka berjongkok atau duduk di tempat yang terlindung. Tetapi lahan di bawah

52
jembatan penyeberangan itu sudah dikuasai oleh penjual koran. Nampaknya mereka sejak tadi
tetap bertahan di atas jembatan penyeberangan.
Satu jam sudah berlalu, dan aku pun sudah harus pulang ke kosku. Aku bangkit dari rasa
panas di bokongku. Tempat dudukku kelihatan basah oleh keringat dari pantatku. Nampak orang
tetap berlalu lalang, aku melangkah dengan gontai seperti tak berdaya, terserap dalam arus itu.
Aku pun bersatu lebur dengan kepenatan itu.

Star Wars

Bentuk-bentuk ajaib bersliweran diantara tubuhku. Berbagai wajah-wajah dan tubuh yang
mengerikan, dan memilukan menampakkan diri mereka. Namun mungkin hanya sedikit orang
yang yang bisa menyaksikan mereka dengan mata telanjang, bukan hanya dengan mata batin,
dan salah seorang diantara yang mendapatkan karunia itu adalah diriku. Mereka, para dedemit
dan siluman itu dengan menangis-nangis datang kepadaku, untuk mengadukan sesuatu hal yang
amat penting. Nampak beberapa di antara mereka bergantung-gantung di beranda rumah,
membuat suamiku yang sedang membaca buku di kamar depan demikian gelisah. Ia tak bisa
melihat mereka, namun bisa merasakan kehadirannya. “Ma, kok aku merinding ma. Udara jadi
terasa dingin sekali. Itu teman-temanmu nampaknya datang.” Kata suamiku agak masam. Dan
aku pun segera bergegas masuk ke dalam ruangan khususku dan menyuruh suamiku untuk
menutup dan menjaga pintunya. Memang kali ini aku harus keras menghadapi kegiatan
berbahaya ini. Ini adalah kerja pengabdian seorang cenayang demokrat untuk menolong para
mahluk ghaib yang tertindas.
Jin itu nampak mengelus pipinya yang hijau, menghapus airmatanya yang hitam legam.
Matanya yang merah dan melotot makin melotot besar, memperlihatkan urat-urat darahnya yang
kehitaman. Ia mengguguk dan mencoba memelukku. Untung aku segera bisa membaca mantra
untuk menenangkan hatinya yang mungkin sedang pecah berkeping. Juga tentu saja untuk
menghindari pelukan tubuhnya yang meremukkan tulang itu.
“Ada apa, wahai jin malang. Amat jarang kau nampak demikian bersedih seperti sekarang
ini” tanyaku perlahan, sambil memejamkan mata bermeditasi.
“Oh, ibu... bagaimana kami bisa bertahan dalam penderitaan ini. Kami dianggap jahat. Dan
kami tak bisa melawan lagi, tak bisa membela hak kami lagi. Seakan kami tak punya hak untuk
hidup layak sebagai mahluk semesta.” Kata jin itu dengan suara menggelegar.
Nampak beberapa sundelbolong melirik genit dari baju putih panjang mereka, dan tiba-tiba
mereka pun ikut-ikutan menangis, keras dan melengking nyaring, membuat kepalaku sedikit
pusing.
“Ada apa sebenarnya?” tanyaku lagi meminta mereka semua tenang. Perlahan aku dekati
jin hijau itu, dan menatap matanya yang mengerikan itu dalam-dalam.
“Orang-orang itu, ibu. Yang ada di TV. Kami saat itu sedang duduk di rumah kami, saat
kemudian mereka datang mengusir kami. Aku melawan dengan sekuat tenaga. Tetapi tak kuasa.
Anakku ditangkap dan dimasukkan ke dalam botol mereka.” Kata jin itu lagi. Kini menangis makin
keras, “Huuuuuuaaaaaaaaa.......”
Kuambil empat batang dupa dari meja kerjaku dan segera kuhidupkan ujungnya dengan
sulutan api, dan segera kutancapkan ke pedupaan yang dipenuhi oleh beras dan biji-bijian
kacang. Perlahan kuambil pisau upacaraku, dan melihat cermin suci anti serangan gaib di sana.
Bagaimanapun jin itu tetap mahluk berbahaya. Menjadi konselor untuk mahluk-mahluk gaib sama
saja bahayanya seperti resiko kerja pawang ular atau buaya.
“Para pemburu hantu itu mengusik kehidupanmu?” tanyaku.
“Ya, ibu. Mereka menangkap anakku. Huhuhuuuuuuuu.” Tangisnya makin mengeras.
“Kau ingin aku melakukan apa, nak?” tanyaku lagi pelan. Mataku sedikit tertunduk.
“Aku ingin anakku lagi, ibu... aku rindu....” kata jin itu lagi.

53
“Ya, bu. Mereka kemarin juga menangkap ayahku. Sekarang aku menjadi sebatang kara.
Entah apa yang akan mereka lakukan pada ayahku, memenjarakannya, menyiksanya,
memaksanya untuk berpindah kepercayaan?” Kata sesosok siluman macan muda, nampak
sangat bersedih. Wajahnya yang berbulu, dan bermata kuning, nampak sendu. Taringnya pun
bergetar hebat karena menahan marah.
“Tetapi mereka khan sangat kuat. Apa kau tak kasihan pada ibumu ini, jika hancur kalah?”
tanyaku.
“Tetapi kepada siapa lagi kami akan mengadu ibu?” tanya seorang tuyul, sambil memain-
mainkan gelang kristal yang kuberikan padanya.
Aku memandang wajah-wajah dan bentuk-bentuk yang mengelilingiku di ruangan ini. Dan
menghela nafas panjang sekali.
“Biarkan ibu bermeditasi sejenak, anak-anak. Ibu ingin minta petunjuk pada para leluhur
ibu dahulu. Tanpa bantuan mereka, tindakan ibu hanyalah sebentuk bunuhdiri.” Kataku pelan.
Nampak wajah mereka menunduk lesu, menyisakan harapan-harapan yang mulai menipis
dan memudar. Tetapi mereka nampak masih mengandalkanku, membuatku sejenak berusaha
tersenyum lebar pada mereka semua. Perlahan-lahan wewujudan itu mulai pergi lenyap dari
ruangan kerjaku. Membiarkan aku kembali sendirian. Suamiku nampak pelan-pelan membuka
pintu kerjaku. Nampak wajahnya yang masih belum bercukur itu mengkernyit, bertanya-tanya
tentang apa yang sedang terjadi.
“Ada apa gerangan lagi, ma?” Tanyanya.
Aku menatapnya kosong, mungkin semenit dua menit. Sebelum akhirnya membuka
mulutku.
“Itu. Aku nampaknya harus menghadapi lagi para pemburu hantu itu.”
Wajah suamiku nampak menjadi murung, dan ia berjalan pun masuk ke dalam kamar
kerjaku. Perlahan duduk di samping kiriku.
“Kau sadar siapa yang kauhadapi?” tanyanya tajam.
“Ya. tetapi aku harus. Kau tahu kenapa aku menggeluti bidang ini?” kataku lagi.
“Tetapi apakah kau tak bisa melakukan hal yang aman-aman saja? Seperti jadi peramal
tarot misalnya. Dengan itu kau khan sudah mendapatkan uang yang amat cukup, tanpa harus
membahayakan nyawamu?” katanya. Ia tak bisa lagi menyembunyikan keresahannya. Selalu saja
ia mempersoalkan hal itu. Membuatku sebal. Tetapi aku tahu betapa ia sangat mencintaiku.
Mungkin karena hal itulah ia selalu meminta aku menjadi seorang peramal biasa saja.
“Tetapi aku khan punya banyak hutang budi pada mereka.” bantahku.
“Ya. tetapi kau khan saat ini sendirian, bagaimana bisa melawan kebengisan para
pemburu hantu itu?” tanyanya. Wajahnya kelihatan makin pucat saja, membuat guratan wajahnya
yang mulai menua makin kelihatan kelelahan.
“Aku akan minta bantuan para tetua.” kataku.
“Apa mereka akan mau? Dan bisa apa mereka?” tanyanya.
“Sudah 500 tahun. Mungkin mereka sudah tak sabar lagi untuk bertindak.” kataku sedikit
berharap.
“Ya, sudahlah. Mana mungkin aku bisa melarangmu. Tetapi ingatlah. Hati-hatilah selalu.
Jika para tetua tak mau, jangan nekad ya...” ia memeluk dan mencium pipiku mesra. Rasanya
agak geli juga bulu kasar berbulu itu menyentuh pipiku. Aku pun tersenyum saja. Memandanginya
berlalu dari kamar kerjaku, dengan perlahan-lahan menutup lagi pintu kayu berukirkan mantra
tulisan kuno, yang selalu tak lupa kulapisi dengan bendera doa khusus warisan dari guru besarku.
Aku kembali memejamkan mata, menyedot dalam-dalam bau wangi dupa. Tanganku
pelan-pelan memutarkan gerakan khusus sambil menggengam erat tongkat sihir dan pisau suci.
Di depanku sepuluh buah keping koin tembaga kuno yang berserak, menandakan sesuatu makna
gaib peperangan. Sementara itu sebuah cawan besi, bergoyang-goyang pelan menggetarkan
permukaan cairan arak merah upacara yang berbau harum di dalamnya. Papan suciku kutatap

54
dalam-dalam, meresapi huruf-huruf yang seperti cacing itu, yang seolah menyedot diriku masuk
ke dalam meditasi yang makin lama makin dalam.
Nampak di dalam keheningan samadi, beberapa wajah kawan-kawan. Lelaki perempuan.
Tua muda. Mereka semua bergumam melantunkan kode-kode mantra yang menjadi pemersatu
gerakan perlawanan kami.
Seorang tetua nampak mendekatiku dengan wajahnya yang bergurat-gurat keras ditempa
perjuangan dan penantian.”Kenapa anakku, kau bersikeras melawan mereka? Kau tahu bahwa
sudah limaratus tahun kita menyerah kalah pada kekuatan mereka. Belum waktunya kita kembali
lagi.” Ia menatapku dengan tajam, separuh mencela.
“Oh, tetua. Apa lagi jawabanku, terhadap kesedihan para mahluk yang menderita? Apakah
tetua juga akan tinggal diam jika menghadapi kondisi seperti yang saya alami?” kataku ganti
mencelanya.
Ia nampak sedikit terkejut, tetapi tidak bisa marah. Mungkin kata-kataku adalah sebuah
kenyataan yang membuat mulutnya terbungkam, dan hatinya pun pasti kembali teriris karena sakit
hati, terhadap kesewenang-wenangan para penindas ghaib yang melanda tanah Jawa ini.
Pelan-pelan seorang tetua yang lain, dengan sanggulnya yang berwarna putih
mendekat.”Kau tahu nak, kita pun ingin melakukan kerja perlawanan ini. Tetapi apakah sekarang
saatnya?”
“Saya tak tahu, wahai guru. Jika saya tahu, maka saya tak akan mengganggu samadi
sunyi kalian.” kataku pelan.
“Betul guru. Betul guru. Kita lawan mereka.” teriak beberapa teman-teman sebayaku,
nampak mengacung-acungkan tongkat sakti mereka.
Tetua mengangkat tangannya ke atas, memamerkan tongkat emasnya yang berbalutkan
pisau bajranya, meminta semua diam terlebih dahulu. Perlahan suara teriakan surut dalam
landasan tak berbatas dan diselimuti mega putih ini.
“Baiklah. Saudara-saudara. Hal ini bukan hal yang mudah, dan resikonya adalah besar
sekali. Mungkin kita nanti akan menang, atau akan terusir selamanya dari muka bumi ini. Jadi
camkan sebelum kalian menentukan pilihan kalian. Kita akan voting.” Katanya.
Kebijakannya itu membuat kami semuanya puas. Pelan-pelan kami pun segera berderet
memasukkan jarum kuning ke dua buah kotak gaib yang menunjukkan tanda setuju dan tidak
setuju untuk bertarung mengahdapi para pemburu hantu itu. Nampak berratus-ratus cenayang
liberal antri memasukkan pilihan mereka. Nampak wajah mereka yang tegang, walau sebenarnya
sebagian besar nampak demikian gembira karena harapan perjuangan sedikit terbuka. Biasalah,
anak muda suka pada petualangan.
Setelah semua orang memilih, dan mulai duduk bersila lagi melingkar di atas awan gaib
itu, pelan-pelan tetua pun mengangkat dan memangku kedua kotak itu di antara kedua lututnya,
dan mulai membacakan himne yang sangat indah, tentang kebebasan dan perubahan-perubahan
tanda alam. Ia menyebut berbagai nama rasi bintang, jenis-jenis mahluk hidup, dan bagaimana
mereka berlarian menuruni bukit dan sungai, menyambut kehidupan yang keras namun penuh
janji. Dan kami semua para cenayang muda pun mengikuti lirik itu dengan himne kami sendiri,
seolah mengisi ceritanya dengan cerita-cerita lain, tetapi dengan ruh dan jiwa yang sama. Pelan-
pelan ia pun membuka kedua kotak emas itu, dan nampak di mata kami, bahwa kotak “melawan”
mendapatkan jumlah jarum yang amat banyak. Air mataku pelan-lahan mengalir karena haru dan
girang. Nampak banyak wajah yang gembira dan mengikuti tangisku dengan tangis mereka,
sebagian lagi bersorak sorai dengan gempita. Nampak para tetua tersenyum dengan wajah-wajah
keriput mereka. Rambut-rambut memutih dan panjang mereka, nampak berkibar-kibar pelan
terkena angin langit samadi, dan pelan-pelan langit pun menjadi semakin kelam di sekelilingku.
Aku pun bisa melihat meja kayuku kembali, dan mencium lagi bau harum gabungan terbakarnya
hio dan uap arak merah. Aku pun menghela nafas panjang.
Dalam meja ruangan kerjaku, kubawa TV 5 inciku, dan mulai memutar chanel stasiun TV
itu. Nampak beberapa sosok dengan jubah dan surban putih berputar-putar dengan keras dan

55
mengerikan, membuatku merinding karena tahu apa yang mereka inginkan. Nampak mereka
berguling-guling dan berlari mengejar-ngejar beberapa mahluk gaib yang hendak mereka usir atau
tangkap dari tempat tinggal mereka selama mungkin berabad-abad. Aku sampai menangis sedih
menatap peristiwa itu, sama seperti saat aku melihat bagaimana para Trantib mengejar-ngejar
dan mengobrak-abrik barang dagangan pedagang kakilima di kotaku. Bagiku yang bisa melihat
nyata secara gaib, aku bisa melihat bagaimana para penggusur yang berjubah dan bersorban
putih itu nampak menghancurkan mejakursi, perabotan, bahkan harta-harta warisan dan foto-foto
keluarga para mahluk gaib itu. Nampak anak-anak para mahluk gainb menangis, sementara
orangtua mereka sedang bertarung mati-matian menghadapi para penggusur itu.
Sementara itu para manusia pemilik rumah yang menginginkan penderitaan para mahluk
gaib itu nampak demikian kagum dan terpana pada akting para pemburu hantu itu. Pada satu
sken, ibu pemilik rumah dibuka mata batinnya perlahan sehingga ia bisa melihat wewujudan
mengerikan yang sedang marah. Aku tahu bahwa mahluk-mahluk itu mengerikan. Namun mereka
pasti tak tahu dan tak bisa membayangkan, bagaimana sama marahnya mereka jika tiba-tiba
rumahnya digusur dengan kekerasan oleh pemerintah, apalagi jika penggusuran itu didasarkan
dengan alasan-alasan kebenaran yang manipulatif dan penuh kebohongan.
Aku sudah tak tahan lagi melihat peristiwa itu. Perlahan aku menghapus airmataku, dan
menghela nafas panjang, menghilangkan kesesakan di dadaku. Kini aku pun mulai menyerang
mereka, bersama-sama dengan teman-temanku yang sama-sama sedang menyaksikan acara
televisi. Kubacakan mantra penyerangan yang paling kuat kepada mereka.
Nampak seorang pemburu hantu yang paling muda bergulingan kesakitan saat halilintar
suciku menghantam dadanya. Dua temannya berlarian panik dan kaget sambil membaca ayat
suci, saat tahu bahwa temannya terkena serangan gaib. Seorang teman seniornya bergerak gesit
memasang benteng bola emas gaib ke tubuh teman mudanya, saat salah satu tokoh antagonis
berjubah yang lain, yang terlihat paling senior dengan jenggot tebalnya mulai membacakan wirid
untuk balas menyerangku. Aku tersenyum, tahu bahwa tindakannya akan sia-sia. Tubuhku sudah
terlindungi oleh salah seorang temanku bernama Gopi.
Brummmmmm. Aku tiba-tiba kaget sekali. Perutku terasa sakit sekali, ketika sebuah ayat
suci telah berubah menjadi pedang melengkung yang menusuk perutku. Ternyata serangan
mereka bisa masuk.
“Bajingan kalian. Aku hanya memperingatkan kalian untuk tak berbuat jahat, sementara
kalian kini hendak langsung membunuhku.” Kataku keras secara batin, kepada mereka. Tanganku
mulai memutarkan gerakan roda suci untuk memasang pisau Xena. Siap untuk bertarung mati-
matian. Nampak di layar gaibku teman-temanku pun sudah mulai memasang senjata-senjata
mematikan mereka.
Tiba-tiba terdengar sebuah suara melengking. “Kami sudah siap, wahai dukun kafir. Kami
dilindungi juga oleh kekuatan batin para aulia. Aku peringatkan. Sadarlah, dan taubatlah, sebelum
kami menghancurkan kalian.” kata lelaki berjubah putih itu berusaha tersenyum memuakkan.
“Taubat? Mending kalian yang taubat dari kejahatan kalian. Huh dasar penindas tak tahu
diuntung.” kataku keras. Tanganku deras memutar piringan Xena, sambil membaca mantra
perang.
“Jika kalian tak mau bertobat. Maka biarlah kalian musnah dan memasuki neraka.” kata
lelaki itu tajam, membaca ayat sucinya lagi. Aku menjadi demikian marah, karena merasakan
betapa kelamnya energi yang ia kirimkan kepadaku.
Aku pun memejamkan mata dan mulai melontarkan piringanku ke orang itu. Zinggggg.
Lemparanku menerjang deras, dan ia pun terpental hebat ke belakang dengan wajah kaget dan
kesakitan. Ia muntah darah.
Tiba-tiba saja acara TV itu menjadi kacau. Pembawa acara perempuan itu nampak
berlarian mendekat panik ketika melihat salah satu tokoh penangkap hantu jatuh tertelungkup
sambil muntah darah.

56
“Cut-cut.cut” teriak seorang berjubah dari belakang yang berlarian panik, sambil
mengangkat ujung jubah ke atas. Aku tak tahu siapa dia. Auranya berwarna lembayung. Aku
belum pernah melihat sosoknya selama ini, walau bisa merasakan energinya yang demikian besar
dan kelam. Oh ternyata ialah yang selama ini berada di balik layar acara itu. Biji-bijian tasbihnya
nampak memerah siap digunakan untuk berperang.
Tiba-tiba saja acara TV itu terhenti, dan terdapat tulisan besar, “Maaf acara terhenti karena
gangguan teknis.” Tiba-tiba saja acara TV itu berubah menjadi pertunjukan sirkus. Aku pun
tersenyum simpul.
Aku memasang ulang dupaku, dan mulai mengangkat cawan suci berisi arak, dan
meminumnya habis hingga tubuhku menjadi hangat. Kutuang lagi cawan itu dengan anggur dari
botol Shirash di mejaku. Terasa sebuah serangan yang hebat lagi masuk keruanganku. Blung.
Terasa meja-meja bergetar, sementara bendera suci di ruanganku bergoyang-goyang. Foto diri
guruku nampak berderak, lalu berdebum jatuh.
“Kurangajar. Bedebah kalian.” Teriakku marah, sambil menyerang lagi mereka dengan
pisau suci di tangan kiriku. Kuacungkan benda itu tinggi-tinggi dan kuhunjamkan ke kepala
seorang lawanku. Nampak surbannya lerlempar dari kepalanya yang pecah berantakan, dan ia
pun jatuh berdebum. Aku makin memicingkan mata, dengan keringat bercucuran. Nampak di layar
lembaran suci di atas mejaku pertunjukan pertempuran ini, seperti sebuah perang star-wars.
Aku mendengar berita gaib dari seorang kolegaku, bahwa seorang rekan telah tewas
terkena serangan gaib dari sebuah kota tua di Jawa Timur. Kini nampaknya peperangan ini sudah
melanda pulau ini secara menyeluruh.
Aku pun mendapatkan serangan-serangan dengan jumlah tak terkira dari berbagai
jurusan. Aku pun balik menyerang, sambil melindungi diriku dengan bola telur kristal raksasa yang
diperkuat dengan jeruji gaib dari tanah es utara. Seranganku perlahan menyergap beberapa
penyerangku, sehingga lima orang diantaranya terjatuh karena stroke, sementara salah seorang
yang lain tewas karena jantungnya tak kuat.

----

Peperangan ini berjalan alot, dan berlangsung berhari-hari, membuatku kelelahan


luarbiasa. Kami membuat shift setiap 8 jam sekali, sehingga kami semua bisa saling melindungi.
Banyak diantara kawan dan lawan yang tewas. Kejadian ini merupakan hal yang luarbiasa.
Banyak berita media yang mengulas tentang kematian tokoh-tokoh penting yang misterius dan
bertubi-tubi.
Entah berapa lama lagi konflik ini akan berlangsung. Nampaknya peperangan ini tak akan
berpengaruh cepat pada kehidupan negeri ini. Karena pertarungan kami adalah pertarungan yang
tak difahami oleh masyarakat awam. Mereka hanya hidup dengan keyakinan-keyakinan dan
pemahaman rasional biasa, dan demikian juga kehidupan diatur oleh hal-hal yang rasional dan
awam pula.
Sementara kami berperang, kehidupan masyarakat tetap berjalan normal. Sementara itu,
kami telah secara gaib berhasil menguasai secara total sebuah kawasan gunung suci di
perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kami pun mulai mengungsikan para mahluk gaib yatim
piatu dan pengungsi-pengungsi gaib lainnya di sana. Kini nampaknya para pemimpin lawan kami
faham, bahwa kekuasaan mereka perlahan-lahan akan habis pupus dari pulau ini. Mungkin
perubahan yang nyata dalam kehidupan rakyat akan terasa sekitar 10 tahun lagi, saat liberalisme
dan demokrasi benar-benqar akan difahami oleh masyarakat banyak. Aku yakin sejak waktu itu,
para mahluk gaib akan bisa hidup berdampingan secara damai dan saling menguntungkan
bersama manusia.

tao

57
tanaman-tanaman bergerak melawan arah tumbuh mereka yang biasa. kebanyakan dari perdu-
perdu itu langsung nyungslep ke dalam tanah berdebu yang tak memiliki arah lurus sejarah. dan
dengan serta-merta semua tanah merekah retak kesana-kemari memperlihatkan diri pada
matahari yang bergulir bosan, menyatakan bahwa ada semacam intruder yang tidak berguna
sedang menusuk-nusuk bilur-bilur mereka. apakah gunanya daun-daunan yang tumbuh duri di
dalam tanah yang basin dan kerontang merah itu? apakah untuk menyembunyikan dirinya dari
matahari yang tak juga peduli? tetapi memang tak pernah lagi ada air atau oksigen yang datang
ke dalam tanah dengan gratis. semuanya harus dibayar dengan berbagai bangkai binatang dan
manusia yang turut juga nyungslep ke dalam tanah itu. seakan menjadi semacam kutukan yang
pasti dari sang mahakuasa, bahwa memang tanah itu adalah pusat tumbuh dan mati. andaikan
ada semacam gambaran tentang realitas yang bisa direntangkan.. bahwa tanah itu.. seluas sekitar
100 meter persegi saja, memuat sejarah semilyar suara sekarat. jadi semua orang akan kaget
terkaget-kaget pada fenomena yang luarbiasa tersebut. dan kemudian akan bersembahyang
khusuk, penuh ketakutan dan pasrah. tanah itu berwarna coklat, seperti biasa tanah yang tak
direstui oleh mahluknya, hanya menyisakan kenangan bahwa dalam setiap sentimeter kubiknya
terdapat proses makan memakan, dan disitu, segala kehidupan bergantung pada kuburan dan
bangkai. tak ada kebijaksanaan apapun, karena yang ada adalah realitas dan kiat-kiat hidup
belaka. dan segala macam ulat, kadal, daun, lidah-lidah manusia yang membusuk, kotoran, dan
penyakit bersatu padu seperti melakukan sebuah meditasi akbar yang menjijikkan. dan bahkan
muntahan dari orang-orang dan binatang berakal lain yang muak dan sedih atas realitas itu bakal
terserap masuk dan turut terolah menjadi comberan kehidupan itu. demikianlah segala yang
dinamakan tanah sejengkal dan sepetak itu dengan kebijakan alami, tao of reality.

Piano
Sebuah Memoir Kecil

Aku masih ingat. Tuts piano itu kupegang-pegang, kuketuk-ketuk. Tung…!! Suara nyaring
terdengar, membuat hatiku khusuk. Saat kecil aku sering dolan ke RRI saat siang pulang sekolah
dijemput oleh ibuku. Karena ibuku biasa pulang kantor jam 4 sore maka aku terpaksa sering jalan-
jalan menggelandang ke berbagai sudut RRI, masuk ke koridor-koridor sempit yang tenang dan
bersih, menatap langit-langit yang begitu tinggi, disangga dinding –dinding yang sangat kokoh dan
tebal. Hawa di sana sangatlah sejuk, dan suara sekecil apapun akan terdengar menggema, dan
kemudian bergaung hingga ke ruangan-ruangan lain di sekelilingnya.
Gedung kuno itu memang menyimpan banyak rahasia. Banyak lorong-orong yang mungkin
orang RRI sendiri jarang memasuki. Salah satu ruangan itu adalah sebuah studio kuno, dengan
penerangan remang-remang. Di sana tersimpan Cello, dan kontra-bass kuno, sebuah piano, dan
sebuah drum yang sudah jebol. Ruang studio itu tak pernah lagi dimasuki orang karena saat itu
tiga studio lain yang lebih modern sudah sangat mencukupi untuk siaran-siaran mereka. akhirnya
ruangan itu memang lebih serupa seperti gudang alat musik belaka.
Aku saat itu kecil, dengan tubuh kurus dengan mata cekung yang murung, duduk beringsut
dengan suntuk di depan piano yang sudah kuanggap menjadi milikku sendiri. Semua pegawai RRi
sudah tahu tentang diriku, sehingga aku dengan santai bisa keluar masuk ke ruangan itu. Apalagi
menurut mereka tak ada barang berharga disana. Yah, saat itu memang negara ini masih cukup
kaya untuk bisa mengonggokkan alat-alat musik mahal itu hingga berdebu.
Aku ingat sekali ciri-ciri piano itu. Sebuah piano grand panjang berwarna coklat, nampak
demikian kokoh dengan tiga kakinya yang berukir-ukir. Kapnya selalu terbuka, dan setiap ketuk
tuts menggaungkan nada-nadanya ke seantero ruangan.Tetapi nada-nada atasnya sudah kacau

58
balau, mungkin karena lama tidak disetem. Toh bagiku itu adalah ciri-ciri yang istimewa darinya.
Membuat aku bisa mengenali ia luar dalam, memahami luka-lukanya. Pernah aku iseng
membawa tang ayahku, dan mencoba menyetem sendiri dawai-dawainya. Kuputar sekuat tenaga,
dan kucoba ketuk-ketuk tutsnya menyesuaikan nada. Dengan repot aku tak berhasil menemukan
nada yang sesuai, dan malah membuatku keringatan penuh di ruangan itu. Aku saat itu sangat
takut andaikan ketahuan oleh pegawai studio. Untung saja mereka seperti biasa tak kunjung hadir.
Aku tetap sendirian di sana, penuh peluh di tubuh kurusku. Paling tidak aku pernah mencoba
memperbaikinya.
Aku beringsut, duduk menunduk di depan piano itu. menekan tuts. “Tungg!! Tung-tungg!!”,
terdengar nada yang lain, beraneka ragam. Aku sebenarnya tak bisa main musik apapun. Bahkan
sekedar harmonika ataupun suling pun, kumainkan di pelajaran kesenian dengan sumbang.
Tetapi di sini aku merasa santai sekali, dan merasa seperti seorang grandmaster piano yang
tengah memainkan sebuah resital termegah.
Dengan penuh perhatian dan perasaan kumainkan jari-jariku di piano itu. kuketuk-ketuk
dengan mengira-ira gabungan suara-suara dengan naluriku. Kumainkan cepat, lambat, keras,
lunak, dengan segala macam cara kukerahkan nalarku untuk menemukan sebuah harmoni.
Dengan keras kepala aku berusaha menemukan nada-nada terindah yang bisa kubayangkan.
Apapun nada yang kurangkai, perasaanku selalu menjadi terhanyut seperti masuk di alam yang
tak pernah bisa diduga. Setiap aku memainkan, selalu hadir suasana hati yang selalu berbeda.
Suatu saat menyenangkan, suatu saat begitu menyedihkan, bahkan membuatku ingin berteriak
histeris. Nada-nada yang kumainkan seakan menuntunku ke arah sebuiah penjiwaan. Selain itu
suasana hatiku pun mengarahkan aku pada nada-nada tertentu. Nada-nada tertentu seperti
membuncah perasaan-perasaan tertahan yang kupendam. Sering aku baru berhenti bermain saat
diriku sudah menangis mengguguk di depan piano itu.
Sering kupegang dan kuelus deretan-deretan rapi putih hitam itu. Deretan yang sangat
matematis dan membuat naluri-naluriku menemukan formula dan formasi-formasi nada unik
daripada dan terhadapnya. Sering kutatap deretan itu, sambil kuusap, menghilangkan debu-debu.
Ada sebuah tuts yang retak, dan kuanggap sebagai luka ciri utamanya, yang makin membuatku
makin sayang dan ingin melindunginya.
Yah, setiap hari aku bercanda dengan benda itu. Suasana remang-remang dan sendirian
membuatku tenggelam dalam permainan itu. Sejauh itu, aku lebih banyak merasakan kesenduan,
kemurungan. Ia kuanggap teman dan juga juru bicaraku yang jujur. Kurasakan rasa itu mengalir
bersama jari, bersama nada yang terdengar, dan seperti menembus ke langit-langit, dan juga
menghantam-hantam dadaku. Kumainkan keras lebut, tust warna putih dan hitam. Dan ia dengan
berani dan jujur menyatakan nada, mewakili rasa-rasa dan fikiranku. Aku sering merasakan
menemukan sebuah karya. Kuingat-ingat dan kucoba mainkan lagi terus. Kuanggap karya yang
luarbiasa, dan membuatku bangga, melupakan kesedihan-kesedihan yang sering datang tiba-tiba
padaku. Kini aku telah sedikit lupa urut-uruitan nadanya, tetapi kuyakin saat memegang piano itu
lagi akan teringat.
Kini aku sudah tak pernah lagi datang ke gedung itu. Ibuku kini telah meninggal, dan
perlahan-lahan kulupakan banyak detail dalam gedung itu. Beranjak dewasa kutinggalkan kota
kenangan kecilku itu. Meninggalkan segala gedung-gedung dan orang-orang yang kukenal. Tetapi
masih kuingat rasa dentam bening itu di dadaku. entah apakah piano itu masih ada, ataukah
ruangan itu sudah digunakan untuk membuat sebuah studio yang lebih canggih dan modern.

Warung Sesat

“Apakah botol itu masih terisi banyak?”

59
“Beres. Cukup banyak untuk memuaskan nafsu makan seribu orang.”
“Tetapi harus sangat irit. Jangan lebih dari satu sendok. Jika lebih dari itu maka akan
ketahuan.”
“Beres. Siapa mau usaha busuk kita ini ketahuan?”
“Dan jangan ulangi kata-kata beresmu itu lagi.” Kata Tari sambil bersungut-sungut.
Nampak Rina tersenyum masam dan berbalik, berjalan pelan-pelan sembari memeluk botol besar
berwarna hijau itu. Disanalah sumber pendapatan ekonomi mereka paling bergantung. Tari
menatap tubuh rekannya yang berbalik dan keluar dari ruang penyimpanan rahasia kami. Disini
banyak hal-hal aneh yang tersimpan. Bahkan baginya pun yang menjadi pemilik, semua hal itu
adalah barang-barang ajaib dan menjijikkan. Tari merinding sejenak saat memandang salahsatu
botol yang tergeletak dekat dengan dirinya. Di dalamnya terdapat larutan arak yang merendam
hingga terbenam sewujud ular berwarna hitam bersisik merah, yang kini sudah mulai mengelupas
warnanya, menyatu dengan warna bening arak yang berbau harum.
Tari menggigil lagi saat melihat botol lain yang tergeletak, sebuah botol hijau yang
menyembunyikan cakar buaya yang sama-sama terendam arak. Botol kecil lain menyimpan lintah-
lintah yang mulai mencair karena direndam dalam minyak zaitun dan garam. Semuanya
menjijikkan. Tetapi hal-hal menjijikkan itu masih kurang mengerikan dibanding beberapa botol
toples besar yang terderet rapi di atas rak. Tari memandangnya pelan, lalu menggigil, karena
mual.
“Dengan ramuan-ramuan ini, maka mi akan terasa enak.” Tari masih ingat apa yang
dikatakan oleh Yeni, pasangannya berbisnis. Yeni adalah seorang mahasiswa kedokteran yang
agak aneh, yang dengan kacamata tebalnya selalu berhasil menyembunyikan rona mata
coklatnya yang tajam menusuk. Mereka bertiga, bersama Rina, mengelola warung mi ini. Saat ini
Yeni sedang PTT di pulau Alor, NTT. Selama ini tugas Yenilah yang memasok barang-barang
aneh dari laboratorium kampusnya di Salemba.
Tari toh selalu saja berdebar-debar, masih teringat bahaya yang sedang dilakukan Rina.
Tari ingat apa yang dibawa oleh Rina, botol rendaman satu ons ganja yang begitu sulit ia impor
secara khusus dari Aceh. Konon setelah ia mendapatkan ganja itu, saat para penyelundup itu
mencoba mengirim lagi dos-dos ganja mereka ke Jawa, mereka tertangkap tangan di terminal bis
di Medan. Entah bagaimana nasib mereka, dan berapa tahun hukuman penjara mereka harus
lakoni. Tari menghela nafas panjang, dan sedikit berdebar karena bersitan perlahan ketakutan dan
rasa bersalah. Ia tercenung menatap ke arah kanan. Satu buah botol lain yang tersembunyi dalam
kotak khusus itu adalah rendaman satu gram bunga poppy. Mungkin orang akan lebih
memahaminya sebagai opium. Mungkin asalnya dari Birma, atau bahkan Afghanistan. Ia tahu
bahwa Rina tak terlalu berhati-hati.
Apa gerangan yang menyebabkan mereka menyimpan hal-hal yang aneh dan berbahaya
itu? Jika kita menilik tempat itu dari luar, yang terlihat adalah sebuah warung bakmi yang amat
laris didatangi pembeli. Nampak gerombolan pembeli duduk-duduk, berkipas-kipas, dan antri
untuk bisa menikmati bakmi goreng atau bakmi rebus buatan mereka. Sebagian besar tak tahu
apa yang menjadi rahasia sejati kenikmatan yang membuat mereka kecanduan makan disana.
Setiap mangkok mie rebus atau goreng, Tari dan Rina selalu membubuhkan satu sendok ramuan
khusus.
Di pojok ruangan itu nampak seorang lelaki berkernyit heran. Kepalanya yang berambut
cepak dan wajahnya yang keras, menyiratkan sebuah paduan abadi kecurigaan dan semangat
pembuktian kasus-kasus kejahatan. Ia memang dilahirkan untuk terus mencuriga. Dan penciuman
dan nalurinya pun setajam anjing pelacak. Dan ia adalah seorang serse yang faham tentang
barang apa yang sedang ia nikmati sekarang ini di depan hidungnya dan sedang mengalir di lidah
dan mulutnya. Bakmi ganja. Ia sadar, namun juga agak heran.
“Ini ganja dan apa lagi ya? Agak aneh rasanya legit-legit anyir gimana gitu. Brrr.... apa
mereka campurkan daging bayi, seperti kasus tahun 80-an dulu?” Serse itu menggigil ngeri dan
pelahan memuntahkan mi itu ke luar pagar.

60
Pelan-pelan ia mengambil HP di saku celananya dan mulai membuka fitur new text
message. Ctik-cti-ctik. Ia pun mulai menulis sms ke kesatuannya. “ada ganja disini.jg ada yg
aneh.segera dtg bw bantuan.wrng mi,jl.bungur13 jaksel.jm12pm, hati-hati&jgn menyolok.” Selesai.
Dan kemudian ia segera mengirimkannya. Send... Delivered... Ia pelan-pelan mencoba bersikap
wajar dan tetap duduk di depan meja makannya, dan tak sadar mulai menghirup kopi panas yang
masih mengepul di depannya. Tiba-tiba ia sadar diri dan menyemburkan kopi itu lagi keluar,
khawatir ada zat-zat aneh lagi yang masuk ke dalam perutnya.
Di ruangan penyimpanan, nampak Tari menatap nanar pada perilaku aneh yang dilakukan
oleh serse itu di warungnya. Ia memantau terus lewat kamera CCTV kecil yang ia letakkan empat
buah di ruangan warungnya, langsung ia sambungkan ke monitor komputer di ruangan itu.
Dengan mousenya ia perlahan men-zoom apa yang ditulis lelaki itu di layar HP. Tari terkesiap
membaca teks yang tertulis, dan dengan cepat ia pun mulai mengontak Rina dan kru yang lain
dengan HP-nya. Ia menginsert template khusus langsung ke badan teks, “kita ketahuan.kode
alertA&tindakan secepatnya.” Send...delivered... Itu berarti gerakan cepat untuk menyembunyikan
semua bukti yang tertinggal dalam warung itu. Atau lari secepatnya.
Dengan cepat lima orang kru Tari segera keluar mendatangi meja-meja, dan mengambil
secara tergesa-gesa dan pakssa mangkok-mangkok mie yang masih tersisa di luar.
“Lho, kok diambil. Aku masih separoh makan.” Gerutu seorang pelanggan saat
mangkuknya tiba-tiba diambil paksa oleh kru warung.
“Nanti mbak. Nanti akan diganti lagi yang lebih enak. Sekarang ini kami harus
mengambilnya karena makanan ini nampaknya kurang matang.” Kata kru dengan kaus hitam itu
sedikit mendelik.
“Lho.... kok kasar gegitu?” ibu itu nampak pucat pasi melihat apa yang dilakukan orang itu.
Ia sangat heran dan curiga terhadap apa yang terjadi. Tetapi ia membiarkan saja tindakan itu, dan
mulai mengemasi barang-barang belanjaannya sembari menyeret anak lelakinya yang mulai
menangis keras, membawanya pergi cepat-cepat keluar dan mencegat taksi.
“He. Jangan diambil dulu. Saya masih ingin makan. Ini gimana sih.” Teriak serse itu
bersitegang dengan kru yang berbadan tegap itu. Ia saling tarik menarik mangkok dengan kru itu,
hingga sebagian kuahnya berhamburan tumpah ke lantai.
“Kasar sekali kalian. Jangan main-main ya... Saya polisi. Jangan dikira saya bodoh. Saya
tahu apa isi mi ini. Kalian semua akan kutangkap.” Teriak serse itu sadar bahwa gerak-geriknya
selama ini telah ketahuan oleh fihak pemilik kedai mi itu.
“Tidak peduli pak serse. Saya harus mengambil mie ini. Dan anda tak punya kemampuan
lagi untuk melarang tindakan kami. Atau kami akan melakukan tindakan tegas pada anda.” Kata
kru berbadan besar itu. Nampak dua orang kru lainnya lagi yang berbadan tegap dan berwajah
seram mendatangi dan mengepungnya.
Serse itu nampak sangat tegang menghadapi peristiwa itu, dan dengan cepat merogoh
sesuatu di balik jaketnya. Tetapi sebelum ia sempat menarik pistol yang selalu siap sedia ia
selipkan di ketiak kirinya, ia merasakan sebuah rasa sakit menyengat di lengannya. Ia menoleh
dan ia melihat kedua lengannya telah dicengkeram erat oleh lelaki-lelaki tegap berkaus hitam itu,
dan kini secara paksa disuntik dengan sebuah cairan berwarna kehitaman. Ia terkesiap dan
berteriak memberontak. Tetapi matanya pelan-pelan menjadi berkunang-kunang, dan ia
merasakan tubuhnya lemas sekali. Secara cepat dunia menjadi gelap gulita baginya.
“Tidak sempat lagi. Tidak sempat lagi. Kita evakuasi.” Teriak Tari panik. Ia segera berlari
ke arah luar dan masuk ke mobil kijang kapsulnya, menstarter.
“Hoi semuanya. Masuk. Sudah tinggalkan saja. Kita harus segera pergi dari sini.”
“Baik.” Kata empat orang kru itu serempak sembari berlarian masuk ke mobil. Disusul dari
belakang oleh Rina yang berlari terseok-seok dengan sepatu hak tingginya, masih saja sibuk
mengemasi tas berisi uang dan di tangan kanannya, dan oh.... ia masih sempat hendak membawa
botol hijau berisi ganja.

61
“Tinggalkan saja botol itu. Lemparkan saja ke tong sampah, bodoh!! Cepat masuk. Jangan
sampai saat kita digeledah di jalan ketahuan bawa itu.” Teriak Tari marah pada Rina. Rina pun
dengan pucat membuang botol itu ke kotak sampah di luar warung mereka, dan berlari masuk ke
dalam mobil, duduk di samping Tari yang berada di belakang kemudi. Terdengar dari arah
kejauhan suara raungan sirene menakutkan yang selalu mereka bayangkan. Tari dengan cepat
tancap gas, meninggalkan tempat itu.
“Nguing...nguingg...” nampak beberapa mobil polisi berwarna coklat datang ngebut dan
berhenti di depan warung. Nampak banyak serse dengan jaket-jaket kulit tebal bergerak cepat,
menyerbu dengan pistol teracung.
“Angkat tangan semuanya. Kalian ditangkap!!” teriak salah seorang polisi itu sambil
mendobrak masuk ke ruangan dalam warung. Ia menoleh ke arah samping dan melihat rekannya,
sang serse malang itu, yang sedang duduk melongo kosong di ruangan warung.
“Hai Din. Dimana tersangkanya?” tanya polisi itu tak faham apa yang sedang terjadi. Ia
mendekati Didin dengan gembira, dan mulai menepuk bahunya.
“Ha.. apa?” kata Didin sambil terheran-heran. Ia sudah mulai siuman, dan kini duduk
separuh tergeletak di kursi warung.
“Kau ini gimana. Laporanmu tentang warung mi ganja ini. Gimana?” tanya polisi itu lagi
sambil membentak sedikit kesal pada Didin yang menatap dengan mata kosong melompong itu.
Sementara itu rombonganpolisi lain nanpak secara berhati-hati berkeliling mengepung dan
mendobrak masuk ke ruangan-ruangan yang kini sudah tak bermanusia lagi, tak ada sesuatu pun
yang tertinggal. Yang ada hanya kompor minyak dan kursi-kursi plastik yang bertebaran di lantai
serampangan. Hanya tertinggal serse Didin yang linglung.
“Lapor. Para tersangka lari pak.” kata reserse itu menghormat tegap pada atasannya yang
berdiri sambil merokok.
“Aduh. Ini Didin gimana sih. Mana dia?” kata Ajun komisaris yang berkumis itu, sambil
menyedot dalam-dalam rokok kreteknya.”
“Di luar pak. Linglung.” lapor polisi itu lagi.
“Hah? Apa yang terjadi?”
“Kami tak tahu pak. Mungkin di dalam makanannya terdapat racun atau obat bius pak..”
“Sembrono sekali dia. Harusnya ia tak menikmati makanan atau minuman lagi jika tahu
kalau disini ada yang nggak beres.” kata ajun komisaris itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
Para polisi itu berkeliling dan mengobrak-abrik seluruh sudut ruangan-ruangan warung itu.
Ada tiga ruangan. Satu ruangan yang ada di depan adalah tempat makan, di belakangnya
terdapat dapur, dan di belakangnya lagi terdapat ruangan gudang makanan.
Seorang polisi tua masuk ke ruangan gudang itu. Dan tiba-tiba terdengar teriakan dari
dalam ruangan itu.
“Huaaaa....”
“Apa? Apa?” para polisi lain berhamburan masuk ke gudang itu, sambil mengacungkan
pistol mereka. Dan mereka pun terkesiap melihat pemandangan yang ada di dalam gudang itu.
Dalam ruangan gelap itu mereka menemukan beberapa botol besar. Dalam botol itu, mereka
melihat pemandangan keji dan mengerikan. Selain ular yang melingkar-lingkar mati dalam
rendaman arak, terlihat beberapa toples bening besar yang berisi potongan-potongan tubuh
manusia. Ada tangan. Ada kaki. Ada jantung, dan juga otak besar yang berwarna keabu-abuan.
Yang paling mengerikan adalah sesosok janin bayi membengkak yang terendam penuh dalam
cairan kehijauan. Nampak matanya mendelik terbuka. Semuanya terendam dalam cairan arak,
atau entah apa.
“Panggil forensik. Juga bawa Didin segera ke RS kita. Cepat-cepat.” Teriak Ajun Komisaris
agak tergeragap. Ia tak mengira penggerebegan ini akan menuju persoalan yang lebih serius.
“Siap.” Kata seorang polisi, sejurus kemudian berderap lari, menuju mobilnya. Menjemput
dokter forensik. Nampak dua orang polisi lain memapah Didin masuk ke mobil itu.

62
“Jahanam. Padahal aku pernah membawa istri dan anak-anakku makan di sini.” Teriak
seorang polisi setengah baya dengan perut gendutnya. Wajahnya terlihat mual.
“Ya. aku pun pernah makan di sini. Memang enak sih. Tak tahunya karena daging
manusia. Hiiiii.... Bagaimana keadaan Didin?”
“Wah. Entahlah. Ia tak kunjung sadar. Sekarang dibawa ke RS.”
“Masyaallah. Bagaimana kita akan cerita pada istrinya nanti?”
“Biar pak kepala saja. Kini tugas kita menggeledah tempat aneh ini.”
“Moga-moga tak ada apa-apa pada Didin.”
“Kayaknya tak apa-apa. Ia sepertinya hanya dibius saja.”
Sementara itu sebuah mobil kijang kapsul melaju cepat menuju jalan tol Jagorawi. Di
dalamnya terdapat dua orang perempuan muda dan empat orang lelaki tegap dengan kaos
hitamnya. Ya. Tari, Rina dan empat kru khusus nampak berwajah tegang melaju masuk ke antrian
tol.
“Kita sudah aman belum?” tanya Rina.
“Stttt. Belum. Belum sama sekali. Mungkin para polisi itu sedang mengejar kita. Jangan
kelihatan tegang.”
“Ya. OK. Kita kemana sekarang?” tanya Rina lagi tak sabar. Nampak ia gemetar
mengambil sebatang rokok Mild dari saku blusnya, dan perlahan menyulutnya. Ia menyedot
dalam-dalam rokok itu, dan mengembusnya dalam-dalam keluar jendela mobil.
“Kita akan dijemput Yeni. Kita istirahat dulu di Alor.”
”Alor. Wah. Disana nggak ada apa-apa.” Gerutu Rina, sambil menyedot rokok Mildnya makin
dalam. Kini batang itu tinggal separuh.
“Juga tak ada polisi.” Kata Tari lagi masam. “Mas-mas. Kita berpisah dulu sampai di
bandara. Kalian kemana saja nanti?”
“Kami akan pulang ke Malang, bu. Naik flight yang paling cepat.” kata lelaki gempal itu
tenang. Seakan tak ada apa-apa.
“Sori ya, kami menyeret kalian dalam kejadian ini.”
“Nggak apa-apa. Kami profesional. Sudah biasa menghadapi seperti ini.
Tiba-tiba laju mobil itu terhenti mendadak. Di depan mereka nampak beberapa mobil polisi
berderet menghalang jalan. Tari menunduk lesu dan berkata pada teman-temannya.
“Kita tertangkap, kawan-kawan....”
Dalam mobil malang itu, keenam sosok tubuh itu duduk diam lesu, dikepung oleh para
polisi yang kini nampak siap siaga. Seorang polisi menghormat pelan, dan menyuruh mereka
membuka pintu kaca.
Nampak seorang serse melongok ke arah mereka.
“Maaf semuanya. Kami perlu memeriksa mobil dan surat-surat kalian.” Ujarnya tegas.
“Si.. silakan.” Kata Tari pucat. Ia memberi kode lirikan pada teman-temannya untuk segera
keluar dari mobil.
Para polisi itu kemudian menggeledah jok mobil, mengaduk-aduk karpet mobil, dan
membuka laci-laci.
Seorang polisi melapor pada Ajun polisi yang nampak duduk di dalam mobil polisi
menunggu proses penggeledahan anak buahnya.
“Bukan mereka pak.” Lapor polisi itu. “Mereka bukan yang kita cari. Mobilnya memang
warnanya sama. Tapi nomer seri kendaraan beda, dan serinya sah. Asli. Kata petugas tol, mobil
buruan kita sudah melaju sejam yang lalu.”
“Matilah awak. Wah ya sudah. Sekarang kau catat informasi anak-anak muda itu, tahan
mereka sejenak disini sampai kau yakin mereka bersih. Baru boleh dilepas. Kita segera mengejar
lagi di jalan tol. Hati-hati. Aku ngeri lihat kau membawa mobil ini ngebut.” kata ajun komisaris.
Di sekitar mobil Tari, keenam anak muda itu bersungut-sungut dengan wajah tegang dan
pucat pasi. Mereka kini sedang ditanyai nama, asal, alamat, dan tujuan mereka bepergian.
Dengan berusaha tetap tenang Tari pun menjawab semua pertanyaan, dan menunjukkan KTP,

63
STNK dan SIMnya. Demikian juga Rina dan keempat lelaki itu dengan ogah-ogahan menunjukkan
KTP mereka. Sejurus kemudian para polisi itu terlihat yakin terhadap mereka dan menyilakan
mereka pergi.
“Fuiiiih. Aku pikir kita semua sudah tamat.” Seru Rina pucat, menyeka kilauan peluh yang
mengalir di lehernya. Rina mengambil lagi batang rokoknya. Menyelipkannya di bibirnya yang
pucat dan gemetar.
“Ya. kita harus segera keluar dari tempat ini.” kata Tari.
“Tenang bu. Kita aman.” kata kru lelaki di belakangnya, yang paling berpengalaman
sebagai preman.
“Oh ya?”
“Ya bu. Kita sudah selesai sekarang. Di bandara, para polisi itu akan kehilangan jejak kita.”
Segera Tari memacu mobilnya melaju menuju bandara Sukarno-Hatta. Mereka berenam
kini duduk terdiam, berdebar-debar sambil mengharap mobil mereka segera sampai di bandara.
“Wah!!! Kenapa semuanya ini bisa terjadi. Bagaimana ini. Mereka sudah sampai dimana?”
tanya Ajun itu sambil menyedot rokok kreteknya lagi.
“Tidak tahu pak. Yang jelas kami mendapatinya sudah diparkir dua hari dua malam di
bandara Sukarno Hatta.
“Goblok!! Ini siapa yang goblok? Aduhhhh....” teriak Ajun Komisaris lagi sambil memukul
jidatnya sendiri. “Didin sudah sadar?”
“Sudah pak. Dan ia sudah membuat sketsa para tersangka. Katanya empat orang lelaki
tegap gempal. Selain itu ia tak tahu lagi.
“Terus para polisi pengejar rampok di jalan tol itu bisa memberikan info tentang dua
perempuan itu apa nggak?” tanya ajun itu lagi.
“Tidak pak. Mereka tidak sempat mencatat nama-nama mereka. Kayaknya mereka ingat
nama Nina, atau siapa gitu.”
“Gobloooooookkkkkk.” teriak ajun komisaris itu lagi. Ia pun mengangkat telepon
genggamnya. Sejurus kemudian ia pun mulai terlibat perdebatan dan perbantahan seru dengan
koleganya, seorang ajun komisaris yang sempat menghentikan mobil Tari di jalan tol menuju
bandara. Polisi bawahannya itu nampak sungkan dan perlahan mundur diam-diam dari hadapan
ajun komisaris itu.
Di pantai Alor, ketiga teman akrab itu nampak tercenung menatap deburan ombak yang
mendekat dan pergi, mengenai kaki-kaki mereka yang telanjang.
“Sampai kapan kita akan berada di sini? Lama-lama kita akan ketahuan juga.” tanya Rina
kepada Yeni.
“Kalian akan berangkat ke Filipina segera. Melewati Bali, Makassar, Manado, terus
langsung ke Manila.” kata Yeni.
“Disana ada siapa? Dan kita bisa apa?” tanya Tari bersungut-sungut.
“Ada Manuel. Ia akan menjemput kalian di bandara. Aku akan memberi fotonya kepada
kalian. Dia akan membantu menyediakan segala kebutuhan kalian. Setelah itu kalian bisa berganti
identitas dan pulang ke Jakarta. Atau ke Yogyakarta saja, lebih aman.” kata Yeni. “Uang kita
masih banyak khan?”
“Ya. Masih banyak sekali. Bisnis kita memang berjaya.” tawa Tari tergelak kecut.
“Kau tidak ikut Yen?” tanya Rina.
“Aku adalah seorang dokter Rin. Aku tak bisa meninggalkan pasien-pasienku yang ada
disini. Mereka membutuhkan perhatianku. Di pulau ini hanya aku dokter seorang. Apalagi aku
disini bakal aman-aman saja. Polisi tak tahu kita saling kenal.” kata Yeni tersenyum sambil
memandang tajam ke depan, ke laut yang memerah hasil bias matahari Timor yang sungguh
cemerlang, seperti lempengan gelombang tembaga berselaput darah.
Nampak di depan mata mereka matahari sore yang merah dan hangat semburat itu
membias di pantai Alor yang berpasir putih. Semilir angin laut Alor pun membelai rambut ketiga
sahabat itu, membuatnya berkibar-kibar deras. Di kejauhan, nampak beberapa nelayan mulai

64
menggulung jala-jala panjang mereka, sambil tertawa gembira, menyanyikan lagu tradisional
Timor yang tengah disiarkan stasiun radio lokal. Para nelayan itu menyetel radio mereka keras-
keras, berusaha menyaingi deru suara deburan ombak pantai. Berkelompok, tangan-tangan
berotot itu perlahan mendorong perahu-perahu bercadik turun ke air yang dingin. Lelaki-lelaki
legam itu dengan bersemangat berjalan menuju cipakan dan riakan ombak yang memecah di bibir
pantai yang landai, mulai naik ke kapal yang terlihat reot itu. Dengan gembira, mereka
menyongsong gelap, bersiap-siap hendak berlayar memburu kawanan ikan yang sedang jatuh
sial.

65

You might also like