You are on page 1of 11

BAB I PENDAHULUAN

Toksoplasmosis disebabkan oleh Toxoplasma gondii, protozoa intraselular obligat distribusi di seluruh dunia. Ensefalitis toksoplasma, merupakan penyebab tersering lesi otak fokal infeksi oportunistik tersering pada pasien AIDS. Di Amerika angka kejadiannya mencapai 15%-29,2%, sedangkan di Eropa mencapai rata-rata 90%. Sekitar 10-20% dari pasien yang terinfeksi HIV di Amerika Serikat pada akhirnya akan terkena ensefalitis toksoplasma. 1 Diagnosis presumtif ensefalitis toksoplasma dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan penunjang serologis dan pencitraan, baik dengan tomografi komputer (CT Scan) atau Magnetic Resonance Imaging(MRI). Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan baku emasnya dengan pemeriksaan histopatologi dari biopsi dan ditemukannya takizoit dan bradizoit. Lesi toksoplasma ensefalitis (TE) sulit dibedakan dengan lesi lainnya, meskipun demikian gambaran yang dianggap khas yaitu lesi otak fokal tunggal atau multipel yang nyata bagian tepi menyerupai cincin, dengan lokasi tersering pada basal ganglia 75%, thalamus, periventrikular dan corticomedullary junction (subkotikal) disertai edema perifokal dan berdiameter 1 sampai 3 cm.2 Di Indonesia sendiri, menurut Menkes RI, jumlah penderita terinfeksi HIV tahun2002 diestimasikan sebanyak 90.000-130.000 orang. Sebagian besar tersangka HIV ini merupakan pengguna obat narkotika suntik (Intravenous drug users).Lebih dari 50 % penderita yang terinfeksi HIV akan berkembang menjadi kelainan neurologis.3 Kelainan neurologis yang sering terjadi pada penderita yang terinfeksi HIV adalah ensefalitis toxoplasma, limfoma SSP, meningitis kriptococcal , CMV ensefalitis dan progressive multifocal leukoencephalopathy. Infeksi oportunistik SSP yang paling sering pada penderita HIV adalah ensefalitis toxoplasma.4

Page | 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. 1 Definisi Disebut juga toksoplasmosis otak, muncul pada kurang lebih 10% pasien AIDS yang tidak diobati. Hal ini disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang dibawa oleh kucing, burung dan hewan lain yang dapat ditemukan pada tanah yang tercemar oleh tinja kucing dan kadang pada daging mentah atau kurang matang. Begitu parasit masuk ke dalam sistem kekebalan, ia menetap di sana, tetapi sistem kekebalan pada orang yang sehat dapat melawan parasit tersebut hingga mencegah penyakit. Gejala termasuk ensefalitis, demam, sakit kepala berat yangtidak menanggapi pengobatan, lemah pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan,kebingungan yang meningkat, masalah penglihatan, pusing, masalah berbicara danberjalan, muntah dan perubahan kepribadian. Tidak semua pasien menunjukkan tanda infeksi.5

II. 2 Etiologi Disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang dibawa oleh kucing, burung dan hewan lainyang dapat ditemukan pada tanah yang tercemar oleh tinja kucing dan kadang pada daging mentah ataukurang matang. Begitu parasit masuk ke dalam sistem kekebalan, ia menetap di sana, tetapi sistem kekebalan pada orang yang sehat dapat melawan parasit tersebut hingga tuntas, mencegah penyakit. Transmisi pada manusia terutama terjadi bila memakan daging babi atau domba yang mentahyang mengandung oocyst (bentuk infektif dari T.gondii). Bisa juga dari sayur yang terkontaminasi atau kontak langsung dengan feses kucing. Selain itu dpat terjadi transmisi lewat transplasental, transfusi darah, dan transplantasi organ. Infeksi akut pada individu yang immunokompeten biasanya asimptomatik. Pada manusia dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten. Yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi opportunistik dengan predileksi di otak.6

Page | 2

II. 3 Daur Hidup Toxoplasma gondii hidup dalam 3 bentuk : thachyzoite, tissue cyst (yang mengandung bradyzoites) dan oocyst ( yang mengandung sporozoites). Bentuk akhir dari parasit diproduksi selama siklus seksual pada usus halus dari kucing. Kucing merupakan pejamu definitif dari T gondii. Siklus hidup aseksual terjadi pada pejamu perantara, (termasuk manusia). Dimulai dengan tertelannya tissue cyst atau oocyst diikuti oleh terinfeksinya sel epitel usus halus oleh bradyzoites atau sporozoites secara berturut-turut. Setelah bertransformasi menjadi tachyzoites ,organisme ini menyebar ke seluruh tubuh lewat peredaran darah atau limfatik.Parasit ini berubah bentuk menjadi tissue cysts begitu mencapai jaringan perifer. Bentuk ini dapat bertahan sepanjang hidup pejamu, dan berpredileksi untuk menetap pada otak, myocardium, paru, otot skeletal dan retina. Tissue cyst ada dalam daging, tapi dapat dirusak dengan pemanasan sampai 67 oC, didinginkan sampai -20oC atau oleh iradiasi gamma. Siklus seksual entero-epithelial dengan bentuk oocyst hidup pada kucing yang akan menjadi infeksius setelah tertelan daging yang mengandung tissue cyst. Ekskresi oocysts berakhir selama 7-20 hari dan jarang berulang. Oocyst menjadi infeksius setelah diekskresikan dan terjadi sporulasi. Lamanya proses ini tergantung dari kondisi lingkungan, tapi biasanya 2-3 hari setelah diekskresi. Oocysts menjadi infeksius di lingkungan selama lebih dari 1 tahun.7,8 Transmisi pada manusia terutama terjadi bila makan daging babi atau domba yang mentah yang mengandung oocyst. Bisa juga dari sayur yang terkontaminasi atau kontak langsung dengan Feces kucing. Selain itu dapat terjadi transmisi lewat transplasental, transfusi darah, dan transplantasi organ. Infeksi akut pada individu yang imunokompeten biasanya asimptomatik. Pada manusia dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten. yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi oportunistik dengan predileksi di otak. Tissue cyst menjadi ruptur dan melepaskan invasive tropozoit (takizoit). Takisoit ini akan menghancurkan seldan menyebabkan focus nekrosis.7,8,9 Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi prediktor kemungkinanan adanya infeksi oportunistik. Pada pasien dengan CD4 < 200 sel/mL kemungkinan untuk terjadi infeksi oportunistik sangat tinggi. Oportunistik infeksi yang mungkin terjadi pada penderita dengan CD4 < 200 sel/mL adalah pneumocystiscarinii , CD4 Page | 3

<100 sel/mL adalah toxoplasma gondii , dan CD4 < 50 adalah M. aviumComplex , sehingga diindikasikan untuk pemberian profilaksis primer. M. tuberculosis dan candida species dapat menyebabkan infeksi oportunistik pada CD4 > 200 sel/mL.

Page | 4

II. 4 Patofisiologi HIV secara signifikan berdampak pada kapasitas fungsional dan kualitas kekebalan tubuh. HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4, yang mempunyai reseptor CD4. Beberapa sel lain yang juga mempunyai reseptor CD4 adalah : sel monosit, sel makrofag, sel folikular dendritik, sel retina, sel leher rahim, dan sel langerhans. Infeksi limfosit CD4 oleh HIV dimediasi oleh perlekatan virus kepermukaan sel reseptor CD4, yang menyebabkan kematian sel dengan meningkatkan tingkat apoptosis pada sel yang terinfeksi. Selain menyerang sistem kekebalan tubuh, infeksi HIV juga berdampak pada sistem saraf dan dapat mengakibatkan kelainan pada saraf. Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada penderita HIV/AIDS. Infeksi tersebut dapat menyerang sistem saraf yang membahayakan fungsi dan kesehatan sel saraf. Mekanisme bagaimana HIV menginduksi infeksi oportunistik seperti toxoplasmosis sangat kompleks. Ini meliputi deplesi dari sel T CD4, kegagalan produksi IL-2, IL-12, dan IFN-gamma, kegagalan aktivitas Limfosit T sitokin. Sel-sel dari pasien yang terinfeksi HIV menunjukkan penurunan produksi IL-12 dan IFN-gamma secara in vitro dan penurunan ekspresi dari CD 154 sebagai respon terhadap T gondii. Hal ini memainkan peranan yang penting dari perkembangan toxoplasmosis dihubungkan dengan infeksi HIV. Ensefalitis toxolasma biasanya terjadi pada penderita yang terinfeksi virus HIV dengan CD4 T sel < 100/mL. Ensefalitis toxoplasma ditandai dengan onset yang subakut. Manifestasi klinis yang timbul dapat berupa defisit neurologis fokal (69%), nyeri kepala (55%), bingung / kacau (52%), dan kejang (29%)9. Pada suatu studi didapatkan adanya tanda ensefalitis global dengan perubahan status mental pada 75% kasus, adanya defisit neurologis pada 70% kasus, Nyeri kepala pada 50 % kasus, demam pada 45 % kasus dan kejang pada 30 % kasus.4 Defisit neurologis yang biasanya terjadi adalah kelemahan motorik dan gangguan bicara. Bisa juga terdapat abnormalitas saraf otak, gangguan penglihatan, gangguan sensorik, disfungsi serebelum, meningismus, movement disorders dan menifestasi neuropsikiatri.8 Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi prediktor untuk validasi kemungkinanan adanya infeksi oportunistik. Pada pasien dengan CD4< 200 sel/mL kemungkinan untuk terjadi infeksi oportunistik sangat tinggi.

Page | 5

II. 5 Gejala Klinis10 Gejala termasuk ensefalitis, demam, sakit kepala berat yang tidak respon terhadap pengobatan, lemah pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan yang meningkat, masalah penglihatan, pusing, masalah berbicara dan berjalan, muntah dan perubahan kepribadian. Tidak semua pasien menunjukkan tanda infeksi. Nyeri kepala dan rasa bingung dapat menunjukkan adanya perkembangan ensefalitis fokal dan terbentuknya abses sebagai akibat dari terjadinya infeksi toksoplasma. Keadaan ini hampir selalu merupakan suatu kekambuhan akibat hilangnya kekebalan pada penderita-penderita yang semasa mudanya

Page | 6

telah berhubungan dengan parasit ini. Gejala-gejala fokalnya cepat sekali berkembang dan penderita mungkin akan mengalami kejang dan penurunan kesadaran.

II. 6 Diagnosa a. Pemeriksaan Serologi Didapatkan seropositif dari anti-T.gondii IgG dan IgM. Deteksi juga dapat dilakukan dengan indirect fluorescent antibody (IFA), aglutinasi, atau enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Titer IgG mencapai puncak dalam 1-2 bulan setelah terinfeksi kemudian bertahan seumur hidup.

b. Pemeriksaan cairan serebrospinal Menunjukkan adanya pleositosis ringan dari mononuklear predominan dan elevasi protein.

c. Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) Digunakan Mendeteksi DNA Toxoplasmosis gondii. PCR untuk T.gondii dapat juga positif pada cairan bronkoalveolar dan cairan vitreus atau aquos humor dari penderita toksoplasmosis yang terinfeksi HIV. Adanya PCR yang positif pada jaringan otak tidak berarti terdapat infeksi aktif karena tissue cyst dapat bertahan lama berada di otak setelah infeksi akut.11

d. CT scan Menunjukkan fokal edema dengan bercak-bercak hiperdens multiple disertai dan biasanya ditemukan lesi berbentuk cincin atau penyengatan homogen dan disertai edema vasogenik pada jaringan sekitarnya. Ensefalitis toksoplasma jarang muncul dengan lesi tunggal atau tanpa lesi.

Page | 7

e. Biopsi otak Untuk diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi otak

II. 7 Penatalaksanaan a. Toksoplasmosis otak diobati dengan kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin. Kedua obat ini dapat melalui sawar-darah otak. b. Toxoplasma Gondii,membutuhkan vitamin B untuk hidup. Pirimetamin menghambat pemerolehan vitamin B oleh tokso. Sulfadiazin menghambat penggunaannya. c. Kombinasi pirimetamin 50-100 mg perhari yang dikombinasikan dengan sulfadiazin 1-2 g tiap 6 jam. d. Pasien yang alergi terhadap sulfa dapat diberikan kombinasi pirimetamin 50-100 mg perhari dengan clindamicin 450-600 mg tiap 6 jam. Page | 8

e. Pemberian asam folinic 5-10 mg perhari untuk mencegah depresi sumsum tulang. f. Pasien alergi terhadap sulfa dan clindamicin, dapat diganti dengan Azitromycin 1200 mg/hr, atau claritromicin 1 gram tiap 12 jam, atau atovaquone 750 mg tiap 6 jam. Terapi ini diberikan selam 4-6 minggu atau 3 minggu setelah perbaikan gejala klinis. g. Terapi anti retro viral (ARV) diindikasikan pada penderita yang terinfeksi HIV dengan CD4 kurang dari 200 sel/mL, dengan gejala (AIDS) atau limfosit total kurang dari 1200. Pada pasien ini, CD4 42, sehingga diberikan ARV.

Page | 9

BAB III KESIMPULAN

Toksoplasmosis merupakan infeksi oportunistik yang serius. Jika belum terinfeksi tokso, dapat menghindari risiko terpajan infeksi dengan tidak memakan daging atau ikan mentah, dan ambil kewaspadaan lebih lanjut jika membersihkan kandang kucing. Dapat memakai obat anti-HIV yang untuk menahan jumlah CD4. Ini kemungkinan akan mencegah masalah kesehatan diakibatkan tokso. Dengan diagnosis dan pengobatan dini, tokso dapat diobati secara efektif. Jika anda mengalami penyakit tokso, sebaiknya terus memakai obat antitokso untuk mencegah penyakitnya kambuh. Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada penderita HIV/AIDS, akibatnya mudah terkena penyakitpenyakit lain seperti penyakit infeksi disebabkan oleh virus, bakteri, protozoa dan jamur dan juga mudah terkena penyakit keganasan. Pengobatan untuk infeksi oportunistik bergantung pada penyakit infeksi yang ditimbulkan. Pengobatan status kekebalan tubuh denganmenggunakan immune restoring agents, diharapkan dapatmemperbaiki fungsi sellimfosit, dan menambah jumlah limfosit. Penatalaksanaan HIV/AIDS bersifat menyeluruh terdiri dari pengobatan, perawatan atau rehabilitasi dan edukasi. Pengobatan pada pengidap HIV/penderita AIDS ditujukan terhadap: virus HIV (obat ART),infeksi opportunistik, kanker sekunder, status kekebalan tubuh, simptomatis dan suportif.

Page | 10

DAFTAR PUSTAKA 1. Jayawardena Suriya, MD. Cerebral Toxoplasmosis in Adult Patients with HIV Infection Availabel from URL : http://www.turner-white.com/memberfile.php?PubCode=hp_jul08 _toxoplasmosis.pdf. Accessed July, 2008. 2. George Sara Mathew, MD. Cerebral Toxoplasmosis in an HIV Positive Patient: A Case Report and Review of Pathogenesis and Laboratory Diagnosis. Availabel from URL : http://www.bahrainmedicalbulletin.com/june_2009/Toxoplasmosis.pdf. Accessed Juny, 2009. 3. Patric Davey. Infeksi HIV dan AIDS. At a Glance Medicine. Jakarta: EMS. 2006. 4. Gilroy J. Basic Neurology. Mc Graw-Hill. 3rd edition. New York. 2000 : 482-90. 5. Aru W. Sudoyo, dkk. HIV/AIDS di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006. 6. Sylvia Price dan Lorraine Wilson. Human Immunodeficiency (HIV)/AcquiredImmunodeficiencySindrome). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 1.Edisi 6. Jakarta: EGC,2006. 7. Profesor.dr.H. Jusf Misbach, dkk. HIV-AIDS Susunan Saraf Pusat. Neurologi. Jakarta : Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia 2006. 8. Harrington Robert. Opportunistic Infection in HIV Disease. Best Practice Medicine. Januari 2003. 9. Howard L. Weiner, dkk. AIDS dan system saraf. Buku Saku Neurologi. Jakarta: EGC. 2001. 10. Belman Anita L,Maletic-Savatic Mirjana. Human Immunodeficiency Virus and Acquired Immunodeficiency Syndrome. In Textbook Clinical Neurology. Goetz. 2003:955 -89. 11.Lamoril J. Detection by PCR of Toxoplasma gondii in blood in the diagnosis of cerebral toxoplasmosis in patients with AIDS. Availabel from URL : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1023168/. Accessed July, 1996.

Page | 11

You might also like