You are on page 1of 4

ANALISA KRITIS GOOD GOVERNANCE DAN PARADIGMA BARU ARAH PEMBANGUNAN DI ERA GLOBALISASI

Good Governance tidak lebih sebagai konsep imperialis dan kolonialis. Good Governance hanya akan mengerdilkan struktur negara berkembang, sementara kekuatan bisnis dunia makin membesar, pernyataan Presiden Tanzania Julius K. Nyerere di depan Konferensi PBB di Afrika tahun 1998

Pendahuluan

Terlepas dari benar salahnya kritik sang Presiden, tapi gugatannya tersebut merupakan bentuk pernyataan yang mengarah pada pengaruh struktur global terhadap reformasi pemerintahan. Good Governance (GG) sendiri dalam kemunculannya ditangkap oleh dunia internasional sebagai ramuan mujarab pembangunan internasional dan telah dipercaya lembaga-lembaga donor sejak lebih dari sepuluh tahun terakhir. Konsep ini telah menjadi kata ajaib (buzzword) yang bisa melewati batas-batas perbicangan dimensional dan sektoral. Batas dimensional adalah ketika kita berhadapan dengan perbicangan ekonomi, politik, sosial, bahkan lingkungan hidup. Sedangkan batas sektoral adalah mencakup berbagai sektor seperti pertanian, kemiskinan, transportasi, bisnis perusahaan, kelautan, maupun pengendalian polusi. Good Governance telah menjelma seperti hantu yang bisa merasuki setiap pojok ruang-ruang diskusi. Dalam kajian administrasi publik good governance sedikit banyak juga telah melakukan revisi total atas term Administrasi Publik yang selama ini telah terlanjur institusionalistik. Governance sudah bukan lagi secara eksklusif menu yang disuguhkan pada negara dan sub-sub organisasinya (public sectors). Governance adalah sebuah proses berinteraksinya berbagai elemen (dipersempit dalam tiga aktor kunci, yaitu negara, masyarakat dan bisnis) utamanya dalam mengelola sektor-sektor yang menjadi hak publik atau public patrimony. Produk yang paling fenomenal dari good governance adalah ketika dirinya berhasil menemukan missing link antara kerja refomasi pemerintahan dengan penanggulangan kemiskinan. Argumentasinya adalah dengan Good Governance maka distribusi anggaran pemerintah dan kalangan bisnis kepada masyarakat miskin makin terbuka lebar (Renzio, 1997). Namun, seiring berjalannya waktu, tersebar kabar juga, bahwa agenda good governance telah gagal berbuat sesuai dengan tujuan yang dinyatakan. Sebagian karena karakteristknya sulit didefinisikan dan dilaksanakan. Kejadian krisis pangan di sebagian belahan dunia salah satunya kawasan Afrika, kenaikan harga pangan

berkisar dua kali lipat di Afrika (Times/04/08). Serta fenomena yang terjadi di Chile, sebagai negara barometer ekonomi Amerika Latin mengalami penurunan daya beli rata-rata 20% hingga akhir tahun lalu (Economist/10/2007). Bahkan di Indonesia, kita telah sama mearasakan kenaikan harga sejak awal tahun ini. Peristiwaperistiwa ini merupakan bukti tentang rapuhnya (fragile) dunia kita. Peristiwaperistiwa dunia inilah kemudian menjadi momen yang tepat untuk mengevaluasi kerja lembaga donor internasional selama ini. Berbagai spekulasi mengaitkan peristiwa ini merupakan bagian kegagalan Good Governance yang memasukkan arus globalisasi dalam pigura analisisnya Pertanyaannya kemudian apakah rapuhnya fundamen ekonomi dunia ini merupakan bukti kegagalan proyek milyaran dollar yang disebut Good Governance? Dan apakah ini kemudian menunjukkan pertanda harus diakhirinya wacana Good Governance sebagai arah dari pembangunan?

Pokok bahasan

Untuk menjawab dua permasalahan besar dalam pendahuluan diatas maka penulis akan melakukan analisa dengan membatasi dalam pokok-pokok bahasan yang diturunkan dalam pertanyaan sebagai berikut : 1. Bagaimanakan sejarah dari good governance sendiri? Dan bagaimana good governance dalam memaknai konsep tentang pemerintahan dan pembangunan? 2. Bagaimana konsep dan praktek dari good governance sendiri? 3. Apa saja kritik terhadap good governance? Dan apakah ini kemudian menunjukkan harus diakhirinya wacana good governance sebagai arah dari pembangunan ? 4. Adakah konsep baru yang menggantikan good governance? Bagimananakah gambaran konsepnya?

Transformasi Government menjadi Good Governance

Pokok bahasan ini akan menjawab pertanyaan pertama dari lontaran pen ulis yang akan di ulas dalam paper ini. Kenapa penulis mengambil judul pokok bahasan tersebut-bukan sejarah good governance- karena penulis berpandangan dalam konteks teoritis pembicaraan tentang good governance tidak bisa lepas dari proses transformasi government, karena dulu istilah pemerintahan lebih populer sebagai government, bukan governance. Pandangan ini di dasarkan ulasan Sutoro Eko

dalam makalahnya Mengkaji Ulang Good Governance yang akan banyak mewarnai pandangan penulis dalam paper ini . Transformasi government sendiri sepanjang abad ke-20 secara kronologis berlangsung melalui beberapa tahap. Tahap I adalah era abad ke-20 yang ditandai dengan konsolidasi pemerintahan demokratis (democratic government) di dunia Barat. Tahap II berlangsung pada pasca Perang Dunia I, yang ditandai dengan semakin menguatnya peran pemerintah. Pemerintah mulai tampil dominan, yang melancarkan regulasi politik, redistribusi ekonomi dan kontrol yang kuat terhadap ruang-ruang politik dalam masyarakat. Tahap II ini adalah era dimana peran negara dominan untuk membawa perubahan sosial dan pembangunan ekonomi. Tahap III, era tahun 1960-an sampai 1970-an, yang menggeser perhatian ke pemerintah di negara-negara Dunia Ketiga. Era itu adalah perluasan proyek developmentalisme (modernisasi) yang dilakukan oleh dunia Barat di Dunia Ketiga, yang mulai melancarkan pendalaman kapitalisme. Pada saat yang sama pendalaman kapitalisme itu diikuti oleh kuatnya negara dan hadirnya rezim otoritarian di kawasan Asia, Amerika Latin dan Afrika. Perspektif barat mengasumsikan bahwa modernisasi akan mendorong pembangunan ekonomi dan birokrasi yang semakin rasional, partisipasi politik semakin meningkat, serta demokrasi semakin tumbuh berkembang. Perspektif ini kemudian gugur, karena pembangunan ekonomi di kawasan Asia dan Amerika Latin malah diikuti oleh meluasnya rezim otoritarian yang umumnya ditopang oleh aliansi antara militer, birokrasi sipil dan masyarakat bisnis internasional. Tahap IV, memasuki dekade 1980-an, yang ditandai dengan krisis ekonomi dan finansial negara yang melanda dunia. Di Amerika ketika Reagan naik menjadi presiden maupun di Inggris ketika diperintah Margaret Tatcher, menghadapi problem serius tersebut. Di Indonesia juga menghadapi krisis ekonomi yang dimulai dengan anjloknya harga minyak. Krisis ekonomi pada dekade 1980-an mendorong munculnya cara pandang baru terhadap pemerintah. Pemerintah dimaknai bukan sebagai solusi terhadap problem yang dihadapi, melainkan justru sebagai akar masalah krisis. Karena itu pada masa ini berkembang pesat penyesuaian struktural, yang lahir dalam bentuk deregulasi, debirokratisasi, privatisasi, pelayanan publik berorientasi pasar. Berkembangnya isu-isu baru ini menandai kemenangan pandangan neoliberal yang sejak lama menghendaki peran negara secara minimal, dan sekaligus kemenangan pasar dan swasta. Tahap V, adalah era 1990-an, dimana proyek demokratisasi (yang sudah dimulai dekade 1980-an) berkembang luas seantero jagad. Pada era ini muncul cara pandang baru terhadap pemerintahan, yang ditandai munculnya governance dan good governance. Perspektif yang berpusat pada government bergeser ke perspektif governance. Sejumlah lembaga donor seperti IMF dan World Bank dan para praktisi pembangunan internasional yang justru memulai mengembangkan gagasan governance dan juga good governance.

Kemunculan konsep governance menjadi good governance punya cerita panjang, yang terkait dengan pengelolaan bantuan oleh World Bank. Setelah kemerdekaan, para pemimpin di kawasan Asia dan Afrika konon mengundang hadirnya donor dan agen-agen internasional untuk keperluan asistensi membangun badan-badan pemerintahan dan untuk pelatihan para pejabat publik. Pada waktu itu, tepatnya tahun 1960-an, bantuan-bantuan internasional tersebut dinamai pembangunan kelembagaan (institution building) ketimbang governance. Namun memasuki tahun 1990-an, konsep pembangunan kelembagaan mengalami revitalisasi di bawah kontrol Bank Dunia, sebagai inisiatif pembangunan kapasitas kelembagaan (institutional capacity building) di bawah rubrik governance untuk pembangunan. Bank Dunia sebagai lembaga yang untuk pertama kalinya telah memperkenalkan konsep public sector management programs (program pengelolaan sektor publik) dalam rangka memperlakukan tata pemerintah yang lebih baik, khususnya dalam bingkai persyaratan bantuan pembangunan, yang dikenal dengan Structural Adjustment Program (SAP, atau program penyesuaian struktural) (Dasgupta 1998; World Bank 1983: 46). Good governance dalam konteks tersebut kemudian maknanya tidak lebih sama dengan a sound of development. Sejak saat itulah awal mula gelombang penyuntikan dalam upaya memberantas penyakit di dunia ketiga dilakukan, dengan cara mewajibkan sejumlah persyaratan-persyaratan dari Bank Dunia (yang kemudian diikuti oleh lembaga dan negara donor lainnya). Krisis di Afrika telah membawa pesan yang jelas dalam memperkenalkan sebuah konsep baru untuk melawan apa yang diidentifikasi Bank Dunia sebagai sebuah crisis of governance atau bad governance (World Bank 1992). Tentu, dalam menyuntikkan ide-ide governance semacam itu, telah diusung pula diskursus sebagai pemanis agar bisa diterima dan terlegitimasi oleh kekuasaan diktatorial yang memang banyak berkuasa saat itu, termasuk rezim otoritarian militer Soeharto di Indonesia. Good governance dalam konteks tersebut adalah imposisi politik hukum yang dikendalikan negara-negara industrial dan agen internasional (lembaga maupun negara donor) dalam membentuk ketatapemerintahan yang berselerakan pasar (Stokke 1995; Gathii 1998). Inilah good governance yang lahir dari rahim agenda besar globalisasi.

You might also like