You are on page 1of 7

OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK)

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mutlak dibentuk guna mengantisipasi kompleksitas sistem keuangan global. Namun, RUU OJK harus dibahas simultan dengan paket RUU Keuangan lain, sperti RUU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK), RUU Pasar Modal serta amandemen UU Bank Indonesia, Perasuransian dan Dana Pensiun. Hal tersebut terungkap dalam seminar Reformasi Sektor Keuangan : Memperkuat Fondasi, Daya Saing dan Stabilitas Perekonomian Nasional yang diselenggarakan oleh Panitia Antar-Departemen Penyusunan RUU OJK, di Jakarta, Kamis 8 Juli 2010. Seminar dibuka oleh Menteri Keuangan Agus Martowardojo dengan menampilkan pembicara Pjs Gubernur BI Darmin Nasution, Ketua Bapepam-LK Fuad Rahmany, Deputi Gubernur BI Muliaman Hadad, Wakil Ketua Komisi XI DPR Sohibul Iman, pengamat ekonomi Raden Pardede, dengan moderator Pemimpin Redaksi Investor Daily Primus Dorimulu. Menkeu Agus Martowardojo menyatakan, pembentukan OJK diperlukan guna mengatasi kompleksitas keuangan global dari ancaman krisis. Di sisi lain, pembentukan OJK merupakan komitmen pemerintah dalam reformasi sektor keuangan di Indonesia. Pemerintah mempunyai komitmen tinggi dan menjalankan mandat untuk melakukan reformasi sektor keuangan kata Menkeu. Agus menjelaskan, OJK mempunyai implikasi sangat signifikan terhadap sistem keuangan yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat kestabilan perekonomian Indonesia di masa depan. Terjadinya proses globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi dan inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang kompleks.Selain itu, konglomerasi sektor keuangan menambah interaksi anterlembaga keuangan. Misalnya sebuah grup usaha memiliki usaha mulai perbankan, asuransi, multifinance, sekuritas sampai dana pensiun. Keberadaan hybrid financial instrument yang merupakan percampuran produk-produk perbankan, pasar modal dan asuransi semakin menambah kompleksitas. Sehubungan dengan itu perlu penataan kembali struktur pengorganisasian lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan di industri jasa keuangan. Menkeu menegaskan, RUU OJK merupakan amanat Pasal 34 UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia (BI) dimana OJK harus terbentuk paling lambat 31 Desember 2010. Menurut Menkeu RUU OJK harus dilihat secara holistik, artinya rangkaian reformasi keuangan harus mencakup pula JPSK serta amandemen beberapa UU antara lain UU perbankan, pasar modal, dana pensiun, asuransi dan BI yang sudah masuk dalam prolegnas tahun ini. Itu sebabnya pembahasan paket RUU keuangan tersebut harus simultan. Terdapat lebih dari 30-40 organisasi sejenis OJK di dunia, memang ada satu yang gagal seperti di Inggris namun demikian yang lain tetap berjalan baik misalnya Kanada, Skandinavia, Jerman. Anggota DPR Komisi XI Melchias Markus Mekeng menilai pembentukan OJK patut disambut baik. OJK dibentuk agar kegiatan di jasa keuangan dapat terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel. Wakil Direktur Utama Bank Danamon Josh Luhukay mengungkapkan, ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam penyusunan OJK. Pertama penerapan UU OJK sebaiknya dilakukan dalam dua tahap, yaitu Bapepam-LK terlebih dahulu dilepaskan dari Departemen Keuangan dan disusul penggabungan dengan Bank Indonesia. Kedua, sebuah OJK tanpa otoritas perbankan seperti yang dimiliki sekarang, sehingga OJK perlu menggabungkan seluruh elemen keuangan termasuk otoritas

perbankan. Ketiga adalah pentingnya menjalani proses dan kelengkapan informasi. Apabila hal tersebut dapat dipenuhi, penyatuan dua hal tersebut akan jauh lebih mudah dalam pelaksanaan OJK. Fuad Rahmany selaku ketua Tim Penyusun RUU OJK menyatakan OJK akan menghilangkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang selama ini cenderung muncul. Sebab dalam OJK, fungsi pengawasan dan pengaturan dibuat terpisah. Dia mencontohkan Bapepam-LK yang dia pimpin tidak hanya mengawasi tetapi jug membuat peraturan untuk perusahaan sekuritas atau efek. Hal ini berpotensi menimbulkan abuse of power sehingga pengaturan dan pengawasan harus dipisahkan. Meski OJK memiliki fungsi pengaturan dan pengawasan dalam satu tubuh, fungsinya tidak akan tumpang tinding, sebab OJK terdiri atas tujuh dewan komisioner. Ketua Dewan Komisioner akan membawahkan tiga anggota dewan komisioner yang masing-masing mewakili perbankan, pasar modal dan lembaga keuangan nonbank (LKNB). Kewenangan pengawasan perbankan oleh BI akan dikurangi, namun BI masih mendampingi pengawasan. Kalau selama ini mikro dan makro prudensialnya di BI, nanti OJK akan fokus menangani mikro prudensialnya. Mengacu pada kajian di sembilan negara, Fuad dan tim perumus OJK akan membuat sistem pengawasan dan pengaturan baru yang mengarah pada Unified Supervisory Model. Dengan sistem ini, fungsi pengawasan dan pengaturan perbankan, asuransi, dan pasar modal menjadi satu. moneter tetap ada di BI pola seperti itu berlaku di Jerman dan Jepang. Dalam pandangan Darmin Nasution inti pembentukan OJK adalah untuk mencari efisiensi di sektor perbankan, pasar modal dan lembaga keuangan. Sebab, suatu perekonomian yang kuat, stabil, dan berdaya saing membutuhkan dukungan dari sektor keuangan. BI sepenuhnya mendukung pelaksanaan UU BI Pasal 34 tentang pembentukan OJK. Namun, terdapat sejumlah hal yang perlu dipertimbangkan yaitu konstruksi atau model OJK sebab setiap negara tidak memiliki desain atau konstruksi yang seragam. Sebenarnya dinegara manapun pengaturan dan pengawasan makro prudensial terletak di tangan bank sentral. Sebab, merekalah yang memiliki data serta instrumen yang paling efektif untuk membaca perkembangan sektor makro keuangan namun aspek mikro juga tetap harus diawasi oleh bank sentral. Terkait model atau konstruksi terbaik selama ini BI melihat Prancis dan Jepang. Di kedua negara tersebut bank sentral ikut mengawasi mikro kendati OJK sudah ada. Deputi Gubernur BI Muliaman D Hadad menambahkan terdapat empat pilar sektor keuangan global yang menjadi agenda OJK. Pertama, kerangka kebijakan yang kuat untuk menanggulangi krisis. Kedua, persiapan resolusi terhadap lembaga-lembaga keuangan yang ditengarai bisa berdampak sistemik. Ketiga, lembaga keuangan membuat surat wasiat jika terjadi kebangkrutan sewaktu-waktu dan keempat transparansi yang harus dijaga. OJK juga bisa mengawasi mikro prudensial bersama bank sentral. Namun, BI pada dasarnya tetap menjadi lender of the last resort terutama ketika krisis likuiditas di perbankan. Sebab itu bank sentral tetap harus memiliki komunikasi yang baik untuk pengukuran situasi mikro. Ketua Umum Perbanas Sigit Pramono mengkhawatirkan pelemparan tanggung jawab antara OJK dan BI saat terjadi krisis. Namun Sigit optimis jika OJK diisi oleh sumber daya manusia yang kompeten, terutama dari Direktorat Pengawasan Bank BI. Terkait iuran atau premi (fee) OJK sebesar 0,02% Fungsi

0,05% Sigit menilai iuran yang berasal dari industri bisa membuat OJK lebih independen dari kebijakan pemerintah. Jika dana berasal dari APBN, independensi OJK akan sangat minim. Dia mengakui sejumlah bankir sempat menolak pembebanan iuran oleh OJK.

Tantangan dan Problematika Perbankan Syariah Umur yang pendek, instrumen dan produk yang terbatas, sumber daya manusia yang kurang dan asset yang masih kecil adalah tantangan Bank Syariah yang harus dikuasai dan ditaklukan, selama ada kemauan yang kuat dan usaha yang sungguh-sungguh insyaAllah Bank Syariah akan survive dan unggul. Tantangan tadi disamping sebagai motivasi, juga kendala dan hambatan yang harus dilewati oleh Bank Syariah. Adapun problematika yang banyak dihadapi Bank-Bank Syariah antara lain adalah:
y Terpaku pada pengembangan konsep tanpa memperhatikan dinamika SDMnya, Bank Syariah seolah-olah disibukan oleh jargon how to Islamize our banking system dan lupa akan wacana how to Islamize the people involved in the banking industry. Banyak masalah Bank Syariah disebabkan pemahaman dan kesadaran para praktisi Bank Syariah akan prinsip2 ekonomi Islam (Bank Syariah) belum sepenuhnya dimengerti. Membatasi instrumen dan produk bank pada bentuk tertentu sehingga Bank-Bank Syariah kesulitan dalam mengembangkannya, bahkan terjebak dalam siklus investasi yang sempit. Hal ini menunjukan tidak adanya keberanian dan kemauan yang sungguh-sungguh dari para pelaku Bank Syariah. Dengan memberikan pilihan bentuk investasi kepada para klien adalah jaminan akan kematangan konsep Bank Syariah, dimana setiap klien akan memilih instrumen-instrumen tadi sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan peluangnya. Berbeda apabila Bank Syariah hanya menyediakan instrumen investasi dalam bentuk-bentuk tertentu, dimana seorang klien dengan terpaksa hanya mengandalkan instrumen yang tersedia, hal itu bisa berakibat fatal apabila kemampuan klien dan peluangnya tidak bisa dikembangkan pada instrumen yang tersedia pada Bank Syariah. Contohnya: seorang klien mempunyai peluang investasi yang mengandalkan bentuk musyarakah, dan ternyata bentuk investasi yang tersedia di bank hanya dalam bentuk murabahah dan ijarah. Dalam hal ini, memaksakan salah satu dari dua instrumen investasi akan fatal dan berisiko tinggi. Kurang sosialisasi dan komunikasi. Bank Syariah kini tidak bisa lagi dipandang sebelah mata.

Perkembangan perbankan Syariah yang pesat serta pelajaran yang diberikan oleh krisis keuangan yang terjadi 1997, telah memunculkan harapan pada sebagaian masyarakat bahwa pengembangan ekonomi Syariah merupakan suatu solusi bagi peningkatan ketahanan ekonomi nasional, juga sebagai pelaksanaan kewajiban Syariat Islam.

Di sisi lain, harapan di atas belum diiringi oleh pemahaman masyarakat yang cukup atas ekonomi Syariah itu sendiri. Kondisi ini akan mempengaruhi eksistensi dan pertumbuhan perbankan Syariah.

Oleh karenanya, tindakan antisipatif tentu perlu dilakukan, yaitu sosialisasi dan komunikasi mengenai ekonomi Islam, yang dalam hal ini diwakili lembaga perbankan Syariah perlu digalakan dan ditingkatkan. memang kegiatan sosialisasi dan komunikasi ekonomi Syariah dirasakan masih kurang
yang bermuara pada kurang efektifnya kegiatan tersebut. Hal itu disebabkan belum adanya kebersamaan dalam kegiatan sosialisasi dan komunikasi ekonomi Syariah. Untuk menjawab hal tersebut perlu dibentuk lembaga Komunikasi Ekonomi Syariah yang alhamdulillah lembaga tersebut sudah terbentuk yaitu Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES) yang dibentuk oleh 30 lembaga keuangan Syariah. Memang peran PKES masih kurang dan dituntut untuk lebih serius dalam menjalankan komunikasi dan sosialisasi tentang ekonomi Syariah.
y Kurang mendapat dukungan pemerintah dan masyarakat. Hal itu nampak pada kebijaksanaan pemerintah yang kurang mendukung pertumbuhan Bank Syariah dan pengembangannya, belum ada undang-undang khusus yang mengatur sistem perbankan Syariah dan tidak ada deputi khusus di Bank Indonesia yang mengatur khusus tentang Bank Syariah adalah tantangan dan problematika Bank Syariah.

Transisi OJK Tantangan Bank Syariah 2012

JAKARTA - Transisi kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dinilai akan menjadi tantangan perbankan syariah pada 2012. Masa transisi ini menjadi masalah sentral lantaran undang-undang OJK tidak mengamanatkan pertumbuhan perbankan syariah.Anggota Komisi XI DPR, Andi Rahmat mengaku kelahiran OJK tidak menimbulkan kekhawatiran bagi perbankan syariah. Asalkan, sepanjang masa transisi kelembagaan OJK memperhatikan industri keuangan syariah. "Sepanjang transisi kelembagaan OJK berlangsung bagus, pertumbuhan perbankan syariah akan baik. Kalau ada goncangan akan repot,"

Tantangan Bank Syariah 2012 JAKARTA - Transisi kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dinilai akan menjadi tantangan perbankan syariah pada 2012. Masa transisi ini menjadi masalah sentral lantaran undang-undang OJK tidak mengamanatkan pertumbuhan perbankan syariah. Anggota Komisi XI DPR, Andi Rahmat mengaku kelahiran OJK tidak menimbulkan kekhawatiran bagi perbankan syariah. Asalkan, sepanjang masa transisi kelembagaan OJK memperhatikan industri keuangan syariah. "Sepanjang transisi kelembagaan OJK berlangsung bagus, pertumbuhan perbankan syariah akan baik. Kalau ada guncangan akan repot," ujar Andi di Jakarta pekan lalu. Dalam UU OJK tidak mengatur perbankan syariah secara implisit. Akan tetapi, OJK akan berpengaruh besar pada industri keuangan syariah. Hal ini lantaran industri keuangan syariah di Indonesia sudah relatif besar. Permasalahan dalam masa transisi berasal dari sumber daya manusia (SDM). Menurut Rahmat, migrasi ke OJK akan melibatkan banyak pihak. Padahal, perbankan syariah mensyaratkan kompetensi tersendiri. "Kalau kita migrasi ke OJK akan melibatkan banyak pihak, untuk istilah mu-darabah murabahah itu asing." kata anggota DPR dari Fraksi PKS ini.

Direktur Utama BNI Syariah Rizqullah mengatakan, pihaknya akan mengikuti kebijakan OJK. Soal fee yang harus dibayar perbankan syariah ke OJK, menurut dia, pihaknya akan memenuhi kewajiban tersebut. "Sampai sekarang, kita belum tahu juga seperti apa, ada atau tidak (fee itu) dan berapa besarnya. Sebagai industri kita ikuti saja kebijakan yang ada," papar Rizqullah. Besaran fee ke OJK tersebut nantinya akan diambilkan dari operasional BNI Syariah. Diharapkan, jumlah fee yang ditarik OJK masih dalam batas toleransi agar tidak memberatkan nasabah dan bank syariah. Sebelumnya, OJK dikhawatirkan mengancam pertumbuhan perbankan syariah di tanah air. Hal ini lantaran, Undang-Undang OJK tidak mengamanatkan adanya dorongan untuk menumbuhkan perbankan syariah. "Saya khawatir yang menangani OJK ini tidak ada komitmen mendorong industri perbankan syariah," ujar ekonom syariah dari Universitas Airlangga (Unair), Arie Mooduto. Pertumbuhan perbankan syariah tidak hanya menuntut kemauan politik {political will). Menurut Arie, industri tersebut harus juga didorong dengan tindakan nyata dari pemerintah. "Presiden SBY sudah bilang akan mengembangkan ekonomi syariah, tapi sampai sekarang no action." cOl ti nidia zwaya

TA Jika proses transisi dalam tugas pengawasan oleh Bank Indonesia ke dalam mekanisme kerja Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak dilakukan dengan tepat, maka keberadaan lembaga ini bisa terancam. Kondisi ini bisa terjadi karena perekonomian global saat ini tengah krisis, sehingga memerlukan perhatian yang lebih dari Bank Indonesia sebagai otoritas moneter yang bertanggung jawab menjaga kestabilan nilai tukar mata uang dan inflasi, kata Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Muliaman D. Hadad. Muliaman menyampaikan hal itu dalam pidatonya pada acara seminar Perbanas `Pekerjaan Rumah bagi OJK` di Jakarta, Rabu. Karena itu masa transisi kerja OJK harus dilakukan dengan baik dan tepat agar tidak mengganggu pengawasan, pesan Muliaman. Tantangan OJK ke depan sangat berat, seperti membangun budaya dan membangun SDM-nya sendiri, karena itu memerlukan proses yang panjang. Syukur-syukur tidak ada krisis lagi menimpa, kalau ada krisis balik lagi ke tempat awal, ujarnya. Muliaman juga menyatakan pekerjaan BI untuk melakukan transisi itu tidaklah mudah, cara mendekati persoalan dan membangun mekanisme juga tidak mudah. Jadi masa transisi ini paling penting, karena dapat mengganggu kestabilan sektor keuangan yang lagi berjalan saat ini, katanya. Menurut Muliaman, dari sisi pengawasan ini menjadi penting, termasuk bagaimana koordinasi yang harus dibangun khususnya dengan bank sentral. Komunikasi dan koordinasi tidak bisa dianggap ringan, sehingga pengambil keputusan bisa tepat, tuturnya. Ia menjelaskan hadirnya UU OJK akan mengambil alih fungsi pengawasan yang ada pada perbankan mikro dari Bank Indonesia (BI). Akan ada sekitar 1.000 pegawai BI di bawah pengawasan yang akan migrasi ke lembaga OJK tersebut, dan perlu ada proses kultur pengawasan dengan prinsip yang hati-hati dalam menjalankannya, ujarnya.

OJK juga dapat dihantui oleh krisis global yang terjadi saat ini, ujarnya. Jika pengawasan perbankan nantinya ada di tangan BI, maka semua pengawai di pengawasan harus mendapatkan pelatihan yang lebih dan ada pelatihan ulang. Muliaman menambahkan, agar OJK berjalan sesuai yang diinginkan, maka harus ada industri yang modern. Karena OJK akan berhubungan dengan pasar, sehingga perlu ada koordinasi BI dan OJK yang merupakan hal penting di dalamnya.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK)


Posted by Nurul Ariska Ferani on December 21, 2011 in Artikel, Umum | 0 Comment

Otoritas Jasa Keuangan atau lebih dikenal dengan istilah OJK, adalah sebuah lembaga pengawasan jasa keuangan yang independen dan mengawasi industri perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan asuransi. Tujuan dibentuknya OJK yaitu untuk mengatasi kompleksitas keuangan global dari ancaman krisis, menghilangkan penyalahgunaan kekuasaan, dan mencari efisiensi di sektor perbankan dan keuangan lainnya. Pembentukan OJK juga dipicu oleh kasus Bank Century yang membuktikan lemahnya fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Hal ini terungkap setelah Lembaga Penjamin Simpanan hendak mengucurkan dananya kepada Bank Century, namun jumlahnya membengkak dari yang seharusnya. Menurut Zulkarnaen Sitompul dalam Pilars No.02/Th.VII/12-18 Januari 2004, ide pembentukan OJK sebenarnya adalah hasil kompromi untuk menghindari jalan buntu pembahasan undang-undang tentang Bank Indonesia oleh DPR. Fungsi pengawasan perbankan yang tadinya dipegang oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral, kini dipisahkan yang idenya datang dari konsultan asal Jerman. Helmut Schlesinger, mantan Gubernur Bundesbank (Bank Sentral Jerman) yang pada waktu penyusunan RUU (kemudian menjadi Undang-Undang No. 23 Tahun 1999) bertindak sebagai konsultan. Mengambil pola bank sentral Jerman yang tidak mengawasi bank. Namun tentunya, pemerintah harus mempunyai aturan main yang tegas dan transparan. Sangat sulit memisahkan fungsi pengawasan dengan pengaturan industri perbankan. Yang diperlukan dalam hal ini adalah Good Corporate Governance. Bahkan di Jepang pun, lembaga sejenis OJK tidak berjalan dengan sukses. Saat industri perbankan Jepang sedang bermasalah, Jepang mendirikan FSA sebagai lembaga yang menjalankan fungsi pengawasan perbankan. Tapi ternyata FSA tidak dapat mencegah jatuhnya 2 (dua) bank besar yang merekayasa pembukuannya dan masalah kredit macet lainnya. Beberapa negara yang telah mengembalikan fungsi pengawasan ke bank sentral adalah Austria, Belanda, dan Korea Selatan. Inggris yang dikenal dengan kemapanan dalam aspek hubungan antarlembaga sempat dibuat limbung dengan koordinasi yang tidak lancar antara FSA dan BoE. Kini AS yang menjadi episentrum gempa keuangan global pun terlihat mulai mengarah ke sana dengan memperluas peran The Fed (sumber:Menimbang (Kembali) Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan okezone.com). Selama ini, bank sentral fokus pada pengawasan terhadap pelaku sektor keuangan (micro prudential). Tetapi sekarang akan diambil alih oleh OJK. Dengan demikian, BI akan mengoptimalkan perannya pada aspek makro (macro prudential), yakni industri secara keseluruhan untuk mengurangi resiko sistematik krisis terhadap industri keuangan.

Apapun nama lembaga yang menjalankan fungsi pengawasan, harus terlindungi dari kepentingan politik pihak-pihak tertentu, dan terdapat komunikasi dan kerjasama yang efektif antar lembaga yang terkait.

y y

SARAN
Hal tersebut dikatakan Menteri Keuangan (Menkeu) Agus Martowardojo saat menjadi keynote speech di SeminarReformasi Sektor Keuangan untuk Memperkuat Fondasi, Daya Saing, Stabilitas Perekonomian Nasional, di Hotel Borobudur, Jakarta, Kamis (8/7/2010). "Rancangan UU ini harus dilihat sebagai bagian dari reformasi sektor keuangan. Selain RUU OJK, juga RUU JPSK, amandemen UU tentang Perbankan, UU tentang Pasar Modal, Asuransi, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)," jelasnya. Menurutnya, RUU OJK ini hanya mengatur tata kelola pemerintah dalam mengawasi industri perbankan, sementara yang mengatur jasa perbankan keuangan sendiri diatur berdasarkan per sektoral seperti UU perbankan, asuransi, dan lain-lain. "Sementara untuk mekanisme antara lembaga jasa keuangan dengan Bank Indonesia (BI) maupun Depkeu serta LPS itu nanti akan diatur dalam UU sendiri yakni UU Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK), di mana UU JPSK ini sudah dalam tahap finalisasi dan akan diserahkan ke DPR tahun ini juga," tandasnya. Dia pun menambahkan, bila UU OJK ini disetujui DPR, maka diharapkan UU OJK ini dapat berjalan baik dan menjadi lembaga terhormat, disegani, dan independen. (ade)

You might also like