You are on page 1of 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. REPRODUKSI INFEKSI HIV PADA KEHAMILAN 1. Etiologi Penyebab AIDS adalah retrovirus dna yang disebut Human Immunodeficiancy Virus, HIV-1 dan HIV-2. Sebagian besar kasus yang ada disebabkan oleh infeksi HIV-1 yang penularannya menyerupai penularan virus Hepatitis B dan penularan seksual merupakan jenis penularan HIV-AIDS yang utama. Virus juga dapat ditularkan melalui bahan yang terkontaminasi oleh darah dan ibu hamil dapat menularkan infeksi HIV pada janin yang dikandungnya. 2. Patogenesis Proses imunosupresi menyebabkan terjadinya infeksi

oportunistik dan neoplasma. Target utama adalah Thymus-derived lymphocytes (T-lymphocytes), yang secara fenotipikal disebut sebagai CD4 surface antigen. CD4 site bertindak sebagai reseptor virus. Sheffield dkk (2005) menyatakan bahwa agar dapat terjadi infeksi diperlukan co-receptor dan untuk itu dikenal adanya 2 jenis chemokines receptor yaitu CCR5 dan CXCR4. Setelah infeksi pertama, tingkat viremia segera merosot sampai titik tertentu dan pasien dengan beban virus terbesar saat itu dengan cepat mengalami AIDS dan meninggal. Selama beberapa waktu, jumlah sel T merosot secara tajam sehingga terlihat gejala imunosupresi. Kehamilan diperkirakan berakibat minimal terhadap CD4+, jumlah sel T, dan jumlah HIV-RNA. Kenyataan adalah bahwa jumlah

HIV-RNA meningkat pada 6 bulan pasca persalinan dibandingkan dengan jumlah sebelum kehamilan. Makrofag-monosit juga terinfeksi dan infeksi sel mikroglia otak dapat menyebabkan kelainan neuropsikiatri pada pasien yang terinfeksi HIV. Selain itu tercatat pula kejadian Sarcoma kaposi, Lymphoma B-cell dan non-Hodgkin dan sejumlah bentuk karsinoma lain. 3. Manifestasi Klinis Periode inkubasi berkisar dari beberapa hari sampai beberapa minggu. Infeksi akut menyerupai sindroma infeksi virus lain dan umumnya berakhir dalam waktu 10 hari. Gejala utama: 1. Demam, 2. Keringat malam hari, 3. Lesu, 4. Ruam, 5. Nyeri kepala, 6. Limfadenopati, 7. Faringitis, 8. Nyeri otot 9. Gejala GI tract: mual dan muntah serta diare. Fauci (2003) menyatakan setelah gejala mereda, gejala viremia mulai terjadi. Rangsangan yang dapat menyebabkan progresivitas dari viremia asimtomatik menjadi simtomatik tidak jelas, tetapi diperkirakan memerlukan waktu sampai 10 tahun. Infeksi oportunistik yang sering menyertai HIV-AIDS: 1. Kandidiasis paru dan esofagus, 2. Herpes zoster atau herpes simpleks persisten, 3. Kondiloma akuminata,

4. Tuberkulosis, 5. Pneumonia cytomegalovirus, 6. Rinitis, 7. Penyakit gastrointestinal, 8. Moluscum contagiosum 9. Pneumonia pneumocystis Gejala lain yang sering menyertai AIDS adalah gangguan

neuropsikiatrik. 4. Diagnosis Diagnosis definitif AIDS adalah bila jumlah CD4+ <200/mm3. TES SEROLOGIS 1. Protokol pemeriksaan yang baku adalah dengan menggunakan EIA (Enzyme Immuno-assay) 2. Tes skrining yang dilakukan berulangkali dapat menghasilkan sensitivitas sebesar 99,5%. Konfirmasi hasil tes positif dilakukan dengan menggunakan immuno-fluoresence assay (IFA). 3. Rapid test dapat dikerjakan dengan sensitivitas tinggi dan hasilnya dapat diperoleh dalam waktu 10 60 menit, sehingga dapat dikerjakan saat ANC pada usia kehamilan lanjut atau saat persalinan, sehingga pemberian profilaksis antiretroviral dapat segera dikerjakan.

B. TRANSMISI PERINATAL 1. Mekanisme Transmisi Virus Perinatal y y Invasi langsung pada trofoblas dan vili korialis. Masuknya limfosit maternal yang terinfeksi ke dalam sirkulasi janin.

Infeksi oleh sel dengan reseptor CD4 dalam vili korialis dan sel endotel vili.

2. Peran Plasenta dalam Proses Transmisi Virus y Pemeriksaan invitro menunjukkan bahwa HIV-1 dapat melakukan infeksi pada trofoblas manusia dan sel telur Hofbauer pada setiap usia kehamilan. y Tidak jelas apakah infeksi HIV-1 dapat memfasilitasi infeksi HIV1 pada janin atau justru dapat mencegah infeksi terhadap janindengan melakukan tindakan isolasi terhadap virus.

C. KECEPATAN PENULARAN HIV-1 DARI IBU KE JANIN Transmisi vertikal tergantung sejumlah faktor: 1. Faktor yang meningkatkan penularan y y y y y Ibu menderita AIDS CD4 rendah (< 200 sel/mm3 ) Adanya p24 antigenemia Adanya chorioamnionitis histologis Persalinan preterm

2. Faktor yang menurunkan penularan y y y Adanya antibodi terhadap protein HIV gp 120 Perawatan prenatal yang berkualitas Pemberian ZDV (zidovudine)

100 bayi terlahir pada ibu HIV+ yang menyusui, tanpa intervensi:
5-10 bayi terinfeksi dalam kandungan

60-75 bayi HIV5-15 bayi terinfeksi melalui ASI

15 bayi terinfeksi waktu lahir

25-40 bayi terinfeksi HIV


Gambar Penularan HIV dari Ibu ke Bayi

D. PERAWATAN PASIEN HAMIL DENGAN HIV 1. Prinsip: pemeriksaan HIV merupakan bagian dari pemeriksaan antenatal yang bersifat sukarela. 2. Konseling adalah bagian penting dari perawatan bagi penderita HIV. 3. Strategi perawatan bagi ibu hamil berbeda dengan strategi perawatan pada ibu tidak hamil. 4. Tujuan terapi: o Menekan jumlah virus o Restorasi dan preservasi fungsi imunologis 5. Pada pasien tidak hamil, terapi ditawarkan bila jumlah CD4+ 350 sel/mm3 atau kadar HIV RNA plasma > 55.000 kopi/mL. 6. Pada wanita hamil, terapi harus lebih agresif oleh karena penurunan kadar RNA sangat penting dalam penurunan transmisi perinatal tanpa memperhitungkan kadar CD4+ atau kadar HIV-RNA plasma. PENCEGAHAN OLEH DOKTER 1. Fokus pencegahan adalah pada PMS (Penyakit Menular Seksual).

2. Lakukan Pap smear. 3. Berikan vaksi hepatitis B. 4. Sex aman 5. Zidovudine 100 mg 5 kali sehari tanpa memperhitungkan kadar CD4+. 6. Berikan vaksin pneumovax. 7. Sulfa-trimethoprim diberikan bila kadar CD4+ < 200 sel/mm3 untuk mencegah infeksi dari pneumonia pneumocystis carinii. 8. Berikan vaksin influenza pada bulan September Maret. PERAWATAN PRENATAL OLEH DOKTER 1. Dokter harus memiliki kecurigaan tinggi atas kejadian PMS dan infeksi oportunistik pada penderita HIV-AIDS. 2. Pada populasi penderita HIV, kejadian Intra Uterine Growth Restriction (IUGR) tinggi sehingga perlu dilakukan pemeriksaan periodik menggunakan USG. 3. Hitung kadar CD4+ setiap semester. 4. Kolposkopi bila hasil Pap smear abnormal. 5. Pemeriksaan prenatal umum harus dilakukan seperti biasa. PERAWTAN INTRA PARTUM 1. Zidovudine intravena diberikan saat awal persalinan dengan dosis 200 mg i.v selama 1 jam dan kemudian 100 mg/jam sampai anak lahir. 2. Hindari tindakan intrapartum yang menyebabkan janin terpapar secara langsung dengan darah ibu/ 3. Secsio Caesarea menurunkan angka kejadian penularan ibu ke anak. 4. Pasien hamil dengan CD4+ < 200 sel/mm3 memiliki resiko penularan lebih tinggi bila persalinan berlangsung lebih lama (> 12 jam). PERAWATAN PASCA PERSALINAN 1. Ditempatkan di ruang terpisah untuk menurunkan kemungkinan penularan ke penderita lain.

2. Konsultasi mendenai pilihan kontrasepsi, IUD tidak boleh digunakan karena status imuno-depresi akan mempermudah terjadinya infeksi panggul. 3. Kontrasepsi pilihan: sterilisasi tuba, kontrasepsi oral, Depo-provera, Norplant, dan kondom. 4. Pengaturan jadwal tindak lanjut ibu dan anak.

E. PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK Estimasi remaja dan anak-anak yang terinfeksi HIV pada akhir tahun 2007adalah sebesar 33,2 miliar orang di dunia. Transmisi maternal ke janin atau bayi dapat dicegah bila terdeteksi melalui VCT atau penapisan, perilaku yang terkendali baik mengenai obat, ANC, maupun pencegahan infeksi, melakukan pemilihan cara melahirkan, pemlihan ASI atau PASI, pemantauan bayi sampai balita, dan mendapatkan dukungan serta perhatian. Transmisi HIV 1 dan HIV 2 memiliki kesamaan rute penularan dari ibu ke janin/ bayi, namun HIV 2 (< 10%) jauh lebih rendah daripada HIV 1 (30%). Resiko transmisi akan meningkat apabila terjadi kerusakan membran dan CD4 yang rendah. Pada negara berkembang, 10-20% berkembang menjadi AIDS selama kurang dari 1 tahun karena dari penelitian yang dilakukan selama 10 tahun, hampir 50% Ibu tidak minum ARV. Hal ini menyebabkan 80% kematian bayi di bawah umur 2 tahun. Apabila gejala pada tahun pertama terdeteksi, maka akan meningkatkan umur survival bayi kurang lebih 3 tahun. Epidemiologi penularan dapat terjadi secara vertikal (95%) melalui saluran plasenta (10%), proses melahirkan (60%), dan pemberian ASI (30%), sexual abuse, transfusi darah, dan keadaan yang tidak dapat dijelaskan seperti kesiapan alat pelindung diri perawat, infeksi nosokomial, pengganti ASI, serta penyalahgunaan ilmu dalam seksual.

Faktor resiko penularan HIV dari Ibu ke anak ada dua jenis, yaitu maternal dan obstetrik. Pada maternal yaitu viral load yang tinggi (> 5000 copies/ml), karakterisktik virus, CD4 < 200/t, defisiensi imun, infeksi virus, bakteri, parasit, defisiensi vitamin A, dan banyak pasangan seksual. Sedangkan pada faktor obstetrik yaitu kelahiran pervaginam, ketuban pecah dini yang terbengkalai, perdarahan intrapartum, korioamnionitis, prosedur invasif, dan dari segi bayi yaitu prematur, BBLR, ASI, dan luka di mulut bayi. Tingkat penerimaan plasma darah HIV RNA berhubungan dengan transmisi kehamilan seperti pada data yang disajikan oleh Women and Infants transmission study 1990-1939 yang menunjukkan peningkatan dari 1-35%. Strategi pencagahan transmisi maternal ke janin yaitu dengan mengurangi jumlah Ibu hamil dengan HIV (+) melalui kontrasepsi dan pemilihan pasangan, turunkan viral load serendah-rendahnya melalui terapi ARV, hidup sehat, dan menggunakan kondom, meminimalkan paparan janin/ bayi dengan cairan tubuh maternal melalui kelahisan dengan cara operasi dan menggunakan pengganti ASI, serta optimalkan kesehatan bayi dengan ibu HIV (+) dengan pemberian ARV dan pemantauan bayi yang beresiko. CD4 < 350 sel/mm memiliki presentasi transisi paling besar yaitu 41% dibandingkan dengan CD4 > 350 sel/mm yaitu 20%. Akibat dari model penerimaan tersebut yaitu pada pembedahan cesar, transmisinya lebih kecil (5,7%) dibandingkan dnegan kelahiran normal (20%). Operasi sesar merupakan tindakan untuk melindungi diri yang memadai karena dapat mencegah infeksi, air ketuban tidak mengenai bayi, tidak menggunakan vakum/foresep, dapat menghisap lendir, dan memilihi cara gunting tali pusat yang berbeda. Hubungan antara infeksi dini dan infeksi terlambat pada bayi dengan HIV yaitu pada infeksi dini umur bayi kurang dari 2 b ulan dapat dideteksi bila terdapat viral load, kelahiran normal, CD4 43000, mastitis, dan bisul pada puting susu. Bayi yang terinfeksi HIV melalui kelahiran normal terjadi

melalui transmisi ke mukosa intestinal bayi. Dampak pada proses menyusui yaitu bahwa pemberianASI pada umur 12-24 bulan yaitu 32,3-36,7% untuk terinfeksi daripada pemberian susu formula (18,2-20,5%). Probabilitas transmisi HIV 1 mealaui air susu yaitu 0,00064/L dan 0,00028/hari dari proses menyusui. Satu bayi akan terinfeksi bila mendapat asi 1500L dan 10 dari 100 anak pertahunnya yang mendapat ASI akan terinfeksi. Semakin lama menyusui, semakin besar resiko penularannya. Transmisi vertikal hanya dapat terjadi melalui proses menyusui karena dalan asi mengandung antibodi dan vaksin yang dapat masuk kedalam tubuh bayi. Proses terjadinya secara pasti belum dapat diketahui dengan jelas. Namun virus HIV dalam darah akan masuk ke ASI sehingga bayi akan tertular HIV melalui jaringan mukosa yang terbuka, jaringan limfa, luka dimulut, dan usus. Meskipun masa menyusui bayi dapat mengkonsumsi >1500 viron maka lebih dari 25000 sel dapat terinfeksi perhari, sebagian besar menjadi tidak terinfeksi. Faktor resiko transmisi setelah melahirkan adalah kesehatan

payudara sang ibu. Hal ini ditandai dengan adanya sub klinikal penyakit mastitis yang menyebabkan viral load tinggi pada payudara ibu. Mastitis berhubungan dengan meningkatnya resiko pada post natal. Luka pada puting susu dan bisul dada juga berhubungan dengan meningkatnya transmisi. Keuntungan menusui yaitu menyediakan banyak nutrisi yang sehat, mudah dicerna, sedikit alergi pada bayi, memberikan proteksi dari penyakit infeksi sepeti diare dan pneumoni, infeksi bayi pada proses melahirkan lebih rendah, membantu proses melahirkan sela njutnya, dan biaya murah. Namun kekurangannya pada ibu HIV (+) yaitu dapat terjadi transmisi HIV dan penyakit infeksi lainnya seperti sitomegalovirus. ASI dapat digantikan tapi memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya yaitu tidak terjadi transmisi HIV dan penyakit infeksi lainnya. Sedangkan kekurangannya yaitu meningkatkan penyakit diare, alergi, dan in toleran terhadap susu, malnutrisi, dan tidak mendapatkan efek kontrasepsi

karena tidak menyusui. Rekomendasi yang diberikan WHO/ UNICEF/ UNAIDS melalui petunjuk penyusuan bayi yaitu ketika penyusuan dapat dilakukan, dapat terjadi, dapat diterima secara berkesinambungan dan aman maka untuk semua proses menyusui diperbolehkan. ASI adalah sebuah pilihan yang dapat dilakukan selama 4-6 bulan dan setelah itu penghentian pemberian ASI harus dilakukan secepatnya. Penghentian pemberian ASI dilakukan saat bayi berumur 6 bulan, mengganti nutrisi alami dengan makanan yang tinggi energi, protein, mikronutrien, kalsium, dan ditambah susu. Selain itu juga perlu dilakukan konseling untuk menyediakan pelayana dan perhatian yang berjalan untuk ibu dan bayi.

F. UPAYA PMTCT UNTUK IBU HAMIL Dalam upaya PMTCT terdapat empat skenario yang dapat dilakukan dan akan disesuaikan dnengan keadaan ibu. Pada skenario pertama dibagi menjadi 2 jenis yaitu skenario 1 bila sudah ada indikasi ARV untuk Ibu (ODHA sudah masuk stadium AIDS atau CD$<350 sel/uL). ARV akan diberikan setelah trimester 1 (minggu 12-14) paling lambat minggu 36 yang selanjutnya dilakukan konseling ARV untuk penggunaan seumur hidup dengan regimen AZT (Buviral) dan NVP (Neviral). Pemantauan dilakukan dnegan mengukur Hb/ 2 minggu penggunaan dan fungsi hati setiap 2 minggu untuk memantau hepatotoksisitas akibat NVP dan akibat erupsi alergi obat NVP. Pada masa intrapartum ibu mendapat AZT dengan dosis obat lain seperti biasa.

Persalinannya seksio dan bayi pasca persalinan tidak mendapat ASI. Bayi juga mendapat AZT mulai usia 6 jam sampai 6 minggu dan NVP dosis tunggal pada usia 48-72 jam. Pada skenario pertama yang kedua yaitu dimana ibu belum diindikasikan menggunakan ARV, ODHA sudah masuk stadium AIDS atau CD4<350sel/uL yaitu dilakukan konseling pemberian obat AZT dimulai pada minggu ke 28 maksimal minggu ke 36, pemantauan dengan pemeriksaan Hb

per 2 minggu untuk memantau anemia karena AZT, pada fase intrapartum ibu mendapat AZT per 3 jam, dan NVP, dan persalinan dilakukan secara sesar. Pasca persalinan, bayi tidak mendapat ASI dan mendapat pengobatan ARV AZT per 6 jam mulai usia 6 jam sampai 6 minggu dan NVP dosis tunggal pada usia 48-72 jam. Ibu juga mengguanakan ARV selama 7 hari setelah itu dihentikan. Selain itu juga harus dilakukan pemantauan CD4 setiap 3 bulan setelah melahirkan. Pada skenario dua, yaitu ODHA hamil menddapat ARV dan hamil dilakukan dnegan melanjutkan terapi ARV dan sebaiknya ditambah AZT, lalu diberikan konseling tentang keuntungan dan resiko ARV pada trimester pertama. Pada skenario 3 yaitu ODHA hamil yang datang pada saat persalinan dan belum mendapat ARV yaitu pada fase intrapartum, ibu diberikan AZT per 3 jam, persalinan dilakukan secara sesar. Pasca persalinan, bayi tidak mendapat ASI dan mendapat pengobatan ARV AZT per 6 jam mulai usia 6 jam sampai 6 minggu dan NVP dosis tunggal pada usia 48-72 jam. Pada fase post partum ibu diberikan ARV selama 7 hari dan sesudah itu ARV dihentikan. Segera setelah persalinan, ibu menjalani pemeriksaan seperti CD4 untuk menentukan apakah ARV akan dilanjutkan seumur hidup. Berbeda dengan skenario 4 yaitu ketika bayi dari ibu ODHA datang dalam keadaan post partum dan tidak minum mARV selama kehamilan, bayi tidak mendapatkan ASI dan diberikan AZT per 6 jam mulai usia 6 jam sampai 6 minggu dan NVP dosis tunggal pada usia 48-72 jam. Selainitu ibu menjalani pemeriksaan CD4 dan pemeriksan skrining infeksi oportunistik untuk mementukan pengobatan selanjutnya dan apakah sudah mempunyai indikasi penggunaan ARV.

G. DIAGNOSIS HIV PADA BAYI Diagnosis HIV pada bayi dinyatakan sebagai positif viral load terdeteksi sebanyak 400 kopi, dan diagnosis negatif apabila dalam 2 kali pemeriksaan

viral load tidak terdeteksi dan dikonfirmasi dengan pemeriksaaan anti HIV ELISA tiga kali dengan reagen yang berbeda pada usia 18 bulan. Bayi berusia lebih dari 18 bulan dilakukan pemeriksaan anti HIV ELISA 3 kali dengan reagen berbeda seperti pada ibu.

H. PENCEGAHAN PENULARAN HIV PADA PEREMPUAN USIA REPRODUKTIF Terdapat 4 langkah dalam pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduktif yang disingkat dengan ABCD, yaitu: 1. A adalah Abstaince, yaitu tidak melakukan hubungan seks bagi orang yang belum menikah 2. B adalah Be Faithful, yaitu bersikap saling setia hanya pada 1 pasangan seks (tidak berganti-ganti pasangan) 3. C adalah Condom, yaitu untuk mencegah penularan HIV yang terjadi melalui hubungan seksual dengan menggunakan kondom bila salah satu dari pasangan tersebut diketahui terinfeksi HIV 4. D adalah Drug no, yaitu tidak menggunakan narkoba yang dapat menjadi alur transmisi HIV.

You might also like