You are on page 1of 16

BAB II PROSES INFEKSI DAN KONSEP DASAR MIKROBIOLOGI

A. Agen-agen Infeksius Organisme yang menyebabkan infeksi memiliki ukuran yang

bermacam- macam, ada yang berwujud mikroorganisme, tetapi juga ada yang berbentuk parasit dengan ukuran yang cukup besar dan terlihat oleh mata telanjang. 1. Virus Virus merupakan agen intraselular obligat yang bergantung pada perangkat metabolik pejamu untuk dapat berkembang biak. Virus diklasifikasikan berdasarkan bentuk kapsidnya dan tipe asam nukleat yang dikandungnya (DNA atau RNA). Paatogen virus merupakan agen infeksius yang paling sering menyerang manusia. 2. Bakteri Bakteri adalah prokariot yang tidak memiliki inti sel dan reticulum endoplasma. Bakteri memiliki dinding sel yang terdiri dari dua membrane lapis ganda fosfolipid yang dipisahkan oleh lapisan peptidoglikan (organism gram negatif) atau suatu membrane dalam yang dikelilingi oleh lapisan peptidoglikan (organism gram positif). Orang sehat normal dikolonisasi oleh hampir 1012 bakteri di kulit, 1010 bakteri di mulut, dan 1014 bakteri di dalam saluran cerna. Bakteri yang mengolonisasi saluran cerna meliputi Staphylococcus epidermidis,Corynebacterium acnes. Sedangkan sp dan Propionibacterium

bakteri Streptococcusmutans merupakan bakteri penyebab karang gigi (dental plaque), penyebab utama kerusakan gigi. 3.Jamur Jamur memiliki dinding sel yang tebal dan mengandung ergosterol serta tumbuh sebagai bentuk yang sempurna dan bereproduksi secara seksual. Beberapa spesies fungi, seperti kelompok Tinea yang menyebabkan kutu air,

terbatas di lapisan superfisial kulit manusia; dermatofit cenderung merusak batang rambut dan kuku. Spesies jamur tertentu menginvasi jaringan subkutis, menimbulkan abses atau granuloma, seperti yang terjadi pada sporotrikosis dan mikosis tropis. Infeksi jamur yang dalam dapat menyebar secara sistemik dan dapat menghancurkan organ vital pejamu yang mengalami gangguan kekebalan, tetapi dapat sembuh spontan atau tetap laten pada pejmau yang normal. 4. Parasit Cacing dan protozoa merupakan parasit yang sering menginfeksi manusia. Cacing parasitik memiliki siklus hidup yang bersifat kompleks; sebagian besar bergantian antara reproduksi seksual dalam pejamu definitif dan multiplikasi aseksual di vector atau pejamu antara. Sedangkan protozoa parasitik, merupakan eukariot bersel tunggal yang menjadi salah satu penyebab utama penyakit dan kematian di negara berkembang di dunia. (misalnya malaria P. falciparum) 5. Riketsia Merupakan mikroba intrasel obligat (hampir mirip dengan clamidia), yang masing-masing berkembang biak dalam fagosom sel epitel dan sitoplasma sel endotel. Riketsia ditularkan melalui vector artropoda, termasuk kutu (tifus epidemik), sengkenit (demam Q, Rocky Mountaain spotted fever (RMSF)), dan tungau (scrub typhus). Dengan mencederai sel endotel, riketsia menyebabkan vaskulitis hemoragik yang sering tampak sebagai ruam kulit.

6. Clamidia
Clamydia trachomatis merupakan infeksi utama penyebab sterilitas pada perempuan (karena menyebabkan pembentukan jaringan parut dan penyempitan tuba fallopii) dan kebutaan (oleh trakoma, suatu peradangan kronik konjungtiva yang akhirnya menyebabkan pembentukan jaringan parut dan kekeruhan kornea). B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Transmisi Agen-agen Infeksius 1. Faktor Internal
Kegagalan sistem imun pasien menghadapi berbagai kuman penyakit.

Keadekuatan virus yang berlebihan Umumnya gangguan pertumbuhan, khususnya sel-sel yang tumbuh dengan

luar biasa cepat yang di sebut tumor.


Host yang rentan, misalnya yang tidak mempunyai daya tangkal terhadap

agen tertentu karena di pengaruhi oleh beberapa faktor. Antara lain : status gizi, keturunan, imunitas dan faktor resiko lainnya. Sehingga mudah terinfeksi oleh agen infeksius.
Penyempitan pembuluh darah dan gangguan faal tubuh lainnya Kelainan kongenital (cacat bawaan) Pradisposisi yaitu faktor pada tubuh yang menyebabkan tubuh mudah

terserang penyakit. Misalnya keturunan, umur, jenis kelamin, bentuk perawakan dan kebiasaan. 2. Faktor Eksternal
Kontaminasi makanan/minuman dengan kuman tersebut Melalui inhalasi/droplet infection Hubungan seksual (51% kasus) Penggunaan narkoba intravena (45% kasus Menyebar melalui paparan darah/produk darah Kontak langsung dengan luka infeksi atau saliva dan darah yang terinfeksi. Kontak tidak langsung dari alat-alat yang terkontaminasi. Percikan darah, saliva atau sekresi nasofaring langsung pada kulit yang

terluka maupun yang utuh atau mukosa.


Aerosol atau penyebaran mikroorganisme melalui udara.

C. Kondisi yang melemahkan pertahanan pejamu melawan mikroorganisme


No 1. 2. 3. Kulit Mulut Saluran pernafasan Mekanisme pertahanan Faktor pengganggu pertahanan Luka Cabut gigi Merokok, karbondioksida & oksigen konsentrasi tinggi, kurang lembab, air dingin Pemakaian kateter

4.

Saluran urinarius

5.

Saluran gastrointestinal

Pemberian antasida Melambatnya motilitas karena pengaruh fekal atau obstruksi karena massa

6.

Vagina

Antibiotik dan kontrasepsi oral mengganggu flora normal

D. Infeksi oportunistik: kapan dan bagaimana berkembang Infeksi oportunistik adalah infeksi oleh mikroorganisme yang menyerang orang dengan sistem kekebalan buruk dan menimbulkan suatu penyakit sedangkan bagi orang yang sistem kekebalannya kuat tidak akan menimbulkan suatu penyakit. Dalam tubuh manusia terdapat banyak kuman sehingga saat sistem kekebalan manusia bekerja dengan baik, sistem tersebut mampu mengendalikan mikroorganisme tersebut tetapi bila sistem kekebalan dilemahkan oleh penyakit atau oleh beberapa jenis obat, kuman tersebut tidak terkuasai lagi dan dapat menyebabkan masalah kesehatan. Infeksi oportunistik sering juga disebut sebagai bakteri infeksi yang mengambil manfaat dari lemahnya pertahanan kekebalan tubuh seseorang. Infeksi oportunistik timbul apabila mikroorganisme membahayakan mekanisme pertahanan intrinsik hospes. Infeksi oportunistik sering menyerang klien yang sedang dirawat dengan gangguan gizi, reaksi imunologis, leukimia maupun kanker. Selain hal tersebut, infeksi oportunistik dapat juga timbul karena agen farmakologi yang dipakai untuk mengobati penyakit. Agen farmakologi tersebut akan menimbulkan efek samping seperti penekanan kekebalan yang memudahkan timbulnya infeksi oportunistik. E. Pengontrolan pertumbuhan mikroorganisme Pengontrolan pertumbuhan mikroorganisme atau cara yang digunakan untuk menghancurkan, menghambat pertumbuhan dan menyingkirkan mikroorganisme berbeda-beda tergantung pada spesies yang dihadapi. Tujuan utama mengontrol pertumbuhan mikroorganisme adalah sebagai berikut:

1. Mencegah penyebaran penyakit dan infeksi. 2. Membasmi mikroorganisme pada inang yang terinfeksi 3. Mencegah pembusukan dan perusakan bahan oleh mikroorganisme. Tindakan-tindakan 1. Sterilisasi Sterilisasi dalam mikrobiologi berarti membebaskan tiap benda atau substansi dari semua kehidupan dalam bentuk apapun. Untuk tujuan mikrobiologi dalam usaha mendapatkan keadaan steril, mikroorganisme dapat dimatikan setempat (in situ) oleh panas (kalor), gas-gas seperti formaldehide, etilenoksida atau betapriolakton oleh bermacam-macam larutan kimia, oleh sinar ultra atau sinar gamma. Mikroorganisme juga dapat disingkirkan secara mekanik oleh sentrifugasi kecepatan tinggi atau oleh filtrasi. Ada dua metode yang sering digunakan, yaitu: a. Panas lembab dengan uap jenuh bertekanan. Sangat efektif untuk sterilisasi karena menyediakan suhu jauh di atas titik didih, proses cepat, daya tembus kuat dan kelembaban sangat tinggi sehingga mempermudah koagulasi protein sel-sel mikroba yang menyebabkan sel hancur. Suhu efektifnya adalah 121oC pada tekanan 5 kg/cm2 dengan waktu standar 15 menit. b. Panas kering biasanya digunakan untuk mensterilisasi alat-alat laboratorium. Suhu efektifnya adalah 160oC selama 2 jam. 2. Disinfeksi Disinfeksi berarti mematikan atau menyingkirkan organisme yang dapat menyebabkan infeksi. Disinfeksi biasanya dilaksanakan dengan menggunakan zat-zat kimia seperti fenol, formaldehide, klor, iodium atau sublimat. Pada susu, disinfeksi dilakukan dengan pasteurisasi. Pada umumnya disinfeksi dimaksudkan untuk mematikan sel-sel vegetatif yang lebih sensitif tetapi bukan spora-spora yang tahan panas. 3. Antiseptika Antiseptika pada umumnya adalah bahan-bahan yang mematikan atau menghambat mikroorganisme, khususnya yang berkontak dengan tubuh tanpa mengakibatkan kerusakan besar pada jaringan. yang dapat dilakukan untuk mengontrol pertumbuhan mikroorganisme adalah sebagai berikut:

4. Bakteriostatika Bakteriostatika mengandung arti mempunyai sifat menghambat multiplikasi, akan tetapi bila zat penghambat itu telah dihilangkan, maka multiplikasi dilanjutkan kembali. 5. Bakterisida Bakterisida adalah setiap zat atau agen yang dapat membunuh atau memusnahkan bakteri. Contoh yang lazim meliputi beberapa antibiotika, antiseptika, dan disinfektan. 6. Asepsis Istilah asepsis biasanya digunakan untuk menghindari adanya mikroorganisme yang tidak dikehendaki terdapat dalam lingkungan. 7. Cleaning dan Sanitasi Cleaning dan sanitasi sangat penting dalam mengurangi jumlah populasi mikroorganisme pada suatu tempat. Prinsip cleaning dan sanitasi adalah menciptakan lingkungan yang tidak dapat menyediakan sumber nutrisi bagi pertumbuhan mikroba sekaligus membunuh sebagian besar populasi mikroba.

BAB III KONSEP DASAR FARMAKOLOGI

DAN KONSEP DASAR PATOLOGI KLINIK

A. Farmakologi dalam Proses Keperawatan Farmakologi (pharmacology) berasal dari bahasa Yunani, yaitu

pharmacon (obat) dan logos (ilmu). Tujuan dari mempelajari farmakologi adalah agar perawat dapat memilih dan menggunakan obat secara tepat, rasional, aman, dan efektif, serta dapat mengenal, mencegah, dan menanggulangi penyakitpenyakit yang dapat timbul akibat obat dan zat kimia lingkungan lainnya. Sehingga farmakologi dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajarai interaksi obat dengan konstituen (unsur pokok tubuh) untuk menghasilkan efek terapi. Hubungan antara dosis suatu obat dan penggunaan obat dalam pengobatan penyakit digambarkan dengan dua bidang khusus farmakologi: 1. Farmakokinetik Farmakokinetik mempelajari proses apa yang dialami obat dalam tubuh. Bidang ini berkaitan dengan absorpsi, distribusi, biotransformasi, dan ekskresi obat. Faktor ini dirangkaikan dengan dosis, penetuan konsentrasi suatu obat pada tempat kerjanya, dan penentuan intesitas efek obat sebagai fungsi dari waktu. 2. Farmakodinamik Farmakodinamik mempelajari apa pengaruh obat pada tubuh. Bidang ini juga berkaitan dengan efek-efek obat, bagaimana mekanisme kerjanya, dan organorgan apa yang dipengaruhi. Farmakodinamik berkaitan dengan efek-efek biokimia, fisiologi, dan mekanisme kerja obat-obatan B. Efek Samping Obat-obatan Efek samping obat merupakan hasil interaksi yang kompleks antara molekul obat dengan tempat kerjanya yang spesifik dalam sistem biologik tubuh dan tidak diharapkan oleh tubuh. Biasanya kejadian ESO ini dikarenakan penggunaan obat yang tidak tepat. Adapun aspek-aspek yang berperan dalam ESO, yaitu

a. Pendekatan yang digunakan untuk menemukan ESO


1. Adverse Drug Event (ADE) sering disebut kejadian efek samping

obat. Dalam hal ini termasuk kesalahan dalam pemberian obat dan semua kerusakan yang tidak ada kaitannya dengan kesalahan dalam pemberian obat.
2. ESO tipe A dan ESO tipe B ESO tipe A adalah aktivitas farmakologi

primer atau sekunder yang berlebihan dari suatu obat, misalnya blokade jantung komplet yang diinduksi oleh obat B bloker. Sedangkan ESO tipe B adalah reaksi idiosinkrasi yang umumnya adalah reaksi alergi.
3. Medication errorsuatu kesalahan dalam pemesanan, penulisan, dan

pendispensian suatu obat. b. Mekanisme terjadinya ESO Mekanisme terjadinya ESO ialah terjadinya interaksi yang kompleks antara obat, penderita, keadaan fisiologi dan patologi, serta faktor interinsik tertentu yang dapat mengubah respon penderita terhadap obat. Sebagian besar ESO dapat terjadi karena keadaan seperti reaksi yang berlebihan terhadap suatu obat, khasiat farmakologi sekunder dari obat, dan adanya toksisitas yang bersifat organ spesifik. Mekanisme terjadinya ESO dapat didasari oleh faktor farmakodinamik (meningkatnya kepekaan jaringan organ) atau faktor farmakokinetik (meningkatnya kadar zat aktif dalam jaringan akibat absorpsi, distribusi, dan eliminasi) yang tidak sempurna. c. Klasifikasi ESO Klasifikasi ESO berdasarkan ada atau tidaknya berhubungan dengan dosis dibagi menjadi 2 yaitu ESO tipe A dan ESO tipe B. Perbedaan ESO tipe A dan ESO tipe B ESO TIPE A Sering terjadi Dapat diduga sebelumnya Secara kualitatif merupakan efek farmakologi normal dan secara ESO TIPE B Jarang terjadi dan reaksinya aneh Reaksi yang tidak terduga Tidak ada hubungannya dengan efek farmakologi obat

kuantitatif berlebihan Reaksiyang timbul bergantung pada Tidak bergantung pada dosis

dosis Jarang yang fatal d. Alergi obat

Sering fatal

Alergi obat merupakan suatu reaksi imunologi. Ciri-ciri dari alergi obat meliputi berat ringannya gejala tidak bergantung pada dosis obat, reaksi ini hanya bergantung pada orang tertentu saja, gejala tidak ada kaitannya dengan efek farmakodinamik obat, gejala timbul setelah sensitisasi. C.Interaksi Obat Interaksi obat didefinisikan sebagai pemberian suatu obat yang dapat memberikan aksi terhadap obat lain. Interaksi obat dibagi menjadi 2 yaitu 1. Interaksi farmakodinamik Interaksi yang mengubah aksi farmakologik obat lain tanpa mengubah konsentrasi obat lain tersebut pada tempat kerjanya. Interaksi ini dapat mengakibatkan berkurang atau bertambahnya efek obat lain dengan keberadaan dari obat awal tersebut. Contohnya a. Antagonis reseptor beta (propanolol) mengurangi efektivitas agonis reseptor beta (misalnya salbutamol) b. Diuretika tiazid (misalnya HCT) dapat menimbulkan hipokalemia sehingga dapat menguatkan efek glikosid jantung.
c. Inhibitor monoamin oksidasin meningkatkan jumlah noradrenalin pada

ujung-ujung saraf adrenergik sehingga dapat memperkuat efek-efek obat.


d. Sulfonamid mencegah sintesis dihidrofat oleh bakteri e. Obat antibakteri yang bersifat bakteriostatik pemberian obat ini akan

tidak efektif bila diberikan bersamaan dengan obat bakteriostatik. 2. Interaksi farmakokinetik Interaksi yang mengubah aksi farmakologik obat lain dengan mengubah konsentrasi obat lain tersebut pada tempat kerjanya. Pada interaksi ini terdapat 4 fase, yaitu fase absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat).

D. Variasi Individu dalam Respon Obat Faktor genetik memainkan peran dalam variasi respon terhadap obat. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan fenotip enzim pemetabolisme obat pada individu yang mengalami adversedrug reaction. Berkurangnya aktivitas enzim pemetabolisme fase II di hati ternyata berkorelasi signifikan dengan terjadinya toksisitas saraf obat TBC isoniazid pada beberapa orang yang mengalaminya (Evans dan Relling, 1999). Fakta lebih baru menunjukkan bahwa berkurangnya aktivitas enzim pemetabolisme fase II tersebut disebabkan karena adanya polimorfisme pada enzim N-acetyl transferase 2 (NAT2).Polimorfisme pada gen yang mengkode protein yang terlibat dalam proses abosrpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat, maupun terhadap respon terhadap obat, sangat berpengaruh signifikan respon in vivo suatu individu terhadap obat. E. Pengembangan, Pengaturan, dan Klasifikasi Obat Selama proses pengembangan, suatu jenis obat menjalani lima fase pengujian, yaitu fase preklinis di laboratorium, fase 1, 2, 3, dan 4 yang melibatkan pengujian manusia. Prinsip penting dari pengembangan obat adalah sebelum suatu obat diujikan pada manusia, obat tersebut harus terlebih dahulu diujikan pada hewan. Hanya sekitar 1 dari 100 obat yang masuk ke tahap preklinis berlanjut ke pengujian pada manusia. Uji fase 1 dilakukan pada 10-80 sukarelawan sehat. Uji fase 2 dilakukan pada 100-300 pasien yang didiagnosis mempunyai penyakit yang sesuai dengan tujuan obat tersebut dibuat. Uji fase 3 melibatkan 1000-3000 pasien yang mempunyai penyakit yang relevan dan bertujuan mencari efek obat jangka pendek dan jangka panjang. Uji fase 4 memantau obat meskipun obat sudah beredar di pasaran. Sistem pengaturan obat diatur oleh undang-undang. Izin peredaran obat bergantung pada hasil uji seluruh fase. Di Indonesia, lembaga yang bertanggung jawab terhadap pengaturan proses pengembangan obat adalah Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM). Badan POM harus membuat daftar semua produk obat yang beredar sehingga dapat menggambarkan pasar obat di negara tersebut. Adapun tujuan dilakukannya hal tersebur adalah untuk membedakan obat-obat yang legal, ilegal, dan palsu. Majelis Kesehatan Dunia menetapkan beberapa pedoman sebagai petunjuk cara mengorganisasikan kegiatan pengaturan

obat. Bagian pertama berisi tentang ketentuan umum seperti ruang lingkup pengawasan obat, dasar-dasar pertanggungjawaban, fungsi perizinan, izin produk, izin pabrik dan distributor, penilaian obat baru, pemberian izin pelaksanaan uji klinis, dll. Bagian kedua dan ketiga membahas tentang aspek-aspek administratif, teknik proses registrasi obat, dan petunjuk untuk menetapkan prioritas dan pelaksanaan proses berdasarkan tahapannya. Ketika regristrasi suatu obat sudah selesai, diharapkan proses regristrasi akan teradministrasi secara efektif sesuai skema sertifikasi untuk mutu produk yang beredar di dunia perdagangan. Klasfikasi obat: 1. Obat Bebas Obat yang dikenal dengan istilah OTC (Over-the Counter). Obat ini bisa menjadi pilihan saat melakukan pengobatan sendiri, mis. ketika ada gejala flu ringan. Obat kategori ini bisa dibeli tanpa resep dokter. Obat bebas ini ada dua jenis, yaitu: a. Obat bebas Di kemasannya ada lingkaran hijau bergaris tepi hitam. Distribusinya adalah di apotek, warung/toko obat, atau bahkan di warung umum dan bisa dibeli tanpa resep dokter. Contoh: vitamin b. Obat bebas terbatas Disebut sebagai obat daftar W (dari kata warschuwing). Di kemasannya ada lingkaran biru bergaris tepi hitam Biasanya ada tanda P (Perhatian) dengan kotak kecil berdasar

warna gelap atau kotak putih bergaris tepi hitam disertai dengan tulisan: P.No. 1: Awas! Obat keras. Bacalah aturan pemakaiannya. P.No. 2: Awas! Obat keras. Hanya untuk bagian luar dari badan. P.No. 3: Awas! Obat keras. Tidak boleh ditelan. P.No. 4: Awas! Obat keras. Hanya untuk dibakar. P.No. 5: Awas! Obat keras. Obat wasir, jangan ditelan

2.

Distribusinya hanya di apotek saja dan dapat dibeli tanpa resep Contoh: obat asma

dokter. Obat Keras a. Obat yang juga dikenal dengan istilah ethical, dulu sering disebut sebagai obat daftar G(dari kata gevaarlijk = berbahaya) b. Di kemasannya ada lingkaran merah bergaris tepi hitam dengan huruf K di tengahnya c. Contoh: amoxicilin, pronicy. 3. Psikotropika dan Narkotika a. Psikotropika berguna untuk merangsang, misalnya estasy, sabu-sabu. b. Narkotika berguna untuk membius, menghilangkan rasa sakit misalnya morfin, kokain, ganja

F. Aspek Budaya dan Aspek Legal dalam Terapi Farmakologi dan Terapi Komplementer Dalam pemberian obat terhadap klien perlu diperhatikan aspek budaya klien. Terkadang bahan yang terkandung dalam sebuah obat merupakan bahan yang dilarang di dalam budaya dan agama tertentu. Maka dari itu tugas perawat adalah mengkaji aspek budaya antara bahan bahan penyusun obat dan budaya klien. Selain budaya, pemberian obat harus memperhatikan aspek etik dan legal famakologi. Biasanya aspek tersebut diatur dalam sebuah peraturan khusus ataupun undang-undang. Dalam pemberian obat, klien juga memiliki hak dan harus dipertahankan karena pemberian obat memiliki resiko tertentu. Berikut merupakan hak hak klien dalam pemberian obat (Perry & Potter, 2005): 1. Mengetahui nama, tujuan, kerja obat, dan efek potensial yang tidak diinginkan. 2. Menolak sebuah obat tanpa mempedulikan konsekuensinya.

3. Meminta perawat atau dokter berkualitas untuk mengkaji riwayat obat, termasy alergi. 4. Mendapat nasihat yang benar berkenaan dengan sifat suatu terapi obat yang pernah muncul dan memberi persetujuan untuk menguanakannya. 5. Menerima obat yang dilabel aman tanpa merasa tidak nyaman sesuai dengan lima benar (benar obat, benar dosis, benar klien, benar rute, benar waktu) pemberian obat. 6. Menerima terapi pendukung yang diperlukan terkait dengan terapi obat yang dijalani. 7. Tidak menerima obat yang tidak perlu. Pemberian obat terhadap klien harus tepat dan akurat. Seorang perawat dapat mempersiapkan pemberian obat dengan memperhatikan lima benar (benar obat, benar dosis, benar klien, benar rute, benar waktu) pemberian obat untuk menjamin pemberian obat yang aman bagi klien. G. Metode Pengumpulan dan Pengambilan Manajemen Spesimen Spesimen adalah sampel untuk pemeriksaan diagnostik. Melalui spesimen sebuah penyakit dapat didiagnosa lebih detail. Tujuan pengambilan spesimen adalah untuk menetapkan diagnosa masalah dan menilai respon klien terhadap terapi yang dijalani.Tanggungjawab perawat dalam pemeriksaan spesimen adalah:
1. Memberikan kenyamanan, mempertahankan privasi dan keamanan saat

pengambilan spesimen.
2. Menjelaskan tujuan pemeriksaan. 3. Melakukan prosedur pengambilan, penyimpanan dan pengiriman spesimen

dengan benar.
4. Mencatat informasi yang terkait dengan pemeriksaan pada lembaran dengan

benar.
5. Melaporkan jika ditemukan hasil yang tidak normal.

H. Pemeriksaan Darah Lengkap

Pemeriksaan darah lengkap adalah pemeriksaan yang dilakukan pada darah manusia dengan menghitung seluruh komponen pembentuk darah yang terdiri dari sel dara merah, hematrokit, hemoglobin, sel darah putih (WBC), komponen sel darah putih, dan trombosit. Terdapat beberapa tujuan dari pemeriksaan darah lengkap (DL), di antaranya adalah sebagai pemeriksaaan penyaring untuk menunjang diagnosa, untuk melihat bagaimana respon tubuh terhadap suatu penyakit dan untuk melihat kemajuan atau respon terapi. Prosedur pengambilan darah yang populer yaitu dengan cara mengambil darah dari tangan biasanya dari pembuluh vena dengan menggunakan spuit (suntik) sekitar 2 cc, kemudian dimasukan kedalam tabung yang berisi antikoagulan (EDTA atau sitrat), selanjutnya dibawa ke labolatorium untuk dianalisis. Pada lembar hasil DL, yang umum tercatat adalah kadar hemoglobin, jumlah trombosit, jumlah leukosit, dan hematokrit (perbandingan antara sel darah merah dan jumlah plasma darah.), Kadang juga dicantumkan LED (Laju Endap Darah) dan hitung jenis leukosit. Berikut ini adalah contoh hasil DL yang normal: 1. Kadar Hb : 12-14 (wanita), 13-16 (pria) g/dl 2. Jumlah leukosit : 5000 10.000 /l 3. Jumlah trombosit : 150.000 400.000 /l 4. Hematokrit : 35 45 % 5. LED : 0 10 mm/jam (pria), 0 20 mm/jam (wanita) I. Analisis Urin Analisis urin dapat berupa analisis fisik, analisi kimiawi dan anlisis secara mikroskopik. Analisis urin secara fisik meliputi pengamatan warna urin, berat jenis cairan urin dan pH serta suhu urin itu sendiri. Sedangkan analisis kimiawi dapat meliputi analisis glukosa, analisis protein dan analisis pigmen empedu. Untuk analisis kandungan protein ada banyak sekali metode yang ditawarkan , mulai dari metode uji millon sampai kuprisulfa dan sodium basa. Yang terakhir adalah analisis secara mikroskopik, sampel urin secara langsung diamati dibawah mikroskop sehingga akan diketahui zat-zat apa saja yang terkandung di dalam urin tersebut, misalnya kalsium phospat, glukosa, bahkan bakteri. (basoeki, 2000).

Beberapa pemeriksaan urin sederhana sering dilakukan oleh perawat pada unit perawatan. Pemeriksaan tersebut meliputi berat jenis urin, pH, dan adanya unsur yang abnormal seperti glukosa, keton, protein, dan darah samar. Waktu ideal untuk memperoleh urin untuk pemeriksaan laboratorium adalah kemih pertama dipagi hari, karena cenderung memiliki konsentrasi yang lebih tinggi dan lebih seragam serta mikroorganisme pada saat ini lebih banyak. Peralatan yang digunakan untuk analisis urin antara lain reagen dan beberapa alat penunjang lainnya. Berikut adalah tabel pemeriksaan urin sederhana yang biasa dilakukan perawat di unit kesehatan dan rumah klien: Pemeriksaan Berat jenis Tujuan Untuk mengukur konsentrasi urin atau jumlah zat yang terlarut (sampah metabolisme dan elektrolit) Kadar pH urin dalam urin Untuk mengukur keasaman atau kebasaan relatif urin dan untuk mengkaji status Glukosa asam-basa klien Untuk memeriksa adanya diabetes melitus pada klien dan mengkaji adanya toleransi glukosa yang abnormal pada klien selama Keton kehamilan Untuk memeriksa keton di urin pada klien diabetes melitus tipe 1 saat merasa tidak sehat, saat gula darah tetap diatas 240mg/dL atau Protein saat mengalami demam Untuk mengidentifikasi adanya kerusakan pada Uji kertas periksa Kertas periksa reagen Negatif Tablet atau kertas periksa reagen Sedikit asam dengan ratarata pH 6 Negatif Tablet atau kertas periksa reagen Kertas lakmus Normal 1,010-1,025 Alat Urinometer atau spektrometer atau refraktometer

ginjal khususnya glomerulus reagen negatif Darah samar ginjal Untuk menentukan apakah terdapat darah samar sebagai manifestasi dari suatu penyakit Negatif Kertas periksa reagen

J. Analisis Feses Feses merupakan zat sisa yang berhubungan dengan saluran pencernaan. Analisis feses dilakukan untuk mengidentifikasi adanya beberapa patogen yang menyebabkan infeksi saluran pencernaan. Pemeriksaan feses ini dilakukan sesegera mungkin setelah dikeluarkan oleh klien karena lingkungan luar dapat mempengaruhi komponen yang ada dalam feses. Misalnya feses untuk pemeriksaan telur dan parasit harus dikirim ke laboratorium segera setelah pengambilan. Apabila hal ini tidak dilakukan, spesimen harus disimpan pada suhu lemari pendingin atau ditempatkan dalam pengawet berbasis formalin atau polivinil alkohol (PVA). Feses untuk pemeriksaan toksin mikroba harus segera dikirim ke laboratorium atau dibekukan untuk mencegah hilangnya aktivitas toksin yang labil-panas (Kozier:2009).

You might also like