You are on page 1of 48

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Masalah kesehatan adalah suatu masalah yang sangat kompleks, yang saling berkaitan dengan masalah-masalah lain di luar kesehatan sendiri. Demikian pula pemecahan masalah kesehatan masyarakat, tidak hanya dilihat dari segi kesehatannya sendiri, tapi harus dilihat dari segisegi yang ada pengaruhnya dengan masalah sehat sakit atau kesehatan tersebut. Menurut Hendrik L.Bloom (1974) ada 4 faktor yang mempengaruhi kesehatan, baik kesehatan individu maupun kesehatan masyarakat, yaitu keturunan, lingkungan, perilaku, dan pelayanan kesehatan. Status kesehatan akan tercapai secara optimal, bilamana keempat faktor tersebut secara bersama-sama mempunyai kondisi yang optimal pula. Salah satu faktor saja berada dalam keadaan yang terganggu, maka status kesehatan bergeser di bawah optimal.

Perkembangan epidemiologi menggambarkan secara spesifik peran lingkungan dalam terjadinya penyakit dan wabah, bahwasanya lingkungan berpengaruh pada terjadinya penyakit. Interaksi manusia dengan

lingkungan hidupnya merupakan suatu yang wajar dan terlaksana sejak manusia itu dilahirkan sampai ia meninggal, hal ini disebabkan karena

manusia memerlukan daya dukung unsur-unsur lingkungan untuk kelangsungan hidupnya.

Masalah penyehatan lingkungan pemukiman khususnya pada jamban keluarga merupakan masalah kesehatan yang perlu mendapatkan prioritas. Fasilitas jamban keluarga di masyarakat terutama dalam pelaksanaannya tidaklah mudah, karena menyangkut peran serta

masyarakat yang biasanya sangat erat kaitannya dengan perilaku, tingkat ekonomi, kebudayaan dan pendidikan.

Munculnya kembali beberapa penyakit menular sebagai akibat dari semakin besarnya tekanan bahaya kesehatan lingkungan yang berkaitan dengan masalah sanitasi, cakupan air bersih dan jamban keluarga yang masih rendah, perumahan yang tidak sehat, pencemaran makanan oleh mikroba, telur cacing dan bahan kimia, penanganan sampah dan limbah yang belum memenuhi syarat kesehatan, vektor penyakit yang tidak terkendali (nyamuk, lalat, kecoa, tikus dan lain-lain), pemaparan akibat kerja (penggunaan pestisida di bidang pertanian, industri kecil dan sektor informal lainnya), bencana alam, serta perilaku masyarakat yang belum mendukung ke arah pola hidup bersih dan sehat.

Menurut Departemen Kesehatan, selama 30 tahun terakhir, anggaran yang dialokasikan untuk perbaikan sanitasi hanya sekitar 820 juta dollar AS atau setara Rp 200/orang/tahun. Padahal, kebutuhannya mencapai Rp 470/rupiah/tahun. Versi Bank Pembangunan Asia, perlu Rp

50 triliun untuk mencapai target Millennium Development Goals (MDGs) 2015, dengan 72,5 persen penduduk akan terlayani oleh fasilitas air bersih dan sanitasi dasar. Dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tahun 2008, anggaran untuk sanitasi itu, menurut seorang narasumber, hanya 1/214 dari anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM). Selain lemahnya visi menyangkut pentingnya sanitasi, terlihat pemerintah belum melihat anggaran untuk perbaikan sanitasi ini sebagai investasi, tetapi mereka masih melihatnya sebagai biaya (cost). Padahal, menurut perhitungan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan sejumlah lembaga lain, setiap 1 dollar AS investasi di sanitasi, akan memberikan manfaat ekonomi sebesar 8 dollar AS dalam bentuk peningkatan produktivitas dan waktu, berkurangnya angka kasus penyakit dan kematian (Sri Hartati, 2008) Laporan MDGs tahun 2007 mencatat ada beberapa kendala yang menyebabkan masih tingginya jumlah orang yang belum terlayani fasilitas air bersih dan sanitasi dasar. Di antaranya adalah cakupan pembangunan yang sangat besar, sebaran penduduk yang tak merata dan beragamnya wilayah Indonesia, keterbatasan sumber pendanaan. Pemerintah selama ini belum menempatkan perbaikan fasilitas sanitasi sebagai prioritas dalam pembangunan (Sri Hartati, 2008) Di negara berkembang masih banyak terjadi pembuangan tinja secara sembarangan akibat tingkat sosial ekonomi yang rendah, pengetahuan dibidang kesehatan lingkungan yang kurang dan kebiasaan

buruk dalam pembuangan tinja yang diturunkan dari generasi ke generasi. kondisi tersebut terutama ditemukan pada masyarakat di pedesaan dan daerah kumuh perkotaan (Chandra B.,2007). Desa Gendang Barat merupakan salah satu wilayah yang letak wilayahnya berada pada daerah pedalaman dan masyarakatnya bermata pencaharian umumnya sebagai petani dan sisanya pegawai negeri sipil dan wiraswasta, akan tetapi masih banyak masyarakat yang buang air besar di tempat yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah kesehatan seperti kebun, sungai dan rawa. Pada tahun 2011 Desa Gendang Barat menduduki urutan tertinggi dalam masalah kasus kejadian penyakit diare di wilayah kerja puskesmas Gayam. Berdasarkan data sarana sanitasi dasar di Desa Gendang Barat terdapat 857 kepala keluarga sedangkan yang mempunyai jamban keluarga hanya 193 kepala keluarga. (Puskesma Gayam 2011) Dari latar belakang masalah yang diuraikan diatas maka peneliti tertarik untuk melekukan penelitian dengan judul Hubungan Tingkat Ekonumi Dan Budaya Dengan Kepemilikan Jamban Keluarga Di Desa Gendang Barat Kecamatan Gayam Kabupaten Sumenep Tahun 2012.

B. BATASAN MASALAH Penulis membuat suatu batasan masalah yang ingin diteliti yaitu tingkat ekonumi dan budaya dengan kepemilikan jamban keluarga di Desa Gendang Barat Kecamatan Gayam Kabupaten Sumenep.

C. RUMUSAN MASALAH

Dari batasan masalah di atas maka penulis membuat suatu rumusan masalah yaitu : Apakah ada hubungan antara tingkat ekonumi dan budaya dengan kepemilikan jamban keluarga di Desa Gendang Barat Kecamatan Gayam Kabupaten Sumenep Tahun 2012 ?

D. TUJUAN PENELITIAN 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan tingkat ekonumi dan budaya dengan kepemilikan jamban keluarga di Desa Gendang Barat Kecamatan Gayam Kabupaten Sumenep. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengidentifikasi tingkat ekonumi di Desa Gendang Barat. b. Untuk mengidentifikasi budaya di Desa Gendang Barat. c. Untuk menganalisis hubungan tingkat ekonumi dan budaya dengan kepemilikan jamban keluarga di Desa Gendang Barat.

E. MANFAAT PENELITIAN

1. Bagi Peneliti Memberikan pengalaman dalam melaksanakan penelitian, serta menambah pengetahuan dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimiliki. 2. Bagi instansi/Dinas Terkait Diharapkan dapat menjadi salah satu bahan masukan bagi Kantor Dinas Kesehatan Setempat. 3. Bagi Peneliti Lain Sebagai bahan bacaan dan menjadi sumbangan ilmiah bagi penelitipeneliti selanjutnya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. TINJAUA TEORI Keadaan lingkungan dapat mempengaruhi kondisi kesehatan masyarakat. Banyak aspek kesejahteraan manusia dipengaruhi oleh lingkungan, dan banyak penyakit dapat dimulai, didukung, ditopang atau dirangsang oleh faktor-faktor lingkungan. Menurut Notoatmodjo (1996), kesehatan lingkungan pada

hakikatnya adalah suatu kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum

sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status kesehatan yang optimum pula. Undang-undang RI No.23 tahun 1992 tentang kesehatan menyebutkan bahwa kesehatan lingkungan meliputi penyehatan air dan udara, pengamanan limbah padat, limbah cair, limbah gas, radiasi dan kebisingan, pengamanan pengendalian lainnya. faktor penyakit, luasnya dan penyehatan lingkup atau

Melihat

ruang

kesehatan

lingkungan, sangatlah diperlukan adanya multidisiplin kerja agar kegiatannya dapat berjalan dengan baik. Sanitasi lingkungan adalah usaha mengendalikan semua faktorfaktor fisik manusia yang mungkin menimbulkan hal-hal yang merugikan bagi perkembangan fisik kesehatan dan daya tahan hidup manusia, kesehatan lingkungan pada hakikatnya adalah suatu kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status kesehatan yang optimum pula. Ruang lingkup kesehatan lingkungan tersebut antara lain: perumahan, penyediaan air bersih, pembuangan air limbah, rumah hewan ternak (kandang) dan sebagainya. Usaha memperbaiki atau kondisi lingkungan ini dari masa ke masa, dan dari masyarakat satu ke masyarakat lainnya bervariasi dan bertingkat dari paling sederhana (primitif) sampai paling mutakhir (modern). Sanitasi merupakan salah satu tantangan yang paling utama bagi negara negara berkembang. Karena menurut WHO, penyakit diare membunuh satu anak di dunia ini setiap 15 detik, karena akses pada sanitasi masih terlalu rendah. Hal ini menimbulkan masalah kesehatan

lingkungan yang besar, serta merugikan pertumbuhan ekonomi dan potensi sumber daya manusia pada skala nasional.

1. Tingkat Ekonumi Kata ekonomi sendiri berasal dari kata Yunani oikos yang berarti keluarga, rumah tangga dan nomos, atau peraturan, aturan, hukum, dan secara garis besar diartikan sebagai aturan rumah tangga atau manajemen rumah tangga. Ekonomi adalah adanya

ketidakseimbangan antara kebutuhan manusia yang tidak terbatas dengan alat pemuas kebutuhan yang jumlahnya terbatas.(wikipedia, 2009). Menurut Departemen Kesehatan, selama 30 tahun terakhir, anggaran yang dialokasikan untuk perbaikan sanitasi hanya sekitar 820 juta dollar AS atau setara Rp 200/orang/tahun. Padahal, kebutuhannya mencapai Rp 470/rupiah/tahun. Versi Bank

Pembangunan Asia, perlu Rp 50 triliun untuk mencapai target MDGs 2015, dengan 72,5 persen penduduk akan terlayani oleh fasilitas air bersih dan sanitasi dasar.Dalam APBN tahun 2008, anggaran untuk sanitasi itu, menurut seorang narasumber, hanya 1/214 dari anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM). Selain lemahnya visi

menyangkut pentingnya sanitasi, terlihat pemerintah belum melihat anggaran untuk perbaikan sanitasi ini sebagai investasi, tetapi mereka masih melihatnya sebagai biaya (cost).Padahal, menurut perhitungan

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan sejumlah lembaga lain, setiap 1 dollar AS investasi di sanitasi, akan memberikan manfaat ekonomi sebesar 8 dollar AS dalam bentuk peningkatan produktivitas dan waktu, berkurangnya angka kasus penyakit dan kematian ( Sri Hartati, 2008). Pemerintah Indonesia selama ini selalu memberikan perhatian yang besar terhadap upaya penanggulangan kemiskinan karena pada dasarnya pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Perhatian pemerintah terhadap penanggulangan kemiskinan semakin besar lagi setelah krisis ekonomi melanda Indonesia pada pertengahan 1997. pemerintah secara tegas menetapkan upaya penanggulangan kemiskinan sebagai salah satu prioritas pembangunan sebagaimana termuat dalam undang-undang nomor 25 tahun 2000 tentang program pembangunan nasional (PROPENAS). Target yang ditetapkan pada periode tahun 2000-2004 adalah berkurangnya persentase penduduk miskin, dari 19% pada tahun 1999 menjadi 14% pada tahun 2004. keseriusan pemerintah ini juga terlihat dengan dikeluarkannya keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 124 tahun 2001 pembentukan komite

penanggulangan kemiskinan (KPK). Tidak lama setelah itu pada tahun 2002 KPK juga telah menerbitkan dokumen interim strategi penanggulangan kemiskinan (Ritonga, 2008). 2. Tindakan Ekonomi

Tindakan ekonomi adalah setiap usaha manusia yang dilandasi oleh pilihan yang paling baik dan paling menguntungkan. Misalnya : Ibu memasak dengan kayu bakar karena harga minyak tanah sangat mahal (wikipedia, 2009). Tindakan ekonomi terdiri dari dua aspek, yaitu (wikipedia, 2009): a. Tindakan ekonomi rasional, setiap usaha manusia yang dilandasi oleh pilihan yang paling menguntungkan dan kenyataannya demikian. b. Tindakan ekonomi irrasional, setiap usaha manusia yang dilandasi oleh pilihan yang paling menguntungkan namun kenyataannya tidak demikian. 3. Motif Ekonomi Motif ekonomi adalah alasan ataupun tujuan seseorang sehingga seseorang itu melakukan tindakan ekonomi. Motif ekonomi terbagi dalam dua aspek (wikipedia, 2009): a. Motif intrinsik, disebut sebagai suatu keinginan untuk melakukan tindakan ekonomi atas kemauan sendiri. b. Motif ekstrinsik, disebut sebagai suatu keinginan untuk melakukan tindakan ekonomi atas dorongan orang lain. Pada prakteknya terdapat beberapa macam motif ekonomi: a) Motif memenuhi kebutuhan b) Motif memperoleh keuntungan

10

c) Motif memperoleh penghargaan d) Motif memperoleh kekuasaan e) Motif sosial atau menolong sesama 4. Prinsip Ekonomi Prinsip ekonomi merupakan pedoman untuk melakukan tindakan ekonomi yang didalamnya terkandung asas dengan pengorbanan tertentu diperoleh hasil yang maksimal (wikipedia, 2009). Keluarga di Indonesia dikategorikan dalam lima tahap, yakni keluarga pra sejahtera, keluarga sejahtera I, keluarga sejahtera II, keluarga sejahtera III dan keluarga sejahtera III plus. Keluarga pra sejahtera adalah keluarga yang belum mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan dan papan. Keluarga sejahtera I adalah keluarga yang walaupun kebutuhan dasar telah terpenuhi, namun kebutuhan sosial psikologis belum terpenuhi. Keluarga sejahtera II adalah keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar, sosial-psikologisnya, tapi belum dapat memenuhi kebutuhan pengembangan. Keluarga sejahtera III adalah keluarga yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar, sosial-psikologis, pengembangan tapi belum dapat memberi sumbangan secara teratur pada masyarakat sekitarnya. Keluarga sejahtera tahap III plus adalah keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar, sosial-psikologis, pengembangan, serta telah dapat memberikan

11

sumbangan yang teratur dan berperan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan.( Chandra B., 2006). Masalah ekonomi yang perlu mendapatkan perhatian serius adalah kemiskinan. kemiskinan adalah kekurangan dan

keterbelakangan. di Indonesia batas garis kemiskinan yang ditetapkan badan puasat statistik (BPS), dalam statisitik Indonesia 1999 mengacu pada kebutuhan minimum non makanan yang merupakan kebutuhan dasar seseorang yang meliputi kebutuhan dasar untuk sandan dan pangan serta kebutuahan mendasar lainnya (Yudistira, 2007). Kriteria keluarga miskin berdasarkan Jaminan Pendanaan Sosial-Badan Kemiskinan (JPS BK) adalah : a) Keluarga tidak bisa makan dua kali sehari b) Keluarga tidak mampu mengobati anak / keluarga yang sakit kepelayanan kesehatan. c) Kepala keluarga terkena PHK massal d) Pada keluarga terdapat anak yang drop out karena masalah ekonomi. Sistem ekonomi Indonesia mempunyai acuan yang telah diatur dalam undang undang dasar 1945 yang menentukan demokrasi ekonomi sebagai dasar pelaksana pembangunan ekonomi Indonesia guna kemakmuran masyarakat utamanya bukan kemakmuran individu atau golongan.

12

Beberapa masalah ekonomi dengan skala prioritas tinggi di Indonesia yaitu : (yudistira, 2007). a) Kemiskinan Menurut BPS tahun 2003 tercatat sekitar 40.000.000 penduduk Indonesia berada pada garis kemiskinan, ada dua macam ukuran kemiskinan yang umum dipergunakan yaitu

kemiskianan absolut dan kemiskinan relatif. b) Keterbelakangan Keterbelakangan tampak pada banyak hal seperti tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah daya saing dan kualitas manusia yang rendah, infrastruktur pembangunan, penguasaan tekhnologi dan lain lain. c) Pengangguran Banyaknya angkatan kerja yang tidak tertampung karena sempitnya lapangan kerja, masalah ini menyangkut

infastruktur maupun kualitas kerja.

Kemiskinan didefinisikan sebagai suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang

bersangkutan. Kemiskinan bukan semata-mata kekurangan dalam ukuran ekonomi, tapi juga melibatkan kekurangan dalam ukuran kebudayaan dan kejiwaan (Suburratno dalam Ingga, 2008).

13

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penyebab tingginya jumlah orang miskin di daerah-daerah ini karena perekonomiannya sangat bergantung pada empat bidang utama yang seluruhnya dikuasai oleh pelaku ekonomi yang tidak berbasiskan usaha kecil dan menengah. Keempat bidang utama tersebut adalah perkebunan, pertambangan, kehutanan, dan

perdagangan. Dengan penghasilan pas-pasan, cukup untuk makan saja, mereka sering dijadikan contoh kasus kemiskinan yang melandasi masyarakat terus berusaha mendapat kucuran dana lebih dari pemerintah pusat (Slamet, 2002). Data kemiskinan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) menekankan delapan indikator penilaian, yaitu: frekuensi makan yang minimal dua kali sehari, konsumsi lauk-pauk yang berprotein, kepemilikan pakaian, aset, luas lantai hunian per kapita minimal delapan meter persegi, jenis lantai, ketersediaan air bersih, dan kepemilikan jamban (Slamet, 2002). Persoalan ekonomi di Indonesia ini tidak hanya terbatas pada indikator-indikator itu. Keberadaan mereka di daerah-daerah terisolasi sering luput dari sentuhan pembagunan, seperti

terjangkitnya diare dan penyakit kulit dari kontaminasi air dan tanah akibat kotoran manusia di sepanjang kawasan pesisir pantai dan sungai (Suburratno dalam Ingga, 2008).

14

Pola penyakit di Indonesia ini setara dengan negara-negara lain yang berpenghasilan kurang lebih sama. Hal ini tampak jelas bahwa negara tergolong miskin keadaan gizinya rendah,

pengetahuan tentang kesehatannyapun rendah, sehingga keadaan kesehatan lingkungannya juga buruk dan status kesehatannya buruk pula (Slamet, 2002).

2.Kebudayaan (Kebiasaan) Dalam ilmu psikologi, ada istilah yang dikenal dengan teori kebiasaan. Teori ini merupakan hasil irisan antara dorongan/keinginan, dengan keterampilan (skill) dan pengetahuan (knowledge). Artinya, jika cara berpikir dan berperilaku setiap individu sudah melekat menjadi sebuah kebiasaan, maka setidaknya terbangun sudah satu batu bata dalam membangun sebuah peradaban manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur manusia. (Muslih, 2009). Kebiasaan mempunyai karakteristik utama. Pertama, kebiasaan itu dapat diamati atau observable, bila berupa benda dapat diraba, dan bila berupa kegiatan atau aktivitas dapat dilihat. Kedua, kebiasaan itu bersifat mekanistis atau otomatis. Kebiasaan itu terjadi secara spontan tanpa disadari dan sukar dihilangkan terkecuali kalau lingkungan itu berubah. Perubahan itu mengarah kepada penghilangan stimulus yang membangkitkannya (Tarmizi, 2009). Pemanfaatan jamban keluarga sangat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan dan kebiasaan masyarakat. Pemanfaatan jamban keluarga

15

oleh masyarakat belum sesuai dengan harapan, karena masih ada yang buang hajat di tempat-tempat yang tidak sesuai dengan kaidah kesehatan, Misalnya sungai, kebun, atau sawah. Hal ini karena kebiasaan (pola hidup) atau fasilitas yang kurang terpenuhi serta pengetahuan, sikap dan prilaku dari masyarakat itu sendiri maupun kurang informasi yang mendukung terhadap pemanfaatan jamban keluarga (Aryani, 2008). Kebiasaan masyarakat yang tidak mau menggunakan jamban merupakan faktor utama meluasnya penyakit. Kebiasaan masyarakat yang lebih suka membuang hajat di sembarangan tempat membuat mereka enggan membuat jamban di rumah masing-masing. Rendahnya pendidikan dan kesadaran masyarakat membuat kebiasaan buang air besar di sembarang tempat sulit dihilangkan, karena warga lebih suka membuat WC helicopter dari pada membuat jamban di rumah akibat ketiadaan biaya untuk membuat septic tank yang mahal (Aryani, 2008). Ini sangat berkaitan dengan prilaku masyarakat sendiri yang sudah menjadi kebiasaan bertahun-tahun. Upaya meningkatkan kesadaran masyarakat itu sebenarnya sudah dilakukan sejak lama dengan bantuan pembangunan jamban di beberapa tempat yang membutuhkannya (Aryani, 2008). Ketika perilaku masyarakat berubah dalam hal buang air besar maka akan ada dampak ke arah yang lebih baik. Merajuk kepada

16

ketentuan organisasi kesehatan dunia (WHO). Sanitasi yang aman mampu menurunkan resiko diare hingga 36%. Biaya pengobatan pun akan berkurang, hanya perlu komitmen yang kuat dari masyarakat dan pemerintah untuk harus mendorong upaya peningkatan

sanitasi (Aryani, 2008). Di negara berkembang masih banyak terjadi pembuangan tinja secara sembarangan akibat tingkat sosial ekonomi yang rendah, pengetahuan dibidang kesehatan lingkungan yang kurang dan kebiasaan buruk dalam pembuangan tinja yang diturunkan dari generasi ke generasi. kondisi tersebut terutama ditemukan pada masyarakat di pedesaan dan daerah kumuh perkotaan (Chandra B., 2007). B. TINTJAUAN UMUM TENTANG JAMBAN KELUARGA 1. Pengertian Jamban adalah suatu ruangan yang mempunyai fasilitas pembuangan kotoran manusia yang terdiri atas tempat jongkok atau tempat duduk dengan leher angsa atau tanpa leher angsa (cemplung) yang dilengkapi dengan unit penampungan kotoran dan air untuk membersihkannya serta mempunyai persyaratan sebagai berikut (Notoatmodjo, 2007): a) Sebaiknya jamban tersebut tertutup, artinya bangunan jamban terlindungi dari panas dan hujan, serangga - serangga dan binatang-

17

binatang lain, terlindung dari pandangan orang (privacy) dan sebagainya b. Bangunan jamban sebaiknya mempunyai lantai yang kuat tempat terpijak yang kuat. c. Bangunan jamban sedapat mungkin ditempatkan pada lokasi yang tidak mengganggu pandangan, tidak menimbulkan bau. d. Sedapat mungkin disediakan alat pembersih seperti air atau kertas pembersih. 2. Macam-macam jamban dan cara pembuatannya Ada beberapa macam jamban yang sesuai dengan konstruksi dan cara pembuatannya (ada 4 macam) jamban (Notoatmodjo, 2003): a. Kakus cemplung Bentuk kakus ini adalah paling sederhana yang dapat dianjurkan pada masyarakat. Nama ini dipakai bila orang menggunakan kakus jenis ini (membuang kotorannya kekakus semacam ini), maka kotorannya lansung masuk jatuh kedalam tempat penampungan kotoran yang dalam bahasa jawanya Nyemplung. Kakus cemplung ini hanya terdiri dari sebuah lubang galian diatasnya diberi lantai dan tempat jongkok, sedang dari tempat jongkok kelubang galian tidak terdapat alat apapun sebagai penyalur maupun penghalang. Lubang galian terdapat penampungan itu sendiri dapat tanpa diberi pasangan tembok, atau ditembok seluruh bagian dalamnya termasuk dasarnya, sehingga kakus ini bernama kakus cemplung,

18

dapat disebut juga beerput (bila seluruh bagian dalam tempat penampungan itu termasuk dasarnya ditembok), dapat juga disebut zink-put (bila sisi-sisinya saja yang ditembok, sedang dasarnya tidak.Lantai kakus ini pun dapat dibuat dari bambu atau kayu, tapi dapat juga dari pasangan batu bata atau beton. Agar tidak menjadi sarang dan makanan serangga penyebar penyakit, maka lubang tempat jongkok harus ditutup bila tidak dipakai. Kakus semacam ini masih menimbulkan gangguan karena bau busuknya. Cara pembuatannya: 1) Buat sebuah galian yang berukuran 0,8 m x 0,8 x 3 m. 2) Atau bila berbentuk silinder diameternya 0,8 m x 3 m, buatlah lantai dari bambu atau kayu yang ukurannya disesuaikan dengan leher galian tadi yang selanjutnya dipasang diatasnya. Bila dikehendaki lantai tersebut dari pasangan bata, maka setelah lubang digali langsung dikerjakan pasangan bata. 3) Buat tutup atau lubang tempat jongkok. 4) Buat bangunan rumah kakusnya, boleh dari bambu atau kayu serat bilik dan atasnya dari genting, tapi dapat pula dengan pasangan bata. Ini tergantung dari kemampuan orangnya. b. Kakus Plengsengan Plensengan berasal dari bahasa Jawa (mlengseng) berarti miring nama itu dipakai karena dari lubang tempat jongkok ketempat penampungan kotoran dihubungkan oleh suatu saluran yang miring

19

(mlengseng). Jadi tempat jongkok dari kakus ini dibuat/diletakkan persis diatas penampungan, melainkan agak menjauh

disampingnya. Juga kakus ini dapat disebut beerput ataupun zinkput, bila itu memperhatikan konstrusi tempat penampungan kotorannya (lihat kakus cemplung). Kakus semacam ini sedikit lebih baik dan menguntungkan dari pada kakus cemplung, karena baunya agak berkurang, dan keamanan bagi pemakai lebih terjamin. Seperti halnya pada kakus cemplung, maka lubang dari tempat jongkok harus dibuatkan tutup. Cara pembuatannya : Sama seperti kakus cemplung, hanya lantai kakus tidak dibuat diatas tempat penampungan, dan harus memasang saluran yang menghubungkan lubang tempat jongkok dan lubang penampungan kotoran. Pembuatan kakus cemplung dan kakus plengsengan tidak mengalami kesukaran bila itu diselenggarakan disuatu daerah dimana permuakaan air tanah berada jauh di bawah permukaan tanah, demikian juga daerah yang tidak merupakan daerah banjir diwaktu hujan. Bila penyelenggaraannya berada di daerah yang permukaan air tanahnya dekat sekali dengan permukaan tanah atau yang merupakan daerah banjir diwaktu hujan kita harus selalu selalu ingat bahwa lantai dan tempat jongkok harus ditinggikan dan berada di atas permukaan air setingi waktu banjir. Bagi daerah yang susunan tanahnya mudah runtuh, maka kita tidak hanya

20

membuat gakian biasa untuk tempat penampungan kotoran, tetapi harus mempergunakan selonsong bambu dibagian dalam dari lubang galian itu, atau ditembok sisi-sisinya. c. Kakus Bor Dinamakan demikian karena tempat penampungan kotorannya dibuat dengan mempergunakan bor. Bor yang digunakan adalah bor tangan yang disebut boor aunger dengan diameter antara 30-40 cm. Sudah barang tentu lubang itu harus jauh lebih dalam dibandingkan dengan lubang yang digali seperti pada kakus cemplung atau plengsengan, karena diameter kakus bor ini jauh lebih kecil. Pengeboran pada umumya dilakukan sampai mengena air tanah. Perlengkapan lainnya dan cara mempergunakan, dapat pula diatur seperti pada kakus cemplung dan kakus plengsengan. d. Kakus Angsatrine (Water Seal Laterine) Kakus ini, dibawak tempat jongkoknya ditempatkan atau

dipasangkan suatu alat yang berbentuk seperti leher angsa yang disebut bowl. Bowl ini berfungsi mencegah timbulnya bau. Kotoran yang berada ditempat penampungan tidak tercium baunya, karena terhalang oleh air yang selalu terdapat dalam bagian yang melengkung, dengan demikian juga dapat mencegah hubungan lalat dengan kotoran. Karena dapat mencegah gangguan lalat dan bau, maka memberikan keuntungan untuk dibuat didalam rumah. Agar terjaga kebersihannya, kakus semacam ini harus cukup tersedia air.

21

Cara pembuatannya 1) Buat lubang galian dengan ukuran dan cara seperti kakus cemplung. 2) Buat selongsong atau temboklah sisi-sisi dalam dari lubang galian tersebut bila tanahnya mudah runtuh. 3) Pasang slab yang sudah jadi. 4) Buat rumah kakusnya atau pasanglah rumah kakusnya bila telah dipersiapkan secara tersendiri. 5) Kapur rumah kakus tersebut terutama bagian dalam. e. Jamban septic tank (Anonim, 2009) Jamban ini sama dengan jamban sistem resapan. Perbedaanya terletak pada jumlah septik tank dan cara pembuangannya. Jumlah septik tank ganda mempunyai dua atau lebih lubang penampung kotoran. Cara pemakaian dilakukan bergilir setelah salah satu bak penampung terisi penuh. Bak penampung yang telah penuh ditutup dan didiamkan beberapa lama supaya kotoran dapat dijadikan kompos atau pupuk. Saluran pembuangan dapat dipindahkan dengan menutup/membuka lubang saluran yang dikehendaki pada bak pengontrol. Ukuran lubang dan bangunan jamban tergantung pada kebutuhan dan persediaan lahan. Kotoran yang telah berubah menjadi kompos dapat diambil dan dimanfaatkan sebagai pupuk. Bak penampung yang telah dikosongkan dapat dimanfaatkan kembali (Anonim, 2009).

22

Cara Pembuatannya 1) Pilih satu model bak penampung 2) Tentukan jarak dari sumber air menurut kondisi tanah 3) Bangunlah konstruksi 4) Isilah sekeliling bak dengan bahan porous (kerikil, ijuk, batu,dll) 5) Buat penutup bak dan letakkan di atas bak. 6) Jamban siap dipakai, apabila sudah penuh arah pembuangan kotoran diubah melalui bak kontrol. 7) Kotoran yang sudah menjadi kompos dimanfaatkan menjadi pupuk. 3. Faktor-faktor dalam metode pembuangan tinja Adapun faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam metode pembuangan tinja antara lain faktor non teknis (Notoatmodjo, 2003). a. Faktor teknis meliputi: 1) Faktor dekomposisi ekskreta manusia Fenomena terjadinya dekomposisi ekskreta manusia

memegang peranan yang amat penting dalam perencanaan sistem sarana pembuangan tinja. Banyak sarana pembuangan tinja direncanakan kapasitas serta prinsip kerjanya dengan mendasarkan pada fenomena ini. Dekomposisi ekskreta yang merupakan proses dan berlansung secara alamiah ini melaksanakan 3 aktivitas utama :

23

a) Pemecahan senyawa-senyawa organik kompleks seperti protein dan urea kedalam bentuk-bentuk yang lebih sederhana dan stabil. b) Pengukuran volume dan massa (kadang-kadang sampai mencapai 80%) bahkan yang mengalami dekomposisi dengan menghasilkan gas-gas seperti methan, carbon dioxide, ammonia, dan nitrogen yang dibebaskan ke atmosfir dan dengan menghasilkan bahan-bahan yang terlarut yang dalam keadaan tertentu meresap masuk dalam tanah. c) Penghancuran organisme pathogen yang dalam beberapa hal tidak bertahan hidup dalam proses-proses dekomposisi atau terhadap serangan kehidupan biologik yang sangat banyak terdapat dalam massa yang mengalami

dekomposisi. Bakteri memainkan peranan utama dalam dekomposisi dan aktivitas bakteri baik aerobik maupun anaerobik melangsungkan proses dekomposisi ini. 2) Faktor kuantitas tinja manusia Kuantitas kotoran manusia yang dihasilkan dipengaruhi oleh kondisi setempat, bukan hanya faktor physiologis, tetapi juga faktor-faktor budaya dan agama. Apabila di suatu daerah tidak tersedia data hasil penelitian setempat maka keperluan

24

perencanaan dapat digunakan angka total produksi ekskreta 1 kg (berat bersih) per orang/hari. 3) Faktor pencemaran tanah dan air tanah Pada pencemaran tanah dan air tanah oleh ekskreta merupakan informasi penting yang harus dipertimbangkan dalam

perencanaan sarana pembuangan tinja, khususnya dalam perencanaan lokasi kaitannya dengan sumber-sumber air minum yang ada. Jarak perpindahan bakteri dalam tanah dipengaruhi berbagai faktor, salah satu faktor penting adalah faktor parositas tanah. Perpindahan bakteri air tanah biasanya mencapai jarak kurang dari 90 cm, dan secara vertikal kebawah kurang dari 3 m pada lubang yang terbuka terhadap hujan lebat dan tidak lebih dari 60 cm biasanya pada tanah yang poreus. 4) Faktor penempatan sarana air tinja Tidak ada aturan yang pasti untuk menentukan jarak yang aman antara jamban dan air minum, sebab hal itu dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti kemiringan dan ketinggian air tanah serta permeabilitas tanah. 5) Faktor perkembangbiakan lalat pada ekskreta Perlu dihindarkan atau dicegah terjadinya perkembang biakan lalat pada tinja dalam lubang jamban. Kondisi lubang jamban yang gelap dan tertutup sebenarnya sudah dapat mencegah perkembangbiakan lalat ini, baik karena kerapatannya maupun

25

karena sifat lalat yang phototropisme positif (tertarik pada sinar dan menjauhi kegelapan atau permukaan yang gelap). 6) Faktor tutup lubang jamban Harus diupayakan adanya tutup lubang jamban yang dapat mendorong pemakai jamban untuk memfungsikan sebagaimana mestinya. Dalam konstruksi yang sederhana mungkin hingga pemakai tidak terlalu sulit untuk menggunakannya. 7) Faktor tekhnis engineering Dalam perencanaan dan pembangunan sarana pembuangan tinja agar diupayakan: a) Penerapan pengetahuan tekhnik engineering, misalnya dalam melakukan pemilihan tipe instalasi sesuai dengan kondisi lapisan tanah yang ada. b) Pengguanaan bahan bangunan yang ada setempat untuk dapat melakukan penghematan biaya secara berarti,

misalnya penggunaan bambu untuk penahan runtuhnya dinding lubang, untuk tulang penguat slab dan sebagainya. c) Pemilihan dan penentuan desain bangunan instalasi yang dapat ditangani oleh pekerja setempat, juga tenaga terampil yang ada perlu dimanfaatkan semaksimal mungkin. b. Faktor non teknis: 1) Faktor manusia

26

Dalam soal pembuangan tinja, faktor manusia sama pentingnya dengan faktor tekhnis. Orang tidak akan mau menggunakan jamban dari tipe yang tidak disukainya atau yang tidak memberikan privacy yang cukup padanya, atau yang tidak dapat dipelihara kebersihannya. Tahap pertama dalam

perencanaan system pembuangan tinja disuatu daerah adalah perbaikan system yang sudah ada. Pengembangan system tersebut selanjutnya harus senantiasa mengupayakan

pemberian/penciptaan privacy yang secukupnya bagi calon pemakai. Aplikasi dari pada prinsip ini adalah perlunya dilakukan pemisahan yang jelas antara ruang jamban untuk jenis kelamin yang berbeda, perlunya disediakan jumlah ruang jamban yang cukup sesuai dengan jumlah pemakai. Satu lubang jamban cukup untuk satu keluarga yang terdiri dari 5 atau 6 orang. Jamban umum yang digunakan untuk perkemahan, pasar atau tempat-tempat yang sejenisnya harus disediakan minimal 1 lubang untuk 15 orang dan untuk sekolah 1 lubang jamban untuk 15 orang wanita dan satu lubang + 1 urinoir untuk 25 orang pria. 2) Faktor biaya Jenis jamban yang dianjurkan bagi masyarakat dan keluarga harus sederhana, dapat diterima, ekonomis pembangunan, pemeliharaan serta penggantiannya. Faktor biaya ini bersifat relatif, sebab system

27

paling mahal pembuatannya dapat menjadi paling murah untuk perhitungan jangka panjang, mengingat masa penggunaannya yang lebih panjang karena kekuatannya serta paling mudah dan ekonomis dari segi pemeliharaannya. Dalam perencanaan dan pemilihan tipe jamban, biaya tidak boleh dijadikan faktor dominan. Perlu dicarikan jalan tengah berdasarkan pertimbangan yang seksama atas semua unsur yang terkait, yang dapat menciptakan lingkungan yang saniter serta dapat diterima oleh keluarga. 4. Persyaratan sarana pembuangan tinja yang saniter Ada tipe jamban dan sarana pembuangan tinja yang akan dipilih untuk dibangun atau diterapkan pada masyarakat harus dapat memenuhi persyratan sebagai berikut: (Ehlers & Steel ) a) Tidak terjadi kontaminasi pada tanah permukaan b) Tidak terjadi kontaminasi pada air tanah yang mungkin masuk ke mata air dan sumur. c) Ekskreta tidak dapat dijangkau oleh lalat, ulat, kecoa dan anjing. d) Tidak terjadi penanganan ekskreta segar, apabila tidak dapat dihindari, harus ditekan seminimal mungkin. e) Harus bebas dari bau atau kondisi yang tidak sedap. f) Metode yang digunakan harus sederhana serta murah dalam pembangunan dan penyelenggaraan. g) Dapat diterima oleh masyarakat.

28

Syarat-syarat yang perlu diperhatikan dalam pembuatan jamban adalah sebagai berikut (Anonim, 2009): a) Tidak mengakibatkan pencemaran pada sumber-sumber air minum, dan permukaan tanah yang ada disekitar jamban. b) Menghindarkan berkembangbiaknya/tersebarnya cacing tambang pada permukaan tanah. c) Tidak memungkinkan berkembang biaknya lalat dan serangga lain. d) Menghindarkan atau mencegah timbulnya bau dan pemandangan yang tidak menyedapkan. e) Mengusahakan kontruksi yang sederhana, kuat dan murah dan mengusahakan sistem yang dapat digunakan dan diterima masyarakat.

1.2. Tujuan Penggunaan Jamban

Dapat mencegah terjadinya penyebaran langsung bahanbahan yang berbahaya bagi manusia akibat pembuangan kotoran manusia serta dapat mencegah vektor pembawa untuk

menyebarkan penyakit pada pemakai dan lingkungan sekitarnya.

1.3. Tujuan Program JAGA (jamban keluarga)

29

Tidak membuang tinja ditempat terbuka melainkan membangun jamban untuk diri sendiri dan keluarga.

1.4. Syarat-Syarat Jamban Sehat

Tidak mencemari sumber air minum (jarak antara sumber air minum dengan lubang penampungan minimal 10 meter

y y y y y y y y

Tidak berbau Kotoran tidak dapat dijamah oleh serangga dan tikus Tidak mencemari tanah di sekitamya Mudah dibersihkan dan aman digunakan Dilengkapi dinding dan atap pelindung Penerangan dan ventilasi cukup Lantai kedap air dan luas ruangan memadai Tersedia air, sabun, dan alat pembersih

C. KERANGKA KONSEP D. HIPOTESIS

BAB III

30

METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan desain penelitian survey deskriptif dengan maksud untuk mengetahui gambaran fasilitas jamban keluarga di Kelurahan Barombong Kecamatan Tamalate Tahun 2012. Data yang diperoleh dari hasil survey ini selanjutnya digambarkan berdasarkan tujuan penelitian yang akan dicapai.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di setiap RW di Kelurahan Balerejo Kecamatan Magetan Kabupaten Magetan.

C. Waktu Penelitian

Waktu penelitian terhitung dari tanggal 7 November 24 November 2009.

D. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi adalah semua masyarakat yang bermukim di Kelurahan Balerejo Kecamatan Magetan Kabupaten Magetan. 2. Sampel

Sampel adalah rumah tangga yang berada di lokasi penelitian. Penarikan sampel dilakukan secara simple random sampling. Di

31

Kelurahan Barombong terdiri dari 10 RW di setiap RW diambil masing-masing 5 KK secara simple random sampling. Jadi, jumlah responden yang diambil adalah 50 orang. Responden adalah kepala keluarga atau salah seorang keluarga yang dewasa dan sadar.

E. Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan adalah data primer yang diperoleh dengan melakukan wawancara langsung ke rumah-rumah dan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disediakan.

F. Pengolahan Data

Data yang dikumpulkan diolah dengan menggunakan program komputer Microsoft Excel kemudian disajikan dalam bentuk tabel secara deskriptif.

BAB IV

32

HASIL DAN PEMBAHASAN


A. HASIL 1. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 1.1 KEADAAN GEOGRAFIS Kelurahan Barombong berada di Kecamatan Tamalate Kota Makassar. Adapun batas wilayah Kelurahan Barombong adalah : a. Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Tanjung Merdeka. b. Sebelah timur berbatasan dengan Kanjilo Kabupaten Gowa. c. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Pakkatta Kabupaten Takalar. d. Sebelah barat berbatasan dengan Selat Makassar

Adapun luas wilayah Kelurahan Barombong adalah 748.09 Ha dengan jumlah rumah 1863 buah. Kelurahan Barombong terdiri atas 10 ORW yaitu

y y y y y y y

ORW 1 ORW 2 ORW 3 ORW 4 ORW 5 ORW 6 ORW 7

: Barombong : Bungaya : Pattukangang : Bontokapetta : Bontoa : Kaccia : Tomposappa

33

y y y

ORW 8 ORW 9 ORW 10

: Sumanna : Timbuseng : Banyoa

1.2 KEADAAN DEMOGRAFI

Berdasarkan hasil survey tahun 2008, jumlah penduduk Kelurahan Barombong adalah 10714 jiwa, laki laki sebanyak 5218 jiwa dan wanita 5496 jiwa.

1.3 TINGKAT PENDIDIKAN DAN MATA PENCAHARIAN

Tingkat pendidikan penduduk di Kelurahan Barombong bervariasi mulai dari tingkat Perguruan Tinggi, SLTA, SLTP, tamat SD, tidak tamat SD, hingga tidak sekolah. Adapun mata pencaharian penduduk sebagian besar berturut turut adalah nelayan, PNS, pegawai swasta, wiraswasta, TNI, petani dan buruh.

2. IDENTIFIKASI RESPONDEN

Dari hasil penelitian dilakukan identifikasi responden berdasarkan jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan jenis pekerjaan.

2.1 Jenis Kelamin

34

Tabel 1. Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin Di Kelurahan Barombong Kecamatan Tamalate, Tahun 2009

Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Jumlah

Jumlah 21 29 50

Persen 42 58 100

Sumber : Data Primer

Grafik 1 . Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin Di Kelurahan Barombong Kecamatan Tamalate, Tahun 2009

Data di atas menunjukkan bahwa jumlah responden berdasarkan jenis kelamin mayoritas adalah perempuan sebanyak 29 responden (58%) dan laki-laki sebanyak 21 responden (42%).

6.1.2. Tingkat Pendidikan

Tabel 2. Distribusi Tingkat Pendidikan Responden Di Kelurahan Barombong Kecamatan Tamalate, Tahun 2009

Tingkat Pendidikan Tidak pernah sekolah Tidak tamat SD

JumlahPersen 8 16

35

Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat perguruan tinggi/akademi Jumlah

20 14 5 3 50

40 28 10 6 100

Sumber : Data Primer

Data di atas menunjukkan bahwa tingkat pendidikan mayoritas responden adalah tamat SD sebanyak 40%.

6.1.3. Jenis Pekerjaan

Tabel 3. Distribusi Jenis Pekerjaan Responden Di Kelurahan Barombong Kecamatan Tamalate, Tahun 2009

Jenis Pekerjaan PNS Karyawan Swasta Petani Pedagang Buruh

Jumlah 3 5 7 6 15

Persen 6 10 14 12 30

36

Nelayan Tidak bekerja Jumlah

9 5 50

18 10 100

Sumber : Data Primer

Data di atas menunjukkan bahwa mayoritas jenis pekerjaan responden di Kelurahan Barombong Kecamatan Tamalate adalah buruh sebanyak 30%.

6.2. Fasilitas Jamban Keluarga

Tabel 4. Distribusi Jamban Keluarga Di Kelurahan Barombong Kecamatan Tamalate, Tahun 2009.

Jamban Keluarga Ada Tidak Jumlah

Jumlah 29 21 50

Persen 58 42 100

Sumber : Data Primer

37

Data di atas menunjukkan bahwa di Kelurahan Barombong mayoritas sudah memiliki jamban keluarga yaitu sebesar 58%.

6.3. Pengelolaan Air Limbah

Tabel 5. Distribusi Pengelolaan Air Limbah Di Kelurahan Barombong Kecamatan Tamalate, Tahun 2009

Pengelolaan Air Limbah Penampungan tertutup di pekarangan / SPAL Penampungan terbuka di pekarangan Penampungan di luar pekarangan Tanpa penampungan (di tanah) Langsung ke got/sungai Jumlah

JumlahPersen 12 6 15 17 50 24 12 30 34 100

Sumber : Data Primer

Data di atas menunjukkan bahwa di Kelurahan Barombong mayoritas pengelolaan air limbahnya yaitu langsung ke got/sungai sebesar 34%.

BAB VII

38

PEMBAHASAN

7.1. Identifikasi Responden

Jumlah sampel yang digunakan adalah 50 orang, dimana jumlah responden laki-laki sebanyak 21 orang (42%) dan perempuan sebanyak 29 orang (58%). Mayoritas jumlah responden adalah perempuan.

Pada penilaian tingkat pendidikan responden yang terbanyak adalah tamat Sekolah Dasar (SD) sebanyak 20 responden (40%) dan untuk jenis pekerjaan responden mayoritas adalah buruh sebanyak 15 responden (30%). Hal ini menunjukkan tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi masyarakat di lokasi penelitian masih rendah sehingga dapat mempengaruhi kebiasaan hidup sehat masyarakat setempat.

7.2. Fasilitas Jamban Keluarga

Berdasarkan data yang diperoleh di Kelurahan Barombong mayoritas sudah memilki jamban keluarga yaitu sebanyak 58%. Namun, masih ada juga yang tidak memiliki jamban keluarga yaitu sebanyak 42 %. Mereka yang tidak memiliki jamban keluarga ada yang menggunakan WC umum, di tanah, bahkan ada pula yang buang air besar di sungai terutama bagi masyarakat yang bermukim di sekitar sungai/pantai.

Walaupun dilihat dari tingkat pendidikan responden mayoritas hanya sampai tamat SD akan tetapi kerja puskesmas setempat berjalan dengan baik

39

dengan memberikan penyuluhan-penyuluhan sehingga sebagian besar dari responden sudah memperoleh pengetahuan mengenai jamban keluarga, yang menjadi kendalanya ialah rendahnya pendapatan masyarakat sehingga belum bisa menyediakan fasilitas jamban keluarga.

Menurut standar kepemilikan jamban keluarga yang ada untuk daerah perkotaan seharusnya sudah mencapai 90%. Dari data di atas fasilitas jamban keluarga di Kelurahan Barombong masih kurang.

7.3. Pengelolaan Air Limbah

Pengelolaan air limbah di Kelurahan Barombong mayoritas dilakukan dengan pembuangan langsung ke got/sungai. Adapula yang melalui penampungan di luar pekarangan serta yang tanpa penampungan atau langsung di tanah karena menurut mereka air limbahnya akan meresap ke dalam tanah. Hal ini terjadi karena pendapatan masyarakat yang rendah serta pengetahuan masyarakat mengenai air limbah masih kurang. Padahal, pembuangan air limbah di sembarang tempat dapat mengganggu kesehatan, menurunkan kualitas

lingkungan, mengganggu keindahan, serta dapat menyebabkan kerusakan benda. Namun demikian adapula yang sudah memilki SPAL yang memenuhi syarat kesehatan akan tetapi hanya 24%.

40

Data ini menunjukkan bahwa pengelolaan air limbah di Kelurahan Barombong masih banyak yang tidak memenuhi syarat-syarat pengelolaan air limbah yang baik.

41

BAB VIII

KESIMPULAN DAN SARAN

8.1. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :

y y

Fasilitas jamban keluarga di Kelurahan Barombong masih kurang. Pengelolaan air limbah di Kelurahan Barombong sebagian besar tidak dikelola dengan baik atau belum memiliki SPAL permanen karena mayoritas dibuang langsung ke got/sungai sehingga belum bisa memenuhi syarat kesehatan.

8.2. SARAN

Perlu kerja sama berbagai pihak dalam hal ini pemerintah daerah, instansiinstansi terkait dan seluruh masyarakat dalam meningkatkan keadaan sanitasi lingkungan menjadi lebih baik.

Kegiatan penyuluhan yang disertai dengan praktek dan pembinaan langsung di lapangan perlu ditekankan secara khusus pada masalah sanitasi lingkungan terutama mengenai jamban keluarga dan pengelolaan air limbah.

Dibutuhkan kesadaran semua pihak di lokasi penelitian mengenai pentingnya kepemilikan jamban keluarga dan pengelolaan air limbah yang baik dan benar.

42

DAFTAR PUSTAKA

1.

Notoatmodjo,S. 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: PT.Rieneka

Cipta.

2.

Entjang, I. 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung: PT. Citra Aditya

Bakti.

3.

http://datinkessulsel.wordpress.com/2009/06/26/pengetahuan-dan-tindakan-

masyarakat-dalam-pemanfaatan-jamban-keluarga/

4.

http://inspeksisanitasi.blogspot.com/2009/07/sanitasi-lingkungan.html

5.

Mulia, R. 2005. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

43

6.

http://www.dimsum.its.ac.id/id/?page_id=6

7.

http://creasoft.wordpress.com/2008/04/15/sanitasi-lingkungan/

8.

Sugiharto. 1987. Dasar-Dasar Pengelolaan Air Limbah. Jakarta: UI-Press

9.

http://majarimagazine.com/2008/01/teknologi-pengolahan-air-limbah/

DAFTAR PERTANYAAN

Identifikasi Responden

Nama

44

Alamat

Umur

Jenis Kelamin

: Laki-laki/Perempuan

Pendidikan

Pekerjaan

Fasilitas Jamban Keluarga

1.

Apakah Bapak/Ibu memiliki jamban keluarga?

a.

Ya

b. Tidak

2.

Bila ada, jenis jamban apa yang digunakan?

a.

Cemplung dengan penutup

b.

Cemplung tanpa penutup

c.

Leher angsa

3.

Bila tidak memilki jamban keluarga, dimanakah Bapak/Ibu BAB?

a.

Di WC umum

b.

Di sungai

c.

Di tanah

45

d.

..

Pengelolaan Air Limbah

4.

Air yang telah dipakai dari dapur, kamar mandi, dan tempat cucian di buang

/ mengalir kemana?

a. Penampungan tertutup di pekarangan/SPAL

b. Penampungan terbuka di pekarangan

c. Penampungan di luar pekarangan

d. Tanpa penampungan (di tanah)

e. Langsung ke got/sungai

5.

Apakah air buangan tersebut tergenang?

a.

Ya

b. Tidak

46

ABSTRAK

Fakultas Kedokteran

Universitas Muslim Indonesia

Karya Tulis Ilmiah, November 2009

Pratiwi Nasir Hamzah

Fasilitas Jamban Keluarga dan Pengelolaan Air Limbah di Kelurahan Barombong Kecamatan Tamalate Tahun 2009

(xi + 26 Halaman + 5 Tabel + 5 Grafik + 2 Lampiran)

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana distribusi dan kondisi fasilitas jamban keluarga dan pengelolaan air limbah di Kelurahan Barombong Kecamatan Tamalate.

47

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey dengan pendekatan deskriptif. Lokasi penelitian ini dilakukan di setiap RW di Kelurahan Barombong. Penarikan sampel secara simple random sampling dengan mengambil 50 sampel, masing-masing 5 KK dari 10 RW yang ada di Kelurahan Barombong.

Dari hasil penelitian di Kelurahan Barombong 58% persen sudah memiliki jamban keluarga dan 34% pengelolaan air limbahnya langsung ke got atau sungai. Dapat disimpulkan bahwa fasilitas jamban keluarga di Kelurahan Barombong masih perlu ditingkatkan melihat angka yang dicapai masih kurang. Pengelolaan air limbah di Kelurahan Barombong sebagian besar tidak dikelola dengan baik karena mayoritas dibuang langsung ke got atau sungai.

Sebagai saran dari penelitian ini adalah diperlukan kerja sama berbagai pihak dalam hal ini pemerintah daerah, instansi-instansi terkait dan seluruh masyarakat dalam meningkatkan keadaan sanitasi lingkungan menjadi lebih baik.

48

You might also like