You are on page 1of 38

TUTORIAL SKENARIO 3

NYERI PERUT PADA WANITA HAMIL

DISUSUN OLEH

KELOMPOK A8
Mohammad Ramdani N.T.A Muhammad Iqbal Nanda Fitriadi Winata Nawang Fea Aurora Neneng Nurhasanah Nurila Nurohtun Hasanah Prima Paramita Putri Raja Rani Verdianti Rayhanah Saktiriani 110.2006.162 110.2006.170 110.2006.178 110.2006.180 110.2006.181 110.2006.196 110.2006.197 110.2006.204 110.2006.211 110.2006.212

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI JAKARTA 2010/2011

NYERI PERUT PADA WANITA HAMIL Seorang wanita, 35 tahun, G5P4A0 hamil cukup bulan, mengeluh nyeri pada perut yang sangat hebat pada saaat baru terbangun dari tidur. Kehamilan ini merupakan kehamilan yang ke 5 dan sebelumnya semua persalinan ditolong oleh bidan. Di bagian Kebidanan RS YARSI didapatkan pasien tampak gelisah dan kesakitan. Pemeriksaan fisik menunjukkan tekanan darah 150/100 mmHg, frekuensi nadi 120x/menit teratur, frekwensi nafas 28x/menit, suhu 360C dan akral dingin. Pada pemeriksaan obstetri didapatkan : perut tegang dan nyeri tekan, fundus uteri terletak 3 jari dibawah prosesus xiphoideus, his sulit dinilai, detak jantung janin 160 x/menit dan tidak teratur. Vaginal toucher : portio lembek, pembukaan 6 cm, ketuban masih ada dan tegang, posisi kepala janin pada Hodge III. Pasien segera diberikan infus NaCl 0,9% dan segera dilakukan amniotomi serta induksi persalinan. Kemudian bayi dilahirkan pervaginam. Pada penilaian menit pertama bayi tersebut APGAR skor 1 dan pada menit kelima APGAR skor 3. Setelah 6 jam kemudian bayi mengalami kejang-kejang.

STEP 1
1. Memahami dan menjelaskan persalinan normal a. Mekanisme persalinan normal b. Memimpin persalinan normal 2. Memahami dan menjelaskan syok dalam obstetri a. Definisi b. Etiologi c. Macam-macam syok d. Penatalaksanaan 3. Memahami dan menjelaskan kegawatan obstetri akibat perdarahan antepartum a. Definisi b. Etiologi c. Gejala d. Penatalaksanaan 4. Memahami dan menjelaskan kegawatan neonatus akibat asfiksia a. Definisi b. Etiologi c. Gejala d. Diagnosis e. Komplikasi f. Penatalaksanaan 5. Memahami dan menjelaskan resusitasi neonatus a. Indikasi b. Prinsip dasar c. Tindakan

STEP 2

BELAJAR MANDIRI

STEP 3

PERSALINAN / PARTUS
a. Anatomi Jalan Lahir Jalan lahir dibagi menjadi bagian keras dan bagian lunak. Bagian keras terdiri dari tulangtulanng panggul dan sendi. Sedang bagian lunak meliputi otot-otot, jaringan, dan ligamen. Tulang-tulang panggul terdiri atas os coxae (os ilium, os ischium, os pubis), os sacrum, dan os coxygeus. Antara os ilium dengan os sacrum terbentuk persendian articulatio sacroiliacum. Antara os sacrum dengan os coxygeus terbentuk persendian articulatio sacrocoxygeus. Simfisis pubis adalah persendian yang dibentuk oleh dua os pubis yang saling bertemu. Di luar kehamilan pergerakan sendi sangat sedikit. Saat kehamilan terjadi sedikit perenggangan. Pelvis terbagi menjadi 2 bagian, yaitu pelvis mayor dan pelvis minor. Pelvis mayor terletak di sebelah cranial dari aditus pelvis (di atas linea terminalis). Pelvis minor disebut pula sebagai pelvis sejati karena dindingnya dibentuk oleh tulang yang lebih sempurna, terletak di sebelah caudal aditus pelvis (di bawah linea terminalis). Bentuk pelvis minor berupa saluran dengan sumbu melengkung ke depan (sumbu Carus). Bidang atas berbentuk bulat dibatasi pintu atas panggul (pelvic inlet). Bidang bawah dibatasi pintu bawah panggul (pelvic outlet) dan di antara kedua bidang terdapat pelvic cavity. Pintu atas panggul berbentuk bulat oval, dengan dibatasi oleh promontorium, sakrum, linea inominata, ramus superior ossis pubis, dan tepi atas simfisis. Ada 3 ukuran penting yang melibatkan pintu atas panggul, yaitu conjugata vera anatomica, conjugata vera obstretica, diameter transversa, dan diameter obliqua. Conjugata vera anatomica diukur dari promontorium ke tepi atas simfisis ossis pubis, panjang normal rata-rata 11 cm. Conjugata vera obstretica diukur dari promontorium ke tempat yang paling menonjol dari facies posterior simfisis ossis pubis, panjang rata-rata 10,5 cm. Diameter transversa adalah jarak terjauh yang ditarik pada linea terminalis antara dua titik yang sama, panjang rata-rata 13,5 cm. Diameter obliqua diukur dari articulatio sacroiliaca ke pecten ossis pubis sisi yang berlawanan, panjang rata-rata 12,5 cm. Bidang tengah panggul adalah bidang dengan ukuran terkecil, terletak setinggi pinggir bawah simfisis, spina iskiadika kiri-kanan dan memotong sakrum sekitar 1-2 cm di atas ujung sakrum. Sulit pengukuran secara klinik. Kesempitan pintu bawah panggul biasanya disertai kesempitan mid-pelvic. Pintu bawah panggul terdiri atas 2 bidang segitiga dengan dasar garis yang menghubungkan kedua tuber iskiadikum kiri-kanan, dan puncak segitiga: ujung os sakrum, sisi : lig. sakrotuberosum. Segitiga depan : dibatasi oleh arkus pubis. Terdapat 3 ukuran, yaitu : conjugata diagonalis, conjugata recta, dan diameter transversa. Conjugata diagonalis diukur dengan vaginal toucher dari tepi bawah simfisis ke promontorium, panjang rata-rata 12-12,5 cm. Conjugata recta membentang dari tepi bawah simfisis samapai ujung os coxygeus, panjang 9-11,5 cm. Diameter transversa adalah jarak antara kedua tepi dorsal tuber ischiadicum, panjang rata-rata 11 cm. Bidang hodge adalah bidang khayalan dalam panggul untuk menentukan berapa jauh bagian terendah janin turun ke dalam rongga panggul. Empat bidang Hodge sejajar satu sama lain : H I : sama dengan PAP, H II : melalui pinggir bawah simfisis, H III : melalui spina iskiadika, H IV : melalui ujung os koksigis (dasar panggul). Bagian lunak jalan lahir terdiri dari otot-otot dan ligamenta yang meliputi dinding panggul sebelah dalam dan menutupi panggul sebelah bawah. Yang membentuk dasar panggul : diafragma pelvis,pars muskularis (m. levator ani), dan pars membranacea.

PERSALINAN Persalinan / partus adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi yang dapat hidup, dari dalam uterus melalui vagina atau jalan lain ke dunia luar. Partus terbagi 2 yaitu: 1) Partus normal / partus biasa Bayi lahir melalui vagina dengan letak belakang kepala / ubun-ubun kecil, tanpa memakai alat / pertolongan istimewa, serta tidak melukai ibu maupun bayi (kecuali episiotomi), berlangsung dalam waktu kurang dari 24 jam. 2) Partus abnormal Bayi lahir melalui vagina dengan bantuan tindakan atau alat seperti versi / ekstraksi, cunam, vakum, dekapitasi, embriotomi dan sebagainya, atau lahir per abdominam dengan sectio cesarea. Sebab terjadinya proses persalinan a. Penurunan fungsi plasenta : kadar progesteron dan estrogen menurun mendadak, nutrisi janin dari plasenta berkurang. b. Tekanan pada ganglion servikale dari pleksus Frankenhauser, menjadi stimulasi (pacemaker) bagi kontraksi otot polos uterus. c. Iskemia otot-otot uterus karena pengaruh hormonal dan beban, semakin merangsang terjadinya kontraksi. d. Peningkatan beban / stress pada maternal maupun fetal dan peningkatan estrogen mengakibatkan peningkatan aktifitas kortison, prostaglandin, oksitosin, menjadi pencetus rangsangan untuk proses persalinan Persalinan ditentukan oleh 3 faktor p utama a. Power His (kontraksi ritmis otot polos uterus), kekuatan mengejan ibu, keadaan kardiovaskular respirasi metabolik ibu. b. Passage Keadaan jalan lahir c. Passanger Keadaan janin (letak, presentasi, ukuran/berat janin, ada/tidak kelainan anatomik mayor) Pembagian fase / kala persalinan Kala 1 Pematangan dan pembukaan serviks sampai lengkap (kala pembukaan) Kala 2 Pengeluaran bayi (kala pengeluaran) Kala 3 Pengeluaran plasenta (kala uri) Kala 4 Masa 1 jam setelah partus, terutama untuk observasi HIS His adalah gelombang kontraksi ritmis otot polos dinding uterus yang dimulai dari daerah fundus uteri di mana tuba falopii memasuki dinding uterus, awal gelombang tersebut didapat dari pacemaker yang terdapat di dinding uterus daerah tersebut. Resultante efek gaya kontraksi tersebut dalam keadaan normal mengarah ke daerah lokus minoris yaitu daerah kanalis servikalis (jalan laihir) yang membuka, untuk mendorong isi uterus ke luar.

Sifat his pada berbagai fase persalinan a. Kala 1 awal (fase laten) Timbul tiap 10 menit dengan amplitudo 40 mmHg, lama 20-30 detik. Serviks terbuka sampai 3 cm. Frekuensi dan amplitudo terus meningkat. Kala 1 lanjut (fase aktif) sampai kala 1 akhir Terjadi peningkatan rasa nyeri, amplitudo makin kuat sampai 60 mmHg, frekuensi 2-4 kali / 10 menit, lama 60-90 detik. Serviks terbuka sampai lengkap (+10cm). b. Kala 2 Amplitudo 60 mmHg, frekuensi 3-4 kali / 10 menit. Refleks mengejan terjadi juga akibat stimulasi dari tekanan bagian terbawah janin (pada persalinan normal yaitu kepala) yang menekan anus dan rektum. Tambahan tenaga mengejan dari ibu, dengan kontraksi otot-otot dinding abdomen dan diafragma, berusaha untuk mengeluarkan bayi c. Kala 3 Amplitudo 60-80 mmHg, Frekuensi kontraksi berkurang, aktifitas uterus menurun. Plasenta dapat lepas spontan dari aktifitas uterus ini, namun dapat juga tetap menempel (retensio) dan Memerlukan tindakan aktif (manual aid). MEKANISME PERSALINAN NORMAL Mekanisme persalinan normal terdiri dari 7 gerakan utama pengeluaran janin yaitu: 1. Engagement: sumbu kepala janin dapat tegak lurus dengan pintu atas panggul (sinklitismus) atau miring / membentuk sudut dengan pintu atas panggul (asinklitismus anterior / posterior) 2. Descent: Kepala turun ke dalam rongga panggul, akibat tekanan langsung dari his dari daerah fundus ke arah daerah bokong, tekanan dari cairan amnion, kontraksi otot dinding perut dan diafragma (mengejan), dan badan janin terjadi ekstensi dan menegang 3. Fleksi : kepala janin fleksi, dagu menempel ke toraks, posisi kepala berubah dari diameter oksipito-frontalis (puncak kepala) menjadi diameter suboksipitobregmatikus (belakang kepala) 4. Rotasi interna (putaran paksi dalam) : selalu disertai turunnya kepala, putaran ubun-ubun kecil ke arah depan (ke bawah simfisis pubis), membawa kepala melewati distansia interspinarum dengan diameter biparietalis. 5. Ekstensi : setelah kepala mencapai vulva, terjadi ekstensi setelah oksiput melewati bawah simfisis pubis bagian posterior. Lahir berturut-turut : oksiput, bregma, dahi, hidung, mulut, dagu 6. Rotasi eksterna (putaran paksi luar) : kepala berputar kembali sesuai dengan sumbu rotasi tubuh, bahu masuk pintu atas panggul dengan posisi anteroposterior sampai di bawah simfisis, kemudian dilahirkan bahu depan dan bahu belakang 7. Ekspulsi : setelah bahu lahir, bagian tubuh lainnya akan dikeluarkan dengan mudah. Selanjutnya lahir badan (toraks,abdomen) dan lengan, pinggul / trokanter depan dan belakang, tungkai dan kaki.

MEMIMPIN PERSALINAN NORMAL Pemeriksaan Wanita Yang Akan Bersalin 1. Pemeriksaan umum : tekanan darah, nadi, pernafasan, refleks, jantung paruparu, berta badan, tinggi badan dan sebagainya. 2. Pemeriksaan status obstetrikus: a. Letak dan posisi janin, taksiran berat badan janin b. Denyut jantung janin c. His dan sifat-sifatnya 3. Pemeriksaan dalam (vagina atau rektal): a. Pembukaan serviks dalam cm atau jari b. Turunnya kepala diukur menurut Hodge c. Ketuban : sudah pecah atau belum, menonjol atau tidak 4. Pemeriksaan labolatorium a. Pemeriksaan urin : protein dan gula b. Pemeriksaan darah : Hb, golongan darah 5. Persiapan bagi ibu : a. Bersihkan dan cukur daerah genitalia eksterna b. Ibu hamil disuruh kencing atau lakukan katerisasi guna mengosongkan kandung kencing c. Klisma supaya rektum kosong d. Pakaian diganti dengan yang longgar 6. Persiapan semua alat-alat untuk persalinan biasa : a. Beberapa pasang sarung tangan steril b. Gunting Sieboldm gunting tali pusat c. Beberapa klem talipusat dan klem lainnya d. Benang atau plastik klem untuk tali pusat e. Alat pengisap lendir bayi f. Iodium tintur dengan kapas lidinya g. Alat-alat untuk penjahit luka h. Obat-obatan dan jarum suntiknya i. Kain kasa steril dan sebagainya PERSALINAN KALA 1 : Fase pematangan / pembukaan serviks, dimulai pada waktu serviks membuka karena his : kontraksi uterus yang teratur, makin lama, makin kuat, makin sering, makin terasa nyeri, disertai pengeluaran darah-lendir yang tidak lebih banyak daripada darah haid, berakhir pada waktu pembukaan serviks telah lengkap (pada periksa dalam, bibir porsio serviks tidak dapat diraba lagi). Selaput ketuban biasanya pecah spontan pada saat akhir kala I. a. Fase laten : pembukaan sampai mencapai 3 cm, berlangsung sekitar 8 jam. b. Fase aktif : pembukaan dari 3 cm sampai lengkap (+ 10 cm), berlangsung sekitar 6 jam. Fase aktif terbagi atas : Fase akselerasi (sekitar 2 jam), pembukaan 3 cm sampai 4 cm Fase dilatasi maksimal (sekitar 2 jam), pembukaan 4 cm sampai 9 cm Fase deselerasi (sekitar 2 jam), pembukaan 9 cm sampai lengkap (+ 10 cm) Peristiwa penting pada persalinan kala 1 Keluar lendir / darah (bloody show) akibat terlepasnya sumbat mukus (mucous plug) yang selama kehamilan menumpuk di kanalis servikalis, akibat terbukanya vaskular kapiler serviks, dan akibat pergeseran antara selaput ketuban dengan dinding dalam uterus.

Ostium uteri internum dan eksternum terbuka sehingga serviks menipis dan mendatar. Selaput ketuban pecah spontan (beberapa kepustakaan menyebutkan ketuban pecah dini jika terjadi pengeluaran cairan ketuban sebelum pembukaan 5 cm). Pematangan dan pembukaan serviks (cervical effacement) pada primigravida berbeda dengan pada multipara : Pada primigravida terjadi penipisan serviks lebih dahulu sebelum terjadi pembukaan pada multipara serviks telah lunak akibat persalinan sebelumnya, sehingga langsung terjadi proses penipisan dan pembukaan Pada primigravida, ostium internum membuka lebih dulu daripada ostium eksternum (inspekulo ostium tampak berbentuk seperti lingkaran kecil di tengah) pada multipara, ostium internum dan eksternum membuka bersamaan (inspekulo ostium tampak berbentuk seperti garis lebar) Periode kala 1 pada primigravida lebih lama (+ 13 jam) dibandingkan multipara (+7 jam) karena pematangan dan pelunakan serviks pada fase laten pasien primigravida memerlukan waktu lebih lama. PERSALINAN KALA 2 Fase pengeluaran bayi, dimulai pada saat pembukaan serviks telah lengkap dan berakhir pada saat bayi telah lahir lengkap. His menjadi lebih kuat, lebih sering, lebih lama, sangat kuat. Selaput ketuban mungkin juga baru pecah spontan pada awal kala 2. Peristiwa penting pada persalinan kala 2 Bagian terbawah janin (pada persalinan normal : kepala) turun sampai dasar panggul. Ibu timbul perasaan / refleks ingin mengejan yang makin berat. Perineum meregang dan anus membuka (hemoroid fisiologik) Kepala dilahirkan lebih dulu, dengan suboksiput di bawah simfisis (simfisis pubis sebagai sumbu putar / hipomoklion), selanjutnya dilahirkan badan dan anggota badan. Kemungkinan diperlukan pemotongan jaringan perineum untuk memperbesar jalan lahir (episiotomi). Lama kala 2 pada primigravida + 1.5 jam, multipara + 0.5 jam. PERSALINAN KALA 3 Fase pengeluaran plasenta. Dimulai pada saat bayi telah lahir lengkap dan berakhir dengan lahirnya plasenta. Kelahiran plasenta adalah lepasnya plasenta dari insersi pada dinding uterus, serta pengeluaran plasenta dari kavum uteri. Kala III terdiri dari 2 fase : 1) Fase pelepasan uri 2) Fase pengeluaran uri Mekanisme Pelepasan Uri Segera sesudah anak lahir, anak diurus dan tali pusat diklem. Biasanya rahim yang telah menyelesaikan tugas berat mengeluarkan anak, akan beristirahat beberapa menit. Dalam masa istirahat ini tugas kita adalah : Memeriksa keadaan si ibu tentang: Status lokalis obstetrik dengan cara palpasi fundus uteri dan konsistensinya Memeriksa keadaan vital ibu: tensi, nadi dan pernapasan

Mengawasi perdarahan Mencari tanda-tanda penglepasan uri, kalau sudah lepas segera melahirkannya. Kalau tidak ada perdarahan dan konsistensi uterus baik (keras); kita hanya menunggu dan mengawasi; jangan buru-buru melahirkan uri. Bila rahim memerlukan stimulasi setelah beberapa menit, lakukanlah massage pelan-pelan. Bila kita sabar menunggu, biasanya uri akan lahir spontan, dan bila sudah ada tanda-tanda lepasnya uri, plasenta segera dilahirkan dengan : Menyuruh ibu mengendan Memberi tekanan pada fundus uteri Dorongan pada fundus hanya boleh dikerjakan pada rahim yang kontraksinya baik, sebab pada rahim yang lembek dapat menimbulkan inversio uteri. Jangan mendorong sampai serviks melewati introitus vagine, karena terancam akan bahaya infeksi. Metode CREDE : 1) Empat jari-jari pada dinding rahim belakang, ibu jari di fundus depan tengah. 2) Lalu pijit rahim dan sedikit dorong ke bawah, tapi jangan terlalu kuat, seperti memeras jeruk 3) Lakukan sewaktu ada his 4) Jangan tarik tali pusar, karena bisa terjadi inversio uteri Kontraksi rahim akan mengurangi area uri, karena rahim bertambah kecil dan dindingnya bertambah tebal beberapa sentimeter. Kontraksi-kontraksi tadi menyebabkan bagian yang longgar dan lemah dari uri pada dinidng rahim; bagian ini akan terlepas, mula-mula sebagian dan kemudian seluruhya dan tinggal bebas dalam kavum uteri. Kadang-kadang ada sebagian kecil uri yang masih melekat pada dinding rahim. Proses penglepasan ini biasanya setahap demi setahap dan pengumpulan darah di belakang uri akan membantu penglepasan uri ini. Bila penglepasan sudad komplit, maka kotraksi rahim mendorong uri yang sudah lepas ke SBR, lalu ke vagina dan dilahirkan. Selaput ketuban pun dikeluarkan, sebagian oleh kontraksi rahim, sebagian sewaktu keluarnya uri. Di tempat-tempat yang lepas terjadi perdarahan antara uri dan desisua basalis, disebut retroplasenter hematoma. 1. Fase Pelepasan Uri Untuk mengetahui cara lepasnya uri ini dapat diselidiki dengan 2 cara : a. Memasukkan zat kontras ke dalam uri melalui pembuluh darah tali pusat, lalu dibuat gambar rontgen b. Secara klinis, meneliti sewaktu uri lahir melaui vagina dan vulva Uri yang sudah terlepas oleh kontraksi rahim akan didorong ke bawah yang oleh rahim sekarang dianggap sebagai benda asing. Hal ini dibantu pula oleh tekanan abdominal atau mengendan, maka uri akan dilahirkan, 20% secara spontan dan selebihnya memerlukan pertolongan. Cara lepasnya uri ada beberapa macam : a. SCHULTZE Lepasnya seperti kita menutup payung, cara ini yang paling sering terjadi (80%). Yang lepas duluan adalah bagian tengah, lalu terjadi retroplasental hematoma yang menolak uri mula-mulan bagian tengah, kemudian seluruhnya. Menurut cara ini, perdarahan biasanya tidak ada sebelum uri lahir dan banyak setelah uri lahir. b. DUNCAN Lepasnya uri mulai dari pinggir, jadi pinggir uri lahir duluan (20%). Darah akan mengalir keluar antara selaput ketuban Serempak dari tengah dan pinggir plasenta

c. KUSTNER Dengan meletakkan tangan disertai tekanan pada/di atas simfisis; tali pusat ditegangkan, maka bila tali pusat masuk...... belum lepas; diam atau maju..... sudah lepas d. KLEIN Sewaktu ada his, rahim kita dorong sedikit, bila tali pusat kembali..... belum lepas, diam atau turun...... lepas e. STRASSMAN Tegangkan tali pusat dan ketok pada fundus, bila tali pusat bergetar.... belum lepas, tak bergetar.... sudah lepas. Rahim menonjol di atas simfisis Tali pusat bertambah panjang Rahim bundar dan keras Keluar darah secara tiba-tiba Normalnya, penglepasan uri ini berkisar 1/4-1/2 jam sesudah anak lahir, namun kita dapat menunggu paling lama sampai 1 jam. Tetapi bila terjadi banyak perdarahan atau bila pada persalinan-persalinan yang lalu ada riwayat perdarahan post-partum maka tak boleh menunggu, sebaiknya plasenta langsung plasenta dikeluarkan dengan tangan. Juga kalau perdarahan sudah lebih dari 500 cc atau satu nierbekken, sebaiknya uri langsung dikeluarkan secara manual dan diberikan uterus tonika. 2. Fase Pengeluaran Uri Selaput janin biasanya lahir dengan mudah, namun kadang-kadang masih ada yang tertinggal, ini dapat dikeluarkan dengan jalan: Menarik pelan-pelan Memutar atau memilinnya seperti tali Memutar pada klem Manual atau digital Uri dan selaput ketuban harus diperiksa sebaik-baiknya setelah dilahirkan, apakah lengkap atau tidak lengkap. Yang diperiksa yaitu : Permukaan maternal : 6-20 kotiledon Permukaan fetal Apakah ada tanda-tanda palsenta suksenturiata Kalau tidak lengkap, disebut ada sisa uri, dapat menyebabkan perdarahan yang banyak dan infeksi. PERSALINAN KALA 4 Kala pengawasan setelah uri lahir 1-2 jam. Darah yang keluar harus ditakar sebaikbaiknya. Kehilangan darah pada persalinan biasa disebabkan oleh luka pada penglepasan uri dan robekan pada serviks dan perineum. Rata-rata dalam batas normal, jumlah perdarahan adalah 250 cc, biasanya 100-300 cc. Bila perdarahan lebih dari 500 cc ini sudah dianggap abnormal; harus dicari sebab-sebabnya. Penting untuk diingat: Jangan meninggalkan wanita bersalin 1 jam sesudah bayi dan uri lahir. Sebelum pergi meninggalkan ibu yang baru melahirkan, periksa ulang dulu dan perhatikanlah 7 pokok penting berikut:

1. Kontraksi rahim: baik atau tidak dapat diketahui dengan palpasi. Bila perlu lakukanlah massage dan berikan uterus tonika : methergen, ermetrin, dan pitosin 2. Perdarahan : ada atau tidak, banyak atau biasa 3. Kandung kencing : harus kosong, kalau penuh ibu disuruh kencing dan kalau tidak bisa lakukan kateter 4. Luka-luka : jahitannya baik atau tidak, ada perdarahan atau tidak 5. Uri dan selaput ketuban harus lengkap 6. Keadaan umum ibu: tensi, nadi,pernapasan, rasa sakit 7. Bayi dalam keadaan baik

SYOK DALAM OBSTETRI


Istilah syok digunakan untuk menggambarkan suatu keadaan klinis yang akut pada seorang penderita, yang bersumber pada berkurangnya perfusi jaringan dengan darah, akibat gangguan pada sirkulasi mikro. Dalam kehamilan fisiologik terjadi perubahan-perubahan hemodinamik yang memberi perlindungan atau justru memberi paradigma terhadap timbulnya syok, seperti antara lain peningkatan curah jantung dan perubahan mekanisme pembekuan darah. Ada keadaan-keadaan patologik waktu kehamilan atau persalinan yang memberi pradisposisi terhadap timbulnya syok, seperti anemi, gangguan gizi, partus lama disertai dehidrasi dan asidosis dan sebagainya. Syok dalam obstetri adalah syok yang dijumpai dalam kebidanan yang disebabkan baik oleh perdarahan, trauma, atau sebab-sebab lainnya.

Klasifikasi
Menurut sebab utamanya dibagi 3, yaitu : 1. syok hemoragik karena perdarahan 2. syok endotoksin karena infeksi berat (syok bakterial) 3. syok oleh sebab-sebab lain

Etiologi
1. Perdarahan 2. Infeksi berat 3. Solutio plasenta 4. Luka-luka jalan lahir 5. Emboli air ketuban 6. Inversio uteri 7. Supine hypotensive syndrome 8. Kolaps vasomotor postpartum 9. Emboli udara 10. Kombinasi hal-hal diatas 11. Faktor-faktor predisposisi timbulnya syok adalah anemia, malnutrisi,dehidrasi, partus lama dan asidosis Perdarahan Perdarahan merupakan sebab utama dari syok yang terjadi dalam praktek kebidanan. Sebagai penyebab kematian maternal, perdarahan mempunyai tempat yang penting khususnya di negara-negara yang belum maju, di mana masih terdapat banyak kekurangankekurangan dalam organisasi dan penyediaan fasilitas untuk pengawasan antenataistiwa-perl

dan pertolongan persalinan. Peristiwa-peristiwa dalam bidang kebidanan yang dapat menimbulkan perdarahan sehingga menimbulkan syok adalah abortus, kehamilan ektopik yang terganggu, mola hidatidosa, gangguan pelepasan plasenta, atonia uteri post partum, palsenta previa, ruptur dari rahim dan sebagainya. Infeksi Infeksi berat sebagai penyebab syok masih banyak dijumpai dalam praktek kebidanan. Syok karena infeksi berta dinamakan syok septik (septicaemic shock) atau syok endotoksik (endotoxic shock). Syok endotoksik terutama dijumpai pada infeksi berat dengan kuman gram negatif, seperti Escherichia coli, Pseudomonas, Proteus, Klebsiella dan lain-lain. Diperkirakan bahwa endotoksin yang menimbulkan syok adalah suatu kompleks lipopolysaccharide, protein berasal dari desintegrasi dinding bakteri-bakteri gram negatif yang berada dalam peredaran darah dalam jumlah yang besar. Peristiwa-peristiwa infeksi yang dapat menimbulkan syok septik adalah abortus infeksious, terutama abortus kriminalis, febris puerpuralis yang berat, pielonefritis. Solutio plasenta Pada solutio plasenta yang berat, selain timbulnya perdarahan banyak akibat pelepasan uri, terdapat juga pembebasan banyakl tromboplastin dari desidua dan korion pada tempat terjadinya solutio plasenta, yang mengakibatkan terjadinya pembekuan intravaskular merata (disseminated intravascular coagulation = DIC) yang disertai dengan fibrinolisis. Sehubungan dengan itu tidak jarang untuk DIC dipergunakan pula istilah intra vascular coagulation-fibrinolysis = ICF. Segala sesuatu menyebabkan gangguan pembekuan darah karena timbul kekurangan berbagai faktor pembekuan darah, diantaranya kekurangan fibrinogen hingga terjadi hipofibrinogenemia. Secara klinis gangguan pembekuan darah (coagulopathy) sudah dikenal dengan tes masa pembekuan darah (clot observation test). Pada solutio plasenta yang berat, kehilangan darah dan gangguan pembekuan darah akibat hipofibrinogenemia memerlukan transfusi darah segar dalam jumlah yang banyak. Dipergunakan darah segar untuk mencukupi kekurangan faktor-faktor koagulasi, terutama kekurangan fibrinogen. Perlukaan Perlukaan dalam persalinan seperti robek rahim, menimbulkan syok sebagai akibat trauma dan juga karena perdarahan banyak yang terjadi. Inversio uteri Inversio uteri pada waktu persalinan biasanya disebabkan oleh kesalahan dalam pemberian pertolongan pada kala uri.t dise Kejadian inversio uteri sering disertai dengan syok. Perdarahan dapat merupakan faktor penyebab dari syok tersebut, tetapi tanpa perdarahan syok dapat terjadi karena tarikan kuat pada peritoneum, kedua ligamentum infundibulo-pelvikum, serta ligamen rotundum, pada saat terjadinya inversio uteri. Syok dalam hal ini lebih banyak bersifat neurogen. Emboli air ketuban Emboli air ketuban dapat terjadi setiap saat waktu kehamilan. Untuk terjadinya emboli ini harus ada hubungan langsung antara air ketuban dan pembuluh darah ibu. Ini bisa kita jumpai pada ruptur uteri, seksio sesarea, solutio plasenta, atau luka-luka jalan lahir lainnya. Supine hypotensive syndrome

Seorang wanita hamil tua pada waktu tidur terlentang ada kalanya jatuh dalam keadaan hipotensi. Ia merasa sesak napas, menjadi pucat dan mengeluarkan keringat. Bila keadaan ini dibiarkan nadi menjadi lebih cepat, kecil dan penderita bisa menjadi tidak sadar. Hipotensi yang terjadi pada waktu hamil tua ini disebabkan oleh adanya tekanan pada vena kava inferior oleh rahim, sehingga pengaliran darah kembali ke jantung terganggu dan menjadi sangat berkurang. Kemungkinan terjadinya supine hypotensive syndrome lebih banyak pada kehamilan kembar, hidramnion, pada kehamilan timester terakhir. Dengan mempersilakan penderita tidur miring, uterus tidak lagi akan menekan pada vena kava inferior, pengaliran darah kembali ke jantung tidak lagi terlambat dan tekanan darah akan kembali pada keadaan semula. Kolaps vasomotor postpartum Ibu hamil dengan toksemia gravidarum sering mengalani syok pada 24 jam postpartum. Sebabnya mungkin karena pelebaran mendadak dari pembuluh darah spalangnikus karena dekomprresi sindrom abdomial setelah persalinan Emboli udara Bisa terjadi karena sesudah partus pembuluh-pembuluh darah terbuka dan bila tekanan luar tinggi maka udara masuk dalam pembuluh dalam pembuluh darah. Atau karena kurang hati-hati dalam pemberian infus sehingga udara masuk dalam pembuluh darah. Penanganan syok Mengingat bahaya syok, peristiwa-peristiwa yang dapat menimbulkan syok harus ditanggulangi sebaik-baiknya. Dalam praktek kebidanan pemberian cairan intravena melalui infus pada waktu persalinan sebagai tindakan pencegahan untuk menghindari hipovolumia besar manfaatnya, terutama pada penderita yang menunujukkan predisposisi terhadap syok. Pemberian pertolongan kepada penderita dengan syok sebaiknya diikuti dengan suatu Rencana tindakan yang urutannya sebagai berikut. Pertama-tama kelancaran ventilasi harus dijamin. Untuk ini perlu ditentukah apakah jalan napas bebas, jika tidak, hal itu perlu diusahakan dengan segera. Kemudian karena pada syok selalu ada pengurangan volume darah dalam sirkulasi umum, diberi cairan melalui infus intravena. Setelah dilakukan tindakan-tindakan seperti tersebut dia atas, diusahakan selekasnya menanggulangi peristiwa yang menjadi penyebab syok, dengan tindakan yang bersifat medis maupun pembedahan. Pada syok yang tidak terang sebab-sebabnya sebaiknya dilakukan pemeriksaan vaginal. Selama perawatan perlu terus menerus diadakan pengawasan keadaan penderita. Secara berkala diadakan pengukuran nadi, tekanan darah, suhu, pernapasan, diuresis dan bila perlu tekanan vena pusat (CVP) dan pemeriksaan-pemeriksaan labolatorium. Hasil penilaian pengukuran-pengukuran ini menentukan tindakan selanjutnya. Penanganan Syok Hemoragik Pada syok hemoragik tindakan yang esensial adalah menghentikan perdarahan dan mengganti kehilangan darah. Setelah diketahui adanya syok hemoragik, penderita dibaringkan dalam posisi Trendelenburg, yaitu dalam posisi terlentang biasa dengan kaki sedikit lebih tinggi.Dijaga jangan sampai penderita kedinginan badannya. Setelah kebebasan jalan napas terjamin, untuk meningkatkan oksigenasi dapat diberi oksigen 100% kira-kira 5 liter/menit mealui jalan napas. Sampai diperoleh persediaan darah buat transfusi, pada penderita melaui infus segera diberi cairan dalam bentuk larutan seperti NaCl 0,9%, Ringer laktat, dekstran, plasma dan sebaginya. Sebagai pedoman dalam menentukan jumlah volume cairan yang diperlukan, dipergunakan ukuran tekanan vena pusat (CVP) dan keadaan diuresis. CVP dapat dipergunakan untuk menilai hubungan antara volume darah

yang mengalir ke jantung dan daya kerja jantung. Tinggi CVP pada seseorang yang sehat yang berbaring adalah 5-8 cm air. Tekanan akan menurun jika volume darah itumenjadi kurang dan akan menaik dengan berkurangnya daya kerja jantung. Dengan demikian, CVP penting untuk memperoleh informasi tentang keseimbangan antara darah yang mengalir ke jantung dan kekuatan jantung , serta untuk menjaga jangan sampai pemberian cairan dengan jalan infus berlebihan. Selama CVP masih rendah, pemberian cairan dapat diteruskan akan tetapi jika CVP lebih dari normal (15-16 cm air), hal itu merupakan isyarat untuk menghentikan atau saat untuk mengurangi pemberian cairan dengan infus. Pemeriksaan hematokrit berguna sebagai pedoman pemberian darah. Kadar hematokrit normal adalah 40%, dan pada perdarahan perlu diberi darah sekian banyak, sehingga hematokrit tidak kurang dari 30%. Jika dianggap perlu kepada penderita syok hemoragik diberi cairan bikarbonat natrikus untuk mencegah atau menaggulangi asidosis. Penampilan klinis penderita banyak memberi isyarat mengenai keadaan penderita dan mengenai hasil perawatannya. Penanganan Syok Septik Seperti pada tiap syok, pada perawatan syok septik kelancaran ventilasi harus diperhatikan lebih dahulu (O2 diberikan dengan masker, jika perlu mempergunakan pipa endotrakeal atau melakukan trakeotomi), serta oksigenasi dengan oksigen 100%. Seterusnya, pada penderita diberi cukup cairan, seperti larutan garam 0,9%, ringer laktat, dekstran dan sebagainya melaui infus intravena dengan menggunakan CVP, dan keadaan diuresis sebagai pedoman. Untuk menghindarkan asidosis metabolik penderita dapat diberi bikarbonat natrikus. Penderita diberi antibiotika. Sebelum jenis kuman penyebab infeksi diketahui, diberi antibiotika dengan spektrumyang luas dan dosis yang tinggi secara intravena. Setelah diketahui jenis kuman penyebab dari hasil pembiakan darah, air kencing atau lendir serviks, maka dipilihkan jenis antibiotika yang tepat dan yang tidak bersifat nefrotoksik. Pemberian glukokortikoid ternyata besar manfaatnya dalam mengatasi syok septik. Dikemukakan bahwa glukokortikoid mengandung khasiat anti endotoksin, inotropik terhadap jantung dan memperbaiki perfusi ginjal. Glukokortikoid diberikan intravena melalui infus atau melaui suntikan intravena yang diulang setelah beberapa jam tertentu. Dapat diberikan misalnya Dexamethasone 3 mg/kg berat badan atau Metilprednisone 30 mg/kg berat badan. Suntikan, jika perlu diulangi 4 jam kemudian. Pengukuran berkala secara serial untuk pH darah, gas dan elektrolit dalam darah perlu dilakukan untuk mengenal adanya gangguan keseimbangan asam basa dan gangguan keseimbangan elektrolit. Apabila ada asidosis, yaitu pH turun di bawah 7,36, penderita perlu diberi larutan bikarbonat natrikus. Obat-obat vasoaktif dapat dipergunakan dalam merawat syok septik. Tujuan utama pemberian obat vasoaktif adalah untuk memperbaiki perfusi jaringan, bukan untuk mengembalikan tekanan darah menjadi normal. Sehubungan dengan itu, penggunaan jenis obat vasoaktif, vasopressor atau vasodilator tergantung pada keadaan penderita. Bila penderita berada dalam keadaan stadium hipotensi yang hangat (warm hypotensive phase), maka karena menghadapi suatu keadaan dengan vasodilatasi dalam sirkulasi mikro, dapat diberi obat vasopressor seperti Aramin. Bila penderita dalam stadium hipotensi dingin, maka karena menghadapi suatu keadaan dengan vasokontriksi dalam sirkulasi mikro, dapat diberi vasodilator dalam dosis yang kecil, seperti Klorpromazin secara intravena 5-10 mg. Pada perawatan penderita dengan syok septik pengawasan diuresis sangatlah penting. Pengukuran pengeluaran air kencing sangat berguna untuk menilai keadaan penderita dan hasil pengobatan. Apabila diuresis ditemukan kurang dari 30 ml/jam dan penambahan cairan tidak memperbaiki keadaan dapat diberi Manitol 10 gram sebagai cairan 20% dalam 500 ml cairan garam fisiologik melalui infus. Jika belum ada perbaikan, perlu diberi 25 mg Furosemid secara intravena dan dosis dapat diulangi setiap jam. Apabila dengan demikian masih belum juga ada perbaikan, kemungkinan terjadinya kegagalan fungsi

ginjal harus dipertimbangkan. Kegagalan fungsi ginjal adalah keadaan yang sangat membahayakan penderita dan memerlukan penanganan yang khusus. Dalam perawatan penderita dengan kegagalan fungsi ginjal perlu diperhatikan beberapa masalah, di antaranya yang penting ialah balans air, nutrisi, balans asam basa dan balans elektrolit. Pemberian air dan natrium perlu dibatasi. Cairan infus dibatasi sampai 0,2 ml/kg berat badan untuk setiap jam di atas apa yang dikeluarkan dengan kencing atau dengan jalan lain. Mengenai masalah nutrisi, pemasukan protein harus sebanyak mungkin dikurangi, hendaknya dibatasi pada asam amino yang perlu. Untuk mengurangi metabolisme protein endogen perlu dilakukan pemasukan karbohidrat dalam jumlah yang cukup. Untuk mencegah timbulnya hiperkalemi, pemasukan kalium harus dihentikan. Untuk mengatasi gangguan dalam elektrolit dan asam basa bila pengobatan tidak cukup berhasil, tindakan dialisis perlu dipertimbangkan. Selama perawatan, keadaan jantung perlu terus diperhatikan. Bahaya kelemahan jantung dapat dikenal antara lain CVP yang meningkat dan nadi yang cepat. Dewasa ini dianjurkan pemakaian the flexible Swan-Ganz ballontipped flotation chateter untuk mengukur pula tekanan vena di paru-paru, agar jangan sampai ada overloading di paru-paru. Pemeriksaan dengan CVP saja dapat membahayakan jantung. Dalam keadaan demikian digitalisasi perlu dipertimbangkan, misalnya dengan Cedilanid. Dalam mengatasi syok septik, penyingkiran sarang infeksi sangatlah penting. Sehubungan itu, tindakan operatif sering perlu dilakukan, seperti tindakan kuret, histerektomi dan sebagainya.

PERDARAHAN ANTEPARTUM
Perdarahan antepartum adalah perdarahan yang terjadi setelah kehamilan 28 minggu. Biasanya lebih banyak dan lebih berbahaya daripada perdarahan kehamilan sebelum 28 minggu. Perdarahan antepartum yang berbahaya umumnya bersumber pada kelainan plasenta, sedangkan perdarahan yang tidak bersumber pada kelainan plasenta umpamanya kelainan servik biasanya tidak seberapa berbahaya. Pada setiap perdarahan antepartum pertama-tama harus selalu dipikirkan bahwa hal itu bersumber pada kelainan plasenta. Perdarahan antepartum dapat berasal dari : Kelainan plasenta 1. Plasenta previa Plasenta previa adalah keadaan dimana plasenta berimplantasi pada tempat abnormal, yaitu pada segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir. Pada keadaan normal plasenta terletak dibagian atas uterus. 2. Solusio plasenta (Abruptio Placenta) Solusio plasenta ialah terlepasnya plasenta yang letaknya normal pada corpus uteri sebelum lahirnya janin, terjadi pada triwulan ketiga.

3. Perdarahan antepartum yang belum jelas sumbernya, mungkin disebabkan : ruptura sinus marginalis, atau vasa previa.

Bukan dari kelainan plasenta Misalnya didapatkan kelainan serviks dan vagina, dapat diketahui bila dilakukan pemeriksaan dengan spekulum yang seksama. Kelainan yang tampak ialah : 1) erosio portionis uteri 2) carcinoma portionis uteri 3) polypus cervicis uteri 4) varices vulvae 5) trauma. Kematian perinatal terbesar karena perdarahan antepartum adalah solutio plasenta (70%) dan plasenta previa (26,3%).

A. Placenta Normal B. Placenta Previa C. Placenta Akreta D. Solusio Plasenta Gejala Klinis Plasenta Previa Perdarahan tanpa sebab, tanpa nyeri dan berulang Perdarahan keluar pervaginam (dari dalam uterus) Anemis Solusio Plasenta Perasaan sakit yang tiba-tiba di perut, kadang-kadang pasien bisa melokalisir tempat mana yang paling sakit, dimana plasenta terlepas. Perdarahan pervaginam yang sifatnya bisa hebat dan sekonyong-konyong (nonrecurrent) terdiri dari darah segar dan bekuan-bekuan darah. Pergerakan anak mulai hebat kemudian terasa pelan dan akhirnya berhenti (anak tidak bergerak lagi). Kepala terasa pusing, lemas, muntah, pucat, pandangan berkunang-kunang, ibu kelihatan anemis tidak sesuai dengan banyaknya darah yang keluar. Kadang-kadang ibu dapat menceritakan trauma dan faktor kausal yang lain

Penatalaksanaan Setiap perdarahan pada kehamilan lebih dari 28 minggu yang lebih banyak dari perdarahan yang biasanya terjadi pada permulaan persalinan biasa, harus dianggap sebagai perdarahan antepartum. Apapun penyebabnya penderita harus segera dibawa ke rumah sakit yang memiliki fasilitas untuk transfusi darah atau operasi. Jangan sekali-kali melakukan pemeriksaan dalam dirumah penderita atau ditempat yang tidak memungkinkan tindakan operatif segera karena pemeriksaan itu dapat menambah banyaknya perdarahan. Pemasaan tampon dalam vagina tidak berguna sama sekali untuk menghentikan perdarahan, malah akan menambah perdarahan karena sentuhan pada servik waktu pemasangannya. Selagi penderita belum jatuh kedalam shock, infus cairan intravena harus segera dipasang, dan dipertahankan terus sampai tiba di rumah sakit. Memasang jarum infus kedalam pembuluh darah sebelum terjadi shock akan jauh lebih memudahkan transfusi darah, bila sewaktu-waktu diperlukan. Segera setelah tiba di rumah sakit, usaha pengadaan darah harus segera diberikan walaupun perdarahanya tidak seberapa banyak. Pengambilan contoh darah untuk pemeriksaan golongan darah, dan pemeriksaan kecocokan dengan donornya harus segera dilakukan. Pertolongan selanjutnya di rumah sakit tergantung dari paritas, tuanya kehamilan, banyaknya perdarahan, keadaan ibu, keadaan janin, sudah atau belum mulainya persalinan, dan diagnosis yang ditegakkan. Pengawasan antenatal sebagai cara untuk mengetahui atau menanggulangi kasus-kasus dengan perdarahan antepartum memegang peranan yang terbatas. Walaupun demikian, beberapa pemeriksaan dan perhatian yang biasa dilakukan pada pengawasan antenatal dapat mengurangi kesulitan yang mungkin terjadi. Pemeriksaan dan perhatian yang dimaksud ialah penentuan golongan darah ibu dan calon donornya, pengobatan anemia pada kehamilan, seleksi ibu untuk bersalin di rumah sakit, memperhatikan kemungkinan adanya plasentaprevia, dan mencegah serta mengobati penyakit hipertensi menahun dan preeeklampsia. Para ibu hamil yang patut dicurigai akan mengalami perdarahan antepartum ialah para ibu yang umurnya lebih dari 35 tahun, paritas 5 atau lebih, bagian bawah janin selalu terapung di atas PAP, atau menderita preeklampsia.

ASFIKSIA NEONATUS
Asfiksia neonatorum ialah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam kehamilan, persalinan, atau segera setelah bayi lahir. Akibat-akibat asfiksia akan bertambah buruk apabila penanganan bayi tidak dilakukan secara sempurna. Tindakan yang akan dikerjakan pada bayi bertujuan mempertahankan kelangsungan hidupnya dan membatasi gejala-gejala lanjut yang mungkin timbul. Atas dasar pengalaman klinis, asfiksia neonatarum dapat dibagi dalam : a. Vigorous baby skor apgar 7-10, dalam hal ini bayi dianggap sehat b. Mild-moderate asphyxia (asfiksia sedang) skor apgar 4-6 pada pemeriksaan fisis akan terlibat frekuensi jantung lebih dari 100x/menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, refleks iritabilitas tidak ada.

c. Asfiksia berat: skor apgar 0-3. Pada pemeriksaan fisis ditemukan frekuensi jantung kurang dari 100x/menit, tonus otot buruk, sianosis berat dan kadang-kadang pucat, refleks iritabilitas tidak ada Asfiksia berat dengan henti jantung yaitu keadaan : 1. Bunyi jantung fetus menghilang tidak lebih dari 10 menit sebelum lahir lengkap 2. Bunyi jantung bayi menghilang post partum Etiologi Asfiksia terjadi karena adanya gangguan pertukaran gas serta transpor O2 dari ibu ke janin sehingga terdapat gangguan dalam persediaan O2 dan dalam menghilangkan CO2. Gangguan ini dapat berlangsung secara menahun akibat kondisi atau kelainan pada ibu selama kehamilan, atau secara mendadak karena hal-hal yang diderita ibu dalam persalinan. Penggolongan penyebab kegagalan pernafasan pada bayi terdiri dari : 1. Faktor Ibu a. Hipoksia ibu, hal ini akan menimbulkan hipoksia janin. Hipoksia ibu dapat terjadikarena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetik atau anestesi dalam. b. Gangguan aliran darah uterus c. Mengurangnya aliran darah pada uterus akan menyebabkan berkurangnya pengairan O2 ke plasenta dan ke janin. Hal ini sering ditemukan pada kasus-kasus : 1) Gangguan kontraksi uterus, misalnya : hipertensi, hipotoni / tetani uterus akibat penyakit atau obat. 2) Hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan. 3) Hipertensi pada penyakit eklamsia. 2. Faktor Janin a. Gangguan aliran darah dalam tali pusat karena tekanan tali pusat. b. Depresi pernafasan karena obat-obat anastesia / analgetika yang diberikan kepada ibu. c. Trauma yang terjadi pada persalinan, misalnya : perdarahan intracranial. d. Kelainan kongenital, misalnya : hernia diafragmatika, atresia saluran pernafasan, hipoplasia paru, dan lain-lain. Tabel 1. Faktor risiko askisia neonatorum Faktor risiko antepartum Faktor intrapartum risiko Faktor risiko janinError: Reference source not found,Error:
Reference source not found

PrimiparaError: Reference source not found Penyakit pada ibuError: Reference source not found: - Demam saat kehamilan - Hipertensi dalam kehamilan - Anemia - Diabetes mellitus - Penyakit hati dan ginjal - Penyakit kolagen dan pembuluh darah

MalpresentasiError: Reference source not found Partus lamaError: Reference source not found Persalinan yang sulit dan traumatikError: Reference source not found Mekoneum dalam

Prematuritas BBLR Pertumbuhan janin terhambat Kelainan kongenital

Perdarahan antepartumError: ketubanError: Reference Reference source not found,Error: source not found,Error:
Reference source not found Reference source not found

Riwayat kematian neonatus Ketuban pecah sebelumnyaError: Reference diniError: Reference source not found source not found Penggunaan sedasi, anelgesi Induksi Oksitosin Error: atau anestesiError: Reference Reference source not source not found found Prolaps tali pusatError: Reference source not found Patofisiologi Cara bayi memperoleh oksigen sebelum lahir Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau jalan untuk mengeluarkan karbondioksida. Pembuluh arteriol yang ada di dalam paru janin dalam keadaan konstriksi sehingga tekanan oksigen (pO2) parsial rendah. Hampir seluruh darah dari jantung kanan tidak dapat melalui paru karena konstriksi pembuluh darah janin, sehingga darah dialirkan melalui pembuluh yang bertekanan lebih rendah yaitu duktus arteriosus kemudian masuk ke aorta. Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai sumber utama oksigen. Cairan yang mengisi alveoli akan diserap ke dalam jaringan paru, dan alveoli akan berisi udara. Pengisian alveoli oleh udara akan memungkinan oksigen mengalir ke dalam pembuluh darah disekitar alveoli. Arteri dan vena umbilikasis akan menutup sehingga menurunkan tahanan pada sirkulasi plasenta dan meningkatkan tekanan darah sistemik. Akibat tekanan udara dan peningkatan kadar oksigen di alveoli, pembuluh darah paru akan mengalami relaksasi sehingga tahanan terhadap aliran darah bekurang. Keadaan relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah sistemik, menyebabkan tekanan pada arteri pulmonalis lebih rendah dibandingkan tekanan sistemik sehingga aliran darah paru meningkat sedangkan aliran pada duktus arteriosus menurun. Oksigen yang diabsorbsi di alveoli oleh pembuluh darah di vena pulmonalis dan darah yang banyak mengandung oksigen kembali ke bagian jantung kiri, dimana akan dipompakan ke seluruh tubuh bayi baru lahir. Pada kebanyakan keadaan, udara menyediakan oksigen (21%) untuk menginisiasi relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat kadar oksigen meningkat dan pembuluh paru mengalami relaksasi, duktus arteriosus mulai menyempit. Darah yang sebelumnya melalui duktus arteriosus sekarang melalui paru-paru, akan mengambil banyak oksigen untuk dialirkan ke seluruh jaringan tubuh. Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan menggunakan paruparunya untuk mendapatkan oksigen. Tangisan pertama dan tarikan napas yang dalam akan mendorong cairan dari jalan napasnya. Oksigen dan pengembangan paru merupakan rangsang utama relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat oksigen masuk adekuat dalam pembuluh darah, warna kulit bayi akan berubah dari abu-abu/biru menjadi kemerahan. Kesulitan yang dialami bayi selama masa transisi Bayi dapat mengalami kesulitan sebelum lahir, selama persalinan atau setelah lahir. Kesulitan yang terjadi dalam kandungan, baik sebelum atau selama persalinan, biasanya akan

menimbulkan gangguan pada aliran darah di plasenta atau tali pusat. Tanda klinis awal dapat berupa deselerasi frekuensi jantung janin. Masalah yang dihadapi setelah persalinan lebih banyak berkaitan dengan jalan nafas dan atau paru-paru seperti sulit untuk menyingkirkan cairan atau benda asing seperti mekonium dari alveolus, sehingga akan menghambat udara masuk ke dalam paru mengakibatkan hipoksia. Bradikardia akibat hipoksia dan iskemia akan menghambat peningkatan tekanan darah (hipotensi sistemik). Selain itu kekurangan oksigen atau kegagalan peningkatan tekanan udara di paru-paru akan mengakibatkan arteriol di paruparu tetap konstriksi sehingga terjadi penurunan aliran darah ke paru-paru dan pasokan oksigen ke jaringan. Pada beberapa kasus, arteriol di paru-paru kadangkala gagal unruk berelaksasi walaupun paru-paru sudah terisi dengan udara atau oksigen (Persisten Pulmonary Hypertension Newborn, disingkat menjadi PPHN). Reaksi bayi terhadap kesulitan selama masa transisi normal Bayi baru lahir akan melakukan usaha untuk menghirup udara ke dalam paru-parunya yang mengakibatkan cairan paru keluar dari alveoli ke jaringan insterstitial di paru sehingga oksigen dapat dihantarkan ke arteriol pulmonal dan menyebabkan arteriol berelaksasi. Jika keadaan ini terganggu maka arteriol pulmonal akan tetap kontriksi, alveoli tetap terisi cairan dan pembuluh darah arteri sistemik tidak mendapat oksigen. Pada saat pasokan oksigen berkurang, akan terjadi konstriksi arteriol pada organ seperti usus, ginjal, otot dan kulit, namun demikian aliran darah ke jantung dan otak tetap stabil atau meningkat untuk mempertahankan pasokan oksigen. Penyesuaian distribusi aliran darah akan menolong kelangsungan fungsi organ-organ vital. Walaupun demikian jika kekurangan oksigen berlangsung terus, akan terjadi kegagalan fungsi miokardium dan kegagalan peningkatan curah jantung, penurunan tekanan darah, yang mengkibatkan aliran darah ke seluruh organ akan berkurang. Sebagai akibat dari kekurangan perfusi oksigen dan oksigenasi jaringan, akan menimbulkan kerusakan jaringan otak yang irreversible, kerusakan organ tubuh lain, atau kematian. Keadaan bayi yang membahayakan akan memperlihatkan satu atau lebih tanda-tanda klinis seperti tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot dan organ lain; depresi pernapasan karena otak kekurangan oksigen; bradikardia (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen pada otot-otot jantung atau sel-sel otak; tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot jantung, kehilangan darah atau kekurangan aliran darah yang kembali ke plaseta sebelum dan selama proses persalinan; takipnu (pernapasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan paru-paru; dan sianosis (warna kebiruan) karena kekurangan oksigen di dalam darah. Gejala-gejala ini juga dapat terjadi pada keadaan lain, seperti infeksi atau hipoglikemia, atau karena ibu menggunakan obat-obatan seperti narkotika atau anestesi umum sebelum persalinan. Mekanisme Yang Terjadi Pada Bayi Baru Lahir Mengalami Gangguan Di Dalam Kandungan Atau Pada Masa Perinatal Penelitian laboratorium menunjukkan bahwa pernapasan adalah tanda vital pertama yang berhenti ketika bayi baru lahir kekurangan oksigen. Setelah periode awal pernapasan yang cepat maka periode selanjutnya disebut apnu primer.Rangsangan seperti mengeringkan atau menepuk telapak kaki akan menimbulkan pernapasan. Walaupun demikian bila kekurangan oksigen terus berlangsung, bayi akan melakukan beberapa usaha bernapas megap-megap dan kemudian terjadi apnu sekunder, rangsangan saja tidak akan menimbulkan kembali usaha pernapasan bayi baru lahir. Bantuan pernapasan harus diberikan untuk mengatasi masalah akibat kekurangan oksigen.

Frekuensi jantung mulai menurun pada saat bayi menglami apnu primer. Tekanan darah akan tetap bertahan sampai dimulainya apnu sekunder (kecuali jika terjadi kehilangan darah pada saat memasuki periode hipotensi) Seringkali bayi berada pada fase antara apnu primer dan apnu sekunder yang telah disebutkan diatas. Seringkali keadaan yang membahayakan ini dimulai sebelum atau selama persalinan. Akibatnya saat lahir, sulit untuk menilai berapa lama bayi telah berada dalam keadaan membahayakan. Pemeriksaan fisik tidak dapat membedakan antara apnu primer dan sekunder, namun respon pernapasan yang ditunjukkan akan dapat memperkirakan kapan mulai terjadi keadaan yang membahayakan itu. Jika bayi menunjukkan tanda pernapasan segera setelah dirangsang, itu adalah apnu primer. Jika tidak menunjukkan perbaikan apa-apa, ia dalam keadaan apnu sekunder. Sebagai gambaran umum, semakin lama seorang bayi dalam keadaan apnu sekunder, semakin lama pula dia bereaksi untuk dapat memulai pernapasan. Walau demikian, segera setelah ventilasi yang adekuat, hampir sebagian besar bayi baru lahir akan memperlihatkan gambaran reaksi yang sangat cepat dalam hal peningkatan frekuensi jantung. Jika setelah pemberian ventilasi tekanan positif yang adekuat, ternyata tidak memberikan respons peningkatan frekuensi jantung maka keadaan yang membahayakan ini seperti gangguan fungsi miokardium dan tekanan darah, telah jatuh pada keadaan kritis. Pada keadaan seperti ini, pemberian kompresi dada dan obat-obatan mungkin diperlukan untuk resusitasi. Patofisiologi Komplikasi Pasca Hipoksia Kelainan yang terjadi akibat hipoksia dapat timbul pada stadium akut, atau sekunder pasca hipoksia. Pada keadaan hipoksia akut akan terjadi redistribusi aliran darah sehingga organ vital seperti otak, jantung, dan kelenjar adrenal akan mendapatkan aliran yang lebih banyak dibandingkan organ lain seperti kulit, jaringan muskuloskeletal serta organ-organ rongga abdomen dan rongga toraks lainnya seperti paru, hati, ginjal, dan traktus gastrointestinal. Perubahan dan redistribusi aliran terjadi karena penurunan resistensi vaskular pembuluh darah otak dan jantung serta meningkatnya resistensi vaskular di perifer.i Hal ini dapat terlihat dalam penelitian lain oleh Akinbi dkk.ii yang melaporkan bahwa pada pemeriksaan ultrasonografi pulse Doppler ditemukan kaitan yang erat antara beratnya hipoksia dengan menurunnya velositas aliran darah serta meningkatnya resistensi jaringan di ginjal dan arteri mesenterika superior. Perubahan ini dapat menetap sampai hari ke 3 neonatus. Perubahan resistensi vaskular inilah yang dianggap menjadi penyebab utama redistribusi curah jantung pada penderita, hipoksia dan iskernia neonatus. Faktor lain yang dianggap turut pula mengatur redistribusi vaskular ini antara lain adalah timbulnya rangsangan vasodilatasi serebral akibat hipoksia yang disertai akumulasi karbon dioksida, meningkatnya aktivitas saraf simpatis dan adanya aktivitas khemoreseptor yang diikuti pelepasan vasopresin. Redistribusi aliran darah pada penderita hipoksia tidak hanya terlihat pada aliran sistemik tetapi juga terjadi saat darah mencapai suatu organ tertentu. Hal ini dapat terlihat pada aliran darah otak yang ditemukan lebih banyak mengalir ke batang otak dan berkurang ke serebrum, pleksus khoroid, dan masa putih. Pada hipoksia yang berkelanjutan, kekurangan oksigen untuk menghasilkan energi bagi metabolisme tubuh menyebabkan terjadinya proses glikolisis anerobik. Produk sampingan proses tersebut (asam laktat dan piruvat) menimbulkan peningkatan asam organik tubuh yang berakibat menurunnya pH darah sehingga terjadilah asidosis metabolik. Perubahan sirkulasi dan metabolisme ini secara bersama-sama akan menyebabkan kerusakan sel baik sementara ataupun menetap.

Pada bayi kurang bulan, proses hipoksia yang terjadi akan lebih berat dibandingkan dengan bayi cukup bulan akibat kurang optimalnya faktor redistribusi aliran darah,terutama aliran darah otak, sehingga risiko terjadinya gangguan hipoksik iskemik dan perdarahan periventrikular lebih tinggi. Demikian pula disfungsi jantung akibat proses hipoksik iskemik ini sering berakhir dengan payah jantung. Karena itu tidaklah mengherankan apabila, pada. hipoksia berat, Angka kernatian bayi kurang bulan, terutama bayi berat lahir sangat rendah yang mengalami hipoksia berat dapat mencapai 43-58%. Disfungsi multi organ pada hipoksia/iskemia Gambaran klinik yang terlihat pada berbagai organ tubuh tersebut sangat bervariasi tergantung pada beratnya hipoksia, selang waktu antara pemeriksaan keadaan hipoksia akut terjadi, masa gestasi bayi, riwayat perawatan perinatal, serta faktor lingkungan penderita termasuk faktor sosial ekonomi. Beberapa penelitian melaporkan, organ yang paling sering mengalami gangguan adalah susunan saraf pusat. Pada asfiksia neonatus, gangguan fungsi susunan saraf pusat hampir selalu disertai dengan gangguan fungsi beberapa organ lain (multiorgan failure). Kelainan susunan saraf pusat yang tidak disertai gangguan fungsi organ lain, hampir pasti penyebabnya bukan asfiksia perinatal. Sistem Susunan Saraf Pusat Pada keadaan hipoksia aliran darah ke otak dan jantung lebih dipertahankan dari pada ke organ tubuh lainnya, namun terjadi perubahan hemodinamik di otak dan penurunan oksigenisasi sel otak tertentu yang selanjutnya mengakibatkan kerusakan sel otak. Salah satu gangguan akibat hipoksia otak yang paling sering ditemukan pada masa perinatal adalah ensefalopati hipoksik iskemik (EHI). Pada bayi cukup bulan keadaan ini timbul saat terjadinya hipoksia akut, sedangkan pada bayi kurang bulan kelainan lebih sering timbul sekunder pasca hipoksia dan iskernia akut. Manifestasi gambaran klinik bervariasi tergantung pada lokasi bagian otak yang terkena proses hipoksia dan iskemianya. Pada saat timbulnya hipoksia akut atau saat pemulihan pasca hipoksia terjadi dua proses yang saling berkaitan sebagi penyebab perdarahan peri/intraventrikular. Pada proses pertama, hipoksia akut yang terjadi menimbulkan vasodilatasi serebral dan peninggian aliran darah serebral. Keadaan tersebut menimbulkan peninggian tekanan darah arterial yang bersifat sementara dan proses ini ditemukan pula pada sirkulasi kapiler di daerah matriks germinal yang mengakibatkan perdarahan. Selanjutnya keadaan iskernia dapat pula terjadi akibat perdarahan ataupun renjatan pasca perdarahan yang akan memperberat keadaan penderita. Pada proses kedua, perdarahan dapat terjadi pada fase pemulihan pasca hipoksia akibat adanya proses reperfusi dan hipotensi sehingga menimbulkan iskemia di daerah mikrosirkulasi periventrikular yang berakhir dengan perdarahan. Proses yang mana yang lebih berperan dalarn terjadinya perdarahan tersebut belum dapat ditetapkan secara pasti, tetapi gangguan sirkulasi yang terjadi pada kedua proses tersebut telah disepakati mempunyai peran yang menentukan dalarn perdarahan tersebut. Sistem Pernapasan Penyebab terjadinya gangguan pernapasan pada bayi penderita asfiksia neonatus masih belum dapat diketahui secara pasti. Beberapa teori mengernukakan bahwa hal ini merupakan akibat langsung hipoksia dan iskemianya atau dapat pula terjadi karena adanya disfungsi ventrikel kiri, gangguan koagulasi, terjadinya radikal bebas oksigen ataupun penggunaan ventilasi mekanik dan timbulnya aspirasi mekonium. Sistem kardiovaskuler Bayi yang mengalami hipoksia berat dapat menderita disfungsi miokardium yang berakhir dengan payah jantung. Disfungsi miokardium terjadi karena menurunnya perfusi

yang disertai dengan kerusakan sel miokard terutama di daerah subendokardial dan otot papilaris kedua bilik jantung. Sistem urogenital Pada sistem urogenital, hipoksia bayi dapat menimbulkan gangguan perfusi dan dilusi ginjal serta kelainan filtrasi glomerulus. Aliran darah yang kurang menyebabkan nekrosis tubulus dan perdarahan medula.

Diagnosis
Anamnesis Anamnesis terarah untuk mencari faktor risiko terhadap terjadinya asfiksia. (lihat tabel di atas) Pemeriksaan Fisik a. Bayi tidak bernafas atau menangis b. Denyut jantung kurang dari 100x/menit c. Tonus otot menurun d. Bisa didapatkan cairan ketuban ibu bercampur mekonium, atau sisa mekonium pada tubuh bayi e. BBLR Pemeriksaan Penunjang Laboratorium : hasil analisis gas darah tali pusat menunjukkan hasil asidosis pada darah tali pusat: o PaO2 < 50 mm H2O o PaCO2 > 55 mm H2 o pH < 7,30 Bila bayi sudah tidak membutuhkan bantuan resusitasi aktif, pemeriksaan penunjang diarahkan pada kecurigaan atas komplikasi, berupa : o Darah perifer lengkap o Analisis gas darah sesudah lahir o Gula darah sewaktu o Elektrolit darah (Kalsium, Natrium, Kalium) o Ureum kreatinin o Laktat o Ronsen dada o Ronsen abdomen tiga posisi o Pemeriksaan USG Kepala o Pemeriksaan EEG o CT scan kepala

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan segera asfiksia adalah resusitasi bayi. Semua bayi dengan depresi pernapasan harus mendapat resusitasi yang adekuat. Bila bayi kemudian terdiagnosa sebagai asfiksia neonatorum sesuai dengan definisi AAP/ACOG, maka diperlukan tindakan medis lanjutan yang komprehensif sesuai dengan kondisinya. Asfiksia yang terjadi pada bayi biasanya merupakan kelanjutan dari anoksia / hipoksia janin. Diagnosis anoksia / hipoksia janin dapat dibuat dalam persalinan dengan ditemukannya tanda-tanda gawat janin. Tiga hal yang perlu mendapat perhatian yaitu : 1) Denyut jantung janin Peningkatan kecepatan denyut jantung umumnya tidak banyak artinya, akan tetapi apabila frekuensi turun sampai ke bawah 100 kali per menit di luar his, dan lebihlebih jika tidak teratur, hal itu merupakan tanda bahaya. 2) Mekonium dalam air ketuban Mekonium pada presentasi sungsang tidak ada artinya, akan tetapi pada presentasi kepala mungkin menunjukkan gangguan oksigenisasi dan harus diwaspadai. Adanya mekonium dalam air ketuban pada presentasi kepala dapat merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan bila hal itu dapat dilakukan dengan mudah. 3) Pemeriksaan pH darah janin Dengan menggunakan amnioskop yang dimasukkan lewat serviks dibuat sayatan kecil pada kulit kepala janin, dan diambil contoh darah janin. Darah ini diperiksa pHnya. Adanya asidosis menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu turun sampai di bawah 7,2 hal itu dianggap sebagai tanda bahaya gawat janin mungkin disertai asfiksia. Resusitasi Neonatal Resusitasi neonatus adalah prosedur yang dilakukan pada neonatus yang tidak dapat bbernapas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir. Prinsip Resusitasi Neonatal Prinsip dasar resusitasi pada kelahiran terangkum dalam pernyataan tahun 1897 berikut: Terdapat tiga prinsip utama penatalaksanaan asfiksia neonatorum: pertama, pertahankan panas tubuh; kedua, bebaskan jalan napas dari obstruksi; ketiga, stimulasi respirasi, atau asupan udara ke paru untuk oksigenasi darah. Acuan baru resusitasi neonatal menekankan efektivitas sebagai kunci keberhasilan. Sebagian besar bayi baru lahir tidak memerlukan bantuan apapun agar dapat bernapas dengan efektif setelah dilahirkan, dan apabila mereka memerlukannya, sebagian besar hanya membutuhkan bantuan minimal. Beberapa memerlukan intubasi dan ventilasi sementara kebutuhan untuk menggunakan obat dan kompresi dada jarang diperlukan. Kurang lebih 10% dari semua neonatus memerlukan bantuan pada waktu dilahirkan, hanya 1% yang memerlukan resusitasi lanjut. Diperkirakan asfiksia perinatal merupakan penyebab seperlima semua kematian neonatal di seluruh dunia; tindakan resusitasi sederhana dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas yang disebabkan asfiksia perinatal. Terdapat beberapa faktor resiko antepartum dan intrapartum in utero, seperti hipertensi yang disebabkan kehamilan (PIH), gangguan pertumbuhan intra uterin (IUGR), prematuritas, perdarahan antepartum (APH), ruptur membran prematur (PROM), dan sumbatan mekonium sehingga bayi memerlukan resusitasi. Pada benyak peristiwa, asfiksia terjadi tanpa diduga, jadi penting untuk memiliki personel

yang cukup terlatih dalam hal resusitasi neonatal dengan piranti yang memadai pada waktu persalinan sedang berlangsung. Fisiologi Ekspansi paru segera pada waktu lahir memerlukan tekanan ventilasi yang lebih tinggi dibandingkan pada tahap lainnya masa bayi. Kegagalan ekspansi ruang alveolar yang adekuat dapat terjadi pada hipoksemia dan asfiksia. Asfiksia menyebabkan hipoksia progresif, hiperkapnia, hipoperfusi dan asidosis. Konsekuensi dari hipoksia dan asidosis adalah vasokonstriksi paru, pembukaan duktus arteriosus, right-to-left shunting, disfungsi myokard, output jantung kurang, asidosis metabolik dan kerusakan sistem organ. Pada hipoksia janin, setelah beberapa kali napas dangkal pusat respirasi tidak dapat melanjutkan inisiasi pernapasan sehingga pernapasan berhenti. Hal ini disebut apnu primer. Sebagian besar neonatus dengan apnu primer merespon stimulasi saja. Jika hipoksia menetap, bayi mulai terengah. Periode antara engahan terakhir dan cardiac arrest disebutapnu skunder. Secara klinis, tidak mungkin membedakan apnu primer dan sekunder. Karenanya penting untuk menduga bayi apnu mengalami apnu sekunder. Penatalaksanaannya berupa bag and mask ventilation, kompresi dada, intubasi dan obatobatan. Preparasi Untuk mempersiapkan resusitasi diperlukan peralatan yang memadai dan paling tidak satu orang terlatih. Tabel 5.1 mencantumkan peralatan resusitasi neonatal penting yang diperlukan untuk semua persalinan. Kewaspadaan yang menyeluruh serta asepsis yang ketat harus dipertahankan. Peralatan resusitasi neonatal Permukaan meja resusitasi dengan alas yang cukup keras Sumber kehangatan dan cahaya Jam dengan pencatat waktu Oksigen Kain linen, kantung polietilen atau pembungkus yang hangat Sarung tangan Stetoskop Ekstraktor lendir/suction apparatus, kateter suction (6, 8, 10 Fr) Facemask (ukuran 0 dan 1) Kantung self-inflating dengan penampung (ukuran bayi baru lahir), flow-inflating bag atau T-piece device Laringoskop dengan bilah lurus (ukuran 0 dan 1), bohlam dan baterai cadangan Endotracheal tubes (ukuran 2.0, 2.5, 3.0, 3.5 dan 4 mm ID) Stylet Nasogastric tubes (6, 8 Fr) Disposable syringes (1, 2 dan 10 ml), jarum sekali pakai n(no. 23 dan 24) Kanul intravena, Kateter pembuluh umbilikalis Pita perekat, gunting Obat larutan NaCl, naloxone, adrenalin (1:10.000) Jika diperkirakan akan terjadi persalinan prematur (usia kehamilan kurang dari 37 minggu), diperlukan persiapan khusus karena bayi tersebut memiliki paru imatur sehingga lebih sulit untuk berventilasi dan rentan terhadap cedera oleh ventilasi tekanan positif. Bayi prematur juga memiliki pembuluh darah imatur di otak sehingga rentan terhadap perdarahan; kulit yang tipis dan bisang permukaan yang luas, sehingga

menyebabkan hilangnya panas dengan cepat; semakin rentan terhadap infeksi; dan peningkatan resiko syok hipovolemik. Evaluasi Apakah bayi lahir dengan usia kehamilan yang memadai? Apakah cairan amnion bebas dari mekonium dan tanda-tanda infeksi? Apakah bayi bernapas atau mennagis? Apakah tonus otot bayi baik? Jika jawaban dari semua pertanyaan tersebut adalah ya, maka bayi tidak memerlukan resusitasi. Bayi dapat dikeringkan, langsung diletakkan di dada ibunya dan dibungkus dengan kain linen hangat untuk mempertahankan suhu. Harus dilakukan pengawasan terus menerus terhadap pernapasan, aktivitas, dan pewarnaan. Jika jawaban dari salah satu atau semua pertanyaan di atas adalah tidak, maka bayi masuk ke dalam salah satu tindakan berikut: 1. Langkah awal stabilisasi (berikan kehangatan, posisikan bayi, bebaskan jalan napas, keringkan, stimulasi, reposisi) 2. Bernapas, yaitu dengan ventilasi 3. Kompresi dada 4. Pemberian adrenalin dan/atau ekspansi volume Diperlukan waktu tiga puluh detik untuk menyelesaikan setiap langkah, dan menentukan apakah langkah selanjutnya diperlukan. Teknik Resusitasi Resusitasi TABC yaitu mempertahankan temperatur (Temperature), jalan napas (Airway), pernapasan (Breathing) dan sirkulasi (Circulation) yang ditunjukkan oleh Bagan ILCOR (International Liaison Committee on Resuscitation) (Gambar 5.1). Langkah Dasar Langkah awal resusitasi neonatal sama pentingnya dengan aspek lainnya. Langkah tersebut yaitu mencegah hilangnya panas, keracunan,suctioning, evaluasi dan stimulasi taktil. Mencegah Hilangnya Panas Bayi harus ditempatkan di bawah sumber radiasi panas (radiator pemanas, lampu bohlam, atau pemanas) dengan matras/kain linen yang sudah dihangatkan sebelumnya. Bayi dikeringkan dengan benar, kain linen basah diganti dan kemudian dibungkus dengan kain hangat dan selimut. Setelah dikeringkan, ia diletakkan bersentuhan kulit di dada atau perut ibunya untuk mempertahankan kehangatan. Bayi prematur memerlukan teknik penghangatan tambahan seperti membungkus bayi dengan plastik atau kantung (plastik tahan panas yang bisa digunakan untuk makanan) dengan kepala bayi di luar kantung sementara tubuh terbungkus sepenuhnya. Hal ini efektif mengurangi hilangnya panas selama resusitasi. Hipertermia juga harus dihindari karena berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas SSP. Tujuan dari tindakan ini adalah mencapai normotermia dan menghindari hipertermia. Posisikan Bayi Bayi paling baik diletakkan terlentang atau menyamping dengan kepala pada posisi netral atau sedikit ekstensi, menggunakan sandaran bahu satu inchi, dan jika mungkin, dengan kepala menghadap ke arah sisi. Suctioning

Bayi baru lahir yang sehat dan aktif biasanya tidak memerlukan suctioning pada waktu dilahirkan. Sekresi dapat disingkirkan dari hidung dan mulut menggunakan selang atau handuk. Jika diperlukan suctioning, bersihkan dahulu sekresi dari mulut kemudian hidung dengan bulb syringe atau kateter suction (8 atau 10 Fr). Tekanan suction tidak boleh melebihi 80-100 mm Hg. Suction faringeal yang agresif dapat menyebabkan spasme laringeal dan bradikardia vagal sehingga mengakibatkan keterlambatan pernapasan spontan. Membersihkan jalan napas dari mekonium Bayi yang dilahgirkan dengan cairan yang mengandung mekonium beresiko mengalami pneumonia respirasi. Intrapartum suctioning (menghisap dari mulut dan faring bayi sebelum mengeluarkan bahu) tidak mempengaruhi insidens atau beratnya sindrom aspirasi mekonium sehingga tidak lagi dianjurkan. Jika bayi tidak menunjukkan respirasi atau mengalami depresi pernapasan, hipotonia atau bradikardia, menghisap mekonium dari faring harus dilakukan dibawah pengawasan dan, jika diperlukan, diikuti intubasi singkat dan suction trakea. Penghangatan dapat diberikan oleh radiator pemanas namun pengeringan dan stimulasi biasanya harus ditunda pada bayi dengan keadaan demikian. Suction trakea dilakukan dengan memasang suction langsung keendotracheal tube pada waktu dikeluarkan dari jalan napas. Suctionmelalui kateter yang dimasukkan ke dalam tube ET tidak dianjurkan. Intubasi dan suctioning dilakukan kembali sampai hanya sedikit mekonium yang ditemukan. Akan tetapi, jika denyut jantung atau respirasi sangat terdepresi, maka perlu dilakukan ventilasi tekanan positif walau ditemukan sedikit mekonium di jalan napas. Tracheal suctioning bayi aktif dengan cairan dengan bercak mekonium tidak memperbaiki hasil dan dapat menyebabkan komplikasi. Stimulasi Taktil Stimulasi dilakukan dengan mengeringkan dansuctioning biasanya cukup untuk memulai respirasi efektif pada sebagian besar bayi baru lahir. Rangsang taktil tambahan diberikan dengan menggosok telapak kaki atau menggosok punggung, dilakukan sekali atau dua kali, bersama dengan pemberian oksigen aliran bebas. Stimulasi taktil bisa memicu respirasi spontan pada bayi apnu primer namun apabila ia tidak merespon tindakan ini, maka bayi apnu sekunder sehingga dibutuhkan ventilasi tekanan positif. Evaluasi Periodik dengan Interval 30 Detik Setelah pemeriksaan awal dan langkah awal, resusitasi lanjut harus dipandu pemeriksaan simultan respirasi, denyut jantung, dan warna. Bayi harus bernapas reguler yang memadai untuk memperbaiki warna dan mempertahankan denyut di atas 100 denyut per menit. Semua bayi baru lahir harus diperiksa: 1. Respirasi 2. Denyut jantung 3. Warna Nilai Apgar yang biasa digunakan tidak memiliki manfaat untuk resusitasi neonatal. Respirasi Respirasi dinilai dengan mengamati dada dan menggolongkannya ke dalam pernapasan spontan, ektif, apnu atau terengah. Sebagian besar bayi baru lahir dapat bernapas reguler dengan warna yang baik dan denyut diata 100 kali per menit setelah upaya pernapasan awal. Terengah atau apnu mengindikasikan perlunya penggunaan ventilasi.

Denyut jantung Denyut jantung dimonitor dengan auskultasi precordium menggunakan stetoskop atau palpasi pulsasi korda umbilikalis yang dihitung selama enam detik kemudian dikalikan sepuluh. Denyut jantung normal lebih dari 100 kali per menit. Warna Warna bayi dapat dikelompokkan menjadi sianosis sentral, sianosis perifer, atau merah muda. Neonatus sehat akan tampak merah muda tanpa oksigen. Acrosianosis (warna kebiruan pada kaki atau tangan saja) biasa ditemukan pada awal dan bisa menjadi petunjuk keadaan lain seperti stress dingin. Sianosis sentral biasanya ditemukan di wajah, badan dan mukosa. Pucat (pallor) bisa disebabkan hipotensi, hipovolemia, anemia berat, hipotermia atau asidosis. Pemberian Oksigen Secara konvensional, resusitasi dilakukan dengan pemberian oksigen 100%. Terdapat kekhawatiran mengenai potensi efek samping pemberian oksigen 100% pada bayi baru lahir. Uji kontrol acak menunjukkan reduksi signifikan mortalitas dan tidak ada tanda kerusakan pada bayi yang diresusitasi di udara ruang dibandingkan dengan oksigen 100%, walaupun masih ada masalah metodologis mengenai penelitian tersebut dan hasilnya harus diinterpretasikan dengan hati-hati. Resusitasi saat ini bisa dilakukan dengan udara ruangan atau oksigen 100% atau campuran keduanya. Dianjurkan oksigen tambahan harus tersedia apabila 90 detik setelah persalinan keadaan tidak membaik. Oksigen tambahan juga dianjurkan apabila ventilasi tekanan positif mengindikasikan resusitasi. Pada keadaan dimana oksigen tambahan tidak tersedia, ventilasi tekanan positif harus diberikan dengan udara ruang. Oksigen aliran bebas 5 liter per menit harus diberikan pada bayi yang bernapas namun mengalami sianosis sentral. Hal ini dapat dilakukan dengan pemasangan masker wajah atau sungkup tangan di sekitar selang oksigen di dekat wajah bayi. Ventilasi Ventilasi efektif saja merupakan kunci resusitasi semua bayi yang apnu atau bradikardi pada waktu lahir. Ventilasi tekanan positif harus dilakukan apabila bayi masih tetap apnu atau terengah, jika denyut jantung < 100 kali per menit setelah 30 detik dilakukannya langkah pertama, atau bayi masing mengalami sianosis sentral walaupun telah diberikan oksigen tambahan. Napas awal harus mencapai tekanan 30-40 cm H2O kemudian 15-20 cm H2O. Paru prematur bisa rusak oleh inflasi volume besar pada waktu lahir yang bisa menyebabkan displasia bronkopulmoner. Inflasi paru awal pada bayi prematur harus dilakukan dengan tekanan inflasi lebih rendah 20-25 cmH2O, walaupun beberapa bayi tidak merespon tekanan yang lebih tinggi. Laju optimal ventilasi 40-60 pernapasan per menit dilakukan pada hitungan tekanan satu-dua-tiga-remas. Kantong diremas hanya dengan ujung jari dan bukan dengan seluruh tangan. Ventilasi yang adekuat ditandai oleh naik turunnya dada, terdengarnya bunyi napas pada auskultasi, mempertahankan denyut jantung diatas 100 per menit, bernapas spontan dan warna kulit yang merah. Respon yang tidak adekuat terhadap ventilasi dapat disebabkan oleh: kurang rapatnya sungkup dan wajah obstruksi jalan napas

kurangnya tekanan inflasi oksigen yang tidak adekuat (periksa pasokan oksigennya dan penyalurannya)

CPAP atau PEEP selama resusitasi Terdapat bukti bahwa CPAP atau PEEP berguna dan tidak berbahaya untuk bayi preterm dengan paru yang kurang fleksibel. CPAP/PEEP harus dipertimbangkan saat resusitasi pada bayi yang sangat prematur. Selang orogastrik diperlukan untuk mendeflasi lambung saat resusitasi dengan kantong dan ventilasi sungkup berlangsung lebih dari dua menit. Tube ukuran 6-8 Fr dimasukkan dalam lambung dan isi lambung dihisap, lalu ujungnya dibiarkan terbuka. Setelah ventilasi selama 30 detik, nilai ulang pernapasan dan denyut jantung. Jika sudah terdapat napas spontan yang teratur dan denyut jantung diatas 100/menit, IPPV dapat dilepas. Jika pernapasan belum adekuat dan denyut jantung masih dibawah 100, IPPV dilanjutkan. Jika denyut jantung dibawah 60 kali per menit, IPPV dilanjutkan dengan kompresi dada dan intubasi endotrakeal. Kantong resusitasi Kantong (bag) resusitasi yang bisa mengembang sendiri biasanya digunakan pada neonatus, lebih cocok yang bervolume 240 ml untuk menghasilkan voleme tidal 5-8 ml/ kg. Ventilasi efektif juga dapat dicapai dengan kantong yang mengembang akibat aliran udara atau T-piece. Tidak terdapat cukup bukti yang mendukung penggunaaan laryngeal mask airway sebagai alat utama dalam resusitasi neonatus pada keadan-keadaan: cairan amnion yang bercampur dengan mekonium, saat diperlukan kompresi dada, pada bayi dengan berat lahir sangat rendah, atau pada bayi yang dilahirkan secara darurat dengan menggunakan obatobatan intratrakeal. Sungkup (Facemask) Sungkup harus erat dengn mulut dan hidung tanpa menutupi mata. Ukurannya biasanya 0 dan 1 dan berbentuk bulat atau anatomis. Penting melakukan pengetesan alat sebelum dipakai dengan menempelkan ke telapak tangan untuk mengetahui tekanan yang adekuat, katup yang bekerja dengn baik, dan tidak ada kerusakan lain. Dua kontra indikasi penting untuk ventilasi kantong dan sungkup adalah: 1. cairan bercampur mekonium yang kental sebelum suction trakeal. 2. Hernia Diafragmatika. 3. Intubasi Endotrakeal Indikasi intubasi endotrakeal adalah: -ventilasi kantong dan sungkup yang tidak efektif -dengan kompresi dada -saat diperlukan suction trakeal -hernia diafragmatika -bayi dengan berat lahir sangat rendah -untuk pemberian obat endotrakeal. Kedalaman tuba endotrakeal yang dimasukkan untuk intubasi orotrakheal dapat dihitung dengan rumus: berat badan bayi dalam Kg ditambah 6 cm : ini adalah kedalaman di bibir dalam cm. Intubasi oral dilakukan menggunakan laringoskop dengan blade lurus (ukuran 0 untuk preterm dan ukuran 1 untuk bayi aterm). Bayi diletakkan di permukaan yang rata dengan kepala di tengah dan leher agak ekstensi. Operator berdiri di sebelah atas kepala bayi,

memegang laringoskop di tangan kiri, dan menstabilkan kepala bayi dengan tangan kanan. Blade laringoskop dimasukkan melewati lidah dan ujungnya diarahkan ke epiglotis. Blade lalu diangkat untuk membuat kotak suara terlihat, lalu tuba endotrakeal dimasukkan. Mungkin diperlukan penekanan pada krikoid. Konfirmasi terpasangnya tuba endotrakeal dengan mendengarkan bunyi napas napas yang sama di kedua aksila, terdapat perbaikan denyut jantung, aktivitas dan warna kulit, tampak dada yang naik turun, dan terdapat uap yang mengembun pada bagian dalam tuba endotrakeal setiap ekshalasi. Tiga hal yang harus dilakukan setelah intubasi adalah memperhatikan penanda cm pada tuba setinggi bibir atas, fiksasi pada wajah, dan pemendekan ujung tuba hingga 4cm dari atas bibir. Komplikasi yang dapat terjadi: hipoksia, bradikardi, apnea, pneumotroraks, cedera jaringan lunak, dan infeksi. Kompresi Dada. Kompresi dada diindikasikan bila, setelah 30 menit ventilasi dengan kantong dan sungkup 100% oksigen, denyut jantung masih tetap dibawah 60 kali per menit. Kompresi dada harus selalu disertai ventilasi dengan 100% oksigen. Teknik Kompresi Teknik yang dapat digunakan adalah teknik dengan dua telapak tangan dan teknik dua jari. Teknik dua telapak tangan adalah teknik yang lebih disukai. Kedua ibu jari diletakkan di sternum, berdekatan atau saling tumpang tindih, dan jari yang lain mengelilingi dada dan menopang bagian belakang. Cara lainnya, dua jari diletakkan di atas sternum, sedangkan tangan yang lainnya menopang bagian belakang. Tekanan yang diperlukan adalah penekanan dada sedalam kira-kira sepertiga diameter anteroposterior dada, dilakukan pada sepertiga sternum bagian bawah. Kompresi dada harus dilakukan dengan lembut dan menghasilkan pulsasi yang teraba. Selama melakukan kompresi dada, jangan mengangkat ibu jari atau kedua jari dari sternum. Diperlukan 3 kompesi dada dan 1 ventilasi (3:1), dengan total 90 kompresi dada dan 30 ventilasi dalam satu menit. Denyut jantung diperiksa ulang tiap 30 detik dan kompresi dada terus dilanjutkan hingga denyut jantung lebih dari 60 kali/menit. Kompresi dada beresiko menimbulkan patah tulang rusuk dan pneumothoraks. Hindari penekanan langsung pada tulang rusuk, xiphisternum dan abdomen. OBAT-OBATAN Obat-obatan jarang diperlukan pada resusitasi neonatus. Bradikardi yang dijumpai biasanya akibat inflasi paru yang tidak adekuat atau hipoksia; bradikardi biasanya membaik dengan ventilasi yang adekuat. Obat-obatan diperlukan hanya jika denyut jantng tetap dibawah 60 kali/menit meskipun telah diberikan ventilasi dengan 100% oksigen dan kompresi dada. Rute Pemberian Rute pemberian yang lebih disukai adalah vena umbilikalis karena dapat diakses dengan mudah. Semua obat-obatan dan volume expanders dapat melalui rute ini. Biasanya digunakan selang kateter ukuran 5 Fr. Rute lain yang bias dipilih adalah vena perifer dan intratrakeal. Obat yang bisa digunakan pada resusitasi neonatus adalah adrenalin, volume expanders, naloxone dan sodium bikarbonat.

Volume Expanders Hipovolemia saat kelahiran bermanifestasi sebagai pucat yang menetap selama oksigenasi, perfusi yang jelek, nadi yang jelek meskipun denyut jantung baik dan tidak berespon pada resusitasi. NaCl 0,9% adalah cairan pilihan, dengan dosis 10 ml/kg IV selama 5 menit. Jika tanda-tanda hipovolemi menetap, pemberian volume expanders dapat diulang. Naloxone Naloxone hidroklorida adalah antagonis narkotika yang diindikasikan untuk depresi napas berat pada neonatus dengan riwayat penggunaan narkotik pada ibu dalam 4 jam sebelum melahirkan. Bayi harus diventilasi dan mengalami perbaikan denyut jantung dan warna kulit sebelum diberi naloxone. Nalaxone tersedia dalam sediaan 0,4 mg/ml dan diberikan 0,1ml/kg IM atau IV. Adrenalin Indikasi penggunaan adrenalin adalah denyut jantung dibawah 60/menit setelah 30 detik dilakukan IPPV dan kompresi dada, atau jika terdapat asistol. Sediaan standar adrenalin adalah 1:1000, ini diencerkan 10 kali hingga menjadi 1: 10.000 dan 0,1-0,3 ml/kg diberikan secara IV bolus cepat. Obat ini memiliki efek inotropik dan kronotropik dan denyut jantung dapat meningkat lebih dari 100/menit dalam 30 detik. Jika bradikardi menetap dapat diberikan ulang setelah 3-5 menit. Sodium Bikarbonat Penggunaan obat ini hanya diindikasikan pada kasus henti jantung yang tidak berespon terhadap terapi lain. Dosis yang diperlukan adalah 1-2mEq/kg dari sediaan larutan 0,5 mEq/ml yang diberikan pelan selama 2 menit atau lebih. Obat lain seperti atropin, dexamethasone, kalsium coramin dan dextrosa tidak berperan pada resusitasi neonatus. Prosedur Setelah Resusitasi Penting untuk mendokumentasikan kondisi bayi saat lahir dan responnya terhadap resusitasi. Apgar score pada menit pertama dan kelima berguna untuk kepentingan medis dan medikolegal. Setelah ventilasi dan sirkulasi sudah tertangani, bayi harus dimonitor, diberikan layanan pendukung sesuai indikasi, dan dijaga agar gula darahnya tetap dalam batas normal. Hipotermia Terinduksi Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hipotermia terinduksi (sekitar 34C) untuk anak-anak dengan ensefalopati iskemik hipoksik dapat menurunkan mortalitas dan derajat kerusakan otak pada beberapa diantaranya. Masih perlu penelitian lebih lanjut untuk menilai penggunaan metode ini. Penghindaran hipertermia sangat penting bagi bayi yang mengalami hipoksia-iskemia. Orang tua dan keluarga dari penderita harus diterangkan mengenai prosedur yang dijalani dan hal-hal yang akan dilakukan setelah usaha resusitasi telah berhasil. Pada kondisi tertentu seperti pada prematuritas berat dan malformasi kongenital yang mematikan, perlu dipertimbangkan penghentian atau malah tidak perlu dilakukan resusitasi. Asistol dan apnea selama lebih dari 10 menit meskipun dilakukan resusitasi yang adekuat dan kontinyu biasanya jarang tidak menimbulkan kecacatan. Oleh karena itu jika telah dilakukan ventilasi selama 30 menit dan hanya menghasilkan refleks gasping maka

perlu dipertimbangkan untuk mengakhiri usaha resusitasi. Keluarga harus dikonseling dan diberikan dukungan emosi.

Diagram Alur Resusitasi Neonatus

Daftar Pustaka

http://www.pediatrik.com/isi03.php? page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=& html=07110-skow264.htm http://ayurai.wordpress.com/2009/04/28/tips-resusitasibayi/ Mochtar, Rustam. 1998.Sinopsis Obstetri Jilid 1. EGC: Jakarta Williams CE, Mallard C, Tan Gluckman PD. Pathophysiology of perinatal asphyxia. Clin Perinatof 1993; 20:305-23

i ii

You might also like